62
TEORI BELAJAR A. PENDAHULUAN Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. B. BEHAVIORISME Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental. Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap

Makalah teori belajar

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah teori belajar

TEORI BELAJAR

A.    PENDAHULUAN

Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga

membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga

perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme.

Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian,

gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas termasuk yang

mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang

lebih penting untuk kita pahami adalah teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan

tertentu, dan teori mana yang sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting

untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

B.     BEHAVIORISME

Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme

merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa

perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah.

Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.

Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman

terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan

pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal  lain  dalam diri orang tersebut. Fokus

behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. Para tokoh yang memberikan

pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical

conditioning, John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward

Thorndike (dengan teorinya Law of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut

operant conditioning

1.      Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov

Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di dekade

1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam

edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of

the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena

kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang menyebut teorinya

sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori

pengkondisian disadari-nya Skinner.

Page 2: Makalah teori belajar

a.       Percobaan Pavlov

Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di

dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses

pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing eksperimen dan

mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah anjing tersebut

melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum

menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian

peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga

menimbulkan respons keluarnya air liur.

Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar

psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar

bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut)

secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari

anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian

memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral

karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun,

setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa

disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing

tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng

menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan

pengkondisian

b.      Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov

Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan berhasil mengidentifikasi empat proses:

acquisition (akuisisi /fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi /fase tanpa

pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination (diskriminasi).

1)      Fase Akuisisi

Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi sebagai contoh, anjing

‘belajar’ mengeluarkan air liur pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat

mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang paling penting

adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus kondisi

(suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu setengah detik.

Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila

dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama.

Page 3: Makalah teori belajar

Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama-sebagai contoh, jika anjing menerima

makanan sebelum lonceng berbunyi -- conditioning jarang terjadi.

2)      Fase Eliminasi

Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen.

Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan

mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing telah ‘belajar’

mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat secara berangsur-angsur

menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan

makanan sesudahnya.

3)      Generalisasi

Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan

juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit oleh

seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepadaanjing tersebut, namun

juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut generalisasi. Stimuli yang

kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang intens. Sebagai contoh, anak

tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.

4)      Diskriminasi

Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar

menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama

namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada

anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor

anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.

2.      Teori Stimulus-Respons John Watson

Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya

Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar

psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau

berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.

Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari

kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya

stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari

karya-karya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang.

Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih

Page 4: Makalah teori belajar

menekankan pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian,

mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson

dijuluki sebagai pakar psikologi S - R (stimulus-response).

a.       Percobaan John Watson

Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin

menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya

bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.

Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya

Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal

eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus,  Watson

mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-

tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun,

balita menjadi takut terhadap tikus.

b.      Kesimpulan Watson.

Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya

menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli

yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan

pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut

juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa

takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu

atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical

conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan,

kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli

khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan

roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller

coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di

dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul

kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.

Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa

takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika.

Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan

menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang

Page 5: Makalah teori belajar

ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),

penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan

perawatan untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian

menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya

ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti

meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya

dan problematika yang dihadapinya.

3.      Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike

Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia University

AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka pada pendapat

bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan

juga memiliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung gagasannya

tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant conditioning

(pengkondisian yang disadari).

Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek

dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya

koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.

a.       Pecobaan Thorndike

Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk melihat

bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia

sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti

menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan tersebut

akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak.

Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat

memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya 

hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan

makanan

Ketika  Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang,

hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat,

hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan

mendapatkan hadiah.

b.      Kesimpulan Thorndike

Page 6: Makalah teori belajar

Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan bahwa hewan

tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak,

namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).

Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut

agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat

waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri

maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan

perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan. Kenyataannya, hewan

menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan bukti kurva waktu yang menurun

secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.

Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum

efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan,

lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti

kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi

di masa mendatang.

Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa

keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat

setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek

Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi

operant conditioning (pengkondisian yang disadari).

4.      Pengkondisian Disadari B.F. Skinner

Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita

menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun pada

akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu saat secara

kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya Watson.

Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan untuk belajar

Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah

dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga

menjadi profesor di tahun 1948.

Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar dan

perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari

operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai

Page 7: Makalah teori belajar

seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat menjelaskan

bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah

memang yang pertama kali memberi istilah operant conditioning.

Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan

kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan

kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari.

a.       Percobaan Skinner

Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari

perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang kemudian disebut

kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner berupa ruangan kosong

tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti

menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam semua

yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-teki Thorndike

dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima

makanan namun tidak keluar dari kotak; (2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup

untuk setiap respons, sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant

response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan

dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini,

Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana

perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.

b.      Prinsip-prinsip Operant Conditioning

Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar

dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau

mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement

(penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction

(penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).

1)      Penguatan

Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu, memperbesar

kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement,

yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan reinforcement

positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan menyertaikan stimulus yang

menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan

Page 8: Makalah teori belajar

perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk manusia, penguat positif meliputi item-item

mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat

positif lain meliputi kepemilikan materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, 

perhatian, dan sukses karir seseorang.

Bergantung pada situasi  dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik yang

diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan mau bekerja keras di

rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima dari orang tua maupun

gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian, mereka mungkin juga

mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya, atau mulai merokok karena

perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan penerimaan dari kelompok sebayanya.

Salah satu penguat yang paling umum untuk perilaku manusia adalah uang. Banyak orang

dewasa menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan

upah. Untuk individu tertentu, uangdapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak

diinginkan, seperti perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.

Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui cara

menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak menyenangkan.

Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di dalam tipe pertama

(mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada menghilangkan  stimulus 

yang  tidak  mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang dengan sakit kepala mencoba obat

jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya dengan cepat hilang, orang ini

kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe

kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu perilaku menghindari akibat yang tidak

menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya

untuk menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda

dan hukuman, dan  siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk

2)      Hukuman

Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi

peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua macam

hukuman, positif dan negatif.

Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak

menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika

mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku yang buruk. Masyarakat

Page 9: Makalah teori belajar

menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau memenjarakan seseorang yang

melanggar hukum.

Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan

menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang

membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena perbuatan

anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.

Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara

yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen

dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika  hukuman digunakan

dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif dalam mengurangi perilaku yang

tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa kelemahan. Ketika

seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah, agresif, atau reaksi

emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan bukti-bukti perilaku salah

mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya ketika seorang anak lari dari

rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin mengeliminasi perilaku yang dikehendaki

bersamaan dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak

yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi tunjuk

jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar psikologi yang

merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku ketika

tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.

3)      Pembentukan

Pembentukan  merupakan  teknik  penguatan  yang  digunakan  untuk  mengajar perilaku

hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru

memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar

dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang

dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang terletak di atas

kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun

ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan tersebut

mampu menekan tuas.

Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk mengajarkan

kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang parah  dengan 

pertama-tama  memberikan  hadiah  pada  suara  apa  pun  yang  mereka keluarkan, dan

Page 10: Makalah teori belajar

kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai kata-kata dari gurunya.

Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binatang menggunakan shaping ini untuk

mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja, harimau berjalan

di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke arah belakang, dan paus

pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui lingkaran.

4)      Eliminasi Penguatan

Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang  dipelajari  di dalam operant

conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction (eliminasi

kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan penguat

dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas karena dengan melakukan

ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya pada tuas akan berkurang dan

pada akhirnya berhenti sama sekali jika makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik

kembali penguat akan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang

tua seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda dengan

memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan anak-anak dengan lebih

memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak

tersebut seharusnya secara berangsur-angsur akan berkurang.

5)      Generalisasi dan Diskriminasi

Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris sama dengan

yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku

yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya

sama. Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu di

suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi pernikahan.

Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu

situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa  menceritakan 

leluconnya  di  dalam  gereja  atau  dalam  situasi  bisnis  yang memerlukan keseriusan tidak

akan membuat orang tertawa. Stimuli  diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu

perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan leluconnya

hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif).

Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant

conditioning.

c.       Penerapan Operant Conditioning

Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua

Page 11: Makalah teori belajar

dapat memperkuat  perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada

perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi dan

diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi-situasi

tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit

hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah untuk memperbaiki

kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya.

Pakar psikologi yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant 

conditioning untuk merawat  anak-anak  atau  orang  dewasa  yang  memiliki kelainan pakar

psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping

untuk mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami

keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar

keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah,

dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku

agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga menggunakan teknik

operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh diri,  kelainan  seksual, 

permasalahan  perkawinan,  kecanduan obat terlarang,  perilaku konsumtif, kelainan perilaku

dalam makan, dan masalah lainnya.

C.    KOGNITIVISME

Menjelang  berakhirnya  tahun 1950-an banyak  muncul  kritik  terhadap behaviorisme. 

Banyak  keterbatasan  dari  behaviorisme  dalam  menjelaskan  berbagai masalah  yang 

berkaitan  dengan  belajar.  Banyak  pakar  psikologi  waktu  itu  yang berpendapat

behaviorisme terlalu fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan perilaku yang

dapat diamati.

Kognitivis mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat bagaimana manusia

memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Akhirnya

proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka. Kognitivisme tidak

seluruhnya  menolak  gagasan  behaviorisme,  namun  lebih cenderung perluasannya,

khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa mempengaruhi proses belajar.

Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang

kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan

masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia memproses informasi dan membentuk

representasi mental dari orang lain, objek, dan kejadian.

Page 12: Makalah teori belajar

1.      Percobaan Tollman

Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah meneliti

proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus belajar mencari

jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet).   Ia menemukan bukti bahwa tikus-

tikus percobaannya membentuk  “peta kognitif” (atau peta mental) bahkan pada awal

eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai mereka  menerima 

penguatan  untuk menyelesaikan jalannya  melintasi  maze—suatu fenomena yang disebutnya

latent learning  atau  belajar latent. Eksperimen Tolman menunjukkan bahwa belajar adalah

lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan.

2.      Jerome Bruner

Jerome Bruner adalah guru besar di  dua  universitas  terkemuka  dunia  yaitu Harvard (AS)

dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang sering pindah tidak

menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran besar dalam perubahan arus utama

psikologi dari behaviorisme ke kognitivisme pada dekade 1950-an dan 1960-an. Karya

pentingnya yang secara eksplisit mengawali kognitivisme diterbitkan tahun 1956, A Study in

Thinking. Dalam bukunya tersebut Bruner mendefinisikan proses kognitif sebagai “alat bagi

organisme untuk memperoleh, menyimpan, dan mentransformasi informasi.” Bruner juga

pelopor utama konstruktivisme.

Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah kategorisasi,

konseptualisasi  adalah  kategorisasi,  belajar  adalah  membentuk kategori-kategori,

membuat keputusan adalah kategorisasi." Bruner berpendapat bahwa orang

menginterpretasikan dunia melalui persamaannya dan perbedaannya. Sebagaimana halnya

Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat tentang adanya suatu sistem pengkodean di mana

orang membentuk susunan hierarkhis dari kategori-kategori yang saling berhubungan.

Gagasannya yang disebut instructional  scaffolding (dukungan dalam pembelajaran) ini

berupa hierarkhi kategori berjenjang di mana semakin tinggi semakin spesifik, menyerupai

gagasan Benjamin Bloom tentang perolehan pengetahuan.

Bruner mengemukakan ada dua mode utama dalam berpikir: naratif dan paradigmatik. Dalam

berpikir naratif, pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial, berorientasi pada kegiatan, dan

dorongan berpikir secara rinci. Dalam berpikir paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan

sehingga memperoleh pengetahuan yang sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses

berpikir seperti halnya cerita atau drama. Pada mode kedua, berpikir secara berstruktur

seperti halnya menghubungkan berbagai gagasan mendasar dengan cara yang logis.

Page 13: Makalah teori belajar

Dalam penelitiannya terhadap perkembangan anak (1966), Bruner menelorkan gagasan

tentang tiga mode representasi: representasi enactive (berbasis  tindakan), representasi iconic

(berbasis gambaran), dan representasi simbolik  (berbasis bahasa). Semua representasi mode

tersebut tidak bisa dijelaskan sebagai jenjang yang terpisah, namun terintegrasi dan hanya

terpisah secara sekuensial selagi "diterjemahkan" satu sama lain.  Representasi simbolik

menjadi mode terakhir, karena yang paling misterius dari ketiganya. Teori Bruner

berpendapat adalah produktif ketika menghadapi materi baru dengan mengikuti representasi

secara progressif dari enactive ke iconic baru ke simbolik; bahkan hal ini juga berlaku bagi

pembelajar dewasa. Untuk para perancang kegiatan pembelajaran, karya Bruner tersebut juga

berpendapat bahwa seorang pembelajar bahkan ketika masih belia sudah mampu mempelajari

materi dalam waktu lama apabila materi tersebut diorganisasi secara baik. Pendaapat ini

sangat berbeda dengan teori Piaget dan teoris tentang tahapan perkembangan yang lain.

3.      Teori Noam Chomsky dalam Belajar Bahasa

Avram  Noam  Chomsky  adalah  profesor  emeritus  bidang  linguistik  di Massachusetts

Institute of Technology  (MIT). Ia mengawali revolusi kognitif dalam psikologi di tahun 1959

dengan menulis "A Review of B. F. Skinner's Verbal Behavior" di jurnal Language. Buku

Skinner yang direview Chomsky berjudul Verbal behavior tersebut terbit tahun 1957.

Chomsky menganggap terjadi kesalahan dalam bagian tulisan Skinner tentang perkembangan

bahasa seseorang. Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh dunia mulai belajar

berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui tahapan-tahapan yang rata-

rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau diberi  hadiah untuk upayanya

tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk belajar  bahasa  adalah  bawaan.  Ia 

memiliki  teori  bahwa  otak  manusia  memiliki “hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari

evolusi.  Dengan menunjuk fungsi vital disposisi biologis dalam perkembangan bahasa, teori

Chomsky memukul secara telak asumsi behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk

dan dipertahankan melalui reinforcement (penguatan).

Dalam meneliti  belajar  bahasa, Chomsky fokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang cara

kerja dan perkembangan struktur internal bawaan untuk sintaksis yang mampu secara kreatif

mengorganisasi, menyatukan, menyesuaikan, dan mengkombinasikan kata-kata dan frase-

frase menjadi tutur yang dapat dipahami.

Dalam reviewnya Chomsky menekankan bahwa penerapan ilmiah prinsip-prinsip

behaviorisme dari penelitian terhadap hewan sangat kurang memadai dalam memberikan

Page 14: Makalah teori belajar

penjelasan tentang perilaku verbal manusia karena teori tersebut membatasi diri terhadap

kondisi eksternal. Meneliti "apa yang dipelajari" saja tidak memadai untuk menjelaskan tata

bahasa generatif. Chomsky menekankan contoh-contoh perolehan bahasa yang cepat oleh

anak-anak, termasuk cepat berkembangnya kemampuan untuk membentuk kalimat yang

sesuai tata bahasa.

Chomsky memiliki prinsip bahwa untuk memahami perilaku verbal manusia seperti aspek-

aspek kreatif dari penggunaan dan pengembangan bahasa, seseorang harus pertama-tama

menerima postulat (dalil) adanya genetika yang membawa kemampuan linguistik.

4.      Teori Piaget

Piaget  profesor  psikologi  di  Universitas  Jenewa,  Swiss.  Teorinya tentang perkembangan

kognitif anak (dibahas pada bab tersendiri) merupakan salah satu tonggak munculnya

kognitivisme. Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan  logika berpikir dari bayi

sampai dewasa.

Piaget  memiliki  asumsi  dasar  kecerdasan  manusia  dan  biologi  organisme berfungsi

dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara konstan

berinteraksi dengan lingkungan.

Pengetahuan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Outcome dari

perkembangan kognitif adalah konstruksi dari schema kegiatan, operasi konkret dan operasi

formal. Komponen perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi, yang diatur

secara seimbang. Memfasilitasi berpikir logis melalui ekperimentasi dengan objek nyata,

yang didukung boleh interaksi antara peer dan guru.  (Schema adalah struktur terorganisasi

yang merefleksikan pengetahuan, pengalaman, dan harapan dari individu terhadap berbagai

aspek dunia nyata). Sebagaimana Bruner, Piaget juga memelopori lahirnya konstruktivisme.

5.      Teori Vygotsky

Lev Vygotsky adalah pakar psikologi lulusan Insitut Psikologi Moskow, Uni Soviet

(sekarang Rusia). Meninggal pada tahun 1930-an di usia relatif muda (40 tahun) karena

penyakit TBC, ia meninggalkan banyak karya yang banyak dieksplorasi orang hingga kini.

Dalam masa karir akademiknya yang singkat, Vygotsky aktif di sejumlah bidang akademik,

termasuk analisis psikologis dalam seni dan cerita rakyat;  psikologi anak yang meliputi

masalah anak-anak tuna rungu dan tuna grahita; dan analisis psikologis untuk orang  dewasa

penderita  kerusakan  otak.  Karya  utamanya  antara  lain  Thought  and Language (1937),

Selected Psychological Studies (1956), dan Development of the Higher Mental Processes

Page 15: Makalah teori belajar

(1960).

Karyanya dalam bidang perkembangan bahasa dan linguistik didasarkan atas hipotesisnya

bahwa proses kognitif tingkat tinggi merupakan hasil dari perkembangan sosial. Semula 

penganut  teori  Pavlov,  Vygotsky  berbalik  menentangnya  karena  ia berpendapat bahwa

stimulus dan respons saja tidak cukup untuk menjelaskan tentang realitas aktivitas manusia.

Aktivitas yang dilakukan manusia membutuhkan 'mediator' ekstra melalui alat atau bahasa.

Dengan menggunakan alat kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan fisik dan dengan

bahasa kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan konseptual dan sosial sehingga dapat

melakukan perubahan. Dengan demikian Vygotsky membedakan secara fundamental antara

kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada

perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan

perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep

digunakan dalam bahasa.

Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan alat dan

penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia fokus pada

struktur semantik dari kata-kata dan cara bagaaimana arti kata-kata berubah dari emosional

ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak.

Karya-karya  Vygotsky  antara 1920-1930 memberikan  penekanan  bagaimana interaksi

anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai keterampilan. 

Menurut Vygotsky,  orang dewasa yang sensitif  akan peduli terhadap kesiapan anak untuk

tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang cocok untuk

mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai mentor Vygotsky yang

berarti suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu melakukan suatu kegiatan

belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah bimbingan orang

dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-konsep angka yang sederhana,  sebagai 

misal,  dengan  menghitung  manik-manik  bersama  anak  atau menghitung mengukur bahan-

bahan ketika memasak dengan menggunakan takaran. Ketika anak-anak berpartisipasi dalam

kegiatan sehari-hari seperti ini dengan orang tua, guru, dan orang lain, mereka akan secara

bertahap mempelajari praktik buadaya, nilai-nilai, ketrampilan.

D.    TEORI HUMANISME “KEKUATAN KETIGA”

Dihadapkan  pada  dua  pilihan  antara  behaviorisme  dan  psikoanalisis  yang termasuk

kognitivisme   banyak pakar psikologi di era tahun 1950-an dan 1960-an yang memilih ke

Page 16: Makalah teori belajar

alternatif konsepsi psikologis sifat dasar manusia. Freud telah memusatkan perhatian  pada

kekuatan sisi gelap ketidaksadaran,  dan Skinner hanya tertarik  pada pengaruh penguatan

dari perilaku yang dapat diamati. Lahirlah Psikologi Humanistik untuk menjawab berbagai

pertanyaan tentang kesadaran pikiran, kebebasan kemauan, martabat manusia, kemampuan

untuk berkembang dan kapasitas refleksi diri. Karena menjadi alternatif terhadap

behaviorismedan kognitivisme, Psikologi humanistik atau humanisme menjadi lebih terkenal

sebagai “kekuatan ketiga.”

Humanisme dipelopori oleh pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow. Menurut

Rogers, semua manusia yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih sepenuhnya apa

yang diinginkan dan berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri.

Rogers, seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy, suatu pendekatan

yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang membantu klien

mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya fasilitasi  proses

memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow mengemukakan 

teorinya bahwa  semua  orang  memiliki  motivasi  untuk  memenuhi kebutuhannya yang

bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah kebutuhan-kebutuhan

fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya adalah kebutuhan akan rasa aman,

kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan kepercayaan diri yang berkaitan dengan

kebutuhan akan status dan pencapaian. Ketika berbagai kebutuhan ini terpenuhi, Maslow 

yakin, orang akan meraih aktualisasi diri, suatu puncak pemenuhan kebutuhan dari seseorang.

Sebagaimana kata  Maslow, “Seorang musisi haruslah mencipta lagu, seorang pelukis harus

melukis, seorang penyair harus menulis puisi, jika ia ingin damai dengan dirinya. Apa yang ia

mampu lakukan, ia harus lakukan.” Gagasan lain dari humanisme dapat diringkas sebagai

berikut:

1.      Setiap orang memiliki kapasitas untuk berkembang.

2.      Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.

3.      Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup manusia.

4.      Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya.

5.      Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya sendiri lebih penting dari lingkungan.

6.      Setiap orang memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri.

7.      Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada orang lain sehingga semua

memiliki citra diri yang positif serta pemahaman diri yang baik.

8.      Carl  Rogers menekankan pentingnya  suasana lingkungan yang  hangat dan bisa menjadi

Page 17: Makalah teori belajar

terapi.

9.      Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita sesunggahnya tidak terbatas.

10.  Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.

11.   Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal positif dari dirinya

dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif orang lain namun bersyarat.

12.  Konsep-diri  adalah  bagaimana seseorang mengenal potensinya,  perilakunya,  dan

kepribadiannya.

13.  Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme adalah

bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.

14.  Anggapan  positif  tanpa  syarat,  ketulusan  dan  empati  membantu  memperbaiki

hubungan seseorang dengan orang lain.

15.  Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap pengalaman, tidak

terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan memiliki hubungan yang harmonis

dengan orang lain.

16.  Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh sebagai

manusia dari diri seseorang.

Salah satu kritikus terhadap humanisme mengatakan adalah sulit untuk mengukur aktualisasi 

diri. Ada juga yang berpendapat humanisme terlalu  optimis dalam memandang manusia.

Yang lain lagi mengatakan humanisme membangkitkan rasa kekaguman pada diri sendiri.

E.     KONSTRUKTIVISME

Dalam perkembangan selanjutnya, arus utama kognitivisme bergeser ke konstruktivisme.

Para kognitivis pun mengikut dinamika perubahan menuju konstruktivis.

1.      Pengertian

Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif 

mengkonstruksi  atau  membangun  gagasan-gagasan  atau  konsep-konsep  baru didasarkan

atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan  kata  lain,

”belajar  melibatkan konstruksi  pengetahuan seseorang  dari pengalamannya sendiri oleh

dirinya sendiri”. Dengan  demikian, belajar  menurut konstruktivis  merupakan upaya keras 

yang sangat  personal, sedangkan  internalisasi konsep,  hukum,  dan  prinsip-prinsip umum 

sebagai konsekuensinya  seharusnya diaplikasikan  dalam  konteks  dunia nyata.  Guru

bertindak sebagai fasilitator yang meyakinkan siswa untuk menemukan  sendiri prinsip-

prinsip  dan  mengkonstruksi pengetahuan dengan memecahkan problem-problem yang

realstis. Konstruktivisme juga dikenal sebagai  konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses

Page 18: Makalah teori belajar

sosial. Kita dapat melakukan klarifikasi dan mengorganisasi  gagasan  mereka  sehingga  kita

dapat menyuarakan  aspirasi mereka.  Hal  ini  akan  memberi  kesempatan kepada  kita

mengelaborasi apa yang mereka pelajari. Kita menjadi terbuka terhadap pandangan orang lain

Hal ini juga memungkinkan kita menemukan kejanggalan dan inkonsistensi karena dengan

belajar kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Konstruktivisme dengan sendirinya memiliki

banyak variasi, seperti Generative Learning, Discovery Learning, dan knowledge building.

Mengabaikan variasi yang ada, konstruktivisme membangkitkan kebebasan eksplorasi siswa

dalam suatu kerangka atau struktur.

Dalam sidut pandang laiinya. konstruktivisme merupakan seperangkat asumsi tentang

keadaan alami belajar dari manusia yang membimbing para konstruktivis mempelajari teori

metode mengajar dalam pendidikan.

Nilai-nilai konstruktivisme berkembang dalam pembelajaran yang   didukung oleh guru

secara memadai berdasarkan inisiatif dan arahan dari siswa sendiri.

Ada istilah lain yang sering disalahartikan sama dengan konstruktivisme, yaitu

maturationisme. Konstruktivisme (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan suatu

aliran yang "yang didasarkan pada gagasan bahwa proses dialektika atau interaksi dari

perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri yang difasilitasi

dan dipromosikan oleh orang dewasa " Sedangkan, "Aliran maturationisme romantik

didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan alami siswa dapat terjadi tanpaintervensi

orang dewasa dalam lingkungan yang penuh kebebasan " (DeVries et al., 2002).

2.      Teori Tahapan Perkembangan Anak dari Piaget

Selama berabad-abad yang lalu gagasan konstruktivis kurang berkembang secara luas

disebabkan persepsi yang umum pada waktu itu bahwa kegiatan bermain yang dilakukan

siswa dalam pembelajaran tampaknya kurang penting atau yang lebih parah dianggap tidak

dapat mencapai apapun. Jean Piaget tidak setuju dengan pandangan tradisional ini. Ia

memandang kegiatan bermain sebagai sesuatu yang penting dan sangat diperlukan  sebagai 

bagian  dari  perkembangan kognitif  siswa.  Untuk  mendukung pandangannya  tersebut, 

Piaget  mengajukan bukti  ilmiah. Pada saat ini,  teori konstruktivisme sangat mempengaruhi

seluruh sektor  pendidikan  bahkan  sektor pendidikan informal.

Menurut Ernst von Glasersfeld (1996), Jean Piaget adalah "pelopor terbesar teori

konstruktivisme  yang  diketahui" serta "konstruktivis paling produktif di abad ini." Namun

apabila kita telusuri, jauh sebelumnya konstruktivisme sebagai gagasan sudah dilontarkan

Page 19: Makalah teori belajar

oleh banyak tokoh pendidikan.

Gredler (2001)  mengkategorikan  Piaget  sebagai  konstruktivis  radikal  karena menganggap

bahwa konstruktivisme radikal muncul secara langsung sebagai akibat dari teori Piaget

tentang tahapan perkembangan kognitif anak.

Meskipun tidak ada teori perkembangan kognitif yang umum, teori yang paling bersejarah

dan berpengaruh adalah teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget, Psikolog berkebangsaan

Swiss (1896-1980). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang psikologi perkembangan

dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget, berarti kemampuan untuk

secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan mengerjakan operasi-operasi logis dari

representasi-representasi konsep realitas dunia. Teori ini memiliki fokus perhatian pada

bangkitnya dan dimilikinya schemata—skema bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam

saat "tingkatan-tingkatan perkembangan", ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana

secara mental merepresentasikan informasi. Teori ini dianggap "konstruktivis", yang berarti

bahwa, tidak seperti teori nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai

perkembangan dari pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang

berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan

melalui pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif

kita melalui kegiatan motivasi-diri dalam dunia  nyata. Karena teorinya ini, Piaget

mendapatkan Penghargaan Erasmus.

Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk memahami dunia

mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan dan semakin bertambah

canggih sejalan dengan bertambahnya usia:

a.       Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)

Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan mengeksplorasi

dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi mental. Bayi terlahir

dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai tambahan dorongan untuk

melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi 

refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan akomodasi di bagian berikut).

Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan. Menurut Piaget,

tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial dan pemahaman

dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.

Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan berasosiasi

Page 20: Makalah teori belajar

terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan oleh Piaget:

memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek begerak atau objek

menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan telapak tangan. Selama

enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi kegiatan yang disadari;

sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap dengan sengaja. (Gruber and

Vaneche, 1977).

Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan terutama

berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri  utamanya adalah reaksi berulang atau pengulangan

kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja. Contoh  dari  tipe 

reaksi  ini  antara  lain  mencakup  seorang  bayi  berulang-ulang menggerakkan tangannya di

depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan dimulainya reaksi pasif, disebabkan

oleh classical conditioning atau operant conditioning (Gruber et al., 1977).

Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan dan

terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui indera

lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam dengan

sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi terhadap cara

dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara secara sengaja ke

arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali sangat disenangi oleh

keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap suatu gerakan yang

melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa memencet tombol lampu

secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari tahapan paling penting dari

pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya penalaran (Gruber et al., 1977).

Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi mulai memiliki perasaan

keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes kesalahan A-bukan-B.

Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan berasosiasi

terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan keinginan. Tahapan ini

amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget "kecerdasan sebenarnya

pertama." Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi tujuan, perencanaan besar

dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al. 1977).

Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berasosiasi

terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan. Piaget

mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai "cendekiawan muda," memulai semacam

Page 21: Makalah teori belajar

eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber et al. 1977).

Sub-tahapan ke enam berasosiasi terutama dengan dimulainya wawasan, atau kretivitas yang 

sesungguhnya. Saat ini menandai transformasi menuju tahapan preoperasional.

1)      Peranan imitasi

Piaget merumuskan kegiatan imitatif merupakan pendahuluan dari simbolisme mental.[1]

Aktivitas tubuh, menirukan gerakan dari fenomena yang teramati,  pada akhirnya

membangun pemberi arti tubuh/perilaku yang tertuju pada fenomena dalam cara yang bisa

diperbandingkan dengan simbol-simbol mental yang kemudian akan menjadi fenomena-

fenomena tersebut. Bentuk-bentuk imitatif seperti ini memfasilitasi dasar-dasar kegiatan

simbolik mental yang terbangun di kemudian hari. Simbolnya adalah, menurut Piaget, suatu

imitasi yang terinternalisasi.

Bagi Piaget, bahkan persepsi dari suatu objek merupakan aktivitas imitatif; ketika mata

melacak bentuk dari suatu objek ia akan membentuk konsep pre-simbolik dari objek tersebut.

Piaget mengungkapkan bahwa pengalaman akan berbagai gerakan di sini kemungkinan

diulangi oleh anak di dalam suatu peragaan singkat ketika mengingat-ingat objek; Gambaran

tubuh ini mensimbolkan objek yang telah dipersepsikan sebelumnya.

b.      Tahapan Praoperational  (Usia 2-7 tahun)

Tahapan  preoperasional  merupakan  tahapan  kedua  dari  empat  tahapan perkembangan

kognitif. Dengan mengamati urutan bermain, Piaget dapat mendemonstrasikan bahwa sampai

dengan akhir tahun kedua secara kualitatif terjadi fungsi psikologis jenis baru. Cara bekerja

teori aliran Piaget adalah dalam berbagai prosedur peran mental terhadap objek. Ciri

pembeda dari tahapan preoperasional adalah operasi mental yang jarang tidak memadai

logika.

Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti tahapan

Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi beberapa proses:

Symbolic functioning (pemfungsian simbol) - yang dicirikan oleh penggunaan simbol-

simbol  mental berupa kata atau gambar yang digunakan anak  untuk merepresentasikan

sesuatu yang secara fisik tidak ada.

Centration (pemusatan) - dicirikan oleh fokus atau pemusatan perhatian dari anak pada hanya

satu aspek dari stimulus atau situasi. Sebagai contoh, dalam menuangkan sejumlah tertentu

cairan dari dari wadah yang sempit ke dalam mangkuk yang dangkal, anak  prasekolah 

kemungkinan  menyimpulkan  bahwa kuantitas dari cairan telah berkurang, karena menjadi

Page 22: Makalah teori belajar

"lebih  rendah"—hal  ini dikarenakan anak hanya memperhatikan ketinggian air, namun tidak

memperhitungkan diameter wadah yang baru. Intuitive thought (pemikiran intuitif)- terjadi

ketika anak dapat mempercayai sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.

Egocentrism - suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari seorang anak untuk

memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja. Juga, ketidakmampuan anak untuk

memahami sudut pandang orang lain.

Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) - Melalui eksperimen yang pernah

dilakukan Piaget dalam percakapan  (pembicaaan tentang massa, volume dan angka) Piaget

menyimpulkan bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki persepsi yang kurang

dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah bentuk aslinya berubah.

Sebagai contoh, seorang anak pada tahapan ini akan percaya bahwa roti yang ditata berjajar

dengan pola "O-O-O-O-O" akan memiliki jumlah yang sama dengan roti yang  ditata 

berjajar  dengan  pola  "OO-O-OO-O",  karena  mereka memiliki panjang atau ketinggian

yang sama, atau cairan dalam gelas 8-ons yang yang lonjong memiliki cairan yang lebih

banyak dibandingkan dengan cairan 8-ons dalam gelas yang melebar (lihat juga centration, di

atas).

c.       Tahapan Operasional  Konkret (Usia 7-11 tahun)

Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat tahapan dalam teori

perkembangan kognitif Piaget. Tahapan ini, yang merupakan kelanjutan dari tahapan

Preoperasional, terjadi ketika anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan dicirikan oleh

penggunan logika yang memadai. Proses penting yang terjadi selama tahapan ini adalah:

1)      Decentering (tidak  memusat)-ketika  anak  memperhitungkan  berbagai  aspek  dari

suatu masalah untuk memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak lagi memiliki persepsi

bahwa gelas yang sangat lebar namun pendek dapat menampung cairan lebih sedikit

dibandingkan gelas yang lebarnya cukup namun lebih tinggi.

2)      Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa jumlah

suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula. Dalam kondisi

demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 sama dengan

4, jumlah sebenarnya.

3)      Conservation (pembicaraan) memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah suatu

item  tidak  berhubungan  dengan  penyusunan  atau  kenampakan  objek  atau  item tersebut.

Sebagai contoh, ketika pada seorang anak ditunjukkan dua wadah gelas dan mangkuk, ia

Page 23: Makalah teori belajar

akan memahami bahwa jika air di dalam gelas dipindahkan ke dalam mangkuk  akan 

berubah  ketinggiannya  namun  sama  kuantitasnya  dibandingkan dengan wadah

sebelumnya.

4)      Serialisation (serialisasi)-kemampuan  merangkai  kembali  objek  secara  berurutan

berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka diberi objek

dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna tersebut.

5)      Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan

mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau karakteristik

lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup objek lainnya. Seorang

anak pada tahapan ini tidak lagi menjadi subjek pembatasan yang tidak  logis  dari  animisme

(suatu  kepercayaan  bahwa semua objek adalah binatang dan karenanya memiliki perasaan).

6)      Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan memandang segala

sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak benar). Sebagai  contoh, 

perlihatkan  seorang  anak  komik  yang  memperlihatkan  Jane meletakkan sebuah boneka di

bawah kotak, meninggalkan ruangan, dan kemudian Jill menggerakkan boneka tersebut ke

laci, dan Jane kembali.  Seorang anak dalam tahapan konkret operasional akan mengatakan

bahwa Jane akan tetap berpikir boneka tersebut di bawah kotak meskipun anak tersebut tahu

sesungguhnya bonekanya dalam laci.

d.      Tahapan operasional  formal (Usia 11 tahun-Dewasa)

Tahapan Operasional  Formal  merupakan  tahapan  keempat  dan terakhir dari seluruh

tahapan perkembangan kognitif anak dari Teori  Piaget. Tahapan ini, yang mengikuti tahapan

Operasional Konkret, pada umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun (pubertas)  dan 

berlanjut  ke  masa  kedewasaan.  Karakteristik  dari  tahapan  ini  yaitu memiliki kemampuan

untuk berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang berhasil diperolehnya.

Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana orang dewasa dan nilai-nilai,

"rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini mudah dimengerti, karena faktor-faktor

biologis kemungkinan dapat dilacak dari tahapan ini sebagaimana apa yang terjadi selama

masa pubertas dan ditandai masuknya ke masa dewasa dalam Physiology, kognitif, dan

penilaian moral (Kohlberg),  perkembangan Psychosexual   (Freud), dan perkembangan

sosial (Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan ini,

dan "terpaku" pada tahapan operasional konkret.

e.       Gambaran umum mengenai tahapan

Dari ke empat tahapan tersebut ditemukan karakteristik berikut ini:

Page 24: Makalah teori belajar

1)      Meskipun waktunya bervariasi, urutannya sama.

2)      Berlaku secara universal (tidak dipengaruhi budaya tertentu)

3)      Dapat digeneralisasikan: operasi yang logis dan representatif yang dialami seorang anak

seharusnya meluas ke semua konsep dan isi pengetahuan.

4)      Tahapan-tahapan secara keseluruhan secara logis.

5)      Hirarkhi alamiah dari urutan tahapan  (setiap tahapan lanjutan merupakan elemen

kesatuan dari tahapan sebelumnya, namun lebih bervariasi dan terpadu).

6)      Tahapan merepresentasikan perbedaan kualitatif dalam model berfikir, bukan hanya

perbedaan kuantitatif.

f.       Kritik Bagi Teori Tahapan Perkembangan Piaget

Teori Piaget tentang perkembangan ini mendapat banyak tantangan dari beberapa aspek. 

Pertama,  Piaget  sendiri  menyatakan,  perkembangan  tidak selalu  berlangsung dengan cara

yang mulus seperti yang diprediksi dalam teorinya. Decalage', atau kesenjangan yang tidak

diperkirakan selama berlangsungnya perkembangan, mengungkapkan bahwa model tahapan

ini paling baik digunakan sebagai perkiraan.

Lebih jauh lagi, teori Piaget merupakan domain umum, memperkirkan bahwa kematangan

kognitif  terjadi  lintas  domain  yang  berbeda  secara  bersamaan (seperti matematika, logka,

pemahaman fisika, bahasa, dsb). Namun demikian, para penganut teori perkembangan

kognitif aliran terkini sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dari sains kognitif menjauh

dari generalisasi domain dan menuju spesifikasi domain atau modularitas pikiran, yaitu

bagian-bagian kognitif  yang  berbeda  kemungkinan sangat independen satu sama lain

sehingga berkembang dalam waktu yang amat berbeda. Dalam aliran pemahaman tersebut,

para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini memberikan alasan bahwa daripada

berada pada domain umum pembelajar, mereka lebih cenderung pada teori yang berpendapat

bahwa anak-anak sudah dilengkapi dengan teori domain spesifik, yang lebih sering disebut

'inti pengetahuan', yang memungkinkan mereka melakukan terobosan dalam belajar dalam

domain tersebut. Sebagai contoh, bahkan anak yang masih bayi menunjukkan pemahamannya

pada beberapa prinsip dasar fisika (seperti satu objek tidak dapat menembus  objek  lainnya) 

dan  keinginannya layaknya manusia yang sudah dewasa seseorang  (seperti salah satu

tanganya secara berulang-ulang menggapai-gapai suatu objek untuk mendpatkan objek

tersebut, bukan hanya gerakan tanpa arti, namun lebih sebagai tujuan). Asumsi dasar ini

kemungkinan semacam blok-blok bangunan yang menyusun pengetahuan yang telah

dikonstruksi sehingga lebih terelaborasi.

Page 25: Makalah teori belajar

3.      Teori konstruktivisme

Munculnya teori konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat Jean Piaget,

yang menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi pengetahuan pada

diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan asimilasi, individu

mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Asimilasi terjadi ketika pengalaman

baru dari individu cocok dengan representasi dunia nyata dalam diri (internal) mereka.

Mereka mengasimilasikan (menjadikannya sebagai bagian dari dirinya) pengalaman baru itu

dalam kerangka yang sudah ada. Asimilasi merupakan proses membingkai kembali

representasi mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok dengan pengalamannya yang

baru.

Akomodasi dapat dipahami sebagai suatu mekanisme bagaimana mengubah suatu kegagalan

menjadi keberhasilan melalui proses pembelajaran. Ketika kita berharap bahwa dunia bekerja

dengan cara sesuai keinginan kita,  dan  ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, maka

kemungkinan besar kita mengalami kegagalan. Dengan mengakomodasi pengalaman baru ini

dan membingkai ulang model yang kita kehendaki, kita memperoleh hal baru dari belajar

tentang kegagalan.

Penting untuk dicatat bahwa konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan paedagogi 

tunggal yang istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme  menjelaskan bagaimana

berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah pembelajar

memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah digunakannya untuk

mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori konstruktivisme

menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi pengetahuannya.

Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan

pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.

a.       Intervensi Konstruktivisme dalam pembelajaran

1)      Kondisi alamiah pembelajar

a.    Pembelajar adalah individu yang unik

Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik dengan

keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara kompleks dan

multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya memahami keunikan

dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan, memanfaatkan dan memberikan

penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch

1997).

Page 26: Makalah teori belajar

b.      Pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar

Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar.

Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk sampai pada kebenaran

versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya atau lingkungannya.

Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti bahasa, logika, dan sistem matematika,

merupakan faktor bawaan dari pembelajar sebagai anggota dari budaya tertentu dan hal ini

dipelajari pembelajar di sepanjang hidupnya. Berbagai simbol tersebut menuntun bagaimana

pembelajar belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997). Hal ini juga menekankan

pentingnya interaksi sosial pembelajar secara alami dengan anggota  masyarakat  yang 

berpengetahuan.  Tanpa  interaksi  sosial  dengan  anggota masyarakat yang berpengetahuan,

adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari sistem simbol yang penting dan belajar

bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda mengembangkan kemampuan berpikirnya

melalui interaksi dengan orang dewasa. Dari sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi

sangat penting mempertimbangkan latar belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses

pembelajaran, karena latar belakang semacam ini juga membantu membentuk pengetahuan

dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan,  dan  diperoleh  selama  proses  pembelajaran 

berlangsung (Gredler 1997; Wertsch 1997).

c.       Tanggung jawab belajar

Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya berangsur-angsur

diberikan kepada pembelajar. Karenanya kostruktivisme  sosial menekankan pentingnya

keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti pandangan dunia pendidikan

sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada guru untuk mengajar sehingga

peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von Glasersfeld (1989) menekankan agar

pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan tidak hanya sekedar meniru dan

melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada informasi yang lengkap, pembelajar

mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk mencoba menemukan keteraturan dan

pola kejadian-kejadian di dunia nyata.

d.      Motivasi belajar

Asumsi penting lain  mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan tingkatan dan

sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi yang paling cocok untuk

belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa yang ada dalam potensinya untuk

belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan kepercayaan akan adanya potensi untuk

memecahkan masalah baru, hampir seluruhnya diperoleh dari pengalaman langsungnya (first-

Page 27: Makalah teori belajar

hand experience) dalam menuntaskan masalah di masa lalu dan jauh lebih kuat dari pada

motivasi dan pemberitahuan eksternal (Prawat dan Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone

of proximal development" nya Vygotsky (Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa

sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang setingkat,  atau  sedikit di atas 

perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam

menuntaskan tugas yang menantang,   pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan motivasi

untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.

2)      Peran guru

a.       Guru (atau instruktur) sebagai fasilitator

Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya dari sebagai

instruktur   ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika seorang guru

memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya sebagai fasilitator

membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri tentang materi. Selama

proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional pembelajar berperan pasif,

dalam  pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran berperan aktif. Dengan demikian,

penekanannya berubah dari instruktur dan materi ke pembelajar (Kukla 2000). Perubahan 

dramatik dalam hal peran ini membawa konsekuensi pada guru untuk memiliki seperangkat

keterampilan baru dari sebelumnya sebagai suatu keharusan (Brownstein 2001). Sebagai guru

ia memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai guru ia "ing ngarso", sebagai

fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban sesuai seperangkat kurikulum,

seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis besar haluan dan menciptakan

lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan kesimpulannya sendiri; seorang guru

cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa dialog dengan pembelajar (Rhodes dan

Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya juga mampu mengadaptasi pengalaman

belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan pengalaman belajar itu menuju ke mana

pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai yang bermakna.

Lingkungan  pembelajar  seharusnya  juga  dirancang  untuk  mendukung dan memberikan

tantangan pada proses berpikir pembelajar  (Di Vesta,  1987). Meskipun disarankan agar

memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya sendiri dan proses

pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak memadai. Pada akhirnya, tujuan

utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan untuk menjadi pemikir efektif. Hal ini

bisa dilakukan dengan memainkan peran ganda, yaitu konsultan dan pelatih.

3)      Kondisi alamiah proses pembelajaran

Page 28: Makalah teori belajar

a.       merupakan proses sosial yang aktif

Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses aktif di mana

pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip, konsep, dan fakta sehingga

sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara berpikir intuitif dar  pembelajar

(Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997). Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial-

prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu yang kita bisa temukan begitu saja karena

sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi prioritas utama bagi masyarakat kita untuk

menemukannya. Kukla (2000) berpandangan bahwa prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi

oleh aktivitas sendiri dan bahwa manusia, yang secara  bersama-sama menjadi anggota

masyarakat  menemukannya  untuk  menjadi properti dunia nyata mereka.

Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih menekankan bahwa

individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang lain dan dalam lingkungan

tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan merupakan produk dari manusia yang

dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Gredler 1997; Prawat dan Floden 1994).

McMahon (1997) setuju bahwa belajar merupakan proses sosial. Ia menambahkan bahwa

belajar bukanlah proses yang hanya terjadi di dalam pikiran kita, juga bukan perkembangan

pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar diri kita; proses belajar yang

berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.

Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal dalam

pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses perkembangan

intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur perkembangan yang

benar-benar independen satu sama lain, menyatu.

Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan intrapersonal,

sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan  dunia interpersonal sebagai

wahana ia berbagi dengan budayanya.

b.      Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar

Karakteristik  yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut pandang

konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki intensitas keterlibatan

yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa pengalaman belajar di

samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di mana budaya, nilai,  dan  latar 

belakang  guru  menjadi  bagian  esensial  sebagai  penghubung  antara pembelajar dan

tugasnya dalam mengkonstruksi makna. Pembelajar membandingkan kebenaran versinya

Page 29: Makalah teori belajar

dengan versi guru dan temannya dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran versi

masyarakat yang telah teruji  (Kukla  2000). Tugas atau masalahnya adalah adanya interface

(batas) antara guru dan pembelajar (McMahon 1997). Hal ini akan memunculkan interaksi

dinamis antara tugas, guru dan pembelajar. Hal ini membawa konsekuensi pembelajar dan

guru seharusnya mengembangkan suatu kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan

kemudian melihat kembali kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian

berperilaku subjektif   sekaligus objektif secara simultan (Savery 1994).

Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif, meliputi proses

yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara berkualitas. Menurut

keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal balik antara guru-siswa. Beberapa

penelitian yang lain, juga memberikan alasan pentingnya mentoring (belajar dengan mentor,

senior yang berpengalaman) di dalam proses belajar (Archee dan Duin 1995; Brown et al.

1989). Model pembelajaran konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya

hubungan timbal balik antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung.

Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif  antara lain pembelajaran

reciprocal, kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problembased instruction, web

quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain.

4)      Kolaborasi di antara pembelajar

Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi dalam tugas dan

diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang kebenaran suatu bidang tertentu.

Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy dan Jonassen

(1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar, hal ini jelas berbeda

dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat kompetitif. Salah seorang

penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu berartinya implikasi dari peer

collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal development. Di sini, zone 

perkembangan  proksimal (terdekat)  didefinisikan  sebagai  jarak  antara  tingkat

perkembangan  aktual  seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah secara independen

dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah di

bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan peer lain yang sudah berpengalaman;

batasan ini berbeda dengan keadaan biologis alamiah yang fix dari tingkatan

perkembangannya Piaget. Melalui suatu proses yang disebut 'scaffolding'  (dukungan)

seorang pembelajar dapat dapat dipacu mencapai tingkatan di atas keterbatasan kematangan

Page 30: Makalah teori belajar

fisik sehingga tidak terjadi proses perkembangan tertinggal di belakang proses pembelajaran

(Vygotsky 1978).

a)      Pentingnya konteks

Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya pembelajaran sebagai

pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).

Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar merupakan prosesor

aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari seperangkat hukum pembelajaran

yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan untuk semua domain" (Di Vesta 1987:208).

Pengetahuan yang tidak dikontekstualkan tidak mampu memberikan kita keterampilan untuk

menerapkan pengetahuan kita dalam tugas-tugas yang autentik. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Duffy dan Jonassen (1992), kita bekerja dengan konsep dalam lingkungan

yang kompleks melainkan pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks dari

lingkungan yang juga kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu konsep

digunakan. Salah seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa pembelajaran yang

autentik atau sesuai situasi adalah pembelajaran di mana siswa mengambil bagian dalam

kegiatan yang secara langsung relevan dengan penerapan hasil pembelajaran dan yang terjadi

dalam budaya yang sama dengan setting penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive

apprenticeship (pelatihan kognitif) dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif

dalam pembelajaran di mana model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam

kegiatan praktis yang autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang sama

dengan pelatihan di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman 1996:25).

Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana pembelajar

membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor penentu dalam

pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).

b)      Asesmen (penilaian)

Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu cara mengases

potensi sebenarnya dari pembelajar yang secara signifikan berbeda dengan tes konvensional.

Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke proses asesmen. Bila biasanya

asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh seseorang, misalnya guru, di sini dipandang

sebagai suatu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan pembelajar. Peranan

guru sebagai asesor melakukan dialog dengan siswa yang diases untuk menemukan tingkatan

performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan curah pendapat dengannya tentang

Page 31: Makalah teori belajar

cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki performansnya pada kesempatan

berikutnya. Dengan demikian, asesmen dan pembelajaran dipandang sebagai jalinan proses

yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-Holt 2000).

Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang  asesmen sebagai proses

yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas pengalamannya dalam

pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga merupakan bagian integral dari

pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri sendiri (Gredler 1997). Umpan balik dari

proses asesmen berfungsi sebagai masukan langsung yang menjadi dasar untuk

perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya tidak menjadi proses intimidasi yang

menyebabkan kecemasan siswa, melainkan proses yang bersifat mendukung yang

membangkitkan keberanian siswa untuk ingin dievaluasi di masa mendatang, sehingga harus

fokus pada perkembangan yang terjadi pada siswa (Green dan Gredler 2002).

5)      Pemilihan, cakupan, dan tata urutan materi

a)      Pengetahuan seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan terpadu

Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang berbeda

(kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu.

Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran

dilangsungkan.para tokoh tersebut, pengetahuan seharusnya tidak dikompartementalisasi

secara kaku ke dalam subjek atau kategori berbeda namun seharusnya disajikan dan

ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu. Alasannya adalah bahwa dunia, tempat yang

dibutuhkan oleh pembelajar untuk melakukan kegiatan, tidak bisa didekati dengan bentuk

subjek terpisah, melainkan berupa suatu kompleksitas tak terhingga dari fakta, problem,

dimensi dan persepsi.

b)      Keasyikan dan tantangan bagi pembelajar

Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas yang

berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat ketuntasannya

pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi keberhasilan

sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka mempertahankan kepercayaan diri

pembelajar. Hal ini juga sejalan dengan zone of proximal developmentnya Vygotsky yang

dapat dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat perkembangan aktual (yang

ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen) dan tingkatan perkembangan

potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa

Page 32: Makalah teori belajar

atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih berpengalaman).

Vygotsky lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu pembelajaran dianggap baik

ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan. Kemudian pembelajaran tersebut

membangunkan dan membangkitkan keseluruhan perangkat fungsi yang berada di tingkat

kematangan untuk hidup di kehidupan nyata, yang terletak di zona perkembangan proksimal.

Dengan cara inilah pembelajaran memainkan peranan yang maha penting dalam

perlembangan.

Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi pembelajar,

tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan kompleksitas lingkungan

sehingga pembelajar seharusnya  memiliki  fungsi di akhir pembelajaran. Pembelajar

seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran ataupun proses pemecahan

masalah, namun juga masalah itu sendiri.

Ketika  mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis berpendirian

bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun pada tingkatan mana pun

dalam banyak bentuk. Hal ini berarti bahwa guru seharusnya pertama sekali memperkenalkan

gagasan dasar sehingga menghidupkan dan membentuk banyak topik ataupun area subjek,

baru  kemudian kembali lagi pada subjek semula dan membangun kembali gagasan tersebut.

Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan dalam kurikulum.

Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum kemungkinan

dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh mereka menjadi lebih

personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka sendiri, pemikiran dan perasaan

mereka terhadap isi pembelajaran maupun  pembelajarnya. Dengan demikian, pengalaman

belajar menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan bersama. Dengan demikian, emosi dan

konteks kehidupan dari yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran harus dianggap sebagai

bagian integral dari pembelajaran. Tujuan dari pembelajar menjadi fokus dalam

mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari.

c)      Penstrukturan proses belajar

Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara tingkatan struktur dan

fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery menyatakan bahwa semakin

lebih terstruktur lingkungan pembelajaran, semakin sulit bagi pembelajar dalam

mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman konseptual mereka sendiri. Seorang guru

seharusnya menyusun struktur pengalaman belajar sekedar cukup untuk membuat yakin

Page 33: Makalah teori belajar

bahwa siswa mendapat arahan yang jelas dan parameter untuk mencapai tujuan pembelajaran,

namun pengalaman belajar seharusnya terbuka dan memberikan peluang yang cukup bagi

pembelajar untuk menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada kebenarannya

sendiri yang telah diverifikasi oleh masyarakat.

d)     Catatan akhir

Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian  merupakan intervensi di

mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan pembelajar peluang

untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti sebagaimana yang diungkap

dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai individual yang unik, dan guru lebih

cenderung berperan sebagai fasilitator daripada instruktur.

4.      Paedagogi berdasarkan konstruktivisme

Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori konstruktivisme. Kebanyakan

pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme menyarankan bahwa belajar  yang 

sempurna  menggunakan  pendekatan  hands-on (keterlibatan  personal). Pembelajar belajar

melalui eksperimentasi, dan tidak melalui cara pemberitahuan apa yang akan terjadi. Mereka

dibiarkan memiliki pendapat sendiri, penemuan, dan kesimpulan. Konstruktivisme  juga

menekankan bahwa pembelajaran bukanlah suatu proses "seluruhnya atau tidak sama sekali"

melainkan bahwa siswa belajar informasi baru yang disajikan untuk mereka dengan

membangun pengetahuan yang telah mereka miliki. Karenanya menjadi penting guru secara

konstan mengases pengetahuan yang telah dicapai siswanya untuk meyakinkan bahwa

persepsi siswa terhadap pengetahuan baru sama dengan apa yang dimaksudkan guru. Guru

akan menemukan bahwa karena siswa membangun pengetahuan yang telah dimiliki, ketika

diminta untuk memahami informasi baru,  mereka tidak  membuat kesalahan. Bisa disebut

terjadi  kesalahan  rekonstruksi apabila kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita

dengan pemikiran yang logis namun tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan

mencoba membetulkan kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa

kesalahan rekonstruksi akan terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan

kita.

Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru bukan hanya

mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa sementara ia juga harus

menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan dan mengajukan pertanyaan

kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis. (contoh: Saya heran mengapa air tidak

meluap keluar melalui bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan intervensi ketika

Page 34: Makalah teori belajar

muncul konflik; namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi di  antara siswa dan

regulasi diri, dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus mampu menemukan jalan

keluarnya sendiri.

Sebagai contoh, promosi literasi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kebutuhan untuk

membaca dan menulis selama aktivitas individual dalam kelas yang penuh tulisan kreatif.

Seorang guru, setelah membaca suatu cerita, membangkitkan keberanian siswa untuk menulis

dan menulis ceritanya sendiri, atau meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang

telah mereka kenal dengan baik, kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa

untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.

Beberapa pendekatan khusus dalam dunia pendidikan yang didasarkan atas konstruktivisme:

Konstruktionisme: Merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh

Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge, Massachusetts. Papert pernah

bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa. Papert belakangan menyebut

pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini menckup segala sesuatu yang berhubungan

dengan konstruktivismenya Piaget, namun bergerak lebih jauh lagi dengan menyertakan

bahwa pembelajaran konstruktivisme terjadi dengan baik khususnya ketika siswa

mengkonstruksi suatu produk, sesuatu yang eksternal bagi mereka seperti benteng pasir,

mesin, program komputer, atau buku. Promotor penggunaan komputer dalam pendidikan

memandang suatu kebutuhan yang semakin meningkat untukmengembangkan keterampilan

dalam literasi Multimedia dalam rangka mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran

konstruktivisme.

Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for Writing, Cognitive

Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program pengembangan profesi dan riset

dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh Thomas P. Carpenter, Elizabeth Fennema,

dan koleganya di University  of Wisconsin-Madison. Premis mayornya adalah guru dapat

menggunakan strategi informal siswa (dengan kata lain strategi yang dikontruksi oleh siswa 

berdasarkan pemahamannya  pada  situasi kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu

kecil dan memetik bunga) sebagai basis utama untuk mengajar matematika di jenjang SD);

Anchored Instruction (Bransford et al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya

ditanamkan dalam lingkungan naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al),

pembelajaran diperoleh melalui pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan khusus yang

implisit dan eksplisit); Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic Constructivism.

Page 35: Makalah teori belajar

F.     TEORI BELAJAR SOSIAL

Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus tradisionalnya

pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial..

Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya

Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky. Istilah Konstruktivisme komunal

dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun  2001. Dalam model ini, "siswa tidak hanya

mengikuti  pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan

mereka membentuk dirinya." Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial

dari para pakar pendidikan.

Pijakan awal teori belajar  sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya

terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial

adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.

Meskipun classical dan operant conditioning dalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe

penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui

observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant

conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli,

penguatan kembali, maupun hukuman.  Belajar  melalui pengamatan secara sederhana

melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru

perilaku model tersebut.

Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi

(peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan

banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak

orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian

menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert Bandura,

pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran

yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura menemukan  bukti  bahwa 

belajar  sifat-sifat  seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan

ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.

Psikolog pada suatu saat pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat belajar melalui 

pengamatan.  Mereka  sekarang  memahami bahwa banyak jenis binatang— termasuk

burung, kucing, anjing, binatang pengerat, dan primate dapat belajar melalui pengamatan

terhadap anggota lain dari spesies yang sama. Binatang yang kecil dapat belajar tentang

Page 36: Makalah teori belajar

sesuatu yang bisa dimakan, ketakutan, dan keterampilan untuk bertahan hidup melalui

pengamatannya terhadap induknya atau bapaknya. Hewan yang sudah dewasa  dapat  belajar 

perilaku  baru  atau solusi dari masalah sederhana melalui pengamatannya terhadap hewan

lain

1.      Eksperimen Bandura

Di awal tahun 1960-an Bandura dan peneliti lain melakukan seperangkat eksperimen klasik

yang mendemonstrasikan kekuatan dari belajar melalui pengamatan. Dalam salah satu

percobaannya, seorang anak prasekolah sedang mengerjakan tugas melukis sementara di

depannya sebuah pesawat televisi menayangkan  film tentang seorang dewasa dengan agresif

sedang mendekati boneka bobo (boneka berupa badut yang dapat tegak setelah dipukul

roboh). Orang tersebut memukuli bobo bertubi-tubi dengan semacam palu, menendangnya,

melemparkannya ke udara, mendudukinya, menggigitnya di bagian wajahnya, sambil

meneriakkan kata-kata seperti 'tonjok hidungnya ayo tendang des!' Anak tersebut kemudian

beranjak ke ruangan lain yang penuh boneka termasuk bobo. Eksperimenter mengamati anak

tersebut melalui kaca satu arah. Dibandingkan anak-anak yang menyaksikan model orang

dewasa yang tidak agresif dan yang sama sekali tidak melihat tayangan, anak-anak yang

melihat tayangan perilaku agresif tersebut menunjukkan perilaku yang jauh lebih agresif

terhadap boneka bobo, dan mereka seringkali menirukan secara persis perilaku model dan

kata-kata permusuhannya.

Di dalam varian eksperimen orisinilnya, Bandura dan koleganya meneliti penerapan efek

lanjutan dari pengamatan pada kegiatan belajar. Mereka memperlihatkan pada anak-anak

berusia empat tahun secara terpisah masing-masing satu dari tiga film tentang perilaku

‘kejam’ seorang dewasa terhadap boneka bobo tersebut. Dalam salah satu versi film, orang

dewasa tersebut diberi penghargaan karena perilaku yang agresif berupa minuman dan

permen. Di versi lain, orang dewasa tersebut balik dipukul, dijitak, dan diperingatkan agar

tidak melakukan hal itu lagi. Di versi ketiga, orang dewasa tersebut tidak diberi hadiah

maupun hukuman. Setelah menyaksikan film, setiap anak ditinggalkan  sendirian di dalam

ruangan yang berisi boneka bobo dan mainan lain. Banyak anak meniru perilaku kejam dari

orang dewasa tersebut, namun anak-anak yang menyaksikan orang dewasa modelnya

dihukum setelah menyiksa bobo lebih jarang yang menirukan. Namun, ketika peneliti

menjanjikan hadiah kepada semua anak untuk menirukan, ketiga kelompok memperlihatkan

kuantitas perilaku yang sama terhadap boneka bobo.

Bandura menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak tidak melihat orang dewasa di dalam

Page 37: Makalah teori belajar

tayangan tidak mendapat hadiah telah belajar melalui pengamatan, namun anakanak ini

(khususnya yang melihat modelnya dihukum) tidak melakukan apa yang mereka pelajari

sampai mereka bisa berharap mendapatkan hadiah bila melakukannya. Istilah belajar latent

(latent learning) digunakan dalam kasus di mana individu belajar perilaku yang baru namun

tidak melakukan perilaku tersebut sampai ia melihat kemungkinan untuk mendapatkan

hadiah.

2.      Teori Imitasi  Bandura

Menurut teori imitasi Bandura yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori belajar

sosial, empat faktor dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui pengamatan dan

kemudian menirunya: attention (memperhatikan), retention (mengingat), reproduction

(mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama, pembelajar harus menaruh perhatian

pada detail-detail yang penting dari perilaku model. Seorang wanita muda, melihat ayahnya

memanggang roti  tidak  akan  berhasil  menirukan  perilaku ayahnya tersebut bila tidak

menaruh perhatian pada beberapa detail penting-bumbu, kuantitas, temperatur oven, durasi

waktu memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua adalah retention-pembelajar harus dapat

mengingat atau menyimpan semua informasi dalam memorinya sampai informasi itu berguna

kelak. Jika seseorang lupa beberapa detail penting, ia akan tidak dapat berhasil meniru suatu

perilaku. Ketiga, pembelajar harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang

dibutuhkan dalam reproduction mereproduksi perilaku tersebut. Wanita muda tersebut harus

memiliki kekuatan dan kecekatan untuk mencampur bumbu, menuangkan mentega, dan

sebagainya, dalam rangka  memanggang  roti  sendiri. Akhirnya,  pembelajar  harus  memiliki

motivasi (dorongan) untuk menirukan model. Dalam hal ini, pembelajar memiliki

kecenderungan untuk menirukan suatu perilaku jika mereka mengharapkan perilaku tersebut

mengarah pada suatu tipe hadiah atau penguatan. Jika pembelajar memandang bahwa

menirukan perilaku tidak akan mengarah pada hadiah atau justru mengarah ke hukuman,

mereka cenderung tidak menirukan perilaku tersebut.

3.      Teori Generalisasi Imitasi

Suatu alternatif dari teori Bandura adalah teori generalisasi imitasi.   Teori ini menyatakan

bahwa orang akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama dengan ketika peristiwa

yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika seorang anak muda meniru

perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering diperkuat dengan senyuman,

pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian juga, ketika anak-anak menirukan

perilaku teman-temannya,  bintang  olah  raga, atau selebritis, peniruan ini akan diperkuat-

Page 38: Makalah teori belajar

dengan persetujuan teman sebayanya, jika tidak orang tuanya. Melalui proses generalisasi,

anak tersebut akan memulai meniru model-model tersebut pada kesempatan yang lain. Bila

teori Bandura menekankan proses berpikir dan motivasi peniru, teori generalisasi imitasi

berpijak pada dua prinsip dasar dari operant conditioning penguatan dan generalisasi.

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi imitasi

Banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan meniru suatu model atau tidak.

Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, anak-anak lebih cenderung meniru model apabila

perilaku model telah mendapatkan penguatan dibandingkan  dengan hukuman. Namun yang

lebih penting adalah  konsekuensi yang diharapkan dari pembelajar. Seseorang akan meniru

perilaku yang mendapat hukuman apabila ia berpikir bahwa imitasi tersebut akan akan

menghasilkan beberapa tipe penguatan yang lain.

Karakteristik model juga mempengaruhi karakteristik imitasi. Beberapa studi menunjukkan

bahwa anak-anak lebih cenderung meniru orang dewasa yang lebih mampu membuat ia

senang dan lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengan orang lain. Juga, anak-anak

lebih sering meniru orang dewasa yang memiliki pengaruh penting dalam hidupnya seperti

orangtuanya atau gurunya, dan orang-orang yang sukses atau dikaguminya seperti atlet atau

selebriti. Baik orang dewasa maupun anak-anak lebih cenderung meniru model yang

memiliki kemiripan usia, jenis kelamin, dan latar belakang. Karena alasan inilah, ketika

terapis perilaku menggunakan model untuk mengajar perilaku atau keterampilan baru,

mereka mencoba menggunakan model yang sama dengan pembelajar.