Upload
dani-al-fath
View
752
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
123
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Yogyakarta adalah tempat obyek wisata yang tidak asing lagi dimata orang
ataupun di berbagai manca Negara. Disitu banyak berbagai tempat-tempat obyek
pariwisata yang sangat penting, bersejarah dan mempunyai keunikan tersendiri
dengan ciri khasnya masing-masing
Tempat-tempat obyek pariwisata tersebut misalnya : Candi Borobudur,
Candi Prambanan, Monumen Jogja Kembali (Monjali), Keraton Yogyakarta,
Malioboro, Goa Jatijajar, Museum Dirgantara, dan Museum Kereta.
Hal-hal yang melatar belakangi pembuatan makalah ini adalah :
1. Tugas dari guru yang bersangkutan.
2. Penulis ingin memperluas pengetahuan tentang Yogyakarta.
3. Penulis ingin mengetahui keindahan tempat pariwisata Yogyakarta secara
langsung.
4. Penulis ingin mengetahui letak-letak tempat pariwisata Yogyakarta.
1.2. Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah tentang Yogyakarta adalah :
1. Penulis dapat menjelaskan dan menguraikan dari keindahan dan keunikan
obyek wisata tersebut.
2. Penulis dapat menjelaskan tentang pengaruh dan manfaat dari obyek wisata
tersebut dengan dunia pendidikan.
3. Penulis dapat menjelaskan tentang apa yang sebenarnya tersimpat dalam
obyek wisata tersebut.
4. Menambah wawasan atau pengetahuan yang luas khususnya bagi penulis
sendiri dan umum bagi para pembaca yang budiman.
5. Penulis dapat belajar dan mengasah otak dari apa yang kita lihat, kita dengar,
dan kita baca untuk menimbulkan suatu gagasan atau ide dalam
menciptakan / mengembangkan suatu bakat / kemampuan seseorang.
6. Penulis dapat mengenang peristiwa-peristiwa dahulu dan mengajak kita untuk
berfikir lebih luas dalam mengatasi dan memperbaikinya
1
BAB II
PEMBAHASAN/ DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
2.1 Sejarah Singkat Objek
A. Candi Borobudur
Sejarah Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Candi ini merupakan candi Buddha terbesar kedua
setelah Candi Ankor Wat di Kamboja dan termasuk dalam salah satu dari
tujuh keajaiban dunia. Ada beberapa versi mengenai asal usul nama candi ini.
Versi pertama mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu “bara” yang berarti “kompleks candi atau biara” dan
“beduhur” yang berarti “tinggi/di atas”.
Versi kedua mengatakan bahwa nama Sejarah Candi Borobudur
kemungkinan berasal dari kata “sambharabudhara” yang berarti “gunung
yang lerengnya berteras-teras”. Versi ketiga yang ditafsirkan oleh Prof. Dr.
Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari kata “bhoro”
yang berarti “biara” atau “asrama” dan “budur” yang berarti “di atas”
Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh Prof. Dr. W.F. Stutterheim
yang berpendapat bahwa Bodorbudur berarti “biara di atas sebuah bukit”.
Sedangkan, versi lainnya lagi yang dikemukakan oleh Prof. J.G. de Casparis
berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan bahwa Borobudur berasal
dari kata “bhumisambharabudhara” yang berarti “tempat pemujaan bagi
arwah nenek moyang”.
Masih berdasarkan prasasti Karang Tengah dan ditambah dengan prasasti
Kahuluan, J.G. de Casparis dalam disertasinya tahun 1950 mengatakan bahwa
Sejarah Candi Borobudur diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari
wangsa Sayilendra sekitar tahun Sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun
Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat diselesaikan oleh puterinya yang
bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar tahun 847 Masehi.
2
Pembuatan candi ini menurut prasasti Klurak (784 M) dibantu oleh seorang
guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya dan seorang
pangeran dari Kashmir yang bernama Visvawarma. Borobudur adalah
sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama
Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan
wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di
dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini
terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan
aslinya terdapat 504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief
Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di
tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah
duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci
untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju
pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[5] Para peziarah masuk
melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari
bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
3
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga
tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah
berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini
peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan
menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur
ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu
dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6] Dunia mulai
menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas
Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris
atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada
kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan
UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan;
tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan
mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak.
Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di
Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9]
4
Nama Borobudur
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-
abad bangunan suci ini sempat terlupakan. Dalam Bahasa Indonesia, bangunan
keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas
untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-
Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun
memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[10] Nama
Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir
Thomas Raffles.[11] Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur,
akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama
persis.[10] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai
adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah
Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[12]
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis
Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu
yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai
berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah
5
'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti
"purba"– maka bermakna, "Boro purba".[10] Akan tetapi arkeolog lain beranggapan
bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya
menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara,
yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.
Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur
berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula
penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks
candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama
yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan
prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri
Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru
dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan
Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas
pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang
6
disebut Bhūmisambhāra.[14] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang
berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa
Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit
himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli
Borobudur.[15]
Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan
kesatuan perlambang
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur
terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar;
Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah
timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan
terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua
sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda
7
Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap
suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini.
Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha
lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam
satu garis lurus.[17] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi
berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang
dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini.
Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada
kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-
Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang
berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan
ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah
proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[12]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa
peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti
periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat
beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini
disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara
candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di
8
sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut
Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu
dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan
tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di
sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur
dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut
dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[18]
Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan
arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun
di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran
Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
9
bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik
dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai
putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha;
seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia),
menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur
Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur
melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan
Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia
Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga
melambangkan kelopak bunga teratai.[18] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang
terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog;
pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang
membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi
ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan
menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. [19] Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan
tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,
[18] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba
ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa
dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian
danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga
memiliki andil turut mengubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar
Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia
10
adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah
aktif sejak masa Pleistosen.[20]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana
di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun
Borobudur dan apa kegunaannya.[21] Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup
Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi.[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa
puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan
waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa
pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala
itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut
agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti
Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
11
[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di
Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama
Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah
timur dari Borobudur.[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu
yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun
demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima
tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu
dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin
kepada umat Buddha untuk membangun candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan
penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang
dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26] Petunjuk ini dipahami oleh
para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi
masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama
Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian
pula sebaliknya.[27] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa
kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa
Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi
pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[28] Ketidakjelasan juga
timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang
12
dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa
Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[28] akan
tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan
yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat
dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[29]
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa
tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa
yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga
arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini
dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang.
Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti
(diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit
alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit,
bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit
ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun
bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi
kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun
tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
13
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu
undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang
sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran
dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak
lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada
pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di
tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki
tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula
dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur
teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat
bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian
atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur
terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk
membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya
dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang
dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak
longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus
kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang
yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
14
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief,
penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas
gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya
Borobudur
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah
lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak
belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan
sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum
diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi
menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah
yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber
menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
[6][18] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh
15
Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu
Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai
benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam
pada abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur
beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat
tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad
Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan
monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini
merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada
Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa bukit
"Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati
oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini
dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan
Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[30] Meskipun terdapat
tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran
datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha
yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang
Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan
Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap
sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga
dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja
yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga,
16
mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini
pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini
dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda
tampak pada stupa utama candi.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan
chattra (payung) susun tiga.
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa
terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa
kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang
dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
17
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun
1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan
dekat desa Bumisegoro.[30] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus
H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan
bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya
menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan
membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor,
ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan
penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa
candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat,
Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik
perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[11]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu
meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan
telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi
daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara
khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa
utama.[31] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat
Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan
sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih
18
terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah
berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur
diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun
kemudian.[31] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi
Belanda, Isidore van Kinsbergen.[32]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama
Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri,
penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah
bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu
berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar
kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca
Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala
inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan
reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian
dan pencurian yang marak di monumen.[32] Akibatnya, pemerintah menunjuk
Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas
situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan
bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan
utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.
19
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya
diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan
salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand,
Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia)
menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur.
Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak
penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand
antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga
dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan
di Museum Nasional Bangkok.[33]
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua
Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto
yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[35]
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah
menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi
yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang
sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara
Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen
Pekerjaan Umum.
20
Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur
pada pemugaran tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian
Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera
diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang
membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan
memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari
halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan
memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus
dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang
rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada
saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip
anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[36] Tujuh bulan pertama dihabiskan
untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang
hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras
21
melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan
banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui
dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan
rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama,
Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi
chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena
dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar
sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga
tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan
tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan
dan kerusakan.[36] Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya
kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian
bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga
renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk
memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia
telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran
besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk
memulihkan Borobudur dibuat.[37] Pemerintah Indonesia dan UNESCO
mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu
22
proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[36] Pondasi diperkokoh dan segenap
1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar
seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan
menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air
ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan
monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[38] Setelah
renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia
pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili
mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang
monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara
langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup,
dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya
sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[3]
Peristiwa kontemporer
Turis di Borobudur
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[37]
Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali
setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di
Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran,
23
wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai
tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari
libur nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi
Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon
dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom. Pada
1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali
Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak
serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan
atas Candi Borobudur.[42] Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi
hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima
hukuman 13 tahun penjara. Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di
Borobudur. Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak
dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000
diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[8]
Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80%
adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial
Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan
masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[8] Pada 2003,
penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan
dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang
berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'. [43]
Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar
24
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah
mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan
yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-
lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi,
pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar
cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi
Borobudur semakin semrawut. Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala
mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan
kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap
utuh.[44]Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak
peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan
Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan
negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar,
Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari
kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan
dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya,
menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini,
sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya
menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik
Indonesia. Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan
UNESCO. UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya
pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii)
erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian
yang hilang. Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat
25
dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang
paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah
sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[45]
Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan
adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak
menyentuh apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan
adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan
arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem
untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau
menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu
dalam pengawasan.[45]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan
November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang
berjarak 28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan
debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in)[46] menutupi bangunan
candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar,
dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam
dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai
9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO
telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan
26
waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di
lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[49] Lebih dari 55.000 blok
batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang
tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir
November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[50]
Arsitektur
Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut Denah Borobudur
membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.
Model Borobudur
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief. Borobudur merupakan
mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian
keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini
diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi
dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden
berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah
Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang bangun
27
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas
membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas
bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam
semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana.
Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu
konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[51]
Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya.
Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di
kaki Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara
yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar
relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori
lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan
kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur
dan tata kota. Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan
kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
28
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia
yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar
tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi
candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160
panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur
tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat
beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang
menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada
dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya
berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar
relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi
masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara
yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-
patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau
selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di
sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit
perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu
menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna,
sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa
kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
29
B. Museum Dirgantara Mandala
Keberadaan Indonesia Air Force Museum Dirgantara Mandala didirikan
pada gagasan para pemimpin TNI AU untuk mengabadikan dan
mendokumentasikan semua kegiatan dan peristiwa bersejarah di lingkungan
TNI AU. Museum ini diresmikan pada tanggal 4 April 1969 di Jalan Tanah
Abang, Bukit, Jakarta oleh Panglima perang Angkatan Udara Udara Rusmin
Muryadin. Berdasarkan berbagai pertimbangan bahwa kota selama periode
1945 - 1949 memiliki peran sejarah yang penting, yaitu sebagai kuali untuk
pilot kadet candradimuka / Taruna Akademi Angkatan Udara, maka pada
bulan November 1977 museum dipindahkan di Jakarta dan Yogyakarta untuk
digabungkan dengan AAU di Museum Ksatrian Adisucipto dasar. Kemudian
pada tanggal 29 Juli 1978 Museum meresmikan Pusat Angkatan Udara
Indonesia "Mandala Dirgantara". Pada tahun 1984 museum dipindahkan ke
Wonocatur, tepatnya bangunan ke pabrik gula mantan yang dibangun selama
penjajahan Belanda.
Museum Pusat TNI AU "Dirgantara Mandala" memiliki koleksi beragam
termasuk foto, bendera-pembawa, diorama, kantor pakaian, pesawat, senjata,
prasasti, patung, lukisan, hiasan, dan koleksi buku. Pesawat ke koleksi
museum yang ini adalah aluminium pesawat bahan dari produksi pertama
1948 yang dibuat di Maospati, Madiun oleh replika pesawat dan Nurtanio
Dakota VT-CLA milik maskapai India di daerah menenggak Ngotho, Bantul
saat dicari oleh Belanda mendarat Maguwo di Yogyakarta.
Museun Dirgantara Mandala dibuka untuk umum pada setiap hari pukul
08:30 hingga 14:30. Fasilitas pendukung yang ada di museum Dirgantara
Mandala adalah perpustakaan, auditorium, tempat parkir, dan membangun
toilet musholla.
C. Taman Pintar Yogyakarta
30
Terletak di kawasan pusat Kota Yogyakarta, sebuah wahana wisata baru
untuk anak-anak yakni Taman Pintar dibangun sebagai wahana ekpresi,
apresiasi dan kreasi dalam suasana yang menyenangkan.
Dengan moto mencerdaskan dan menyenangkan, taman yang mulai
dibangun pada 2003 ini ingin menumbuhkembangkan minat anak dan
generasi muda terhadap sains melalui imajinasi, percobaan, dan pemainan
dalam rangka pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang
berkualitas.Taman Pintar juga ingin mewujudkan salah satu ajaran Ki Hajar
Dewantara yaitu Niteni: Memahami, Niroake: Menirukan, dan Nambahi:
Mengembangkan.
Daerah penyambutan dan permainan serta sebagai ruang publik bagi
pengunjung. Pada daerah ini disediakan sejumlah wahana bermain untuk anak
seperti Pipa Bercerita, Parabola Berbisik, Rumah Pohon, Air Menari, Koridor
Air, Desaku Permai, Spektrum Warna Dinding Berdendang, Sistem Katrol,
Jembatan Goyang, Jungkat-jungkit, Istana Pasir, Engklek, dan Forum Batu
Gedung Heritage, Daerah ini diperuntukkan bagi pendidikan anak berusia
dini (PAUD), yang terdiri dari anak-anak usia pra-sekolah hingga TK.
Gedung Oval, Zona ini terdiri dari zona pengenalan lingkungan dan eksibisi
ilmu pengetahuan, zona pemaparan, sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gedung Kota, gedung ini terdiri dari tiga lantai yakni lantai pertama zona
sarana pelengkap Taman Pintar yang mencakup ruang pameran, ruang
audiovisual, radio anak Jogja, food court, dan souvenier counter. Lantai dua
zona materi dasar dan penerapan iptek terdiri dari Indonesiaku, jembatan
sains, teknologi populer,
D. Keraton Yogyakarta
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan
istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di
Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun
kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia
pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai
tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan
tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu
31
objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan
museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk
berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan
gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh
arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan
lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I
beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini
konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi
lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar
Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten
Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu
Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul
(Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).
E. Jalan Malioboro
Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota
Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan
Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran
Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan
poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Terdapat beberapa obyek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain
Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng
Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Jalan Malioboro
sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan
khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan
gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para Seniman-
32
seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti
bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang
jalan ini.
2.2. Kondisi Geografis Objek
2.2.1. Kondisi Fisik/ Keadaan Alam
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan
merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4
daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta
merupakan ibukota dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya
yang berada ditengah-tengah provinsi menyebabkan daerah ini merupakan
daerah yang strategis untuk pemerintahan. Kota Yogyakarta dikelilingi oleh
kabupaten-kabupaten yang mengelilinginya. Kabupaten-kabupaten tersebut
adalah Kabupaten Kulon Progo yang tertletak disebelah barat kota,
Kabupaten Bantul terletak disebelah selatan dan barat daya dari Kota,
Kabupaten SLeman yang terletak disebelah utra, barat, maupun timur,
sedangkan KAbupaten Gunung Kidul terletak di sebelah timur.
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II
Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan
ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah
dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki
kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota
Yogyakarta, yaitu : Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong Bagian tengah
adalah Sungai Code Sebelah barat adalah Sungai Winongo
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan
dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari
luas wilayah Propinsi DIY Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi
14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh
489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000
jiwa/Km²
33
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan
ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh
letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot
plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis
muda Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat,
lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999
menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75)
karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
2.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Objek
Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi
sektor Investasi; Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM; Pertanian;
Ketahanan Pangan; Kehutanan dan Perkebunan; Perikanan dan Kelautan;
Energi dan Sumber Daya Mineral; serta Pariwisata.
Penanaman modal di DIY dilaksanakan melalui program peningkatan
promosi dan kerja sama investasi serta program peningkatan iklim investasi
dan realisasi investasi. Capaian investasi total pada tahun 2010 mencapai Rp
4.580.972.827.244,00 dengan rincian PMDN sebesar Rp
1.884.925.869.797,00 dan PMA sebesar 2.696.046.957.447,00. Unit usaha di
DIY pada tahun 2010 ada sekitar 78.122 unit dengan penyerapan tenaga kerja
sebesar 292.625 orang dan nilai investasi sebesar Rp. 878.063.496.000,00
Varian produk ekspor DIY andalan meliputi produk olahan kulit,
tekstil dan kayu. Pakaian jadi tekstil dan mebel kayu merupakan produk yang
mempunyai nilai ekspor tertinggi. Namun demikian secara umum ekspor ke
mancanegara didominasi oleh produk-produk yang dihasilkan dengan nilai
seni dan kreatif tinggi yang padat karya (labor intensive). Program
pembangunan dalam mengembangkan koperasi dan UKM di DIY, salah
satunya adalah memberdayakan usaha mikro dan kecil dan menengah yang
disinergikan dengan kebijakan program dari pemerintah pusat. Salah satu
upaya pembinaan UKM adalah melalui kelompok (sentra) karena upaya ini
lebih efektif dan efisien, di samping itu dengan sentra akan banyak
melibatkan usaha mikro dan kecil. Pada 2010 tercatat koperasi aktif sebanyak
1.926 koperasi dan UKM tercatat 13.998 unit usaha.
34
Tingkat kesejahteraan petani dalam bidang pertanian di Provinsi DIY
yang diukur dengan Nilai Tukar Petani (NTP) NTP dapat menjadi salah satu
indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan petani di suatu wilayah.
Pada 2010 NTP sebesar 112,74% . Ketahanan pangan merupakan bagian
terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu
pilar utama hak asasi manusia. Secara umum ketersediaan pangan di Provinsi
DIY cukup karena berkaitan dengan musim panen sehingga diperlukan
pengaturan distribusi oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan ikan di DIY
dapat dipenuhi dari perikanan tangkap maupun budidaya. Untuk perikanan
tangkap dilakukan melalui pengembangan pelabuhan perikanan Sadeng dan
Glagah. Produksi perikanan budidaya tahun 2010 mencapai 39.032 ton dan
perikanan tangkap mencapai 4.906 ton, dengan konsumsi ikan sebesar 22,06
kg/kap/tahun.
Hutan di Provinsi DIY didominasi oleh hutan produksi, yang sebagian
besar berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Persentase luas hutan di
DIY pada tahun 2010 sebesar 5,87% dengan rehabilitasi lahan kritis sebesar
9,93% dan kerusakan kawasan hutan sebesar 4,94% [16]. Sektor perkebunan,
dari segi produksi tanaman perkebunan yang potensial di DIY adalah kelapa
dan tebu. Kegiatan perkebunan diprioritaskan dalam rangka pengutuhan
tanaman memenuhi skala ekonomi serta peningkatan produksi, produktivitas
dan mutu produk tanaman untuk meningkatkan pendapatan petani.
Kondisi sosial budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain
meliputi Kependudukan; Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Kesejahteraan
Sosial; Kesehatan; Pendidikan; Kebudayaan; dan Keagamaan
Laju pertumbuhan penduduk di DIY antara 2003-2007 sebanyak
135.915 jiwa atau kenaikan rata-rata pertahun sebesar 1,1%. Umur Harapan
Hidup (UHH) penduduk di DIY menunjukkan kecenderungan yang
meningkat dari 72,4 tahun pada tahun 2002 menjadi 72,9 tahun pada tahun
2005. Ditinjau dari sisi distribusi penduduk menurut usia, terlihat
kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia di atas 60 tahun.
Proporsi distribusi peduduk berdasarkan usia produktif memiliki
akibat pada sektor tenaga kerja. Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar
35
71,41%Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar adalah
sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang
potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan dan
industri terutama industri kecil menengah serta kerajinan. Pengangguran di
DIY menjadi problematika sosial yang cukup serius karena karakter
pengangguran DIY menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional dengan
tingkat pendidikan tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kependudukan dan
ketenagakerjaan adalah dengan mengadakan program transmigrasi.
Pelaksanaan pemberangkatan transmigran asal DIY sampai pada tahun 2008
melalui program transmigrasi sejumlah 76.495 KK atau 274.926 jiwa.
Ditinjau dari pola transmigrasi sudah mencerminkan partisipasi dan
keswadayaan masyarakat, melalui Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi
Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM).
Untuk pensebarannya sudah mencakup hampir seluruh provinsi. Rasio jumlah
tansmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran
yang diberangkatkan.
Sebagai salah satu aspek yang penting dalam kehidupan,
pembangunan kesehatan menjadi salah satu instrumen di dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun 2007 jumlah keluarga miskin
sebanyak 275.110 RTM dan menerima bantuan raskin dari pemerintah pusat
(meningkat 27 persen dibanding periode tahun 2006 sebanyak 216.536
RTM). Penduduk DIY menurut tahapan kesejahteraan tercatat bahwa pada
tahun 2007 kelompok pra sejahtera 21,12%; Sejahtera I 22,70%; Sejahtera II
23,69%; Sejahtera III 26,83%; dan Sejahtera III plus 5,66% . Tingkat
kesejahteraan pada tahun 2010 meningkat dengan penurunan persentase
penduduk miskin menjadi 16,83%.
Arah pembangunan kesehatan di DIY secara umum adalah untuk
mewujudkan Provinsi DIY yang memiliki status kesehatan masyarakat yang
tinggi tidak hanya dalam batas nasional tetapi memiliki kesetaraan di tataran
internasional khususnya Asia Tenggara dengan mempertinggi kesadaran
masyarakat akan pentingnya hidup sehat, peningkatan jangkauan dan kualitas
36
pelayanan kesehatan serta menjadikan DIY sebagai pusat mutu dalam
pelayanan kesehatan, pendidikan pelatihan kesehatan serta konsultasi
kesehatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2010 menempatkan
DIY sebagai provinsi dengan indikator kesehatan terbaik dan paling siap
dalam mencapai MDG’s.
Pada tahun 2010 capaian indikator kesehatan untuk umur harapan
hidup berada pada level usia 74,20 tahun. Angka kematian balita sebesar
18/1000 KH, angka kematian bayi sebesar 17/1000 KH, dan angka kematian
ibu melahirkan sebesar 103/100.000 KH. Prevalensi gizi buruk sebesar
0.70%, Cakupan Rawat Jalan Puskesmas 16% sedangkan Cakupan Rawat
Inap Rumah Sakit sebesar 1,32%[.
Dari 118 Puskesmas, 20% puskesmas telah menerapkan sistem
manajemen mutu melalui pendekatan ISO 9001:200; 7% rumah sakit telah
menerapkan ISO 9001:200; 25% rumah sakit di DIY telah terakreditasi
dengan 5 standar; 17% RS terakreditasi dengan 12 standar; dan 5% RS telah
terakreditasi dengan 16 standar pelayanan. Sarana pelayanan kesehatan yang
memiliki unit pelayanan gawat darurat meningkat menjadi 40% dan RS
dengan pelayanan kesehatan jiwa meningkat menjadi 9%. Meskipun
demikian cakupan rawat jalan tahun 2006 baru mencapai 10% (nasional 15%)
sementara untuk rawat inap 1,2% (nasional 1,5%). Rasio pelayanan kesehatan
dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah mencapai 100%. Rasio
dokter umum per 100.000 penduduk menunjukkan tren meningkat sebesar
39,64 pada tahun 2006. Adapun program jamkesos tahun 2010 dianggarkan
Rp. 34.978.592.000,00.
Penyakit jantung dan stroke telah menjadi pembunuh nomor satu di
DIY sementara faktor risiko penyakit jantung penduduk DIY ternyata cukup
tinggi. Rumah tangga di DIY yang tidak bebas asap rokok sebesar 56%,
sedangkan remaja yang perokok aktif sebesar 9,3%. Sebanyak 52% penduduk
DIY kurang melakukan aktivitas olahraga dan hanya 19,8% penduduk DIY
yang mengkonsumsi serat mencukupi. Dalam tiga tahun terakhir angka
obesitas pada anak-anak di DIY meningkat hampir 7%.
37
Penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai Sekolah Menengah
sudah merata dan menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa.
Jumlah SD/MI yang ada di Provinsi DIY pada tahun 2008 adalah sejumlah
2.035, SMP/MTs/SMP Terbuka sejumlah 529, dan SMA/MA/SMK sejumlah
381 sekolah negeri maupun swasta. Ketersediaan ruang belajar dapat
dikatakan sudah memadai dengan rasio siswa per kelas untuk SD/MI: 22,
SMP/MTs: 33, SMA/MA/SMK: 31. Sedangkan tingkat ketersediaan guru di
Provinsi DIY juga cukup memadai dengan rasio siswa per guru untuk SD/MI:
13, SMP/MTs: 11, SMA/MA/SMK: 9. Untuk tahun 2010 pembinaan guru
jenjang SD/MI sebanyak 3.900 guru telah memenuhi kualifikasi dari total
24.093 guru. Jenjang SMP/MTs sebanyak 3.939 guru telah memenuhi
kualifikasi dari total 12.971 guru. Dan untuk SMA/MA sebanyak 4.826 guru
telah memenuhi kualifikasi dari total 15.067 guru.
Para lulusan jenjang SD/MI pada umumnya dapat melanjutkan ke
SMP/MTs, sejalan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
dicanangkan pemerintah. Pada tahun 2010, angka kelulusan SD/MI mencapai
96,47%, SMP/MTs mencapai 81,84% dan SMA/MA/SMK sebesar 88,98%.
Sedangkan angka putus sekolah pada tahun yang sama sebesar 0,07% untuk
SD/MI; 0,17% untuk SMP/MTs; dan 0,44% untuk SMA/MA/SMK].
Sementara itu jumlah perguruan tinggi di Provinsi DIY baik negeri, swasta
maupun kedinasan seluruhnya sebanyak 136 institusi dengan rincian 21
universitas, 5 institut, 41 sekolah tinggi, 8 politeknik dan 61 akademi yang
diasuh oleh 9.736 dosen.
Wujud cagar budaya yang masih dipergunakan sebagai tempat ibadah
umat Hindu Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible
(fisik) maupun yang intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible
antara lain kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi
budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni,
sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang
tersebar di 13 Kawasan Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya
38
peninggalan peradaban tinggi masa lampau tersebut, dengan Kraton sebagai
institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya, merupakan
embrio dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam
berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya dan beradat tradisi.
Selain itu, Provinsi DIY juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya
yaitu Museum Ullen Sentalu dan Museum Sonobudoyo diproyeksikan
menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar budaya
tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke
museum mencapai 6,42%.
Penduduk DIY mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%,
selebihnya beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah terus
mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri dari 6214 masjid, 3413
langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24
vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak 260,
dengan 260 kyai dan 2.694 ustadz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah
madrasah baik negeri maupun swasta terdiri dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84
madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. Aktivitas keagamaan juga
dapat dilihat dari meningkatnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, dan
pada tahun 2007 terdapat 3.064 jamaah haji.
2.3. Kajian
Kajian makalah ini yaitu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
Kota Yogyakarta. Yang meliputi sejarah singkat objek-objek wisata, kondisi
geografis objek yang terdiri dari kondisi fisik/ keadaan alam, kondisi sosial
ekonomi penduduk yang berada disekitar objek-objek tersebut.
BAB III
PENUTUP
39
3.1. Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat pariwisata yang ada di jogja
itu sangat banyak,dan kita harus senantiasa menjaga serta merawatnya agar tetap
asri seperti aslinya.agar menarik para wisatawan untuk berlibur ke jogja.
Selain itu,kota jogja yang menawan itu tidak harus kita tambahkan dengan
budaya-budaya barat yang kita rasa sangat bagus atau trend.tapi justru itu
salah,kita harus tetap menjaga budaya asli jogja itu sendiri agar mempunyai
keaslian yang khas dimata dunia.
Jogja merupakan salah satu kota favorit para wisatawan untuk berlibur dan
menghabiskan sisa waktu istirahatnya di tempat-tempat wisata yang ada di
jogja.walaupun banyak cerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat luas,para
wisatawan tetap antusias menikmati tempat-tempat pariwisata yang ada di jogja.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini banyak ditemui
kesulitan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik agar kami dapat
menyempurnakan karya tulis ini.
Demikianlah Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam
pembuatan karya tulis ini banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu
penulis sebagai manusia biasa mohon maaf atas segala keurangan dan kekhilafan.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
40