TELAAH KEABSAHAN HADIS TENTANG
أبغض الحلا ل إ لي االله الطلاق(Perbuatan Halal Yang Dibenci Allah Adalah Talak)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
ANIF LATIFAH
21209010
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AS – SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah yang membuat
jadi sulit, jadi jangan mudah menyerah !
PERSEMBAHAN:
1. Skripsi ini saya persembahkan kepada Ibu saya
tercinta
2. Adik-adik saya
3. Teman-temanku NON REGULER 2009, yang
selalu memotivasi, dan selalu menjadi
kompatriot sejati.
4. EL “sang ego Alter yang mendorongku hingga
batas akhir kemampuanku you rock me !!!
5. Bapak dan Ibu Dosen Al-ahwal asyakhsiyyah,
yang begitu menoleransi kekurangajaranku.
6. M. Fatwa, A. Kurniawan, Tri Yunianto, Pujo
Wasono, Uswatun Hasanah, Syamsul Bahri,
Raichan Rofi’I, Eka Jayanti, Muliyah, Salim
May Allah Bless You !!!
ABSTRAK
Latifah. Anif. 2013. Tela’ah Keabsahan Hadis tentang Perbuatan Halal yang dibenci Allah adalah Talak. Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwau al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. Kata Kunci : Takhrij Hadis, Hadis tentang Talak
Skripsi ini membahas tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang keabsahan atau ke-shahihan hadis tentang perkara halal yang dibenci Allah adalah talak. Ketertarikan penulis bermula manakala penulis mendapati bahwa hadis tentang makruhnya talak tersebut adalah yang dinilai hadis dhoif oleh Ibnu Jauzi dalam bukunya yang berjudul Al-Ilal Al-Muntahiyah. Penulis merasa tertarik untuk meneliti karena hadis ini adalah hadis yang popular dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud. Bisa kita bayangkan jika memang benar hadis popular ini ternyata hadis dhoif maka tentu akan berdampak pada ketetapan hukum mengenai cerai / talak. Dikarenakan kajian ini merupakan tentang studi takhrij hadis, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: menentukan dalil yang digunakan sebagai dalil, mencari hadis tersebut di dalam Ensiklopedi hadis yaitu Mu’jam mufahrus li al-fadh al-hadist (An-Nabawi) karya A. J Wensink dan diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, petunjuk yang didapat selanjutnya dicari dalam kitab hadis, penulis menulis hadis lengkap dengan sand dan matan, setelah itu penulis membuat bagan sanad, penulis lalu meneliti dan menelaah sanad hadis dengan kitab Tahdzib al-Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttasil atau munqati’, setelah itu penulis menelaah matan hadis untuk mengetahui adakah persamaan dan perbedaan dalam penulisan matan hadis. Dari hasil penelitian ini penulis mendapati bahwa hadis tentang makruhnya talak tersebut bukan merupakan hadis dhoif, dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, penulis mendapati bahwa hadis ini dibawakan / diriwayatkan oleh dua jalur, yaitu Ibnu Majah dan Abu Daud. Dari segi periwayatan jalur Ibnu majah ini Muttasil. Sedangkan jalur Abu Daud sanadnya termasuk Mursal Shahabi karen tidak mencantumkan nama sahabat namun langsung kepada nabi. Dari segi kualitas penulis mendapati bahwa hadis ini merupakan hadis hasan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat
dan salam selalu tercurah kepada nabi Akhir zaman Muhammad SAW, sahabat, dan
pengikut beliau pada akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu
kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini. Keberhasilan
penyusunan penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga tak lepas dari
bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M.Ag., selaku ketua STAIN Salatiga.
2. Bapak Mubasirun, M.Ag., selaku ketua jurusan STAIN Salatiga.
3. Bapak Illya Muhsin, M.Si., selaku ketua Progdi studi al-Ahwal al-Syakhsiyyah
STAIN Salatiga.
4. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing dalam penulisan
skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen dan para civitas akademika lingkungan Jurusan Syari’ah
yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya.
6. Para dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu dan
pelayanan.
7. Teman-teman sekelasku non-reguler angkatan 2009 yang telah menjadi inspirasi,
motivasi, dan penyemangat.
Ilallahi nasyku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................................. iv
DEKLARASI ............................................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tinjauan Penelitian ......................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian....................................................................... 6
E. Metode Penelitian ........................................................................... 6
F. Penegasan Istilah ............................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 13
A. Takhrij Hadis .................................................................................. 13
B. Studi Sanad ..................................................................................... 15
C. Studi Matan ..................................................................................... 23
D. Talak dalam Fiqih dan Perundang-undangan Republik
Indonesia ......................................................................................... 28
BAB III. TAKHRIJ HADIS ................................................................................ 36
A. Menentukan Hadis yang digunakan sebagai landasan dalil ........ 36
B. Pencarian dalam Ensiklopedi Hadis .............................................. 37
C. Penulis mengidentifikasi hadis ...................................................... 38
D. Bagan Sanad ................................................................................... 39
E. Meneliti dan Menelaah otensitas hadis ......................................... 40
F. Menentukan Kualitas Para Rawi ................................................... 46
BAB IV. TELA’AH MATAN ............................................................................. 49
A. Penjelasan Matan Hadis tentang Makruhnya Talak ..................... 49
B. Asbabul Wurud ............................................................................... 51
C. Sejarah Perceraian .......................................................................... 53
D. Alasan yang Mendasari Perceraian pada zaman Rasul ................ 58
E. Fenomena Talak Masa Kini ........................................................... 60
BAB V. PENUTUP ............................................................................................. 62
A. Simpulan ......................................................................................... 62
B. Rekomendasi .................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 65
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu prinsip dalam rangka mewujudkan iman dalam bentuk amal
perbuatan adalah membangun kesadaran. Seorang muslim dalam mengarungi
kehidupannya memerlukan petunjuk. Petunjuk itulah yang akan membawa
seseorang menuju titik kebajikan duniawi, dan pada akhirnya akan sampai pada
titik kebajikan ukhrowi yang kekal yaitu surga.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan petunjuk, kepada
pemeluknya. Petunjuk yang dijamin kebenarannya, sehingga seseorang tidak akan
tersesat. Petunjuk yang dimaksud adalah al -Qur’an dan al- Hadis (Sunnah) .
Sebagaimana di sabdakan Rasulullah SAW , sebagai berikut ini:
تك رت فكيأ م مر ل نين تلضو ا ما تمكستهب مما كنا الله ا ب و سةن يبنرواه ملك( ه(
Artinya : Aku tinggalkan pada kalian 2 perkara jika kalian berpegang teguh
kepadanya, kalian tidak akan tersesat selama – lamanya, Kitabullah
dan sunnah Nabinya (HR Malik).
Maka bagi seorang muslim yang ingin mencapai kebahagiaan yang
hakiki, maka dia harus berpegang teguh pada al- Qur’an dan al- Hadis (Sunnah).
Al- Qur’an sebagai sumber nilai dan Norma Agama yang utama, memuat
kaidah - kaidah hukum fundamental (Asasi) tentang muamalah, Akidah, hukum,
serta Akhlaq. Ia menjadi pedoman hidup setiap muslim, yang harus di kaji dan
dipahami makna yang terkandung di dalamnya. Kemutawatiran turunnya al-
Qur’an yang berasal dari Allah dan diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat djibril, tidak ada yang meragukan. Al-Qur’an akan tetap
terpelihara, dari semenjak turunnya hingga sekarang ini. Karena Allah sendiri
yang akan menjaganya, sesuai dengan firman-Nya dalam Surat Al – Hijr :9
$RÎ) ß øtwU $uZø9“tR t�ø.Ïe%!$# $RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan
sesungguhnya kami benar – benar memeliharanya ( Q.S Al – hijr :9)
Meskipun al-Qur’an telah memuat seluruh aspek kehidupan umat Islam,
namun al-Qur’an berisi firman – firman Allah yang kata – katanya umum dan
mengandung makna yang tidak mudah dipahami. Karena itu ia memerlukan
penjelasan dan penafsiran. Salah satu penjelasan yang terbaik, ontetik, dan
sempurna adalah penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sunnah /Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al- Qur’an.
Sunah dipahami sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan nabi yang tercatat
dalam kitab – kitab hadis. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik
tentang al-Qur’an. Selain itu, sunah juga sebagai pentakhsis (mengecualikan)
serta menguatkan kandungan Al Qur’an.
Meskipun Sunnah / hadis berkekuatan hukum, namun tidak seperti al-
Qur’an, kemutawatiran hadis banyak diragukan, karena ada jarak antara
penuturan Rasulullah dengan penulisan kitab hadis tertua yaitu Al- Muwatta’.
Imam malik sebagai penulis Al-Muttawa’ hidup antara tahun 713-795 M,
sedangkan Rasullulah wafat tahun 632 M. Banyak yang meragukan ke ontetikan
hadis, bahkan ada dugaan bahwa hadis adalah tradisi dan pikiran yang
berkembang di masyarakat dimana penulisnya tinggal, kemudian diklaim berasal
dari Nabi.
Para penulis Barat, banyak yang melancarkan serangan terhadap as–sunah/
al – Hadis, yang menjadi aspek keseluruhan bangunan islam. Mereka mengatakan
bahwa, Assunah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis bukan berasal dari nabi,
melainkan telah dipalsukan oleh generasi – generasi sesudahnya. Memang
menyakitkan , namun demikian secara jujur harus kita akui bahwa ada hal – hal
yang terselip dalam kitab – kitab Hadis yang tidak sedikit, dan di ragukan
kebenarannya.
Oleh karena itulah para sarjana islam terdahulu kemudian
mengembangkan ilmu untuk meneliti teks hadist (ilmu jarh) dan Validitas
rangkaian periwayatannya. Selain itu para sarjana islam meneliti situasi dan
kondisi dimana sunnah nabi berupa perkataan itu diucapkan.
Dilihat dari segi kualitas atau integritas pribadi orang yang
meriwayatkannya secara lisan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya,
sunnah / hadis yang terdapat dalam kitab – kitab hadis dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok :
1. Shahih
2. Hasan
3. Dhaif
Untuk hadis dhaif ini banyak macamnya, yang terlemah adalah hadis
maudhu’ (Mukhtar Yahya : 1979 :53), yaitu hadis yang mempunyai ciri-ciri tidak
masuk akal, bertentangan dengan al- Qur’an, serta bertentangan dengan hadis
lainnya.
Para Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadis dhaif.
1. Madzhab pertama tidak mau mengamalkannya secara mutlak, baik untuk
fadhoiul a’mal atau untuk kepentingan yuridis.
2. Madzhab kedua mengamalkan hadis ini secara mutlak.
3. Madzhab ketiga mengamalkan hadis dhaif untuk fadhoilul a’mal namun
disertai syarat tertentu.
Selama ini penulis meyakini kesahihan Hadis tentang perkara yang halal
namun dibenci Allah adalah Talak. Namun betapa terkejutnya penulis manakala
mendapati Hadis tentang Talak ini berbeda dalam buku “150 Hadis Dhaif dan
Palsu yang Sering dijadikan Dalil” Karya Abdul Bakir, S.Ag. Di dalam buku
kecil itu, beliau menuliskan di halaman 93 tepatnya hadis nomor 141, bahwa
hadis ini adalah hadis dhaif dinukilkan dari Al- ilal Al – Muntahiyah karya ibnu
jauzi, 2/1056 dan Adz Dzakirah 1/23. Penulis sempat meragukan kebenaran buku
ini, karena hadis ini selain termasuk hadis yang popular dalam buku – buku Fiqh
munakahat, juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Bukhari, Imam Muslim
dan Ibnu Majah.
Beranjak dari masalah tersebut, penulis sangat merasa tertarik untuk lebih
jauh meneliti lagi hadis yang digunakan sebagai landasan makruhnya talak
tersebut, sekaligus memaparkan alasan mengapa hadis ini termasuk hadis yang
dhaif. Oleh sebab itu, penulis dalam bab ini mengangkat judul. Tela’ah ke-
absahan Hadis yang berbunyi: “Perbuatan halal yang di benci Allah adalah
Talak”
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas maka selanjutnya akan dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan Talak di dalam Fiqih ?
2. Siapa para perawi yang meriwayatkan hadis tentang Perkara halal yang
dibenci Allah adalah Talak ?
3. Bagaimana validitas hadis “ Perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian hadis tentang Talak adalah sebagai berikut:
1. Memperdalam pemahaman terhadap Talak dalam Fiqih dan perundang –
undangan yakni, UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku di
negara kita, serta komplisasi Hukum Islam.
2. Mengetahui serta mengkaji kitab – kitab hadis yang memuat hadis tentang
perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak
3. Menela’ah sanad Hadis tentang perkara yang dibenci Allah adalah Talak
untuk menentukan otensitas matan hadis tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya shahih atau dhaifkah hadis tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau manfaat dari penelitiaan ini di antaranya adalah sebagai berikut
1. Pengayaaan pemahaman tentang studi sanad Hadis.
2. Wawasan yang lebih luas kepada Umat Islam mengenai matan hadis
3. Memperkaya khazanah ke ilmuwan khususnya di bidang Ilmu hukum
munakahat.
E. Metode Penelitian
Ibrahim (1988 : 25 – 26) menjelaskan bahwa penggunaan metode
merupakan suatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Dalam
dunia riset, penerapan dalam metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan
ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuwan
yang berlaku, agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan terkait
karena memiliki nilai ilmiah dibidangnya.
Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan menelaah
buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan di teliti.Menurut
Zed (2004:1-2) , “ riset pustaka adalah penelitian yang di lakukan dengan cara
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.”
2. Pendekatan
Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian yaitu :
a. Pendekatan normatif, yang dilakukan dengan cara menelaah bahan
pustaka, produk – produk hukum perbandingan hokum, dan sejarah
munculnya hukum (Soekarno & Mahmudji 1995 : 13-14). Kaitanya
dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis menelaah kitab –
kitab. Hadis sebagai sumber hukum islam yang berbicara mengenai hal
yang yang berkaitan dengan Kesahihan hadis tentang perakara halal yang
dibenci Allah adalah Talak.
b. Pendekatan historis, Pendekatan yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan yang terpadu dari keadaan – keadaan atau fakta – fakta
masal lampau yang ditulis berdasakan penelitian serta studi yang kritis
untuk mencari kebenarannya (Nazir, 1988 :55). Dalam hal ini penulis
melacak sejarah munculnya hadis tentang Talak dengan cara
mengumpulkan dan mengakses hadis – hadis terkait dari kitab – kitab
hadis yang telah diketahui dan diakui dalam dunia Islam.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua macam jenis data yaitu:
a. Data primer ialah data yang diperoleh dari kitab – kitab hadis yang
memuat tentang Perkara Halal yang dibenci Allah adalah Talak.
b. Data sekunder ialah data yang diperoleh dari bahan – bahan yang ada
hubungannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut ( Soemitro,
1990 :53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah buku
– buku dan informasi – informasi dari berbagai media mengenai, Talak
dari berbagai media mengenai Talak , seperti kitab – kitab Fiqih, uu no 1
tahun 1974, dan KHI.
4. Langkah Penelitian
Adapun langkah – langkah yang penulis lakukan dalam penelitian takhrij
hadis ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan hadis yang digunakan sebagai landasan / dalil mengenai
perkara halal yang dibenci Allah adalah Talak.
2. Mencari Hadis tersebut di dalam Ensiklopedi Hadis (Mu’jam Mufahrus
“Li alfadh al Hadist an-Nabawi) karya A.J. Wensink dan diterjemahkan
ke dalam Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi.
3. Petunjuk yang didapat dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di
dalam kitab aslinya.
4. Setelah ditemukan hadis yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan
sanad.
5. Meneliti dan menelaah otensitas hadis di dalam kitab Tahzib Al – Tahdzib
untuk mengetahui apakah sanadnya muttasil ataukah munqati.
6. Menentukan kualitas para perawi hadis berdasarkan telaah sanad.
7. Menelaah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada untuk
mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan
matan hadis.
8. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya mantan hadis untuk
menentukan bisa atau tidaknya hadis tersebut dijadikan pegangan
hukum.
5. Analisa Data
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui otensitas atau shahih tidaknya hadis
mengenai perkara yang dibenci Allah adalah talak. Hadis ini banyak
digunakan sebagai landasan /dalil dalam buku - buku fiqih. Hadis yang
menyatakan bahwa talak adalah perkara halal namun Allah begitu
membencinya. Oleh karena itu Penulis kemudian menelaah sanadnya dari
berbagai jalur periwayatan yang ada, serta mencari perbedaan dan persamaan
redaksi matan hadis antara jalur periwayatan yang lainya. Selain itu penulis
juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadis tersebut,
untuk mendapatkan kepastian shahih atau tidaknya hadis tersebut. Adapun
prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sebagaimana dalam
langkah – langkah penelitian tersebut di atas.
Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan
menggunakan metode analisa takhirij hadis. Sehingga penulis harus menelaah
hadis terkait di dalam kitab- kitab hadis yang telah diakui oleh dunia islam.
Penulis juga akan memaparkan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu
apakah hadis tentang perkara yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah
adalah Talak, adalah merupakan hadis shahih.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak hadis popular yang
digunakan dalam buku – buku fiqih, yang ternyata merupakan hadis dhaif.
F. Penegasan Istilah
Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya
terhindar dari keracunan atau kesalahan penafsiran istilah yang di gunakan dalam
penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan
penegasan istilah sebagai berikut:
1. Takhrij Hadis
Kata takhrij menurut bahasa dapat digunakan beberapa arti, mengeluarkan
(istinbat), melatih/meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih) zuhri (2003 :149).
Dengan demikian istilah takhrij hadis adalah menjelaskan tentang hadis
kepada orang lain periwayat dalam sanad hadis tersebut.
2. Talak
Talak berasal dari bahasa arab yaitu kata artinya lepasnya suatu ikatan
perkawinan dan berakhirnya hubungan berkawin. Tihami ( 2008 :229) jadi
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya
ikatan, perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.
3. Hadis Dhaif
Zuhri (2003:94) Menjelaskan hadis yang tidak memenuhi persyaratan,
misalnya sanadnya terputus, diantara periwayatannya ada yang pendusta, atau
tidak dikenali dll.
G. Sistematika
Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan dan tugas akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008, Sistematika yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
Bab I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan Penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan
sistematika.
Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis yang
meliputi studi sanad, dan studi matan serta membahas masalah talak dalam
pandangan Fiqih.
Bab III pelaksanaan takhrij hadis yang merupakan inti dari penelitian
hadis tentang kesahihan hadis yang menerangkan perkara halal yang di benci
Allah adalah talak. Bab ini berisi tentang rangkaian sanad dan thabaqat, kajian
kuantitas sanad, serta kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga
ini.
Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai
kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, Assabul wurud, kandungan
hukumnya dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab ke empat
ini.
Bab V penutup, merupakan bab terakhir pada penulisan ini, Pada bab ini
akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian takhrij hadis
tentang kesahihan mengenai perkara yang halal namun di benci Allah adalah
talak, serta rekomendasi penulis terhadap seluruh civitas, dan akademika lembaga
kampus STAIN Salatiga khususnya rekomendasi terhadap program studi al –
Ahwal Syakhsiyyah (AS).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa banyak hadis palsu atau hadis yang
bukan berasal dari nabi terselip dalam kitab-kitab hadis. Untuk dapat menilai apakah
hadis itu termasuk mutawatir, shahih, hasan, dhaif atau bahkan palsu, maka kita harus
memiliki dan menguasai pengetahuan yang dapat dijadikan tolok ukur penilaian.
Pengetahuan tersebut berkaitan dengan ilmu rijal al-hadis dan ilmu matan
hadis. Pada kajian pustaka ini, penulis akan memfokuskan kajian yang berkaitan
dengan ilmu takhrij al-hadis meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas
tentang talak meliputi pengertian talak, macam-macam talak, serta hukum talak.
A. Takhrij Hadis
1. Pengertian Takhrij Hadis
Kata takhrij menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti,
mengeluarkan (istinbath), melatih/ meneliti (tadrib), menghadapkan (taujih),
(Zuhri, 1997: 149).
Dalam Ilmu hadis, takhrij dapat dipahami untuk beberapa kepentingan.
a. Menjelaskan beberapa hadis kepada orang lain dengan menyebutkan para
periwayat dalam sanad hadis tersebut.
contoh :
حث دا أن حمد ا بى يو نس حث دنا معر ف ،عن مل قا ب ا رح :
قلاالط نم هيلا ضغب أ ئايش االله لح ا أم: ملس و هيلع االله لىص االله و لس ر ا لق
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, dengan jalur dari Ahmad bin
Yunus, dari Mu’arif, dari Muharib, bahwa Rasulullah SAW berkata /
bersabda.
b. Mengeluarkan dan meriwayatkan sesuatu hadis dari beberapa kitab, atau
guru, ataupun teman. Hal ini kita lakukan untuk mengetahui riwayat hidup
para periwayat, tujuannya agar kita bisa menilai apakah periwayat itu dapat
dipercaya atau tidak.
c. Menunjukkan kitab-kitab hadis, yaitu kitab-kitab hadis yang telah diakui di
dalam dunia islam, sehingga kita dapat mengetahui letak hadis tersebut
lengkap dengan sanad dan matannya .
2. Tujuan Takhrij Al-Hadis
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dengan takhrij al–hadis memudahkan
kita untuk :
a. Mengetahui hadis yang dimaksud terdapat dalam kitab apa saja, beserta
jalur periwayatannya.
b. Siapa saja yang meriwayatkan hadis tersebut dimasing-masing jalur. Disini
kita dapat menelusuri sanad hadis dari masing-masing jalur satu persatu.
3. Proses Takhrij al-Hadis
Untuk dapat mengetahui validitas suatu hadis, kita harus melacak suatu hadis
tersebut, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menentukan hadis yang digunakan sebagai landasan/ dalil.
b. Mencari hadis tersebut di dalam Ensiklopedi Hadis yaitu Mu’jam
mufahrus li al-fadh al-hadist (An-Nabawi) karya A. J Wensink dan
diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi.
c. Petunjuk yang didapat dari mu’jam tersebut selanjutnya dicari dalam kitab
hadis.
d. Langkah selanjutnya menulis redaksi /teks hadis yang telah ditemukan
lengkap dengan sanad dan matannya .
e. Setelah menulis redaksi /teks hadis yang dimaksud dibuatlah bagan sanad.
f. Meneliti dan menelaah otensitas sanad hadis dengan kitab (Thadzib al-
tahdzib) untuk mengetahui apakah sanad-sanadnya muttasil/ munqati’.
g. Menentukan kualitas para perawi hadis berdasarkan tela’ah sanad.
h. Menela’ah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada, untuk
mengetahui adakah persamaan dan perbedaan redaksi dalam penulisan
matan hadis.
i. Tela’ah sanad menentukan shahih tidaknya sebuah periwayatan, untuk
menentukan bisa atau tidaknya hadis tersebut dijadikan pegangan hukum.
B. Studi Sanad
Untuk dapat menilai apakah sebuah hadis dapat dikatakan shahih, hasan,
dhaif atau bahkan palsu, kita harus menguasai dan mengetahui ilmu yang
berkaitan dengan sanad hadis. Dengan ilmu yang berkaitan dengan sanad, kita
dapat menelusuri apakah hadis tersebut tersambung sanadnya atau tidak. Selain
itu kita dapat mengetahui apakah periwayat hadis tersebut merupakan orang yang
dapat dipercaya atau tidak. Adapun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sanad hadis
meliputi :
1. Ilmu Rijal Al-Hadis
Rijal menurut bahasa, artinya kaum pria. Ilmu rijal al-hadis
membicarakan tentang tokoh/ orang-orang yang membawa hadis, dari sejak
Nabi Muhammad SAW sampai dengan periwat terakhir (penulis kitab hadis)
(Zuhri, 1997:117). Hal yang terpenting di dalam ilmu rijal al-hadis adalah
sejarah mengenai kehidupan para tokoh meliputi masa kelahiran dan wafat
mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam
jangka beberapa lama, serta dari siapa saja mereka memperoleh hadist dan
kepada siapa mereka menyampaikan.
Dari ilmu rijal al-hadis kita akan memperoleh keterangan tentang
penilaian ulama diatas seorang tokoh sanad, yang meriwayatkan hadis yang
kita teliti. Dengan ilmu rijal al-hadis kita akan menemukan beberapa
kemungkinan, yaitu :
a. Periwayatan yang kita teliti itu merupakan orang tercela (Majruh). Dari sini
kita bisa menentukan kualitas hadis yaitu dhaif.
b. Periwayat yang kita teliti, merupakan orang yang terpuji. Jika pujian itu
bertingkat luar biasa, seperti “Fulan tidak ada bandingannya
(Awtsaqun’nas) maka dapat dipastikan hadis itu shahih.
c. Periwayat yang kita teliti, pujiannya pas-pasan, seperti “Fulan dapat
ditolelir atau “si fulan orang jujur’’ maka tingkatan hadis menjadi hasan.
d. Periwayat yang dimaksud ternyata kontroversi. Ada ulama yang memuji,
namun ada pula yang mencela. Menghadapi kasus ini maka kita harus
menentukan teori yang akan kita pakai untuk menyelesaikannya.
Mendahulukan al-jarh atas ta’dil atau mendahulukan suara terbanyak.
Ada beberapa cara yang dicoba oleh para ulama untuk menyusun buku
riwayat hidup para periwayat di antaranya :
a. Kitab yang disusun berdasarkan generasi (Thabaqat) contoh :
1) Kitab Al-Thabaqat Al-kubra ,karya Abu Abdillah Muhammad ibnu
Sa’ad Katib Al-waqidi (168 – 230 H). Kitab ini memuat biografi para
sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, sampai kepada orang di
masa dia sendiri.
2) Thabaqat al-riwayat karya Khalifah bin Khayyatah al-ushfuri
(w.240 H).
3) Kitab Tadzkirat al-Huffazh karya Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi
(w. 746 H / 1348 M).
b. Kitab-kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar
mudah menggunakannya, contoh : Al-isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab bin Abdil
Barr.
c. Kitab-kitab yang membahas biografi para sahabat nabi.
d. Kitab-kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih al-
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan al-Turmudzi, Sunan ibnu
Majah antara lain :
1) Al – kamal fi Asma al-Rijal – karya Abdul Ghani al-Maqdisi
(w.600H/1202 M).
2) Tahdzib al-Kamal- karya Abdul Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi
3) Tahdzib al-Tahdzib – karya Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.
748H/ 1348 M ).
e. Kitab yang meriwayatkan para perawi dalam sepuluh kitab hadist (Shahih
Bukhari, Shahih muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Ibnu
Majah, Imam Abu Hanifah, Musnad Syafi’i dan Musnad Ahmad ibnu
Hanbal).
f. Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan.
Contoh : Al-Kamil fi Dhu’afa Al Rijal- karya Abu Ahmad Abdul Ibnu Adi-
al Jurjani (w.365H).
g. Kitab riwayat hidup para periwayat yang menggunakan nama samaran.
Contoh : Nazhat – al-Albab fi al – Alqab.
Dengan menggunakan sebagian kitab-kitab di atas, akan memudahkan kita
untuk menelusuri mata rantai sanad sebuah hadis.
2. Ilmu al Jarh wa al-Ja’dil
a. Pengerian ilmu al-jarh wa al-Ta’dil
علم يبحث فيه عن جر ح ا لر وا ة و تعد يلهم بأ لفاظ مخصو صة و عن مرا
تب تلك ا لأ لفاظ
“Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan
kepada perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-
martabat kata-kata.
Dari pengertian di atas maka, ilmu al jarh wa al ta’dil dapat kita pahami
sebagai ilmu yang membahas kelemahan dan keadilan seorang perawi
(Khumaidi, tt :30)
b. Tujuan Ilmu al-jarh wa al-ta’dil
Ilmu ini bertujuan untuk memberikan kritikan kepada sesorang perawi
yang memiliki kelemahan (cacat) atau memberikan status tertentu
terhadapnya. Hal ini harus dilakukan untuk melindungi informasi nabi dari
kepalsuan. Dengan al-jarh wa al-ta’dil, tidak lantas mendiskreditkan atau
menjatuhkan martabat seorang perawi. Tetapi untuk melindungi hadis
nabi dari hadis-hadis palsu yang diklaim berasal dari nabi.
c. Tingkatan al-jarh
Para Ulama Hadis ketika memberikan penilaian tercela terhadap para
periwayat hadis, mereka menggunakan kaidah:
ا لإ جما ل فى ا لتعد يل و ا لتفصيل فى ا لتجر يح
Secara garis besar dalam menunjukan pujian dan detail dalam
menunjukan cacat.
Rinci dan detail dalam menunjukan cacat, karena para ulama begitu
berhati-hati dalam menerima hadis. Pemberi informasi hadis harus
merupakan orang pilihan. Adapun kata-kata yang digunakan oleh para
ulama adalah :
1. Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk, dan sangat
memberatkan kepada orang yang dicatat karena kedustaan misalnya :
و ضاع الحد يث، يضع ا لحد يث ، كذا ب، أ كذ ب ا لنا س
2. Jarh dengan menggunakan kata yang sedikit lebih lunak, juga berkisar
pada dusta.
فلا ن ذ ا ،فلا ن متروك ، فلا ن ها لك، و فلا ن سا قط ، فلا ن متهم با لكذب هب ا لحد يث
3. Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang
menunjukan bahwa hadisnya ditolak orang banyak atau tidak ditulis
hadistnya.
فلان ليس بشئ، ضعيف جدا ، مر د و د الحد يث ، فلا ن ر د حد يثه
4. Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
منكرا لحد يث ، لا يحتج به ، ضعفو ه ، ن ضعيف فلا
Disini diketahui bahwa hadist yang dibawa oleh periwayatkanya tidak
dapat digunakan sebagai hujjah.
5. Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menunjukan cacat ringan,
seperti :
ليس ، سئ ا لحفظ ، س ججه يل، ى وا لقب ن لاف، فعض هيف، هيف ا لقي ن لافلين ا لحد يث ، با لمتين
Menurut Zuhri (2003 : 127), al-jarh dengan tingkatan yang terberat (nomor
1 dan 2) menonjolkan kedustaan, orang yang tidak menonjolkan dusta di
jatuhi al-jarh dengan kadar agak ringan. Orang yang ridak kelihatan
pendusta namun lemah hafalannya, dan tidak teliti di jatuhi al-jarh dengan
kadar lebih ringan lagi, mendekati ta’dil dengan kadar yang ringan.
d. Tingkatan al-ta’dil
Seperti halnya al-jarh tingkatan al-ta’dil juga bervariasi. Ada ulama yang
memberikan ungkapan secara berlebihan namun sebagian lainnya memuji
dengan kalimat yang biasa.
Adapun tingkatan al-ta’dil meliputi :
1. Ta’dil dengan menggunakan ungkapan yang lebih.
هنع ل أسي لا ن لاف، ريظن هل سيل، ا سا لن طبض أ، ا سا لن قث وا
2. Ta’dil dengan mengulangi pujian baik dengan mengulangi pujian baik
dengan kata yang sama ataupun mirip.
ةقث ةقث ،قثه مأ من و ،ةقث حظا ف ., بث ةقثت , ةقث مقتن
Tingkatpujian ini di bawah tingkatan pertama.
3. Ta’dil dengan menggunakan pujian tanpa pengulangan.
ا مم إ، ةجح، ظا فح، طا بض، ةقث ن لاف
4. Ta’dil dengan menggunakan kebaikan seseorang, tetapi tidak
melukiskan kecermatan atau kekuatan hafalan di atas.
صد و ق ،مأ ملا، ن و بب أ سه
5. Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang dekat dengan tajrih.
ليس ببعيد من ا لصا ب و ،صد و ن إ ق أ ا اللهش ،ملحا ه لصد ق
Tingkatan yang pertama dan kata kedua menunjukan bahwa periwayat
memiliki kecerdasan, ketelitian, serta kekuatan hafalan yang luar biasa.
Jika seseorang di dalam tingkatan ini diketahui tidak jujur, maka dia tidak
akan pernah lagi dimasukan dalam kelompok adil.
Pada tingkatan ke empat dan kelima menunjukan bahwa periwayat
memang tidak menonjol kecerdasannya, ketelitian dan kekuatan hafalannya
( Zuhri, 2003: 125-126).
3. Kritik (Al-Jarh Wa al-Ta’dil) terhadap sahabat
a. Dr. Hasbi As-shiddieqy berpendapat jumhur ulama telah menyepakati,
bahwa semua sahabat dipandang adil, baik yang ikut serta ke dalam
pertentangan-pertentangan antara sahabat dengan sahabat ataupun tidak.
b. Pendapat lain menyatakan, bahwa seorang sahabat, tidak harus dipandang
adil, hanya karena beliau adalah sahabat nabi, karena diantara mereka ada
yang tidak adil. Jadi kita harus meneliti keadaan mereka setelah timbul
kekacauan-kekacauan antara sesama mereka.
c. Ibnu Atsir dalam kitabnya Al-iti’ab berkata: “walaupun para sahabat
disepakati bahwa mereka itu adil, namun tidak ada salahnya, jika kita
mengetahui nama-nama mereka dan membahas perjalanan hidup mereka,
serta keadaan mereka untuk kita teladani, karena merekalah orang yang
pernah bertemu dengan nabi, dan menjadi orang terdekat beliau.
Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa golongan sahabat semuanya adil,
karena mereka adalah orang –orang yang bersedia mengorbankan jiwa,
raga ,serta harta mereka untuk nabi. Apakah mungkin orang yang rela
meninggalkan keluarga ,serta sanak kerabat untuk mendapatkan kecintaan
Allah dan Nabi-nya melakukan kebohongan atas nama nabi-nya?. Selain
itu Allah telah berfirman dalam surat al-Fath : ٢٩ :
Ó‰£Jpt’C ãA qß™ §‘ «! $# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£‰Ï© r& ’n?tã Í‘$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ‘ öNæhuZ÷�t/ ( öNßg1t�s?
$Yè©.â‘ #Y‰£Ú ß™ tbqäótGö6tƒ Wx ôÒ sù zÏiB «! $# $ZRºuqôÊ Í‘ur (
Artinya : Muhammad Rasulullah dan orang –orang yang menyertainnya
itu sangat tegas terhadap Kuffar tetapi saling mengasihi sesama
mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan ridha-Nya ( Qs. al-Fath : 29).
C. Studi Matan
Salah satu syarat hadis shahih adalah tidak syadz, tidak bertentangan
dengan Al Qur’an dan juga dapat diterima oleh akal sehat. Selain itu hadis itu
tidak bertentangan dengan hadis yang lain. Oleh karenanya untuk dapat menilai
kesahihan sebuah hadist maka kita harus mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan matan hadis, diantaranya :
1. Ilmu Gharib al-Hadis
a. Pengertian
علم يعرب فه معنى مق ا وع فى متو لأ ا ن حا د يث مفللأ نا اظرلغ يبة عذأ نهان
ةصا للخا ةيب رعا لب مهدهع دعب نيذال
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadist
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum
(Ash-Shiddieqy,1953 : 161).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ilmu ini menyingkap apa
yang tersembunyi dalam lafadz hadist. Sebenarnya kata-kata nabi tidak
sukar dipahami, namun dalam perkembangannya, bahasa arab dimasuki
oleh istilah-istilah asing, sehingga kata-kata bertambah. Disisi lain ada kata
yang berangsur-angsur tidak dipakai, sehingga kata-kata yang dulunya
tidak asing kini terasa asing bagi pengguna bahasa arab. Apalagi bagi orang
non arab. Tugas ilmu Gharib al – hadislah untuk menerangkan/ membantu
memudahkan orang mengetahui apa yang diajarkan di dalam hadis dan
mengamalkannya.
2. Ilmu Mukhtalif al – Hadis
a. Pengertian :
لعم يبثح فيه نع ا لتوفقي بيلأا نحاديلما ثتناقضظ ةاها ر
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist
yang berlawanan lahirnya.
Ilmu ini dibutuhkan, manakala kita menemukan hadis-hadis yang
bertentangan. Jika pertentangan itu antara hadis shahih dengan hadis dhaif,
maka tidak aka ada masalah. Namun jika hadis yang saling bertentangan itu
adalah hadis shahih, maka dengan ilmu mukhtalif al-hadis kita dapat
menyelesaikan persoalan itu ( Ash-Shiddieqy,1953 : 164).
b. Cara Menyatukan Pertentangan Antarhadis
1) Kita bisa menjadikan salah satu hadis tersebut menjadi mukhasshish
bagi yang lainnya.
2) Kita bisa menjadikan salah satu hadis tersebut Nasikh bagi yang lainnya.
3) Hadis yang lahiriahnya bertentangan dapat disatukan dengan cara
meletakkan hadis pertama sebagai dalil umum, sedangkan hadis kedua
sebagai mukhasshish.
3. Ilmu Nasikh Al-Hadis Wa Al-Mansukh
لعم يبثح فيه نع ا لنخا س لما ونسخو ملأا نحا د يث
Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah di maknsukh dan yang
menasikhkanya.
Ilmu nasikh al – Hadis wa al – mansukh di pahami sebagai ilmu yang
menjelaskan tentang hadis-hadis yang telah dihapus, mansukh dengan hadis
yang datang setelahnya ( Ash-Shiddieqy,1953 : 163).
Kaidahnya penggabungan dalil yang memuat aturan diterapkan setelah upaya
menggabungkan dua hadis yang bertentangan, takhsis tidak berhasil.
Ada beberapa cara ditempuh untuk mengetahui peristiwa nasakh ini.
a. Berdasarkanya bunyi nash hadis itu sendiri
b. Berdasarkan keterangan sahabat
c. Berdasarkan hadis yang datang lebih dahulu dan yang datang belakangan.
d. Berdasarkan ijma’ amali
4. Asbab wurud al – hadis
Pengertian :
لعم يرع ب فا ه لسبال بذي ورلأ دجلل ا هحد ثي وا لزال انمذي جاء فيه
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-
masanya Nabi menuturkan itu.
Ilmu ini menyingkap sebab-sebab timbulnya hadis. Di dalam al-Qur’an kita
mengenal Asbabun Nuzul, yaitu ilmu tentang sebab-musabab ayat al-Qur’an
di turunkan. Di dalam hadis, ilmu ini dikenal dengan Asbab wurud al-hadis
(Ash-Shiddieqy,1953 : 164).
Tujuan ilmu ini adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam memahami
hadis, karena tidak diketahui sebab turunnya. Selain itu dengan ilmu asbab
wurud al–hadis kita dapat memahami ajaran Islam secara komprehensif
sekaligus mengetahui hadis yang datang terlebih dahulu dan yang hadis
belakangan
5. Ilmu illal al – hadis (ilmu tentang kecacatan hadis)
لعم يبثح فيه عا ن سغ اببامضة خفيق ةادحة فى صحلح ا ةد يث
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang
dapat mencacatkan hadis ( Ash-Shiddieqy,1953 : 160).
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa sebuah hadis, yang dilihat
sekilas dari runtutan persambungan sanad hadis, dapat disimpulkan bahwa
hadist itu sahih, tetap sebenarnya hadis itu tidak shahih, ada juga matan
hadis/redaksi sebuah hadis yang sepintas berasal dari ilmu nabi namun
sebagian lain dari perawi ilmu ini digunakan untuk mengungkap penyakit-
penyakit yang ada pada hadis. Tidak semua ulama/ peneliti dapat
mengungkapkan penyakit hadis. Hanya mereka yang mempunyai pengetahuan
sempurna tentang martabat perawi dan mempunyai makalah yang kuat
terhadap sanad-sanad dan matan-matan hadis.
D. Talak dalam Fiqih dan Perundang-undangan Republik Indonesia
1. Talak dalam Fiqih
a. Pengertian talak
Talak menurut bahasa berarti melepaskan tali dan membebaskan. Menurut
syara’ melepaskan ikatan akad nikah dengan lafadz tertentu, misalnya :
سرحتك -فر قتك –ط لقتك
Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.
(Tihami 2009 :230). Namun ini berlaku untuk talak ba’in untuk raj’i
seorang suami masih diperbolehkan ruju’ kepada istri sebanyak dua kali,
selama masih dalam masa iddah.
b. Dalil disyariatkannya talak
Dalil disyariatkan talak adala al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Allah
berfirman dalam Qs Al – Baqarah : 229
ا لطلق مرتا ن فإ مسا ك بمعر و ف أ و تسر يح بإ حسا ن
Talak (yang di rujuk) dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruh atau menceraikan dengan cara yang baik.
Adapun dalam hadis yang membahas tentang thalaq adalah sebagai berikut:
أ بغض الحلا ل إلى ا الله تعا لى ا لطلاق
Halal yang paling dibenci Allah adalah Talak.
Sedangkan ijma’ menyepakati bahwa hubungan suami istri adalah
hubungan tersuci dan terkuat, maka hubungan ini tidak boleh diremehkan
dan direndahkan. Keduanya harus berusaha menggapai mawadah
warrahmah dalam menjalani biduk rumah tangga.
c. Macam-Macam Talak
Secara garis besar talak di bagi menjadi dua yaitu :
1) Talak Raj’i
Talak Raj’i yaitu thalaq dimana suami masih mempunyai hak untuk
rujuk kepada istrinya, dimana istri dalam keadaan sudah digauli.
Hal ini sesuai dengan Qs Al-Baqarah : 229 yang berbunyi :
,»n=©Ü 9$# Èb$s?§�sD ( 88 $|¡ øBÎ*sù >$ rá�÷èoÿÏ3 ÷rr& 7x ƒÎŽô£ s? 9»|¡ ôm Î*Î/ 3 Ÿw ur ‘@ Ïts† öNà6 s9 br&
(#rä‹è{ ù's? !$£JÏB £ èdqßJçF÷�s?#uä $º«ø‹x© Hw Î) br& !$sù$sƒs† žw r& $yJŠÉ)ムyŠr߉ãm «! $# (
Talak (yang dapat di rujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduaanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hokum-hukum Allah (Tihami, 2009 :233).
Talak Raj’i terbagi menjadi 5 kategori :
a) Talak mati, tidak hamil.
b) Talak hidup dan hamil.
c) Talak mati dan hamil.
d) Talak hidup dan tidak hamil.
e) Talak hidup dan belum haid.
2) Talak Ba’in
Talak Ba’in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami
istri. Talak Ba’in terbagi menjadi dua bagian:
a) Talak ba’in sughra, yaitu talak yang menghilangkan hak-hak rujuk
dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan nikah baru kepada
bekas istrinya. Yang termasuk dalam talak ba’in sughra ialah :
1) Talak yang dijatuhkan kepada istrinya sebelum terjadinya
dhukhul.
2) Khulu’
b) Talak ba’in kubra, ialah talak yang mengakibatkan hilangnya hak
ruju’ kepada bekas istri, walaupun kedua bekas suami istri itu masih
ingin melakukanya, baik diwaktu iddah maupun sesudahnya. Yang
termasuk dalam thalaq ba’in kubra adalah: perceraian yang
mengandung unsur sumpah seperti ila, zihar, dan li’an.
d. Hukum Talak
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak. Berikut ini pendapat
ulama mengenai hukum talak :
1) Wajib : Jika Suami telah bersumpah tidak akan menggauli (ila’)
2) Sunah : Jika suami tidak mampu memenuhi istri/ jika istri tidak
mampu menjaga harga diri atau mempunyai perangai
yang buruk.
3) Haram : Thalaq dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haid/ tanpa
tebusan, selain itu talak dijatuhkan suami dalam keadaan
sakit untuk menghalangi pewarisan.
4) Makruh : Berdasarkan hadis yang berbunyi
قلاالط ي االلهلا للالحا ضغب أ
Karena talak berarti keduanya mengkufuri nikmat yang telah Allah
berikan kepada keduanya.
2. Talak dalam UU ( perundang-undangan) Republik Indonesia
a. UU No 1 Th 1974
Di dalam UU, tidak disebutkan secara spesifik pengertian tentang talak
atau putusnya perkawinan. Namun di dalam UU No 1 Tahun 1974,
perkawinan dapat putus karena :
1) Kematian
2) Perceraian
3) Atas keputusan pengadilan
Menurut ketentuan pasal 39 ditegaskan bahwa perceraian hanya dilakukan
di depan sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Di dalam penjelasan
UU No 1 Th 1974, di sebutkan alasan-alasan yang bisa menyebabkan
perceraian, di antaranya:
1) Zina, mabuk, berjudi.
2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa keterangan.
3) Salah satu pihak mendapatkan/ dijatuhi hukuman penjara 5 tahun atau
lebih.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan pihak lain
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit, sehingga tidak mampu
menjalankan kewajiban sebagai suami/ istri
6) Sering terjadi percekcokan/ pertengkaran sehingga tidak ada harapan
untuk hidup rukun lagi.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu :
1) Baik bapak/ ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya
2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataanya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/ menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
b. Kompilasi Hukum Islam
Menurut kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan dapat putus
karena:
1) Kematian
2) Perceraian
3) Atas putusan pengadilan
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian, dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Selain itu Kompilasi
Hukum Islam juga menerapkan alasan-alasan perceraian di antaranya :
1) Salah satu pihak berbuat zina, mabuk dan berjudi.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut tanpa
keterangan.
3) Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara selama 5 tahun. atau
hukuman/ lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjadikan kewajiban sebagai suami istri.
6) Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan tidak ada
harapan akan hidup rukun
7) Suami melanggar taklik talak.
8) Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Akibat Putusnya Perkawinan
1) Akibat Talak
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada isterinya baik berupa
uang/benda, kecuali bekas istri Qobla dhukhul.
b) Memberikan nafkah, maskan dan kiswa kepada bekas istri selama
masa iddah, kecuali bekas istri telah telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh bila
Qobla dhukul.
d) Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 th.
2) Akibat Perceraian
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari
ibunya.
b) Anak yang sudah mumayyiz berkah memilih untuk mendapatkan
hadlanah dari ayah atau ibunya
c) Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, maka pengadilan agama dapat
memindahkan kepada kerabat lain.
d) Semua biaya hadlanah dan nafkah menjadi tanggung jawab ayah
sampai anak berusia 21 tahun.
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan a, b, c ,d.
f) Pengadilan dapat pula dengan kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang
tidak turut padanya.
BAB III
TAKHRIJ HADIS
Adapun Takhrij yang dimaksud di sini meliputi : Penelusuran pencarian hadis
lewat kata kunci طلق dan بغض , Pencarian hadis yang ada di dalam kitab hadis
berdasarkan Ensiklopedi Hadis karya A.J.Wensik yang telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Arab oleh Muhammmad Fuad Abdul Baqi, Pengidentifikasian hadis
sebagaimana yang terdapat di dalam kitab hadis, Pembuatan bagan sanad, penelitian
dan menela’ah otensitas hadis yang terdapat dalam kitab Tahdzib-al- Tahdzib, serta
kritik sanad. Selanjutnya penulis akan menjabarkan proses takhrij ini satu persatu :
A. Menentukan Hadis yang digunakan Sebagai Landasan atau Dalil
Dalam hal ini penulis ingin mengetahui redaksi hadis yang berbunyi
قلاالط ي ا اللهل إ ل لاا لح ضغب أ
Berangkat dari keyakinan penulis mengenai kesahihan Hadis tentang
perkara yang halal namun dibenci Allah adalah Talak. Namun betapa terkejutnya
penulis manakala mendapati Hadis tentang Talak ini berbeda dalam buku “150
Hadis Dhaif dan Palsu yang Sering dijadikan Dalil” Karya Abdul Bakir, S.Ag.
Di dalam buku kecil itu, beliau menuliskan di halaman 93 tepatnya hadis nomor
141, bahwa hadis ini adalah hadis dhaif dinukilkan dari Al- ilal Al – Muntahiyah
karya ibnu jauzi, 2/1056 dan Adz Dzakirah 1/23. Penulis sempat meragukan
kebenaran buku ini, karena hadis ini selain termasuk hadis yang popular dalam
buku – buku Fiqh munakahat , juga diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Ibnu
Majah. Oleh karena itu penulis ingin meneliti Kesahihan hadis ini.
B. Pencarian di dalam ensiklopedi Hadis (Mu’jam Mufahrus li alfadz al-Hadis
An-nabawi) karya A.J Wensink yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi .
Penulis memulai pencarian Hadis dengan menggunakan kata kunci:
طلق ) ١
Penulis menemukan potongan hadis di halaman 25, potongan hadis itu berbunyi :
ق لاا لط نم هيل إ ضغب ا أئيش االله لح أ ما
٣د طلا ق
بغض ) ٢
Penulis menemukan potongan hadis di halaman 202 dengan Kalimat
قلاالط ي ا اللهل إ ل لاا لح ضغب أ
٣د طلا ق
جھ طلا ق ا
C. Penulis mengidentifikasi hadis sebagaimana yang terdapat di dalam kitab
Hadis
Setelah melakukan pencarian di Ensiklopedi hadis, penulis hanya
menemukan dua jalur yang meriwayatkan hadis tentang makruhnya talak. Adapun
jalur periwayatan hadis tersebut adalah :
1. Sunan Abi Daud
حث دا ان حمد ا بن يو نس حث دنا معر ف عن ر سو ل االله صلى االله عليه ا لق ب ر امح
ق لاالط نم هيل ا ضغب ا أئيش االله لح أ و سلم ما
2. Sunan Ibnu Majah
حث دا كنثيإ ر بن عبيد حث دا إن بن خا لنء د معر إ ف نب ولا ص عن مإ ب ا رح نب ا رث د .
عإ ن نب عمر نع أ. صل االله عليه و سلم قا ل النى بغل لالحا ض ى االلهل ا تى ا لع
ق لاطال
D. Selanjutnya penulis membuat bagan sanad
1. Sunan Abi Daud
2. Ibnu Majah
ا لنبى
ا ر بحم
معر ف
حمد ا بن یو نس أ
ا بى دا و د
ىا لن
محا ر ب إ بن د ثا ر
مرا بن ع
ف ا بن وا صل معر
ما جھإ بن
بن خا لد إ
بیدكثیر ا بن ع
3. Skema Bagan Hadis
(73 H)
( 116 H)
( ? )
(146 H) (227 H)
(250H) (275 H)
(273 H)
E. Meneliti dan menelaah otensitas hadis di dalam kitab Tahdzib - al-Tahdzib
untuk mengetahui sanadnya Muttasil atau Munqati’
1. Periwayat dari jalur Abi Daud
a. Abu Daud
Nama tokoh ini adalah Sulaiman bin al-Asy’ats bin ishaq al-
Azdawi al-Sijistani lahir pada tahun 202 H. Sebelum mendalami hadis,
Abu Daud mempelajari Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
محا ر ب ا بن د ثا ر
ا بى دا و د
ا بن ما جھ
مرعا بن
ا لنبي
ف ا بن وا صل معر
ا حمد ا بن یو نس ا بن خا لد
بیدیر ا بن عكث
Dalam menempa diri agar menjadi ulama besar ia malang
melintang ke berbagai negeri : Khurasan, Ray, Harat, Kufah, Bagdad,
Tarsus, Damaskus, Mesir, Basrah Gurunya adalah ulama-ulama yang
terkemuka di antaranya : Abu Amr al-Dharir, Abu al-Walid al-Thayalisi,
Sulaiman bin Hard, dan Ahmad bin Hanbal. Banyak buku yang telah di
tulisnya, khususnya ilmu Hadis Abu Daud meninggal di Basrah pada 16
syawal tahun 275 H ( Zuhri, 2003: 174).
b. Ahmad Ibnu Yunus
Nama tokoh ini adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus bin
Abdullah bin Qais at Tamimi Al-Yarbu’I al-kufi.
Gurunya adalah Atsauri bin Ayyinah, Zaidah, Ashim bin
Muhammad, Ibnu Abi Zinad. Muridnya adalah Bukhari Muslim, Daud,
Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hajaj bin Syair, Abd bin Hamid, Abd
Zar’ah, Haris bin Abi Asamah, Ishaq al-Harabi dan Ibrahim al-Jauzan,
Abu Harim, Saiqah, Yusuf bin Musa.
Diantara muridnya ada nama Abi Daud. Beliau adalah murid dari
Ahmad bin Yunus. Maka tidak diragukan bahwa orang inilah yang
dimaksud dalam sanad hadis ( Al-Asqalany,1984: 44).
c. Muarif
Di dalam Tahdzib al-Tahdzib, peneliti menemukan nama Mu’arif
bin Washil Assiadi abu Badl atau disebut Abu Zuraid Al-Kufi, dengan
kode د - م . (Muslim –Abi Daud)
Gurunya bernama Abi wa’il, Ibrahim attaimy, Ibrahim An-nakhai,
Abdullah bin Buraidah, Muharib bin Ditsar, Habib bin Abi Tsabit, Amru
bin Dinnar dan Ya’Qub bin Nabatah. Muridnya Muhammad bin Mutharif
bin Washil, Abu Ahmad Azzabiri, Abdullah bin Sholeh, Ahmad bin
yunus, dan Ali bin Ja’ad.
Diantara muridnya ada nama Ahmad bin Yunus .ini Membuktikan
bahwa Mu’arif yang dimaksud adalah Mu’arif bin washil ( Al-
Asqalany,1984: 206).
d. Muharib
Di dalam kitab Tahdzib, peneliti menemukan nama Muharib bin
Ditsar bin Kurdus bin Qur wasy bin Jaunah bin salamah bin Sakhr bin
Tsa’labah bin Sudus Assudusy Abu Ditsar atau disebut Abu Kurdus atau
disebut Abu Nadr al-Kufi al-Qadli. Dengan kode (ستة) ع. Gurunya
bernama Ibnu Umar, Abdullah bin Yazid Al-Khatmi, Jabir, Ubaid bin Al-
Bara, Abdullah , dan Sulaiman. Murid-muridnya : Atha’ bin Sa’ib, Abu
Ishaq as Syaibani A’masy, Said bin Masruq, Mu’arif bin washil,
Muhammad bin Qais al-Shady. dan Sufyan.
Diantara Muridnya terdapat nama Mu’arrif bin washil. Ini
membuktikan bahwa Muharib yang dimaksud adalah Muharib bin Ditsar
( Al-Asqalany,1984: 45).
2. Periwayat dari Jalur Ibnu Majah
a. Ibnu Majah
Ia adalah al-Imam al-Hafidzh Abu Abdillah, Muhammad ibn
Yazid al-Qazwaini ibn majah. Majah adalah julukan ayahnya.
Ia lahir di Qazwain pada tahun 209 H. Berbagai negeri telah
dijelajahinya seperti : Irak, Hijaz, Mesir, Syam, dan lain-lain. Ibnu Majah
wafat pada 22 Ramadhan 273 H ( Zuhri, 2003: 178).
b. Katsir bin Ubaid
Nama lengkapnya adalah Katsir bin Ubaid bin Namir al-
Madhajiy. Dia dijuluki Abu al-Hasan, al-Hamshi, al-Hida’, al-Maqra’i.
Wafat tahun 250 H.
Gurunya : Muhammad bin Khalid, Ayyub bin Suwaid Arramli,
Baqiyah bin Walid, Sufyan bin Umayyah, Abdussalam bin Abdul
Guddus, Muslim bin Khalid Az-zanji.
Muridnya : Abu bakar Ahmad bin Umar bin Ashim, Ismail bin
Muhammad Beliau bin Ghirad al-Adry, Abul Hasan Ahmad bin Umair
bin Jausa’.
Diantara gurunya ada nama Muhammad bin Khalid, ini
menunjukkan bahwa Katsir bin Ubaid, adalah tokoh yang dimaksud
dalam sanad ini.
c. Abi Khalid
Nama tokoh ini adalah Muhammad bin Abi Kholid ibnu Utsmah
al- Hanafy al- Bisriy.Wafat tahun 146 H.
Gurunya :Katsir bin Abdillah bin amru bin Auf, Musa bin Ya’qub
al-Zam’i, Ibrahim bin Ismail bin Abi Habibah, Said bin Basyir.
Muridnya : Muhammad bin Abu Basyar Bindar,Ahmad bin Tsabit
al-Jahdari, Muhammad bin Abdillah bin Ubaid, Muhammad bin Isma’il
(www.al-atsariyyah.com).
d. Mu’arrif bin Washil
Di dalam kitab tahdzib, peneliti menemukan nama Mu’arif bin
washil as-Saadi abu Badl atau disebut Abu Zuraid Al-Kufi, dengan kode د
.(Muslim – Abi Daud) ,م -
Gurunya bernama Abi Wa’il, Ibrahim Attamy, Ibrahim An-
nakhai, Abdullah bin Buraidah, Muharib bin Distar, Habib bin Abi Tsabit,
Amru bin Dinnar dan Ya’Qub bin Nabatah.
Muridnya bernama Muhammad bin Mutharif bin Washil, Abu
Ahmad Azzabiri, Abdullah bin Sholeh, Ahmad bin Yunus, dan Ali bin
Ja’ad ( Al-Asqalany,1984: 206).
Diantara Muridnya ada nama Ahmad bin Yunus. Ini membuktikan
bahwa Mu’arif yang di maksud adalah Mu’arif bin Washil.
e. Muharrib bin Ditsar
Di dalam kitab Tahdzib, peneliti menemukan nama Muharrib bin
Ditsar bin Kurdus bin Qurwasy bin Jaunah bin Salamah bin Sakhr bin
Tsa’labah bin Sudus Assudusy Abu Ditsar atau disebut Abu Kurdus atau
disebut Abu Nadr Al-Kufi Al-Qadli. Dengan kode (ستة) ع. Gurunya
bernama Ibnu Umar, Abdullah bin Yazid Al-Khatami, Jabir, Ubaid bin
Al-Bara, Abdullah, dan Sulaiman, wafat (116 H).
Muridnya-muridnya bernama Atha bin Sa’ib, Abu Ishaq
assyaibani.A’masy, Said bin Masruq, Mu’arif bin Washil, Muhammad
bin Qais Al-Asady dan Sufyan ( Al-Asqalany,1984: 45).
f. Ibnu Umar
Abdullah bin Umar bin Khatab lahir pada tahun kedua atau ketiga
dari kenabian tepatnya pada tahun 614 M, masuk islam ketika ia masih
dalam usia 10 tahun bersama ayahnya.
Abdullah bin Umar adalah anak kedua dari Umar bin Al-Khattab
dan saudara kandung Hafshah binti Umar Al-Khattab umm Al-Mukmin.
Beliau adalah seorang sahabat yang tekun dan berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis. Abdullah bin Umar meninggal di Makkah pada
tahun 73H atau 693 M ( wikipedia .com).
F. Penentuan kualitas para perawi hadis dari tela’ah sanad, untuk langkah ini
peneliti menggunakan kitab Tahdzib Al-Tahdzib, dan ditemukan :
a. Ahmad bin Yunus
Ahmad bin Hanbal memberikan penilaian “Syaikhul Islam” kepada
Ahmad bin Yunus Abu Hatim, Nasa’i memberikan penilaian “Tsiqqah”
padanya, Usman bin Abi Syaibah memberi penilaian “Tsiqqah laisa bin
Hujjah”. Ibnu Sa’ad memberi penilaian “Tsiqqah Shaduqan”. Dengan
demikian ia di golongkan adil dan dzabith.
b. Mu’arrif bin Wasil
Ali bin Al-Madiny memberikan penilaian “Atsbatu min Ajlih”.
Abdullah bin Ahmad memberikan penilaian “Tsiqqah” Ishaq bin Manshur,
Ibnu Mu’ayyan, meberikan penilaian Tsiqqah, Muhammad bin Yunus
memberikan penilaian Afdhalu as-Syuyukh”.
Tidak ada ulama yang penilannya majruh. Dengan demikian ia adil
dhabit hadisnya shahih.
c. Muharrib bin Ditsar
Ahmad bin Mu’in, Abu Zar’ah, Abu Hatim,Ya’qub bin Sufyan dan
Nasa’i memberikan penilaian “Tsiqqah” Abu hatim memberikan penilaian
“Shaduq” Abu Zar’ah memberikan penilaian “Ma’mun”. Ibnu Hiban
memberikan penilaian “Tsiqqah”.Dari penilaian di atas menunnjukkan bahwa
Muharrib bin Ditsar adalah merupakan golongan orang yang ta’adil, meskipun
penilaian para ulama tidak menggambarkan pada kecermatan serta kekuatan
hafalan namun lebih kepada kebaikan sifatnya.
d. Katsir bin Ubaid
Kredibilitasnya menurut Abu Hatim dan Ibnu hajar adalah “Tsiqqah”.
e. Abi Khalid
Penilaian Abu Hatim terhadap tokoh ini adalah bahwa hadis yang ia
bawa adalah hadis yang bagus, Menurut ibnu Hajar banyak benarnya namun
ada juga yang salah, Menurut Ibnu Hibban adalah bahwa terkadang ia salah
(www.al-atsariyyah.com).
Karena penulis menggunakan metode Al-Jarhu Muqaddamun ala
Ta’dil maka penulis memasukkan perawi ini dalam tingkatan hadis yang
dibawanya adalah hasan.
Dari hasil tayangan sanad kedua jalur itu dapat dikatakan bahwa
sanadnya tersambung. Namun dari Jalur Periwayatan Abi Daud yang
periwayatan hadis dari Muharrib langsung kepada Rasulullah tanpa menyebut
nama Abdullah bin Umar, menunjukkan bahwa hadis ini merupakan hadis
mursal.
Dari jalur periwayatan ibnu majah yang menjadi Musyahid, dapat
dipastikan bahwa Muharrib yang dimaksud adalah Muharrib bin Ditsar yang
merupakan salah satu murid dari Ibnu Umar.Dari jalur ini sanadnya muttasil.
Dari segi kualitas sanad, jalur Abi Daud memberikan penilaian
Tsiqqah kepada hampir semua periwayat.
Sementara dari jalur Ibnu majah, para ulama memberikan penilaian
“Tsiqqah” pada Kasir bin Ubaid, Mu’arrif bin Washil, untuk Muharrib bin
Ditsar, mereka hanya memberikan penilaian ma’mun, shaduqan. Namun
karena termasuk dalam kategori ta’dil meskipun kata-katanya,
menggambarkan kebaikan seorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau
kekuatan hafalan maka dapat dikatakan bahwa golongan perawi dalam jalur
ini adil dan Dzabit, serta hadisnya shahih.Untuk Ibnu Khalid mereka
memberikan penilaian terkadang salah, namun ada benarnya .
Dari hasil tayangan di atas maka peneliti hadis memasukkan perawi/
pembawa hadis ini dalam golongan adil, dzabit dan hadis yang dibawanya
merupakan hadis shahih.Namun karena penulis melihat bahwa hanya ada satu
nama, dalam setiap thabaqah maka menurut penulis hadis ini termasuk ahad.
BAB IV
TELA’AH MATAN
Untuk mengetahui otensitas suatu hadis, maka langkah yang dilakukan
penulis adalah menela’ah hadis yang dijadikan dalil dari segi matan / redaksi hadis.
Penulis juga mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan Hadis antara jalur
periwayatan yang satu dengan lainnya. Selain itu penulis juga berusaha mencari dan
memahami sebab munculnya Hadis tersebut, untuk mendapatkan kepastian shahih
atau tidaknya hadis tersebut.
Adapun tela’ah sanad meliputi : penjelasan matan hadis, ashbab al-wurud,
sejarah Perceraian, alasan yang mendasari talak.
A. Penjelasan Matan Hadis tentang Makruhnya Talak.
1. Lafadz ا لحلال adalah Ism Tafdzil atau dalam bahasa Inggris merupakan أ بغض
super lative yang berwazan ا فعل statusnya adalah mubtada’. Adapun lafadz ا
Menurut ketentuan ilmu .(isim ma’rifat) ا لحلا ل di sandarkan pada kata بغض
nahwu jika isim tafdhil disandarkan pada isim ma’rifat maka bermakna
“yang paling dibenci dari suatu yang halal”.
إ لى ا الله .2
Adalah Harf Jar yang bermakna < ظر ف > jadi makna إ لى ا الله
bermakna di sisi Allah.
ا لطلا ق .3
Merupakan khabar al-Mubtada’ dari lafadz ا بغض yang artinya yang
paling dibenci Allah dari suatu yang halal adalah talak.
Dari sini dapat kita pahami bahwa hukum talak tidak boleh dalam arti
halal namun di benci oleh Allah.
Tentang hukum talak ini para ahli fiqh berbeda pendapat. Namun pendapat
yang paling banyak diantara semua itu menyatakan bahwa hukum talak
“terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat
begini adalah Hanafi dan Hambali, alasannya yaitu:
كل ذ وا ق مطلا ق ا الله نعل. ملس و هيءل االله لص االله و لس ر ل فا
Rasulullah SAW bersabda. Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka
merasai dan bercerai.
ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan
menikah adalah nikmat Allah. Jadi kufur terhadap nikmat adalah haram.
Menurut Hanafi dan Hambali tifak halal bercerai, kecuali karena darurat.
Lebih jauh golongan Hambali, menjabarkan hukum talak :
a. Talak wajib, yaitu talak yang dijatuhkan dari pihak hakam, karena
perpecahan antara suami istri yang sudah berat. Ini jika Hakam
berpendapat bahwa talak adalah merupakan jalan satu-satunya
menghentikan perpecahan.
b. Talak haram yaitu talak tanpa alasan talak ini diharamkan karena
merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang
mau di capai dengan perbuatan talaknya itu jadi talaknya haram.
Contoh : Suami yang menalak istrinya, manakala dia sedang sakit
keras hal itu dilakukan untuk menghalangi pewarisan.
c. Talak makruh (dibenci) : Talak adalah perbuatan yang dibenci, karena
ia merusakan perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang
dianjurkan oleh agama.
d. Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibanya kepada
Allah.
Seperti : tidak mau menjalankan shalat istri kurang rasa malunya,
sementara suami tidak mampu memaksa istri agar menjalankan
kewajiban tersebut.
Imam Ahmad berkata : tidak patut memegang istri seperti ini karena
hal itu dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman
rajangnya dari perbuatan rusaknya, serta dapat melemparkan
kepadanya anak yang bukan darah daginya sendiri. Dalam keadaan
seperti ini tidak salah untuk bertindak keras kepada istrinya.
B. Asbabul Wurud (Asbab al-Wurud)
Asbab al-wurud menyingkap sebab-sebab timbulnya suatu hadis. Tujuan
asbab al-wurud adalah untuk mencegah dari kesalahan dalam memahami hadis
karena tidak diketahui sebab turunnya.
Hadis tentang makruhnya talak, merupakan jenis hadis Taqriry
(penetapan), yakni sebuah hadis yang isinya berupa penetapan suatu hukum,
yang diputuskan oleh Rasulullah SAW ketika datang suatu persoalan yang
dialami oleh umat muslim/ umat Islam yang diadukan kepada beliau.
Hadis tentang makruhnya talak dilatarbelakangi oleh dua versi :
1. Imam Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, mengeluarkan riwayat dari
Muharrib ibn Ditsar, dia berkata di zaman Nabi, ada seorang laki-laki yang
menikah dengan seorang perempuan kemudian ia menceraikanya. Nabi
berkata kepadanya. Apakah kamu sudah menikah? Sudah, Jawabanya. Lalu
apa yang terjadi? Tanya nabi, aku telah menceraikanya apakah ada sesuatu
yang mencurigakan dari istrimu? Tidak. Selanjutnya laki-laki itu menikah
dengan perempuan lain dan menceraikanya lagi. Dan begitu dia melakukanya
hingga dua tiga kali, sementara nabi selalu mengomentarinya dengan hal yang
sama dengan hal yang sama. Oleh karena itu nabi kemudian bersabda
“Sesungguhnya perkara halal yang dibenci Allah adalah Ta’ala”
2. Menurut riwayat lain, menyebutkan hadis ini berkaitan dengan peristiwa
Abdullah bin Umar yang menikahi seorang perempuan yang ia cintai, Namun
sang ayah Umar bin Khattab tidak menyukai itu menikahi sang perempuan.
Abdullah pun mendatangi Rasulullah dan mengadukan hal tersebut.
Rasulullah lantas mendo’akan Abdullah, kemudian bersabda :
“ Ya Abdullah, ceraikan istrimu itu. Akhirnya Abdullah menceraikan istrinya
(Fath al-Bari, juz 10, hlm 447 dan Aun Al-Mabud Syarh Sunan Abi Daud, Juz
6 hlm . 226)
C. Sejarah Perceraian
Tidak diketahui secara pasti tentang sejarah perceraian atau orang yang
pertama kali becerai, namun sejarah Islam pernah mencatat bahwa Nabi Ismail
pernah menceraikan Istrinya atas perintah ayahnya Nabi Ibrahim AS Di dalam
Riwayat 25 Nabi dan Rasul karya Drs.Moh Rifai diceritakan bahwa Nabi Ismail
setelah dewasa, kemudian kawinlah dengan seorang wanita dari Juhrum. Pada
suatu ketika Nabi Ibrahim datang kerumah anaknya Ismail, namun Ismail tidak
di rumah, yang ada hanya menantunya. Kemudian Nabi Ibrahim pulang karena
rupanya tidak diterima dengan baik oleh menantunya itu. Nabi Ibrahim minta ijin
pulang dengan meninggalkan pesan untuk anaknya Ismail.
Nabi Ibrahim berkata : Jika suamimu datang nanti, katakana bahwa saya
datang kemari, Ceritakanlah bahwa ada orang tua sifatnya begini, dan berpesan
kepadanya, bahwa saya ini tidak suka kepada gawang pintu rumah ini dan ia
supaya lekas ditukarnya. Setelah suaminya datang, diceritakanlah hal itu
semuanya kepada suaminya Ismail.
Ismail berkata : Itulah dia ayahku dan rupanya engkau tidak
menghiraukan dan menghormati ayahku. Sekarang engkau saya cerai sebab
ayahku tidak menyukai orang yang berperangai rendah.
Secara jelas dapat dipahami, bahwa perceraian antara Nabi Ismail dengan
istrinya akibatnya karena akhlaq sang istri yang kurang baik.
Meskipun sejarah tidak mencatat perceraian, namun penulis akan
melacaknya langsung kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat terdekat
beliau.
1. Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW juga pernah menceraikan beberapa istrinya,
meski ada yang dirujuk kembali. Kejadian itu bermula manakala Hafsah binti
Umar melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi karena ada suatu
urusan. Selanjutnya Rasulullah meminta Marriyah al-Qibtiyah masuk kedalam
rumah Hafsah, yang pada waktu itu sedang pergi ke rumah ayahnya. Melihat
tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Nabi Muhammad dan Mariyah
berada di dalamnya, amarah Hafsah bin Umar meledak. Hafsah menangis
penuh amarah Nabi Muhammad berusaha membujuk dan meredakan amarah,
bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah
tidak meminta maaf pada Hafsah, dan Nabi meminta agar Hafsah
merahasiakan kejadian itu.
Namun Hafsah menceritakan kejadian itu kepada Aisyah, berita itu
segera menyebar. Padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutup
rahasia itu. Beliau sangat marah sebagian riwayat mengatakan setelah
kejadian itu Nabi Muhammad menceraikan Hafsah, namun beberapa saat
kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafsah, Umar bin
khattab sangat resah.( lembar tua.blogspot.com)
2. Zaid bin Haritsah
Zaid bin Haritsah adalah seorang budak belian yang dibeli oleh
Sayyidah khadijah lalu dimerdekakan oleh Muhammad. Sementara itu istrinya
bernama Zainab binti jahsy, seorang perempuan suku Quraisy dan berasal dari
keluarga terpandang yaitu Hasyim Zainab binti Jahsy adalah sepupu
Rasulullah SAW dari pihak Ibu.
Perkawinan mereka dianggap suatu aib bagi keluarga Jahsy. Hal ini
terjadi karena memang tidak ada gadis-gadis di kaum bangsawan yang
terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah
dimerdekakan. Disisi lain Nabi Muhammad ingin menghilangkan segala
macam pertimbangan yang masih berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas
dasar (ashabia) atau fanatisme. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang
arab tidak lebih tinggi dari orang yang bukan arab. Kecuali takwa, seperti
yang termaktub dalam Al-Qur’an, QS :49 :13)
ما كقتا ا الله دنع مكم رك أ نإ
bahwa orang yang paing mulia diantara kamu dalam pandangan Allah ialah
orang yang lebih bertaqwa..
Sungguhpun begitu ia (Nabi Muhammad) tidak perlu memaksa wanita
lain untuk itu di luar keluarganya. Ia kemudian melamar anak perempuan
bibinya, Zainab binti Jahsy untuk di kawinkan dengan anak angkatnya Zaid
bin Haritsa.
Awalnya saudara laki-laki zainab, Abdullah binti Jahsy menolak dan
menganggap ini aib besar namun setelah turun ayat (33 : 36)
Bur tb%x. 9 ÏB÷sßJÏ9 Ÿw ur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ó s% ª! $# ÿ¼ã&è!qß™ u‘ur #·�øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽz�σø:$#
ô ÏB öNÏdÌ�øBr& 3 `tBur ÄÈ ÷ètƒ ©! $# ¼ã&s!qß™ u‘ur ô‰s)sù @ |Ê Wx »n=|Ê $YZ�Î7•B ÇÌÏÈ
Bagi laki-laki dan wanita yang beriman. bilamana Allah dan rasullnya
telah menetapkan suatu ketentuan, maka mereka tidak boleh mengambil
kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barang siapa tidak mematuhi
Allah dan Rasul Nya, mereka telah melakukan kesehatan yang nyata sekali.
Setelah turun ayat ini tidak ada jalan lain buat Abdullah dan zainab
saudaranya, selain harus tunduk dan menerima. Lalu Zaid bin Haritsah
dikawinkan kepada Zainab setelah mas kawinya oleh Nabi Muhammad
disampaikan. Dan sesudah Zainab menjadi istri, ternyata ia tidak mudah
dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah ia Banyak mengganggu Zaid. Ia
membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya
tidak mau tunduk oleh seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid
diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia meminta ijin kepadanya
hendak menceraikanya. Tetapi Nabi menjawabnya “Jaga baik-baik istrimu,
jangan ceraikan, hendaklah engkau takut kepada Allah”
Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama bergaul dengan Zainab binti Jahsy
serta sikapnya yang angkuh. Lalu Zaid menceraikanya.
3. Tsabit bin Qais
Tsabit bin Qais adalah seorang sahabat yang lurus dalam arti dia
adalah orang yang sholeh dan tidak pernah menyakiti istri. Jamilah istri
Tsabit, merupakan wanita sholehah, ia tidak pernah mengeluhkan persoalan
rumah tangganya. Namun suatu kali Jamilah mengajukan gugatan cerai
terhadap Tsabit bin Qais, dengan alasan suaminya buruk rupa, dan tidak sedap
dipandang. Ia khawatir jika suatu saat ia menjadi tidak tahan dengan
ketidaknyamanan dan akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan agama.
Karena itulah Jamilah meminta diceraikan secara baik-baik.Tujuanya
adalah menghindarkan diri dari kemafsadahan (kerusakan yang lebih besar).
Selanjutnya Jamilah bercerai dengan Tsabit bin Qais dengan syarat membayar
tebusan berupa penegembalian mas kawin terhadap Tsabit bin Qais (as-
shanani : 11)
4. Ghailan bin Umayyah at TsaQafi
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwata’, Nasa’i, dan Daruqutni
dalam masing-masing Sunannya.
Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah at-Tsaqafi yang
masuk islam, padahal ia punya sepuluh istri beliau bersabda kepadanya.
Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainya.
( Sabiq,1981: 275)
5. Qais bin Harits
Dalam kitab Abu Daud dari Harit bin Qais, ia berkata :
و سلم فقا ل ا ختر ا سلمت وعند ي ثما ن نسو ة فذ كر ت ذ لك للني صلي االله اله
منهن ا ربعا
Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya. lalu saya
ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Maka sabda beliau.“ Pilihlah empat
orang di antara mereka “
Sebenarnya kejadian tersebut, nama orang yang sebenarnya adalah Harits
bin Qais al-Asady.
D. Alasan yang Mendasari Talak Pada Zaman Rasul
1. Nabi Muhammad SAW
Dari perceraian Nabi Muhammad di atas, dapat kita pahami alasan
nabi menceraikan istrinya yang bernama Hafsah binti Umar, meskipun pada
akhirnya nabi merujuknya kembali. Talak dijatuhkan karena Hafsah tidak
mampu menjaga rahasia tentang Nabi Muhammad yang telah bersumpah tidak
akan menyentuh Mariyah al-Qibtiyah. Ia malah menyampaikan kepada
Aisyah. Pelajaran yang dapat diambil dari cerita di atas adalah seorang istri
yang harus dapat menjaga rahasia rumah tangganya, apalagi jika istri telah
diminta suami untuk menjaga rahasia.
2. Zaid bin Haritsah
Perceraian Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy, akibat dari
perbuatan Zainab sebagai istri yang suka membangkang dan tidak mau tunduk
kepada suaminya Zaid. Kehidupan perkawinan yang sakinah, mawadah, dan
rahmah tidak bisa terjadi, jika salah satu pihak tidak mau bekerjasama dalam
menciptakan suasana sakinah mawadah, dan rahmah. Oleh karena itu talak
merupakan jalan terakhir yang harus diambil karena jika terus menerus
dipaksakan untuk tetap bersatu antara mereka, Justru akan tidak baik, pecah
dan kehidupan mereka menjadi kalut.
3. Tsabit bin Qais
Perceraian Tsabit bin Qais atas permintaan istrinya Jamilah, terjadi
karena Jamilah kurang nyaman dengan wajah Qais yang buruk rupa. Memang
alasan di atas kelihatan mengada ada namun jika mereka terus bersama, maka
istri akan terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama. Hal yang paling
memungkinkan terjadi adalah isteri menyukai orang lain, karena sudah
menjadi naluri birahi seseorang menyukai yang indah-indah.
4. Ghailan bin Umayyah al-Tsaqaf
Perceraian ghailan bin Umayyah at-Tsaqafi dengan 6 isterinya dilatar
belakangi oleh perintah agama. Islam membatasi Jumlah istri tidak lebih dari
4 orang. Ghailan sebagai penganut agama Islam harus tunduk dan patuh pada
ketentuan itu.
5. Qais bin Harits
Latar belakang perceraian Qais bin Harits, juga dilatar belakangi oleh
perintah agama. Ia menceraikan 4 orang isterinya. Karena ketentuan agama
memerintahkan beristri tidak boleh lebih dari 4 orang.
E. Fenomena Talak Masa Kini
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa perceraian atau talak
dalam rumah tangga banyak terjadi. Setiap orang dalam berumah tangga selalu
mendambakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Untuk dapat
mencapainya dibutuhkan dua orang untuk menjaga keutuhan rumah tangga
tersebut.
Talak atau perceraian yang dulunya dianggap tabu dan merupakan suatu
aib bagi para pelakunya, kini banyak dilakukan. Yang lebih memprihatinkan
adalah bahwa perceraian itu diminta oleh kaum hawa atau dalam istilah
hukumnya lebih kita kenal dengan gugatan cerai.Atas nama ketidak cocokan atau
perbedaan prinsip perceraian dengan gampang dilakukan.
Banyak kita lihat dan temukan para pesohor negeri dengan mudahnya
melayangkan gugatan cerai, mulai dari para artis, pejabat, hingga ulama. Yang
membuat kita terhenyak, perceraian itu dilakukan tak lama setelah penikahan.
Kasus terbaru yang membuat heboh publik adalah perceraian pejabat publik yang
dilakukan oleh seorang Bupati Garut bernama Aceng Fikri dimana dia
menceraikan istri belianya Fani Oktora empat hari setelah akad nikah.Dengan
alasan yang mengada-ada seperti bau mulut, bau badan, dan alasan-alasan lain
yang tidak masuk akad, sang Bupati mengembalikan Fani Oktora kepada orang
tuanya.
Selain Aceng Fikri kita temukan lagi kasus yang tak kalah heboh dimana
seorang suami mentalak isterinya karena diperintahkan oleh guru spiritualnya
dalam kasus Eyang Subur vs Adi Bing Slamet.
Tak kurang dari 60% penggugat cerai adalah istri, penyebab gugatan
perceraianpun beragam diantaranya :
1. Ekonomi, dalam positanya diterangkan bahwa suami tidak menafkahi
isterinya.
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT).
3. Suami pergi tidak ada kabarnya.
4. Isteri bekerja di Luar Negeri. ( Republika, 17 Januari 2013)
Memang perceraian adalah urusan pribadi suami/isteri dan merupakan aib
yang tabu jika diketahui serta dikemukakan ke masyarakat.Namun alangkah
naifnya jika perceraian itu dilakukan dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh
syariat.
Dari sini dapat kita pahami perbedaan yang mendasari perceraian pada
masa Rasulullah dan zaman sekarang ini.Adanya gempuran gerakan feminisme,
gender, dan cinta pada hal-hal duniawi, membuat orang terkadang lupa akan
tujuan perkawinan.Memang benar Talak adalah perkara yang halal, namun
menjauhi hal-hal yang dibenci Allah bukankah suatu hal yang harus dilakukan?
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan dalam penelitian ini, minimal akan menjawab semua pertanyaan
yang ada pada rumusan masalah. Adapun simpulan yang dimaksud, adalah
sebagai berikut :
1. Hukum talak halal namun dibenci oleh Allah. Tentang hukum talak ini para
ahli fiqh berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling banyak diantara
semua itu menyatakan bahwa hukum talak “terlarang” kecuali karena alasan
yang benar . Lebih jauh golongan Hambali, Menjabarkan hukum talak :
a. Talak Wajib, yaitu talak yang di jatuhkan, karena perpecahan antara suami
istri yang sudah berat.
b. Talak Haram yaitu talak tanpa alasan, talak ini diharamkan karena
merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau
dicapai dengan perbuatan talaknya itu, jadi talaknya haram.
c. Talak Makruh (dibenci) : Talak adalah perbuatan yang dibenci, karena ia
merusakan perkawinan yang mengandung kebaikan-kebaikan yang
dianjurkan oleh agama.
d. Talak Sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibanya kepada Allah.
Seperti : tidak mau menjalankan shalat istri kurang rasa malunya,
sementara suami tidak mampu memaksa istri agar menjalankan kewajiban
tersebut.
2. Hadis yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum makruhnya talak,
atau perkara halal namun dibenci Allah adalah talak, terdapat dalam dua jalur,
yaitu: Abu Daud dan Ibnu Majah.
3. Jalur periwayatan Abi Daud, sanadnya bersambung, namun dari thabaqah
Tabi’in langsung kepada Nabi Muhammad, tanpa menyebutkan thabaqah
Shahabat, menjadikan hadis dari jalur periwayatan Abi Daud ini sebagai hadis
mursal.
4. Jalur periwayatan Ibnu Majah, sanadnya bersambung dari perawi pertama
(ibnu Ummar) hingga perawi terakhirnya, dengan demikian hadis dari Jalur
Periwayatan Ibnu Majah muttasil.
5. Jalur periwayatan Abi Daud, sesuai dengan Ilmu al-Jarhu wa al-Ta’dil
menunjukkan bahwa para periwayat dalam jalur ini secara kualitas mendapat
penilaian “Tsiqqah” meskipun penilaian untuk Muharrib bin Ditsar hanya
“Ma’mun” dan “Shaduqan” yakni tidak menggambarkan pada kecermatan
serta kekuatan hafalan namun lebih kepada kebaikan sifatnya.Jadi nilai hadis
ini adalah Hasan.
6. Jalur Ibnu Majah, sesuai dengan Ilmu al-Jarhu wa al-Ta’dil menunjukkan
bahwa para periwayat dalam jalur ini secara kualitas mendapat penilaian
“Tsiqqah”. Kecuali pada Ibnu Khalid yang mendapat penilaian kadang kala
benar namun ada salahnya, menjadikan hadis ini Hasan.
7. Di lihat dari segi kuantitas, atau banyaknya periwayat yang meriwayatkan
hadis ini, penulis hanya menemukan satu nama dari setiap Thabaqah
/Generasi, sehingga penulis menilai bahwa hadis ini termasuk dalam golongan
hadis ahad.
B. Rekomendasi
1. Penelitian hadis merupakan penelitian yang tidak mudah dan tidak semua
orang bisa melakukannya. Karena dalam hal ini dibutuhkan kemampuan
khusus yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemampuan yang dimaksud
ialah kemampuan dibidang Ulum al-Hadis, Bahasa Arab, serta Nahwu dan
Sharaf. Kendati begitu, tidak ada salahnya kita sebagai Mahasiswa khususnya
Syari’ah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang umum dan sering
kita gunakan. Jarrib wa Lahidz Takun Arrifan!
2. Penulis berharap agar Jurusan Syari’ah, membuka peluang seluas-luasnya
bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya , mengingat
banyak hadis yang popular ternyata hadis itu termasuk dalam kategori dhoif.
3. STAIN sebagai lembaga yang mempunyai peranan yang besar terhadap
kemajuan pengetahuan Islam, harus lebih maksimal dalam menyediakan
sarana dan prasarana yang menunjang penelitian, terutama yang berkenaan
dengan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi .1953. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
cet 11. Jakarta: Bulan Bintang
Al-Asqalany. 1984. Tahdzib al-Tahdzib. Cet 1 . Beirut: Daar al-Fikri
Darsono.2005. Hukum Perkawinan Nasional. cet 3. Jakarta: PT Rineka Cipta
Fuad, Muhammad.tt. Sunan Ibnu Majah.Beirut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah
Haekal,Muhammad Husain.1980. Sejarah Hidup Muhammad.cet 5.Jakarta: Pustaka Jaya
Ibrahim, Johnny.2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet 1.
Malang : Bayu Media Publishing
Kansil, C.S.T.1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. cet 8. Jakarta :
Balai Pustaka
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cet 3. Jakarta : Ghalia Indonesia
Sabiq,Sayyid.1981.Fikih Sunnah. cet 1. Bandung: PT Al-Ma’arif
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 1995.Penelitian Hukum Normatif,Suatu Tinjauan Singkat.
cet IV. Surabaya: PT Raja Pers
Soemitro, Ronny Hanitijo.1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri. cet 4. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Yunus, Mahmud.1990. Kamus Arab –Indonesia. cet 8. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Zed, Mestika .2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Zuhri, Muh.1997. Hadis Nabi ( Telaah Historis dan Metodologis). cet 1.
Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya