BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan kelapa sawit saat ini tersebar hampir di seluruh wlayah di
Indonesia dan didominasi oleh 2 kepulauan besar, Sumatra dan Kalimantan.
Pada tahun 2012, Sumatra menjadi pengguna lahan 62,5% dari total lahan
kelapa sawit nasional (5,913,585 hektar) dan penyumbang produktivitas
sebesar 73,6% dari total produksi nasional (17,317,295 ton). Sementara
Kalimantan menjadi pengguna lahan terbesar kedua yaitu 31% (2,814,782
hektar) dengan produktivitas 23,5% (5,520,207 ton) (kompasiana, 2013).
Salah satu tantangan terbesar dalam peningkatan potensi kelapa sawit di
Indonesia adalah gulma. Secara sederhana gulma diidefinisikan sebagai
tumbuhan yang tidak dikehendaki di pertanaman. Hal ini disebabkan karena
gulma mengadakan persaingan dengan tanaman pokok. Kerugian–kerugian
yang timbulkan oleh gulma: mengurangi kandungan unsur hara, mengganggu
tata drainase, menyulitkan pengawasan di lapangan serta membelit tanaman
sehingga menurunkan estetika kebun.
Berdasarkan kerugian tersebut, maka pengelola perkebunan kelapa
sawit mengharapkan adanya metode pengendalian yang efektif dan efisien.
Pemikiran tersebut akan membawa para pengelola perkebunan untuk
menggunakan pestisida kimia sintetik secara berlebihan, karena pestisida
tersebut dianggap merupakan pengendalian OPT di perkebunan kelapa sawit
yang efektif dan efisien. Terkait dengan pengendalian OPT, termasuk gulma,
harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-
Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman, menyebutkan bahwa
perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama
terpadu (PHT). (Djayawarman Alamprabu, 2013).
Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan akibat
samping keracunan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan
penggunaan pestisida antara lain tingkat pengetahuan. Sikap/perilaku
pengguna pestisida, penggunaan alat pelindung, serta kurangnya informasi
yang berkaitan dengan resiko penggunaan pestisida. Selain itu petani lebih
banyak mendapat informasi mengenai pestisida dari petugas pabrik pembuat
pestisida dibanding petugas kesehatan. (mariana raini, 2007).
Adanya efek keracunan pada tenaga kerja sebagai orang yang
melakukan penyemprotan maka perlu dilakukan pemeriksaan kolinesterase
untuk memantau tingkat keracunan. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara
berkala untuk menyusun program pencegahan keracunan pestisida.
1.2 Rumusan Masalah
1. apakah tujuan dari pemeriksaan kolinesterase? Dan bagaimana
interpretasinya?
2. Apa nama kegiatan ini ? termasuk hirarki pengendalian bahaya yang
mana ? dan tingkat pencegahan yang mana?
3. Membuat susunan program yang harus dilakukan dokter Iwan untuk
memasyarakatkan upaya kesehatan kerja kepada para manajer perkebunan
yang ada di wilayah kerja puskesmas
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Memasyarakatkan upaya kesehatan kerja puskesmas di perkebunan
1.3.2 Tujuan khusus
1. Memasyarakatkan pemeriksaan kolinesterase di perkebunan
2. memahami kegiatan skrining dan survailen terkait upaya
kesehatan kerja di pelayanan kesehatan primer
3. memasyarakatkan upaya kesehatan kerja di pelayanan kesehatan
primer
1.4 Manfaat bagi masyarakat
1. Menambah pengetahuan masyarakat tentang bahaya penggunaan
pestisida
2. Membantu masyarakat untuk mengetahui cara pengendalian bahaya
yang disebabkan oleh paparan pestisida
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi puskesmas
Untuk membantu puskesmas dalam menyusun program yang digunakan
untuk upaya kesehatn kerja yang dapat dilakukan di puskesmas
1.5.2 Manfaat bagi perusahaan terkait
Untuk memberikan masukan kepada perkebunan di sekitar wilayah
puskesmas dalam mengembangakan upaya kesehatan kerja sehingga
tercapai produksi yang optimal
BAB II
ANALISIS KASUS
2.1 Skenario
Dokter iwan seorang dokter puskesmas di lampung. Wilayah kerja
dokter Iwan meliputi beberapa perkebuna kelapa sawit, oleh karena itu selain
upaya kesehatan wajib dokter Iwan juga melaksanakan upaya kesehatan
pengembangan yaitu Upaya Kesehatan Kerja. Salah satu program upaya
kesehatan kerja adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kolinesterase
berkala pada pekerja.
2.2 Analisis
Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian kapasitas kerja,
beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun lingkungan agar diperoleh
produktifitas kerja yang optimal. Upaya Kesehatan kerja dilakukan oleh
pemerintah atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan.
2.3 Pemeriksaan kolinesterase
Pemeriksaan kolinesterase adalah pemeriksaan kadar enzim
kolinesterase di dalam darah. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
mendiagnosis tingkat keracunan seseorang, dalam hal ini tenaga kerja
terhadap pestisida golongan organofosfat. Pemeriksaan kolinesterase terutama
dikhususkan pada tenaga kerja yang menjamah pestisida seperti tenaga kerja
di perkebunan yang melakukan fogging. Gejala keracunan baru terasa dan
tampak setelah kadar kolinesterase mencapai 30 – 40 % dari kadar darah
normal yaitu berupa pusing, mual, muntah, pandangan mata kabur, gatal pada
kulit, ruam, tenggorokan seperti terbakar, nyeri dada, gemetar dan sulit
bernapas. Bila kadar kolinesterase mencapai ≤ 25 % di dalam darah maka ini
sudah di golongkan keracunan berat.
Interpretasi dari pemeriksaan kolinesterase adalah sebagai berikut :
1. 100 % - 75 % dari normal
tidak ada tindakan, tapi perlu test ulang dalam waktu dekat
2. 75 % - 50 % dari normal
mungkin over exposure : test ulang, hindarkan dari pekerjaan dengan
pestisida organofosfat selama 2 minggu dan test ulang untuk recovery
3. 50 % - 25 % dari normal
serious over exposure : test ulang, hindarkan dari seluruh pekerjaan
dengan pestisida organofosfat, jika sakit bawa ke dokter untuk
pemeriksaan
4. 25 % - 0 % dari normal
very serious over exposure : test ulang, hindarkan dari pekerjaan dengan
pestisida organofosfat sampai ada hasil pemeriksaan dokter
Kegiatan pemeriksaan kolinesterse dilakukan untuk menemukan kasus
keracunan sendini mungkin sehingga dapat diobati dan tidak menimbulkan
kehilangan nyawa, karena itu kegiatan ini termasuk dalam skrining. Dalam 5
tingkat pencegahan digolongkan pada early diagnostic dan prompt treatment
(pencegahan sekunder). Kegiatan ini termasuk dalam pemeriksaan kesehatan
berkala maka secara hirarki pengendalian bahaya termasuk ke dalam
pengendalian secara administrasi, 5 hirarki pengendalian adalah : eliminasi,
substitusi, rekayasa teknik, administrative, dan APD (Alat Pelindung Diri)
yang terdiri dari masker, sarung tangan, sepatu boot, topi/helm.
Pada upaya kesehatan kerja biasa dilakukan dua kegiatan yaitu,
kegiatan skrining dan surveilans. Karena Dalam scenario 3 ini tujuannya
untuk melihat adanya suatu penyakit pada para pekerja perkebunan maka,
upaya kesehatan yang dilakukan adalah kegiatan skrining.
2.4 Kegiatan Screening
Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha
untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas
dengan menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat
digunakan secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya
sehat tetapi sesunguhnya menderita suatu kelainan atau penyakit. Keuntungan
Skrining dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala
menyajikan sedangkan pengobatan lebih efektif daripada untuk nanti deteksi.
Dalam kasus terbaik dari kehidupan diselamatkan. Uji skrining dapat
memisahkan Orang yang nampaknya sehat tapi kemungkinan mempunyai
penyakit ( tes + ) dan Orang yang kemungkinan tidak mempunyai penyakit
( tes - ).
Terdapat beberapa jenis skrining tes antara lain:
1) mass screening
yaitu skrining yang melibatkan semua individu dalam suatu kategori
tertentu (misalnya, semua anak pada usia tertentu); misalnya, X-ray
masala
2) selective screening (kelompok kecil/perorangan)
melibatkan skrining sekelompok kecil orang berdasarkan adanya faktor
risiko (misalnya, karena anggota keluarga telah didiagnosis dengan
penyakit keturunan atau wanita 40 th Ca cervik).
