BAB I
LAPORAN KASUS
I.1 Identifikasi
Nama : Selamet
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Palembang
Pekerjaan : Pelajar
MRS : 01 Mei 2010
I.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)
Keluhan Utama:
Pada kantong kemaluan hanya ada satu buah zakar.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak lahir penderita hanya memiliki satu buah zakar di sebelah kanan. ± 3 tahun
yang lalu SMRS ibu penderita baru menyadari timbul benjolan pada lipat paha
kiri, nyeri(-).
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga :
Tidak ada
I.3 Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Kesadaran : compos mentis
RR : 22 x/ menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/ menit
1
Suhu : 36,6 oC
Keadaan gizi : cukup
Kepala : Tidak ada kelainan
Kulit : Tidak ada kelainan
KGB : Tidak ada pembesaran
Leher : Tidak ada kelainan
Thorax : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status lokalis
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan
Status lokalis
Regio Inguinal Sinistra
Inspeksi : Tampak benjolan, warna sama dengan sekitar
palpasi : Teraba massa kenyal, ukuran ± sebesar kelereng, mobile,
nyeri(-).
Regio Scrotum Sinistra
Inspeksi : tidak terlihat testis
Palpasi : testis tidak teraba
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 7 Mei 2010)
Hemoglobin : 13,6 gr/dl
Hematokrit : 39 vol %
Leukosit : 9600 / mm3
Trombosit : 365.000/mm3
Waktu perdarahan : 9’ menit
Waktu pembekuan : 2’ menit
Na : 4,0 mmol/l
K : 135 mmol/l
BSS : 116 mg/dl
2
I.5 Diffential Diagnosis
- Testis retraktil
- Tidak ada testis
I.6 Diagnosis
Undesensus Testis Sinistra
I.7 Penatalaksanaan
- orchidopexy
I.8 Prognosis
Qua ad vitam : bonam
Qua ad functionam : dubia ad malam
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Istilah kriptorkismus berasal dari kata Yunani cryptos yang berarti
tersembunyi, dan orchis yang dalam nahasa Latin sebagai testis. Pada
kriptorkismus, testis terletak pada salah satu tempat sepanjang jalur
desensus yang normal, tetapi tidak mencapai tempat kedudukannya yang
normal di dalam skrotum. Sering atau bahkan pada umumnya
kriptorkismus dipakai sebagai sinonim bagi undescended/maldescended
testis atau UDT. Namun, pada UDT sebenarnya masih perlu didiagnosis
banding apakah itu kriptorkismus yang murni ataukah keadaan lain seperti
testis ektopik, testis retraktil (pseudokriptorkismus) dan gliding/ascending
testis.
Dengan testis ektopik dimaksud testis yang berlokasi diluar jalur
desensus normal. Testis ektopik telah menyelesaikan penurunannya secara
sempurna melalui kanalis inguinalis tetapi berakhir dalam lokasi subkutan
bukannya skrotum, tempat yang paling banyak disebelah lateral cincin
inguinalis eksterna, dibawah fascia subkutan. Kasus ini jarang ditemukan
(hanya 5% dari keseluruhan kasus UDT) dan dikenal 6 tipe anatomik,
yaitu : (1) interstisial (inguinal superfisial), (2) femorak (krural), (3)
perineal, (4) transversum, (5) pubopenil, (6) pelvik. Testis ektopik biasnya
tidk disertai hernia inguinalis.
Yang lebih sering adalah testis retraktil, yaitu testis yang tidak
terletak dalam skrotum, tetapi dapat dengan mudah didorong masuk ke
dalam skrotum, tetapi bila dilepaskan menaik lagi karena kontraksi otot
kremaster. Testis retraktil sebenarnya suatu varian fisiologik yang normal,
yaitu saat lahir testis belum menurun normal atau sebenarnya telah
mengalami desensus sempurna ke dalam kantung skrotum namun
sementara menempati lokasi yang lebih tinggi akibat refleks kremaster,
sehingga testis didorong dari skrotum ke daerah inguinal superfisial.Testis
4
retraktil tidak perlu pengobatan karena pada waktu pubertas mengalami
desensus spontan dan selanjutnya berfungsi normal. (1) Gliding/ascending
testis kadang dimasukkan sebagai kelompok intermediet antara
testiskriptorkid dan retraktil.
Secara klinis, diagnosis kriptorkismus sulit ditegakkan dengan
pasti sebelum usia 1 tahun, karena banyak testis turun spontan dalam
beberapa bulan pertama. Dan untuk membedakan testis ektopik atau testis
yang tidak turun sejati (UDT) hanya dengan eksplorasi bedah.
II.2 Embriologi
Traktus genitalis pria berasal dari birai urogenital. Bagian medial
birai urogenital berproliferasi membentuk birai genital yang sejajar dengan
birai urinarius mesonefrik. Pada minggu keempat sampai kelima
kehidupan embrio, gonad primitif mulai timbul dari birai genital pada sisi
medial coelom, berdekatan dengan mesonefros. Kemudian pada minggu
keenam mulai terjadi diferensiasi. Persistensi kelim luar (korteks) akan
mengakibatkan pembentukan ovarium, sedangkan perkembangan bagian
tengah (medulla) akan membentuk testis. Arah perkembangan menuju ke
testis ditentukan oleh kromosom Y atau interaksi X-Y. Satu X ialah
eukromatik, sedangkan X lainnya atau Y ialah heterokromatik. Informasi
struktur gen untuk diferensiasi testis terdapat pada kromosom X,
sedangkan kontrol pengaturan dilaksanakan oleh kromosom Y. Karena
ujung kaudal birai genital berproliferasi lebih keras, maka pada akhir
minggu ketujuh pada pria telah dapat dikenal adanya testis yang terletak
intracoelomic. Pada kira-kira bulan ketiga perkembangan fetus, testis ini
terletak tepat diatas pelvis, suatu proses yang disebut sebagai desensus
internal. Perjalanan testis selanjutnya ke tempatnya yang definitif di dalam
skrotum terjadi pada bulan kedelapan sampai kesembilan perkembangan
fetus dan disebut desensus eksternal.
Struktur internal testis berkembang pada bulan ketiga kehamilan.
Epitel germinal eksternal berdiferensiasi menjadi selaput tunika testis.
5
Massa epithelial dalam atau sel totipotensial yang termasuk akan
membentuk struktur tubular testis.
Sistem duktus ekskretorius testis, yaitu epididimis, vas deferens
dan vesikula seminalis berasal dari duktus mesonefrik (duktus Wolff),
yang pada hakekatnya duktus pronefrik yang persisten. Tubulus
mesonefrik yang paling atas berkembang menjadi duktulus eferen yang
bersambungan dengan rete testis, melengkapi sistem duktus ekskretorius.
Duktus-duktus yang khusus tidak terbentuk bersamaan dengan
perkembangan testis. Namun, sewaktu stadium awal perkembangan
seksual yang belum berdiferensiasi, juga terbentuk duktus Muller pada
wanita, yang pada pria hampir seluruhnya mengalami regresi, kecuali
ujung paling sefalad yang menetap sebagai apendiks testis dan ujung
paling kaudal yang membentuk dua struktur rudimenter pada pria dewasa,
yaitu kolikulus seminalis dan utrikulus prosatatik.
Gambar (A) duktus genitalia pada 4 bulan. (B) duktus genitalia setelah desensus testis. Horse-shoe
testis cord, rete testis, duktus eferens memasuki duktus deferens. Paradidimis terbentuk dari
tubulus paragenital mesonefrik. Duktus paramesonefrik berdegenerasi kecuali appendiks testis.
6
Genitalia eksterna mulai timbul pada kira-kira minggu keenam
kehidupan embrio, dikenal sebagai tuberkulum genital (genital tubercles)
yang berupa tonjolan berbentuk kerucut pada garis tengah tubuh, lebih
kurang dipertengahan antara tali pusat dan ekor. Dalam perkembangan
selanjutnya di sebelah ventral terbentuk suatu alur dangkal dengan birai-
birai lateral, yang kemudian berpadu membentuk saluran uretra. Dari
tuberkulum ini kemudian akan terbentuk penis pada pria atau klitoris pada
wanita. Lipatan genital (genital folds) akan membentuk median raphe
menutup orifisium uretra pada penis atau labium minor, sedangkan
pembengkakan genital (genital swellings) membentuk kantung skrotum
atau labium mayor.
Gambar (A) usia pada 4 minggu, (B) usia pada 6 minggu
7
Gambar (A) perkembangan genitalia pria pada minggu ke 10, (B) potongan transversal saat
pembentukan penile urethrae, (C) perkembangan glandula penile urethrae, (D) bayi lahir.
II.2.1 Desensus Testis
Mekanisme yang berperan dalam desensus testis belum seluruhnya
dapat dimengerti. Terdapat cukup bukti bahwa untuk berpindahnya testis
normal ke dalam skrotum memerlukan aksi androgen, dan agar hal ini
dapat berlangsung,diperlukan aksis hipotalamus-hipofisis testis yang
normal. Mekanisme aksi androgen untuk merangsang desensus testis tidak
diketahui. Organ sasaran androgen kemungkinan gubernakulum, suatu pita
fibromuskular yang terkait pada testis-epididimis dan pada bagian bawah
dinding skrotum, yang pada minggu-minggu terakhir kehamilan
berkontraksi dan menarik testis ke dalam lokasinya yang normal dalam
skrotum.
Seluruh proses desensus testis meliputi tiga fase :
1) Pada permulaan, gonad primitive terbentuk tinggi dalam rongga coelom.
Kemudian testis intraabdominal ini terdesak ke kaudal karena metanefros
bermigrasi ke cranial dan selanjutnya mengalami regresi. Fase ini selesai
dalam 7 minggu.
2) Testis bergerak transabdominal dari dinding abdominal posterior ke daerah
inguinal. Proses ini selesai dalam 12 minggu.
8
3) Desensus testis melalui kanalis inguinalis ke dalam skrotum. Proses ini
terjadi antara bulan ketujuh dan kelahiran.
Kebanyakan kausa kriptorkismus terjadi akibat gangguan pada fase
terakhir. Berbagai hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan
perjalanan testis transinguinal ini :
1) Hipotesis traksi :
Gubernakulum testis dan otot kremaster berperan pada desensus testis
dengan cara menarik testis ke dalam skrotum
2) Hipotesis dorongan epididimis :
Epididimis mempunyai aksi mendorong pada testis yang sedang
berkembang
3) Hipotesis perbedaan pertumbuhan :
Perbedaan pertumnuhan testis dan gubernakulum pada satu sisi dan
dinding tubuh pada sisi lainnya, menyebabkan kanalis inguinalis tumbuh
ke atas, yang akhirnya mengelilingi testis yang relatif tidak mobil.
4) Hipotesis tekanan intraabdominal :
Desensus testis terjadi karena tekanan intraabdominal meninggi akibat
pertumbuhan alat-alat dalam.
5) Hipotesis endokrin :
Terdapat berbagai hipotesis, yang semuanya berdasarkan bukti bahwa
faktor-faktor endokrin mempunyai peranan penting dalam hal mengatur
desensus testis normal.
II.2.2 Perkembangan Testis Normal dari Lahir sampai Pubertas
Pada beberapa bulan pertama sejak lahir, tubulus seminiferus
hanya sedikit berkeluk-keluk, diameternya rata-rata 80 mikron dan tetap
tersusun sebagai tali (cords) tanpa lumen. Tubulus dikelilingi mebran
basal yang tipis dan di sebelah luarnya terdapat anyaman serabut retikulin
yang halus. Dalam tubulus terutama terdapat sel Sertoli yang imatur dan
juga beberapa spermatogonium, berupa spermatogonium fetal dan
spermatogonium A. Di dalam interstisium terdapat sel Leydig fetal baik
9
berupa sel-sel tunggal atau dalam kelompok kecil-kecil. Kemudian sel
Leydig fetal menghilang, yang berlangsung sejak usia 3 bulan sampai 9
tahun.
Fase Istirahat
Selama empat tahun pertama sejak lahir, tubulus seminiferus
menunjukkan membran basal yang sama, tetapi sedikit lebih tebal
dibandingkan dengan yang terdapat pada neonatus. Diameter tubulus rata-
rata berkurang dari 80 menjadi 60 mikron. Dengan bertambahnya usia,
maka spermatogonium fetal berkurang dan spermatogonium A bertambah.
Sel Leydig fetal telah menghilang dan hanya tersisa sel yang berdegenerasi
dan perintis sel Leydig dewasa.
Fase Pertumbuhan aktif
Antara usia 4 dan 9 tahun, tubulus seminiferus dan interstisium
menunjukkan periode pertumbuhan dan perkembangan aktif. Tubulus
bertambah panjang, demikian pula diameternya bertambah, hingga pada
usia 8 tahun rata-rata berukuran 75 mikron. Juga terbentuk lumen pada
tubulus. Selain spermatogonium A, lambat laun juga berkembang
spermatogonium B, kadang juga ditemukan spermatosit.
Fase Imaturasi
Perubahan testis yang paling mencolok sejak lahir terjadi selama
pubertas, suatu periode yang dapat bervariasi dari usia 9-15 tahun,
meliputi transformasi testis infantil yang non fungsional menjadi organ
fertil yang dewasa. Tubulus mengalami perubahan bermakna menuju ke
spermatogenesis aktif. Diameternya bertambah hingga maksimum ±150
mikron dan membrane basal juga menebal. Sel Sertoli imatur di bawah
pengaruh rangsang hipofisis mengalami transformasi bertahap menjadi sel
Sertoli matur. Jaringan intersitisial sebagai respon terhadap sekersi LH
(luteinizing hormone) oleh hipofisis yang sangat bertambah, menunjukkan
transformasi bertahap perintis sel Leydig menjadi sel Leydig matur.
Spermatogenesis meliputi spermatogonium yang berdiferensiasi menjadi
spermatosit primer lalu mengalami pembelahan meiotik menjadi
10
spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder mengalami pembelahan
meiotik kedua menjadi spermatid. Spermatid tetap berhubungan dengan
ujung luminal sel Sertoli. Pada maturasi dan pelepasan spermatid menjadi
spermatozoa.
II.3 FISIOLOGI
Epididimis harus mempunyai perlekatan yang normal ke testis agar
proses penurunan terjadi. Gubernakulum yang melekat pada kauda
epididimis merupakan target androgen yang penting. Perannya dalam
penurunan testis adalah melalui pelebaran pasif kanalis inguinalis sehingga
testis bisa melaluinya untuk menuju skrotum.
Apabila hormon androgen dan gonadotropin berperan pada
penurunan testis maka interaksi antara aksis hormonal hipotalamus-
hipofisis-testis dengan gubernakulum dan epididimis mempunyai kaitan
yang sangat erat. Hipotalamus memproduksi luteinizing hormonereleasing
hormone (LH-RH), yang merangsang kelenjar hipofise memproduksi
gonadotropinsluteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone
(FSH). LH merangsang sel Leydig dalam testis untuk menghasilkan
testosteron dan FSH meningkatkan reseptor LH pada membran sel Leydig.
Bila terdapat gangguan pada tingkat hipotalamus pada sintesis
gonadotropin releasing hormone seperti pada sindrom Kallmann, sindrom
Prader Willi, anencephali atau gangguan pada tingkat pituitari dalam
pembentukkan gonadotropin (LH, FSH) seperti apaplasia pituitary atau
gangguan pada tingkat-tingkat selanjutnya, maka akan terjadi hambatan
parsial atau total terhadap penurunan testis. Walaupun testosterone mampu
menginduksi turunnya testis, secara percobaan penurunan testis terutama
diatur oleh dihidrotestosteron (DHT).
Diferensiasi sel Leydig selama minggu ke-7 kehamilan. Sebagai
respon terhadap hCG ibu, pembentukan testosterone dari pregnenolon dan
progesterone yang diproduksi oleh plasenta dimulai pada minggu ke 8.
Pada minggu ke 11 dan 16, kadar testosterone serum fetus meningkat
11
hingga 230 ng/dl atau lebih, yang sedikit lebih rendah dibanding kadar
pada lelaki dewasa.
Selama trimester pertama kehamilan, pembentukan testosterone
diatur oleh hCG plasenta. Sedangkan kelenjar hipofise fetus dianggap
berperan dalam trimester kedua dan ketiga. Selama waktu itu, testosterone
serum fetus turun hingga 75-100 ng/dl, yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan kadar pre pubertas.
Mullerian Inhibiting Substance (MIS) selain berperan dalam
menyebabkan regresi duktus Muller agaknya terlibat dalam mengawali
fase turunnya testis. Dugaan ini didukung observasi pada sindrom duktus
Muller persisten dimana gagalnya regresi duktus Muller selalu disertai
dengan kriptorkismus. Sebagai tambahan, ovarium yang tidak
memproduksi MIS tidak pernah turun ke labia.
Bagan. Diferensiasi jenis kelamin pada pria
Ovum (X) + sperma (Y)
↓
Embrio dengan kromosom seks XY
↓
Region penetu jenis kelamin di kromosom Y (SRY) merangsang pembentukan antigen H-Y di
membrane plasma gonad yang belum berdiferensiasi
↓
Antigen H-Y mengarahkan diferensiasi gonad menjadi testis
↓
Testis mengeluarkan testosterone dan Mullerian-inhubiting factor
↓ ↓
Testosteron Mullerian-inhibiting factor
↓ ↓
Dihidrotestosteron (DHT) Degenerasi duktus Mulleri
↓
12
Mendorongperkembangan
genitalia eksternayang belum
berdiferensiasimengikuti jalur pria
Mengubah duktus Wolfiimenjadi saluranreproduksi pria (misalepididimis,duktus deferens,duktusejakulatorius,vesikula)
II.4 DEFINISI
Kriptorkismus didefinisikan sebagai terhentinya proses penurunan satu
atau kedua testis di suatu tempat antara rongga abdomen dengan skrotum.
Kriptorkismus secara harfiah berarti ‘testis yang tersembunyi’. Sedangkan yang
dimaksud adalah testis yang tidak berada ditempat yang semestinya yaitu di dalam
skrotum. Istilah lainnya adalah undescended testis yang berarti testis yang tidak
turun; dan maldescended testis yaitu testis salah jalur dalalm proses
penurunannya. Ada juga yang mengatakan retention testis.
II.5 Epidemiologi
Besar insidensi UDT berbeda pada tiap-tiap umur. Bayi baru lahir
(3 – 6%), satu bulan (1,8%), 3 bulan (1,5%), Satu tahun (0,5 – 0,8%). Bayi
lahir cukup bulan 3% diantaranya kriptorkismus, sedang lahir kurang
bulan sekitar 33% . Pada berat badan bayi lahir (BBL) dibawah 2000 gram
insidensi UDT 7,7% BBL 2000-2500 (2,5%), dan BBL diatas 2500
(1,41%) Insidensi kriptorkismus unilateral lebih tinggi dibanding
kriptorkismus bilateral. Sedang insidensi sisi kiri lebih besar (kiri 52,1%
vs kanan 47,9%). Di Inggris, insidensinya meningkat lebih dari 50% pada
kurun waktu 1965 – 1985. di FKUI – RSUPCM kurun waktu 1987 – 1993
terdapat 82 anak kriptorkismus, sedang di FKUSU – RSUP. Adam Malik
Medan kurun waktu 1994 – 1999 terdapat 15 kasus.
II.6 Etiologi
Lebih dari dua abad yang lalu, John Hunter seorang ahli anatomi
dan ahli bedah Skotlandia, pada tahun 1786 telah menulis suatu monograf
mengenai desensus testis ke dalam skrotum. Dilemma yang dihadapinya
adalah menetapkan apakah testisnya yang abnormal ataukah berbagai
13
kelainan yang ditemukan pada testis akibat desensus inkomplit. Masalah
ini belum sepenuhnya dapat diterangkan. Pendapat bahwa kegagalan
desensus mencerminkan kelainan testis intrinsik, ditunjang oleh fakta
ditemukannya kelainan fungsional pada testis kontralateral yang telah
mengalami desensus normal. Namun pendapat ini dibantah oleh fakta lain
bahwa lebih dari sepertiga penderita kriptorkismus bilateral menjadi fertile
setelah diobati.
Pendapat lain menyatakan bahwa maldesensus ialah kausa dan
bukan akibat fungsi testis yang buruk. Suhu di dalam rongga abdomen ±
1OC lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum, sehingga testis
abdomen selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis
normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis
yang telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3
sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin
progresif dan akhirnya testis mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai
penghasil hormon androgen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak
mengalami gangguan. Kausa kriptorkismus ialah multiple dan mungkin
berbeda pada kasus yang satu dengan lainnya. Beberapa hal yng dianggap
menentukan adalah :
1. Disgenesis gonadal :
Meliputi berbagai kelainan interseks. Menurut teori ini desensus tidak
terjadi oleh karena testisnya abnormal
2. Mekanis/kelainan anatomis lokal :
Hipotesis ini mengaitkan kriptorkismus dengan berbagai faktor
mekanis/kelaianan anatomis yang mengganggu desensus. Misalnya,
funikulus spermatikus yang pendek, arteri spermatika yang tipis dan
pendek, tidak memungkinkan penurunan testis yang lebih jauh dari cincin
inguinal eksterna. Contoh lain adalah duktus deferens yang pendek, insersi
gubernakulum testis yang abnormal dan kekurangan ekstensi intraskrotal,
tidak ada cincin inguinal eksterna, tidak ada kanalis inguinalis, tertutupnya
processus vaginalis dengan rongga vaginal yang kosong.
14
3. Endokrin/hormonal :
Meliputi kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis. Diketahui bahwa
desensus testis tidak terjadi pada mamalia yang hipofisisnya telah
diangkat. Pemberian hormon gonadotropin pada pengobatan kriptorkismus
ternyata efektif, maka itu dikemukakan anggapan bahwa kriptorkismus
disebabkan oleh defisiensi sekresi gonadotropin.
4. Genetik/herediter :
Kriptorkismus termasuk diantara gejala-gejala barbagai sindrom
malformasi berhubungan dengan atau tanpa kelainan kromosom yang
diketahui bersifat herediter. Terdapat berbagai laporan kriptorkismus yang
familial, yang mendukung sifat herediter penyakit ini.
Penelitian terakhir mendapatkan adanya perdarahan selama proses
kehamilan akan meningkatkan faktor resiko bayi terkena kriptorkismus.
Perdarahan vagina dapat mengindikasikan adanya malfungsi dari plasenta
yang akan mempengaruhi efek dari produksi hCG dan stimulasi
pembentukan hormone pada testis. Faktor resiko lain adalah bayi yang
premature, BBLR, pemakaian obat clomiphene dan ibu yang merokok
dapat mempengaruhi perkembangan reproduktif pada pria.
II.7 Faktor Resiko
Karena penyebab pasti kriptorkismus tidak jelas, maka kita hanya
dapat mendeteksi faktor resikonya. Antara lain :
1. BBLR (kurang 2500 mg)
2. Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama
3. Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
4. Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)
5. Berat janin yang dibawah umur kehamilan.
6. Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT
II.8 Klasifikasi
Klasifikasi kriptorkismus berdasarkan etiopatogenesis :
15
1. Mekanis/anatomis (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis)
2. Endokrin/hormonal (kelainan multiple axis hipotalamus-hipofisis-testis)
3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4. Herediter/genetic
Klasifikasi kriptorkismus berdasarkan lokasi :
1. Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40%
2. Intrakanalikular (inguinal) : 20%
3. Intraabdominal (abdominal) : 10%
4. Terobstruksi : 30%
Klasifikasi kriptorkismus berdasarkan gambaran histopatologik :
1. Tipe 1 : kelainan minimal
2. Tipe 2 : hipoplasia germinal berat dan hipoplasia tubular ringan sampai
berat, sel Sertoli normal
3. Tipe 3 : hipoplasia germinal dan tubular berat, hipoplasia sel Sertoli
4. Tipe 4 : hipoplasia germinal dan tubular, hiperplasia sel Sertoli
Gambaran histopatologis testis pada kriptorkismus tergantung kepada saatnya
testis diperiksa, yaitu apakah prapubertal, pubertal, pasaca pubertal/dewasa. Testis
kriptorkid prapubertal Testis kriptorkid dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
lesi histologik yang ditemukan. Namun berbagai lesi tidak difus karena kadang
ditemukan pola mosaicyaitu daerah yang terganggu berselang-seling dengan
daerah normal.
- Tipe I (testis dengan kelainan ringan/hampir normal) : 26%
- Tipe II (testis dengan hipoplasia germinal berat) : 24%
- Tipe III (testis dengan hipoplasia tubular difus) : 33%
- Tipe IV (testis dengan hyperplasia sel Sertoli difus) : 17%
Testis kriptorkid pubertal
- Perlambatan mencolok pada maturasi epitel seminiferus : 42%
- Hanya terdapat sel Sertoli tanpa sel benih/germinal : 25%
- Hanya terdapat permulaan spermatogenesis atau maturasi terhambat pada tingkat
spermatogonium : 33%
16
Testis kriptorkid pasca pubertal
- Hanya sel Sertoli dewasa dan beberapa spermatogonium (kebanyakan berlokasi
di kanalis inguinalis) : 29%
- Sel Sertoli imatur dengan/tanpa beberapa spermatogonium (kebanyakan
berlokasi dalam abdomen dan yang lain dalam funikulus): 21%
- Hambatan pematangan sel benih (maturation arrest) (biasanya pada testis yang
terobstruksi) : 12,5%
- Hipoplasia sel benih/germinal (dapat berupa testis terobstruksi, scrotal, atau
dalam
kanalis inguinalis) : 37,5%
II.9 Patogenesis
Skrotum adalah regulator suhu yang efektif untuk testis, dimana suhu
dipertahankan sekitat 1 derajat Celsius (1,8 derajat Fahrenheit) lebih dingin
dibanding core body temperature. Sel spermatogenesis sangat sensitif terhadap
temperatur badan. Mininberg, Rodger dan Bedford (1982) mempelajari
ultrastruktur kriptorkismus dan mendapatkan perubahan pada kurun satu tahun
kehidupan. Pada umur 4 tahun didapatkan deposit kolagen masif. Kesimpulan
mereka adalah testis harus di skrotum pada umur 1 tahun.
Penelitian biopsi testis kriptorkismus menunjukkan bukti yang
mengagetkan dimana epitel germinativum dalam testis tetap dalam ukuran normal
untuk 2 tahun pertama kehidupan. Sementara umur 4 tahun terdapat penurunan
spermatogonia sekitar 75 % sehingga menjadi subfertil / infertile.
Setelah umur 6 tahun tampak perubahan nyata. Diameter tubulus
seminiferus mengecil, jumlah spermatogonia menurun, dan tampak nyata fibrosis
di antara tubulus testis. Pada kriptorkismus pascapubertas mungkin testis
berukuran normal, tetapi ada defisiensi yang nyata pada komponen spermatogenik
sehingga pasien menjadi infertil . Untungnya sel leydig tidak dipengaruhi oleh
suhu tubuh dan biasanya ditemukan dalam jumlah normal pada kriptorkismus.
Sehingga impotensi karena faktor endokrin jarang terjadi pada kriptorkismus
Penelitian dengan biopsi jaringan testis yang mengalami kriptorkismus
17
menunjukkan tidak terjadi abnormalitas kromosom. Maldescensus dan degenerasi
maligna tidak dapat disebabkan karena defek genetik pada testis yang mengalami
UDT
II.10 Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis UDT dapat dibuat oleh orangtua anak atau dokter
pemeriksa pertama. Umumnya diawali orangtua membawa anak ke dokter
dengan keluhan skrotum anaknya kecil. Dan bila disertai dengan hernia
inguinalis akan dijumpai pembengkakan atau nyeri berulang pada
skrotum. Anamnesis ditanyakan :
Pernahkah testis diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum. Ada
tidaknya kelainan kongenital yang lain, seperti hipospadia, interseks,
prunne belly syndroma, dan kelainan endokrin lain. Ada tidaknya riwayat
UDT dalam keluarga. Tanda kardinal UDT ialah tidak adanya satu atau
dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh nyeri testis karena
trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis pubis. Pada dewasa
keluhan UDT sering dihubungkan dengan infertilitas
Pemeriksaan Fisik
1. Penentuan lokasi testis
Beberapa posisi anak saat diperiksa : supine, squatting, sitting .
Pemeriksaan testis harus dilakukan dengan tangan hangat. Pada posisi
duduk dengan tungkai dilipat atau keadaan relaks pada posisi tidur.
Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking.
Bisa juga dengan satu tangan di skrotum sedangkan tangan yang lain
memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior superior menyusuri
inguinal sampai kantong skrotum. Hal ini mencegah testis retraksi karena
pada anak refleks muskulus kremaster cukup aktif yang menyebabkan
testis bergerak ke atas / retraktil sehingga menyulitkan penilaian.
Penentuan posisi anatomis testis sangat penting sebelum terapi
karena berhubungan dengan keberhasilan terapi. Testis retraksi tidak perlu
18
terapi. Testis yang retraktil sudah turun saat lahir, tetapi pada pemeriksaan
tidak ditemukan di dalam skrotum kecuali anak relaks.
2. Penentuan apakah testis palpabel
Testis teraba
Bila testis palpable beberapa kemungkinan antara lain : (1) testis
retraktil (2) UDT (3) Testis ektopik (4). Ascending Testis Syndroma.
Ascending Testis Syndroma ialah testis dalam skrotum /retraktil, tetapi
menjadi lebih tinggi karena pendeknya funikulus spermatikus. Biasanya
baru diketahui pada usia 8 -10 tahun. Bila testis teraba maka tentukan
posisi, ukuran, dan konsistensi. Bandingkan dengan testis kontralateralnya.
Bila impalpable testis
Kemungkinannya ialah : (1) intrakanalikuler, (2) intraabdominal,
(3) Atrofi testis, (4) Agenesis. Kadang di dalam skrotum terasa massa
seperti testis atrofi. Jaringan ini biasanya gubernakulum atau epididimis
dan vas deferens yang bisa bersamaan dengan testis intraabdominal.
Impalpable testis biasanya disertai hernia inguinal. Pada bilateral
impalpable testis sering berkaitan dengan anomali lain seperti interseksual,
prone belly syndrome
Berikut bagan kemungkinan abnormalitas testis :
Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan bila testis impalpable atau meragukan beberapa
modalitas penunjang diperlukan.
Ultrasonografi (USG)
Merupakan modalitas pertama dalam menegakkan kriptorkismus
Alasan :
a. Sekitar 72% kriptorkismus terletak intrakanalikuler sehingga
aksesibilitas USG cukup baik
b. Non invasif
c. Mudah didapat
d. Praktis/mudah dijadwalkan
e. Murah
19
Pada USG testis prepubertas mempunyai gambaran ekhogenitas
derajat ringan sampai sedang, dan testis dewasa ekhogenitas derajat
sedang. USG hanya efektif untuk mendeteksi testis di kanalis inguinalis ke
superfisial, dan tidak dapat mendeteksi testis di intraabdominal. Di luar
negeri keberhasilannya cukup tinggi (60-65%), sementara FKUI hanya
5,9%. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman operator.
CT Scan
Merupakan modalitas kedua setelah USG. CT Scan dapat
mendeteksi testis intraabdominal. Akurasi CT Scan sama baiknya dengan
USG pada testis letak inguinal. Sedang testis letak intraabdominal CT
Scan lebih unggul ( CT Scan 96% vs USG 91%). False positif / negatif
biasanya akibat pembesaran limfonodi. Dapat dibedakan dengan testis
karena adanya lemak di sekeliling limfonodi.
MRI
Dapat mendeteksi degenerasi maligna pada kriptorkismus.
Kelemahannya loop usus dan limfonodi dapat menyerupai kriptorkismus
Angiografi
Akurat tetapi invasif sehingga tidak disukai. Venografi Gadolium
dengan MRI lebih akurat dibanding MRI tunggal
II.11 Penatalaksanaan
Tujuan dari penanganan UDT adalah :
- Meningkatkan vertilitas
- Mencegah torsio testis
- Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum
pubik
- Mengkoreksi kelainan lain yang menyertai, seperti hernia
- Mencegah / deteksi awal dari keganasan testis
- Membentuk body image
Terapi non Bedah
Berupa terapi hormonal. Terapi ini dipilih untuk UDT bilateral
palpabel inguinal. Tidak diberikan pada UDT unilateral letak tinggi atau
20
intraabdomen. Efek terapi berupa peningkatan rugositas skrotum, ukuran
testis, vas deferens, memperbaiki suplay darah, dan diduga meningkatkan
ukuran dan panjang vasa funikulus spermatikus, serta menimbulkan efek
kontraksi otot polos gubernakulum untuk membantu turunnya testis.
Dianjurkan sebelum anak usia 2 tahun , sebaiknya bulan 10 – 24. Di FKUI
terapi setelah usia 9 bulan karena hampir tidak dapat lagi terjadi penurunan
spontan.
Hormon yang diberikan :
a. HCG
Hormon ini akan merangsang sel Leydig menproduksi testosteron.
Dosis : Menurut Mosier (1984) : 1000 – 4000 IU, 3 kali seminggu selama 3
minggu. Garagorri (1982) : 500 -1500 IU, intramuskuler, 9 kali selang sehari.
Ahli lain memberikan 3300 IU, 3 kali selang sehari untuk UDT unilateral dan
500 IU 20 kali dengan 3 kali seminggu. Injeksi HCH tidak boleh diberikan
tiap hari untuk mencegah desensitisasi sel Leydig terhadap HCG yang akan
menyebabkan steroidogenic refractoriness.
Hindari dosis tinggi karena menyebabkan efek refrakter testis terhadap
HCG, udem interstisial testis, gangguan tubulus dan efek toksis testis. Kadar
testosteron diperiksa pre dan post unjeksi, bila belum ada respon dapat diulang
6 bulan berikutnya. Kontraindikasi HCG ialah UDT dengan hernia, pasca
operasi hernia, orchydopexy, dan testis ektopik. Miller (16) memberikan
HCG pada pasien sekaligus untuk membedakan antara UDT dan testis
retraktil. Hasilnya 20% UDT dapat diturunkan sampai posisi normal, dan 58%
retraktil testis dapat normal.
b. LHRH
Dosis 3 x 400 ug intranasal, selama 4 minggu. Akan menurunkan testis
secara komplet sebesar 30 – 64 %.
c. HCG kombinasi LHRH
Dosis : LHRH 3 x 400 ug, intranasal, 4 minggu . Dilanjutkan HCG
intramuskuler 5 kali pemberian selang sehari. Usia kurang 2 tahun : 5 x 250 ug, 3
-5 tahun : 5 x 500 ug, di atas 5 tahun : 5 x 1000 ug.
21
Respon terapi : penurunan testis 86,4%, dengan follow up 2 tahun kemudian
keberhasilannya bertahan 70,6%.
Evaluasi terapi.
Berdasar waktu : akhir injeksi, 1 bulan, 3 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12
bulan. Berdasar posisi : respon komplet bila testis berada di skrotum, sedang
respon inkomplet bila testis posisi inguinal rendah Efek samping bersifat
reversibel. Ujud kelainan berupa bertambah ukuran testis, pembesaran penis,
ereksi, meningkatnya rugositas skrotum, tumbuhnya rambut pubis
hiperpigmentasi dan gangguan emosi
Terapi Bedah
Tujuan pembedahan adalah memobilisasi testis, adequatnya suplay vasa
spermatika , fiksasi testis yang adequat ke skrotum, dan operasi kelainan yang
menyertainya seperti hernia.
Indikasi pembedahan :
Terapi hormonal gagal
Terjadi hernia yang potensial menimbulkan komplikasi
Dicurigai torsio testis
Lokasi intraabdominal atau di atas kanalis inguinalis.
Testis ektopik
Tahapan :satu tahap atau 2 tahap tergantung vasa spermatika apakah panjang atau
pendek.
Tekinik operasi pada UDT :
Orchydopexy Standar
Prinsip dari orchidopexy meliputi 3 tahap
1. Funikulolisis
Adalah pelepasan funikulus spermatikus dari musculus kremester dan
memungkinkan dapat memperpanjang ukurannya. Vasa testicularis di bebaskan
sejauh mungkin ke retroperitoneal dan dimobilisasi lebih ke medial yang akan
meluruskan dan memperpanjang vasa. Terdapat kesulitan ketika memobilisasi
vasa diatas vasa iliaca komunis
22
Beberapa metode yang digunakan untuk menurunkan testis ke skrotum antara lain
Ombredonne, Bevas, Torek, Cobot – Nesbit, Longord, Gersung, Denis Browne.
George Major menolak metode Mauclain (menurunkan testis ke kontralateral),
juga tidak setuju UDT bilateral dikerjakan sekaligus dalam satu tahap oleh karena
ancaman infeksi dari kesulitan fiksasi pada septum skrotum
Funikulolisis dikerjakan melalui insisi inguinal tinggi dan testis diturunkan
dengan bantuan tarikan tali (benang) transcrotal ke paha Bila pasien UDT disertai
hernia inguinalis, kantung hernia kanan dibebaskan dari ligasi seproximal
mungkin, kantong vaginalis propria pada testis dan epidedimis dipertahankan,
karena serosa yang membungkus testis itu penting bagi spermatogenesis.
Teknik funikulolisis menurut Beran (1903) memotong vasa testis bila vasa
tersebut sangat pendek dan diharapkan vaskularisasi yang adequat dari vasa vas
defferens. Tetapi teknik ini kurang bagus dengan alasan maturasi normal
memerlukan suplay vaskuler yang optimal.
Teknik operasi orchydopexy standar
Akses : Menurut Ombredonne lebih menguntungkan dengan insisi inguinal tinggi
yang memungkinkan mobilisasi vaskuler retroperitoneal dan menempatkan testis
pada skrotum.
Funikulolisis :
- setelah diseksi aponeurosis m. obliqus abdominis eksternus dan
membebaskan anulus inguinal eksternus dengan hati-hati untuk menghindari
udema testis
- pisahkan (split) dinding kanalis sesuai arah seratnya sampai dengan anulus
inguinalis eksternus
- bebaskan funikulus spermatikus dan testis beserta tunikanya dari fascia dan
muskulus kremaster
- Pada kasus UDT dengan hernia, pemisahan tunika vaginalis funikulus
spermatikus secara hati-hati dengan menghindari cedera vasa dan ductus deferens,
dimana hal ini akan memperpanjang rentang funikulus
- sisihkan m. Oliqus Abdominis Internus dan m. Transversus Abdominis
dengan retraktor ke kraniomedial
23
- diseksi funikulus spermatikus ke kranial sampai dengan lateral dari vasa
epigastrika inferior
- bila belum cukup panjang untuk memungkinkan testis ke skrotum tanpa
tegang, vasa epigastrika inferior dipotong, sehingga funikulus spermatikus dapat
digeser lebih ke medial. Bila hal ini belum dapat panjang berarti funikulus
spermatikusnya memang pendek
- sering kantong hernia kongenital atau prosesus vaginalis persisten
menghambat mobilisasi funikulus, maka lepaskan kantong secara hati-hati dan
ligasi tinggi. Bila peritoneum terbuka jahit secara atraumatik
- pembebasan diatas akan lebih mudah bila gubernakulum dipotong lebih dulu
kemudian dilanjut dengan pembebasan testis
- mobilisasi lanjut ke arah retroperitoneal dilakukan dengan memotong m.
obliqus abdominis internus dan m. transversus abdominis ke arah kranio lateral
atau melepaskan ligamentum inguinalis
- kemudian vasa spermatika interna dapat dibebaskan secara retroperitoneal ke
kranial sampai melewati vasa iliaka
- setinggi promontorium vasa akan menyilang ureter. Hati-hati dalam
membebaskannya
2. Pemindahan testis ke dalam skrotum (transposisi)
Bagian skrotum yang akan ditempati testis telah kosong dan menjadi lebih kecil
dibanding ukuran normal. Regangkan dinding skrotum dengan diseksi jari-jari
sehingga menciptakan suatu ruangan. Traksi ditempatkan pada gubernakulum
Testis yang telah bebas dan funikulus spermatikusnya cukup panjang,
ditempatkan pada skrotum, bukan ditarik ke skrotum.
3. fiksasi testis dalam skrotum
Adalah hal prinsip bahwa testis berada di skrotum bukan karena tarikan dan testis
tetap berada di habitat barunya, sehingga menjadi kurang tepat bila keberadaan
testis di skrotum itu karena tarikan dan fiksasi testis.
Fiksasi testis tetap diperlukan.
24
- Untuk mengikatnya tembuskan benang pada stumb ligamentum hunteri pada
pole bawah testis dengan benang nonabsorpable dan meninggalkan ujung benang
yang panjang
- perlebar skrotum dengan 2 jari, dengan bantuan jarum reverdin yang
ditembuskan dari kulit skrotum sisi luar dan mengambil ujung benang panjang
tadi dan keluarkan lagi jarum .
- Fiksasi kedua ujung benang pada sisi medial paha
- Teknik lain yang sering di pakai adalah tehnik ombredanne yang menempatkan
testis pada skrotum kontralateral dan mengikatnya pada septum scroti.
Stephen Flower Orchidopexy
Merupakan modifikasi orchidopexy standar. Ketika arteri
testikulariss tak cukup panjang mencapai skrotum, arteri testikularis
diligasi. Jadi testis hanya mengandalkan arteri vas deferens.
Orchydopexy bertahap
Bedah : Testis dibungkus dengan lembaran silastic dan difiksasi ke
pubis pada tahap I. Setelah 6-8 bulan dilakukan tahap II berupa eksplorasi
dan memasukkan testis ke skrotum
Laparoskopi : Menjepit arteri testikularis dengan laparoskopi
dikerjakan pada tahap I intuk UDT tipe abdomen. Setelah 6-8 bulan
dikerjakan Stephen Flower Orchydopexy.
Autotransplantasi
Pembuluh darah testis dilakukan anastomosis pada vasa epigastrika
inferior dengan teknik mikrovaskuler.
Protesis Testis
Pemasangan implant testis silastik untuk knyamanan, kosmetik, dan psikis.
Komplikasi
Praoperasi
Hernia Inguinalis
Sekitar 90% penderita UDT mengalami hernia inguinalis lateralis
ipsilateral yang disebabkan oleh kegagalan penutupnan processus vaginalis. .
25
Hernia repair dikerjakan saat orchydopexy . Hernia inguinal yang menyertai UDT
segera dioperasi untuk mencegah komplikasi
2. Torsio Testis
Kejadian torsio meningkat pada UDT, diduga dipengaruhi oleh dimensi
testis yang bertambah sesuai volume testis. Juga dipengaruhi abnormalitas
jaringan penyangga testis sehingga testis lebih mobil
Trauma testis T
Testis yang terletak di superfisial tuberkulum pubik sering terkena trauma
4. Keganasan
Insiden tumor testis pada populasi normal 1 : 100.000, dan pada UDT 1 :
2550. Testis yang mengalami UDT pada dekade 3-4 menpunyai kemungkinan
keganasan 35-48 kali lebih besar . UDT intraabdominal 6 kali lebih besar terjadi
keganasan dibanding letak intrakanalikuler. Jenis neoplasma pada umumnya ialah
seminoma. Jenis ini jarang muncul sebelum usia 10 tahun. Karena alasan ini maka
ada pendapat yang mengatakan UDT usia diatas 10 tahun lebih baik dilakukan
orchydectomy dibandingkan orchydopexy(4). Menurut Gilbert & Hamilton sekitar
0,2 – 0,4 % testis ektopik menjadi ganas. Sedang testis dystopik angka
keganasannya 8-15%. Campbell menyebut 0,23% untuk ektopik testis dan 11%
untuk dystopik testis. Sementara UDT intrabdominal keganasan 5% dan inguinal
1,2%.
Infertilitas
Penyebabnya ialah gangguan antara germ cell . Infertilitas UDT bilateral
90%, sedang UDT unilateral 50% (2). Lipschultz, 1976 menunjukkan adanya
spermatogenesis yang abnormal post orchydopexy pada laki-laki umur 21-35
tahun UDT unilateral. Dan menduga bahwa ada abnormalitas bilateral testis pada
UDT unilateral
Psikologis
Timbul perasaan rendah diri fisik atau seksual akibat body image yang
muncul. Biasanya terjadi saat menginjak usia remaja (adoloscence) orang tua
biasanya mencemaskan akan fertilitas anaknya.
26
Pasca Operasi
1. Infeksi
Sangat jarang bila tindakan a/antiseptik baik, diseksi yang smooth
dan gentle akan meminimalkan terjadinya hematom
2. Atropi Testis
Karena funikulolisis tak adequat, traksi testis berlebihan, atau
torsio funikulus spermatikus saat tranposisi testis ke skrotum
II.12 Prognosis
Menurut Docimo kesuksesan operasi UDT letak distal anulus
inguinalis internus sebesar 92%, letak inguinal (89%), orchidopexy teknik
mikrovaskuler (84%), orchidopexy abdominal standar (81%) staged
Fowler-Stephens orchidopexy (77%), Fowler-Stephens orchidopexy
standar (67%)
UDT biasanya turun spontan tanpa intervensi pada tahun pertama
kehidupan. Resiko terjadinya keganasan lebih tinggi di banding testis
normal. Fertilitas pada UDT bilateral: 50% punya anak, sedang UDT
unilateral 80%.
27
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak laki-laki berumur 10 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan pada kantong kemaluan hanya ada satu buah zakar. Pada anamnesis lebih
lanjut diketahui bahwa sejak lahir penderita hanya memiliki satu buah zakar di
sebelah kanan. ± 3 tahun yang lalu SMRS ibu penderita baru menyadari timbul
benjolan pada lipat paha kiri, nyeri(-).
Penderita menyangkal adanya riwayat penyakit yang sama dalam
keluarganya.
Dari pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pernafasan, nadi,
tekanan darah dan suhu berada dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan fisik
status lokalis Regio Inguinal Sinistra terlihat tampak benjolan, warna sama dengan
sekitar. Pada palpasi, teraba massa kenyal, ukuran ± sebesar kelereng, mobile,
nyeri(-). Pada Regio Scrotum Sinistra tidak terlihat testis dan ketika di palpasi
testis tidak teraba.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai Hemoglobin, Hematokrit,
Leukosit, Trombosit,Waktu perdarahan, Waktu pembekuan, Natrium , Kalium,
dan BSS berada dalam batas normal.
Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dijelaskan pada bab II diagnosis
undesensus testis sinistra sudah dapat ditegakkan.
Penatalaksanaan terhadap penderita ini dengan tindakan operatif yaitu
orchidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi
pada kantung sub dartos.
Tujuan operasi adalah untuk mobilisasi testis dan spermatic vessel yang adekuat,
operasi hernia yang menyertai dan fiksasi testis adekuat ke dalam skrotum. Tujuan
lain operasi pada kriptorkismus adalah (1) mempertahankan fertilitas, (2)
mencegah timbulnya degenarasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya
28
torsio testis,dan (4) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena
tidak mempunyai testis
Prognosis penderita quo ad vitam adalah bonam dan quo ad functionam
adalah dubia ad malam.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Rukman, Yusuf, dkk. Tatalaksana Optimal Kriptorkismus. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1994
2. Behrman, kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15,
Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. Hal 1887-88
3. Sadler, T. W. Langman’s Medical Embryology 8th edition. Montana :
Twin Bridges. 2005
4. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001
5. Berkowitz GS, Lapinski RH, Dolgin SE, Gazella JG, Bodian CA,
Holzman IR. Prevalence and natural history of cryptorchidism. Available
at http://www. pubmedcentral.nih.gov. Accessed on January 17th, 2010.
6. Basuki, BP. Dasar-dasar Urologi Edisi kedua. Malang: CV Sagung Seto.
2009. Hal 137-140
7. Ida N. Damgaard, Tina K. Jensen,dkk. Risk Factors for Congenital
Cryptorchidism in a Prospective Birth Cohort Study. Available at
http://www.pubmedcentral.nih.gov. Accessed on January 17th, 2010.
8. Goldenring, John M. Care for Your Newborn Boy's Genitals. Available at
http://www.children.webmed.com. Accessed on January 17th, 2010.
9. Testicular Ultrasound. Available at http://men’s health.webmed.com.
Accessed on January 17th, 2010.
10. A J Swerdlow, C D Higgins, M C Pike. Risk of testicular cancer in cohort
of boys with cryptorchidism. Available at http://www.bmj.com. Accessed
on January 17th, 2010.
30