STUDI AWAL HISTOTEKNIK:
FIKSASI 2 MINGGU PADA GAMBARAN HISTOLOGI
ORGAN GINJAL, HEPAR, DAN PANKREAS TIKUS
SPRAGUE DAWLEY DENGAN PEWARNAAN
HEMATOXYLIN-EOSIN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Disusun oleh :
MUHAMMAD AZHARAN ALWI
1113103000010
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW,
beserta keluarga, shabat dan umat Islam.
Penelitian ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Arif Sumantri selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dr. Achmad Zaki, S.Ked, M.Epid, Sp.OT selaku Ketua Program
Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter yang selalu
membimbing serta memberikan ilmu kepada saya untuk menempuh masa
pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Nurlaely Mida Rachmawati, S.Si, M.Biomed, DMS dan dr. Devy
Ariany, M.Biomed selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu
membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan penelitian ini
3. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed dan Dr. Endah Wulandari, S.Si,
M.Biomed selaku dewan penguji penelitian saya, untuk ilmu, waktu dan
tenaga dalam memperbaiki laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, Dr. H. Saemu Alwi SE.M,si dan Hj. Nurlian
Arfa, S.Ag, MA, yang selalu memberikan kasih sayangnya, doa, nasihat,
bimbingannya, serta semangat sepanjang hidup saya.
v
5. Kakak saya Nur Azminah Alwi dan adik saya Muhammad Azdahar Alwi
yang selalu memberikan dukungan dan semangatnya untuk menjalani
proses pembelajaran di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggungjawab (PJ) modul riset PSPD
2012, drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku PJ laboratorium Riset.
Ibu Nurlaely Mida R, S.Si, M.Biomed, DMS selaku PJ Animal house dan
Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ laboratorium Biokimia, Ibu
Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku PJ laboratorium histologi yang
telah memberikan izin atas penggunaan lab pada penelitian ini.
7. Untuk teman seperjuangan penelitian, Putri Junitasari, Fiizhda Baqarizky,
Fakhri Muhammad Suradi Kartanegara, Abdul Rasyid, M Imam
Alkautsar, Faisal Ravif, Galang Prahanarendra.
8. Untuk Fadel Askary dan Fahrizal Harris Harahap 2011, serta
Pathurrahman dan Annisa Mardhiyah 2013 yang memperbolehkan saya
untuk menggunakan tikus penelitiannya.
9. Seluruh mahasiswa PSPD 2013 yang berjuang bersama menempuh pre-
klinik serta sahabat saya.
10. Laboran yang terlibat Ibu Ai, Mba Din, Mba Suryani, Mas Rachmadi.
Juga pada Mas Haris, Mas Panji yang sangat membantu berlangsungnya
penelitian ini.
11. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam penelitian ini.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak yang membaca laporan penelitian ini. Akhir kata, semoga
peenelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca pada umumnya, bagi
peneliti pada khususnya.
Ciputat, 27 Juli 2016
vi
ABSTRAK
Muhammad Azharan Alwi. Program Studi Pendidikan Dokter. Studi Awal :
Fiksasi 2 Minggu Pada Gambaran Histologi Organ Ginjal, Hepar, dan
Pankreas Tikus Sprague Dawley Dengan Pewarnaan Hematoxylin-Eosin.
2016.
Histoteknik adalah metode membuat sajian histologi dari spesimen tertentu
melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk dianalisis.
Fiksasi adalah salah satu tahapan histoteknik yang bertujuan untuk mengawetkan
jaringan dan mengeraskan jaringan, agar jaringan yang akan diamati tidak
mengalami perubahan bentuk ataupun ukuran. Waktu yang terlalu lama pada
tahapan fiksasi menyebabkan pengerasan jaringan yang mengakibatkan hasil
jaringan yang buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data untuk
menyusun standar operasional prosedur (SOP) baku histoteknik yang dapat
diterapkan di laboratorium animal house dan histologi. Hasil penelitian
menunjukkan fiksasi selama 2 minggu menyebabkan terjadinya kerusakan organ.
Jaringan tampak rusak pada ketiga organ, kerusakan glomerulus dan tubulus
jaringan ginjal, kerusakan trias porta hepar, dan kerusakan struktur sel pada pulau
langerhans jaringan pankreas. Dapat disimpulkan, bahwa fiksasi 2 minggu tidak
memberikan gambaran yang baik pada organ ginjal, hepar, dan pankreas sehingga
tidak dapat digunakan sebagai data dalam pembuatan SOP baku histoteknik di
laboratorium animal house dan histologi.
Kata kunci : histoteknik, fiksasi, standar operasional prosedur (SOP), ginjal,
hepar, pankreas, tikus
vii
Muhammad Azharan Alwi. Medical Study Program. Preliminary Study :
Fixation Effect for 2 Weeks Against Histological Kidney, Liver, and Pancreas
Sprague-Dawley Rats With Hematoxylin-Eosin Staining
Histotechnique is a method of making a particular dish histology of the specimen
through a series of processes to be a dish that is ready for analysis. Fixation is one
of the stages of histotechnique that aims to preserve and harden the tissue, so the
tissue’s shape or size which observed does not change. Too much time on the
stage leading to hardening of tissue fixation resulting in poor tissue results. The
purpose of this research is to get the data to formulate standard operating
procedures (SOP) histotechnique standard that can be applied in a laboratory
animal house and histology. The results showed fixation for 2 weeks causing
organ damage. The tissue looks broken on these three organs, glomerular and
tubular damage on kidney tissue, hepatic portal triad damage, and damage on the
cell structure of Islet Langerhans in the pancreas tissue. It can be concluded, that
the fixation 2 weeks does not give a good overview on the kidneys, liver, and
pancreas. So it can not be used as raw data in the manufacture of SOP
histotechnique in laboratory animal house and histology.
Key words : Histotechniques, fixation, standard operational procedure (SOP)
pancreas, liver, kidney, mice.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian..................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 2
1.4.1. Bagi Peneliti .................................................................................. 2
1.4.2. Bagi Institusi……………………………………………………. .......... 3
1.4.3. Bagi Masyarakat ........................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori ........................................................................................ 4
2.1.1. Euthanasia ..................................................................................... 4
2.1.2. Teknik Fiksasi ................................................................................ 6
2.1.2.1. Fiksasi Formalin ............................................................. 11
2.1.3. Pengolahan Pembuatan Blok ...................................................... 13
2.1.3.1. Dehidrasi ......................................................................... 14
2.1.3.2. Clearing .......................................................................... 14
2.1.3.3. Embedding ...................................................................... 15
2.1.3.4. Blocking........................................................................... 16
2.1.4. Pemotongan Organ ..................................................................... 16
2.1.5. Teknik Pewarnaan ....................................................................... 19
2.1.6. Pewarnaan HE ............................................................................ 20
2.1.7. Gambaran Histologis Organ Tikus ............................................. 21
2.1.7.1. Ginjal .............................................................................. 21
2.1.7.2. Hepar .............................................................................. 23
2.1.7.3. Pankreas .......................................................................... 24
2.2. Kerangka Teori ...................................................................................... 26
2.3. Kerangka Konsep................................................................................... 27
2.4. Definisi Operasional .............................................................................. 28
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian................................................................................... 29
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 29
3.2.1. Waktu Penelitian ......................................................................... 29
3.2.2. Tempat Penelitin .......................................................................... 29
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 29
ix
3.4. Cara Kerja Penelitian............................................................................ 29
3.4.1. Alat Penelitian ............................................................................. 29
3.4.2. Bahan Penelitian ......................................................................... 30
3.4.3. Adaptasi Hewan Coba ................................................................. 31
3.4.4. Tahap Nekropsi ........................................................................... 31
3.4.4.1. Fiksasi ............................................................................. 32
3.4.5. Tahap Pemrosesan Jaringan ....................................................... 32
3.4.5.1. Dehidrasi ......................................................................... 32
3.4.5.2. Clearing .......................................................................... 33
3.4.5.3. Embedding ...................................................................... 33
3.4.5.4. Blocking........................................................................... 34
3.4.6. Pemotongan Jaringan ................................................................. 34
3.4.7. Tahapan Pewarnaan HE ............................................................. 35
3.4.8. Foto Jaringan .............................................................................. 36
3.5. Alur Penelitian ....................................................................................... 37
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Makroskopik Jaringan yang Difiksasi 2 Minggu ................ 38
4.2. Gambaran Mikrokospik Jaringan yang Difiksasi 2 Minggu ................. 41
4.2.1. Ginjal ........................................................................................... 41
4.2.2. Hepar ........................................................................................... 43
4.2.3. Pankreas ...................................................................................... 45
4.3. Hambatan dan Solusi ............................................................................. 46
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ................................................................................................ 47
5.2. Saran ...................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 48
LAMPIRAN ........................................................................................................... 50
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1.a Ginjal tikus normal dengan perbesaran 4x ................................................ 23
2.1.b Ginjal tikus normal dengan perbesaran 10x .............................................. 23
2.1.c Ginjal tikus normal dengan perbesaran 20x .............................................. 23
2.1.d Ginjal tikus normal dengan perbesaran 40x .............................................. 23
2.2.a. Hepar tikus normal dengan perbesaran 4x ................................................ 25
2.2.b. Hepar tikus normal dengan perbesaran 10x .............................................. 25
2.2.c. Hepar tikus normal dengan perbesaran 20x .............................................. 25
2.2.d. Hepar tikus normal dengan perbesaran 40x .............................................. 25
2.3.a. Pankreas tikus normal dengan perbesaran 4x ........................................... 27
2.3.b. Pankreas tikus normal dengan perbesaran 10x ......................................... 27
2.3.c. Pankreas tikus normal dengan perbesaran 20x ......................................... 27
2.3.d. Pankreas tikus normal dengan perbesaran 40x ......................................... 27
4.1.A1.Potongan organ ginjal dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu pertama ................................................................................ 38
4.1.B1.Potongan organ hepar dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu pertama ................................................................................ 38
4.1.C1.Potongan organ pankreas dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu pertama ................................................................................ 38
4.1.A2.Potongan organ ginjal dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu kedua .................................................................................... 38
4.1.B2.Potongan organ hepar dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu kedua .................................................................................... 38
4.1.C2.Potongan organ pankreas dalam cairan fiksasi formalin 10%
pada minggu kedua .................................................................................... 38
4.2.A. Potongan organ ginjal saat perlakuan fiksasi
pada minggu kedua .................................................................................... 40
4.2.B. Potongan organ hepar saat perlakuan fiksasi
pada minggu kedua ................................................................................... 40
4.2.C. Potongan organ pankreas saat perlakuan fiksasi
pada minggu pertama ................................................................................ 40
4.3.A1.Ginjal tikus normal perbesaran 20x .......................................................... 41
4.3.A2.Ginjal tikus normal perbesaran 40x .......................................................... 41
4.3.B1.Ginjal tikus perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ........................... 41
4.3.B2.Ginjal tikus perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x
(insert: Tubulus) ........................................................................................ 41
4.4.A1.Hepar tikus normal perbesaran 20x .......................................................... 43
4.4.A2.Hepar tikus normal perbesaran 40x .......................................................... 43
4.4.B1.Hepar tikus perlakuan fiksasi 2 minggu 20x (insert: trias porta) ............... 43
4.4.B2.Hepar tikus perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ........................... 43
4.5.A1.Pankreas tikus normal perbesaran 20x ...................................................... 45
4.5.A2.Pankreas tikus normal perbesaran 40x ...................................................... 45
4.5.B1.Pankreas tikus perlakuan fiksasi 2 minggu 20x ......................................... 45
4.5.B2.Pankreas tikus perlakuan fiksasi 2 minggu 40x (insert: langerhans) ......... 45
6.1. Surat keterangan tikus sehat ...................................................................... 50
6.2. Sampel penelitian ....................................................................................... 51
xi
6.3. Anestesi hewan coba .................................................................................. 51
6.4. Proses isolasi jaringan ............................................................................... 51
6.5. Proses fiksasi 2 minggu .............................................................................. 51
6.6. Proses dehidrasi ......................................................................................... 52
6.7. Proses clearing .......................................................................................... 52
6.8. Proses embedding ...................................................................................... 52
6.9. Proses blocking .......................................................................................... 52
6.10. Proses pemotongan .................................................................................... 52
6.11. Proses pewarnaan ...................................................................................... 52
6.12. Ginjal A1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 53
6.13. Ginjal A2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 53
6.14. Ginjal B1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 53
6.15. Ginjal B2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 53
6.16. Ginjal C1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ............................. 53
6.17. Ginjal C2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ............................. 53
6.18. Ginjal D1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ............................. 54
6.19. Ginjal D2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ............................. 54
6.20. Ginjal E1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 54
6.21. Ginjal E2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 54
6.22. Hepar A1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 54
6.23. Hepar A2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 54
6.24. Hepar B1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 54
6.25. Hepar B2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 54
6.26. Hepar C1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ............................. 54
6.27. Hepar C2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ............................. 54
6.28. Hepar D1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ............................. 54
6.29. Hepar D2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ............................. 54
6.30. Hepar E1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x .............................. 55
6.31. Hepar E2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x .............................. 55
6.32. Pankreas A1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ......................... 55
6.33. Pankreas A2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ......................... 55
6.34. Pankreas B1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ......................... 55
6.35. Pankreas B2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ......................... 55
6.36. Pankreas C1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ........................ 56
6.37. Pankreas C2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ........................ 56
6.38. Pankreas D1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ........................ 56
6.39. Pankreas D2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ........................ 56
6.40. Pankreas E1 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 20x ......................... 56
6.41. Pankreas E2 perlakuan fiksasi 2 minggu perbesaran 40x ......................... 56
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1. Data Morfologi ginjal tikus fiksasi 2 Minggu ............................................... 41
4.2. Data Morfologi hepar tikus fiksasi 2 Minggu ............................................... 43
4.3. Data Morfologi pankreas tikus fiksasi 2 Minggu ........................................... 45
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1 Surat Keterangan Tikus Sehat ............................................................................ 50
2 Gambar Proses Penelitian ................................................................................. 51
3 Foto Jaringan ..................................................................................................... 53
4 Riwayat Penulis .................................................................................................. 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Histoteknik adalah metode membuat sajian histologi dari spesimen
tertentu melalui suatu rangkaian proses hingga menjadi sajian yang siap untuk
dianalisis. Spesimen tertentu dapat berupa jaringan dari manusia atau hewan.
Teknik ini merupakan salah satu teknik laboratorium yang dipergunakan dalam
kegiatan eksperimental. Hasil pemeriksaan dari teknik ini adalah berupa spesimen
mikroskopik setelah dilakukan pewarnaan sesuai dengan yang dibutuhkan, salah
satunya adalah dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).1,2,3
Salah satu tahapan histoteknik adalah fiksasi. Fiksasi bertujuan untuk
mengawetkan jaringan dan mengeraskan jaringan, agar jaringan yang akan
diamati tidak mengalami perubahan bentuk ataupun ukuran.3 Fiksasi juga dapat
membunuh bakteri yang dapat membuat jaringan membusuk. Fiksasi yang
digunakan pada penelitian ini adalah fiksasi formalin 10% karena formalin lebih
mudah dipersiapkan dan cairan fiksatif formalin akan mengawetkan struktur
jaringan dengan sangat baik. Proses fiksasi lebih dari 24 jam dapat menyebabkan
pengerasan jaringan.4 Pada penelitian ini fiksasi jaringan dilakukan selama 2
minggu, karena peneliti sebagai mahasiswa kedokteran memiliki jadwal yang
sangat padat, sedangkan waktu yang disarankan untuk fiksasi adalah 12-24 jam.
Sehingga, untuk melakukan penelitian sulit untuk medapatkan waktu.3,10
Penelitian di suatu laboratorium sebaiknya terdapat SOP (Standar
Operasional Prosedur). Namun, sejak tahun 2005 laboratorium Histologi dan
Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta belum mempunyai SOP mengenai histoteknik, khususnya tentang metode
fiksasi. Hal ini dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran mahasiswa di bidang
penelitian yang menggunakan laboratorium Histologi dan Animal House. Faktor
yang mempengaruhi validitas dari SOP suatu laboratorium di sebuah institusi
adalah mempunyai peralatan yang lengkap, peneliti yang memiliki kemampuan
dan pengalaman dalam meneliti, terdapat acuan dari petunjuk SOP lain, dan
2
kemampuan dalam kontrol dan kendali mutu terhadap penelitian dan hasil
analisisnya.5 Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
dengan mengubah SOP waktu fiksasi menjadi 2 minggu memberikan hasil lebih
baik, guna penyusunan SOP mengenai histoteknik, khususnya metode fiksasi 2
minggu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran histologi ginjal, hepar, dan pankreas
tikus Sprague dawley yang difiksasi dengan formalin selama 2
minggu?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mendapatkan data untuk menyusun SOP baku histoteknik yang dapat
diterapkan di laboratorium animal house dan Histologi FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui gambaran histologi organ tikus ginjal, hepar, dan pankreas
tikus Sprague dawley yang difiksasi dengan formalin selama 2 minggu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
1. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman akan penelitian
bersifat eksperimental.
2. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman mengenai histoteknik.
3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3
1.4.2. Bagi Institusi
1. Menjadi bahan acuan pembuatan SOP histoteknik di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lain.
2. Menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga dapat digunakan untuk penelitian lebih dalam lagi bagi
peneliti yang lain.
1.4.3. Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman masyarakat
dalam melakukan histoteknik yang digunakan dalam pembuatan
preparat jaringan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Euthanasia
Euthanasia berasal dari istilah Yunani, eu yang artinya baik dan Thanatos
yang artinya kematian. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan
mengakhiri kehidupan binatang atau individu dengan cara yang meminimalkan
atau menghilangkan rasa sakit dan penderitaan. Kebijakan Dinas Kesehatan
mensyaratkan yakni Kelembagaan Perawatan Hewan dan Penggunaan Komite
menentukan bahwa metode euthanasia digunakan dalam proposal penelitian
konsisten dengan rekomendasi dari 2013 American Veterinary Medical
Association ( AVMA ).
Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk euthanasia menurut
rekomendasi AVMA meliputi:
1. Nyeri, kecemasan, dan ketakutan yang dirasakan oleh hewan coba harus
seminimal mungkin,
2. Waktu yang dibutuhkan hingga hewan coba tidak sadarkan diri minimal,
3. Keandalan dan ireversibilitas,
4. Keselamatan laboran, khususnya efek emosional,
5. Spesies dan keterbatasan umur.6
Euthanasia menyebabkan kematian oleh tiga mekanisme dasar: (1) depresi
langsung neuron yang diperlukan untuk fungsi kehidupan, (2) hipoksia, dan (3)
gangguan fisik aktivitas otak. Proses euthanasia harus meminimalkan atau
menghilangkan rasa sakit, kecemasan, dan tekanan sebelum kehilangan
kesadaran.6,16
5
Dari kriteria diatas, terdapat beberapa teknik yang dapat dipakai dan
diterima secara umum. Berikut adalah teknik-teknik euthanasia yang disetujui
oleh AVMSA :
1. Karbon dioksida
Menghirup CO2 menyebabkan asidosis resiratorik dan menghasilkan
keadaan anestesi yang reversibel oleh penurunan pH intraseluler yang
cepat.
Karbon dioksida memiliki potensi untuk menyebabkan distress pada
hewan melalui tiga mekanisme yang berbeda :
a. Nyeri akibat pembentukan asam karbonat pada saluran
pernafasan dan okular membran,
b. Hipoksia sehingga timbul perasaan sesak nafas,
c. Stimulasi langsung dari saluran ion dalam amigdala yang
terkait dengan respon rasa takut.6,8,9,16
2. Overdosis Barbiturat
Barbiturat menekan Sistem Saraf Pusat (SSP) dengan mekanisme yang
dimulai dari korteks serebral, dengan hilangnya kesadaran maju ke
anestesi. Dengan overdosis, anestesi yang mendalam berkembang menjadi
apnea karena depresi pusat pernapasan, dan ini diikuti oleh serangan
jantung.2 Semua turunan asam barbiturat digunakan untuk anestesi yang
dapat diterima untuk euthanasia bila diberikan intravena. Barbiturat yang
diinginkan adalah yang efeknya kuat, tidak menyebabkan iritasi, masa
kerjanya panjang, stabil dalam larutan, dan murah. Sodium pentobarbital
terbaik sesuai kriteria ini dan paling banyak digunakan.
Keuntungan utama dari barbiturat adalah:
a. Kecepatan tindakan. Efek ini tergantung pada dosis,
konsentrasi, rute, dan tingkat injeksi.
b. Barbiturat menginduksi euthanasia dengan sangat lancar, tetapi
ketidaknyamanan yang ditimbulkan juga sangat minimal.
c. Barbiturat lebih murah dibandingkan agen euthanasia lainnya.
d. Tim administrasi obat-obatan dan makanan menyetujui
barbiturat solusi yang tepat untuk euthanasia.6,8,16
6
3. Dekapitasi Tikus Dewasa
Cara euthanasia seperti ini sebaiknya dihindari. Cara ini hanya dapat
dilakukan jika dalam penelitian terdapat kebutuhan khusus dan prosedur
ini sudah mendapatkan persetujuan dari Institusi hewan coba.6,8,16
4. Dislokasi Servikal
Metode ini dilakukan dengan cara memisahkan vertebra pada daerah
servikal dengan cubitan pada area leher dan menarik ekor tikus. Cara ini
mudah dan efisien, namun kurang direkomendasikan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan, khususnya pada area servikal. Syarat
untuk dapat melakukan metode ini ialah, berat tikus kurang dari 200
gr.6,18,16
2.1.2. Teknik Fiksasi
Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan komponen-komponen
sel atau jaringan agar tidak mengalami perubahan dan tidak mudah rusak. Proses
fiksasi ini diharapkan setiap molekul pada jaringan yang hidup tetap berada pada
tempatnya dan tidak ada molekul baru yang timbul. Pada prosesnya ini tentu tidak
akan berjalan dengan sempurna, apabila timbul molekul asing baru pada
jaringannya disebut artefak. Tujuan fiksasi ini agar jaringan tersebut tetap utuh.
Fiksasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah pengangkatan jaringan atau
setelah kematian agar tidak terjadi autolisis.2,,4,11
Sel dari sebuah jaringan ditentukan dari bentuk dan ukuran makromolekul
yang ada di dalam sel. Makromolekul utama yang ada dalam sel adalah protein
dan asam nukleat. Fiksasi merupakan bagian terpenting dari semua teknik
histologi dan sitologi dengan tetap memberikan warna yang alami, untuk mecegah
terjadinya denaturasi protein yang berlanjut terdapat tiga metode, yaitu dengan
koagulasi, membentuk senyawa aditif, atau gabungan dari koagulasi dan senyawa
aditif.10,12
7
Prinsip kerja dari fiksasi adalah mengawetkan bentuk sel dan organel
sehingga mendekati bentuk fisiologinya. Cairan fiksatif mengubah komposisi
jaringan secara kimiawi dan fisik. Secara kimiawi, protein sel diubah secara
fungsional dan struktural dengan cara koagulasi dan membentuk senyawa aditif
baru. Senyawa tersebut terbentuk dengan cara ikatan silang dari dua
makromolekul yang berbeda, yakni cairan fiksatif dan protein sel. Hal ini
menyebabkan sel resisten terhadap gerakan air dan cairan-cairan lainnya.
Akibatnya, struktur sel menjadi stabil, baik di dalam maupun di antara sel-sel.
Selain itu, kebanyakan enzim di dalam sel menjadi terinaktivasi, sehingga proses
metabolisme sel tidak terjadi, dan mencegah adanya autolisis sel. Secara fisik,
membran sel yang awalnya hidrofilik, dilarutkan dengan cairan fiksatif, yang
menyebabkan pori-pori sel membesar. Akibatnya, makromolekul dapat memasuki
sel. Hal ini membantu untuk teknik setelah fiksasi, khususnya pada proses
parafinisasi dan pewarnaan dimana zat-zat tersebut akan dapat masuk ke dalam sel
dan menempel dengan mudah. 4,10,12
Pada metode koagulasi tidak semua zat dikoagulasikan, contohnya fiksasi
dengan asam asetat dimana kromatin terkoagulasi tetapi protein tidak dapat
terkoagulasi. Hal ini memberi keuntungan untuk penggunaan parafin dan antibodi.
Dengan metode ini juga akan meningkatkan paparan sel terhadap antigen
sehingga sel tersebut menjadi lebih sensitif. Sedangkan pada metode kombinasi
akan memberikan efek lain pada sel yaitu mengontrol tekanan osmotik,
mengontrol pH, dan meniadakan efek sel yang membengkak ataupun mengkerut
akibat paparan zat lain.12
Fiksasi yang baik harus memenuhi beberapa syarat, sebagai berikut:
1. Fiksasi dilakukan dengan penekanan yang cepat dan sejajar,
2. Fiksasi tidak menyulitkan dan murah biaya,
3. Fiksasi menggunakan alat yang keras guna mempermudah pemotongan,
4. Fiksasi harus bisa menghambat pembusukan bakteri dan terjadinya
autolisis,
5. Fiksasi harus memberikan perbedaan gambaran mikroskopik yang
bagus,
8
6. Fiksasi tidak boleh menyebabkan iritasi, keracunan, dan korosif,
7. Fiksasi tidak boleh menyebabkan penyusutan, pembengkakan, atau
perubahan sel lainnya,
8. Fiksasi harus bisa membuat jaringan menjadi tahan lama,
9. Fiksasi harus mendapatkan izin untuk pengembalian warna dasar sebagai
objek pengambilan foto.4,11
Klasifikasi fiksasi terdapat tiga kelas, berikut pembagiannya:
1. Berdasarkan komposisinya dibedakan menjadi dua, yaitu:
Sederhana : Larutan fiksasi yang hanya menggunakan 1 jenis.
contoh : formalin, etanol
Campuran :Larutan fiksasi yang digunakan lebih dari 1 jenis.
contoh: etanol + asam asetat glasial dan
formaldehida + merkuri klorida.
2. Berdasarkan efek terhadap sel dan jaringan:
Mikroanatomi : Fiksasi yang memperlihatkan jaringan dengan cara
yang disetujui oleh studi mikroskopik secara
umum.
Sitologi : Fiksasi dengan melihat struktur intrasel yangdibagi
menjadi dua bagian, yaitu nukleus dengan pH
kurang dari 4,6 dan sitoplasma dengan pH lebih
dari 4,6.
3. Berdasarkan golongannya:
Aldehid : formaldehida, glutaraldehida,
akrolein,
glioksal.
Oxidizing agents : osmium tetroksida, potassium
dikromat, asam kromatik.
Unknown mechanism : asam pikrat, merkuri klorida.
Protein-denaturing agents : asam asetat, metil alkohol, etil
alkohol.
Physical : panas, microwave.4,10
9
Faktor-faktor yang mempengaruhi fiksasi:
1. pH
pH optimal untuk dilakukan fiksasi adalah 6-8. Jika pH diluar
rentang nilai tersebut maka secara garis besar dapat menyebabkan
perubahan pada struktur jaringan, menjadi rusak akibat presipitasi sel.
Perubahan pH akan mempengaruhi jumlah ion sehingga akan terjadi
peningkatan atau penurunan laju reaksi yang memberikan efek pada
pengamatan mikroskopik.4,10,15
2. Suhu
Fiksasi yang akan dilihat dengan mikroskop elektron lebih baik
disimpan pada suhu 0-4°C. Penggunaan panas untuk fiksasi dibidang
bakteriologi biasanya formalin yang dipanaskan dengan suhu 60°C.2,10
3. Penetrasi
Penetrasi saat fiksasi biasanya berlangsung lambat karena dinding
sel bersifat semi permeabel. Komponen yang ada dalam intrasel akan
menahan daya penetrasi saat fiksasi. Untuk menghitung kedalaman
penetrasi menggunakan rumus sebagai berikut :
d = K √𝑡
Dimana d merupakan kedalaman penetrasi dalam (mm), K merupakan
koefisien dari kemampuan difusi suatu zat fiksasi, dan t adalah waktu
fiksasi (jam).
Berikut adalah nilai K pada beberapa pelarut.
Zat fiksasi Nilai K
10% formalin dalam suhu ruangan 0,78mm/jam
0,1% asam pikrat C6H3N3O7 0,5mm/jam
Etanol C2H6O 0,1mm/jam
0,3% potassium dikromat 1,33mm/jam
10
Untuk kebutuhan tertentu, penetrasi memiliki nilai tersendiri, seperti
pada mikroskop elektron (1mm3). Selain itu pengambilan penetrasi pada
jaringan seperti uterus harus dibuka dengan lebar, sedangkan limfa
dipotong dengan tipis.2,10
4. Perubahan volume
Selama fiksasi, volume jaringan biasanya mengalami perubahan.
Hal ini disebabkan oleh penghambatan respirasi intraseluler, perubahan
permeabilitas, dan perubahan transport ion. Fiksasi dengan formalin
yang berkepanjangan akan membuat sel menyusut. Volume sel harus
dijaga dalam batas normal agar pada saat pengamatan terlihat seperti sel
yang hidup.10
5. Osmolaritas
Osmolaritas berperan penting dalam menjaga bentuk sel. Nilai
normal untuk osmolaritas yang isotonik adalah 340-400 mOsm. Jika
osmolaritas terlalu tinggi atau hipertonik maka sel akan mengalami
penyusutan.10
6. Substansi yang ditambahkan pada larutan
Larutan fiksasi biasanya terdiri dari beberapa zat, yakni agen
fiksasi, larutan penyangga, dan air. Pada penelitian secara biokimiawi
penambahan garam dapat menyebabkan denaturasi, namun garam seperti
amonium sulfat dan potasium dihidrogen fosfat dapat memberikan efek
stabilisasi protein yang kuat. Asam tanik dapat meningkatkan fiksasi
lemak dan protein pada pengamatan mikroskop elektron yakni dengan
memperbaiki kerja mikrotubulus dan filamen.10
7. Penggunaan Detergen Selama Fiksasi
Penggunaan detergen selama fiksasi akan mempermudah
masuknya molekul besar tanpa merusak membran sel yang dilihat
dengan menggunakan mikroskop elektron. Penambahan detergen ini
hanya bisa dilakukan pada molekul yang memiliki berat >150.000
Daltons.10
11
8. Konsentrasi
Konsentrasi memberikan efek positif yaitu dengan mempercepat
proses fiksasi melalui banyaknya molekul yang terbentuk. Namun ada
beberapa batasan dalam hal ini, yakni :
Pertama, beberapa fiksasi harganya mahal, sehingga tidak dapat
dikonsentrasikan.
Kedua, nilai maksimum suatu daya larut fiksasi menentukan pada
batas mana fiksasi bisa digunakan. Contohnya penggunaan asam
pikrat dengan konsentrasi 1% dapat digunakan sebagai fiksatif,
tetapi jika menggunakan konsentrasi 10% asam pikrat tidak bisa
digunakan sebagai fiksatif.10
9. Durasi/Waktu
Secara umum fiksasi dilakukan selama 12-24 jam pada suhu
ruangan yang berkisar 25-30°C. Waktu fiksasi tergantung dari jenis
fiksatifnya, larutan formalin harus membutuhkan waktu minimal 24 jam
baru bisa dilakukan dehidrasi. Jika jaringan difiksasi dengan formalin
selama 24 jam maka sebagian besar dari formalin tersebut akan luruh,
tetapi formaldehida bereaksi sangat cepat dengan komponen jaringan
dan sebagian reaksi bersifat reversible. Semakin lama fiksasi dengan
formalin dapat menyebabkan penyusutan dan pengerasan dari
jaringan.10,12
2.1.2.1.Fiksasi Formalin
Formalin atau formaldehida adalah gas yang terbentuk dalam gugus
aldehida (-CHO). Konsentrasi formaldehida yang sering digunakan untuk fiksasi
adalah 4%-10%. Formaldehida adalah gas yang keras sehingga dapat
menyebabkan terjadinya iritasi. Salah satu alasan menggunakan formaldehida
dalam fiksasi karena dapat menurunkan tekanan atmosfer dan vakum untuk
pemroresan jaringan. Formaldehida yang dijual di pasaran berkisar 35%-40%
namun kemungkinan terdapat zat-zat yang tidak murni seperti asam format dan
metanol. Tetapi formaldehida yang dapat digunakan untuk memfiksasi jaringan
12
adalah konsentrasi 10%, sedangkan untuk memfiksasi jaringan otak digunakan
konsentrasi 15%.10,12
Dalam larutan, formalin berbentuk monohidrat yang setimbang dengan
metilen glikol, tetapi dalam kesetimbangan tersebut masih terdapat molekul
polimer. Pada beberapa penelitian formaldehida yang dianjurkan dengan
menggunakan pH 7 dan fosfat sebagai penyangga pH tersebut agar tetap konstan.
Proses fiksasi berlangsung selama 12-18 jam dan dilanjutkan dengan fenol
formalin selama 6 jam atau lebih. Penggunaan formalin sebagai fiksasi
direkomendasikan untuk kebutuhan teknik histologi dan histokimia. Dalam
beberapa fiksasi, alkohol ditambahkan ke dalam formalin karena memiliki
keuntungan lebih cepat dan menghasilkan glikogen yang lebih baik meskipun sel
darah merah banyak yang hancur.10,12
Kelebihan dari formaldehida:
1. Formalin lebih murah, mudah dipersiapkan, dan stabil.
2. Formalin memfiksasi jaringan tanpa merubah warna asli dari jaringan
tersebut.
