1
ANALISIS SENI RUPA POSMODERN DI INDONESIA MELALUI POSSTRUKTURALIS DERRIDA
Mujiyono ∗
Abstrak
Menyikapi seni posmodern yang menyajikan beragam warna, beragam bentuk, dan berbagai idiom estetik adalah persoalan yang penuh kontradiksi terutama dalam bahasa simbol yang dipergunakan sehingga memunculkan indeterminasi, ketidakpastian, dan kegalauan kode. Secara semiotika, khususnya dari kacamata postrukturalisnya Derrida, lewat pintu dekonstruksinya, kita akan bisa menerawang, bahwa fenomena seni posmodern dengan melimpahruahnya simbol adalah sebuah upaya untuk menghadirkan ruang berpikir yang lebih luas, yang mampu membuka cakrawala penafsiran secara tidak terbatas dengan berbagai dimensi perspektif. Terjadi demikian karena hubungan penanda dan petanda tidak akan pernah stabil atau absolut yang terjadi adalah jejak-jejak dari makna yang sebenarnya yang tidak akan pernah ketemu. Kode kultural yang digunakan untuk memaknai karya seni posmodern itu sendiri juga harus bersifat lentur sehingga seni itu sendiri tidak terjebak pada era posmodernitas. Ini adalah sebuah strategi adaptif seni posmodern agar tidak mengalami kematian seperti yang terjadi pada seni modern.
Kata kunci: posmodern, penanda, petanda, dan kode kultural
Pendahuluan
Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu
negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik.
Posmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-
ide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Posmodernisme merupakan sebuah konsep periodisasi yang berfungsi untuk menghubungkan
munculnya bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial
dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat
pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan, atau kapitalisme multinasional.
Etos posmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka
menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus
(partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Posmodernisme menolak penekanan kepada
penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk
menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, posmodernisme adalah anti-modern (Piliang 2003).
∗ Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
2
Implikasinya, adalah tampilnya beragam bentuk kultural yang tampil ke hadapan masyarakat.
Banyak seniman posmodern menggabungkan keanekaragaman bentuk dengan teknik pencampuradukan.
Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida
menegaskan “collage” sebagai bentuk utama dari wacana posmodern. Perlahan namun pasti, "collage"
menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat
heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para
pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.
Seniman posmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang seniman modern karena
kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya).
Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman dari
hasil karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. Bagi mereka,
"seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka.
Seniman posmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang
diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus ditolak
karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya posmodern
karena tidak ada kedalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk
masa kini. Gaya dan sejarah dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan posmodernisme sangat
kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali. Perubahan esensi itu juga merubah apa yang
dulunya dianggap sebagai utopia menjadi heterotopia. Utopia bagi Vattimo berarti bahwa seni selalu
diarahkan untuk menjadi semacam rehabilitasi (Vatimo 2003).
Seni dengan demikian tidak lagi berarti sebagai yang selalu mempertahankan harmoni dan
kesempurnaan karyanya. Untuk itu seni selalu dirancang, didesain supaya bisa tampil sempurna dan
mempunyai standarnya sendiri. Perubahannya menjadi heterotopia terlaksana seiring dengan
tersingkapkannya bias ideologis Barat sebagai ukuran yang dipakai untuk kesempurnaan seni itu.
Kesadaran ini mendistorsikan utopia dan mentransformasikannya menjadi arahan untuk menyingkapkan
kemampuan suatu karya dalam membuat dunia maknanya sendiri, komunitasnya sendiri.
Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah
menggantikan model "universe" dari modernisme. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti
sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.
Dengan demikian, apa yang segera tampak adalah sebuah keadaan dilematis. Diskursus
posmodernisme di atas, mampu menyediakan kawasan yang sangat luas bagi seni posmodernisme untuk
mengembara di dalam keanekaragaman idiom estetik, kekayaan budaya rupa, dan makna-makna aneka
ragam dan ketidakmungkinan ungkapan yang ada sebelumnya memasuki kawasan yang tabu sakral.
Disamping itu, juga mampu menjauhkan dari segala hal kemapanan, kebuntuan, keangkuhan,
3
imperaialisme, dari cengkraman logosentrisme, erosentrisme, yang mewarnai seni dominan dan hegemonik
modernisme sebelumnya. Sehingga dalam hal ini seni posmodern mampu bersifat konstitutif yang berarti
membangun sebuah dunia makna baru.
Namun, di lihat dari pihak lain, kehadiran seni ini adalah sarat dengan tuduhan-tuduhan yang
subversif, anarkhis, moral, ekstasi, schizopfrenik, miskin kreativitas dan inovasi. Aturan-aturan yang telah
ada seolah-olah dihancurkan, yang dulunya karya seni itu harus menyenangkan, sekarang malah bisa
sebaliknya. Yang dulunya karya seni itu setidaknya masih mempertimbangkan etika sosial, etika agama
atau etika-etika yang lain, namun sekarang mungkin kesemuanya itu bisa jadi hanya sebagai aturan usang.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Piliang (2003: 33), seni posmodern adalah kekaburan batas-batas
antara seni, kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum kehidupan
sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara hal-hal yang tampak dalam kehidupan
sehari-hari tampak begitu indah dan estetis. Seni posmodern lebih bersifat disorientatif yang berarti tidak
tertuju pada suatu arahan tertentu. Atas dasar itulah, tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan gejala dan
menjawab pertanyaaan itu dari sudut pandang semiotika khususnya berdasarkan perspektif semiotika
postrukturalis Derrida lewat dekonstruksinya. Sebuah awal diskursus yang masih membutuhkan dialektika
secara kontinu.
Semiotik dan Pengkodean
Semiotika, yang berasal dari kata Yunani “semeion” atau tanda kerap diartikan sebagai ilmu tanda.
Perintis semiotika adalah Ferdinand de Sausure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1830-
1914)(Sachari 2005:62). Tanda menurut Pierce dibagi menjadi menjadi tiga yaitu: ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah tanda yang bentuknya ada hubungan kemiripan antara penanda dan petanda. Indeks
adalah tanda yang hubungan antara petanda dengan penanda dikarenakan hubungan sebab akibat
sedangkan simbol adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan konsensus atau
kesepakatan sosial bukan sebuah hubungan ilmiah.
Menurut Sausure simbol dibagi menjadi dua unsur yaitu: terdiri dari petanda dan penanda. Makna
adalah apa-apa yang ditandakan, yakni kandungan isi. Hubungan antara penanda dan petanda adalah
arbiter (diada-adakan),sebab tidak ada keterkaitan logis namun mempunyai sifat stabil menjadi sebuah
konvensi, dengan pengertian ia berada tetap pada posisi yang disepakati komunitas tersebut, misalnya,
antara kata pohon dan sebatang pohon yang nyata, maka untuk komunitas tersebut penanda pohon tidak
akan tergantikan oleh kata lain. Menurut Piliang (2003:176), hal ini tampak idealismenya bahwa individu
hanya sekedar pengguna dari kode sosial tersebut. Dengan lebih memfokuskan pada strukturnya tanpa
4
mengabaikan sejarah perkembangannya dan artikulasinya dan strukturalisme tidak menaruh pada
hubungan sebab akibat, hanya lebih memusatkan perhatian pada kajian relasi struktur.
Untuk dapat memahai sebuah simbol maka diperlukan sebuah kode. Kode adalah cara
pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari
seseorang ke orang lain. Seperti apa yang diungkapkan Berger (2000) bahwa kode itu bersifat koheren,
rahasia, nyata, jelas, kultur, berkelanjutan, dan luas atau meliputi banyak hal. Stuart Hall (1981)
mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan
oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan sebuah
karya. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi
mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi,
penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya.
Semiotik yang diungkapkan oleh Pierce maupun Saussure bersifat struktural yang mengandung
kelemahan. Hal ini sudah tidak lagi mampu dijadikan alat bedah karena realitas yang selalu dijadikan
referensi itu selalu mengalami perubahan yang sangat cepat. Karena keterbatasan konsep strukturalisme
tersebut, maka beberapa pemikir postrukturalis mencoba mengembangkan berbagai konsep rantai
pertandaan. Untuk dapat memberikan analisis yang lebih tepat, maka penulis lebih condong mengikuti
analisis semiotik postrukturalis Derrida seorang filsuf Prancis (lahir di Aljazair 1930) yaitu dengan
mengatakan menolak adanya metafisika “Ada” yaitu sebuah ideologis kode yang sulit untuk dirubah
sehingga setiap penanda akan mengacu pada sebuah petanda yang cenderung tetap. Derrida lebih suka
menyangkal hubungan yang bersifat oposisi biner seperti benar/salah, depan/belakang, ada/tidak ada dan
penolakan akan kebenaran ideologi tersebut itu sendiri (Derrida 2002).
Derrida dengan rumusnya, “dekonstruksi” mencoba membongkar struktur semiotik Sausure
tersebut sehingga yang terjadi hubungan antara penanda dan petanda bukanlah sebuah kode yang
idealistik yang stabil tetapi lebih merupakan perjalanan tanpa akhir dan batas dari penanda satu ke
penanda lain (atau tidak akan pernah ditemukan makna stabil). Sebuah penanda tidak akan mungkin
sampai terminal atau tujuan akhir. Jadi yang dicari dari makna sebuah karya bukanlah makna akan tetapi
jejak (trace) atau efek makna (Piliang 2003:139).
Kultur jaman sekarang ini ditandai pola gaya hidup yang cepat berubah dengan berbagai citraan
yang mampu menyajikan makna secara cepat (Piliang 2002:10) sehingga hubungan antara penanda dan
petanda juga mengalami perubahan yang cepat pula bahkan yang terjadi adalah hubungan menjadi kabur.
Hal inilah yang dapat ditarik sebagai basis logika bahwa kehadiran citraan berarti kehadiran makna yang
jumlahnya bisa ribuan bahkan jutaan. Kehadiran produk baru berarti kehadiran penanda sehingga
menghasilkan petanda yang berarti menyajikan makna.
5
Oleh karena itu, untuk menganalisis berbagai fenomena simbol seni posmodern kita bisa
menggunakan pendekatan kode budaya (cultural code) yang telah diajukan Berger. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Sachari (2005:67) cultural codes meliputi kajian semiotik terhadap sistem nilai,
kebiasaan, adat, tipologi kebudayaan, model kebudayaan, model organisasi sosial, sistem kekeluargaan,
hingga jaringan komunikasi dari suatu masyarakat tertentu. Kode kultural inilah yang mempengaruhi
seorang untuk menafsirkan sesuatu berdasarkan sebuah kebudayaan dan gaya hidup posmodern yang
cenderung cepat berubah, dan pararel dengan kehidupan konsumerisme.
Seni posmodern itu sendiri dalam pengorganisasian elemen rupanya tersusun berdasarkan kode
estetik yang sulit dipahami (Guirad dalam Berger 2000:185). Oleh karena kode estetik adalah sebuah
refleksi dari kebudayaan, maka konsep kode kultural digunakan sebagai basis untuk mampu memahami
budaya rupa seni posmodern dengan ditopang analisisnya posstrukturalisme Derrida.
Seni Posmodern dalam Dekonstruksi
Apa yang tersaji dalam seni posmodern dengan mencoba menampilkan berbagai ragam medium
sebagai karya rupa bukanlah tanpa makna yang sama sekali tidak ada pesan (secara absolut) yang ingin
disuarakan, indeterminasi, ketidakpastian, dan kegalauan kode memang menarik untuk dikaji.
Seni posmodern memang mengandung jejak-jejak seni modern yang sekaligus menempatkannya
dalam arahan baru yang meninggalkan segala reduksi metafisis atas atas ideologi semiotik strukturalis yang
telah disebutkan di atas. Jejak modern masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya
dengan corak estetis seni posmodern.
Apabila kita bedah dengan dengan metode semiotik khususnya posstrukturalisme Derrida (baca:
dekonstruksi) maka persoalan akan lebih tampak jelas dan membuat otak kita tidak lagi berkerut dalam
melihat beragamnya budaya rupa yang ada di sekitar kita. Yang tersaji dalam seni posmodern adalah
sebuah olahan piawai dari perupa posmodernis agar keberadaannya tetap diterima masyarakat karena
mampu membuat sebuah strategi untuk bertahan hidup seiring derasnya perubahan kehidupan yang telah
mengglobal yang ditandai lahirnya ribuan penanda sekaligus petanda yang silih berganti. Karena kajian
lebih diarahkan pada seni rupa, maka penulis lebih banyak menggunakan karya seni rupa sebagai contoh
analisis.
Bila kita menelisik karya lukisan yang dibuat oleh perupa sekarang, misalnya dengan mendaur
ulang idiom estetik masa lalu dengan cara meniru lukisan Eduard Manet, “Olympia” ke dalam format yang
baru, seperti pada karya Semsar Siahaan yang berjudul “Olympia, Identitas dengan Ibu dan Anak”; tentu
yang ada dalam pemikiran kita sebuah pertanyaan: apa maksudnya lukisan Eduard Manet yang diformat
dalam gaya baru tersebut? Bukan pertanyaan itu yang akan dijawab akan tetapi mengapa menggunakan
6
idiom estetik lukisan Eduard Manet sebagai subject matter? Apakah kita sudah kehabisan benda rupa
yang ada di sekitar kita yang bisa dijadikan obyek? Mungkin itu pertanyaan yang bersifat epistemologis
yang menarik untuk dijawab, tentunya apabila diuraikan lewat posstrukturalisme Derrida.
Kondisi yang terjadi dalam lukisan tersebut adalah sebuah perayaan penanda semata yang
didapatkan dari ikon masa lalu. Akan tetapi untuk karya perupa tersebut telah menjadi petanda dengan
perspektif dimensi waktu sekarang ini. Untuk itu petanda tersebut dapat dijadikan sebagai embrio kelahiran
penanda baru yang pada akhirnya akan membentuk petanda yang lain. Proses itu akan terus berulang-
ulang secara cepat. Satu penanda mampu dijadikan petanda secara majemuk karena struktur sosial yang
telah berubah mampu memberikan penafsiran yang lain seiring pikiran mereka juga telah terkonstruksi oleh
jejalinan arus informasi. Pikiran-pikiran sosial masyarakat tidak akan pernah secara stagnan sehingga yang
terjadi adalah apa yang dianalogikan oleh Roland Barthes, yakni kelahiran pembaca mesti berakibat pada
kematian penulis. Lukisan Eduard Manet itu sendiri telah menjadi artefak yang memang bisa diolah lagi. Ini
adalah suatu kreativitas untuk terus mampu mengungkapkan barang yang di sekitar kita yang sebelumnya
tidak mungkin dijamah atau tidak bisa diolah lagi.
Kehadiran karya budaya masa lalu wayang misalnya, dalam lukisan Heri Dono bukan karena
ketidakmampuan dalam pembuatan bentuk yang inovatif dan asal mencomot perbentukannya saja. Kenapa
di seni posmodern bisa diangkat? Karena wayng itu setelah beberapa waktu berjalan, telah mengalami
dekontekstualisasi. Dari proses tersebut maka akan memunculkan hubungan antara penanda dengan
petanda menjadi bergeser sebab di masyarakat terjadi hubungan konsensus yang telah berubah. Apabila
kita mengikuti Stuart Hall, maka dalam pembacaannya kita akan mengikuti kode negoisasi, yaitu pembaca
diberikan ruang kebebasan untuk bergerak memahaminya.
Oleh pemikiran dekonstruksi, Heri Dono tidak mau terkungkung pada hubungan-hubungan
penanda dan petanda yang bersifat stabil, misalnya bahwa raksasa selalu diidentikkan dengan seorang
yang jahat, padahal kalau direlasikan dengan hubungan kekinian, orang yang berpenampilan berdasi
ternyata lebih jahat dari seorang preman karena telah mengorupsi uang rakyat. Sebuah contoh pemikiran
posstrukturalis yang bersifat diakronik dengan memperhatikan faktor sejarah dan kekinian untuk
membongkar sebuah kemapanan bisa dilihat pada karyanya yang berjudul “Raksasa Baik Hati Menari
Waltz”
Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa
dijadikan sebagai media dalam berkarya. Berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petanda-
petanda yang baru. Implikasinya hasil karya rupa cenderung bisa merusak tatanan yang telah dibakukan
dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkannya.
Amatilah karya Edo Pillu “Dewa Swasembada Anarkhi”; untuk menyimbolkan sesuatu, Edo tidak
mau terpola pada hubungan yang bersifat struktural, yaitu pada pola konvensional yang pakem. Ia mencoba
7
menghadirkan ruang toilet dengan patung yang berkalungkan peta Indonesia yang telah diubah menjadi
sebuah karya seni untuk menyuarakan realitas saat itu, yaitu kebobrokan orde baru. Cara berpikirnya bisa
dianalogikan dengan karya Marchel Duchamp berjudul “Fountain” yang kemunculannya pada saat
modernisme mengalami kebuntuan. Karyanya merupakan sebuah upaya mendekonstruksi bahan dan tidak
terpaku pada bidang dua dimensional. Kecenderungan ini dapat dilihat pada kehadiran seni kontemporer
yang lain, misalnya, muncul instalasi art, performance art, klik art, dan lain sebagainya. Dia mencoba
membuat penanda baru yang sebelumnya tidak terpikirkan untuk diolah.
Contoh lain, kehadiran karya Samuel Indratma yang menyajikan botol kaleng “sprite” minuman
softdrink yang dielu-elukan oleh sebagian orang untuk segera dinikmatinya, dengan judul “Jangan
Menyembah Berhala Berbaktilah Kepadaku”. Dari sini kita bisa menangkap bahwa pelukis telah
menyajikan sebuah judul yang terasa asimetris atau berkebalikan karena “berbaktilah padaku” mengandung
muatan menyembah berhala, jadi terasa adanya parodi. Di sini ada kesan bahwa Samuel ingin
mendekonstruksi pengertian berbakti yang tidak selamanya baik, tetapi bisa diartikan sebaliknya, yaitu
menyembah berhala yang dianggap sebagai perbuatan berdosa.
Minuman softdrink yang biasanya untuk kalangan atas dan memberikan kesegaran ternyata bisa
dimanfaatkan sebagai jejak (baca: makna sementara) oleh Samuel untuk para pejabat. Selama ini yang
biasa dijadikan sebuah simbol untuk kekuasaan adalah sebuah kursi, namun Samuel dengan cerdas
memaparkan dekonstruksi bahasa simbolnya dengan strategi menggantikan simbol pejabat bukan dengan
kursi yang lazim digunakan akan tetapi dengan minuman softdrink dengan dibantu lewat judulnya yang ikut
mengarahkan kehadiran sebuah realitas pejabat. Ini adalah contoh bahwa kelahiran penanda yang
mengacu pada suatu realitas tidaklah terkontruksi secara tetap. Ia lebih bersifat dinamis dan tidak akan
pernah stabil.
Sebuah stimulus bagi pelukis lain untuk membuka lahan pemikiran baru sehingga mampu
mengoptimalkan penanda softdrink tersebut untuk mengacu pada petanda semu atau jejak makna lain lagi
yang tidak terbatas. Pada akhirnya, petanda dari kemunculan minuman ”sprite” tidak akan pernah sampai
pada ujung terakhir tetapi masih terus membuka peluang jejak-jejak yang baru. Hal ini tergantung
kejeniusan pelukis untuk mampu mendekonstruksinya ulang.
Idiom estetik seni posmodern yang lain lagi adalah pencampuradukan atau "pastiche". Tujuan
teknik ini (yang digunakan oleh high-culture dan video mtv) adalah memperhadapkan para penonton
dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola
yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari
dunia seni menuju kehidupan sehari-hari. Ini tampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan
yang ada. Mengapa muncul demikian, karena penanda yang hadir sebelumnya tidak mampu menyajikan
makna yang tetap atau stabil, sehingga yang terjadi adalah perubahan penanda dan petanda secara
8
drastis, disebabkan realitas yang diacunya juga mengalami perubahan yang cepat sehingga kode yang
digunakan untuk memahaminya sulit ditemukan karena kultur komunitasnya juga cepat berubah.
Jadi intertekstualitas dari kebudayaan masa lalu jika dilihat dari fenomena sekarang, tanda dari
masa lalu itu telah mempunyai makna baru. Usaha menggabungkan teks lama ke dalam satu karya bukan
tanpa alasan, akan tetapi kehadiran beberapa teks tersebut telah mampu mengungkapkan makna yang
baru, namun tidak pernah menemukan makna absolut. Hal ini didukung oleh munculnya masyarakat
dengan informasi yang semakin memberikan dasar berpijak bagi euforia posmodern yang ditunjukkan
lewat simbol-simbol yang cepat berubah.
Benar apa yang disampaikan oleh Derrida bahwa kecenderungan posmodern adalah
mendekonstruksi sesuatu yang sesuatunya tidak diberi peluang untuk berubah. Begitu juga dengan makna
yang dihasilkan tidak akan pernah sampai pada yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan konsep denotasi
dan konotasi Roland Barthes. Konotasi tidak ada yang mutlak sehingga dapat disimpulkan bahwa
kelenturan antara relasi pertandaan dengan kode akan menghasilkan makna yang sangat beragam karena
hubungan ini akan terus berlanjut sebagai suatu karya open work (Kurniawan 2001).
Sekali lagi hal ini adalah ulah kecerdasan dari seni posmodern yang sangat piawai menyajikan
sesuatu dalam rangka tetap survive. Apabila proses semacam ini tidak dilakukan, maka yang penulis
rasakan, seni akan mengalami kegersangan. Tidak mampu merespon alam di sekitarnya yang memang
menyajikan berbagai aspek visual yang bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi. Kode simbol dalam
konsensus masyarakat atau kode kultural itu sendiri telah mengalami pendekonstruksian sebab masyarakat
telah mengalami perubahan landasan filosofis karena mereka sendiri bersinggungan dengan dunia luar
atau masyarakat, dengan harapan “Seniman Jangan Asal Mengejutkan” dan karya-karya yang merayakan
pembebasan dari aturan baku dalam pilihan media seni serta keluar dari kaidah-kaidah estetika era
sebelumnya, tetapi tetap mampu menghadirkan perenungan. Pada dasarnya karya seni rupa adalah hasil
dialektika berkesenian dengan lingkungan manusianya, oleh karena itu dalam setiap penciptaan seni harus
mampu memberikan dampak bagi masyarakat.
Kesimpulan
Fenomena seni posmodern dengan segala bentuk pendekonstruksiannya sekali lagi bukan
merayakan sebuah wacana tanpa nilai. Sampai kapan pun idiom yang dibawakan oleh posmodern adalah
sebuah tanda yang selalu bisa diartikan, walaupun tidak akan pernah stabil. Penanda ini lahir karena
sebelumnya ada petanda, setelah petanda lahir baru akan muncul penanda baru sekaligus petanda lain
lagi. Proses yang cepat ini tentunya lewat pemahaman kode yang bersifat kultural. Sekarang ini yang terjadi
adalah masyarakat dengan kultur yang global sehingga pertumbuhan seni pun akan secepat pertumbuhan
9
teknologi dan hal ini berjalan seiringan dalam rangka menghindari kematian seni. Tidak bisa bertolak
belakang akan tetapi selalu berteman berjalan seiringan.
Apabila seni tidak ikut merayakan penanda berarti keadaan sudah sedemikian ideal maka tidak
akan ada lagi dialektika sebagai proses dari kediri-hadiran manusia. Kalau sampai dialektika ini tidak terjadi
karena sudah sedemikian idealnya keadaan, sehingga apapun proses yang dilakukan individu hanya akan
diterima tanpa dianggap lagi sebagai sebuah resistensi untuk memperbaiki nilai-nilai kehidupan, maka kita
akan sendiri mengalami dehumanisasi.
Daftar Pustaka
Berger, A. A. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Derrida, J. 2002. Dekonstruksi Spritual: Merayakan Ragam Wajah Spritual. Yogyakarta: Jalasutra.
Hall, S.1997. Representation, Cultural Representation and Signifying Practise. London: The Open University-sage Publication
Jevtic, Z. dan Horrock, C.1997. Mengenal Michael Foucoult For Beginners.Bandung: Mizan
Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Outlet Yogyakarta dalam Seni Rupa Kontemporer.2000.Yogyakarta:Yayasan Seni Cemeti Paradigma dan Pasar.2000.Yogyakarta:Yayasan Seni Cemeti
Piliang, Y. A. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Sachari, A. 2005. Metode Penelitian Budaya Rupa. Bandung: Erlangga
Vattimo, G. 2003. The End Of Modernity: Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern. Yogyakarta: Sadasiva.
10
Edo Pilu, Dewa Swasembada
Anarkhi,1997(Buku: Outlet Yogyakarta
dalam Seni Rupa Kontemporer)
Samuel Indratma, Jangan Menyembah
Berhala,Berbaktilah Kepadaku,1997
(Buku: Outlet Yogyakarta dalam Seni rupa
Kontemporer)
Semsar Siahan, Olympia,Identitas dengan Ibu
dan Anak, (Buku: Paradigma dan Pasar)
Heri Dono, Raksasa Baik Hati Menari Waltz
(Katalog: Heri Dono a Spritual Journey)
Lampiran Gambar-gambar