Upload
johan-safrijal
View
5.678
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Mata kuliah Dosen pembimbing
Pajak dan Distribusi Daerah Ari Nur Wahidah, SE
Makalah
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan
Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Disusun
oleh:
JOHAN SAFRIJAL
AHMAD
SYAFRIKO
M. MASHADI
YANI AMELIA
YENI LISMAWATI
RINA DELVI
FUJI SUKMA WARLIFA
ADM. PERPAJAKAN
FAKULTAS EKONOMI DAN SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RIAU SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah Pajak dan Distribusi Daerah di jurusan Adm. Perpajakan Tahun 2012 UIN
SUSKA Riau
Dalam Penulisan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan batas kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.
Dalam penulisan makalah ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada :
1. Ibu Ari Nur Wahidah, SE, selaku dosen pembimbing kami, yang banyak memberikan materi
pendukung, masukan, dan bimbingan kepada penulis.
2. Rekan-rekan tim penyusun makalah jurusan ADM. Perpajakan angkatan 2012 UIN SUSKA
Riau.
3. Secara khusus penyusun menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin
Yaa Robbal ‘Alamiin.
Pekanbaru, 22 Maret 2014
Tim penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu komponen pajak yang berpengaruh dalam pendepatan daerah adalah pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak ini dikenakan kepada
perusahaan/badan-badan lain yang menggunakan, mengambil dan memanfaatkan air sebagai
fasilitas pendukung berjalannya perusahaan.
Sebagai dasar untuk mengetahui pajak dan distribusi daerah tersebut maka harus
mengetahui objek dan subjek sesuai dengan perundang-undangan pajak. Kemudian hari pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ini bisa berguna menambah
pendapatan daerah. Maka harus ada sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat umum.
Berdasarkan hal ini penulis tertarik membuat makalah dengan judul “PAJAK
PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR
PERMUKAAN.”
1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Membantu mahasiswa/i mengetahui tentang pajak dan distribusi daerah
2. Memahami mekanisme pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memberikan mahasiswa/i pengetahuan baru
2. Membuat pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
sebagai sumber pendapatan daerah lebih optimal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Definisi Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-undang No. 6 tahun 1983 sebagaimana diubah
terakhir No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang dimaksud
pajak adalah “ Pajak adalah konstribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarnya-besarnya
kemakmuran”.
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (Hilarius Abut, 2001:1) “ Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan pengertian pajak menurut Smeets (Erly Suandy, 2011:9) “Pajak adalah
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat
dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
2.1.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Abdul Rahman (2010:21) ada 4, yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgeter)
Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran Negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan
pembangunan Negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
2. Fungsi Mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pajak. Dengan
fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya
dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan
pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiyai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan
masyrakat.
2.1.3 Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat. Menurut Mardiasmo (2011:2), sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan undang-undang dan
pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbukan kelesuan perekonomian rakyat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannnya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat
dalam memenuhi kewajibaan perpajakannya.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Sumyar (2004:97) ada 3 macam sistem pemungutan pajak yaitu:
1) Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus (fiskus aktif);
b) Wajib Pajak bersifat pasif;
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2) Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri
(wajib pajak yang aktif);
b) Wajib Pajak aktif, mulai menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang;
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi (fiskus aktif).
3) With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Contoh pihak ketiga yang dimaksud dalam system
ini misalnya: konsultan pajak, akuntan publik, wajib pungut atau wajib potong dan
sebagainya.
2.1.5 Asas Pemungutan Pajak
Dalam buku An Inquliry the Nature and Causes of The Wealth of Nations yang ditulis
Adam Smith pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal
dengan nama four connons atau the four maxims dengan uraian berikut: (Erly Suandi, 2011:25).
1. Equity
Pembebanan pajak antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuan,
yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan
pemerintah.
2. Certainly
Pajak yang dibayar Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi.
3. Convenience of Payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib pajak, yaitu saat
sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan
pajak.
4. Economic of collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, jangan sampai biaya
pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.
2.1.6 Pengelompokan Pajak
Pengelompokkan pajak Menurut Erly Suandy (2011:36) terdiri dari:
1) Berdasarkan golongannya pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Misalnya
Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap
penghasilan, dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.
b. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan
kepada pihak lain sehingga sering disebut pajak tidak langsung.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam
pajak ini beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke pembeli/konsumen, karena
pergeseran ini searah dengan arus barang yaitu dari produsen ke konsumen maka
pergeserannya disebut pergeseran ke depan (forward shifting). Di samping itu, ada
juga yang disebut dengan pergeseran ke belakang (backward shifting) yaitu
pergeseran pajak yang berlawanan dengan arus barang.
2) Berdasarkan wewenang pemungutannya pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Pajak pusat/pajak Negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan
melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan
hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak
pusat/Negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
1 Pajak Penghasilan diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008;
2 Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, selanjutnya Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun
2009;
3 Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1994;
4 Bea Materai diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985;
5 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2000
b. Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah
Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Pusat
diatur dalam Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdiri atas 5 jenis pajak
daerah provinsi dan 11 pajak daerah kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
Pajak Daerah Provinsi, adalah sebagai berikut:
a) Pajak Kendaraan Bermotor;
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d) Pajak Air Permukaan;
e) Pajak Rokok;
Pajak Daerah Kabupaten/Kota, adalah sebagai berikut:
a) Pajak Hotel;
b) Pajak Restoran;
c) Pajak Hiburan;
d) Pajak Reklame;
e) Pajak Penerangan Jalan;
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Buatan;
g) Pajak Parkir
h) Pajak Air Tanah
i) Pajak Sarang Burung Walet
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan
2.1.7 Asas Pengenaan Pajak
Menurut Sri Pudiyatmoko (2009:43) ada 3 asas dalam pengenaan pajak yaitu:
1. Asas Negara Tempat Tinggal
Asas ini sering disebut asas domisili. Asas Negara tempat tinggal ini mengandung arti
bahwa Negara tempat tinggal seseorang bertempat tinggal, tanpa memandang
kewarganegaraannya, mempunyai hak yang tak terbats untuk mengenakan pajak terhadap
orang-orang itu atas semua pendapatan itu di peroleh.
2. Asas Negara Asal (Negara sumber)
Asas Negara sumber mendasarkan pemajakan pada tempat dimana sumber itu berada,
seperti adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat kegiatan di suatu Negara. Negara
di mana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil
yang keluar dari sumber itu.
3. Asas Kebangsaan
Asas ini mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status kewarganegaraannya.
Jadi pemajakan dilakukan oleh Negara asal Wajib Pajak. Yang dikenakan pajak ialah
semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang
tempat tinggalnya.
2.1.8 Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak menurut Tunggal Anshari Setia Negara (2006:86) yaitu:
“serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengelola data dan atau keterangan
lain dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Tujuan lain pemeriksaan menurut Erly Suandy (2011:208) adalah melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakn, yang dapat dilakukan antara lain dalam hal:
1) Surat Pemberitahuan (SPT) menunjukan kelebihan pembayaran pajak dan/ atau rugi;
2) Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu
yang telah ditetapkan;
3) Surat Pemberitahuan (SPT) memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak
2.2 Pajak Daerah
2.2.1 Pengertian Pajak Daerah
Pajak daerah Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 10 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, adalah:
“Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Sedangkan pajak daerah menurut Erly Suandy (2011:229)
“Pajak Daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.
2.2.2 Tarif Pajak Daerah
Tarif Pajak Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah yang dikutip oleh Marihot P Sihaan (2011:87):
1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu
persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen).
b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat
ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
c. Tarif pajak Kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan Kendaraan lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).
d. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan
paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar
0,2% (nol koma dua persen).
2) Tarif Bea Balik Nama Kendaraab bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut:
a. Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen)
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
3) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
4) Tarif Pajak Air permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
5) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
6) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
7) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
8) Tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
Khusus untuh hiburan berupa pengelaran busana, kontes kecantikan, diskotek,
karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif
pajak hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif pajak hiburan ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
9) Tarif pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
10) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
11) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25%
(dua puluh lima persen).
12) Tarif Pajak Parkir di tetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen).
13) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
14) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen).
15) tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi
sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
16) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar
5% (lima persen).
2.2.3 Ciri-ciri Pajak Daerah
Menurut Azhari (2005:49), ciri-ciri Pajak Daerah adalah:
1) Pajak daerah dapat berasal dari pajak asli daerah maupun pajak Negara yang
diserahkan kepada Daerah sebagi Pajak Daerah;
2) Pajak daerah dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif yang
dikuasainya;
3) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga
daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum;
4) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan peraturan Daerah (Perda),
maka sifat pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang wajib
membayar dalam lingkungan kekuasaannya.
2.2.4 Dasar Pengenaan Pajak Daerah
Menurut Marihot Pahala Siahaan (2011:90), dasar pengenaan Pajak daerah adalah
sebagai berikut:
Pajak Provinsi:
1) Pajak Kendaraan bermotor dikenakan atas hasil perkalian dari dua unsur pokok nilai
jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relative tingkat
kerusakan jalan dan atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan
bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar
kendaraan bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai;
4) Pajak Air Permukaan atas nilai perolehan air;
5) Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok
Pajak Kabupaten/Kota:
1) Pajak Hotel dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar oleh
hotel
2) Pajak Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang seharusnya diterima resoran;
3) Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya
diterima oleh penyelenggara hiburan;
4) Pajak reklame dikenakan atas nilai sewa reklame
5) Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan nilai jual hasil pengambilan mineral logam
dan batuan
7) Pajak Parkir dikeanakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada penyelengara tempat parkir;
8) Pajak Air tanah dikenakan atas nilai perolehan air tanah;
9) Pajak Sarang burung walet dikenakan atas nilai jual sarang burung walet;
10) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan Perdesaan dan Perkotaan dikenakan
atas nilai jual objek pajak (HJOP);
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas nilai perolehan objek
pajak (NJOP).
2.2.5 Penerbitan SKPD
Penerbitann SKPD menurut Marihot P Siahaan (2011:105) yaitu, berdasarkan SPTPD
yang disampaikan Wajib Pajak, kepala Daerah akan melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan
penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban pajak yang terutang telah dilakukan
sebagaiman mestinya. Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 mengatur tentang
ketentuan tentang Penerbitan Surat Ketetapan Pajak terhadap wajib pajak, baik yang membayar
pajak dengan penetapan sendiri (self assessement) maupun berdasarkan ketetapn kepala daerah.
Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat
menerbitkan:
a) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB);
b) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT);
c) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru
dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penammbahan jumlah pajak
yang terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak tidak terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2.2.6 Pembayaran Pajak Daerah
Pembayaran pajak daerah menurut Darwin (2010:157), merupakan suatu tindakan untuk
melunasi hutang pajaknya. Pembayaran pajak daerah dapat dilakukan oleh wajib pajak daerah
segera setelah memperoleh Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dengan mengacu kepada self
assessment system. Pembayaran dan penyetoran pajak daerah yang terutang adalah paling lama
30 hari setelah saat terutangnya pajak atau berdasarkan peraturan daerah.
2.3 Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan dan Air Bawah Tanah
2.3.1 Pengertian
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah
pungutan daerah (provinsi) atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapiran pengandung air di bawah
permukaan tanah termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.
Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi tidak termasuk air laut
kecuali air laut tersebut telah dimanfaatkan di darat.
2.3.2 Dasar Hukum:
a) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun
1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.
c) Peraturan Daerah Provinsi Tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
2.3.3. Obyek dan Subyek
Obyek:
a) Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah.
b) Pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.
Subyek:
Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil dan memanfaatkan
air bawah tanah dan air permukaan.
Pengecualian:
a) Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b) Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk
menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta
mengusahakan air dan sumber-sumber air.
c) Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan untuk
kepentingan pertanian rakyat.
d) Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan lainnya yang
diatur dengan Peraturan Daerah.
2.3.4 Perhitungan dan Penetapan
a) Tarif:
Tarip Pajak Air Bawah Tanah 20% (dua puluh persen) dan Pajak Air Permukaan 10%
(sepuluh persen).
b) Dasar Pengenaan:
Dasar pengenaan Pajak adalah nilai perolehan air.
c) Nilai Perolehan Air:
Nilai perolehan air dihitung dengan mengalikan volume air yang diambil/digunakan
dengan harga dasar air.
d) Besarnya Pajak:
Besarnya Pajak yang dibayar (terhutang) dihitung dengan cara mengalikan tarip
dengan dasar pengenaan Pajak.
2.3.5 Perhitungan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan dan Air Bawah
Tanah
Cara untuk menghitung pajak Air Permukaan menurut Marihot P Siahaan (2011:475),
adalah:
Diketahui: volume air permukaan yang diambil oleh sebuah perusahaan untuk
memproduksi air mineral sebesar 10.000 liter/bulan. Dan harga dasar air yang ditetapkan
pemerintah daerah adalah Rp 900/liter. Maka hitung pajak pengambilan dan pemanfaatan air
permukaan?
Jawab:
Tarif pajak permukaan air adalah 10% (sepuluh persen)
Dasar pengenaan: 10.000 liter x 900 (rupiah) = 9.000.000 (rupiah)
Pajak terhutang: 10 % x 9.000.000 = 900.000 (rupiah)/bulan
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Nilai Perolehan Air
2.3.6 Penghitungan Sanksi, Keberatan dan Banding
A. Sanksi Administrasi dan Pidana.
1. Sanksi Administrasi
a. Pemungut Pajak
Pasal 96
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan
surat ketetapan pajak atau dibayar sendirioleh Wajib Pajak berdasarkan
peraturan perundangundanganperpajakan.
(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakanberdasarkan
penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berupa karcis dan nota perhitungan.
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar
dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atauSKPDKBT.
Pasal 97
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,
Kepala Daerah dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam
jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat
teguran;
3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang
terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau datayang semula
belum terungkap yang menyebabkanpenambahan jumlah pajak
yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung
dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100%(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksia dministratif berupa
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak
ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
saat terutangnya pajak.
Pasal 98
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut
berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur
dengan PeraturanPemerintah.
Pasal 99
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan,
SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
96 ayat (3) dan ayat(5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian danpenyampaian
SKPD atau dokumen lain yangdipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan
SKPDKBTsebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat(5)
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
b. Surat Tagihan Pajak
Pasal 100
(1) Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau
denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk
paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempopembayaran
dikenakan sanksi administratif berupa bungasebesar 2% (dua persen)
sebulan dan ditagih melalui STPD.
2. Sanksi PIDANA
Pasal 174
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
Pasal 175
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun
Pajak yang bersangkutan.
Pasal 176
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan
keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 177
1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan
sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172
ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau
Badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak
pidana pengaduan.
Pasal 178
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174, Pasal 176, dan Pasal 177 ayat (1)
dan ayat (2) merupakan penerimaan negara.
BAB III
PENUTUP
1.1.1 Kesimpulan
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Pengenanaan pajak di Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: Pajak
Negara dan Pajak Daerah.
Pajak Daerah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pajak provinsi, terdiri dari:
a) Pajak Kendaraan Bermotor;
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d) Pajak Air Permukaan
e) Pajak Rokok
2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari:
a) Pajak Hotel;
b) Pajak Restoran;
c) Pajak Hiburan;
d) Pajak Reklame;
e) Pajak Penerangan Jalan;
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g) Pajak Parkir
h) Pajak Air Tanah
i) Pajak Sarang Burung Walet;
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah
pungutan daerah (provinsi) atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapiran pengandung air di bawah
permukaan tanah termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.
Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi tidak termasuk air laut
kecuali air laut tersebut telah dimanfaatkan di darat.
1.1.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan maupun
dalam penulisan kami mohon maaf. kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar
dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang kami buat ini lebih baik di masa
mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Purwono, Herry, Dasar-dasar Perpajakan dan Akuntasi Pajak, Jakarta: Erlangga, 2012
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi, 2011
Siahaan, Pahala, Marihot, Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Rahman, Abdul, Administrasi Perpajakan, Bandung: Nuansa, 2010
Samudra, A. Azhari, Perpajakan di Indonesia Keuangan, Pajak dan Retribusi. Jakarta: Hecca
Publising, 2005
Sumyar, Dasar-Dasaar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta: Andi, 2004
Peraturan Perundangan:
Undang-undang Nomor. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah