22
TEORI DRAMATURGI A. Latar Belakang Teori Dramaturgi Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa kehidupan manusia itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia memainkan peran yang ia dapat sebaik mungkin agar audience mampu mengapresiasi dengan baik pementasan tersebut. Teori dramaturgi Erving Goffman ini tidak lepas dari pengaruh George Herbert Mead dengan konsep The Self. Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Menurut Mead dalam (Ritzer, 2012:636) menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Oleh karena teori dramaturgi ini banyak di ilhami oleh perspektif interaksi simbolik, maka sebelum menguraikan teori dramaturgi ini perlu diulas terlebih dahulu tentang inti dari interaksi simbolik itu sendiri. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau

TEORI DRAMATURGI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TEORI DRAMATURGI

TEORI DRAMATURGI

A. Latar Belakang Teori Dramaturgi

Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa

kehidupan manusia itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia

memainkan peran yang ia dapat sebaik mungkin agar audience mampu mengapresiasi

dengan baik pementasan tersebut. Teori dramaturgi Erving Goffman ini tidak lepas

dari pengaruh George Herbert Mead dengan konsep The Self. Dramaturgi itu sendiri

merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Menurut

Mead dalam (Ritzer, 2012:636) menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri

dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian

dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang

khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung.

Oleh karena teori dramaturgi ini banyak di ilhami oleh perspektif interaksi

simbolik, maka sebelum menguraikan teori dramaturgi ini perlu diulas terlebih dahulu

tentang inti dari interaksi simbolik itu sendiri. Esensi interaksi simbolik adalah suatu

aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol

yang diberi makna. Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol,

cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan

untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah

yang mengilhami perspektif dramaturgis, maka hal tersebut banyak mewarnai

pemikiran-pemikiran dramaturgis Erving Goffman. Pandangan Goffman agaknya

harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia

memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi

simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan

bahkan fungsionalisme Durkhemian.

Page 2: TEORI DRAMATURGI

B. Konsep dan Asumsi Dasar Teori Dramaturgi

1. Konsep Teori Dramaturgi

a. Dramaturgi bukan memandang pada apa yang orang lakukan, bukan

apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan

bagaimana mereka melakukannya. Bila melihat terhadap pandangan Kenneth

Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar

pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas

manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme.

Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi

terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan

adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut

Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat

berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa

berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial

masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun

membentuk perilaku.

b. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif dan impresif aktivitas

manusia, bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka

mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif.

Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia

bersifat dramatik.

c. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika

manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia

harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. yaitu teknik-teknik yang

digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu

untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk itu, setiap orang melakukan

pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai

aktor-aktor di atas panggung yang sedang memainkan peran-peran mereka.

Page 3: TEORI DRAMATURGI

Menurut Goffman dalam (Ritzer, 2012:638) menyatakan bahwa kehidupan

sosial itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu panggung depan (front stage)

dan panggung belakang (back stage).

1. Panggung Depan (Front Stage).

Panggung depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum

berfungsi dengan cara-cara formal yang agak baku untuk mendefinisikan

situasi bagi orang-orang yang mengamati sandiwara itu. Di dalam panggung

depan, Goffman membedakan lebih lanjut bagian depan latar (setting front)

dan bagian depan pribadi (personal). Latar mengacu kepada tempat atau

situasi (scene) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor hendak

bersandiwara. Tanpa itu, biasanya aktor tidak dapat melakukan sandiwara.

Contohnya, seorang dokter ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu

ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan taksi, dan guru membutuhkan

sekolah. Sedangkan, bagian depan pribadi (personal) terdiri dari item-item

perlengkapan ekspresif yang diidentifikasi oleh audience dengan para pemain

sandiwara dan mengharapkan mereka membawa hal-hal itu ke dalam latar.

Contohnya, seorang ahli bedah diharapkan mengenakan jubah medis atau

membawa stetoskop untuk mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter atau

peralatan lainnya. Goffman kemudian memecah bagian depan pribadi menjadi

penampilan dan sikap. Penampilan, meliputi item-item yang menceritakan

pada kita status sosial pemain sandiwara itu (misalnya, jubah medis sang ahli

bedah). Sikap, menceritakan kepada audience jenis peran yang diharapkan

dimainkan pemain sandiwara di dalam situasi itu (contohnya, penggunaan

kebiasaan fisik atau kelakuan. Suatu gaya yang kasar dan gaya yang lembut

menunjukkan jenis-jenis pemain sandiwara yang sangat berbeda. Pada

umumnya, kita mengharapkan penampilan dan sikap agar konsisten.

Wawasan Goffman yang paling menarik terletak pada ranah interaksi.

Dia berargumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan

Page 4: TEORI DRAMATURGI

suatu gambaran diri yang di idealkan di dalam sandiwara mereka dipanggung

bagian depan, mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus

menyembunyikan berbagai hal didalam sandiwara mereka. Pertama, para

aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan rahasia

(misalnya, meminum alkohol), turut serta sebelum sandiwara dilakukan atau

dikehidupan masa silam (misalnya, sebagai pecandu alkohol). Kedua, para

aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang telah

mereka buat didalam persiapan sandiwara dan juga langkah-langkah yang

telah diambil untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Contohnya seorang

pengemudi taksi mungkin menyembunyikan fakta bawa ia menyetir dengan

arah yang keliru. Ketiga, para aktor mungkin merasa perlu menunjukkan

produk-produk akhir saja, dan menyembunyikan proses yang dilalui dalam

menghasilkannya. Contohnya, para profesor mungkin menghabiskan waktu

beberapa jam mempersiapkan suatu kuliah, tetapi mereka ingin bersikap

seakan-akan mereka selalu menguasai bahan. Keempat, mungkin perlu bagi

para aktor menyembunyikan dari audience bahwa “pekerjaan kotor” telah

dilakukan untuk membuat produk-produk akhir. Pekerjaan kotor mungkin

termasuk tugas-tugas yang “secara fisik tidak bersih, semi legal, kejam, dan

merendahkan martabat dan cara-cara lain”. Kelima, dalam memberikan

sandiwara tertentu, para aktor mungin terpaksa membiarkan standar-standar

lain melenceng, Akhirnya, para aktor mungkin merasa perlu

menyembunyikan setiap penghinaan, perendahan, atau perjanjian-perjanjian

yang dibuat agar sandiwara dapat terus berlangsung. Pada umumnya, para

aktor mempunyai kepentingan dalam menyembunyikan fakta-fakta itu dari

para audiensnya.

Aspek-aspek lain dramaturgi dipanggung depan ialah bahwa para

aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan

sudiens dari pada yang sebenarnya. Contohnya, para aktor mungkin berusaha

menumbuhkan kesan bahwa sandiwara yang melibatkan mereka pada saat itu

Page 5: TEORI DRAMATURGI

adalah satu-satunya sandiwara mereka atau setidaknya sandiwara merekalah

yang paling penting. Untuk melakukan hal itu, para aktor harus yakin bahwa

audiens mereka terpisah sehingga kepalsuan sandiwara itu tidak dapat

diungkap.

Teknik lain yang juga digunakan oleh aktor dalam memainkan

sandiwaranya adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara

mereka dengan membatasi kontak antara pemain aktor tersebut dengan para

audiens. Dengan menghasilkan jarak sosial antara pemain sandiwara dengan

para audiens, mereka mencoba menciptakan suatu rasa kagum pada audiens.

Hal itu, sebaliknya tidak lagi mempertanyakan audiens tentang sandiwara itu.

Sehingga kesan yang didapat oleh audiens adalah kesan yang memang murni

peran dalam sandiwara.

Menurut Goffman dalam (Ritzer, 2012:641), “seorang pemain

sandiwara dan audiens adalah sejenis tim”. Tetapi, Goffman juga berbicara

tentang sekelompok pemain sandiwara sebagai tim dan audiens sebagai tim

lainnya. Selain tu, Goffman juga berargumen bahwa suatu tim juga dapat

berupa individu tunggal.

2. Panggung Belakang (Back Stage)

Dalam asumsi dasar dari dramaturgi ini, Goffman memandang bahwa

panggung belakang atau back stage merupakan tempat dimana fakta-fakta

ditindas di panggung depan. Panggung belakang merupakan panggung yang

berdekatan dengan panggung depan. Suatu sandiwara akan sulit dilakukan

apabila ada audiens yang memasuki panggung belakang tersebut, disinilah

aktor harus mampu mencegah audiens memasuki panggung belakang itu.

C. Karakteristik Teori Dramaturgi

1. Tidak bersifat makro dan mikro

Page 6: TEORI DRAMATURGI

Dramaturgi hanya menekankan pada bagaimana actor melakukan perannya.

Tidak menekankan pada faktor-faktor lain diluar selain hal tersebut.

2. Tidak menekankan sebab – akibat

Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan

apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan

bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa

pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,

dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat

tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme.

3. Cenderung pada Positivisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini

menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan

adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat

dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut

4. Dramaturgi hanya dapat berlaku di Institusi lokal

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan

oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait

dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana

sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri

institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki

hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham

pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi

pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara,

institusi pemerintah, dan lainnya.

Page 7: TEORI DRAMATURGI

Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang

menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”.

Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk

diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin

dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu

sebelum diaplikasikan.

D. Tokoh

Ketika kita bicara teori dramaturgi, maka kita tentu tidak akan lepas dari nama

Erving Goffman. Beliau adalah orang yang membidani lahirnya teori dramaturgi.

Untuk mengenal lebih jelas mengenai dramaturgi, maka mengenal tokohnya adalah

sebuah hal yang penting agar kita bias memahami secara menyeluruh tentang teori

ini.

Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922 (Ritzer,

2010:296). Goffman mendapat gelar Bachelor of Arts (B.A) dari Universitas Toronto

pada tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 menerima gelar doctor dari

Universitas Chicago pada tahun 1953. Goffman pernah menjadi professor dijurusan

sosiologi Universitas California Barkeley serta ketua liga Ivy Universitas

Pennsylvania. Pada tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of

Incarceration dan tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim.

Goffman meninggal pada tahun 1982 pada usia 60 tahun, setelah sempat menjabat

sebagai Presiden dari American Sociological Association meskipun belum sempat

memberikan pidato pengangkatannya karena sakit (Ritzer, 2010:296).

Jika Aristoteles mengungkapkan dramaturgi dalam artian seni. Maka Goffman

mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Goffman menggali segala macam perilaku

interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang

menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang actor

menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama

Page 8: TEORI DRAMATURGI

ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan.

Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di

masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari

presentasi “Diri” dari Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila

seorang actor berhasil, maka penonton akan melihat actor sesuai sudut yang memang

ingin diperlihatkan oleh actor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa

penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan

sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat

untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara

tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai

tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam

dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita

menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu

diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai

tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi

memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang

disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi social

tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada

tercapainya kesepakatan tersebut.

Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis adalah berupa

buku Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan tahun 1959. Buku ini

merupakan karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik. Menurut

Goffman, diri bukanlah milik actor tetapi lebih sebagai hasil dari interaksi dramatis

antar actor dan audiens. Konsep diri atau citra diri Goffman sangat dipengaruhi oleh

pemikiran Mead, khususnya mengenai diskusinya mengenai ketegangan antara diri

spontan, tercermin dalam pendapatnya yang disebut “ketaksesuaian antara diri

manusia kita dan diri kita sebagai hasil dari proses sosialisasi”. Ketegangan ini timbul

ketika adanya perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan dengan apa yang orang

lain harapkan untuk kita lakukan.

Page 9: TEORI DRAMATURGI

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka

ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut

upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik

yang digunakan actor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu

untuk mencapai tujuan tertentu. Percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada

titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap

individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang

lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal

dari “aku.”

Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-

ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur social merupakan countless minor

synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut

Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah

masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu sendiri,

menolong kita untuk mengkaji hal-hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal

kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya

yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam rangka

menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita

Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh

gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari

tiga komponen.

1. Kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain;

2. Kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita;

3. Mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai

akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.

Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran

tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan

sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.

Page 10: TEORI DRAMATURGI

Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke,

dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme

simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis

interaksisosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang

didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan

citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang actor berperilaku

bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Fokus dramaturgis bukan

konsep-diri yang dibawa sang actor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan

jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang

berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah

“suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru

dalam setiap peristiwa interaksi sosial.

Menurut Manning dalam Ritzer (2010:296) Erving Goffman disebut-sebut

sebagai salah satu anggota aliran sosiologi Chicago dan sebagai teoritisi

interaksionalisme simbolik. Namun, ketkika ditanya tak lama sebelum meninggal

apakah ia seorang interaksionalisme simbolik, ia menjawab bahwa nama itu terlalu

samar untuk memungkinkannya menepatkan dirinya pada kategori itu. Kenyataannya

sulit untuk memasukan karyanya kedalam kategori tunggal manapun. Dalam

menciptakan perspektif teoritisnya, Goffman menggunakan berbagai sumber dan

menciptakan sebuah orientasi khusus.

Collins dalam Ritzer (2010:297) lebih menghubungkan Goffman dengan

antropologi social dibandingkan dengan interaksionisme simbolik. Menurutnya, sejak

belajar S1 di Toronto Goffman sudah belajar pada seorang antropolog yang bernama

W.L Warmer. Selain itu, Collins juga menyatakan, setelah dia memeriksa kutipan

dalam karya awal Goffman menunjukan hasil bahwa ia dipengaruhi oleh antropologi

social dan jarang mengutip imteraksionisme simbolik. Namun Goffman dipengaruhi

oleh studi deskriptif yang dihasilkan di Chicago dan menyatukan hasil deskriptif itu

dengan hasil studi antropologi social untuk menciptakan perspektif khususnya

sendiri. Jadi pakar interaksionisme simbolik memperhatikan bagaimana cara actor

Page 11: TEORI DRAMATURGI

menciptakan atau merembukan citra diri mereka, sebaliknya Goffman memperhatikan

bagaimana cara masyarakat memaksa orang untuk menampilkan citra tertentu

mengenai diri mereka sendiri, karena masayarakat memaksa itu berpindah-pindah

diantara berbagai peran yang kompleks maka kita menjadi selalu agak tidak jujur, tak

taat asas dan tidak hormat.

Namun tak bisa disangkal, bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka,

dan pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi

interaksionis simbolik. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa Goffman

mempunyai pengaruh besar terhadap interaksionisme simbolik, meskipun ia

mempunyai perspektif sendiri dalam mengembangkan teorinya. Selain

interaksionisme simbolik, Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar

interaksionisme simbolik, karena Goffman juga punya andil besar terbentuknya

etnometodologi. Sebenarnya tokoh penting dari etnometodologi (Sackes, Schegloff)

semula sama-sama belajar dari Goffman di Barkeley.

E. Kritik Terhadap Teori Dramaturgi

Dramaturgis dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham

ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.

Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak

dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut. Dramaturgis dianggap

masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia

sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran

tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk

memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif,

berlaku natural, mengikuti alur.

1. Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total

Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan

oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait

Page 12: TEORI DRAMATURGI

dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang

mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya.

Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan

memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut

paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer),

institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah

sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat

berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak

menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini

peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih

memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli

percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.

2. Menihilkan “kemasyarakatan”

Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan

sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan

“kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila

berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat

disinkronkan.

3. Dianggap condong kepada Positivisme

Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini

menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan.

Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau

tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.

Page 13: TEORI DRAMATURGI

KESIMPULAN

Teori dramaturgi bila disimpulkan secara singkat, memandang bahwa

kehidupan manusia itu sebagai sebuah panggung sandiwara, dimana manusia

memainkan peran yang ia dapat, sebaik mungkin agar audience mampu

mengapresiasi dengan baik pementasan tersebut. Pertunjukan yang terjadi di

masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Teori dramaturgi

menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap

identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri, identitas

manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Manusia

adalah actor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan

kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”

Pada dasarnya, Teori Dramaturgi merupakan teori yang mempelajari proses

dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Dimana teori ini menggambarkan sebuah

sandiwara saat seseorang ataupun sekelompok orang tersebut berperan bukan

berdasarkan kepribadiannya melainkan berdasarkan kondisi yang ada dan

memanfaatkan peranan yang ia miliki. Yang didukung oleh front dan back region

yang ada. Front-nya mencakup setting, personal front (penampilan diri), expressive

equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan back-nya mencakup

semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau

penampilan diri yang ada pada front.

Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori

interaksionisme simbolik. Dimana Mead menyatakan konsep bahwa individu

mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut

adalah “dirinya” yang berasal dari “aku”. Jadi dalam Dramaturgi, seseorang aka

berperan menjadi orang lain untuk mengetahui bagaimana penilaiannya terhadap

tokoh yang ia perankan.

Page 14: TEORI DRAMATURGI

DAFTAR PUSTAKA

Ritzer George, Teori Sosiologi,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012

Web :

http://socialmasterpice.blogspot.com/2011/03/teori-dramaturgi-goffman.html

(http://pristality.wordpress.com/2011/11/29/teori-dramaturgi-erving-goffman/)