DAFTAR ISI
Daftar Isi…………………………………………………………………………1
Skenario………………………………………………………………………….2
Kata Sulit………………………………………………………………………...3
Pertanyaan……………………………………………………………………….3
Jawaban Pertanyaan…………………………………………………………….4
Hipotesis …………………………………………………………………………5
Sasaran Belajar………………………………………………………………….6
LO. 1 Memahami dan Menjelaskan Eritrosit…………………………………7
LO. 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin…………………………….16
LO. 3 Memahami dan Menjelaskan Anemia…………………………………25
LO. 4 Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi………………..35
Daftar Pustaka………………………………………………………………….45
1
SKENARIO 1
LEKAS LELAH BILA BEKERJA
Yani, 19 tahun, memeriksakan diri ke dokter dengan keluhan sering
merasa lekas lelah setelah melakukan aktivitas. Keluhan ini sudah dialami 3 bulan
terakhir. Sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Pada anamnesis tambahan didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-
kanak pola makan Yani tidak terarur, jarang makan sayur, ikan, maupun daging,
hanya tahu/tempa dan kerupuk. Tidak dijmpai riwayat penyakit yang diderita
sebelumnya dan riwayat pengobatan tidak jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Wajah terlihat lelah, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit,
frekuensi pernafasan 20x/menit, suhu tubuh 36,8C, TB=160 cm, BB=60
kg, konjungtiva palpebral inferior pucat
Pemeriksaan jantung paru dan abdomen dalam batas normal
Hasil pemeriksaan darah dijumpai:
Pemeriksaan Kadar Nilai normal
Hemoglobin (Hb) 10,5 g/dL 12-14 g/dL
Hematokrit (Ht) 37 % 37-42 %
Eritrosit 4,75 x 106/ul 3,9-5,3 x 106/ uL
MCV 70 fL 82-92 fl
MCV 20 pg 27-31 pg
MCHV 22 % 32-36 %
Leukosit 6500 / uL 5000-10.000 /uL
Trombosit 300.000/ uL 150.000-400.000 /uL
2
KATA SULIT
1. Konjungtiva Anemis : Suatu keadaan dimana konjungtiva seseorang
pucat karena darah tidak sampai ke perifer yang bias menjadi salah satu
tanda bahwa seseorang mengalami anemia
2. Ikterik : Perubahan warna kuning pada kulit, selaput lender, da
bagian putih mata yang disebabkan oleh peningkatan bilirubin dalam
darah.
3. MCV : Nilai rata-rata volume eritrosit
4. MCH : Jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit
5. MCHC : Persentase hemoglobin dalam eritrosit
6. Hemoglobin : Pigmen merah pembawa O2 pada eritrosit, dibentuk oleh
eritrosit yang berkembang disumsum tulang.
7. Hematokrit : Persentase volume eritrosit dalam 100 ml darah.
PERTANYAAN
1. Kenapa pasien cepat lelah ?
2. Apa diagnosis sementara pasien?
3. Mengapa wajah pasien pucat ?
4. Apa yang menyebabkan konjungtiva anemis ?
5. Apa hubungan pola makan dengan penyakit yang diderita ?
6. Kenapa MCV,MCH,MCHC menurun, ada hubungannya atau tidak dengan
diagnose pasien ?
7. Apa yang menyebabkan hemoglobin menurun dan hematocrit normal ?
8. Cara menghitung MCHC, jika MCHC meningkat atau menurun apa
dampaknya ?
3
JAWABAN
1. Karena jumlah Hb menurun, fungsi hb adalah untuk mengikat oksigen jika
hb menurun maka oksigen yang terdistribusi ditubuh mengurang dan
oksigen untuk respirasi aerob terganggu yang akan menyebabkan produksi
ATP berkurang.
2. Anemia defisiensi besi
3. Karena hb menurun dimana fungsi hb untuk pemberi warna pada sel darah
merah
4. Karena jumlah Hb menurun, fungsi hb adalah untuk mengikat oksigen jika
hb menurun maka oksigen yang terdistribusi ditubuh mengurang dan
oksigen untuk respirasi aerob terganggu
5. Kurang intake makanan yang mengandung zat besi
6. Karena hb menurun (MHC, MCHC )
7. Hb menurun karena defisiensi besi sedangkan hematocrit normal karena
pembentukan eritrosit normal.
8. MCHC= hb/ht x 100%
Meningkat : anemia makrositik
Menurun : anemia mikrositik hipokrom
4
HIPOTESIS
Kekurangan asupan zat besi dapat menyebabkan menurunnya sintesis
hemoglobin. Turunnya kadar hemoglobin mengakibatkan distribusi oksigen dan
respirasi aerob terganggu, sehingga ATP berkurang dan tubuh merasa lemas.
Hasil pemeriksaan lab pada pasien ini didapatkan anemia mikrositik hipokrom
dengan MCHC rendah. Diagnosis pasien adalah anemia defisiensi besi.
5
SASARAN BELAJAR
LO. 1 Memahami dan Menjelaskan Eritrosit
1.1 Pembentukan eritrosit (Eritropoeisis)
1.2 Struktur dan morfologi eritrosit
1.3 Fungsi eritrosit
1.4 Jumlah normal
1.5 Kelainan pada eritrosit
LO. 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
2.1 Pembentukan hemoglobin
2.2 Struktur dan fungsi hemoglobin
2.3 Peranan zat besi dalam pembentukan hemoglobin
2.4 Reaksi oksigen dengan hemoglobin
LO. 3 Memahami dan Menjelaskan Anemia
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Klasifikasi
3.4 Manifestasi Klinis
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
LO. 4 Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
4.1 Definisi
4.2 Etiologi
4.3 Patofisiologi
4.4 Manifestasi Klinis
4.5 Diagnosis dan Diagnosis banding
4.6 Tata laksana
4.7 Komplikasi
4.8 Pencegahan
6
LO. 1 Memahami dan Menjelaskan Eritrosit
1.1 Pembentukan eritrosit (Eritropoeisis)
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin
dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang
dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. (Dorland, 2012)
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada
sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah
tepi. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini
akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit
granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai
dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan
banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali
mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi
Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit
7
masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang
dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.
Eritropoeisis terjadi di sumsum tulang hingga terbentuk eritrosit matang
dalam darah tepi yang dipengaruhi dan dirangsang oleh hormon eritropoietin.
Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel
interstisium peritubulus ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas
bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang.
Eritropoietin mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat
sel induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping
mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan besi,
mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh sel
untuk masuk dalam sirkulasi.
Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk
sac dan kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan
mengambil alih produksi eritrosit secara ekslusif.
Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu
memproduksi sel darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulanh
kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan
sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan
ujung-ujung atas tulang panjang ekstremitas.
Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan
sumber leukosit dan trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent
8
tak berdiferensiasi yang secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi
untuk menghasilkan semua jenis sel darah.
Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas darah yang mengakngkut oksigen.Jika
O2 yang disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormone
eritropoietin dalam darah yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi
eritrosit) dalam sumsum tulang.Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan
kemampuan darah mrngangkut O2.Peningkatan kemampuan darah mengangkut
O2 menghilangkan rangsangan awal yang memicu sekresi eritropoietin.
1) Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel
termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti
dan kromatin yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron.
Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah
kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
2) Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik.
Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4
% dari seluruh sel berinti.
3) Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast
polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal
secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik.
Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada
prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru
karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena
9
hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal
adalah 10-20 %.
4) Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik.
Ini sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal.
Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga
warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA.
Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%
5) Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk
melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam
sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan dari
sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2
hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 – 2,5% retikulosit.
6) Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran
diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian tengan sel ini lebih
tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan
berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Umur
eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai
umurnya oleh limpa.
1.2 Struktur dan morfologi eritrosit
Eritrosit berbentuk seperti piringan yang bikonkaf dengan
cekungan di bagian tengahnya. Eritrosit mempunyai garis tengah 8
µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian
tengah. Bentuk eritrosit yang bikonkaf menghasilkan luas permukaan
yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan
dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel
10
memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior
sel. (Sherwood, 2011)
Membran eritrosit juga sangat lentur sehingga eritrosit dapat mengalami
deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati celah kapiler
yang sempit dan berkelok-kelok. Dengan kelenturan membran tersebut, eritrosit
dapat menyalurkan O2 di tingkat jaringan tanpa pecah selama proses tersebut
berlangsung. Ciri anatomik terpenting yang memungkin eritrosit mengangkut
oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya. (Sherwood, 2011)
Eritrosit memiliki enzim penting yang tidak dapat diperbarui, yaitu enzim
glikolitik dan enzim karbonat anhidrase. Enzim glikolitik berperan dalam
menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mekanisme transpor aktif yang
berperan dalam mempertahankan konsentrasi ion yang sesuai di dalam sel. Enzim
karbonat anhidrase berperan dalam transpor CO2. Enzim ini dapat mengubah CO2
yang dihasilkan dari proses metabolisme tubuh menjadi ion bikarbonat (HCO3-),
yaitu bentuk utama pengangkutan CO2 dalam darah. Eritrosit memperoleh energi
dari hasil proses glikolisis karena eritrosit tidak memiliki mitokondria.
(Sherwood, 2011)
1.3 Fungsi eritrosit
Sel darah merah memiliki 2 fungsi utama yaitu:
1. Mengangkut Oksigen dari Paru paru dan sumber lainnya ke seluruh jaringan
di seluruh tubuh manusia.
2. Mengangkut karbon dioksida dari jaringan dan sel akibat proses metabolisme
dan gas lainnya yang mampu terikat pada hemoglobin menuju tempat
pembuangannya atau penampungannya seperti paru paru dan lainnya.
Fungsi Sekunder Sel Darah Merah
Selain, 2 fungsi utama sel darah merah diatas, terdapat fungsi sekunder dari sel
darah merah yaitu:
1. Fungsi sel darah merah yang pertama: memperlebar pembuluh darah
sehingga aliran darah menjadi normal sehingga membantu manusia saat stress.
11
Saat sel darah merah menjadi stress akibat kekurangan oksigen, sel darah
merah akan mengeluarkan ATP sehingga akan mengakibatkan pembuluh
darah mengalami pelebaran pembukaan (dilatasi).
2. Fungsi sel darah merah yang kedua : Membantu jaringan tubuh agar tidak
rusak. Saat hemoglobin pada daerah tertentu mengalami kekurangan oksigen,
akan mengeluarkan S-Nitrosotiol yang akan mengakibatkan pelebaran
pembuluh darah, sehingga sel darah merah akan mengalir lebih cepat ke
jaringan tersebut.
3. Fungsi sel darah merah yang ketiga: Membantu dalam sistem imun tubuh.
Ketika sel darah merah pecah dikarenakan serangan bakteri atau lainnya,
hemoglobin akan melepaskan substansi radikal bebas yang akan merusak
membran dan dinding sel bakteri tersebut dan akhirnya membunuhnya.
(www.belajarbiologi.com)
1.4 Jumlah normal
Kadar eritrosit normal:
Perempuan dewasa: 3.8-5.2 x106/ul,
Laki-laki dewasa : 4.4-5.9 x 106/ul
1.5 Kelainan pada eritrosit
1. Kelainan Ukuran
Makrosit, diameter eritrosit ≥ 9 µm dan volumenya ≥ 100 fL
Mikrosit, diameter eritrosit ≤ 7 dan volumenya ≤ 80 fL
12
Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar
2. Kelainan Warna
Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≥ 1/3 diameternya
Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≤1/3 diameternya
Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang,
warnanya lebih gelap.
3. Kelainan Bentuk
Sel sasaran (target cell), Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit
terdapat bagian yang lebih gelap/merah.
Sferosit, Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.
Ovalosit/Eliptosit, Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadang-
kadang dapat lebih gepeng (eliptosit).
Stomatosit, Bentuk sepeti mangkuk.
Sel sabit (sickle cell/drepanocyte) Eritosit yang berubah bentuk menyerupai
sabit akibat polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2.
Akantosit, Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 - 12 duridengan
ujung duri yang tidak sama panjang.
Burr cell (echinocyte), Di permukaan eritrosit terdapat 10 - 30 duri kecil
pendek, ujungnyatumpul.
Sel helmet, Eritrosit berbentuk sepeti helm.
Fragmentosit (schistocyte), Bentukeritrosit tidak beraturan.
Teardropcell, Eritrosit seperti buah pearatau tetesan air mata.
Poikilositosis, Bentuk eritrosit bermacam-macam.
13
a) Makrosit b) Sel Target
c) Stomatosit d) Sel Pensil
e) Ekinosit f) akantosit
g) Mikrosferosit h) Eliptosit
14
i) Tear Drop sel j) Sel Sabit
k) Mikrosit
LO. 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin
15
2.1 Pembentukan hemoglobin
Hemoglobin adalah pigmen pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh
eritrosit yang sedang berkembang di dalam sumsum tulang. (Dorland, 2011)
Sintesis hemoglobin membutuhkan produksi dari heme dan globin yang
terkoordinasi. Heme adalah kelompok prostetik yang menjembatani pengikatan
oksigen melalui hemoglobin. Globin adalah protein yang mengelilingi dan
melindungi molekul heme
Sintesis Heme
Gambar 1 Sintesis heme
Sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html
Sintesis heme adalah sebuah proses kompleks yang melibatkan banyak
langkah-langkah enzimatik. Proses ini dimulai di mitokondria dengan kondensasi
dari suksinil-CoA dan glisin membentuk 5-aminolevulinic acid. Serangkaian
langkah-langkah di dalam sitoplasma menghasilkan coproporphrynohen III yang
akan masuk kembali ke dalam mitokondria. Langkah-langkah enzimatik akhir
menghasilkan heme.
Sintesis globin
16
Dua rantai globin yang berbeda, alpha dan non-alpha (masing-masing
dengan molekul heme sendiri) bergabung membentuk hemoglobin. Dengan
pengecualian pada minggu pertama perkembangan embrio, salah satu rantai
globin selalu alpha. Sejumlah variabel mempengaruhi sifat dasar dari rantai non-
alpha di dalam molekul hemoglobin. Fetus mempunyai sebuah rantai non-alpha
yang berbeda yaitu gamma. Setelah lahir, rantai globin non-alpha berbeda
dinamakan beta, berpasangan dengan rantai alpha. Gabungan dari dua rantai alpha
dan dua rantai non alpha menghasilkan sebuah molekul hemoglobin yang lengkap
(total 4 rantai per molekul).
Gabungan dari dua rantai alpha dan dua rantai gamma membentuk
hemoglobin fetal (janin) yakni Hb F. Dengan pengecualian bahwa 10 hingga 12
minggu pertama setelah pembuahan, Hb F sebagai hemoglobin dasar di dalam
perkembangan janin. Gabungan dua rantai alpha dan dua rantai beta membentuk
hemoglobin adult (dewasa) yang juga disebut sebagai Hb A. Walaupun Hb A
dinamankan dewasa, Hb A menjadi hemoglobin yang menonjol sekitar 18 hingga
24 minggu kelahiran.
Sepasang dari satu rantai alpha dan satu rantai non-alpha menghasilkan
sebuah dimer (dua rantai) hemoglobin. Dimer hemoglobin tidak efisien membawa
oksigen. Dua dimer bergabung membentuk sebuah tetramer hemoglobin yang
merupakan bentk fungsional dari hemoglobin. Ciri-ciri biofisika lengkap dari
tetramer hemoglobin yakni mengontrol pengambilan oksigen di paru-paru dan
melepaskannya di jaringan yang membutuhkan untuk mempertahankan hidup.
Gen-gen yang mengkode rantai globin alpha terletak pada kromosom 16,
sedangkan gen-gen yang mengkode rantai globin non-alpha terletak pada
kromosom 11. Kompleks alpha disebut lokus globin alpha, sedangkan kompleks
non-alpha disebut lokus globin beta. Keseimbangan ekspresi gen pada rantai
globin dibutukan untuk fungsi normal sel darah merah. Gangguan keseimbangan
ekspresi gen pada rantai globin menghasilkan sebuah penyakit yang dinamakan
talasemia
17
(Bunn dan Forget, Saunders, 2002)
Gambar 2 Sintesis globin
Tabel 1 Hemoglobin manusia
Sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html
Biosintesis hemoglobin
18
Embryonic
hemoglobinsFetal hemoglobin Adult hemoglobins
gower 1- zeta(2),
epsilon(2)
gower 2- alpha(2),
epsilon (2)
Portland- zeta(2), gamma
(2)
hemoglobin F- alpha(2),
gamma(2)
hemoglobin A- alpha(2),
beta(2)
hemoglobin A2- alpha(2),
delta(2)
Sintesis hemoglobin di mulai dalam proteoblast dan berlanjut bahkan dalam
stadium retikulosit pada pembentukan sel darah merah.
Oleh karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke
aliran darah, retikulosit tetap membentuk sejumlah kecil hemoglobin satu hari
sesudah dan seterusnya sampai sel tersebut menjadi eritrosit yang matur.
Tahap dasar pembentukan secara kimiawi :
o Suksinil-KoA, di bentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin
membentuk molekul priol.
o Empat priol bergabung membentuk protoporfirin IX bergabung dengan besi
membentuk molekul heme.
o Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yaitu
globin yang di sintesis oleh ribosom membentuk sub unit hemoglobin
yang di sebut rantai hemoglobin.
2.2 Struktur dan fungsi hemoglobin
Hemoglobin adalah kompleks protein yang terdiri dari heme yang mengandung
besi dan globin dengan interaksi diantara heme dan globin menyebabkan
hemoglobin yang merupakan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut
oksigen.
Hemoglobin ditemukan hanya pada sel darah merah. Molekul hemoglobin
memiliki dua bagian : (1) bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari empat
rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat; dan (2) empat gugus nonprotein yang
mengandung besi yang dikenal sebagai gugus hem, dengan masing-masing terikat
ke salah satu polipeptida. Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan
secara reversible dengan satu molekul O2.
Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan berikut :
Karbon dioksida. Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel
jaringan kembali ke paru.
Bagian ion hydrogen asam dari asam karbonat terionisasi, yang dihasilkan
di tingkat jaringan dari CO2. Hemoglobin menyangga asam ini sehingga
asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah.
19
Karbon monoksida. Gas ini dalam keadaan normal terdapat di dalam
darah, tetapi jika terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian
hemoglobin yang berikatan dengan O2 sehingga terjadi keracunan CO
Nitrat oksida. Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan
dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini
melemaskan dan melebarkan arteriol local. Vasodilatasi ini membantu
menjamin bahwa darah kaya O2 dapat mengalir dengan lancar dan juga
membantu menstabilkan tekanan darah.
Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan fe yang dinamakan
conjugated protein. Sebagai intinya fed an dengan rangka protoporphyrin dan
globulin (tetraphyrin) menyebabkan warna darah merah karena fe ini. Eryt hb
berikatan dengan Co2 menjadi karboxy hemoglobin dan warnanya merah tua.
Darah arteri mengandung O2 dan darah vena mengandung Co2.
(DepKes RI 2011)
Tabel Batas Kadar Hemoglobin
Kelompok umur Batas nilai hb ( gr/dl)
20
Anak 6 bulan – 6 tahun 11,0
Anak 6 tahun – 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Ibu hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0
(WHO dalam arisman 2002)
Menurut Depkes RI fungsi hemoglobin adalah:
Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida dalam jaringan
Mengambil oksigen dalam paru-paru kemudian dibawa keseluruh
jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk dibuang, untuk mengetahui apakah
seseorang itu kekurangan darah apa tidak.
2.3 Peranan zat besi dalam pembentukan hemoglobin
Besi diet terdapat dalam bentuk: besi heme terdapat besi terikat sebagian dari
kelompok heme yang terdapat di hemoglobin dan terdapat dalam daging, dan besi
anorganik, yang ada pada tanaman. Heme diest diderap dengan lebih efisien
daripada besi anorganik. Besi anorganik diet terutama terdapat dalam bentuk
teroksidasi Fe3+ (feri), tetapi bentuk besi yang tereduksi (Fe2+) di serap lebih
mudah. Fe3+ direduksi menjadi Fe2+ oleh enzin yang terikat oleh membrane lumina
sebelum penyerapan. Adanya bahan lain di lumen dapat meningkatkan
penyerapan besi, terutama, dengan mereduksi besi feri menjadi fero. Fosfat dan
oksalat, sebaliknya, berikatan dengan besi yang masuk untuk membentuk garam
besi tak larut yang tidak dapat diserap. Besi heme dan Fe2+ ditranspor menumbus
membrane luminal melalui pembawa dependen-energi terpisah di brush border:
besi heme memasuki sel intestinal melalui pembawa heme protein 1dan Fe2+
dibawa melalui transporter mental divalent 1, yang mengangkut mental lain yang
bermuatan 2+. Sebuah enzim didalam sel membebaskan besi dari kompleks heme.
Setelah diserap ke dalam sel epitel usus halus, besi memiliki 2 kemungkinan:
21
Besi segera dibutuhkan untuk produksi sel darah merah diserap kedalam darah
untuk disalurkan ke sumsum tulang, tempat pembentukan sel darah merah.
Besi keluar dari sel epitel usus halus melalui transporter besi membrane yang
dikenal sebagai ferroprotin. Absorpsi besi terutama dikendalikan oleh suatu
hormone, hepsidin, yang dilepaskan dari hati ketika kadar besi didalam tubuh
menjadi terlalu tinggi. Hepcidin mencegah lebih jauh “ekspor” besi dari sel
epitel usus halus menuju darah dengan terikat pada ferroportin dan memacu
internalisasinya menuju sel dengan endositosis dan pengurainnya dengan
lisosom. Karena itu, hepsidin adalah regulator utama pada homeostatis besi.
Defisiensi hepcidin menyebabkan kelebihan besi pada jaringan karena
froportin berlanjut untuk mentrasfer besi ke dalam tubuh tanpa kendali. Besi
yang keluar dari sl epitel usus diangkut menuju darah melalui pemebawa
protein plasma yang dikenal sebagai transferrin. Besi yang diabsorpsi
kemudian digunakan dalam sintesis hemoglobin bagi sel darah merah yang
baru saja terbentuk.
Besi yang tidak segera dibutuhkan akan tetap tersimpan di dalam epitel dalam
bentuk granula yang disebut feritin, yang tidak dapat diserap kedalam darah.
Besi yang disimpan sebagai ferritin akan keluar melalui tinja dalam 3 hari
karena sel-sel epitel yang mengantung graula ini terlepas selama regenerasi
mukosa. Besi dalam jumlah besar di tinja menyebabkan tinja berwarna gelap,
nyaris hitam.
2.4 Reaksi oksigen dengan hemoglobin
Reaksi haemoglobin dengan O2 menjadikanya sebagai suatu sistem
pengangkut O2 yang tepat.Hem yang merupakan ssusunan dari porfirin dengan
inti fero. Masing masing dari tiap atom fero. Dalam pengikatan ini ion besi tetap
berbentuk ferro karena itu reaksi yang terjadi dengan O2 adalah reaksi
oksigenasi.Hb4 + 4 O2 → Hb4O. Reaksi pengikatan ini berlangsung sangat cepat
dan membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik
Pada proses pengikatan O2 terbentuklah konfigurasi rilex yang akan
memaparkan lebih banyak tempat pengikatan O2.Dapat meningkatkan affinitas
22
terhadap O2 hingga 500 kali lipat. Pada reaksi deoksihemoglobin unit globin akan
terikat erat dalam konfigurasi tense / tegang yang akan menurunkan affinitas
terhadap O2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengikatan antara oksigen dan hemoglobin
adalah suhu, pH, dan 2,3 bifosfogliserat. Peningkatan pada suhu dan penurunan
pH akan menggeser kurva ke kanan. Jika kurva bergeser kanan maka akan
diperlukan PO2 yang lebih tinggi agar hemoglobin dapat mengikat sejumlah O2.
Penurunan suhu dan peningkatan pH menggeser kurva oksigen ke kiri dimana
diperlukan lebih sedikit PO2 untuk mengikat sejumlah O2. Berkurangnya affinitas
terhadap O2 ketika pH darah turun sering disebut sebagai reaksi Bohr 2,3
bifosfogliserat banyak terdapat pada eritrosit, merupakan suatu rantai anion
bermuatan tinggi yang berikatan pada β-deoksihaemoglobin.
Peningkatan 2,3 bifosfogliserat akan menggerser kurva ke kanan yang akan
mengakibatkan banyak O2 yang dilepas ke jaringan. 2,3 bifosfogliserat akan
menurun jika pH darah turun akibat dari terhambatnya proses glikolisis. Hormon
tiroid, pertumbuhan dan androgen akan meningkatkan kadar 2,3 bifosfogliserat
Mendaki ke permukaan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar 2,3
bifosfogliserat sehingga terjadi peningkatan penyediaan O2 pada jaringan, hal ini
terjadi karena meningkatnya pH darah.
23
Kadar 2,3 bifosfogliserat akan meningkat pada anemia dan penyakit yang
menimbulkan hipoksia kronik. Keaadaan ini akan memudahkan pengangkutan O2
ke jaringan melalui peningkatan PO2 saat O2 dilepaskan di kapiler perifer.
24
LO. 3 Memahami dan Menjelaskan Anemia
3.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung
eritrosit. Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoiesis,
kehilangan eritrosit berlebihan, atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam
eritrosit.
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit
lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan
Ht < 41 % pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht <37 % pada wanita.
(Arif Mansjoer,dkk. 2001)
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin
dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang dipadatkan (packed red
cells volume) dalam 100 ml darah. (Ngastiyah, 1997)
Anemia berarti kurangnya hemoglobin di dalam darah, yang dapat di
sebabkan oleh jumlah sel darah merah yang terlalu sedikit atau jumlah
hemoglobin dalam sel yang terlalu sedikit. (Guyton 11th edition,2006)
3.2 Etiologi
1. Cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-
tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan
masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana
mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan.
Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa
protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein,
sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
25
2. Kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan
oleh faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena
kelainan dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel
tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah
hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang
seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi
penyulit yang terjadi.
3. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan
menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi
anemia. Anemia karena perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini
secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan
dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha
akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin
mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Autoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan.
Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila
hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena
dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun. 1.
5. Anemia akibat kehilangan darah
Setelah mengalami perdarahan tubuh mengganti cairan plasma dengan cepat
1 hingga 3 hari, yang menyebabkan konsenrasi sel darah merah menjadi
rendah.
Bila tidak terjadi perdarahan berikutnya kondisi konsentrasi sel darah merah
akan kembali ke dalan jumlah normal 3 hingga 6 minggu.
26
Anemia aplastic
Aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya sumsum tulang, sehingga
pembentukan sel darah merah terganggu.
Penyebab terjadinya aplasia adalah adanya paparan sinar-x secara
berlebihan, zat kimia tertentu pada industry, bahkan obat – obatan pada
pasien yang sensitif
Anemia megaloblastik
Anemia hemolitik
Berbagai kelainan sel darah merah kebanyakan di dapat secara keturunan.
Sel-sel tersebut bersifat rapuh, sehingga mudah pecah sewaktu melewati
kapiler, terutama sewaktu melalui limpa. Walaupun sel darah merah yang
terbentuk jumlahnya dapat mencapai normal, atau bahkan lebih besar dari
normal pada penyakit-penyakit hemolitik, masa hidup sel darah merah
sangat singkat sehingga sel ini di hancurkan lebih cepat di bandingkan
pembentukannya sehingga mengakibatkan anemia yang parah.
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi eritrosit:
A. Anemia hipokromik mikrositer
(MCV<80 fl; MCH <27pg)
1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia Normokromik normositer
1. Anamia pascapendarahan akut
2. Anemia aplastik – hipoplastik
3. Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia mieloptisik
27
6. Anemia pada gagal ginjal kronik
7. Anemia pada mielofibrosis
8. Anemia pada sindrom mielodisplastik
C. Anemia makrositer
1. Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodisplastik
Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis:
A. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a. Besi: anemia defisiensi besi
b. Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik
2. Gangguan utilisasi besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan jaringan sumsum tulang
a. Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia
aplastik/hipoplastik
b. Penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor: anemia
leukoritroblastik/mieloptisik
B. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca pendarahan akut
2. Anemia pasca pendarahan kronik
C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
1. Faktor ekstrakorpuskuler
28
a. Antibodi terhadap eritrosit:
i. Autoantibodi-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)
ii. Isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn)
b. Hipersplenisme
c. Pemaparan terhadap bahan kimia
d. Akibat infeksi bakteri/parasit
e. Kerusakan mekanik
2. Faktor intrakorpuskuler
a. Gangguan membran
i. Hereditary spherocytosis
ii. Hereditary elliptocytosis
b. Gangguan enzim
i. Defisiensi pyruvate kinase
ii. Defisiensi G6PD (Glocuse-6 phospate dehydrogenase)
c. Gangguan hemoglobin
i. Hemoglobinopati structural
ii. Thalassemia
D. Bentuk campuran
E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
(Bakta, 2006)
29
KadarMikrositer
hipokrom
Normositer
normokromMakrositer
MCV < 80 fl 80 – 95 fl > 95 fl
MCH < 27 pg 27 – 34 pg -
Jenis
penyaki
t
1. Anemia
defisiensi
besi
2. Thalasemia
3. Anemia
penyakit
kronik
4. Anemia
sideroblasti
k
1. Anemia pasca
perdarahan
2. Anemia aplastik
– hipoplastik
3. Anemia
hemolitik
4. Anemia penyakit
kronik
5. Anemia
mieloptisik
6. Anemia gagal
ginjal
7. Anemia
mielofibrosis
8. Anemia sindrom
mielodisplastik
9. Anemia leukimia
akut
Megaloblastik
1. Anemia defisiensi
folat
2. Anemia defisiensi
vit B12
Nonmegaloblastik
A. Anemia
penyakit hati
kronik
B. Anemia
hipotiroid
C. Anemia
sindroma
mielodisplasti
k
3.4 Manifestasi Klinis
Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala yaitu :
a. Gejala Anemia Umum
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin.
Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penuruan hemoglobin sampai
kadar tertentu ( Hb<7 g/dL ).
30
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendengin
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan disepsia.
Pada pemeriksaan pasien tampak pucat yang dapat dilihat dari konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan bawah kuku. Sindrom anemia bersifat
tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak
sensitive karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat ( Hb<7 g/dL ).
b. Gejala khas anemia
Anemia defisiensi besi
- Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang
- Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah
liat, es, lem dan lain-lain
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologic pada defisiensi
vitamin B12
Anemia hemolitik : icterus, splenomegaly dan hepatomegaly
Anemia aplastic : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
c. Gejala Penyakit Dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat
infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih
31
dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis
rheumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anemia untuk mengaarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya
diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
3.5 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umunya, anamnesis pada kasus anemia harus diajukan
untuk mengeksplorasi
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit terdahulu
c. Riwayat gizi
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik
serta riwayat pemakaian obat
e. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh. Perhatian
khusus diberikan pada;
a. warna kulit: pucat,plethora, sianosis, icterus, kulit telapak tangan kuning
seperti jerami
b. purpura: petechie dan achymosis
c. kuku; koilonychias (kuku sendok)
d. mata: icterus koyungtiva pucat, perubahan fundus
e. mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis
dan stomatitis angularis
f. limfadenopati
g. hepatomegaly
h. splenomegaly
32
i. nyeri tulang atau nyeri sternum
j. hemarthrosis atau ankilosis sendi
k. pembengkakan testis
l. pembengkakan parotis
m. kelainan saraf
3. Pemeriksaan laboratorium hematologic
Pemeriksaan laboratorium hematologic dilakukan secara bertahap. Pemeriksaan
berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu
sehingga lebih terarah dan efisien.
a. Tes penyaring: tesini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus
anemia. Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemia
dan bentuk morfologi anemia tersebut. pemeriksaan ini meliputi:
i. Kadar hemoglobin
ii. Indeks eritrisit (MCV, MCH, MCHC). Dengan
perkembangan electronic counting di bidang
hematologi maka hasil Hb, WBC dan PLT (trombosit)
serta indeks eritrosit dapat diketahui sekaligus.
Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga
diketahui RDW (red cell distribution width) yang
menunjukan tingkat anisositosis sel darah merah.
b. Pemeriksaan rutin: untuk mengetahui kelainan pada system leukosit dan
trombosit. Pemeriksaan yang harus dikerjakan adalah laju endap darah,
hitung diferensial, hitung retikulosit
c. Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini dikerjakan pada sebagian
kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada
beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan
sumsum tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika
kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah
33
untuk mengkofirmasi dugaan diagnosis tersebut. pemeriksaan tersebut
antara lain:
i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferrin,
dan ferritin serum
ii. Anemia megaloblastik: asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.
iii. Anemia hemolytic: hitung retikulosit, tes coombs, elektroforesis
Hb
iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia
4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang
perlu dikerjakan antara lain:
Faal ginjal
Faal endokrin
Asam urat
Faal hati
Biakan kuman
Dan lain-lain
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti gagal
ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme. Ada juga kasus anemia
yang disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai hiperurisemia, sepertu
myeloma multiple. Pada kasus anemia yang disertai sepsis, seperti pada anemi
aplastic diperlukan kultur darah.
5. Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsy kelenjar dilanjutkan dengan pemeriksaan histipatologi
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, skening, limfagiografi.
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase cain reaction,
FISH = fluorescence in situ hybridization, dan lain lain)
34
LO. 4 Memahami dan Menjelaska Anemia Defisiensi Besi
4.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron
store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang
(Bakta, 2006).
4.2 Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit
yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan:
A. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama
dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada
periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat
badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi premature dengan
pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat
mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3
kali dibanding saat lahir.
Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
B. Kurangnya besi yang diserap
Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Malabsorpsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa
ususnya mengalami perubahan secara histology dan fungsional.
Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total
sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang
35
cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung
dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat
utama penyerapan besi heme dan non heme.
C. Perdarahan
Merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan
mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-
4 ml/ hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan
negative besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan
infestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necaor americanus)
yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah
dari pembuluh darah submukosa usus.
D. Transfuse feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan
menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa
neonates.
E. Hemoglobinuria
Dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui
urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.
F. Iatrogenic blood loss
Pada saat pengambilan darah vena (yang banyak) untuk pemeriksaan
laboratorium.
G. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Jarang terjadi. Ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang serta adanya infiltrate pada paru yang hilang timbul.
Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastic hingga
1,5-3g/dl dalam 24 jam.
36
H. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat, sekitar 40% remaja perempuan dan
17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10ug/dl. Perdarahan
saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang
timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
I. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang berasal
dari :
a. Saluran cerna: kanker lambung, kanker colon, infeksi cacing
tambang
b. Saluran genital: menorhagia / metiorhagia
c. Saluran kemih: hematuria
d. Saluran nafas: hemoptoe
J. Faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi di makanan / kualitas besi
K. Kebutuhan besi meningkat: anak pada pertumbuhan, kehamilan, dan
prematuritas
Gangguan absorbsi besi: gastroektomi, tropical sprue / kolitis kronis
4.3 Patofisiologi
Berbagai keadaan dapat menimbulkan defisiensi besi tetapi anemia
defisiensi besi terjadi tdak tergantung kepada penyebabnya, kekurangan zat besi
berkembang secara lambat laun, dimulai dari kekeurangan pada simpanan zat besi
yang ditandai dengan penurunan ferritin dalam serum dan tidak adanya zat besi
yang dapat diwarnai pada sumsumtulang. Perubahan ini diikuti oleh penurunan
kadar zat besi dalam serum dan peningkatan transferrin. Akhienya kemampuan
untuk membentuk hemoglobin, miglobin, dan protein-protein lain yang
mengandung zat besi berkurang, menyebabkan anemia krositik, gangguan kinerja
fisi dan kognitf, dan bahkan kekebalan juga menurun.
37
4.4 Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia yang di sebut sebagai sindrom anemia di jumpai pada
anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang kunang,
serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan
kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan.
Ciri khas :
Pucat
Koilonychias
Kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris garis vertical mejadi cekung
sehingga mirip seperti sendok
Athrofipapil lidah
Permukaan lidah mejadi licin dan mengkilat di karnakan papil lidah
menghilang
Satomatitis angularis
Adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak bercak berwarna
pucat keputihan
Disfalgia
Nyeri menelan di karnakan kerusakan hipofaring
Atrofi mukosa gaster
Pica
38
iron depleted state cadangan besi kosong
iron deficiency erythropoiesis
kekurangan besi berlanjut penyediaan besi untuk eritopoesis berkurangganggua pada bentuk eritrositanemia secara klinis belum terjadi
iron deficiency anemia
timbul anemia hipokronik mikrositikkekurangan besi pada epitelkehilangan beberapa enzim yang menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring an lain lain
Keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es,
lem, dan lain lain
http://medicalpicturesinfo.com/wp-content/uploads/2011/11/Koilonychia-
1.jpg
4.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
1. Diagnosis
Anamnesis
Penting pada anamnesis untuk menanyakan hal- hal yang mengindikasikan
adanya kausa dari anemia defisiensi besi. Hal penting untuk ditanyakan
misalnya:
- Riwayat gizi
- Anamnesis lingkungan
- Pemakaian obat
- Riwayat penyakit
- Pada remaja khususnya wanita bisa ditanyakan perdarahan
bulananya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi
umum yang mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi
kondisi pasien atau efek anemia terhadap kondisi umum pasien.
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan berbagai kondisi klinis
manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.
Pemeriksaan laboratorium
39
40
Jenis
Pemeriksaan
Nilai
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan
jenis kelamin pasien
MCV Menurun (anemia mikrositik)
MCH Menurun (anemia hipokrom)
Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE
sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan
konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada tiap
center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal tidak
menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun kadar ferritin
>100 mg/L memastikan tidak adanya anemia defisiensi besi
TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L
(normal: 300-360 mg/L )
Saturasi
transferrin
Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)
Pulasan sel
sumsum
tulang
Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang
dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat menunjukkan butir
hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-sel sideroblas yang
merupakan sel blas dengan granula ferritin biasanya negatif.
Kadar sideroblas ini adalah Gold standar untuk menentukan
anemia defisiensi besi, namun pemeriksaan kadar ferritin lebih
sering digunakan.
Pemeriksaan
penyait dasar
Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga
diperiksa, misalnya pemeriksaan feces untuk menemukan telur
cacing tambang, pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan
lainnya.
Sel pensil
2. Diagnosis Banding
a. Anemia penyakit kronik
Anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas
ditandai oleh gangguan metabolism besi, yaitu adanya hipoferemia
sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang
dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum
tulang masih cukup.
b. Thalasemia
Penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah
mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah merah normal.
c. Anemia sideroblastik
Anemia dengan sideroblas cincin dalam sumsum tulang.
Anemia
defisiensi
besi
Anemia
akibat
panyakit
kronik
Thalassemia Anemia
sideroblastik
MCV Menurun Menurun / N Menurun Menurun / N
MCH Menurun Menurun / N Menurun Menurun / N
Besi serum Menurun Menurun Normal Normal
TIBC Meningkat Menurun Normal /
Meningkat
Normal /
Meningkat
Besi sumsum
tulang
Negatif Positif Positif kuat Positif dengan
ring
41
sideroblastik
Protoporfirin
eritrosit
Meningkat Meningkat Normal Normal
Elektroforesis
Hb
Normal Normal Hb.A2
meningkat
Normal
4.6 Tata Laksana
Prinsip penatalaksanaananemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral maupun parenteral.
Setelah diagnosis ditegakkan maka akan dibuat rencana pemberian terapi.Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah :
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi
kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
(iron replacement therapy) :
i. Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena
efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous
sulphate (preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif). Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain : ferrous
gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate.
ii. Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih
besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi
parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu, seperti:
Intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan terhadap obat
rendah, penyerapan besi terganggu, keadaan dimana kehilangan
darah banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu pendek,
defisiensi besi fungsional relatif.
42
Kebutuhan besi (mg) = (15 – Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
3. Pengobatan lain
a. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein
terutama berasal dari protein hewani.
b. Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan
absorposi besi
c. Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah.
Diberikan hanya pada keadaan anemia yang sangat berat atau
disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Jenis
darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya
overload.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
*pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada
perdarahan cukup berat, ada penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi asam
folat. Serta kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika dijumpai keadaan
tersebut, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.
(Bakta, 2006)
4.7 Komplikasi
o Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung
bisa membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya,
sehingga terjadilah gagal jantung.
o Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat
lahir rendah.
o Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
o Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau pening.
o Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan dada
berdebar.
43
4.8 Pencegahan
1. Pendidikan kesehatan :
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat
mencegah penyakit cacing tambang
b. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorpsi besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
yang paling sering dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing
tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik
dan perbaikan sanitasi.
3. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk
yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada
perempuan hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makan. Di Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk
roti atau bubuk susu dengan besi.
44
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC
Dorland, W. A. Newman. (2002). “Kamus Kedokteran Dorland”. EGC 29.
Hoffbrand, A. V., Moss, P. A. H. 2013. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6.
Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC
www.kamuskesehatan.com/arti/eritrosit/ diakses pada 21 Oktober 2014
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20481/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 21 Oktober 2014
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 21 Oktober 2014
45