TEORI DRAMATURGI
A. Latar Belakang Teori Dramaturgi
Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa
kehidupan manusia itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia
memainkan peran yang ia dapat sebaik mungkin agar audience mampu mengapresiasi
dengan baik pementasan tersebut. Teori dramaturgi Erving Goffman ini tidak lepas
dari pengaruh George Herbert Mead dengan konsep The Self. Dramaturgi itu sendiri
merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Menurut
Mead dalam (Ritzer, 2012:636) menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri
dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian
dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang
khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung.
Oleh karena teori dramaturgi ini banyak di ilhami oleh perspektif interaksi
simbolik, maka sebelum menguraikan teori dramaturgi ini perlu diulas terlebih dahulu
tentang inti dari interaksi simbolik itu sendiri. Esensi interaksi simbolik adalah suatu
aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol
yang diberi makna. Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol,
cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan
untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah
yang mengilhami perspektif dramaturgis, maka hal tersebut banyak mewarnai
pemikiran-pemikiran dramaturgis Erving Goffman. Pandangan Goffman agaknya
harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia
memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi
simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan
bahkan fungsionalisme Durkhemian.
B. Konsep dan Asumsi Dasar Teori Dramaturgi
1. Konsep Teori Dramaturgi
a. Dramaturgi bukan memandang pada apa yang orang lakukan, bukan
apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan
bagaimana mereka melakukannya. Bila melihat terhadap pandangan Kenneth
Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar
pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas
manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme.
Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi
terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan
adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut
Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat
berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa
berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial
masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun
membentuk perilaku.
b. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas
manusia, bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka
mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif.
Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia
bersifat dramatik.
c. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika
manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. yaitu teknik-teknik yang
digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor di atas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka.
Menurut Goffman dalam (Ritzer, 2012:638) menyatakan bahwa kehidupan
sosial itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu panggung depan (front stage)
dan panggung belakang (back stage).
1. Panggung Depan (Front Stage).
Panggung depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum
berfungsi dengan cara-cara formal yang agak baku untuk mendefinisikan
situasi bagi orang-orang yang mengamati sandiwara itu. Di dalam panggung
depan, Goffman membedakan lebih lanjut bagian depan latar (setting front)
dan bagian depan pribadi (personal). Latar mengacu kepada tempat atau
situasi (scene) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor hendak
bersandiwara. Tanpa itu, biasanya aktor tidak dapat melakukan sandiwara.
Contohnya, seorang dokter ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu
ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan taksi, dan guru membutuhkan
sekolah. Sedangkan, bagian depan pribadi (personal) terdiri dari item-item
perlengkapan ekspresif yang diidentifikasi oleh audience dengan para pemain
sandiwara dan mengharapkan mereka membawa hal-hal itu ke dalam latar.
Contohnya, seorang ahli bedah diharapkan mengenakan jubah medis atau
membawa stetoskop untuk mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter atau
peralatan lainnya. Goffman kemudian memecah bagian depan pribadi menjadi
penampilan dan sikap. Penampilan, meliputi item-item yang menceritakan
pada kita status sosial pemain sandiwara itu (misalnya, jubah medis sang ahli
bedah). Sikap, menceritakan kepada audience jenis peran yang diharapkan
dimainkan pemain sandiwara di dalam situasi itu (contohnya, penggunaan
kebiasaan fisik atau kelakuan. Suatu gaya yang kasar dan gaya yang lembut
menunjukkan jenis-jenis pemain sandiwara yang sangat berbeda. Pada
umumnya, kita mengharapkan penampilan dan sikap agar konsisten.
Wawasan Goffman yang paling menarik terletak pada ranah interaksi.
Dia berargumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan
suatu gambaran diri yang di idealkan di dalam sandiwara mereka dipanggung
bagian depan, mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus
menyembunyikan berbagai hal didalam sandiwara mereka. Pertama, para
aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan rahasia
(misalnya, meminum alkohol), turut serta sebelum sandiwara dilakukan atau
dikehidupan masa silam (misalnya, sebagai pecandu alkohol). Kedua, para
aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang telah
mereka buat didalam persiapan sandiwara dan juga langkah-langkah yang
telah diambil untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Contohnya seorang
pengemudi taksi mungkin menyembunyikan fakta bawa ia menyetir dengan
arah yang keliru. Ketiga, para aktor mungkin merasa perlu menunjukkan
produk-produk akhir saja, dan menyembunyikan proses yang dilalui dalam
menghasilkannya. Contohnya, para profesor mungkin menghabiskan waktu
beberapa jam mempersiapkan suatu kuliah, tetapi mereka ingin bersikap
seakan-akan mereka selalu menguasai bahan. Keempat, mungkin perlu bagi
para aktor menyembunyikan dari audience bahwa “pekerjaan kotor” telah
dilakukan untuk membuat produk-produk akhir. Pekerjaan kotor mungkin
termasuk tugas-tugas yang “secara fisik tidak bersih, semi legal, kejam, dan
merendahkan martabat dan cara-cara lain”. Kelima, dalam memberikan
sandiwara tertentu, para aktor mungin terpaksa membiarkan standar-standar
lain melenceng, Akhirnya, para aktor mungkin merasa perlu
menyembunyikan setiap penghinaan, perendahan, atau perjanjian-perjanjian
yang dibuat agar sandiwara dapat terus berlangsung. Pada umumnya, para
aktor mempunyai kepentingan dalam menyembunyikan fakta-fakta itu dari
para audiensnya.
Aspek-aspek lain dramaturgi dipanggung depan ialah bahwa para
aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan
sudiens dari pada yang sebenarnya. Contohnya, para aktor mungkin berusaha
menumbuhkan kesan bahwa sandiwara yang melibatkan mereka pada saat itu
adalah satu-satunya sandiwara mereka atau setidaknya sandiwara merekalah
yang paling penting. Untuk melakukan hal itu, para aktor harus yakin bahwa
audiens mereka terpisah sehingga kepalsuan sandiwara itu tidak dapat
diungkap.
Teknik lain yang juga digunakan oleh aktor dalam memainkan
sandiwaranya adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara
mereka dengan membatasi kontak antara pemain aktor tersebut dengan para
audiens. Dengan menghasilkan jarak sosial antara pemain sandiwara dengan
para audiens, mereka mencoba menciptakan suatu rasa kagum pada audiens.
Hal itu, sebaliknya tidak lagi mempertanyakan audiens tentang sandiwara itu.
Sehingga kesan yang didapat oleh audiens adalah kesan yang memang murni
peran dalam sandiwara.
Menurut Goffman dalam (Ritzer, 2012:641), “seorang pemain
sandiwara dan audiens adalah sejenis tim”. Tetapi, Goffman juga berbicara
tentang sekelompok pemain sandiwara sebagai tim dan audiens sebagai tim
lainnya. Selain tu, Goffman juga berargumen bahwa suatu tim juga dapat
berupa individu tunggal.
2. Panggung Belakang (Back Stage)
Dalam asumsi dasar dari dramaturgi ini, Goffman memandang bahwa
panggung belakang atau back stage merupakan tempat dimana fakta-fakta
ditindas di panggung depan. Panggung belakang merupakan panggung yang
berdekatan dengan panggung depan. Suatu sandiwara akan sulit dilakukan
apabila ada audiens yang memasuki panggung belakang tersebut, disinilah
aktor harus mampu mencegah audiens memasuki panggung belakang itu.
C. Karakteristik Teori Dramaturgi
1. Tidak bersifat makro dan mikro
Dramaturgi hanya menekankan pada bagaimana actor melakukan perannya.
Tidak menekankan pada faktor-faktor lain diluar selain hal tersebut.
2. Tidak menekankan sebab – akibat
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan
apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan
bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa
pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat
tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme.
3. Cenderung pada Positivisme
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini
menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan
adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat
dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut
4. Dramaturgi hanya dapat berlaku di Institusi lokal
Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan
oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait
dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana
sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri
institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki
hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham
pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi
pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara,
institusi pemerintah, dan lainnya.
Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang
menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”.
Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk
diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin
dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu
sebelum diaplikasikan.
D. Tokoh
Ketika kita bicara teori dramaturgi, maka kita tentu tidak akan lepas dari nama
Erving Goffman. Beliau adalah orang yang membidani lahirnya teori dramaturgi.
Untuk mengenal lebih jelas mengenai dramaturgi, maka mengenal tokohnya adalah
sebuah hal yang penting agar kita bias memahami secara menyeluruh tentang teori
ini.
Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922 (Ritzer,
2010:296). Goffman mendapat gelar Bachelor of Arts (B.A) dari Universitas Toronto
pada tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 menerima gelar doctor dari
Universitas Chicago pada tahun 1953. Goffman pernah menjadi professor dijurusan
sosiologi Universitas California Barkeley serta ketua liga Ivy Universitas
Pennsylvania. Pada tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of
Incarceration dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim.
Goffman meninggal pada tahun 1982 pada usia 60 tahun, setelah sempat menjabat
sebagai Presiden dari American Sociological Association meskipun belum sempat
memberikan pidato pengangkatannya karena sakit (Ritzer, 2010:296).
Jika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni. Maka Goffman
mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Goffman menggali segala macam perilaku
interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang
menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang actor
menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama
ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan.
Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di
masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari
presentasi “Diri” dari Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila
seorang actor berhasil, maka penonton akan melihat actor sesuai sudut yang memang
ingin diperlihatkan oleh actor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa
penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan
sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat
untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara
tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai
tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam
dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita
menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu
diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai
tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi
memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang
disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi social
tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada
tercapainya kesepakatan tersebut.
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis adalah berupa
buku Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan tahun 1959. Buku ini
merupakan karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik. Menurut
Goffman, diri bukanlah milik actor tetapi lebih sebagai hasil dari interaksi dramatis
antar actor dan audiens. Konsep diri atau citra diri Goffman sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Mead, khususnya mengenai diskusinya mengenai ketegangan antara diri
spontan, tercermin dalam pendapatnya yang disebut “ketaksesuaian antara diri
manusia kita dan diri kita sebagai hasil dari proses sosialisasi”. Ketegangan ini timbul
ketika adanya perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan dengan apa yang orang
lain harapkan untuk kita lakukan.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut
upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik
yang digunakan actor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu. Percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada
titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap
individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang
lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal
dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-
ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur social merupakan countless minor
synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut
Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah
masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu sendiri,
menolong kita untuk mengkaji hal-hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal
kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya
yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam rangka
menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh
gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari
tiga komponen.
1. Kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain;
2. Kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita;
3. Mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai
akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.
Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran
tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan
sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke,
dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme
simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis
interaksisosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang
didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan
citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang actor berperilaku
bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Fokus dramaturgis bukan
konsep-diri yang dibawa sang actor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan
jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang
berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah
“suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru
dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut Manning dalam Ritzer (2010:296) Erving Goffman disebut-sebut
sebagai salah satu anggota aliran sosiologi Chicago dan sebagai teoritisi
interaksionalisme simbolik. Namun, ketkika ditanya tak lama sebelum meninggal
apakah ia seorang interaksionalisme simbolik, ia menjawab bahwa nama itu terlalu
samar untuk memungkinkannya menepatkan dirinya pada kategori itu. Kenyataannya
sulit untuk memasukan karyanya kedalam kategori tunggal manapun. Dalam
menciptakan perspektif teoritisnya, Goffman menggunakan berbagai sumber dan
menciptakan sebuah orientasi khusus.
Collins dalam Ritzer (2010:297) lebih menghubungkan Goffman dengan
antropologi social dibandingkan dengan interaksionisme simbolik. Menurutnya, sejak
belajar S1 di Toronto Goffman sudah belajar pada seorang antropolog yang bernama
W.L Warmer. Selain itu, Collins juga menyatakan, setelah dia memeriksa kutipan
dalam karya awal Goffman menunjukan hasil bahwa ia dipengaruhi oleh antropologi
social dan jarang mengutip imteraksionisme simbolik. Namun Goffman dipengaruhi
oleh studi deskriptif yang dihasilkan di Chicago dan menyatukan hasil deskriptif itu
dengan hasil studi antropologi social untuk menciptakan perspektif khususnya
sendiri. Jadi pakar interaksionisme simbolik memperhatikan bagaimana cara actor
menciptakan atau merembukan citra diri mereka, sebaliknya Goffman memperhatikan
bagaimana cara masyarakat memaksa orang untuk menampilkan citra tertentu
mengenai diri mereka sendiri, karena masayarakat memaksa itu berpindah-pindah
diantara berbagai peran yang kompleks maka kita menjadi selalu agak tidak jujur, tak
taat asas dan tidak hormat.
Namun tak bisa disangkal, bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka,
dan pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi
interaksionis simbolik. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa Goffman
mempunyai pengaruh besar terhadap interaksionisme simbolik, meskipun ia
mempunyai perspektif sendiri dalam mengembangkan teorinya. Selain
interaksionisme simbolik, Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar
interaksionisme simbolik, karena Goffman juga punya andil besar terbentuknya
etnometodologi. Sebenarnya tokoh penting dari etnometodologi (Sackes, Schegloff)
semula sama-sama belajar dari Goffman di Barkeley.
E. Kritik Terhadap Teori Dramaturgi
Dramaturgis dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham
ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.
Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak
dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut. Dramaturgis dianggap
masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia
sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran
tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk
memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif,
berlaku natural, mengikuti alur.
1. Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total
Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan
oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait
dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang
mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya.
Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan
memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut
paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer),
institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah
sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat
berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak
menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini
peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih
memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli
percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
2. Menihilkan “kemasyarakatan”
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan
sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan
“kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila
berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat
disinkronkan.
3. Dianggap condong kepada Positivisme
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini
menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.
Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau
tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
KESIMPULAN
Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa
kehidupan manusia itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia
memainkan peran yang ia dapat, sebaik mungkin agar audience mampu
mengapresiasi dengan baik pementasan tersebut. Pertunjukan yang terjadi di
masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Teori dramaturgi
menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap
identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri, identitas
manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Manusia
adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan
kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”
Pada dasarnya, Teori Dramaturgi merupakan teori yang mempelajari proses
dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Dimana teori ini menggambarkan sebuah
sandiwara saat seseorang ataupun sekelompok orang tersebut berperan bukan
berdasarkan kepribadiannya melainkan berdasarkan kondisi yang ada dan
memanfaatkan peranan yang ia miliki. Yang didukung oleh front dan back region
yang ada. Front-nya mencakup setting, personal front (penampilan diri), expressive
equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan back-nya mencakup
semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau
penampilan diri yang ada pada front.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori
interaksionisme simbolik. Dimana Mead menyatakan konsep bahwa individu
mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut
adalah “dirinya” yang berasal dari “aku”. Jadi dalam Dramaturgi, seseorang aka
berperan menjadi orang lain untuk mengetahui bagaimana penilaiannya terhadap
tokoh yang ia perankan.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer George, Teori Sosiologi,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012
Web :
http://socialmasterpice.blogspot.com/2011/03/teori-dramaturgi-goffman.html
(http://pristality.wordpress.com/2011/11/29/teori-dramaturgi-erving-goffman/)