Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
I S S N 19 78— 30 00
Jurnal Sain Peternakan Indonesia
(Indonesia Animal Science Journal)
J U L I — D E S E M B E R 2 0 1 1 V O L U M E 6 , N O . 2
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan
Andi Mushawwir) 077 – 082
Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta
Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E
terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo
Chairun Nisa) 097 – 102
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta
Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan
Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124
Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan
Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani) 125 – 136
Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai
Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan
Muhakka) 137 – 142
Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas
Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150
ISSN 1978 - 3000
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA
(Indonesia Animal Science Journal)
Dewan Redaksi
Ketua Suharyanto, S.Pt., M.Si.
Anggota Drh. Tatik Suteky, M.Sc.
Ir. Warnoto, M.P.
Ir. Desia Kaharuddin, M.P.
Ir. Hidayat, M.Sc.
Ir. Kususiyah, M.S.
Nurmeiliasari, S.Pt., M.Agr.Sc.
Penyunting Prof. Ir. Urip Santoso, M.Sc, Ph.D.
Ir. Dwatmadji, M.Sc., Ph.D.
Heri Dwi Putranto, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc.
Ir. Siwitri Kadarsih, M.S.
Dr. Ir. Yosi Fenita, M.P.
Administrasi dan Distribusi Olfa Mega, S.Pt., M.Si.
Gema Pertiwi, S.E.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai
sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam
Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian, telaah/tinjauan
pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua
kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat
diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang
belum pernah dipublikasikan.
Indonesia Animal Science Journal (ISSN 1978 - 3000) is published 2 x per year
(January-June and July - December). We receive original papers in Animal
Husbandry which are not published in other journals.
Alamat Redaksi : Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB.
Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A.
Telp (0736) 21170 pst 219.
e-mail : [email protected] dan [email protected]
Terbit Pertama Kali : Juni 2006
Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum termasuk ongkos kirim
EDITORIAL
Salam Redaksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (JSPI) telah berusia 6 tahun dan tercermin dari
volume edisi ini, yaitu volume 6 no 2. Usia 6 tahun adalah relatif untuk dikatakan
sudah mapan atau belum, tetapi JSPI senantiasa berusaha untuk tampil dengan
sebaik-baiknya.
Pada volume ini, kembali JSPI menampilkan berbagai artikel ilmiah bidang
peternakan, mulai dari aspek fisiologis, produksi, nutrisi, pemuliaan, teknologi hasil,
dan aneka hewan potensial, termasuk kajian pada aspek sosial ekonominya.
Artikel yang ada telah melewati proses telaah dan editing, namun demikian masukan
dari pembaca masih sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya, semoga artikel yang disajikan ini semakin memberikan wahana baru
dalam pengembangan keilmuan bidang peternakan dan bermafaat bagi
pengembangan bidang peternakan itu sendiri.
Selamat membaca
Redaksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia
(Indonesia Animal Science Journal)
Volume 6 No 2. Juli – Desember 2011 ISSN 1978 - 3000
DAFTAR ISI
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin
dan Andi Mushawwir)
77 – 82
Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta
Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah)
83 – 88
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E
terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain)
89 –96
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S.
Hardjosworo Chairun Nisa)
97 – 102
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta
Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto)
103 – 114
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi
dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah)
115 – 124
Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan
Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani)
125 – 136
Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas
sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia
Sandi, dan Muhakka)
137 – 142
Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas
Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis)
143 – 150
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 77
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
Regulation of Body Heat of Laying and Growing Hen
Diding Latipudin dan Andi Mushawwir
Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan,
Universitas Padjadjaran, Bandung 45363, Indonesia.
Email: [email protected]
ABSTRACT
Sixty Isa Brown hens (each thirty growing and laying hens) housed indoors in battery individual cage were
used to explore the heat body regulation of laying and growing hens. This study was conducted in Kuningan,
West Java, for 3 months during June-August, 2011. Results of this study indicated that there were comb of
growing and laying hens were the organ that was greater heat evaporated than crest, feathers and shank. But
there was an increase heat evaporated at the shank in the laying hens, significantly. Responses of respiration
(respiration rate and heart rate) were higher in the laying hens, significantly. This study results can be
concluded that an increase in the responses of laying hen in heat evaporated mainly on shank, as well as
changes in respiration responses as an indication of heat stress.
Keywords: Layer, Heat, Regulation
ABSTRAK
Enam puluh ekor ayam ras petelur strain Isa Brown masing-masing 30 ekor fase grower dan fase layer, telah
digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui regulasi panas tubuh terhadap kedua fase tersebut. Ayam
percobaan ditempatkan dalam kandang “battery individual cage” selama 2 bulan pada musim kemarau (Juni-
Agustus 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jengger ayam fase grower dan layer merupakan organ
yang lebih besar mengevaporasikan panas dibandingkan pial, bulu dan shank. Namun pada fase layer terjadi
peningkatan evaporasi panas pada shank yang signifikant. Respon respirasi (laju respirasi dan denyut
jantung) nyata lebih tinggi pada fase layer. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada shank, serta terjadi
perubahan respon respirasi sebagai indikasi stres panas.
Kata kunci: ayam petelur, panas, regulasi
PENDAHULUAN
Ayam petelur termasuk hewan
homoioterm dengan tingkat metabolisme
yang tinggi, termasuk hewan yang dapat
menjaga dan mengatur suhu tubuhnya
agar tetap normal melalui proses yang
disebut homeostasis, temperatur tubuh
akan konstan meskipun hidup pada
temperatur lebih rendah atau lebih tinggi
dari pada temperatur tubuhnya, hal ini
dikarenakan adanya reseptor dalam
otaknya, yaitu hipotalamus untuk
mengatur suhu tubuh. Ayam petelur
dapat melakukan aktifitas pada suhu
lingkungan yang berbeda akibat dari
kemampuan mengatur suhu tubuhnya.
Ayam petelur mempunyai variasi
temperatur normal yang dipengaruhi
oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor
lingkungan, faktor panjang waktu siang
dan malam dan faktor makanan yang
dikonsumsi (Frandson, 1992; Yahav, et al.,
2004).
Kemampuan mempertahankan
suhu tubuh dalam kisaran yang normal
merupakan kegiatan yang sangat
mempengaruhi reaksi biokimiawi dan
proses fisiologis dalam kaitannya dengan
metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini
ISSN 1978 - 3000
| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 78
akan mempengaruhi perubahan yang
terjadi pada temperatur tubuh ayam
petelur.
Pada masing-masing periode
pertumbuhan, temperatur tubuh ayam
petelur berbeda-beda, karena temperatur
tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu
derajat panas yang tetap, Tetapi kisaran
di atas batas tertentu, karena proses
metabolisme di dalam tubuh tidak selalu
tetap dan faktor di sekitar tubuh (yang
diterima tubuh secara radiasi, konveksi,
dan konduksi).
Umumnya unggas, khususnya
ayam petelur tidak memiliki kelenjar
keringat, sehingga jalur utama untuk
menjaga keseimbangan suhu adalah
pelepasan panas melalui penguapan air
(evaporasi) pada kulit dan saluran
pernafasan dengan cara panting
(Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et
a.l., 2002). Indikator yang sangat
sederhana untuk mengetahui fenomena
ini adalah dengan mengukur permukaan
bagian-bagian tubuh ayam dan beberapa
parameter fisiologik. Perbedaan aktivitas
metabolisme akan menunjukkan respon
yang berbeda dalam mempertahankan
suhu tubuhnya.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui regulasi panas tubuh ayam
petelur fase grower dan layer dalam
mempertahankan suhu tubuhnya.
MATERI DAN METODE
Penelitian selama 3 bulan pada
musim kemarau (Juni-Agustus 2011),
telah dilakukan dengan menggunakan
ayam ras petelur strain ISA Brown
sebanyak 30 ekor fase grower umur 14
minggu dan 30 ekor fase layer umur 32
minggu. Rataan berat badan masing-
masing fase sekitar 500±10 g dan 1150±25
g. Ayam percobaan ditempatkan dalam
kandang battery individual. Tiap petak
kandang dilengkapi dengan tempat
pakan dan minum.
Peubah yang diukur adalah suhu
permukaan tubuh meliputi suhu jengger,
pial, bulu dan shank dengan
menggunakan thermometer infrared
(Codenoll digital infrared laser
thermometer) pada pagi, siang, dan sore
hari pada setiap hari Senin, Kamis,
Minggu selama tiga bulan. Infrared
ditembakkan pada bagian tubuh yang
ditetapkan sebagai titik pengukuran dari
jarak kurang lebih 50 cm. Rekaman
temperatur selanjutnya dicatat pada saat
nilai penunjukan temperatur pada
display thermometer tidak lagi berubah.
Laju respirasi dan denyut jantung
permenit diukur sekali seminggu selama
tiga bulan dengan menggunakan
stetoscope.
Data yang telah dikumpulkan
dianalisis dengan menggunakan uji T-
student dengan populasi tidak
berpasangan (Steel dan Torrie, 1993),
dengan ketentuan dan langkah pengujian
berikut:
− Populasi 1 = ayam petelur fase
grower.
− Populasi 2 = ayam petelur fase layer.
1. Rata-rata hitung
=
2. Simpangan Baku
S
3. Koefisien Variasi (KV)
KV = x 100%
KV = x 100%
4. Menghitung varians dari masing-
masing variabel
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 79
Keterangan :
Sx² = Varians sampel ayam
petelur fase grower
Sy² = Varians sampel ayam
petelur fase layer
5. Menguji keseragaman
Jika : F hitung > F table = Varians
sama
F hitung < F table = Varians
tidak sama
Keterangan :
F = Keseragaman populasi n1
= Jumlah sampel ayam petelur
fase grower
= Jumlah sampel ayam petelur
fase layer
6. Untuk varians yang sama
S
Dimana :
Keterangan :x
S = Varians.
= Varians gabungan ayam
petelur fase grower dan
ayam petelur fase layer.
= Varians sampel ayam
petelur fase grower.
= Varians sampel ayam
petelur fase layer.
= Rata-rata parameter sampel
ayam petelur fase grower.
= Rata-rata parameter sampel
ayam petelur fase layer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Respon Permukaan
Tubuh dalam Evaporasi Panas Metabolit
Rata-rata suhu permukaan tubuh
ayam ras petelur fase grower dan layer,
ditampilkan pada Tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon permukaan tubuh ayam
petelur dalam mengevaporasikan panas
tubuh berbeda nyata (p<0,05) baik pada
fase grower maupun pada fase layer.
Jengger merupakan bagian tubuh yang
mengevaporasikan panas lebih tinggi
dibanding organ yang lain, baik pada fase
grower maupun fase layer yaitu masing-
masing 30,10C dan 30,70C, dan bulu
contour merupakan bagian permukaan
tubuh yang paling tidak efektif
mengevaporasikan panas yaitu 25,70C
dan 24,70C masing-masing pada fase
grower dan layer (Tabel 1).
Darah merupakan cairan tubuh
yang berfungsi menjaga temperatur
tubuh (Dawson dan Whittow, 2000).
Rahardja (2010) mengemukakan bahwa
pada umumnya, pembuluh darah yang
menjadi tempat cadangan sejumlah
darah diinervasi oleh serabut syaraf
symphatetik yang perangsangannya
menyebabkan vasokontriksi, dan
mengalihkan pengaliran darah ke
bagian lain.
Perubahan proporsi darah yang
mengalir menuju pembuluh darah kapiler
antara lain dipengaruhi oleh suhu sebagai
mekanisme ransangan syaraf symphatetik
untuk mengeluarkan panas tubuh dalam
rangka mempertahankan suhu tubuh
ISSN 1978 - 3000
| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 80
ternak (Yanagi, et al., 2002, Mutaf, et al.,
2008 dan Yahaf, et al., 2008). Terkait
dengan fungsi organ sebagai alat dalam
mangevaporasikan panas maka organ-
organ yang memiliki pembuluh darah
kapiler yang banyak akan efektif sebagai
organ yang mengevaporasikan panas
lebih tinggi, dengan meningkatkan laju
alir dan proporsi darah ke organ-organ
tersebut (Havenstein, et al., 2007; Shinder,
2007).
Respon Fisiologi Pernafasan
Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa
kondisi fisiologi pernafasan tampak
mengalami perubahan dari fase Grower
ke fase layer. Perubahan ini merupakan
konsekuensi dari aktivitas themoregulasi
guna mempertahanan suhu tubuh.
Aengwanich (2007) dan Rahardrja
(2010) melaporkan bahwa penelitian
pada unggas (ayam petelur), yang
mengalami hipertermia, memberikan
petunjuk bahwa pengaliran darah ke
pembuluh kapiler di kulit (termasuk
kaki), jaringan rongga hidung dan
mulut (nasobuccal) serta otot-otot
pernafasan meningkat sampai 4 kali.
Perubahan pengaliran darah ke
jaringan perifer tersebut, terutama
berkaitan dengan peranan Arteri-Vena
Anastomosa (AVA) yang memiliki
volume besar dan resistensi rendah untuk
mengalirkan darah yang diperlukan
dalam pengeluaran panas. Peran AVA
ini telah ditunjukkan pada
penelitian-penelitian yang
menggunakan anjing, kelinci maupun
domba. Penelitian yang menggunakan
kaki belakang domba memberikan
petunjuk bahwa pemanasan kulit atau
hypothalamus atau sumsum tulang
belakang berpengaruh mendilatasikan
AVA, dan meningkatkan pengaliran
darah melalui arteri femoralis. Panas
juga dapat mendilatasikan AVA pada
kaki unggas, dan tampaknya
peningkatan aliran darah ke lidah unggas
adalah juga melalui AVA (Yahav, 2000;
Mutah dan Seber, 2005; Cangar, et al.,
2008; Tan, et al., 2010 dan Rahardja, 2010).
Fenomena inilah yang menyebakan
peningkat laju pernfasan dan denyut
jantung sebagai konsekuensi
mempertahankan suhu tubuhnya.
Berbagai penelitian pada ternak
unggas khususnya ayam petelur,
yang mengalami hipertermia,
memberikan petunjuk bahwa pengaliran
darah ke pembuluh kapiler di kulit
(termasuk kaki), jaringan rongga
hidung dan mulut (nasobuccal) serta
otot-otot pernafasan mengalami
peningkatan yang signifikan.
Sebaliknya pengaliran darah ke tulang,
saluran pencernaan dan reproduksi
menurun 46–80% dari keadaan normal
(Rahardja, 2010).
Furlan et al. (1999) mengemukakan
bahwa pada keadaan volume curah
jantung tidak menunjukkan perubahan,
peningkatan pengaliran darah ke kulit
dan jaringan nasobuccal adalah untuk
meningkatkan pengeluaran panas,
sementara peningkatan aliran darah ke
otot-otot pernafasan adalah untuk
Tabel 1. Rata-rata Temperatur Permukaan Tubuh Ayam
Ras Petelur Fase Grower dan Layer
Fase
Permukaan Tubuh
Jengger
(J)
Pial
(P) Bulu Countour (B)
Shank
(S)
Grower 30.1a 26.0b 25.7c 27.6d
Layer 30.7e 25.9b 24.7g 28.7h
Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda pada kolom
yang sama berbeda nyata (P < 0,05)
Tabel 2. Beberapa Respon Fisiologi Ayam Ras
Petelur Fase Grower dan Layer (rata-
rata temperatur lingkungan = 290C)
Respon Fisiologis Fase
Grower Layer
Laju Respirasi ( per menit)
Denyut Jantung (per menit)
35a
233a
41b
256b
Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda
pada baris yang sama berbeda nyata (P
< 0,05)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 81
memenuhi kebutuhan oksigen – energi
mendukung terjadinya panting.
Pada kondisi cekaman panas, hasil
penelitian Chinrasri et al. (2007)
menunjukkan bahwa pengaliran darah
ke organ-organ vital, seperti otak,
dipertahankan dengan mereduksi
pengaliran darah ke organ-jaringan
yang kurang vital, seperti organ jeroan
dan perototan non-respirasi. Akan
tetapi, pada hewan yang gemuk tidak
selalu terjadi penurunan pengaliran
darah ke perototan non-respirasi.
Depot-depot lemak dapat menjadi
gudang cadangan darah ketika hewan
menghadapi cekaman panas. Perubahan
distribusi curah jantung tersebut di atas
terjadi tanpa perubahan volume curah
jantung. Peningkatan pengaliran darah
tersebut dapat mencapai 5 kali dari
keadaan normal. Penelitian dengan
teknik microsphere dan electromagnetik
mengungkapkan adanya hubungan
positip antara jumlah darah yang
mengalir ke lidah dengan frekuensi
pernafasan selama pemanasan
hypothalamus, sementara total darah
yang mengalir ke hidung meningkat
terus sekalipun aktivitas p a n t i n g
b e l u m d i t u n j u k k a n . Peningkatan
pengeluaran panas melalui lidah
merupakan mekanisme pengeluaran
kelebihan panas yang poten pada
unggas. Pada ruminansia, sekalipun
terdapat peningkatan pengaliran darah
ke lidah, akan tetapi tidak ada
pengeluaran panas melalui lidah
(Aengwanich et al., 2003 dan Rahardja,
2010).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada
jengger dan shank, serta terjadi perubahan respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas.
DAFTAR PUSTAKA
Aengwanich, W., U. Chuachan, Y.
Phasuk, T. Vongpralab, P. Pakdee,
S. Katavetin and S. Simaraks, 2003.
Effect of ascorbic acid on
respiratory rate, body temperature,
heterophil:lymphocyte ratio and
microscopic lesion score in lung,
liver, kidney, cardiac muscle and
spleen in broilers under chronic
heat stress. Thai J. Agri. Sci., 36: 207-
218.
Aengwanich, W. 2007. Effects of High
Environmental Temperature on
Blood Indices of Thai Indigenous
Chickens, Thai Indigenous
Chickens Crossbred and Broilers.
International Journal of Poultry
Science. 6: 427-430.
Cangar, O., J.M. Aerts, J. Buyse, and D.
Berckmans. 2008. Quantification of
the spatial distribution of surface
temperatures of broilers. Poultry
Science .87:2493–2499.
Chinrasri, O. and W. Aengwanich, 2007.
Blood cell characteristics,
hematological values and average
daily gained weight of Thai
indigenous, Thai indigenous
crossbred and broiler chickens. Pak.
J. Biol. Sci., 10: 302-309.
Dawson, W. R., and G. C. Whittow.
2000. Regulation of body
temperature. Pages 343–379 in
Sturkie’s Avian Physiology. G.
C. Whittow, ed. Academic Press,
New York, NY.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan
Fisiologi Ternak Edisi 4. Gajah
Mada Press. Yogyakarta.
Furlan, R.L., M. Macari, V.M.B. de
Moraes, R.D. Malheiros, E.B.
ISSN 1978 - 3000
| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 82
Malheiros and E.R. Secato, 1999.
Hematological and gasometric
response of different broiler
chickens strains under acute heat
stress. Revista-Brasileira-de-Ciencia
Avicola, 1: 77-84.
Havenstein, G. B., P. R. Ferket, J. L.
Grimes, M. A. Qureshi, and K. E.
Nestor. 2007. Comparison of the
performance of 1966-versus 2003-
type turkeys when fed
representative 1966 and 2003 turkey
diet: Growth rate, livability, and
feed conversion. Poult. Sci. 86:232–
240.
Hoffman TY CM, Walsberg GE. 1999.
Inhibiting ventilator Frandson, R. D.
1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak
Edisi 4. Gajah Mada Press.
Yogyakarta.
Mutaf, S., and N. Seber. 2005. The effect of
insulation level of the construction
elements and evaporative cooling
systems in the poultry houses on
laying hen performance in hot
climate. Pages 347–353 in Proc. 31st
Commission International de
l’Organisation Scientifique du
Travail en Agriculture-International
Commission of Agricultural
Engineering (CIOSTA-CIGR) V. F.
und T. Mullerbader GmbH,
Filderstadt, Germany.
Mutaf, S., N. Şeber Kahraman, and M. Z.
Fırat. 2008. Surface wetting and its
effect on body and surface
temperatures of domestic laying
hens at different thermal conditions.
Poultry Science 87:2441–2450.
Ophir, E, Y Arieli, J Mrder, and M
Horowitz. 2002. Coetaneous blood
flow in pigeon Columba livia: its
possible relevance to coetaneous
water evaporation. J Exp Biol
205:2627-2636.
Rahardja, D.P. 2010. Fisiologi
Lingkungan. Universitas
Hasanuddin. Makassar. Shinder, D., M. Rusal, J. Tanny, S. Druyan,
and S. Yahav. 2007.
Thermoregulatory responses of
chicks (gallus domesticus) to low
ambient temperatures at an early
age. Poultry Science. 86: 2200–2209.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip
dan Prosedur Statistika, suatu
pendekatan biometric. Gramedia
Pustakan Utama, Jakarta.
Tan, G.Y., L. Yang , Y.-Q. Fu , J.H. Feng,
and M.H. Zhang. 2010. Effects of
different acute high ambient
temperatures on function of hepatic
mitochondrial respiration,
antioxidative enzymes, and
oxidative injury in broiler chickens.
Poultry Science. 89: 115–122.
Yahav, S. 2000. Domestic fowl—Strategies
to confront environmental
conditions. Poult. Avian Biol. Rev.
11:81–95.
Yahav, S., A. Straschnow, D. Luger, D.
Shinder, J. Tanny, and S. Cohen.
2004. Ventilation, sensible heat loss,
broiler energy, and water balance
under harsh environmental
conditions. Poult. Sci. 83:253–258.
Yahav, S., M. Rusal, and D. Shinder.
2008. The effect of ventilation on
performance body and surface
temperature of young turkeys.
Poultry Science. 87:133–137.
Yanagi, T. Jr., H. Xin, and R. S. Gates.
2002. Optimization of partial
surface wetting to cool caged laying
hens. Appl. Eng. Agric. 45:1091–
1100.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 83
Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat
serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost
Peraskok Chicken Growth Performance as Meat Source and The Value of Income over
Feed and Chick Cost
Kususiyah
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Peraskok chicken is a cross between Bangkok native chicken having good meat production and taste and commercial egg layer having good egg production. An experiment was conducted to evaluate growth performance of Peraskok chicken as a native chicken to provide four-cut chicken and its income over feed and chick cost. The experiment used 45 day old chicken (DOC) which were reared in 3 cages, as replications. As a comparison, 20 DOC of Kampung native chicken were reared in 2 cages, as replications. The rearing was up to chicken body weight reaching 700 g, eligible for four-cut chick. Variables observed included weight growth, day number to reach 700 g, feed consumption, feed conversion, and its income over feed and chick cost. Data were tabulated and discussed descriptively. The results showed that four-cut chick of Peraskok was reached at 10 weeks with the total consumption of 2,699 g per chick, with feed conversion of 3.95, and income over feed and chick cost of Rp. 8,320 per chick. Where as for Kampung chicken, four-cut chick was reached at 12 weeks with the total consumption of 3.392 g per chick, with feed conversion of 4.63, and income over feed and chick cost of Rp. 6,245 per chick. For these results, we conclude that the growth performance of Peraskok is better than thus Kampung chicken, and hence more profitable to culture.
Key words: Growth performance Peraskok Chicken, income over feed and chick cost
ABSTRAK
Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras jantan jenis Ayam Bangkok. Produksi telur ayam ras petelur yang tinggi dan performans perdagingan Ayam Bangkok yang relatif baik disinyalir dapat menyediakan permintaan konsumen akan ayam buras dengan lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Sebanyak 45 ekor anak ayam (DOC) Peraskok dipelihara kedalam 3 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 15 ekor sebagai ulangan. Sebagai pembanding digunakan 20 ekor DOC ayam buras jenis Ayam Kampung dan dipelihara ke dalam 2 petak kandang, sehingga masing-masing petak kandang berisi 10 ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara sampai umur potong belah empat yaitu ketika berat badan mencapai 700 g. Peubah yang diukur meliputi: pertambahan berat badan, umur potong belah empat, konsumsi ransum, konversi ransum, dan income over feed and chick cost. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong belah empat Ayam Peraskok dicapai pada umur 10 minggu dengan total konsumsi ransum 2.699,20 g per ekor, konversi ransum 3,95, dan income over feed and chick cost sebesar Rp. 8.319,98 per ekor. Umur potong belah empat pada Ayam Kampung dicapai pada umur 12 minggu dengan konsumsi ransum sebesar 3.392 g per ekor, konversi ransum 4,63, dan income over feed and chick cost Rp. 6.245,08 per ekor. Disimpulkan bahwa performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih baik dan lebih menguntungkan dibanding ayam buras jenis Ayam Kampung.
Kata kunci : Performans Peraskok, Income Over Feed and Chick Cost
PENDAHULUAN
Permintaan konsumen terhadap
ayam buras (bukan ras) potong belah
empat dirasakan terus meningkat. Hal ini
nampak dari banyaknya restaurant atau
rumah makan penyedia olahan ayam
buras potong belah empat ini. Namun
sangat disayangkan, potensi genetik
pertumbuhan ayam buras yang rendah
ISSN 1978 - 3000
| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 84
(Rasyaf, 1995 dan Kingston, 1979)
membuat pertumbuhan ayam buras
lambat sehingga untuk mencapai umur
potong belah empat diperlukan waktu
yang cukup lama. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa untuk
mencapai umur potong belah empat pada
ayam buras membutuhkan waktu 12
minggu atau tiga bulan, sedangkan pada
ayam ras pedaging (ayam broiler) hanya
memerlukan waktu empat minggu.
Sampai saat ini diketahui
masyarakat Indonesia masih
menempatkan daging ayam buras pada
posisi lebih tinggi dibanding daging
ayam ras pedaging, terutama disebabkan
oleh cita rasa ayam buras yang khas dan
lebih enak dibandingkan dengan ayam
ras pedaging (Fujimura et al., 1995).
Kondisi ini terlihat dari kerelaan
konsumen untuk menerima harga daging
dan telur ayam buras yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga daging dan
telur ayam ras. Selain hal tersebut, pada
kondisi tertentu diantara masyarakat
masih ada yang membatasi konsumsi
daging dan telur ayam ras. Sebagai
contoh, ada keyakinan yang melekat di
kalangan masyarakat tertentu bahwa, bila
seseorang menderita suatu penyakit atau
sedang luka sebaiknya daging ayam
yang dikonsumsi adalah daging ayam
buras, bukan daging ayam ras seperti
broiler. Selain hal tersebut juga dijumpai
orang yang alergi terhadap daging ayam
ras pedaging (broiler) atau telur ayam ras
akan tetapi tidak alergi terhadap daging
maupun telur ayam buras.
Melihat penghargaan konsumen
terhadap ayam buras di atas, rendahnya
potensi genetik ayam buras ini perlu
usaha perbaikan melalui persilangan.
Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et
al. (1990 ) persilangan adalah salah satu
alternatif untuk membentuk keturunan
yang diharapkan akan memunculkan
efek komplementer yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak.
Ayam Peraskok adalah ayam hasil
persilangan antara ayam ras petelur
betina dengan ayam buras Bangkok
jantan. Lebih banyaknya jumlah
produksi telur dan besarnya ukuran telur
ayam ras petelur (Amrullah, 2003,
Sudaryani dan Santoso 2000) serta
besarnya ukuran tubuh ayam buras
Bangkok diharapkan dapat mewujudkan
perkembangan dan pertumbuhan
keturunannya menjadi lebih baik tanpa
mengurangi ciri-ciri yang menjadi
kesukaan konsumen terhadap ayam
buras itu sendiri. Pengamatan sementara
menunjukkan bahwa postur tubuh ayam
persilangan antara ayam ras petelur
betina dengan ayam buras Bangkok
jantan mirip postur tubuh ayam buras.
Bagaimana performans pertumbuhan
serta nilai keuntungannya perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi performans pertumbuhan
Ayam Peraskok sebagai ayam buras
potong belah empat serta nilai income
over feed and chick cost.
MATERI DAN METODE
Sebanyak 45 ekor DOC Peraskok
dipelihara kedalam 3 petak kandang,
masing-masing petak kandang berisi 15
ekor sebagai ulangan. Sebagai
pembanding digunakan 20 ekor DOC
ayam buras jenis Ayam Kampung dan
dipelihara kedalam 2 petak kandang,
masing-masing petak kandang berisi 10
ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara
sampai berat badannya mencapai berat
sekitar 700 g. Untuk mencegah terjadinya
penyakit ND dilakukan vaksinasi ND
saat anak ayam berumur 4 hari. Selama 2
minggu pertama anak ayam diberi
ransum konsentrat BR1, selanjutnya
memasuki umur 3 minggu sampai
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 85
mencapai berat potong belah empat,
ayam diberi ransum oplosan, yaitu
ransum yang terdiri dari konsentrat,
jagung giling, dan dedak halus dengan
perbandingan 1:2:1 dengan kandungan
protein sekitar 17 %. Data yang diperoleh
ditabulasi dan dibahas secara deskriptif.
Peubah yang diukur pada penelitian ini
adalah: berat DOC, berat badan
mingguan, pertambahan berat badan,
konsumsi ransum, konversi ransum.
Umur potong belah empat, diketahui
dengan mencatat umur dalam satuan
minggu, saat ayam mencapai berat sekitar
700 g. Income Over Feed And Chick Cost,
dihitung berdasarkan hasil penjualan
ayam saat mencapai umur potong belah
empat dikurangi biaya pakan dan harga
DOC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat DOC, Berat Badan Ayam Peraskok
dan Ayam Kampung Sampai Umur
Potong Belah Empat
Rataan berat DOC, berat badan
Ayam Peraskok, dan Ayam Kampung
sampai umur potong belah empat
disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada
Tabel 1. bahwa berat DOC Ayam
Peraskok (43,97 g) lebih tinggi dibanding
berat DOC Ayam Kampung (25,75 g).
Lebih tingginya berat DOC Ayam
Peraskok ini dapat dimengerti karena
ukuran telur tetas Ayam Peraskok (63
g/butir) lebih tinggi dibanding ukuran
telur tetas Ayam Kampung ( 38,22
g/butir). Kususiyah (1995) dan
Kaharuddin (1989) melaporkan bahwa,
berat telur tetas berpengaruh terhadap
berat tetas. Selanjutnya pada Tabel 1.
juga ditunjukkan bahwa berat badan
yang dicapai Ayam Peraskok setiap
minggu lebih tinggi dibandingkan Ayam
Kampung. Kondisi ini menyebabkan
capaian umur potong belah empat pada
Ayam Peraskok lebih singkat dibanding
Ayam Kampung. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa umur potong ayam
buras belah empat adalah umur pada saat
berat badan mencapai sekitar 700 g.
Terlihat dari Tabel 1. bahwa capaian berat
badan 700 g pada Ayam Peraskok terjadi
saat umur 10 minggu, sedangkan pada
Ayam Kampung baru dicapai saat umur
12 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa
umur potong Ayam Peraskok lebih
singkat 2 minggu dibanding Ayam
Kampung.
Tabel 1. Rataan berat DOC, berat badan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sampai umur potong
belah empat
Ayam Peraskok Ayam Buras Kampung
Berat telur tetas (g) 63,53 38,22
Berat DOC (g) 43,97 25,75
Berat badan umur 1minggu (g) 72,75 49,79
Berat badan umur 2 minggu (g) 108,96 64,47
Berat badan umur 3 minggu (g) 161,10 86,11
Berat badan umur 4 minggu (g) 199,11 125,00
Berat badan umur 5 minggu (g) 285,07 169,17
Berat badan umur 6 minggu (g) 372,30 233,80
Berat badan umur 7 minggu (g) 438,55 287,50
Berat badan umur 8 minggu (g) 528,70 363,00
Berat badan umur 9 minggu (g) 623,30 449,60
Berat badan umur 10 minggu (g) 728,15 547,00
Berat badan umur 11 minggu (g) - 663,00
Berat badan umur 12 minggu (g) - 728,00
ISSN 1978 - 3000
| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 86
Pertambahan Berat Badan, Konsumsi
Ransum, dan Konversi Ransum Ayam
Peraskok dan Ayam Kampung sejak
DOC sampai Umur Potong Belah Empat
Rataan pertambahan berat badan,
konsumsi ransum, serta konversi ransum
sejak DOC sampai umur potong belah
empat Ayam Peraskok dan Ayam
Kampung disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 1. dan Tabel 2.
dapat dilihat bahwa untuk mencapai
berat potong belah empat yaitu selama 10
minggu pemeliharaan, pertambahan
berat badan Ayam Peraskok adalah
684,14 g, sedangkan pertambahan berat
badan Ayam Kampung selama 12
minggu pemeliharaan adalah 702,25 g.
Lebih tingginya pertambahan berat badan
Ayam Kampung untuk mencapai berat
potong belah empat ini disebabkan oleh
lebih rendahnya berat tetas pada ayam
kampung tersebut, sehingga
membutuhkan ransum yang lebih banyak
juga dibanding Ayam Peraskok. Terlihat
pada Tabel 2. konsumsi ransum yang
dibutuhkan untuk mencapai
pertambahan berat badan pada umur
potong belah empat pada Ayam
Peraskok jauh lebih rendah (2699,20 g)
dibanding Ayam Kampung yang
mencapai 3392,00 g. Lebih rendahnya
ransum yang diperlukan Ayam Peraskok
dibanding Ayam Kampung ini
disebabkan karena waktu yang
diperlukan Ayam Peraskok untuk
mencapai umur potong belah empat yaitu
700 g lebih singkat dua minggu
dibanding Ayam Kampung. Selanjutnya
bila dilihat konversi ransumnya,
menunjukkan juga bahwa konversi
ransum Ayam Peraskok lebih rendah
dibandingkan Ayam Kampung. Hal ini
menunjukkan bahwa, Ayam Peraskok
lebih efisien dalam menggunakan ransum
dibanding Ayam Kampung.
Income over Feed and Chick Cost
Perhitungan nilai Income over Feed
and Chick Cost ditampilkan pada Tabel 3.
Nilai income over feed and chick cost Ayam
Tabel 2. Rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konversi ransum Ayam Peraskok dan
Ayam Kampung sejak DOC sampai umur potong belah empat
Pertambahan Berat Badan
(Umur)
Konsumsi Ransum Konversi Ransum
Ayam Peraskok 684,14 g (10 minggu) 2699,20 g 3,95
Ayam Kampung 702,25 g (12 minggu) 3392,00 g 4,63
Tabel 3. Perhitungan nilai Income over Feed and Chick Cost Ayam Peraskok dan Ayam Kampung pada
umur potong belah empat
Konsumsi
ransum
umur 1-2
minggu
(g/ekor)
Konsumsi
ransum
setelah
umur 2
minggu
(g/ekor)
Biaya
ransum
(Rp/ekor)
Harga DOC
(Rp/ekor)
Harga jual
ayam belah
empat
(Rp/ekor)
IOFCC
(Rp/ekor)
Ayam
Peraskok
115,74 2.583,46 8.680,02 5.000,00 22.000,00 8.319,98
Ayam
Kampung
88,78 3.303,22 10.754,92 5.000,00 22.000,00 6.245,08
Keterangan : IOFCC = Income Over Feed and Chick Cost
IOFCC = harga jual – (harga DOC + biaya ransum ) per ekor ayam
Harga ransum BR 1 per kg Rp 5.800,00 (diberikan pada umur 1-2 minggu)
Harga ransum oplosan per kg Rp 3.100,00 (diberikan setelah ayam umur 2 minggu)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 87
Peraskok (Rp 8.319,98 per ekor) lebih
tinggi dibanding Ayam Kampung (Rp
6.245,08 per ekor). Hal ini menunjukkan
bahwa keuntungan memelihara Ayam
Peraskok sebagai ayam buras potong
belah empat lebih tinggi dibanding ayam
buras potong jenis Ayam Kampung.
Lebih tingginya nilai keuntungan pada
pemeliharaan Ayam Peraskok ini
disebabkan oleh lebih cepatnya umur
potong belah empat dengan efisiensi
penggunaan ransum yang lebih baik
dibandingkan dengan ayam buras jenis
Ayam Kampung.
SIMPULAN
Performans pertumbuhan Ayam
Peraskok sebagai ayam buras potong
belah empat lebih baik dan lebih
menguntungkan dengan capaian umur
potong belah empat lebih singkat dan
efisiensi penggunaan ransum lebih baik
dibanding ayam buras jenis Ayam
Kampung.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam
Petelur. Lembaga Satu
Gunungbudi. Bogor.
Fujimura, S., S. Kawano, H. Koga, H.
Takeda, M. Kadowiki, and T.
Ishibashi. 1995. Animal Science
Technology. 66 (43-51).
Kaharuddin, D. 1989. Pengaruh bobot
telur tetas terhadap berat tetas,
daya tunas, pertambahan bobot
badan dan angka kematian sampai
umur 4 minggu pada burung
puyuh. Laporan Penelitian
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Kingston, D.J. 1979. Peranan ayam
berkeliaran di Indonesia. Laporan
Seminar Industri Perunggasan II.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi-
Bogor.
Kususiyah. 1995. Hubungan berat telur
dengan berat tetas dan mortalitas
puyuh petelur pada minggu
pertama. Laporan Penelitian
Universitas Bengkulu. Bengkulu..
Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam
Petelur. Penebar Swadaya.
Sheridan, A. K. 1986. Selection for
heterosis from reciprocal cross
population : Estimation of the F1
heterosis and its mode of
inheritance. British Poultry Sci. (27)
541-550
Sudaryani, T. dan H. Santoso. 2000.
Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di
Kandang Baterai. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W.
Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan
Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 89
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan
Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler
The Effect of Katuk (Sauropus androgynus) Leaf Extract – Lemuru Fish and Vitamin E on
Broiler Performance and Meat Quality
Basyaruddin Zain
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
ABSTRACT
This research was conducted to determine the effect of leaf extract katuk, lemuru oil and vitamin E as a substitute for a commercial feed supplement on performance and meat quality of broilers. One hundred and ninety-five broiler chickens distributed into 13 treatment groups as follows: P0: Feed supplement containing a commercial feed (feed dick). P1: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P2: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P3: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil . P4: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P5: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil . P6: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. P7: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P8: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P9: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil. P10: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P11: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil. P12: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. Design research used Completely Randomized Design (CRD) with 13 treatments and 3 replications. Each test consisted of five broiler chickens, the number of chickens in the study as many as 195 birds. The data obtained were analyzed according to the design used (Completely Randomized Design) and Test DMRT (Duncan Multiple Range Test) to examine differences in treatment effect. The results showed that the use katuk leaf extract, lemuru oil and vitamin E not differ significantly (P> 0.05) to ration consumption, weight gain and conversion ration of broiler chickens are very real and different (P <0.01) on levels of cholesterol, triglycerides, LDL-cholesterol and HDL-cholesterol in blood serum and different broiler highly significant (P <0.01) on levels of cholesterol, fat and protein content of broiler meat.
Key words: Extract, Lemuru, meat, performance, Sauropus androgynus, vitamin E
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E sebagai pengganti feed suplement komersial terhadap performans dan kualitas daging ayam broiler. Seratus sembilan puluh lima ekor ayam broiler didistribusikan menjadi 13 kelompok perlakuan yaitu: P0: Pakan mengandung feed suplement komersial (pakan kontol). P1: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P2: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P3: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P4: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P5: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P6: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P7: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P8: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P9: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. Rancangan penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler, jumlah ayam dalam penelitian sebanyak 195 ekor. Data yang diperoleh dianalisis sesuai rancangan yang digunakan (Rancangan Acak Lengkap) dan Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk menguji perbedaan pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler serta berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler dan berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, lemak dan kadar protein daging broiler.
Kata Kunci: Daging, ekstrak, Katuk, Lemuru, performans, vitamin E
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 90
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peluang untuk memperbaiki
performans ayam di daerah tropika basah
seperti Indonesia menurut Abbas (1999),
yang utama adalah melalui pendekatan
manipulasi biolingkungan yakni : 1)
Manipulasi iklim mikro melalui
rasionalisasi perkandangan, 2)
Manipulasi biofisiologi melalui
pengaturan a) feed water balance, b)
suplementasi vit C, vit E, vitamin K,
biotin, vitamin B2 (riboflavin), 3)
perbaikan manajemen terutama pada saat
terjadi lonjakan suhu lingkungan dan 4)
perbaikan sosial ekonomi lingkungan
usaha. Biasanya peternak dalam
pemeliharaan ayam broiler memberikan
ransum komersil yang telah memenuhi
standar kebutuhan zat–zat makanan yang
telah ditetapkan dan juga di dalamnya
sudah terkandung bahan pakan
tambahan (feed supelment).
Pemakaian feed supplement
bertujuan untuk memperbaiki pakan dan
memacu pertumbuhan ternak untuk
meningkatkan produksi. Meskipun feed
suplement mampu meningkatkan
produksi namun kualitas daging yang
dihasilkan belum dapat memenuhi
tuntutan konsumen karena daging yang
dihasilkan masih berkadar lemak tinggi.
Oleh karena itu penggunaan feed
suplement alami merupakan alternatif
yang dapat dipakai sebagai pengganti
feed suplement komersial dalam ransum.
Salah satu feed suplement alami yang
dapat digunakan adalah daun katuk
(Sauropus androgynus).
Daun katuk (Sauropus androgynus)
selain sebagai tanaman obat juga
memiliki kandungan gizi yang tinggi
karena mengandung protein, vitamin,
serta mengandung zat anti bakterial
sehingga menjadikan katuk sebagai
tanaman yang sangat bermanfaat (Malik,
1997). Daun katuk (Sauropus androgynus)
dapat meningkatkan efesiensi
metabolisme zat-zat gizi karena kaya
akan mineral dan mengandung 6
senyawa sekunder utama yaitu,
monometyl succinate, cis-2-metyl
cyclopentonal asetat, asam benzoat, asam
fenil malonat, 2-pyrolidion dan metyl
pyroglutamate, β-karotin (Agustal et al,
1997)
Penggunaan ekstrak daun katuk
dalam ransum dapat meningkatkan
efisiensi produksi dan kualitas telur
(Santoso et al, 2002) dan (Subekti, 2003).
Penyusunan ransum pada dasarnya
hanya ditekankan kepada terpenuhinya
kebutuhan energi, protein, vitamin dan
mineral. Asam lemak tak jenuh ganda :
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA)
jarang menjadi perhatian dalam
penyusunan ransum. Padahal PUFA
dapat menurunkan kolesterol dan
merupakan prekursor dari beberapa zat
yang mempengaruhi sistem imun. Salah
satu bahan pakan yang kaya akan PUFA
dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia adalah minyak ikan lemuru.
Fenita (2002) menemukan bahwa
pemberian minyak ikan lemuru mampu
meningkatkan kadar PUFA dalam daging
broiler. Minyak ikan lemuru berpotensi
sebagai sumber PUFA seperti asam lemak
omega-3 dan mengandung asam lemak
linoleat yang dibutuhkan ayam untuk
mengoptimalkan daya tahan tubuhnya.
Namun kelemahan minyak ikan lemuru
dapat meningkatkan bau amis dan asam
lemak di dalamnya mudah teroksidasi
dan juga menurunkan kadar vitamin E
yang pada gilirannya akan menyebabkan
defisiensi vitamin E yang mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh. Untuk mengatasi
defisiensi vitamin E perlu suplementasi
vitamin E. Menurut Chen et al. (1998)
Suplementasi Vitamin E sebanyak 60
mg/kg ransum sangat efektif mencegah
oksidasi PUFA.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 91
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penggunaan
ekstrak daun katuk minyak ikan lemuru
dan vitamin E sebagai pengganti feed
suplement komersial dalam ransum
terhadap performans dan kualitas daging
ayam broiler
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan bulan
Februari sampai akhir Juli 2009 bertempat
di Kandang dan Laboratorium Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Bahan yang
digunakan adalah 195 ekor ayam broiler,
ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru,
vitamin E, dan bahan penyusun ransum
yang terdiri dari jagung kuning, minyak
sawit, bungkil kedelai, tepung ikan,
kalsium karbonat, mineral mix, garam,
dan top mix (sebagai feed suplement
komersial), serta vaksin ND, vitachick
dan desinfektan
Rancangan penelitian yang
digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan
3 ulangan. Ransum penelitian sebanyak
13 perlakuan sebagai berikut :
P0 : Pakan mengandung feed suplement
komersial.
P1 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru.
P2 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P3 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru.
P4 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P5 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru.
P6 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P7 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru.
P8 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P9 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru.
P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru.
P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.
Peubah yang diamati yaitu:
konsumsi ransum, pertambahan berat
badan, konversi ransum, kadar kolesterol,
trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
serta kadar kolesterol, lemak dan kadar
protein daging broiler.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan konsumsi, pertambahan
berat badan dan konversi ransum selama
penelitian terlihat seperti pada Tabel 1.
Penggunaan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam
ransum ayam broiler dengan berbagai
perlakuan berbeda tidak nyata (P>0.05)
terhadap konsumsi, pertambahan berat
badan dan konversi ransum
dibandingkan ransum kontrol. Berbeda
tidak nyatanya konsumsi ransum, hal ini
disebabkan karena ransum perlakuann
yang menggunakan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E
mempunyai palatabilitas yang sama
dengan ransum kontrol yang
menggunakan feed suplement komersial.
Palatabilitas ransum mempengaruhi
konsumsi sehingga antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial tidak
mempengaruhi konsumsi ransum ayam
broiler. Selain palatabilitas jika kita lihat
faktor lain yang mempengaruhi konsumsi
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 92
ransum seperti kandungan nutrisi
terutama energi dan protein ransum,
bentuk ransum, faktor lingkungan,
genetik, kondisi ternak adalah sama.
Menurut Anggorodi (1995) bahwa
konsumsi dipengaruhi oleh faktor
genetik, jenis kelamin, lingkungan, dan
palatabilitas ransum. Murtidjo (1987)
bahwa selera makan ternak dipengaruhi
oleh bentuk, rasa, aroma, serta kondisi
ternak tersebut. Berbeda tidak nyatanya
pertambahan berat badan ayam broiler
karena ransum yang dikonsumsi juga
berbeda tidak nyata sebab pertambahan
berat badan dipengaruhi oleh konsumsi
ransum yang digunakan untuk
pertumbuhan. Jadi antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial,
konsumsi ransumnya juga berbeda tidak
nyata. Sebagaimana yang dinyatakan
Anggorodi (1995), bahwa pertambahan
berat badan dipengaruhi oleh konsumsi
ransum. Rasyaf (2002) menyatakan
bahwa bobot badan unggas dipengaruhi
antara lain oleh kualitas dan kuantitas
ransum yang diberikan. Blakely dan
Blade (1998) menjelaskan bahwa tingkat
konsumsi ransum akan mempengaruhi
laju pertumbuhan dan bobot akhir karena
pembentukan bobot, bentuk dan
komposisi tubuh pada hakekatnya adalah
akumulasi pakan yang dikonsumsi ke
dalam tubuh ternak. Berbeda tidak
nyatanya konversi ransum ayam broiler
disebabkan karena antara ransum
perlakuan yang menggunakan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dengan ransum kontrol yang
memakai feed suplement komersial, karena
konsumsi ransum dan pertambahan berat
badan ayam broiler juga berbeda tidak
nyata. Konversi ransum merupakan
perbandingan antara konsumsi ransum
dengan pertambahan berat badan.
Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum
Darah pada Tabel 2. Penggunaan ekstrak
daun katuk, minyak ikan lemuru dan
vitamin E dalam ransum ayam broiler
dengan berbagai perlakuan berbeda
sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar
kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol
dan HDL-kolesterol dalam serum darah
broiler.
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 14,08% sampai
Tabel 1. Rataan konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum selama penelitian
Perlakuan Konsumsi
(gram/ekor)
Pertambahan Berat Badan
(gram/ekor)
Konversi
P0 1754,44a 626,67a 2,79a
P1 1716,11a 651,67a 2,63a
P2 1877,78a 706,67a 2,65a
P3 1830,00a 687,78a 2,66a
P4 1760,00a 731,67a 2,41a
P5 1780,00a 668,33a 2,66a
P6 1747,78a 636,11a 2,74a
P7 2023,89a 757,78a 2,67a
P8 1628,89a 593,33a 2,74a
P9 2036,11a 697,78a 2,91a
P10 1760,00a 677,78a 2,60a
P11 1693,89a 630,00a 2,68a
P12 1782,22a 671,11a 2,65a
Keterangan: ns (non signifikan)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 93
51,30% kolesterol dalam serum darah
broiler jika dibandingkan dengan ransum
kontrol. Penurunan kadar kolesterol
dalam serum darah broiler yang
terendah 14,08% terdapat pada ransum
perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak daun katuk
(EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg
vit E) dan yang tertinggi 51,30% terdapat
pada ransum perlakuan P12 (18 g/kg
ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak
ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 10,88% sampai
27,64% trigliserida dalam serum darah
broiler jika dibandingkan dengan ransum
kontrol. Penurunan kadar trigliserida
dalam serum darah broiler yang terendah
10,88% terdapat pada ransum perlakuan
P3 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2%
minyak ikan lemuru) dan yang tertinggi
27,64% terdapat pada ransum perlakuan
P12 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
menurunkan antara 13,82% sampai
30,31% LDL-kolesterol dalam serum
darah broiler jika dibandingkan dengan
ransum kontrol. Penurunan kadar LDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
yang terendah 13,82% terdapat pada
ransum perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak
daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan
lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi
30,31% terdapat pada ransum perlakuan
P10 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).
Ransum perlakuan dapat
meningkatkan antara 6,46% sampai
12,22% HDL-kolesterol dalam serum
darah broiler jika dibandingkan dengan
ransum kontrol. Peningkatan kadar HDL-
kolesterol dalam serum darah broiler
yang terendah 6,46% terdapat pada
ransum perlakuan P8 (18 g/kg ekstrak
daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan
lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi
12,22% terdapat pada ransum perlakuan
P11 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +
3% minyak ikan lemuru).
Penurunan kolesterol, trigliserida
dan LDL-kolesterol dalam serum darah
broiler disebabkan karena zat aktif
flavonoid dalam daun katuk sementara
senyawa yang berperan dalam minyak
Tabel 2. Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum Darah
Perlakuan Kolesterol
(mg/100 ml)
Trigiliserida
(mg/100ml)
LDL-k
(mg/100 ml)
HDL-k
(mg/100 ml)
P0 208,37g 139,47f 137,14e 35,90ab
P1 195,41fg 137,40f 131,84e 36,83abc
P2 179,02f 131,23ef 118,18d 37,44abcd
P3 146,89e 125,40de 113,19cd 34,69a
P4 143,45de 114,05bc 100,00ab 40,16d
P5 131,46bcde 111,62abc 102,00abc 37,18abcd
P6 134,77cde 109,92ab 100,75ab 40,16d
P7 125,10bcd 106,14ab 119,40d 38,45bcd
P8 139,43de 116,67bcd 109,70bcd 38,22bcd
P9 117,47abc 122,14cde 104,69abc 38,48bcd
P10 114,23ab 106,71ab 95,57a 38,95bcd
P11 105,43a 106,73ab 95,72a 40,29d
P12 101,46a 100,92a 95,91a 39,61cd
Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama
menunjukan berbeda tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 94
lemuru adalah asam lemak tak jenuh
rantai panjang omega-3 (PUFA).
Flavonoid berfungsi menghambat
oksidasi kolesterol LDL. Flavonoid
meningkatkan kadar prostasiklin.
Prostasiklin adalah substansi yang
diproduksi oleh endothelium pembuluh
darah dan menyebabkan vasodilatasi,
menghambat pembentukan platelet darah
(kepingan sel-sel darah) dan gumpalan
darah serta menghambat masuknya
kolesterol LDL (kolesterol jahat) ke
dalam dinding pembuluh darah.
Sebagaimana pendapat Santoso et
al. (2004) bahwa ekstrak daun katuk
dapat menurunkan konsentrasi
kolesterol dan LDL-kolesterol pada ayam
pedaging tapi tidak dapat menaikkan
HDL-kolesterol. Pada penelitian ini
ternyata pemberian ekstrak daun katuk,
minyak lemuru dan vitamin E mampu
meningkatkan kadar HDL kolesterol.
Peningkatan HDL-kolesterol ini
disebabkan karena adanya pemberian
minyak ikan lemuru dalam ransum.
Minyak ikan lemuru mengandung asam
lemak omega 3 yang dapat menurunkan
trigliserida dan meningkatkan HDL-
kolesterol dalam plasma darah.
Sebagaimana hasil penelitian Fenita
(2002) bahwa minyak ikan lemuru
mengandung asam lemak omega 3
berupa EPA dan DHA. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa EDK, minyak
ikan lemuru dan vitamin E berpotensi
untuk menekan resiko terkena penyakit
penyempitan pembuluh darah
(atherosclerosis). Penggunaan EDK,
minyak lemuru dan vitamin E ternyata
cukup efektif untuk menurunkan
konsentrasi kolesterol, LDL-kolesterol
dan trigliserida serta meningkatkan HDL-
kolesterol.
Kadar kolesterol, protein dan lemak
daging dada broiler pada Tabel 3.
Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak
ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum
ayam broiler dengan berbagai perlakuan
berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap
berbeda kadar kolesterol, lemak dan
protein daging broiler dibandingkan
ransum kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suplementasi EDK dan minyak
lemuru menurunkan kadar kolesterol dan
lemak daging broiler (P<0,01) dan
Tabel 3. Kadar kolesterol, protein dan lemak daging dada broiler
Perlakuan Kolesterol
(mg/100ml)
Protein
(%)
Lemak
(%)
P0 2,21e 18,07a 4,77i
P1 2,10ge 18,70abc 4,55f
P2 2,04ef 18,64abc 4,34g
P3 1,88de 18,922abc 4,23fg
P4 1,79d 18,507ab 4,07ef
P5 1,62c 19,53abc 4,00e
P6 1,51bc 19,66bc 3,86de
P7 1,30a 19,47abc 3,33a
P8 1,37f 19,56abc 3,66cd
P9 1,42ab 19,72bc 3,61bc
P10 1,31a 20,18cd 3,64bcd
P11 1,37ab 21,19d 3,43ab
P12 1,31a 23,22e 3,28a
Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda
tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
berbeda sangat nyata (P < 0,01)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 95
meningkatkan kadar protein daging
broiler. Kecendrungan turunnya kadar
total lipid dan turunnya kadar kolesterol
dalam daging broiler dikarenakan EDK
mengandung metilpiroglutamat
sementara minyak lemuru kaya akan
PUFA terutama omega-3. Kedua senyawa
ini diketahui mempunyai kemampuan
menurunkan deposisi lemak (Fenita,
2005, Santoso, et. al. 2004.). Selain itu daun
katuk juga mengandung flavonoid, tanin
dan alkaloid lainnya dimana senyawa
tersebut bersifat antilipida. Suprayogi
(2000) menemukan bahwa ekstrak etanol
mengandung senyawa tanin, gula, garam
alkoloid dan antrasenoid, steroid
glycoside/triterpenoid, flavonoid,
kumarin, isoquinoline alkoloid dan
anthocyanin. Sementara pada ekstrak air
panas mengandung senyawa tanin,
kumarin, garam alkaloid, glukoside dan
saponin.
SIMPULAN
Penggunaan ekstrak daun katuk,
minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam
ransum tidak berpengaruh terhadap
konsumsi ransum, pertambahan berat
badan dan konversi ransum ayam broiler.
Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak
ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum
dapat menurunkan kadar kolesterol,
trigliserida, LDL-kolesterol dan
menaikkan HDL-kolesterol dalam serum
darah broiler dan juga dapat menurunkan
kadar kolesterol, lemak, dan menaikkan
kadar protein daging broiler.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M.H. 1999. Pengelolaan Ternak
Unggas. Program Pasca Sarjana
Universitas Andalas Padang.
Agustal, A., M. Haripini dan Chairul.
1997. Analisis kandungan kimia
ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr dengan GCMS.
Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3
(3) ; 31-33.
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka
Ternak Unggas. Universitas
Indonesia Press, Jakarta
Chen, Y. J., K. S. Son, B. J. Min, J. H. Cho,
O. S. Kwon and I. H. Kim. 1998.
Effects of dietary probiotic on
growth performance, nutrients
digestibility, blood characteristics
and fecal noxious gas content in
growing pigs. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 18:1464-1468
Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan
metionin serta minyak lemuru ke
dalam ransum berbasis hidrolisis
bulu ayam terhadap perlemakan
dan pertumbuhan ayam ras
pedaging. Program Pasca Sarjana-
IPB, Bogor.
Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia,
indikasi penggunaan dan
bioaktivitas daun katuk dan buah
trengguli. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. 3 (3): 39-40.
Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Beternak
Ayam Broiler. Kanisius,
Yogyakarta.
Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky.
2002. Pengguanaan Ekstrak Daun
Katuk untuk Meningkatkan
Efisiensi Produksi dan Kualitas
Telur yang Ramah Lingkungan
pada Ayam Petelur. Laporan Hibah
Bersaing Tahun 1, Jakarta.
Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang.
2004. Penggunaan ekstrak daun
katuk sebagai feed additive untuk
memproduksi meat designer.
Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas
ayam lokal yang diberi tepung
daun katuk dalam ransum.
Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 97
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Hatching Egg Performance of Pegagan Duck
Meisji L. Sari2), Ronny R. Noor2), Peni S. Hardjosworo2), Chairun Nisa3),
1)Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB 2)Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
3)Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Email: [email protected]
ABSTRACT
Pegagan duck as native south sumatera duck were one of specific genetic resource that needs to be preserved
and explored. Scientific information on Pegagan as animal genetic resources is less than other native ducks.
This study was done in order to identified and explored the performance of hatching egg of Pegagan duck.
Five-hundreds hatching eggs were collected from 3 sub district; Tanjung Raja, Inderalaya and Pemulutan of
Ogan Ilir Regency, South Sumatera. They were weighed and measured to generated egg index. The eggs
were hatched using hatching machine that already desinfected using lisol 2.5%. Along the hatching, all eggs
were rotated from day-3 to day-25. Egg candling was done in day-5, day-13 and day-25. The results shows
that average egg weight were 65 g. Bluish-green egg shell and average of egg index were 75±0,03%. Pegagan
duck egg fertility were low (60%) and its hatchability were 53% with hatching weight 36.37 ± 3,39 g.
Key words: hatching eggs, hatchery, Pegagan Duck, fertility
ABSTRAK
Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan merupakan salah satu sumber genetik ternak atau kekayaan
hayati lokal Indonesia, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sejauh ini data ilmiah mengenai itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah relatif masih sedikit dibandingkan ternak itik lokal lainnya. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaan telur tetas itik Pegagan.
Penelitian inidiawali dengan mengumpulkan telur tetas itik Pegagan sebanyak 500 butir yang didapat dari
tiga kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja, Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera
Selatan. Telur itik yang dikumpulkan kemudian ditimbang dengan timbangan telur untuk mengetahui bobot
telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengetahui indeks telur. Selanjutnya
telur ditetaskan dengan mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan dengan lisol 2.5%. Selama proses penetasan
dilakukan pemutaran telur mulai hari ketiga sampai hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling) dilakukan tiga
kali yaitu pada hari kelima, ke-13 dan ke-25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot telur tetas
yang digunakan 65 g, warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan, rataan indeks telur itik
Pegagan 75±0,03%. Fertilitas telur itik Pegagan yang dikumpulkan dari peternak itik rendah yaitu sebesar
60%, dengan daya tetas 53% dan bobot tetas sebesar 36,37 ± 3,39 g.
Kata Kunci: telur tetas, penetasan, Itik Pegagan, fertilitas
PENDAHULUAN
Potensi ternak itik di Indonesia
sangat besar terutama sebagi penghasil
daging dan telur. Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati yang sangat
kaya. Salah satu dari kekayaan itu adalah
keanekaragaman hewan ternak, termasuk
itik. Populasi itik di Indonesia sebagian
besar dijumpai di pulau Jawa dan
kepulauan Indonesia bagian Barat.
Indonesia memiliki berbagai jenis itik
lokal seperti itik Cirebon, itik Mojosari,
itik Alabio, itik Tegal dan itik Magelang
Usaha pemerintah dalam
menunjang program sub sektor
peternakan yaitu peningkatan produksi
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 98
ternak dapat dicapai dengan dua cara
yaitu dengan peningkatan populasi
ternak dan peningkatan mutu genetik
ternak. Dalam rangka melestarikan ternak
lokal maka telah banyak dilakukan
bermacam-macam usaha antara lain
dengan inseminasi buatan dan
persilangan-persilangan.
Itik Pegagan sebagai itik lokal
Sumatera Selatan merupakan salah satu
sumber daya genetik ternak atau
kekayaan hayati lokal Indonesia, yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Sejauh ini data ilmiah mengenai itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah
relatif masih sedikit dibandingkan ternak
itik lokal lainnya. Sehingga perlu
diupayakan pelestarian.
Itik Pegagan berasal dari desa
Kotodaro, Kecamatan Tanjung Raja,
Kabupaten Ogan Ilir (OI), Propinsi
Sumatera Selatan. Populasinya dari
waktu ke waktu relatif semakin menurun,
sehingga sekarang ini populasi itik
tersebut hanya sekitar 10% dari populasi
itik di Sumatera Selatan. Padahal itik
Pegagan sebagai sumber plasma nutfah
belum banyak diungkap sebagaimana
ternak itik lokal lain. Potensi itik Pegagan
mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan itik lokal lainnya. Keunggulan
tersebut adalah berat badan rata-rata itik
dewasanya yang dapat mencapai > 2 kg,
serta berat telur rata-ratanya dapat
mencapai > 70 g.
Pengembangan itik Pegagan
tersebut perlu dilakukan melalui program
pemuliaan dengan memperhatikan
karakteristiknya. Program pemuliaan
secara nyata dapat membantu dalam
menghasilkan jenis itik tertentu dengan
sifat-sifat dan tujuan produksi yang
diharapkan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mempelajari dan
mengidentifikasi keragaan telur tetas dan
hasil penetasan telur itik Pegagan yang
pada akhirnya untuk mempopulerkan
dan meningkatkan manfaat itik Pegagan
serta dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam upaya pembudidayaannya.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini akan diawali dengan
mengumpulkan telur tetas itik Pegagan
sebanyak 500 butir yang didapat dari tiga
kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja,
Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan. Telur itik
yang dikumpulkan kemudian ditimbang
dengan timbangan telur untuk
mengetahui bobot telur (g), kemudian
diukur panjang (mm) dan lebar telur
(mm) untuk mengetahui indeks telur.
Telur kemudian difumigasi dengan
larutan kalium permanganat-formalin.
Larutan terdiri dari 4 g kalium
permanganat dan 5 cc formalin untuk
luasan satu meter kubik selama 15 menit.
Selanjutnya telur ditetaskan dengan
mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan
dengan lisol 2.5%.
Selama proses penetasan dilakukan
pemutaran telur mulai hari ketiga sampai
hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling)
dilakukan tiga kali yaitu pada hari
kelima, ke-13 dan ke-25. Pemeriksaan
pertama dilakukan untuk mengetahui
fertilitas telur. Pemeriksaan kedua dan
ketiga dilakukan untuk mengeluarkan
telur-telur dengan embrio mati. Mulai
hari ke-25 sampai menetas (umumnya
hari ke-28) telur-telur tidak diputar lagi,
sehingga diketahui dari telur yang mana
itik tersebut berasal. Daya tetas telur
ditentukan berdasarkan perbandingan
jumlah telur yang menetas dan tidak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Keragaan telur tetas itik Pegagan
hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 99
Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan bobot
telur tetas yang digunakan 65,32 ±3,81 g.
Rataan bobot telur penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan bobot telur itik
Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo
dan Susanti (2000) yakni 60,21 ± 5,64 g,
dan hampir sama dengan bobot telur
tetas itik Alabio pada penelitian Suryana
(2011) dimana bobot telur tetas yang
digunakan 67,87 ± 3,15 g. Bobot telur
merupakan sifat yang banyak
dipengaruhi oleh factor genetik, umur
induk, posisi telur dalam cluth, musim
dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan
ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas
yang digunakan sumbernya tidak sama
dan dihasilkan oleh induk yang
mempunyai bobot badan bervariasi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Applegate
et al. (1998) bahwa bobot telur yang
dihasilkan berkorelasi positif dengan
bobot induk. Bobot telur dipengaruhi
oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur
itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan,
cara pemeliharaan, dan temperature
lingkungan (Solihat et al. 2003). Ditinjau
dari aspek pakan, Wahyu (1997)
mengemukakan bahwa penurunan besar
telur dapat disebabkan oleh defisiensi
asam linoleat maupun kandungan zat
anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti
nicarbasin dan gossypol. Defisiensi asam
linoleat dalam pakan dapat
mengakibatkan bobot telur yang
dihasilkan rendah sehingga berat embrio
juga rendah (Komarudin et al. 2008).
Karakteristik warna kerabang telur
itik Pegagan adalah hijau kebiruan yang
merupakan ciri khas warna kerabang
telur itik Pegagan. Hasil penelitian sama
dengan warna kerabang telur itik Alabio
dan Mojosari (Suparyanto, 2005).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian
unggas air termasuk itik memiliki warna
kerabang hijau kebiruan. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh gen yaitu
pigmen yang bertanggung jawab
terhadap warna kerabang menjadi hiijau
kebiruan adalah pigmen biliverdin,
sementara zick chelate dan protoporpirin IX
umumnya ditemukan pada telur yang
berkerabang coklat (Wasburn 1993).
Warna kerabang telur hijau kebiruan
merupakan warna dominan otosomal
yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar
(Lancaster 1993). Pada itik-itik yang
sudah didomestikasi, warna kerabang
telur dengan itik Bali putih, itik Pekin,
dan itik putih Ukrania memiliki warna
kerabang telur putih yang sepenuhnya
dikontrol oleh gen g (Romanov et al.
1995).
Indeks telur merupakan
perbandingan antara panjang telur dibagi
lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik
Pegagan (75%) termasuk normal. Nilai
indeks telur yang normal adalah 79%,
sehingga nilai indeks yang lebih kecil dari
79% akan memberikan penampilan lebih
panjang dan lebih dari 79%
penampilannnya lebih bulat (Romanoff
dan Romanoff 1963). Indeks telur itik
Pegagan tersebut hampir mirip dengan
indeks telur itik Cihateup asal
Tasikmalaya (80,19%) hasil penelitian
Wulandari (2005). Indeks telur yang
mencerminkan bentuk telur sangat
dipengaruhi oleh genetik dan bangsa
(Romanov et al. 1995), juga proses-proses
yang terjadi selama pembentukan telur
(Larbier & Leclercq 1994).
Tabel 1. Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Peubah yang diamati
Jumlah Telur 500
Bobot Telur (g) 65,32 ±3,81
Warna telur Hijau kebiruan
Indeks Telur (%) 75 ± 0,03
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 100
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan
Hasil penetasan yang meliputi
fertilitas, daya tetas dan bobot tetas itik
Pegagan didapat nilai-nilai seperti Tabel
2.
Fertilitas telur adalah perbandingan
antara telur yang fertil dengan jumlah
total telur yang ditetaskan. Fertilitas telur
itik Pegagan yang dikumpulkan dari
petenak rendah yaitu sebesar 60%.
Rendahnya fertilitas telur karena pada
saat pemeliharaan rasio jantan dan betina
tidak tepat. Berdasarkan informasi dari
peternak pejantan yang dipelihara terlalu
sedikit. Fertilitas telur dalam penelitian
ini lebih rendah dari hasil penelitian yang
dilaporkan Setioko dan Istiana (1999)
yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan
terseleksi di Kabupaten Hulu Sungai
Tengah Propinsi Kalimantan Selatan
masing-masing sebesar 73,33% dan 77,4%,
sementara Suryana (2011) pada itik
Alabio fertilitas sebesar 97,3%. Purba et
al. (2005) dan Wobowo et al. (2005)
menyatakan bahwa rataan fertilitas telur
itik di daerah sentra produksi dan
penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa
Timur berkisar antara 86,46-90,49%,
sementara Yuwono et al. (2005)
melaporkan bahwa fertilitas telur itik
lainnya selama lima periode penetasan
sebesar 89,31%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fertilitas telur adalah
rasio jantan dan betina, pakan induk,
umur pejantan yang digunakan dan
umur telur (Srigandono 1997), jumlah
induk yang dikawini oleh satu pejantan
dan umur induk (Solihat et al. 2003).
Daya tetas telur itik Pegagan
sebesar 53%. Daya tetas telur itik Pegagan
masih cukup baik dibandingkan daya
tetas itik Alabio (48,98%) dan itik
Mojosari (40,87%) hasil penelitian
Brahmantiyo et al. (2001). Tinggi
rendahnya daya tetas bergantung pada
kualitas telur tetas, sarana penetas,
ketrampilan pelaksana dan kualitas mesin
tetas (Martojo et al. 1979 dalam Lasmini et
al.1992). Daya tetas juga sangat
dipengaruhi oleh status nutrisi induk.
Menurut Wilson (1997) status nutrisi
induk sangat penting dalam
pembentukan telur, ketersediaan gizi
yang seimbang dibutuhkan bagi
perkembangan embrio yang normal.
Embrio dapat mati jika telur kekurangan,
kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi
yang mempengaruhi daya tetas.
Bobot tetas yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 36,37±3,89 g. Bobot
tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini
relatif sama dengan hasil yang diperoleh
Suryana dan Tiro (2007) yakni 39,85 ± 0,66
g akan tetapi lebih kecil jika
dibandingkan dengan hasi penelitian
Lasmini et al.(1992) sebesar 42,22 g.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Bobot telur itik Pegagan sebesar 65
gram.
2. Karakteristik warna kerabang telur
itik Pegagan adalah hijau kebiruan
3. Indeks telur itik Pegagan 75±0,03.
4. Fertilitas telur itik Pegagan 60% .
5. Daya tetas telur itik Pegagan 53 %.
6. Bobot tetas itik Pegagan 36,37±3,39.
Tabel 2. Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Itik Pegagan
Peubah yang diamati
Fertilitas (%) 60
Daya Tetas (%) 53±0,17
Bobot Tetas (g) 36,37±3,89
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 101
DAFTAR PUSTAKA
Applegate, T.J., D. Harper, L. Lilburn.
1998. Effect of hen age composition
and embryo development in
commercial Pekin ducks. Poult Sci
77:16008-1612.
Brahmantiyo, B., L.H. Prsetyo. 2001.
Pengaruh bangsa itik Alabio dan
Mojosari terhadap performan
reproduksi. Prosiding Lokakarya
Unggas Air Sebagai Peluang Usaha
Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001.
Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor bekerjasama
dengan Balai Penelitian Ternak.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. hlm. 32-34.
Komarudin, Rukmiasih, P.S.
Hardjosworo. 2008. Performa
produksi itik berdasarkan
kelompok bobot tetas kecil, besar
dan campuran. Didalam: Inovasi
teknologi mendukung
pengembangan agribisnis
peternakan ramah lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-
12 Nopember 2008. Pusat penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
hlm. 604-610
Lancester, F.M. 1993. Mutations and
major variants in domestic duck. In:
Crawford R.D. 1990. Poultry
Breeding and
Genetics;Depaartement of Animal
and Poultry Science University of
Saskatchewan, Saskatoon,
Canada.pp 381-388
Larbier, M., B. Leclercq. 1994. Nutrition
and Feeding of Poultry. Notthingham
Unniversity Press. INRA. Perancis.
Lasmini, A., R. Abelsami, N.M. Parwati.
1992. Pengaruh cara penetasan
terhadap daya tetas telur itik
Twegal dan Alabio. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 18-19 September
2000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor. hlm. 31-34.
Martojo, H. 1979. Peningkatan Mutu
Genetik Ternak. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas dan
Bioteknologi, Institut Pertanian
Bogor.
Prasetyo, L.H., T. Susanti. 2000.
Persilangan timbal balik antara
itik Alabio dan Mojosari: Periode
awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 5(4): 210-214.
Purba, M., L.H. Prasetyo, T. Susanti. 2005.
Produksi dan penetasan telur itik di
daerah sentra produksi kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Prosiding
Seminar nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13
September 2005. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
hlm. 823-829.
Romanov, M.N., R.P. Veremenyenko, Y.Y.
Bondarenko. 1995. Conservation of
waterfowl germplasm in Ukraine.
In: World’s Poultry Science
Association. Proceeding 10th
European Symposium on
Waterfpowl, March, 26-31 1995.
Halle (Saale) Germany. pp. 401-414.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air.
Jogjakarta; Gadjah Mada University
Press.
Romanoff, A.L. and A.J. Roamnoff. 1963.
The Avian Egg. New York: John
Wiley and Sons.
ISSN 1978 - 3000
| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 102
Setioko, A.R., Istiana. 1999. Pembibitan
itik Alabio di Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner.
Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor. hlm. 382-387.
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan
produktivitas daging itik
mandalung melalui pembentukan
galur induk.[disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik
dan Genetik Itik Alabio (Anas
platyrhynchos Borneo) di Kalimantan
Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan
dan Pelestarian Secara
Berkelanjutan. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Suryana, B.W. Tiro. 2007. Keragaan
penetasan telur itik Alabio dengan
sistem gabah di Kalimantan Selatan.
Didalam; Percepatan Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Kemandirian
Masyarakat Kampung di Papua.
Prosiding Seminar Nasional dan
Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Papua; Jayapura,
5-6 Juli 2007. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Bogor.hlm 269-277.
Solihat, S., I. Suswoyo, Ismoyowati. 2003.
Kemampuan performan produksi
telur dari berbagai itik lokal. J
Peternakan Tropik 3 (1):27-32.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas.
Jogjakarta; Gadjah Mada University
Press.
Washburn, K.W. 1993. Genetics variation in
egg composition In: Poultry breeding
and genetics. Crawford RD (eds).
Departement of Animal and Poultry
Science. University of
Saskatchewan, Saskatoon. Canada.
pp. 781-804.
Wilson, H.R. 1997. Effecs of maternal
nutrient on hatchability. J Poult Sci
76:143-146.
Wulandari, W.A. 2005. Kajian
karakteristik biologis itik Cihateup
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, B., E. Juarini, Sunarto. 2005.
Analisa ekonomi usaha penetasan
telur itik di Sentra produksi.
Didalam: Merebut peluang
agribisnis melalui pengembangan
usaha kecil dan menegah unggas
air. Prosiding Lokakarya Unggas Air
II. Ciawi 16-17 Nopember 2005.
Kerjasama balai Penelitian Ternak,
Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia dan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Yuwono, D.M., Subiharta, A. Hermawan.
2006. Kajian inovasi kelembagaan
pembibitan itik Tegal Unggul
model inti-plasma. Prosiding
Seminar nasional Inovasi Teknologi
dalam mendukung usaha ternak
unggas berdaya saing. Semarang, 4
Agustus 2006. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan
bekerjasana dengan Jurusan Sosial
Ekonomi Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang.
hlm. 176-184.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 103
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk
Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo
Effect of Katuk Leaves Supplementation on Burgo’s Ovarium and Oviduct Size and Egg
Production Performance
Heri D. Putranto1,2)
1) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2) Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Unib
Jalan Raya W.R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371A
Telp. +62 -736 - 21170 ext. 219 Faks. +62 -736 - 21290
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Burgo chicken is one of potential natural fauna resources of Bengkulu Province, Indonesia. The reproductive
physiology status of this endemic species is still remain unclear. The cock well knowns for its beautiful color
and classified as a crowler type fowl. The hen has a potency as an egg producer. Female burgos in this study
were supplemented by 4 levels of katuk leaves extract (non-supplemented, 9, 18 and 27g/chick/day) during 8
weeks. The purpose of this study was to explore the effect of katuk leaves extract supplementation diluted
into drinking water on female burgo’s ovarium and oviduct size, and egg production. The results showed that
the treatment did not significantly affected all parameters (P>0.05). However, the supplemented of katuk
leaves extract hen groups had a higher egg production and ovarium and oviduct size than non-supplemented
group. The reason was katuk leaves contains precursor which has a main role in eicosanoids biosynthesis and
involved in reproduction and physiological process. Katuk leaves also contains estradiol-17β benzoate which
is functioned to improve the reproduction and to stimulate follicle growth and finally caused a higher egg
production.
Key words: Female burgo, egg production, ovarium, oviduct.
ABSTRAK
Ayam Burgo merupakan salah satu plasma nutfah Provinsi Bengkulu dan juga Indonesia yang hingga saat ini
belum banyak diketahui tentang informasi fisiologi reproduksinya. Selain dikenal karena keindahan bulu dan
suara ayam jantannya, ayam Burgo betina juga memiliki potensi sebagai penghasil telur. Pada studi ini, ayam
Burgo betina mendapatkan suplementasi ekstrak daun katuk yang dibagi dalam 4 aras yaitu
nonsuplementasi, 9, 18 dan 27 gr/ekor/hari selama 8 minggu. Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap ukuran ovarium, oviduk dan
tampilan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi
reproduksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk tidak
berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter yang diamati (P>0,05). Tetapi dengan adanya suplementasi
ekstrak daun katuk, ayam Burgo betina memiliki kecenderungan untuk bisa menghasilkan produksi telur
yang lebih tinggi serta ukuran ovarium dan oviduk yang lebih baik dibanding ayam nonsuplementasi. Hal ini
disebabkan karena daun katuk memiliki kandungan prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids
dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi serta kandungan senyawa aktif seperti estradiol-17β
benzoat yang dapat meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam
dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi.
Kata kunci: Ayam Burgo betina, ovarium, oviduk, produksi telur.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 104
PENDAHULUAN
Satwa unggas dalam hal ini ayam
telah menjadi sesuatu kebutuhan sebagai
salah satu sumber kebutuhan protein
hewani masyarakat dan biasa ditemui
sebagai satwa peliharaan oleh masyarakat
di Indonesia. Ayam tersebut terdiri atas
jenis ayam kampung atau buras, ayam ras
broiler (petelur dan pedaging) ataupun
ayam hias yang dapat menjadi salah satu
simbol strata sosial pemeliharanya. Salah
satu ayam hias yang endemik di Provinsi
Bengkulu adalah ayam Burgo atau juga
dikenal dengan nama ayam Rejang
(Putranto et al., 2009; 2010a, b, Setianto,
2009; Setianto et al., 2009; Warnoto dan
Setianto, 2009). Ayam Burgo merupakan
ayam lokal yang dapat dijumpai di
wilayah Provinsi Bengkulu dan hampir
tersebar di seluruh wilayah pedesaan
dengan populasi yang berbeda (Gibson,
2011). Unggas endemik Bengkulu ini
dapat ditemui pada hampir setiap
kabupaten di Provinsi Bengkulu, dan
hasil penelitian memperlihatkan bahwa
Kabupaten Rejang Lebong memiliki
populasi ayam Burgo domestikasi
terbanyak (Putranto, 2011b; Putranto et
al., 2010b, Nurmeliasari, 2003). Akan
tetapi, pada saat ini eksistensi ayam
Burgo tersebut dapat dikatakan belum
begitu dikenal secara luas ditataran
regional ataupun nasional sebagai salah
satu plasma nutfah Indonesia dengan
karakteristik dan keunikan yang khusus.
Hal ini dikarenakan masyarakat baik
masyarakat Bengkulu dan masyarakat di
Indonesia belum banyak mengetahui
tentang ayam Burgo.
Secara umum, pemeliharaan ayam
dilakukan dengan tujuan ekonomi
maupun hanya sekedar bagian dari hobi
atau kesenangan (pleasure). Diketahui
bahwa atas dasar tujuan pemeliharaan,
maka ayam yang dipelihara dapat dibagi
atas beberapa tipe yaitu tipe ayam
pedaging, tipe ayam petelur, tipe ayam
dwiguna dan diantaranya tipe ayam hias
dan aduan. Berdasarkan hasil penelitian
Putranto (2011b) dan Putranto et al. (2009;
2010a, b), ayam Burgo jantan lebih
menjadi preferensi pilihan pemelihara
dibanding ayam Burgo betina.
Pengembangan ayam Burgo jantan lebih
difokuskan sebagai ayam hias karena
keindahan bulu, bentuk dan ukuran
tubuh yang unik. Padahal ayam Burgo
betina juga memiliki potensi dijadikan
sebagai ayam petelur karena disinyalir
memiliki kemampuan yang cukup bagus
berupa produksi telur yang relatif tinggi.
Dalam upaya domestikasi ayam
Burgo (pemeliharaan intensif ataupun
semi intensif) sangat tergantung pada
keputusan petani untuk melakukan
domestikasinya. Nataamijaya (2010)
menjelaskan bahwa pengembangan ayam
lokal di Indonesia saat ini diarahkan pada
peningkatan skala kepemilikan dan
perbaikan teknik budidaya dengan
mengubah pola pemeliharaan dari pola
ekstensif tradisional (sistem umbaran) ke
usaha intensif komersial. Menurut
National Research Council (1993), ayam
peliharaan dari daerah tropis merupakan
sumber pangan paling penting di dunia.
Namun, usaha peternakan ayam lokal
belum berkembang antara lain belum
tersedianya bibit unggul serta cara
budidaya yang tidak efisien. Di negara
berkembang, usaha ternak ayam lokal
berperan penting dalam meningkatkan
pendapatan masyarakat karena usaha
tersebut melibatkan sebagian besar
penduduk miskin (Sonaiya, 2007).
Berdasarkan uraian diatas, maka
upaya pemeliharaan ayam Burgo secara
intensif dapat menjadi salah satu solusi
untuk mendukung usaha pemenuhan
kebutuhan protein hewani masyarakat
sekaligus untuk mengambil peran sebagai
salah satu solusi untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat di pedesaan.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 105
Dalam studi ini, ayam Burgo betina
dipelihara dalam kandang individu
ukuran 1,0 x 0,8 m2 sebagai bentuk uji
coba sistem pemeliharaan intensif dan
diberikan suplementasi daun katuk
melalui air minum sebagai salah satu
bentuk aplikasi teknologi nutrisi pakan.
Daun katuk (Sauropus androgynus)
terutama bagian yang muda, telah lama
dikenal sebagai salah satu jenis sayur
yang lazim dikonsumsi masyarakat
(Gibson, 2011; Zueni, 2011). Tanaman ini
juga dikenal sebagai sebagai tanaman
herbal dan antiseptik (anti kuman dan
anti protozoa) karena bisa
menyembuhkan borok, bisul, koreng,
demam, darah kotor dan frambusia
(Irawan, 2003). Selanjutnya daun katuk
juga berfungsi untuk melancarkan air
susu ibu, sehingga daun katuk banyak
diberikan pada ternak perah setelah
melahirkan. Daun katuk juga memiliki
fungsi sebagai sebagai anti lemak, anti
oksidan dan mempengaruhi metabolisme
lemak (Santoso et al., 1999).
Selanjutnya Santoso et al. (2003,
2005) menyebutkan bahwa pada ayam
petelur Leghorn, suplementasi ekstrak
daun katuk berpengaruh sangat positif
terhadap produksi telur baik dalam
persen, butir maupun gram dan juga
bahkan dapat meningkatkan jumlah
produksi telur. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa asam benzoat yang terkandung
dalam daun katuk, akan dikonversikan
menjadi estradiol-17β benzoat di dalam
tubuh. Estradiol-17β benzoat berperan
untuk meningkatkan fungsi reproduksi
dan merangsang pertumbuhan folikel
sehingga ayam dapat menghasilkan
produksi telur yang lebih tinggi dan lebih
efisien. Beberapa pustaka lainnya
menjelaskan bahwa daun katuk memiliki
lima substansi dasar yang berasal dari
kelompok asam lemak polyunsaturated
dan berfungsi sebagai prekursor yang
berperan dalam biosintesa eicosanoids
(prostaglandin, prostacycline, thromboxane,
lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat
dalam proses reproduksi dan fisiologi
(Ganong, 1993; Suprayogi, 2000), serta
kandungan 17-ketosteroid, androstan-17-
one, 3-ethyl-3-hydroxy-5-alpha berperan
penting pada biosintesa hormon steroid
betina (progesteron dan estradiol-17β)
(Despopoulos dan Silbernagi, 1991).
Menurut Putranto (2010, 2011a) dan
Putranto et al. (2007a, b, c; 2010b, c), fakta
fisiologi reproduksi berbagai jenis satwa
di Indonesia masih banyak yang belum
diketahui. Dalam hal ini termasuk fakta
fisiologi reproduksi ayam Burgo
(Putranto et al., 2010a, b). Padahal
diketahui bahwa informasi fisiologi
reproduksi jenis unggas endemik
Bengkulu ini merupakan data
fundamental yang sangat penting untuk
dikuasai sebelum dilanjutkan dengan
teknologi reproduksi lanjut. Studi
tampilan organ reproduksi ayam Burgo
betina ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh suplementasi ekstrak daun
katuk yang diberikan melalui air minum
terhadap tampilan organ reproduksi dan
produksi telur ayam Burgo betina sebagai
salah satu upaya mendapatkan informasi
dasar fisiologi reproduksinya. Sebagai
hipotesa, diperkirakan ekstrak daun
katuk yang mengandung prekursor yang
berperan dalam biosintesa eicosanoids
(prostaglandin, prostacycline, thromboxane,
lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat
dalam proses reproduksi dan fisiologi
akan juga mempengaruhi tampilan organ
reproduksi dan produksi telur ayam
Burgo betina dalam studi ini.
MATERI DAN METODE
Ayam Burgo
Sebanyak 16 ekor ayam Burgo
betina yang berumur 10–12 bulan didapat
dengan cara membeli dari beberapa
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 106
petani pemelihara ayam Burgo di
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten
Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu.
Pemilihan ayam sampel telah dipastikan
adalah ayam yang merupakan F1 ayam
Burgo dengan cara: (1) konfirmasi dan
wawancara dengan petani pemelihara
ayam Burgo tersebut, (2) pengujian dan
pengamatan tanda-tanda fenotip ayam
Burgo secara visual. Seluruh ayam Burgo
dalam keadaan sehat dan tidak cacat
sewaktu dibeli dan selama masa studi.
Ayam-ayam tersebut telah dewasa
kelamin ditilik dari status ayam yang
telah memproduksi telur sebelum dibeli.
Menurut Warnoto (2001), ayam Burgo
mencapai dewasa kelaminnya pada umur
4,5 bulan dan ditambahkan oleh Setianto
(2009) bahwa ayam Burgo dapat
mencapai status dewasa kelaminnya lebih
cepat dibanding jenis ayam lokal
Indonesia lainnya.
Prosedur Ekstraksi dan Suplementasi
Daun Katuk
Daun katuk segar didapatkan
dengan cara membeli dari beberapa
petani sayur di Kabupaten Bengkulu
Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah.
Dengan menggunakan metode yang
dipergunakan oleh Santoso et al. (2003,
2005), sebanyak 1,0 kg daun katuk segar
direndam dalam 6,0 l air menggunakan
wadah yang terbuat dari tanah liat dan
direbus selama 30 menit pada suhu
sekitar 60°C. Air rebusan disaring dan
sisa daun katuk kemudian dicampur
kembali dengan 6,0 l air dan kembali
direbus. Proses perebusan dan
penyaringan diulang hingga 3 kali. Air
rebusan kemudian dipanaskan selama 48
jam pada suhu sekitar 50°C
menggunakan wadah yang juga terbuat
dari tanah liat hingga tersisa semacam
endapan padat berbentuk pasta pada
dasar wadah.
Sebelumnya, telah dilakukan masa
adaptasi ayam Burgo terhadap perlakuan
suplementasi ekstrak daun katuk selama
10 hari sebelum masa studi dimulai,
termasuk adaptasi terhadap pakan,
kandang/sistem pemeliharaan dan
peralatan kandang. Ekstrak daun katuk
dilarutkan dengan cara diaduk-aduk
perlahan hingga tercampur merata dalam
100 ml air minum yang diberikan pada
pukul 07.00 pagi setiap hari. Berdasarkan
hasil pengamatan selama masa adaptasi,
air minum tersebut telah habis
dikonsumsi pada pukul 15.00 siang dan
selanjutnya air minum dapat
ditambahkan hingga menjadi ad libitum.
Selama masa studi, metode suplementasi
tersebut diaplikasikan kepada seluruh
ayam Burgo betina dan jumlah konsumsi
air minum dicatat setiap harinya.
Rancangan Percobaan
Studi ini dilakukan dari bulan Mei
hingga Juli 2010 bertempat di kandang
ayam milik Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu yang
berlokasi di Commercial Zone and Animal
Laboratory. Ke-16 ayam Burgo betina
ditempatkan dalam kandang individu
ukuran 1,0 x 0,8 m2 dengan dilengkapi
tempat pakan dan tempat minum.
Rancangan Acak Lengkap (RAL)
diaplikasikan yang terdiri atas 4 macam
perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan
tersebut adalah:
H1: suplementasi ekstrak daun katuk
dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari
(nonsuplementasi/kontrol).
H2: suplementasi ekstrak daun katuk
dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari.
H3: suplementasi ekstrak daun katuk
dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 107
H4: suplementasi ekstrak daun katuk
dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari.
Masa perlakuan suplementasi dilakukan
selama 8 minggu. Aras suplementasi
ekstrak daun katuk dijustifikasi
berdasarkan hasil penelitian Santoso et al.
(2003). Selanjutnya Santoso et al. (2003,
2005) melaporkan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk sebanyak 27 gr/kg
ransum telah berhasil meningkatkan
produksi telur pada ayam broiler.
Ayam diberikan pakan campuran
yang mengandung 16% protein kasar
(PK) dan 2.750 kcal/kg energi metabolis
(ME) tanpa suplementasi antibiotik
(Santoso et al., 2003). Pada Tabel 1 dapat
dilihat komposisi formulasi pakan basal
yang diberikan. Sebagaimana air minum,
pakan juga diberikan ad libitum.
Analisis Statistik
Parameter yang diukur dalam studi
ini adalah berat ovarium, berat dan
panjang oviduk serta tampilan produksi
telur ayam Burgo betina. Berat ovarium
dan oviduk serta panjang oviduk
dilakukan dengan menggunakan 2
sampel ayam betina per perlakuan.
Penimbangan dilakukan dengan cara
memotong ovarium dan oviduk dari
jaringan pengikatnya, kemudian segera
ditimbang menggunakan timbangan
analitik pada akhir minggu ke-8 (unit
pengukuran gr/ekor). Lalu oviduk diukur
panjangnya mulai dari bagian pangkal
hingga ke bagian ujung (unit pengukuran
cm/ekor). Produksi telur didapat
berdasarkan jumlah telur yang dihasilkan
dalam satu periode bertelur yang
dikoleksi selama 8 minggu (unit
pengukuran jumlah butir telur/8
minggu). Data hasil studi dianalisa
dengan menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata
diuji lanjut menggunakan Duncan
Multiple Range Test (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ayam Burgo merupakan salah satu
plasma nutfah Indonesia yang perlu
mendapat perhatian dari banyak pihak
yang berkepentingan. Sebagai ayam
buras lokal, selain karena menyimpan
potensi sebagai ayam hias (fancy fowl)
(Putranto et al., 2010a, b), unggas ini juga
memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai penghasil telur (Putranto, 2011b).
Tetapi sayang sekali, hingga saat ini
sistem budidaya dan upaya pembibitan
belum diketahui secara pasti apalagi
ditunjang oleh fakta bahwa pemeliharaan
ayam Burgo masih menggunakan sistem
backyard farming. Diharapkan dengan
semakin banyaknya publikasi ilmiah dan
studi tentang ayam Burgo yang telah
dilakukan oleh berbagai pihak akan dapat
semakin menempatkan eksistensi ayam
Burgo sebagai salah satu plasma nutfah
penting Indonesia bahkan di dunia.
Ayam Burgo adalah ayam crossbreed
antara ayam hutan merah jantan (Gallus
gallus) dan ayam buras betina (Setianto,
2009; Warnoto ,2001). Memiliki ciri
spesifik pada jantan dan betinanya yaitu
pada bagian cuping telinga memiliki
ukuran yang lebar dan berwarna putih.
Ditambahkan oleh Setianto (2009), warna
putih pada cuping telinga biasanya
dijadikan sebagai salah satu kriteria
Tabel 1. Formulasi ransum basal (kg/100 kg)
No Komposisi Bahan Volume (kg/100 kg)
1 Jagung halus 50.0
2 Konsentrat 24.0
3 Tepung kacang hijau 4.0
4 Tepung kacang kedelai 4.0
5 Tepung kacang 6.0
6 Tepung ikan 7.0
7 Minyak kelapa 1.0
8 Tepung tulang 2.2
9 Kalsium karbonat 1.0
10 Premix 0.5
Komposisi
PK (%) 16.5
ME (kcal/kg) 2752.0
Dimodifikasi dari Santoso et al. (2003).
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 108
terhadap keaslian genetiknya. Bentuk
tubuh ayam Burgo relatif kecil
dibandingkan ayam buras lain pada
umumnya, tetapi relatif lebih besar dari
ayam hutan merah dan mempunyai
warna kaki abu–abu (Warnoto, 2001).
Ayam Burgo betina dalam studi ini
mendapatkan perlakuan suplementasi
ekstrak daun katuk dalam 4 aras yaitu
nonsuplementasi, 9, 18 dan 27
gr/ekor/hari yang diprediksi dapat
mempengaruhi ukuran organ reproduksi
betina dan tampilan produksi telurnya.
Organ reproduksi betina berupa ovarium
dan oviduk memiliki peranan penting
dalam proses reproduksi dan produksi
telur. Ovarium merupakan bagian utama
organ reproduksi yang berfungsi sebagai
penghasil folikel atau ovum. Telah
diketahui pula bahwa ovarium
merupakan tempat sintesis hormon
steroid seksual, gametosis dan
perkembangan serta pemasakan kuning
telur (folikel) (Yuwanta, 2010). Dijelaskan
lebih lanjut bahwa ovarium berbentuk
seperti buah anggur terletak pada rongga
perut berdekatan dengan ginjal sebelah
kiri dan bergantung pada ligamentum
meso-ovarium. Ovarium terbagi dalam dua
bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan
medulla pada bagian dalam. Cortex
mengandung folikel dan pada folikel
terdapat sel–sel telur.
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil
studi berupa hasil penimbangan berat
ovarium sebelah kanan dan kiri dari
ayam Burgo betina. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk berpengaruh tidak
nyata terhadap rerata berat ovarium
ayam Burgo betina baik ovarium sebelah
kanan maupun kiri (P> 0,05).
Secara umum berat ovarium unggas
pada saat DOC mencapai 0,3 gr dan pada
ayam betina umur 12 minggu mencapai
60 gr (Yuwanta, 2010). Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat dikatakan
bahwa berat ovarium ayam Burgo betina
dalam studi ini tergolong rendah.
Tercatat berat ovarium ayam Burgo
betina bervariasi mulai dari 0,0427gr
hingga 0,5128 gr yang keduanya
merupakan ovarium sebelah kiri.
Rendahnya berat ovarium ayam Burgo
betina dalam studi ini diperkirakan akibat
konsumsi pakan yang tidak optimal
selama studi berlangsung (Gibson, 2011).
Selanjutnya ditambahkan oleh Gibson
(2011) bahwa perlakuan pemeliharaan
intensif dalam kandang individual
diperkirakan telah memunculkan gejala
cekaman yang mengakibatkan rendahnya
konsumsi pakan ayam Burgo tersebut.
Hal ini sesuai dengan laporan Braw-Tal et
al. (2004) yang menyatakan bahwa pada
saat konsumsi pakan berkurang akan
mengakibatkan penurunan berat ovarium,
jumlah folikel serta disfungsi dari ovarium.
Walaupun berpengaruh tidak
nyata, ternyata suplementasi ekstrak
daun katuk telah mengakibatkan ayam
Burgo betina memiliki kecenderungan
berat ovarium yang lebih tinggi
dibanding ayam nonsuplementasi
(kontrol). Diduga kandungan senyawa
aktif utama dalam daun katuk yaitu
estradiol-17β benzoat mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan fungsi
reproduksi dan merangsang
pertumbuhan folikel sehingga ayam
dapat menghasilkan ovum yang lebih
banyak (Santoso et al., 2003; 2005).
Dengan ovum/folikel yang lebih banyak
berarti ovarium menjadi lebih aktif dan
menjadi bertambah ukurannya untuk
mengakomodir aktifitas tersebut.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 109
Selanjutnya Tabel 2 memperlihatkan
bahwa secara umum ovarium ayam Burgo
betina sebelah kanan cenderung lebih
berat dibandingkan ovarium sebelah kiri.
Salisbury (1985) menyatakan bahwa
ovarium unggas sebelah kanan
cenderung lebih aktif daripada ovarium
sebelah kiri sehingga ovarium unggas
sebelah kanan akan lebih besar
ukurannya dan lebih berat bobotnya
dibanding ovarium unggas sebelah kiri.
Profil dan perbandingan ukuran ovarium
kanan dan kiri pada ayam Burgo betina
dalam studi ini dapat dilihat pada
Gambar 1. Parameter yang diamati selanjutnya
adalah berat dan panjang oviduk pada
ayam Burgo betina. Oviduk merupakan
alat reproduksi sekunder pada unggas
betina yang merupakan tempat menerima
kuning telur masak, sekresi putih telur
dan pembentukan kerabang telur
(Yuwanta, 2010). Terdapat sepasang
oviduk dan merupakan saluran
penghubung antara ovarium dan uterus.
Bentuknya panjang dan berkelok-kelok
yang merupakan bagian dari ductus
muller. Ujungnya melebar membentuk
corong dengan tepi yang berjumbai
(Nalbandov, 1990). Oviduk terdiri dari
lima bagian yaitu infundibulum atau
funnel, magnum, ithmus, uterus atau shell
gland dan vagina (Nesheim et al., 1979).
Tabel 3 memperlihatkan hasil studi
berupa hasil penimbangan berat dan
pengukuran panjang oviduk ayam Burgo
betina. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk berpengaruh tidak
nyata terhadap rerata berat dan rerata
panjang oviduk ayam Burgo betina (P>
0,05). Rerata berat oviduk ayam Burgo
betina bervariasi antara 0,6423 gr hingga
9,8178 gr dan rerata panjang oviduk
bervariasi mulai dari 3,6 cm hingga 8,2
cm.
Tidak berpengaruhnya ekstrak
daun katuk terhadap berat dan panjang
oviduk ayam Burgo betina diduga karena
umur ayam Burgo yang digunakan pada
penelitian ini telah melewati batas awal
dewasa kelamin. Ayam burgo betina
mencapai dewasa kelamin pada umur 4 –
4,5 bulan (Warnoto, 2001). Yuwanta
(2010) menyatakan bahwa ayam yang
telah mencapai dewasa kelamin, oviduk
telah berkembang sempurna menurut
bagian–bagiannya dan masing–masing
fungsinya.
Tetapi apabila diamati lebih
seksama, rerata berat dan panjang oviduk
ayam Burgo betina yang mendapat
Tabel 2. Berat ovarium ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)
Perlakuan
Ovarium Kiri Rerata
Kiri
Ovarium Kanan Rerata
Kanan Probabilitas Replikasi
1
Replikasi
2
Replikasi
1
Replikasi
2
H1 0,5128 0,3003 0,4065 0,0994 0,2326 0,166 ns
H2 0,0454 0,0578 0,0516 0,1891 0,1819 0,185 ns
H3 0,3278 0,0427 0,1852 0,1827 0,2053 0,194 ns
H4 0,0656 0,0559 0,0607 0,2348 0,1051 0,169 ns
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-
mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=
suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak
daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
Gambar 1. Profil ovarium ayam Burgo betina yang telah dipisahkan dari jaringan ikat.
Keterangan: A= ovarium sebelah kiri, B= ovarium sebelah kanan.
A
B
B
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 110
perlakuan suplementasi ekstrak daun
katuk cenderung lebih berat dan lebih
panjang dibanding ayam Burgo betina
nonsuplementasi (kontrol). Menurut
Budiasa (2008), ekstrak daun katuk
mengandung FSH dan LH yang dapat
meningkatkan steroidogenesis yang
sebagian besar adalah estrogen,
androgen dan progesteron. Hormon-
hormon reproduksi tersebut mempunyai
peran penting untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan saluran reproduksi betina.
Dengan adanya suplementasi ekstrak
daun katuk dalam air minum ayam
Burgo betina dalam studi ini,
diperkirakan telah menyebabkan
bertambah banyaknya produksi hormon
reproduksi sehingga ukuran (berat dan
panjang) oviduk pada ayam Burgo betina
suplementasi menjadi lebih tinggi
dibandingkan ayam Burgo betina
nonsuplementasi.
Hasil analisis sidik ragam pada
Tabel 4 memperlihatkan bahwa
perlakuan suplementasi ekstrak daun
katuk berpengaruh tidak nyata terhadap
rerata produksi telur ayam Burgo betina
selama 8 minggu perlakuan (P> 0,05).
Rerata produksi telur ayam Burgo betina
dalam studi ini berkisar antara 15 butir
hingga mencapai 26 butir/ekor/8 minggu.
Hasil ini studi ini masih sejalan dengan
pendapat Warnoto dan Setianto (2009)
yang menyatakan bahwa ayam Burgo
betina dapat memproduksi telur
sebanyak 10–15 butir per periode bertelur
atau total sekitar 60 butir per tahun. Lebih
lanjut disebutkan bahwa berat telur ayam
Burgo relatif lebih ringan daripada ayam
kampung, yaitu 26.50 – 35.50 gr untuk
ayam Burgo (Warnoto, 2001) dan
mencapai 41 gr untuk ayam kampung
(Diwyanto and Iskandar, 1999). Ukuran
telur yang lebih kecil ini disebabkan oleh
karakteristik tubuh ayam Burgo betina
yang lebih ringan daripada ayam
kampung (Gibson, 2011; Putranto, 2011b).
Jika diamati lebih lanjut, rerata
produksi telur ayam Burgo yang
mendapat suplementasi ekstrak daun
katuk aras 27 gr/ekor/hari cenderung
menghasilkan rerata produksi telur yang
lebih banyak dibandingkan perlakuan
lainnya. Salah satu senyawa yang diduga
dapat berperan dalam peningkatan
produksi telur adalah asam benzoat
Tabel 3. Berat oviduk (gr/ekor) dan panjang oviduk (cm/ekor) ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan
Perlakuan
Berat Oviduk Rerata
Berat
Panjang Oviduk Rerata
Panjang Probabilitas Replikasi
1
Replikasi
2
Replikasi
1
Replikasi
2
H1 4,3432 5,0293 4,6862 6,6 5,2 5,90 ns
H2 0,6423 9,7793 5,2108 4,9 7,7 6,30 ns
H3 9,4680 9,8178 9,6429 7,2 8,2 7,70 ns
H4 6,1856 5,3797 5,7826 3,6 5,7 4,65 ns
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-
mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=
suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak
daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 4. Produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)
Perlakuan Replikasi 1 Replikasi 2 Rerata Probabilitas
H1 11,0 19,0 15,0 ns
H2 28,0 21,0 24,5 ns
H3 29,0 19,0 24,0 ns
H4 28,0 24,0 26,0 ns
Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-
mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=
suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak
daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 111
(Gibson, 2011). Asam benzoat dalam
tubuh dapat dikonversikan menjadi
estradiol-17β benzoat. Estradiol-17β
benzoat berperan untuk meningkatkan
fungsi reproduksi dan merangsang
pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003).
Selanjutnya ditambahkan oleh
Anonimous (2009), vitamin C dan E yang
terkandung dalam pakan terbukti dapat
meningkatkan produksi telur. Secara
umum diketahui bahwa daun katuk kaya
akan zat besi, provitamin A dalam bentuk β-
carotene, vitamin C, minyak sayur, protein
dan mineral lainnya. Dalam 100 gram daun
katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8
gram protein, 2 gram lemak, 11 gram
karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium,
83 mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 µg vitamin
D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C
(Anonimous, 2009).
Walaupun analisis secara statistik
memperlihatkan pengaruh yang tidak
nyata, hasil studi berupa perlakuan
ekstraksi daun katuk ini selaras dengan
hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Santoso et al. (2003, 2005) yang
menyebutkan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk pada ayam petelur
berpengaruh sangat positif terhadap
produksi telur baik dalam persen, butir
maupun gram dan juga bahkan dapat
meningkatkan jumlah produksi telur.
Asam benzoat yang terkandung dalam
daun katuk dikonversikan menjadi
estradiol-17β benzoat yang berperan
untuk meningkatkan fungsi reproduksi
dan merangsang pertumbuhan folikel
sehingga ayam dapat menghasilkan
produksi telur yang lebih tinggi dan lebih
efisien. Ditambahkan oleh Agustal et al.
(1997), daun katuk mengandung
beberapa senyawa–senyawa aktif seperti
asam benzoat, asam fenil malonat, 2-
pyrolidinon dan methyl pyroglutamate
yang semuanya dapat berperan dalam
peningkatan produksi dan reproduksi.
SIMPULAN
Walaupun data menunjukkan
bahwa suplementasi ekstrak daun katuk
belum mempengaruhi secara optimal
terhadap seluruh paramater yang diamati
dalam studi ini tetapi terdapat
kecenderungan bahwa ekstrak daun
katuk dengan kandungan berbagai
prekursor dan senyawa aktif didalamnya
mampu memberikan pengaruh yang
positif terhadap ukuran ovarium dan
oviduk serta tampilan produksi telur
ayam Burgo betina.
DAFTAR PUSTAKA
Agustal, A., M. Harapini, dan Chairul.
1997. Katuk leaves extract
(Sauropus androgynus (L) Merr)
chemical analysis by using GCMS.
Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 31-33.
Anonimous. 2009. Manfaat Daun Katuk. http://www.departemenkesehatanrepubl
ik indonesia.go.id. 11 November
2010.
Budiasa, M.K., W. Bebas. 2008.
Pregnant mares serum
gonadotrophin meningkatkan dan
mempercepat produksi telur itik Bali
yang lambat bertelur. Jurnal
Veteriner 9 (1): 20-24. Braw-Tal, R., S. Yossefi, S. Pen, D. Schider
dan A. Bar. 2004. Hormonal changes
associated with aging and induced
moulting of domestic hens. British
Poultry Science 45 (6): 204-211.
Despopoulos, A., L. Silbernagi. 1991.
Color Atlas of Physiology 4rd Ed.
Stuttgart, New York: Georg Thieme
Verlag.
Diwyanto, K., S. Iskandar. 1999.
Kampung Chickens: A Key Part of
Indonesia’s Livestock Sector.
Livestock Industries of Indonesia
Prior to the Asian Financial Crisis,
Regional Office for Asia and the
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 112
Pacific, FAO Corporate Document
Repository.
Ganong, W.F. 1993. Review of Medical
Physiology 6th Ed. Prentice-Hall
International Inc. San Fransisco.
Gibson, B. 2011. Studi Penggunaan
Ekstrak Daun KatukTerhadap
Tampilan Organ Reproduksi Ayam
Burgo Betina Untuk Perbaikan
Kualitas Populasi. Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Universitas Bengkulu.
Bengkulu. Tesis.
Irawan, N. 2003. Pengaruh Pemberian
Daun Katuk (Sauropus androginus
Merr) dengan Berbagai Metode
Ekstraksi Terhadap Kualitas Telur
Ayam Petelur. Jurusan Peternakan,
Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu. Bengkulu. Skripsi.
Nalbandov, A.V. 1990. Reproductive
Physiology of Mammals and Birds.
UI Press, Jakarta, Indonesia.
Nataamijaya, A.G. 2006. Egg production
and quality of kampung chicken fed
rice bran diluted commercial diet
and forages supplement. Journal of
Animal Production (8): 206-210.
National Reseach Council. 1993.
Managing Global Livestock
Resources. Committe on Managing
Global Genetic Resources.
Agricultural Imperatif. National
Academic Press. Washington DC,
USA.
Nesheim, M.C., R.E. Austic dan L.E.
Card.1979. Poultry Production. 12th
ed. Lea and Febiger, Philadelphia,
USA.
Nurmeiliasari. 2003. Burgo chicken
population, distribution and the
interaction with various ecological
factor. Jurnal Raflesia UMB V (2):
52-55.
Putranto, H.D. 2010. The description of
intensively captived sambar deer’s
reproductive behavior. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia 5 (2): 129-134.
Putranto, H.D. 2011a. A non-invasive
identification of hormone
metabolites, gonadal event and
reproductive status of captive
female tigers. Biodiversitas Journal
of Biological Diversity 12 (3): 131-
135.
Putranto, H.D. 2011b. Introduction of
indigenous Bengkulu chicken,
population, female production and
reproductive organs description.
Proc.of the 19th J-AREA Annual
Meeting, Himeji City, Japan, p: 9.
Putranto, H.D., S. Kusuda, K. Inagaki, G.
Kumagai, R. Ishii-Tamura, Y. Uziie,
dan O. Doi. 2007a. Ovarian activity
and pregnancy in the Siberian tiger,
Panthera tigris altaica, assessed by
fecal gonadal steroid hormones
analyses. Journal of Veterinary
Medicine Science 69 (5): 569-571.
Putranto, H.D., S. Kusuda, H. Hashikawa,
K. Kimura, H. Naito, dan O. Doi.
2007b. Fecal progestins and
estrogens for endocrine monitoring
of ovarian cycle and pregnancy in
Sumatran orangutan (Pongo abelii).
Jpn Journal of Zoo and Wildlife
Medicine 12 (2): 97-103.
Putranto, H.D., S. Kusuda, T. Ito, M.
Terada, K. Inagaki, dan O. Doi.
2007c. Reproductive cyclicity
based on fecal steroid hormones
and behaviors in Sumatran tigers,
Panthera tigris sumatrae. Jpn Journal
of Zoo and Wildlife Medicine 12 (2):
111-115.
Putranto, H.D., U. Santoso, Y. Fenita, dan
Nurmeliasari. 2009. Kajian
Konservasi: Populasi, Tampilan
Reproduksi dan Potensi
Domestikasi Ayam Burgo Plasma
Nutfah Endemik Bengkulu.
Laporan Hibah Kompetitif
Penelitian Strategis Nasional Batch
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 113
2. Lembaga Penelitian Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, dan
Nurmeliasari. 2010a. Kajian
Konservasi: Populasi, Tampilan
Reproduksi dan Potensi
Domestikasi Ayam Burgo Plasma
Nutfah Endemik Bengkulu.
Laporan Hibah Kompetitif
Penelitian Strategis Nasional
Lanjutan Tahun ke-2. Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, Y.
Fenita, dan Nurmeiliasari. 2010b. A
study on population density and
distribution pattern of domesticated
Bengkulu native burgo chicken.
Media Kedokteran Hewan 26 (2):
198-204.
Putranto, H.D., E. Soetrisno,
Nurmeliasari, A. Zueni, dan B.
Gibson. 2010c. Recognition of
seasonal effect on captive Sumatran
sambar deer reproductive cyclicity
and sexual behavior. Biodiversitas
Journal of Biological Diversity 11
(4): 200-203.
Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi
Reproduksi dan Inseminasi Buatan
pada Sapi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Santoso, U., J. Setianto, dan H. Prakoso.
1999. Peningkatan Efisiensi
Pertumbuhan dan Penurunan
Jumlah Salmonella sp. Daging Serta
Akumulasi Lemak Broiler Oleh
Ekstrak Daun Katuk. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian
Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, T. Suteky, dan Y.
Fenita. 2003. The Utilization of
Katuk Leaves Extract to Improve
Environmental Friendly Egg
Quality and Production Efficiency.
Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Lembaga Penelitian Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Santoso, U., J. Setianto, dan T. Suteki.
2005. Effect of Sauropus androgynus
extract on egg production and lipid
metabolism in layers. Asian-
Australian Journal of Animal
Science 18 (3): 364-370.
Suprayogi, A. 2000. Studies on the
Biological Effects of Sauropus
androgynus (L) Merr.: Effects on
Milk Production and the
Possibilities of Induced Pulmonary
Disorder in Lactating Sheep.
University Gottingen, Germany.
Dissertation.
Setianto, J. 2009. Ayam Burgo; Ayam
Buras Bengkulu. Kampus IPB
Taman Kencana. IPB Press. Bogor.
Setianto, J., Warnoto, dan Nurmeiliasari.
2009. The phenotypic
characteristic, population and the
ecological factors of Bengkulu’s
burgo chicken. Proc. of
International Seminar the Role and
Application on Livestock
Reproduction and Products;
Bukittinggi, Indonesia, hal: 13-14.
Sonaiya, E.B. 2007. Family poultry, food
security and the impact of HPAI.
Journal of World's Poultry Science
63: 132-138.
Warnoto, 2001. Identifikasi, Fenotif,
Populasi, Habitat Penyebaran dan
Potensi Pengembangan Ayam.
Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
Warnoto, dan J. Setianto. 2009. The
characteristic of egg production and
reproduction of various
crossbreeding offspring between
Burgo chicken with nature chicken.
Proc.of International Seminar the
Role and Application on Livestock
Reproduction and Products;
Bukittinggi, Indonesia, hal: 15-16.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 114
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas
Telur. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Zueni, A. 2011. The Effect of Katuk
Leaves Extract Supplementation on
Bengkulu Burgo Chicken Sexual
Hormone and Follicles.
Pascasarjana Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Universitas Bengkulu.
Bengkulu. Tesis.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 115
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi
dengan Kebun Kopi
The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving the Honey
Productivity of Apis cerana
Rustama Saepudin1, Asnath M. Fuah2, Luki Abdullah2
1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. 2 Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB.
ABSTRACT
The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was
conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the application
of Apis cerana-coffee plant integration system on honey production and coffee bean as well.. The experiment
was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications. The result showed
that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey
productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by
10.55 % than that was unpollinated by Apis cerana.
Key words: cerana, coffee, integration, production
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Kepahiang, Provinsi Bengkulu dengan tujuan untuk mengevaluasi penerapan
sistem integrasi perkebunan kopi dengan lebah madu Apis cerana terhadap produksi madu dan produksi
kopi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan dan 10 ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa produksi madu lebih tinggi 114% daripada madu yang dihasilkan di luar
perkebunan kopi. Sejalan dengan produksi madu, produksi kopi juga lebih tinggi 10,55% dari pada produksi
kopi pada kebun yang penyerbukannya tidak dengan Apis cerana.
Key words: Apis cerana, kopi, integrasi, produksi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan lebah di Indonesia,
khususnya di Kabupaten Kepahiang
Bengkulu, masih dihadapkan pada
kendala utama yaitu rendahnya produksi
madu, hanya sekitar 1-3 kg per koloni per
tahun. Kondisi ini jauh lebih rendah dari
produksi optimal sekitar 5-10
kg/koloni/tahun. Disamping
produktivitasnya, kualitas madu juga
rendah, ditunjukan dengan banyaknya
kotoran dan tingginya kadar air (>24 %).
Penyebab utama rendahnya produksi
dan kualitas madu adalah kurang
memadainya ketersediaan pakan dan
rendahnya tingkat pengusaan teknologi
budidaya lebah.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
untuk menjaga kesinambungan usaha
perlebahan perlu dicari tanaman sumber
pakan yang potensial dan memiliki
hubungan mutualisme dengan lebah
madu. Tanaman yang punya potensi di
Kepahiang adalah kopi dengan luasan 29
ribu ha dari 35 ribu ha perkebunan (Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang,
2009). Tanaman kopi menyediakan
nektar dan polen sebagai pakan lebah
Apis cerana yang dapat menghasilkan
madu yang rasanya manis. Department of
ISSN 1978 - 3000
| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 116
Agriculture and Food Western Australia
(2009) melaporkan bahwa madu yang
dihasilkan dari lebah yang diberi pakan
nektar kopi memiliki frukrosa tinggi
(38%), berwarna amber dan aroma yang
khas.
Oleh karena itu salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah
mengintegrasikan lebah madu dengan
tanaman kopi yang sudah berkembang
(yang selanjutnya disebut sinkolema) dan
memiliki hubungan mutualism. Lebah
madu mampu menghasilkan madu pada
saat kopi belum dipanen dan membantu
penyerbukan untuk meningkatkan
produksi kopi
Disisi lain kopi mampu
menyediakan nektar dan pollen sebagai
pakan dari lebah madu. Disampaing
untuk mengatasi permasalahan
produktivitas madu, sinkolema juga
diharapkan mampu mengatasi
permasalahan rendahnya produktivitas
kopi yang relatif rendah (0,970 ton/ha)
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kepahiang, 2009) dibandingkan dengan
produksi ideal sebesar 1,540 ton/ha
Penelitian integrasi lebah dengan
tanaman telah dilakukan oleh Kazuhiro
(2004) dan Biesmeijer dan Slaa (2004)
yang mengintegrasikan Stingless bee
dengan tanaman kacang-kacangan.
Penelitian yang serupa telah
dilaksanakan oleh Klein et al. (2003) pada
kopi, Kremen et al. (2002) pada pada
daerah pertanian hortikultura, Kakutani
et al. (1993), Maeta et al. (1992) dan
Katayama (1987) pada tanaman
strowberry. Namun demikian penelitian
masih difokuskan pada jasa stingless bee
dan A. millifera sebagai polinator,
sedangkan A. cerana dan peranan
tanaman sebagai sumber penghasil pakan
lebah masih sangat sulit didapatkan.
Di Indonesia Sinkolema belum
banyak diterapkan padahal disamping
potensinya sangat tinggi terutama di luar
Jawa, peran masing-masing produk
sangat penting, diantaranya adalah;
1. Lebah sebagai penyerbuk pada
tanaman kopi, sehingga diharapkan
produksi kopi semakin tinggi dan
kopi sebagai penghasil pakan yang
diharapkan mampu meningkatkan
produksi madu yang berkualitas
sehingga produktivitas dan efisiensi
lahan meningkat, pada gilirannya
kesejahteraan petani juga meningkat.
2. Madu sebagai sumber pendapatan
tambahan petani sehingga pada saat
usaha pertanian tidak berproduksi,
lebah madu mampu memberikan
penghasilan, sehingga biaya hidup
sehari-hari dan biaya untuk usaha
pertanian saat kopi tidak
berproduksi tetap terjamin.
Adanya hubungan saling
menguntungkan antara lebah madu dan
kopi maka diharapkan akan dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan
pendapatan petani dan sekaligus
melestarikan lebah madu asli Indonesia.
Untuk keperluan itu diperlukan kajian
budidaya, desain Sinkolema berbasis
wawasan dengan tidak mengabaikan
karakteristik morfometri lebah madu itu
sendiri.
Kajian karakterisasi morfometri
lebah madu Apis cerana yang
diintegrasikan dengan perkebunan perlu
dilakukan untuk melengkapi data ilmiah
sinkolema sehinga pengembangan lebah
madu dapat dilakukan tanpa harus
mengorbankan ciri-ciri genetiknya.
Demikian pula dengan pengukuran
tingkat keberlanjutan budidaya lebah
madu perlu didasari kajian yang holistik
melibatkan atribut-atribut keberlanjutan
masih perlu dilakukan untuk menjaga
kesenimabungan kekayaan sumberdaya
alam hayati yang dimiliki.
Langkah-langkah yang harus
dirumuskan dalam pelaksanaan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 117
Sinkolema untuk meningkatkan
perekonomian petani dibutuhkan kajian
keberlanjutan sehingga kebijakan dalam
mengatasi permasalahan yang diambil
akan lebih tepat dan efektif.
Upaya mengatasi permasalahan
budidaya lebah madu dan perkebunan
kopi tersebut di atas yang belum pernah
dilakukan adalah mengitegrasikan
pembangunan peternakan lebah dengan
tanaman kopi dalam suatu konsep
kawasan. Diharapkan dengan
memperhatikan hal tersebut
permasalahan utama yaitu rendahnya
pendapatan peternak/petani dapat
teratasi.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis produktivitas lebah madu
melalui penerapan pola integrasi dengan
kebun kopi (Sinkolema) berbasis potensi
dan sumberdaya lokal untuk peningkatan
ekonomi peternak lebah.
MATERI DAN METODE
Tempat Peneliian
Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Kepahiang Propinsi
Bengkulu.
Identifikasi Daya Dukung,
Produktivitas Madu dan Kopi
Penelitian daya dukung
dilaksanakan untuk menganalisis
kemampuan wilayah dalam menyokong
pengembangan budidaya lebah. Hasil
yang akan diperoleh dari tahapan ini :
1. Karakteristik pembungaan (flowering
characteristic) kopi.
2. Produktivitas nektar dan daya
dukung kebun kopi
3. Populasi lebah
4. Produksi madu madu (berdasarkan
sistem pemeliharaan dan berdasarkan
lata letak kotak).
5. Menghitung produksi kopi per ha per
tahun
Prosedur
1. Karakteristik pembungaan (flowering
characteristic) kopi diperoleh melalui
pengamatan satu tahun penuh yaitu
kapan kopi mulai berbunga, kapan
puncak produksi, dan kapan mulai
terjadi penurunan. Dari data yang
dikumpulkan diperoleh siklus
pembungaan kopi di lokasi penelitian.
2. Produksi nektar kopi dan daya
dukung kopi diperoleh dengan cara
sbb:
a) Memilih secara acak 10 pohon
kopi sebagai contoh (sampel)
b) Dua puluh lima mahkota bunga
dari masing-masing pohon
terpilih dikumpulkan dan diukur
nektarnya .Pengamatan dilakukan
3 kali, pagi hari (jam 05.00 s/d
07.00), siang hari. (jam 11.00-
13.00) dan sore hari (jam 16.00-
18.00) satu hari setiap bulan.
Nektar bunga dikumpulkan
dengan cara menarik mahkota
bunga secara hati-hati sehingga
nampak cairan bening dan disedot
pakai microspuit atau micropipet.
Dari tahapan ini diperoleh rata-
rata produksi nektar per 25
kuntum bungan digunakan untuk
memprediksi produksi nektar per
satu kuntum bunga kopi.
c) Selanjutnya dihitung jumlah
mahkota bunga per satu tangkai
dan jumlah tangkai per pohon
bunga. Data tersebut digunakan
untuk memprediksi jumlah
mahkota bungan per pohon kopi.
d) Produksi nektar per pohon kopi
diperoleh dari jumlah bunga per
pohon dan rata-rata produksi
nektar per bunga.
e) Produksi nektar per hektar kopi
diprediksi melalui pengalian
produksi nektar per pohon
dengan jumlah pohon per hektar
kopi.
ISSN 1978 - 3000
| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 118
f) Daya dukung kebun kopi
diartikan sebagai seberapa banyak
koloni yang mampu didukung
oleh satu hektar kebun kopi, Oleh
karena itu daya dukung kebun
kopi dihitung berdasarkan total
produksi nektar kopi per hektar
per hari dibagi kebutuhan rata-
rata koloni lebah A. cerana per
koloni per hari. Karena kesulitan
tehnis pengukuran, kebutuhan
koloni per hari digunakan hasil
penelitian Husaeni (1986) yaitu
145 ml/koloni.
3. Populasi lebah diduga melalui
pendekatan bobot koloni dibagi bobot
rata-rata lebah pekerja (Bs = Bobot
koloni lebah didapatkan dengan cara
menimbang seluruh stup berisi lebah
dicatat sebagai bobot stup, lalu lebah
dipindahkan ke kotak lain dan
ditimbang sebagai bobot tanpa lebah
atau bobot kosong. Kemudian selisih
antara Bs dan Bk adalah bobot total
lebah (Bt). Bobot rata-rata lebah per
ekor didapatkan dari penimbangan
200 ekor lebah dan hasilnya dibagi
200.
4. Data mengenai produksi madu yang
dicari adalah produksi total per
koloni per tahun. Data produksi
tersebut dibedakan antara lebah yang
dibudidayakan dengan dan tanpa
Sinkolema. Disamping itu dibedakan
pula berdasarkan tata letak kotak
terpusat dan tersebar. Tahapan untuk
mendapatkan data produksi adalah
sbb:
a) Produksi madu dihitung
berdasarkan kali panen dan
dikonversikan ke produksi per
stup per tahun, dan akan
dibandingkan antara produksi
madu pada sistem integrasi dan di
luar integrasi. Sebagai sampel
akan dipilih secara acak sebanyak
masing-masing 10 stup lebah yang
dibudidayakan padan sistem
integrasi dan 10 stup lainnya dari
lebah yang dibudidayakan di luar
sistem integrasi
b) Produksi madu tiap koloni diukur
dengan ukuran botol, selanjutnya
dikonversi ke ukuran volume dan
ukuran bobot
c) Menentukan tata letak stup
didasarkan pada faktor lokasi,
pengelolaan, keamanan dan
pemanenan. Penempatan kotak
terpusat di halaman pondok jaga
dengan jarak antar kotak 10 s/d 20
m. Sedangkan yang tersebar,
kotak ditempatkan di tengan
kebun kopi dengan jarak antar
kotak di atas 200 m.
d) Data yang diperoleh dianalisis
berdasarkan Rancangan Acak
Lengkap dengan dua perlakuan
dan tiga ulangan dengan masing-
masing 10 stup. Perlakuan kesatu
adalah produksi madu pada
sistem integrasi dan perlakuan
kedua di luar integrasi. Demikian
pula dengan pengaruh tata letak
terhadap produktivitas madu
dianalisis berdasarkan Rancangan
Acak Lengkap dengan dua
perlakuan dan lima ulangan.
5. Produksi kopi per ha per tahun
dihitung berdasarkan hasil bobot
kering per tahun per ha dan akan
dibandingkan produksi kopi madu
dengan sistem integrasi dan tanpa
integrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik pembungaan (flowering
characteristic) kopi.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 119
Selama satu tahun penelitian
didapatkan hasil bahwa kopi di Kaupaten
Kepahiang berbunga pada Bulan Januari
sampai Desember kecuali Maret, April,
pertengahan September, Oktober dan
pertengahan Nopember (Gambar 1). Jadi
kopi selalu berbunga selama 8 bulan.
Karakteristik pembungaan kopi ini
berbeda dengan kopi-kopi yang di
laporan sebelumnya, dimana kopi hanya
berbunga pada Bulan Mei sampai dengan
Agustus (Perum Perhutani dalam
Pusbahnas, 2008). Kopi yang
dibudidayakan di lokasi penelitian adalah
Coffee arabica LINN yang diremajakan
dengan jalan menempelkan tunas pada
batang pohon kopi yang sudah lama
dipelihara. Ada kemungkinan cara
peremajaan iniah yang meyebabkan
pembungaan kopi menjadi lebih panjang.
Dengan demikian kopi di Kepahiang
mendukung teredianya nektar kopi
dalam waktu yang lebih panjang. Selama
terjadi pembungaan produksi nektar
yang paling sedikit adalah pada Bulan
Januari dan Februari dan puncaknya
terjadi pada Bulan.
Produktivitas Nektar dan Daya Dukung
Kebun Kopi
Data jumlah kuntum bunga per
tangkai dan jumlah tangkai bunga per
pohon selama delapan bulan, diolah
untuk mendapatan data produksi
kuntum bunga per pohon per hari. Hasil
pengumpulan dan pengolahan data
disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya data
produksi kuntum bunga tersebut
digunakan untuk menprediksi produksi
nektar per pohon per hari (Gambar 2).
Produksi nektar diperoleh data 0.64
ml per 25 kuntum per hari, berarti
Tumbuhan Kopi
Jan Feb Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Gambar 1. Karakteristik pembungaan kopi(Coffee arabica LINN)
Gambar 2. Grafik rata-rata produksi nektar kopi
ISSN 1978 - 3000
| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 120
produksi nektar kebun kopi adalah 18,14
ml/pohon/hari. Selama petani menanam
kopi dengan kepadatan 2000 batang/ha
maka produksi nektar pada saat kopi
berbungan adalah 36,27 l/ha/hari. Tabel 1
menunjukan perkembangan produksi
nektar kopi yang berfluktuasi dan rata-
rata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Hal
ini sesuai dengan yang dilaporkan
Perhutani (1994) bahwa puncak
pembungaan kopi di Indonesia terjadi
pada bulan Juli.
Produksi nektar kebun kopi rata-
rata per hari adalah 18.14 ml/pohon/hari,
berarti dengan kepadatan pohon kopi
2000 bohon/ha, rata-rata produksi per
hektar kopi adalah 36,286.08 ml/ha/hari.
Bila kebutuhan nektar lebah madu 145
ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya
dukung kebun kopi adalah 250 koloni. Ini
artinya kalau tidak ada predator lainnya
(grazers), maka kebun kopi di Kabupaten
Kepahiang Propinsi Bengkulu mampu
mencukupi peternakan lebah dengan
skala usaha 250 koloni. Untuk
mengantisipasi adanya predator lain
pengisap nektar kopi dan cuaca yang
buruk yang menyebabkan bunga kopi
menurun, yang dijadikan patokan dalam
menentukan jumlah koloni adalah
produksi nektar terendah yaitu sekitar
9,49 liter/ha/hari, bila 50% nektar
diperkirakan dikonsumsi serangga lain,
berarti pada saat produksi nektar
minimal, kebun kopi diperkirakan
mampu mencukupi maka disarankan
untuk menyebarkan lebah sebanyak
sembilah puluh delapan ztzu dibulatkan
keatas menjadi 66 stup/koloni per satu
hektar kebun kopi.
Produksi nektar kaliandra di lokasi
penelitian belum bisa diidentifikasi
berkaitan dengan keadaan kalianra yang
belum berbunga sampai akhir penelitian.
Namun demikian di sekitar lokasi
terdapat beberapa pohon kaliandra yang
sudah berbunga lebat, Jadi pada satu
tahun ke depan diperkirakan bahwa
nektar yang dibutuhkan lebah pada saat
kopi tidak berbunga dapat dipenuhi oleh
nektar kaliandra. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Husaini (1986) bahwa
rata-rata produksi nektar kaliandra
adalah 119 liter/ha/hari atau 0.042
liter/pohon/hari atau 42 ml/pohon/hari.
Bila koloni yang dibudidayakan 100
kotak/ha kopi maka untuk mengatasi
kekurangan nektar pada saat kopi sedang
tidak berbunga dapat dilakukan
penanaman kaliandra minimal sebanyak
(100 x 145)/42=346 batang.
Pengaruh Integrasi Terhadap Populasi
Lebah
Koloni lebah sebelum
dibudidayakan baik di areal maupun di
luar Sinkolema dihitung ukuran
populasinya, sehinga populasi awal
relatif seragam yaitu rata-rata tiga belas
ribuan ekor per koloni. Dalam
Tabel 1. Produksi Nektar Kopi di Kabupaten Kepahiang
No Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des
1 17,22 14,31 - - 18,48 26,60 35,89 25,20 - - 16,84 25,38
2 21,80 25,90 - - 23,60 32,40 38,60 35,70 - - 28,50 33,90
3 375,40 370,60 - - 436,10 861,90 1.385,50 899,80 - - 480,00 860,40
4 9,61 9,49 - - 11,16 22,06 35,47 23,03 - - 12,29 22,03
5 Rata-rata Produksi Nektar kopi per pohon per hari 18,14 ml/pohon/hari
Keterangan
1. Rata-rata kuntum buna per tangkai
2. Rata-rata tangkai bunga per pohon
3. Produksi kuntum bunga per pohon
4. Produksi nektar per pohon (ml)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 121
perkembangannya mengalami perbedaan
yang sangat drastis dimana populasi
lebah di kebun kopi meningkat
sedangkan di luar kebun kopi menurun
(Gambar 3). Kenaikan dan penurunan
ukuran populasi terus berjalan sehingga
tampak bahwa populasi yang relatif
konstan sebesar delapan belas ribuan
ekor untuk lebah di Sinkolema dan
sembilan ribuan ekor untuk lebah cerana
di luar Sinkolema.
Perkembangan populasi lebah
berkaitan erat dengan produksi nektar
lebah. Kondisi ini menunjukan bahwa
keberadaan populasi lebah dipengaruhi
oleh ketersediaan nektar sebagai
pakannya. Lebah yang dibudidayakan
di luar Sinkolema hanya berupa rumput-
rumputan, bunga hias yang ada di
pekarangan, beberapa pohon buah-
buahan dan tanaman lainnya yang
jumlahnya terbatas dan produksi
nektarnya yang sulit diprediksi.
Pengaruh Integrasi Terhadap Produksi
Madu dan Kopi
Produksi madu selama satu tahun
yang dipelihara dengan dan tanpa
integrasi dengan kebun kopi dapat dilihat
pada Gambar 4. Produksi madu dari
lebah yang dipelihara dengan system
integrasi mencapai 3.335 kg/koloni/tahun.
Produksi ini secara signifikan lebih tinggi
dari produksi madu dari lebah yang
dipelihara di luar kawasan integrasi yang
hanya mencapai rata-rata 1.560
Gambar 3. Grafik perkembangan populasi lebah
Gambar 4 : Grafik produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi
ISSN 1978 - 3000
| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 122
kg/koloni/tahun, artinya bahwa
produktivitas lebah madu dapat
ditingkatkan sekitar 114% melalui sistem
integrasi dengan kebun kopi.
Produksi madu dari peternakan
lebah dengan integrasi lebih tinggi sejalan
dengan perkembangan populasi lebah
dan ketersediaan nektar. Hasil ini
menunjukan bahwa produksi madu
sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan nektar. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penemuan Hidayat (1986)
yang melakukan penelitian tentang
hubungan kegiatan mencari makan lebah
madu (Apis cerana Fabr.) dengan volume
nektar dan perkembangan jumlah bunga
kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.)
di desa Pager Wangi, Bandung pada
bulan Januari hingga Maret, 1986 dengan
kesimpulan bahwa terdapat hubungan
antara kegiatan lebah dengan
ketersediaan nektar di sekitar koloni.
Gambar 1 s/d 4 menunjukan bahwa
ada kaitan antara karakteristik
pembungaan, jumlah nektar yang
dihasilkan dan produksi madu. Produksi
madu tertinggi terjadi pada panen bulan
Juli ini berkaitan dengan produksi nektar
yang tertinggi terjadi pada bulan Juli,
sedangkan produksi terendah terjadi
pada panen bulan Maret dan September
dimana produksi nektar kopi sudah
mulai mau berhenti.
Dilihat dari frekuensi panen, lebah
madu di kebun kopi mampu dipanen 5
kali dalam setahun atau dua kali panen
lebih banyak dibandingkan dengan
koloni lebah yang dipelihara di luar
kebun kopi yang hanya mampu panen
tiga kali setahun. Ini terjadi karena madu
yang diproduksi koloni lebah yang
dipelihara di luar kebun kopi dikonsumsi
kembali untuk mempertahankan
hidupnya.
Ada kondisi yang sangat menarik
adalah pada saat kopi tidak berbunga
pada bulan Maret, April, September dan
Oktober, produksi madu dan populasi
lebah menunjukan angka yang masih
tinggi di daerah Sinkolema, Hal ini
kemungkinan besar kebutuhan nektar
dan polen untuk keperluan tersebut
masih mampu disediakan pohon
pelindung (lamtoro), pohon lain seperti
kayu masis (pada Bulan Mei didapatkan
madu yang beraroma kayu manis),
semak-semak dan remput-rumputan
yang menutupi lahan di luar kebun kopi.
Rendahnya produksi madu dari
lebah di luar kebun kopi sebagai akibat
dari hijrahnya koloni lebah sebanyak 4
koloni atau 40%, sedangkan lebah di di
daerah kopi yang hijrah lebih sedikit
yaitu 2 koloni atau 20%. Teidentifikasi
ada dua penyebab utama hijrahnya
koloni lebah yaitu, 1. Kurang pakan
terlihat tidak ada madu pada sarangnya
dan 2. Kondisi stup/kotak yang kotor
karena tidak sempat dibersihkan
peternak.
Keberhasilan peternakan lebah sangat
ditentukan dengan ketersedian sumber
protein (pollen) dan nektar pada suatu
lokasi yang erat kaitannya dengan tata
letak koloni. Dalam menentukan tata
letak perlu dilakukan pendataan untuk
mengetahui jenis-jenis tanaman penghasil
nektar dan pollen, umur tanaman
kepadatan tanaman serta kesuburannya.
Dalam penelitian yang telah
dilakukan tampak bahwa cara
penempatan koloni lebah (terpusat atau
tersebar) secara signifikan mepengaruhi
produksi madu. Dari hasil perhitungan,
produksi madu dari koloni lebah yang
ditempatkan secara menyebar di dalam
kebun kopi (4.08 kg/koloni/tahun) secara
nyata lebih tinggi dari koloni lebah yang
ditempatkan terpusat di tengah-tengah
kebun kopi (2,60 kg/koloni/tahun). Hal
ini terjadi akibat dari kompetisi
(intraspesific competition) berat terutama
pakan. Kompetisi yang terjadi
menybabkan 2 koloni yang ditempatkan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 123
terpusat hijrah. Hidayat (1986)
menyatakan bahwa lebah memanfaatkan
nektar yang berda paling dekat dengan
koloninya, artinya semakin padat
pupulasi lebah pada suatu tempat maka
akan terjadi persaingan yang semakin
berat. Hal ini tentunya akan
menyebabkan turunnya produksi atau
terganggunya keseimbangan populasi lebah
dan akibat yang paling tinggi akan
terjadinya hijrah (absconding). Gambar 5
menunjukan perkembangan produksi
lebah berdasarkan tata letak.
Rataan produksi kopi di
perkebunan yang diintegrasikan dengan
lebah sebesar 1.31 ton/ha, sedangkan
rataan produksi kopi di luar wilayah
integrasi 1.18 ton/ha. Hal ini menujukan
bahwa sinkolema mampu meningkatkan
produksi kopi di Kabupaten Kepahiang
setinggi 10.55%. Lebah dalam melakukan
polinasi lebih efektif karena probostisnya
yang panjang lancip dilengkapi dengan
rambut tempat menempel tepungsari dan
pindah ke kepala putik kopi.
SIMPULAN
Perkebunan kopi di Kepahiang
mampu mendukung sampai 250 koloni
per hektar dari Apis cerana dengan tata
letak tersebar, tetapi untuk beberapa
alasan sangat dianjurkan untuk
menempatkan 66 koloni per hektar.
Integrasi lebah madu perkebunan kopi
meningkatkan baik produktivitas madu
sampai dengan 114% maupun produksi
biji kopi hingga 10,55%. Produksi lebah
madu di perkebunan kopi jauh lebih
tinggi karena kelimpahan pakan dan
jumlah populasi tinggi.
Produktivitas lebah sangat
tergantung dari perkembangan
populasinya dan kondisi populasi sangat
dipengaruhi oleh ketersedian nektar dan
polen secara alami maka pengelolaan
lebah perlu didisain dalam kawasan yang
lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. 2005. Aspek teknis
dalam strategi pemuliaan bibit
lebah madu A. cerana. Dept.
Kehutanan
Biesmeijer J.C., Slaa E.J. (2004)
Information flow and organization
of stingless bee foraging,
Apidologie 35, 143–157.
BPS. 2007. Kepahiang Dalam Angka. Biro
Pusat Statistik Kabupaten
Kepahiang, Bengkulu.
Crane E. 1990. Bees and Beekeping. Science,
Practice and World Resources.
Comstock Publishing Associates a
division of Cornell University Press.
Ithaca, New York. Pp 364
Department of Agriculture and Food
Western Australia. 2009. Bee
pollination benefits for other crops.
http://wwwtest.agric.wa.gov.au/PC
_91812. html?s=0
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kepahiang. 2009.
Laporan Hasil Monitoring dan
Evaluasi Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Kepahiang.
Bengkulu
Gozmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping,
Honey and Pollination. AVI
Publishing Company, Inc.
WestPort, Connecticut.
Husaeni, E. A. 1986. Potensi Produksi
Nektar dari Tegakan Kaliandra
Bunga Merah (Calliandra calothyrsus
Meissn). Prosiding Lokakarya
Pembudidayaan Lebah Madu untuk
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat. Perum Perhutani,
Jakarta
Kakutani T., Inoue T., Tezuka T., Maeta Y.
(1993) Pollination of strawberry by
ISSN 1978 - 3000
| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 124
the stingless bee, Trigona
minangkabau, and the honey bee,
Apis mellifera: an experimental study
of fertilization efficiency, Res.
Popul. Ecol. 35, 95–111.
Katayama E. (1987) Utilization of
honeybees as pollinators for
strawberries in plastic greenhouses,
Honeybee Sci. 8, 147–150 (in
Japanese).
Kazuhiro, A. 2004. Attempts to Introduce
Stingless Bees for the Pollination of
Crops under Greenhouse
Conditions in Japan. Laboratory of
ApicultureNational Institute of
Livestock and Grassland Science
Tsukuba, Ibaraki 305-0901
Klein A.M., Steffan-Dewenter I.,
Tscharntke T. (2003) Fruit set of
highland coffee increases with the
diversity of pollinating bees, Proc.
R. Soc. Lond. B 270, 955–961.
Kremen C., Williams N.M., Thorp R.W.
(2002) Crop pollination from native
bees at risk from agricultural
intensification, Proc. Natl Acad. Sci.
(USA) 99, 16812–16816.
Maeta Y., Tezuka T., Nadano H., Suzuki
K.(1992) Utilization of the Brazilian
stingless bee, Nannotrigona
testaceicornis, as a pollinator of
strawberries, Honeybee Sci. 13, 71–
78 Raffiudin, R., S. Hadisoesilo dan T.
Atmowidi. 2004. Studi keragaman
Genetik dan Morfologi Lebah A.
koschevnicovi di Kalimantan Selatan.
Laporan Hibah Bersaing XII. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak
Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah
Maja Univercity Press. Jogjakarta.
Tilde, A. C., S. Fuchs, N. Koeniger and C.
R. Cervancia. 2000. Morphometric
diversity of A. carana Fabr. Within
the Philippines. Apidologie 31: 249-
263.
Winston, M. L. 1991. The Biology of the
Honey Bee. 3rd Ed. Harvard
University Press. Cambridge.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 125
Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan
Organoleptik Daging Sapi
The Effect of Using Protease Enzyme-Plant on Physics and Organoleptic Properties of
Meat Cattle
Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu
Jalan Indragiri No 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212
ABSTRACT
This research aims to determine the effect of addition of the protease enzyme of plant against physical and
organoleptic properties (taste, texture, and color) of beef. This research used randomized block design with
ten treatments. The results showed no effect of addition of plant protease enzyme (enzyme papain from
papaya fruit, bromelain from pineapple fruit, and the thiol protease from ginger rhizome) against shrinkage
and color of cooked beef (p> 0.05). And the effect of adding a protease enzyme plant to taste and texture of
beef (p <0.05).
Kaywords: Protease, physics, organoleptics, meat.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim protease tanaman terhadap sifat
fisik dan organoleptik (rasa, tekstur, dan warna) daging sapi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan sepuluh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan enzim
protease tanaman (enzim papain dari buah pepaya, bromelin dari buah nanas, dan protease thiol dari rimpang
jahe) terhadap susut masak dan warna daging sapi ( p > 0,05). Serta adanya pengaruh penambahan enzim
protease tanaman terhadap rasa dan tekstur daging sapi ( p < 0,05).
Kata kunci: Protease, fisik, organoleptik, daging.
PENDAHULUAN
Daging merupakan hasil ternak
yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia sebagai salah satu
sumber pangan hewani. Manusia
mengkonsumsi daging sejak dimulainya
sejarah peradaban manusia itu sendiri.
Semua tingkat umur dapat
mengkonsumsi daging (Soeparno, 2005).
Daging dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan zat gizi. Daging
mempunyai kandungan mutu protein
yang tinggi karena terdapat asam amino
yang lengkap dan seimbang. Selain itu,
protein daging lebih mudah dicerna
daripada protein yang berasal dari nabati
(Astawan, 2004).
Di Indonesia, daging yang banyak
dikonsumsi dan diolah menjadi aneka
makanan adalah daging kerbau, daging
sapi, daging domba, daging babi, dan
daging kambing yang disebut daging
merah (Soeparno, 2005). Namun, daging
yang paling banyak diperjual belikan
adalah daging sapi (Astawan, 2004).
Daging sapi berkualitas terbaik berasal
dari ternak berumur 4-6 tahun sampai 8
tahun untuk sapi bukan perah. Sementara
itu, sapi tua dan penghasil susu yang
berumur 10-12 tahun akan menghasilkan
daging dengan kualitas rendah. Daging
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 126
sapi yang biasa dikonsumsi masyarakat,
kebanyakan konsistensinya liat karena
berasal dari ternak kerja yang sudah tua
(Murtini dan Qomarudin, 2003). Selain
itu, daging sapi yang belum dilayukan
sebelum dikonsumsi karena masih
mengalami rigor mortis juga
menyebabkan konsistensinya liat (Dyah,
1986 dalam Istika, 2009).
Kualitas utama daging ditentukan
oleh keempukan, citarasa, dan warna.
Diantara ketiga hal tersebut, keempukan
memegang peranan terpenting
(Sarashwati, 1995). Kesan keempukan
secara keseluruhan meliputi tekstur dan
melibatkan tiga aspek yaitu kemudahan
awal penetrasi gigi ke dalam daging,
mudahnya daging dikunyah menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil dan
jumlah residu yang tertinggal setelah
pengunyahan (Bartzler,1971 dalam
Soeparno, 2005). Salah satu cara untuk
meningkatkan keempukan daging sapi
adalah dengan penambahan suatu enzim
(Tarwotjo, 1998).
Enzim adalah suatu katalisator
biologis yang dihasilkan oleh sel-sel
hidup dan dapat membantu
mempercepat bermacam-macam reaksi
biokimia. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kerja enzim yaitu suhu,
pH, inhibitor, konsentrasi enzim dan
substrat (Indah, 2004). Enzim yang dapat
digunakan untuk mengempukan daging
adalah jenis enzim protease
(Tabrany,2001).
Enzim protease adalah enzim yang
menghidrolisis ikatan peptida protein
menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana seperti dipeptida dan asam
amino (Deman, 1997). Jenis enzim
protease untuk pengempukan daging
yaitu enzim papain dari getah daun dan
buah pepaya muda, enzim bromelin dari
buah nanas dan fisin pada getah pohon
ficus (Esti, 2002). Selain itu, rimpang jahe
juga mengandung enzim protease yang
bernama proteinase thiol yang dapat
digunakan untuk mengempukan daging
sebelum dimasak (lee, dkk dalam
Komariah dkk, 2004). Penggunaan buah
pepaya muda, buah nanas dan rimpang
jahe sebagai sumber enzim protease
pengempuk daging karena bahan-bahan
tersebut mudah diperoleh di wilayah
Bengkulu dan aman untuk dikonsumsi.
Penambahan jenis enzim protease ini
akan menghasilkan keempukan awal
pada serabu-serabut jaringan ikat
(Soeparno, 2005). Menurut Lawrie (2003),
enzim protease mula-mula akan merusak
mukopolisakrida dari matriks substansi
dasar, kemudian secara cepat menurun
serat-serat tenunan pengikat menjadi
masa amorf. Selama proses amorf,
kolagen dan miofibril terhidrolisis. Hal
ini menyebabkan hilangnya ikatan atar
serat daging dan pemecahan serat
fragmen yang lebih pendek, sehingga
meningkatkan keempukan daging. Enzim
proteoase yang telah ditambahkann ke
dalam daging mentah baru akan aktif
pada suhu 800 C, maka dari pada itu
diperlukan proses pemasakan daging
(Winarno, 1993).
Pemasakan daging yang telah
ditambahkan enzim protease akan
membuat tekstur daging matang menjadi
empuk dan mudah cerna. Selain itu
diharapkan dapat memperpendek waktu
pemasakan. Pemasakan dengan
menggunakan suhu yang tinggi dan
waktu yang lama dapat menyebabkan
reaksi perubahan pada daging. Reaksi-
reaksi tersebut diantaranya yaitu
denaturasi, kehilangan zat gizi,
kehilangan aktivitas enzim, desulfurisasi
dan beberapa reaksi yang dapat
menghasilkan senyawa toksik (Sugiran,
2007).
Keempukan dapat ditentukan
secara subjektif dan objektif. Penentuan
keempukan dan kealotan daging dengan
metode subjektif dapat dilakukan dengan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 127
uji panel cita rasa atau uji organoleptik.
Pengujian keempukan secara objektif
dapat dilakukan dengan pengujian
kompresi (indikasi kealotan jaringan
ikat), daya putus Warner-Bratzler (indikasi
kealotan miofibrilar), adhesi (indikasi
kekuatan jaringan ikat) dan susut masak
(indikasi kehilangan nutrisi selama
pemasakan) (Soeparno, 2005).
Tujuan penelitian ini adalah
pengaruh penambahan enzim protease
terhadap sifat fisik dan organoleptik
daging sapi.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
laboratorium Kimia dan Ilmu Teknologi
Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu,
pada bulan April sampai Juni 2011.
Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu
tahap satu pencampuran daging sapi
dengan enzim papain dari buah pepaya,
enzim bromelin dari buah nanas, dan
enzim proteinase thiol dari rimpang jahe
dengan variasi konstrasi (0%, 10%,
15%,20%), tahap kedua dilaksanakan uji
susut masak dan uji sensoris terhadap
tekstur daging sapi matang.
Tahap 1
Pencampuran enzim protease
tanaman dengan daging sapi. Campurkan
pepaya, nanas, dan jahe yang telah
dihaluskan ke dalam masing-masing 100
gram daging sapi dengan perbandingan
penambahan 0%, 10%, 15%, dan 20% dari
berat bersih daging sapi (0%=0 gram,
10%=10 gram, 15%=15 gram, 20%=20
gram) lalu masing-masing diaduk hingga
tercampur rata dan masukkan ke dalam
plastik lalu beri label. Lakukan
pemeraman selama 30 menit pada suhu
ruang yaitu 280-300C. Setelah itu cuci
daging dan lakukan perebusan pada suhu
800C selama 30 menit. Kemudian
timbang berat masaknya.
Tahap 2
Penelitian tahap 2 merupakan
pengujian sifat fisik dengan uji susut
masak dan uji mutu organoleptik.. Uji
susut masak dilakukan dengan
menimbang berat daging sebelum dan
sesudah perebusan kemudian dihitung %
susut masak dengan menggunakan
rumus. Sedangkan uji organoleptik
dilakuakan untuk menilai tekstur, warna
dan rasa daging sapi matang dengan
menggukan panelis. Penilaian dilakukan
oleh panelis agak terlatih, yaitu
mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes
Bengkulu tingkat III yang berjumlah 30
orang.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
dipilih karena bahan percobaan yang
akan dipakai sebagai unit percobaan
tidak homogen, maka perlu dilakukan
pengelompokan dengan cara tertentu
sehingga satuan percobaan dalam satu
kelompok menjadi relatif homogen
(kristianto, 2005). Layout percobaan
yakni :
P1 : Daging sapi tanpa penambahan
enzim protease tanaman
P2 : Daging sapi dengan penambahan
10% buah pepaya
P3 : Daging sapi dengan penambahan
15% buah pepaya
P4 : Daging sapi dengan penambahan
20% buah pepaya
P5 : Daging sapi dengan penambahan
10% buah nanas
P6 : Daging sapi dengan penambahan
15% buah nanas
P7 : Daging sapi dengan penambahan
20% buah nanas
P8 : Daging sapi dengan penambahan
10% rimpang jahe
P9 : Daging sapi dengan penambahan
15% rimpang jahe
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 128
P10 : Daging sapi dengan penambahan
20% rimpang jahe
HASIL DAN PEMBAHASAN
Susut Masak
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa penambahan enzim protease
tanaman dari buah pepaya, buah nanas,
dan rimpang jahe tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap susut masak
daging sapi, yang ditunjukkan dengan
nilai p=0,13 (p>0,05). Daging sapi dengan
penambahan buah nanas 20% memiliki
skor rata-rata susut masak paling tinggi
yaitu 55,33% (Tabel 1)
Enzim pengempukan daging ini
aktif pada temperatur antara 50-800C.
Menurut Lee. Y, dkk., (1994), menyatakan
enzim protease berfungsi
mengempukkan daging, karena protein
pada jaringan ikat dan fragmentasi
miofibril dengan degradasi pada filamen-
filamen akan terhidrolisis. Istika (2009)
menyatakan protein (kolagen dan
miofibril) terhidrolisis menyebabkan
hilangnya ikatan antar serat dan
pemecahan serat menjadi fragmen yang
lebih pendek, menjadikan serat otot lebih
mudah terpisah sehingga daging lebih
empuk. Hal ini juga sejalan dengan
penelitian Dhiah (2010), menyatakan
bahwa adanya perbedaan tingkat susut
masak itik afkir dengan penambahan
ekstra buah nanas 0% dengan 5%, 10%
dan 15 %, semakin besar konsentrasi
eksktrak buah nanas yang diberikan,
maka jaringan ikat yang terhidrolisis
semakin banyak, persen susut masak
semakin besar dan daging lebih empuk.
Karakteristik Organoleptik
Rasa
Berdasarkan Gambar 1 respon
panelis yang berjumlah 30 orang
terhadap rasa daging dengan
penambahan enzim protease tanaman
yang berasal dari buah pepaya, buah
nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan
20%), didapatkan bahwa sebagian besar
panelis memberikan penilaian tidak suka
(skor 2) pada rasa daging dengan
penambahan pepaya 10% sebanyak 18
orang (60%). Berdasarkan Gambar 2
diketahui sebagian besar panelis
memberikan penilaian tidak suka (skor 2)
pada rasa daging dengan penambahan
nanas 20% sebanyak 12 orang (40%).
Berdasarkan Gambar 3 diketahui
sebagian besar panelis memberikan
penilaian tidak suka (skor 2) pada daging
sapi dengan penambahan rimpang jahe
20% sebanyak 16 orang (53,3%).
Berdasarkan Uji Friedman
penambahan enzim protease tanaman
dari buah pepaya, buah nanas, dan
rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%)
berpengaruh signifikan terhadap daya
terima organoleptik (rasa) daging sapi,
yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000
(p<0,05). Data yang signifikan dilanjutkan
dengan Uji Multiple Comparison (Uji
Wilcoxon). Hasil Uji Wilcoxon
menunjukkan bahwa perbandingan
Tabel 1. Susut Masak Daging Sapi Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman (%)
Konsentrasi
Penambahan
Variasi Tanaman
Pepaya Nanas Jahe
0% 41.14 41.14 41.14
10% 41.62 48.75 37.55
15% 42.15 53.14 41.59
20% 45.30 55.33 44.35
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 129
perbedaan rasa daging sapi yang
dihasilkan, diketahui bahwa panelis
memberikan penilaian berbeda pada rasa
daging dengan penambahan buah nanas
10% karena nilai p <0,05 dengan rata-rata
tingkat kesukaan 6,02. Adapun ranking
kelompok untuk setiap variasi
penambahan enzim protease tanaman
berdasarkan hasil Uji Wilcoxon dapat
dilihat pada Tabel 2.
Konsentrasi penambahan nanas
10% telah membuat daging cukup manis
khas nanas, karena nanas mengandung
glukosa yang tinggi yaitu 9,26 gram
dalam 100 gram nanas. Sedangkan
penambahan jahe 20% paling tidak
disukai karena dalam jahe terdapat
kandungan asirinya tinggi, sehingga
rasanya lebih pedas khas jahe.
Sedangkan untuk rasa daging dengan
penambahan buah pepaya cukup disukai
panelis, karena pepaya yang digunakan
adalah buah pepaya mentah, yaitu buah
pepaya yang sudah tua, dagingnya putih
sehingga kandungan glukosa dalam
pepaya mentah ini lebih sedikit dari pada
pepaya matang yaitu hanya 6,2 gram
dalam 100 gr pepaya. Namun
penggunaan buah pepaya mentah tidak
mengubah rasa daging sapi menjadi pahit
seperti bila menggunakan daun pepaya.
Menurut Wijayandi (2003), rasa adalah
karakteristik dari suatu zat yang
disebabakan oleh adanya bagian zat
tersebut yang larut dalam air atau lemak
dan bersentuhan dengan indra
pencicipan (lidah dan rongga mulut),
sehingga memberikan kesan tertentu.
Rasa dipengaruhi olehn beberapa
faktor, yaitu senyawa kimia, suhu,
konsentrasi, dan interaksi dengan
komponen rasa lain. Pengaruh antara
satu macam rasa dengan rasa yang lain
Gambar 1 Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging
Sapi Dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 2. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging
Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Tabel 2. Tingkat Kesukaan “Rasa” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman
Konsentrasi
Penambahan
Variasi Tanaman
Pepaya Nanas Jahe
10% 5.12ac 6.02b 4.45a
15% 5.27ad 5.77bd 4.12a
20% 5.65bc 5.08b 3.53a Keterangan :
a,b,c,d Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan
uji Wilcoxon.
Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging
Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 130
tergantung pada konsentrasinya. Bila
salah satu komponen mempunyai
konsentrasi yang lebih tinggi pada
komponen yang lain maka komponen
tersebut akan lebih dominan. Bila
perbedaan konsentrasi tidak terlalu besar
maka ada kemungkinan timbul rasa
gabungan atau komponen tersebut dapat
dirasakan kesemuanya secara berurutan
(Kartika, 1988).
Warna
Berdasarkan Gambar 4 diketahui
bahwa respon panelis yang berjumlah 30
orang terhadap warna daging dengan
penambahan enzim protease tanaman
yang berasal dari buah pepaya, buah
nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan
20%), didapatkan bahwa sebagian besar
panelis memberikan penilaian agak suka
(skor 3) pada warna daging dengan
penambahan pepaya 20% sebanyak 16
orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 5
diketahui sebagian besar panelis
memberikan penilaian tidak suka (skor 2)
pada warna daging dengan penambahan
nanas 20% sebanyak 18 orang (60%), dan
berdasarkan Gambar 6 diketahui
sebagian besar panelis memberikan
penilaian agak suka (skor 3) pada warna
daging sapi dengan penambahan
rimpang jahe 20% sebanyak 14 orang
(46,7%).
Berdasarkan Uji Friedman
penambahan enzim protease tanaman
dari buah pepaya, buah nanas, dan
rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%) tidak
berpengaruh signifikan terhadap daya
terima organoleptik (warna) daging sapi,
yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,266
(p>0,05). Sehingga tidak dilanjutkan
dengan Uji Multiple Comparisson (Uji
Wilcoxon). Rata-rata tingkat kesukaan
panelis dapat dilihat pada Tabel 3.
Menurut Setiawan (1988), nilai
warna yang objektif dipengaruhi oleh
komposisi bahan baku yaitu warna awal
penyusunan. Menurut Wijayandi (2003)
warna adalah kesan yang dihasilkan oleh
indera mata terhadap cahaya yang
dipantulkan oleh benda tersebut. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian
Grace (1995) penambahan enzim protease
yaitu enzim papain pada daging
kambing tua jantan tidak berpengaruh
nyata terhadap tingkat kesukaan warna
dengan kisaran nilai rata-rata tingkat
kesukaan yaitu 3,1-3,5.
Jika dilihat dari uji statistik maka
semakin empuk daging yang dihasilkan
akibat penambahan enzim protease
Gambar 4. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging
Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 5. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging
Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Gambar 6. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging
Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 131
tanaman, maka warna daging akan
semakin coklat pucat (Fellow, 2000 dalam
Aberle dkk., 2001). Selain itu,buah
pepaya yang banyak mengandung
karotenoid jenis likopen dapat membuat
warna daging lebih menarik (Cahyani,
2010). Pada suhu 800 C telah terjadi
denaturasi protein sehingga terjadi
konversi warna daging dalam bentuk
oxymyoglobin menjadi warna coklat
dalam bentuk metmyoglobin.
Tekstur
Berdasarkan Gambar 7 diketahui
bahwa respon panelis yang berjumlah 30
orang terhadap tekstur daging dengan
penambahan enzim protease tanaman
yang berasal dari buah pepaya, buah
nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan
20%), didapatkan bahwa sebagian besar
panelis memberikan penilaian tidak suka
(skor 2) pada tekstur daging dengan
penambahan pepaya 10% sebanyak 16
orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 8
diketahui sebagian besar panelis
memberikan penilaian tidak suka (skor 2)
pada tekstur daging dengan penambahan
nanas 20% sebanyak 14 orang (46,7%).
Dan berdasarkan Gambar 9 diketahui
sebagian besar panelis memberikan
penilaian tidak suka (skor 2) pada daging
sapi dengan penambahan rimpang jahe
10% sebanyak 17 orang (56,7%).
Berdasarkan Uji Friedman
penambahan enzim protease tanaman
dari buah pepaya, buah nanas, dan
rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%)
berpengaruh signifikan terhadap daya
terima organoleptik (tekstur) daging
sapi, yang ditunjukkan dengan nilai p
= 0,009 (p<0,05). Data yang signifikan
dilanjutkan dengan Uji Wilcoxon. Hasil
Uji Wilcoxon menunjukkan
Tabel 3. Tingkat Kesukaan “Warna” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman
Penambahan
Konsentrasi
Variasi Tanaman
Pepaya Nanas Jahe
10% 4,97a 5,30a 5,47a
15% 4,98a 5,02a 4,53a
20% 5,57a 4,03a 5,13a
Keterangan : a Superskrip yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata ( P>0,05) berdasarkan uji
Wilcoxon.
Gambar 7. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging
Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 8. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging
Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Gambar 9 Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging Sapi
Dengan Penambahan Rimpang Jahe
Keterangan :
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 132
perbandingan perbedaan tekstur antar
daging sapi yang dihasilkan, diketahui
bahwa panelis memberikan penilaian
berbeda pada tekstur daging sapi dengan
penambahan buah nanas 10%karena nilai
p <0,05 dan tingkat rata-rata kesukaan
sebesar 5,82. Adapun ranking kelompok
untuk setiap variasi penambahan enzim
protease tanaman berdasarkan hasil Uji
Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Murtini dan Qomarudin (2003)
perendaman daging pada larutan enzim
protease tanaman biduri berpengaruh
nyata pada tekstur daging sapi. Tekstur
daging berkaitan dengan tingkat
keempukan. Keempukan adalah salah
satu yang paling penting dari tekstur
daging dan merupakan atribut yang
mempengaruhi persepsi daging sapi oleh
konsumen (Aurelia dkk, 2006). Kesan
keempukan secara keseluruhan meliputi
tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu
kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam
daging, mudahnya daging dikunyah
menjadi potongan-potongan yang lebih
kecil dan jumlah residu yang tertinggal
setelah pengunyahan (Soeparno, 2005).
Variasi keempukan dipengaruhi oleh
pemasakan yaitu tergantung waktu dan
temperatur pemasakan. Lama pemasakan
akan mempengaruhi kelunakan kolagen,
sedangkan temperatur pemasakan lebih
mempengaruhi kealotan miofibril.
Dengan adanya penambahan enzim
protease tanaman menghidrolisis kolagen
daging sehingga bentuknya menjadi
kendur dan daging akan lebih cepat
empuk (Soeparno, 2005). Tingkat aktivitas
enzim mempengaruhi kerja enzim. Enzim
bromelin memiliki tingkat kereaktifan
lebih tinggi dari pada enzim papain dan
enzim proteae thiol yaitu 80 unit/gram
sedangkan papain 50 unit/gram dan
protease thiol 45 unit/gram (Lawrie,
2003). Sehingga berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan daging dengan
penambahan nanas lebih empuk dari
pada daging dengan penambahan buah
pepaya dan rimpang jahe.
SIMPULAN
1. Susut masak tertinggi yaitu daging
sapi dengan penambahan buah nanas
20%
2. Atribut mutu rasa yang banyak di
sukai yaitu rasa daging dengan
penambahan buah nanas 10%.
3. Atribut mutu tekstur yang banyak
disukai yaitu tekstur daging dengan
penambahan buah nanas 10%.
4. Atribut mutu warna yang banyak
disukai yaitu warna daging dengan
penambahan buah pepaya 20%.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., et al.,. 2001. Principle of
Meat Science. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia. Volume 1. 39
- 44.
Astawan Made. 2004. Mengapa Kita Perlu
Makan Daging. Web-site:
Http://www.gizi.net/cgi-
Tabel 4. Tingkat Kesukaan “Tekstur” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman
Penambahan
Konsentrasi
Variasi Tanaman
Pepaya Nanas Jahe
10% 4.28b 5.82b 3.83a
15% 4.32ab 5.42b 4.83a
20% 5.23b 5.58b 5.68a
Keterangan : a,b,c,d Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan
uji Wilcoxon.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 133
bin/berita/fullnews.com. Diakses
Tanggal 2 Oktober 2010.
Aurelia, I., I. Aprodu, G. Pascaru. 2008.
Effect Of Papain And Bromelin On
Muscle And Collagen Protein In
Beef Meat. 6 : 9-16.
Anonim. 2005. Penggunaan Enzim Untuk
Pengempukan Daging. Web-site :
http://www.poultryindonesia.com.
Diakses Tanggal 2 Oktober 2010
Badan Standarisasi Nasional. 2008.
Standar Nasinal Indonesia Mutu
Karkas dan Daging Sapi. 3932.
Jakarta
Budiman, A dan S. Styawan. 2009.
Pengaruh Konsentrasi Substrat,
Lama Inkubasi dan pH dalam
Proses Isolasi Enzim Xylanase
dengan Menggunakan Media
Jerami Padi. Laporan Penelitian.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Cahyani. 2010. Manfaat Pepaya. Web-site
http://www.medicalera.com.
Diakses tanggal 5 Agustus 2011.
Daftar Komposisi Bahan Makanan
Widiya Pangan dan Gizi. 2004
deMan, J. 1997. Kimia Makanan
Penerjemah: Kosasih P. Intitut
Teknologi Bandung. Terjemahan
dai Princiles of Food Chemistry.
Dhiah, P. 2010. Pengaruh Penambahan
Buah Nanas dan Lama Pemasakan
yang Berbeda Terhadap Kualitas
Daging Itik Afkir. Fakultas
Pertanian. Uversitas Sebelas Maret.
Surakarta
Esti. 2002. Pengawetan dan Bahan Kimia.
Web-site: http://www.warintek.
ristek.go.id. Diakses tanggal 1
November 2010.
Grace. 1995. Mempelajari Pengaruh
Penambahan Enzim Papain secara
Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisik
Kimia Daging Kambing Tua Jantan.
Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Hanum, Y. S. 1998. Penilaian Indrawi.
Universitas Sriwijaya Indralaya.
Hasanah, E. 2005. Pengaruh Penambahan
Antioksidan Terhadap Aktivitas
Proteolitik Enzim Papain. Intitut
Pertanian Bogor. Bogor.
Indah, M. 2004. Enzim. Universitas
Sumatra Utara. Medan.
Istika D.. 2009. Pemanfaatan Enzim Brolin
Pada Limbah Kulit Nanas Dalam
Pengempukan Daging. Jurusan
Biologi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Lingkungan Pengetahuan
Alam. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Kartika, 1988. Penambahan Ekstrak
Ampas Nanas Sebagai Medium
Campuran Pada Pembuatan Nata
De Cashew. Balai Penelitian
Tanaman Obat Dan Aromatik. NTT
Komariah, I. Arief, Y. Wiguna. 2004.
Kualitas Fisik dan Mikroba Daging
Sapi yang Ditambah Jahe Pada
Konsetrasi dan Lama Penyimpanan
yang Berbeda. Media Perternakan
Agustus 2004. Vol.27 (2) :46-54.
Komariah dan Sirajudin. 2006. Aneka
olahan Daging Sapi. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Koswara dan Sutrisno. 2003. Tepung
Getah Pepaya Pengempuk Daging,
diakses dari Ebokkpangan.com,
Oktober 2010.
Kristianto, Y. 2005. Panduan Penelitian
Pangan dan Gizi. Politeknik
Kesehatan Malang. Malang.
Kusmiadi. 2007. Petunjuk Pengujian
Oraganoleptik. Web-site :
http://smsrtsains.blogspot.com.
Diakses Tanggal 20 Oktober 2010.
Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. Edisi Ke-
5. Penerjemah : A. Perakasi. UI
press. Jakarta.
Lee, Y. B., D.J. Sehnert and C. R.
Ashmore. 1994. Tenderization of
Meat With Ginger Rhizome. J. Food
Sci. 51 (16): 1558-1559.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 134
Mgmc. 2009. Nanas. Web-site:
http://miskal-mgmc.blogspot.com/.
Diakses: Tanggal 07 April 2011.
Moehd. 2008. Pengolahan Pepaya.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Murhamanto. 2008. Budi Daya,
Pengolahan, Perdagangan Jahe.
Swadaya. Jakarta.
Murniarti, E. 2006. Sang Nanas Bersisik
Manis di Lidah. Surabaya
Intellectual Club. Surabaya.
Murtini dan Qomarudin. 2003.
Pengempukan Daging Dengan
Enzim Protease Tanaman Biduri.
Jurnal Teknol dan Industri Pangan.
XIV (3) : 226-268
Pudjirahaju, dkk. 2004. Paket Modul Dan
Penuntun Praktek ITP. Poltekkes
Malang. Malang
Pudjirahaju, A. 2001. Diklat ITP, Penilaian
Kualitas Makanan Secara
Organoleptik. Malang.
Purwantoro. 2007. Pepaya.Web-site: http:
www//ristek.go.id. Diakses tanggal
10 November 2010.
Puspa, C. 2007. Pemanfaatan Enzim
Papain Dalam Proses Pengempukan
Daging. Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Rahayu, S. 2004. Karakteristik Biokimiawi
Enzim Termostabil Penghidrolisis
Kitin. Makalah. Pengantar Falsafah
Sains (PPS 702). Sekolah Pasca
Sarjana Program Doktor. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Renald. 2010. Kecepatan Reaksi Hidrolisis
Amilum oleh Enzim Amilase. Web-
site: http://www.scribd.com.
Diakses: Tanggal 28 Juli 2011.
Rukmana. 1995. Budidaya Nanas.
Dinamika Media. Jakarta.
Sabariyyah, P.N. 2005. Pengaruh Teknik
Penambahan Enzim Papain
Terhadap Kecemaran Protein.
Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Sarashwati, G T. 1995. Mempelajari
Pengaruh Enzim Papain Secara
Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisiko
Kimia Daging Kambing Tua Jantan.
Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian Bogor. Bogor.
Sembiring dan Sudino. 2006. Biologi
Untuk Kelas XII. Sunda Kelapa
Pustaka. Jakarta.
Shiddieqy, M. I. 2005. Daun Pepaya
Pelarut Protein Pengempuk Daging.
Web-site: http
://www.pikiranrakyat.com/cakrawa
la.htm. Tanggal akses 5 Oktober
2010.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi
Daging. Cetakan Ke-4. Gajah Mada
University press. Yogyakarta.
Soewarno dan Soekanto. 1981. Penilaian
Organoleptik, untuk Industri
Pangan dan Hasil Pertanian.
PUSBANGTEPA / Food Technology
Development Center, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sugiran, G. 2007. Efek Pengolahan
Terhadap Zat Gizi Pangan. Web-
site: http://www.blogger.com/feeds.
Diakses Tanggal 6 Oktober 2010.
Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Alfabeta . Bandung.
Sullivan, C. 2007. Adding Enzymes to
Improve Beef Tenderness. Web-site:
http://www.beefresearch.org.
Diakses Tanggal 1 November 2010.
Suwarno. 2006. Panduan Pembelajaran
Biologi Untuk SMA Dan MA. Web-
site:
http://www.kiva.orgwww.kiva.org.
Diakses Tanggal 1 November 2010.
Tabrany, H. 2006. Getah Pepaya Dalam
Bentuk Crude Papain. Web-site :
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 135
http://tumoutou.net/3_se
1/herman_t.htm. Tanggal Akses 10
November 2010.
Tarwatjo, S. 1998. Dasar-Dasar Gizi
Kuliner. PT Gasindo. Jakarta.
Velonso, S.A. 2010. Pengaruh Enzim
Papain Pada Level dan Lama
Pemeraman yang Berbeda
Terhadap pH dan Cooking Loss
Daging Bicep Femoris Sapi Bali
Jantan. Skripsi.Universitas
Indinesia. Jakarta.
Wales. 2010. Enzim. Web-site:
http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.
Diakses Tanggal 5 November 2010.
Wales. 2010. Bromelin. Web-site:
http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.
Diakses Tanggal 5 November 2010.
Wales. 2010. Nanas. Web-site:
http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.
Diakses Tanggal 5 November 2010.
Wales. 2010. Daging Sapi. Web-site:
http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.
Diakses Tanggal 5 November 2010.
Wijayandi. 2003. Penguji Kesukaan Secara
Organoleptik. Diakses dari
http//125.17.21/speedyarari/view.ph
p.februari 2010
Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi,
Teknologi, dan Konsumen. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan
Gizi. M-Brio Press. Bogor.
Yudistra. 2005. Mengenali Daging Sehat.
Web-site: http://www.balispot.co.id.
Diakses Tanggal 20 Oktober 2010.
Yunaida.1998. Uji Organoleptik. Web-site
http://www.scribd.com/doc/5826456
2/Jenis-Uji-Organoleptik. Diakses
Tanggal 15 Oktober 2010.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 137
Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas
sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum
Meat Chicken Production Performance by Using Cotton Seed Cake as Substitution of Part
of Soybean Cake in Ration
Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka
Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih
Km. 32 Indralaya, Ogan Ilir Kode Pos 30662. Email [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research was to know the effect of using cottonseed cake as a substitution part of soybean cake
on boriler growth performance. The study used 2 week-old broiler. The treatments of the research were
using cottonseed cake 0% (R0), 6% (R1), 12% (R2), and 18%(R3) with Completely Randomized Design (CRD)
and each treatment was replicated 4 times. Each treatment contained 6 broilers. The result of the research
showed that cottonseed cake was significantly different effect on ration consumption, body weight gain, and
rantion convertion. The best result was indicated by R2. It could be concluded that using cottonseed cake as
substitution of soybean cake was 12%.
Kata Kunci: Cotton seed cake, soybean cake, ration, broiler
ABSTRAK
Meningkatnya harga ransum, mengharuskan kita mencari bahan alternatif lain yang harganya lebih murah,
salah satunya adalah penggunaan bungkil biji kapas (BBK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan BBK sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai terhadap pertumbuhan ayam
broiler. Penelitian ini menggunakan ayam broiler umur dua minggu. Ransum perlakuan yang digunakan
terdiri dari 4 tingkat penggunaan BBK sebagai pengganti bungkil kedelai yakni R0 (0%), R1(6%), R2 (12%)
dan R3 (18%). Rancangan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Kelompok) yang terdiri dari 4
perlakuan dan 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam dengan menggunakan kandang koloni.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada berbagai perlakuan penggunaan BBK berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB) dan konvesi ransum terbaik diperoleh
pada perlakuan R2. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan BBK sebagai pengganti
bungkil kedelai terbaik diperoleh pada tingkat 12%.
Kata Kunci: bungkil biji kapas, bungkil kedelai , ransum, ayam broiler
PENDAHULUAN
Perkembangan penduduk di
Indonesia saat ini tidak dapat diimbangi
oleh kenaikan produksi ternak,
khususnya ternak besar. Perkembangan
ternak sapid an kerbau sangat kecil.
Dengan alas an tersebut sector
perunggasan terutama ayam broiler
mendapat prioritas utama untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani.
Dalam hubungan ini ayam broiler
merupakan pilihan yang tepat mengingat
sifat-sifat keunggulannya, yaitu tidak
memerlukan tempat yang luas dalam
pemeliharaannya, bergizi tinggi,
pertumbuhan yang cepat dan cepat
mencapai berat jual dengan bobot badan
yang tinggi, yaitu bobot hidup rata-rata
antara 1,5 - 2,0 kg pada umur 6-7 minggu
(Murtidjo, 1994)
Peningkatan produksi ternak
ditentukan pada sistim pemeliharaan
terutama dalam mutu pakan. Biaya
pakan menyerap hamper 60-70% dari
ISSN 1978 - 3000
| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 138
seluruh biaya produksi. Belum lagi
ditambahn dengan adanya lonjakan
harga pakan yang sering meningkat.
Lonjakan harga pakan tentunya
disebabkan oleh semakin tingginya harga
bahan baku pakan ayam yangh sering
digunakan selama ini banyak bersaing
dengan kebutuhan pangan manusia.
Oleh karena itu banyak para ahli nutrisi
yang berusaha mencari alternative bahan
baku pakan yang mempunyai nilai gizi
yang relative sama tetapi harganya
murah dan yang tidak bersaing dengan
kebutuhan pangan manusia. Salah
satunya adalah bungkil biji kapas (BBK).
Bungkil biji kapas adalah bahan
ikutan penggilingan minyak kapas yang
mempunyai kandungan nutrisi yang
cukup tinggi, tidak bersaing dengan
kebutuhan pangan manusia dan
harganya relative murah sebagai bahan
campuran pakan. Tanaman kapas di
Indonesia banyak ditanam terutama di
daerah Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan prospek tanaman kapas di
Indonesia masih cerah karena permintaan
akan sandang terus meningkat seiring
dengan laju pertumbuhan dan
peningkatan pendapatan rakyat.
Tanaman kapas ditanam terutama untuk
mendapatkan kapas yang akan diolah
menjadi tekstil, haasil ikutannya berupa
biji kapas. Sebagai hasil sampingan biji
kapas setelah diambil minyaknya untuk
keperluan industry makanan dan
komestika adalah berupa bungkil biji
kapas. Sangat disayangkan selama ini
bungkil biji kapas belum banyak
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, hal
ini disebabkan kurangnya pengetahuan
tentang bungkil biji kapas sebagai pakan
Mternak.
Sebagai pakan ternak bungkil biji
kapas mempunyai nutrisi yang cukup
tinggi, terutama kandungan proteinnya.
Kandungj gizi darai biji kapas adalah
Protein 19,4%, lemak 19,5%, asam lemak
linoleat47,8%, asam lemak palmitat 23,4%
dan asam lemak oleat 22,9%. (warrintek-
mentri Negara Riset dan Teknologi, 2012).
Sehingga memungkinkan digunakan
sebagai pengganti tepung kedelai dan
kacang tanah dalam pakan ternak. Faktor
yang menjadi kendala dalam
penggunaan bungkil biji kappa sebagai
campuran pakan adalah serat kasarnya
tinggi, palatabilitas rendah dan adanya
zat anti nutrisi (gossypol). Gosipol
adalah senyawa pigmen poliphenolat
kuning yang ditemukan dalam bagian
berminyak biji kapas (Fapet IPB, 2012).
Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
beberapa cara antara lain dengan
penambahan FeSO4 dalam ransum atau
diberikan perlakuan pemanasan.
Penambahan besi dengan perbandingan
1:1 dengan gosipol bebas, dapat
meningkatkan taraf penggunaan bungkil
biji kapas dalam ransum broiler atau
layer (Amrullah, 2004)
Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa bungkil biji kapas dapat
dimanfaatkan dalam ransum ayam
broiler periode finisher sampai 15%.
Akan tetapi sampai saat ini belum ada
laporan tentang kemampuan dari bungkil
biji kapas untuk dapat menggantikan
bungkil kedelai dalam ransum ayam
broiler.
Tanaman kapas merupakan
tanaman yang akan dimanfaatkan
kapasnya yang akan diolah menjadi
tekstil, sehingga tanaman ini setiap
tahunnya akan meningkat. Sejalan
dengan peningkatan produksi tanaman
kapas, produksi bungkil biji kapas turut
meningkat pula, hal ini dapat dilihat dari
produksi kapas menghasilkan biji kapas
2/3 dari beratnya, sedang serabut hanya
1/3 nya. Bungkil ini merupakan bahan
pakan ternak yang dapat
menyumbangkan protein dan energy
yang dibutuhkan oleh ternak.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 139
Berdasarkan bahan keringnya, bungkil
biji kapas mempunyai kandungan protein
kasar 40-41% dan energy metabolis 1820-
2100 kkal/kg.
Berdasarkan hal dikemukakan
diatas maka dilakukan suatu penelitian
untuk mengetahui seberapa jauh
pengaruh penggunaan bungkil biji kapas
sebagai pengganti sebagian bungkil
kedelai dalam ransum terhadap
pertumbuhan ayam broiler.
METODE PENELITIAN
Sebanyak 96 ekor ayam broiler
galur hubbard yang berumur 2 minggu
ditempatkan secara acak dalam kandang
koloni. Tiao unit kandang ditempati 6
ekor ayam. Ransum perlakuan yang
diberikan selama penelitian terdiri dari 4
tingkat penggunaan bungkil biji kapas
sebagai pengganti kedelai dalam ransum
yakni R-0(0%R-1(6%), R-2 (12%) dan R-
3(18%). Bahan makanan penyusun
ransum terdiri dari jagung, bungkil biji
kapas (BBK), dedak halus, bungkil
kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan,
minyak kelapa dan premix A. Susunan
bahan penyusun ransum dan kandungan
nutrisi setiap perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL)
menggunakan 4 tingkat penggunaan
bungkil biji kapas dalam ransum sebagai
perlakuan yakni R-0(0%R-1(6%), R-2
(12%) dan R-3(18%), 4 ulangan dan setiap
ulangan terdiri dari 6 ekor ayam broiler.
Awal penelitian dimulai dengan
penimbangan 96 ekor ayam broiler umur
2 minggu untuk mengetahui bobot badan
awal, kemudian diletakkan ke dalam
kandang secara acak.
Konsumsi ransum dihitung sekali
seminggu, demikian juga penimbangan
bobot badan dan jumlah konsumsi bahan
kering Peubah yang diamati adalah
konsumsi ransum, pertambahan bobot
badan mutlak, pertambahan bobot badan
relative dan konversi ran sum.
Pertambahan bobot badan mutlak
diperoleh dengan cara mencari selisih
bobot badan akhir dengan bobot badan
awal pada periode yang sama dan
pertambahan bobot badan relative
diperoleh perbandingan antara
pertambahan bobot badan mutlak dengan
bobot badan awal pa da periode waktu
yang sama. Sedangkan konversi ransum
adalah perbandingan banyaknya
Tabel 1. Susunan ransum dan kandungan zat nutrisi masing-masaing perlakuan
Bahan Ransum Perlakuan
R-0 R-1 R-2 R-3
Jagung giling 40,00 40,00 40,00 40,00
Dedak halus 6,00 6,00 6,00 6,00
Bungkil kelapa 7,00 7,00 7,00 7,00
Bungkil kedelai 25,00 19,00 13,00 7,00
Bungkil biji kapas 0 6,00 12,00 18,00
Tepung ikan 20,00 20,00 20,00 20,00
Minyak kelapa 1,50 1,50 1,50 1,50
Premix A 0,50 0,50 0,50 0,50
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrisi ransum
Protein kasar (%) 23,77 23,98 24,19 24,40
Serat kasar (%) 6,11 6,48 6,85 7,22
Lemak (%) 5,78 5,65 5,25 5,39
Kalsium (Ca) 1,20 1,18 1,16 1,14
Phospor (P) 0,80 0,79 0,78 0,77
ME kkal/kg 2874,28 2849,08 2823,88 2798,68
ISSN 1978 - 3000
| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 140
makanan yang dikonsumsi dengan
kenaikan bobot badan ternak.
Data penelitian dianalisis ragam
dan diuji lebih lanjut dengan uji jarak
berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata konsumsi ransum,
pertambahan bobot badan mutlak,
pertambahan bobot badan relative dan
konversi ransum dapat dilihat pada tabel
2.
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa level pemberian bungkil biji
kapas dalam ransum sebagai pengganti
sebagian bungkil kedelai memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)
terhadap konsumsi ransum, bobot badan
mutlak, bobot badan relative dan
konversi ransum.
Rataan konsumsi ransum per ekor
per hari pada tingkat penggantian
bungkil kedelai dengan tepung bungkil
biji kapas 0% (R-0), 6% (R-1), 12% (R-2)
dan 18% (R-3) masing-masing sebesar
85,06 g, 85,39, 84,45 dan 81,65 g. Hasil
analisis statistic menunjukkan bahwa
konsumsi ransum pada tingkat
pemberian 18% (R3) sangat nyata (P<0,01)
lebih rendah dibandingkan dengan
konsumsi ransum pada tigkat
penggantian 0% (R-0), 6% (R-1) dan 12%
(R-2), sedangkan tingkat pemberian 0%
(R-0), 6% (R-1) dan 12% (R-2) tidak
berbeda nyata (P>0,05) terhadap
konsumsi ransum. Dari hasil tersebut
berarti bahwa penggunaan bungkil biji
kapas nyata menurunkan konsumsi
ransum, semakin tinggi penggunaan
bungkil biji kapas, menunjukkan
konsumsi ransum nyata semakin
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan BBK dapat menurunkan
selera makan pada ayam, sehingga
konsumsi ransum juga akan menurun.
Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
penggunaan BBK di dalam ransum, maka
serat kasarnya semakin tinggi sehingga
akan mempengaruhi konsumsi ransum.
Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1985)
bahwa serat kasar untuk ayam broiler
masa pertumbuhan sebesar 4-6%. Antara
perlakuan R-0, R-1 dan R-2 tidakj berbeda
nyata (P>0,05), hal ini berarti bahwa
penggunaan BBK pada tingkat 6-12%
jumlah ransum yang dikonsumsi relative
sama. Hal ini disebabkan kandungan
protein dan energy tidak jauh berbeda
sehingga keadaan seperti ini tidak
mempengaruhi konsumsi ransum.
Tabel 2. Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan bobot badan mutlak, pertambahan bobot badan
relative dan konversi ransum
Perlakuan Konsumsi Ransum PBB Mutlak PBB Relatif Konversi
(gram/ekor/hari) (gram/ekor/hari)) (%/ekor/hari) Ransum
R0 85,06A 51,23A 21,08A
1,66aA
R1 85,39A 52,10 21,44A
1,63a
R2 84,45A 53,45B 21,98A
1,57bB
R3 81,65B 41,19C 16,96B
1,97C
Keterangan: * nilai yang diikuti dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda
sangat nyata (P<0,01)
*nilai yang diikuti dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
nyata (0,05)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 141
Jumlah ransum yang dikonsumsi serta
nilai gizi ransum akan mempengaruhi
pertambahan bobot badan .
Hasil analiis ragam menunjukkan
bahwa pada berbagai perlakuan
penggunaan BBK memberikan pengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap PBB
mutlak dan relative. Hasil uji jarak
berganda Duncan diketahui bahwa
pertambahan bobot badan mutlak tidak
berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan
R1 dan R2, berbeda nyata (P<0,01) R0
lebih kecil dari R2 dan berbeda sangat
nyata (P<0,01) lebih kecil R3 dari R0, R1
dan R2. Sedangkan pertambahan bobot
badan relative tidak berbeda nyata
(P>0,05) antara perlakuan R0, R1 dan R2
dan berbeda sangat nyata (P<0,05) lebih
kecil R3 dari R0, R1 dan R2. Hal ini
berarti penggunaan BBK sampai dengan
tingkat 12% tidak menurunkan
pertambahan bobot badan, pertambahan
bobot badan yang terbaik diperoleh pada
penggunaan BBK pada tingkat 12%.
Pertambahan bobot badan nyata (P<0,05)
menurun bila poenggantian bungkil
kedelai dengan BBK sampai 18%. Hal ini
disebabkan karena perlakuan R3
konsumsi ransum yang paling rendah
sehingga zat-zat makanan yang masuk
kedalam tubuh juga akan menurun dan
selanjutnya akan berpengaruh terhadap
pertambahan bobot badan. Kecuali itu
imbangan protein dan energy pada
perlakuan R3 menurun mencapai 1 :
114,7. Menurut Murtidjo (1994), bahwa
imbangan protein dan energy untuk
ayam broiler fase awal sebesar 1 : 132 dan
fase akhir sebesar 1: 160. Kecilnya
imbangan ini diesebabkan oleh
kandungan protein pada perlakuan R3
adalah yang paling tinggi, sementara
kandungan energy paling rendah dan
serat kasarnya paling tinggi, sehingga
pemanfaatan zat-zat makanan lebih
sedikit. Hal ini sesuai pendapat
Ensminger at al (1990) bahwa
pertumbuhan unggas ditentukan oleh
kandungan protein, energy dan
imbangan zat-zat makanan lainnya dari
ransum yang dikonsumsi. Menurut
Leeson and Summer (2001) pertumbuhan
berat badan broiler mencapai 397
gram/ekor/mg dengan kebutuhan
konsumsi 728 gram/ekor/mg selama
umur 1-7 minggu. Kecuali itu hal yang
mempengaruhi pertumbuhan broiler
menurut Amrullah (2004) adalah
kepadatan ransum broiler dimana ayam
yang diberi ransum dengan pakan yang
berkepadatan lebih rendah akan tumbuh
lebih lambat dibandingkan dengan
ransum dengan kepadatan yang lebih
tinggi.
Hasil analisis ragam konversi
ransum menunjukkan bahwa pada
berbagai perlakuan penggunaan BBK
berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Hasil
uji jarak berganda Duncan menunjukkan
bahwa konversi ransum pada perlakuan
R2 nyata (P<0,05) lebih kecil
dibandingkan dengan konversi ransum
pada perlakuan R1; konversi ransum
pada perlakuan R0, R1 dan R2 sangat
nyata (P<0,01) lebih rendah
dibandingkan perlakuan R3, sedangkan
antara perlakuan R0 dan R1 konversi
ransum tidak berbeda nyata (P>0,05).
Dari hasil tersebut berarti bahwa
penggunaan BBK yang terbaik adalah
perlakuan R2 yaitu sebesar 12%. Hal ini
berarti tingkat penggunaan BBK di dalam
ransum senmakin efisisien, sehingga
konversi ransum semakin kecil. Hal ini
disebabkan kualitas ransum pada
perlakuan R2 semakin baik. Kanisius
(2000) menyatakan bahwa konversi
ransum dipengaruhi oleh kualitas
ransum, semakin baik kualitas ransum
maka konversi eansum yang diperoleh
semakin kecil atau efisien. Semakin kecil
angka konversi ransum semakin efisien
ternak tersebut menggunakan ransum
yang diberikan
ISSN 1978 - 3000
| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 142
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dpt
disimpulkan bahwa penggunaan Bungkil
Biji Kapas (BBK) sebagai pengganti
bungkil kedelai akan menghasilkan
Pertambahan Bobot Badan (PBB),
konversi ransum yang paling baik dicapai
pada tingkat penggantian sebesar 12%
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Broiler.
Lembaga Satu Gunung Budi KPP
IPB Baranangsiang Bogor
Anggorodi,R.1985. Kemajuan Mutakhir
dalam Ilmu Makanan Ternak
Unggas. University Indonesia
Press, Jakarta
apet IPB. 2012. Mengenal Beberapa
Antinutrisi Pada Bahan Pakan.
http://WWW:Fapet IPB. (20
Pebruari 2012)
Kanisius.A.A (2000).Bertanam Kapas.
Kanisius. Yogyakarta
Lesson S dan JD Summer. 2001. Nutrition
of the chicken Fourth Ed. University
Book. Gaelph. Ontario. Canada
Murtidjo,BA. 1994. Pedoman Beternak
Ayam Broiler. Kanisius,
Yogyakarta
Steel RGD dan Torrie JH. 1991. Prinsip
dan Prosedur Statistika.NSuatu
Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa
Bambang Sumantri. Jakarta: PT
Gramedia
Wahju,J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas.
Gadjah mada University Press.
Yogyakarta
Warintek-Mentri Negara Riset dan
Teknologi. 2012. Teknologi Tepat
Guna. Http://WWW:
IPTEKNET.id (12 Pebruari 2012)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 143
Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap
Kualitas Karkas Ayam Broiler
The Effect of Mengkudu Juice (Morinda citrifolia, L) on The Quality of Broiler Carcass
Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jalan WR. Supratman Kandang Limun Bengkulu email: [email protected]
ABSTRACT
The objective of this research was to evaluate the broiler carcass quality given different level of mengkudu
juice. The research was conducted in The Farm Laboratory of Animal Science Department Agriculture
Faculty, University Bengkulu. The treatments were P0 (as control without mengkudu juice mixed into 1 liter
water), PI (25 ml mengkudu juice mixed into 1 liter water), P2 (50 ml mengkudu juice mixed into 1 liter
water), P3 (75 ml mengkudu juice mixed into l liter water). The research design used was Completely
Randomized Design. DMRT will be conducted in case of any significant differences among treatments. There
was no significant effect of mengkudu juice diluted in water on broiler carcasss percentage and carcass
portion, abdominal fat percentage, cooking loss and meat juice percentage. However the significant effect
(P<0.05) appeared on meat fat and meat protein. The results showed that the effect of mengkudu juice up to 75
ml in water wasn't positive influentially yet on carcass weight percentage and carcass portion, abdominal
fat percentage, cooking loss, and meat juice percentage. The positive effect was that meat fat decrease up
to 66.52% and meat protein could decrease up to 14,86%.
Key words, morinda citrifolia, quality carcass, broiler
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas karkas ayam broiler yang diberi air buah mengkudu
dengan berbagai level pemberian di dalam air minum. Penelitian dilaksanakan di kandang unggas Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Perlakuan air mengkudu adalah P0 (kontrol tanpa
pemberian air buah mengkudu), PI (25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum), P2 (50 ml
air buah mengkudu di dalam 1liter air minum), dan P3 (75 ml air buah mengkudu di dalam1 liter air
minum).cPenelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) kalau berbeda diuji lanjut Duncan's
Multiple Range Test (DMRT). Perlakuan pemberian air buah mengkudu berpengaruh tidak nyata (P > 0,05)
terhadap terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas, persentase lemak abdomen, susut masak,
dan kadar air daging, namun berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak daging dan kadar
protein daging. Penelitian ini menunjukkan pemberian air buah mengkudu sampai level 75 ml di dalam air
minum belum memberikan pengaruh positif terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas,
persentase lemak abdomen, susut masak, dan kadar air daging, namun berpengaruh positif terhadap
variabel kadar lemak daging yang mampu menurunkan kadar lemak daging sampai 66,52% terhadap
kontrol, demikian juga terhadap kadar protein daging yang mampu meningkatkan kadar protein daging
sampai 14,86% terhadap kontrol.
Kata kunci : morinda citrifolia, kualitas karkas, broiler
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 144
PENDAHULUAN
Produsen ayam broiler dewasa ini
dituntut untuk menghasilkan ayam
broiler dengan kualitas karkas yang baik.
Hal ini berhubungan dengan selera
konsumen yang cenderung
mengkonsumsi daging dengan kadar
lemak rendah, untuk menghindari
pengaruh negatif lemak seperti timbulnya
bermacam penyakit diantaranya
kegemukan, diabetes, hiperlipida, jantung
koroner dan lain-lain (Wijayakusuma et
al., 1996). Hal senada diungkapkan Fenita
(2011) bahwa kandungan lemak yang
tinggi dapat mendorong timbulnya
kegemukan (obesitas) dan gangguan
penyakit jantung (arthery schlerosis).
Laporan lain menyatakan kandungan
lemak yang tinggi pada daging bila
dikonsumsi dapat berdampak negatif
terhadap kesehatan, terutama penyakit
jantung koroner dan penyempitan
pembuluh darah (Santoso, 1998). Buah
mengkudu (Morinda citrifolia L)
merupakan salah satu tanaman obat yang
berkhasiat dapat mengobati berbagai
penyakit seperti darah tinggi, jantung,
obesitas, dan lain-lain. Penggunaan
mengkudu pada manusia sudah sangat
populer untuk mengobati berbagai
penyakit dalam bentuk jus mengkudu.
Buah mengkudu mengandung alkaloid
triterpenoid yang berfungsi mengatasi
darah tinggi dan kegemukan (Fenita et al
2008). Berdasarkan hal tersebut,
maka kemungkinan buah mengkudu
dapat menurunkan kadar lemak pada
ternak. Khasiat jus akan tampak bila
diminum rutin dengan dosis 100 ml satu
jam sebelum makan, supaya dapat secara
cepat melewati lambung dan masuk ke
usus halus untuk menghasilkan
xeronine yang berguna memperbaiki
sel yang rusak (Posman, 2001). Dengan
demikian buah mengkudu dapat
meningkatkan efisiensi metabolisme.
Berdasarkan pengalaman pada manusia
tersebut diharapkan uji coba pada ayam
broiler nantinya akan berpengaruh positif
pada ayam broiler dengan kandungan
lemak yang lebih rendah. Penelitian ini
dilakukan untuk mengevaluasi
pengaruh pemberian air buah
mengkudu terhadap persentase berat
karkas, lemak abdomen, susut masak,
kadar air daging, kadar lemak daging,
dan kadar protein daging ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Kandang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kandang sistem
postal yang diberi sekat, dengan setiap
petak disediakan tempat pakan dan
tempat minum. Petak-petak kandang
tersebut berukuran 50 x 80 x 60 cm
sebanyak 16 petak kandang. Untuk air
mengkudu didapatkan dari buah
mengkudu yang telah matang dicuci
lalu dihancurkan dengan blender,
kemudian diperas untuk diambil airnya
atau sarinya dengan cara disaring
menggunakan kain kasa.
Anak ayam yang digunakan adalah
ayam broiler strain platinum. Ayam
dipisahkan secara acak ke dalam petak
kandang litter dan setiap petak diisi 4
ekor ayam. Ayam umur 3 hari dan 21 hari
divaksin ND (Newcastle Disease). Pada
umur 4 hari sampai 42 hari ayam
dipelihara dengan ransum yang
disusun sendiri berdasarkan imbangan
energi dan protein NRC (1994) yaitu
pada masa starter (1 sampai 3 minggu)
terlihat pada tabel 2 dengan protein 23%
dan energi 3200 kkal dan pada masa
grower (4 sampai 6 minggu) seperti
yang terlihat pada tabel 3, dengan
protein 20% dan energi 3200 kkal.
Ransum dan air minum diberikan ad
libitum Bahan pakan penyusun ransum
yang digunakan sebagai berikut (Tabel 1).
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 145
Penelitian ini bersifat eksploratif
dari penelitian yang dilakukan pada
manusia dengan dosis 300 ml/hari,
dengan asumsi berat badan manusia 50
kg dikonversikan dengan asumsi berat
broiler 1,5 kg diperoleh dosis 9 ml/ hari
untuk ayam broiler atau 6% dan
konsumsi air minum ayam broiler pada
umur 6 minggu yaitu 160 ml/ hari .
Berdasarkan perhitungan diatas maka
perlakuan yang diberikan sebagai
berikut:
P0 : 0 ml air buah mengkudu dalam 1
liter air.
P1: 25 ml air buah mengkudu dalam 1
liter air.
P2: 50 ml air buah menkudu dalam 1
liter air.
P3: 75 ml air buah mengkudu dalam 1
liter air.
Data yang diperoleh, dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam.
Apabila terdapat perbedaan yang nyata
antara perlakuan dilakukan uji lanjut
Tabel 1. Komposisi zat-zat makanan bahan penyusun ransum (%).
Bahan Makanan Protein Lemak Serat Kasar Kalsium Phospor ME
(kkal/kg)
Jagung Kuning 9,27a 3,77a 3,77a 0,06a 0,29a 3.370b
Dedak Halus 13,81a 9,85a 9,85a 0,1a 1,94a 1.630b
Bungkil Kedelai 45,28a 1,33a 1,33a 0,9a 0,89a 2.240b
Tepung Ikan 58,75a 4,81a 4,81a 5,55a 3,38a 2.830b
Tepung Tulang - - - 24b 6b
Mineral Suplemen - - - 32,5° 10c
Minyak Bimoli - 99d 99d 9000d
Keterangan: (a) Fenita (2008) (b) Anggorodi (1985). (c) Medion, (2002) Jakarta. (d) Intiboga sejahtera, (2002)
Jakarta.
Tabel 2. Formulasi ransum penelitian fase starter yaitu : 0 - 3 minggu (%).
Bahan Makanan Jumlah Protein Lemak SK Ca P ME (kkal/kg)
Jagung kuning 55.5 5,14 2,09 1,57 0,03 0,16 1.870,35
Dedak Halus 5.0 0,69 0,49 0,27 0,01 0,10 81,50
Bungkil Kedelai 20,0 9,06 0,27 0,62 0,08 0,18 448,00
Tepung Ikan 14,0 8,23 0,67 0,15 0,78 0,47 396,20
Tepung Tulang 0,5 - - - 0,12 0,03 -
Mineral Suplemen 0,5 - - - 0,16 0,05 -
Minyak Bimoli 4,5 - 4,46 - - - 405,00
Total 100 23,12 7,98 2,61 1,18 0,99 3.000,05
Tabel 3. Formulasi ransum penelitian fase grower yaitu : 3 - 6 minggu (%).
Bahan Makanan Jumlah Protein Lemak SK Ca P ME (kkal/kg)
Jagung kuning 60.0 5,56 2,26 1,69 0,04 0,17 2.022,00
Dedak Halus 7.0 0,97 0,69 0,38 0,01 0,14 114,10
Bungkil Kedelai 19,5 8,83 0,26 0,61 0,08 0,17 436,80
Tepung Ikan 8.0 4,70 0,38 0,09 0,44 0,27 226,40
Tepung Tulang 0,5 0,12 0,03
Mineral Suplemen 0,5 0,16 0,05
Minyak Bimoli 4,5 4.46 405.00
Total 100 20,06 8,05 2,77 0,85 0,83 3,204,30
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 146
dengan DMRT (Duncan's Multiple Range
Test) (Yitnosumarto, 1991).
Variabel Yang Diamati
1. Persentase Berat Karkas. Berat karkas
adalah berat broiler setelah dipotong,
dibului, dikurangi dengan kepala, leher,
kaki dan seluruh bagian organ dalam.
Persentase berat karkas merupakan
perbandingan berat karkas dengan berat
hidup dikali seratus persen.
2. Persentase Lemak Abdominal.
Pengukuran lemak abdomen diperoleh
dengan menimbang lemak di rongga
perut dari dasar kloaka hingga bagian
yang melekat pada gizzard, kemudian
lemak ditimbang dan dipersentase
dengan berat hidup.
3. Susut Masak (CookingLoss). Cooking
loss diperoleh dari daging bagian dada
yang dipanaskan selama 20 menit pada
suhu 800C, kemudian dihitung dengan
mengurangkan berat sebelum dikukus
dengan berat setelah dikukus dibagi
berat sebelum dikukus dikalikan seratus
persen.
4 Kadar Air Daging. Kadar air diperoleh
dari sampel dengan cara menimbang
sampel lalu dipanaskan dalam oven pada
temperatur 105°C. Pemanasan berjalan
hingga sampel tidak lagi turun beratnya.
Setelah pemanasan sampel daging
disebut sampel bahan kering dan
pengurangannya dengan sampel daging
disebut persen air atau kadar airnya.
5. Kadar Lemak Daging. Kadar lemak
daging diperoleh dari analisis
Proksimat di laboratorium dengan
mengambil bagian dada sebagai sampel
untuk memperoleh kadar lemak daging
dari karkas ayam broiler hasil penelitian.
Kadar lemak daging diperoleh dari
sampel daging bebas air diekstrasi
dengan dietil eter selama beberapa jam,
maka bahan yang didapat adalah lemak,
dan eter akan menguap.
6. Kadar Protein Daging. Analisis
proksimat untuk memperoleh kadar
protein dengan cara menganalisis
sampel bebas lemak dengan alat Kjeldahl.
Analisis ini menggunakan asam sulfat
dengan suatu katalisator dan
pemanasan. Zat organik dari sampel
lalu dioksidasi oleh asam sulfat tadi dan
nitrogen dirubah ke dalam amonium
sulfat. Sedangkan kelebihan asam sulfat
akan dinetralisir oleh NaOH dan
sampai larutan menjadi basa. Dari
amonium sulfat tadi lalu didestilasi
dalam medium asam untuk mendapatkan
nitrogen secara kuantitatip. Karena
protein rata-rata mengandung 16%
Nitrogen, maka faktor 100%/16% = 6,25
harus dipakai untuk mendapatkan nilai
protein kasar (protein kasar = N% x 6,25).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persentase Berat karkas dan Bagian
Karkas
Pengaruh pemberian air buah
mengkudu terhadap persentase berat
karkas dan bagian karkas dapat dilihat
pada Tabel 4.
Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa pemberian air buah mengkudu
berpengaruh tidak nyata terhadap
persentase berat karkas (P>0,05). Hal ini
menunjukkan pemberian air buah
mengkudu sampai taraf 75 ml di dalam 1
liter air minum belum memperbaiki
persentase berat karkas ayam broiler.
Persentase karkas pada penilitian ini
berkisar 58,04%– 60,08%, kisaran ini jauh
dari pendapat yang dikemukakan oleh
Winarno (1993), bahwa persentase berat
karkas berkisar antara 65% - 75% dari
berat hidup. Hal ini diduga karena
pengaruh pakan yang belum dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi ayam
broiler secara lengkap, dugaan ini
dikarena penggunaan tepung ikan yang
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 147
terlalu rendah yaitu tidak mencapai
tingkat 10% bahan pakan, yang
dibandingkan dengan penggunaan pada
penelitian sebelumnya Fenita et al (2008)
mencapai tingkat 13% dari campuran
bahan pakan. Tepung ikan merupakan
sumber asam amino esensial bagi ayam
broiler. Hasil penelitian ini juga rendah
jika dibandingkan dengan penelitian
penggunaan tepung buah mengkudu di
dalam ransum ayam broiler. Namun
demikian rendahnya persentase berat
karkas hasil penilitian ini tidak
menunjukkan perbedaan antara
perlakuan pemberian air buah mengkudu
dengan kontrol perlakuan yaitu tanpa
pemberian air buah mengkudu. Jika
dibandingkan penggunaan tepung buah
mengkudu di dalam pakan juga belum
memberikan pengaruh yang nyata
terhadap persentase berat karkas (Fenita,
2010). Air buah mengkudu mengandung
zat-zat aktif yang bermanfaat bagi tubuh
dan bekerja seperti halnya suplemen bagi
ternak. Air buah mengkudu mengadung
proxeronine proxexoniase yang bekerja
menyediakan xeronine (Sjahbana dan
Bahalwan, 2002). Xeronine berfungsi
memperbaiki sel yang rusak dan bekerja
pada tingkat molekuler yang diharapkan
dapat memperbaiki persentase berat
karkas. Namun dari percobaan yang
dilakukan pemberian air buah mengkudu
sampai taraf 75 ml liter air buah
mengkudu di dalam 1 liter air minum
belum memberikan pengaruh yang
positif terhadap persentase berat karkas.
Hal ini menunjukkan dosis yang
diberikan belum dapat memperbaiki
persentase berat karkas ayam broiler.
Persentase berat dada, paha, dan
sayap antar perlakuan dan kontrol
menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (P>0,05). Menurut Soeparno (1998)
genetic dan lingkungan mempengaruhi
kecepatan pertumbuhan komponen-
komponen karkas tubuh.
2. Persentase Lemak Abdomen,
Persentase Susut Masak (Cooking Loss),
Kadar Air Daging, Kadar Lemak Daging
dan Kadar Protein Daging
Perhitungkan sidik ragam
memperlihatkan perbedaan yang tidak
nyata antar perlakuan terhadap
persentase lemak abdomen (P>0,05),
namun demikian pada perlakuan P3
menunjukkan penurunan lemak
abdomen dibandingkan dengan
perlakukan P0, P1, dan P2. kenyataan ini
menunjukkan perlakuan pemberian air
buah mengkudu menunjukkan mulai
terlihat berpengaruh terhadap pesentase
lemak abdomen ayam broiler pada
perlakuan P3 ( 75% ml air buah
mengkudu dalam 1 liter air minum).
Tabel 4. Rataan persentase berat karkas dan bagian karkas
Perlakuan Persentase Karkas (%) Persentase Bagian Karkas (%)
Dada Paha Sayap Punggung
P0 60,08 29,65 31,31 13,87 25,33
P1 58,32 27,10 32,80 13,06 25,94
P2 58,04 28,24 33,84 13,48 24,42
P3 60,36 28,42 31,58 13,39 26,29
SD 1,99 2,06 2,46 0,71 3,54
P 0,28ns 0,41ns 0,47ns 0,50ns 0,90ns
Keterangan ns : tidak berbeda nyata (P>0,05); SD = Sandar Dviasi ; P = Probabilitas
P0 : Kontrol perlakuan
P1 : 25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum
P2 : 50 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum
P3 : 75 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 148
Penelitian sebelumnya yang
menggunakan tepung buah mengkudu
menunjukkan hasil yang berbeda sangat
nyata dari kontrol dengan perlakuan
terhadap penurunan lemak abdomen
ayam broiler (Fenita, 2010). Penurunan
persentase lemak abdomen tersebut
sesuai dengan pendapat Solomon (2004)
bahwa jus mengkudu sangat efektif
untuk menyembuhkan kegemukan
(obesitas). Di dalam air buah mengkudu
mengandung zat aktif yang berperan
menurunkan kadar lemak, yang bekerja
memblok penyerapan kolesterol sehingga
dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah. Zat tersebut adalah
senyawa steroid yang di sebut â
sitosterol. Steroid ini dalam kerjanya akan
menurunkan kadar lemak abdomen.
Penurunan kadar lemak abdomen ayam
broiler pada peniltian ini juga
dipengaruhi oleh alkaloidtriterpenoid
yang terkandung di dalam air buah
mengkudu. Wijayakusuma et al. (1996)
menyatakan bahwa buah mengkudu
mengandung alkaloidtriterpenoid yang
berperan mengatasai kegemukan
(obesitas). Dalam hal ini kegemukan
dapat diartikan juga salah satu bentuk
penumpukan lemak pada ayam broiler.
Pengaruh pemberian air buah
mengkudu terhadap rataan persentase
susut masak terlihat pada Tabel 5.
Hasil sidik ragam menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata antara
perlakuan terhadap susut masak (P>0,05),
hail ini terlihat dari selisih yang sangat
kecil dari setiap perlakuan mulai dari P0,
P1, P2, dan P3. Secara umum pemberian
air buah mengkudu belum
memperlihatkan pengaruh yang baik
terhadap persentase susut masak, hal ini
dapat dilihat dari persentase susut masak
yang belum menunjukkan penurunan
dari perlakuan terhadap kontrol, namun
masih dalam kisaran normal. Hasil
penelitian ini masih relevan dengan
pendapat Soeparno (1998) persentase
susut masak bervariasi antara 1,5%
sampai dengan 54% dengan kisaran 15% -
40 %. Hal ini menujukkan kehilangan zat
nutrisi akibat pemasakan relatif kecil.
Hasil sidik ragam menunjukkan
perlakuan pemberian air buah mengkudu
pada ayam broiler tidak berpengaruh
nyata (P>0,005) terhadap kadar air
daging. Namun demikian hasil penilitian
menunjukkan penurunan dari P0
dibandingkan perlakuan P1, P2, dan P3
masing-masing 2,5%, 2,7%, dan 4%.
Semakin rendahnya kadar air daging
semakin rendah pula kehilangan berat
daging akibat penguapan. Penurunan
kadar air daging berkorelasi positif
dengan penurunan kadar lemak daging,
dimana lemak tidak dapat mengikat air,
maka semakin tinggi kadar lemak maka
kadar air semakin rendah. Demikian juga
terhadap kadar protein berkorelasi positif
dengan kadar air, karena kemapuan
protein mengikat air, tetapi kenyataan
pada penelitian ini peningkatan kadar
protein tidak diikuti dengan peningkaan
kadar air, hal ini diduga yang terdapat di
dalam daging adalah air bebas yang tidak
terikat oleh protein.
Hasil sidik ragam menunjukkan
perlakuan pemberian air buah mengkudu
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak
daging ( P<0,01). Perbedaan ini jelas
sekali ditunjukkan pada setiap perlakuan,
dimana dari setiap perlakuan mengalami
kadar lemak daging dimulai dari P0
dengan P1 mengalami penurunan kadar
lemak sebesar 32,64%, P0 dengan P2
sebesar 64,04%, dn P0 dengan P3 sebesar
66,52%. Hasil ini membuktikan
pemberian air buah mengkudu mulai dari
P1 sampai P3 efektif menurunkan kadar
lemak daging ayam broiler. Kenyataan ini
sesuai dengan pendapat Wijayakusuma et
al. (1996) bahwa air buah mengkudu
mengandung alkaloidtriterpenoid yang
berfungsi mengatasi darah tinggi dan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 149
kegemukan. Hal ini juga telah diteliti oleh
Solomon (2004), dari peniltian yang
dilakukan air buah mengkudu mampu
mengobati kegemukan pada manusia
dengan tingkat keberhasilan 71%. Dalam
hal ini zat aktif yang berperan dalam
menurunkan kadar lemak daging adalah
senyawa steroid yang disebut â sitosterol.
Senyawa ini bekerja memblok
penyerapan kolesterol sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam
darah dan akhirnya menurunkan kadar
lemak dalam daging.
Hasil sidik ragam menunjukkan
perlakuan pemberian air buah mengkudu
pada ayam broiler berpengaruh sangat
nyata terhadap kadar protein daging
(P<0,01). Hal ini terlihat dari peningkatan
kadar protein dan asam amino yang
terkandung di dalam air buah mengkudu.
Buah mengkudu mengandung asam
amino seperti L-arginine, alanine, dan
mengandung 19,24% protein (Sjabana dan
Bahalwan, 2002).
Ayam broiler membutuhkan
protein untuk hidup pokok,
pertumbuhan jaringan, dan pertumbuhan
bulu (Wahyu, 1992). Protein diperoleh
dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak
dan kelebihan protein akan disimpan di
dalam otot sebagai cadangan energi
(Wahyu, 1992).
SIMPULAN
Pemberian air buah mengkudu
terhadap kualitas karkas ayam broiler
sampai taraf pemberian 75 ml dalam
satu liter air minum belum memperbaiki
persentase berat karkas, dan susut
masak, namun berpengaruh positif
menurunkan persentase lemak abdomen
maupun kadar lemak daging. Demikian
juga terhadap kadar protein daging
menunjukkan peningkatan yang
signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1985. Kemajuan Mutakhir
dalam Ilmu Makanan Ternak
Unggas. Universitas Indonesia,
Jakarta.
Fenita, Y., Hidayat dan M. Sukma. 2008.
Pengaruh pemberian air buah
mengkudu (Morinda citrifilia)
terhadap performans dan berat
organ dalam ayam broiler. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia. Vol 3
no 2 Juli-Desember 2008. Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.
Fenita Y. 2010. Pengaruh pemberian
tepung buah mengkudu (Morinda
citrifolia) dalam ransum terhadap
bobot karkas, bobot organ dalam,
dan kadar kolesterol dalam darah
Tabel 5. Rataan persentase susut masak
Perlakuan Persentase
Susut Masak
(%)
Persentase Lemak
Adbomen (%)
Kadar Air (%) Kadar Lemak
Daging (%)
Kadar Protein
P0 15,45 1,26 72,39 2,42a 20,27a
P1 17,09 1,51 70,52 1,63b 23,49b
P2 15,78 1,26 70,41 0,87c 23,16b
P3 15,78 1,03 69,44 0,81c 23,81b
SD 1,61 0,16 1,93 0,74 1,49
P 0,52ns 0,23ns 0,17ns 0,0001** 0,01*
Keterangan ns = tidek berbeda nyata (P>0,05); SD = Standar Deviasi; P = Probabilitas
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 150
ayam broiler. Seminar Nasional
Rapat Dekan BKS Barat. Fakultas
pertanian Universitas Bengkulu,
Bengkulu
NRC. 1994. Nutrient Requirements of
Poultry. National Academy of
Sciences. Washington, D. C.
Posman, S. 2000 Sari buah mengkudu
mampu redam berbagai penyakit.
Majalah Nova. No 705/XIV: 28-29.
Santoso, U. 1998. Pengaruh pemberian
ekstrak daun keji beling
(Strohilanthes crispus BL) terhadap
performans dan akumulasi lemak
pada broiler. Jurnal Peternakan dan
Lingkungan. V (6): 10-14.
Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gadjah Mada University
Press,. Yogyakarta.
Sjabana,D, dan Bahalwan, R.R. 2002.
Pesona Tradisional dan Ilmiah
Mengkudu. Seri Referensi Herbal.
Salemba Medika. Edisi I, Jakarta.
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Ternak
Unggas. Gajah Mada University
Press, Yokyakarta.
Wijayakusuma, H.S. Darlimata dan A.S
Wirian, 1996. Tanaman Berkhasiat
di Indonesia. Pustaka Kartini,
Jakarta.
Winarno, F. G., 1993. Kimia Pangan dan
Gizi. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Yitnosumarto, S., 1991. Percobaan,
Analisis dan Interprestasinya.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
.
INDEKS PENULIS
VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011
Asnath M. Fuah, 115
A. Nopis, 143
Andi Mushawwir, 77
Basyaruddin Zain, 89
Chairun Nisa, 97
Diding Latipudin, 77
Eli Sahara, 137
Heri D. Putranto, 103
Kamsiah, 125
Kususiyah, 83
Luki Abdullah, 115
Meisji L. Sari, 97
Muhakka, 137
Peni S. Hardjosworo, 97
Rustama Saepudin, 115
Ronny R. Noor, 97
Sofia Sandi, 137
Warnoto, 143
Yenni Okfrianti, 125
Yessy Fitryani, 125
Yosi Fenita, 143
INDEKS SUBJEK
VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011
Apis cerana, 115
Ayam Burgo betina, 103
ayam petelur, 77
broiler, 143
bungkil biji kapas, 137
bungkil kedelai, 137
daging, 125
Daging, 89
ekstrak, 89
fertilitas, 97
Income Over Feed and Chick Cost, 83
integrasi, 115
Itik Pegagan, 97
Katuk, 89
kopi, 115
kualitas karkas, 143
Lemuru, 89
morinda citrifolia, 143
organoleptik, 125
ovarium, 103
oviduk, 103
panas, 77
penetasan, 97
performans, 89
Performans Peraskok, 83
produksi, 115
produksi telur, 103
Protease, fisik, 125
ransum, ayam broiler, 137
regulasi, 77
telur tetas, 97
vitamin E, 89
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA
(Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000
Yang Bertanda Tangan dibawah ini:
Nama : …………………………………………………….....
Lembaga/Perguruan Tinggi : …………………………………………………….....
Alamat :……………………………………………………......
: …………………………………………………….....
Kabupaten/Kodia : …………………………………………………….....
Propinsi : …………………………………………………….....
Kode Pos : …………………………………………………….....
e- mail : …………………………………………………….....
Telepon/HP : ……………………………………………………….
Fax : ……………………………………………………….
Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia:
Volume : ………………………………………………………
Nomor : ………………………………………………………
Sebanyak : ………………………………………………………
Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar ……………………………
Dibayar secara
(a) Langsung
(b) Transfer ke BNI 46 Cabang Bengkulu No Rek. 0121959902 a.n. Gema Pertiwi, S.E.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A
Telp. (0736) 21170 psw. 219.
Atau melalui Email: [email protected] atau [email protected].
PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal)
1. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan.
Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah
harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini
terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember.
2. Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau
melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, ataupun Open Office diketik
menggunakan kertas A4, fonta Times New Roman berukuran 11 kecuali abstrak dan tabel dengan
ukuran fonta 9, margin kiri dan kanan 2,5 cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2
dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman.
3. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar
pustaka)
4. JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika
naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi
dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul.
5. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words
atau Kata kunci tidak lebih dari 5 9lima0 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.
6. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci.
Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.
7. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan
dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka).
8. MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan
singkat serta analisis statistik yang digunakan.
9. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik.
Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan
telah termuat dalam pendahuluan.
10. SIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak
boleh lebih dari satu alenia.
11. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan.
12. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota,
halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah.
Contoh penulisaan daftar pustaka:
Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek. 2001. Different Influence of
Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails.
http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001.
Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang
menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih
sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.
CATATAN: Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di
dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka.
INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim
melalui email: [email protected] dan [email protected].