3) Multiphase Screening
untuk mengetahui kemungkinan beberapa penyakit (kombinasi beberapa
pemeriksaan/multipletest/ procedure. Misal : tes kesehatan seleksi
mahasiswa, pegawai
4) Periodic Health Examination
pemeriksaan kesehatan berkala untuk staf eksekutif
2.4.1 Tujuan skrining
Skrining bertujuan untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas
dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus yang ditemukan.
Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada
penyakit yang tidak menular seperti kanker, diabetes mellitus,
glaucoma, dan lain-lain.
2.4.2 Syarat Screening
Syarat sebuah pemeriksaan skrining agar dapat mencapai
tujuan tersebut antara lain harus tersedia, tidak mahal, mudah
dilakukan, tidak menimbulkan ketidaknyamanan, valid, reliabel dan
dapat digandakan. Validitas tes skrining adalah kemampuan tes skrining
tersebut dalam mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Validitas tes
skrining dapat dinilai dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi
positif, nilai prediksi negatif, dan akurasi.
1. Sensitivitas
Sensitifitas menggambarkan kemampuan tes skrining
menentukan seseorang menderita suatu penyakit. Sensitivitas
ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif dibandingkan
hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per
sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar positif (true
positive) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar positif dan
negatif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining
maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang menderita
penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh penanganan dini.
2. Spesifisitas
Spesifisitas menggambarkan kemampuan tes skrining
menentukan seseorang bukan penderita suatu penyakit. Spesifisitas
ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar negatif dibandingkan
hasil negatif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam
per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar negatif
(true negatif) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar negatif dan
positif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining
maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang tidak
menderita penyakit tertentu.
3. Nilai Prediksi Positif
Nilai Prediksi Positif (NPP/PPV) menggambarkan
kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan seseorang
benar-benar menderita penyakit dari hasil pemeriksaan positif
menurut tes skrining. Nilai Prediksi Positif dihitung dengan
membandingkan hasil benar positif dengan seluruh hasil tes positif
menurut uji skrining (True Positif dan Palse Positif) dalam per sen.
Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang
menderita penyakit akan membantu petugas kesehatan memberikan
penanganan yang tepat dan segera.
4. Nilai Prediksi Negatif
Nilai Prediksi Negatif (NPN/NPV) menggambarkan
kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan seseorang
benar-benar tidak menderita penyakit dari hasil pemeriksaan
negatif menurut tes skrining. Nilai Prediksi Negatif dihitung
dengan membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil
tes negatif menurut uji skrining (True Negatif dan Palse Negatif)
dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining
memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan
sangat membantu petugas kesehatan menghindarkan penanganan
atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari efek
samping pengobatan.
5. Akurasi
Akurasi sebuah tes skrining menggambarkan ketepatan
dalam menentukan seseorang menderita atau tidak menderita suatu
penyakit dan kelainan. Akurasi tes skrining dihitung dengan
membandingkan jumlah hasil pemeriksaan benar positif dan benar
negatif dibandingkan jumlah seluruh pemeriksaan yang dilakukan
dalam per sen. Akurasi tes skrining sangat diperlukan untuk
memberikan kepercayaan kepada konsumen tentang kualitas
sebuah tes skrining.
Pemahaman analis laboratorium tentang peran dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat melalui tes skrining akan
memberikan penghargaan atas profesi mereka. Upaya pencegahan
dan peningkatan kesehatan yang diharapkan menjadi pilar utama
dalam dimensi pelayanan kesehatan (Paradigma Sehat) akan
menumbuhkan kesadaran bagi petugas kesehatan khususnya analis
laboratorium untuk meningkatkan kompetensi agar menemukan tes
skrining dengan validitas tinggi.
Terwujudnya harapan terhadap peran dan fungsi analis
laboratorium akan berimplikasi menjadi faktor pendorong
(enforcement faktor) bagi perubahan perilaku kesehatan
masyarakat sehingga lebih memilih langkah preventif dengan
melakukan deteksi dini. Tentu saja kondisi tersebut sangat
mendukung upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat
kepada petugas kesehatan secara umum karena dengan deteksi dini
dan penanganan segera maka harapan sembuh akan meningkat.
2.4.3 Biological Monitoring
Pemantauan biologis (biological monitoring) adalah
pemeriksaan yang dilakukan terhadap bagian tubuh sebagai media
biologis (darah, urin, liur, jaringan lemak, rambut, dll) yang ditujukan
untuk mengetahui tingkat pajanan atau efeknya pada pekerja.4
Dengan melakukan pemantauan biologis memungkinkan kita untuk
dapat mengetahui dosis yang masuk ke dalam tubuh dari gabungan
berbagai cara masuk. Disamping itu dengan pemantauan biologis di-
mungkinkan pemeriksaan pajanan untuk jangka lama dan adanya
akumulasi di dalam tubuh. Pada kasus pajanan bahan kimia,
pemeriksaan dapat berupa bahan aktif atau meta- bolitnya.
Pemantauan biologis juga ditujukan untuk mengetahui pengaruh suatu
pajanan bahaya kesehatan terhadap tubuh dan kerentanan tubuh
terhadap pajanan bahaya kesehatan tertentu.
Data pemantauan biologis mencerminkan total penyerapan bahan
kimia pada seseorang melalui semua rute paparan (inhalasi, konsumsi,
penyerapan melalui kulit atau kombinasi dari rute-rute ini) dengan
demikian hasil pemeriksaan yang didapatkan mampu menunjukan
tingkat paparan bahan kimia pada tubuh seseorang.
2.4.4 Surveilans kesehatan masyarakat
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan,
analisis, dan analisis data secara terus- menerus dan sistematis yang
kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008).
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada
populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001). Kadang
digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan
masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja,
sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi
adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga
epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core
science of public health).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa.
Surveilans dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu),
sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan
mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang
mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat
dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit
dengan tepat.
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk
memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan
masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil
keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat
merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan
mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar.
Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan,
kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana
populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008). Gambar 5.1
menyajikan skema sistem surveilans. Ada beberapa jenis surveilans
yaitu : surveilans individu, penyakit, sindromik, berbasis
laboratorium, terpadu, dan kesehatan masyarakat global.
2.5 Tingkat Pencegahan Early Diagnostik dan Prompt Treatment (diagnosis
dini dan pengobatan segera)
Tingkat pencegahan ini termasuk tingkat pencegahan yang sekunder,
Tujuan dari usaha ini adalah :
a. pengobatan yang setepat – tepatnya dari setiap jenis penyakit sehingga
tercapai penyembuhan yang sempurna
b. pencegahan penularan kepada orang lain, bila penyakitnya menular
c. mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan oleh suatu penyakit
beberapa usaha early diagnostic dan prompt treatment :
1. case finding : yaitu mencari penderita dimasyarakat dengan jalan
pemeriksaan
2. contact tracing : mencari semua orang yang telah berhubungan
dengan penderita penyakit menular dan penyakit infeksi untuk
diawasi bila penyakitnya timbul dapat segera di beri pengobatan
3. pendidikan kesehatan masyarakat agar dapat mengenal gejala
penyakit pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan.
2.6 Pengendalian Administrasi
Kontrol administratif ditujukan pengandalian dari sisi orang yang akan
melakukan pekerjaan, dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang
akan mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk
menyelesaikan pekerjaan secara aman.
Pengendalian Administratif juga Merupakan usaha menurunkan
tingkat risiko yang lebih mengutamakan pengendalian pada manajemen
seperti:
a) Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus
insentif, penghargaan dan motivasi diri.
b) Pendidikan dan pelatihan.
c) Evaluasi melalui internal maupun eksternal.
d) Membuat Standard Operating Procedure (SOP) yang baik untuk
setiap pekerjaan yang ada.
e) Memberikan atau melampirkan data keselamatan untuk setiap jenis
pekerjaan yang menggunakan bahaya kimia.
f) Mengadakan pengecekan kesehatan sebelum bekerja, berkala
maupun khusus.
g) Pengaturan jadwal kerja atau shift kerja.
2.7 Gejala keracunan Organo Fosfat
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul
sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi yang
diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi,
lakrimasi, urinasi, diare (SLUD) Lelah, sakit kepala, pusing, hilang selera
makan, mual, kejang perut, diare, penglihata kabur, keluar air mata, keringat,
penglihatan kabur, tremor, pupil mengecil, denyut jantung lambat, kejang otot
(kedutan), tidak sanggup berjalan, rasa tidak nyaman dan sesak, inkontinensi,
tidak sadar dan kejang-kejang. terjadi pada keracunan organofosfat secara akut
karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kholin
dalam darah meningkat pada mata dan otot polos.
Mekanisme reaksi kolinesterase dengan pestisida Organofosfat
Hambatan ini dapat terjadi beberapa jam hingga beberapa minggu
tergantung dari jenis antikolinesterasenya. Hambatan oleh rurunan karbamat
hanya bekerja beberapa jam dan bersifat reversibel. Hambatan yang bersifat
irreversibel dapat disebabkan oleh turunan ester asam fosfat yang dapat
merusak kolinesterase dan perbaikan baru timbul setelah tubuh mensintesis
kembali kolinesterase.
Asetilkolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di antara
ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi meneruskan rangsangan saraf.
Apabila rangsangan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan
penimbunan asetilkolin. Kolinesterase yang terdapat di berbagai jaringan dan
cairan tubuh dapat menghentikan rangsangan yang ditimbulkan asetilkolin di
berbagai tempat dengan jalan mengliidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan
asam asetat dalam waktu sangat cepat, sehingga penimbunan asetilkolin tidak
terjadi. Organofosfat merupakan pestisida yang sangat berbahaya karena
ikatan pestisida organofosfat dan kolinesterase hampir bersifat irreversibel.
Intoksikasi dapat timbul akibat penyerapan dari beberapa tempat termasuk
dari kulit dan saluran nafas.1' 6' 7 Petani yang menggunakan pestisida
organofosfat kemungkinan akan mengabsorpsi pestisida tersebut dalam
jumlah cukup banyak. Tertekan atau terhambatnya kerja kolinesterase akibat
absorpsi pestisida ini kadang - kadang sudah sedemikian besar, tetapi belum
menunjukkan gejala-gejala yang jelas.
Penurunan aktivitas kolinesterase hingga menjadi 60% akan
menyebabkan timbulnya gejala yang tidak spesifik seperti pusing, mual,
lemah, sakit dada dan Iain-lain.10 Pada umumnya gejala dan kelainan
neurologik muncul setelah terjadinya penghambatan 50% atau lebih aktivitas
kolinesterase.11 Menurut WHO, penurunan aktivitas kolinesterase sebesar
30% dari normal menunjukkan telah terjadi pemaparan organo- fosfat dan
petani perlu diistirahatkan hingga kadar kolinesteraseormal.12 Aktivitas
kolinesterase ini tergantung dari kadar kolinesterase yang aktif dalam darah.
2.8 Gejala Keracunan Pestisida Organofosfat
Racun pestisida golongan organofosfat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Masuknya
pestisida golongan orgaofosfat segera diikuti oleh gejala-gejala khas yang
tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan lain. Gejala
keracunan pestisida yang muncul setelah enam jam dari paparan pestisida
yang terakhir, dipastikan bukan keracunan golongan organofasfat3,13).
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau
12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari
perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar
melalui urine.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah 3,13) :
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa
lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang
berlebihan, pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan
melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata
yang berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya
kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara,
kebingungan, hilangnya reflek, kejang dan koma.
4. Kematian Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian
dikarenakan kelumpuhan otot pernafasan. Gejala-gejala tersebut akan
muncul kurang dari 6 jam, bila lebih dari itu
maka dipastikan penyebabnya bukan golongan Organofosfat.
2.9 Cara Pengendalian bahaya Pestisida
pestisida (pesticide) berasal dari kata pest atau hama dan cide atau
memberantas. Menurut FAO pestisida adalah zat atau campuran yang yang
diharapkan sebagai pencegahan, menghancurkan atau pengawasan setiap
hama termasuk vector pada manusia atau penyakit pada binatang serta
tanaman yang tidak disukai atau binatang yang menyebabkan kerusakan.
Pestisida merupakan bahan kimia yang bersifat bioaktif. Pada
dasarnya pestisida bersifat racun. System kerja yang sifatnya sebagai racun
digunakan untuk membunuh organisme pengganggu tanaman. System kerja
pestisida dengan menghambat enzim kholinesterase. Keracun pestisida dapat
diketahui melalui dua cara, yaitu pemeriksaan laboratorium dan dengan
melihat gejala-gejala yang ditimbulkannya (keluhan subjektif). Pada dasarnya
setiap bahan aktif yang terkandung dalam pestisida menimbulkan gejala
keracunan yang berbeda-beda.
Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan praktek
penyemprotan akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan.
Ada beberapa cara untuk meghindari keracunan antara lain.
1. Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli,
masih utuh dan ada label petunjuknya 2. Perlakuan sisa kemasan
Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber
mata air untuk mengindai pencemaran ke badan air dan juga jangan
sekali-kali bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.
2. Penyimpanan Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya
di simpan yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak
bercampur dengan bahan makanan dan sediakan tempat khusus yang
terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung.
3. Penatalaksanaan Penyemprotan Pada pelaksanaan penyemprotan ini
banyak menyebabkan keracunan oleh sebab itu petani di wajibkan
memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap melakukan
penyemprotan, tidak melawan arah angin atau tidak melakukan
penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan makan-minum
serta merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai menyemprot
dianjurkan untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian serta pemakain
alat semprot yang baik akan
menghindari terjadinya keracunan.
4. pelatihan dalam penanganan pestisida seperti, pelatihan penggunaan
APD, pelatihan dalam melakukan penyemprotan dan penanganan
pestisida.
BAB III
RENCANA PROGRAM
Program Tujuan Waktu Sasaran KegiatanCara penanganan masyarakat dan pekerja yang belum terkena peptisida
Penyuluhan kepada masyarakat setempat
Untuk dapat memberikan berbagai pengetahuan terkait petisida
3x/tahun Masyarakat setempat
Melakukan penyuluhan oleh tenaga medis yang dibawakan dengan materi yang mudah dipahami oleh masyarakat setempat
Pelatihan Untuk melatih pekerja agar dapat bekerja dengan baik di area perkebunan
Setelah rekruitment pekerja baru.Untuk pekerja lama di lakukan 6 bulan sekali
Diutamakan pada pekerja
perkebunan yang baru
masuk, untuk
pekerja lama
sebagai evaluasi
cara kerja
- melakukan pelatihan
kerja kepada pekerja
perkebunan- melatih pekerja
mengunakan peptisida
dengan baik- melatih
pekerja untuk memberikan pertolongan pertama jika
terpapar pestisida
Penyedian dan penggunaan alat pelindung diri
Sebagai pencegahan primer dari efek paparan insektisida langsung
Disesuaikandan
dilakukan pengecekan
rutin terhadap
kelayakannya untuk di
pakai setidaknya 1 bulan sekali
Pekerja dan
pengelola perkebuna
n
- pihak perkebunan
menyediakan alat pelindung diri bagi para
pekerja- melatih pekerja
menggunakan alat bantu diri
- menggunakan alat bantu diri
pada waktu bekerja
Screening Untuk deteksi dini tehadap adanya kemungkinan paparan peptisida pada masyarakat sekitar dan pekerja perkebunan
3x/tahun Masyarakat setempat
Dan pekerja
Melakukan Pemeriksaan Cholinesteras
e secara berkala terhadap
masyarakat yang berada
dekat kawasan perkebunan di
daerah perkebunan dan pekerja perkebunan
Pertemuan tingkat desa/kelurahan dan pihak – pihak yang terkait dengan puskesmas
untuk mensosialisasikan rencanakegiatan para pekerja perkebunan
1x/bulan Kader setempat
Pembahasan pencegahan dari efek insektisida dari penggunanan peptisida yangada di area perkebunanan dan langkah-langkah tindak lanjut yangdiperlukan, misalnya antara lain untuk mendapat dukunganpamong dan pemuka masyarakat dalam kegiatan penangananpekerja perkebunan yang terkena efeknya
Melakukan recruitment
Untuk dapat menyediakan
3x/tahun Kepala bagian
Melakukan selesi pada
pada tenaga kerja dan melakukan seleksi pada tenaga setempat yang diterima
pelayanan yang optimal
puskesmas tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan menempatkan tenaga kesehatan sesuai dengan posisi dan jabatan yang diberikan.
Penyediaan dokter pribadi bagi perkebunan
Sebagai konsultan
- Pengelola perkebunan
Menyediakan dokter pribadi yang selalu berjaga di area perkebunan sebagai konsultan medis bagi pekerja dan dokter tersebut juga aktif dalam melakukan screening
Cara penanganan masyarakat dan pekerja yang terkena pestisidaPenanganan masyarakat dan pekerja yang terkena petisida
Untuk dapat menangani masyarakat dan pekerja yang terkena efek petisida
Disesuaikan Pekerja perkebunanDan masyarakat setempat
- memberikan pertolongan pertama bagi pekerja yang terkena keracunan petisida - Penanganan pekerja yang terkena dampak peptisida dengan cepat dan tanggap- merujuk pekerja yang terkena keracunan petisida ke
rumah sakit apabila tidak dapat ditangani oleh puskesmas- melakukan pemeriksaan rutin pada pekerja atau masyarakat yang terkena paparan pestisida untuk mengetahui perkembangan dari pengobatannya
Puskemas dapat beroperasional di malam hari
Untuk dapat melayani masyarakat yang memiliki waktu pada malam hari, karena siang hari sibuk bekerja
- Tim tenaga kesehatan
Melakukan pembagian jadwal jaga pada puskesmas yang beroperasional di malam hari
Puskesmas diusahakan agar tidak jauh dari jangkauan dari masyarakat
Untuk dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
- Masyarakat
- puskesmas umumnya berada 1 pada setiap kecamatan- apabila kurang maka dapat disosialisasikan untuk penambahan puskesmas atau puskesmas pembantu agar dapat dijangkau masyarakat
Penambahan sarana dan
Untuk dapat meningkatkan
disesuaikan Kader setempat
- melakukan pengontrolan
prasarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan
pelayanan yang optimal
terhadap alat – alat medis yang ada pada puskesmas- apabila ada alat-alat yang rusak/ kurang segera dilaporkan kepada bagian pusat agar segera diganti- melengkapi alat – alat di puskesmas sesuai dengan kebutuham masyarakat
Rujukan dengan rumah sakit setempat
Untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik
Disesuaikan Masyarakat atau pekerja yang terkena efek dari paparan pestisida
Rujukan diberikan apabila pos UKK tidak dapat meberikan perawatan yang diperlukan dan mengalami kekurangan alat dan bahan
Mengeffectivekan stabilitas dari kinerja pos UKK
Untuk dapat mengoptimalkan pos UKK yang telah ada
Disesuaikan Pihak-pihak yang terkait dengan pos UKK
Mengaktifkan kinerja dari pos UKK
Pemantauan dan evaluasi
Untuk mengetahui perkembangan kondisi pekerja yang terkena petisida secara berkala
3x/tahun pekerja - Terhadap proses pelaksanaan dan hasil kegiatan.Evaluasi dilakukan pada saat perawatan (lihat formulirlaporan bulanan
tenaga kerja)- Indikator keberhasilan dikatakan baik jika kematian< 5% per tahun dari semua kasus yang dirawat, tidak termasukkematian pada 24 jam pertama.- Secara berkala setiap 6 bulan sekaliPencatatan dan pelaporan untuk pemantauan dan evaluasi- Menggunakan formulir pelaporan rutin Puskemas.
BAB IV
REKOMENDASI
1. Selalu mengingatkan kepada pekerja bahwa keselamatan dalam kerja adalah
yang terutama.
2. Melakukan tindakan pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati. Cara-
cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerja-
pekerja pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut :
a. Penyimpanan pestisida:
1) Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda,
sebaiknya tertutup dan dalam lemari terkunci.
2) Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh
disimpan dekat makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya
paling berbahaya. Tanda- tanda harus jelas juga untuk mereka yang
buta huruf.
3) Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus
dibakar agar sisa pestisida musnah sama sekali.
4) Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti
di botol- botol, sangat besar bahayanya.
b. Pemakaian alat-alat pelindung:
1) Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama
melakukan pencampuran kering bahan-bahan beracun.
2) Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari
neopren, jika pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan
tersebut dengan minyak atau pelarut-pelarut organis. Pakaian
pelindung harus dibuka dan kulit dicuci sempurna sebelum makan.
3) Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan
selama menyiapkan dan menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol,
jika kulit atau paru-paru mungkin kontak dengan bahan tersebut.
c. Cara-cara pencegahan lainnya :
1) Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin
membawa bahan, sehingga terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja
yang bersangkutan.
2) Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat
tertutup dengan penguap termis, juga alat demikian tidak boleh
digunakan di tempat kediaman penduduk atau di tempat pengolahan
bahan makanan.
3) Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia
akan bersentuhan dengannya.
Di bawah ini dikutip pedoman dan petunjuk-petunjuk pemakaian pestisida yang
dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi :
1. Semua pestisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil bila
diketahui cara-cara bekerja dengan aman dan tidak mengganggu kesehatan.
2. Bahaya pestisida terhadap pekerja lapangan ialah :
a) Pada waktu memindahkan pestisida dari wadah yang besar kepada wadah
yang lebih kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja.
b) Pada waktu mempersiapkannya sesuai dengan konsentrasi yang
dibutuhkan.
c) Pada waktu dan selama menyemprot.
d) Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap tingkat
pekerjaan tersebut di atas (waktu memindah-mindahkan, bongkar muat,
peredearan dan transportasi, penyimpanan, pengaduk, menyemprot atau
pemakaian lainnya).
3. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka perlu mendapat perhatian intensif :
a) Mereka yang bekerja dengan pestisida harus diberitahu bahaya yang akan
dihadapinya atau mungkin terjadi dan menerima serta memperhatikan
pedoman dan petunjuk-petunjuk tentang cara-cara bekerja yang aman
dan tidak mengganggu kesehatan.
b) Harus ada pengawasan teknis dan medis yang cukup.
c) Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan) mengingat efek keracunan pestisida yang dapat berbahaya
pada pekerja. Bila dipakai pestisida golongan organofosfat harus tersedia
atropin, baik dalam bentuk tablet maupun suntikan. Untuk ini perlu
adanya seorang pengawas yang terlatih.
4. Penyemprot diharuskan memakai tutup kepala atau masker yang tak dapat
tembus, serta dicuci dengan baik secara berkala.
5. Pekerja yang mendapat cedera atau iritasi kulit pada tempat-tempat yang
mungkin terkena pestisida, dalam hal ini ia tidak diperkenankan bekerja
dengan pestisida, karena keadaan ini akan mempermudah masuknya pestisida
ke dalam tubuh.
6. Fasilitas (termasuk sabun) untuk mencuci kulit (mandi) dan mencuci pakaian
harus tersedia cukup. Mandi setelah menyemprot adalah merupakan keharusan
yang perlu mendapat pengawasan.
7. Pekerja tidak boleh bekerja dengan pestisida lebih dari 4 sampai 5 jam dalam
satu hari kerja, bila aplikasi dari pestisida oleh pekerja yang sama berlangsung
dari hari ke hari (kontinu dan berulang kali) dan untuk waktu yang sama.
8. Harus dipakai pakaian kerja yang khusus dan tersendiri, pakaian kerja ini harus
diganti dan dicuci setiap hari, untuk pestisida golongan organofosfat perlu
dicuci dengan sabun.
9. Disamping memperhatikan keadaan-keadaan lainnya, pekerja tidak boleh
merokok, minum atau makan sebelum mencuci tangan dengan bersih memakai
sabun dan air.
10. Bahaya terbesar terdapat pada waktu bekerja dengan konsentrat, karenanya
perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
a. Dalam mempersiapkan konsentrat dari bubuk dispersi dalam air, haruslah
dipakai bak pencampur yang dalam, serta alat pengaduk yang cukup
panjangnya untuk mencegah percikan, dan dapat bekerja sambil berdiri.
Demikian pula untuk mencairkan pasta yang padat.
b. Mengisi bak pencampur harus demikian, sehingga bahaya percikan dapat
ditiadakan atau sekecil mungkin.
c. Pekerja disini selain memakai alat pelindung seperti pada penyemprot, harus
pula memakai skor dan sarung tangan yang tidak dapat tembus.
d. Memindahkan konsentrat dari satu tempat atau wadah ke tempat yang lain
harus memakai alat yang cukup panjang.
e. Konsentrat cair harus ditempatkan dalam wadah yang cukup kuat, tidak
mudah rusak pada waktu pengangkutan dan ditutup rapat.
11. Alat-alat penyemprot harus memenuhi ketentuan-ketentuan keselamatan kerja.
12. Semua wadah pestisida harus mempunyai etiket yang memenuhi syarat,
mudah dibaca dan dimengerti baik oleh pekerja maupun pengawas.
13. Harus dipenuhi ketentuan-ketentuan tentang wadah pestisida yang telah
kosong atau hampir kosong, yaitu :
a. Wadah ini harus dikembalikan ke gudang selanjutnya dibakar atau dirusak
dan kemudian dikubur.
b. Wadah dapat pula didekontaminasikan dengan memenuhi persyaratan
tertentu.
14. Sedapat mungkin diusahakan supaya tenaga kerja pertanian yang
bersangkutan dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala, terhadap yang
menggunakan pestisida organofosfat dilakukan setiap bulan sekali
pemeriksaan kesehatan berkala yang berpedoman kepada standard
kolinesterase dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/534/533
Muchtaruddin Mansyur.Manajemen Risiko Kesehatan di Tempat Kerja. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
http://www.hsa.ie/eng/Publications_and_Forms/Publications/
Chemical_and_Hazardous_Substances/Biological_Monitoring_Guidelines.pdf
http://ekonomi.kompasiana.com
ditjenbun.deptan.go.id
ejournal.litbang.depkes.go.id
http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf