TBC DALAM KELUARGA
PENDAHULUAN
Sekitar 4000 tahun yang lampau, peradaban manusia dikejutkan
dengan munculnya epidemi penyakit yang menyerang organ
pernapasan utama manusia, yaitu paru-paru. Akhirnya dunia pun
tahu, ketika Robert Koch (1882) berhasil mengidentifikasi kuman
penyebab infeksi tersebut, Mycobacterium tuberculosis.
Tuberculosis a atau penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi
yang bisa bersifat akut maupun kronis dengan ditandai
pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain
itu, juga bersifat pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat
mempengaruhi organ tubuh lainnya.
Hingga kini, TBC menjadi salah satu problem utama kesehatan
dunia, terutama di negara berkembang. Mycobacterium
tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,
menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan
kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara
berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit
yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95%
penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan
1
munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan
meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO
mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada
tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian
utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit
TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil
survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan
pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan infeksi.
Antara tahun 1979 hingga 1982 telah dilakukan survey prevalensi
di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000
penduduk. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB
dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3
ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta,
praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan
kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000
per tahun.
2
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja
produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi
rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy) atau pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan
87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar
56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%.
Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang
tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan
kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas
atau multi drug resistance (MDR).
1) LINGKUNGAN
KEADAAN RUMAH
Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko
penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat
menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan
dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan
penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media
3
yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium
tuberculosis.
Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk
penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah
tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar
tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga
bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat
relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10
m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum
3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya
minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih
dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2
tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di
syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
4
Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh
kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar
60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru
akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab.
VENTILASI
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut
tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen
di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan
udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen,
5
karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar
tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang
optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas
lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas
ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas
ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai.
Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan
kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur
kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang
lebih 60%.
PAPARAN SINAR MATAHARI
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan
luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan
jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang
genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya
basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya yang cukup.
6
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali
lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur
diperlukan cahaya yang lebih redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda
dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap
jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui
kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu
yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar
matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang.
2) PREVENTIF TUBERKULOSIS
TAHAP PENCEGAHAN
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan
Lingkungan dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain :
1. Pencegahan Primer
7
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC
paling efektif, walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran
umum dan mempertahankan standar kesehatan sebelumnya yang
sudah tinggi.
Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TBC yang meliputi :
(1) Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan
internasional pada daerah dengan angka kejadian tinggi dan orang
tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai proteksi yang tidak
absolut dan tergantung Host tambahan dan lingkungan.
(2) Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika
kontak dijalankan dan tetap harus dikombinasikan dengan
pasteurisasi produk ternak.
(3) Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada
pencegahan dan pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit
kronis dan mental.
Pencegahan Primer atau pencegahan tingkat pertama yang meliputi
promosi kesehatan dan pencegahan khusus yang dapat ditujukan
pada host, agent dan lingkungan. Contohnya :
- Pencegahan pada faktor penyebab tuberculosis (agent) bertujuan
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh agent
8
tuberculosis yaitu mycobacterium tuberkulosa serendah mungkin
dengan melakukan isolasi pada penderita tuberkulosa selam
menjalani proses pengobatan.
- Mengatasi faktor lingkungan yang berpengaruh pada penularan
tuberkulosa seperti meningkatkan kualitas pemukiman dengan
menyediakan ventilasi pada rumah dan mengusahakan agar sinar
matahari dapat masuk ke dalam rumah
- Meningkatkan daya tahan pejamu seperti meningkatkan status
gizi individu, pemberian imunisasi BCG terutama bagi anak.
- Tidak membiarkan penderita tuberculosis tinggal serumah
dengan bukan penderita karena bisa menyebabkan penularan.
- Meningkatkan pengetahuan individu pejamu (host) tentang
tuberkulosa definisi, penyebab, cara untuk mencegah penyakit
tuberculosis paru seperti imunisasi BCG, dan pengobatan
tuberculosis paru.
2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar
pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama ;
Agent, Host dan Lingkungan.
9
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan
aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari
finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai
pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu,
pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting
untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.
Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai
infeksi TBC, dengan imunisasi TBC negatif dan
Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan
bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap
epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk
membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan
menghindari tekanan psikis.
Pencegahan Sekunder atau pencegahan tingkat kedua yang
meliputi diagnosa dini dan pencegahan yang cepat untuk mencegah
meluasnya penyakit, untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut
serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran pencegahan ni
ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita
10
(suspect) atau yang terancam akan menderita tuberkulosa (masa
tunas). Contohnya :
- Pemberian obat anti tuberculosis (OAT) pada penderita
tuberkulosa paru sesuai dengan kategori pengobatan seperti
isoniazid atau rifampizin.
- Penemuan kasus tuberkulosa paru sedini mungkin dengan
melakukan diagnosa pemeriksaan sputum (dahak) untuk
mendeteksi BTA pada orang dewasa.
- diagnosa dengan tes tuberculin
- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya
- melakukan foto thorax
- Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti
tuberkulosa
3. Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC.
Dimulai dengan diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan
usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama
fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi
pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan
11
kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk
mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya
rehabilitasi.
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk
mengurangi perbedaan pengetahuan tentang TBC, yaitu dengan
jalan sebagai berikut :
1. Perkembangan media.
2. Metode solusi problem keresistenan obat.
3. Perkembangan obat Bakterisidal baru.
4. Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin.
5. Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TBC
yang fleksibel.
6. Studi lain yang intensif.
7. Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TBC
yang terkontrol.
Pencegahan tertier atau pencegahan tingkat ketiga dengan tujuan
mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan
permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau
mencegah kematian. Dapat juga dilakukan rehbilitasi untuk
mencegah efek fisik, psikologis dan sosialnya.
12
- Lakukan rujukan dalam diagnosis, pengobatan secara sistematis
dan berjenjang.
- Berikan penanganan bagi penderita yang mangkir terhadap
pengobatan.
- Kadang kadang perlu dilakukan pembedahan dengan mengangkat
sebagian paru-paru untuk membuang nanah atau memperbaiki
kelainan bentuk tulang belakang akibat tulang belakang
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat
dan petugas
kesehatan.
A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu
batuk dan membuang
dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan
terhadap bayi harus
harus diberikan vaksinasi BCG.
13
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang
penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi,
pengobatan khusus TBC.
Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang
kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena
alasan-alasan sosial
ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang
ketat, perlu perhatian
khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur,
pakaian), ventilasi
rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi
orang-orang sangat dekat
(keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya
yang terindikasi dengan
vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
14
7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh
anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif,
apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu
pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan
oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama
( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat,
dengan
pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
B. Tindakan Pencegahan.
1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi
sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita,
kontak atau suspect
gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi
penderita, kontak,
15
suspect, perawatan.
3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan
terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH
sebagai pencegahan.
4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan
perlindungan bagi ibunya
dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun
ditingkat tersebut berupa
tempat pencegahan.
5. Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang
potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.
6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean
menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang,
pekerja semen dan sebagainya.
7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc
paru.
16
8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok
beresiko tinggi, seperti
para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas
dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari
hasil pemeriksaan
tuberculin test.
3) POLA TRANSMISI TUBERKULOSIS
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar,
dalam keadaan yang gelap dan lembab selama beberapa jam.
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
17
dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung
kebagian-nagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
4) FASILITAS KESEHATAN
Upaya pencegahan sangat penting diterapkan khususnya di rumah
sakit-rumah sakit, puskesmas, tempat berkumpulnya orang banyak,
seperti di barak-barak, rumah tahanan, dan sekolah. Kecepatan
pertukaran udara yang baik dalam suatu ruangan, menurut WHO,
minimal 12 ACH (average change hour)—terjadi pertukaran udara
rata-rata sebesar 12 kali per jam dalam ruangan.
Khusus rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain, WHO menyarankan
18
pemisahan pasien batuk, sejak saat pasien ke loket pendaftaran.
Pengidap batuk diberi masker agar tidak menyemburkan batuk dan
bersin. Pasien dengan keluhan batuk perlu mendapat prioritas
pelayanan.
Rumah sakit, puskesmas, tempat praktik dokter merupakan tempat
yang sangat rawan terjadinya penularan tuberkulosis. Tempat-
tempat tersebut hendaknya mendapat perhatian khusus karena
masih banyak yang belum memenuhi persyaratan pertukaran udara
sesuai dengan standar. Sebagian menggunakan pendingin udara
dengan menutup jendela atau jalusi dengan kaca tanpa memasang
exhaust fan. Juga masih ada ruangan perawatan di rumah sakit
yang menggabungkan pasien tuberkulosis dengan bukan
tuberkulosis atau ODHA. Hal-hal tersebut sangat riskan terjadinya
penularan tuberkulosis.
5) EPIDEMIOLOGI
FAKTOR RISIKO
Risiko Penularan
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis
Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan
berfariasi antara 1 hingga 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar
19
1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh)
orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas,
dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah;
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit
TBC
Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti :
status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor
toksik. Untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian
dibawah ini:
1. Faktor Sosial Ekonomi
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,
lingkungan perumahan,
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TBC.
20
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC,
karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup
layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat
besi dan lain-lain, akan
mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk
TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh
dinegara miskin, baik
pada orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau
usaia produktif (15 – 50)
tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup
lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan
terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
4. Jenis Kelamin
21
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-
laki dibandingkan
perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat
disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi
kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan
akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-
laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,
sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.
DISTRIBUSI
Epidemiologi Tuberkulosis
Perkataan Epidemiologi berasal dari kata-kata Yunani EPI = pada,
DEMOS = berarti masyarakat dan LOGOS berarti ilmu atau teori.
Pada saat ini epidemiologi didefinisikan sebagai "Ilmu tentang
distribusi dan determinan-determinan dari keadaan atau kejadian
yang berhubungan dengan kesehatan didalam populasi tertentu,
serta penerapan dari ilmu ini guna mengendalikan masalah-
masalah kesehatan (Last, 1988).
Definisi epidemiologi TB selain mencakup prevalensi, insidensi,
kematian karena TB (mortalitas) tetapi juga karena keunikannya
22
mencakup pula, prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang
timbul dari populasi yang terinfeksi ini, serta rata-rata orang yang
tertular penyakit tuberkulosis oleh seorang penderita tuberkulosis
menular.
Pengetahuan tentang berapa besarnya frekuensi, distribusi dan
determinan yang ada menurut umur, jenis kelamin, suku bangsa
dan letak daerahnya memberi kita pengetahuan tentang keadaan
penyakit tuberkulosis di wilayah tertentu. Selanjutnya dengan
mengetahui besarnya prevalensi, distribusi dan determinan dari
tuberkulosis di masyarakat tersebut maka dapat diperkirakan
besarnya permasalahan tuberkulosis yang ada di masyarakat
tersebut. Dengan demikian kita dapat menentukan prioritas dan
strategi yang harus dilaksanakan pada program pemberantasan
penyakit TB.
Pada epidemiologi TB, parameter-parameter yang digunakan ada 4
(empat) yang penting yaitu :
1. Angka kematian karena TB, yaitu banyaknya kematian
karena TB pada populasi tertentu dalam 1 (satu) tahun per
100.000 penduduk.
2. Angka insidensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus
baru TB pada populasi tertentu dalam 1 (satu) tahun per
100.000 penduduk.
23
3. Angka prevalensi penderita TB yaitu banyaknya kasus-kasus
TB lama dan baru yang ditemukan pada populasi tertentu,
biasanya dinyatakan pasif dengan mikroskopik dalam jangka
waktu tertentu.
4. ARTI (Annual Risk of Tuberculosis Infection) yaitu suatu
probalitas/kemungkinan seseorang yang belum pernah
terinfeksi TB akan terinfeksi oleh kuman tersebut dalam 1
(satu) tahun.
Insidensi dan mortalitas tuberkulosis merupakan parameter yang
baik untuk menggambarkan epidemiologi TB namun sehubungan
dengan surveilance yang tidak adekuat diberbagai negara, tidak
mungkin untuk menunjukkan data insindensi dan mortalitas TB
yang sebenarnya, sehingga dipergunakan beberapa parameter
epidemiologi secara tidak langsung yaitu Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI), perkiraan insindens BTA (+),
jumlah dan pencatatan kasus-kasus TB, perkiraan cakupan
populasi dibandingkan dengan pelayanan kesehatan, dan perkiraan
kasus fatal pada BTA (+) dan bentuk lain TB (16). Styblo dkk dari
penelitian terhadap 19.000 orang mendapatkan bahwa kematian
karena TB : Insidens BTA (+) : prevalensi BTA = 1 : 2 : 4.
Selanjutnya diperkirakan untuk setiap 1% ARTI, mencakup 50
kasus BTA (+) per 100.000 penduduk.
24
Situasi epidemiologi global
Diseluruh dunia tahun 1990 WHO melaporkan terdapat 3,8 juta
kasus baru TB dengan 49% kasus terjadi di Asia Tenggara. Dalam
periode 1984 – 1991 tercatat peningkatan jumlah kasus TB
diseluruh dunia, kecuali Amerika dan Eropa. Di tahun 1990
diperkirakan 7,5 juta kasus TB dan 2,5 juta kematian akibat TB
diseluruh dunia.
Tahun 1995 WHO memperkirakan diseluruh dunia terdapat 9 juta
kasus baru TB dengan jumlah kematian 3 juta jiwa. Jika
penanggulangan TB tidak mengalami perbaikan diperkirakan akan
terjadi 90 juta kasus baru dan 30 juta kematian akibat TB selama
dekade 1990 – 1999.
Data dari WHO yang dikumpulkan lebih dari 174 negara dan
daerah diseluruh dunia yang mencakup 97% dari populasi global
dikumpulkan di tahun 1995 yang dapat dipakai sebagai gambaran
global jumlah kasus TB per regional.
Pada wilayah Afrika terjadi peningkatan kasus yang disebabkan
ditemukannya kasus TB bersamaan dengan HIV, wilayah Amerika
stabil, wilayah Timur Tengah sedikit meningkat, wilayah Eropa
terjadi penurunan kasus, wilayah Asia tenggara terjadi fluktuasi
25
akibat laporan yang bervariasi, sedangkan wilayah Pasifik Barat
terjadi sedikit peningkatan kasus.
Di Amerika Serikat tahun 1994 didapatkan 24.361 kasus TB (9,4
kasus per 100.000 penduduk), terjadi penurunan jumlah kasus
sebesar 9,7% dibandingkan tahun 1985 yaitu sebesar 22.201 kasus.
Dibeberapa negara industri, TB baru-baru ini gagal mengalami
penurunan demikian juga di negara-negara Eropa Timur dan Bekas
Uni Soviet.
Pada tahun 1992 penilaian yang dilakukan WHO Tuberculosis
Programme pada 18 negara di Eropa Barat didapatkan angka
kematian yang menurun diseluruh negara-negara tersebut. Angka
kematian tertinggi di Portugal 2,8 per 100.000 penduduk tahun
1990, dan terendah di Belanda 0,3 per 100.000 penduduk di tahun
1989.
Dinegara-negara Asia Timur dan Pasifik selatan angka mortalitas
TB cukup tinggi, sekitar 200 kasus per 100.000 penduduk setelah
perang dunia II, angka ini kemudian menurun dengan angka yang
berbeda-beda. Penurunan angka mortalitas yang paling cepat
terjadi di Jepang.
Situasi epidemiologi di Indonesia
26
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
Departemen Kesehatan RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3
penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB menempati
urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan
nomor 2 sesudah penyakit sistem sirkulasi.
Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor
3 dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi
yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
Dari hasil survey prevalensi TB yang dilakukan di 15 propinsi
tahun 1979-1982 menunjukkan berbagai variasi prevalensi tiap-
tiap propinsi.
Prevalensi tertinggi 0,74% di propinsi NTT dan terendah di
propinsi Bali 0,08%. Hasil dari survey ini menunjukkan prevalensi
TB rata-rata 0,29%. Sistem kesehatan nasional menargetkan
pengurangan prevalensi BTA (+) sampai angka rata-rata 0,20%
ditahun 2000.
Menurut WHO di tahun 1999 diperkirakan angka Insidensi TB di
Indonesia sekitar 220 per 100.000 penduduk pertahun. Secara
simulasi epidemiologi, maka prevalensi pada awal Pelita VI telah
diestimasikan sebesar 24 per 10.000 penduduk. Selanjutnya
keadaan ini memberikan gambaran bahwa penderita TB menular
27
saat ini terhadap 450.000 orang dan setiap tahunnya penderita baru
akan bertambah sebesar 8 per 10.000 penduduk yaitu ± 150.000
penderita.
Namun dari data-rekapitulasi hasil penemuam TB kasus Baru
Direktorat P2 ML Depkes RI jumlah kasus baru tahun 1996/1997
sebesar 14.647 kasus dan tahun 1997/1998 terjadi peningkatan
jumlah kasus Baru menjadi 23.682 kasus. Peningkatan jumlah
kasus terjadi hampir disemua propinsi kecuali Propinsi Irja dan
Timor-timur.
