17
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/312230254 Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia) Working Paper · November 2015 DOI: 10.13140/RG.2.2.23015.04001 CITATIONS 0 READS 1,274 3 authors, including: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education Teacher at SMP Negeri 1 Grujugan View project International Perspective of Civics and Citizenship Education View project Manik Sukoco Universitas Negeri Yogyakarta 22 PUBLICATIONS 0 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 12 January 2017. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/312230254

JalanPanjangPendidikanPolitikIndonesia(SebuahKajianTeoritisdanPraktisPendidikanPolitikIndonesia)

WorkingPaper·November2015

DOI:10.13140/RG.2.2.23015.04001

CITATIONS

0

READS

1,274

3authors,including:

Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:

TheProblemsofImplementingScientificApproachFacedbyCivicsandCitizenshipEducation

TeacheratSMPNegeri1GrujuganViewproject

InternationalPerspectiveofCivicsandCitizenshipEducationViewproject

ManikSukoco

UniversitasNegeriYogyakarta

22PUBLICATIONS0CITATIONS

SEEPROFILE

AllcontentfollowingthispagewasuploadedbyManikSukocoon12January2017.

Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.

Page 2: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

JALAN PANJANG PENDIDIKAN POLITIK INDONESIA

(Sebuah Kajian Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Oleh:

Manik Sukoco 15730251008

Panji Purnomo 15730251009

Siti Khanifah 15730251029

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2015

Page 3: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

1

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

JALAN PANJANG PENDIDIKAN POLITIK INDONESIA

(Sebuah Kajian Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

A. Pendahuluan

Indonesia telah mengalami masa reformasi pada tahun 1998 lalu. Reformasi tersebut

bukan hanya tentang euphoria menurunkan sang diktator dan menggantikannya dengan

diktator yang baru. Namun, ada sebuah upaya untuk menggantikan “kebobrokan” suatu

rezim dengan pola kepemimpinan baru yang adil, jujur, pro-rakyat dan tidak hanya

mampu menggunakan bahasa indoktrinasi, namun melupakan makna dan hakikat dari

politik dan kepemimpinan itu sendiri.

Pendidikan politik adalah hal yang fundamental dalam menjalankan pemerintahan

negeri ini. Kecerdasan seorang pemimpin jika tidak diimbangi kecerdasan dan

pengetahuan masyarakat, akan dapat menimbulkan kekacauan. Minimnya literasi politik

masyarakat bahkan bisa melahirkan pemimpin yang diktator.

Tulisan ini akan mengkaji tentang pendidikan politik secara teoritis dan praktis.

Penulis mencoba untuk menguraikan secara singkat dan sederhana tentang teori

pendidikan politik termasuk pengertian dan tujuan pendidikan politik, instrumen

pendidikan politik, serta praktik pendidikan politik di Indonesia sejak orde lama hingga

berlangsungnya era reformasi.

B. Pembahasan

1. Pendidikan Politik Ranah Teoritis

a. Pengertian Pendidikan Politik

Pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari pendidikan orang

dewasa sebagai upaya edukatif yang intensional, disengaja, dan sistematis untuk

membentuk individu yang sadar politik dan mampu menjadi pelaku politik yang

bertanggung jawab secara etis/moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik (Kartini K,

2009: 64).

Pendidikan politik merupakan aktivitas pendidikan diri (mendidik dengan sengaja

diri sendiri) yang terus menerus berlangsung dalam diri seseorang, sehingga orang yang

bersangkutan lebih mampu memahami dirinya sendiri dan situasi-kondisi lingkungan

sekitarnya (Kartini, 2009: 65). Pada dasarnya pendidikan politik memiliki tujuan

mendidik dan mengatur diri sendiri untuk dapat berproses menjadi manusia dewasa

dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan

politik dan telah memikirkan resiko yang akan didapat dari apa yang telah dilakukan.

Page 4: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

2

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Affandi (1996) menyatakan bahwa pendidikan politik dianggap penting oleh hampir

semua lapisan masyarakat dan menentukan perilaku politik seseorang. Pendidikan politik

digunakan sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik, serta

meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi

informal maupun melalui pendidikan yang direncanakan untuk menunjang stabilitas

sistem politik.

Brownhill dan Smart (1989) menarik sebuah proposisi bahwa pendidikan politik

adalah proses pendidikan untuk membina siswa agar mampu memahami, menilai, dan

mengambil keputusan tentang berbagai permasalahan dengan cara-cara yang tepat dan

rasional, termasuk dalam menghadapi masalah yang bias maupun isu-isu yang bersifat

kontroversial. Pengetahuan politik seseorang akan membawa orang tersebut untuk

berada pada tingkat partisipasi politik tertentu.

Pendekatan konsep pendidikan politik pada semua jenjang pendidikan, baik di dalam

maupun luar sekolah dibuat untuk meningkatkan pemahaman akan bahasa dan

meningkatkan kemampuan kita untuk menyelesaikan masalah, mengatur hubungan-

hubungan eksternal atau kejadian-kejadian untuk memperpanjang berbagai skala pilihan

di dalam diri mereka, dan mempengaruhinya (Crick, 1974: 13-24).

Sedangkan Alfian dalam Sumantri (2003: 3) menyatakan bahwa pendidikan politik

diartikan sebagai usaha yang sadar dan terencana untuk mengubah proses sosialisasi

politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang

terkandung dalam suatu sistem politik ideal yang hendak mereka bangun.

b. Beberapa Teori Pendidikan Politik

Sunarso dalam tulisannya berjudul Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan,

Urgensinya Bagi Sebuah Bangsa, menuliskan tentang beberapa teori pendidikan politik

yaitu:

1. Teori sistem

Sosialisasi politik dianggap memainkan peran utama dalam menjaga kestabilan

politik, sehingga memungkinkan sistem politik yang sama berlaku terus menerus

sehingga mencapai kondisi mapan dan mantap. Menurut teori ini pendidikan politik

diarahkan untuk memelihara sistem politik yang dianggap ideal. Di Indonesia sistem

politik ideal adalah sistem politik demokrasi Pancasila.

2. Teori hegemoni

Teori memandang bahwa pendidikan politik diarahkan untuk mendukung

kepentingan penguasa (kelompok yang dominan), meskipun terkadang kepentingan

tersebut jauh dari sistem ideal.

Page 5: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

3

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

3. Teori psikodinamik

Teori ini menganggap pengalaman pribadi yang dialami manusia pada awal anak-

anak akan sangat menentukan orientasi politik seseorang. Dengan demikian faktor

internal sangat mempengaruhi sikap politik seseorang.

4. Teori belajar sosial

Menurut teori ini faktor eksternal yaitu lingkungan dimana seseorang hidup, bergaul,

bermasyarakat, sangat menentukan sikap politik dari seseorang. Stimulus dari

keluarga, sekolah, dan komunitas tempat ia tumbuh dan berkembang turut

menentukan sikap politik seseorang.

c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Politik

Jika melihat maksud pendidikan politik di atas, tidaklah salah apabila pendidikan

politik perlu disosialisasikan kepada generasi muda sebagai bagian dari pengembangan

sumber daya manusia untuk menciptakan kehidupan yang politik yang demokratis di

masa yang akan datang. Selain itu, diharapkan supaya generasi muda mampu berperan

aktif dalam kehidupan bansa dan bernegara secara penuh tanggung jawab sesuai dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945. Instruksi Presiden No.

12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda telah menyebutkan tujuan

dari pendidikan politik yaitu untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar

akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai

salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang

perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:

a. Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggung jawab sebagai warga negara

terhadap kepentingan bangsa dan negara.

b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku.

c. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan

yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.

d. Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.

e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan

Pancasila.

f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara

khususnya dalam usaha pembangunan nasional.

g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan

keanekaragaman bangsa.

h. Sadar akan perlunya pemeliharan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras,

serasi, dan seimbang.

Page 6: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

4

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang bersumber

dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir dan penalaran

logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam hal ini, pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan

mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah

Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa

dan bernegara, diharapkan mampu meningkatkan partisipasi secara aktif untuk

membangun bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas, sejalan

dengan pendapat Sumantri dan Affandi (1996) yang menyatakan bahwa maksud

diselenggarakannya pendidikan politik, pada dasarnya adalah untuk memberikan

pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan

berbangsa dan bernegara sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia.

Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan pengertian kepada generasi muda

supaya mereka mampu memahami nilai-nilai serta dinamika perpolitikan yang sedang

berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha

penghayatan nilai-nilai yang etis normatif, dengan menanamkan norma-norma yang

merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonsesia serta dasar untuk membina dan

mengembangkan diri supaya masyarakat bisa ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan

perpolitikan tanah air. Melalui kegiatan pendidikan politik, diharapkan terbentuk warga

negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang

tinggi dan memahami apa itu warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajibannya,

serta memiliki rasa tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara (Sumantri, 2003: 3).

Brownhill dalam Crick (2005) menyatakan bahwa proses pencapaian tujuan

pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung, namun memerlukan

waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan

dengan aspek sikap dan perilaku seseorang. Dalam meninjau kerangka kerja dan

eksistensi pelaku politik, kita tidak harus mengikuti perkembangan negara idaman yang

tak dapat dicapai, melainkan kita harus merumuskan suatu versi ideal yang

sesuangguhnya hanya bisa dicapai melalui cara yang lebih abstrak. Pendidikan politik

dalam lingkup formal terbatas untuk memberikan tinjauan yang berkelanjutan mengenai

institusi dan kehidupan sehari-hari. Pembahasan dalam ranah formal melalui berbagai

institusi pendidikan itu sendiri, mengingatkan masyarakat akan apa yang mereka

harapkan untuk tercapai, dan pendekatan moral mengenai bagaimana cara yang tepat

untuk mewujudkannya.

Page 7: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

5

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

d. Instrumen Pendidikan Politik

1) Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga

pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku perilaku politik

sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political

efficacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik

secara rasional.

Di sekolah, anak banyak belajar pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku politik

secara eksplisit, terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan. Melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, anak diajarkan mengenai

hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara. Berdasarkan Lampiran

Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006, maka tujuan pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan adalah:

a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan.

b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas

dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan

bangsa-bangsa lainnya.

d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung

atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

2) Partai Politik

Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik pada saat ini yang

demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk

mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan

jalan kompromi bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana pendukung

untuk mewujudkan kepemimpinan politik secara absah dan damai. Karena itu partai

politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang

diberi kewenangan untuk dapat mengajukan calon-calon untuk menduduki berbagai

jabatan publik, yang nantinya dapat dipilih oleh rakyat dan dapat mengontrol atau

mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah (Poerwantana, 1994: 25).

Sejalan dengan Pandangan Poerwantana, Carl J. Friedrich dalam Miriam

Budiarjo (2008) menuliskan:

Page 8: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

6

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Partai politik adalah sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta marteriil.

3) Media atau Pers

Menurut Arif Nurpratomo (2013), pers berasal dari bahasa Belanda pers yang

artinya menekan atau mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press

dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan. Jadi secara harfiah kata pers atau

press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan

barang cetakan. Tetapi, sekarang kata pers digunakan untuk merujuk pada semua

kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita,

baik oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,

menyebutkan bahwa media massa adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi

massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk

tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk

lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran

yang tersedia.

Politik sangat erat hubungannya dengan media, karena salah satu tujuan media

yakni untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai hal, terutama politik.

Media massa dengan fungsi persuasif, mampu membentuk pendapat umum dan

mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu politik yang sedang berkembang.

Pendapat suatu media terhadap permasalahan politik atau tokoh politik dapat

mempengaruhi opini publik dan merubah sikap masyarakat dalam memandang suatu

masalah politik. Media juga mampu mempengaruhi masyarakat untuk memberikan

dukungan atau melalukan penolakan terhadap kebijakan pelaku politik partai tertentu.

4) Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government Organization)

Walzer dalam Bahnmueller (1999) mengatakan bahwa interaksi sosial yang

sinergis dalam masyarakat sipil berperan dalam pengembangan potensi sosial di

antara anggota organisasi masyarakat tersebut. Salah satu bentuk dari organisasi

masyarakat yaitu non government organization atau LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat).

Keterlibatan warga negara dengan institusi pemerintahan maupun lembaga

swadaya masyarakat dalam komunitas mereka adalah karakteristik utama dari

Page 9: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

7

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

demokrasi yang sehat. Kekuatan tradisional demokrasi di Amerika Serikat misalnya

dibentuk oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari asosiasi sukarela,

yang diberi kebebasan untuk melakukan aktifitas-aktifitas politik sesuai dengan

kapasistas mereka sebagai warga negara. Melalui partisipasi sukarela dalam

masyarakat sipil yang bebas (terkadang disebut dengan organisasi non pemerintahan

atau NGO) terbentuklah demokrasi politik (John J. Patrick, 1999: 49). NGO atau LSM

memiliki peran yang sangat besar dalam melakukan pendidikan politik maupun upaya

perlindungan hukum dalam masyarakat.

Negara dan lembaga swadaya masyarakat berada dalam entitas yang berbeda,

namun saling melengkapi satu sama lain. Dalam konteks demokratisasi Indonesia,

lembaga swadaya masyarakat memiliki peran penting dalam proses penguatan

pendidikan politik pada masyarakat sipil (Suharko, 2003: 208).

2. Pendidikan Politik Ranah Praktis di Indonesia

Ditinjau dari nilai praktis, Rusadi Kantaprawira (2006: 54) memandang pendidikan

politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan

pengetahuan politik rakyat supaya mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam

suatu sistem politik. Pendidikan politik disini, merupakan metode untuk melibatkan

rakyat melalui partisipasi aktif mereka dalam menyalurkan tuntutan dan dukungannya

terhadap aktifitas, tindakan, kebijakan, maupun institusi politik.

Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan

pembelajaran politik yang bersifat monolog, serta lebih mengutamakan pembangkitan

emosi. Indoktrinasi politik semacam ini, lebih merupakan pengarahan untuk

mendapatkan dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) daripada meningkatkan

partisipasi politik masyarakat. Indoktrinasi politik ini pada umumnya dilakukan oleh

rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status-quo mereka. Sayangnya,

walau Indonesia memiliki banyak partai politik, namun partai-partai tersebut pada

umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik untuk meraih tujuannya, dan

bukan mengedukasi masyarakat secara sehat melalui pendidikan politik yang baik dan

bermartabat (Cholisin, 2000: 6).

Dalam politik, seseorang tidak hanya dituntut untuk mengembangkan

pengetahuan, tapi juga harus mengembangkan aspek sikap dan keterampilan. Perpaduan

ketiga aspek tersebut menurut Crick (2005) disebut dengan melek politik “political

literacy”.

Keberhasilan pendidikan politik tentunya akan melahirkan masyarakat yang melek

politik yang nantinya akan mampu berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan

Page 10: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

8

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

politik dalam komunitasnya. Pendidikan politik disini tidak dilaksanakan melalui

pembelajaran di persekolahan saja, melainkan juga dapat dilakukan melalui proses

sosialisasi politik. Adapun proses sosialisasi politik ini haruslah dilakukan secara luas,

melibatkan banyak orang, dan dilaksanakan secara dialogis-interaktif, bukan

indoktrinatif.

Crick dalam bukunya, Essay on Citizenship (2005) mengungkapkan bahwa literasi

politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ia juga

menegaskan bahwa literasi politik memiliki makna yang lebih luas dari sekedar

pengetahuan politik. Literasi politik merupakan suatu cara untuk membuat seseorang

menjadi “efektif” dalam kehidupan publik dan mendorong mereka untuk menjadi warga

negara aktif serta partisipasif dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, baik dalam

kegiatan politik yang bersifat wajib maupun sukarela. Literasi politik selalu menyatakan

secara tidak langsung akan perlunya penerapan konsep secara jelas dan pantas. Konsep

disini tidak berarti memecahkan masalah dan menggunakannya secara benar, namun

lebih pada pemahaman dan mencoba memberikan pengaruh dalam masyarakat. Jadi

pendekatan konsep pada pendidikan politik bukan berarti mengetahui atau menerapkan

filsafat politik namun lebih pada kemampuan berkomunikasi, sebagai permulaan (Crick,

2005: 77-78).

Tiga jenis keterampilan partisipatif yakni keterampilan interaksi, observasi, dan

mempengaruhi, diajukan Popper terkait dengan kecakapan politik. Keterampilan

interaksi berkaitan dengan kelihaian warga untuk berkomunikasi dan bekerjasama dalam

lingkup politik. Pemantauan merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk

mengetahui rekam jejak (track record) suatu tokoh politik maupun menilai kredibilitas

dari lembaga pemerintahan tertentu. Serta mempengaruhi mengacu pada keterampilan

yang digunakan untuk mempengaruhi hasil kebijakan pemerintah dalam bidang politik,

seperti resolusi mengenai isu-isu publik.

Selanjutnya penulis akan membagi kajian pengembangan pendidikan politik dalam

ranah praktis di Indonesia yang berlangsung pada masa orde lama, orde baru, dan

refromasi.

a. Orde Lama

Pendidikan politik pada orde lama, jika dikaji dari perspektif Pendidikan

Kewarganegaraan, memiliki keunikan tersendiri. Selain karena Indonesia pada masa ini

masih baru saja merdeka, juga ada faktor eksternal lain yang turut mempengaruhi

keunikan pendidikan politik pada masa ini. Menurut Numan Sumantri dalam Iyep

Candra Hermawan (2013:11-12) menyebutkan bahwa pendidikan politik pada awal

kemerdekaan bisa dikategorikan sebagai patriotic political education, sehingga lebih

Page 11: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

9

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

menekankan pada nation dan character building. Pendidikan politik yang idealnya

dimaksudkan untuk memberikan pengarahan dan pemahaman politik kepada

masyarakat, berubah menjadi indoktrinatif. Iyep (2013) menambahkan bahwa

pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup merupakan bentuk

penodaan terhadap pendidikan politik itu sendiri.

Media massa atau pers merupakan pilar keempat demokrasi selain lembaga

eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Oleh karena itu, pers memiliki peran yang sangat

penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan ketiga lembaga tersebut dalam

sistem pemerintahan nasional.

Pada masa orde lama (yang dimulai sekitar tahun 60-an), pers belum menjalankan

fungsi dan perannya sebagai instrumen pendidikan politik kepada masyarakat luas

karena pers pada saat itu dijadikan alat politik pemerintah untuk mendukung dan

membela Manifesto Politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Demokrasi Terpimpin, serta

kebijakan-kebijkana lain yang ditetapkan pemerintah. Terbitnya UU Pokok Pers pada

tahun 1966 merupakan sebuah kemajuan dalam hal kebebasan pers karena seharusnya

setelah berlakunya UU tersebut, tiada lagi sensor dan pembredelan media. UU ini

terkesan setengah hati karena adanya pasal dalam undang-undang yang sama, yang

menyatakan masih diperlukannya Surat Izin Terbit (SIT) bagi media untuk bisa meliput

kegiatan politik tanah air. Pada 26 Maret 1965, pemerintah mewajibkan lembaga pers

untuk berafiliasi pada partai politik, sehingga seiring berjalannya waktu, lembaga pers

yang berafiliasi pada partai politik yang kuat, akan menjadi kuat pula dari segi pendanaan

dan lebih memiliki pengaruh dalam masyarakat. Pada saat yang sama, partai politik

kemudian menggunakan media untuk menyebarkan ide (gagasan) tentang kehidupan

politik berbangsa dan bernegara. Orde lama merupakan masa dimana terjadi

“pertarungan” gagasan komunis, sosialis, dan juga Islam. Adapun pendidikan politik yang

dilakukan oleh partai politik pada masa ini, difokuskan bukan untuk membentuk literasi

polik masyarakat, melainkan lebih pada indoktrinasi gagasan partai politik kepada kader

partai serta kepada simpatisan. Sedangkan lembaga swadaya masyarakat di masa ini

masih baru saja terbentuk. LSM pertama yang lahir pada masa orde lama adalah PKBI

(Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Lembaga ini merupakan lembaga masyarakat

yang menjadi mitra pemerintah dalam upaya melakukan pembinaan keluarga yang sehat

(Miriam Budiarjo, 2008: 388). Pada tahun 1960-an, barulah bermunculan LSM- LSM

baru dengan visi dan misi yang lebih bervariasi. Miriam Budiarjo (2008) menjelaskan

bahwa pada masa ini muncul kesadaran akan kemiskinan dan keyakinan jika masalah

yang berkaitan dengan itu tak hanya dapat diatasi dengan menyediakan obat-obatan,

bahan pangan, dan sejenisnya. Sebaliknya, perbaikan masyarakat miskin dapat dilakukan

Page 12: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

10

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

dengan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masalah. Walaupun peran

LSM dalam pendidikan politik praktis pada masa orde lama sudah mulai terlihat, namun

LSM belum menjalankan perannya secara optimal.

b. Orde Baru

Orde Baru adalah pemerintahan terlama yang berkuasa di Indonesia. Pada masa

orde baru, instrumen pendidikan politik tidak banyak melakukan “manuver”, bahkan

cenderung “membeku”. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai instrumen pendidikan

politik pada lingkungan sekolah, yang seharusnya bertujuan untuk mencerdaskan

masyarakat muda Indonesia, pada masa ini bisa dikatakan pincang karena materi

pendidikan kewarganegaraan masa orde baru lebih bersifat indoktrinasi daripada

pendidikan politik. Hal ini dapat dilihat dari konten mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang lebih menekankan pada pengamalan P-4 sebagai interpretasi

pemerintah terhadap nilai-nilai Pancasila.

Kritik terhadap konten pendidikan kewarganegaraan pada orde baru yaitu

mengenai proses pembelajarannya yang tidak mendorong perlunya berpikir kritis

terhadap sistem dan isu-isu politik kontemporer. Hal ini disebabkan karena materi-

materi yang diajarkan cenderung bersifat verbalistis. Nilai-nilai moral Pancasila sebagai

civic virtues, dijabarkan dalam P-4 dengan model pembelajaran yang cenderung

berbentuk hafalan kognitif (Samsuri, 2011: 38).

Pemerintah lalu melebur partai politik yang ada di Indonesia sehingga tersisa 3

partai politik yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia

(PDI), dan Golongan Karya (Golkar). Ketidakstabilan politik yang pernah dialami oleh

orde lama coba dihalau pada masa Soeharto, salah satunya melalui penguatan eksekutif

dengan Golkar sebagai pemerintah yang mendapat dukungan dari mayoritas anggota

TNI. Pada titik ini, partai politik mengalami “kemandegan” dan kehilangan esensinya

sebagai instrumen pendidikan politik. Komunikasi politik, sosialisasi politik, dan

pendidikan politik diperbolehkan dalam batas-batas tertentu yang diatur secara ketat dan

otoriter oleh pemerintah orde baru.

Media dalam masa Orde Baru dipakai sebagai sarana propaganda pemerintah

untuk menggerakkan pembangunan nasional. Media jika dilihat dari perspektif sejarah

sangat dipengaruhi oleh pengawasan penguasa sehingga media yang seharusnya

menyajikan informasi sesuai dengan realita politik, pada masa ini menjadi terkungkung

dan sangat dibatasi oleh badan sensor. Media lalu hanya berfungsi simbolik sebagai ruang

pergelaran kekuasaan, pencitraan penguasa, dan alat politik pemerintah. Orde baru telah

menggunakan bahasa dalam dunia media massa sebagai wahana kooptasi, subordinasi,

dominasi, dan imperialisme kesadaran medan semantik masyarakat (Subiakto, 1997: 96)

Page 13: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

11

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Namun pada masa orde baru, peran NGO dalam fungsinya sebagai instrumen

pendidikan politik di Indonesia, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Lembaga

swadaya masyarakat berhasil melakukan pendekatan yang berbeda-beda dalam

masyarakat, dan pada area tertentu mereka mencapai titik temu dalam hal orientasi

penguatan kelompok masyarakat sebagai basis untuk mewujudkan masyarakat yang

sehat. LSM bahkan menjadi kekuatan tandingan bagi kekuasaan pemerintah di bidang

sosial budaya. LSM memperoleh dukungan, terutama pada kalangan masyarakat

ekonomi lemah dan sebagai timbal baliknya, mereka memberikan kontribusi positif bagi

para pendukungnya untuk menghadapi pemerintah atau kekuatan lain yang lebih kuat.

Pada masa orde baru, LSM memiliki peran yang besar untuk memperkuat masyarakat

sipil vis a vis negara.

c. Era Reformasi

Pada era reformasi, Pendidikan Kewarganegaraan tidak lagi merupakan mata

pelajaran budi pekerti yang diajarkan secara verbal. Pengalaman jatuhnya Soeharto

merupakan landasan dari revitalisasi konten pendidikan kewarganegaraan. Setelah era

reformasi, pendidikan kewarganegaraan lalu disusun dan diterapkan untuk membentuk

warga negara yang kritis sehingga mampu untuk berpartisipasi aktif terhadap isu-isu

politik dan perkembangan jaman. Pada saat ini Pendidikan Kewarganegaraan memiliki

peran penting sebagai instrumen pendidikan politik di lingkungan sekolah pada

khususnya, dan lingkungan masyarakat pada umumnya, untuk memberikan pengetahuan

dan pemahaman terhadap masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai “homo

politicus”.

Adapun partai politik pada era reformasi berkembang sangatlah pesat, terutama

dari segi jumlah. Puluhan partai-partai baru bermunculan dalam Pemilu 1999. Mereka

beradu mendapatkan kepercayaan rakyat di tengah euphoria demokrasi. Seiring

berjalannya waktu, partai politik kini telah diberikan kebebasan oleh Undang-Undang

untuk menjalankan fungsinya sebagai instrumen pendidikan politik. Partai politik

diperbolehkan untuk memberikan kursus kader, ceramah, penataran, workshop supaya

anggota partai politik menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai

warga negara dan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan sendiri maupun

partai. Meskipun pada saat ini, tidak disangkal bahwa adakalanya partai mengutamakan

kepentingan partai di atas kepentingan nasional namun tindakan tersebut merupan

tindakan inkonstitusional yang dilakukan oleh aktor-aktor “nakal” dalam Parpol. Ajaran

untuk menjunjung loyalitas partai melebihi loyalitas kepada negara, serta pandangan

Page 14: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

12

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

secara sempit dalam melihat permasalahan negara akan mengakibatkan pengkotak-

kotakan masyarakat dan tidak membantu proses integrasi (Miriam Budiarjo, 2008: 408).

Pada era reformasi, perbaikan di segala bidang dilakukan termasuk dalam bidang

pers atau media massa. UU Pokok Pers baru, yang menggantikan regulasi setingkat UU

diberlakukan. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pokok

Pers Tahun 1999) lalu disahkan untuk menggantikan UU Nomor 21 tahun 1982 tentang

Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers

sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1967. Pada saat inilah, media

massa atau pers menduduki perannya yang ideal sebagai instrumen pendidikan politik

masyarakat. Jatuhnya rezim orde baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya,

juga tidak lain karena peran media dalam melakukan transformasi informasi dan

pendidikan politik kepada masyarakat. Media menjadikan krisis moneter sebagai alasan

untuk melakukan reformasi dan mobilisasi politik saat itu. Penayangan demonstrasi

setiap hari di media televisi, kritik terhadap kebijakan pemerintah, pemecatan buruh, dan

ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga lalu menguat menjadi opini publik dan

akhirnya mempengaruhi massa dalam gerakan sosial untuk menurunkan Soeharto.

LSM pada era reformasi bekerja secara lebih kondusif sebagai institusi

pemberdayaan masyarakat dan intrumen pendidikan politik. Bentuk kegiatan yang

dilakukan LSM meliputi workshop, diskusi politik, pencetakan kader gerakan, mobilisasi

aksi, ataupun kampanye opini publik. Beberapa lembaga swadaya masyarakat

beranggapan bahwa sumber keterbelakangan dan kemiskinan adalah ketidakadailan

tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, beberapa lembaga swadaya

masyarakat pada era reformasi, berfokus pada penyadaran politik, pengorganisasian

rakyat, mobilisasi aksi, dan membangun jaringan advokasi (Miriam Budiarjo, 2008: 391).

C. Kesimpulan

Sejak proklamasi hingga saat ini, Indonesia tidak pernah berhenti berbenah.

Sebagai negara yang menganut demokrasi Pancasila, pendidikan politik seyogyanya

selalu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia supaya mereka memiliki

literasi politik dan memahami hak, peran, serta kewajibannya sebagai warga negara

Indonesia.

Belum optimalnya peran dari instrumen-instrumen pendidikan politik di Indonesia,

menjadi “pekerjaan rumah” yang harus segera dituntaskan. Pendidikan politik yang

diintegrasikan dalam Pendidikan Kewarganegaraan di masa depan harus mampu

memenuhi fungsinya untuk mencerdaskan warga negara Indonesia dan menyiapkan

generasi muda untuk berperan secara aktif dalam dinamika perpolitikan nasional. Partai

Page 15: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

13

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

politik idealnya bukan hanya bekerja pada masa Pemilu (pemilihan umum), akan tetapi,

harus berperan aktif, sepanjang tahun dalam melakukan pendidikan politik bagi

masyarakat. Pers juga perlu kembali kepada jalur yang benar. UU Pokok Pers tahun 1999

telah melindungi pers Indonesia dari tekanan pemerintah, namun regulasi ini gagal

menangkal tekanan lain yang tidak kalah berbahayanya, yaitu tekanan pasar. Era

kebebasan pers terkadang disalahgunakan oleh beberapa pihak, yang menjadikan pers

sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebagai lembaga

independen, LSM saat ini juga banyak mendapatkan kritik karena fungsinya yang tidak

lagi membela kepentingan masyarakat kecil. Kini banyak bermunculan LSM bayaran yang

dibentuk untuk mendukung rezim tertentu dan tidak lagi menjadi instrumen dalam

pendidikan politik rakyat.

Sebagaimana sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh Roger Lovel: we live in a

world where the only certainty is change. Kita hidup dalam dunia yang selalu berubah.

Perubahan itu kadangkala memang membuat kita harus menerima konsekuensi yang

pahit. Namun perubahan itu sifatnya mutlak dan tidak bisa kita tolak. Justru dari

kesalahan-kesalahan di masa lalu, kita bisa belajar untuk menjadi individu yang lebih

baik. Demikian juga yang terjadi jika kita melihat dinamiika perpolitikan di Indonesia.

Kita pernah mengalami saat-saat kelabu dimana instrumen-instrumen politik mandeg

dan kehilangan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik. Kini kita telah jauh lebih

baik.

Memang benar adanya bahwa instrumen-instrumen dalam pendidikan politik

belum bekerja secara optimal dan masih terjadi ketimpangan antara das sein dan das

solen. Namun sebagai warga negara yang tidak pernah berhenti belajar dari kesalahan,

kita harus tetap memiliki tekad dan keyakinan bahwa jalan panjang pendidikan politik

Indonesia akan menuju ke arah yang lebih baik.

Page 16: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

14

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Daftar Pustaka

Bahmueller, Charles F.,Ed,; Patrick, John J.,Ed. 1999. Principles and Practices of Educational for Democratic Citizenship: International Perspectives and Project. Washington: Office of Education Research and Improvement

Brownhill, Robert & Smart, Patricia. 1989. Political Education. London: Routledge

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Crick, Bernard. 1974. Basic Political Concept and Curriculum Development, Teaching Politics

Crick, Bernard. 2005. Essays on Citizenship, Continuum: London

Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Kartini, Kartono. 2009. Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa. Bandung: CV. Mandar Maju

Poerwantana, P.K, Drs. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta

Subiakto, Henry; Basis Susilo (ed).. 1997. Dominasi Negara dan Wacana Pemberitaan Pers dalam Masyarakat dan Negara. Surabaya: Airlangga University Press

Sumantri, Endang. 2003. Diktat Pendidikan Generasi Muda. Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. FPIPS. Tidak diterbitkan

Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media

Jurnal

Hermawan, Iyep C. 2013. Revitalisasi Pendidikan Politik dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Atikan: Jurnal Kajian Pendidikan

Samsuri. 2011. Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Kompetensi Warga Negara. Jurnal Civicus

Suharko. 2003. NGO, Civil Society dan Demokrasi: Kritik Atas Pandangan Liberal. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik

Sunarso. Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan Urgensinya Bagi Sebuah Bangsa (di unduh 10 November 2015)

Tidak Diterbitkan

Affandi, Idrus 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi Pascasarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

Page 17: Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia (Sebuah Kajian Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)

Disusun oleh: Manik Sukoco, Panji Purnomo, dan Siti Khanifah Makalah ini dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPs Universitas Negeri Yogyakarta

15

Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik

Nurpratomo, Arif. 2013. Peranan Harian Tribun Jogja dalam Pendidikan Politik Pemilih di Kota Yogyakarta. Skripsi S1 FIS UNY. Tidak diterbitkan

Peraturan Perundangan

Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda

Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006 tentang Tujuan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers

View publication statsView publication stats