BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Situasi Krisis moneter yang melanda hampir semua belahan dunia di
pertengahan tahun 1997 sangat memukul perusahaan-perusahaan di Indonesia
dalam menjalankan roda usahanya. Biaya produksi kian membengkak, dan
tingginya suku bunga perbankan membuat dunia usaha tidak ada yang berani
meminjam uang di Bank. Di sisi lain, daya beli konsumen menurun tajam dan
persaingan usaha semakin ketat. Untuk itu, para manager perlu memiliki
kemampuan dan kreativitas menentukan berbagai alternatif untuk menemukan
jalan keluar dari krisis yang terjadi di Perusahaan, dari berbagai alternatif
tersebut paling sering dibicarakan orang adalah mengenai restrukturisasi
Perusahaan.
Restrukturisasi perusahaan dari aspek hukum hanya dapat dilaksanakan
pada Badan Usaha dengan status Badan Hukum (dalam hal ini Perseroan
Terbatas). Restrukturisasi perusahaan (Badan Usaha) dengan cara
Merger/penggabungan, Konsolidasi /peleburan, atau Akuisi( pengambilalihan)
hanya dapat dilaksanakan PT, tanpa mempengaruhi eksistensi diatas
perusahaan yang bersangkutan sebagai institusi. Lain halnya hal yang sama
diterapkan pada CV, oleh karena itu perangkat peraturan yang ada juga khusus
diajukan badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas. Menyikapi krisis
yang tidak juga membaik, Pemerintah kemudian mencetuskan sepuluh
langkah pemulihan ekonomi pada 3 September 1997 dan mendorong
pemerintah untuk meminta bantuan Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/ IMF), Bank Dunia (world bank), dan asian development bank
dengan komitmen diambilnya tindakan melikuidasi 16 Bank swasta pada
tanggal 1 November 1997.
Penyelamatan perekonomian Nasional, dilakukan dengan
melaksanakan tindakan restrukturisasi dunia usaha maupun Perbankan
1
Nasional oleh Pemerintah untuk membantu usaha di sektor riil melalui
perbaikan struktur pembiayaan perusahaan agar kemudian dapat di
kembalikan ke sektor perbankan yang pada akhirnya membantu proses
penyehatan perekonomian nasional.
Instrumen kepailitan merupakan salah satu upaya pemerintah di
samping berbagai kebijakan lainnya yang harus diperhitungkan ketika
membicarakan upaya pemulihan ekonomi Nasional. Perusahaan-Perusahaan
yang tidak berhasil direstrukturisasi maka akan berakhir di Pengadilan Niaga
dengan kasus Kepailitan. Oleh karena putusan pernyataan pailit terhadap suatu
Perusahaan menimbulkan dampak merugikan yang sangat luas baik bagi
negara maupun bagi masyarakat, yaitu antara lain mempengaruhi jumlah
pendapatan negara berupa pajak, menimbulkan putusnya hubungan kerja bagi
pegawai dan buruh, mempengaruhi kehidupan para pemasok dari Perusahaan
yang dipailitkan, mempengaruhi kehidupan para pedagang dan distributor
yang memperdagangkan dan mendistribusikan produk atau jasa yang
dihasilkan oleh Perusahaan yang dipailitkan. Untuk menghindari
kemungkinan timbulnya kerugian tersebut maka perlu dilakukan upaya
restrukturisasi sebelum putusan pailit dijatuhkan sepanjang debitor layak
untuk direstrukturisasi karena Perusahaan debitor masih memiliki prospek
usaha yang baik untuk mampu melunasi utang-utang tersebut dan pada akhir
masa restrukturisasi Perusahaan akan menjadi perseroan yang sehat untuk
dapat melanjutkan kegiatan usahanya.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana proses terjadinya restrukturisasi utang ?
2. Bagaimana upaya pelaksanaan restrukturisasi atau penyehatan perusahaan
Perbankan ?
3. Akibat hukum terjadinya restrukturisasi utang ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENCEGAH TERJADINYA KEPAILITAN
A. Penyebab Perlunya Restrukturisasi
Restrukturisasi hanya dapat dilakukan bila terjadi peristiwa sebagai berikut:
1. Perseroan sudah berada dalam keadaan tidak mampu membayar bunga dan/ atau utang pokoknya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
2. Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mendatang berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya.
3. Perseroan berdasarkan putusan pengadilan atau suatu arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap diwajibkan membayar utang atau ganti kerugian kepada pihak lain dan apabila perseroan memenuhi putusan pengadilan atau badan arbitrase tersebut, maka besarnya biaya pembayaran kewajiban itu dapat mengakibatkan perseroan kehilangan sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.
4. Perseroan sudah mengalami kerugian yang besarnya kerugian itu mengakibatkan perseroan kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.
5. Pada waktu tutup buku akhir tahun mendatang, perseroan diperkirakan akan mengalami kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.
6. Perseroan memiliki utang bermasalah yang besarnya setelah diperhitungkan dengan cadangan, masih akan mengakibatkan perseroan kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% dari modalnya.
7. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 500% dibandingkan besarnya modal perseroan.
8. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 200% dibandingkan dengan nilai jumlah harta kekayaan perseroan seandainya perseroan dilikuidasi karena dinyatakan pailit.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas aktiva Bank Umum juncto peraturan Bank Indonesia Nomor
8/2/PBI/2006 tentang Perubahan atas peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, menyebutkan
bahwa Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitor
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
3
a. Debitor mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/ atau bunga kredit.
b. Debitor memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya
restrukturisasi, adalah apabila debitor tersebut:
a. Bersedia bekerja sama (kooperatif) dan mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan utang.
b. Kredit yang diperoleh telah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan kebijakan serta prosedur perkreditan pada Bank.
B. Restrukturisasi Utang Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Rencana Perdamaian (Accord) dalam Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Dalam rencana perdamaian (accord) yang isi pokoknya mengenai
restrukturisasi utang diterima oleh kreditor lalu rencana perdamaian
tersebut berubah perdamaian atau perjanjian damai, dan perjanjian
perdamaian tersebut kemudian disahkan oleh atau di homologasi di
Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga hanya dapat menolak pengesahaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut UUK). Dalam hal Pengadilan Niaga menolak
perdamaian maka dalam hal yang sama debitor dinyatakan pailit, upaya
hukum atas putusan pailit yang demikian tidak ada.
Debitor yang memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan mengajukan rencana perdamaian. Oleh sebab itu perdamaian
merupakan elemen yang paling penting sekaligus merupakan tujuan dalam
suatu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sehingga tidak ada
gunanya dilakukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jika para
pihak tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan perdamaian. Undang-
Undang Kepailitan mengurusi perdamaian tunggal ini refleksi dalam hal-
hal sebagai berikut :
4
1. Para pihak hanya sekali saja dapat mengajukan rencana perdamaian Apabila rencana perdamaian ditolak, tidak dapat lagi diajukan rencana perdamaian di tengah jalan tetap dimungkinkan sebelum rencana perdamaian tersebut ditolak. Sebab, setelah rencana perdamaian tersebut ditolak, maka hakim pengawas wajib segera memberitahukan hal tersebut kepada Pengadilan Niaga dan paling lambat satu hari setelah pemberitahuan penolakan oleh hakim pengawas tersebut, maka debitor langsung dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
2. Prinsip perdamaian tunggal juga tercermin dari ketentuan dalam Pasal 292 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dalam Pasal 292 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa apabila ditolak perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan kemudian debitor dinyatakan pailit, maka dalam proses kepailitan tersebut tidak boleh lagi debitor mengajukan rencana perdamaian.
Jika rencana perdamaian diterima, maka hakim pengawas wajib
menyampaikan laporan tertulis, kepada pengadilan pada tanggal yang
telah ditentukan untuk keperluan pengesahan perdamaian, dan pada
tanggal yang ditentukan tersebut pengurus serta kreditor dapat
menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menerima atau menolak
rencana perdamaian. Pengadilan selanjutnya menetapkan tanggal
sidang untuk pengesahan perdamaian yang harus diselenggarakan
paling lambat 14 hari setelah rencana perdamaian disetujui oleh
kreditor. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan mengenai
pengesahan perdamaian wajib disertai alasan-alasannya. Perdamaian
yang telah disahkan berlaku terhadap semua kreditor yang terhadapnya
penundaan pembayaran berlaku. Apabila rencana perdamaian ditolak,
maka hakim pengawas wajib segera memberitahukan penolakan itu di
pengadilan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan tersebut
salinan rencana perdamaian serta risalah dan dengan demikian
Pengadilan harus menyatakan debitor pailit selambat-lambatnya 14
hari setelah Pengadilan menerima pemberitahuan penolakan hakim
pengawas.
Selanjutnya Pengadilan hanya dapat menolak untuk melakukan
pengesahan perdamaian, jika terbukti:
5
a. Harta debitor termasuk barang-barang untuk mana dilaksanakan hak retensi, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.
b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin. c. Perdamaian itu tercapai karena penipuan, atau sekongkol dengan
satu atau lebih kreditor karena pemakaian upaya-upaya yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
Apabila Pengadilan menolak mengesahkan perdamaian maka
dalam putusan yang sama Pengadilan wajib menyatakan debitor pailit,
dan putusan tersebut harus diumumkan dalam berita negara dan dalam
satu atau lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim pengawas
dan pengumuman itu juga harus memuat undangan untuk hadir pada
persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hari berikut
tanggal, nama dan waktu tersebut, nama hakim pengawas dan nama
serta alamat pengurus.
2. Penjadwalan Kembali Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai
Sarana Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) dimaksudkan hanya restrukturisasi utang debitor terhadap
pembayaran utang-utang debitor dengan tujuan agar perusahaan
debitor dapat sehat kembali. Bab II Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tidak berisi ketentuan-ketentuan mengenai restrukturisasi utang
atau recognization. Dalam bab tersebut tidak terdapat aturan-aturan
mengenai restukturisasi utang itu sendiri. Bab II tentang Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang itu hanya memberikan kesempatan
kepada debitor untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan
agar dapat melakukan negosiasi dengan para kreditor dalam jangka
waktu tidak lebih dari 270 hari mengenai pelunasan utangnya dan
bagaimana caranya mengajukan permohonan tersebut.
6
Proses restrukturisasi wajib ditempuh terlebih dahulu sebelum
debitor atau seorang kreditor dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor. Pengadilan wajib menolak
permohonan pailit sebelum ditempuh proses restrukturisasi utang.
Restrukturisasi hanya dapat atau boleh diajukan apabila terhadap utang
debitor memang layak untuk dilakukan restrukturisasi sebagaimana
terbukti dari hasil studi kelayakan yang dibuat oleh tim konsultan
Restrukturisasi yang independen, dan debitor dinilai oleh para
kreditornya memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya dan
memiliki sikap kooperatif terhadap para kreditornya. Restrukturisasi
dilakukan berdasarkan asas keseimbangan kepentingan antara debitor
dan kreditor dan berlandaskan asas keadilan dan kepatutan. Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang terdiri dari:
1. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) murni (voluntarily petition).
2. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak murni (involuntarily petition). Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) murni diajukan oleh debitor sebagai pemohon, tanpa menarik pihak lain (kreditor) sebagai termohon. Inisiatif berperkara ada pada debitor. Sedangkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak murni adalah permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor, inisiatif beperkara ada pada kreditor.
Permohonan PKPU dapat diajukan baik oleh kreditor maupun
oleh debitor sendiri. Permohonan PKPU diajukan oleh debitor sendiri
dalam hal debitor tersebut tidak dapat atau memperkirakan tidak akan
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan
dapat ditagih, ataupun diajukan oleh kreditor terhadap debitor yang
demikian tersebut ke Pangadilan Niaga. Pengajuan PKPU oleh debitor
maupun oleh kreditor ini disertai dengan adanya rencana perdamaian
dari pihak debitor. PKPU adalah suatu periode waktu tertentu yang
diberikan undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana
dalam periode waktu tersebut kepada kreditor dan debitor diberikan
kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-
7
utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan)
terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu
merestrukturisasi utangnya tersebut.”
Restrukturisasi utang adalah salah satu upaya yang diusahakan
dalam suatu perdamaian pada proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Yakni mengadakan perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditornya,
khususnya kreditor konkuren. Dalam rencana perdamaian tersebut,
pada umumnya debitor memohon kepada kreditor untuk
merestrukturisasi utang-utangnya.
Perlu diingat kembali, peranan Pengadilan Niaga sebagai
ultimun remidium, patut diakui bahwa kesempatan untuk melakukan
restrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam konteks Undang-Undang Kepailitan memang sangat terbatas.
Namun demikian, dengan adanya keharusan mencatat dan memelihara
kesehatan keuangan (good corporate governance atau financial
accountability) sebagaimana dimunculkan dalam kewajiban
memelihara pembukuan dan kenyataan bahwa kemacetan pembayaran
utang perusahaan swasta bukan suatu hal yang muncul tiba-tiba,
seharusnya pihak debitor maupun kreditor dapat segera
membandingkan catatan keuangan masing-masing.
“Potensi dan prospek dari usaha debitor harus dipertimbangkan
secara baik, jika debitor masih mempunyai potensi dan prospek
sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang
seharusnya masih diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang.
Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remidium.”
Lebih lanjut majelis hakim peninjauan kembali dalam menolak
putusan pernyataan pailit tersebut mengemukakan alasan sebagai
berikut: “dan bahkan terhadap utang debitor/ termohon pailit telah
diadakan restukturisasi menunjukan bahwa debitor masih mempunyai
potensi dan prospek untuk berkembang dan dapat memenuhi
8
kewajibannya kepada seluruh kreditor dan kemudian hari dan oleh
karena itu debitor/ termohon pailit merupakan a debtor is hopesessly in
debt.” Pasal 255 ayat (1) ditentukan bahwa putusan PKPU dapat
diakhiri, atas prakarsa Pengadilan dalam hal:
a. Debitor, selama PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya.
b. Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya.
c. Debitor melakukan pelanggaran ketentuan pasal 240 ayat(1).d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan
kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor.
e. Selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU.
f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya.
C. Resrukturisasi Atau Penyehatan Perusahaan Perbankan
Restrukturisasi adalah proses untuk secara terencana mengubah pola
perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya, agar dapat mencapai tujuannya
dengan lebih baik. Perubahan dipandang perlu dilakukan karena lingkungan
telah berubah, sementara kondisi internal perusahaan belum disesuaikan.
Perubahan yang akan dilaksanakan dapat meliputi manajemen umum usaha,
organisasi perusahaan termasuk sumber daya manusia, maupun sumber daya
keuangan dan teknologi. Restrukturisasi merupakan suatu bentuk transformasi
yaitu proses perubahan yang secara radikal dijalankan perusahaan untuk
memenuhi tantangan baru di masa mendatang yang bersifat radikal dan cepat
dikenal sebagai revolusi, yang bertahap dan lambat disebut evolusi, dan yang
mencakup perubahan tatanan struktural dan integral vertikal disebut
restrukturisasi, sedang yang berfokus pada perubahan proses alir horizontal
dalam kerangka “value chain” proses bisnis dipopulerkan oleh champy
sebagai “business process reengineering”(rekayasa ulang proses bisnis).
Faktor penyebab krisis dapat dikategorikan menjadi dua : faktor
eksternal (global) dan internal. Faktor internal disebabkan oleh
“mismanagement” baik di sektor mikro maupun makro. Banyak pelaku
9
ekonomi melakukan kegiatannya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip
ekonomi yang benar. Perusahaan yang sedang melaksanakan restrukturisasi
tidak selalu berarti perusahaan itu sedang mengalami kesulitan dalam
keuangan yang berat. Pada masa sulit ekonomi sekarang ini kebetulan banyak
perusahaan yang sedang dalam proses restukturisasi karena menghadapi
kesulitan keuangan yang mengancam kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya
alasan dan latar belakang termasuk pilihan untuk melakukan restrukturisasi
perusahaan adalah alasan dan pemikiran yang bersifat ekonomis dan
manajerial. Berdasarkan alasan ekonomis dan alasan lain yang sifatnya non
yuridis, maka cara restrukturisasi apakah yang akan dipilih, hukum menjadi
pertimbangan akhir dan sebagai pengaman apakah tindakan-tindakan menuju
restrukturisasi perusahaan yang dipilih cukup aman atau tidak dari sisi hukum.
Aman dalam pengertian yang sah, tidak melanggar ketentuan Undang-Undang
dan tidak juga melanggar hak dan kepentingan-kepantingan pihak-pihak lain.
Mengingat pentingnya restrukturisasi perusahaan bagi kelangsungan
hidup suatu perusahaan, agar kegiatan perusahaan dapat berjalan sebagai
mestinya, beberapa ketentuan hukum yang tersedia, secara mendasar
mempunyai tujuan dan sasaran tertentu, yaitu untuk menjaga tetap terjaminnya
keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Diharapkan melalui program
restrukturisasi ini dapat dibangun kembali sistem perbankan yang sehat, kuat
dan mampu mencegah terjadinya krisis dimasa yang akan datang dan
mengaktifkan kembali fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi
pengembangan usaha dengan suatu restrukturisasi. Dalam hal untuk
menghindari putusan pailit perusahaan perbankan perlu melakukan upaya
restrukturisasi atau penyehatan terhadap perusahaan, yang dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Restrukturisasi Manajemen Umum
Restrukturisasi manajemen umum perusahaan dilaksanakan dalam
upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan usaha yang dinilai telah
berubah. Perubahan itu ditanggapi dengan perubahan visi, misi, dan srategi
usaha. Ada kalanya perubahan dilakukan pada tingkat manajemen puncak
10
yang memerlukan konsen para pemegang saham. Hal itu terjadi dalam
kasus perusahaan yang tumbuh berkembang dengan cara menggabungkan
dengan perusahaan lain, atau pembentukan mengakuisisi perusahaan lain,
atau pembentukan suatu holding company.
2. Restrukturisasi Korporat
Peluang bisnis yang sangat menarik dan didukung oleh kondisi
internal yang ada dapat mendorong manajemen perusahaan untuk
menggabungkan perusahaan dengan perusahan lain yang berbadan hukum
sendiri. Penerapan manajemen dan teknologi yang lebih maju dan
sebagainya. Dalam situasi yang demikian dapat dilakukan :
a. Pembentukan Sebuah Perusahaan Holding (holding company)
Perusahaan holding ini akan menjadi eksis sebagai badan hukum.
Perusahaan holding ini akan berperan sebagai perusahaan yang
melakukan investasi penyertaan pada 2 atau lebih perusahaan lain
sebagai operating companies. Dalam pelaksanaanya, saham
perusahaan holding praktis mengendalikan kegiatan anak perusahaan,
meskipun secara hukum anak perusahaan ini adalah badan hukum.
b. Akuisisi
Dalam dunia bisnis, yang dimaksud dengan akuisisi adalah setiap
perbuatan hukum untuk mengambil seluruh atau sebagian besar saham
dan/ atau aset dari perusahaan lain. Akuisisi terjadi jika suatu
perusahaan membeli mayoritas saham perusahaan lain langsung dari
para pemegang saham. Perusahaan yang membeli mempunyai hak
suara yang akan mampu mengendalikan perusahaan yang sebagian
sahamnya telah di beli secara legal, meskipun secara operasional telah
dikuasai oleh perusahaan yang membeli.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas Pasal 103 ayat (1) dan (2) menyatakan :
1. Pengambilalihan perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan.
2. Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui pengambilalihan seluruh atau sebagian besar
11
saham yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.
Kemudian diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1998 Tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas Pasal 1 angka 3 dalam peraturan pemerintah ini
yang dimaksud dengan :
“Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih baik seluruh
atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.”
Menurut Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, menyatakan bahwa akuisisi Bank adalah pengambilalihan
kepemilikan suatu Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Bank, berkaitan dengan kemampuan untuk menentukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun,
pengelolaan dan atau kebijakan Bank. Pengambilalihan dapat berupa
pembelian sebagian atau seluruhnya saham-saham dari perusahaan
lain. Masing-masing perusahaan, baik perusahaan yang mengambilalih
maupun perusahaan yang diambilalih tetap mempertahankan
aktivitasnya, identitasnya, dan kedudukannya, sebagai perusahaan-
perusahaan yang mandiri.
c. Merger
Merger dapat diartikan sebagai penyatuan atau penggabungan 2
(dua) perseroan atau lebih dengan cara menggabungkan diri menjadi satu
dengan perseroan yang telah ada. Merger terjadi apabila sebuah
perusahaan mengambilalih semua kegiatan operasi perusahaan lain dan
perusahaan yang diambilalih ini dibubarkan. Yang masih ada sesudah
proses merger adalah perusahaan yang membeli perusahaan lain. Dalam
hal ini perusahaan yang membeli ini benar-benar memiliki seluruh aset
eks perusahaan yang dibeli.
12
Merger diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas mengenai merger dan konsolidasi diatur pada pasal
102 sampai dengan pasal 109. Menurut Pasal 102 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas merger
adalah : “satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi
satu dengan perseroan yang telah ada atau meleburkan diri dengan
perseroan lain dan membentuk perseroan baru.”
Sementara, pendefinisian merger menurut bidang hukum,
khususnya merger pada sektor perbankan antara lain terdapat dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 278/KMK.01/1998 tentang
Peleburan dan Penggabungan Usaha Bank, dikatakan bahwa merger
adalah penggabungan dari 2 (dua) Bank atau lebih dengan cara
mempertahankan berdirinya salah satu Bank dan melikuidasi Bank-Bank
lainnya. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 yang
telah diubah dan disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, Pasal 1 angka 25 Jo. PP Nomor 28 Tahun 1999, Pasal 1
angka 2 Jo.SK Direksi BI No.32/51/KEP/DIR Pasal 1 huruf b
menyatakan merger adalah penggabungan antara 2 Bank atau lebih,
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Bank, dan
membubarkan Bank-Bank lainnya dengan atau tanpa likuidasi.
Dari pengertian merger tersebut, tersirat bahwa adanya
penggabungan dari dua Bank atau lebih, dan membubarkan Bank-Bank
lainnya dengan atau tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Dilihat dari segi
hukum, kata likuidasi yang telah menyertai merger tersebut diatas,
paling tidak mempunyai maksud tersendiri. Bahwa pengertian likuidasi
paling tidak mempunyai tiga pengertian, yaitu realisasi tunai,
pengakhiran suatu perusahaan dengan cara pengkoversian tersebut serta
merupakan suatu cara penyembuhan yang tersedia bagi debitor yang tak
bisa membayar kewajiban-kewajibannya. Pembubaran tidak berarti
identik dengan berakhirnya suatu eksistensi perseroan, suatu perseroan
13
setelah diucapkannya pembubaran (likuidasi) dan hak yang dimilikinya
harus direalisasikan dan kewajiban harus dipenuhi.
d. Konsolidasi
Konsolidasi diartikan penggabungan dua perseroan atau lebih
dengan cara membentuk perseroan yang baru dan membubarkan
perseroan yang bergabung tadi. Jadi, beberapa perseroan yang ada
bergabung atau menyatukan diri menjadi perseroan baru, dimana hak
dan segala kewajiban perseroan yang ada diambil oleh perseroan baru
yang dibentuk. Konsolidasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Pasal 102 sampai Pasal 109
yang kemudian diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1998 Pasal 1 angka 2 menyatakan : “Peleburan adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri
dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-masing
perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar”
Tindakan konsolidasi atau peleburan perusahaan sebenarnya
merupakan tindakan yang sangat tidak populer dalam praktek. Sehingga
sehari-hari hampir tidak pernah terdengar adanya tindakan konsolidasi
tersebut. Karena dengan konsolidasi menyebabkan harus dibuatnya
perusahaan baru dengan izin-izin baru, administrasi baru dan
pembentukan image perusahaan yang baru pula. Hal ini tidak ekonomis
dari segi tenaga, waktu dan biaya. Sementara dengan merger masih ada
satu perusahaan lama yang masih eksis, dan dengan tindakan akuisisi
kedua perusahaan (perusahaan pengakuisisi dan perusahaan yang
diakuisisi) bahkan masih tetap eksis.
e. Restrukturisasi Portofolio Usaha
Dalam upaya peningkatan daya saing perusahaan, manajemen
dapat memutuskan untuk membuka atau menutup bidang usaha tertentu,
atau mengelompokan bidang usahanya ke dalam kelompok yang baru.
Pada hakekatnya yang menjadi pokok masalah disini menyangkut
pengelolaan. Dalam hal ini, kepengurusan yang diambil biasanya tidak
14
perlu melibatkan pemegang saham, meskipun pada akhirnya tetap harus
dipertanggung jawabkan oleh manajemen.
f. Restrukturisasi Organisasi
Perubahan lingkungan bisnis (globalisaasi dan teknologi) sangat
sering menuntut perubahan organisasi perusahaan. Perubahan organisasi
diperlukan karena perubahan visi dan misi manajemen pada gilirannya
juga mendorong perlunya perubahan strategi, maka perusahaan strategi
biasanya menuntut dilakukan perubahan organisasi. Dewasa ini banyak
perusahaan yang melakukan perubahan organisasi agar lebih adaptif
terhadap perusahaan lingkungan. Struktur organisasi yang dipandang
cocok dengan lingkungan massa depan adalah organisasi yang flat (tidak
terlalu banyak jenjang), berorientasi pada proses, dan menekankan pada
pentingnya bekerja didalam tim yang cross-fungsional. Sementara
sruktur organisasi yang umumnya ada pada saat ini adalah fungsional,
berjenjang banyak, dan berkotak-kotak.
g. Restukturisasi Operasi/ Produksi
Restrukturisasi operasi biasanya didorong oleh munculnya
sistem, manajemen baru yang didukung oleh penerapan teknologi
informasi yang canggih. Sistem ini akan mampu menghasilkan nilai
tambah yang tinggi bagi perusahaan karena efisien dan mampu
memuaskan konsumen dengan lebih baik. Dalam hal ini, restrukturisasi
yang dilaksanakan masih dalam domain kekuasaan dan tanggung jawab
manajemen, sehingga para pemegang saham tidak banyak dilibatkan.
D. Akibat Hukum Terjadinya Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi utang dan penyehatan perseroan adalah awal dari upaya
menghindari putusan pailit. Bukan hanya pemegang saham saja yang
berkepentingan terhadap kelangsungan hidup perseroan, tetapi banyak pihak
lain yang berkepentingan terhadap kelangsungan hidup perseroan, bahkan
pihak-pihak tersebut menggantungkan hidupnya pada kelangsungan hidup
perseroan tersebut pihak-pihak tersebut adalah:
1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh debitor.
15
2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja oleh debitor. 3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada debitor. 4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa
debitor, baik mereka itu selaku konsumen maupun selaku pedagang. 5. Para pemegang saham dari perseroan debitor, lebih-lebih lagi apabila
perseroan itu merupakan perseroan publik karena pada perseroan publik (Perseroan Terbuka) banyak pemegang saham yang merupakan investor publik.
6. Masyarakat yang menyimpan dana dari Bank dalam hal yang dinyatakan pailit oleh Bank.
7. Para pemegang polis dalam hal debitor merupakan Perusahaan Asuransi. 8. Masyarakat yang memperoleh kredit dari Bank yang akan terpaksa
mengalami kesulitan apabila Banknya dinyatakan pailit.
Dengan kata lain, kepentingan publik sangat dirugikan dengan adanya
pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga. Pada hakikatnya restrukturisasi utang
hanya bisa diajukan terhadap utang debitor apabila menurut hasil studi
kelayakan yang dibuat oleh tim konsultan restrukturisasi yang independen
terhadap utang debitor layak untuk dilakukan restukturisasi, disamping debitor
menurut penilaian para kreditornya memiliki itikad baik untuk melunasi
utangnya dan memiliki sikap kooperatif terhadap para kreditornya itu.
Sementara itu perlu ditegaskan bahwa restrukturisasi utang yang mengikat
bagi semua kreditor, baik yang ikut maupun yang tidak ikut dalam negosiasi
untuk tercapainya kesepakatan mengenai restrukturisasi baik kreditor
konkuren maupun kreditor yang dijamin dengan haknya dengan hak jaminan,
yaitu gadai, hak tanggungan dan hipotik. Sejak saat diterimanya permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitor, maka terjadilah
beberapa akibat hukum terhadap debitor yang bersangkutan, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK), akibat hukum
tersebut adalah:
1. Status Hukum Debitor
a. Debitor Kehilangan Independensinya
Berbeda dalam proses kepailitan dimana pihak debitor pailit sama
sekali tidak berwenang untuk mengurus harta bendanya dan kewenangan
tersebut diambilalih oleh pihak kurator, tetapi dalam hal Penundaan
16
Kewajiban Pembayaran Utang, debitor tetap masih berwenang untuk
mengurus harta pailit. Bahkan banyak hal, inisiatif untuk mengurus
harta, seperti untuk meminjam uang mengalihkan harta dan sebagainya
tetap berada di tangan debitor, bahkan juga usaha masih tetap saja
berjalan. Namun debitor kehilangan kebebasannya dalam menguasai
kekayaanya.
Hanya saja dalam bertindak, khususnya yang menyangkut
dengan kepengurusan atau hak atas kekayaanya pihak debitor tidak lagi
independen seperti sebelum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sebab dalam bertindak sebagai “kembar siam” atau “dwi tunggal”.
Dalam hal ini pihak debitor tidak boleh sekali-kali melanggar prinsip
dwi tunggal tersebut. Sebab, pelanggarannya memberikan
kewenangannya kepada pengurus untuk melakukan segala sesuatu yang
diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tersebut tidak
dirugikan karena tindakan debitor yang bersangkutan. Kewajiban debitor
tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus tidak akan mengikat harta
debitor kecuali sepanjang menguntungkan harta debitor.
b. Keadaan Diam
Pasal 242 ayat (1) UUK menentukan bahwa selama berlangsungnya
PKPU debitor tidak dapat dipaksa membayar utangnya, kecuali apabila
pembayaran dilakukan kepada semua kreditor, menurut pertimbangan
besarnya piutang masing-masing, dan semua tindakan eksekusi yang
telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan.
Pasal 242 ayat (2) UUK menentukan bahwa kecuali telah
ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh pengadilan berdasarkan
permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan akan gugur dan
dalam hal debitor disandera, debitor harus dilepaskan segera pada waktu:
1. Setelah ditetapkan putusan PKPU tetap (namun tidak ditentukan status penyitaan setelah putusan PKPU sementara).
2. Setelah putusan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Adanya permintaan pengurus atau hakim pengawas.
17
2. Status Perjanjian
a. Perjanjian Timbal Balik
Pasal 249 ayat (1) UUK mengatur pada saat putusan PKPU
ditetapkan, maka pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor
dapat meminta kepada pengurus untuk memberikan kepastian tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang
disepakati oleh pengurus dan pihak tersebut.
Pada ayat (3) dari Pasal 249 ini, ditentukan bahwa apabila
dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas maupun
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengurus dengan pihak yang
berkepentingan, ternyata pengurus tidak memberikan jawaban atau
tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka
perjanjian tersebut menjadi berakhir dan pihak yang bersangkutan
dapat menuntut ganti rugi sebagai kreditor konkuren. Sebaliknya
menurut ayat (4), apabila pengurus bersedia melanjutkan perjanjian
tersebut. Namun tehadap perjanjian yang mewajibkan debitor
melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan, maka ketentuan-
ketentuan tersebut diatas, tidak berlaku, demikian ditentukan pada
Pasal 249 ayat (5) UUK.
b. Perjanjian Penyerahan Barang
Pasal 250 UUK mengatur bahwa dalam hal perjanjian
penyerahan benda yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka
waktu dan sebelum penyerahan dilakukan, telah diucapkan putusan
PKPU sementara, maka perjanjian menjadi hapus dan dalam hal pihak
lawan dirugikan karena penghapusan tersebut, maka ia boleh
mengajukan diri sebagai kreditor yang konkuren untuk mendapatkan
ganti rugi. Sebaliknya, apabila disebabkan penghapusan tersebut, harta
debitor menderita kerugian, maka pihak lawan yang berkewajiban
menderita kerugian tersebut.
18
c. Perjanjian Sewa-menyewa
Dalam hal debitor menjadi penyewa suatu benda, maka debitor
dengan persetujuan pengurus, dapat menghentikan perjanjian sewa
dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum
berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Dalam
hal dilakukan penghentian masa sewa tersebut, maka harus diindahkan
jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman dengan
ketentuan bahwa jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari adalah cukup.
Namun dalam uang sewa telah dibayar di muka, maka perjanjian
sewa tidak dapat dihentikan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa
yang telah dibayar, dan untuk masa sewa yang belum dibayar, maka
sejak hari putusan PKPU sementara diucapkan, uang sewa tersebut
merupakan utang harta debitor.
d. Perjanjian Kerja
Pasal 252 UUK mengatur mengenai status hukum perjanjian
kerja sehubungan dengan belakunya PKPU. Menurut Pasal 252 ayat
(1) UUK, segera setelah PKPU dimulai, debitor berhak memutuskan
hubungan kerja dengan karyawannya. Pelaksanaan pemutusan
hubungan kerja itu harus dilakukan dengan mengindahkan jangka
waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang
berlaku dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat
diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya.
Menurut Pasal 252 ayat (2), sejak mulai berlakunya PKPU
sementara maka gaji, utang, harta debitor dan biaya lain yang timbul
dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta debitor. Apabila
pihak kreditor atau yang mewakili kreditor yang minta debitor
dipailitkan, maka pihak debitor dapat pada waktu yang bersamaan
minta agar terhadapnya diberikan putusan tentang Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, dan menurut Pasal 229 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, apabila
permohonan pernyataan pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban
19
Pembayaran Utang harus diperiksa pada saat yang bersamaan,
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus diperiksa
terlebih dahulu. Akan tetapi jika debitor sudah langsung minta dirinya
dipailitkan, tentu dia tidak bisa meminta agar diputuskan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Hanya dia bisa meminta perdamaian
(accord) dalam proses kepailitan.
e. Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Menurut Pasal 255 ayat (1) UUK, PKPU dapat diakhiri atas
permintaan hakim pengawas, satu atau lebih kreditor, atau prakarsa
Pengadilan Niaga dalam hal :
a. debitor selama waktu PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya, debitor melakukan tindakan pengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan dari pengurus;
c. debitor melakukan tindakan pengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan dari pengurus;
d. debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan Niaga pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor;
e. selama waktu PKPU, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU;
f. keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor pada waktunya.
Dalam hal keadaan yang disebutkan pada huruf a dan e, maka
pengurus wajib mengajukan permohonan pengakhiran PKPU. Dalam
pemeriksaan di pengadilan, pemohon, debitor dan pengurus harus
didengar setelah dipanggil sebagaimana mestinya. Permohonan
pengakhiran PKPU ini harus selesai diperiksa dalam jangka waktu 10
hari setelah permohonan pengakhiran diajukan dan putusan pengadilan
harus diucapkan dalam jangka waktu 10 hari setelah pemeriksaan
selesai dilakukan. Putusan mana harus memuat alasan yang menjadi
dasar putusan tersebut. Jika PKPU yang diberikan kepada debitor
harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam hal terjadinya kepailitan terhadap suatu perusahaan, restrukturisasi
utang merupakan salah satu cara yang harus dilakukan oleh perusahaan
debitor untuk mencegah agar jangan sampai perusahaan tersebut
dipailitkan oleh para kreditornya, dengan restrukturisasi utang maka
perusahaan debitor dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap
harta kekayaannya dalam hal perusahaan debitor diputus pailit.
Restrukturisasi utang dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terjadi melalui rencana perdamaian yang diajukan perusahaan debitor
kepada kreditornya, khususnya kreditor yang konkuren mengenai diterima
atau ditolaknya perdamaian tergantung pada pertimbangan kreditor dengan
memperhatikan kondisi perusahaan yang bersangkutan.
2. Restrukturisasi perusahaan merupakan upaya yang dilakukan perusahaan
perbankan yang mengalami kesulitan ekonomi, yang dilakukan dengan
cara melakukan pembenahan, terhadap perusahaan baik yang menyangkut
manajemen, visi, misi, strategi, struktur organisasi, teknologi yang
digunakan oleh perusahaan guna bertujuan untuk menyehatkan
perusahaan. Selain itu restrukturisasi Bank juga dapat dilakukan dengan
cara merger, akuisisi dan konsolidasi dengan Bank lain.
3. Akibat hukum dari restrukturisasi utang adalah perusahaan akan
kehilangan indenpendensinya, selain itu jika perusahaan telah pailit maka
PKPU tidak dapat lagi dimohonkan, apabila PKPU tetap berlangsung
maka debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang dan pelaksanaan
eksekusi dapat ditangguhkan jika tercapai perdamaian antara debitor dan
kreditor maka PKPU ini akan berakhir dan disahkan oleh Pengadilan
Niaga, akan tetapi PKPU tersebut dapat berakhir apabila tidak tercapai
perdamaian sehingga perusahaan debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga.
21
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Agus, 2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Chatamarrasjid, 2000, Menyikapi Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya, Bandung.
Gunadi, 2002, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, Salemba Empat, Jakarta.
Hartono, Siti Soemarti, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran Sesi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.
Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung.
Sudibyo, Placidus, 1998, Restrukturisasi Perusahaan, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Restrukturisasi Perusahaan, Semarang.
Sutantyo Hadikusuma, dan Sumantono, 1991, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Suwito, 1998, Seminar Nasional Restrukturisasi Perusahaan, Makalah, Semarang.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 atas Perubahan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
www.google.com, kedudukan lembaga restrukturisasi utang, www.unisba.ac.id/kepustakaan/reny/skripsi/hukum/5.pdf www.google.com Restrukturisasi Utang Sebagai Penyelesaian www.BUMN.II.com/library/0000085capt-taspen.pdf
22
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENCEGAH TERJADINYA KEPAILITAN
Program Studi
Magister Kenotariatan
Oleh :
DHITYA HERINDRA ERYAWAN, SH
11010211400060
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
S E M A R A N G
2012
23