Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan
bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya harus
selalu baik dan harmoni. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar saling asah,
saling asih dan saling asuh,yang artinya saling menghargai, saling mengasihi dan saling
membimbing. Hubungan antar keluarga dirumah harus harmoni. Hubungan dengan
masyarakat lainnya juga harus harmoni. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan
dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan
menciptakan Negara yang tenteram dan sejahtera.
Segala aktivitas terkait Pawongan tersebut baik privat ataupun publik pasti
membutuhkan suatu ruang untuk dapat beraktivitas apalagi dalam hal kegiatan sosial yang
melibatkan banyak orang, sehingga terciptanya tempat-tempat (arsitektur pawongan)
sebagai pendukung aktivitas.
Arsitektur pawongan menurut fungsinya dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu
bangunan tempat tinggal dan bangunan untuk kepentingan umum.
1. Bangunan Tempat Tinggal
Tempat tinggal ini berdasarkan status sosial adat istiadat Bali yang di sebut sistem :
Kewangsaan. Hal ini dapat dibedakan menjadi 4 jenis , yaitu :
a. Griya tempat tinggal dari wangsa brahmana..
b. Puri wilayah tempat tinggal raja dan kerabatnya.
Puri sebagai sebuah karya arsitektur merupakan wujud kebudayaan fisik
yang lahir melalui ide dan sistem budaya serta sistem sosial masyarakat Bali
di masanya. Melalui arsitektur puri dapat dilihat gambaran budaya
masyarakat Bali pada masa tertentu. Perubahan sosial dan budaya yang
terjadi pada masyarakat Bali yang berlangsung pada rentang waktu tertentu
akan tercermin pada perubahan elemen-elemen arsitektur puri. Perubahan
sosial dan budaya yang cukup tajam sangat jelas terlihat pada periode Bali
Kolonial. Secara garis besar wujud kebudayaan dibagi menjadi 3, yakni:
cultural system, cultural activities, material culture. Ketiga wujud kebudayaan
tersebut sangat erat kaitannya.
c. Jenis tempat tinggal wangsa Khasatria.
d. Umah tempat tinggal golongan Sapta Sadma, yaitu Pasek Beudesa, Kebagan,
Gadung, Pande, Senggu, dan sebagainya
Ada aturan dan pantangan dalam membuat tempat tinggal pawongan, di sekitarnya :
- Tidak boleh numbak burung ( Berpapasan dengan gang )
- Di lingkupi oleh pekarangan rumah keluarga
- Di apit oleh pekarangan keluarga lain ( Karang apit )
- Di jatuhi cucuran atap dari rumah orang lain ( Karang kelebon amuk )
- Berada sebelah jalan umum dan berpapasan ( karang negen )
2. Bangunan untuk Kepentingan Umum
Bangunan untuk kepentingan umum adalah seperti : Wantilan, biasanya di bangun
dalalam suatu komplek desa, kalau di banjar disebut “ Bale Banjar” ( ukurannya
lebih kecil dari wantilan ).
Dalam hal bangunan tidak ada aturan yang pasti
Ukuran dalam membuat bangunan :
o Ukuran yang di pakai adalah satuan yang ada pada manusia, misalnya :
ukuran Depa Agung, Depa Madya , dan Depa Alit ( sebagai ukuran panjang
dan lebar pekarangan )
o Tapak kaki untuk mengukur halaman pekarangan ( Natah Umah ) dan untuk
mengukur jarak tembok sekelilingnya.
o Mengukur bangunan di gunakan dengan bagian – bagian tangan, misalnya :
Ruas jari, tebal jari, (agul, ngembel, acengkang, alengkat, dan amurti )
a) Bale banjar
Bale Banjar memiliki pengertian sebagai bangunan terbuka yang diperuntukkan
untuk kepentingan bersama bagi warga banjar dan pendukungnya. Atau merupakan
tempat membentangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepengurusan
kelompok masyarakat atau kelompok banjar tersebut. Kelompok-kelompok
organisasi Desa Adat yang dijadikan kelompok-kelompok pengaturan
administrasratif Desa Dinas disebut banjar dengan anggota banjar dan bangunan
Bale Banjar.
Bangunan Bale Banjar berfungsi utama sebagai tempat pertemuan anggota banjar
sehingga memerlukan tempat yang luas dan terbuka. Pusat informasi bagi
masyarakat sehingga memelukan alat sebagai sarana menyampaikan informasi,
yaitu kul-kul. Pusat persembahyangan bersama bagi anggota banjar secara
insidentil maupun periodik. Adapun fungsi penunjang, yaitu sebagai tempat
menempatkan sesajen, tempat pengolahan dan persiapan konsumsi, tempat
menyimpan kekayaan banjar dalam bentuk hasil bumi. Karena banyak fungsi bale
banjar ini menjadi suatu bangunan yang serba guna.
Anggota banjar yang melakukan kegiatan adat dapat mengundang atau memakai
bale Banjar dengan melibatkan seluruh atau sebagian anggota banjar, dapat pula
hanya meminjam atau memakai Bale Banjar dan perlengkapan/peralatannya.
Pada jaman dulu terdapat aturan untuk bangunan Bale Banjar, terdiri atas beberapa
masa bangunan :
a. Pelinggih di bale banjar yang merupakan hulu karang banjar yang
difungsikan pula sebagai tempat pemujaan bersama bagi para warganya,
namun tidak didapati sanggah kemulan sebagaimana yang terdapat pada
rumah tinggal
b. Tempat pertemuan bagi warga banjar
c. Bale kul-kul sebagai sarana komunikasi pada anggota banjar
Sedangkan bale banjar pada umumnya sebagai berikut :
- Bale upacara yang terdiri atas 6 saka (bale mundak), 8 saka (sakutus), 9 saka
(singosari), maupun 12 saka (bale gede).
- Dapur dengan 4 atau 6 saka atau lebih
- Lumbung padi
Pada umumnya bale banjar terletak pada sudut perempatan jalan, pertigaan jalan
atau pertemuan antara jalan dengan gang yang mudah dicapai oleh krama
banjarnya. Dalam bentuknya yang tradisional, bale banjar tidak dilengkapi dengan
tembok penyengker. Pada dasarnya pola penataan massa bangunan bale banjar
menyerupai tatanan massa bangunan rumah tinggal yaitu sebagai berikut :
- Sisi timur laut (kaja kangin) sebagai daerah tempat suci yang terdiri dari
padmasana, tugu, gedong dan tajuk
- Sisi barat ditempatkan bale gede atau bake sumanggen dengan 12 saka atau
ditempatkan pula bale lantang dengan 6 saka
- Sisi selatan atau tenggara ditempatkan lumbung padi dan dapur (paon)
- Pada sisi barat daya ditempatkan bale paebatan dan bale kul-kul
Ruang pertemuan umumnya sebagai pusat orientasi pada bale banjar, dengan jarak
antara massa bangunan lainnya menggunakan aturan tradisional bali. Bangunan
bale banjar dibangun terbuka tanpa tertutupi dinding dimaksudkan dengan
memudahkan penyatuan ruang jika diperlukan ruangan yang lebih luas.
Susunan massa bangunan dan ruang bale banjar merupakan pencerminan
demokrasi dalam musyawarah krama banjar. Susunan massa bangunan bale banjar
disesuaikan pula dengan susunan dan pola kehidupan krama banjarnya.
b) Bale Pamaksaan
Kasatuan keluarga besar yang terbentuk dalam ikatan Sanggah atau Pamerajan
Kawitan, Dadia atau Paibon membentuk ikatan keluarga yang disebut Pemaksaan.
Tempat pemaksaan melakukan pertemuan atau musyawarah di Bale Pemaksaan
yang menempati jaba sisi. Musyawarah di Bale Pemaksaan diadakan menjelang
upacara odalan atau pujawali di sanggah atau pamerajan untuk memusyawarahkan
pelaksanaan upacara.
Serupa dengan Bale banjar, bale Pemaksaan untuk keanggotaan tingkat pemaksaan
juga sewaktu-waktu diadakan rapat anggota atau warga pemaksaan, untuk
memusyawarahkan pembangunan atau pemugaran pelinggih, pengumpulan dana
dan kegiatan adat atau sosial.
Dalam bentuknya yang lain, organisasi seprofesi yang memerlukan suatu keperluan
bersama juga membentuk pemaksaan sebagai tempat musyawarah atau kegiatan
lainnya. Organisasi seprofesi seperti nelayan, petani tegal, petani perkebuna, dukun
dan kelompok kerja serupa, umumnya membuat pura kelompok dengan pemaksaan
sebagai ikatan organisasinya.
Pada hari raya tertentu mereka mnghaturkan sesajen. Atau dalam enam bulan sekali
mereka mengadakan upacara pujawali di Pura Semer atau Pura Beji sebagai sumber
air yang mereka perlukan. Pertemuan musyawarah mereka lakukan di Bale
Pemaksaan.
Dari berbagai macam bentuk pamaksaan yang ada, keanggotaannya dapat dari satu
keluarga besar, satu profesi atau berbagai desa.
c) Wantilan
Bangunan wantilan merupakan perkembangan dari ruang luas yang bersifat
sementara seperti lapangan diteduhi pohon, atau halaman yang diteduhi atap
sementara yang disebut tetaring. Rangka bambu disangga tiang potongan cabang
pohon bercagak penyangga ditancap di tanah. Penutup atap dari anyaman daun
kelapa, ruangnya tanpa dinding dapat diperluas ke arah luar, sehingga daya
tampung tidak terbatas.
Bangunan wantilan dibangun dengan konstruksi utama empat tiang utama, 12 tiang
sejajar sekeliling sisi atau lebih. Atap wantilan umumnya bertingkat disebut
metumpang. Bangunan terbuka keempat sisis, lantai dar atau berterap rendah di
tengah.
Kelompok organisasi yang memerlukan ruangan luas seperti banjar atau
pemaksaan melengkapinya dengan bangunan jaba sisi pura, halaman banjar atau
pekarangan desa dengan bangunan wantilan. Luas wantilan sekitar 200m2
tergantung pada lias yang diperlukan dari aktifitas yang menguunakannys, wantilan
sebagai tempar musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai atau bale-
bale yang ditempatkan. Dalam perkembangannya wantilan juga dilengkapi dengan
kursi sebagai tempat duduk untuk musyawarah atau fungsi lain.
Sejalan dengan perkembangan sosial, wantilan juga difungsikan sebagai tempat
pertunjukan, tempat olahraga, tempat pendidikan dan berbagai fungsi dalam
hubungan kepariwisataan.
Letak wantilan dalam suatu pekarangan ditengah agak ke tepi dengan ruang luar
sekitarnya dapat merupakan perluasan dari keterbukaannya pada empat sisi. Dalam
fungsi tertentu, wantilan juga dilengkapi ruang pentas dan rung lainnya.
d) Bale Sumanggen
Dalam pekarangan pura, perumahan dan banjar, diperlukan bangunan serbaguna
yang disebut Bale Sumanggen. Berbagai aktifitas musyawah, persiapan upacara,
pelaksanaan upacara dan kegiaran adat lainnya dapat dilakukan di Bale Sumanggen.
Untuk fungsinya yang serbaguna bangunan Bale Sumanggen terbuka keempat sisi
atau tertutup satu sisi. Letak umumnya di bagian teben kelod atau kauh menghadap
ke arah natah dan tengah.
Bale banjar yang tidak dilengkapi dengan Bale Sumanggen untuk kegiatan yang
dilakukan di wantilan dalam jumlah terbatas sesuai dengan luas ruangan. Perluasan
ruang yang diperlukan menempati natah halaman Bale Banjar atau ruang sekitar
Bale Sumanggen dengan penataan tetaring atau atap sementara, angasan/tempat
duduk sementara.
Bale sumanggen untuk bale banjar umumnya dibangun dengan type bale gese
saroras, bale sakenem atau bale lantang bangunan banjang serupa sakenem
rangkaian tiang dua-dua dijajar memanjang. Bale lantang yang dibangun dengan
tiang besar (asangga/amusti) bentang lebar tinggi desebit Bale Agung untuk
berfungsinya sebagai tempat upacara Pura desa.
Bale sumanggeng di balai Banjar yang fungsinya serbaguna untuk berbagai kegiatan
memerlukan balai-balai yang mengikat 8 tiang dan 2 tiang balai lebih pendek di
teben mengikat 4 tiang di teben dengan 4 tiang padndak. Lintasan silang di tengah
antara keempat balai-balai. Balai sumanggeng tipe asradala 8 tiang, 4 pada sisi, dan
4 pada sudut-sudut, bangunannya tidak memakai balai-balai, pemakaiannya duduk
di lantai. Bangunan Bale sumanggeng tanpa balai-balai fungsi serbaguna lebih luas,
lantai terbuka dapat difungsikan sebagai tempat kegiatan latihan atau pentas
pertunjukan.
Beberapa bale banjar melengkapi bangunannya dengan bale gong dapat pula
difungsikan bangunan musyawarah.
e) Bale Kulkul
Alat komunikasi yang disepakati setiap banjar adalah kulkul atau kentongan.
Dengan suara tertentu dari kulkul yang dipukul memanggil anggota banjar untuk
datang kebanjar atau menuju ke tempat yang ditentukan. Kode tertentu dari suara
kulkul dapat pula memberi informasi tertentu seperti bencana, kematian,
perkawinan, dll.
Untuk menyampaikan fingsinya menyampaikan informasi jarak jauh, kulkul
digantung pada banguan tinggi semacam menara beratap yang disebut bale kul-kul/
kulkul dengan Balai kulkul adalah sarana informasi musyawarah banjar. Seriap
kegiatan/peristiwa banjar diinformasikan dengan memukul kulkul adalah peristiwa
banjar. Untuk mudahnya pencapaian, mudah dilihat sebagai pengenal balai Banjar,
ditempatkan di sudut pekarangan atau disudut pura, atau di tempat musyawarah
lainnya.
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata
letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang
ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan
konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta
pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak
lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa
dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak
Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah
ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut
ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan
Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan,
Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam
cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya.
Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa
menyulap laut menjadi sebuah
kerajaan untuk Krisna. Kemudian
secara turun-temurun oleh umat
Hindu diangap sebagai dewa
arsitektur. Karenanya, tiap bangunan
di bali selalu disertai dengan upacara
pemujaan terhadap Bhagawan
Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar
bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan
Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.
Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam
makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit
(mikrokosmos).Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus
harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut.Karena
itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan
Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal
dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang
punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah.
Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
- Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
- Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah
tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
- Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari
kiri ke kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah.
Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit
(Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan
seperti :
- Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
- Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan
duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
- Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu
menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin(Nawa
Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
- Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
- Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di
tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
- Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung
berada begitu seterusnya.
Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang
disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena
sekarang banyak yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini.
Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja.
Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap
tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
- jaba untuk bagian paling luar bangunan
- jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang
tengah
jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari
sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau
paling privacy bagi rumah tinggal
Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri
Angga, yang terdiri dari:
Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya
terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela
dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat
tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang
digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
berikut bagian-bagian dari rumah Bali:
Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada
perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang
letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang
Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga
posisinya harus cukup terhormat
Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau
anggota keluarga lain yang masih junior.
Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau
merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil
kebun lainnya.
Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk
sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan
agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu
sebagai gapura jalan masuk.
Arsitektur bali atau yang buat rumah dibali disebut juga Undagi. Begitulah tradisi
pembuatan rumah di Bali.
Landasan filosofis ASTA KOSALA KOSALI
Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan
adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang
berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh
jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana
Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung
dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat
Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah
dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita
Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan
adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata
Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa
yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
Landasan Etis
Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan
pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah
teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu
Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala
yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik
dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk
Tri Kaya Parisudha
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan
upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta
menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah
keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan
dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk
keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang
diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan
pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita
Karana.
Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam
bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari,
arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya.
Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang
yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar
dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan
bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala
untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan
Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya:
kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan
yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan
diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan
prinsip- prinsip bangunan Hindu.
Pemilihan Tanah Pekarangan.
Tanah yang dipilih untuk lokasi membangun perumahan diusahakan tanah yang miring ke
timur atau miring ke utara, pelemahan datar (asah), pelemahan inang, pelemahan marubu
lalah(berbau pedas).
Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :
1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
7. karang tenget
8. karang buta salah wetu,
9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)
Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi
membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan,
serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.
Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.
Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi
sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin
(tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas
dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun
Karang dan Natar.
Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu
halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari.
Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.
Dewasa Membangun Rumah.
1. Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.
Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
2. Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus,
dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
3. Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
4. Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
5. Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
Upacara Membangun Rumah.
1. Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai
untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah
cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah
sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh
genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan
penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
2. Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan .
Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca
warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita,
tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti-
geti.
3. Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan
ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita,
sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam
sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2
tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat
berbeda, maka upacara
upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia , bentuk budaya Bali telah
berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri.
Dari sudut arsitektur tradisional , peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan
Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga
peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini
dikenal dengan nama Hasta Bumi,Hasta Kosala Kosali,Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-
lain yang berisikan berbagai petunjuk , pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan
lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan .
Pengaruhnya terlihat pada
Bentuk
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada
ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya
rumah) secara fisik dan tingkat kastanya.
Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah
satu atap , tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di
dalam satu lingkungan atau satu tembok.
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang
mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
1. Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
2. Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
3. Konsep keseimbangan kosmologi
4. Konsep proporsi dan skala manusia
5. Konsep court, Open air
6. Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
1. Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
2. Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala
Kosali.
3. Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala
Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang
punya rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan
Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan
geografis dan ekonomi masyarakat.
Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah
pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi
yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk
menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif
pendek untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa
digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan
untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif
sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.
Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan
datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya
berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja
untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima
tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk
lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana
pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah
(pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal
adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal diantaranya;
Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi
rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan
lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya
lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik
kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila
tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah
selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi
sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran
air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap
dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah
berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat
tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari
genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi
perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi
tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan
tanah galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus
untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya
kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong
tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih
mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya
membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga
(merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk
kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air
mendatangkan rejeki.
Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai
masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben
massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah
bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih
dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang
bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit –
sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang
jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini
termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang
Hyang Indra Balaka.
Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih
tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai
hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu
memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian
hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg
disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari
tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal
rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur
atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi
Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau
balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan
penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.
Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki
ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu
masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama.
Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih
tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang
menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di
sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air)
yang disi ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak
menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah
seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang
berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat
tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan
lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya
dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk
dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak
sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.
Recommended