3. Formalin tidak menyebabkan penyusutan dan kerapuhan.
4. Fiksasi yang terbaik untuk jaringan saraf.
5. Potongan beku lebih mudah diambil dengan menggunakan formalin.
6. Pewarnaan yang berbeda bisa digunakan dari jaringan yang
menggunakan formalin.
7. Fiksasi yang baik untuk lemak dan protein.
8. Ikatan fiksasi dari formalin dapat mudah dipersiapkan untuk pengerjaan
suatu jaringan. Jaringan yang telah menggunakan formalin tidak perlu
dicuci sebelum pengerjaan.4
13
Kekurangan dari formaldehida :
1. Salah satu fiksasi yang beracun dan dapat menyebabkan iritasi pada
kulit jika digunakan dalam waktu yang lama.
2. Dapat menguap ke udara sehingga dapat menyebabkan iritasi pada
mukosa hidung.
3. Dapat menyebabkan asma pada orang yang mengalami alergi.
4. Dalam penyimpanan yang lama, terutama dalam suhu yang dingin
dapat berubah menjadi paraformaldehida yang tidak efektif untuk
fiksasi dan juga memiliki bau yang tidak nyaman akibat proses
dekomposisi.
5. Untuk penggunaan mikroskop elektron harus menggunakan formalin
yang murni tanpa metanol.
6. Asam format yang terdapat dalam formalin dapat menurunkan kualitas
pewarnaan dan mengotori nukleus.
7. Pada jaringan yang mengandung banyak darah seperti limfa, formalin
yang tidak berikan buffer akan menyebabkan pembentukan artefak
berwarna hitam dan bergranul.
8. Formalin memiliki kecepatan fiksasi yang standar karena waktu yang
dibutuhkan hanya 12-24 jam.4
2.1.3. Teknik Pembuatan Blok
Metode yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metode parafin yaitu
metode yang paling sering digunakan. Keuntungan menggunakan metode ini yaitu
pertama, irisan dapat lebih tipis dibandingkan menggunakan metode lainnya yaitu
dapat mencapai ketebalan rata-rata 6 mikron. Kedua, irisan yang sifatnya seri
dapat dengan mudah dikerjakan. Ketiga, proses pengerjaannya lebih cepat
dibandingkan dengan metode seloidin (mikrotom beku). Selain keuntungan tentu
ada kerugian dari metode ini yaitu jaringannya akan menjadi keras, mengerut dan
mudah patah serta untuk jaringan yang besar akan sulit dikerjakan dan enzim-
enzim akan larut pada metode ini.
Proses pengolahan pembuatan blok ini dimulai dari fiksasi, pencucian
(washing), dehidrasi, perjernihan (clearing), infiltrasi parafin, penanaman
14
(embedding), penyayatan (section), penempelan (affixing), deparafinisasi,
pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labeling.4,10
2.1.3.1 Dehidrasi
Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh
cairan yang terdapat dalam jaringan setelah dilakukan proses fiksasi sehingga
nantinya dapat diisi dengan parafin untuk membuat blok preparat. Proses
dehidrasi ini menggunakan alkohol bertingkat. Mulai dari alkohol 30%, 50%,
70%, 80%, 95%, dan alkohol absolut. Prosesnya, suatu jaringan akan dicelupkan
dimasing-masing alkohol dengan kisaran waktu tertentu sampai prosesnya
berakhir.1,3
Dehidrasi kuat yang lebih cepat menarik air daripada alkohol adalah
aseton yang lebih murah biayanya, dan hanya membutuhkan satu macam
konsentrasi saja. Namun aseton dapat menyebabkan jaringan menjadi mengkerut,
distorsi, sangat kering, dan terlalu keras sehingga menyebabkan masalah saat
pemotongan setebal 2-7 mikron dengan mikrotom.4
2.1.3.2 Penjernihan (clearing)
Penjernihan adalah metode yang digunakan mengeluarkan alkohol dari
jaringan dan menggantikannya dengan suatu larutan yang berikatan dengan
parafin. Pada proses clearing ini sangat penting karena apabila dijaringan masih
tersisa alkohol walaupun sedikit, parafin tidak akan bisa masuk ke dalam jaringan.
Sehingga jaringan nantinya tidak akan sempurna dalam pembuatan blocking,
pemotongan, dan pewarnaan. Proses clearing ini menggunakan bermacam-macam
zat penjernih yaitu xylol atau xylene dan toluol atau toluene yang memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Xylol atau xylene kelebihannya
yaitu prosesnya cepat dan harganya tidak terlalu mahal. Kekurangannya yaitu
jaringan yang dapat dipindahkan hanya dari alkohol absolut, dan jaringan yang
dijernihkan dengan xylene tidak begitu jelas menjadi transparan, sehingga tidak
diketahui proses ini berjalan sempurna atau tidak.1,4
Toluol atau toluene kelebihannya yaitu sudah banyak dipergunakan oleh
kebanyakan laboratorium, harganya murah, mudah didapat, dan jaringan yang
penjernihannya sempurna akan terlihat jelas transparan. Tetapi apabila jaringan
tidak terlihat transparan berarti proses dehidrasi yang sebelumnya belum
15
sempurna. Kekurangannya yaitu jaringan hanya bisa dipindahkan dari alkohol
absolut apabila jaringan terlalu lama di toluol akan menyebabkan kerasnya
jaringan sehingga sukar untuk dipotong menggunakan mikrotom.13
Jenis larutan yang digunakan dalam penjernihan:
1. Xylene
Xylene memberikan hasil yang bagus pada jaringan yang lebarnya
tidak melebihi 4 mm. Pemberian minyak imersi juga tidak boleh
terlalu lama karena dapat mengalami distorsi pada jaringan.13
2. Toluene
Toluene memiliki kemampuan yang sama seperti xylene, tetapi tidak
berefek pada pemberian minyak imersi yang lama. Zat ini cocok untuk
pembersihan secara otomatis meskipun memiliki efek yang
berbahaya.13
2.1.3.3.Penanaman (embedding)
Penanaman (embedding) merupakan proses untuk mengeluarkan cairan
pembening dari jaringan dan digantikan dengan parafin. Jaringan ini harus
terbebas dari cairan pembening karena nantinya akan mengkristal dan sewaktu
dipotong jaringan akan mudah robek. Berdasarkan metode prosesnya yaitu
jaringan akan di dibenamkan di larutan parafin selama 3x dan dalam jangka waktu
tertentu sambil dipanaskan agar parafinnya tidak membeku. Keuntungan
menggunakan parafin dengan titik lebur rendah yaitu jaringannya tidak mudah
menjadi rapuh.3,4
Paraffin wax adalah medium yang sering digunakan untuk mengisi suatu
wadah dengan memecahkan minyak mineral dan digabung dengan senyawa
hidrokarbon jenuh. Beberapa jenis parafin memiliki titik lebur yang bervariasi
yang berkisar antara 40-70°C. Normalnya parafin melebur pada suhu 54-58°C.
Jika ingin mendapatkan parafin yang sesuai dengan kebutuhan dapat
menambahkan beberapa zat, seperti lard, beeswax, satiric acid, rubber, dan
ceresin.4,13
16
Paraplast merupakan medium yang tersusun dari parafin murni dan
beberapa polimer plastik sintesis. Paraplast memiliki rentan titik lebur yang lebih
sempit daripada parafin yakni 56-57°C. Keuntungan memakai paraplast yaitu sifat
parafinnya sangat elastis sehingga tidak mudah sobek atau rusak ketika
dipotong.4,13
2.1.3.4.Pembuatan blocking
Pembuatan blocking merupakan proses pembuatan preparat agar dapat
dipotong menggunakan mikrotom. Proses ini menggunakan parafin sebagai alat
menempelkan jaringannya agar mudah dipotong. Prosesnya yaitu dengan
menyiapkan tempat blocking, dan menuangkan parafin, dilanjutkan dengan
memasukan organ kedalam parafin yang sudah disediakan. Selanjutnya setelah
blok parafin kering dan sudah beku dapat dikeluarkan dari tempat blocking dan
dapat dilanjutkan ke proses selanjutnya.13
Blok parafin yang sudah beku dan akan dipotong harus diberi label atau
disebut affixing, metode ini bertujuan agar diketahui organ yang akan dipotong
nanti. Pengecoran (Blocking) adalah proses pembuatan blok preparat agar dapat
dipotong dengan mikrotom.13
2.1.4. Pemotongan Organ
Pemotongan organ dilakukan menggunakan pisau khusus yang biasa disebut
mikrotom. Mikrotom adalah alat yang dilengkapi dengan pisau yang tajam dan
dapat mengiris potongan block dengan sangat tipis dan sesuai dengan ukuran
ketebalan yang kita inginkan. Terdapat berbagai jenis mikrotom yaitu:14
17
1. Hand microtome
Merupakan jenis mikrotom yang sangat simpel dan biasanya digunakan
untuk memotong tumbuhan dan jaringan hewan, tetapi mikrotom jenis ini
sangat terbatas kemampuannya untuk memotong jaringan setipis
mungkin.4,14
2. Rocking microtome
Mikrotom jenis ini merupakan jenis yang hanya bisa memotong jaringan
yang lembut dan tingkat kesulitannya rendah. Untuk jaringan yang lebih
sulit contohnya, jaringan yang tingkat kekakuannya tinggi dapat
menggunakan jenis rotary microtome atau base sledge microtome
dibandingkan dengan rocking microtome.4,14
3. Rotary microtome
Mikrotom jenis ini memiliki banyak keuntungan dan jenis yang paling
cocok dengan metode block parafin. Mikrotom ini juga dapat memotong
jaringan yang sangat besar dan tingkat kesulitan yang besar. Dengan
metode ini, block dapat dipotong hingga ketebalan 0,5 sampai 2
mikrometer.4,14
4. Freezing microtome
Metode ini memiliki banyak keuntungan yaitu diantaranya prosesnya
cepat, jaringan yang mengkerut lebih sedikit dibandingkan dengan metode
parafin serta hampir semua metode pewarnaan dapat dilakukan
menggunakan metode ini. Selain keuntungan ada juga keburukannya yaitu,
irisan yang tipis dan irisan yang sering sulit untuk diperoleh.4,14
5. Base sledge microtome
Mikrotom jenis ini merupakan jenis yang paling banyak digunakan.
Karena mikrotom jenis ini dapat memotong berbagai jenis, ukuran, dan
tingkat kekerasan suatu jaringan. Mikrotom jenis ini cara pegoperasiannya
secara hidrolik, sehingga memudahkan pemotongan dan dapat memotong
bahan yang sangat keras sekalipun.4,14
6. Vibrating knife microtome
Mikrotom jenis dapat memotong jaringan tanpa melakukan fiksasi.
Mikrotom ini memiliki keuntungan pada preparat jaringan untuk uji
18
enzimatik. Prinsip mikrotom ini dengan menggunakan elektron yang
berada di jaringan, sehingga mampu memproses untuk pemotongan
mikroskopik.4,14
Prosedur persiapan pemotongan jaringan yaitu:
1. Mempersiapkan pisau mikrotom
Jaringan yang akan dipotong harus menggunakan pisau yang tajam. Maka
dari itu, pisau harus dipastikan ketajamannya dan harus diasah terlebih
dahulu agar jaringan nantinya akan terpotong dengan baik. Selanjutnya
pisau mikrotom diletakkan dengan sudut tertentu dan diatur ketebalan
yang diinginkan. Kemudian blok parafin yang telah direkatkan pada holder
letakkan ditempatnya pada mikrotom.
2. Persiapkan kaca objek
Sebelum jaringan yang telah dipotong dimasukan ke kaca objek, terlebih
dahulu dilakukan pelapisan kaca objek menggunakan zat perekat.
Contohnya, albumin, gelatin, starch, cellulose, sodium siliate, resin, poly-
L-lysine.
3. Persiapkan waterbath dengan suhu 37-40°C,
4. Persiapkan kuas untuk memudahkan pengambilan jaringan yang telah
dipotong.14
Teknik pemotongan blok parafin yaitu:
1. Blok parafin yang berisi jaringan diletakkan pada dudukan mikrotom dan
dikunci dengan kuat.
2. Atur sudut kemiringan pisau mikrotom. Biasanya berkisar 20-30 derajat.
3. Atur ketebalan yang diinginkan, ketebalan yang dipakai biasanya 5-7
mikrometer.
4. Gerakkan blok preparat kearah pisau sedekat mungkin dan potonglah blok
preparat secara teratur ketebalannya. Buang pita-pita parafin yang tanpa
jaringan sampai mendapatkan potongaan yang mengandung preparat
jaringan.
19
5. Pita parafin yang mengandung jaringan dipindahkan menggunakan kuas
ke dalam waterbath dengan suhu 37-40 derajat dan diamkan beberapa saat
sampai pita parafin yang berisi potongan jaringan mengembang dan tidak
menggulung.
6. Setelah pita parafin mengembang dengan baik, tempelkan pita parafin
pada kaca objek yang sebelumnya sudah direkatkan dengan albumin.
Masukkan kaca objek ke dalam waterbath sampai mendapatkan pita
parafin beserta jaringannya dan keluarkan secara perlahan.
7. Letakkan kaca objek yang berisi pita parafin diatas hotplate dengan suhu
40-45°C dan biarkan beberapa jam. Atau dapat juga menggunaakan cara
lain yaitu dengan melewatkan kaca objek di atas api sehingga pita parafin
merekat di atas kaca objek.
8. Setelah air mengering dan pita parafin sudah melekat dengan kuat, kaca
objek dapat dilanjutkan ke proses pewarnaan.1
2.1.5. Teknik Pewarnaan
Pewarnaan merupakan salah satu prosedur yang digunakan dalam bidang
histoteknik. Pewarnaan adalah proses pemberian warna pada jaringan yang telah
dipotong sehingga unsur jaringan menjadi kontras dan dapat diamati dengan
mikroskop. Zat warna yang sering digunakan dalam histoteknik sekarang adalah
hematoksilin dan eosin.4
Jika terdapat potongan jaringan yang tidak diwarnai dan langsung dilihat ke
mikroskop cahaya, maka komponen seluler tersebut terlihat sama antara organ
yang satu dengan yang lainnya. Pewarnaan dilakukan untuk memberikan
perbedaan warna pada komponen tiap sel.4
Faktor yang mempengaruhi pewarnaan:
1. Reaksi asam basa
Komponen sel di alam terdiri dari komponen asam dan basa. Untuk
komponen asam dapat diwarnai dengan komponen basa dan pelarut dasar,
begitupun sebaliknya.
‘’
20
2. Adsorbsi
Dalam adsorbsi, molekul kecil nantinya akan menempel pada molekul sel
yang lebih besar.
3. Perbedaan kelarutan
Pada larutan yang berbeda, jenis pewarnaan tergantung dari tingkat
kelarutan yang ada pada sel. Contohnya, untuk pewarnaan lipid dapat
menggunakan sudan Black B atau Oil Red O.4
2.1.6. Pewarnaan HE
Hematoksilin didapatkan dari ekstrak pohon Haematoxyloncampechianum
Linnaeus yang berasal dari Amerika. Sebelum diberi warna oleh hematoksilin
terlebih dahulu jaringan harus dioksidasi dengan hematin, proses ini disebut
dengan pematangan. Jika menggunakan paparan oksigen proses pematangan ini
berlangsung spontan namun lama. Tetapi untuk proses pematangan yang
berlangsung dengan cepat dapat ditambahkan senyawa kimia, seperti merkuri
oksida dan sodium iodida.12
Saat ini hematoksilin yang dijual sudah dicampur dengan eosin untuk
mempermudah pewarnaan. Pada awalnya hematoksilin memberikan warna merah
baik pada sel maupun jaringan, untuk melihatnya disarankan untuk menggunakan
etanol 95% yang memiliki pH normal, agar jaringan dapat dilihat dengan
mikroskop. Hematoksilin dapat memberikan pewarnaan dengan dua metode yaitu,
secara progresif dan regresif. Pada metode regresif, jaringan dibiarkan dalam
larutan sampai beberapa waktu kemudian larutan tersebut dibuang. Sedangkan
pada metode progresif, jaringan di celupkan ke dalam larutan hematoksilin hingga
intensitas yang diinginkan tercapai seperti pada potongan jaringan yang beku.2,12
Eosin adalah pewarna asam yang memiliki afinitas terhadap sitoplasma sel
sedangkan pada hematoksilin memiliki afinitas terhadap nukleus. Eosin
penggunaannya lebih aman dibandingan dengan hematoksilin. Namun satu-
satunya masalah pada eosin adalah pewarnaan berlebih terutama pada jaringan
yang memiliki dekalsifikasi. 2,12
21
2.1.7. Gambaran Histologi Organ Tikus
2.1.7.1 Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk seperti kacang dibungkus oleh
suatu kapsula yang tipis dari jaringan ikat. Setiap ginjal terdiri atas 1-1,4 juta unit
fungsional yang disebut dengan nefron. Ginjal dibagi menjadi korteks dan
medula, dimana di dalamnya terdapat bagian nefron yang berbeda. Pada korteks
terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus kontortus, dan ansa henle
segmen tebal. Sedangkan pada medula ginjal terdiri dari ansa henle segmen tipis,
pembuluh darah kecil (vasa rekta), dan duktus kolektivus.17
Nefron terdiri atas korpuskulum renalis, tubulus kontortus proksimal, ansa
henle, dan tubulus kontortus distal, dan mencakup apparatus juxtaglomerularis.
Korpuskulum renalis terdiri atas glomerulus dan kapsula Bowman dan merupakan
struktur yang mana terjadi filtrasi darah. Kapsula Bowman pada korpuskulum
renalis terdiri atas lapisan viseralis dan lapisan parietalis. Korpuskulum renalis
memiliki epitel selapis gepeng yang membatasi kapsula Bowman. Pada tubulus
kontortus proksimal dibatasi oleh sel-sel epitel yang bentuknya tidak beraturan
(kubis sampai torak) yang mempunyai mikrovili membentuk batas sikat yang
jelas, dan sitoplasmanya banyak mengandung mitokondria akibatnya sel-sel epitel
ini sangat asidofil. Tubulus kontortus proksimal berlanjut sebagai tubulus lurus
yang lebih pendek dan memasuki medula serta menjadi gelung nefron. Gelung ini
merupakan struktur berbentuk U dengan segmen desendens dan segmen asendens.
Segmen tebal asendens gelung nefron menjadi lurus saat memasuki korteks, dan
kemudian berkelok-kelok sebagai tubulus kontortus distal. Selapis sel kuboid
tubulus ini berbeda dengan sel kuboid tubulus proksimal, karena lebih kecil dan
tidak memiliki brush border. Sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil
daripada sel tubulus proksimal, tampak lebih banyak inti di dinding tubulus distal
ketimbang di dinding tubulus proksimal. Tubulus kontortus distalis melewati
korpuskulum ginjal dan bergabung dengan duktus koligens. Ketika melewati
korpuskulum ginjal, saluran ini ikut menyusun apparatus juxtaglomerularis.18
22
Gambar 2.1. Ginjal tikus normal, dengan (a) perbesaran 4x, (b) perbesaran 10x,
(c) perbesaran 20x, dan (d) perbesaran 40x.21
(a) (b)
(c) (d)
23
2.1.7.2.Hati/Hepar
Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga. Hati
memproduksi empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorpsi lemak. Hati
dibungkus oleh suatu simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilus, tempat
vena porta dan a. hepatika memasuki organ dan keluarnya duktus hepatika kiri
dan kanan serta pembuluh limfe dari hati. Pembuluh-pembuluh dan duktus ini
dikelilingi jaringan ikat di sepanjang perjalanannya ke bagian ujung di dalam
celah portal di antara lobulus hati.20
Hati terdiri atas satu jenis sel parenkim yaitu hepatosit. Hepatosit adalah sel
polihidral yang besar dengan diameter 20-30 µm. Di dalam sel hati terdapat 1 atau
2 inti berbentuk bulat dan terdapat organel-organel sel seperti retikulum
endoplasma, mitokondria, badan golgi, dan benda-benda inklusi seperti lemak
glikogen.17
Pada organ ini, terdapat sel-sel parenkim hati yang merupakan sel-sel epitel
kubus tersusun dalam lempeng dan tali-tali yang saling beranastomosis. Sel-sel
parenkim hati merupakan struktur yang kompleks yang mempunyai peranan
penting dalam berbagai fungsi hati. Secara histologi, sejumlah mikrovili pada
permukaan sel-sel parenkim hati menonjol ke dalam celah Disse, dan terkadang
serat kolagen dan serat retikulin dapat ditemukan celah Disse yang merupakan
celah antara sel-sel epitel sinusoid dan sel-sel parenkim.18
24
Gambar 2.2.Hepar tikus normal dengan (a) perbesaran 4x, (b)perbesaran 10x, (c)
perbesaran 20x, dan(d) perbesaran 40x19
2.1.7.3.Pankreas
Pankreas adalah kelenjar campuran eksokrin-endokrin yang menghasilkan
enzim pencernaan dan hormon. Suatu simpai tipis jaringan ikat melapisi pankreas
dan menjulurkan septa ke dalamnya, dan memisahkan lobulus pankreas. Asini
sekretorik dikelilingi oleh suatu lamina basal yang disangga oleh selubung serat
retikular halus dan suatu jalinan kapiler yang luas. Enzim digestif dihasilkan oleh
sel bagian eksokrin dan hormon disintesis oleh kelompok sel epitel endokrin yang
dikenal sebagai pulau Langerhans. Sel-sel endokrin (pulau-pulau Langerhans)
pankreas mensekresi hormon insulin dan glukagon. Bagian eksokrin pankreas
adalah kelenjar asinar kompleks yang serupa dengan struktur kelenjar parotis. Sel-
sel eksokrin (asinar) mensekresi enzim-enzim pencernaan dan larutan berair yang
mengandung ion bikarbonat dalam konsentrasi tinggi.20
Pada sediaan histologi, keduanya dapat dibedakan karena tidak terdapat
duktus striata dan adanya pulau Langerhans pada pankreas. Ciri khas lain adalah
bahwa pada pankreas, bagian awal duktus interkalaris mempenetrasi lumen
(a) (b)
(c) (d)
25
asinus. Sel sentroasinar kecil yang terpulas pucat membentuk bagian intra-asinar
di duktus interkalaris dan hanya ditemukan pada asinus pankreas. Duktus
interkalaris bergabung membentuk duktus interlobular berukuran lebih besar yang
dilapisi epitel silindris. Tidak terdapat duktus striata di pankreas. Setiap asinus
eksokrin pankreas terdiri atas beberapa sel serosa yang mengelilingi lumen. Sel-
sel asinar sangat terpolarisasi, dengan inti sferis dan merupakan sel penghasil
protein yang khas. Pankreas menyekresikan 1,5 sampai 2 L getah per harinya.
Getah pankreas kaya akan ion bikarbonat (HCO3-) dan enzim digestif, termasuk
beberapa protoase (tripsinogen, kimotripsinogen, proelastase E, kallikreinogen,
prokarboksipeptidase), α-amilase, lipase, dan nuclease (DNAase, RNAase).20
Gambar 2.3. Pankreas tikus normal dengan (a) perbesaran 4x, (b) perbesaran
10x, (c) perbesaran 20x,dan (d) perbesaran 40x.19
(a) (b)
(c) (d)
26
2.2 Kerangka Teori
Fiksasi 2 minggu
Faktor yang mempengaruhi
Suhu pH Waktu Jenis cairan
fiksatif
Suhu rendah (<
0°C)menyebab
kan autolisis
sel
pH diluar rentang
dapat
menyebabkan
presipitasi sel
meningkat
Perbedaan daya
difusi
Kerusakan
jaringan
Gambar tidak baik
Lebih dari 24
jam semakin
mengeraskan
jaringan
Fiksasi dengan
formalin
Pembuatan
Jaringan
SOP Fiksasi pada
animal house
27
2.3 Kerangka Konsep
Pembuatan preparat
histologi
Fiksasi 2 minggu
Pankreas Hepar Ginjal
Identifikasi
mikroskopik
- Sel asinus
- Pulau Langerhans
- Glomerulus
- Tubulus kontortus
- Kapsula Bowman
- Hepatosit
- Trias porta
- Lobulus hepar
Kerusakan
jaringan
28
2.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
operasional
Alat ukur Cara
pengukuran
Hasil pengukuran
1 Preparat
Ginjal
-glomerulus
-tubulus kontortus
distal dan
proksimal
-kapsula bowman
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi
denngan
perbesaran
20x dan 40x
-glomerulus dan
tubulus yang
difiksasi 2 minggu
tidak sesuai
gambaran atlas.
2 Preparat
Hepar
-hepatosit
-trias porta
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi
dengan
perbesaran
20x, dan
40x
-hepatosit normal
sesuai atlas
-trias porta yang
difiksasi 2 minggu
tidak sesuai
gambaran atlas
3 Preparat
pankreas
-sel asinar
-pulau langerhans
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi
dengan
perbesaran
20x, dan
40x
-sel asinar dan
pulau langerhans
yang difiksasi 2
minggu tidak
sesuai gambaran
atlas
29
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain
eksperimental.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal House, Biokimia,
Biologi, Farmakologi, dan Riset Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jl.
Kertamukti No. 05, Pisangan Ciputat 15419, Tangerang Selatan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan
strain Sprague dawley umur 80 hari dengan berat badan rata-rata 180-200
gram. Hewan coba diperoleh dari Departemen Patologi Institut Pertanian
Bogor. (Lampiran 1)
Pada penelitian ini menggunakan 1 sampel, organ yang digunakan sebagai
sampel adalah hepar, pankreas dan ginjal.
3.4. Cara Kerja Penelitian
3.4.1. Alat Penelitian
- Kapas
- minor set surgeon
- papan potong
- zipline plastic bag
- Gelas ukur (1000 ml, 500 ml)
- beaker Glass (1000 ml, 500 ml)
- corong kaca
- Incubator
- Hotplate stirer (sRS 710 HA), dan vials stopper tools neck.
30
- Cetakan blocking
- bunsen
- mikrotom geser
- korek api gas
- waterbath
- kulkas
- beaker glass 200 ml
- Object glass
- Cover glass
- staining jar
- mikroskop shimadzu T025A
- spatula kaca
- timer
- Kotak preparat
- kamera preparat
- komputer lab, DVD foto
- mikroskop Olympus BX41
- Tisu dan Tisu berpori khusus.
3.4.2.Bahan Penelitian
- eter untuk anastesi.
- Formalin
- Aquades
- alkohol absolut CH3CH2OH Mallinckrodt Chemicals
- alkohol 95%.
- Paraplast Leica Microsystem.
- Spiritus
- Putih telur, gliserin
- es batu.
- Hematoksilin
- eosin
- Xylol
31
- canada balsam
- aquadest
- H2SO4, alkohol absolut CH3CH2OH
- alkohol 95%.
3.4.3. Adaptasi Hewan Coba
Setelah hewan tiba di laboratorium Animal House, hewan coba
diadaptasikan selama 14 hari dengan diberi makan dan minum ad
libitum. Bedding dan kandang diganti dengan yang baru setiap 3 hari.
3.4.4. Tahap Nekropsi
Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Kemudian ambil
plastik yang sudah ditulis nama atau kode tikus dan organ. Tuangkan
formalin 10% ke dalam plastik sekitar 20x volume jaringan sampel.
Tikus dianastesi dengan cara dimasukkan ke dalam toples berisi kapas
yang diberikan eter. Tunggu hingga tikus hilang kesadaran dengan
cara memberikan rangsang nyeri pada telapak kaki tikus, bila tidak
memberi respon maka efek anastesi sudah bekerja. Proses
pembedahan dilakukan pada bagian abdominothoracal dan dilakukan
nekropsi organ hepar, pankreas, ginjal. Organ dipotong dengan
ketebalan 3-5 mm dan dimasukan ke dalam plastik yang berisi
formalin 10%.
32
3.4.4.1. Fiksasi
Fiksasi bertujuan untuk mempertahankan kondisi jaringan agar
tidak mengalami kerusakan atau tetap berada dalam kondisi awalnya
dalam waktu yang lama. Cairan fiksasi yang digunakan adalah cairan
formalin 10%.
Potongan organ tersebut direndam ke dalam cairan formalin
10% selama 2 minggu pada suhu sekitar 4oC. Beri nama pada label
plastik sesuai kode yang dibutuhkan.
3.4.5. Tahap Pemrosesan Jaringan
3.4.5.1. Dehidrasi
Proses dehidrasi menggunakan alkohol dengan variasi
konsentrasi 50%, 70%, 80%, 90%. Pengenceran alkohol dilakukan
dengan cara penghitungan sebagai berikut:
1. Pengenceran alkohol 50% = 500 ml alkohol 95% + 450 ml
akuades
2. Pengenceran alkohol 70% = 700 ml alkohol 95% + 250 ml
akuades
3. Pengenceran alkohol 80% = 800 ml akohol 95% + 150 ml
akuades
4. Pengenceran alkohol 90% = 900 ml alkohol 95% + 50 ml
akuades
Setiap konsentrasi larutan alkohol tersebut ditempatkan pada 3
buah pot plastik masing-masing setinggi 2/3 pot plastik. Setiap pot
dengan konsentrasi alkohol yang sama diberi label I, II, III untuk
menandakan urutan proses dehidrasi.
Tahap dehidrasi dimulai dengan memasukkan potongan hepar,
ginjal, dan pankreas ke dalam pot plastik berlabel I, II, lalu III.
33
Potongan organ direndam selama 15 menit secara berurutan ke
dalam larutan alkohol 50%, 70%, 80%, 90% dan 95%. 21
3.4.5.2.Clearing
Tahapan Clearing bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari
jaringan, karena alkohol dan parafin tidak dapat menyatu,
sehingga larutan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan dapat
berikatan dengan parafin. Pada tahapan ini digunakan larutan
toluol:alkohol (1:1) dan toluol murni.
Pertama, potongan organ dimasukan ke dalam larutan
toluol:alkohol (1:1) dan direndam selama 25 menit. Kemudian
potongan organ tersebut dipindahkan dan direndam ke dalam toluol
murni selama 60 menit hingga menjadi bening. Perendaman dalam
toluol murni diperpanjang sampai potongan menjadi bening.
Waktu perendaman dalam toluol murni paling lama selama 120
menit, karena akan menyebabkan pengerasan pada jaringan
sehingga sulit untuk dilakukan pemotongan.
3.4.5.3.Embedding
Tahap embedding bertujuan untuk mengeluarkan cairan pada
saat proses clearing dan menggantinya dengan parafin karena
cairan saat proses clearing dapat mengkristal di dalam jaringan dan
menyebabkan jaringan mudah robek saat tahap pemotongan.
Pertama, buat larutan toluol : parafin (50 ml : 50 ml).
Kemudian bungkus organ menggunakan tissue berpori lalu rendam
dalam larutan tersebut dan diamkan pada suhu ruangan selama 24
jam. Setelah itu cairkan parafin dengan suhu diantara 56-62oC dan
diberi label I, II, III dan IV. Masukkan potongan organ ke dalam
larutan parafin secara berurutan, masing-masingnya selama 15
menit.
34
3.4.5.4. Blocking
Tahapan ini merupakan proses pembuatan blok preparat agar
organ dapat dipotong dengan mikrotom. Cairkan parafin lalu
tuangkan sedikit ke dalam cetakan blok. Masukan potongan organ
secara perlahan dan kemudian tuangkan kembali parafin hingga
merendam organ.
3.4.6. Pemotongan Jaringan
Proses ini merupakan pemotongan jaringan dengan
menggunakan mikrotom geser. Pertama, rekatkan blok parafin diatas
blok kayu dengan cara memanaskan salah satu sisi blok parafin
hingga sedikit mencair kemudian langsung tempelkan. Letakan blok
parafin dan balok kayu tersebut pada holder (pemegang) di mikrotom
dan kencangkan. Lakukan pemotongan jaringan ini dengan ketebalan
6 µm. Jika diperlukan sudut kemiringan pisau mikrotom diatur pada
sudut 20-30 derajat.
Setelah blok parafin berhasil dipotong, dengan kuas dan
rendam potongan tersebut dalam waterbath dengan suhu air 37-40oC
hingga potongan terlihat meregang. Kemudian oleskan putih telur
yang dicampur dengan gliserin pada kaca objek secukupnya. Lalu
ambil potongan tersebut menggunakan kaca objek ke dalam
waterbath. Letakan kaca objek tersebut pada hotplate dengan suhu
40-45oC hingga kering. Setelah kering dan potongan melekat dengan
kuat pada kaca objek, angkat dari hotplate dan potongan siap untuk
diwarnai.
35
3.4.7. Tahapan Pewarnaan HE
Sebelum memulai proses pewarnaan masukkan xylol, alkohol
dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, alkohol absolut, alkohol asam,
hematoksilin, eosin dan aquades ke dalam staining jar dengan ¾
volume maksimum. Masukkan dan rendam cawan yang berisi
preparat kedalam staining jar yang berisi xylol selama 10 menit
sebanyak 2 kali. Lalu pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining
jar berisi alkohol absolut selama 5 menit sebanyak 2 kali. Pindahkan
dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol konsentrasi
90% selama 1 menit.
Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi
alkohol konsentrasi 80% selama 1 menit. Pindahkan dan rendam
cawan ke dalam staining jar berisi alkohol konsentrasi 70% selama 1
menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi
aquades selama 4 menit. Pindahkan cawan tersebut dan rendam ke
dalam staining jar yang berisi Hematoksilin dengan durasi hepar 4
menit; ginjal 2 menit; pankreas 1 menit. Selama durasi itu dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop untuk menghindari terjadinya
overstainning hematoksilin. Lakukan perendaman cawan di dalam
staining jar berisi aquades sebanyak 3 kali dengan durasi 1 menit.
Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol
asam selama 30 detik.
Kemudian pindahkan dan rendam cawan kedalam staining jar
yang sudah dialiri air mengalir selama 1 menit. Pindahkan dan
rendam cawan ke dalam staining jar berisi Eosin selama 1 menit.
Selama durasi itu dilakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk
menghindari terjadinya overstainning eosin.
Lakukan pemindahan dan perendaman cawan di dalam staining
jar berisi aquades sebanyak 3 kali dengan durasi 1 menit. Pindahkan
secara berurutan dan rendam cawan ke dalam staining jar yang berisi
36
alkohol dengan konsetrasi meningkat dari 70% sampai alkohol
absolut selama 1 menit dan xylol sebanyak 2 kali 3 menit.
Segera teteskan dan ratakan canada balsam secukupnya di atas
preparat dan ditutup dengan cover glass. Amati di bawah mikroskop
dan jangan biarkan ada gelembung udara pada preparat. Berikan nama
organ/kode organ serta tanggal pembuatan. Tunggu hingga kering.
Preparat siap disimpan.
3.4.8. Foto Jaringan
Preparat diamati dan difoto dengan menggunakan mikroskop
Olympus BX41 dan software Olympus DP2-BSW yang dimulai dari
perbesaran 4x, 10x, 20x, dan 40x.
37
3.4.9. Alur Penelitian
Adaptasi hewan
coba (14 hari)
Embedding
(1 hari + 1 jam)
Nekropsi Jaringan
(2 jam)
Blocking
(30 menit)
Fiksasi
(2 minggu)
Dehidrasi
(6 jam)
Clearing
(1,5 jam)
Pemotongan
jaringan
(6µm)
Kontrol Atlas of
Laboratory Mouse
Histology
Pewarnaan HE
(1 jam)
Identifikasi mikroskopik
Foto Jaringan
Identifikasi
mikroskopik
Identifikasi
makroskopik
38
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Makroskopik Jaringan yang Difiksasi 2 Minggu
Pada perlakuan fiksasi selama 2 minggu, setelah fiksasi berlangsung, dapat
diidentifikasi terjadi berbagai perubahan makroskopik pada jaringan, baik itu
ginjal, hepar, maupun pankreas. Ketiga jaringan tersebut mengalami pengerasan
dan jaringan menjadi kaku, berbeda dibandingkan dengan jaringan saat sebelum
dilakukan fiksasi.
Gambar 4.1. Potongan organ dalam cairan fiksasi formalin 10% (A1) ginjal, (B1) hepar, dan
(C1) pankreas pada minggu pertama ; (A2) ginjal, (B2) hepar, (C2) pankreas pada minggu kedua..
Pada gambar di atas, terlihat bahwa cairan fiksasi menjadi lebih keruh
pada minggu ke- dua dibandingkan dengan minggu pertama. Hal ini diakibatkan
karena semakin lama jaringan berada di dalam cairan fiksasi tersebut, maka
semakin banyak denaturasi protein yang terjadi pada jaringan, sehingga terjadilah
39
pengendapan protein.4 Selain itu terdapat banyak potongan-potongan kecil lepas
dari potongan organ. Cairan fiksasi menempel dengan organ dengan cara
membentuk senyawa aditif, sehingga cairan fiksasi dapat menempel dengan
sangat kuat dengan setiap sel-sel organ tersebut. Ketika cairan fiksasi sudah
menempel dengan organ, cairan fiksasi dapat merubah fungsi fisik dan kimiawi
dari organ tersebut, salah satunya adalah dengan melarutkan protein, karbohidrat,
lemak, dan mineral. Semakin lama zat fiksasi menempel pada organ, semakin
banyak sel-sel organ terlarut. Akibatnya warna potongan organ menjadi lebih
pucat dan ikatan antar sel dapat terlepas, sehingga menghasilkan banyaknya
potongan-potongan kecil yang lepas dari organ asalnya.10,12
Fiksasi akan menghambat terjadinya pembusukan yang disebabkan oleh
kuman-kuman pembusuk yang berasal dari luar. Waktu fiksasi yang sesuai teori
adalah 12-24 jam menggunakan suhu ruang yaitu 25-30°C, sedangkan penelitian
ini dilakukan waktu fiksasi 2 minggu dengan temperatur yang sangat dingin (0-
4°C). Hasil yang didapatkan bahwa suhu tidak memberikan pengaruh terhadap
kerusakan jaringan tetapi diakibatkan oleh waktu fiksasi yang lama.4,10
Setelah minggu kedua, terlihat bahwa semakin banyak potongan-potongan
kecil yang ditemukan lepas dari organ asalnya. Hal ini menandakan bahwa
semakin lama organ berada di cairan fiksasi, maka cairan fiksasi akan semakin
mengeraskan jaringan, sehingga ikatan yang dihasilkan antara zat fiksatif dan sel
organ semakin kencang dan efek kerusakan yang dihasilkan akan semakin besar.12
Pada potongan organ yang difiksasi pada minggu kedua terlihat perubahan
yang signifikan untuk masing-masing potongan organ. Tekstur potongan organ
mengalami pengerasan setelah diberikan cairan fiksatif. Semakin lama waktu
fiksasi, semakin keras potongan organ tersebut. Hal ini membuktikan teori bahwa
cairan fiksatif menstabilkan sel-sel organ baik ekstraseluler maupun intraseluler.
Semakin lama fiksasi berlangsung, ikatan yang dihasilkan antara zat fiksatif dan
sel organ semakin kencang. Hal ini menyebabkan potongan organ menjadi
semakin keras dan kaku.12
40
Gambar 4.2. Potongan organ saat dikeluarkan dari cairan fiksasi formalin 10% (A) ginjal, (B)
hepar, dan (C) pankreas pada minggu kedua.
Dari gambar di atas terlihat bahwa tidak ada perbedaan gambaran
makroskopik dari hasil yang diberikan antara masing-masing organ pada
perlakuan fiksasi 2 minggu. Ketiga organ tampak berwarna pucat akibat proses
fiksasi.14
4.2. Gambaran Mikroskopik Jaringan yang Difiksasi 2 Minggu
4.2.1. Ginjal
41
Pada perlakuan fiksasi 2 minggu, gambaran glomerulus pada jaringan
dapat diidentifikasi dan bahwa jarak antar sel lebih longgar dan banyak
mengalami kerusakan jika dibandingkan dengan gambaran ginjal tikus normal.
Tabel 4.1 Data Morfologi ginjal tikus fiksasi 2 Minggu
No. Kode
Organ
Glomerulus Kapsula
Bowman
Ruang
Kapsula
Bowman
Tubulus
Kontortus
1 Ginjal 1 Rusak Normal Melebar Rusak
Gambar 4.3. (A1) Ginjal tikus normal perbesaran 20x (diadaptasi dari Atlas of Laboratory
Mouse Histology, 2004); (A2) Ginjal tikus normal perbesaran 40x; (B1) Ginjal perlakuan fiksasi 2
minggu 20x; (B2) Ginjal perlakuan fiksasi 2 minggu 40x (insert: Tubulus kontortus). Tanda panah
: a. Glomerulus normal, b. Tubulus kontortus normal, c. Glomerulus rusak, d. Ruang kapsula
bowman melebar, e. Tubulus kontortus rusak.
Pada gambar dapat diidentifikasi struktur umum ginjal yaitu glomerulus,
ruang bowman, baik dari perbesaran 20x maupun 40x. Tampak adanya kerusakan
jaringan pada fiksasi 2 minggu. Hal ini disebabkan karena terlalu lamanya organ
berada dalam cairan formalin ketika dilakukan fiksasi. Sedangkan waktu yang
dilakukan untuk fiksasi secara umum adalah 12-24 jam.1,3
42
Ketika fiksasi dilakukan lebih lama, akan terjadi ikatan silang yang
bersifat ireversibel sehingga cairan fiksasi tidak dapat lepas dari jaringan sehingga
terjadilah pengerasan jaringan. Jika waktu fiksasi yang dilakukan lebih dari waktu
yang disarankan, maka nantinya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap
pemotongan organ. Terlihat bahwa gambaran antar struktur dan dinding
glomerulus lebih jelas terlihat pada gambaran normal dibandingkan fiksasi 2
minggu.10
Dari beberapa gambar di atas terlihat bahwa diameter tubulus dan ruang
kapsula bowman terlihat lebih lebar pada perlakuan fiksasi 2 minggu. Jika
semakin lama fiksasi dengan formalin maka dapat menyebabkan penyusutan dan
pengerasan dari jaringan. Hal inilah yang menyebabkan ruang kosong antara
tubulus lebih luas. Penyusutan yang terjadi pada sel dengan perlakuan fiksasi 2
minggu disebabkan oleh meningkatnya efek dehidrasi yang diakibatkan oleh
membesarnya pori-pori membran sel yang merupakan efek dari fiksasi.10
Struktur tubulus lebih mudah teridentifikasi pada ginjal tikus normal.
Gambaran brush border lebih mudah teridentifikasi akibat struktur jaringan yang
lebih rapi dan minim kerusakan. Struktur glomerulus pada perlakuan fiksasi 2
minggu terlihat lebih kecil daripada gambaran tikus normal. Hal ini juga
disebabkan karena sel mengalami penyusutan akibat fiksasi yang membuat pori-
pori membran sel melebar, sehingga molekul di dalam sel dapat keluar ke
ekstrasel.10,20
43
4.2.2. Hepar
Pada gambaran mikroskopik hepar tersebut, struktur umum sudah dapat
dibedakan pada ketiga gambar di atas, yaitu hepatosit, susunan trias porta yang
terdiri dari vena porta, arteri sentralis, dan duktus biliaris. Secara garis besar,
struktur jaringan yang difiksasi 2 minggu tampak lebih berantakan dibandingkan
dengan yang normal dan juga struktur lobulus hepar sulit diidentifikasi.
Tabel 4.2 Data Morfologi Hepar Tikus Fiksasi 2 Minggu
NO Kode Organ Trias porta Hepatosit
1 Hepar 1 Sebagian jelas, sebagian
tidak jelas
Normal
Gambar 4.4. (A1) Hepar tikus normal perbesaran 20x (diadaptasi dari Atlas of Laboratory
Mouse Histology, 2004); (A2) Hepar tikus normal perbesaran 40x; (B1) Hepar perlakuan fiksasi 2
minggu 20x (insert: trias porta); (B2) Hepar perlakuan fiksasi 2 minggu 40x. Tanda panas : a.trias
porta normal, b. hepatosit normal, c. duktus biliaris pada trias porta rusak.
Pada gambar struktur umum hepar dapat diidentifikasi, yakni hepatosit
pada lobulus hepar dan trias porta. Gambaran lobulus pada perlakuan fiksasi 2
minggu lebih sulit untuk diindentifikasi dan juga terlihat vena porta dan duktus
biliaris pada perlakuan 2 minggu tampak kecil dan rusak. Hal ini disebabkan oleh
44
penyusutan akibat fiksasi yang terlalu lama membuat pori-pori membran sel
membesar, sehingga ketika dilakukan dehidrasi, alkohol yang bersifat hidrofilik
membuat cairan di dalam sel akan mudah keluar ke ekstrasel.10,12
Struktur trias porta sudah terlihat, yaitu arteri hepatika, vena cabang dari
vena porta hepatika, dan cabang dari duktus biliaris. Gambaran struktur sinusoid
lebih sulit untuk diidentifikasi dan terlihat juga taut antar sel yang lebih renggang.
Hal ini dikarenakan jaringan pada hepatosit terlihat berlubang-lubang akibat
pengerasan jaringan yang terlalu lama sehingga berefek pada pemotongan
jaringan yang tidak baik. Dinding vena porta terlihat lebih rusak pada perlakuan
fiksasi 2 minggu. Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan sel dari luar lumen
yang dapat masuk ke dalam lumen. Kerusakan dinding disebabkan oleh
pengerasan jaringan akibat fiksasi yang terlalu lama.12
45
4.2.3. Pankreas
Pada gambaran mikroskopik pankreas tersebut, struktur umum sudah
dapat dibedakan pada ketiga gambar di atas, yaitu kelenjar eksokrin berupa asini
dan kelenjar endokrin berupa pulau langerhans. Secara garis besar, struktur
jaringan yang difiksasi 2 minggu tampak lebih berantakan dibandingkan dengan
yang normal.
Tabel 4.3 Data Morfologi Pankreas Tikus Fiksasi 2 Minggu
NO Kode Organ Bentuk sel Sel asinus Pulau langerhans
1 Pankreas 1 Bulat, normal Rusak Rusak
Gambar 4.5. (A1) Pankreas tikus normal perbesaran 20x (diadaptasi dari Atlas of Laboratory
Mouse Histology, 2004); (A2) Pankreas tikus normal perbesaran 40x; (B1) Pankreas perlakuan
fiksasi 2 minggu (1) 20x ; (B2) Pankreas perlakuan fiksasi 2 minggu (insert : pulau langerhans).
Tanda panah : a. asinus normal, b. pulang langerhans normal, c. sel asinus rusak, d. pulau
langerhans rusak.
46
Terlihat bahwa jaringan pada perlakuan fiksasi 2 minggu jaringan tampak
lebih rusak. Hal ini disebabkan oleh pemotongan jaringan yang terlalu keras
akibat fiksasi yang terlalu lama. Waktu fiksasi formalin adalah 12-24 jam.
Struktur umum sudah dapat diidentifikasi dari beberapa gambar di atas, yaitu
kelenjar asinar dan pulau langerhans.10
Pulau langerhans mengalami kerusakan pada perlakuan fiksasi 2 minggu
dari beberapa gambar di atas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ruang kosong
diantara sel-sel pulau langerhans. Hal ini juga disebabkan oleh hasil pemotongan
yang buruk akibat pengerasan jaringan yang disebabkan oleh waktu fiksasi yang
terlalu lama.1,3 Terdapat pengekerutan sel yang lebih signifikan pada perlakuan
fiksasi 2 minggu pada sel. Hal ini disebabkan oleh efek dehidrasi yang meningkat
akibat efek samping fiksasi. Pada hasil gambar di atas, dapat dikatakan bahwa
teknik fiksasi yang terlalu lama dapat menyebabkan pengerasan jaringan yang
nantinya akan berpengaruh terhadap pemotongan jaringan.12
4.3. Hambatan dan Solusi
Pada penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa kesalahan dalam
melakukannya, mulai dari pemotongan jaringan yang lebih tebal. Sedangkan tebal
irisan jaringan yang disarankan adalah 3-5mm. Sehingga pada saat melakukan
pengirisan, jaringan tampak terlipat. Karena ketika pengirisan dilakukan berulang-
ulang untuk mendapatkan hasil yang baik, maka jaringan yang diambil setelah
pengirisan yang pertama akan menyebabkan timbulnya panas pada jaringan yang
ada di blok parafin. Hal ini disebabkan karena terjadinya gesekan antara blok
parafin dengan pisau mikrotom.4,11
Perlakuan washing tidak dilakukan saat setelah jaringan direndam di
dalam cairan fiksasi formalin. Sebagaimana washing sangat penting untuk
membersihkan jaringan dari cairan fiksasi. Cara kerjanya dengan membilas zat
fiksasi yang masih menempel pada potongan organ yang sudah dikeluarkan dari
cairan fiksasi. Oleh karena itu washing harus dilakukan setiap selesai melakukan
fiksasi.14
47
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Fiksasi 2 minggu tidak memberikan gambaran mikroskopik yang normal
pada organ ginjal, hepar, dan pankreas sesuai atlas (kontrol) sehingga tidak dapat
digunakan sebagai data dalam pembuatan SOP baku histoteknik di lab Animal
House dan lab Histologi. Hasil mikroskopik tidak baik pada jaringan, karena
glomerulus dan tubulus spada ginjal, susunan trias porta pada hepar, dan pulau
langerhans pada pankreas mengalami kerusakan secara signifikan pada fiksasi 2
minggu.
5.2. Saran
Bagi peneliti selanjutnya :
1. Fiksasi organ tidak dilakukan selama 2 minggu, tetapi menggunakan
kontrol standar fiksasi umum yaitu 12-24 jam.
2. Pada tahap pewarnaan tidak menggabungkan organ yang berbeda.
3. Jumlah sampel di perbanyak.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusuf, AA. Histoteknik Dasar. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009
2. Anil S, Rajendran R. Routine Histotechniques, Staining and Notes on
Immunohistochemistry. In: Rajendran and Sivapadasundaram (Eds).
Shafers Oral Pathology (Publisher: Elsevier India P Ltd) 2008.
3. Rina S. et al. Petunjuk Praktikum Mikroteknik. Yogyakarta : Bagian
Histologi dan Biologi Sel FK UGM. 2013.
4. Waheed U. Histotechniques Laboratory Techniques in Histopathology : a
Handbook for Medical Technologist. LAP LAMBERT Academic
Publishing. 2012
5. Kardono. Persyaratan Laboratorium Lingkungan dan Kondisinya di
Indonesia. Peneliti di Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi. 2008 ; 2(1) : 109-120.
6. Hedrich H. The Laboratory Mouse. Amsterdam, Netherlands : Elsevier.
2004.
7. Boyd K. Necropsy of GEM : The good, the bad, and the ugly. Department
of Pathology Vanderbilt University Medical Center. 2009
8. Steven L. AVMA Guidelines for the Euthanasia of Animals. Schaumburg :
AVMA. 2013
9. Institutional Animal Care and Use Committee. Guidelines for the Use of
Carbon Dioxide (CO2) for Rodent Euthanasia. Texas : ORS. 2013
10. Hopwood, David; Bancroft, John D; Stevens, Alan. Theory and Practice
of Histological Techniques : Fixation and Fixatives. 3rd Edition.
Edinburgh, New York : Churchill Livingstone. 1990
11. Ulmer D. Fixation : The Key to Good Tissue Preservation. US : Journal of
the International Society for Plastination. 1994 ; 8 (1) : 7-10.
49
12. Jamie, M. Novacek; Kumar, George L; Kiernan, John A. Education Guide
: Special Stains and H&E Second Edition. California, US : Dako North
America. 2010.
13. Gordon, Keith C; Bancrof, John D; Stevens, Alan. Theory and Practice of
Histological Techniques : Tissue Processing 3rd Edition. Edinburgh, New
York. 1990
14. Gordon, Keith C.; Bradbury, Paul; Bancrof, John D; Stevens, Alan. Theory
and Practice of Histological Techniques : Microtomy and Paraffin
Sections Chapter 4. Edinburgh, New York. 1990
15. Kuhlmann, Wolf D. Fixatives. Deutsches krebforschungszentrum
Germany : Division of Radiooncology. 2009
16. Olfert, Ernest D; Cross, Brenda M, McWilliam A. Ann. Guide to the Care
and Use of Experimental Animals Volume 1. Canada : CCAC. 1993.
17. Gartner L. Biologi sel dan histologi, edisi ke-6. Binarupa Aksara
Publisher. 2012
18. Johnson KE. Quick Review Histologi dan Biologi Sel. Binarupa Aksara
Publisher. 2011
19. Atlas of Laboratory Mouse Histology. Texas Histopages. 2004. Diakses di:
http://ctrgenpath.net/static/atlas/mousehistology/Windows/introduction.ht
ml Pada tanggal 24 november 2015.
20. Mescher AL. Junquieira’s Basic Histology Text & Atlas. USA : The
McGraw-Hill Companies. 2010.
50
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.1 Surat Keterangan Tikus Sehat
51
Lampiran 2
Gambar Proses Penelitian
Gambar 6.4 Proses
Isolasi Jaringan Gambar 6.5 Proses
Fiksasi 2 minggu
Gambar 6.2 Sampel
Penelitian
Gambar 6.3 Anastesi
Hewan Coba
52
Gambar 6.6 Proses
Dehidrasi
Gambar 6.7 Proses
Clearing
Gambar 6.8 Proses
Embedding
Gambar 6.9 Proses
Blocking
Gambar 6.10 Proses
Pemotongan
Gambar 6.11 Proses
Pewarnaan
53
Lampiran 3
Foto Jaringan
Gambar 6.14 Ginjal B1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.15 Ginjal B2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.12 Ginjal A1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.13 Ginjal A1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.16 Ginjal C1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.17 Ginjal C2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
54
Gambar 6.18 Ginjal D1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.19 Ginjal D2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.20 Ginjal E1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.23 Hepar A2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.22 Hepar A1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.21 Hepar E2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
55
Gambar 6.24 Hepar B1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.25 Hepar B2 (Triad
Porta) Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.26 Hepar C1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.27 Hepar C2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.28 Hepar D1
Perlakuan Fiksasi 2 Minggu
Perbesaran 20x
Gambar 6.29 Hepar D2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
56
Gambar 6.30 Hepar E1
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.31 Hepar E2
Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.32 Pankreas
A1 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.33 Pankreas
A2 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.34 Pankreas
B1 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.35 Pankreas
B2 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
57
Gambar 6.36 Pankreas
C1 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.37 Pankreas
C2 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.38 Pankreas
D1 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.39 Pankreas
D2 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
Gambar 6.40 Pankreas
E1 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 20x
Gambar 6.41 Pankreas
E2 Perlakuan Fiksasi 2
Minggu Perbesaran 40x
58
Lampiran 4
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : Muhammad Azharan Alwi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Kendari, 02 juli 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. Martandu, lrg. Kharisma II No.2, kota
kendari
e-Mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1999-2000 : TK Kuncup Pertiwi
2000-2006 : SDN 12 Baruga
2006-2008 : SMPN 1 Kendari
2008-2011 : SMAN 4 Kendari
2013 - sekarang : FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta