BAB II
PENYUSUNAN ANGGARAN
A. Gambaran Umum Penyusunan Anggaran
1. Sekilas Tentang Penganggaran
Dalam setiap organisasi, penyusunan anggaran merupakan bagian penting dari
proses pencapaian tujuan. Besar kecil ukuran organisasi sangat menentukan tingkat
kompleksitas proses penyusunan anggaran. Pada tingkatan paling kecil adalah rumah
tangga perorangan dan pada tingkatan besarnya adalah organisasi negara
(pemerintahan) atau bahkan ditinjau dari kompleksitasnya, adalah pada saat kita
mengelola organisasi yang berdimensi multinasional.
Memang di masa manusia masih hidup pada tingkat kesederhanaan yang luar
biasa; atau pada saat sumber daya organisasi berlimpah, boleh jadi penyusunan
anggaran tidaklah mendesak diperlukan. Adakalanya organisasi bahkan tidak
memikirkan persoalan penganggaran yang demikian itu. Demikianlah yang tersirat dari
sejarah perkembangan sistem penganggaran hingga tahun 1215; saat
ditandatanganinya Magna Charta oleh Raja Inggris (King John).
Kala itu, King John meminta partisipasi Rakyat melalui pembayaran pajak untuk
membiayai kegiatan pemerintahannya setelah dirasakannya bahwa sumber daya yang
dimiliki kerajaannya kian terbatas akibat pembiayaan perang yang terus berlangsung.
Rakyat pada prinsipnya menolak untuk membayar pajak sepanjang tidak ada kejelasan
mengenai peruntukan penggunaan dana yang dikumpulkan dari pembayaran pajak
tersebut. Semboyan ”no tax without representation“ (tak ada pajak tanpa keterwakilan
rakyat) menjadi sangat populer di masa itu. Semboyan tersebut sesungguhnya
menggambarkan tuntutan rakyat untuk melakukan pengawasan atas penggunaan dana
(anggaran) pemerintahan King John.
Sejak itulah penganggaran menjadi bagian dari alat pertanggungjawaban. Bagi
organisasi pemerintahan yang demokratis seperti pemerintahan Republik Indonesia,
penganggaran menjadi alat pertanggungjawaban kepada rakyat, tentang sejauh mana
anggaran dikelola; apakah untuk kegiatan meningkatkan kemakmuran rakyat atau justru
hanya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan semata. Rakyat yang kelak
akan menilainya.
8 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
2. Praktik Penyusunan Anggaran di Indonesia
Apabila kita perhatikan, praktik penganggaran di Indonesia menunjukkan
fenomena seperti disebutkan di atas. Pada lebih dari 15 tahun pertama usia
pemerintahan Republik Indonesia, kendati Undang-Undang Dasar 1945 telah memuat
amanat untuk membentuk Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, tapi dalam kenyataannya hampir tidak dapat ditemukan adanya praktek
penyusunan anggaran secara komprehensif.
Dalam situasi politik dan keamanan yang diwarnai chaostic itu pemerintahan
berjalan nyaris tanpa kejelasan sistem anggaran. Benar bahwa Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU-APBN) memang ditetapkan,
tetapi itu tak lebih dari formalitas saja bagi sebuah negara seperti Indonesia yang harus
dapat menjamin kemakmuran rakyat di seluruh wilayahnya yang terbentang dari
Sabang hingga Merauke. Hal tersebut didukung oleh ketiadaan dokumentasi anggaran,
walau kita maklum akan terjadinya dispute antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat terkait penetapan UU-APBN pada Tahun 19601. Lebih jauh, sebagai alat
pertanggungjawaban, UU-APBN bahkan tak menunjukkan praktiknya hingga Tahun
1966, karena PAN (Perhitungan Anggaran Negara) sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik UU-APBN ternyata baru dibuat pada Tahun 1967.
Dengan demikian, praktik penganggaran di Indonesia yang secara nyata dapat
ditemukan baru dimulai di masa Orde Baru (masa lebih dari setelah 20 tahun Indonesia
Merdeka). Di masa ini, sosok pola penyusunan anggaran pun mulai menampakkan
kejelasannya. Paling kurang, prosedur penyusunan anggaran yang mengakomodir
kepentingan hilir (bottom-up) juga dijalankan.
Melalui pola penganggaran yang lebih jelas, pencapaian (kinerja) pemerintah pun
secara fisik dapat dilihat. Bahkan, terlepas dari berbagai persepsi yang berkembang, di
sektor pertanian, kontribusi pola penganggaran ini sempat menghasilkan swasembada
pangan. Akan tetapi semua capaian kemudian seakan sirna akibat kegagalan di banyak
lini yang lainnya, terutama ketimpangan akibat keberpihakan lebih kepada pemilik
modal akibat asumsi pembangunan yang yakin betul terhadap prinsip trickle-down
effect.
9 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
1 Soeriaatmadja, Arifin (1986), hal. 15.
3. Penerapan Pola Baru Penyusunan Anggaran di Indonesia
Lahirnya pola baru penyusunan anggaran berdasarkan Undang-Undang
Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) didasarkan atas pelajaran dari praktik
penyusunan anggaran yang pernah berlaku di Indonesia sebelumnya. Praktik tersebut
diyakini tidak dapat mendorong sikap bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
Keuangan Negara (APBN). Lebih dari itu, pola tersebut dipandang tidak bertumpu pada
kesadaran menjadikan anggaran sebagai alat pertanggungjawaban. Oleh karena itu
keberhasilan pembangunan saat itu –bagi rakyat pada umumnya-- dirasakan semu
belaka (tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya).
Metode tradisional dalam penyusunan anggaran atau line item budgeting yang
selama ini digunakan tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus
dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan. Bila kita cermati, sejak masa Orde
Baru hingga masa awal Orde Reformasi (pasca Reformasi 1998), Indonesia
menerapkan pola penganggaran berbasis Input. Dalam pola ini, pertimbangan
penyusunan anggaran lebih didasarkan pada kebutuhan dana untuk membiayai
kegiatan pemerintahan. Dana sebagai Input pokok menentukan besaran jumlah
anggaran yang akan dibelanjakan.
Di sisi lain, kesinambungan program pun tidak terukur dengan jelas. Beruntung
pada saat itu rejim pemerintahan berlangsung terus-menerus hingga sekitar 32 tahun
masa pemerintahan sehingga program kerjanya masih bersumber dari pemerintahan
yang sama. Sementara itu, represif-nya pemerintahan saat itu cukup untuk membuat
tuntutan rakyat menjadi sesuatu yang langka. Bahkan lembaga legislatif pun hamper tak
mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ini. Dengan demikian
fungsi penganggaran (budget function) lembaga ini pun nyaris terabaikan.
Dewasa ini, kita berada di era global yang jauh lebih transparan. Akses rakyat
terhadap informasi mengenai hal kepemerintahan pun demikian luas dan terbuka.
Dengan demikian tuntutan rakyat pun menjadi jauh lebih tajam dan terasakan. Oleh
karena itu, pola penganggaran yang berbasis hasil (outputs, results) menjadi penting
untuk mampu mengakomodir tuntutan rakyat tersebut.
Sebagai pelayan rakyat, pemerintah atau dalam hal ini satuan kerja, dituntut dapat
menyediakan layanan publik yang jauh lebih baik dan efisien. Demikian pula dengan
10 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
ketersediaan infrastruktur dan berbagai layanan penggerak perekonomian rakyat yang
terus diminta untuk disediakan. Dengan demikian, pola penganggaran berbasis kinerja
(performance based budgeting) memperoleh momentum tepat untuk menjadi pilihan
alternatif pola penyusunan anggaran.
Sebagai Undang-Undang yang hadir dalam semangat dan amanat reformasi,
Undang-Undang bidang Keuangan Negara memantapkan pilihan pada bagaimana
memenuhi tuntutan rakyat secara memadai. Oleh karena itu, pola penganggaran
berbasis kinerja yang menghendaki penyusunan anggaran berdasarkan capaian
kegiatan yang diinginkan dirasakan tepat untuk diadopsi sebagai model dalam
memenuhi tuntutan rakyat. Dalam pola penganggaran ini, pertimbangan penyusunan
anggaran lebih didasarkan pada apa yang ingin dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan
pemerintah dalam memenuhi kebutuhan riil di masyarakat atau dalam menunjang
kualitas pemenuhan kebutuhan dimaksud.
Dana yang diperlukan lebih merupakan konsekuensi dari proses kalkulasi antara
harga faktor produksi dengan volume kegiatan atau hasil yang diinginkan. Dengan
demikian, besaran jumlah anggaran yang akan dibelanjakan merupakan hasil pemikiran
mendalam mengenai kebutuhan yang diinginkan (need), kemampuan yang dimiliki
(buying power) dan prioritas yang perlu dipenuhi segera (want). Pemikiran tersebut
diharapkan benar-benar merupakan upaya pemenuhan kebutuhan (demand) riil yang
dapat membantu masyarakat meningkatkan taraf kemakmurannya.
Oleh karena itu, misi organisasi akan menjadi faktor penting yang akan
menentukan kegiatan tiap satuan kerja pemerintah. Ia menjadi titik pusat (core
competence) yang mewarnai hasil kerja dan bentuk kegiatan satuan kerja dimaksud.
Setiap kali satuan kerja menyiapkan penyusunan anggaran, misi akan menjadi titik tolak
dalam mempertimbangkan hasil apa yang ingin dicapainya.
Pola baru penyusunan anggaran yang kini diberlakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia juga menghendaki pertimbangan kesinambungan antar kegiatan dan/atau
hasil antara tahun lalu, tahun ini, dan tahun mendatang. Untuk itu kerangka penyusunan
anggarannya setidaknya mempertimbangkan kerangka pengeluaran jangka menengah
(medium term expenditure framework, MTEF). Dalam kerangka MTEF ini, penyusunan
anggaran mempertimbangkan jangka pengeluaran, minimum, dalam tiga tahunan, yaitu
tahun X-1, tahun X, dan tahun X+1. Dengan pertimbangan tersebut diharapkan suatu
kegiatan atau hasil yang diinginkan dari penyediaan dana anggaran akan dapat secara
11 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
tuntas terakomodasi dan pada akhirnya dapat langsung memberi manfaat kepada
masyarakat, begitu hasil (produk) itu selesai diproduksi.
Sebagai contoh, jika penyusunan anggaran menghendaki pembuatan gedung
sekolah, maka dalam kerangka pengeluaran tersebut harus sudah diakomodasikan
seluruh kebutuhannya dari mulai tanah, bangunan, isi bangunan, dan siapa yang akan
memanfaatkan bangunan tersebut (ketersediaan guru, murid, dan fasilitas lain terkait
operasionalisasi gedung sekolah dimaksud).
Melalui pola tersebut diharapkan tidak ada hasil (produk) anggaran pemerintah
yang selanjutnya menjadi barang tak bertuan dan tidak memberikan manfaat kepada
masyarakat secara riil. Hal tersebut karena produksi barang didasarkan atas realitas
kebutuhan dan keberadaan barang dikaitkan dengan pemanfaatannya.
B. Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, metode penyusunan anggaran disempurnakan dengan
menggunakan metode Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based
Budgeting). Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan penyusunan anggaran
yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran dan hasil yang
diharapkan. Metode penyusunan anggaran ini berfokus pada pengukuran pencapaian
program/kegiatan yang akan dilaksanakan oleh satuan kerja. Berbeda dengan
penganggaran tradisional yang menekankan pada besarnya alokasi anggaran sebelum
menyusun kegiatan, PBK menyusun kegiatan dan indikator keluaran dalam rangka
penetapan alokasi yang efisien yang sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya akan
disandingkan dengan keluaran yang akan dicapai. Hal yang sangat penting dalam
upaya menuju PBK adalah sinkronisasi program dan kegiatan. Sinkronisasi ini
merupakan upaya untuk menyusun alur keterkaitan antara kegiatan dan program
terhadap kebijakan yang melandasinya. Dengan demikian kegiatan yang dilaksanakan
akan menghasilkan keluaran yang mendukung sasaran kinerja program dan
pencapaian tujuan kebijakan.
Penganggaran dengan pendekatan kinerja fokus pada efisiensi penyelenggaraan
suatu aktivitas. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input.
Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan
input yang sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih
12 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
sedikit. Secara matematis efisiensi dapat digambarkan dalam formula produktifitas di
bawah ini :
Gambar 1. Tingkat Produktivitas
OUTPUT= PRODUKTIVITAS
INPUT
Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti
yang terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada
tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu
anggaran biaya yang cukup dan penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif.
Tolok ukur keberhasilan system anggaran ini adalah performance atau prestasi dari
tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien. Dengan
membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja
dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia
dengan hasil yang diharapkan.
PBK dimulai dengan menetapkan rencana strategis (renstra) yang menjelaskan
visi, misi dan tujuan dari unit kerja, serta pendefinisian program yang hendak
dilaksanakan beserta kegiatan-kegiatan yang mendukung program tersebut.
Selanjutnya ditetapkan rencana kinerja tahunan yang mencakup tujuan/sasaran,
program, kegiatan, indikator dan target yang ingin dicapai dalam waktu satu tahun.
Penetapan target kinerja pada program terlihat dari indikator outcome, sedangkan
penetapan target kinerja kegiatan terlihat dari indikator keluarannya. Kegiatan-kegiatan
tersebut mencakup kegiatan tugas pokok dan fungsi (pelayanan, pemeliharaan,
administrasi umum) dan kegiatan dalam rangka belanja investasi.
1. Prinsip dan Tujuan PBK
Prinsip-prinsip dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi :
a. Alokasi anggaran berorientasi pada kinerja
Alokasi anggaran yang disusun dalam dokumen rencana kerja dan anggaran
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang efisien. Program dan kegiatan harus diarahkan
untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan dalam rencana.
13 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
b. Fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap
menjaga prinsip akuntabilitas
Prinsip ini menggambarkan keleluasaan manajer dalam melaksanakan
kegiatan untuk mencapai keluaran sesuai rencana. Keleluasaan tersebut meliputi
penentuan cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan
hasilnya pada saat pelaksanaan kegiatan, yang memungkinkan berbeda dengan
rencana kegiatan. Cara dan tahapan kegiatan beserta alokasi anggaran pada saat
perencanaan merupakan dasar pelaksanaan kegiatan.
c. Money follow function, function followed by structure
Money follow function merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa
pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas
dan fungsi unit kerja sesuai dengan maksud pendiriannya. Function followed by
structure adalah prinsip yang menggambarkan bahwa struktur organisasi yang
dibentuk sesuai dengan fungsi yang diemban.
Penerapan prinsip ini berkaitan dengan pertimbangan bahwa:
Efisiensi alokasi anggaran dapat dicapai, karena dapat dihindari overlapping
tugas/fungsi/kegiatan.
Pencapaian output dan outcomes dapat dilakukan secara optimal, karena
kegiatan yang diusulkan masing-masing unit kerja benar-benar merupakan
pelaksanaan tugas dan fungsinya.
2. Komponen PBK
Sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga, penyusunan anggaran berbasis kinerja
memerlukan komponen-komponen sebagai berikut :
a. Indikator Kinerja
Indikator Kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan suatu program atau kegiatan.
b. Standar Biaya
Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada
awal tahap perencanaan anggaran berbasis kinerja dan nantinya menjadi standar
14 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
biaya keluaran. Pada umumnya, standar biaya tidak digunakan oleh negara-
negara yang telah terlebih dahulu menerapkan PBK. Penggunaan standar biaya
pada penerapan PBK di Indonesia adalah sebagai alat untuk menilai efisiensi
pada masa transisi dari sistem penganggaran yang berbasis input menjadi sistem
penganggaran yang berbasis output. Standar biaya merupakan alat bantu untuk
penyusunan anggaran dan merupakan standar kebutuhan yang paling efisien
untuk menghasilkan keluaran. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, biaya
yang dikeluarkan dapat berbeda dengan standar biaya sepanjang keluaran
kegiatan tetap dapat dicapai.
c. Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah
implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas
kinerja, baik dari sisi efisiensi maupun efektivitas suatu program atau kegiatan.
Cara pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil
terhadap target (dari sisi efektivitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan
sumber daya (dilihat dari sisi efisiensi).
3. Penerapan PBK
PBK memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan
serta dampak/hasilnya bagi masyarakat luas. Informasi kinerja yang dicantumkan
tidak hanya keluaran dan hasil pada tingkatan program/kegiatan tetapi juga
menjelaskan hubungan erat antar tingkatan tersebut. Keterkaitan dimaksud terlihat
sejak dari perumusan visi dan misi yang selanjutnya diterjemahkan dalam
program beserta alokasi anggarannya. Penentuan indikator kinerja sebagai bagian
dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja akan mendukung
perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya.
Anggaran disusun dengan mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja
(output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan.
Hasil kerjanya harus sebanding atau lebih besar dari biaya atau input yang telah
ditetapkan.
Untuk dapat menyusun anggaran berbasis kinerja dengan baik maka perlu
diperhatikan prinsip-prinsip dalam penyusunan anggaran, yaitu :
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
15 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan,
sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau
proyek yang dianggarkan. Oleh karena itu, anggota masyarakat berhak
mengetahui proses anggaran dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berhak menuntut pertanggungjawaban
atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
b. Disiplin Anggaran
Pendapatan yang direncanakan harus dapat terukur secara rasional dan
dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang
dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja dan didukung dengan
adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan/ proyek yang belum/tidak tersedia
anggarannya.
c. Keadilan Anggaran
Pemerintah berkewajiban mengalokasikan penggunaan anggarannya secara
adil tanpa diskriminasi sehingga dapat dinikmati oleh seluruh kelompok
masyarakat.
d. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Setiap kegiatan yang direncanakan harus efektif dalam pencapaian
kinerjanya dan efisien dalam pengalokasian dananya.
Langkah-langkah dalam penerapan PBK adalah sebagai berikut :
a. Pemahaman tujuan dan kerangka logis PBK sehingga perencana mampu
merumuskan kinerja yang akan dicapai melalui perumusan keluaran/output.
b. Penyediaan dokumen sumber yang meliputi: dokumen perencanaan sebagai
acuan alokasi anggaran, dokumen laporan akuntabilitas kinerja yang berisi
pencapaian kinerja tahun sebelumnya, dan dokumen peraturan mengenai
tugas fungsi organisasi.
c. Pengalokasian anggaran dengan memperhatikan identifikasi proritas
program/kegiatan, target yang hendak dicapai pada tahun yang dianggarkan,
ketersediaan anggaran yang ada, dan penuangan anggaran dalam rincian
pendanaan.
16 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
d. Pengukuran dan evaluasi kinerja berdasarkan sasaran dan/atau standar
kinerja kegiatan yang telah ditetapkan.
C. Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) yang
disusun oleh kementerian negara/lembaga pada dasarnya merupakan kumpulan dari
usulan rencana kerja dan anggaran satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rencana kerja dan
anggaran disusun mulai dari tingkat satuan kerja yang selanjutnya melalui proses
secara internal akan menjadi RKA-KL. Adapun proses penyusunan rencana kerja dan
anggaran satuan kerja dapat dijelaskan secara sekilas sebagai berikut :
1. Perumusan Capaian Satuan Kerja Sesuai Misi Dan Visi
Sebagaimana dijelaskan dalam gambaran umum penyusunan anggaran, hal
penting dalam menyusun rencana kerja dan anggaran dalam pola baru
penyusunan anggaran ini adalah melakukan reorientasi terhadap misi organisasi
(d.h.i. satuan kerja). Misi organisasi akan menentukan langkah satuan kerja dalam
merencanakan program kerja dan kebutuhan anggarannya untuk tiap tahun
bahkan dalam rentang waktu (tahun) tertentu seperti jangka menengah atau
jangka panjang.
Pada dasarnya, misi organisasi akan menjadi patokan dalam penyusunan
produk apa yang seyogianya dihasilkan oleh organisasi tersebut. Membaca
tuntutan rakyat secara riil dan up-to-date adalah hal penting dalam
mengakomodasi tuntutan rakyat sehingga keberadan satuan kerja dengan
layanan yang diberikannya dapat memenuhi tuntutan riil rakyat dalam rangka
meningkatkan kadar kesejahteraannya.
Produk layanan utama satuan kerja akan terus dilengkapi dan ditingkatkan
guna penyempurnaan layanan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, produk
layanan satuan kerja bersifat terus-menerus dan bukan merupakan produk final,
oleh karena itu komprehensitas perencanaan baik dari segi substansi, time-line,
maupun keterkaitanya dengan kewajiban dan langkah-langkah di masa
mendatang sangat diperlukan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut,
performance (capaian) organisasi akan dapat terencana dengan baik.
17 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Sementara itu, sebagai bagian dari sistem perencanaan, setiap instansi
pemerintah diwajibkan menyusun Rencana Strategis. Perencanaan strategis
merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama
kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan
potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul. Selanjutnya, Sesuai
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional bahwa
Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan Rancangan Rencana Strategis
Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya dengan berpedoman kepada Rancangan Awal Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan menetapkan Renstra-KL setelah
disesuaikan dengan RPJMN.
Rencana strategis mengandung visi, misi, tujuan/sasaran, dan program yang
realistis dan mengantisipasi masa depan yang diinginkan dan dapat dicapai.
Dengan demikian, perumusan capaian pada satuan kerja dapat dilihat pada
rencana strategis yang telah disusun. Sesungguhnya rencana strategis inilah yang
harus menjadi perwujudan dari perumusan capaian satuan kerja terhadap
misinya.
2. Penyusunan Dan Penyampaian Rencana Kerja Dan Anggaran
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) terdiri dari rencana kerja dan alokasi
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Alokasi
anggaran tersebut diuraikan dalam program dan kegiatan yang dirinci menurut
jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya serta sumber dan sasaran
pendapatan.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran pada satuan kerja diawali dengan
penyusunan rencana kerja tahunan sebagai penjabaran dari rencana strategisnya.
Hal terpenting bagi satuan kerja dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran
adalah menentukan alokasi anggaran untuk kegiatan dasar karena kegiatan ini
merupakan harus terus menerus dilaksanakan oleh satuan kerja dalam rangka
melayani masyarakat. Kegiatan dasar adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar satuan kerja yang merupakan syarat minimal
berjalannya suatu organisasi atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka pemenuhan pelayanan publik/birokrasi sesuai tugas dan fungsi yang 18 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
diemban. Contoh kegiatan dasar antara lain: belanja untuk pembayaran gaji dan
tunjangan pegawai, belanja untuk pemeliharaan peralatan dan gedung kantor, dan
belanja pengadaan alat tulis kantor.
Pertimbangan selanjutnya dalam penyusunan anggaran adalah kegiatan
penunjang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan. Kegiatan
penunjang dapat berupa belanja untuk sosialisasi dan koordinasi, pengadaan
peralatan dan mesin, pembangunan/rehabilitasi/renovasi gedung, pembangunan
sarana penunjang lainnya.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran berdasarkan jenis belanja dan
peruntukannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Belanja Pegawai
Belanja Pegawai adalah kompensasi atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai
pemerintah (pejabat negara, PNS dan Pegawai yang dipekerjakan oleh
pemerintah yang belum berstatus PNS) yang bertugas di dalam maupun luar
negeri, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja
Pegawai terdiri dari :
1) Gaji
2) Gaji Dokter PTT dan Bidan PTT
3) Honorarium, uang lembur, dan vakasi
4) Lain – lain
Yang termasuk dalam belanja pegawai lain-lain adalah :
1) Belanja pegawai untuk dharma siswa/mahasiswa asing;
2) Belanja pegawai untuk tunjangan ikatan dinas (TID);
3) Tunjangan selisih penghasilan (BPPT);
4) Honorarium yang bersumber dari PNBP;
5) Tunjangan lainnya yang besarannya telah mendapatkan persetujuan Menteri
Keuangan.
6) Uang Lauk Pauk TNI/Polri, Uang Lauk Pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung
perhari per anggota.
7) Uang Makan PNS
Khusus belanja pegawai TNI/Polri. Besarnya uang lauk pauk bagi anggota
TNI/Polri dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
19 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Perhitungan untuk gaji dan tunjangan dibuat berdasarkan masing - masing mata
anggaran dan dibulatkan dalam ribuan rupiah.
b. Belanja Barang.Belanja barang yaitu pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang
habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang
tidak dipasarkan. Pengalokasian anggaran untuk belanja barang mengacu pada
standar biaya yang telah ditetapkan. Sedangkan pengalokasian anggaran untuk
kegiatan yang belum ditetapkan standar biayanya dilakukan atas dasar Rincian
Anggaran Belanja (RAB) yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang,
dengan memperhatikan harga pasar yang berlaku dan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai jenis serta spesifikasi yang diperlukan. Belanja
Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja
Pemeliharaan, Belanja Perjalanan Dinas, dan Belanja Honorarium yang terkait
Output Kegiatan.
1) Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain
dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang
yang habis pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris
kantor, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai
pekerjaan yang bersifat non fisik dan secara langsung menunjang tugas
pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang
nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi (nilai satuan barang kurang
dari Rp 300.000,00).
2) Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk
mempertahankan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke
dalam kondisi normal. Belanja pemeliharaan meliputi antara lain
pemeliharaan gedung dan bangunan kantor, taman, jalan lingkungan kantor,
rumah dinas, kendaraan bermotor dinas dan lain-lain yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pemerintahan.
3) Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk
membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan
jabatan.
20 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
4) Belanja Honorarium yang terkait dengan Output Kegiatan adalah belanja
dalam rangka mendukung kegiatan yang bersifat temporer dapat disediakan
untuk kegiatan sepanjang :
a) Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja;
b) Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;
c) Sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi lain;
d) Sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau
di luar jam kerja;
e) Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS
disamping tugas pokoknya sehari-hari;
f) Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.
Contoh:
(1) Honorarium yang disediakan untuk PNS yang ditunjuk sebagai
pengelola keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi kuasa
pengguna anggaran/kuasa pengguna barang. Honorarium ini
diberikan karena perangkapan jabatan/penugasan dan
tanggungjawab.
(2) Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan
Draft Peraturan Perundang-undangan yang mengikutsertakan
satker/instansi lain yang terkait. Honorarium ini diberikan dalam
rangka mencapai keluaran berupa peraturan;
(3) Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan
Standar Biaya Khusus Kementerian/Lembaga yang anggotanya
terdiri dari unsure kementerian/lembaga, Kementerian Keuangan,
dan Badan Pusat Statistik. Honorarium ini disediakan dalam
rangka mencapai keluaran berupa standar biaya kegiatan
tertentu.
c. Belanja Modal
Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset kementerian negara/lembaga
dengan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan. Dengan demikian,
21 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap
dan aset lainnya yang member manfaat lebih dari satu perode akuntansi.
1) Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut: berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, nilainya relatif material (di atas Rp 300.000,00 per unit). Sedangkan
batasan minimal kapitalisasi untuk Gedung dan Bangunan dan Jalan, Irigasi
dan Jaringan adalah sebesar Rp 10.000.000,00.
2) Aset Lainnya mempunyai ciri-ciri/karakteristik yaitu: tidak berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1
(satu) tahun, nilainya tidak material.
Berdasarkan hal di atas, aset akan dikategorikan dalam Belanja Modal apabila
memenuhi kriteria:
a) Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau
asset lainnya;
b) Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap;
c) Aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
d) Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
Belanja modal terdiri dari:
1) Belanja Modal Tanah
Pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, balik
nama dan sewa tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat
adminstratif sehubungan dengan pembentukan modal, perolehan hak dan
kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.
2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Pengeluaran untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang
dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal/aset tetap, termasuk
biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas
22 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
peralatan dan mesin berat yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa
manfaat maupun meningkatkan efisiensinya.
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Pengeluaran untuk perencanaan, pembangunan, pengawasan dan
pengelolaan pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan
bangunan negara yang perhitungannya mengikuti Standar Pembangunan
Gedung Negara, termasuk di dalamnya pengadaan berbagai kebutuhan
pembangunan gedung dan bangunan.
Termasuk kelompok belanja modal ini adalah:
a) pengadaan/pembangunan berbagai gedung dan bangunan yang
berfungsi untuk perkantoran, hunian dan pelayanan;
b) belanja untuk kelengkapan prasarana dan sarana di dalam dan di
sekitar (sepanjang beranda di dalam komplek) gedung dan bangunan
tersebut. Misalnya instalasi listrik, air, telepon, jalan komplek, pagar,
gorong-gorong lingkungan, pertamanan, lapangan parkir dll;
c) biaya-biaya untuk kegiatan rehabilitasi, renovasi dan restorasi gedung
dan bangunan yang diharapkan dapat memperpanjang masa manfaat
dari aktiva maupun meningkatkan efisiensinya.
4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Pengeluaran yang diperlukan untuk pembangunan,
peningkatan/penambahan, penggantian, pembuatan serta perawatan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai jaringan atau merupakan
bagian dari jaringan, misalnya: jalan, jembatan, dam, embung, jaringan
pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik
dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai
prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi, akan tetapi tidak termasuk
instalasi yang terdapat di dalam gedung dan bangunan sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Belanja Modal Gedung dan Bangunan. Dalam
kriteria ini termasuk biaya yang berhubungan dengan perencanaan,
pengawasan, dan pengelolaan pembangunan prasarana dan sarana
tersebut di atas.
5) Belanja Modal Fisik Lainnya
23 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk
pengadaan pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jaringan, jalan, irigasi, dll.
Termasuk dalam belanja ini: kontrak sewa beli (leasehold),
pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang
purbakala dan barangbarang untuk museum, serta hewan ternak, ternak
peliharaan, buku-buku dan jurnal ilmiah.
Perhitungan dan penilaian belanja modal dilakukan berdasarkan standar
biaya sepanjang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian atas pekerjaan yang
belum ditetapkan dalam standar biaya dilakukan atas dasar Rincian
Anggaran Biaya (RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan
memperhatikan harga pasar yang berlaku dan jenis serta spesifikasi yang
diperlukan.
6) Bunga
Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok
utang (principal outstanding), baik utang dalam negeri maupun luar negeri
yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman.
7) Subsidi
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada
perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau
mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada
perusahaan negara dan perusahaan swasta.
8) Bantuan Sosial
Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada
masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan
atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya untuk lembaga non
pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Yang termasuk kedalam
bantuan sosial adalah :
24 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
a) Bantuan kompensasi sosial. Transfer dalam bentuk uang, barang atau
jasa yang diberikan kepada masyarakat, sebagai dampak dari adanya
kenaikan harga BBM.
b) Bantuan kepada lembaga pendidikan dan peribadatan. Transfer dalam
bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada lembaga
pendidikan dan peribadatan.
Dalam pelaksanaan penyusunan anggaran, perlu pula diperhatikan adanya
kegiatan/subkegiatan yang dibatasi maupun yang tidak diperkenankan untuk
dilaksanakan. Adapun kegiatan/subkegiatan yang dibatasi dalam RKA adalah
sebagai berikut :
1) Penyelenggaraan rapat, rapat dinas, seminar, pertemuan, lokakarya,
peresmian kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi pada hal-hal yang sangat
penting dan dilakukan sesederhana mungkin.
2) Pemasangan telepon baru, kecuali untuk satuan kerja yang belum ada sama
sekali.
3) Pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi satuan kerja (antara lain: mess, wisma,
rumah dinas/rumah jabatan, gedung pertemuan), kecuali untuk gedung yang
bersifat pelayanan umum (seperti rumah sakit, rumah tahanan, pos
penjagaan) dan gedung/bangunan khusus (antara lain: laboratorium dan
gudang).
4) Pengadaan kendaraan bermotor, kecuali :
a) Kendaraan fungsional seperti:
(1) ambulan untuk rumah sakit;
(2) cell wagon untuk rumah tahanan;
(3) kendaraan roda dua untuk petugas lapangan.
b) Pengadaan kendaraan bermotor untuk satuan kerja baru yang sudah
ada ketetapannya dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (Menneg PAN) dan dilakukan secara bertahap sesuai dana
yang tersedia.
c) Penggantian kendaraan operasional yang benar-benar rusak berat
sehingga secara teknis tidak dapat dimanfaatkan lagi.
25 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
d) Penggantian kendaraan yang rusak berat yang secara ekonomis
memerlukan biaya yang besar untuk selanjutnya harus dihapuskan dari
daftar inventaris dan tidak diperbolehkan dialokasikan biaya
pemeliharaannya (didukung oleh berita acara
penghapusan/pelelangan).
5) Kendaraan roda 4 dan atau roda 6 untuk keperluan antar jemput pegawai
dapat dialokasikan secara sangat selektif. Usulan pengadaan kendaraan
bermotor memperhatikan azas efisiensi dan kepatutan.
Kegiatan/subkegiatan yang tidak dapat ditampung dalam RKA yaitu:
1) Perayaan atau peringatan hari besar, hari raya dan hari ulang tahun
Kementerian Negara/Lembaga (K/L).
2) Pemberian ucapan selamat, hadiah/tanda mata, karangan bunga, dan
sebagainya untuk berbagai peristiwa.
3) Pesta untuk berbagai peristiwa dan POR (Pekan Olah Raga) pada K/L.
4) Pengeluaran lainnya ntuk kegiatan sejenis/serupa dengan tersebut di atas.
5) Kegiatan yang memerlukan dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP)
/Peraturan Presiden (Perpres), namun pada saat penelaahan RKA belum
ditetapkan dengan PP/Perpres.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga menyebutkan
bahwa RKAKL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Berdasarkan hal tersebut, maka rencana kerja dan anggaran pada
satuan kerja selanjutnya diusulkan secara berjenjang yang nantinya akan
dikompilasi pada tingkat kementerian negara/lembaga sebagai RKA-KL untuk
disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
Penyusunan rencana kerja dan anggaran sebagaimana telah berjalan
selama ini menggunakan program aplikasi RKA-KL yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Aplikasi ini memungkinkan
satuan kerja untuk menyusun rencana kerja dan anggaran berdasarkan
program/kegiatan/subkegiatan, jenis belanja, indikator kinerja, akun dan rencana
penarikan dana.
26 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
3. Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara /Lembaga
Pada dasarnya, penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKA-K/L) telah dilaksanakan secara internal pada kementerian
negara/lembaga masing-masing sebelum disampaikan kepada Kementerian
Keuangan. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan rencana kerja dan
rencana strategis kementerian negara/lembaga secara keseluruhan dengan
alokasi anggaran yang tersedia. Pada tahap ini, kementerian negara/lembaga
mulai menentukan apa saja kegiatan dan belanja yang merupakan prioritas yang
harus dialokasikan anggarannya ataupun kegiatan dan belanja yang tidak prioritas
dan dapat ditunda pelaksanaannnya.
RKA disusun mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu
indikatif yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pagu indikatif
merupakan perkiraan pagu anggaran yang diberikan kepada kementerian
negara/lembaga untuk setiap program. Selanjutnya, RKA tersebut ditelaah oleh
Bappenas dan Kementerian Keuangan. Penelaahan tersebut meliputi penelaahan
atas kesesuaian program dalam rangka menentukan program prioritas nasional
maupuan prioritas departemen.
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Edaran pagu sementara bagi
masingmasing program yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan. Atas
dasar surat edaran tersebut, kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL
yang selanjutya disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk dikompilasi
dalam suatu Rencana Kerja dan Anggaran Pemerintah (RKAP).
Berdasarkan RKAP tersebut selanjutnya disusun suatu Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dalam bentuk Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). RUU APBN ini selanjutnya dilengkapi dengan catatan mengenai berbagai
dasar pemikiran/pertimbangan yang dipergunakan dalam penyusunan anggaran
yang sejak lama dikenal sebagai Nota Keuangan. RUU APBN bersama Nota
Keuangan yang dipersiapkan Kementerian Keuangan tersebut selanjutnya dibawa
ke Sidang Kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden.
RUU APBN dan Nota Keuangan tersebut, setelah disetujui dalam Sidang
Kabinet selanjutnya akan disampaikan kepada DPR pada tanggal 16 Agustus
27 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
(sebagai bagian dari konvensi kegiatan kenegaraan Presiden di DPR).
Penyampaian tersebut merupakan sikap resmi pemerintah mengenai rencana
kerja dan anggaran yang dipersiapkannya dalam menyiapkan layanan kepada
rakyat sesuai janjinya dalam kampanye pemilihan presiden yang mendasari
terbentuknya pemerintahannya.
Menindaklanjuti penyampaian tersebut, DPR sebagai representasi rakyat
akan menguji dan membahas rencana kerja dan anggaran dimaksud, “apakah
telah sesuai dengan tuntutan rakyat atau belum”. Pengujian dan pembahasan
yang dilakukan DPR pada akhirnya akan melahirkan UU-APBN yang merupakan
otorisasi anggaran kepada pemerintah secara definitif. Dengan demikian, kini RKA
itu sudah memperoleh status sebagai rencana yang secara definitif siap
dilaksanakan.
4. Rencana Kerja Dan Anggaran Definitif
Berdasarkan persetujuan DPR terhadap RUU-APBN, tiap-tiap kementerian
negara/lembaga dapat segera melakukan konsolidasi dengan satuan-satuan kerja
pada lingkup kementerian negara/lembaganya. Konsolidasi dimaksudkan untuk
melihat kembali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi antara RKA yang pernah
dibuatnya dan RKA yang telah memperoleh persetujuan DPR secara definitif.
Konsolidasi ini sekaligus juga memungkinkan kementerian negara segera
mempersiapkan transformasi dokumen dari RKA menjadi daftar isian pelaksanaan
anggaran (DIPA).
Sementara itu, pasca persetujuan DPR, Kementerian Keuangan juga
melakukan konsolidasi guna menyiapkan peraturan presiden mengenai rincian
anggaran. Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga menyiapkan edaran untuk
meminta kementerian negara/lembaga segera menyampaikan DIPA untuk
ditelaah dan diberi tanda bahwa atas DIPA tersebut, Kementerian Keuangan telah
maklum dan siap untuk menyiapkan rencana pencairan dananya.
Pada prinsipnya, rencana kerja dan anggaran definitif yang sudah
seharusnya memperoleh persetujuan DPR paling lambat tanggal 31 Oktober,
selanjutnya sudah siap dilaksanakan sambil dipersiapkannya proses administratif
atas dokumentasinya.
5. Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
28 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Sebagaimana dijelaskan pada bagian di atas, penyusunan DIPA lebih
merupakan proses administratif pada tingkat dokumentasi untuk keperluan
manajerial dan alat uji akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran. Oleh karena
itu, sinergi antara kementerian negara/lembaga (d.h.i. satuan-satuan kerja)
dengan Bendahara Umum Negara sangat penting bagi keberhasilan pelaksanaan
anggaran secara keseluruhan.
Dalam pasal 4 ayat 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku pengguna anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya berwenang menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan anggaran (APBN), maka Menteri/Pimpinan Lembaga
bertanggung jawab atas penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran
Kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Kewenangan Menteri/Pimpinan
Lembaga tersebut dilimpahkan kepada kepala satker pusat/unit pelaksana
teknis/satker khusus/satker non vertical tertentu/satker sementara.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga pasal 12 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam
Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
(ABPP) selambat-lambatnya akhir bulan November. Perpres tentang rincian APBN
tersebut menjadi dasar bagi masing-masing kementerian negara/lembaga untuk
menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran. Atas dasar Perpres tersebut
satuan kerja menyusun konsep DIPA yang selanjutnya disampaikan ke Direktorat
Jenderal Perbendaharaan untuk ditelaah dan disahkan.
DIPA berlaku untuk satu tahun anggaran dan memuat informasi satuan-
satuan terukur yang berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan anggaran. Disamping itu DIPA dapat dimanfaatkan sebagai alat
pengendali, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan, dan sekaligus merupakan
perangkat akuntansi pemerintah. Pagu dalam DIPA merupakan batas
pengeluaran tertinggi yang tidak boleh dilampaui dan pelaksanaanya harus dapat
dipertanggungjawabkan.
DIPA terdiri dari dua bagian yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat
dipisahkan, yaitu surat pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kanwil DJPBN atas nama Menteri Keuangan 29 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
dan dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga
bersangkutan. DIPA yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling sedikit
memuat :
1) Pagu Anggaran yang dialokasikan;
2) Sasaran yang hendak dicapai;
3) Fungsi, program, dan kegiatan yang akan dilaksanakan;
4) Rencana penarikan dana yang akan dilakukan; dan
5) Pendapatan yang diperkirakan dapat dipungut.
DIPA tersebut selanjutnya disusun berdasarkan klasifikasi :
1) Fungsional dirinci sampai sub kegiatan;
2) Organisasi dirinci sampai dengan satuan kerja; dan
3) Ekonomi dirinci sampai dengan jenis belanja.
Kementerian negara/lembaga dalam menyusun DIPA harus mengacu
kepada APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai
dengan peraturan presiden tentang rincian APBN, maka struktur penganggaran
dalam DIPA harus terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan lokasi.
Unit organisasi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah
klasifikasi anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga atau bagian anggaran yang dibagi menurut organisasi tingkat
eselon/satker, sehingga kementerian negara/lembaga selaku pengguna anggaran
dan satker selaku kuasa pengguna anggaran bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya
masing-masing.
Satuan kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian
negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu
program. Kepala satuan kerja baik organisasi tingkat eselon I maupun tingkat
eselon II, eselon III atau eselon IV yang berdiri sendiri sebagai kuasa pengguna
anggaran yang dibantu dengan pejabat pengelola keuangan. Satuan kerja yang
pimpinannya ditetapkan sebagai kuasa pengguna anggaran dapat dikelompokkan
menjadi satuan kerja pusat, satuan kerja/unit pelaksana teknis, satuan kerja
khusus, satuan kerja perangkat daerah, satuan kerja non vertikal tertentu, dan
atau satuan kerja sementara (bukan UPT).
30 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Fungsi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi
anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang
tertentu yang dilaksanakan kementerian negara/lembaga yang dirinci ke dalam 11
fungsi utama, yaitu pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan,
pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Kesebelas fungsi
utama tersebut dirinci ke dalam 79 subfungsi. Penggunaan fungsi dan subfungsi
dalam DIPA disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
kementerian negara/lembaga.
Program adalah penjabaran kebijaksanaan kementerian negara/lembaga
dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan
menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil terukur sesuai
dengan misi kementerian negara/lembaga.
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh
satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur
pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber
daya baik berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk
peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis
sumber daya tersebut sebagai masukan (input) dalam bentuk barang/jasa.
Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan yang menunjang usaha
pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Adanya subkegiatan adalah
sebagai konsekuensi adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran antar
subkegiatan dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian, subkegiatan yang satu
dipisahkan dengan subkegiatan lainnya berdasarkan perbedaan keluaran.
Sebagai contoh, kegiatan pendidikan dan pelatihan aparatur negara dengan sub
kegiatan penyelenggaraan diklat penjenjangan dengan keluaran antara lain
jumlah peserta didik, subkegiatan penyelenggaraan diklat fungsional dengan
keluaran antara lain jumlah lulusan, sub kegiatan pengembangan kurikulum diklat
dengan keluaran antara lain jumlah modul.
Pengertian hasil (outcome) adalah sesuatu yang mencerminkan
berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Pengertian
keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang
31 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan
kebijaksanaan.
Mengenai indikator hasil adalah segala sesuatu yang akan dicapai dari
suatuprogram pada jangka menengah sesuai dengan tujuan dan sasaran
program. Sedangkan indikator keluaran adalah sesuatu yang akan dicapai secara
langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan, yang terdiri dari: biaya harga yaitu
jumlah biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat keluaran tertentu;
kuantitas yaitu jumlah unit barang atau jasa yang akan dihasilkan; kualitas yaitu
mutu barang dan atau jasa yang dihasilkan berdasarkan kepuasan penerima
manfaat dan ketepatan waktu.
Kegiatan pada prinsipnya disusun dengan mengacu kepada rencana
pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, rencana
strategis kementerian negara/lembaga dan program prioritas pendukung
kementerian negara/lembaga. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan rumusan kegiatan, antara lain :
1) Penentuan suatu kegiatan berdasarkan atas program dalam satu lingkungan
unit eselon I. Instansi pusat pada dasarnya melakukan kegiatan yang
bersifat pembinaan, koordinasi, integrasi, sinkronisasi pada setiap tahapan
manajemen atau melakukan kegiatan rintisan dalam rangka pengembangan
sistem tertentu dengan lingkup nasional.
2) Untuk kegiatan-kegiatan non fisik yang karena sifat dan permasalahannya
memerlukan keterpaduan sistem pada tingkat nasional dapat
dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai kegiatan pusat.
3) Untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pembangunan, perluasan, perawatan
atau pemeliharaan sarana fisik/gedung dan atau pengadaan barang/jasa
yang kegiatannya secara nyata berada di daerah propinsi/kabupaten/kota
agar dialokasikan ke daerah yang bersangkutan dengan cara
mengintegrasikan kegiatan dimaksud kedalam kegiatan di daerah yang
sejenis pada program yang sama menjadi kegiatan atau unsur kegiatan.
Apabila tidak ada kegiatan yang sejenis yang menampungnya dapat
diciptakan kegiatan baru yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi
pengalokasian dana ke daerah propinsi/kabupaten/kota, maka pengadaan
32 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
barang/jasa tersebut tidak diperkenankan dilaksanakan oleh unit eselon I di
pusat.
4) Kegiatan operasional yang merupakan kegiatan lanjutan, pada waktu
menyusun anggaran yang direncanakan perlu dicantumkan prakiraan maju
untuk tahun berikutnya. Kegiatan lanjutan adalah kegiatan terusan dari
kegiatan tahun sebelumnya yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari
satu tahun anggaran, termasuk kegiatan-kegiatan yang merupakan bagian
dari suatu rencana induk (master plan) dan kegiatan-kegiatan yang
penyelesaiannya memerlukan waktu lebih dari satu tahun (multi years).
Dokumen yang digunakan sebagai dasar penyusunan rincian kegiatan dan
anggaran dalam DIPA yaitu :
1) Undang-Undang mengenai APBN,
Alokasi anggaran dalam APBN merupakan pagu suatu Kemeterian
Negara/Lembaga yang dapat dialokasikan pada DIPA satuan kerja pada
Kemeterian Negara/Lembaga berkenaan.
2) Peraturan Presiden mengenai Rincian Angggaran Belanja Pemerintah Pusat
(RABPP) sebagai dasar alokasi.
Perpres mengenai RABPP merupakan dasar penyusunan DIPA untuk
masing-masing satuan kerja yang dirinci sampai dengan jenis belanja.
3) RKA-KL yang telah disetujui DPR dan telah ditelaah oleh Direktorat Jenderal
Anggaran.
RKA-KL hasil penelaahan dengan DJA menjadi dasar penyusunan konsep
DIPA untuk memastikan bahwa satuan anggaran dalam konsep DIPA telah
sesuai dengan formulasi anggaran yang telah disepakati.
4) Bagan Akun Standar (BAS)
Penyusunan DIPA harus memperhatikan standar dalam BAS untuk
memastikan rencana kerja telah dituangkan sesuai dengan standar kode dan
uraian yang diatur dalam ketentuan tentang akuntansi pemerintah.
5) Surat Rincian Alokasi Anggaran (SRAA) yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan untuk satuan kerja yang DIPA-nya ditelaah di
daerah.
33 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Suatu dokumen pelaksanaan anggaran dapat disebut DIPA (lengkap)
apabila telah terdiri dari:
1) Surat pengesahan DIPA (SP-DIPA), berisi informasi mengenai hal-hal yang
disahkan dari DIPA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan atas nama
Menteri Keuangan.
2) DIPA halaman I (Umum), terdiri dari halaman IA dan halaman IB. Halaman
IA memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satker. Halaman IB
memuat informasi umum tentang rincian fungsi, program dan sasarannya,
serta indikator keluaran untuk masing-masing kegiatan.
3) DIPA halaman II, berisi informasi setiap satker, uraian kegiatan/sub kegiatan
beserta volume keluaran yang hendak dicapai serta alokasi dana pada
masing-masing belanja yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran.
Rincian halaman II untuk masing-masing DIPA adalah sebagai berikut:
a) hibah, meliputi belanja bunga utang dalam negeri, belanja bunga utang
luar negeri, penerusan pinjaman dan belanja hibah. DIPA kementerian
negara/lembaga, meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.
b) DIPA perimbangan keuangan negara, meliputi belanja daerah dana
alokasi umum, belanja daerah dana alokasi khusus, belanja daerah
dana bagi hasil, belanja daerah dana penyesuaian, dan belanja daerah
dana otonomi khusus.
c) DIPA pembayaran bunga utang.
d) DIPA subsidi dan transfer berisi belanja subsidi.
e) DIPA pembiayaan, meliputi pembiayaan dalam negeri, pembiayaan
luar negeri, penerusan pinjaman dan penyertaan modal pemerintah.
4) DIPA halaman III, berisi informasi tentang rencana penarikan dana dan
penerimaan negara bukan pajak yang menjadi tanggungjawab setiap satker.
Dalam hal pencantuman angka rencana penarikan pengeluaran pada
halaman III DIPA berdasarkan rencana kerja, satker perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
34 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
1) Untuk belanja pegawai, rencana penarikan pengeluaran per bulan
adalah seperdua belas dari pagu gaji satu tahun (agar
diperhatkan/disesuaikan pula jika terdapat perencanaan untuk
membayar Gaji ke-13 yang dalam praktek seringkali dibayarkan);
2) Untuk belanja barang dan modal, agar memperhatikan kebutuhan
berdasarkan rencana penarikan/pembayaran dalam rangka
pelaksanaan kegiatan yang meliputi rencana penarikan uang
persediaan dan rencana penarikan langsung untuk setiap bulan.
5) DIPA halaman IV, berisi catatan-catatan yaitu hal-hal yang perlu menjadi
perhatian oleh pelaksana kegiatan.
Dalam hal DIPA memerlukan perubahan, pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dapat melakukan revisi DIPA untuk selanjutnya diajukan
pengesahannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Berdasarkan pembagian anggaran dalam APBN, jenis DIPA dapat
dikelompokkan atas DIPA Kemeterian Negara/Lembaga dan DIPA Bendahara
Umum Negara.
1) DIPA Kementerian Negara/Lembaga
DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran dari Bagian Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga, yang dikategorikan menjadi :
a) DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat
DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang
pelaksanaannya dilakukan oleh satker yang merupakan satker pusat
atau satker Kantor Pusat suatu kementerian negara/lembaga, termasuk
di dalamnya untuk DIPA Badan Layanan Umum (BLU), dan Satuan
Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).
Satuan Kerja Pusat dapat terdiri dari satker–satker yang dibentuk oleh
kementerian negara/lembaga secara fungsional dan bukan merupakan
instansi vertikal. Sedangkan Satuan Kerja Kantor Pusat adalah satker
dalam lingkup Kantor Pusat suatu kementerian negara/lembaga.
35 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Konsep DIPA Satker Pusat/kantor Pusat disusun dan ditetapkan oleh
satker masing-masing kementerian negara/lembaga.
b) DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah
DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang
pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor/Instansi Vertikal Kementerian
Negara/Lembaga di daerah. Konsep DIPA Satker Vertikal/Kantor
Daerah disusun dan ditetapkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran Satuan Kerja Vertikal yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh Menteri/ Ketua Lembaga.
c) DIPA Dana Dekonsentrasi
DIPA Dana dekonsentrasi adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka
pelaksanaan dana dekonsentrasi, serta pelaksanaannya dilakukan oleh
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi yang ditunjuk oleh
Gubernur. Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan
oleh Kepala SKPD yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan
pendelegasian wewenang dari Menteri/Ketua Lembaga.
d) DIPA Tugas Pembantuan
DIPA Tugas Pembantuan adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka
pelaksanaan Tugas Pembantuan, serta pelaksanaannya dilakukan oleh
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Propinsi/Kabupaten/Kota yang
ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Konsep DIPA Dana
Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala Satker Pusat yang
ditunjuk oleh Menteri/Ketua Lembaga.
2) DIPA Bendahara Umum Negara (DIPA-BUN)
DIPA BUN atau yang sebelumnya dikenal dengan DIPA Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran yang bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara
Umum Negara (BA-BUN) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku
Pengguna Anggaran. BA-BUN terdiri dari :
36 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
a) Pengelolaan Utang Pemerintah (999.01)
b) Pengelolaan Hibah (999.02)
c) Pengelolaan Investasi Pemerintah (999.03)
d) Pengelolaan Penerusan Pinjaman (999.04)
e) Pengelolaan Transfer ke Daerah (999.05)
f) Pengelolaan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (999.06)
g) Pengelolaan Transaksi Khusus (999.99)
Dalam menyusun DIPA, PA/Kuasa PA bertanggungjawab sepenuhnya
terhadap kegiatan dan perhitungan biaya yang dalam penyusunannya
berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya Umum
dan Standar Biaya Khusus.
6. Pencantuman PHLN dalam DIPA
Pencantuman pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dalam DIPA harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam loan agreement
berkenaan, karena kesalahan dalam pencantuman dana PHLN dapat berakibat
terjadinya kesalahan pembayaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pencantuman PHLN dalam DIPA, yaitu :
a. Status loan.
Dana PHLN harus memilki status loan yang jelas, dalam arti naskah
perjanjian pinjaman/hibah luar negeri (NPHLN) berkenaan sudah
ditandatangani dan dinyatakan efektif serta telah diberi kode registrasi
PHLN.
b. Jenis cara pembayaran.
Pencantuman cara penarikan pinjaman luar negeri (PLN) seperti Rekening
Khusus (RK), Pembayaran Langsung (PL), Pembukaan Letter of Credit (L/C)
dan Penarikan Langsung Hibah berpedoman pada SKB Menteri Keuangan
dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas Nomor: 185/ KMK.03/1995 - Kep.031/KET/5/1995 yang telah
diubah dengan SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 459/KMK.03/1999 -
Kep.264/KET/09/1999 serta ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
37 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
c. Alokasi dana.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengalokasikan dana PHLN dalam
DIPA, yaitu :
1) Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam
uraian kategori dalam PHLN;
2) Dana PHLN untuk setiap kategori pengeluaran masih cukup tersedia.
Hal ini penting untuk menghindarkan terjadinya overdrawn atau
kelebihan penarikan suatu kategori;
3) Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam
NPPHLN;
4) Khusus PHLN yang penarikannya melalui tatacara L/C, perlu
diperhatikan nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini
berkaitan dengan pembukaan rekening L/C di Bank Indonesia oleh
KPPN Jakarta VI dan KPPN Khusus Banda Aceh.
5) Dalam hal NPPHLN mensyaratkan adanya dana pendamping (porsi
dan non porsi), maka kementerian/lembaga wajib menyediakan dana
pendamping dalam RKA-KL
d. Standar biaya.
Pembiayaan kegiatan/subkegiatan yang bersumber dari PHLN mengacu
kepada Standar Biaya Umum (SBU), Standar Biaya Khusus (SBK) dan
Billing rate. Dalam hal belum tersedia standar biaya, maka dapat digunakan
Rincian Anggaran Biaya.
e. Kartu Pengawasan Alokasi Pagu PHLN
Kartu pengawasan tersebut memuat antara lain :
1) nama, tanggal, nomor NPPHLN;
2) nama pemberi pinjaman;
3) executing agency/implementing agency;
4) nomor register PHLN;
5) tanggal efektif PHLN;
6) closing date;
7) besaran pinjaman yang tercantum dalam NPPHLN;
8) kategori dan porsi PHLN;
38 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
9) tata cara dan rencana penarikan yang dituangkan dalam RKA-KL;
10) sisa yang belum dialokasikan.
f. Memahami NPPHLN.
Untuk menghindarkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang ineligible, maka isi
dari loan agreement (NPPHLN) dan staff appraisal report (SAP) harus
dipahami, terutama mengenai: (i) porsi beban loan untuk masing-masing
kegiatan/kategori, (ii) kegiatankegiatan yang dapat dibiayai loan, (iii) closing
date, (iv) lokasi sasaran/cakupan kegiatan, dan (vi) ketentuan loan lainnya
jika ada (cara pembayarannya, dan sebagainya).
7. Penyusunan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK)
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam DIPA, setelah
DIPA disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran menerbitkan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) yang merupakan
penjabaran lebih lanjut dari DIPA. POK berfungsi sebagai :
a. Pedoman dalam melaksanakan kegiatan/aktivitas;
b. Alat monitoring kemajuan pelaksanaan kegiatan/aktivitas;
c. Alat perencanaan kas untuk kebutuhan dana; dan
d. Sarana untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efeklivitas
pelaksanaan anggaran.
POK disusun berdasarkan DIPA dan RKA-KL yang telah disetujui DPR dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan APBN. POK paling sedikit
memuat uraian tentang :
a. Kode dan nama departemen/unit organisasi/satua kerja dan program;
b. Kode dan nama kegiatan/subkegiatan/akun;
c. Rincian kegiatan/subkegiatan/akun;
d. Rincian volume, harga satuan dan jumlah biaya;
e. Sumber dana dan kode kewenangan;
f. Pelaksana Aktivitas;
g. Tata cara pengadaan/pekerjaan (kontraktual dan non kontraktual);
h. Rencana pelaksanaan kegiatan (time schedule) yang dilengkapi dengan
perkiraan penarikan dana per aktivitas per bulan.
39 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga
Dalam hal terdapat perubahan POK sebagai akibat dari revisi DIPA,
penyesuaian atas realisasi, perubahan jadwal pelaksanaan aktivitas dan lainnya,
maka POK harus disesuaikan/direvisi. Revisi terhadap POK sepanjang tidak
mengubah DIPA dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila perubahan POK mengakibatkan perubahan rencana penarikan dana
per bulan, maka penyesuaian/revisi POK tersebut digunakan untuk merevisi
halaman III DIPA. Revisi halaman III DIPA disampaikan kepada Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (apabila DIPA daerah) atau kepada
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (apabila DIPA Pusat) untuk disahkan. Revisi
sebagaimana tersebut di atas disampaikan setiap awal triwulan berikutnya.
40 | Modul Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat Satker Kementerian Negara/Lembaga