22
0 ANALISIS KEGAGALAN PASAR AKIBAT PENETAPAN FUEL SURCHARGE PADA PASAR PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA TAHUN 2006 - 2009 Sastyo Aji Darmawan 1306355422 Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

0

ANALISIS KEGAGALAN PASAR

AKIBAT PENETAPAN FUEL SURCHARGE

PADA PASAR PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA

TAHUN 2006 - 2009

Sastyo Aji Darmawan

1306355422

Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Page 2: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

1 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

ANALISIS KEGAGALAN PASAR

AKIBAT PENETAPAN FUEL SURCHARGE

PADA PASAR PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA

TAHUN 2006 – 2009

GAMBARAN UMUM1

Fuel surcharge merupakan sebuah komponen tarif baru dalam maskapai penerbangan

yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur yang signifikan

sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia. Fenomena pemberlakuan fuel surcharge dalam

industri penerbangan sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang juga berlaku di beberapa

belahan dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat biaya yang diakibatkan oleh kenaikan avtur

sangat signifikan bagi maskapai penerbangan.

Semua stakeholder penerbangan telah bersepakat bahwa implementasi fuel surcharge

sebagai komponen tarif penerbangan merupakan sebuah hal yang bisa “dipahami”, selama fuel

surcharge tersebut memang ditujukan untuk menutup kenaikan biaya yang diakibatkan oleh

kenaikan harga avtur semata.

Berdasarkan keterangan dari Departemen Perhubungan, pada saat ditetapkannya fuel

surcharge oleh maskapai penerbangan belum ada dasar hukum tentang diberlakukannya fuel

surcharge, namun terdapat peraturan yang mengatur tentang pungutan terkait dengan tarif

angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan komponen tarif penumpang

pelayanan kelas ekonomi, yaitu: Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 8 Tahun 2002

tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara

Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:

1 Dikutip dari Positioning Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan, 2009.

Page 3: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

2 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

KM 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri

Kelas Ekonomi.

Gambar 1 menunjukan kondisi harga avtur dipasaran pada periode Mei 2006 sampai Juni

2009 dan posisi harga avtur yang menjadi diakomodir dalam komponen tarif dasar tiket pesawat.

Gambar 1. Harga avtur dipasaran dan harga avtur tarif dasar

Sumber: KPPU

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) KM 9 Tahun 2002 diatas, apabila dirinci komponen dari

harga tiket pesawat adalah sebagai berikut:

a. Basic Fare (Tarif dasar);

b. IWJR (Iuran Wajib Jasa Raharja);

c. PPN; dan

d. Fuel Surcharge.

Pada penerapannya, penetapan fuel surcharge itu sendiri merupakan inisiatif yang

datangnya dari pihak maskapai penerbangan. Melalui INACA (Indonesia Natonal Air Carriers

Association), 11 maskapai penerbangan mengajukan usulan pemberlakuan fuel surcharge

Kepada Kementerian Perhubungan dengan didasari pada kondisi melemahnya nilai tukar Rupiah

terhadap US Dollar, sehingga harga avtur yang dijual oleh PT. Pertamina mengalami kenaikan

Page 4: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

3 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

sedangkan daya beli masyarakat menurun sehingga tingkat isian penumpang pesawat terbang

domestik (load factor) mengalami penurunan.

Menanggapi usulan tersebut, Departemen Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan

Udara mengirimkan surat kepada INACA melalui Surat Nomor: AU/5581/DAU.1952/05 tanggal

31 Oktober 2005 perihal pengenaan fuel surcharge atas kenaikan harga avtur.

Kemudian pada tanggal 10 Mei 2006, seluruh maskapai penerbangan mulai menerapkan

penetapan fuel surcharge sebesar Rp. 20.000,- sebagaimana telah disepakati dalam Berita Acara

Persetujuan Pelaksanaan Fuel Surcharge yang ditandatangani oleh Ketua Dewan INACA,

Sekretaris Jenderal INACA dan 9 (sembilan) perusahaan angkutan udara niaga yaitu PT Mandala

Airlines, PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero), PT. Dirgantara Air Service, PT. Srwijaya

Air, PT. Pelita Air Service, PT. Lion Mentari Air, PT. Batavia Air, PT. Indonesia Air Transport,

dan PT. Garuda Indonesia (Persero).

Penerapan besaran fuel surcharge dari INACA tersebut tidak berlangsung lama, sebab

KPPU mengeluarkan Surat Nomor 207/K/V/2006 tanggal 30 Mei 2006, yang intinya agar

INACA mencabut penetapan mengenai fuel surcharge dan mengembalikan kewenangan

penetapan fuel surcharge kepada masing-masing maskapai penerbangan, karena dianggap

sebagai sebuah bentul kartel yang eksplisit.

Selepas INACA membatalkan penetapan harga fuel surcharge dan menyerahkannya

kepada mekanisme pasar, maka kemudian setiap maskapai melakukan penetapan masing-

masing. Setiap maskapai memiliki kebebasan untuk menetapkan tarif tanpa terpengaruh pihak

maskapai lain.

Dalam perkembangan di Indonesia, fuel surcharge memperlihatkan perkembangan yang

cukup mencengangkan. Dimulai dengan harga Rp 20.000/ liter pada Mei 2006 pada saat harga

Page 5: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

4 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

avtur Rp 5.920/liter kemudian merangkak naik dan menjadi Rp 160.000-480.000 pada saat harga

avtur Rp 8.206/liter pada bulan Desember 2008. Kenaikan 8-24 kali, adalah sebuah kenaikan

yang luar biasa besar, sementara pada saat yang sama kenaikan avtur tidak mencapai 2 kali

lipatnya.

Berdasarkan pengamatan KPPU terhadap perkembangan fuel surcharge di industri

penerbangan domestik tersebut, muncul dugaan adanya praktik persaingan usaha tidak sehat

antara maskapai-maskapai penerbangan terkait penetapan fuel surcharge. Dari hasil penyelidikan

KPPU, pada tahun 2009 dikeluarkan Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 yang menjatuhkan

hukuman kepada 9 Maskapai Penerbangan yang diduga kuat melakukan penetapan besaran fuel

surcharge secara bersama-sama dan melanggar Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Eksekusi dari Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 tersebut ternyata tidak bisa

dilakukan, pasalnya pihak maskapai penerbangan dalam pasar penerbangan domestik tidak serta

merta mengakui kesalahan dan membayar ganti kerugian yang ditimbulkan akibat dugaan

penetapan fuel surcharge sejak tahun 2006 hingga 2009. Tindakan maskapai penerbangan ini

diperkuat dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung No. 613 K/PDT.SUS/2011 yang

mencabut seluruh dakwaan KPPU pada Putusan Nomor: 25/KPPU-I/2009 dan menyatakan

bahwa penetapan fuel surcharge bukanlah suatu bentuk kartel ataupun penetapan harga yang

mengakibatkan adanya kerugian atau kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen.

Makalah ini mencoba menganalisa tentang potensi kegagalan pasar yang terjadi akibat

penetapan fuel surcharge yang eksesif oleh maskapai penerbangan. Kekalahan KPPU dalam

persidangan pada perkara terkait menjadi pertanyaan besar, sampai sejauh mana otoritas KPPU

untuk menegakan hukum persaingan usaha telah menyentuh elemen paling mendasar tentang

Page 6: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

5 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

perilaku para pelaku usaha yang selalu berupaya memaksimalkan keuntungan dengan

menghilangkan persaingan.

RUMUSAN MASALAH

Dilatar belakangi kasus penetapan besaran fuel surcharge yang terjadi pada industri

penerbangan domestik pada tahun 2006-2009, maka menurut penulis ada 3 permasalahan yang

yang perlu dianalisa dari sisi ilmu ekonomi, antara lain:

1. Bagaimana struktur pasar penerbangan domestik Indonesia pada tahun 2006-2009?

2. Apa yang menjadi kelemahan KPPU dalam melakukan pembuktian terhadap dugaan

penetapan harga pada kasus fuel surcharge ?

3. Apakah ada kegagalan pasar disebabkan karena penetapan besaran fuel surcharge ?

TINJAUAN PUSTAKA2

Pasar Yang Bersangkutan

Definisi yang tepat dari pasar bersangkutan merupakan suatu fasilitas penting dari analisa

persaingan yang akurat. Pendefinisian pasar bersangkutan yang terlalu sempit dapat membawa

kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan persaingan, dan sebaliknya definisi pasar

bersangkutan yang terlalu lebar dapat menyamarkan permasalahan persaingan yang sebenarnya.

Ini tentu saja menjadi suatu kasus dimana penekanan terlalu banyak ditempatkan pada porsi

pasar yang muncul dari definisi pasar yang tidak tepat. Menurut UU No.5 Tahun 1999, pasar

bersangkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah

2 Dikutip dari: Andi Fahmi Lubis, et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Deutsche

Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Oktober 2009.

Page 7: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

6 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau

substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.

Dalam pengertian tersebut terdapat dua dimensi, yaitu dimensi produk (set of products)

yang terlihat pada kalimat:”…atas barang dana/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi

dari barang dan/atau jasa tersebut”, dan dimensi wilayah (relevant geographic market) yang

terlihat pada kalimat: “…berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu…”.

Struktur Pasar Oligopoli

Bentuk pasar oligopoli bukanlah merupakan hal yang luar biasa, oligopoli terjadi hampir

di semua negara. Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar,

dimana di dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan (few sellers). Setiap

perusahaan yang ada di dalam pasar tersebut memiliki kekuatan yang (cukup) besar untuk

mempengaruhi harga pasar dan perilaku setiap perusahaan akan mempengaruhi perilaku

perusahaan lainnya dalam pasar (Martin, 1994).

Namun demikian pada umumnya perjanjian oligopoli dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini disebabkan dalam oligopoli sangat

mungkin terjadi perusahaan-perusahaan yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan

harga pasar, menentukan angka produksi barang dan jasa, yang kemudian dapat mempengaruhi

perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun yang masih di luar pasar

(potential firms). Terjadinya kerjasama atau kolusi pada pasar oligopoli dapat terjadi secara

sengaja atau secara diam-diam tanpa adanya kesepakatan diantara para pelaku usaha (tacit

collusion). Kolusi secara diam-diam dapat terjadi karena adanya ”meeting of mind” diantara para

pelaku usaha untuk kebaikan mereka bersama untuk menetapkan harga atau produksi suatu

Page 8: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

7 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

barang. Kolusi yang seperti ini disejajarkan dengan kolusi karenanya dilarang dalam Hukum

Persaingan Usaha (Devlin, 2007).

Areeda menyatakan bahwa penetapan harga pada pasar oligopoli mempunyai beberapa

elemen. Pertama, harga pada oligopoli tidak dapat dihentikan secara efektif tanpa merestrukrisasi

industri dimana harga tersebut terjadi. Oligopoli terjadi karena sedikit perusahaan, maka perlu

adanya usaha agar bertambahnya pelaku usaha. Kedua, oligopoli sebenarnya merupakan share

monopoli, karenanya perlu diperlakukan sebagai monopolisasi atau praktek monopoli. Ketiga,

karena pasar yang oligopoli mempunyai potensi untuk mencegah masuknya pemain baru, maka

proposal merger antar pelaku usaha perlu mendapat perhatian yang serius. Keempat, pelaku

usaha dalam pasar yang oligopoli mungkin akan menerapkan langkah-langkah tambahan atau

yang dikenal dengan ”facilitating devices” seperti standarisasi untuk mencegah variasi harga

karena variasi produk, dan biaya-biaya angkutan atau pemberitahuan rencana kenaikan harga

(Areeda, 1988)

Selanjutnya pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri yang membutuhkan capital

intensive dan keahlian tertentu, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat

efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika di produksi dalam skala besar. Dengan demikian,

perjanjian oligopoli dapat saja mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima dan tidak

menimbulkan akibat yang begitu merugikan. Oleh karena itu Pasal 4 Undang-undang No.5/1999

yang mengatur mengenai oligopoli dirumuskan secara Rule of Reason, agar penegak hukum

dalam menegakan Undang-undang Persaingan Usaha dapat mempertimbangkan secara baik,

apakah oligopoli yang terjadi merupakan suatu hal yang alamiah (industri yang memiliki capital

intensive yang tinggi), atau mempunyai alasan-alasan yang dapat diterima, ataukah perjanjian

oligopoli tersebut dibuat hanya bertujuan sekedar untuk membatasi persaingan belaka.

Page 9: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

8 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Penetapan Harga

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999 diatur

di dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5 Tahun 1999 terdiri dari perjanjian

penetapan harga (Price Fixing Agreement), diskriminasi harga (Price Discrimination), harga

pemangsa atau jual rugi (Predatory Pricing), dan pengaturan harga jual kembali (Resale Price

Maintenance).

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang

dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang setingi-

tingginya. Dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara pelaku usaha (produsen atau

penjual), maka akan meniadakan persaingan dari segi harga bagi produk yang mereka jual atau

pasarkan, yang kemudian dapat mengakibatkan surplus konsumen yang seharusnya dinikmati

oleh pembeli atau konsumen dipaksa beralih ke produsen atau penjual. Kekuatan untuk mengatur

harga, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kekuatan menguasai pasar dan menentukan

harga yang tidak masuk akal (Areeda, 1981).

STRUKTUR PASAR

Jika diasumsikan memang benar ada penetapan harga yang dilakukan oleh sejumlah

maskapai penerbangan, maka menurut hemat penulis struktur pasar penerbangan domestik

Indonesia seharusnya berbentuk oligopoli.

Pada kenyataannya di dalam pasar penerbangan domestik berjadwal antara maskapai

penerbangan sejak tahun 2006 hingga 2009 tidak mengkarakteristikan pasar tersebut sebagai

pasar oligopoli, karena kecenderungan pangsa pasar maskapai penerbangan besar yang semakin

menurun seiring berjalannya waktu. Persentase pangsa pasar pada industir penerbangan domestik

dapat dicermati pada tabel 1 dibawah ini.

Page 10: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

9 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Tabel 1. Pangsa Pasar Maskapai Penerbangan 2004 - 2009

Sumber: Kementerian Perhubungan

Data pada tabel 1 menunjukan bahwa pangsa pasar penerbangan domestik di Indonesia

sejak tahun 2006 sampai 2009 bergerak dinamis. Maskapai Garuda Indonesia yang notabene

adalah maskapai terbesar di Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar sejak tahun 2004. Hal

serupa dialami oleh maskapai Lion Air, jika di tahun 2004, Lion Air memiliki pangsa pasar

26,61%, di 2009 pangsa pasarnya turun menjadi 22,53% meskipun lebih besar dari pangsa pasar

Garuda Indonesia yaitu 19,16% di 2009.

Apabila KPPU menggunakan pendekatan struktur pasar pada kasus penetapan fuel

surcharge, sebenarnya dinamika persaingan pada jasa penerbangan domestik sudah memberikan

asumsi dasar yang menguatkan bahwa persaingan dalam jasa penerbangan domestik cukup

kompetitif. Ketidak seimbangan yang nampak pada pangsa pasar masing-masing maskapai

penerbangan bukan disebabkan karena adanya market power, namun dipengaruhi oleh faktor

jumlah rute penerbangan yang dimiliki oleh setiap maskapai penerbangan.

Lantas asumsi apa yang menjadi dasar KPPU untuk menyimpulkan bahwa penetapan fuel

surcharge memiliki implikasi praktik persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan

kegagalan pasar pada industri jasa penerbangan domestik Indonesia.

Page 11: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

10 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Kerugian Konsumen

Pergerakan besaran fuel surcharge yang ditetapkan oleh setiap maskapai penerbangan

memang menunjukan kecenderungan yang sama pada setiap penerbangan domestik dengan lama

perjalanan < 1 jam, 1- 2 jam, dan 2 – 3 jam. Jika pada bulan Mei 2006 besaran fuel surcharge

adalah sama, yaitu sebesar Rp 20.000,- per penumpang, namun menurut data yang diterima oleh

KPPU sejak bulan September 2007 besaran fuel surcharge masing-masing maskapai

penerbangan mulai berbeda-beda.

Gambar 2. Pergerakan Fuel Surcharge Pada Penerbangan < 1 jam

Sumber: KPPU

Dalam menghitung besarnya kerugian konsumen yang diakibatkan oleh penetapan fuel

surcharge secara eksesif oleh maskapai penerbangan. KPPU melakukan perbandingan antara

fuel surcharge aktual dan fuel surcharge acuan estimasi serta fuel surcharge aktual dan fuel

surcharge acuan Departemen Perhubungan.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa tahun 2006, INACA pernah mengeluarkan

acuan besaran fuel surcharge sebesar Rp 20.000,-. Acuan ini digunakan KPPU sebagai bahan

estimasi acuan besaran fuel surcharge dari tahun 2006 sampai 2009. Grafik 1 dibawah ini

menggambarkan acuan besaran fuel surcharge yang seharusnya digunakan maskapai

penerbangan selama kenaikan harga avtur.

Page 12: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

11 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Gambar 3. Estimasi Fuel Surcharge KPPU Berdasarkan INACA

Sumber: KPPU

Dari hasil estimasi tersebut, KPPU beranggapan bahwa sewajarnya besaran fuel

surcharge paling tinggi hanya sebesar Rp 60.000,- per penumpang ketika harga avtur diatas Rp

12.000 per liter di Agustus 2008, namun pada praktiknya kenaikan fuel surcharge mencapai 8

sampai 24 kali sejak Bulan Mei 2006.

Estimasi ini selanjutnya digunakan oleh KPPU sebagai salah satu metode untuk

menghitung selisih fuel surcharge yang seharusnya dibayar konsumen dengan yang telah dibayar

konsumen. Sementara acuan Departemen Perhubungan dikeluarkan pada bulan Februari tahun

2008 melalui Surat Edaran Dirjen Perhubungan Udara. Hasil perbandingan dengan

menggunakan kedua acuan tersebut menunjukan adanya selisih antara Fuel Surcharge aktual

dengan fuel surcharge acuan estimasi dan fuel surcharge acuan Departemen Perhubungan,

dimana besaran fuel surcharge aktual relatif lebih besar.

Berikut ini adalah gambaran dari selisih antara penetapan fuel surcharge aktual dan fuel

surcharge acuan estimasi yang dilakukan oleh KPPU.

Page 13: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

12 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Gambar 4. Fuel Surcharge aktual dan Fuel Surcharge acuan estimasi

Sumber: KPPU

Dari hasil perbandingan tersebut diatas terlihat sejak Bulan November 2006 pergerakan

fuel surcharge mengalami peningkatan dan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus 2008. Di

tahun 2006 dan 2007, besaran fuel surcharge tertinggi ditetapkan oleh maskapai Express Air

dengan persentase terhadap fuel surcharge acuan estimasi sebesar 64% pada tahun 2006 dan

182% pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008, Mandala Airlines menetapkan fuel

surcharge tertinggi dengan persentase 3.825% diatas fuel surcharge acuan estimasi. Sementara

pada tahun 2009, persentase tertinggi dialami oleh Merpati Airlines yaitu sebesar 989%.

Gambar 5. Fuel Surcharge aktual dan Fuel Surcharge acuan Dephub

Sumber: KPPU

Page 14: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

13 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Pada gambar 5 ditunjukan bahwa selisih antara penetapan besaran fuel surcharge aktual

dan fuel surcharge acuan Departemen Perhubungan tidak sama dengan selisih fuel surcharge

aktual dengan fuel surcharge acuan estimasi. Selain itu perbandingan ini dilakukan hanya untuk

penetapan fuel surcharge aktual sejak tahun 2008 sampai 2009. Karena formula fuel surcharge

acuan Departemen Perhubungan baru dikeluarkan pada bulan Februari 2008.

Pada tahun 2008, persentase selisih tertinggi dialami oleh maskapai Garuda Indonesia

sebesar 50% lebih tinggi dari fuel surcharge acuan departemen Perhubungan. Sementara pada

tahun 2009 fuel surcharge aktual tertinggi dilakukan oleh Merpati Airlines dengan persentase

sebesar 62% diatas fuel surcharge acuan departemen Perhubungan.

Berdasarkan data hasil perbandingan ini KPPU menilai bahwa terdapat excessive fuel

surcharge yang dinikmati oleh 9 maskapai penerbangan sejak tahun 2006 hingga 2009 yang

merupakan kerugian atau kehilangan kesejahteraan (welfare losses) dari konsumen yang nilainya

berkisar antara 5 trilyun Rupiah sampai 13,8 trilyun Rupiah.

KPPU menduga bahwa selisih tersebut bukan lagi digunakan untuk menutupi kekurangan

biaya kenaikan harga avtur pada tarif dasar melainkan untuk menutupi kekurangan cost lain atau

bahkan meraup keuntungan.

Keyakinan KPPU bahwa perilaku maskapai penerbangan dalam industri penerbangan

domestik mengarah pada praktik persaingan usaha tidak sehat mendorong dikeluarkannya

Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 yang menjatuhkan hukuman kepada seluruh maskapai

penerbangan dengan denda ganti rugi yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan perhitungan

selisih besaran fuel surcharge yang telah dilakukan KPPU. Tetapi pada perkembangannya

Putusan KPPU tersebut dianggap tidak memiliki pembuktian yang kuat baik dari sisi hukum

maupun dilihat dari kaidah ilmu ekonomi.

Page 15: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

14 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

KELEMAHAN DALAM PEMBUKTIAN

Dalam melakukan pembuktian pada kasus penetapan fuel surcharge pada pasar

penerbangan domestik Indonesia tahun 2006 sampai 2009, KPPU melakukan beberapa metode

pengujian statistik, untuk mendapatkan indirect evidence terhadap kasus terkait.

Tindakan KPPU tersebut dilakukan karena pada dasarnya KPPU tidak memiliki bukti

yang eksplisit bahwa seluruh maskapai penerbangan melakukan kesepakatan secara bersama-

sama dalam menentukan besaran fuel surcharge selama kenaikan harga avtur.

Adapun metode uji statistik yang dilakukan KPPU tersebut antara lain adalah: uji korelasi

dan uji homogenity of varians. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa terdapat hubungan liner

yang positif, dimana terdapat korelasi yang tinggi dengan nilai rata-rata 0,90 atas pergerakan fuel

surcharge yang ditetapkan oleh setiap maskapai penerbangan. Sedangkan dari hasil uji

homogenity of varians menunjukan bahwa terdapat variasi yang sama dari seluruh pergerakan

fuel surcharge maskapai penerbangan dengan signifikansi yang tinggi.

Kedua hasil uji stastistik tersebut menguatkan dugaan KPPU bahwa memang terjadi

praktik penetapan harga pada pergerakan fuel surcharge. Namun upaya pembuktian yang telah

dilakukan KPPU pada saat itu memiliki beberapa kelemahan. Menurut penulis ada 3 kelemahan

dari pembuktian pada kasus terkait, antara lain:

a. Kelemahan pada definisi pasar yang bersangkutan;

b. Kelemahan pada data yang digunakan; dan

c. Kelemahan pada uji statistik.

Definisi Pasar Yang Bersangkutan

Pasal 1 angka 10 Undang-undang No.5 Tahun 1999 mendefinisikan pasar bersangkutan

sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku

Page 16: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

15 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa

tersebut.

Jika dicermati dari dimensi produk maka sesungguhnya produk jasa yang ditawarkan

oleh setiap maskapai penerbangan bukanlah jasa yang sama dan menjadi subtitusi satu sama lain.

Hal ini disebabkan karena tidak semua maskapai penerbangan memiliki rute penerbangan yang

sama. Selain itu kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan juga berbeda-

beda. Contohnya pada rute penerbangan Jakarta – Surabaya, maskapai Garuda Indonesia dan

maskapai Lion Air sama-sama beroperasi pada rute tersebut, namun tingkat kualitas pelayanan

selama penerbangan yang diberikan kepada konsumen oleh kedua maskapai tersebut berbeda.

Jika Garuda Indonesia menerapkan Full Service pada setiap rute penerbangannya, sementara

Lion Air menerapkan pelayanan Low Cost Carrier.

Anggapan yang senada juga terlihat jika mencermati definisi pasar yang bersangkutan

dari dimensi wilayah. Jasa penerbangan domestik pada setiap maskapai penerbangan tidak semua

memiliki daerah pemasaran yang sama. Hal ini juga disebabkan karena rute penerbangan yang

dimiliki oleh masing-masing maskapai penerbangan berbeda-beda.

Data yang digunakan

KPPU menginventarisir data dari setiap maskapai penerbangan untuk melakukan estimasi

besaran fuel surcharge yang seharusnya dibayar oleh konsumen. Namun pada masa pemeriksaan

kasus terkait, data yang diterima oleh KPPU tidak lengkap. Beberapa maskapai penerbangan

tidak menyampaikan data-data yang diminta oleh KPPU untuk kepentingan pemeriksaan

perkara, sehingga KPPU berinisiatif melakukan estimasi sendiri data besaran fuel surcharge

yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan untuk melengkapi kekurangan data tersebut.

Page 17: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

16 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

Estimasi yang dilakukan KPPU mengabaikan fakta bahwa sesungguhnya besaran fuel

surcharge dipengaruhi oleh jenis mesin pesawat, usia pesawat, beban angkut pesawat dan lain

sebagainya.

Akibat dari penggunaan data yang tidak faktual ini juga menjadi titik kelemahan pada uji

statistik yang dilakukan KPPU. Karena data yang digunakan tidak aktual, hasil uji menjadi

diragukan keakuratan dan kekuatan hukumnya dalam memutus perkara.

Uji Statistik

Meskipun telah dijelaskan sebelumnya bahwa data yang digunakan untuk melakukan

pengujian statistik bukanlah data yang faktual, melainkan data hasil estimasi KPPU, maka

sesungguhnya hasil uji statistik KPPU diragukan signifikansinya. Namun jika kita lihat dari

kaidah ilmu statistik, tahapan pengujian yang dilakukan oleh KPPU belum komprehensif. Ada

beberapa metode pengujian lain yang tidak dilakukan, padahal jika dilakukan hasil uji yang

muncul membantah seluruh dugaan adanya penetapan besaran fuel surcharge secara bersama-

sama oleh maskapai penerbangan.

KPPU hanya menggunakan uji statistik: uji korelasi dan uji varians Bartlette, padahal

berdasarkan kaidah ilmu statistik sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No.

613 K/PDT.SUS/2011, metode pengujian standar yang umum dilakukan untuk mengetahui ada

atau tidaknya kesamaan perilaku yang saling berkaitan adalah dengan melakukan beberapa

metode pengujian, antara lain:

a. Uji Varians Bartlette, Levenne, dan Borwn-Forysthe, untuk mengetahui keragaman dari

sejumlah sampel;

b. Uji korelasi, untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variable lainnya,

dan

Page 18: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

17 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

c. Granger Test, untuk menentukan apakah suatu rangkaian data dapat digunakan untuk

mengetahui adanya sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya.

Maskapai Garuda Indonesia dalam eksepsinya di persidangan menunjukan hasil uji

statistik yang dilakukan sesuai dengan tahapan yang dijelaskan diatas dan data yang faktual. Dari

keseluruhan pengujian menunjukan bahwa pergerakan fuel surcharge tidak menunjukan adanya

variasi yang sama dan tidak memiliki hubungan sebab akibat satu sama lain.

KEGAGALAN PASAR

Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung No. 613 K/PDT.SUS/2011, maka

dakwaan KPPU terhadap 9 maskapai penerbangan dalam Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-

I/2009 dicabut. Begitu juga hukuman yang berupa ganti kerugian berdasarkan estimasi yang

telah dilakukan oleh KPPU tidak dipenuhi oleh seluruh maskapai penerbangan.

Lantas apakah dengan dicabutnya Putusan KPPU Nomor: 25/KPPU-I/2009 tersebut, serta

merta menghilangkan dugaan adanya kegagalan pasar pada kasus penetapan besaran fuel

surcharge secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan. Apakah benar konsumen

menanggung kerugian akibat penetapan besaran fuel surcharge yang eksesif?

Meskipun pergerakan fuel surcharge memang menunjukan adanya kecenderungan yang

sama karena terdapat korelasi yang positif dan variasi yang seragam, tanpa adanya bukti

koordinasi atau pertemuan yang bersifat kolusif (direct evidence) diantara para perusahaan

penerbangan bukan merupakan bukti yang memadai untuk menyatakan adanya perjanjian dalam

penetapan besaran fuel surcharge.

KPPU sendiri mengakui bahwa suatu dugaan penetapan harga memang sulit dibuktikan,

karena keberadaan teori ekonomi maka terdapat kecenderungan para pelaku usaha yang bersaing

Page 19: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

18 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

akan mengeluarkan harga yang sama, baik pada pasar kompetitif maupun kartel, sehingga

adanya harga yang sama tidak dapat dianggap sebagai indikasi pelanggaran terhadap hukum

persaingan usaha.

Mengutip pernyataan persidangan di European Court of Justice pada kasus serupa bahwa

harga yang paralel dalam pasar oligopoli yang memproduksi barang sejenis belum menjadi bukti

yang cukup adanya concerted practice. Dengandemikian perilaku paralel yang nampak dengan

adanya price leadership yang dijadikan patokan belum dapat menjadi bukti yang cukup. Selain

itu, meskipun memang kolusi dilarang dalam persaingan, hal ini tidak mengurangi hak pelaku

usaha untuk beradaptasi dengan perilaku pesaingnya (European Court of Justice).

KESIMPULAN

Dari hasil analisa yang dilakukan berdasarkan teori-teori ekonomi yang terkait dalam

perilaku perusahaan dan persaingan usaha, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Struktur pasar industri penerbangan domestik Indonesia pada tahun 2006 hingga 2009

mencirikan pasar yang kompetitif, dibuktikan dengan data pangsa pasar industri

penerbangan domestik yang tidak menunjukan pasar yang terkonsentrasi dan tidak

adanya barrier to entry bagi perusahaan baru yang ingin masuk ke pasar;

b. Kelemahan KPPU dalam melakukan pembuktian terkait dugaan adanya penetapan

besaran fuel surcharge secara bersama-sama oleh maskapai penerbangan, yaitu:

kekeliruan dalam mendefinisikan pasar yang bersangkutan, pengolahan data yang tidak

berdasarkan kondisi faktual, dan uji statistik yang tidak komprehensif.

Page 20: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

19 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

c. Penetapan besaran fuel surcharge yang eksesif sangat berpotensi mengakibatkan

kegagalan pasar pada industri penerbangan domestik. Dengan kondisi regulasi yang ada

perilaku perusahaan yang berupaya menghilangkan persaingan antar pelaku usaha sangat

mungkin terjadi, namun pada kasus terkait dakwaan yang dikenakan KPPU kepada

seluruh maskapai penerbangan tidak cukup bukti. Selain itu konsumen jasa penerbangan

tidak pernah menyatakan kerugiannya akibat adanya penetapan besaran fuel surcharge.

SARAN KEBIJAKAN

Beberapa saran kebijakan yang mungkin bisa dijadikan masukan bagi KPPU dan aparatur

hukum terkait ketika menangani kasus serupa di masa mendatang, antara lain:

a. Penguatan kelembagaan KPPU agar memiliki otoritas penuh ketika melakukan

penyelidikan terhadap perilaku dunia usaha yang bertentangan dengan hukum persaingan

usaha, terutama dalam hal pemeriksaan atau penggeledahan untuk memperoleh data atau

bukti-bukti yang dibutuhkan selama proses persidangan

b. KPPU dalam mendalami kasus yang serupa harus melakukan analisa dengan rule of

reason, dan jika melakukan pengujian untuk dapat menghadirkan indirect evidence yang

bisa menguatkan pembuktian di persidangan harus dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu

yang digunakan dan data yang faktual.

Page 21: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

20 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009), Putusan Nomor 25/KPPU-I/2009, Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, Jakarta.

Mahkamah Agung (2011), Putusan Nomor 613 K/PDT.SUS/2011, Mahkamah Agung, Jakarta.

Literatur

Areeda, P. (1981). “Antitrust Analysis, Problems, Text, Cases”. Little Brown and Company.

Devlin, A. (2007). [Stanford Law Review]. “A Proposed Solution to Problem of Parallel:

Pricing in Oligopolistic Market”.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009), “Position Paper KPPU Terhadap Fuel Surcharge

Maskapai Penerbangan”, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta.

Lubis, Andi Fahmi, et.al. (2009), “Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks”.

Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, Jakarta

Martin, S. (1994). “Industrial Economics, Economic Analysis and Public Policy (2nded.)”.

Oxford: Blackwell Publishers.

Page 22: Analisa kegagalan pasar akibat penetapan fuel surcharge

21 Analisis Kegagalan Pasar Akibat Penetapan Fuel Surcharge