Data yang didapatkan dari RSUP Persahabatan tahun 1998 dari
penderita yang berobat jalan di poliklinik paru terdapat 76,21%
kasus infeksi dan 62% diantaranya adalah kasus TB paru BTA (+)
dan BTA (-). Pada penderita yang dirawat 53,9% kasus infeksi dan
40% diantaranya kasus TB paru.
Pada bayi umur 1 tahun 32,1 % kematian disebabkan penyakit
sistem pernapasan, anak balita gol umur 1-4 tahun. penyakit sistem
pernapasan 38,8%, pada kelompok umur 5 – 14 tahun TB 5,8%,
kelompok umur 15 –34 tahun TB 3,9%, kelompok umur 35-44
tahun 12,4%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar 11,5% pada
kelompok umur 55 tahun keatas sebesar 8,7%.
28
Manarik untuk diketahui pada data tahun 1988/89 dari 585.225
penderita TB penderita terbanyak dikalangan petani (47%),
kemudian diikuti pegawai dan buruh (28%), ibu rumah tangga
(12%), pedagang (6%), pelajar dan mahasiswa (1%) dan lain-lain
(6%). Karena keterbatasan dana, baru ± 26,4% Puskesmas di
Indonesia yang melaksanakan peranan dan pengobatan penderita
secara pasif, dengan jangkauan penderita diperkirakan 1,6% (33).
INTERAKSI PEJAMU (HOST), AGENT, DAN
LINGKUNGAN
Dewasa ini wawasan mengenai diagnosis, gejala, pengobatan dan
pencegahan TBC sebagai suatu penyakit infeksi menular terus
berkembang. Sejalan dengan itu, maka perlu dipelajari faktor-
faktor penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan
perjalanan alamiah.
Analogi Konsep Penyebab Penyakit
Dalam epidemiologi pengertian penyebab timbulnya penyakit
adalah suatu proses interaksi antara:
Pejamu(host)
Penyebab (agent)
Lingkungan (environment)
Agen
29
Merupakan segala sesuatu (bahan/keadaan) yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.
Menurut sifatmya agen dapat diklasifikasikan sebagai:
Agen tak hidup
Eksogen: trauma, polutan, termis, kimiawi
Endogen : akumulasi metabolisme tubuh
Agen hidup: mikroba, parasit, bakteri, jamur dan lain-lain.
Agen borderline: tidak termasuk kedua di atas, misal:cacar,
cacar air, dan sebagainya.
Agen merupakan penyebab dari penyakit:
PRIMER ; biologis, nutrisi, kimia, fisik, psikis.
SEKUNDER; Interaksi antar agent.
Kemampuan Agen tergantung dari:
Kerentanan HOST
Virulensi Agent
Kemampuan agent berkembang
Lingkungan
Merupakan segala sesuatu/kondisi di sekitar ruang lingkup
kehidupan manusia:
30
Lingkungan fisik: temperatur, cahaya, sirkulasi udara,
perumahan, pakaian, air, tanah, dan sebagainya.
Lingkungan biologis: flora dan fauna
Lingkungan sosial: penduduk, kebudayaan, adat-istiadat,
kepercayaan, pendapatan, pendidikan dan sebagainya.
Lingkungan dapat sebagai penyubur agen atau membuat penjamu
rentan terhadap serangan agen.
Host (Pejamu)
Host dapat tubuh manusia ataupun hewan. Pada infeksi dosis
rendah, dapat terjadi reaksi
imunologik sehingga terbentuk zat anti terhadap agen. Host dapat
hewan atau tumbuhan dan bisa diklasifikasikan sebagai:
Penjamu definitif (primary host) : terjadi pembiakan agen.
Sexual maturity host: mengandung agen yang berada pada
pematangan seksual.
Secondary intermediate host: pejamu perantara.
Interaksi host, agent, dan lingkungan
1. Periode Prepatogenesis
a. Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
31
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten
terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan
hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama.
Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara
Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi
Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering
muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga
menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak
(susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak
langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang
jarang terjadi.
b. Faktor Lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi
kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat
perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis.
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC.
Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif
antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan,
32
perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan
industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji
rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya
pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi
pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan
berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah
berbahaya.
c. Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat
3 puncak kejadian dan kematian ; (1) paling rendah pada awal anak
(bayi) dengan orang tua penderita, (2) paling luas pada masa
remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita,
(3) puncak sedang pada usia lanjut. Dalam perkembangannya,
infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada
golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup
sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi.
Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan
33
resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada
populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan
rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi
secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin
mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang
pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan
pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak
timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi
kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku
sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan
besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.
2. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)
Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran
respirasi dan pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium
melewati barrier plasenta, kemudian berdormansi sepanjang hidup
individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi
berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent,
Host dan Lingkungan.
34
6) PROMOTIF
Penyuluhan tuberkulosis
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi
kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-
prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan di mana individu,
kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat
dengan cara memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesehatannya. Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah TB
banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku
masyarakat.
Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB.
Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
35
penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan
langsung bisa dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam
bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster, atau spanduk, juga media
massa yang dapat berupa media cetak seperti koran, majalah
maupun media elektronik seperti radio dan televisi.
Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan langsung
perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan
pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek,
penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan
secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat
dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya,
sehingga terhindar dari penularan TB. Penyuluhan dengan
menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat
menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang TB –dari “suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan memalukan”, menjadi “suatu penyakit yang
berbahaya, tapi dapat disembuhkan”. Bila penyuluhan ini berhasil,
akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif. Penyuluhan
langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan
PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan
media massa selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh
36
para mitra dari berbagai sektor, termasuk kalangan media massa.
Selanjutnya secara lebih rinci, penyuluhan TB dilakukan sebagai
berikut:
1. Penyuluhan langsung perorangan
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan
untuk berhasil dibanding dengan cara penyuluhan melalui media.
Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang terpenting
yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik
antara petugas kesehatan (dokter, perawat, dll) dengan penderita.
Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah, di puskesmas, posyandu,
dan lain lain sesuai kesempatan yang ada. Supaya komunikasi
dengan penderita bisa berhasil, petugas harus menggunakan bahasa
yang sederhana yang dapat dimengerti oleh penderita. Gunakan
istilah-istilah setempat yang sering dipakai masyarakat untuk
penyakit TB dan gejalagejalanya. Supaya komunikasi berhasil
baik, petugas kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan
bersahabat, penuh hormat dan simpati, mendengar keluhan-
keluhan mereka, serta tunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan
dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau
bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti.
Penyuluhan langsung perorangan ini dapat dianggap berhasil bila:
37
• Penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat
pengobatan sebelumnya
• Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan
• Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi
kesehatannya
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama
Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dulu dijelaskan
tentang penyakit apa yang dideritanya, kemudian Petugas
Kesehatan berusaha memahami perasaan penderita tentang
penyakit yang diderita serta pengobatannya. Petugas Kesehatan
seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor manusia yang
dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik. Faktor yang
menghambat tersebut antara lain:
• Ketidaktahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya
• Rasa takut yang berlebihan terhadap TBC yang menyebabkan
timbulnya reaksi penolakan
• Stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak
diterima oleh keluarga dan temannya
• Menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau
ketahuan bahwa ia tidak tahu tentang TBC
38
Pada kontak pertama ini petugas kesehatan harus menyampaikan
beberapa informasi penting tentang TBC, antara lain:
a. Apa itu TBC?
Jelaskan bahwa TB adalah penyakit menular dan bukan penyakit
keturunan. Tenangkan hati penderita dengan menjelaskan bahwa
penyakit ini dapat disembuhkan bila penderita menjalani seluruh
pengobatan seperti yang dianjurkan.
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
Jelaskan kepada penderita bahwa riwayat pengobatan sebelumnya
sangat penting untuk menentukan secara tepat paduan OAT yang
akan diberikan. Salah pengertian akan mengakibatkan pemberian
paduan OAT yang salah. Petugas Kesehatan harus menjelaskan
bahwa pengobatan pada seorang penderita baru berbeda dengan
pengobatan pada penderita yang sudah pernah diobati sebelumnya.
c. Bagaimana cara pengobatan TBC
Jelaskan kepada penderita tentang:
• Tahapan pengobatan (tahap intensif dan tahap lanjutan)
• Frekuensi menelan obat (tiap hari atau 3 kali seminggu)
• Cara menelan obat (dosis tidak dibagi)
39
• Lamanya pengobatan untuk masing-masing tahap
d. Pentingnya pengawasan langsung menelan obat
Perlu disampaikan pentingnya pengawasan langsung menelan obat
pada semua penderita TB, terutama pada pengobatan tahap awal
(intensif). Bila tahap ini dapat dilalui dengan baik, maka besar
kemungkinan penderita dapat disembuhkan. Penderita perlu
didampingi oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Diskusikan dengan penderita bahwa PMO tersebut sangat penting
untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang
optimal.
e. Bagaimana penularan TB
Jelaskan secara singkat bahwa kuman TB dapat menyebar ke udara
waktu penderita bersin atau batuk. Orang di sekeliling penderita
dapat tertular karena menghirup udara yang mengandung kuman
TB. Oleh karena itu, penderita menutup mulut bila batuk atau
bersin dan jangan membuang dahak di sembarang tempat. Jelaskan
pula bila ada anggota keluarga yang menunjukkan gejala TBC
(batuk, berat badan menurun, kelesuan, demam, berkeringat malam
hari, nyeri dada, sesak nafas, hilang nafsu makan, batuk dengan
dahak campur darah), sebaiknya segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan. Setiap anak balita yagn tinggal serumah atau
40
kontak erat dengan penderita TB BTA(+) segera dibawa ke unit
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan, sebab anak
balita sangat rentan terhadap kemungkinan penularan dan jatuh
sakit.
Hal-hal yang perlu ditanyakan pada kunjungan berikutnya
Pada kunjungan berikutnya, sisihkan waktu beberapa menit untuk
menanyakan hal-hal yang telah dijelaskan pada kunjungan lalu, hal
ini untuk memastikan bahwa penderita sudah mengerti. Beberapa
hal penting yang perlu dibahas dengan penderita pada kunjungan
berikutnya adalah:
a. Cara menelan OAT
b. Jumlah obat dan frekuensi menelan OAT
c. Apakah terjadi efek samping OAT, seperti:
• Kemerahan pada kulit
• Kuning pada mata dan kulit
• Gejala seperti flu (demam, kedinginan, dan pusing)
• Nyeri dan pembengkakan sendi, terutama pada sendi pergelangan
kaki dan pergelangan tangan
• Gangguan penglihatan
• Warna merah / orange pada air seni
• Gangguan keseimbangan dan pendengaran
41
• Rasa mual, gangguan perut sampai muntah
• Rasa kesemutan / terbakar pada kaki
• Jelaskan kepada penderita, bial mengalami hal-hal tersebut, beri
tahu petugas kesehatan atau PMO supaya dapat segera diatasi
d. Pentingnya dan jadwal pemeriksaan ulang dahak
e. Arti hasil pemeriksaan ulang dahak: negatif atau tetap positif
f. Apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak
lengkap
2. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TB yang ditujukan
kepada sekelompok orang (sekitar 15 orang), bisa terdiri dari
penderita TB dan keluarganya. Penggunaan flip chart (lembar
balik) dan alat bantu penyuluhan lainnya sangat berguna untuk
memudahkan penderita dan keluarganya menangkap isi pesan yang
disampaikan oleh petugas. Dengan alat peraga (dalam
gambar/simbol) maka isi pesan akan lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti. Gunakan alat bantu penyuluhan dengan tulisan dan
atau gambar yang singkat dan jelas.
3. Penyuluhan massa
Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah
bagi penderita, tetapi juga masalah bagi masyarakat, oleh karena
42
itu keberhasilan penanggulangan TB sangat tergantung pada
tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pesan-pesan
penyuluhan TB melalui media massa (surat kabar, radio, dan TV)
akan menjangkau masyarakat umum. Bahan cetak berupa leaflet,
poster, billboard hanya menjangkau masyarakat terbatas, terutama
pengunjung sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB perlu
memperhitungkan kesiapan unit pelayanan, misalnya tenaga sudah
dilatih, obat tersedia dan sarana laboratorium berfungsi. Hal ini
perlu dipertimbangkan agar tidak mengecewakan masyarakat yang
datang untuk mendapatkan pelayanan. Penyuluhan massa yang
tidak dibarengi kesiapan UPK akan menjadi “bumerang” (counter
productive) terhadap keberhasilan penanggulangan TB.
4. Kemitraan dalam penanggulangan TBC
a. TB tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga
masalah sosial.
b. Perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat,
termasuk kalangan swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial
kemasyarakatan serta LSM dalam penanggulangan TB.
c. Sosialisasi dan advokasi program penanggulangan TB perlu
dilaksanakan ke berbagai pihak dengan tujuan memperoleh
dukungan.
43
5. Advokasi
Advokasi merupakan salah satu kegiatan penting dalam promosi
kesehatan. Tujuan advokasi adalah menarik perhatian para tokoh
penting atau tokoh kunci, untuk memperoleh dukungan politik agar
dapat memanfaatkan sumber daya masyarakat. Tahap-tahap yang
perlu dipersiapkan untuk merencanakan kegiatan advokasi:
• Analisa situasi
• Memilih strategi yang tepat
• Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada
sasaran
• Mobilisasi sumber dana
7) PROGRAM PEMBERANTASAN TUBERKULOSIS
Tujuan jangka panjang program pemberantasan TBC adalah untuk
memutuskan rantai penularan sehingga TBC tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tujuan jangka pendek program ini adalah untuk:
1. Cakupan penemuan penderita (case detection rate) mencapai
70% dari demua penderita yang diperkirakan.
2. Kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA (+).
44
3. Tercegahnya resistensi obat (Multi Drug resistency=MDR) di
masyarakat.
Langkah-langkah kegiatan Program Pemberantasan TBC di
Indonesia meliputi:
1. Penemuan penderita tersangka
Penemuan kasus TBC dapat dilakukan secara:
Aktif (Active Case Finding=ACF) oleh petugas khusus. Pada
ACF, petugas pelayanan kesehatan khusus mengunjungi
rumah-rumah untuk penjaringan tersangka penderita.
Pasif (Passive Case Finding=PCF) oleh fasilitas kesehatan
seperti PUSKESMAS dan rumah sakit. Artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.
Penemuan penderita TB dilakukan secara Pasif, artinya
penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang
datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara
pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
45
cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal
dengan sebutan Passive Promotive Case Finding.
Cara untuk mendeteksi penderita tersangka:
1. Memeriksa penderita yang dating ke unit Pelayanan Kesehatan
dengan gejala batuk 3 minggu atau lebih.
2. Memeriksa mereka yang tinggal serumah dengan penderita TBC
dengan BTA(+), khususnya anak-anak dan dewasa muda.
3. Memeriksa penderita dengan kelainan radiology paru denga
gambaran mengarah pada TBC.
2. Penentuan diagnosis
Perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak
(lihat tabel 1).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk
penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan
mengumpulkan 3
46
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan
berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
47
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan
radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis
hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari
tiga spesimen SPS BAT hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS
diulang.
Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita
didiagnosis sebagai penderita TBC BTA(+).
Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain
misalnya biakan.
Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik
spektrum luas ( misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama
1-2 minggu bila tida ada perubahan namun gejala klinis tetap
mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak SPS.
48
Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC
BTA positif
Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC
Bila hasil rontgen mendukung TBC didiagnosis sebagai
penderita TBC BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rontgen tidak di dukung TBC penderita tersebut
bukan TBC
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk
untuk foto rontgen dada.
49
50
Tabel 1:Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TBC pada anak
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
• Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab
batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
• Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
51
• Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).-->
lampirkan tabel badan badan.
• Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7
hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.
• Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
• Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut.
3. Pengobatan penderita
Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat
kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test
tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada,
radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan
pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer
Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).
INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).
Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang
menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
52
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak
ada gejala sakit TBC.
Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok
yaitu :
o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol,
Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas
yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat
disembuhkan dengan obat-obat ini.
o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
Dosis obat antituberkulosis (OAT)
Obat Dosis harian
(mg/kgbb/hari)
Dosis
2x/minggu
(mg/kgbb/hari)
Dosis
3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
INH 5-15 (maks 300 15-40 (maks. 15-40 (maks.
53
mg) 900 mg) 900 mg)
Rifampisin10-20 (maks.
600 mg)
10-20 (maks.
600 mg)
15-20 (maks.
600 mg)
Pirazinamid15-40 (maks. 2
g)
50-70 (maks. 4
g)
15-30 (maks. 3
g)
Etambutol15-25 (maks. 2,5
g)50 (maks. 2,5 g)
15-25 (maks. 2,5
g)
Streptomisin15-40 (maks. 1
g)
25-40 (maks.
1,5 g)
25-40 (maks. 1,5
g)
Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia
mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan
strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini
dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia – WHO joint
Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesia pada
April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada
peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional
untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya
resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan
dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap
hari,terutama pada fase awal pengobatan.
Program DOTS
54
DOTS atau kependekan dari Directly Observed Treatment, Short-
course adalah strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan
pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan startegi
DOTS, maka proses penyembuhan TBC dapat secara cepat. DOTS
menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TBC agar
menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan
sembuh. Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang
tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh
WHO secara global untuk menanggulangi TBC.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
1. Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-
sungguh menanggulangi TBC.
2. Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara
mikroskopis.
3. Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek,
diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
4. Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara
konsisten.
5. Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai
standar.
55
Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost effective.
Bangladesh : Dengan strategi DOTS, angka kesembuhan mampu
mencapai sekitar 80 %.
Maldives : Angka kesembuhan mencapai angka sekitar 85 %
berkat strategi DOTS.
Nepal : Setelah menggunakan DOTS, angka kesembuhan
mencapai 85 % (sebelumnya hanya mencapai 50 %).
RRC : Tingkat kesembuhan mencapai 90 % dengan DOTS.
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan
kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari
populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di
puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung
menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap
hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas
strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug
susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator
program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa
wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit
56
mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi
untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan
Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS
memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin
menimbulkan kekebalan obat.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan
lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap
BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC
dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk
kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard
pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin,
ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini
tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan).
Pengobatan TBC pada orang dewasa
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan
selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
o Penderita baru TBC paru BTA positif.
57
o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru)
berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
o Penderita kambuh.
o Penderita gagal terapi.
o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada:
o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
Pengobatan TBC pada anak
Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau
9 bulan, yaitu:
1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan
pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali
seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila
diduga ada resistensi terhadap INH).
2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari
selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap
hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan
Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
58
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin
diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan
rifampisin 15 mg/kgbb.
Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:
TB tidak berat
INH : 5 mg/kgbb/hari
Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari
TB berat (milier dan meningitis TBC)
INH : 10 mg/kgbb/hari
Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari
Dosis
prednison
: 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60
mg)
4. Pengendalian pengobatan penderita
Pengendalian pengobatan adalah dengan prinsip DOTS yaitu
Pengawasan langsung menelan obat oleh petugas PMO(pengawas
minum obat), seperti petugas kesehatan, kader, kesehatan, atau
keluarga penderita yang disegani.
a) Persyaratan PMO
59
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh
petugas kesehatan maupun penderita. Selain itu harus
disegani dan dihormati oleh penderita.
Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita
Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-
sama dengan penderita.
b) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa
, Perawat , Pekarya Sanitarian , juru imunisasi dll . Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader Kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.
c) Tugas Sorang PMO
Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat
teratur.
Mengingatkan penderita untuk pemeriksa ulang dahak pada
waktu waktu yang telah ditentukan.
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC
yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera
memeriksakan diri ke unit Pelayanan kesehatan.
60
Catatan
Tugas seorang PMO bukanlah untukmengganti kewajiban
penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan
d) Informasi penting yang perlu difahami PMO untuk
disampaikan
TBC bukan penyakit keturunan atau kutukan.
TBC dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
Tata laksana pengobatan penderita pada Tahap intensif dan
lanjutan.
Pentingnya berobat secara teratur karena itu pengobatan perlu
diawasi.
Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila
terjadi efek samping tersebut.
Cara penularan dan mencegah penularan.
5. Follow up penderita (tindak lanjut pengobatan)
PEMANTAUAN KEMAJUAN HASIL PENGOBATAN TBC
PADA ORANG DEWASA
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis . Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
61
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah ( LED ) tidak dapat
dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak
dua kali sewaktu dan pagi ) hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila ke 2 spesimen tersebut negatif bila salah satu spesimen positif,
maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pada :
a) Akhir tahap Intensif
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategari 1,atau seminggu
sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif
dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif
dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak
yaitu perubahan dari BTA positif menjadi negatif.
Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 :
Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar ( seharusnya > 80 % )
dari penderita. Dahak nya sudah BTA negatif ( konversi ).
Penderita ini dapat meneruskan pengobatan dengan tahap
lanjutan .Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2
hasilnya masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT
sisipan selama 1 bulan. Setelah paket sisipan satu bulan selesai ,
62
dahak diperiksa kembali , Pengobatan tahap lanjutan tetap
diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak BTA masih
tetap positif.
Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2 :
Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif,
tahap intensif harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT
sisipan , Setelah satu bulan diberi sisipan dahak diperiksa
kembali.Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil
pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila hasil uji
kepekaan obat menunjukan bahwa kuman sudah resisten tehadap 2
atau lebih jenis OAT,maka penderita tersebut dirujuk ke unit
pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus resisten . Bila
tidak mungkin , maka pengobatan dengan tahap lanjutan
diteruskan sampai selesai.
Pengobatan penderita BTAnegatif rontgen positif dengan
kategori 3 ( ringan ) atau kategori 1 ( berat ) :
Penderita TBC paru BTA negatif , rontgen positif , baik dengan
pengobatan kategori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat) tetap
dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 . Bila
hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif maka ada 2
kemungkinan:
63
1. Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama ( pada saat diagnsis
sebenarnya adalah BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA
negatif ).
2. Penderita berobat tidak teratur
Seorang penderita yang diagnosa sebagai penderita BTA negatif
dan diobati dengan kategori 3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak
pada akhir bulan ke 2 adalah BTA positif harus didaftar kembali
sebagai penderita gagal BTA positif dan mendapat pengobatan
dengan kategori 2 mulai dari awal.
Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita
baru dan penderita pengobatan ulang BTA positif , dahak menjadi
BTA negatif pengobatan diteruskan ketahap lamjutan. Bila pada
pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap akhir intensif penderita
BTA negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif, penderita
dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan dengan
kategori 2.
b) Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu
sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang menderita BTA positif
dengan kategori 2.
