16
Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 84 Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020 REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK DALAM HADIS PENDIDIKAN SHALAT Prastio Mahasiswa Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta e-mail: [email protected] Abstract In Islam, children are a mandate that must be loved, educated, and maintained as well as possible. The embodiment of affection for children in such a way has been exemplified by Rasulullah SAW but on the contrary, today it is very easy to find in Islamic societies violent incidents whose victims are children. The most recent case example is the beating incident by a teacher with the initials FM to YHM, class XI student of SMA 7 Moti, Ternate. In the perspective of the field of religious psychology, one of the motivations that led to the emergence of such acts of violence was the misrepresentation of the text of the hadith about the permissibility of hitting a 10-year-old child who did not do the prayer. With textual readings, some elements argue that the hadith clearly uses the word command (fi'il amr), and the rule of uul states that the root origin of the word command indicates an obligation (al- ashlu fi al-amri li al-wujub) . In fact, on the other hand a blow to a child will cause some negative impacts. First, children's growth and development will be hampered. Second, his intelligence will tend to be static. Third, the abusive treatment that children receive influences behavior, that is, children are more aggressive. Fourth, because violence is a traumatic experience, so the more often children get violent the slower their mental development. Keyword: Reinterpretation, Punishment, Children

REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 84

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA

DIDIK DALAM HADIS PENDIDIKAN SHALAT

Prastio

Mahasiswa Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

e-mail: [email protected]

Abstract

In Islam, children are a mandate that must be loved, educated, and maintained as

well as possible. The embodiment of affection for children in such a way has been exemplified

by Rasulullah SAW but on the contrary, today it is very easy to find in Islamic societies

violent incidents whose victims are children. The most recent case example is the beating

incident by a teacher with the initials FM to YHM, class XI student of SMA 7 Moti, Ternate.

In the perspective of the field of religious psychology, one of the motivations that led to the

emergence of such acts of violence was the misrepresentation of the text of the hadith about

the permissibility of hitting a 10-year-old child who did not do the prayer. With textual

readings, some elements argue that the hadith clearly uses the word command (fi'il amr), and

the rule of uṣul states that the root origin of the word command indicates an obligation (al-

ashlu fi al-amri li al-wujub) .

In fact, on the other hand a blow to a child will cause some negative impacts. First,

children's growth and development will be hampered. Second, his intelligence will tend to be

static. Third, the abusive treatment that children receive influences behavior, that is, children

are more aggressive. Fourth, because violence is a traumatic experience, so the more often

children get violent the slower their mental development.

Keyword: Reinterpretation, Punishment, Children

Page 2: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 85

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Abstrak

Dalam Islam, anak adalah amanah yang harus disayangi, dididik, dan dijaga dengan

sebaik-baiknya. Perwujudan kasih sayang terhadap anak sedemikian rupa telah dicontohkan

oleh Rasulullah SAW namun sebaliknya, dewasa ini justru mudah sekali ditemui dalam

masyarakat Islam peristiwa-peristiwa kekerasan yang korbannya adalah anak-anak. Contoh

kasus terbaru yaitu peristiwa pemukulan oleh oknum guru berinisial FM kepada YHM, siswa

kelas XI SMA Negeri 7 Moti, Ternate. Dalam prespektif bidang keilmuan psikologi agama,

salah satu motiv yang mendorong lahirnya tindak kekerasan seperti itu adalah adanya

misprespsi terhadap teks hadis tentang diperbolehkannya memukul anak usia 10 tahun yang

tidak mengerjakan ṣalat. Dengan pembacaan yang bersifat tekstualis, sebagian oknum

berargumen bahwa hadis tersebut jelas-jelas memakai kata perintah (fi’il amr), dan kaidah

uṣul menyatakan bahwa asal pokok kata perintah menunjukkan suatu kewajiban (al-ashlu fi

al-amri li al-wujub).

Padahal, di sisi lain pukulan terhadap anak akan menyebabkan beberapa dampak

negatif. Pertama, tumbuh kembang anak akan terhambat. Kedua, kecerdasannya akan

cenderung statis. Ketiga, perlakuan kasar yang diterima anak-anak berpengaruh terhadap

perilaku, yaitu anak bersikap lebih agresif. Keempat, karena kekerasan merupakan

pengalaman yang bersifat traumatik, sehingga semakin sering anak mendapatkan kekerasan

maka akan semakin lambat pula perkembangan mental mereka.

Kata Kunci : Reinterpretasi, Punisment, Anak

Page 3: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 86

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

A. Pendahuluan

Dalam Islam, anak adalah amanah yang harus disayangi, dididik, dan dijaga

dengan sebaik-baiknya. Perwujudan kasih sayang terhadap anak sedemikian rupa telah

dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tertuang dalam sebuah hadis yang

diriwayatkan An-Nasāi sebagai berikut:

Rasulullah datang mengunjungi sahabat Anṣar dan mengucapkan salam kepada anak-

anak mereka dan mengusap kepala-kepalanya.1

Berdasarkan hadis di atas, terlihat betul bagaimana Rasulullah SAW menyayangi

anak-anak dan berperilaku lemah lembut terhadap mereka. Namun sebaliknya, dewasa ini

justru mudah sekali ditemui dalam masyarakat Islam peristiwa-peristiwa kekerasan yang

korbannya adalah anak-anak. Contoh kasus terbaru yaitu peristiwa pemukulan oleh

oknum guru berinisial FM kepada YHM, siswa kelas XI SMA Negeri 7 Moti, Ternate.2

Dalam prespektif bidang keilmuan psikologi agama, salah satu motiv yang mendorong

lahirnya tindak kekerasan seperti itu adalah adanya misprespsi terhadap teks hadis

tentang diperbolehkannya memukul anak usia 10 tahun yang tidak mengerjakan ṣalat.

Dengan pembacaan yang bersifat tekstualis, sebagian oknum berargumen bahwa hadis

tersebut jelas-jelas memakai kata perintah (fi’il amr), dan kaidah uṣul menyatakan bahwa

asal pokok kata perintah menunjukkan suatu kewajiban (al-ashlu fi al-amri li al-wujub).3

Padahal, di sisi lain pukulan terhadap anak akan menyebabkan beberapa dampak

negatif. Pertama, tumbuh kembang anak akan terhambat. Kedua, kecerdasannya akan

cenderung statis. Ketiga, perlakuan kasar yang diterima anak-anak berpengaruh terhadap

perilaku, yaitu anak bersikap lebih agresif. Keempat, karena kekerasan merupakan

pengalaman yang bersifat traumatik, sehingga semakin sering anak mendapatkan

kekerasan maka akan semakin lambat pula perkembangan mental mereka.4

Dalam konteks pendidikan Islam, variabel-variabel di atas menunjukkan adanya

kesenjangan dari sisi metode yang digunakan, yaitu adanya kontraproduksi dari metode

punishment atau tarhīb interpretasi H.R Abu Daud dalam proses pendidikan ṣalat. Oleh

karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba untuk melakukan reinterpretasi terhadap

1 Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),

hal. 79. 2 Fatimah Yamin, Guru Pukul Murid Pakai Mistar Kayu Hingga Tewas, (diambil dari

www.kompas.com pada tanggal 10 November 2015 pukul 16.36 WIB) 3 Ali Imron, Reinterpretasi Hadis Tarbawi Tentang Kebolehan Memukul Anak Didik, (Yogyakarta:

Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 2, Desember 2012), hal.

142-143. 4 Ali Imron, Reinterpretasi Hadis..., hal. 16-17.

Page 4: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 87

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

makna hadis tersebut menggunakan metode yang digagas oleh Abdullah Saeed, yaitu

metode penafsiran kontekstual. Kata context (konteks) berarti surrounding condition

(lingkungan sekitar), dan contextualize (konteksualisasi) bermakna to place a word,

phrase, or idea within a suitable context (menempatkan kata, frase atau ide dalam

konteks yang sesuai).5 Jadi yang dimaksud dengan kontekstualiasi di sini adalah

menempatkan makna H.R Abu Daud tentang punishment (memukul anak yang tidak

ṣalat) sesuai dengan kebutuhan dan/atau kondisi saat ini.

B. Langkah-langkah Interpretasi

Langkah-langkah operasional metode penafsiran kontekstual tersebut telah

disistematisasikan oleh Saeed dalam bukunya Interpreting the Qur’an: Towards a

Contemporary Approach yang terbagi dalam empat stage, yaitu (I) Encounter with the

world of the text, (II) Critical analysis, (III) Meaning for the first recipients, dan (IV)

Meaning for the present.6 Berikut adalah operasionalisainya pada H.R Abu Daud tentang

konsep punishment dalam pendidikan ṣalat:

Teks Hadis

حدثنا وكيع حدثنا سوار بن داود عن عمرو بن شعيب عن أبيو عن جده قل قل رَسول مروا أولادكم بالصلاة وىم أبناء سبع سنين واضربوىم عليها : الله صلى الله عليو وسلم

.وىم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضا جعArtinya: Hadis riwayat Waki’, hadis Sawwar bin Dawud, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari

ayahnya dari kakeknya, berkata Rasulullah SAW: Perintahkanlah anak-anakkmu

mengerjakan ṣalat di kala mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena

tidak mengerjakannya di kala mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat

tidurnya.8

1. Stage I: Encounter with the World of the Text

5 Hatib Rachmawan, Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-Qur’an Abdullah

Saeed, (Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan, Jurnal Afkaruna Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2013), hal. 152-

153. 6 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach, (London dan New

York: Routledge Publishing, 2006), hal. 150. 7 Abu Daud Sulaiman bin al-„Asy‟as as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Daud, Juz 1, No. 494, (Beirut: Dar

al-Fikr, 1994), hal. 133. 8 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-hadis Hukum 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),

hal. 37.

Page 5: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 88

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Menurut Saeed, yang perlu dilakukan dalam stage ini adalah encounter a broad

and general familiarization with the text.9 Artinya dalam konteks ini penulis

berkewajiban mengulas minimal seputar otentisitas sumber, kualitas sanad, dan

asbabul wurud hadis.

Pertama, hasil penelusuran kitab al-Mu’jam menunjukkan bahwa hadis tentang

punishment dalam pendidikan ṣalat dapat ditemukan dalam kitab Sunan Abu Daud,

Sunan at-Turmudzi, Sunan al-Darimi, dan Musnad Ahmad ibnu Hambal.10

Oleh karena itu,

diperlukan seleksi di antara keempatnya berdasarkan martabatnya, dan Sunan Abu Daud adalah kitab yang

nomor satu martabatnya di antara keempatnya atau martabat ketiga sesudah Sahihain

di antara al-Kutub al-Sittah.11

Kedua, rangkaian transmiter hadis di atas adalah Waki‟ ibn al-Jarrah, Sawwar

ibn Dawud, „Amr ibn Syu‟aib, dan Syu‟aib ibn Muhammad. Berikut adalah biografi

singkat beserta jarh wa ta’dil mereka:

Perawi Lahir - Wafat Guru Jarh wa Ta’dil

Waki‟ ibn al-

Jarrah

L : 127/128 H

W : 196/197 H

195 orang, di

antaranya:

a. Aban ibn

Sham‟ah

b. A‟masy

c. Daud ibn

Sawwar.

a. Ahmad ibn

Hambal: “Aku

tidak melihat

orang yang

mendalam

ilmunya dari

Waki”

b. Abu Hatim:

“Tsabt”

c. Al-Darimi:

“Thiqah,

„abid shalih”

Sawwar ibn

Dawud

L : -

W : 118 H

a. „Abd al-

Aziz

b. Ibn Abi

Bakrah

c. „Amr ibn

Syu‟aib.

a. Ibn Hibban:

“Thiqah”

b. Daruquthni:

“Hadisnya

bisa dijadikan

i‟tibar”

c. Abu Thalib

dari Ahmad:

“La ba‟s bih”

„Amr ibn Syu‟aib L : -

W : 118 H

22 orang, di

antaranya: a. Ummu

a. Al-Nasa‟i:

“Thiqah, la ba‟s bih”

9 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 150.

10 A. J. Weinsinck, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faaz al-Hadis al-Nabawi, (Leiden: E.J. Brill, 1936),

hal. 291. 11

M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), hal. 237.

Page 6: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 89

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Kurz al-

Khuza‟ah

b. Sulaiman

ibn Yasar

c. Syu‟aib

ibn

Muhamad

b. Ayub ibn

Syu‟aib:

“Tidak ada

orang Quraisy

yang lebih

pandai dari

„Amr”

c. Al-Athram:

“Hadisnya

hujah”

Syu‟aib ibn

Muhamad

L : -

W : -

6 orang,

seperti Abd

Allah ibn

„Amr

Ibn Hiban:

“Thiqah”

Memperhatikan kualitas seluruh perawi di atas, semuanya menyandang status

thiqah dan di antara mereka benar-benar ada hubungan guru-murid. Serta mayoritas

mereka berada pada peringkat ta’dil yang rendah. Oleh karena itu, kesimpulannya

bahwa sanad hadis tersebut layak diberikan nilai muttashil, musnad, marfu’ hasan al-

isnad.12

Ketiga, penelusuran terhadap kitab asbabul wurud tidak ditemukan bahasan

mengenai hadis tersebut. Sehingga batasan arti umum/khusus, mutlak/terbatas,

naskikh/mansukh, ‘illat dan kemusykilanya13

tidak bisa diketahui secara spesifik.

Penulis hanya bisa menjelaskan situasi makro masyarakat Arab pada masa itu yang

nalar budayanya mau mengakomodir tindak kekerasan, terutama pada perempuan dan

anak-anak.14

2. Stage II: Critical Analysis

Menurut Saeed, yang perlu dilakukan dalam stage ini adalah mengkaji lebih

dalam apa yang diinginkan hadis tanpa dikaitkan dengan penerima dan kondisi saat

ini. Adapun aspek yang dibahas terdiri dari:

a. Linguistik

Secara linguistik, menurut Saeed yang perlu dijelaskan oleh seorang

mufasir salah satunya adalah berkenaan tentang the meaning of the words.15

Dalam

teks hadis yang menjadi objek kajian penelitian ini, terdapat satu kata kunci yang

12

Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),

hal. 218-227. 13

Al-Hafidzh Jalaluddin as-Sayuthi, Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah Hadis,

(Bandung: Pustaka, 1986), hal. 5-15. 14

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 50-57. 15

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151.

Page 7: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 90

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

harus dijelaskan meaningnya agar memudahkan melakukan reinterpretasi

kontekstual, yaitu lafal waḍribū. Lafal ini berasal dari ḍaraba-yaḍribu-ḍarban

yang memiliki arti dasar memukul.16

Namun, lafal ini juga memiliki arti yang

cakupannya lebih luas, seperti ḍaraba ‘alā yadihi yang berarti amsaka yaitu

menahan diri dan ḍaraba maṡalan yang berarti bayyana yaitu memberi penjelasan.

Jadi selain memukul, lafal waḍribū memiliki banyak alternatif arti lain yang bisa

diambil untuk mdapatkan pemahaman yang lebih tepat dan komprehensif.17

b. Literary context

Operasional dari tahap ini menurut Saeed salah satunya adalah

menjelaskan structure of the text as well as its rhetorical style.18

Menurut hemat

penulis, redaksional waḍribū yang sering diartikan sebagai “pukulah” adalah

pemilihan diksi yang bersifat retoris guna mengisyaratkan dan menekankan

pentingnya pendidikan ṣalat bagi anak-anak. Tidak serta merta mengajarkan aksi

langsung main pukul terhadap anak yang tidak ṣalat. Sehingga, dalam hal ini

dibutuhkan istidlal tentang lafal tersebut guna mendapatkan pemahaman yang

lebih lengkap dari apa yang belum diketahui19

yang tersirat padanya.

c. Literary form

Menurut Saeed, pada tahap ini rangkaian kerja yang harus dilakukan oleh

seorang mufasir adalah identifying whether the text.20

Menurut analisis penulis,

hadis ini termasuk jenis hadis ahkam. Bahwa menunaikan ṣalat hukumnya wajib,

maka mendidik anak agar memiliki nilai, pengetahuan, dan keterampilan tentang

ṣalat hukumnya juga wajib. Karena kaidah uṣul menyatakan 21.ما لا يتم الوجب إلا بو فهو واجب

d. Parallel texts

Hadis ini memiliki banyak paralel tematis dengan teks-teks lain baik antar

sesama hadis maupun dengan al-Qur‟an. Namun begitu, karena keterbatasan waktu

penulis hanya mampu melakukan penelusuran dengan hasil sebagai berikut:

1) Q.S. Ṭāhā: 132

16

Adib Bisri dan Munawwir AF., Al-Bisri: Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1999), hal. 432 17

Al-Alamah Abi al-Fadl Jamaludin Muhammad bin Mukarram ibn Manzur al-Afriki al-Misri, Lisān

al-Arāb, Juz XIV (Beirut: Daar al-Shaadir, 1992), hal. 543. 18

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151. 19

Muhammad Rofik, Pengantar Pemahaman Ilmu Mantiq, (Surabaya: Al-Miftah, 2010), hal. 59 20

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 151. 21

“Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga

wajib. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah

yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 32.

Page 8: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 91

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

وأمر أىلك بالصلاة واصطبر عليها لا نسألك رزقا نحن نرزقك والعاقبة للتقوى

Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan

bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki

kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik)

itu adalah bagi orang yang bertakwa.

2) H. R Abu Daud

ابى ىريرة عن النبى ص م اذا ضرب احدكم اخاه فاليجتنب الوجهو

Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian

memukul saudaranya, hindarilah memukul wajahnya.

e. Presecedents

Q.S Ṭāhā: 132 di atas ditinjau dari masa turunnya maka ia hanya terbatas

pada istri Rasulullah SAW, Khadijah dan beberapa putra beliau bersama Ali bin

Abi Thalib. Tapi jika dilihat dari penggunaan kata ahlaka yang dapat mencakup

keluarga besar, maka ayat tersebut mencakup keluarga besar Rasulullah SAW.

Bahkan sebagian ulama memperluasnya mencakup seluruh umat beliau. Misalnya

Salman al-Farisi, dia bukan orang Arab, tapi beliau bersabda “Salman dari

(keluarga) kita, ahl al-bait”. Perkataan Rasulullah SAW tersebut tidak lain

dikarenakan alasan keimanan Salman.22

Oleh karena itu, kontekstualisasinya dalam lingkungan sekolah adalah

bahwa seorang guru juga memikul tugas untuk melaksanakan pendidikan ṣalat

kepada peserta didiknya. Namun, meskipun begitu dalam pelaksanaanya seorang

guru tetap tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan kepada peserta didik.

3. Stage III: Meaning for the First Recipients

Pada stage ini tugas seorang mufasir adalah mengaitkan teks pada penerima

pertama, dan menurut Saeed ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dari mereka,

yaitu:

a. Socio-historical context

Analisis worldview, culture, customs, beliefs, norms, values and

institutions of the first recipients in Hijaz sangat urgen untuk studi hadis dalam

rangka mengetahui konteks di masa lalu pada saaat hadis berdialektika dengan

22

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera

Hati, 2002), hal. 402-403.

Page 9: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 92

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

ruang sosial untuk dijadikan cermin pandanag konteks kekinian bagi pencarian ide

dan gagasan dari munculnya sebuah peristiwa pada masa saat Nabi Muhammad

SAW bertindak sebagai utusan Allah SWT untuk misi kemanuisaan.23

Untuk hadis

ini tidak ditemukan asbabul wurudnya secara spesifik, sehingga untuk

menjelaskan socio-historical contextnya penulis hanya bisa menjelaskan situasi

makro masyarakat Arab pada masa itu yang nalar budayanya masih kental dengan

nuansa kekerasan, terutama pada perempuan dan anak-anak.

Hal ini didasari oleh keadaan penduduk Arab yang institusi sosial-

politisnya berbentuk kabilah (gabungan beberapa keluarga) dan kesukuan

(gabungan beberapa kabilah) yang sangat fanatis. Sehingga, dengan kondisi

georafis yang begitu keras24

, kehidupan sosial antar mereka terbiasa dengan

budaya kekerasan untuk mendapatkan daerah kekuasaan berupa sumber air. Dari

sini, status gender laki-laki menjadi diunggulkan karena dianggap sebagai pihak

yang memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk saling berperang. Oleh karena itu,

begitu pun juga sikap mereka terhadap anak-anak, keras, terutama bagi mereka

yang memiliki anak perempuan. Dianggapnya sebagai aib, sehingga mereka tidak

segan-segan untuk menguburkanya hidup-hidup.25

b. Worldview

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa keadaan sosial masyarakat Arab

pada waktu itu belum kondusif, banyak gesekan politik bernuansakan kekerasan

yang menyebabkan nalar budaya mereka mengalami kejumudan. Karena, cara

berpikirnya yang sangat sederhana dan hanya terbatas pada bagaimana berperang.

Sehingga, “wajar” bila redaksional yang dipilih Rasulullah SAW pada hadis

pendidikan ṣalat adalah kata pukulah. Karena memang terma itulah yang mudah

dipahami untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya mendidik anak untuk

ṣalat.

c. Nature of the message: legal, theological, ethical

ىم عليها وىم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضا جعواضربو وىم أبناء سبع سنين مروا أولادكم بالصلاة

23

Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis, (Yogyakarta: Sukses

Offset, 2008), hal. 36 24

Pembagian daerah jazirah Arab: 1) Sahara Langit, kondisinya sangat jarang mata air. 2) Sahara

Selatan, hampir seluruhnya berupa dataran tandus, keras, dan pasir bergelombang. 3) Sahara Harrat, terdiri dari

tanah hat yang berbatu hitam terbakar. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban..., hal. 49. 25

A. al-Hashari, Tarikh Al-slami, (Beirut: Maktabah al-Kuliah al-Wujriyah, t.t.), hal. 23.

Page 10: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 93

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Menurut analisis penulis, matan hadis di atas memiliki pesan-pesan yang

sifatnya berbeda. Ada yang universal dan ada yang spesifik-hierarkis. Pertama,

yang bersifat universal adalah pesan tentang kewajiban mendidik anak untuk ṣalat

(murū aulādakum biṣ-ṣalāti). Pesan ini berlaku kepada seluruh umat Islam, siapa

pun, kapan pun, dan di mana pun. Kedua, yang bersifat spesifik-hierarkis, yaitu

tentang praktek bagaimana cara mendidiknya. Matan hadis yang menyatakan

ketika anak berusia tujuh tahun agar diperintahkan ṣalat dan ketika anak berusia

sepuluh tahun agar dipukul kalau tidak ṣalat sejatinya menunjukkan sebuah

hierarki/tahapan pendidikan ṣalat. Antara “memerintah”-“memukul” ada tahapan-

tahapan lain yang harus diformulasikan sesuai semangat masing-masing zaman.

d. Message: contextual versus universal

Menurut analisis penulis, pesan perintah ṣalat (murū aulādakum biṣ-ṣalāti)

di atas masuk dalam level pertama/basic tujuan Qur‟an, obligatory values. Karena

ṣalat adalah perintah Allah SWT yang pelaksanaanya tidak tercampuri kultural

Arab. Sehingga aplikasinya dapat berlaku secara universal.26

Kemudian, tentang cara pendidikannya yang dilakukan dengan memukul

(waḍribū), menurut analisis penulis pesan tersebut masuk kategori instructional

values. Hal ini dikarenakan lafal tersebut menggunakan fi’il amr. Sehingga

pelaksanaannya bisa menyesuaikan dengan keadaan saat ini.27

Selain itu juga tidak

boleh bertentangan dengan a hierarchy of values di atasnya. Untuk konteks

Indonesia, yang masyarakatnya santun, lemah lembut dan berfisik tidak sekuat

bangsa Arab, pemberian pukulan kepada anak-anak akan menyebabkan

kemudaratan yang lebih banyak. Mulai dari luka, sakit, sampai meninggal seperti

dijelaskan pada bab pendahuluan di atas. Realita ini tidak sesuai dengan prinsip

fundamental values yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga

pemahaman hadis tentang memukul (waḍribū) sebagai instructional values harus

disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini agar kompleksutas tujuan Qur‟an

tetap terjaga.

e. Relationship of the massage to the overall message of the Qur’an

Menurut Saeed, yang harus dilakukan oleh seorang mufasir pada tahap ini

adalah mengevaluasi bagaimana teks diterima, dipahami, dan diterapkan oleh

26

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 130. 27

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., hal. 137.

Page 11: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 94

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

komunitas pertama. Dalam kitab syarah Abu Daud, ‘Aunul Ma’bud, para ulama

berbeda pendapat dalam memahami lafal “pukulah”. Menurut al-Khottobi lafal ini

menunjukkan bahwa sangat keras sekali hukuman bagi anak yang sudah baligh

tapi tidak mau melaksanakan ṣalat. Kemudian, al-Qomah memahaminya dengan

memukul yang tidak menyakitkan dan tidak di wajah. Zuhri berpendapat bahwa

orang yang meninggalkan salat berarti fasiq dan harus dipukul dan diasingkan.

Sedangkan Imam Ahmad berkata: “Tidak ada dosa yang dapat membuat seseorang

itu menjadi kafir kecuali meninggalkan salat”.28

Setelah melihat dan memahami berbagai pendapat ulama di atas, ada yang

begitu keras dalam hukumannya, tetapi sebagian lain ada juga yang moderat.

Seandainya pendapat yang ekstrim tadi dipakai untuk mendidik anak-anak di

zaman sekarang, itu bukanlah pendekatan cocok ditengah-tengah arus utama

perlindungan HAM dan berlakunya UU perlindungan anak. Namun, adanya

keyword usia sepuluh tahun juga tidak bisa dipungkiri bahwa itu menunjukkan

masuknya batas status baligh bagi seorang anak yang berarti dia sudah mulai

dibebani pahala dan dosa (hukuman).

4. Stage IV: Meaning for the present

Pada stage seorang mufasir tugasnya mengaitkan teks dengan konteks saat ini.

Adapun hal-hal yang perlu dijelaskan terdiri dari:

a. Analysis of the present context

Masalah-masalah dan/atau kebutuhan-kebutuhan kekinian di sekolah yang

relevan dengan pesan-pesan dalam teks hadis tersebut antara lain adalah:

1) Adanya tuntutan pelaksanaan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak.

2) Metode pendidikan yang digunakan guru dalam mendidik anak untuk ṣalat

kurang menarik minat anak, karena cenderung konvensional (kebanyakan

ceramah).29

3) Banyaknya kasus kekerasan verbal dan kekerasan fisik yang terjadi di sekolah,

kurang lebih 6.006 kasus per Juli 2015.30

28

Ibnu Jauzy, ‘Aunul Ma’bud, jilid II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), hal. 114. 29

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di

Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 89-90. 30

Diana Rafikasari, KPAI: Kekerasan terhadap Anak Tembus 6.006 Kasus, (diambil dari

www.sindonews.com pada tanggal 21 November 2015, pukul 15.30 WIB).

Page 12: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 95

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

4) Adanya gempuran globalisasi seperti gadget, tayangan TV, dan internet yang

membuat anak terlalu asyik dengan dunianya sehingga lupa waktu ṣalat.

b. Present context versus socio-historical context

Islam datang ke Indonesia melalui jalan perdamaian, yaitu perdagangan,

perkawinan, dan kesenian.31

Sehingga dari awal sudah tertanam secara mendalam

prinsip kehidupan yang soft baik dalam ekonomi, politik, sosial, dan budayanya.

Terlebih saat ini dengan diberlakukannya UU No. 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak. Kalau dulu di Arab budaya kekerasan adalah hal biasa, maka

lain halnya dengan konteks Indonesia pada saat ini. Kekerasan pada anak adalah

suatu pelanggaran terhadap undang-undang yang notabene dibuat oleh pemerintah

dan DPR sebagai ulil amri yang harus ditaati menurut perintah Qur‟an suat An-

Nisā: 59.

c. Meaning from first recipients to the present

Menurut analisis penulis, terdapat beberapa nilai dari generasi pertama

yang tetap relevan untuk senantiasa dihayati dan dipedomani sampai saat ini.

Nilai-nilai tersebut antara lain:

1) Nilai keimanan, yaitu usaha meyakinkan peserta didik bahwa ṣalat adalah

perintah Allah SWT yang harus ditunaikan.

2) Nilai tanggung jawab, yaitu peserta didik diberitahu mana hak dan mana

kewajibannya yang harus dikerjakan.

3) Nilai kedisiplinan, yaitu peserta didik dibiasakan untuk istiqomah dalam

menunaikan ṣalat.32

d. Message: contextual versus universal

Menurut Saeed, pada tahap ini tugas seorang mufasir adalah

mengkomparasikan konteks saat ini dengan konteks teks, khususnya persamaan

dan perbedaannya. Oleh karena itu, agar mudah dipahami penulis membuatnya

dalam bentuk tabel sebagai berikut:

31

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban..., hal. 192. 32

Triwidyastutu, “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Hadist Perintah Ṣalat”, Skripsi, (Yogyakarta:

Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga, 2007), hal. 123.

Page 13: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 96

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Indikator Konteks Teks Konteks Aktual

Kondisi georafis Padang sahara yang

tandus dan gersang

Lahan hijau yang

subur

Kondisi sosial Bersaing, berebut

dan berperang

Gotong royong,

lembut dan harmonis

Hukum positif Belum ada UU PA Berlaku UU PA

Metode pendidikan Konvensional Active learning

Perkembangan anak Sederhana Kompleks

Berdasarkan tabel di atas, pemukulan terhadap anak sifatnya hanya

lokalitas Arab, sedangkan kewajiban untuk mendidik anak agar ṣalat sifatnya

universal.

e. Application today

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak

dapat dibagi menjadi tiga bagian. Untuk konteks hadis di atas, anak berada dalam

fase realistic stage. Pada tingkat ini pemikiran anak yang pada awalnya terbatas

pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan logika. Pada tahap ini

teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun

dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga pesan dalam hadis

tersebut tetap berlaku secara universal. Bahwa anak harus diberi pelajaran dan

dibiasakan melakukan ṣalat sebagai wujud penghambaan manusia kepada Allah

SWT sebagai penguasanya.33

Kemudian, tentang pemukulan terhadap anak yang tidak ṣalat. Hal ini

tidak bisa serta merta dilakukan secara literal begitu saja untuk konteks saat ini.

Harus direinterpretasikan, dari teks yang menyatakan “pukulah” diambil nilai elan

dasarnya yang universal bahwa harus ada punishment terhadap anak yang

meninggalkan ṣalat. Kemudian dikontekstualisasikan dengan berbagai cara yang

bervariasi sesuai kondisi anak serta tidak melanggar hukum yang berlaku (UU

PA). Dalam hal ini penulis menawarkan metode tarhīb atau menakut-nakuti.

Tarhīb adalah upaya menakut-nakuti mansia agar mau melakukan suatu

perbuatan. Hadis di atas tidak akan kehilangan esensi, karena landasan dasar tarhīb

adalah hukuman. Dengan memanfaatkan rasa takut pada diri anak, model tarhīb

tidak hanya mendidik mereka pada aspek akal dan jasmani saja, tapi juga hati serta

jiwa. Model ini memanfaatkan rasa takut pada diri peserta didik untuk menjadi

33 Firdaus, Urgensi Psikologi Agama dalam Pendidikan: Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Jurnal

Al-Adyan, Vol.IX, Juli-Desember 2014), hal. 34-35.

Page 14: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 97

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

takut yang bermakna. Dalam terma Islam disebut al-khauf, bukan takut yang

berlebihan karena pengecut, tapi rasa takut atas dasar iman yang menjadikan

dirinya istiqamah untuk menjaga diri dari suatu perintah.

Ungkapan tarhīb seperti “jika adik tidak ṣalat, maka adik termasuk orang-

orang yang rugi” (Q.S Ali Imran: 149) meskipun lahirnya berupa ancaman, tapi

secara psikologis akan menghasilkan tekanan positif yang menyebabkan otak akan

terlibat secara emosional dan memungkinkan sel-sel syaraf bekerja secara maksimal

untuk memikirkan bagaimana agar menjadi oarang yang beruntung, yaitu mau ṣalat.34

Akan tetapi, model tarhīb ini juga tetap perlu digaris bawahi, bahwa model

pendidikan mempengaruhi perilaku peserta didik. Tarhīb tidak terpaku hanya pada

wujudnya, tapi juga bagimana cara menyampaikannya yang tidak boleh melebihi

batas kewajaran dan diukur berdasarkan norma dan hukum yang berlaku.35

f. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang pendidikan

ṣalat yang diriwayatkan oleh Abu Daud pesan pada bagian awal matannya tentang

perintah mendidik anak untuk ṣalat berlaku universal. Sementara matan yang berisi

perintah untuk memukul anak yang tidak ṣalat sifatnya kasuistis untuk konteks

masyarakat Arab pada masa lampau. Tidak bisa serta merta digeneralisir apa lagi dalam

konteks dunia pendidikan Indonesia, sehingga harus dilakukan kontekstualisasi. Bahwa

kata “pukulah” mengandung makna bahwa harus ada punishment terhadap anak yang

meninggalkan ṣalat. Kemudian dikontekstualisasikan dengan berbagai cara yang

bervariasi sesuai kondisi anak serta tidak melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini

penulis menawarkan metode tarhīb atau menakut-nakuti anak akan akibat dari seseorang

yang meninggalkan ṣalat.

34

Sugihartono, dkk., Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2006), hal. 22. 35

Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hal. 118-

124.

Page 15: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 98

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2011). Metode Kritik Hadis. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Abi al-Fadl Jamaludin Muhammad bin Mukarram ibn Manzur al-Afriki al-Misri, Al-Alamah.

(1992). Lisān al-Arāb, Juz XIV. Beirut: Daar al-Shaadir.

Al-Azdi, Abu Daud Sulaiman bin al-„Asy‟as as-Sijistani. (1994). Sunan Abi Daud, Juz 1, No.

494. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Hashari, A.. (t.t.). Tarikh Al-slami. Beirut: Maktabah al-Kuliah al-Wujriyah.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. (2001). Koleksi Hadis-hadis Hukum 2. Semarang: PT. Pustaka

Rizki Putra.

Bisri, Adib Bisri dan Munawwir AF. (1999). Al-Bisri: Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-

Arab. Surabaya: Pustaka Progressif.

Chalil, Moenawar. (2001). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta: Gema Insani

Press.

Dahlan, Jurnal Afkaruna Vol. 9 No. 2 Juli-Desember.

Djazuli, A.. (2006). Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.

Firdaus. (2014). Urgensi Psikologi Agama dalam Pendidikan: Keluarga, Sekolah dan

Masyarakat. Jurnal Al-Adyan, Vol.IX, Juli-Desember.

Imron, Ali. (2012). Reinterpretasi Hadis Tarbawi Tentang Kebolehan Memukul Anak Didik.

Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam

Volume I, Nomor 2, Desember.

Jalaluddin as-Sayuthi, Al-Hafidzh. (1986). Asbab Wurud al-Hadits: Proses Lahirnya Sebuah

Hadis. Bandung: Pustaka.

Jauzy, Ibnu. (1990). ‘Aunul Ma’bud, jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Muhaimin. (2004). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama

Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mustaqim, Abdul. (2008). Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis.

Yogyakarta: Sukses Offset.

Rachmawan, Hatib. (2013). Hermeneutika Al-Qur’an Kontekstual: Metode Menafsirkan Al-

Qur’an Abdullah Saeed. Yogyakarta: Universitas Ahmad

Page 16: REINTERPRETASI KONSEP PUNISHMENT BAGI PESERTA DIDIK …

Jurnal I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini 99

Vol. 4 No. 01 Januari-Juni 2020

Rafikasari, Diana. (2015). KPAI: Kekerasan terhadap Anak Tembus 6.006 Kasus. Diambil

dari www.sindonews.com.

Rofik, Muhammad. (2010). Pengantar Pemahaman Ilmu Mantiq. Surabaya: Al-Miftah.

Saeed, Abdullah. (2006). Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach.

London dan New York: Routledge Publishing.

Shihab, M. Quraish. (2002). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati.

Sugihartono, dkk.. (2006). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sumbulah, Umi. (2008). Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-

Malang Press.

Supriyadi, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Syafri, Ulil Amri. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.

Triwidyastutu. (2007). “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Hadist Perintah Ṣalat”, Skripsi.

Yogyakarta: Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga.

Weinsinck, A. J. (1936). al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faaz al-Hadis al-Nabawi. Leiden: E.J.

Brill.

Yamin, Fatimah Yamin. (2015). Guru Pukul Murid Pakai Mistar Kayu Hingga Tewas.

Diambil dari www.kompas.com.