Upload
itho-supril
View
2.036
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin majunya teknologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka semakin tinggi pula tuntutan masyarakat yang
berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
tentang kesehatan.Selain itu dalam system kesehatan nasional
dijelaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya
kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan tersebut berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitative, namun masih banyak permasalahan-permasalahan
yang dijumpai masyarakat, salah satunya penyakit atau gangguan
system pernafasan asma bronchiale. (Depkes RI, 2002).
Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan
sesak napas dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap
orang berbeda.Kondisi ini akibat kelainan inflamasi dari jalan napas di
paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas saraf pada jalan napas
sehingga mudah teriritasi.Pada saat serangan, alur jalan napas
membengkak karena penyempitan jalan napas dan pengurangan
aliran udara yang masuk ke paru-paru (WHO, 2011).
2
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan
faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam
berbagai tingkat pada berbagai individu.Penyebab pastinya belum
jelas, namun diduga hipereaktivitas bronkus. Hiperaktivitas bronkus
sendiri, diduga karena hambatan sebagai sistem adrenergik,
kurangnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus sistem
parasimpatik yang akan mengakibatkan spasme bronkus.
Menurut WHO Prevalensi asma di seluruh dunia adalah
sebesar 81% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun
terakhir ini meningkat sebesar 50% . Berdasarkan laporan National
Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan
asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). WHO juga memperkirakan terdapat sekitar 250.000
kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS tahun
2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi (Kartasasmita, 2008).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2008, penyakit-penyakit yang menyebabkan sesak napas seperti
bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke-7 di
Indonesia. Di Indonesia kira-kira 2-20% populasi anak yang dilaporkan
pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan yang
menyeluruh tetapi diperkirakan berkisar antara 5-10%. Di poliklinik
3
Subbagian Paru Anak FKUI/RSCM Jakarta lebih dari 50% kunjungan
merupakan pasien asma (Kemenkes, 2011).
Penemuan penderita asma pada balita di Sulawesi Tenggara,
sejak tahun 2011 hingga 2013, berturut–turut adalah 34.278 kasus,
tahun 2012 35.126 kasus, tahun 2013 sebanyak 35.537 kasus (Dinkes
Sultra).
Untuk data awal yang didapatkan melalui Dinkes Kabupaten
Konawe jumlah penderita asma bronchial tahun 2011 pada balita
adalah 4.175 (51,08%) kasus, pada tahun 2012 jumlah penderita asma
pada balita semakin meningkat yakni 4.265 (67,50%) kasus, dan pada
tahun 2013 berjumlah 4.305 (50,30%) kasus (Dinkes Konawe).
Data awal yang didapatkan di BLUD RSU Konawe khususnya
diruang perawatan zaal anak, tahun 2011 terdapat 327 orang anak
mengalami asma bronchial, 2012 sebanyak 348 orang, dan tahun
2013 didapatkan 352 orang anak mengalami penyakit asma bronchial
(Rekam medis BLUD RSU Konawe).
Persoalan asma harus ditangani secara serius karena
merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang dulu
merupakan salah satu penyebab kematian dan mengurangi
produktivitas penyandangnya. Dengan obat dan cara pengelolaan
yang baru, seharusnya asma bukan masalah lagi di Indonesia.
(Nataprawira, 2008).
4
Salah satu terapi yang sering digunakan sekarang untuk
penyakit asma adalah terapi inhalasi.Terapi inhalasi merupakan salah
satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak digunakan saat
ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya ± 4000 tahun SM
pada masyarakat Mesir, India, Yunani maupun Roma. Di Indonesia,
penggunaan inhalasi telah danyak digunakan sejak jaman dahulu
sebagai terapi pada salesma dengan menggunakan uap panas.
Penggunaan aerosol sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama
kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun 1829.
Sebenarnya prinsip terapi inhalasi telah digunakan sejak dahulu
misalnya penggunaan asap untuk pengobatan batuk. Pada awal
penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini hanya mengubah obat
cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam perkembangannya bentuk
lainpun dapat digunakan sebagai terapi inhalasi, yaitu bentuk powder
(bubuk). Serta bahan yang digunakan tidak turut dipertimbangkan
pengaruhnya terhadap lingkungan pada awalnya, tetapi akhir-akhir ini
mulai dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat dengan
lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon (Supriyanto B,
2001).
Asma merupakan salah satu gangguan pernafasan yang sering
di dapatkan pada anak anak, dimana terjadi suatu proses inflamasi
yang berakibat timbulnya gejala penyempitan jalan nafas berupa sesak
nafas dan episode mengi berulang. Pengobatan asma bertujuan untuk
5
menghentikan serangan asma secepat mungkin serta mencegah
serangan berikutnya ataupun bila timbul serangan kembali diusahakan
agar serangannya tidak berat.Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
diberi obat bronkodilator pada saat serangan dan atau obat
antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk menekan reaksi inflamasi
yang terjadi. Pemberian obat pada asma dapat dengan berbagai
macam cara yaitu parenteral, oral, atau inhalasi (Kaswandani N, 2008).
Bronkospasme mengakibatkan gangguan dalam pertukaran
gas dan bila terjadi pada klien, gejalanya yaitu klien sukar bernafas.
Pengobatan yang tepat,cepat, dan dapat bekerja efektif sangat
dianjurkan, salah satu obatnya yaitu bronkodilator. Pemberian
bronkodilator ini melalui jalur inhalasi, pengobatan ini bertujuan untuk
memperlebar jalan nafas, dengan melemaskan otot bronkioli atau
mengurangi rasa radang. Terapi inhalasi merupakan satu teknik
pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori
(saluran pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam
saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas ketika
serangan asma dapat dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik
penggunaan inhaler yang sesuai (Hasan rusepno, 2008).
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung
ke dalam saluran napas melalui hirupan.Terapi pemberian ini, saat ini
makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan
penyakit-penyakit saluran napas.Berbagai macam obat seperti
6
antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan
pada terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang memungkinkan
penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana saja dan kapan
saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan sesak napas.
Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat asma inhalasi yang
berbentuk aerosol ini harus berukuran sangat kecil (2-5 mikron) (The
New England Journal of Medicine 2003).
Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikan pertama (1986)
yang pada dosis biasa memiliki daya kerja yang lebih kurang spesifik
terhadap reseptor b2.selain berdaya bronchodilatasi baik, ventolin
dengan isi salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi
mastcell, maka sangat efektif mencegah maupun meniadakan
serangan asma. Dewasa ini obat ini sudah lazim digunakan dalam
bentuk dosis-aerosol berhubung efeknya pesat dengan efek samping
yang lebih ringan daripada penggunaan per oral. Pada saat inhalasi
seruk halsu atau larutan, kira-kira 80% mencapai trachea, tetapi hanya
7-8% dari bagian terhalus (1-5 mikron) tiba di bronchioli dan paru-paru.
(http//:farmakologi.com).
Prof.Dr. Zullies Ikawati, Apt, salah satu staf pengajar di Fakultas
Farmasi UGM.Zullies memulai penjelasan mengenai obat golongan
steroid. Contoh obat golongan steroid antara lainbudesonide,
beclometason dan deksametason. Obat lini pertama dalam terapi
asma ini umum digunakan untuk tujuan pencegahan kambuhnya
7
asma.Kendati dapat pula untuk mengatasi keadaan saat asma
kambuh. Pada terapi pencegahan yang mengharuskan pasien
mengkonsumsi obat secara rutin sebaiknya menggunakan bentuk
sediaan inhalasi atau lebih dikenal dengan sebutan metered dose
inhaler (MDI).Penggunaan inhalasi memiliki memiliki onset lebih cepat
dibandingkan dengan penggunaan per oral (obat diminum sehingga
melewati saluran cerna).Efek samping pun bisa diminimalisir karena
obat hanya bekerja di seputar saluran pernapasan
(http://pharmacy.go.my/patient_education/inhalation_malay.shtml).
Alat yang sering digunakan untuk melakukan terapi inhalasi
pada pasien asma adalah nebulizer.Nebuliser merupakan suatu alat
yang dapat mengubah obat yang bentuk awalnya berupa larutan lalu
diubah menjadi bentuk aerosol yang dikeluarkan secara terus menerus
dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik. Dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser
yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebulizer (Kaswandani N, 2008)
Terlepas dari uraian diatas, khususnya diruang perawatan zaal
anak BLUD RSU Konawe, dr.ahli anak terkadang memberikan terapi
inhalasi menggunakan jet nebulizer tanpa menggunakan obat inhalasi
seperti ventolin ataupun combivent. Tetapi menggunakan cairan NaCl
dosis 3 ml/8 jam pada pasien anak yang dirawat diruang perawatan
anak dengan diagnosa medis asma bronchiale.
8
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dengan ini peneliti
tertarikuntukmeneliti efektifitas pemberian terapi inhalasi nebulizer
menggunakan ventolin dan cairan NaCl terhadap pasien asma
bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan :
1. Apakah pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan ventolin
efektif terhadap pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak
BLUD RSU Konawe tahun 2014 ?
2. Apakah pemberian terapi inhalasi nebulizer menggunakan cairan
NaCl efektif terhadap pasien asma bronchiale di ruang perawatan
anak BLUD RSU Konawe tahun 2014 ?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer terhadap
pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU
Konawe tahun 2014.
9
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer
menggunakan ventolin terhadap pasien asma bronchiale di
ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014.
b. Untuk mengetahui efektifitas terapi inhalasi nebulizer
menggunakan cairan NaCl terhadap pasien asma bronchiale di
ruang perawatan anak BLUD RSU Konawe tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya tentang efektifitas terapi inhalasi
nebulizer menggunakan ventolin dan cairan NaCl terhadap
pasien asma bronchiale di ruang perawatan anak BLUD RSU
Konawe tahun 2014.
b. Dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan di BLUD
RSU Konawe.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
peneliti maupun pihak lain mengenai manfaat penggunaan terapi
inhalasi nebulizer terhadap pasien asma bronchiale khususnya
pada anak yang mengalami penyakit asma bronchiale
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
Untuk memahami tentang penggunaan nebulizer, anatomi dan
fisiologi pernapasan harus dipahami terlebih dahulu. Secara fungsional
saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi dan respirasi. Pada bagian konduksi, udara bolak-balik di
antara atmosfir dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi (dead
space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi juga
berfungsi sebagai proteksi dan pengaturan kelembaban udara. Bagian
konduksi meliputi rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,
brnkus, bronkiolus nonrespiratorius (Harris, David. 2006).
Pada bagian respirasi terjadi pertukaran udara (difus) yang
sering disebut dengan unit paru, yang terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris. Tujuan utama
respirasi adalah untuk menyediakan oksigen (O2) bagi sel-sel tubuh
dan membawa karbondioksida (CO2) darinya. Agar respirasi dapat
berlangsung harus ada jalan untuk membawa oksigen ke tubuh dan
system sirkulasi yang mengantarkannya pada sel-sel tubuh serta
mengeluarkan CO2 dari sel-sel tersebut. Transport O2 berlangsung
melalui saluran pernapasan atas dan bawah (Ward, Jeremy, dkk.
2008).
11
Saluran pernapasan atas terdiri dari hidung, nasofaring, mulut
dan orofaring serta laring. Saluran napas bawah dibentuk oleh trakea,
saluran utama bronkus, bronkhiolus dan duktus alveolaris, yang
kemudian berakhir pada alveoli. Saluran pernapasan, dalam
melakukan fungsinya sebagai saluran udara, memiliki 3 fungsi:
menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara (Ganong WF,
2008).
Secara histolgis epitel yang melapisi permukaan saluran
pernapasan terdiri dari epitel gepeng berlapis berkeratin dan tanpa
keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia pada
rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel kuboid selapis bersilia pada
bronkiolus repiratorius; epitel gepeng selapis pada duktus alveolaris
dan sakus alveolaris serta alveolus. Dibawah lapisan epitel tersebut
terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah,
serabut saraf dan kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos serta
serabut elastin(Ganong WF, 2008).
Sebelum mencapai alveoli, udara yang dihirup melalui suatu
saluran pernapasan dibersihkan dari semua partikel yang berdiameter
lebih dari 2 µm. Pembersihan terhadap partikel–partikel ini, seperti
debu dan bakteri, memungkinkan sterilisasi pada alveolus. Benda–
benda asing disaring melalui beberapa mekanisme. Sel–sel goblet
pada lapisan epitel saluran pernapasan menghasilkan sejumlah
substansi mukopolisaarida yang tebal, yakni mucus. Silia, yang
12
ditemukan sepanjang percabangan saluran pernapasan seperti bronki,
akan mendorong mucus dan benda – benda asing menuju faring yang
kemudian akan dikeluarkan dengan batuk dan bersin(Rab T. 2006).
Selama inspirasi udara di panaskan sesuai dengan suhu tubuh,
dan lebih dari 1000 ml air digunakan perhari untuk meningkatkan
kelembaban udara yang dihirup sampai paling tidak 80%, dan
disimpan sebagai cadangan cairan, rata-rata sebanyak 300 ml air
perhari dalam respirasi yang normal(Ganong WF, 2008).
Pada sistem respirasi, alveolus merupakan unit dasar untuk
pertukaran gas pada sistem respirasi. Pada paru orang sehat, alveoli
yang berjumlah lebih dari 300 juta merupakan kantong-kantong kecil
berasal dari duktus alveolaris. Duktus alveolaris terdiri dari otot polos
yang mampu melebar dan berkontraksi. Alveoli sendiri terdiri dari
selapis epitel skuamosa dan suatu membran basalis yang elastis.
Kedua lapisan ini bersama lapisan endotel dan membrane basalis
kapiler, membentuk membran alveolar-kapilar atau interface.
Pertukaran gas terjadi melewati membran yang tebalnya kurang dari 1
um ini(Ganong WF, 2008).
Paru terdiri atas beberapa lobus, paru kanan terdiri dari 3 lobus,
atas, tengah, dan bawah. Paru kiri memiliki dua lobus, atas dan bawah.
Udara dialirkan kesetiap lobus melalui bronkus lobaris yang
merupakan cabang dari bronkus utama. Perbedaan penting antara
paru kanan dan kiri adalah dalam hal ukuran saluran udaranya.
13
Bronkus dari trakea sehingga lebih sering menjadi tempat masuknya
bahan – bahan yang aspirasi. Bronkus kiri lebih sempit dan berjalan
dengan membentuk sudut yang lebih tajam dengan trakea, menjadikan
sekret dari paru kiri lebih sulit untuk
dikeluarkan(http://www.asthmastuff.com/nebulizer.htm).
Paru terletak disebelah dalam dan dilindungi oleh rongga
toraks. Rongga thorak dilapisi pleura. Pleura adalah suatu membran
serosa yang luas, satu permukaannya melapisi bagian dalam rangka
kosta ( pleura parietalis ) sedangkan permukaan pleura yang lainnya (
pleura visceralis ) membungkus paru. Ruang diantara kedua
permukaan itu dikenal sebagai “ ruang potensial “. Ruang ini biasanya
mengandung beberapa millimeter cairan seerosa yang mencegah
pergesekan pada saat kedua permukaan tersebut saling bertemu.
Proses respirasi meliputi ventilasi, perfusi dan difusi. Ventilasi
meliputi pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang – cabang
trakeo-bronkial, sehingga oksigen sampai pada alveoli dan
karbondioksida di buang. Perfusi adalah istilah untuk aliran darah pada
kapiler paru. Difusi adalah proses pergerakan gas ( O2 dan CO2 )
melintasi membran alveolar–kapiler yang alirannya di mulai dari daerah
dengan konsentrasi yang besar kedaerah dengan konsentrasi yang
lebih kecil, menimbulkan keseimbangan alveokapiler (Hoan dkk, 2010).
Berdasarkan semua di atas, barulah kita pahami bagaimana
obat inhalasi dapat masuk dan bekerja pada paru. Obat masuk dengan
14
perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi)
melalui saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel
selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa
pembuluh darah, kelenjar, dan otot polos.
B. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Asma Bronchiale
1. Definisi asma bronchial
Istilah asma dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah”
dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini
digunakan untuk menyatukan gambaran klinis napas pendek tanpa
memandang sebabnya, sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk
keadaan-keadaan yang menunjukkan respon abnormal saluran
napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan napas yang meluas. (Price, 2005).
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang
ditandai oleh spasme akut otot polos bronkiolus.Hal ini
menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi
alveolus.(Huddak & Gallo, 2007).
Prinsip yang mendasari asma menurut beberapa definisi
diatas bahwa pada asma bronkial ini terjadi penyempitan bronkus
yang bersifat reversible yang terjadi oleh karena bronkus yang
hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen. Asma bronkial
juga bisa dikatakan suatu sindrom yang ditandai dengan adanya
15
sesak nafas dan wheezing yang disebabkan oleh karena
penyempitan menyeluruh dari saluran nafas intra pulmonal (Huddak
& Gallo, 2007).
2. Patofisiologi asma bronchial
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut.Asma dapat terjadi
melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan
fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE ab-
normal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan
sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat
dengan bronkiolus dan bronkus kecil.Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE or-
ang tersebut meningkat.Alergen kemudian berikatan dengan
antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam media-
tor.Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu
akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus
16
kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen.Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen
dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan
sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan
vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
17
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf
eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcito-
nin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel
inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur
secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
beratnyahipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik (Iris rengganas, 2008).
3. Etiologi
a. Faktor Ekstrinsik
Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen
yang terdapat di udara (antigen – inhalasi ), seperti debu rumah,
serbuk – serbuk dan bulu binatang.
b. Faktor Intrinsik
Infeksi misalnya Virus yang menyebabkan ialah para
influenza virus, respiratory syncytial virus (RSV),
18
bakterimisalnya pertusis dan streptokokkus, jamur, misalnya
aspergillus, cuaca misalnya perubahan tekanan udara, suhu
udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan
percepataniritan bahan kimia, minyak wangi, asap rokok,
polutan udara, emosional seperti takut, cemas dan tegang,
aktifitas yang berlebihan misalnya berlari.
4. Manifestasi Klinik
a. Wheezing
b. Dyspnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot- otot asesori
pernapasan
c. pernapasan cuping hidung
d. batuk kering ( tidak produktif) karena secret kental dan lumen
jalan napas sempit
e. diaphoresis
f. Sianosis
g. Nyeri abdomen karena terlibatnya otot abdomen dalam
pernapasan
h. Kecemasan, labil dan penurunan tingkat kesadarn
i. Tidak toleran terhadap aktifitas : makan, bermain, berjalan,
bahkan bicara
5. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asma
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
asma adalah :
19
a. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada
asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan
(NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3
mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma
(Moffatt, dkk 2007).
b. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak
(7-10%), yaitu umur 5 - 14 tahun.Sedangkan pada orang
dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5%
(Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut
studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and
Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 - 34
tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi
8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan
menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46
tahun (Pratama dkk, 2009).
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko
terjadinya asma pada anak -nak. Akan tetapi pada masa
pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering
terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa
20
tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua
jenis kelamin (Maryono, 2009).
d. Factor Pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus
asma yang paling penting.Alergen - allergen ini dapat berupa
kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu
umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet
dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan
menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di
perkotaan. Paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing
dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma.
Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan
biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel - partikel
besar (Ownby dkk (2002).
Iritan - iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan
kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana
rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada
penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan
mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan
pengontrolan asma. Balita dari ibu yang merokok mempunyai
resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam
tahun pertama kehidupannya (Dezateux dkk (1999).
21
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang
adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma Riwayat
penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan
dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh
sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran
pernapasan (Respiratorysyncytialvirus) akan terus menderita
mengi atau menderita asma dalam kehidupannya (Nurafiatin
dkk, 2007).
6. Pathogenesis
Konsep patogenesis asma adalah inflamasi kronis,
berupa penyempitan dinding saluran pernafasan yang
menyebabkan aliran udara yang keluar semakin
terbatas, selain itu saluran nafas yang semakin responsif
ketika menerima rangsangan dari beberapa stimulan. Ciri khas
inflamasi saluran pernafasan adalah bertambahnya jumlah
aktivitas eosinofil, sel mast, makrofag, limfosit T di
mukosa saluran pernafasan dan lumen. Bersamaan dengan
terjadinya inflamasi kronis terjadi, stimulan epitel brokial
memperbaiki radang sehingga terjadi pergantian fungsi dan
struktural (biasanya disebut remodeling). Hal ini berlangsung
secara terus menerus sehingga timbul gambaran khas asma dari
respon inflamasi dan remodeling saluran pernafasan
(Mangunnegoro H, 2006).
22
Masuknya agen lingkungan ke dalam pejamu dapat
menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap sel saluran
pernafasan.Saluran pernafasan terdiri dari otot polos dan sel-sel
kelenjar traktus respiratorius.Pengaruh agen lingkungan yang kuat
dapat menyebabkan peningkatan kontraktilitas dengan
bronkonspasme dan peningkatan sekresi mukus yang merupakan
ciri khas dari asma (Alsagaff H, 2005).
Pada mekanisme imun, masuknya agen lingkungan ke
dalam tubuh diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel
penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan agen lingkungan
tersebut dikomunikasikan kepada sel T penolong). Sel T
penolong memberikan paparan agent lingkungan kepada
interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, dan beberapa agen melewati sel fagosit atau sel
mediator terlebih dahulu. Sel fagosit adalah elemen-
elemen yang terlibat dalam proses penelanan dan memakan
partikel-partikel dari lingkungan eksterna; dapat dipandang
sebagai penghalang antara lingkungan dan sel sasaran,
melindungi sel sasaran dari injuri selanjutnya. Fagositosis dilakukan
oleh makrofag, neutrofil, dan eosinofil. Sel-sel ini,
bersamaan dengan mekanisme efektor yang dipicu dalam
mobilitasnya. Beberapa faktor kemotaktik yang
dibangkitkan dari sistem komplemen atau berasal dari
23
limfosit yang dapat menyebabkan berkumpulnya sel-sel fagosit
didaerah inflamasi. Pengaruh dari proses ini adalah mobilisasi sel
fagosit yang digunakan untuk perlindungan sel
sasaran dari injuri. Namun terkadang sel fagosit dapat
menambah injuri jaringan dengan keluarnya produk-produk
intraseluler, seperti terjadinya alterasi dalam kumpulan epitel,
abnormalitas dalam kontrol saraf autonomik pada irama saluran
pernafasan, mukus hipersekresi, perubahan fungsi mokosiliary, dan
otot polos pada saluran pernafasan yang responsive (Syafiuddin T,
2006).
Agen lingkungan juga melakukan interaksi dengan sel
mediator. Sel mediator melakukan fungsinya dengan melepaskan
zat-zat kimia yang mempunyai aktivitas biologik, misalnya
menambah permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran
pernafasan, infiltrasi sel-sel radang, sekresi
mucus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan saluran
pernafasan yang hiperrespons. Sel-sel mediator,
hampir sama dengan sel sasaran yang mewakili jenis
kelompok morfologi heterogen seperti sel mast, basofil, dan
neutrophil yang mampu mempengaruhi asma (Irit Rengganis,
2008).
Respon interaksi agen lingkungan terhadap sel-sel
mediator, terjadi pembentukan dan pelepasan beberapa zat
24
yang dapat berpotensi sebagai pencetus asma. Zat-zat tersebut
diantaranya histamin, serotinin, kinin, prostaglandin, tromboksan,
leukotrin C4, D4, dan E4 (yang merupakan substansi reaktif lambat
dari anafilaksis), faktor kemotaktik eosinofilik dari anafilaksis (ECF-
A), dan faktor pengaktif trombosit. Terbentuknya zat tersebut,
dapat mempengaruhi respons imunologi nonspesifik dan bekerja
dengan sel sasaran seperti alergi dan asma ekstrinsik, atau sel
fagosit dengan peningkatan kemotaksik. Bronkokonstriksi timbul
akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV.Reaksi
hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh (Irit Rengganis, 2008).
7. Stadium Asma
a. Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk
proksisimal, karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental
dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang
batuk
b. Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan
dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan
mulai merasa sesak napas berusaha bernapas lebih dalam.
Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi.Tampak otot
25
napas tambahan turut bekerja.Terdapat retraksi supra sternal,
epigastrium dan mungkin juga sela iga.Anak lebih senang
duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat
tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar
mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta
bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil,
cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal
dan interkostal.
c. Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara
sangat sedikit sehingga suara napas hampir tidak
terdengar.Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka
ada perbaikan.Juga batuk seperti ditekan.Pernapasan dangkal,
tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi
(Roy CJ, Milton DK, 2004).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat
mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama,
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita
asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006)
menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan
control (GINA, 2009).
26
Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
medikasi dan Pengobatan berdasarkan derajat
a. Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan
melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral.
Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar
langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang
minimal ataupun tidak ada. Macam-macam pemberian obat
inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan
alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath-actuated
IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang,
terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari
untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006).
Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut
sebagai pencegah terdiri dari:
1) Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
2) Leukotriene modifiers
3) Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)
4) Metilsantin (teofilin)
5) Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
27
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila
diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan
mengurangi gejala-gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah
dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada,
dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan
napas (http://emedicine.medscape.com/pulmonology).
b. Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat
asma dibagi menjadi:
1) Asma intermitten
a) Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b) Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi
dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja
singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis
β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
c) Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu
selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita di perlakukan
sebagai asma persisten ringan.
28
2) Asma Persisten Ringan
a) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol
dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:
(1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan
sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2
kerja lama inhalasi : Budenoside 200-400 μg/hari dan
fluticasone propionate : 100-250 μg/hari Teofilin lepas
lambat
(2) Kromolin
(3) Leukotriene modifiers
b) Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi)
dapat diberikan bila perlu (Katzung BG, 2008).
3) Asma Persisten sedang
a) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol
dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan :
(1) Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis)
dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
(2) Budenoside: 400-800 μg/hari
(3) Fluticasone propionate : 250-500 μg/hari
(4) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800
μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat
(5) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 μg/hari)
ditambah agonis β-2 kerja lama oral
29
(6) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
(7) Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 μg/hari) tambah
leukotriene modifiers.
b) Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
(1) Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak
lebih dari 3-4 kali sehari, atau
(2) Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
(3) Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja
singkat
(4) Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila
penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat
sebagai pengontrol
c) Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus
ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
d) Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada
inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan
agar lebih mudah
4) Asma persisten berat
a) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik
mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat
pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai
30
nilai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan
efek samping obat seminimal mungkin.
b) Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar
dapat mengontrol asma, dengan pilihan :
(1) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam
dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
(2) Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
(3) Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama
oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan
sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
(4) Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan
spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal
seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk
karena iritasi saluran napas atas (Katzung BG, 2008).
9. Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut
dengan sesak yang memburuk secara progresif disertasi
batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-
gejala tersebut.Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya
arus napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri
atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat
dipercaya dibanding gejala.Penderita asma terkontrol dengan
31
steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksa-
serbasi.Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami
eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran
napas.Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan
keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu
pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian
obat.Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi
pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian
intravena dibanding oral.Jumlah pemberian steroid sistemik
untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat
darurat dapat berlangsung 3-10 hari.Untuk kortikosteroid,
tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang
dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari)
juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga
mendapat kortikosteroid inhaler.
10. Pencegahan
a. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan
sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada
masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan
dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada
bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
32
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi
kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator
masih merupakan hipotesis.
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor
(trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah,
hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti
polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi
pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti meng-
hentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja,
makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat mem-
perbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya
penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan
sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan.
Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor
dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan
berbagai faktor lainnya (Hasan rusepno, 2005).
C. Tinjauan Khusus Tentang Asma Bronchial Pada Anak
1. Definisi asma pada anak
Asma adalah keadaan inflamasi kronik dengan
penyempitan saluran pernapasan yang reversibel. Tanda
karakteristik berupa episode wheezing berulang,
sering disertai batuk yang menunjukkan respons terhadap obat
33
bronkodilator dan anti-inflamasi. Antibiotik harus diberikan
hanya jika terdapat tanda pneumonia.
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat
napas cepat saja.Frekuensi pernapasan (hitung napas selama 1
menit ketika anak tenang :
a. Umur < 2 bulan : > 60 kali
b. Pada anak umur 2 bulan - 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Pada anak umur 1 tahun - 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
d. Umur > 5 tahun : > 30 kali
2. Diagnosis
a. Episode batuk dan atau wheezing berulang
b. Hiperinflasi dada
c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. Ekspirasi memanjang dengan suara wheezing yang dapat
didengar
e. Respons baik terhadap bronkodilator.
Bila diagnosis tidak pasti, beri satu dosis bronkodilator kerja-
cepat.Anak dengan asma biasanya membaik dengan cepat,
terlihat penurunan frekuensi pernapasan dan tarikan dinding dada
dan berkurangnya distres pernapasan. Pada serangan berat, anak
mungkin memerlukan beberapa dosis inhalasi.
34
3. Tatalaksana
a. Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress
pernapasan, bisa dirawat di rumah hanya dengan terapi
penunjang, tidak perlu diberi bronkodilator.
b. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing
berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI
(metered dose inhaler).
c. Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan
epinefrin/adrenalin sub-kutan. Periksa kembali anak setelah 20
menit untuk menentukan terapi. selanjutnya :
1) Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada
napas cepat, Nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan
salbutamol hirup atau bila tidak tersedia, beri salbutamol
sirup per oral atau tablet.
2) Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah
sakit dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan
obat lain seperti yang diterangkan di bawah.
d. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum,
rawat dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat
lain yang diterangkan di bawah.
e. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator
kerja-cepat dan dosis pertama steroid dengan segera. Respons
positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar
35
lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit.
Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval
20 menit.
f. Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat,
beri aminofilin IV.
g. Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat
sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu
berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat).
h. Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga
cara berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI
dengan alat spacer, atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan,
seperti yang diterangkan di bawah :
1) Salbutamol nebulasi :
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara
minimal 6-10 L/ menit.Alat yang direkomendasikan adalah
jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen.beri
bronkodilator kerja cepat dan lakukan penilaian setelah 20
menit. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa
diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-
8 jam bila kondisi anak membaik.Bila diperlukan, yaitu pada
kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu
singkat.Respons terhadap bronkodilator kerja cepat dapat
membantu menentukan diagnosis dan terapi.
36
2) Salbutamol MDI dengan alat spacer
Alat spacer dengan berbagai volume tersedia
secara komersial. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik
jika memakai masker wajah yang menempel
pada spacer dibandingkan memakai mouthpiece. Jika
spacer tidak tersedia spacer bias dibuat menggunakan
gelas plastic atau botol plastic 1 liter. Dengan alat ini
diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas dari
alat selama 30 detik.
3) Epinefrin (adrenalin) subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak
tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis
0.01 ml/kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum: 0.3 ml),
menggunakan semprit 1 ml jika tidak ada perbaikan setelah
20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis
yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan
diberikan steroid dan aminofilin.
4) Bronkodilator oral
Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan,
bila tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol
hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet).
Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.
37
5) Steroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat
berikan kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3
mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau
deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari
pemberian selama 3-5 hari.
6) Aminofilin
a) Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator
kerja cepat, beri aminofilin IV dengan dosis awal (bolus)
6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya
telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya.
Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian
aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety
aminofilin amat sempit.
b) Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai
muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit kepala,
hipotensi, atau kejang.
c) Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria
bisa menjadi alternatif.
7) Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau
anak asma yang bernapas cepat tanpa disertai
38
demam.Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi
bakteri.
8) Komplikasi
Jika anak gagal merespons terapi yang sudah
diberikan, atau kondisi anak memburuk secara tiba-tiba,
lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat adanya
pneumtoraks/atelectasis.
9) Pemantauan
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa oleh
perawat sedikitnya setiap 3 jam, atau setiap 6 jam setelah
anak memperlihatkan perbaikan dan oleh dokter minimal
1x/hari. Catat tanda vital. Jika respons terhadap terapi buruk,
rujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya (Nurul
Ainy Sidik, 2013).
D. Tinjauan Tentang Nebulizer
1. Definisi Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang dapat mengubah obat yang
berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus- menerus dengan
tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik.
Mengenai nebulizer dan penguapan merupakan suatu cara
pemberian obat melalui inhalasi / pernafasan. Fungsinya sama
39
dengan seperti dengan pemberian obat lainnya namun mempunyai
daya effectivitas lebih tinggi dibandingkan melalui mulut / oral.
Sebagai contoh : yang biasa nya penyembuhan flu selama 1
minggu, dengan terapi nebulizer sembuh dalam 3 hari.
Cara kerja terapi penguapan adalah obat-obat tersebut dilarutkan
dalam bentuk cairan yang diisikan ke nebulizer.Nebulizer
mengubah partikel menjadi uap yang di hirup sehingga langsung
menuju paru-paru.Mampu menghancurkan dahak / slem / plegm.
2. Mekanisme kerja nebulizer
Cara kerja nebulizer adalah dengan penguapan. Beberapa
macam dasar cara kerja adalah kompresor, ultrasound atau
oksigen. Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk
dari cairan ( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang
dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred
Doze Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry
Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran
napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran partikel
yang terbentuk dengan mekanisme Hukum Brown yaitu Impaksi,
Sedimentasi dan Difusi. Impaksi adalah membentur dan
menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang terjadi
karena pergerakan udara melalui inspirasi dan ekspirasi,
sedimentasi adalah sampainya partikel pada mukosa bronkus
karena mengikuti efek gravitasi. Ukuran partikel berkisar antara
40
0,01 mikron sampai 100 mikron. Penyebaran partikel obat akan
tergantung kepada besaran mikronnya; partikel dengan ukuran 5-
10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada
trakeobronkial sedangkan partikel <1 mikron akan keluar dari
saluran napas bersama proses ekspirasi. (Chrystin, Workshop
Aerosol Medicine ERS, 2005).
Mekanisme kerja nebulizer sampai saat ini selalu
berkembang, secara teknologi disesuaikan dengan kebutuhan
penggunaan obat. Selain itu harus diperhatikan pula mengenai
kontinuitas kerja alat nebulizer, karena ada beberapa nebulizer
yang menggunakan tombol pengatur output aerosol, atau tanpa
tombol pengatur sehingga aerosol keluar terus menerus. Pada tipe
kontinu banyak dosis obat yang terbuang, sedangkan yang
menggunakan tombol pengatur produksi aerosol dapat disesuaikan
dengan pola napas pemakai. Ada beberapa tipe nebulizer dengan
klep di bagian mouthpiece-nya yang akan secara otomatis tertutup
bila pemakai tidak menarik napas, penggunaan obat menjadi
efektif. Lama terapi penguapan 5-10 menit, dapat diberikan 3-4 kali
sehari (seperti jadwal pemberian obat).
3. Klasifikasi Nebulizer
a. Berdasarkan penggunaannya, nebulizer dapat diklasifikasikan
menjadi :
41
1) Disposible nebulizer, sangat ideal apabila digunakan dalam
situasi gawatdarurat / di ruang gawat darurat atau di rumah
sakit dengan perawatan jangka pendek. Apabila nebulizer di
tempatkan di rumah, dapat digunakan lebih dari satu kali,
apabila dibersihkan setelah digunakan. Dan dapat terus
dipakai sampai dengan 2 minggu apabila dibersihkan secara
teratur.
2) Re-usable nebulizer, dapat digunakan sampai kurang lebih 6
bulan. Keuntungan nebulizer jenis ini adalah desainnya yang
lebih komplek dan dapat menawarkan suatu perawatan
dengan efektivitas yang ditingkatkan dari dosis pengobatan.
Keuntungan lain adalah dapat direbus untuk proses
desinfeksi. Selain itu, dapat juga digunakan untuk terapi
setiap hari.
b. Berdasarkan cara kerjanya, nebulizer diklasifikasikan menjadi
1) Nebulizer Jet - Aerosol
Nebulizer dengan penekan udara (Nebulizer compressors),
memberikan tekanan udara dari pipa ke tutup (cup) yang
berisi obat cair. Kekuatan tekanan udara akan memecah
cairan ke dalam bentuk partikel- partikel uap kecil yang dapat
dihirup secara dalam ke saluran pernapasan. Ukuran partikel
yang dihasilkan 2-8 mikron. Beberapa bentuk jet nebulizer
dapat pula diubah sesuai dengan keperluan, sehingga dapat
42
digunakan pada ventilator dan IPPB (Intermiten Positive
Pressure Breathing).
2) Nebulizer ultrasonik (Ultrasonic Nebulizer)
Nebulizer ini menggunakan gelombang ultrasonik (vibrator
dengan frekuensi tinggi), sehingga dengan mudah dapat
mengubah cairan menjadi partikel kecil yang bervolume
tinggi, yakni mencapai 6cc/menit. Secara perlahan mengubah
dari bentuk obat cair ke bentuk uap atau aerosol basah.
(Catatan: pulmicort tidak dapat digunakan pada sebagian
nebulizer ultrasonik). Besarnya partikel adalah 5 mikron maka
dengan mudah masuk ke saluran pernapasan, sehingga
dapat terjadi reaksi, seperti bronkospasme dan dispnoe.Oleh
karena itu alat ini hanya dipakai secara intermitten, yakni
untuk menghasilkan sputum dalam masa yang pendek pada
pasien dengan sputum yang kental (Harris, David. 2006).
3) Nebulizer Mini
Nebulizer ini merupakan generasi baru (New generation of
nebulizer) digunakan tanpa menggunakan tekanan udara
maupun ultrasound. Alat ini sangat kecil, dioperasikan
dengan menggunakan baterai, dan tidak berisik(Harris,
David. 2006).
4. Tujuan, Indikasi Dan Kontraindikasi Terapi Nebulizer
43
Tujuan pemberian nebulizer untuk mengurangi sesak,
mengencerkan dahak (meningkatkan produksi sekret) dan dapat
mengurangi / menghilangkan bronkospasma.Terapi nebulizer
diindikasikan untuk penderita gangguan saluran napas.
Kontraindikasi terapi nebulisasi adalah pada pasien dengan
hipertensi, takikardi, riwayat alergi, trakeotomi, fraktur di daerah
hidung. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan adalah kontra
indikasi dari obat yang kita gunakan untuk nebulisasi (Harris, David.
2006).
5. Pemilihan Obat
Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau
kelainan saat itu. Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi
nebulizer berbentuk solutio, suspensi atau obat khusus yang
memang dibuat untuk terapi inhalasi.Golongan obat yang sering
diberikan via nebulizer yaitu beta agonis, antikolinergik,
kortikosteroid dan antibiotic (Ward, 2008).
Berikut ini adalah penjelesan mengenai obat-obat yang
dapat diberikan dengan terapi nebulizer :
Obat Sedian dan
kandungan
Keterangan
Bronkodilator : bekerja dengan merelaksasi otot polos bronkus dan membantu memudahkan
dalam bernapas
Salbutamol
(Ventolin)
- Nebule 2.5
mg in 2,5ml
- Diencerkan dengan 4 ml NaCl 0,9 %
- Dapat dikombinasi Budesonide dan juga Ipratropium
44
- Nebule 5
mg in 2,5 ml
Untuk
semua usia,
tetapi hati-
hati
penggunaan
pada usia <
18 bulan
Terbutaline(Bricanyl) Respule 5 mg
dalam 2 ml
Disetujui untuk
BB > 25 kg
Dapat
diberikan pada
semua usia
- Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %
- Dapat dikombinasi dengan terbutalin, budesonide dan
Ipratropium.
Adrenaline
(Epinefrine)
Injeksi 1 :
1000
Digunakan
untuk usia
yang ≥ 1 tahun
Dapat di encerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %
Observasi ketat dengan monitor EKG dan saturasi
oksigen.
Antikolinergik
Ipratropium Bromide
(atrovent)
Nebule 250
mcg dalam 1
ml
Nebule 500
mcg dalam 2
ml
- Diencerkan dengan 4 mlNacl 0,9 % (penggunaan dengan
mouthpiece lebih baik daripada masker, dan menurunkan
risiko kerusakan mata
- Dapat di campurkan dengan budesonide, salbutamol,
terbutaline.
45
Diberikan
untuk usia > 3
tahun
Kortikosteroid: untuk menekan proses inflamasi
Budesonide
(Pulmicort)
- Nebule
500 mcg
dalam 2 ml
- Nebule 1
mg dalam
2 ml
- Diberikan
pada usia
>3 bulan.
- Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mencegah
skin rash.
- Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %
- Dapat dicampurkan dengan Terbutaline, Salbutamol,
Ipratropium.
Fluticasone (flixotid) Nebule 500
mcg dalam 2
mlNebule 2
mg dalam 2 ml
Dapat
diberikan
untuk usia >16
tahun.
Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %
Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mencegah skin
rash.
Kombinasi Produk : mengandung antikolinergik dan bronkodilator
Combivent Nebule
(Ipratropium
Bromide 500
Sebaiknya jangan diencerkan atau dicampur dengan
obat lain
46
mcg &
salbutamol 2,5
mg) dalam 2,5
ml
Diberikan
pada usia > 12
tahun
Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mengurangi
risiko kerusakan mata
Hanya digunakan pada pasien COPD
Duovent Nebule
(Ipratropium
Bromide 500
mcg
&Fenoterol
1,25 mg)
dalam 4 ml
Diberikan
pada usia > 14
tahun
Diencerkan dengan 4 ml Nacl 0,9 %
Penggunaan mouthpiece lebih baik untuk mengurangi
risiko kerusakan mata
Mukolitik
Dornase Alfa
(Pulmozyme)
Nebulizer
Solusio 2.5mg
dalam 2.5ml
Diberikan
pada usia > 5
tahun
- Sebaiknya tidak diencer-kan atau dicampur deng-an obat
lain
- Harus disimpan dalam lemari pendingin
Hypertonic Saline Nacl 5% -
6mldosis
atau
- digunakan untuk meng-induksidahak untuk diagnosis
- dipersiapkan denganmencampur Nacl 30% 1mldengan
Air 5ml untuk suntikan
- Dipersiapkan dengan mencampur Nacl 30% 1ml dengan
47
Nacl 7.5% -
5mldosisuntuk
induksi
sputum
Air 4ml untuk suntikan
- Dapat menyebabkanmual dan muntah
- Digunakan itu pra-perawatan pasien dengan brokodilator
untuk mengurangi bronko-spasme
Antibiotik:Antibiotik dapat diberikan untuk menembus fokus infeksi dalam dahak. Antibiotik
Nebulised harus selalu diberikan setelah fisioterapi atau bronkodilator pengobatan,
menggunakan mouthpiece.
Colistimethate
Sodium/colistin
(Colomycin)
Injeksi
1Mu/vial
Digunakan
untuk semua
usia
- Larutkan dengan Nacl 0,9% 4ml
- Sebaiknya tidakdiencerkan lebih lanjut atau dicampur
dengan
obat lain kecuali gentamisin (cat: jika keadaan krusial)
Gentamicin
Tobramycin
Injeksi
80mg/2ml
(ampul)
Injeksi
40mg/ml dan
80mg/2ml
(ampul)
- Kedua antibiotik ini tidak dianjurkan untuk terapi
nebulizer. Namun dapat digunakan sebagai terapi
nebulizer jika keadaan krusial.
- Diencerkan dengan 4ml dengan Nacl 0,9%.
- Sebaiknya tidak dicampur dengan obat lain.
Tobramycin (TOBI) Nebulizer
Solusio
300mg/5ml
Diberikan
pada usia>6
tahun
- Sebaiknya tidakdiencer-kan atau dicampurdengan obat
laindan diberikan setelah semua obat nebulizer lain
- Harus disimpan dalam lemari pendingin
Pentamidine :
48
- Pentamidin adalah obat yang berbahaya dengan banyak efek samping dan seharusnya
hanyadiberikan oleh mereka yang berpengalaman dalampeng-gunaannya
- Pakaian pelindung - masker, celemek dan sarung tangan harus dipakai oleh petugas
- Obat ini teratogenik, wanita usia subur harus menghindari kontak obat.
- Pentamidin Nebulizer adalah sebagai profilaksis terhadap dan pengobatan lini kedua untuk
Pneumocystiscarinii pneumonia (PCP)
- Pre-medikasi dengan bronkodilator
Pentamidine
isethioat
Nebulizer
solusio
300mg/5ml
Injeksi
300mg/vial
Digunakan
pada orang
dewasa
- Dapat diencerkan dengan air untuk Injeksi
- Gunakan mouthpiece dan tube exhauser saat
penggunaan pentamide inhalasi
Ribavirin
Ribavirin (Virazole) Nebulizer
Powder
6gr/vial untuk
cairan inhalasi
Digunakan
untuk
neonatus dan
anak-anak
- Ribavirinadalah obatyang berbahayadengan banyak efek
sampingdanseharusnya hanya diberikanoleh
yangberpengalaman dalampenggunaannya.
- Pakaian pelindung-masker,celemekdan sarung
tanganharus dipakaioleh petugas.
- Memiliki efek teratogenik
- Ribavirindapat digunakanuntuk
mengobatiBronchiolitisVirusparahRespiratorysyncytialya
ng paling sering menyerang bayi.
(Kirana, 2010).
6. Prosedur Terapi Nebulizer
49
a. Alat- alat yang digunakan
Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah,
antara lain generator aerosol, nebulizer, tempat obat cair dan
alat hisapnya yang dapat berupa masker, mouthpiece atau
kanul ( kanul hidung, kanul trakeostomi ). Serta obat-obat untuk
pernapasan dan Nacl untuk pengeceran obat pernapasan
tersebut.
Generator aerosol adalah sumber tenaga yang diberikan
kepada nebuliser sehingga dapat mengubah cairan menjadi
aerosol atau partikel halus.
Masker, digunakan pada pasien dengan kesadaran
menurun.Tidak memerlukan koordinasi inspirasi atau ekspirasi
dari pasien.Hati hati pada penggunaan kortikosteroid atau
antikolinergik.Kerugian menggunakan masker yaitu
mengganggu kemampuan pasien untuk berkomunikasi, tidak
nyaman, lembab, harus terus melekat pada wajah untuk
mencegah kebocoran, dapat terjadi aspirasi jika pasien muntah
terutama pasien yang tidak sadar / pasien anak.
Mouthpiece, obat yang terhirup akan lebih efektif.
Diperlukan koordinasi inspirasi dan ekspirasi yang baik.Berikan
sambungan kor pada pipa inspirasi.Pada trakeostomi diperlukan
konektor khusus; dapat juga dengan T konektor biasa (David.
2006).
50
b. Penggunaan nebulizer
Dalam penggunaan terapi nebulizer diperlukan teknik
yang benar agak efek obat tercapai. Untuk ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu:
1) Pengiriman gas
Penggunaan oksigen sebagai sarana pengiriman gas.
Berikan oksigen suplemen 6-8 liter/menit, dengan flow rate
disesuaikan menurut kondisi pasien, pulse oximetry / hasil
AGD (Analisa Gas Darah). Inhalasi katekolamin dapat
merubah ventilasi-perfusi paru dan memperburuk
hipoksemia untuk periode singkat.Karena inhalasi
katekolamin dapat meningkatkan heart rate dan
menimbulkan diaritmia.
2) Pengencer dan isi volume
Semua ruang nebulizer meninggalkan volume residu
antara 0,5 dan 1,0 ml. Volume residu dalam intersurgical
cirrus chamber adalah 0,9 ml. Ini berarti bahwa 0,9 ml obat
tidak sampai ke pasien dan ini harus dipertimbangkan ketika
dosis dihitung. Meningkatkan isi volume dengan
menambahkan pengenceran menyebabkan penurunan
jumlah obat aktif terbuang.Pengisian volume minimal adalah
4ml dan dan maksimum dari 10 ml harus digunakan ketika
obat solutio sedang ditransfer melalui nebuliser.
51
Pengenceran dilakukan dengan hanya dengan Nacl 0,9%,
jangan menggunakan air sebagai pengencer karena dapat
menginduksi bronkospasme.
3) Laju aliran
Laju aliran gas mempengaruhi waktu nebulisator dan
ukuran tetesan yang tersebar.Kecepatan aliran meningkat
berarti waktu nebulisator lebih pendek dan ukuran tetesan
lebih kecil.Untuk pengiriman obat efisien pada bronkus,
diameter tetesan optimal adalah 1-5 mikron.Untuk mencapai
hal ini Laju aliran ditetapkan pada 8 liter per menit.
4) Waktu pengiriman
Nebuliser tidak akan pernah kering karena volume
sisa. Tergantung pada obat dan nebulizer, naik sampai 80%
dari dosis total diberikan dalam waktu lima menit pertama
pengiriman. Tapi kepatuhan tetes dengan waktu pemberian
yang lebih lama.Waktu pengiriman tidak lebih dari 10 menit.
5) Posisi pasien
Pasien harus nyaman dan duduk tegak (40-900) hal
ini memungkinkan ventilasi pasien dan pergerakan
diafrgama maksimal.Pastikan masker sesuai dan nyaman
dan mendorong pasien untuk bernapas terus melalui mulut
(bukan hidung).Pasien harus menghindari berbicara karena
52
hal ini mengurangi efisiensi pengiriman obat. Miring sedikit
ke depan memberikan perluasan maksimum. Hal ini
penting bahwa ruang nebuliser tetap tegak.
6) Perawatan nebulizer
Setiap pasien harus memiliki nebuliser
sendiri.Kolonisasi bakteri pada ruang nebulizer dengan
mikroorganisme seperti Burkholderia spp telah terbukti
dalam meningkatkan risiko infeksi pasien.Pasien yang
menerima terapi nebuliser jangka panjang harus mengganti
ruang nebulizer setiap 3 bulan.Oleh karena itu nebuliser
harus dibilas setelah digunakan dan dikeringkan dengan tisu
lembut Jalankan ruang kosong selama beberapa menit
sebelum penggunaan berikutnya (David. 2006).
c. Efek samping dan komplikasi
Efek samping dan komplikasi yang ditimbulkan dari
penggunaan terapi nebulasi adalah :
1) Infeksi silang antar pasien
2) Mual dan muntah
3) Tremor dan takikardi
4) Penyempitan saluran napas atau refleks vagal yang
menyebabkan henti napas mendadak
5) Penumpukan sekret atau lender.
53
6) Iritasi pada selaput mata, kulit dan selaput lender
tenggorokan.
7) Dosis yang kurang tepat karena kurang tepat dalam
menggunakan alat ataupun tekniknya.
8) Kurang dalam pemberian obat karena malfungsi dari alat
tersebut.
9) Pemberian dosis tinggi dari beta agonis akan menyebabkan
efek yang tidak baik pada system sekunder penyerapan dari
obat tersebut. Hipokalemia dan atrial atau ventricular
disritmia dapat ditemui pada pasien dengan kelebihan dosis
(David. 2006).
E. Tinjauan Tentang Inhalasi
1. Definisi
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang secara langsung
ke dalam saluran napas melalui hirupan.Terapi pemberian ini, saat
ini makin berkembang luas dan banyak dipakai pada pengobatan
penyakit-penyakit saluran napas.Berbagai macam obat seperti
antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering
digunakan pada terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang
memungkinkan penghantaran obat langsung ke paru-paru, dimana
saja dan kapan saja akan memudahkan pasien mengatasi keluhan
sesak napas. Untuk mencapai sasaran di paru-pari, partikel obat
54
asma inhalasi yang berbentuk aerosol ini harus berukuran sangat
kecil (2-5 mikron).
Banyak definisi mengenai aerosol ini.Aerosol merupakan istilah
yang digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari sistem
bertekanan tinggi.Sering disalah artikan pada semua jenis sediaan
bertekanan, sebagian diantaranya melepaskan busa atau cairan
setengah padat.Aerosol adalah sediaan yang mengandung satu
atau lebih zat berkhasiat dalam wadah yang diberi tekanan, berisi
propelan atau campuran propelan yang cukup untuk memancarkan
isinya hingga habis, dapat digunakan untuk obat luar atau obat
dalam dengan menggunakan propelan yang cukup.Sedangkan
definisi terbaru mengenai aerosol farmasetik adalah sediaan yang
dikemas dibawah tekanan, mengandung zat aktif terapeutik
yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan
ini digunakan untuk pemakaiaan topical pada kulit dan juga
pemakaiaan local pada hidung ( aerosol nasal ), mulut ( aerosol
lingual ) atau paru-paru ( aerosol inhalasi ) ukuran partikel untuk
aerosol inhalasi harus lebih kecil dari 10 µm, sering disebut juga “
inhaler dosis turukur (“Supriyanto B, 2007).
2. Prinsip terapi inhalasi
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit
saluran napas adalah :
55
a. Obat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel
aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru,
b. Onset kerjanya cepat,
c. Dosis obat kecil,
d. Efek samping minimal, karena konsentrasi obat di dalam darah
sedikit atau rendah,
e. Mudah digunakan,
Efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya
perbaikan klinis (Supriyanto, 2001).
Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme
antara lain refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan
melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat
sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan
memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara
penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran
partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai
tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara
efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana
partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm
tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan
mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini
terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran
udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus turbulen.
56
Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara
sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran <
0,1 mm akan mengendap karena gerak Brown (Nataprawira HM,
2008).
Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang
optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai
tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan.Bentuk aerosol yang
digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam
aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 φm atau 1-7
φm.Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8
φm mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar,
kecil, dan alveoli (Supriyanto, 2008).
3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi delivery aerosol pada
anak
a. Perubahan anatomi
Bagaimana efek perubahan anatomi pada awal tahun
kehidupan tidak jelas. Seperti yang sudah diketahui bahwa
saluran pernapasan pada anak anak relatif lebih kecil
dibandingkan dengan dewasa sehingga aliran udara inspirasi
lebih rendah yang menyebabkan deposit obat terutama pada
saluran pernapasan sentral.
b. Kompetensi
57
Kompetensi atau kemampuan anak merupakan faktor
sangat penting dalam delivery obat.Pada anak kecil tidak
mempunyai kompetensi untuk melakukan manuver inhalasi
yang kompleks. Alat/ jenis inhalasi yang tersedia dan
dipasarkan saat ini dibuat untuk orang yang bisa melakukan
inhalasi melalui mulut waktu melakukan manuver inhalasi yang
kompleks, misalnya pressured metered dosed inhalers (pMDIs).
Anak sekolah sudah dapat melakukan usaha inspirasi maksimal
yang diperlukan untuk menggunakan alat inhalasi jenis dry
powder inhaler (DPI) dan hanya sedikit yang bisa menggunakan
pMDI.
c. Pola pernafasan
Pola pernafasan pada bayi dan anak akan mempengaruhi
seberapa banyak aerosol yang diinhalasi ke dalam paru-paru.
Pernapasan pada bayi dan anak menunjukkan volume
pernapasan tidal yang kecil sehingga mengurangi delivery obat,
pola pernapasan bervariasi luas dengan aliran udara inspirasi
(inspiratory flow rates=IFR) bervariasi antara 0 sampai 40
L/menit. Aliran udara yang cepat akan menyebabkan deposit
pada saluran napas yang lebih proksimal.
d. Usia
58
Pada bayi usia kurang dari 12 bulan memilki respon yang
kurang baik terhadap β2 agonis apabila dibandingkan dengan
anak yang lebih besar. Respons terhadap β2 agonis seringkali
tidak memuaskan walaupun pada bayi mempunyai reseptor β2.
Sedangkan pada pemberian inhalasi ipratropium bromida
mungkin efektif diberikan pada bayi dengan gejala wheezing.
e. Menangis
Pada anak yang menangis ternyata didapatkan IFR tinggi
dan terjadi pernapasan melalui mulut sehingga diharapkan akan
meningkatkan delivery obat ke paru-paru. Namun,
kenyataannya jumlah obat yang diinhalasi ke paru paru
berkurang karena kurang baiknya masker muka menempel dan
pada waktu menangis pernapasan pendek dan cepat
(Wainwright C, 2003)
4. Jenis-jenis
Terdapat beberapa hal yang harus didapatkan pada
pemberian aerosol agar menjadi pengobatan yang ideal, seperti
alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif
mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat,
atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi
mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu,
59
saat ini sudah dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam
klinik sehari-hari yaitu :
a. Nebuliser
b. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat
penyambung)
c. Dry powder inhaler
F. Tinjauan Tentang Obat Ventolin (Salbutamol)
Ventolin HFA termasuk dalam golongan agonis beta2-
adrenergik.Komponen aktif dari Ventolin HFA (albuterol sulfat aerosol
inhalasi) adalah albuterol sulfat, USP, dan relatively selective beta2-
adrenergic bronchodilator.Albuterol sulfat memiliki nama kimia α1-
[(tert-butylamino)methyl]-4-hydroxy-m-xylene-α, α' -diol sulfate
(2:1)(garam). Albuterol sulfat adalah bubuk kristal putih dengan berat
molekul 576,7, dan rumus empiris (C13H21NO3) 2 . H2SO4.
Mempunyai sifat larut dalam air dan sedikit larut dalam etanol.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan nama obat
dengan basis albuterol adalah salbutamol. Setiap unit ventolin HFA
merupakan sediaan aerosol bertekanan yang dilengkapi dengan
counter. Ventolin HFA dimaksudkan hanya untuk penggunaan inhalasi
oral untuk bronkospasme (penyempitan saluran paru-paru akibat
gangguan pernapasan seperti asma).
60
Indikasi Meredakan bronkospasme berat yg berhubungan dgn
asma atau bronkitis & utk pengobatan status asmatikus.
Kontra indikasinya adalah Abortus mengancam yg tjd pd hamil
trimester satu atau dua, toksemia grabidarum, pendarahan
antepartum,plasenta previa.
Efek samping tremor halus pd otot rangka, rasa
tertekan,vasodilatasi perifer,peningkatan denyut jantung, skt
kepala,kram otot sementara, reaksi hipersensitif,hipokalemia, reaksi
hiperaktif pd ank. Bronkospasme paradoksikal.
Gunakan Ventolin persis seperti yang ditentukan untuk
Anda.Jangan gunakan obat dalam jumlah besar, atau
menggunakannya lebih dari yang direkomendasikan oleh dokter
Anda.Ikuti petunjuk pada label resep Anda.
Saat menggunakan perangkat penghirup untuk pertama
kalinya, perdana itu dengan penyemprotan 4 semprotan tes ke udara,
jauh dari wajah Anda.Kocok sebelum priming.Juga perdana inhaler jika
Anda belum menggunakannya untuk 2 minggu atau lebih, atau jika
Anda telah menjatuhkan inhaler. Petunjuk di bawah ini adalah untuk
menggunakan standar dari perangkat inhaler dan nebulizer.Dokter
anda mungkin ingin anda untuk menggunakan perangkat
berbeda.Gunakan hanya perangkat penghirup diberikan dengan obat
Anda atau Anda mungkin tidak mendapatkan dosis yang benar.
61
Untuk menggunakan inhaler Kocok Ventolin tabung spray baik
sebelum masing-masing. Bernapaslah sepenuhnya.Masukkan mulut
ke mulut Anda dan menutup bibir Anda.Tarik napas dalam perlahan-
lahan sambil mendorong di atas tabung.Tahan nafas Anda selama 10
detik, kemudian bernapas secara perlahan.Jika Anda menggunakan
lebih dari satu inhalasi pada suatu waktu, tunggu minimal 1 menit
sebelum menggunakan inhalasi kedua dan kocok inhaler lagi.Ventolin
inhaler menjaga bersih dan kering, dan menyimpannya dengan tutup di
corong telepon.Bersihkan inhaler Anda sekali seminggu dengan
menghapus tabung dan menempatkan corong di bawah air mengalir
hangat selama minimal 30 detik.Shake keluar kelebihan air dan
biarkan bagian untuk udara kering sepenuhnya sebelum meletakkan
inhaler kembali bersama-sama.
Untuk menggunakan solusi dengan nebulizer, Mengukur jumlah
benar Ventolin menggunakan pipet yang disediakan, atau
menggunakan nomor yang tepat ampul.Tempatkan cairan ke dalam
ruang pengobatan nebulizer.Pasang masker corong atau wajah ke
ruang obat.Kemudian, pasang ruang obat untuk kompresor. Duduk
tegak dan tempat corong ke mulut Anda, atau penutup hidung dan
mulut dengan masker wajah. Bernapas perlahan dan merata sampai
Anda telah menghirup semua obat (biasanya 5 sampai 15
menit).Perawatan yang lengkap bila ruang obat kosong. Bersihkan
62
nebulizer setelah setiap kali digunakan.Ikuti petunjuk pembersihan
yang datang dengan nebulizer Anda.