64
c) Ahkir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada
penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu
sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif , dengan
kategori 2.
Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan
dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil
pengobatan ( “ Sembuh atau gagal “).
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak ( follow
up paling sedikit 2 ( dua ) kali berturut- turut hasilnya negatif
( yaitu pada AP dan / atau sebulan Ap , dan pada satu pemeriksaan
follow –up sebelumnya ).
Contoh :
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir
pengobatan (AP) , pada sebulan sebelum AP, dan pada akhir
intensif.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan
pada akhit intensif (pada penderita tanpa sisipan), meskipun
pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak
diketahui hasilnya.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan
pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan)
65
meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum
AP tidak diketahui hasilnya, Bila hasil pemeriksaan ulang
dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada akhir
intensif ( pada penderita tanpa sisipan ), meskipun
pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan
sebelum AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang
mendapat sisipan meskipun pemeriksaan ulang dahak pada
AP tidak diketahui hasilnya.
Bila penderita menyelesaikan pengobatan lengkap, tapi tidak
ada hasil nya pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut
negatif , maka tidak dapat dinyatakan "sembuh" tetapi
dinyatakan sebagai "pengobatan lengkap".
Bila BTA masih positif pada sebulan sebelum AP, penderita
dinyatakan gagal dan pengobatan nya diganti. Bila penderita
gagal setelah pengobatan dengan kategori 1, pengobatan
diganti dengan kategori 2 mulai dari awal. Bila penderita
gagal setelah pengobatan dengan katagori 2, penderita
dianggap sebagai "kasus kronik". Kalau fasilitas laboratorium
memungkinkan , dilakukan uji kepekaan atau penderita
tersebut dirujuk ke UPK spesialistik. Bila tidak mungkin,
kepada penderita diberikan tablet isoniasid (INH) seumur
hidup.
66
HASIL PPENGOBATAN DAN TINDAK LANJUT
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai :
Sembuh Pengobatan lengkap, meninggal, pindah/Transfer ( out )
Defaulter ( lalai ) DO dan Gagal.
(a) Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak
( Follow –Up) paling sedikit 2 ( dua ) kali berturut-turut hasilnya
negatif ( yaitu pada Ap dan/atau sebulan sebelum AP, dan pada
satu pemeriksaan Follow –up sebelumnya )
Contoh:
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir
pengobatan (AP) pada sebulan sebelum AP , dan pada akhir
intensif .
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan
pada akhir intensif ( pada penderita tanpa sisipan ),meskipun
pemeriksaan ulangdahak pada bulan sebelum AP tidak
diketahui hasilnya.
67
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP, dan
pada setelah sisipan ( pada penderita yang mendapat sisipan),
meskipun pemeriksaam ulang dahak pada AP tidak diketahui
hasilnya.
Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan
sebelum AP dan pada setelah sisipan ( pada penderita yang
mendapat sisipan meskipun pemeriksaan ulang dahak pada
AP tidak diketahui hasilnya tindak lanjut : penderita
diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya
memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.
(b) Pengobatan Lengkap
Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali
berturut-turut negatof Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila
gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan
mengikuti prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua penderita
BTA positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak
(c) Meninggal
Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui
meninggal karena sebab apapun.
68
(d) Pindah
Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah Kabupaten / Kota
lain tindak lanjut. Penderita yang ingin pindah dibuatkan surat
pindah ( From TB 09 ) dan bersama sisa obat dikirim ke UPK yang
baru. Hasil pengobatan penderita dikirim kembali ke UPK asal,
dengan Formulir TB 10.
(e) Defaulted atau Drop out
Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai tindak lanjut lacak
penderita tersebut dan diberi penyuluhan pentingnya berobat
secara teratur . Apabila penderita akan melanjutkan pengobatan
lakukan pemeriksaan dahak , Bila positif mulai pengobatan dengan
katagori 2 , bila negatif sisa pengobatan katagori 1 dilanjutkan.
(f) Gagal
Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahak nya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan
sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Tidak
lanjut : Penderita BTA positif baru dengan kategori 1
diberikankategori 2 mulai dari awal, Penderita BTA positif
69
pengobatan ulang dengan katagori 2 dirujuk ke UPK
spesialistik atau berikan INH seumur hidup.
Penderita BTA Negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya
pada akhir bulan ke 2 menjadi positif, tindak lanjut berikan
pengobatan kategori 2 mulai dari awal.
6. Rujukan
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007
2. Arifin Nawas. Diagnosis Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 13-6.
3. Merryani Girsang. Pengobatan Standar Penderita TBC. Cermin Dunia Kedokteran 2000; 13: 6-8.
70
4. Tjandra Yoga Aditama. Pola Gejala dan Kecenderungan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 17-9.
5. H. Abdul Mukty. Terapi Rasional Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 20-4.
6. Tjandra Yoga Aditama. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam, and in the Philippines.Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 3-7.
7. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 8-12.
8. Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak, Pudjarwoto. Pengaruh Faktor Gizi dan Pemberian BCG terhadap Timbulnya Penyakit Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 31-4.
9. Liliana Kurniawan, Robert Widjaja, Indah Yuning Prapti, Basundari Sri Utami, Sri Mulyati, Roswita. Gambaran Reaksi Seluler Spesifik Pasca Vaksinasi BCG pada Anak 0-5 tahun. Cermin Dunia Kedokteran 1990; 63: 35-7.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2002. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2001. Jakarta: Badan Litbang Depkes.
11. Badan Pusat Statistik. 2002. Proyeksi Penduduk Indonesia Per Propinsi Menurut Umur dan Jenis Kelamin 2000-2010. Jakarta: BPS.
12. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak. Depkes – IDAI. 2008
13. Hiswani. Tuberkulosis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. 2008.Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
71