i
TRADISI BEGALAN DALAM UPACARA PERKAWINAN
ADAT BANYUMAS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Muchlisin Anam
NIM 1112044100029
HALAMAN JUDUL
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
TRADISI BEGALAN DALAM UPACARA PERKAWINAN
ADAT BANYUMAS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Oleh:
Muchlisin Anam
NIM : 1112044100029
Pembimbing
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H.
NIP. 197608072003121001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muchlisin Anam
NIM : 1112044100029
Fakultas : Syari‟ah dan Hukum
Jurusan : Hukum Keluarga
Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Oktober 2018
Muchlisin Anam
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “TRADISI BEGALAN DALAM UPACARA
PERKAWINAN ADAT BANYUMAS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 29 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjan Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Jakarta, 29 Oktober 2018
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. (…………………)
NIP. 19670608 199403 1 005
Sekretaris : Indra Rahmatullah, S.H.I, M.H. (…………………)
NIP.
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H. (…………………)
NIP. 19760807 200312 1 001
Penguji I : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, M.A. (…………………)
NIP. 19550706 199203 1 001
Penguji II : Dr. H. Moh. Ali Wafa, S.H, S.Ag, M.Ag. (…………………)
NIP. 19730424 200212 1 007
v
ABSTRAK
Muchlisin Anam, NIM 1112044100029, Tradisi Begalan dalam Upacara
Perkawinan Adat Banyumas Perspektif Hukum Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440/2018 M, 77
Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tradisi
Begalan dalam upacara perkawinan adat Banyumas, dan untuk mengetahui
pandangan hukum Islam terhadap tradisi Begalan.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan
pendekatan normatif. Penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian
lapangan (field research), dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif
yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi
juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.
Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi,
dan studi pustaka.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa tradisi Begalan merupakan salah
satu tradisi turun-temurun dalam masyarakat Banyumas. Dalam pelaksanaannya,
tradisi Begalan tidak menyimpang atau bertentangan dengan syariat Islam sebab
adat kebiasaan di dalam acara tersebut tidak ada sesuatu yang berlawanan dengan
hukum Islam karena itu sebagai kebiasaan adat dan untuk memeriahkan suatu
acara. Oleh karena itu tradisi Begalan yang ada pada perkawinan adat Banyumas
tidak menyimpang dari hukum Islam.
Kata Kunci : Tradisi Begalan, Adat Perkawinan, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا انرحمه انرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang
telah memberikan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan ridha-Nya kepada penulis
tanpa ada batasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam mengalir deras kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, makhluk
yang paling sempurna sebagai suri tauladan umatnya, beserta keluarga, para
sahabat dan pengikutnya yang senantiasa selalu patuh dan ta‟at dalam
menjalankan perintah Allah SWT dan Rasulnya.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis baik dari segi moral maupun materil. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta seluruh jajaran pengurus Rektorat yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua program Studi Hukum Keluarga yang
selalu memberikan pelayanan terbaik dan motivasi-motivasi kepada
penulis.
4. Indra Rahmatullah, S.H.I, M.H. Selaku sekretaris program Studi Hukum
Keluarga yang selalu memberikan pelayanan prima.
5. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Selaku dosen pembimbing
skripsi, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikirannya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas
segala keikhlasannya. Semoga apa yang telah beliau berikan dapat
bermanfaat bagi penulis dan dibalas dengan kebaikan yang berlimpah.
vii
6. Dr. JM Muslimin, M.A., Ph.D. Selaku dosen pembimbing akademik, yang
tak pernah mengenal lelah dalam mengarahkan penulis.
7. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, M.A. dan Dr. H. Moh. Ali Wafa, S.H, S.Ag,
M.Ag. Selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan, masukan,
kritik dan saran kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.
8. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi penulis dalam
mencari referensi penelitian ini.
9. Seluruh bapak dan ibu dosen di lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga yang dengan ikhlas dan sabar memberikan ilmunya kepada
penulis. Semoga bermanfaat. Aamiiin
10. Kepada ayahanda tercinta Mohammad Badri dan ibunda tercinta Anti Nur
Chayati yang tidak pernah henti meneteskan air matanya di setiap
sujudnya dan senantiasa memberikan ziyadah doa untuk kesuksesan
putranya dalam menuntut ilmu khususnya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan dimanapun berada.
11. Adik-adikku tercinta, Achmad Ambar Sulchani dan An‟im Zamzami yang
selalu memberikan keceriaan dalam bingkai baik suka maupun duka.
12. KH. Achmad Yunani NH, beserta keluarga besar Pondok Pesantren
Nuururrohman dan KH. R Syarif Rahmat RA SQ., MA, beserta keluarga
besar Pondok Pesantren Ummul Qura, wabil khusus kepada keponakan
beliau tercinta Muhammad Faisal Amrullah, yang selalu memberikan
dukungan, motivasi, serta doa harapan, kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman-teman seperjuangan PA 2012, Hilmi, Umam, Ziyad, Sodikin,
Rahmat Muhajir, Sayid, Ulfah, Nanik, Wahid, April, Husnul, Malik,
Lutfan, Ilham, Rizki, Fauzi Nabawi, Akrom, Rival, Martin, Sufyan, Putri,
Nisa, Alfida, Nafis, Syarifah, Deza, Aisyah, Ucok, Nabil, Dani, Latif,
Roni, Ridwan, Ayi, Adit, Septian, Bobi, Asep Awaluddin, Faisal, Reinaldi,
Noval, Iffah, Didin, Faiq, Ali Firdauz, Rakha, Fadli, dan lainnya yang
viii
tidak bisa di sebutkan satu-persatu yang telah memberikan semangat
kepada penulis.
14. Teman-teman KBPA, PMII Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum,
KKN HIDROGEN, FORMABI, Ma‟had Al-Jami‟ah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Ikatan Remaja Masjid Al-Ikhlas Cirendeu, TPA Ummul Barokah, PMTI,
Dharma Cell, yang telah memberikan penulis pengalaman yang tidak
terlupakan dan semua sahabat yang pernah hadir dalam kehidupan penulis
untuk memberikan ilmu, nasihat, petuah, gambaran hidup, serta
memberikan dukungan baik moril maupun materil. Jazakumullah khairal
jaza.
15. Perangkat Desa Sibrama dan semua masyarakat Desa Sibrama yang telah
memberikan dukungan, doa, serta motivasi kepada penulis, sehingga
penulisan skripsi ini dapat berjalan lancar dan semua pihak yang telah
membantu serta memberikan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimakasih penulis yang
sebesar-besarnya.
Semoga amal dan kebaikan mereka semua dibalas oleh Allah SWT dan
penulis berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat yang besar bagi
penulis maupun bagi pembaca.
Ciputat, 29 Oktober 2018
Muchlisin Anam
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Pembatasan Masalah ..................................................................... 6
C. Perumusan Masalah ...................................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
E. Metode Penelitian.......................................................................... 7
F. Review Studi Terdahulu .............................................................. 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II TRADISI DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Tradisi ....................................................................... 14
B. Perkawinan Menurut Hukum Adat ............................................. 22
C. Perkawinan Menurut Hukum Islam ............................................ 26
D. Pengertian Walimatul „Urs .......................................................... 34
x
BAB III PROFIL DESA SIBRAMA KECAMATAN KEMRANJEN
KABUPATEN BANYUMAS .................................................................. 38
A. Letak Geografis ........................................................................... 38
B. Kondisi Penduduk ....................................................................... 40
C. Kondisi Sosial Ekonomi .............................................................. 40
D. Kondisi Pendidikan ..................................................................... 41
BAB IV TRADISI BEGALAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tradisi Begalan ......................................................... 47
B. Proses Pelaksanaan Tradisi Begalan dalam Upacara Perkawinan
..................................................................................................... 51
C. Pemaknaan Simbol-simbol yang digunakan dalam Tradisi
Begalan ........................................................................................ 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 69
B. Saran ............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. 77
1. Surat Lembar Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Data Wawancara
3. Surat Keterangan Desa
4. Pedoman Wawancara
5. Biodata Nara Sumber
6. Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah peristiwa yang secara formal mempertemukan
sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri di hadapan penghulu atau
kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian
disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara-upacara atau ritual-
ritual tertentu. Oleh karena itu, perkawinan menjadi sebuah perlambang yang
sejak dulu dibatasi atau dijaga oleh berbagai ketentuan adat dan di bentengi
oleh kekuatan hukum adat maupun kekuatan hukum agama.1 Sesuai dalam
pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Perkawinan dalam kehidupan manusia sesuatu yang dianggap sakral,
dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan
antara dua insan yang berlainan jenis. Sebab, dengan cara inilah diharapkan
proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan
berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu
memperoleh keturunan yang syah.3
Pengertian perkawinan menurut adat adalah suatu hubungan suami
istri yang bermaksud untuk mendapatkan keturunan di kemudian hari dan
kelak akan meneruskan kekerabatan orang tuanya. Disamping itu ada kalanya
suatu perkawinan merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat dan
begitu pula perkawinan bersangkut paut dengan warisan, kedudukan dan
harta perkawinan. Menurut hukum adat, perkawinan merupakan urusan
1 Kartini Kartono, Psikologi Wanita (1) Garis Remaja dan Wanita-wanita, (Bandung:
Mizan, 1997), h. 17. 2 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1999), Cet. Ke-4, h. 12.
2
kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, dan dapat juga merupakan urusan
pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Di
dalam persekutuan hukum yang merupakan kesatuan-kesatuan susunan
masyarakat, yaitu persekutuan desa dan wilayah, pernikahan warganya
merupakan unsur penting didalam peralihan kepada inti sosial dari
masyarakat untuk menikmati hak dan memikul kewajiban serta bertanggung
jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat. Pernikahan (yang dipilih dengan
tepat) dapat pula mempertahankan gengsi/martabat kelas-kelas didalam dan
diluar persekutuan, jadi dalam hal ini pernikahan adalah urusan kelas atau
memilih calon istri atau suami berdasarkan tingkatan derajat yang
dimilikinya.4
Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara
bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau
hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan
acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat
yang berlaku.
Sedangkan perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari nenek moyang kita yang perlu
dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Upacara
perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan suci meskipun diselenggarakan
secara sederhana sekali.
Di tiap-tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat
istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang
berbeda dengan keunikan masing-masing.
Bahkan dikarenakan perbedaan-perbedaan hukum adat yang berlaku
setempat, seringkali menimbulkan perselisihan antara pihak yang
bersangkutan. Jika terjadi perselisihan maka dalam mencari jalan
4 Imam Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 2007), Cet. Ke-5, h.
107.
3
penyelesaiannya bukanlah ditangani pengadilan agama atau pengadilan
negeri, tetapi ditangani oleh pengadilan keluarga atau kerabat yang
bersendikan kerukunan, keselarasan, dan kedamaian. Oleh karenanya
disamping perlu memahami hukum perkawinan menurut perundang-
undangan, perlu pula memahami hukum perkawinan adat.5
Masyarakat Jawa adalah salah satu etnis yang sangat bangga dengan
budayanya meskipun kadang-kadang mereka tidak begitu faham dengan
kebudayaannya. Budaya Jawa penuh dengan simbol sehingga dikatakan
budaya Jawa adalah budaya simbolis. Sebagai contoh adalah pada prosesi
perkawinan Jawa. Dalam pengertian ini simbol-simbol sangat berkaitan erat
dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu kehidupan yang mengungkapkan
perilaku dan perasaan manusianya melalui berbagai upacara adat.6
Kekentalan tradisi masyarakat Jawa bagian selatan khususnya daerah
Banyumas yang begitu kuat, menjadikan proses islamisasi di daerah ini
menampilkan corak dan langgam dari sistem keyakinan dan berbagai ekspresi
keagamaan7 yang unik pula. Ketika Islam datang di daerah ini kemudian
terjadi proses dialog dengan budaya lokal Jawa maka akan melahirkan model
keberagaman yang „sinkretis‟ dengan menampilkan Islam yang berwatak dan
bergaya Jawa yang sering disebut dengan Islam Abangan. Hal ini berbeda
dengan watak Islam dari komunitas Jawa Tengah bagian utara (Pantura) yang
dikenal dengan Islam santri.8
Sinkretisme Islam berkembang di Indonesia (khususnya Jawa) karena
Islam yang datang di Indonesia adalah Islam yang telah banyak terpengaruh
5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 3. 6 Usfatun Zannah, Jurnal Wacana, Makna Profesi Perkawinan Jawa Timur Sebagai
Kearifan Lokal (Pendekatan Etnografi Komunikasi Dalam Upacara Tebus Kembar Mayang Di
Desa Jatibaru Kecamatan Bungaraya Kabupaten Siak Provinsi Riau), Vol, 1, No.2 - Oktober
2014, h. 2. 7 Ekspresi hidup keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terjemahan dari
religious life, terutama menyangkut prilaku dalam aktivitas ritual keagamaan. 8 Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago: Chicago University Press, 1976), h. 14.
4
oleh unsur-unsur mistik dari Persia dan India yang mengandung unsur-unsur
yang cocok dengan pandangan hidup tradisional orang Jawa pada waktu itu.9
Salah satu produk dialog antara Islam dengan budaya lokal Jawa di
Jawa Tengah bagian Selatan khususnya daerah Banyumas, terdapat suatu
tradisi upacara perkawinan adat yang dinamakan “Begalan”. Begalan
merupakan istilah dalam bahasa jawa yang artinya perampokan. Hal tersebut
dikarenakan selama prosesi pembegalan, barang milik pengantin pria
dihadang dan akan dirampok pihak wanita. Meskipun demikian, tidak semua
perkawinan adat Banyumas menyertakan tradisi Begalan. Tradisi ini
dilaksanakan sebelum prosesi akad nikah atau saat acara walimah bagi calon
pengantin perempuan yang dalam silsilah keluarga menjadi anak sulung atau
anak perempuan pertama kali yang menikah dalam keluarga, apabila saudara-
saudara prianya terlebih dahulu menikah.10
Acara Begalan adalah perpaduan antara tari dengan “orasi lisan”
sebagai bagian dari upacara pernikahan, yakni saat rombongan pengantin pria
masuk ke area pelataran pengantin perempuan. Alat-alat yang digunakan
adalah peralatan dapur sebagai barang bawaan. Masing-masing barang
bawaan terutama alat dapur ini memiliki makna simbolis sesuai dengan
falsafah Jawa, khususnya Jawa Banyumasan.11
Tradisi ini selalu ditampilkan dalam suasana yang memang aslinya
telah ramai yaitu saat seseorang memiliki hajat pernikahan, atau saat mantu,
yang sudah barang tentu suasana lebih ramai dibandingkan saat tidak ada
hajat apapun. Tradisi ini sangat melekat pada sejarah Banyumas, sehingga
ketika akan melihat istilah, asal-usul, serta muatan tradisi ini sangat
berhimpitan dengan perjalanan Banyumas.12
9 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam,
(Yogyakarta: Aditiya Media, 1995), h. 265. 10
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,
2008), h. 19. 11
Agus Wahyudi, “Seni Begalan Undang Perhatian Turis Asing”, dalam Suara Merdeka,
tanggal 16 September 2006. 12
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 86.
5
Begalan merupakan salah satu ritual dalam bentuk kesenian yang
memiliki makna slametan atau ruwat.13
Sebagaimana catatan Supriyadi,14
istilah Begalan dalam tradisi Wong Banyumas tidak merujuk pada makna
perampasan barang-barang milik orang lain, apalagi mencelakakannya.
Tetapi, justru menjaga dari gangguan roh-roh jahat. Jadi Begalan adalah salah
satu syarat atau krenah/pengruwat guna menghindari kekuatan-kekuatan gaib
yang dapat mengganggu dan mengancam keselamatan terutama pada kedua
mempelai pengantin.
Dalam pementasan seni Begalan, terdapat sisi yang menarik ketika
ada dialog antara orang yang dibegal (pihak pria) dengan si Pembegal (pihak
wanita). Dalam dialog tersebut biasanya berisi kritikan dan nasehat bagi calon
pengantin yang di sampaikan dengan bahasa yang humoris dan diiringi
gending khas banyumas untuk menghibur penonton. Selain itu, juga terdapat
tarian klasik yang gerakannya tidak beraturan, mereka hanya menyesuaikan
gerak tari dengan suara gending saja.15
Dalam tradisi Begalan terdapat beberapa alat rumah tangga yang
dibawa oleh pihak pria dalam upacara sebagai simbol kehidupan keluarga.
Diantaranya yaitu: pedang wlira (alat pemukul dari pohon pinang), brenong
kepang (alat-alat) yang terdiri dari; wangkring atau mbatan (alat pikul), ian
ilir (kipas anyaman), kukusan (penanak nasi dari bambu), kekeb (tutup
kukusan), tali, centhong (sendok dari tempurung kelapa untuk menyendok
nasi), irus (sendok dari tempurung kelapa untuk menyendok sayur), siwur
(gayung dari tempurung kelapa), pari (padi), muthu-ciri (uleg-uleg-cobek),
kendhil (periuk dari tanah). Alat-alat lain biasanya sebagai tambahan sesuai
dengan juru begalnya. Memang barang-barang yang disebut sebagai brenong
13
Istilah ruwatan sangat terkenal dalam budaya Jawa, terutama masyarakat yang
menganut kepercayaan Kejawen atau sinkritis. Biasanya ruwatan dilakukan dengan ritual nanggap
wayang dengan lakon ruwatan (kisah) tertentu. 14
Supriyadi, Begalan, (Purwokerto: UD Satria Utama Purwokerto, 1993), h. 6. 15
Gerakan tarian yang diperankan oleh juru begal sangat spontan. Artinya tidak ada
aturan baku atau standar gerakan. Mereka melakukan improvisasi sesuai dengan musik yang
mengiringinya.
6
kepang ini sangat erat dengan kehidupan manusia dibumi, terutama bagi
pengantin yang akan menjalani kehidupan baru.16
Dalam perkawinan secara Islami tidak ada tuntutan yang
mengharuskan di adakannya adat Begalan seperti halnya perkawinan adat
Begalan. Apalagi niat tersebut untuk menolak bahaya yang datang. Ketika
umat Islam, yaitu orang tersebut berstatus anak sulung telah memenuhi syarat
dan rukun perkawinan, maka perkawinan tersebut sah menurut hukum agama
dan hukum positif Indonesia. Dalam Al-Qur‟an maupun hadits Nabi yang
berkenaan dengan perkawinan juga tidak ada satupun yang mewajibkan
bahkan menganjurkan adanya tradisi khusus bagi anak sulung.
Tradisi Begalan yang di rasa tidak pernah ada pada perkawinan zaman
Nabi maupun sahabat dan tabi‟in ini, menimbulkan kontroversi, apakah
tradisi ini sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menyimpang dari sunnah
Nabi atau tidak. Karena pada zaman Nabi belum ada, maka untuk mengetahui
tradisi Begalan ini sesuai dengan ajaran Islam atau tidak perlu adanya suatu
istinbath hukum yang sesuai.
Hal tersebut menarik untuk dibahas, disamping mayoritas
penduduknya yang menganut agama Islam, masyarakat Banyumas juga
sangat menjunjung tinggi warisan para leluhur daerah Banyumas yang
berpesan terhadap generasi muda agar mentaati tata cara persyaratan
perkawinan dengan tujuan kedua mempelai terhindar dari bahaya.
Dengan latar belakang diatas, maka penulis tertarik dan ingin
mengetahui lebih dalam dengan melakukan penelitian dan diwujudkan dalam
bentuk skripsi dengan judul: “Tradisi Begalan Dalam Upacara Perkawinan
Adat Banyumas Perspektif Hukum Islam”.
B. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan lebih fokus pada permasalahan perlu diberi arahan
yang jelas terhadap masalah yang akan dibahas, yaitu seputar proses
pelaksanaan tradisi Begalan beserta makna simbol-simbolnya dalam
perkawinan adat Banyumas dan hukum tradisi Begalan dalam perkawinan
16
Supriyadi, Begalan, h. 13.
7
adat Banyumas perspektif hukum Islam. Fokus dalam masalah ini juga
bersifat sementara dan dapat berkembang ketika Peneliti melakukan
penelitian di lapangan (field research).
C. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan utama dari studi ini adalah tentang eksistensi
tradisi Begalan dalam konteks hukum Islam dengan beberapa pertanyaan
peneliti sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pelaksanaan tradisi Begalan dalam perkawinan adat
Banyumas?
2. Apa makna dari simbol-simbol yang digunakan dalam tradisi Begalan?
3. Apakah tradisi Begalan dalam perkawinan adat Banyumas sudah sesuai
dengan hukum Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan tradisi Begalan dalam
perkawinan adat Banyumas beserta makna simbol-simbolnya.
b. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaian tradisi Begalan dalam
perkawinan adat Banyumas perspektif hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
a. Agar masyarakat mengetahui proses pelaksanaan tradisi Begalan dalam
perkawinan adat Banyumas yang benar dan sesuai dengan ajaran
hukum Islam.
b. Memberi kontribusi positif bagi pembaca pada umumnya dan
mahasiswa UIN pada khususnya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu.17
Penelitian ini dilakukan di Desa Sibrama
17
Sugiyono, Cara Mudah Menyusun: Skripsi, Tesis, dan Desertasi, (Bandung:
ALFABETA, 2013), h. 18.
8
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas. Penelitian ini akan menggali
data-data yang terkait dengan kepercayaan (point of view) terkait dengan
Begalan, sejarah, tata nilai/sistem nilai yang mendasari tradisi ini serta tata
cara aktivitas kegiatan/ritual. Oleh karena itu, subjek penelitiannya adalah
tokoh masyarakat, pemain/pemeran Begalan, penyelenggara acara ini, dan
lain sebagainya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian etnografi, yang didalamnya
mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup (point of
view), keyakinan, pola interaksi, makna physical setting, dan kegiatan ritual
subjek penelitian. Dengan demikian penelitian ini menggunakan
etnometodologi, yang mana metode ini digunakan sebagai metode untuk
menggambarkan bagaimana perilaku sosial masyarakat yang berkaitan
dengan apa yang dilakukan (cultural behavior), apa yang diyakini dan
diketahui (cultural knowledge), dan hal-hal yang dibuat dan digunakan
(cultural artifact) oleh masyarakat sebagaimana adanya dalam kaca mata
masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, penelitian ini berupaya memahami
bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata
hidup mereka sendiri.18
Maka, untuk mendapatkan kajian yang dapat di pertanggungjawabkan
secara ilmiah, pada penelitian ini peneliti menelaah data dan menampilkan
serta menjelaskan objek pembahasan dengan menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
a. Penelitian ini berjenis penelitian lapangan (Field Research), yaitu
penelitian yang dilakukan di kancah atau medan terjadinya gejala.19
Sumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat
atau komunitas sosial) dengan melihat secara langsung di daerah
penelitian, yaitu daerah Banyumas.
18
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), h. 94. 19
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), h. 11.
9
b. Studi kasus, yaitu penelitian yang dituntut untuk melakukan penelitian
secara mendalam, yakni mampu melacak dan menemukan berbagai
faktor yang terkait dengan kasus pernikahan tersebut.20
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian untuk
menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan masalah melalui
pengumpulan, penyusunan, dan penganalisisan data, kemudian
dijelaskan.21
Dalam penelitian ini peneliti berusaha mengumpulkan, menyusun
kemudian memaparkan fenomena adat istiadat yang berhubungan dengan
pelaksanaan tradisi Begalan dan makna yang terkandung didalam
perlengkapan tradisi Begalan dalam perkawinan adat Banyumas di Desa
Sibrama, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa data
primer dan data sekunder. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
yang diperoleh langsung melalui obyek penelitian, yakni masyakarat Desa
Sibrama lebih spesifiknya juru begal atau orang-orang yang dianggap
memahami tradisi tersebut.
Di dalam penelitian hukum, digunakan pula data skunder yang
memiliki kekuatan mengikat ke dalam, berupa buku-buku, makalah
seminar, jurnal-jurnal laporan penelitian, artikel, majalah dan koran22
,
yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang
ada serta untuk lebih memfokuskan penelitian ini, penulis menggunakan
beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data-data yang
maksimal:
20
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Jakarta, 2010), h. 27. 21
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h. 128. 22
Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Prenada Media Group,
2008), h. 155.
10
a. Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan
wawancara tertutup dan terbuka terhadap tokoh adat, tokoh agama dan
sebagian anggota masyarakat serta pihak pemerintahan.
b. Observasi: dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan
observasi partisipasi (participant observation) yaitu metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau penelitian
benar-benar terlibat dalam keseharian responden.
c. Dokumen: dalam penelitian ini penulis mengumpulkan sejumlah besar
informasi atau data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan
harian, data tersimpan di website, dan lain sebagainya.
5. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah terhimpun, penulis
menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode induktif, yaitu pengambilan data yang dimulai dari kesimpulan
atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat
umum.23
b. Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau
kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan
umum yang bersifat khusus.24
c. Metode komparatif, yaitu metode perbandingan, bahwa penyidikan
deskriptif yang berusaha mencari dan memecahkan melalui analisa
tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat yakni yang meneliti
fakta tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang
diselidiki dan membandingkan dengan yang lain, adapun penyelidikan
ini bersifat komparatif.25
23
Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2003), Cet. Ke-7, h. 7. 24
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007), h. 26. 25
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik,
(Bandung: Tarsito, 1994), Edisi VII, h. 143.
11
d. Analisis reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif
dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik
secara bolak balik kritis.26
Dalam metode analisis ini akan memecahkan
masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk
dibandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literature atau
alternative tersebut. Sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data
yang rasional dan ilmiah.
F. Review Studi Terdahulu
Penulisan karya ilmiah ini penulis juga merujuk pada karya ilmiah lain
yang sudah terdahulu dengan substansi dan pembahasan yang berbeda
tentunya, diantaranya adalah:
Syarif Hidayat (10350016).27
Konsep Keluarga Sakinah dalam
Tradisi Begalan. Skripsi ini membahas tentang makna simbolik didalam
perlengkapan tradisi Begalan. Penelitian ini membahas tentang pemaknaan
simbol-simbol yang ada dalam tradisi Begalan dengan perspektif keluarga
sakinah. Jadi tentulah berbeda antara karya yang sudah dibuat dengan karya
yang akan dibuat oleh peneliti dari segi spesifiknya.
Adnan Yelipele (104044201457).28
Tradisi Dalam Perkawinan Adat
Muslim Suku Dani Papua di Tinjau dari Hukum Islam. Skripsi yang penulis
buat itu membahas tentang praktek pernikahan adat muslim suku Dani yang
dalam pelaksanaannya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam,
karena menjadikan babi sebagai syarat mahar untuk kawin. Di samping itu
juga ada pelarangan perkawinan antara satu marga dalam tradisi adat
perkawinan tersebut.
Penelitian ini memang dirumuskan berdasarkan perspektif hukum
Islam. Akan tetapi, substansi yang ada dalam tradisi ini berkaitan dengan
tradisi mahar pada perkawinan dan larangan perkawinan antara satu marga,
26
Hadeli, Metode Penelitian, (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h. 19. 27
Syarif Hidayat, Konsep Keluarga Sakinah dalam Tradisi Begalan, Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. 28
Adnan Yelipele, Tradisi Dalam Perkawinan Adat Muslim Suku Dani Papua di Tinjau
dari Hukum Islam, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
12
sedangkan dalam tradisi Begalan membahas tentang tradisi perkawinan
dengan upacara penguraian atau pemaknaan simbol-simbol dalam tradisi
Begalan.
Karya Chusmeru dalam penelitiannya, “Begalan Sebagai Komunikasi
Tradisional Banyumas (Studi Deskriptif Komponen Komunikasi dalam
Kesenian Begalan)”.29
Dalam penelitiannya dibahas tentang kesenian
Begalan, dimana kesenian Begalan merupakan bentuk komunikasi tradisional
khas masyarakat Banyumas yang mempunyai banyak komponen-komponen
komunikasi tradisional seperti komunikator, pesan, khalayak, media dan efek.
Penelitian karya Karyono, “Tari Begalan di Tengah Perubahan Sosial
Masyarakat Banyumas”.30
Dalam penelitian ini Begalan dijelaskan sebagai
seni pertunjukan lahir dalam proses batin manusia, yang kehadirannya tidak
terlepas dari kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam
kehidupannya di masyarakat pedesaan, Begalan akrab dengan sifat-sifat
masyarakat pedesaan seperti gotong royong, tolong menolong yang akhirnya
kehadiran Begalan menjadi berarti dan berfungsi di masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwito NS,31
Dosen IAIN Purwokerto
Jawa Tengah. Penelitian tersebut berupa buku yang berjudul: “Islam Dalam
Tradisi Begalan”. Penelitian tersebut menguraikan Begalan yang sesuai
dengan moral Islam dalam ayat Al-Qur‟an.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini memuat 5 (lima) bab yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa sub bab yang mana satu dengan lainnya saling
berhubungan. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini yaitu:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
29
Chusmeru, Begalan Sebagai Komunikasi Tradisional Banyumas, (Studi Deskriptif
Komponen Komunikasi dalam Kesenian Begalan), Jurnal Dosen Jurusan Komunikasi FISIP
UNSOED, Acta DiurnA, Vol 7 No 2, 2011. 30
Karyono, Tari Begalan di Tengah Perubahan Sosial Masyarakat Banyumas, Jurnal,
http://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/greget/article/download/23/30, (diakses 21 Oktober 2016). 31
Suwito NS, “Islam Dalam Tradisi Begalan”, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,
2008).
13
penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab Kedua, berisi pembahasan tentang kajian teori tentang tradisi,
perkawinan menurut hukum adat, dan perkawinan menurut hukum Islam serta
pengertian walimatul „urs.
Bab Ketiga, merupakan kajian tentang data laporan hasil penelitian
yang meliputi: profil keadaan Desa Sibrama Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas berupa letak geografis, kondisi penduduk, kondisi
sosial ekonomi, kondisi pendidikan, kondisi keagamaan, dan kondisi budaya
di Desa Sibrama.
Bab Keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam
mengenai tradisi Begalan, proses pelaksanaan tradisi Begalan serta
pemaknaan simbol-simbol yang digunakan dalam tradisi Begalan, serta
hukum tradisi Begalan dalam perspektif hukum Islam.
Bab Kelima, merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan dari apa
yang telah dikemukakan penulis di atas beserta saran-saran yang mungkin
dapat memperbaiki penelitian ini, serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran yang dianggap perlu.
14
BAB II
TRADISI DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Tradisi
1. Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan terjemahan dari kata turats yang berasal
dari bahasa Arab yang terdiri dari unsur huruf wa ra tsa. Kata ini berasal
dari bentuk masdar yang mempunyai arti segala yang diwarisi manusia
dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat dari
keningratan.1
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama. Hal ini yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.2
Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin,
kebiasaan, praktek, dan lain-lain yang diwariskan turun temurun termasuk
cara penyampaian pengetahuan, doktrin, dan praktek tersebut. Badudu
Zain juga mengatakan bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang
dilakukan turun temurun dan masih terus menerus dilakukan di
masyarakat, di setiap tempat atau suku berbeda-beda. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia juga disebutkan bahwa, tradisi didefinisikan sebagai
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara
yang paling baik dan benar.3
1 Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2007), h. 119.
2 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi. (diakses 15 Oktober 2016).
3 Anisatul Muti‟ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia Vol 1, (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15.
15
Kata tradisi dalam Bahasa Arab disebut juga al-Adat, secara
lughawiy tradisi artinya kebiasaan, sedangkan secara isthilahiy di artikan
sebagai sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan
oleh mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang
ditinggalkan.4
Dalam bahasa Indonesia Tesaurus ditemukan pengertian kata
“Adat” sebagai: budaya, etiket, istiadat, kebiasaan, kultur, rasam, tradisi.5
Suatu kebiasaan dinamakan adat karena ia dikerjakan oleh masyarakat
tertentu secara berulang kali.
Dalam buku Qawaid al-Fiqhiyah dijelaskan bahwa adat sebagai:
“adat ialah segala apa yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu
menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan”.6
Sedangkan dalam kajian ushul fiqh dilihat dari penilaian baik dan
buruknya suatu “adat”, maka dapat dibagi kepada:
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan. Diterima
oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan norma-norma agama,
sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya melakukan halal bi
halal saat hari raya: memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas
suatu prestasi.
b. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku disuatu tempat meskipun
merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-
undang negara dan etika sopan santun. Misalnya pesta dengan
menghidangkan minuman haram.7
4 Ensiklopedi Islam, Jilid 1, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992), Cet. Ke-3, h. 21.
5 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 6. 6 Imam Musbikin, Qawa‟id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.
93. 7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2008), h. 368.
16
Dalam literatur Islam, adat disebut ح اىعبد atau اىعرف yang berarti
adat atau kebiasaan.8 Menurut Abdul Wahab Khalaf al-„urf adalah:
9
رر فعو، أ ه، أ ق ، ا عي صبر ب رعبرف اىبس اىعرف ض ك
ف ى ل ف اىعبدح. اىشرع اىعبدح.ضب اىعرف رق ث
Artinya: “Al-„urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak
dan dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau
sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-„adah.
Dalam bahasa ahli syara‟ tidak ada perbedaan antara al-„urf dan al-
„adah.”
Menurut Al-Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mudjib, al-„adah
adalah:10
ح ثعد اخر ر ا اى عبد ه عق اىـ عي حن ر اىبس عي ب اصز .اىعبدح 11
Artinya: “Al-„adah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang
terus-menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal,
dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-menerus.”
Adapun terhadap al-„urf diartikan:
س ع د اىف بصزقر خ اىعرف حج ه. ريقز اىطجبئع ثبىعق ه ثشبدح اىعق ي
ثعد أخر أصرع إى اىف ضب ىن . أ12
Artinya: “Al-„urf adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang jiwa
merasa tenang dalam mengerjakannya, karena sejalan dengan akal sehat
dan diterima oleh tabiat. Al-„urf juga merupakan hujjah, bahkan lebih
cepat untuk dipahami.”
Pada dasarnya tradisi atau al-Adat memiliki kesamaan makna
dengan al-„Urf, dalam salah satu pendapat mengenai pengertian dari al-
„urf sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf,
beliau menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-„urf adalah sesuatu
8 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h. 1258. 9 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqih, (tt: Al-Nashr Wal-Tauzik, 1978/1398), Cet.
Ke-12, h. 89. 10
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), Cet. Ke-3, h.
44. 11
Muhammad „Amim Al Barkati, Qowaid Fiqh, (Kurtis: As Shadf Publisher, 1986), h.
369. 12
Muhammad „Amim Al Barkati, Qowaid Fiqh, As Shadf Publisher, h. 377.
17
yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka yang
berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini
dinamakan pula dengan al-Adat dalam bahasa ahli syara‟ tidak ada
perbedaan antara al-„urf dengan al-Adat.13
Tradisi merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Tradisi lebih
berupa kebiasaan sedangkan budaya lebih kompleks mencakup pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.14
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Sutardjo, budaya berasal
dari kata buddhayah (Sansekerta) bentuk jamak dari “budi/akal”.
Kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Kebudayaan meliputi gagasan-gagasan, cara berfikir, ide-ide yang
menghasilkan norma-norma, adat istiadat, hukum dan kebiasaan-kebiasaan
yang merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat.15
Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan mencakup
kompleksitas ide gagasan nilai-nilai, norma-norma dan sebagai tindakan
pola hidup masyarakat dan benda-benda hasil karya manusia. Kebudayaan
diartikan sebagai upaya masyarakat untuk terus menerus secara dialektis
menjawab setiap tantangan yang dihadapkan kepadanya dengan
menciptakan berbagai sarana dan prasarana.16
Kebudayaan merupakan ciri
khas yang dimiliki oleh setiap daerah. Kebudayaan menunjukan derajat
dan tingkat peradaban manusia. Indonesia yang merupakan negara
multikultural memiliki banyak budaya yang berbeda-beda satu sama
lainnya. Keanekaragaman budaya termasuk di dalamnya sistem religi atau
13
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 89. 14
https://id.answers.yahoo.com/. Agama & Kepercayaan (diakses 15 Oktober 2016). 15
Imam Sutardjo, Kajian Budaya Jawa, (Surakarta: Jurusan Sastra Daerah. Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 12. 16
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2002), h. 45.
18
sistem kepercayaan, masih hidup dan dihayati oleh masyarakat setiap suku
bangsa yang ada di Indonesia.
Kebudayaan Indonesia tidak terbentuk satu kesatuan yang sama,
tetapi memiliki beberapa bentuk yang jelas-jelas berbeda. Secara lebih
luas, corak yang berbeda-beda ini disebabkan oleh kondisi fisik yang
menjadi landasan dimana satu masyarakat itu berbeda. Namun bukan
berarti hal itu meniadakan kesatuan dalam kebudayaan, tapi dasar kesatuan
kebudayaan Indonesia telah ada sejak zaman pra Hindu meskipun juga
terdapat variasi-variasi lokal.17
Adapun pengertian kebudayaan menurut Hari Purwanto adalah
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan maupun kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, kebudayaan
diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya dapat membentuk
sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam bentuk benda-benda yang bersifat materi.18
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami
bahwa tradisi, adat, maupun al-„urf memiliki kesamaan makna dengan
budaya, baik dalam hal perbuatan maupun perkataan. Oleh karenanya yang
perlu untuk dipahami adalah bahwa perbuatan atau perkataan itu harus di
ketahui oleh orang banyak serta dilakukan secara terus menerus oleh
mereka. Tradisi juga merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat tertentu karena kebiasaan tersebut sudah ada sejak dulu. Selain
itu kebiasaan tersebut diyakini mampu mendatangkan sesuatu bagi
masyarakat yang mempercayai dan melakukannya.
2. Pembagian Tradisi dan Munculnya
Koentjaraningrat menyebutkan dalam bukunya Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan, bahwa adat atau tradisi merupakan wujud
17
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
Cet. Ke-1, h. 94-95. 18
Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), h. 130.
19
ideal dari kebudayaan. Adapun pembagian kebudayaan secara khusus
terbagi menjadi empat bagian, yaitu:19
Pertama, lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya.
Tingkat ini merupakan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling
bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi tersebut biasanya bersifat
luas dan kabur, tetapi walaupun demikian, biasanya hal tersebut berakar ke
dalam bagian emosional jiwa manusia. Tingkat tersebut dapat kita sebut
sebagai nilai budaya, dan jumlah dari nilai budaya yang tersebar dalam
masyarakat relatif sedikit.
Adapun contoh dari suatu nilai budaya, terutama yang ada dalam
masyarakat kita, yaitu konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah
apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa
solidaritas yang besar.
Kedua, merupakan tingkatan yang lebih konkret, yaitu sistem
norma. Norma-norma tersebut adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait
dengan peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan
manusia dalam kehidupan sangat banyak, terkadang peranan tersebut juga
berubah sesuai kondisinya. Tiap peran membawakan norma yang menjadi
pedoman bagi kelakuannya dalam memerankan tingkah lakunya. Jumlah
norma kebudayaan lebih besar dibandingkan nilai kebudayaan.
Ketiga, merupakan tingkat yang lebih konkret lagi, yakni sistem
hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum merupakan
wilayah yang sudah jelas antara batas-batas yang diperbolehkan dan yang
dilarang. Jumlah hukum yang hidup dalam masyarakat jauh lebih banyak
dibandingkan norma kebudayaan.
Keempat, tingkat ini merupakan aturan-aturan khusus yang
mengatur aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam
masyarakat.
19
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama,2002), h. 11-12.
20
Tradisi merupakan kebiasaan yang turun temurun. Dari pengertian
tersebut tentunya kita akan berpikir mengenai awal kemunculan tradisi
tersebut. Dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial, Piotr Sztompa
membagi kemunculan tradisi melalui dua cara, yaitu:20
Pertama, kemunculan secara spontan dan tidak diharapkan serta
melibatkan rakyat banyak. Karena suatu alasan, individu tertentu
menemukan warisan historis yang menarik perhatian, ketakziman,
kecintaan, dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai
cara. Sehingga kemunculannya itu mempengaruhi rakyat banyak. Dari
sikap takzim dan mengagumi itu berubah menjadi perilaku dalam berbagai
bentuk seperti ritual, upacara adat dan sebagainya. Dan semua sikap itu
akan membentuk rasa kekaguman serta tindakan individual menjadi milik
bersama dan akan menjadi fakta sosial yang sesungguhnya dan nantinya
akan di agungkan.
Kedua, melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap
sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh
individu yang berpengaruh atau yang berkuasa. Mungkin disini bisa
diambil contoh seorang raja yang memaksakan tradisi dinastinya kepada
rakyatnya. Sikap diktatornya menarik perhatian rakyatnya kepada
kejayaan bangsanya di masa lalu.
3. Makna Tradisi Bagi Masyarakat
Tradisi tercipta di dalam masyarakat yang merupakan suatu sistem
hidup bersama, di mana mereka menciptakan nilai, norma, dan
kebudayaan bagi kehidupan mereka.21
Sedangkan makna tradisi bagi
masyarakat adalah:22
20
Suharti, Tradisi Kaboro Co‟I Pada Perkawinan Masyarakat Bima Perspektif „Urf di
Kecamatan Monta Kabupaten Bima, (Skripsi S1 Fakultas Syariah. Universitas Islam Negeri
Malang, 2008), h. 20-21. 21
Elly M. Setiyady, dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), h. 78. 22
Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1990),
h. 34-35.
21
a. Sebagai Wadah Ekspresi Keagamaan
Tradisi mempunyai makna sebagai wadah penyalur keagamaan
masyarakat, hampir ditemui pada setiap agama, dengan alasan agama
menurut pengalaman secara rutin dikalangan pemeluknya. Dalam
rangka pengalaman itu, ada tata cara yang sifatnya baku, tertentu dan
tidak bisa berubah-ubah dan terus-menerus dilakukan dalam prosedur
yang sama dari hari ke hari bahkan dari masa ke masa, akhirnya identik
dengan tradisi, oleh karena itu dapat diartikan tradisi itu muncul dari
amaliah keagamaan, baik yang dilakukan kelompok maupun
perseorangan.
b. Sebagai Alat Pengikat Kelompok
Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk kelompok, bagi
manusia hidup berkelompok adalah keniscayaan, karena tidak ada
manusia yang dapat hidup tanpa orang lain. Atas dasar inilah di mana
dan kapanpun ada upaya untuk menegakkan dan membina ikatan
kelompok, dengan harapan agar menjadi kokoh dan terpelihara
kelestariannya. Adapun cara yang ditempuh antara lain melalui alat
pengikat, termasuk yang terwujud tradisi.
c. Sebagai Benteng Pertahanan Kelompok
Dalam dunia ilmu-ilmu sosial, kelompok tradisionalisme
cenderung diidentikkan dengan stagnasi (kemandekan), suatu sikap
yang secara teoritis bertabrakan dengan progress (kemajuan dan
perubahan). Padahal pihak progres yang didukung dan dimotori oleh
sains dan teknologi, yang dengan daya tariknya sedemikian
memikatnya, betapapun pasti berada pada posisi yang lebih kuat,
karenanya wajar apabila pihak tradisionalis mencari benteng pertahanan
termasuk dengan cara memanfaatkan tradisi itu sendiri.
Bagi masyarakat modern, tradisi sebagai khazanah budaya klasik
cenderung diabaikan. Hal ini akibat pola pikir mereka yang rasional dan
sikap individual dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan.
22
Tuntutan adanya pembaruan sosial mengakibatkan tradisi yang memang
identik dengan lokalitas sulit untuk dipertahankan.23
B. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat, perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga
merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat
perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta
seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua,
sehingga setelah menikah keduanya dapat hidup rukun.24
Perkawinan merupakan sebuah fase peralihan kehidupan manusia dari
masa remaja ke dalam masa berkeluarga. Peristiwa tersebut sangat penting
dalam proses pengintegrasian manusia didalam alam semesta ini. Masyarakat
Jawa dalam proses perkawinan selalu melakukan berbagai upacara untuk
memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan erat dengan kepercayaan.
Siklus hidup manusia yang meliputi masa kelahiran, perkawinan, dan
kematian mendapat perhatian dengan melakukan upacara khusus. Tujuannya
adalah memperoleh kebahagiaan lahir batin, setelah mengetahui hakekat
sangkan paraning dumadi atau dari mana dan ke mana arah kehidupan.
Dalam hal ini, puncak pribadi manusia ditandai oleh kemampuannya dalam
mengendalikan diri sebagaimana tersirat dalam ngelmu kasampurnan yang
menghendaki hubungan selaras antara Tuhan dan alam.
Bagi masyarakat khususnya masyarakat Jawa, perkawinan bukan
hanya peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur
kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta
seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua,
hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia
sebagai suami istri sampai “kaken-kaken ninen-ninen” (istilah Jawa yang
23
Imam Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas, h. 116. 24
Imam Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas, h.122.
23
artinya sampai sang suami menjadi kakek dan sang istri menjadi nenek yang
bercucu-cicit).25
Midfedwil Jandra dalam “Jurnal Studi Islam Profetika” menjelaskan,
dilihat dari segi kebudayaan, perkawinan merupakan pengaturan tingkah laku
manusia yang berkaitan dengan tingkah laku seks-nya, sehingga seorang pria
dalam masyarakatnya tidak dapat bersetubuh dengan sembarang perempuan.
Selain itu Koentjoroningrat mengatakan bahwa perkawinan juga
mengandung makna lain, yaitu memberi hak dan kewajiban serta
perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi kebutuhan
manusia terhadap kawan hidupnya; memenuhi kebutuhan terhadap harta,
prestise dan status dalam masyarakatnya; dan bahkan pemeliharaan hubungan
baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu sering juga merupakan
alasan perkawinan.26
Menurut Murbangun dalam bukunya “Manusia Jawa”, biasanya
masyarakat Jawa selalu menganggap penting terhadap tiga fase dalam
kehidupan manusia; yakni saat kelahiran, perkawinan, dan kematian.27
Niels
Mulder mengatakan bahwa yang dimaksud orang Jawa adalah orang yang
bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa.28
Menurut Hazairin dalam bukunya “Rejang” mengemukakan peristiwa
perkawinan itu sebagai tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang
bertujuan menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.29
Tidak dapat
disangka bahwa ritual yang ada dalam adat merupakan suatu bentuk ekspresi
yang dilakukan oleh orang Islam, kegiatan tersebut sebagian berasal dari
25
Soerjono Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995), h. 122. 26
Wawan Susetya, Ngelmu Makrifat Kejawen „Tradisi Jawa Melepas Keduniawian
Menggapai Kemanunggalan‟, (Jakarta: PT Buku Kita, 2007), h. 65-66. 27
Wawan Susetya, Ngelmu Makrifat Kejawen „Tradisi Jawa Melepas Keduniawian
Menggapai Kemanunggalan‟, h. 61. 28
Djojosantosa, Pandangan Hidup Masyarakat Jawa, (Semarang: Aneka Ilmu, 1996), h.
3. 29
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, h. 122.
24
sumber yang belum jelas tetapi semua ritual tersebut memiliki nilai
keislaman.30
Dalam pandangan Islam Jawa, sebagaimana tersebut dalam serat
sasangkajati, salah satu tujuan perkawinan adalah sebagai pelaksanaan tata
susila, dalam rangka pemuliaan akan turunnya ruh suci menjadi manusia.
Perkawinan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang
sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali seumur hidup.
Kesakralan tersebut melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam
masyarakat Muslim Jawa yang sangat selektif dan hati-hati saat pemilihan
bakal menantu ataupun penentuan saat yang tepat bagi terlaksananya
perkawinan tersebut.31
Upacara khidmat pada pelangsungan perkawinan pada masyarakat
Jawa menyimpul paham dan kebiasaan dinamisme serta animisme. Oleh
karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya, maka
pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai
upacara lengkap dengan “sesajen-sesajennya”. Ini semua barangkali dapat
dinamakan takhayul, tetapi ternyata sampai sekarang hal-hal itu masih sangat
meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia dan oleh
karenanya juga masih tetap dilakukan dimana-mana.
Dalam melakukan aktifitas itu, mereka mengucapkan mantra-mantra
dimana mereka mengutarakan kehendaknya (gadhah pikajeng). Sebaliknya,
orang yang melakukan suatu upacara religi menyerahkan dirinya sepenuhnya
kepada makhluk-makhluk gaib yang lain, dan berdoa agar permintaannya bisa
terkabul (nyenyuwun).32
Dalam pandangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa,
perkawinan memiliki makna tersendiri yaitu, selain untuk mendapatkan
keturunan yang sah juga menjaga silsilah keluarga. Karena untuk pemilihan
30
Muhaimin Ag, The Islamic Tradition of Cirebon „Ibadat and Adat Among Javanesse
Muslims‟, (Jakarta: centre for research and development of socio religious affairs, 2004), h. 162. 31
Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h.
180. 32
Purwadi, Pranata Sosial Jawa, (Yogyakarta: Cipta Karya, 2007), h. 15.
25
pasangan bagi anaknya, orang tua akan memperhatikan bobot, bibit, dan
bebet. Oleh karena itu tujuan perkawinan menurut masyarakat Jawa adalah
untuk membentuk keluarga yang sah dari keturunan yang sah pula.
Perkawinan yang dipilih dengan tepat dapat pula mempertahankan
gengsi/martabat kelas-kelas didalam dan diluar persekutuan, dalam hal ini
perkawinan adalah urusan kelas.
Berbagai fungsi perkawinan itu bermanifestasi di dalam campur
tangan kepala-kepala kerabat (klan), orang tua, kepala-kepala desa dengan
pilihan kawin, bentuk perkawinan, upacara perkawinan. Perkawinan sebagai
peristiwa hukum harus mendapat tempatnya di dalam tata-hukum,
perbuatannya harus terang, para kepala persekutuan yang bersangkutan dalam
hal ini juga menerima imbalan jasa atas legalisasinya. Namun, meskipun
urusan keluarga, dan urusan kerabat, perkawinan itu tetap merupakan urusan
hidup pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut di
dalamnya.33
Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak
adalah berdasarkan keluarga, yaitu suatu unit terkecil yang dalam
keseluruhannya merupakan sebuah desa. Adapun sistem perkawinannya
disebut kawin bebas, artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang
hal itu diizinkan sesuai dengan kesusilaan setempat disepanjang peraturan
yang digariskan oleh agama.34
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan atau keibuan keibu-bapakan, untuk kebahagiaan
rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistim
keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa yang satu dan yang lain
berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan beragama yang dianut
berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-
33
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, h. 108. 34
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004),
h. 28.
26
beda diantara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, daerah yang satu
dan daerah yang lainnya berbeda, serta akibat hukum dan upacara
perkawinannya berbeda-beda.35
C. Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah bentuk yang paling sempurna dari kehidupan
bersama. Inilah pandangan ahli-ahli moral. Hidup bersama tanpa nikah
hanyalah membuahkan kesenangan semu atau selintas waktu. Kebahagiaan
hakiki dan sejati didapat dalam kehidupan bersama yang diikat oleh
pernikahan. Itulah sebabnya agama Islam menganjurkan pernikahan,
menggemarkan umatnya agar menyukai perkawinan itu.
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” menurut
Ahmad Azhar ialah: melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikat
diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-
cara yang diridhoi Allah.36
Menurut H. Sulaiman Rasjid dalam “Fiqh Islam” memberikan
ta‟rif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta saling menolong antara pria dan wanita yang
mana keduanya bukan muhrim.37
Sedangkan di dalam kitab-kitab fikih
klasik akan didapatkan suatu kesimpulan bahwa para ulama fikih
mendefinisikan suatu perkawinan sebagai halalnya hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan.38
35
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), Cet. Ke-3, h. 22. 36
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 8. 37
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,2005), h. 36. 38
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet.
Ke-1, h. 259.
27
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di
antaranya adalah:
و ح ح ا ر بى ث و ج اىر بع ز ز ص ا ل ي د ف ى ع بر اىش ع ض د ق ع ب ع ر ش اج اىز
39. وج بىر ث ح أ ر اى بع ز ز اص
Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary mendefinisikan:40
عقد زض طئ اىنبح شرعب . اثبحخ ح نبح أ ثيفظ ا41
Artinya: “Nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau
dengan kata-kata yang semakna dengannya.”
Definisi yang dikutip Zakiah Daradjat:42
اثبحخعق طئ د زض ب. ح ثيفظ اىنب عب ج أ اىزز أ
Artinya: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
seksual dengan lafaz nikah atau tazwij atau semakna dengan keduanya.”
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari
satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan.
Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun
pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada
umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian,
kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan
penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan
seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.43
39
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr, tt),
jilid 9, h. 6513. 40
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar‟iy, t.t),
juz 2, h. 30. 41
Sulaiman Al-Bujairami, Hasyiyah Al-Bujairami „Ala Al Khatib, (Damaskus: Dar Al-
Fikr, 1995), jilid 3, h. 356. 42
Zakiyah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), jilid 2, h.
37. 43
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana , 2008), Cet. Ke-3, h. 9.
28
Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi
yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:44
ب بىن حد ب رعب راح اى جو اىر د حو اىعشرح ث ق عقد ف حق
ب ع اججبد. ي
Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.”
Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum,
melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong
menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di
dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan
Allah SWT.45
2. Syarat dan Rukun Perkawinan
Dalam Islam perkawinan memiliki aturan dan mekanisme tertentu
sebagai syarat sah sebuah ikatan perkawinan. Syarat-syarat tersebut harus
dipenuhi ketika akad.
Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Rukun dan syarat mengandung arti yang sama dalam hal
pernikahan, keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam
pernikahan. Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syarat tidak boleh
tertinggal, artinya perkawinan tidak sah apabila rukun dan syaratnya tidak
ada.46
Oleh karena itulah, perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
44
Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, h. 37. 45
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 10. 46
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), Cet. Ke-1, h. 1.
29
rahmah perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan
disyaratkannya perkawinan tercapai.47
Pertama, wali. Dimaksud dan termasuk dalam kategori “wali”
disini adalah mereka yang memiliki kekuasaan atas anak dari keturunan
garis bapak kandung. Dalam pernikahan, kekuasaan itu hanya dimiliki
laki-laki, seperti orang tua laki-laki mempelai putri (bapak), kakek, paman
(baik dari pihak bapak/ibu), anak paman (sepupu), dan seterusnya.48
Seorang perempuan, anak-anak, budak, orang gila, atau fasik tidak bisa
menikahkan dirinya sendiri dan orang lain. Ia harus mendapat persetujuan
orang tuanya (wali).49
Pada awalnya yang disebut wali mencakup laki-laki dan
perempuan. Namun dalam nikah, wali adalah orang tua laki-laki.50
Wali
boleh diwakilkan pada orang lain. Seseorang yang tidak memiliki wali
maka boleh diwakilkan pada pejabat pemerintah (Wali Hakim). Hadits
yang menyebut nikah harus menghadirkan wali atau wakilnya adalah:
ش ى ث أل ل نبح بم ه د ع د ب 51.و بط ث ف ل ى ذ ر غ ي ع بح ن ب
Artinya: “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil. Jika nikah
tanpa memenuhi syarat tersebut maka nikahnya tidak sah.”(HR. Ibn
Hibban).
Kedua, dihadiri dua orang saksi. Syarat-syarat saksi haruslah
muslim. Disamping muslim, seorang saksi harus sehat mentalnya, sudah
baligh, merdeka, adil, dan laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi saksi
atau wali. Imam Malik tidak mensyaratkan adanya saksi dalam
pernikahan. Kecuali untuk pernikahannya diam-diam atau nikah sirri
47
Ahmad Rafiq, Hukum Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), Cet. Ke-3, h. 69-72. 48
Taqiyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Husayni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah
al-Ikhtishar (Vol. II), (Kediri: Ma‟had al-Islami al-Salafy, tt.), h. 51. 49
Mukti Ali, dkk, Fikih Kawin Anak (Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan
Usia Anak-anak), (T.tp: Rumak Kitab, 2005), h. 83. 50
Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuriy „ala ibn Qasim (Vol. II), h. 101. 51
Muhammad ibn Hibban, Shahih ibnu Hibban, jilid 9, (Beirut: Muassasah Risalah,
1998), h. 386.
30
(tidak dihadiri banyak orang), maka tetap dibutuhkan saksi. Selain Imam
Malik, ulama lain membolehkan pernikahan sirri asalkan dihadiri saksi.52
Ketiga, terdapatnya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan
itu sendiri.
Keempat, ijab-qabul (serah terima). Ijab-qabul harus menggunakan
kata-kata “al-inkah” (menikahkan) atau “al-tazwij” (menjodohkan) atau
terjemahan dari keduanya.
3. Hukum Perkawinan
Hukum asal perkawinan adalah jawaz/mubah (dibolehkan).
Namun, pada perkembangan selanjutnya tergantung pada faktor-faktor
yang memengaruhi, nikah bisa wajib, sunnah, makruh, bahkan haram.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah. Sementara al-
Zahiriyah (ahli zhahir) menyatakan wajib. Menurut Malikiyah, bagi
sebagian orang sunnah, sebagian lainnya mubah. Tergantung apakah ia
takut impoten atau tidak.53
Dalam bukunya H. Sulaiman Rasjid “Fiqh Islam” hukum
perkawinan ada lima:54
a) Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.55
b) Sunnat bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah
dan lain-lainnya).56
c) Wajib atas orang yang cukup belanja dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina).57
d) Makruh terhadap orang yang tidak mampu memberi nafkah.58
52
Abu al-Mawahib Abdul Wahab ibn Ahmad ibn Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra,
(Kediri: Ma‟had al-Islami al-Salafy, tt.), h. 33. 53
Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr: tt.), h. 2. 54
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: CV Sinar Baru, 1989), h. 355. 55
Perkawinan yang hukumnya mubah/jaiz (boleh) berarti perkawinan itu boleh
dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak
mendapat pahala dan tidak berdosa. 56
Perkawinan yang hukumnya sunnat berarti perkawinan itu lebih baik dilakukan
daripada ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. 57
Perkawinan yang hukumnya wajib berarti perkawinan itu harus dilakukan, jika
dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.
31
e) Haram bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang
dikawininya.59
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi
sebagian orang, sunnat untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk yang
lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas
seperti inilah yang disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak
mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas
tersebut, tetapi dalam mazhab Maliki tampak jelas dipegangi.60
Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum
asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi
pendapat ulama Syafi‟iyah.61
Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab, berdasarkan nash-
nash, baik Al-Qur‟an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan
kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun
demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta
tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat
dikenakan wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah.
4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbulah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarga.62
58
Perkawinan yang hukumnya makruh berarti perkawinan itu lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa. 59
Perkawinan yang hukumnya haram berarti perkawinan itu dilarang keras dilakukan,
jika dilakukan berdosa, dan jika tidak dilakukan mendapat pahala. 60
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 17. 61
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 18. 62
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 22.
32
Selain itu, perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.63
Sabda Rasulullah SAW:
عشر اىجبءح في ب ن اصزطبع جبة اغض ى اىش ج فب زز احص يجصر
ضزطع فعي ى جبء. ىيفرج ى فب 64را اىجبعخ() ثبىص
Artinya: “Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu diantara kamu
serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena
sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang
yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan
syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia
puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan
berkurang.” (Riwayat jama‟ah ahli hadits).
Sabda Rasulullah SAW:
جاع به. )را اىحبم أث داد( عبئشخ رز ثبى أرن اىضبء فب
Artinya: Dari „Aisyah: “Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu.”
(Riwayat Hakim dan Abu Dawud). 65
Sabda Rasulullah SAW:
ر ع اىعبص: ع بىحخ. )را ث رأح اىص زبعب اى ر خ زبع ب اىد
ضي(66
Artinya: Dari „Amru Ibnu Ash: “Dunia itu harta benda, dan sebik-baik
harta benda dunia adalah perempuan salehah.” (Riwayat Muslim).
Dalam pada itu, faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah
untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari
kebiasaan. Sebab seorang perempuan, apabila ia sudah kawin, maka
nafkahnya (belanjanya) menjadi wajib atas tanggungan suaminya.
Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak-cucu
(turunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak
berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung
63
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h. 348. 64
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, no. 5065, jilid 7, (Beirut: Dar
Thauq an-Najah, 1422 H), h. 3. 65
Abu Abdullah al-Hakim, Mustadrak „Ala as-Sahihain, (no. 2679, jilid 2), (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), h. 174. 66
Muslim bin al al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid 2, (Beirut: Dar Ihyatul
Turats al-„Arabi, tth), h. 1090.
33
jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab
kalau tidak ada perkawinan, tentu manusia akan menurutkan sifat
kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan
permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan
pembunuhan yang maha dahsyat.67
Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah
melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat
dikembangkan menjadi lima yaitu:68
a) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
e) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Demikianlah maksud perkawinan yang sejati dalam Islam.
Singkatnya untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga
untuk kemaslahatan masyarakat.69
Adapun hikmah perkawinan menurut Abdul Rahman Ghozali
dalam bukunya “Fiqh Munakahat”, secara singkat dapat disebutkan bahwa
hikmah perkawinan itu antara lain: Menyalurkan naluri seks, jalan
mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapaan dan
keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban
dalam rumah tangga dan menjalin silaturrahmi antara dua keluarga, yaitu
keluarga dari pihak suami dan keluarga dari pihak istri.70
67
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h. 349. 68
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 24. 69
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h. 349. 70
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 72.
34
D. Pengertian Walimatul ‘Urs
1. Pengertian Walimatul ‘Urs
Walimah اىىخ artinya al-jam‟u= kumpul, sebab antara suami dan
istri berkumpul. Walimah berasal dari kata Arab: اىى artinya makanan
pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam
acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu
undangan atau lainnya.71
Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu
berkumpul suami istri, sedangkan walimah menurut istilah, yaitu khusus
tentang makan dalam acara pesta perkawinan.72
Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau
sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau
sesudahnya. Bisa juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
Menurut riwayat Bukhari, Nabi mengundang walimah pada
perkawinan beliau dengan Zainab sesudah terjadi hubungan suami istri.73
Dan apabila mengadakan walimah, maka hendaklah yang
diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa
memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang
dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak
diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jeleknya
makanan. Karena Rasulullah Saw bersabda: 74
حت ى أ ثب ب, ب دع اى ب, أ ر عب خ, ى اى طعب صر
ى اىدع رص ح, فقدعض ا للا .75
71
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.
149. 72
Mustofa Dibul Bigha, Fiqh Syafi‟i, (Sawahan: CV Bintang Pelajar, 1984), h. 382. 73
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 50. 74
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h. 517. 75
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (no. 5177, jilid 7), (Beirut: Dar
Thauq an-Najah, 1422 H), h. 25.
35
Artinya: “Sejelek-jeleknya makanan adalah makanan walimah dimana
yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya
sementara orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari).
2. Dasar Hukum dan Hikmah Walimatul ‘Urs
Melangsungkan walimah „urs hukumnya sunnah, karena Nabi
Muhammad Saw menyuruh Abdurrahman bin Auf agar mengadakan
walimatul „urs saat menikah, yaitu beliau bersabda kepadanya:76
ثشبح ى أى77
Artinya: “Adakanlah walimah walaupun dengan seekor domba.”
Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah
dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah
terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan
dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahukan
terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari
menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.78
Sedangkan Tihami dan Sohari Sahrani mengatakan bahwa hikmah
dari diadakannya walimatul „urs ada enam yaitu:
a) Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
b) Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
c) Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
d) Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
e) Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah
f) Sebagai pengumuman bagi masyarakat bahwasanya antara kedua
mempelai telah resmi menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak
curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.79
76
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah,
(Jakarta: Akbar Media, 2009), h. 234. 77
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid 3, (Beirut: Dar Thauq an-
Najah, 1422 H), h. 52. 78
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
157. 79
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 151.
36
3. Hukum Memenuhi Undangan Walimatul ‘Urs
Menghadiri undangan orang yang mengundang dalam acara
walimah pernikahan hukumnya wajib bagi yang diundang, karena
memenuhi undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak
yang mengundang, memberikan kegembiraan kepadanya dan membuat
hatinya lega. Sebagaimana dasar hukumnya adalah:
Ibnu Umar ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
خ, فيأ رب ى اى أحدم اذا دع
Artinya: “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke acara walimah,
hendaknya dia memenuhi undangan itu.” (HR. Al-Bukhari).80
Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
ى رص ح, فقدعص ا للا ع ررك اىد
Artinya: “Siapa yang meninggalkan undangan, maka dia telah menantang
Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari).81
Abu Hurairah ra. berkata kepada Rasulullah Saw. bersabda:
ذراع, ىقجيذ أى د أ ى ذ أى مرع, دع ى
Artinya: “Seandainya aku diundang pada hidangan berupa kaki bagian
bawah (yang sedikit dagingnya), niscaya aku memenuhi (undangan itu).
Dan seandainya aku diberi hadiah berupa kaki bagian depan, niscaya aku
menerima.” (HR. Bukhari).82
Jika undangan itu bersifat umum dan tidak terbatas pada satu orang
atau sejumlah orang saja, maka undangan tidak wajib dipenuhi dan tidak
pula dianjurkan untuk dipenuhi.
Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan hukumnya
fardhu kifayah. Pendapat lainnya dikatakan, memenuhi undangan walimah
hukumnya sunnah. Pendapat pertama lebih tepat, karena penentangan tidak
dinyatakan kecuali terkait pengabaian kewajiban. Hal ini berkaitan dengan
walimah pernikahan.
80
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (no. 5173, jilid 7), (Beirut: Dar
Thauq an-Najah, 1422 H), h. 24. 81
Muhammad ibn Imail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (no.5177, jilid 7), (Beirut: Dar
Thauq an-Najah, 1422 H), h. 25. 82
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid 3, (Beirut: Dar Thauq an-
Najah, 1422 H), h. 153.
37
Adapun memenuhi undangan selain walimah pernikahan,
hukumnya adalah sunnah bukan wajib, menurut mayoritas ulama.
Sebagian pengikut mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hukum memenuhi
undangan apapun adalah wajib secara mutlak.83
83
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 513-514.
38
BAB III
PROFIL DESA SIBRAMA KECAMATAN KEMRANJEN KABUPATEN
BANYUMAS
A. Letak Geografis
Penelitian ini dilakukan di Desa Sibrama. Pertimbangan pemilihan
lokasi tersebut berdasarkan tinjauan deskriptif, dimana masih dirasakan
adatnya kental dengan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan.
Secara geografis Desa Sibrama adalah sebuah desa di Kecamatan
Kemranjen, Kabupaten Banyumas, yang secara astronomis terletak antara 7‟
15‟ 05” – 7‟ 37‟ 10” Lintang Selatan dan antara 108‟ 39‟ 17” – 109‟ 27‟ 15”
Bujur Timur.1 Desa ini terletak pada wilayah selatan jalur alternatif
transportasi darar (Jakarta-Yogyakarta), dan termasuk dalam wilayah
teritorial Provinsi Jawa Tengah. Dengan batas-batas wilayah:2
Tabel 1.1
Batas Wilayah Desa
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
Sebelah utara Kecila Kemranjen
Sebelah selatan Sibalung Kemranjen
Sebelah timur Kedungpring Kemranjen
Sebelah barat Kecila Kemranjen
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
Desa Sibrama terbagi dalam 6 Pedukuhan/Dusun/Grumbul kecil yaitu;
Dusun Orimalang, Dusun Pesewan, Dusun Sibrama Lor, Dusun Sibrama
Kidul, Dusun Siduren (Nusa Duren) dan Dusun Sitape (Nusa Tape). Adapun
luas wilayah Desa Sibrama adalah 278,5 ha/m2. Dengan luas tanah sawah
1 BPS, Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2016, (Banyumas: BPS Kabupaten
Banyumas, 2016), h. 3. Diakses pada tanggal 26 November 2016 di
https://banyumaskab.bps.go.id/ 2 Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 2.
39
tadah hujan/rendeng 170 ha/m2. Luas tanah pemukiman 105,5 ha/m2, luas
tanah kuburan 2 ha/m2, dan lain sebagainya.3
Tabel 1.2
Luas Wilayah Menurut Penggunaan
Luas pemukiman 105,5 ha/m2
Luas persawahan 170 ha/m2
Luas perkebunan _
Luas kuburan 2 ha/m2
Perkantoran 0,0414 ha/m2
Luas prasarana umum lainnya 0,947 ha/m2
Total luas 278,5 ha/m2
Sumber: Buku Profil Desa Tahun 2015
Pemerintah Desa Sibrama dipimpin oleh seorang Kepala Desa, sejak
tahun 2013 sampai sekarang Desa Sibrama di pimpin oleh Ibu Wagiah.4 Desa
Sibrama berada ditenggara kota Kecamatan Kemranjen, dengan jarak tarik
lurus 2 Km sedangkan 5,4 Km berkendara menggunakan roda dua maupun
empat. Sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten 35 Km, lama jarak tempuh ke
ibukota kabupaten dengan kendaraan bermotor kurang lebih 1 Jam waktu
perjalanan, dan 225 Km jarak ke ibukota provinsi.5
Desa Sibrama berada di dataran rendah dengan dikelilingi sejumlah
sungai alami maupun sodetan/kanal irigasi. Desa Sibrama dibelah oleh sungai
yang cukup besar yaitu Sungai Samarta, salah satu anak Sungai Gatel yang
kemudian mengalir ke Sungai Ijo menuju laut. Desa Sibrama juga dilintasi
jalur kereta api disebelah selatan wilayah desa.6
3 Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 2.
4 Wagiyah, Kepala Desa Sibrama (tahun jabatan 2013-2018).
5 Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 4.
6 Desa Sibrama, diakses pada tanggal 26 November 2016
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sibrama,_Kemranjen,_Banyumas.
40
B. Kondisi Penduduk
Desa Sibrama merupakan salah satu desa dari 15 desa yang ada di
Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas dengan jumlah penduduk 2.883
jiwa yang terdiri dari 1.445 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 1.438 jiwa
berjenis kelamin perempuan, dengan jumlah kepala keluarga 738 kk.7
Tabel 1.3
Potensi Sumber Daya Manusia
Jumlah Laki-laki 1.445 orang
Jumlah Perempuan 1.438 orang
Jumlah Total 2.883 orang
Jumlah Kepala Keluarga 738 kk
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
C. Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan data yang telah diperoleh, secara garis besar masyarakat
Desa Sibrama merupakan masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian
menengah kebawah. Hal ini terlihat dari ragam profesi yang digeluti oleh
masyarakat desa tersebut, dimana sebagian besar dari keseluruhan jumlah
penduduknya masih tergantung pada kegiatan-kegiatan agraris yang
mayoritas berprofesi sebagai petani, buruh tani dan pedagang. Hasil bumi
Desa Sibrama umumnya kelapa, padi serta sayur mayur. Selain itu terdapat
peternakan ayam, bebek serta ikan.8
Tabel 1.4
Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan
Jumlah keluarga yang memiliki tanah pertanian 673 keluarga
Tidak memiliki 63 keluarga
Jumlah total keluarga petani _
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
Selain mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan masyarakat
di Desa Sibrama banyak yang memiliki keahlian lain untuk menyumbang
7 Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 17.
8 Desa Sibrama, diakses pada tanggal 26 November 2016
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sibrama,_Kemranjen,_Banyumas.
41
pemasukan ekonominya, seperti tukang kayu, tukang batu, penjahit dan lain
sebagainya. Menurut data yang telah diperoleh di Desa Sibrama jumlah
penduduk menurut profesi sebagai berikut:9
Tabel 1.5
Usaha Jasa Keterampilan
Usaha Jasa Keterampilan Jumlah Jumlah jenis
produk yang
diperdagangkan
Jumlah
tenaga kerja
yang terserap
Tukang Kayu 21 orang 24 jenis 24 orang
Tukang Batu 16 orang 16 jenis 16 orang
Tukang Jahit/Bordir 4 orang 4 jenis 4 jenis
Tukang Cukur 2 orang 2 jenis 2 jenis
Tukang Service
Elektronik
2 orang 2 jenis 2 orang
Tukang Besi _ _ _
Tukang Gali Sumur 2 orang 2 jenis 2 orang
Tukang
Pijat/Urut/Pengobatan
5 orang 5 jenis 5 orang
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama 2015
D. Kondisi Pendidikan
Secara garis besar, kesadaran masyarakat Desa Sibrama tentang
pentingnya sebuah pendidikan semakin bertambah dari waktu ke waktu. Hal
ini terlihat dari semakin banyaknya masyarakat yang menyekolahkan putra-
putrinya ke lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal dengan
penuh antusias. Dewasa ini, tingkat pendidikan formal yang ada dan
ditempuh oleh masyarakat Desa Sibrama semakin berkembang, mulai dari
tingkat TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA sampai Perguruan
Tinggi, menurut data yang telah diperoleh di Desa Sibrama jumlah penduduk
menurut tingkat pendidikan sebagai berikut:
9 Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 33.
42
Tabel 1.6
Pendidikan
Tingkatan Pendidikan Laki-laki Perempuan
Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 17 orang 16 orang
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play Group 16 orang 13 orang
Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 27 orang 22 orang
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 17 orang 16 orang
Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah _ _
Usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak tamat 16 orang 11 orang
Tamat SD/sederajat 45 orang 42 orang
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 11 orang 10 orang
Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 22 orang 20 orang
Tamat SMP/sederajat 25 orang 34 orang
Tamat SMA/sederajat 63 orang 53 orang
Tamat D-1/sederajat 3 orang 4 orang
Tamat D-2/sederajat 10 orang 11 orang
Tamat D-3/sederajat 13 orang 11 orang
Tamat S-1/sederajat 17 orang 15 orang
Tamat S-2/sederajat 2 orang _
Tamat S-3/sederajat _ _
Tamat SLB _ _
Jumlah 304 orang 278 orang
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
Terlihat dari data diatas bahwa Desa Sibrama sangatlah potensial dari
segi pendidikan. Walaupun kebanyakan dari pada orang tua disana tidak
melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, akan tetapi
perhatian masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka
sangatlah besar, demi mencapai hidup yang lebih baik.
Melihat dari penduduk desa yang memberikan perhatian lebih
terhadap pendidikan, pemerintah Desa Sibrama juga memberikan fasilitas
sarana pendidikan dan lembaga pendidikan yang statusnya sudah terdaftar
43
dan terakreditasi oleh swasta dan juga pemerintah serta tenaga pengajar yang
cukup berpotensi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data yang telah
penulis dapatkan dari pemerintah Desa Sibrama. Lembaga pendidikan yang
ada di Desa Sibrama terbagi menjadi dua yaitu, pendidikan formal dan
pendidikan formal keagamaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari data
dibawah ini:10
Tabel 1.7
Sarana Pendidikan
Sarana Pendidikan Jumlah
Gedung SMA/sederajat 1 buah
Gedung SMP/sederajat 1 buah
Gedung SD/sederajat 3 buah
Gedung TK/sederajat 3 buah
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
E. Kondisi Keagamaan
Desa Sibrama dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini
terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa 100% dari keseluruhan jumlah
penduduk memeluk agama Islam.11
Di Desa Sibrama terdapat 2 Masjid dan
20 Mushola sebagai fasilitas keagamaan.12
Tabel 1.8
Agama/Aliran Kepercayaan
Agama Laki-laki Perempuan
Islam 1.445 orang 1.435 orang
Jumlah 1.445 orang 1.435 orang
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
10
Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 18. 11
Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 19. 12
Buku Profil Desa Sibrama, tahun 2015, h. 41.
44
Tabel 1.9
Prasarana Peribadatan
Jumlah Masjid 2 buah
Jumlah Langgar/Surau/Mushola 20 buah
Sumber: Buku Profil Desa Sibrama Tahun 2015
Masyarakat Desa Sibrama merupakan masyarakat pemeluk agama
Islam seluruhnya, sehingga mereka menjunjung tinggi kekompakan dan
kerukunan sesamanya. Hal ini menjadi kelebihan bagi masyarakat Desa
Sibrama, karena dengan penduduk yang homogen dalam artian memiliki
agama yang sama, maka mereka akan dengan mudah menjunjung nilai-nilai
keagamaan dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Hal ini
dibuktikan dengan adanya acara rutinan keagamaan yang dilaksanakan
masyarakat setempat, moment tersebut memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk lebih sering bertemu, silaturrahim dan bersosialisasi satu
sama lain. Adapun rutinan keagamaan tersebut adalah sebagai berikut:
pengajian (ceramah agama), yasinan, tahlilan, muslimatan, dan lain-lain.
Kegiatan-kegiatan keagamaan ini dilakukan secara rutin, baik yang bersifat
harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan dengan tujuan meningkatkan
ukhuwah Islamiyah dan keakraban antara tetangga atau kerabat.
F. Kondisi Budaya
Masyarakat Desa Sibrama selalu mengindahkan tradisi yang telah ada
di tengah-tengah mereka, termasuk juga dalam mempertahankan tradisi
Begalan, yaitu tradisi yang di lakukan masyarakat Banyumasan khususnya
masyarakat Desa Sibrama sebelum prosesi akad nikah atau saat acara
walimah bagi calon pengantin perempuan yang dalam silsilah keluarga
menjadi anak sulung atau anak perempuan pertama kali yang menikah dalam
keluarga. Dimana tradisi ini merupakan budaya khas Banyumas yang
didalamnya terdapat banyak fungsi. Di antara fungsi Begalan adalah sarana
ruwat atau sebagai sarana untuk tolak bala.
Kepedulian masyarakat Desa Sibrama terhadap tadisi setempat
memberikan satu labelisasi bahwasanya masyarakat Desa Sibrama bisa
45
dikatakan sebagai masyarakat tradisional, tetapi masyarakat Desa Sibrama
kurang memperhatikan dalam mengamalkan tradisi lokal atau tidak tahu
apakah tradisi tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Hal ini karena,
dalam tradisi ini mementaskan ritual yang disinyalir sebagian orang tidak
berdasarkan ajaran Islam.
Dalam pengamalan tradisi, yang terpenting bagi masyarakat Desa
Sibrama adalah bisa melestarikan dan rasa puas yang didapat dalam
mematuhi tradisi tersebut. Bagi masyarakat Desa Sibrama, tradisi yang
selama ini di lestarikannya adalah merupakan ciri khas dari daerah mereka
yang tentunya memiliki nilai yang sangat positif dan merupakan kebanggaan
tersendiri bagi mereka, karena dalam situasi yang sudah bisa dikatakan
moderen yang penuh dengan arus globalisasi ini, masyarakat Desa Sibrama
masih bisa dalam mempertahankan tradisi lokalnya.
Masyarakat Desa Sibrama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial,
ini bisa dilihat dengan antusiasme mereka dalam bantu-membantu serta bahu-
membahu maupun bergotong-royong disaat yang lain membutuhkan.
Menjujung tinggi nilai-nilai sosial dikalangan masyarakat Desa Sibrama
sudah mengakar dan sudah tertanam sejak dahulu kala sehingga telah menjadi
kebudayaan tersendiri dikalangan mereka.
Membahas tradisi atau budaya tidak dapat dilepaskan pembahasan
tentang kepercayaan yang menjadi pandangan hidup masyarakat Desa
Sibrama. Budaya tradisi yang masih membumi di tengah-tengah masyarakat
Desa Sibrama adalah:
a) Tradisi Begalan dalam perkawinan adat Banyumas, adalah sebagai sarana
slametan atau sebagai sarana untuk tolak bala.
b) Calung, merupakan musik tradisional dengan perangkat mirip gamelan
terbuat dari bambu wulung.
c) Ebeg, kesenian kuda lumping.
d) Karawitan Gagrag Banyumas, gaya dalam karawitan Jawa.
e) Kentongan Banyumasan, seni petunjukan tradisional yang terbuat dari
bambu atau kayu. Kentongan merupakan kesenian asli dari Banyumas.
46
f) Lengger, seni pertunjukan tradisional yang dilakukan penari wanita.
g) Slawatan Jawa, musik bernafas Islami dengan iringan perangkat
terbang/genjring Jawa.
h) Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis pertunjukan wayang kulit
yang bernafas Banyumas.
47
BAB IV
TRADISI BEGALAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tradisi Begalan
Begalan merupakan tradisi adat pernikahan orang Jawa Banyumasan
(Karesidenan Banyumas)1 dimana Begalan digunakan untuk memberikan
nasihat kepada pengantin baru. Adat Begalan merupakan adat asli orang
Banyumas yang tidak sembarangan pasangan dapat menyelenggarakan tradisi
ini. Begalan adalah satu dari sekian banyak tradisi yang diwariskan secara
turun-temurun oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah. Begalan menjadi bagian dari adat yang dilakukan dalam rangkaian
resepsi pernikahan. Pelbagai makna-makna dan pesan bagi masyarakat
terkandung pada tradisi ini.2 Dengan iringan gendhing-gendhing Banyumasan
mereka melakukan dialog-dialog yang cukup seru dan penuh banyolan,
sindiran (kritik) dan nasihat-nasihat.3
Begalan, secara bahasa berasal dari kata begal (Jawa) yang berarti
perampok. Sementara itu, perampok berarti pelaku kejahatan yang
pekerjaannya merampas barang-barang milik orang lain. Perampasan yang
dilakukan oleh pembegal biasanya dilakukan secara terang-terangan di mana
korbannya dalam keadaan sadar atau dalam istilah Jawa disebut mbegal.4
Sebagaimana catatan Supriyadi,5 istilah Begalan dalam tradisi Wong
Banyumas6 tidak merujuk pada makna perampasan barang-barang milik
1 Banyumas, pada masa lalu merupakan wilayah administratif Karesidenan, yang terdiri
dari Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara. Pada empat Kabupaten ini,
tampil dalam sebuah komunitas budaya yang cukup ekstrem bila dibandingkan dengan eks
karesidenan-karesidenan di Jawa Tengah. http://www.koran-jakarta.com/mencermati-kebudayaan-
lokal-banyumas/ di akses pada tanggal 13 Februari 2018. 2 http://ensiklo.com/2014/08/30/mengenal-tradisi-begalan-masyarakat-banyumas/ di akses
pada tanggal 13 Februari 2018. 3 M. Koderi, BANYUMAS Wisata dan Budaya, (Purwokerto: CV. METRO JAYA, 1991),
Cet. Ke-1, h. 53. 4 Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 87.
5 Supriyadi, Begalan, h. 6.
48
orang lain, apalagi mencelakakannya. Tetapi, justru menjaga dari gangguan
pengaruh roh-roh jahat. Jadi Begalan adalah salah satu syarat atau
krenah/pengruwat7 guna menghindari kekuatan-kekuatan gaib yang dapat
mengganggu dan mengancam keselamatan terutama pada kedua mempelai
pengantin.
Tradisi Begalan muncul sejak zaman Adipati Wirasaba. Menurut
tradisi lisan yang berkembang di Banyumas, Begalan dilakukan ketika
Adipati Wirasaba mengawinkan anaknya dengan putra Adipati Banyumas.
Kejadian tersebut bertepatan dengan pageblug (wabah), untuk menahan dan
menolaknya maka harus diadakan sesaji atau krenah yaitu dengan
diadakannya Begalan.
Menurut bapak Sudarto selaku juru Begal mengatakan pengertian dari
tradisi Begalan adalah “Begalan itu intinya adalah budaya peninggalan jaman
dulu, menurut cerita sejarah Banyumas waktu itu Bupati Banyumas berhajat
menikahkan anaknya atau besan dengan Bupati Purbalingga. Menurut singkat
cerita di tengah perjalanan ada begal (rampok). Sehabis di begal waktu itu
jamannya masih keramat, lidahnya masih lidah emas, ampuh sampai-sampai
Bupati Banyumas (R. Jaka Kaiman8) berpesan atau berwasiat kepada anak
turunannya agar setiap mengawinkan anaknya hendaklah diadakan Begalan”.9
Setelah itu akhirnya tradisi Begalan ini dibudayakan khususnya di daerah
Banyumas. Uniknya tidak setiap menjodohkan anaknya harus menggunakan
Begalan, tetapi hanya pada perkawinan anak sulung dengan anak sulung,
6 Wong Banyumas, sebutan yang seringkali mengingatkan pada sebuah komunitas yang
memiliki bahasa ngapak-ngapak atau bahasa panginyongan. Masyarakat yang menggunakan
Bahasa Jawa dengan dialek khas yang banyak menyebut akhir berkonsonan /a/ dengan apa adanya.
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 58. 7 Istilah ruwatan sangat terkenal dalam budaya Jawa, terutama masyarakat yang
menganut kepercayaan Kejawen atau sinkretis. Biasanya ruwatan dilakukan dengan ritual
nanggap wayang dengan lakon ruwatan (kisah) tertentu. Tidak setiap dalang dapat atau berani
meruwat. 8 R. Jaka Kaiman merupakan pendiri pertama Kabupaten Banyumas yang kemudian
dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat. 9 Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB.
49
anak sulung dengan anak bungsu, dan anak bungsu dengan anak bungsu.
Dalam hal ini Begalan berfungsi sebagai ruwatan.
Sedangkan asal usul Begalan menurut bapak Latif yang saat ini masih
aktif menjadi juru Begal yang berperan sebagai Suro Langu dengan pasangan
lawan mainnya pak Sudarto sebagai Suro Genthong. Tidak jauh berbeda
dengan apa yang di katakan oleh pak Sudarto, menurut pak Latif asal usul
Begalan adalah “menurut cerita dulu Bupati Banyumas besanan dengan
Bupati Purbalingga, anak sulung dengan anak bungsu, dalam perjalanan ke
Banyumas istilahnya ngunduh mantu, para rombongan di begal (rampok),
yang merampok bernama Suro Langu dan yang membawa barang-barang
yang di rampok bernama Suro Genthong. Dari kejadian tersebut maka Bupati
Banyumas berpesan kepada tujuh turunannya: besok kalau anak cucuku
berumah tangga, anak bungsu dengan anak sulung hendaklah di adakan
Begalan.”10
Menurut bapak Latif tradisi Begalan ini mengalami perubahan seiring
berjalannya waktu, yang sebenarnya hanya untuk anak bungsu dengan anak
sulung tetapi sekarang ada juga anak sulung dengan anak sulung, anak
bungsu dengan anak bungsu. Seumpama anak tengah-tengah dengan anak
bungsu atau sulung kalau ada yang pakai Begalan ya tidak apa-apa.
Menurut bapak Mad Sukemi alias Simin berbeda pendapat dengan apa
yang diungkapkan oleh bapak Sudarto dan bapak Latif, menurut bapak
Sukemi asal-usul Begalan adalah “Begalan asal usulnya adalah sejarah,
sejarah Wonosobo dengan Purbalingga. Dimana, Bupati Wonosobo berhajat
menikahkan putri bungsunya bernama Endang Sulastri dengan putra Bupati
Purbalingga, tetapi Endang Sulastri tidak menyukai putra Bupati Purbalingga
tersebut. Akhirnya pernikahan di batalkan. Setelah mendengar kabar putri
Bupati Wonosobo menikah dengan orang lain, keluarga dari pengantin putra
tidak terima atas kejadian ini, akhirnya Bupati Purbalingga mengancam akan
membunuh penganten putri, dan mengutus Ki Joko Bodo untuk membunuh
10
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB.
50
putri Bupati Wonosobo tersebut. Pada saat jejeran, utusan tersebut
membunuh putri Wonosobo, tetapi takdir berkata lain dan sang putri selamat
dari pembuhan tersebut. Dari peristiwa inilah, maka Bupati Wonosobo
berujar dan menghimbau kepada anak keturunnya untuk mengadakan
Begalan. Maka dari itu tradisi Begalan yang mengadakan daerah Wonosobo
Purbalingga Banjarnegara Banyumas Cilacap, yang lain tidak melakukan
tradisi Begalan. Seumpama di luar daerah ini ada yang melakukan tradisi ini
biasanya ada garis keturunan keluarga dari Banyumas dan sekitarnya.11
Pengertian yang diusung pak Sukemi sangatlah berbeda dengan apa
yang dikatakan oleh pak Sudarto dan pak Latif pada lokasi atau daerah
kejadiannya. Pendapat pak Sukemi ini lebih condong kepada cerita
Banyumasan yang lain. Kalau menurut Penulis pak Sukemi nampak terlalu
melebar, cenderung kabur dalam mengartikan budaya ini yang kemudian
relatif melenceng dari nilai historisnya.
Menurut pak Sudarto12
mengapa asal usul tradisi Begalan berbeda-
beda karena tidak memiliki pakem atau relevansi yang signifikan. Hal ini
terdapat banyaknya perbedaan pendapat karena tidak adanya pembukuan
yang otentik.
Di sisi lain, menurut keluarga pengantin yang mengadakan tradisi
Begalan menyatakan bahwa tradisi Begalan merupakan tradisi turun-temurun
dalam masyarakat Banyumas.13
Isi dari tradisi Begalan tersebut adalah
dhagelan14
atau lelucon. Sedangkan tujuan dan fungsinya agar perkawinan
11
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 12
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 13
Hasil wawancara dengan Bapak Sodirun dan Ibu Sodiah (Keluarga Pengantin), di
kediamannya Rt 01 Rw 06 Desa Sibrama Kec. Kemranjen, Sabtu, Tanggal 04 Maret 2017, Pukul
19.30 WIB. 14
Menurut arti kata dhagelan artinya sama dengan lawak. Dhagelan bahasa Jawa
sedangkan lawak bahasa Indonesia. Namun dalam artian pertunjukan dhagelan berbeda dengan
lawak. Goenoprawiro, R. Soesanto, Lawak, teori dan praktek beserta liku-likunya, (Yogyakarta:
Proyek Javanologi, 1984), h. 97.
51
selamat sejahtera serta mendatangkan kebahagiaan bagi keduanya di
kemudian hari.
Menurut bapak Imam Chambali alias Dikun “setiap kali menikahkan
anaknya saya selalu mengadakan tradisi Begalan, karena kebiasaan ini
merupakan perwujudan dan kelakuan masyarakat Banyumas. Tujuan
utamanya adalah menasehati pengantin agar nantinya rukun dan damai.”15
Meskipun tradisi Begalan tidak diharuskan, tetapi masih ada orang
yang beranggapan bahwa tradisi Begalan harus dilakukan. Karena masih
adanya suatu kepercayaan apabila tidak melaksanakannya akan mendapat
petaka atau terancam dari pengaruh kekuatan ghaib.
Menurut Peneliti sendiri, pengertian tradisi Begalan maupun asal-
usulnya tidak memiliki relevansi yang signifikan. Hal ini terdapat banyaknya
perbedaan. Ketidak relevanan ini kebanyakan dari mereka terkait cerita di
dapatkan dari lisan ke lisan, maka dari itu adanya kekurangan dan kelebihan
dalam menggali asal-usul teradisi ini. Bahkan sering mengalami distorsi yang
kemudian melenceng dari pengertian atau sejarah aslinya.
B. Proses Pelaksanaan Tradisi Begalan dalam Upacara Perkawinan
Proses pelaksanaan tradisi Begalan dilaksanakan pada saat prosesi
perkawinan adat Jawa Banyumasan. Dalam proses pelaksanaannya ada
beberapa tahap yang dilakukan oleh juru Begal dalam menjalankan tugasnya,
dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat di ketahui proses pelaksanaannya
terbagi menjadi dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini juru Begal mempersiapkan segala sesuatu yang
digunakan dalam pementasan seperti brenong kepang, kostum, make up
dan lain sebagainya. Menurut Pak Latif dalam mempersiapkan barang
15
Hasil wawancara dengan Bapak Imam Chambali alias Dikun (Keluarga Pengantin), di
kediamannya Rt 02 Rw 07 Desa Sibrama Kec. Kemranjen, Senin, Tanggal 27 Februari 2017,
Pukul 14.00 WIB.
52
bawaannya (brenong kepang/uba rampe) tersebut adalah kewajiban
pengantin pria untuk memenuhinya.16
Menurut Ibu Minah selaku penjual peralatan dapur (abrag-abrag)
bahwa uba rampe/brenong kepang yang menyediakan adalah juru Begal.
Biasanya dari pihak pengantin pria sudah menitipkan uang kepada juru
Begal untuk membeli peralatan di pasar. Hal ini dimaksudkan agar dari
keluarga pengantin pria maupun pengantin wanita tidak merasa repot
karena harus membeli peralatan sendiri.17
Lain halnya dengan Pak Sodirun dan Ibu Sodiah, bahwa uba
rampe/brenong kepang yang menyediakan adalah pihak dari pengantin
wanita atau dari juru Begal, lalu pengantin pria yang mengganti uangnya.
Biasanya model yang seperti ini adalah keputusan saat musyawarah
keluarga.18
Menurut penuturan Pak Sudarto, bahwa alat-alat yang di
persiapkan dalam tradisi ini sebetulnya bisa ditambah atau dikurangi,
umumnya kan peralatan dapur, alat-alat lain biasanya sebagai tambahan
sesuai dengan permintaan dari pihak keluarga pengantin.19
Memang barang-barang yang disebut sebagai brenong kepang ini
sangat erat dengan kehidupan manusia di bumi, terutama bagi pengantin
yang akan menjalankan kehidupan baru.20
Sedangkan kostum yang dipakai sangat sederhana. Tidak menuntut
bahan-bahan yang mahal, warna-warna gemerlap ataupun model yang
aneka ragam. Mereka sebenarnya cukup mengenakan pakaian adat Jawa
saja. Kostum yang dipakai oleh juru Begal yaitu: Baju koko hitam, celana
komprang hitam, stagen dan sabuk, kain sarung dan ikat wulung (hitam).
16
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB. 17
Hasil wawancara dengan Ibu Minah (Penjual Abrag-abrag), di kediamannya Rt 01 Rw
08 Desa Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB. 18
Hasil wawancara dengan Bapak Sodirun dan Ibu Sodiah (Keluarga Pengantin), di
kediamannya Rt 01 Rw 06 Desa Sibrama Kec. Kemranjen, Sabtu, Tanggal 04 Maret 2017, Pukul
19.30 WIB. 19
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 20
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 98.
53
Adapun ikat kepala yang dipakai oleh kedua pemain itu dibuat berbeda
cara memakainya. Terkadang si pembawa barang ini memakai topi
kukusan. Si pembegal membawa pedang yang panjangnya hampir satu
meter. Make up nya pun sederhana. Dahulu mereka menggunakan langes
atau arang yang dihaluskan kemudian dicampur dengan minyak kelapa.
Campuran berwarna hitam ini untuk merias muka, membuat kumis,
cambang, alis dan lain-lain. Bahan lain yang diperlukan yaitu bedak dan
teres (sepuhan).21
Menurut Peneliti sendiri, tata rias yang digunakan oleh pemain
Begalan ini sangat sederhana, disesuaikan dengan karakter tokoh yang
dimainkan. Si pembawa barang berdandan rapi atau menggunakan pakaian
kejawen, sedangkan si pembegal berdandan lebih seram, persis seperti
tukang begal jaman dulu (pendekar). Hal ini dimaksudkan untuk
mendalami dan juga menambah mimik dalam tokoh masing-masing.
Setelah semua persiapan selesai dilakukan, acara Begalan siap dimulai.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini juru Begal berangkat ke rumah pengantin wanita
untuk merias diri dan berganti pakaian yang telah dibawanya. Mereka
datang satu atau dua jam sebelum acara di mulai. Mereka datang sebelum
acara untuk persiapan sebelum pentas agar nantinya lebih maksimal.
Pelaksanaan Begalan diadakan di halaman rumah mempelai
wanita. Dalam pengamatan lapangan yang dilakukan Peneliti di Sibrama
Kemranjen dapat teramati bahwa pelaksanaan Tradisi Begalan tidak
memerlukan panggung, cukup di halaman rumah mempelai wanita.
Menurut Pak Latif, Begalan dilakukan setelah akad nikah, pada
saat prosesi walimatul „urs. Pada saat itu, pengantin telah memakai baju
adat Jawa dan juru Begal telah berganti pakaian pentas beserta riasan
wajah lengkap. Semua peralatan Begalan sudah di siapkan.22
21
M. Koderi, BANYUMAS Wisata dan Budaya, h. 56. 22
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB.
54
Di sisi lain, Pak Sudarto menambahkan bahwa pelaksanaan
pertunjukan Begalan ini dilakukan pada pagi atau siang hari yaitu sekitar
jam sepuluh atau jam satu siang. Namun waktu pertunjukan biasanya
menyesuaikan dengan acara Panggih Penganten. Pertunjukan Begalan
sekitar satu jam. Pertunjukan Begalan juga tidak memerlukan tempat yang
luas, karena cukup dilaksanakan di halaman rumah mempelai wanita.23
Karena pertunjukan ini tidak berdasarkan lakon cerita, nama-nama
yang dipakai dalam Begalan antara grup satu dengan grup lainnya tidak
sama. Masing-masing grup bisa menciptakan pemain sendiri. Yang
penting nama itu mengandung pengertian atau nasehat. Nama-nama begal
dan yang dibegal misalnya Surantani dan Suradenta, Jaka Sengkala dan
Jaka Srana, Jaya dan Anggada.24
Dalam Penelitian ini, juru Begal dan yang dibegal bernama Suro
Genthong dan Suro Langu. Yang berperan sebagai Suro Genthong adalah
bapak Latif, dan yang berperan sebagai Suro Langu adalah bapak Sudarto.
Suro Genthong membawa barang bawaan bersama rombongan pengantin
pria dan berjalan pada barisan terdepan, mengikuti di belakangnya yakni
cucuk lampah, dan pengantin pria yang didampingi keluarganya.
Sedangkan juru Begal yang bernama Suro Langu alias Pak Sudarto
menunggu di depan rumah pengantin wanita sambil membawa pedang
wlira.
Suro Genthong sebagai pembawa brenong kepang berjalan dengan
memikul barang bawaan sambil berjoget tidak beraturan disertai musik
iringan khas Banyumasan. Alat musik yang digunakan boleh dengan
calung (musik dan bambu wulung atau dengan gendhing). Lagu yang
dibawakan adalah lagu-lagu Banyumasan, baik bagi lagu untuk calung
maupun untuk iringan gendhing.
23
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 24
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB.
55
Gendhing-gendhing Banyumasan yang digunakan untuk
mengiringi Begalan antara lain: Kricik-kricik, Gunungsari Kalibagoran,
Renggong Kulon, Pisang Balik dan Eling-eling Banyumasan.25
Pada saat iring-iringan pengantin pria sampai di halaman rumah
pengantin wanita, pengantin pria bersama keluarganya tidak langsung
masuk ke rumah pihak wanita. Pihak pengantin pria dihadang oleh wakil
pengantin wanita yang di sebut Suro Langu. Sesampainya di depan teras
rumah pengantin wanita, rombongan pengantin pria berhenti dan
kemudian Pembawa Acara (Pranoto Adicoro) memberikan waktunya
kepada juru Begal untuk memulai ritual Begalan.
Suro Genthong alias bapak Latif sebagai juru Begal membuka
acara untuk menyampaikan maksud Begalannya, dengan menyampaikan
sambutan kepada masyarakat yang hadir saat itu dengan maksud
menghormati dan meminta maaf apabila dalam pementasan Begalan
tersebut terdapat kesalahan.
Setelah sambutan selesai, ritual inti Begalan dimulai. Suro Langu
memberikan syarat kepada Suro Genthong, boleh masuk apabila Suro
Genthong bisa menjelaskan makna dari semua barang-barang yang
dibawa. Suro Genthong menyanggupi syarat tersebut. Di sinilah mulai ada
pertengkaran mulut atau tanya jawab kedua juru Begal tersebut. Semua
barang-barang yang dibawa (brenong kepang) ditanyakan artinya satu
persatu. Bahkan tarub dan janur yang melatar-belakangi arena pertunjukan
tidak luput dari pertanyaan. Jawaban inilah sebagai nasehat atau
penerangan bagi kedua mempelai sekaligus buat yang hadir. Dialog-dialog
itu memukau penonton karena disampaikan dengan gaya jenaka. Supaya
tidak monoton, di antara dialog-dialog atau tanya jawab diselingi gendhing
pisang balik.
Setelah semua barang-barang (brenong kepang) itu diterangkan
satu persatu, pertengkaran pun memuncak dan terjadilah peperangan.
Gendhing Renggong Kulon yang mengiringinya semakin memanaskan
25
M. Koderi, BANYUMAS Wisata dan Budaya, h. 56.
56
pertunjukan. Pada saat puncaknya Suro Langu sebagai juru Begal
mengayunkan pedang kayu (pedang wlira) tepat mengenai kendi dan
pecahlah kendi yang di bawa oleh Suro Genthong sebagai pembawa
brenong kepang. Segera berebutlah para penonton ikut mengambil barang-
barangnya. Selesai perebutan diakhiri dengan gendhing eling-eling yang
berarti selesai pula pertunjukan Begalan. Sedangkan pengantin
melanjutkan serangkaian upacara berikutnya.
C. Pemaknaan Simbol-simbol yang digunakan dalam Tradisi Begalan
Makna simbolik pada tradisi Begalan terkandung pada Brenong
Kepang. Brenong Kepang ini biasanya berisikan alat-alat kebutuhan dapur
yang biasa digunakan di pedesaan seperti : ilir, ian, cething, kukusan,
saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendil, dan
wangkring. Semua barang-barang brenong kepang ini merupakan perlambang
yang mengandung nasehat penting bagi pengantin. Lambang-lambang ini
diterjemahkan dalam bahasa dialog yang cukup jenaka. Dapat disebut di sini
arti dari lambang brenong kepang yaitu:
1. Ilir
Ilir adalah peralatan yang terbuat dari anyaman bambu berukuran
persegi lebih kurang panjang dan lebarnya 35 cm. Ilir ini selalu bertangkai,
biasanya ilir berguna sebagai kipas angin. Lambang ini mengandung arti
bahwa sepasang suami istri harus bisa membedakan yang baik dan yang
buruk. Apabila pikiran salah satu pengantin panas maka satunya lagi harus
bisa mendinginkan.
Menurut Pak Sudarto, Ilir (kipas) ialah gambaran orang yang
berkeluarga harus bisa mempunyai sifat seperti kipas. Bisa memberikan
rasa dingin. Dingin dalam artian tidak membesar-besarkan masalah.
Masalah sudah tentu ada, tetapi masalah segera diselesaikan.26
26
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB.
57
2. Ian
Ian yaitu anyaman bambu, yang panjang dan lebarnya sama satu
meter, biasanya untuk menaruh nasi. Peralatan ini juga syarat dengan
simbol, ian berbentuk persegi empat yang menggambarkan arah mata
angin.
Menurut Pak Latif, Ian diibaratkan tempat bumi berpijak. Memiliki
empat pojokan yang menggambarkan bahwa manusia hidup itu harus
memiliki patokan atau arah kiblat.27
3. Cething
Cething yaitu tempat nasi dari anyaman bambu mengandung arti
wadah. Bahwa kita hidup dalam wadah (negara, agama, organisasi) yang
memiliki tatanan hidup atau aturan-aturan tertentu, tidak bisa berbuat
semaunya sendiri.28
4. Kukusan
Kukusan, alat menanak nasi dari anyaman bambu. Melambangkan
bahwa setelah berumah tangga, cara berpikirnya harus lebih masak.29
Kukusan ini berbentuk kerucuk dan memiliki lima sudut, yang
melambangkan sholat lima waktu jangan sampai di tinggalkan.30
Menurut Bapak Latif, Kukusan adalah tempat menanak nasi, yang
sebelumnya berasnya hanya sedikit setelah di masak akan bertambah
banyak. Perlambang ini mengandung nasehat penting, bahwa pengantin
yang diberi bekal sedikit dari orang tua semoga setelah menikah bisa
bertambah banyak.31
27
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB. 28
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 29
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 30
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 31
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB.
58
5. Saringan Ampas
Saringan ampas (kalo) menggambarkan sebagai suami istri harus
bisa menyaring sesuatu yang baik dan yang buruk. Setiap ada berita yang
datang harus disaring atau harus hati-hati. Menyaring perbuatan maupun
perkataan. Harus berpikir sebelum bertindak. Harus dikontrol lagi pola
pikirnya, jangan sampai asal cemlong.32
6. Tampah
Tampah adalah alat yang terbuat dari anyaman bambu yang dibuat
dalam bentuk lingkaran. Tampah ini diibaratkan jagat. Melambangkan
bahwa kedua mempelai baru saja memasuki bahtera rumah tangga dan
semoga mendatangkan kebahagiaan bagi keduanya di kemudian hari.33
7. Sorokan
Sorokan, mengandung arti bahwa hidup berumah tangga harus bisa
menjaga diri dan jangan sampai sarak-sorok sama tetangga. Apalagi sudah
punya istri jangan sarak-sorok ke istri tetangga dalam istilah lain merebut
istri orang.34
8. Centhong
Centhong nasi, alat ini hingga kini masih memiliki nama yang
sama, hanya saja mengalami perubahan pada bahan pembuatannya.
Fungsinya untuk mengaduk-aduk agar rata. Dalam artian rizki yang di
peroleh suami harus bisa di olah oleh istri.
Menurut Bapak Mad Sukemi alias Simin, alat ini di gambarkan
seperti dayung untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Melambangkan
bahwa semestinya orang yang sudah berkeluarga (suami istri) diharapkan
jangan ada perselisihan. Sang suami tidak boleh sewenang-wenang
32
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 33
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 34
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB.
59
menurut kehendaknya. Bila ada perbedaan pendapat sebaiknya
dimusyawarahkan untuk mencapai titik temu.35
9. Siwur
Siwur dikenal oleh masyarakat dengan istilah gayung. Alat
penciduk air. Siwur ini diibaratkan kaweruh (ngangsu kaweruh) dalam
istilah bahasa Indonesianya yaitu mencari ilmu. Dalam artian, sepintar
apapun dia dan setinggi apapun dia dalam dunia pendidikan formal tetapi
harus bisa bergaul dengan masyarakat.36
Secara simbolis, siwur diturunkan dari kerata basa (semacam
akronim) yaitu asihe aja di awur-awur. Artinya, seseorang yang telah
menikah seharusnya tidak membagi-bagi cintanya. Dalam konteks
pernikahan, cinta hanya untuk pasangannya, bukan untuk yang lainnya.
Tidak mudah jatuh cinta kepada wanita lain bagi kaki pengantin, demikian
juga untuk nini pengantin.37
10. Irus
Irus biasanya digunakan untuk mengambil, mengaduk, atau
mencicipi sayur. Artinya seorang suami jangan mudah tergoda dengan
wanita lain. Ini adalah simbol ketamakan yang menyebabkan prahara
dalam rumah tangga. Jangan mudah tergoda dengan milik orang lain,
terlebih godaan kecantikan atau ketampanan istri atau suami orang lain.38
11. Ciri dan Muthu
Nama lain dari Ciri adalah cowek. Sedangkan secara nasional
nama benda ini adalah cobek. Benda ini tidak dapat berdiri sendiri. Dia
harus dibantu dengan benda lain yang bernama Muthu atau uleg-uleg.
35
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 36
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 37
Suwito NS, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 107. 38
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB.
60
Muthu atau uleg-uleg ini dapat terbuat dari batu. Biasanya kalau
cirinya terbuat dari tanah liat maka muthunya adalah kayu, sedangkan jika
cirinya terbuat dari batu , maka muthunya terbuat dari batu. Keduanya
harus seimbang atau memenuhi syarat kafaah dalam istilah fiqih. Jika
tidak, maka akan tidak seimbang dan akan cepat mengalami musibah,
yakni cirinya pecah, atau muthunya yang tidak efektif dalam menjalankan
tugas sebagai alat gerus.39
Menurut Bapak Sudarto, ciri dan muthu diibaratkan seperti orang
kekeluargaan, harus bisa bekerja sama yang bagus. Harus saling
mendukung satu sama lain untuk menciptakan keluarga yang sakinah
mawaddah dan warahmah.40
Ciri diibaratkan barang milik wanita,
sedangkan muthu diibaratkan barang milik pria.41
12. Parut
Parut atau serutan kelapa. Alat ini menggambarkan keuletan
seorang suami dalam mencari nafkah. Seorang suami harus bisa usaha atau
mencari rizki, apapun itu yang penting halal. Seorang suami diibaratkan
seperti parut, kesana kemari harus menghasilkan karena untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari.42
13. Pari
Pari (padi) juga menjadi “anggota” brenong kepang yang selalu
ada dalam tradisi Begalan. Biasanya padi yang masih ada merang (gagang)
nya. Biasanya juru Begal mengikatkan seuntai padi pada
wangkring/mbatan mereka.43
Menurut Bapak Sudarto, padi diibaratkan perilaku. Padi selagi
muda kelihatan tegak, tambah tua tambah berisi (merunduk). Dalam artian
39
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 111. 40
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 41
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB. 42
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB. 43
Suwito Ns, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 109.
61
ketika seseorang diberi kepandaian atau ilmu yang mumpuni, kekayaan,
dan pangkat kedudukan, hendaklah meniru padi, yaitu bisa bersikap
rendah hati. Dalam kata lain, padi yang semakin berisi akan semakin
merunduk.44
14. Kendil
Kendil merupakan alat yang terbuat dari tanah atau periuk yang
berukuran kecil, fungsinya untuk menanak nasi atau memasak sayur, dan
jamu.
Menurut bapak Latif, kendil merupakan gambaran orang hidup.
Terutama pengantin wanita. Kalau kendilnya bolong alias boros ya tidak
akan jadi apa-apa. Seorang istri harus bisa berhemat. Seberapapun
besarnya penghasilan suami kalau istrinya tidak bisa berhemat alias boros
tidak akan jadi apa-apa. Seorang istri harus bisa menabung.45
15. Wangkring
Wangkring, yaitu pikulan dari bambu. Filsafatnya adalah di dalam
menjalani hidup ini berat ringan, senang susah hendaknya dipikul bersama
antara suami istri. Yang dulunya masih bujangan belum punya beban,
setelah menikah harus punya tanggung jawab.46
Wangkring mempunyai empat kaki, menggambarkan ada dua
keluarga besan yang harus saling mendukung, guyub, rukun. Biar imbang
dipikul bersama-sama.47
Seterusnya masih banyak lagi nasehat-nasehat yang diterjemahkan
dari lambang-lambang dalam tradisi Begalan. Begitu halusnya perasaan
orang-orang terdahulu, sehingga cara menyampaikan nasehat atau petuah-
petuah itu diwujudkan dalam lambang-lambang tadi. Sayang sekali banyak
44
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 45
Hasil wawancara dengan Bapak Latif (Juru Begal), di kediamannya Rt 01 Rw 08 Desa
Sikanco Kec. Nusawungu, Jum‟at, Tanggal 15 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB. 46
Hasil wawancara dengan Bapak Sudarto (Juru Begal), di kediamannya Rt 02 Rw 05
Desa Sibalung Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 19 Desember 2017, Pukul 20.00 WIB. 47
Hasil wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin (Juru Begal), di kediamannya
Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kec. Kemranjen, Selasa, Tanggal 26 Desember 2017, Pukul 20.00
WIB.
62
orang yang tidak mengerti, sehingga sering terjadi kekeliruan bahwa
lambang-lambang itu seolah-olah mengandung kekuatan atau dapat
mendatangkan rejeki, ataupun berkah. Seolah-olah barang yang diperoleh
dari hasil Begalan dianggap membawa berkah atau rejeki yang banyak.
D. Hukum Tradisi Begalan menurut Perspektif Hukum Islam
Masyarakat muslim diatur perilakunya oleh hukum Islam, baik itu
yang berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik
fungsional hukum Islam terus-menerus membentuk struktur sosial
masyarakat muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya. Jika dikaji lebih
mendalam, hukum Islam mempunyai perbedaan dengan hukum yang ada di
masyarakat. Hukum Islam adalah peraturan yang didatangkan dari langit,
lewat kreasi intelektual para ulama fikih, dengan memahami pesan yang
tertulis dalam Al-Qur‟an maupun Sunah. Kreasi intelektual itu bersifat nisbi,
terkait dengan kemampuan nalar para ulama, sekaligus perubahan sosial yang
ada ketika Islam itu lahir.48
Berbicara mengenai hukum yang ada di masyarakat atau hukum adat,
jika ditinjau sesuai dengan kajian Ushul Fiqh, pertama, adat yang sesuai
dengan hukum Islam adalah adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima
oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan
budaya yang luhur. Kedua, adat yang tidak sesuai dengan hukum Islam
adalah adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,
namun bertentangan dengan agama, undang-undang dan sopan santun.49
Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam perbuatannya
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharatnya, atau unsur
manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya, serta adat yang pada
prinsipnya secara substansi mengandung unsur maslahat, namun dalam
pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk itu
dikelompokkan kepada adat yang shahih.50
48
Yayan Sofyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 12. 49
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), h. 392. 50
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 395.
63
Melihat dari penilaian baik dan buruknya, adat atau „urf terbagi
menjadi 2 macam, yaitu „urf shahih dan urf fasid. „Urf shahih ialah seuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara‟ juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang
wajib. Sedangkan „urf fasid yaitu apa yang telah saling dikenal oleh manusia,
akan tetapi bertentangan dengan syariat, atau menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib.51
Syariat Islam adalah syariat yang sempurna, perbuatan yang timbul
yang berkaitan dengan hukum adat biasanya dilandasi dengan kesadaran hati.
Bahwa pelaksanaan Begalan dalam upacara perkawinan adat Banyumas
tersebut adalah boleh dan tidak menyimpang dari syari‟at Islam dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Dalam ushul fiqih ada suatu kaidah yang menyebutkan انعادة محكمة
(bahwa adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum).52
Jadi, apabila
adat tersebut tidak melanggar dari syari‟at Islam dan juga tidak menjadikan
mudharat bagi yang melaksanakannya maka sah untuk dilakukan.
Alasan ulama menggunakan (penerimaan) mereka terhadap adat
tersebut adalah berdasarkan kepada hadits yang berasal dari Abdullah bin
Mas‟ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, ialah:53
ما رأه انمسهمىن حسنا فهى عند هللا حسه
Artinya: “Apa yang dipandang ummat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka
hal tersebut disisi Allah baik”.
Dari segi objeknya, Begalan termasuk ke dalam al-„urf al-„amali,
yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain. Begalan merupakan suatu tradisi berupa perbuatan,
walaupun dalam pelaksanaannya, Begalan menggunakan kata-kata untuk
51
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 105. 52
Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, terjemah Zaini Dahlan,
(Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), h. 40. 53
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2, h. 376.
64
menguraikan makna dari simbol yang mereka bawa, akan tetapi secara
keseluruhan Begalan merupakan perbuatan atau ritual.
Dari segi cakupannya, Begalan termasuk ke dalam al-„urf al-khash,
yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu. Dalam hal
ini Begalan merupakan tradisi khusus bagi masyarakat pada semua kalangan
di Banyumas.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, Begalan termasuk ke
dalam al-„urf al-shahih, yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash (ayat dan hadits), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
Begalan merupakan salah satu tradisi turun-temurun dalam
masyarakat Banyumas. Tradisi yang sudah barang tentu memiliki latar
belakang baik secara sosial, historis, bahkan religi atau sistem keyakinan.54
Pada dasarnya masyarakat Banyumas yang melaksanakan pernikahan
menggunakan tradisi Begalan, pernikahannya tetap sah selama rukun dan
syarat perkawinan terpenuhi, yakni adanya calon pengantin, ijab dan qabul,
wali nikah, dan dua orang saksi. Begalan sendiri dilaksanakan pada saat
prosesi walimatul „urs.
Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4
syarat dalam pengamalannya:55
a. Adat itu bernilai maslahat.
b. Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan tertentu.
c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.56
Suatu hukum yang dilakukan apabila tidak ada dalil yang
mengharamkan maka boleh untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah
fiqhiyah sebagai berikut: 57
54
Suwito NS, Islam Dalam Tradisi Begalan, h. 90. 55
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 74. 56
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 144.
65
االصم في االشياء االباحة حتى يدل اندنيم عهى انتحريم58
Artinya: “Hukum asal sesuatu boleh sebelum ada dalil yang
mengharamkannya”.
Atas dasar itulah bahwa ada kebiasaan yang berlaku di masyarakat
yang tidak melanggar kepada ketentuan syari‟at Islam dapat dijadikan suatu
pertimbangan sebagai sumber pengembalian hukum. Al-„urf dan al-adah yang
memiliki makna tradisi banyak menjadi dasar bagi beberapa permasalahan
fiqih. Jika tradisi bertentangan dengan syarak, maka yang didahulukan adalah
hukum syarak.
Dari kaidah diatas dapat dijadikan dasar, bahwa pelaksanaan tradisi
Begalan dalam perkawinan yang berlaku pada masyarakat dan tidak
melanggar ketentuan syariat dapat terus dijalankan selagi tidak melanggar
hukum-hukum atau kaidah-kaidah yang ada dalam ajaran agama Islam.
Adat dan kebiasaan boleh kita katakan mempunyai arti yang sama
menurut definisi Ibnu Majah “Syariah al Mughni”, adalah suatu pengertian
dari yang ada di dalam jiwa orang-orang berupa perkara-perkara yang
berulangkali terjadi yang bisa diterima oleh tabiat yang waras.
Dalam hal ini tidak sedikit masalah-masalah fiqhiyah yang bersumber
dari adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu terlebih-lebih
syari‟at hanya menentukan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan
dari segi nash itu sendiri maupun dari segi bahasa:
كم ما زرد بو انشرع مطهقا وال منابة نو فيو وال انهغة يرجع فيو انى انعرف 59
Artinya: “Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara secara mutlak tidak
ada pembatasan dalam syara ataupun dari segi bahasa maka dikembalikan
kepada „urf atau adat istiadat.”
Tradisi bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan selama tradisi itu
tidak bertentangan dengan syariat. Tradisi bukanlah sesuatu yang harus
dihapuskan hanya karena tidak terdapat pada masa Nabi sehingga
57
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 161. 58
Jalaluddin As-Suyuthi, Asybah Wa Al-Nazhair, (tt: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1990), h.
60. 59
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: Sa‟adiyah Putera,tt), Cet. Ke-1, h.
37.
66
pelaksanaannya dianggap bid‟ah dan bertentangan dengan Islam. Tradisi
harus dipandang sebagai sebuah ekspresi seni, luapan kegembiraan, dan
sebagai media komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi Begalan merupakan warisan budaya para sesepuh terdahulu
yang telah dikaji kemaslahatannya. Selama tradisi tersebut merupakan tradisi
yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat hukum Islam, tradisi dapat
terus berlanjut. Hal tersebut diperkuat dengan adanya kaidah pokok yang
menerangkan bahwa kebiasaan bisa dijadikan pertimbangan hukum.
Pada prinsipnya, tidak ada salahnya jika masyarakat mengikuti adat
atau tradisi suatu kaum. Islam datang tidak untuk memberantas tradisi yang
berlaku dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Bahkan Islam datang untuk mengkolaborasi tradisi dalam masyarakat ke
dalam nilai-nilai Islam. Seperti halnya tradisi Begalan yang dilakukan oleh
masyarakat Banyumas. Mereka melakukan tradisi yang sebelumnya tidak ada
dalam ajaran Islam.
Dilihat dari ungkapan di atas dapat dipahami makna seandainya
hukum Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam adat
Begalan, maka hukum agama yang lebih didahulukan. Artinya kalau tidak
ada nilai ibadahnya dalam adat yang berlaku maka yang menjadi tolak ukur
dalam mengambil keputusan adalah prinsip Islam. Jika ajaran agama
melarang maka adat tidak boleh menghalalkan, dan begitu sebaliknya jika
ajaran agama menghalalkan maka adat pun tidak boleh mengharamkan.
Pelaksanaan tradisi Begalan kalau diperhatikan dengan sungguh-
sungguh terdapat suatu keunikan karena dengan adanya ini maka bisa dilihat
hukum Islam, hukum perkawinan Indonesia, dan hukum adat tercampur
menjadi satu. Kesemuanya hidup dalam satu objek dan tidak terjadi gesekan,
ini dibuktikan dengan masyarakat yang melaksanakannya dengan senang hati
dan tanpa ada paksaan.
Tradisi Begalan apabila ditinjau dari segi Maslahah Mursalah ada
banyak sekali kemaslahatan di dalamnya. Tradisi Begalan dipandang sebagai
ekspresi seni maka dia menunjukkan keindahan bahasa dalam menguraikan
67
makna dari simbol yang mereka bawa secara keseluruhan dan tata cara
pelaksanaanya, dalam hal ini tradisi berfungsi sebagai hiburan masyarakat.
Tradisi ini juga bisa dipandang sebagai luapan kegembiraan maka dengannya
bisa terlihat rasa syukur seseorang terhadap nikmat yang telah diberikan
Allah, dan selanjutnya tradisi ini bisa menjadi media komunikasi antar
generasi yang itu berarti dengannya kita bisa mendapatkan sebuah
pembelajaran dan informasi khususnya mengenai perkawinan masyarakat
terdahulu.
Tradisi Begalan bukan semata-semata merupakan suatu pertunjukan
hiburan saja. Tradisi ini mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat
dijadikan pedoman bagi kedua mempelai dalam menjalani hidup bersama.
Banyak aspek nilai pendidikan yang dapat diambil dari tradisi Begalan. Baik
itu yang tersirat dari setiap tahap yang dilaksanakan, maupun dari setiap
perlengkapan yang digunakan dalam proses Begalan. Adapun nilai-nilai
pendidikan tersebut adalah nilai pendidikan ketuhanan (religius), nilai
pendidikan moral, dan nilai pendidikan sosial atau kemasyarakatan.
Melihat dari penjelasan diatas, pada intinya bahwa tradisi Begalan
menurut perspektif hukum Islam boleh dilakukan. Akan tetapi, sesuatu yang
bertentangan dengan hukum Islam di dalam tradisi tersebut harus
ditinggalkan. Kemudian mengenai tata cara pelaksanaannya secara
keseluruhan diperbolehkan karena tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan
al-Hadits. Nilai religius yang sangat tampak dalam tradisi Begalan yaitu
dibuka dengan ucapan salam, basmallah, shalawat Nabi, dan diakhiri dengan
do‟a keselamatan bagi pengantin dan seluruh masyarakat tamu undangan
yang hadir. Sedangkan makna sosial dari Begalan dapat terlihat dari upaya
transformasi nilai dari generasi tua kepada generasi muda khususnya bagi
kedua pengantin untuk selalu ingat pada simbol-simbol yang syarat dengan
nilai.
Jadi suatu tradisi yang ada dalam masyarakat tersebut sebelum
mengetahui dasar hukumnya, maka tidak boleh dinyatakan sah atau tidaknya
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an sebagai berikut:
68
اىفؤاد مو أ اىجصر ع اىض إ عي ش ىل ث ب ى ل رقف ضئ ع ل )اإلصراء: ىئل مب
63) Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S Al-Isra: 36)
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan
yang tidak kamu ketahui isinya sehingga nantinya akan menimbulkan opini
yang buruk terhadap satu hal, yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya
justifikasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan-pembahasan yang ada diatas,
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Begalan merupakan salah satu tradisi turun-temurun dalam masyarakat
Banyumas. Dalam proses pelaksanaannya, tradisi Begalan terdapat dua
tahapan dalam prosesi Begalan, yaitu tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan serta menjabarkan maksud dari simbol-simbol Begalan.
2. Makna simbolik pada tradisi Begalan terkandung pada Brenong Kepang.
Semua barang-barang yang dibawa dalam tradisi Begalan (brenong
kepang) ini merupakan perlambang yang mengandung nasehat penting
bagi pengantin. Lambang-lambang ini diterjemahkan dalam bahasa dialog
yang cukup jenaka. Uraian simbolik dari brenong kepang ini tampak lebih
dominan dibanding dengan acara ruwatannya. Uraian makna simbolik pun
telah ditransformasikan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
Banyumas sekarang ini. Simbolisasi dari brenong kepang ini akan sangat
efektif dalam ingatan audiennya karena tampak sangat simpel dan
tervisualkan.
3. Dalam pelaksanaannya, tradisi Begalan tidak menyimpang atau
bertentangan dengan syariat Islam, sebab adat kebiasaan di dalam acara
tersebut tidak ada sesuatu yang berlawanan dengan hukum Islam karena
itu sebagai kebiasaan adat dan untuk memeriahkan suatu acara. Oleh
karena itu, tradisi Begalan yang ada pada perkawinan adat Banyumas tidak
menyimpang dari hukum Islam.
70
B. Saran
Setelah melakukan penelitian terkait dengan tradisi Begalan dalam
perkawinan adat Banyumas, ada beberapa saran yang ingin disampaikan
peneliti, diantaranya ialah:
1. Tradisi Begalan hendaknya tetap dijaga kelestariannya dan dikembangkan
dalam bentuk penyajiannya dan dapat diteruskan oleh generasi
penerusnya, serta dapat diterima dikalangan masyarakat luas terutama
pada generasi muda.
2. Modifikasi yang dilakukan oleh seniman maupun juru Begal hendaknya
tidak terlalu banyak agar tetap terjaga kemurniannya dan ciri khas Begalan
sebagai kesenian tradisi.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas atau pihak-pihak yang
berwenang, sebaiknya membuat beberapa kebijakan dalam usahanya untuk
memelihara, melindungi dan mengembangkan tradisi Begalan dalam
upacara perkawinan adat Banyumas sehingga tradisi ini dapat tetap lestari
dan dapat menjadi ciri khas Kabupaten Banyumas.
4. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, hendaknya mempunyai dedikasi yang mendalam
untuk meneliti adat-adat yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan
merumuskan akulturasinya dengan Islam dengan jalan penetapan atau
modifikasi agar berjalan sesuai dengan koridor Islam atau agar lebih
kelihatan Islami.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alquran dan Terjemah Departemen Agama Republik Indonesia.
Abidin, Slamet, Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004.
Ag, Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon „Ibadat and Adat Among
Javanesse Muslims‟, Jakarta: centre for research and development of
socio religious affairs, 2004.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren
Krapyak, 1996.
Ali, Mukti dkk, Fikih Kawin Anak (Membaca Ulang Teks Keagamaan
Perkawinan Usia Anak-anak), T.tp: Rumak Kitab, 2005.
Al-Anshari, Abu al-Mawahib Abdul Wahab ibn Ahmad ibn Ali, al-Mizan al-
Kubra, Kediri: Ma‟had al-Islami al-Salafy, tt.
Al-Anshary, Abu Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Singapura: Sulaiman
Mar‟iy, t.t.
Al-Bajuri, Ibrahim, al-Bajuriy „ala ibn Qasim Vol. II.
Al-Barkati, Muhammad „Amim, Qowaid Fiqh, Kurtis: As-Shadf Publisher,
1986.
Al-Bujairami, Sulaiman, Hasyiyah Al-Bujairami „Ala Al-Khatib, Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1995.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Thauq
An-Najah, 1422 H.
Al-Hakim, Abu Abdullah, Mustadrak „Ala As-Sahihain, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 1990.
Al-Husayni, Taqiyuddin Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah al-Akhyar fi
Halli Ghayah al-Ikhtishar Vol. II, Kediri: Ma‟had al-Islami al-Salafy,
tt.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad, Shahih Fiqh Wanita Menurut Al-Qur‟an
dan Sunnah, Diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani.
Jakarta: Akbar Media, 2009.
72
An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihyaut
Turats Al-„Arabi, tt.
As-Suyuthi, Jalaluddin, Asybah Wa Al-Nazhair, tt: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
1990.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al-
Fikr, tt.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press,
2000.
Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al
Ikhlas, 1990.
Bigha, Mustofa Dibul. Fiqh Syafi‟i, Sawahan: CV Bintang Pelajar, 1984.
Buku Profil Desa Sibrama, Tahun 2015.
Daeng, Hans J, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2002.
Daradjat, Zakiyah, (et al). Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Djojosantosa, Pandangan Hidup Masyarakat Jawa. Semarang: Aneka Ilmu,
1996.
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006.
Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Chicago: Chicago University Press,
1976.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana , 2008.
Goenoprawiro, R. Soesanto, Lawak, teori dan praktek beserta liku-likunya,
Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1984.
Hadeli, Metode Penelitian, Padang: Baitul Hikmah, 2001.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung,
2007.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007.
______________, Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
73
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awaliyah, Jakarta: Sa‟adiyah Putera,tt.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996.
Hasan, M. Iqbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Hibban, Muhammad ibn, Shahih ibnu Hibban, Beirut: Muassasah Risalah,
1988 H.
Kartono, Kartini, Psikologi Wanita (1) Gadis Remaja dan Wanita-wanita,
Bandung: Mizan, 1997.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005.
Khalil, Ahmad, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang:
UIN Malang Press, 2008.
Kharlie, Ahmad Tholabi dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Kontemporer, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Koderi, M. BANYUMAS Wisata dan Budaya, Purwokerto: CV. METRO
JAYA, 1991.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Marzuki, Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Prenada Media
Group, 2008.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rakesarasin,
1996.
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2004.
Mujib, Abdul, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Musbikin, Imam, Qawa‟id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Muti‟ah, Anisatul dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia Vol 1,
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009.
74
Ns, Suwito, Islam Dalam Tradisi Begalan, Purwokerto: STAIN Purwokerto
Press, 2008.
Partokusumo, Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan
Islam, Yogyakarta: Aditiya Media, 1995.
Purwadi, Pranata Sosial Jawa, Yogyakarta: Cipta Karya, 2007.
Rafiq, Ahmad, Hukum Keluarga Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998.
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: CV Sinar Baru, 1989.
Riyadi, Ahmad Ali, Dekonstruksi Tradisi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2007.
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.
Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr:
tt.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011.
Setiyady, Elly M. dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan),
Yogyakarta: Liberty, 2004.
Sofyan, Yayan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam Hukum Nasional, Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
______________, Pengantar Metode Penelitian, Ciputat: UIN Jakarta, 2010.
Solikhin, Muhammad, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi,
2010.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta,2005.
Sudiyat, Imam, Hukum Adat, Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 2007.
Sudjana, Nana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2003.
Sugiyono, Cara Mudah Menyusun: Skripsi, Tesis, dan Desertasi, Bandung:
ALFABETA, 2013.
Supriyadi, Begalan, Purwokerto: UD Satria Utama Purwokerto, 1993.
75
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan
Teknik, Bandung: Tarsito, 1994.
Susetya, Wawan, Ngelmu Makrifat Kejawen „Tradisi Jawa Melepas
Keduniawian Menggapai Kemanunggalan‟, Jakarta: PT Buku Kita,
2007.
Sutardjo, Imam, Kajian Budaya Jawa, Surakarta: Jurusan Sastra Daerah.
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta,
2010.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2014.
______________, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006.
______________, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana 2010.
______________, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Prenada Media Kencana,
2008.
______________, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009.
Wignjodipuro, Soerjono, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:
Toko Gunung Agung, 1995.
Yahya, Mukhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, terjemah
Zaini Dahlan, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986.
B. Karya Ilmiah
Hidayat, Syarif, Konsep Keluarga Sakinah dalam Tradisi Begalan, Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Yelipele, Adnan, Tradisi Dalam Perkawinan Adat Muslim Suku Dani Papua
di Tinjau dari Hukum Islam, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Suharti, Tradisi Kaboro Co,I Pada Perkawinan Masyarakat Bima Perspektif
„Urf di Kecamatan Monta Kabupaten Bima, Malang: UIN Malang,
2008.
C. Lembaga dan Badan
BPS, Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2016. Banyumas: BPS, Kabupaten
Banyumas, 2016. Diakses pada tanggal 26 November 2016 di
https://banyumaskab.bps.go.id/.
76
D. Jurnal
Chusmeru, Begalan Sebagai Komunikasi Tradisional Banyumas (Studi
Deskriptif Komponen Komunikasi dalam Kesenian Begalan), Jurnal
Dosen Jurusan Komunikasi FISIP UNSOED, Acta DiurnA, Vol 7 No 2,
2011.
Karyono, Tari Begalan di Tengah Perubahan Sosial Masyarakat Banyumas,
Jurnal, http://jurnal.isi-
ska.ac.id/index.php/greget/article/download/23/30. Diakses pada
tanggal 21 Oktober 2016.
Zannah, Usfatun, “Makna Prosesi Perkawinan Jawa Timur Sebagai Kearifan
Lokal (Pendekatan Etnografi Komunikasi Dalam Upacara Tebus
Kembar Mayang Di Desa Jatibaru Kecamatan Bungaraya Kabupaten
Siak Provinsi Riau)” Vol, 1, No.2 (Oktober 2014).
E. Undang-Undang
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
F. Artikel
http://ensiklo.com/2014/08/30/mengenal-tradisi-begalan-masyarakat-
banyumas/. Artikel di akses pada tanggal 13 Februari 2018.
https://id.answers.yahoo.com/. Artikel diakses pada tanggal 15 Oktober 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sibrama,_Kemranjen,_Banyumas. Artikel
diakses pada tanggal 26 November 2016.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi. Artikel diakses pada tanggal 15
Oktober 2016.
http://www.koran-jakarta.com/mencermati-kebudayaan-lokal-banyumas/.
Artikel diakses pada tanggal 13 Februari 2018.
Wahyudi, Agus, “Seni Begalan Undang Perhatian Turis Asing”, dalam Suara
Merdeka, tanggal 16 September 2006.
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA
A. Wawancara kepada Juru Begal
1. Apa makna tradisi Begalan?
2. Kapan tradisi Begalan dipentaskan?
3. Dimana tradisi Begalan dipentaskan?
4. Siapa saja yang harus mengadakan tradisi Begalan?
5. Siapa saja yang berperan dalam tradisi Begalan?
6. Bagaimana asal-usul tradisi Begalan?
7. Apa fungsi dan tujuan tradisi Begalan?
8. Apa persiapan yang dilakukan sebelum pentas?
9. Apa makna simbolik dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Begalan?
B. Wawancara kepada Keluarga Pengantin
1. Apa makna tradisi Begalan?
2. Apa fungsi atau tujuan mengadakan tradisi Begalan?
3. Bagaimana pengaruh tradisi Begalan bagi pengantin?
4. Apakah pelaksanaan tradisi Begalan berdasarkan kepercayaan sendiri atau
tuntutan masyarakat?
5. Apakah tradisi Begalan sesuai dengan syariat hukum Islam yang diyakini?
C. Wawancara kepada Tokoh Agama
1. Apakah pernah melihat tradisi Begalan? Dimana?
2. Apa makna dari tradisi Begalan?
3. Bagaimana jika tradisi Begalan dikaitkan dengan tradisi tolak bala’?
4. Apakah tradisi Begalan termasuk ritual atau tradisi?
5. Apakah tradisi Begalan sesuai dengan syariat hukum Islam yang diyakini?
BIODATA INFORMAN
1. Nama : Pak Latif (Selaku Juru Begal)
Alamat : Desa Sikanco Rt. 01/08 Kec. Nusawungu Kab. Cilacap
Profesi : Pedagang/Petani
2. Nama : Ibu Minah (Selaku Penjual Brenong Kepang)
Alamat : Desa Sikanco Rt. 01/08 Kec. Nusawungu Kab. Cilacap
Profesi : Pedagang
3. Nama : Mad Sukemi alias Simin (Selaku Juru Begal)
Alamat : Desa Petarangan Rt. 03/10 Kec. Kemranjen Kab. Banyumas
Profesi : Tukang Batu/Petani
4. Nama : Pak Sudarto (Selaku Juru Begal)
Alamat : Desa Sibalung Rt. 02/05 Kec. Kemranjen Kab. Banyumas
Profesi : Wiraswasta
5. Nama : Pak Sodirun dan Ibu Sodiah (Selaku Keluarga Pengantin)
Alamat : Desa Sibrama Rt. 01/06 Kec. Kemranjen Kab. Banyumas
Profesi : Petani
6. Nama : Pak Imam Chambali (Selaku Tokoh Agama)
Alamat : Desa Sibrama Rt. 01/07 Kec. Kemranjen Kab. Banyumas
Profesi : Petani
Foto peneliti saat wawancara dengan Bapak Latif selaku Juru Begal, di kediamannya
Rt 01 Rw 08 Desa Sikanco Kecamatan Nusawungu Kabupaten Cilacap, Tanggal
15/12/2017, Pukul 20.30 WIB.
Foto peneliti saat wawancara dengan Bapak Sudarto selaku Juru Begal, di
kediamannya Rt 02 Rw 06 Desa Sibalung Kecamatan Kemranjen Kabupaten
Banyumas, Tanggal 19/12/2017, Pukul 20.00 WIB.
Foto peneliti saat wawancara dengan Bapak Mad Sukemi alias Simin selaku Juru
Begal, di kediamannya Rt 03 Rw 10 Desa Petarangan Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas, Tanggal 26/12/2017, Pukul 20.00 WIB.
Foto peneliti saat wawancara dengan Bapak Sodirun dan Ibu Sodiah selaku Keluarga
Pengantin, di kediamannya Rt 01 Rw 06 Desa Sibrama Kecamatan Kemranjen
Kabupaten Banyumas, Tanggal 04/03/2017, Pukul 19.30 WIB.
Juru Begal dan rombongan Pengantin Pria sebelum memasuki halaman rumah
pengantin wanita. Pelaksanaan tradisi Begalan tidak memerlukan panggung, cukup di
halaman rumah pengantin wanita.
Foto diambil pada saat Juru Begal sedang menjabarkan makna dari simbol-simbol
yang terkandung pada Brenong Kepang. Brenong Kepang ini biasanya berisikan alat-
alat dapur yang biasa digunakan di pedesaan.
Foto Pengantin Pria dengan Juru Begal yang sedang membawa Brenong Kepang.
Foto diambil pada saat acara walimatul ‘urs di kediaman Bapak Imam Chambali,
Desa Sibrama Rt 01 Rw 07 Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas.