Upload
dani-al-fath
View
5.671
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, pendidikan merupakan proses kegiatan yang ditujukan untuk
mempengaruhi manusia secara pribadi maupun kelompok supaya berkemampuan
mengadakan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses tersebut dilaksanakan
secara sistematis, terorganisir dan terencana, serta senantiasa diawasi, dinilai, dan
dikembangkan secara terus-menerus.
Pendidikan ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak didik atau individu
manusia yang prosesnya berlangsung secara terus menerus sejak ia lahir sampai
meninggal dunia. Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, akal,
dan rohani sebagai suatu kesatuan tanpa mengenyampingkan salah satu aspek dan
melebihkan aspek lain, yang diarahkan agar ia menjadi manusia yang berdayaguna dan
berhasil guna bagi dirinya dan bagi umatnya, serta dapat memperoleh suatu kehidupan
yang sempurna (Ilyas, 1995 : 23-24).
Pada tataran negara atau nasional, pendidikan diselenggarakan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendidikan Nasional diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran, mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat dan dengan memberdayakan semua komponen
1
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UUSPN No. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3).
Sebagai upaya mencapai terlaksananya fungsi dan tujuan di atas, maka perlu
diselenggarakannya proses pendidikan yang pengelolaannya bisa dilakukan oleh
pemerintah, keluarga, dan masyarakat.Daradjat, dkk. (1992 : 34) mengatakan:
Tanggung jawab pendidikan diselenggarakan dengan kewajiban mendidik. Secara umum mendidik adalah membantu anak didik di dalam perkembangan dari daya-dayanya dan di dalam penetapan nilai-nilai. Bantuan atau bimbingan itu dilakukan dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Proses pendidikan dengan kewajiban mendidik seperti tersebut di atas, secara
konkritnya berupa diadakannya suatu jalur pendidikan, baik formal, informal maupun
nonformal. Jalur pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,
sedangkan jalur pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 1 Ayat 11, 12, 13, dan Bab
VI Pasal 13 ayat 1).
2
Salah satu bagian dari jalur formal yang peranan dan kedudukannya sangat
penting dalam mencapai tujuan pendidikan adalah sekolah. Saat ini sekolah telah
menjadi lembaga yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama
karena masyarakat mempunyai keterbatasan, baik dari segi waktu, tenaga, ilmu, maupun
kesempatan dalam mendidik. Sekolah telah menjadi aset penting dan berharga dalam
mencetak generasi muda harapan bangsa. Melalui sekolah anak belajar membaca,
menulis, berhitung, belajar berinteraksi, belajar memahami orang lain, belajar
bersosialisasi, belajar mengalami miniatur kehidupan masyarakat, dan tentu mendapat
ilmu pengetahuan yang luas.
Berdasarkan jenjangnya, sebagai bagian dari pendidikan formal, sekolah terdiri
dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Jenjang pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs),
atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan jenjang pendidikan menengah berbentuk
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Adapun jenjang pendidikan tinggi adalah perguruan tinggi, dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (UUSPN No. 20 Tahun 2003 Bab VI
Pasal 13, 14, 17, 18, 20).
Dari jalur formal, maka sekolah merupakan jalur yang pada saat ini sangat
diperlukan keberadaannya, dan diharapkan mampu membawa individu ke arah
pencapaian cita-citanya. Di sekolah, salah satu bentuk nyata proses pendidikannya
3
adalah berupa proses belajar mengajar, yang menurut Syah (2006 : 237) pengertiannya
adalah:
Sebuah kegiatan yang integral (utuh terpadu) antara peserta didik sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Dalam kesatuan kegiatan ini terjadi interaksi resiprokal, yakni hubungan antara guru dengan para peserta didik dalam situasi instruksional, yaitu suasana yang bersifat pengajaran.
Kutipan di atas diperkuat pula oleh pernyataan Djamarah dan Zain (2006 : 1)
bahwa:
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu telah dirumuskan sebelum pembelajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Dari kedua kutipan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ternyata
dalam proses belajar mengajar pasti melibatkan dua komponen penting, yakni pendidik
(guru) dan peserta didik (peserta didik).
Khusus berkaitan dengan guru, guru sebagai pendidik ataupun pengajar
merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Itulah sebabnya setiap
pembicaraan mengenai pembaruan kurikulum, pengadaan alat-alat belajar sampai pada
kriteria sumber daya manusia yang dihasilkan oleh usaha pendidikan, selalu bermuara
pada guru. Hal ini menunjukkan betapa signifikan (berarti penting) posisi guru dalam
dunia pendidikan (Syah, 2006 : 223).
Tugas guru adalah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh
potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi afektif. Mendidik
adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar,
4
sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh,
membiasakan, dan lain-lain. Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru sebagian besar
adalah mendidik dengan cara mengajar (Tafsir, 1992 : 74). Hal ini sesuai dengan arti
guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud RI, 1995: 250) sebagai orang
yang pekerjaannya mengajar.
Dikarenakan peran dan fungsi guru sangat penting, maka guru harus memiliki
berbagai kemampuan, salah satunya adalah kemampuan dalam menerapkan model
pembelajaran yang tepat ketika proses pembelajaran berlangsung. Model pembelajaran
memiliki banyak sekali jenis dan macamnya, hal ini perlu disesuaikan dengan situasi
dan kondisi kegiatan pembelajaran yang tepat bagi peserta didik dan tentunya juga
disesuaikan dengan jenjang atau tingkatan pendidikan agar menunjang keberhasilan
belajar peserta didik.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat sering tidak terpikirkan oleh guru,
kebanyakan guru lebih sering menggunakan model pembelajaran yang monoton yang
berpusat pada guru, guru dianggap sebagai sumber belajar yang paling benar. Proses
pembelajaran yang terjadi memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah guru,
sementara peserta didik mencatatnya pada buku catatan, akibatnya proses belajar
mengajar cenderung membosankan dan menjadikan peserta didik tidak aktif selama
proses pembelajaran berlangsung. Hal ini akan sangat berpengaruh pada prestasi belajar
yang didapat oleh peserta didik. Kesan yang selama ini terjadi bahwa peserta didik
sering menjadi objek yang dipersalahkan ketika tidak mampu menyerap materi
pelajaran yang disampaikan oleh guru. Sehingga berbagai predikat pun kadang
diberikan kepada peserta didik, misalnya pemalas, tidak memperhatikan penjelasan
5
guru, nakal, bodoh dan lain-lain. Padahal boleh jadi penyebeb ketidakmampuan peserta
didik dalam menyerap materi pelajaran yang diberikan bermula dari proses
pembelajaran yang tidak menarik dan cenderung membosankan, sebagai akibatnya
peserta didik menjadi malas dan tidak tertarik terhadap materi pelajaran yang
disampaikan.
Beranjak dari permasalahan diatas, sudah saatnya guru untuk mengubah
paradigma mengajar yang masih bersifat teacher-centre menjadi student-centre yang
menyenangkan. Sikap peserta didik yang pasif selama proses pembelajaran ternyata
tidak hanya terjadi pada mata pelajaran tertentu saja, akan tetapi hampir pada semua
mata pelajaran, termasuk pada mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), di
sekolah yang menjadi tempat penelitian penulis yaitu SDN III Gunungcupu Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Pembelajaran IPA masih menunjukan sejumlah
kelemahan diantaranya yaitu pada saat proses pembelajaran berlangsung, peserta didik
tidak ikut aktif dan hanya mencatat apa yang disampaikan guru. Prestasi belajar peserta
didik di sekolah tersebut kurang memuaskan. Perolehan nilai mata pelajaran IPA dari
peserta didik yang berjumlah 50 orang, baru 21 orang yang mencapai nilai 70 ke atas
KKM sebesar 70.
Dalam rangka merubah atau meningkatkan prestasi belajar peserta didik yang
rendah itu, maka akan dicoba menerapkan dua model pembelajaran yaitu model
pembelajaran concept attainment dan problem based learning. Dari kedua model
pembelajarn tersebut akan dilihat model pembelajaran mana yang tepat bagi mata
pelajaran IPA di kelas V SDN III Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten
Ciamis.
6
Dari latar belakang permasalahan tersebut diatas maka dalam penelitian ini
penulis mengambil judul “ PERBANDINGAN PRESTASI BELAJAR PESERTA
DIDIK ANTARA YANG MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
CONCEPT ATTAINMENT DENGAN PROBLEM BASED LEARNING ”
(Penelitian pada mata pelajaran IPA materi Alat Pernapasan Ikan di Kelas V SDN
III Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun Pelajaran
2012/2013).
B. Rumusan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini berkenaan dengan penerapan model
pembelajaran concept attainment dan problem based learning pada mata pelajaran IPA
di kelas V SDN III Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana prestasi belajar peserta didik kelas V pada mata pelajaran IPA
melalui penggunaan model pembelajaran concept attainment di SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis?
2. Bagaimana prestasi belajar peserta didik kelas V pada mata pelajaran IPA
melalui penggunaan model pembelajaran problem based learning di SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis ?
3. Bagaimana perbedaan prestasi belajar peserta didik antara yang melalui
penggunaan model pembelajaran concept attainment dengan problem based
learning?
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Prestasi belajar peserta didik kelas V pada mata pelajaran IPA SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis melalui penggunaan
model pembelajaran concept attainment.
2. Prestasi belajar peserta didik kelas V pada mata pelajaran IPA SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis melalui penggunaan
model pembelajaran problem based learning.
3. Persamaan dan perbedaan prestasi belajar peserta didik antara yang melalui
penggunaan model pembelajaran concept attainment dengan problem based
learning.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan banyak manfaat bagi dunia
pendidikan, khususnya dalam proses kegiatan belajar mengajar agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi peserta didik
a. Meningkatkan aktifitas peserta didik dalam proses pembelajaran
b. Meningkatkan prestasi belajar peserta didik
8
2. Bagi Guru
a. Mendapatkan pengalaman dan wawasan tentang model pembelajaran
concept attainment dan problem based learning.
b. Mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran concept attainment
dan problem based learning. terhadap prestasi belajar peserta didik dalam
mata pelajaran IPA.
3. Bagi Sekolah
a. Dapat memberi motivasi terhadap guru-guru lain dalam hal peningkatan
proses pembelajaran.
b. Meningkatkan kompetensi guru yang berdampak positif terhadap kemajuan
sekolah.
c. Meningkatkan kinerja guru.
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Prestasi Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas RI, 2000 : 515), kata
prestasi berarti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Dengan demikian
prestasi belajar adalah hasil optimal yang dicapai oleh peserta didik secara sadar setelah
ia melakukan serangkaian kegiatan belajar. Keberhasilan tersebut mencakup
keberhasilan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Benyamin S. Bloom, seperti
yang dikutip Maolani (2008 : 66-70), menguraikan tentang aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor sebagai berikut:
1. Kognitif (Cognitive)
Domain kognitif berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan berpikir,
mengetahui dan pemecahan masalah. Domain ini memiliki enam tingkatan, dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Keenam tingkatan tersebut adalah:
a. Pengetahuan (Knowledge): berhubungan dengan mengingat kepada bahan yang
sudah dipelajari sebelumnya. Dengan istilah lain pengetahuan juga disebut recall
(pengingatan kembali). Pengetahuan dapat menyangkut bahan yang luas maupun
sempit, seperti fakta (sempit) atau teori (luas). Namun apa yang diketahui hanya
sekedar informasi yang dapat diingat saja. Oleh karena itu tingkatan domain
kognitif pengetahuan adalah rendah. Contoh kata kerja operasionalnya:
10
menyebutkan, menunjukkan, mengidentifikasi, menjodohkan, memilih,
menyatakan, mendefinisikan.
b. Pemahaman (Comprehension): Pemahaman adalah kemampuan memahami arti
suatu bahan pelajaran, seperti menafsirkan, menjelaskan atau menerangkan suatu
pengertian. Kemampuan ini lebih tinggi daripada pengetahuan. Contoh kata kerja
operasionalnya: menjelaskan, menguraikan, merumuskan, merangkum, mengubah,
menyadur, mermalkan, menyimpulkan, memperkirkan, menggantikan, menarik
kesimpulan.
c. Penerapan (Aplication): Penerapan adalah kemampuan menggunakan atau
menafsirkan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru atau situasi
yang konkrit. Seperti menerapkan suatu dalil, metode, konsep, prinsip, atau teori.
Kemampuan ini lebih tinggi daripada pemahaman. Contoh kata kerja
operasionalnya: mendemonstrasikan, menghitung, menghubungkan,
menghasilkan, melangkapi, menyediakan, menemukan.
d. Analisis (Analysis): Kemampuan menguraikan atau menjabarkan sesuatu ke dalam
komponen atau bagian-bagian, sehingga susunannya dapat dimengerti.
Kemampuan ini meliputi mengenal bagian-bagian, hubungan antar bagian serta
prinsip yang digunakan dalam organisasinya. Contoh kata kerja operasionalnya:
memisahkan, menerima, menyisihkan, menghubungkan, membandingkan,
mempertentangkan, membagi, membuat diagram, menunjukkan hubungan.
e. Sintesis (Synthesis): kemampuan menghimpun bagian ke dalam suatu
keseluruhan. Seperti merumuskan tema rencana atau melihat hubungan abstrak
dari berbagai informasi/fakta. Kemampuan ini semacam kemampuan merumuskan
11
suatu pola atau struktur baru berdasarkan kepada berbagai informasi atau fakta.
Contoh kata kerja operasionalnya: mengkategorikan, mengkombinasikan,
mengarang, menciptakan, mendesain, mengatur, menyusun kembali,
menyimpulkan, merancang, membuat pola.
f. Evaluasi (Evaluation): Kemampuan membuat penilaian terhadap sesuatu
berdasarkan pada maksud atau kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat
bersifat internal (seperti organisasinya) atau eksternal (relevansinya untuk maksud
tertentu). Contoh kata kerja operasionalnya: memperbandingkan, mengkritik,
mengevaluasi, membuktikan, menafsirkan, membahas, manksir, membedakan,
melukiskan.
2. Afektif (Affective)
Domain ini berkaitan dengan sikap, rasa, nilai-nilai, interes (minat), apresiasi,
dan penyesuaian perasaan sosial. Domain ini mempunyai lima tingkatan:
a. Penerimaan (Receiving): Keinginan untuk memperhatikan suatu gejala atau
rangsangan tertentu. Hal ini menyangkut kegiatan: mendengar dengan penuh
perhatian, menunjukkan kesadaran pentingnya belajar, menunjukkan kepekaan
terhadap kebutuhan manusia dan masalah sosial, menerima perbedaan ras dan
budaya, meperhatikan dengan sungguh-sungguh kegiatan di kelas. Contoh kata
kerja operasionalnya: menanyakan, memilih, menjawab, melanjutkan, memberi,
menyatakan, menempatkan.
b. Menanggapi (Responding): Menunjukkan kepada partisipasi aktif dalam kegiatan
tertentu, seperti menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), mentaati peraturan,
mengikuti diskusi kelas, menyelesaikan pekerjaan di laboratorium, tugas khusus,
12
atau menolong orang lain. Contoh kata kerja operasionalnya: melaksanakan,
membantu, menawarkan diri, menyambut, menolong, mendatangi, melaporkan,
menyumbangkan, menyesuaikan diri, menyatakan persetujuan, mempraktikkan.
c. Berkeyakinan (Valuing): Penerimaan nilai tertentu pada diri individu, seperti
menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu, apresiasi terhadap sesuatu, sikap
ilmiah atau kesungguhan kerja (komitmen) untuk melakukan sesuatu peningkatan
kehidupan sosial. Contoh kata kerja operasionalnya: menunjukkan, menyatakan
pendapat, memilih, membela, membenarkan, menolak, mengajak.
d. Pengorganisasian (Organizing): Penerimaan terhadap berbagai nilai yang berbeda-
beda berdasarkan pada suatu system nilai tertentu yang lebih tinggi, seperti
menyadari pentingnya keselarasan antara hak dan tanggung jawab, bertanggung
jawab terhadap perbuatan yang dilakukan, memahami dan menerima kelebihan
dan kekurangan diri sendiri, atau menyadari peranan perencanaan dalam
pemecahan masalah. Contoh kata kerja operasionalnya: merumuskan,
mengintegrasikan, menghubngkan, mengaitkan, menyusun, mengubah,
melengkapi, menyempurnakan, menyamakan, mempertahankan, memodifikasi.
e. Karakterisasi (Characterization): Pada taraf ini individu sudah memiliki sistem
nilai yang selalu menyelaraskan perilakunya sesuai dengan sistem nilai tertentu,
seperti bersikap obyektif terhadap segala hal. Pada tingkat ini proses internalisasi
nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah
tertanam secara konsisten pada sistemnya di dalam dirinya, telah efektif
mengontrol tingkah laku pemiliknya dan mempengaruhi emosinya. Pandangan
hidupnya berupa keyakinan pada diri sendiri yang mampu menghasilkan kesatuan
13
dan konsistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap batin peserta didik telah
benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Contoh
kata kerja operasionalnya: bertindak, memperlihatkan, melayani, membuktikan,
mempertimbangkan, mempersoalkan.
3. Psikomotor (Psychomotor)
Domain ini berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual dan
motorik. Meliputi:
a. Persepsi (Perception): Berkenaan dengan penggunaan indera dalam melakukan
kegiatan, seperti mengenal kerusakan mesin dari suaranya yang sumbang atau
menghubungkan suara musik dengan tarian tertentu. Contoh kata kerja
operasionalnya: memilih, membedakan, mempersiapkan, menunjukkan,
mengidentifikasi, menghubungkan.
b. Kesiapan melakukan sesuatu (Set): Berkenaan dengan kesiapan untuk melakukan
suatu kegiatan tertentu, termasuk di dalamnya mental set (kesiapan mental),
physical set (kesiapan fisik) atau emosional set (kesiapan emosi) untuk melakukan
suatu tindakan. Contoh kata kerja operasionalnya: memulai, bereaksi,
memprakarsai, menanggapi, mempertunjukkan.
c. Mekanisme (Mechanism): berkenaan dengan penampilan respons yang sudah
dipelajari dan sudah menjadi kebiasaan, sehingga gerakan yang ditampilkan
menunjukkan kepada suatu kemahiran, seperti menulis halus, menari, mengatur
laboratorium. Contoh kata kerja operasionalnya: mengoperasikan, membangun,
memasang, membongkar, memperbaiki, mengerjakan, menyusun, menggunakan.
14
d. Respons terbimbing (Guided Respons): Seperti peniruan (imitasi), yakni
mengikuti, mengulangi perbuatan yang diperintahkan/ditunjukkan oleh orang lain,
atau trial and error (coba-coba). Contoh kata kerja operasionalnya:
mempraktikkan, memainkan, mengerjakan, membuat, mencoba, memasang,
membongkar.
e. Kemahiran (Complex Overt Respons): Berkenaan dengan penampilan gerakan
motorik dengan keterampilan penuh. Kemahiran yang dipertunjukkan biasanya
cepat, dengan hasil yang baik namun menggunakan sedikit tenaga, seperti
keterampilan dalam menyetir (mengendarai mobil). Contoh kata kerja
operasionalnya: merakit, membuat, menyusun.
f. Adaptasi (Adaptation): Berkenaan dengan keterampilan yang sudah berkembang
pada diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pola
gerakannya sesuai dengan situasi tertentu, seperti kita lihat pada orang bermain
tenis, pola-pola gerakan disesuaikan dengan kebutuhan mematahkan serangan
lawan. Contoh kata kerja operasionalnya: memodifikasikan, mengkombinasikan.
g. Originasi (Origination): Menunjukkan kepada penciptaan pola gerakan baru
untuk disesuaikan dengan situasi atau masalah tertentu. Biasanya hal ini dapat
dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai keterampilan tinggi, seperti
menciptakan tarian, komposisi musik atau mode pakaian.
15
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar peserta didik tidak ada
bedanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik. Menurut
Rostiyah (1989 : 30), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Faktor internal, yaitu faktor yang menyangkut seluruh diri pribadi, termasuk
fisik maupun mental atau psikofisiknya yang ikut menentukan berhasil tidaknya
seseorang dalam belajar.
2. Faktor eksternal, adalah faktor yang bersumber dari luar individu yang
bersangkutan, misalnya ruang belajar yang tidak memenuhi syarat, alat-alat
pengajaran yang tidak memadai dan lingkungan sosial maupun lingkungan
alamiahnya.
Sementara Slameto (1980 : 56-74), mengklasifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar sebagai berikut:
1. Faktor intern
Dalam faktor intern ini terbagi atas tiga faktor yaitu: faktor jasmaniah, faktor
psikologi dan faktor kelelahan. Lalu faktor jasmaniah meliputi: faktor
kesehatan, cacat tubuh. Faktor psikologi meliputi: intelegensi, perhatian,
minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. Sedang faktor kelelahan
meliputi: kelelahan jasmani dan rohani.
2. Faktor ekstern
Dalam faktor ekstern ini terbagi atas tiga, yaitu: faktor keluarga, faktor
sekolah dan faktor masyarakat. Dalam faktor keluarga yang mempengaruhi
16
yaitu: Cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana
rumah tangga, dan keadaan ekonomi keluarga. Kemudian faktor sekolah
meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan peserta didik,
relasi peserta didik dengan peserta didik disiplin sekolah, pelajaran dan
waktu sekolah, standar pengajaran, keadaan gedung, metode belajar dan
tugas rumah. Sedang faktor masyarakat yang mempengaruhinya adalah
kegiatan peserta didik dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan
bentuk kehidupan masyarakat.
Selanjutnya Purwanto (1997 : 101-102), mengemukakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar itu dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
1. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri, yang kita sebut dengan
faktor individual, dan
2. Faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang termasuk
ke dalam faktor individual: kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan
faktor pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial yaitu: keluarga atau
keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang digunakan
dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan
motivasi sosial.
Pendapat yang lebih luas dikemukakan oleh Syah (2006 : 132). Menurutnya,
secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik ada tiga macam,
yaitu:
1. Faktor Internal (faktor dari dalam peserta didik), yakni keadaan/kondisi jasmani
dan rohani peserta didik.
17
2. Faktor Eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi lingkungan di
sekitar peserta didik.
3. Faktor Pendekatan Belajar (Approach to Learning), yakni jenis upaya belajar
peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan peserta didik
untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
1. Faktor Internal Peserta didik
Faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik sendiri meliputi dua aspek,
yakni: 1) aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah); 2) aspek psikologis (yang bersifat
rohaniah).
a. Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan
intensitas peserta didik dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah,
apalgi jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah
cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, peserta didik dianjurkan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu peserta didik juga
dianjurkan memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal
secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab perubahan pola makan-
minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan
semangat mental peserta didik itu sendiri.
Kondisi organ-organ khusus peserta didik seperti kesehatan indera pendengar
dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam
18
menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya
pendengaran dan penglihatan peserta didik yang rendah akan menyulitkan sensory
register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat gema dan citra. Akibat
negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem
memori peserta didik tersebut.
b. Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran peserta didik. Namun di antara faktor-
faktor rohaniah peserta didik yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah:
1) tingkat kecerdasan/intelegensi peserta didik; 2) sikap peserta didik; 3) bakat peserta
didik; 4) minat peserta didik; 5) motivasi peserta didik.
Pertama, intelegensi. Intelegensi pada umumnya diartikan sebagai kemampuan
psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan
melalui cara yang tepat. Intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja,
melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi memang harus diakui
bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol
daripada peran-peran organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan menara pengontrol
hampir seluruh aktivitas manusia.
Tingkat kecerdasan peserta didik sangat berpengaruh terhadap pembelajaran.
Peserta didik yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi akan semakin memperbesar
peluangnya untuk meraih sukses dalam belajarnya. Sebaliknya, semakin rendah
kemampuan intelegensi peserta didik maka semakin kecil peluangnya untuk
memperoleh keberhasilan belajar.
19
Kedua, Sikap peserta didik. Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif
berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap
terhadap obyek orang, benda, dan sebagainya, baik secara positif maupun negative.
Sikap peserta didik yang positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran merupakan
pertanda awal yang baik bagi proses pembelajaran. Sebaliknya, sikap peserta didik yang
negatif, apalagi diiringi dengan kebencian kepada guru dan mata pelajaran akan dapat
menimbulkan kesulitan belajar peserta didik tersebut.
Ketiga, bakat peserta didik. Bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan padsa masa yang akan datang. Dalam
perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu
untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan. Seorang peserta didik yang berbakat dalam bidang elektro misalnya, akan jauh
lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan
dengan bidang tersebut dibanding peserta didik lainnya.
Keempat, minat peserta didik. Minat (interest) berarti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Seorang peserta
didik yang menaruh minat besar terhadap matematika misalnya, maka ia akan
memusatkan perhatian yang intensif terhadap materi tersebut, sehingga memungkin
dirinya untuk belajar giat.
Kelima, motivasi peserta didik. Motivasi ialah keadaan internal organisme yang
mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini motivasi berarti pemasok
daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah. Motivasi dibagi dua macam,
intrinsic dan ekstrinsik. Intrinsik adalah keadaaan yang berasal dari individu peserta
20
didik yang mendorongnya untuk belajar. Adapun ekstrinsik adalah keadaan yang datang
dari luar diri peserta didik yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.
Kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta
didik dalam melakukan proses pembelajaran, baik di sekolah maupun di rumah.
2. Faktor Eksternal Peserta didik
Faktor eksternal peserta didik terdiri dari dua macam, yaitu faktor lingkungan
sosial dan faktor lingkungan nonsosial.
a. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-
teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang peserta didik. Para guru
yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri
teladan yang baik dan rajin khususnya dalam mengajar, dapat menjadi daya dorong
yang positif bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar.
Begitu juga lingkungan sosial peserta didik seperti masyarakat dan tetangga juga
teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan peserta didik tersebut. Kondisi
masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak pengangguran
misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar peserta didik. Paling tidak peserta
didik akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau
meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah
orangtua dan keluarga peserta didik sendiri. Sifat-sifat orangtua, praktik pengelolaan
keluarga, ketegangan keluarga, dan sebagainya, semuanya dapat memberi dampak baik
atau buruk terhadap kegiatan belajar peserta didik.
21
b. Lingkungan nonsosial
Yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah
tempat tinggal keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan
waktu belajar yang digunakan peserta didik. Faktor-faktor ini dipandang turut
menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik. Contoh: kondisi rumah yang
sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tak memiliki sarana
umum untuk kegiatan, akan mendorong peserta didik untuk berkeliaran ke tempat-
tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan
seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar peserta didik.
3. Faktor Pendekatan Belajar
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pendekatan belajar (Approach to Learning),
yakni jenis upaya belajar peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang
digunakan peserta didik untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Pendekatan ini sangat
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan belajar peserta didik. Sebagai contoh, jika
peserta didik belajar dengan menggunakan pendekatan deep, maka ia akan belajar
dengan sungguh-sungguh dan memahami materi pelajaran secara mendalam. Beda
halnya dengan peserta didik yang menggunakan pendekatan surface, ia akan belajar asal
lulus saja, santai, berleha-leha, ia belajar hanya menjelang ulangan atau ujian saja, tidak
ada sedikitpun semangat untuk mendalam materi pelajaran dengan sungguh-sungguh.
4. Indikator Prestasi Belajar
Keberhasilan atau kegagalan dalam proses belajar mengajar merupakan sebuah
ukuran atas proses pembelajaran. Apabila merujuk pada rumusan operasional
22
keberhasilan belajar, maka belajar dikatakan berhasil apabila memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi,
baik secara individual maupun kelompok.
2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran khusus telah dicapai oleh
peserta didik, baik secara individual maupun kelompok.
3. Terjadinya proses pemahaman dan penguasaan materi oleh peserta didik, baik
yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotor.
B. Model Pembelajaran Concept Attainment dan Problem Based Learning
1. Pengertian Model Pembelajaran Concept Attainment
Model pembelajaran concept attainment dibangun berkaitan
dengan studi berpikir peserta didik yang dilakukan oleh Bruner,
Goodnow, dan Austin seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo
(2009 : 1). Model pembelajaran concept attainment ini relatif
berkaitan erat dengan model pembelajaran induktif. Baik model
pembelajaran concept attainment dan model pembelajaran induktif,
keduanya didesain untuk menganalisis konsep, mengembangkan
konsep, pengajaran konsep dan untuk menolong peserta didik
menjadi lebih efektif dalam mempelajari konsep-konsep. Model
pembelajaran concept attainment merupakan integrasi yang efisien
untuk mempresentasikan informasi yang telah terorganisir dari suatu
topik yang luas menjadi topik yang lebih mudah dipahami untuk
23
setiap stadium perkembangan konsep. Model pembelajaran concept
attainment ini dapat memberikan suatu cara menyampaikan konsep
dan mengklarifikasi konsep-konsep serta melatih peserta didik
menjadi lebih efektif pada pengembangan konsep.
Joyce, B seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo (2009 : 1)
menyatakan bahwa, “Pembelajaran concept attainment
mempertajam dasar keterampilan berpikir.” Dari pernyataan Joyce
tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran concept
attainment terkandung di dalamnya pengajaran berpikir peserta
didik, karena di dalam model pembelajaran concept attainment ada
beberapa tahapan-tahapan yang musti dilewati, seperti
mengkatagorisasi, pembentukan konsep dengan memperhatikan
berbagai macam attribute-nya (seperti attribute essensial, attribute
value, attribute kritis, dan attribute variable).
Penggunaan model pembelajaran concept attainment diawali
dengan pemberian contoh-contoh aplikasi konsep yang akan
diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-contoh dan
menurunkan definisi dari konsep-konsep tersebut. Hal yang paling
utama yang musti diperhatikan oleh seorang guru dalam penggunaan
model pembelajaran ini adalah pemilihan contoh yang tepat untuk
konsep yang diajarkan, yaitu contoh tentang hal-hal yang akrab
dengan peserta didik. Pada prinsipnya, model pembelajaran concept
attainment adalah suatu strategi mengajar yang menggunakan data
24
untuk mengajarkan konsep kepada peserta didik, dimana guru
mengawali pengajaran dengan cara menyajikan data atau contoh,
kemudian guru meminta kepada peserta didik untuk mengamati data
atau contoh tersebut. Atas dasar pengamatan ini akan terbentuk
abstraksi. Model pembelajaran concept attainment ini dapat
membantu peserta didik pada semua tingkatan usia dalam
memahami tentang konsep dan latihan pengujian hipothesis.
Bruner, Goodnow, dan Austin seperti yang dikutip Russamsi
Martomidjojo (2009 : 1) menyatakan bahwa, “pembelajaran concept
attainment adalah mencari dan mendaftar attribute-attribute yang
dapat digunakan untuk menetapkan contoh-contoh (exemplars) dan
bukan contoh-contoh (non-Exemplars) dari berbagai katagori.”
Sedangkan pembentukan konsep (concept formation), merupakan
dasar daripada model pembelajaran induktif. Pembelajaran concept
attainment membutuhkan keputusan yang mendasar terhadap
katagori-katagori yang akan dibangun, membutuhkan seorang
peserta didik agar mampu menggambarkan suatu atribut dari suatu
katagori yang siap dibentuk dalam otak peserta didik melalui pola
membandingkan dan membedakan contoh-contoh (disebut
exemplars) yang di dalamnya terkandung karakteristik-karakteristik
(attribute) dari suatu konsep dengan contoh-contoh yang tidak
mengandung atribut.
25
Untuk melakukan pembelajaran dari model concept attainment,
kita butuh 20 pasang peserta didik dan apabila konsepnya banyak
dan lebih kompleks, tentunya butuh banyak pasangan peserta didik.
Proses pembelajaran concept attainment dimulai dengan pertanyaan
yang ditujukan kepada peserta didik untuk meneliti dengan cermat
suatu kalimat dan peserta didik memberikan perhatian yang serius
terhadap kata-kata yang telah digarisbawahi. Kemudian seorang guru
mengintruksikan kepada peserta didiknya untuk membandingkan dan
mengkontraskan fungsi dari exemplar positif dan exemplar negatif.
Exemplar positif mengandung sesuatu aktivitas kerja yang sudah
biasa dilakukan oleh peserta didik dalam membuat kalimat. Exemplar
negatif tidak melakukan kerja yang berbeda.
Pembelajaran pencapaian konsep (concept attainment) banyak
melibatkan operasi mental peserta didik. Dalam hal ini metode ilmiah
dibutuhkan untuk mengidentifikasi operasi mental peserta didik,
terutama untuk pencapaian konsep dalam waktu singkat, meliputi
analisis tingkah laku, observasi dan bertanya musti dilakukan sebagai
tugas dalam pembelajaran. Analisis tingkah laku didasarkan pada uji
operasi mental peserta didik. Peserta didik diinstruksikan untuk
membuat catatan-catatan tentang apa yang mereka percayai tentang
exemplar yang sudah dimilikinya. Kemudian, guru memberikan
beberapa set exemplar dan bertanya pada mereka apakah mereka
masih memiliki ide yang sama. Jika tidak, guru bertanya apa yang
26
sedang mereka pikirkan? Guru meneruskan untuk mempresentasikan
exemplar-exemplar sehingga sebagian besar peserta didik memiliki
suatu ide yang mereka pikir akan menahan kecermatan
penelitiannya. Pada saat itu, guru bertanya kepada salah satu peserta
didik untuk menggabungkan ide teman-temannya dan bagaimana
cara teman-temannya dalam menggabungkan ide-idenya.
Klausmeier, H.J. seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo
(2009 : 1) menyatakan bahwa,
Bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam urutan yang berbeda-beda. Orang sampai pada pencapaian konsep tingkatan tertinggi dengan kecepatan yang berbeda-beda, dan ada konsep-konsep yang tidak pernah tercapai pada tingkat yang tertinggi. Konsep-konsep yang berbeda dipelajari pada usia yang berbeda pula.
Berdasarkan teori perkembangan Piaget kita memahami bahwa
anak-anak pada usia dini baru dapat belajar konsep-konsep yang
bersifat konkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih abstrak dapat
dipelajari setelah usia dewasa atau setelah mencapai tingkat
operasional formal. Pembelajaran konsep memberikan suatu
perubahan untuk menganalisis proses berpikir peserta didik dan
untuk membantu peserta didik mengembangkan strategi belajar yang
efektif. Pendekatan ini dapat melibatkan berbagai macam derajat
partisipan peserta didik dan kontrol peserta didik, serta material dari
berbagai kompleksitas.
27
Dalam pembelajaran concept attainment menggunakan istilah-
istilah seperti exemplar dan attribute, kedua istilah tersebut bertujuan
untuk menguraikan aktivitas kategori dan pencapaian konsep. Secara
essensi, exemplar adalah suatu subset dari koleksi data atau suatu
data set. Katagori adalah subset atau koleksi sampel yang terbangun
dari satu atau beberapa karakteristik yang terpisah dari lainnya.
Karakteristik ini dengan membandingkan exemplar positif dan
mengkontraskan exemplar positif dengan exemplar negatif dari suatu
konsep atau katagori yang telah dipelajari. Semua item data memiliki
ciri-ciri, dan ciri-ciri itulah sebagai suatu attribute . Contoh: sel. Sel
memiliki nucleus, mitokondria, lisosome, ribosom, badan golgi,
vacuola, mikrotubuli, dan mikrofilamen. Setiap organella di dalam sel
memiliki ciri-ciri tertentu, tetapi kerja di antara organella saling
bergantung dan organella dari suatu sel tidak dapat bekerja sama
dengan organella dari sel lainnya. Attribute essensial adalah attribute
kritis terhadap suatu domain. Exemplar dari suatu katagori memiliki
banyak attribute lain yang mungkin tidak relevan dengan katagorinya
sendiri. Contoh vacuola, di dalamnya memiliki berbagai zat kimia,
tetapi tidak relevan dengan definisi sel. Attribute penting lainnya
adalah attribute value. Attribute value, attribute ini mengacu kepada
degree (tingkatan)
Dilihat dari studi yang telah dilakukan oleh Bruner tentang
konsep dan bagaimana peserta didik mencapai konsep, setiap istilah
28
memiliki pengertian dan fungsi tertentu dalam semua bentuk
pembelajaran konseptual, terutama pembelajaran concept
attainment.
Menurut Russamsi Martomidjojo (2009 : 1) ada dua hal penting dalam
pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran concept
attainment (pencapaian konsep) yaitu;
(1) menentukan tingkat pencapaian konsep, dan
(2) analisis konsep.
1. Menentukan Tingkat Pencapaian Konsep
Tingkat pencapaian konsep (concept attainment) yang
diharapkan dari peserta didik sangat tergantung pada kompleksitas
dari konsep, dan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Ada
peserta didik yang belajar konsep pada tingkat konkret rendah atau
tingkat identitas, ada pula peserta didik yang mampu mencapai
konsep pada tingkat klasifikatori atau tingkat formal.
Telah dipahami bahwa tingkat-tingkat perkembangan kognitif
Piaget dapat membimbing guru untuk menentukan tingkat-tingkat
pencapaian konsep yang diharapkan. Sebagian besar dari konsep-
konsep yang dipelajari selama tingkat perkembangan pra-operasional
merupakan konsep-konsep pada tingkat konkret dan identitas.
Selama tingkat operasional konkret, dapat diharapkan tingkat
pencapaian klasifikatori. Sedangkan tingkat pencapaian konsep
formal dapat diharapkan apabila pengajaran yang tepat diberikan
29
pada peserta didik yang telah mencapai perkembangan operasional
formal. Tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan
tercermin pada tujuan pembelajaran yang dirumuskan sebelum
proses belajar-mengajar dimulai.
2. Analisis Konsep
Analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan
untuk membantu guru dalam merencanakan urutan-urutan
pengajaran concept attainment. Untuk melakukan analisis konsep
guru hendaknya memperhatikan beberapa hal antara lain:
1) nama konsep,
2) attribute-attribute kriteria dan attribute-attribute variabel dari
konsep,
3) definisi konsep,
4) contoh-contoh dan noncontoh dari konsep, dan
5) hubungan konsep dengan konsep-konsep lain.
a. Model Pembelajaran Concept Attainment
Sebelum guru melakukan proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran concept attainment, guru memilih
konsep, menyeleksi dan mengorganisir materi ajar ke dalam contoh
positif dan contoh negatif, serta merangkaikan contoh-contoh.
Umumnya materi eplajaran, terutama buku-buku teksbook tidak
didesain untuk pembelajaran konsep.
30
Guru dalam pengajaran model pembelajaran concept
attainment harus terlebih dahulu mempersiapkan contoh-contoh,
mengekstrak ide-ide dan material dari buku-buku teks dan sumber
lainnya, dan mendesain material dan ide-ide itu ke attribute yang
jelas, dan bahkan membuat contoh-contoh positif dan negatif dari
suatu konsep. Apabila guru menggunakan model pembelajaran
concept attainment, aktivitas guru adalah merekam hipothesis
peserta didik. Guru juga memberikan bantuan contoh-contoh
tambahan. Ada tiga hal penting yang dilakukan oleh seorang guru
dalam melakukan aktivitas concept attainment, yaitu melakukan
perekaman, memberikan isyarat, dan menghadirkan data tambahan.
Langkah awal dalam melakukan model pembelajaran concept
attainment adalah membantu peserta didik memberikan contoh
konsep yang sudah terstruktur dengan benar. Dalam model
pembelajaran concept attainment, prosedur pembelajaran kooperatif
dapat juga digunakan.
Model pembelajaran concept attainment dilakukan melalui fase-
fase yang dikemas dalam bentuk sintaks. Adapun sintaksnya dibagi
ke dalam tiga fase, yakni (1) Presentasi Data dan Identifikasi Data; (2)
menguji pencapaian dari suatu konsep; dan (3) analisis berpikir
strategi.
Fase I: Presentasi Data dan Identifikasi Data
31
Pada fase I, guru mempresentasikan data kepada peserta didik.
Setiap unit data contoh dan non-contoh setiap konsep dipisahkan.
Unit-unit dipresentasikan dengan cara berpasangan. Data dapat
berupa peristiwa, masyarakat, objek, ceritera, gambar atau unit lain
yang dapat dibedakan. Pembelajar (peserta didik) diberi informasi
bahwa semua contoh positif biasanya memiliki satu ide. Tugas
peserta didik adalah mengembangkan suatu hipothesis tentang
hakekat konsep. Contoh-contoh dipaparkan dan disusun serta diberi
nama dengan kata “yes” atau “no”. Peserta didik bertanya untuk
membandingkan dan menjastifikasi atribut tentang perbedaan
contoh-contoh.
Akhirnya, peserta didik ditanya tentang nama konsep-
konsepnya dan menyatakan aturan yang telah dibuatnya atau
mendefinisikan konsepnya menurut attribute essensial-nya.
(hipothesisnya tidak perlu dikonfirmasikan hingga fase berikutnya;
peserta didik mungkin tidak mengetahui nama-nama beberapa
konsep, tetapi nama-nama dapat diberitahukan apabila konsepnya
sudah dikonfirmasikan).
Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:
1. Guru mempresentasikan contoh-contoh yang sudah diberi nama
(berlabel),
2. Guru meminta tafsiran peserta didik
3. Guru meminta peserta didik untuk mendefinisikan
32
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1. Peserta didik membandingkan contoh-contoh positif dan contoh-
contoh negatif,
2. Peserta didik mengajukan hasil tafsirannya,
3. Peserta didik membangkitkan dan menguji hipothesis,
4. Peserta didik menyatakan suatu definisi menurut atribut
essensinya
Fase II: Menguji Pencapaian dari suatu Konsep
Pada fase II, peserta didik menguji pencapaian tentangn
konsepnya, pertama dengan cara mengidentifikasi secara benar
contoh-contoh tambahan yang belum diberi nama dan kemudian
membangkitkan contoh-contohnya sendiri. Setelah itu, guru (dan
peserta didik) mengkonfirmasikan keaslian hipothesisnya, merevisi
pilihan konsep atau attribute yang dibutuhkannya.
Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:
1. Guru meminta peserta didik untuk mengidentifikasi contoh-contoh
tambahan yang tidak bernama,
2. Guru menkonfirmasikan hipothesis, nama-nama konsep, dan
menyatakan kembali definisi menurut atribut essensinya,
3. Guru meminta contoh-contoh lain
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1. Peserta didik memberi contoh-contoh,
33
2. Peserta didik memberi nama konsep,
3. Peserta didik mencari contoh lainnya
Fase III: Analisis Startegi Berpikir
Pada fase III, peserta didik mulai menganalisis strategi konsep-
konsep yang telah tercapai. Peserta didik disarankan mengkonstruk
konsepnya. Peserta didik dapat menjelaskan pola-polanya, apakah
peserta didik berfokus pada atribut atau konsep, apakah mereka
melakukan satu kali atau beberapa kali, dan apa yang terjadi apabila
hipothesisnya tidak terkonfirmasi. Mereka melakukan suatu
perubahan strategi? Secara bertahap, mereka dapat membandingkan
keefektifan dari perbedaan strateginya
Langkah-langkah kegiatan mengajar sebagai berikut:
1. Guru bertanya mengapa dan bagaimana
2. Guru membimbing diskusi
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
1. Peserta didik menguraikan pemikirannya,
2. Peserta didik mendiskusikan peran hipothesis dan atributnya,
3. Peserta didik mendiskusikan berbagai pemikirannya.
b. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Reaksi
Selama pembelajaran berlangsung, guru mendukung hipothesis
peserta didik, dengan memberikan penekanan, apapun bentuk
34
hipothesis peserta didik itu, dan menciptakan dialog yang kondusif
untuk menguji hipothesis peserta didik, walaupun hipothesis peserta
didik tersebut berlawanan dengan hipothesis peserta didik lainnya.
Pada fase akhir dari model pembelajaran concept attainment ini, guru
musti mampu merubah perhatian peserta didik terhadap analisis
konsep dan strategi berpikirnya, kemudian guru kembali menjadi
sangat mendukung hipothesis peserta didik. Akhirnya, guru musti
mampu mendorong analisis peserta didik.
Sesungguhnya, prinsip-prinsip pengelolaan dari model
pembelajaran concept attainment ini sebagai berikut: (1) memberikan
dukungan hipothesis yang diajukan peserta didik melalui diskusi
terlebih dahulu; (2) memberikan bantuan kepada peserta didik dalam
mempertimbangkan keputusan hipothesisnya; (3) memusatkan
perhatian peserta didik kepada contoh-contoh yang khusus; dan (4)
memberikan bantuan kepada peserta didik dalam menilai strategi
berpikirnya.
c. Sistem Pendukung
Dalam pelajaran concept attainment membutuhkan presentasi
kepada peserta didik tentang exemplar positif dan negatif. Dalam hal
ini menekankan kepada peserta didik, bahwa pekerjaan peserta didik
dalam pengajaran concept attainment adalah bukan pada penemuan
konsep-konsep baru, tetapi bagaimana mencapai konsep yang telah
35
dipilih guru. Oleh karena itu, sumber data dibutuhkan untuk diketahui
terlebih dahulu dan attribute-nya dapat dilihat. Apabila peserta didik
dipresentasikan dengan contoh-contoh, maka peserta didik tersebut
menguraikan karakteristik dari contoh-contoh itu (attribute), dan
kemudian menyimpan di dalam otaknya.
d. Strategi Concept Attainment
Apa yang akan dipikirkan peserta didik ketika mereka sedang
membandingkan dan membedakan contoh-contoh? Hipotesis macam
apa yang terpikirkan oleh mereka dalam tingkat permulaan dan
bagaimana mereka memodifikasi dan mengujinya? Untuk menjawab
pertanyaan itu, tiga faktor penting yang perlu diketahui yaitu :
(1) kita akan mengkonstruk latihan-latihan pencapaian konsep bahwa
kita dapat belajar bagaimana peserta didik berpikir?,
(2) peserta didik tidak hanya dapat menggambarkan bagaimana
mereka memperoleh konsep, tetapi mereka dapat lebih efisien
untuk mengubah strategi dan pembelajaran mereka dengan
menggunakan sesuatu yang baru,
(3) mengubah cara kita memberikan informasi dan memodifikasi
sedikit model, kita dapat mempengaruhi bagaimana peserta didik
akan memproses informasi (Joyce, 2000).
36
Lebih lanjut dijelaskan ada dua cara kita memperoleh informasi
mengenai cara peserta didik memperoleh konsep (attaint concept)
yaitu;
1) Sesudah konsep telah diperoleh, kita dapat mengatakan
kepadanya untuk menceritakan pemikiran mereka sebagai proses
latihan,
2) Dapat dengan mendiskusikan strategi apa yang ditemukan
peserta didik dan bagaimana mereka memperoleh
Menurut Dahar, R.W. seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo
(2009 : 1) ada dua pendekatan teori mengenai belajar konsep yaitu;
(1) melalui pendekatan perilaku, dan
(2) pendekatan kognitif.
Caroll seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo (2009 : 1)
lebih menekankan perbedaan belajar konsep dalam laboratorium dan
belajar konsep di sekolah. Lebih lanjut Caroll mengemukakan
perbedaan-perbedaan dalam kedua proses tersebut sebagai berikut:
Kedua bentuk konsep berbeda dalam sifat. Konsep yang
biasanya dipelajari di sekolah biasanya benar-benar merupakan
konsep baru, bukan suatu kombinasi dari atribut-atribut yang
dikenal.
Konsep-konsep yang dipelajari di sekolah tergantung pada
atribut-atribut yang berupa konsep-konsep sulit. Lagi pula
37
konsep-konsep di sekolah biasanya bersifat verbal, dan tidak
dapat disajikan secara konkret.
Studi di laboratorium menekankan pada belajar konsep-konsep
konjunktif, sudah dibuktikan mudah untuk dipelajari daripada
konsep-konsep disjunktif atau konsep-konsep relasional.
Studi di laboratorium pada umumnya menekankan pada
pendekatan-pendekatan induktif tentang belajar konsep-
konsep, sedangkan di sekolah sebagian besar dipelajari secara
deduktif.
Dalam artikelnya Caroll menyarankan, bahwa pendekatan
kombinasi antara induktif dan deduktif akan lebih baik jika hanya menggunakan
salah satu dari pendekatan itu.
2. Model Pembelajaran Problem Based Learning
a. Pengertian
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah ( problem-based-leraning ) adalah
konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang
dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi peserta didik,
dan memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik
(nyata).
b. Motivasi Menggunakan Problem Based Learning
Dalam pendidikan kedokteran konvensional, mahapeserta didik lebih banyak
menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literature yang diberikan oleh dosen.
Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu kedokteran dan menghapal
38
begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi dokter, mereka dihadapkan pada
banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka
dapat selama kuliah. Sistem pendidikan kedokteran konvensional cenderung
membentuk mahapeserta didik sebagai pembelajar pasif. Mahapeserta didik tidak
dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari
cara penyelesaiannya.
Apabila kita sebagai guru atau dosen (pembelajar) atau pelatih, atau bahkan
sebagai seorang manager sebuah perusahaan, kita memiliki dua tujuan manakala kita
menyiapkan seseorang dengan suatu tugas baru. Tujuan yang pertama, adalah ingin
meningkatkan secara maksimal daya tahan pengingatan atau retensi. Kita tidak ingin
hal-hal yang kita belajarkan berjalan di tempat atau tidak berdaya sama sekali. Kita
tidak memiliki waktu khusus untuk melatih seseorang, sehingga kita perlu meyakinkan
bahwa daya tahan pengingatan tinggi. Tujuan kita kedua, adalah untuk menjamin
penyampaian informasi yang bukan hanya sekedar transfer pengetahuan (transfer of
knowledge) saja. Untuk itu, kita perlu menjadikan pebelajar mampu menerapkan
pengatahuan dan keterampilan dalam setiap situasi. Hal yang paling baik apa yang kita
lakukan adalah dengan cara memberikan suatu landasan yang memungkinkan
pembelajar mampu membangun sesuatu untuk merespon terhadap situasi-situasi baru
atau situasi lain yang berbeda.
Sebagaimana telah kita ketahui, selama ini format-format pembelajaran atau
pelatihan lebih banyak dimonopoli dengan sajian isi. Pembelajaran atau pelatihan
dilakukan dengan strategi sajian presentasi yang monoton dan tidak memberikan
kesempatan kepada pebelajar atau peserta didik untuk mengartikulasikan tentang hal
39
yang dipelajari, cenderung akan membosankan. Untuk itulah, pendekatan pembelajaran
yang lebih baik dilakukan melalui latihan pemecahan masalah (problem-solving),
membuat keputusan (decision-making), dan belajar arah diri (self-directed learning).
Hal-hal ini dapat dilaksanakan dengan menerapkan problem based learning, yang
memberikan landasan terjadinya pembelajaran yang lebih hidup karena dengan
menerapkan problem based learning pembelajar menerapkan pengetahuan dan
keterampilan, bukan hanya menerima saja.
Perlunya pendekatan pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada kenyataan-
kenyataan sebagai berikut :
1) Pada dasarnya, berpikir terjadi dalam konteks memecahkan masalah, yaitu
adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada.
2) Seseorang menjadi tertarik atau berminat mengerjakan sesuatu apabila berada
dalam ruang lingkup atau berkaitan dengan masalah yang dihadapinya.
Demikian pula dengan belajar.
3) Pada saat mempelajari bahan pelajaran, peserta didik ingin segera mengetahui
apa sebenarnya manfaat mempelajarinya, dan masalah apa sajakah yang dapat
dipecahkan dengan pengetahuan atau bahan itu.
4) Suatu kompetisi paling efektif dicapai oleh pelajar melalui serangkaian
pengalaman pemecahan masalah relistik yang di dalamnya si pelajar secara
langsung menerapakn unsur-unsur kompetensi tersebut.
c. Prinsip-prinsip Problem Based Learning
40
Dalam problem based learning, peserta didik dituntut bertanggungjawab atas
pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada
guru. Problem based learning membentuk peserta didik mandiri yang dapat
melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang
guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu peserta didik menjalani
proses pendidikan. Ketika peserta didik menjadi lebih cakap dalam menjalani proses
belajar problem based learning, tutor akan berkurang kreatifnya.
Proses belajar Problem based learning dibentuk dari ketidakteraturan dan
kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai
pendorong bagi peserta didik untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi
informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain
dalam problem based learning memberi tantangan pada peserta didik untuk lebih
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara
efektif.
d. Proses dalam Problem Based Learning
Peserta didik dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan
dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi
apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara
memcahkannya.
Langkah selanjutnya, peserta didik mulai mencari informasi dari berbagai
sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang
41
sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan
kebutuhan dan gaya tiap individu. Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali
pada masalah dan mengaplikasikan apa yang mereka pelajari untuk lebih memahami
dan menyelesaikannya. Di akhir proses, peserta didik melakukan penilaian terhadap
dirinya dan member kritik membangun bagi kolega.
Dalam pandangan Maolani (2010:44-45), pendekatan pembelajaran berbasis
masalah dilaksanakan oleh guru dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Persiapan : Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point)
pembelajaran. Masalah dipilih yang penting dan relevan bagi peserta didik, serta
membutuhkan penerapan gagasan atau tindakan yang terkait dengan atau mengarah
pada bahan pelajaran.
2. Orientasi pengenalan
a) Menyajikan masalah di kelas
b) Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu peserta didik pada masalah.
Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk memahami situasi atau
maksud masalah.
3. Eksplorasi (penjelajahan) : Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
memecahkan masalah dengan strategi yang diciptakan sendiri oleh peserta didik.
Masalah boleh dipecahkan peserta didik secara pribadi atau dalam kerjasama
denagn peserta didik lain. Guru memberi dukungan bagi usaha mereka, misalnya
dengan menjadi pendengar yang penuh perhatian atau memberi bantuan atau saran
sejauh yang diperlukan.
42
4. Negosiasi (perundingan) : Mendorong para peserta didik untuk
mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses dan hasil pemecahan masalah,
sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dapat diterima
oleh komunitas kelas.
5. Integrasi (pemanduan):
a) Memandu peserta didik merefleksikan proses pemecahan masalah.
b) Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar yang diperoleh dari
kegiatan pemecahan masalah.
c) Mengkaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga
tersusun jaringan/organisasi pengetahuan baru.
Menurut Lepinski seperti yang dikutip Maolani (2010 : 45), tahap-tahap
pemecahan masalah sebagai berikut ini, yaitu : 1) penyampaian ide (ideas), 2)
penyajian fakta yang diketahui (known facts),
3) mempelajari masalah (learning, issues), 4) menyusun rencana tindakan, (action plan)
dan 5) evaluasi (evaluation).
Tahap 1 : Penyampaian Idea (Ideas)
Pada tahap ini dilakukan secara curah pendapat (brainstorming). Pebelajar
merekam semua daftar masalah (gagasan, ide) yang akan dipecahkan. Mereka kemudian
diajak untuk melakukan penelaahan terhadap ide-ide yang dikemukakan atau mengkaji
pentingnya relevenasi ide berkenaan dengan masalah yang akan dipecahkan (masalah
aktual, atau masalah yang relevan dengan kurikulum), dan menentuan validitas masalah
untuk melakukan proses kerja melalui masalah.
Tahap 2 : Penyajian Fakta yang Diketahui (Known Facts)
43
Pada tahap ini, pebelajar diajak mendata fakta pendukung sesuai dengan
masalah yang telah diajukan. Tahap ini membantu mengklarifikasi kesulitan yang
diangkat dalam masalah. Tahap ini mungkin juga mencakup pengetahuan yang telah
dimiliki oleh pebelajar berkenaan dengan isu-isu khusus, misalnya pelanggaran kode
etik, teknik pemecahan konflik, dan sebagainya.
Tahap 3: Mempelajari Masalah (Problem Issues)
Pebelajar diajak menjawab pertanyaan tentang Apa yang perlu kita ketahui
untuk memecahkan masalah yang kita hadapi? Setelah melakukan diskusi dan
konsultasi, mereka melakukan penelaahan atau penelitian dan mengumpulkan
informasi. Pebelajar melihat kembali ide-ide awal untuk menentukan mana yang masih
dapat dipakai. Seringkali, pada saat para pebelajar menyampaikan masalah-masalah,
mereka menemukan cara-cara baru untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, hal
ini dapat menjadi sebuah proses atau tindakan untuk mengeliminasi ide-ide yang tidak
dapat dipecahkan atau sebaliknya ide-ide yang dapat dipakai untuk memecahkan
masalah.
Tahap 4: Menyusun Rencana Tindakan (Action Plan)
Pada tahap ini, pebelajar diajak mengembangkan sebuah rencana tindakan yang
didasarkan atas hasil temuan mereka. Rencana tindakan ini berupa sesuatu (rencana) apa
yang mereka akan lakukan atau berupa suatu rekomendasi saran-saran untuk
memecahkan masalah.
Tahap 5: Evaluasi
Tahap evaluasi ini terdiri atas tiga hal : 1) bagaimana pebelajar dan evaluator
menilai produk (hasil akhir) proses, 2) bagaimana mereka menerapkan tahapan Problem
44
Based Learning untuk bekerja melalui masalah, dan 3) bagaimana pebelajar akan
menyampaikan pengetahuan hasil pemecahan masalah atau sebagai bentuk
pertanggungjawaban mereka.
Pembelajar menyampaikan hasil-hasil penilaian atau respon-respon mereka
dalam berbagai bentuk yang beragam, misalnya: secara lisan atau verbal, laporan
tertulis, atau sebagai suatu bentuk penyajian formal lainnya. Evaluator menilai
penguasaan bahan-bahan kajian pada tahap tersebut melalui pebelajar. Sebagian dari
evaluasi memfokuskan pada pemecahan masalah oleh pebelajar maupun dengan cara
melakukan proses belajar kolaborasi (bekerja bersama pihak lain). Suatu alat untuk
menilai hasil dapat dipakai sebuah rubrik. Rubrik dipakai sebagai sebuah alat
pengukuran untuk menilai berdasarkan beberapa kategori, misalnya : 1) batas waktu, 2)
organisasi tugas (proyek), 3) segi (kebakuan) bahasa, 4) kemampuan analisis, telaah, 5)
kemampuan mencari sumber pendukung (penelitian, termasuk kajian literatur), 6)
kreativitas (uraian dan penalaran), dan 7) bentuk penampilan penyajian.
Dalam penelitian ini, penulis memilih langkah-langkah pembelajaran berbasis
masalah versi Ilam Maolani, dikarenakan lebih mudah dipahami dan lebih mudah
diaplikasikan.
C. Peserta Didik (Peserta didik)
1. Pengertian
Dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003 BAb I Pasal 1 ayat 4 dikatakan bahwa
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
45
tertentu. Ada beberapa sebutan lain untuk peserta didik: anak didik, murid, peserta
didik, mahapeserta didik, santri.
2. Hak dan Kewajiban
Dalam BAb V Pasal 12 dinyatakan bahwa :
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya;
c. Mendapatkan beapeserta didik bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya;
e. Pondah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara;
f. Menyelesaiakan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-
masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban :
a. Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan
keberhasilan pendidikan;
b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik
yang dibebbaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
46
(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Hakikat Peserta Didik (Anak)
Minimal terdapat lima hakikat anak didik, antara lain :
1. Anak didik terlahir dalam keadaan lemah fisik dan psikis, memiliki potensi dan
bakat untuk diekmbangkan. Oleh karena itu ia butuh pertolongan, bimbingan,
dan arahan dari orang dewasa. Maka orang tua di rumah dan guru di sekolah
mempunyai kewajiban untuk menunaikannya. Di sinilah peran penting
lingkungan pendidikan dalam mengembangkan potensi dan bakat yang di miliki
anak.
2. Setiap anak didik adalah pribadi unik. Setiap anak manusia dalam kehidupannya
dilengkapi Allah SWT dengan berbagai komponen hidup, seperti jasad, ruh,
nafs, qalbu dan akal. Kelengkapan hidup yang sempurna tersebut hanya
diberikan anak manusia saja, tidak pada makhluk hidup lainnya. Pada
kelengkapan hidup itulah, keunikan pribadi anak terlihat dan terjadi dengan
sangat indahnya. Tidak ada satu anak pun di dunia ini yang mempunyai jasad
dan pikiran serta perasaan yang sama, sekalipun keduanya adalah kembar siam.
Setiap anak akan menunjukkan pola-pola pandangan, sikap, dan perilaku anak
akan dipengaruhi oleh keadaan komponen hidup yang dimilikinya.
Berdasarkan kondisi ini, guru akan menjumpai berbagai ragam keunikan anak
yang sangat indah dalam proses pembelajaran. Ada anak yang mempunyai sikap
pendiam, ada yang agresif dan tidak mau diam, ada yang pemalu, pemberani,
pemarah, kemampuan bahasanya baik tapi keterampilan motoriknya kurang, ada
47
anak yang jasmaninya sangat baik tapi pikirannya kurang, dan lain sebagainya.
Ragam keunikan anak tersebut harus mampu diantisipasi dan dihadapi guru pada
waktu sebelum, ketika, dan setelah melaksanakan proses pembelajaran. Dengan
memahami keunikan anak, guru dituntut untuk memberikan perhatian secara adil
dan merata terhadap semua keunikan tersebut.
3. Anak berkembang secara bertahap. Asumsi ini mempunyai makna bahwa setiap
anak megalami suatu proses perubahan pada berbagai aspek atau dimensi
(seperti bahasa, motorik, daya pikir, minat). Perubahan tersebut berlangsung
secara teratur dan progresif. Keteraturan berbagai perubahan itu dapat diamati
dari adanya perubahan yang berlangsung secara bertahap pada setiap anak.
Hampir dapat dipsatikan bahwa di dunia ini tidak ada bayi yang langsung
berjalan, bernyanyi ataupun menari. Semuanya berawal dari ketidakberdayaan.
Setiap anak memiliki dan menunjukkan tempo serta irama perkembangan
sendiri-sendiri. Ada anak yang cepat mampu memahami dan melaksanakan
perintah dan tugas yang diberikan guru. Ada juga anak yang lambat memahami
isi tugas, bahkan perlu memperoleh penjelasan yang lebih rinci mengenai tugas
yang akan dikerjakannya.
Asumsi di atas akan berimplikasi pada guru dalam melaksankan proses
pembelajaran sebagai berikut :
a. Guru harus mempunyai kepekaan dalam mengamati serta menelaah keadaan
tempo dan irama perkembangan anak. Guru harus mampu mengidentifikasi
anak-anak yang tergolong cepat, sedang, dan lambat dalam proses
perkembangannya
48
b. Guru harus melatih kepekaan anak dalam berbagai aspek.
c. Guru harus memberikan tingkatan materi/bahan, pola kegiatan, metode,
serta media yang sesuai dengan pola irama, tempo, dan tingkat
perkembangan anak.
4. Anak adalah pelajar yang aktif. Proses pendidikan yang melibatkan interaksi
edukatif antara guru dan peserta didik tidak bisa diibaratkan sebagai seseorang
yang mengisi botol kosong dengan sejumlah air. Anak bukanlah individu tanpa
isi apa-apa, ia lahir dengan membawa sejumlah potensi yang harus
dikembangkan lebih lanjut, seperti anak sering mengajukan pertanyaan, tertarik
pada sesuatu yang baru, sering membongkar barang dan berusaha memasangnya
kembali, dan lain-lain. Ciri seperti ini mengisyaratkan bahwa seorang anak
merupakan pelajar yang aktif untuk mencari dan menemukan berbagai hal yang
ingin diketahuinya. Maka tugas guru adalah harus mampu menciptakan suatu
keadaan kelas yang kondusif, yakni yang mendorong, menentang, serta
merangsang potensi dasar anak untuk melakukan kegiatan belajar secara optimal
dan maksimal.
5. Anak merupakan suatu system energy. Setiap anak dipandang sebagai suatu
sistem energi. Bagian-bagian dalam sistem energinya diorganisasikan dalam
struktur tubuh dan mental serta dikordinasikan dalam berbagai fungsi. Sebagai
suatu sistem energi, setiap pandangan, sikap dan perilakunya selalu berkaitan
antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagai contoh, anak yang belajar
menari, maka akan terjadi koordinasi antara mata (melihat bentuk tarian), gerak
tubuh (meniru gerakan), dan kegiatan mental lainnya yang berfungsi
49
menyelaraskan gerakan yang dilakukan dengan gerakan yang sedang ditiru.
Pandangan ini membawa implikasi bagi guru untuk memandang anak sebagai
suatu totalitas (keseluruhan), dalam dirinya terdapat berbagai unsur yang saling
terkait dan dapat dipadukan secara harmonis untuk mengembangkan dirinya
secara optimal. Jika guru menemukan hal negatif dalam diri anak didiknya,
maka guru akan berusaha menghubungkannya dengan unsur lain yang mungkin
menjadi penyebab munculnya perilaku negatif tersebut. Anak yang cenderung
over aktivitas misalnya, tidak bisa dipandang sebagai anak yang hiperaktif,
karena over aktivitas bisa terkait langsung dengan keadaan anak yang
mempunyai banyak kelebihan tenaga.
D. Hubungan Prestasi Belajar dengan Model Pembelajaran Concept Attainment
dan Problem Based Learning
Penggunaan model pembelajaran concept attainment dan problem based
learning memberikan banyak kesempatan pada peserta didik untuk berperan aktif dalam
proses pembelajaran, memudahkan peserta didik memahami materi pembelajaran,
mendorong semangat belajar serta ketertarikan mengikuti pembelajaran secara penuh
sehingga prestasi-prestasi belajar peserta didik akan meningkat.
E. Kelemahan dan Kelebihan dari Model Pembelajaran Concept Attainment dan
Problem Based learning
Tabel 2.1
Kelemahan dan Kelebihan dari Model Pembelajaran Concept Attainment dan
Problem Based learning
Model Pembelajaran Kelemahan Kelebihan1. Concept Attainment Bagi siswa yang tidak Memberikan dukungan
50
Model Pembelajaran Kelemahan Kelebihandapat mengikuti pebealajaran, tidak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan teman lainnya karena siswa tidak mengalami sendiri.
Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik siswa karena harus menyesuaikan dengan kelompolnya.
Banyak siswa yang tidak senang apabila disuruh bekerjasama dengan yang lainnya, karena siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihan siswa yang lain dalam kelompoknya.
hipothesis yang diajukan siswa melalui diskusi terlebih dahulu.
Memberikan bantuan kepada siswa dalam mempertimbangkan keputusan hipothesisnya.
Memusatkan perhatian siswa kepada contoh-contoh yang khusus.
Memberikan bantuan kepada siswa dalam menilai strategi berpikirnya.
2. Problem Based Learning Siswa yang terbiasa dengan informasi yang diperoleh dari guru dan guru merupakan narasumber utama, akan merasa kurang nyaman dengan cara belajar sendiri dalam pemecahan masalah.
Jika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba masalah memerlukan cukup waktu untuk persiapan.
Mengembangkan jawaban yang bermakna bagi suatu masalah yang akan membawa siswa mampu menuju pemahaman lebih dalam mengenai suatu materi
Memberikan tantangan pada siswa sehingga mereka bisa memperoleh kepuasan dengan menemukan pengetahuan baru bagi dirinya sendiri
PBL membuat siswa selalu aktif dalam pembelajaran
Membantu siswa untuk
51
Model PembelajaranConcept Attainment
Prestasi belajarpeserta didik
Model Pembelajaran Kelemahan Kelebihan Tanpa pemahaman
mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
mempelajari bagaimana cara untuk mentransfer pengetahuan mereka kedalam masalah dunia nyata.
F. Kerangka Pemikiran
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar,
karena kegiatan berlajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari
proses belajar.
Untuk mencapai prestasi belajar, peserta didik sebagaimana yang diharapkan,
maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain faktor
yang terdapat dalam diri peserta didik (intern) dan faktor-faktor yang terdiri dari luar
peserta didik (ekstern).
Guru berperan sebagai fasilitator yang berusaha menciptkan kondisi belajar
mengajar yang efektif dan menyenangkan. Salah satunya yaitu dengan cara memilih
model pembelajaran yang melibatkan peserta didik aktif selama proses pembelajaran
berlangsung.
Dalam penelitian ini penulis mencoba membandingkan proses pembelajaran
yang menggunakan modal pembelajaran concept attainment dengan problem based
learning terhadap prestasi belajar peserta didik. Kedua model pembelajaran ini dipilih
karena mempunyai kesamaan dalam upaya mengaktifkan peserta didik selama proses
belajar.
52
G. Hipotesis
Prestasi belajar peserta didik yang menggunakan model pembelajaran concept
attainment lebih tinggi di bandingkan dengan yang menggunakan problem based
learning pada mata pelajaran IPA materi Alat Pernapasan Ikan kelas V SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis Tahun Pelajaran 2012/2013.
53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti terdiri dari dua variabel, yaitu variabel X (Model
Pembelajaran Concept Attainment dan Problem Based Learning) dan variabel Y
(prestasi belajar)
Definisi operasional tiap variabel adalah:
1. Concept Attainment menurut Bruner, Goodnow dan Austin seperti yang
dikutip Russamsi Martomidjojo (2009 : 1) menyatakan bahwa
pembelajaran concept attainment adalah mencari dan mendaftar attribute-
attribute yang dapat digunakan untuk menetapkan contoh-contoh (exemplars)
dan bukan contoh-contoh (non-exemplars) dari berbagai kategori.
54
2. Problem Based Learning adalah metode pendidikan yang mendorong peserta
didik untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk
mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah
digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan peserta didik sebelum mulai
mempelajari suatu subjek. Problem based learning menyiapkan peserta didik
untuk berfikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan
menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
3. Prestasi belajar menurut Purwadarminto seperti yang dikutip Russamsi
Martomidjojo (2009 : 1) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil
yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu
terhadap hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian terdiri dari populasi dan sampel. Populasi adalah keseluruhan
subyek penelitian (Arikunto, 1993 : 102). Hal ini sejalan dengan pendapat Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi (1989 : 152) bahwa "populasi ialah jumlah
keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga". Sedangkan sampel adalah
sebagian atau wakil populasi yang diteliti ( Arikunto, 1993 : 04).
Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas V SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis, yang terbagi dalam 2
rombel,rombel A berjumlah 25 orang dan B berjumlah 25 orang. sedangkan sampelnya
sama dengan jumlah populasi, karena jumlah populasi kurang dari 100.
55
C. Prosedur Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
berhubungan dengan data yang berupa angka, yang bersumber dari data tes dan studi
dokumentasi, yang pada tataran berikutnya dianalisis melalui uji statistika.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksprerimen. Metode eksperimen adalah
penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian
serta diadakannya kontrol terhadap variabel tertentu.
3. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
berkaitan dengan data yang berupa angka, sedangkan data kualitatif berkaitan dengan
data yang berupa non angka.
4. Sumber Data
Data kuantitatif bersumber dari tes tertulis, sedangkan data kualitatif bersumber
dari teknik observasi.
5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah mengamati secara langsung terhadap proses pembelajaran
ilmu pengetahuan alam (IPA) materi Alat Pernapasan Ikan di kelas V SDN III
Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis. Dengan observasi ini
data penelitian bisa langsung dilihat dan diamati secara lebih jelas. Teknik ini juga
56
KelompokEksperimen
KelompokEksperimen
dimaksudkan untuk mengamati benda-benda yang ada di lokasi penelitian, seperti
sarana dan prasarana, data tertulis. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk
meyakinkan bahwa pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan model yang
diterapkan yaitu model pembelajaran concept attainment dan problem based
learning.
b. Tes
Tes adalah pemberian sejumlah pertanyaan atau soal yang harus di isi oleh
sejumlah peserta didik (responden), biasa gunakan untuk menguji sampai sejauh
mana kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran. Dalam penelitian
ini tes digunakan untuk memperoleh data tentang prestasi belajar mata pelajaran IPA
materi Alat Pernapasan Ikan di SDN III Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis. Jenis tesnya adalah tulisan. Dengan adanya tes, prestasi belajar
peserta didik akan terlihat dengan jelas.
6. Desain Penelitian
Desain penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini
Periode 1 Periode 2
Pra Eksperimen Post Eksperimen
57
Dipelajari
dengan
observasi
pengukuran
dsb
Dipelajari
kembali
dengan
cara yang
sama
X1 Variabel X2 Eksperimen b = X2 – X1
KelompokEksperimen
KelompokEksperimen
Diharapkan bahwa kelompok eksperimen akan mengalami perubahan karena
akibat variabel eksperimen bila dibandingkan keadaan sebelum dan sesudahnya,
jadi X2 ≠ X1. Sebaliknya kelompok kontrol tidak mengalami perubahan, jadi X21 =
X11 maka b ˃ b1.
7. Instrumen Pengumpul Data
Sejalan dengan teknik pengumpulan data di atas, maka alat pengumpul
data/instrumennya adalah:
1) Teknik observasi menggunakan instrumen lembar observasi/pengamatan,
digunakan untuk mengamati proses pembelajaran di kelas.
2) Teknik tes menggunakan instrumen tes yang berupa item-item soal tertulis yang
harus dijawab oleh peserta didik.
Sebelum tes diujikan, terlebih dahulu soal-soal tesnya diujicobakan pada peserta
didik yang sudah pernah mempelajari materi alat pernapasan ikan. Hal ini dilakukan
dalam upaya untuk melihat hasil uji validitas dan reliabilitasnya. Adapun Uji validitas
dan reliabilitas ini adalah sebagai berikut:
a. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesalahan sesuatu instrumen (Arikunto, 2006: 168).
58
b1 = X21 - X1
1X11
Tidak X21
b = beda
Untuk menghitung koefisien validitas menggunakan rumus produk moment
dengan angka kasar (Erman. 2003: 120), sebagai berikut :
r xy=n∑ xy−(∑ x )(∑ y )
√(n∑ x2−(∑ x )2 )(n∑ y2−(∑ y )2
Keterangan :
r xy = Koefisien korelasi antara variabel x dengan y
n = Banyaknya peserta tes
x = Skor setiap butir soal
y = Skor total butir soal
Guilford (Erman, 2003 : 154) mengklasifikasikan interprestasi korelasi sebagai
berikut :
0,90 ≤ rxy ≤ 1,00 VValiditas sangat tinggi (sangat baik)
0,70 ≤ rxy < 0,90 Validitas tinggi (baik)
0,40 ≤ rxy < 0,70 Validitas sedang (cukup)
0,20 ≤ rxy < 0,40 Validitas rendah (kurang)
0,00 < rxy < 0,20 Validitas sangat rendah, dan
rxy ≤ 0,00 Tidak valid
59
Selanjutnya untuk menguji signifikansi koefisien korelasi r dilakukan uji t pada
α = 0,05 dan dk = n – 2 dengan rumus:
t= r √n−2
√1❑−r2
Keterangan:
t = Nilai t hitung
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah responden
Jika t hitung>t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan valid.
Jika t hiktung<t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan tidak valid.
b. Uji Reliabilitas
Erman (2003: 153) menyatakan bahwa reliabilitas suatu alat evaluasi
dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten,
ajeg). Hasil pengukuran akan tetap sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda,
waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda pula.
Rumus untuk mencari koefisien reliabilitas soal tes digunakan rumus Alpha
yang menurut Erman (2003: 154) yaitu :
r11=( nn−1 )(1−
∑ S i2
S t2 )
Keterangan :
60
r11 = Koefisien reliabilitas
n = Banyaknya soal
∑ S i2
= Jumlah varians skor
St2
= Varians skor total
Klasifikasi interpretasi koefisien korelasi menurut Guilford (Erman, 2003 : 139) sebagai
berikut :
r11 < 0,20 = Derajat reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤r11 < 0,40 = Derajat reliabilitas rendah
0,40 ≤r11 < 0,70 = Derajat reliabilitas sedang
0,70 ≤r11 < 0,90 = Derajat reliabilitas tinggi
0,90 ≤r11 ≤ 1,00 = Derajat reliabilitas sangat tinggi
D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Banyak penelitian yang memerlukan perbandingan antara dua keadaan atau
tepatnya dua populasi. Misalnya membandingkan dua cara mengajar, dua cara produksi,
daya sembuh dua macam obat dan lain sebagainya. Untuk keperluan ini akan digunakan
dasar distribusi sampling mengenai selisih stastistik misalnya selisih rata-rata dan selisih
61
proporsi (Sudjana, 2005:238). Penelitian ini membandingkan prestasi belajar peserta
didik antara yang melalui penggunaan model pembelajaran concept attainment dan
problem based learning.
Dengan demikian penelitian ini menggunakan uji persamaan dua rata-rata
sebagai berikut:
t= X 1−X 2
s√ 1n1
+ 1n 2
s2=(n 1−1 ) s 2
1❑
+(n2−1 ) s 22
❑
Keterangan:
t = Nilai t hitung
x = Rata-rata
s = Simpangan baku
n = Jumlah responden
Jika t hitung > t tabel, maka hipotesis kerja (Hi) diterima atau hipotesis nol (H0)
ditolak. Jika t hitung < t tabel, maka hipotesis kerja (Hi) ditolak atau hipotesis nol (H0)
diterima.
62
n 1+n 2−2
BAB IV
DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. KARAKTERISTIK OBJEK PENELITIAN
1. Identitas Sekolah
a) Nama Sekolah : SD Negeri 3 Gunungcupu
Nomor Statistik Sekolah : 101021402033
Alamat Sekolah : Dusun Lenggorsari
Desa Gunungcupu
Kecamatan Sindangkasih
Kabupaten Ciamis
Propinsi Jawa Barat
63
Kodepos 46261
Tahun Pendirian : 1972
Kualifikasi akreditasi : B ( Baik )
b) Kepala Sekolah :
Nama lengkap : PADIL BASTAMAN, S.Pd.SD.
NIP : 196112061982011002
Pangkat/Gol.Ruang : Pembina IV a
Pendidikan Terakhir : S1
2. Keadaan Guru
Tabel 4.1
Keadaan Guru
IjazahGuru PNS Guru Bantu Guru Sukwan JumlahL P L P L P L P JML
S1 3 2 - - 1 - 4 2 6D3 - - - - - - - - -D2 - 3 - - - 1 - 4 4
SLTA - 1 - - 1 - 1 1 2Jumlah 3 6 - - 1 1 5 7 12
3. Keadaan Peserta Didik
Tabel 4.2
Keadaan Peserta Didik
No. TINGKATJumlah Rombel
JUMLAH SISWAJUMLAHLaki-
lakiPerempuan
1 I 2 30 26 562 II 1 11 21 32
64
3 III 2 30 18 484 IV 1 18 15 335 V 2 22 28 506 VI 2 24 29 53
Jumlah 10 136 139 274
4. Keadaan Sarana dan Prasarana
Tabel 4.3
Keadaan Sarana dan Prasarana
No Jenis Sarana / FasilitasKeadaan
JumlahBaik Sedang Rusak
1 Ruang Kepala Sekolah - 1 - 12 Ruang Guru - 1 - 13 Ruang Belajar *) 5 3 - 84 Ruang Perpustakaan 1 - - 15 Ruang UKS 1 - - 16 Mushola - 1 - 17 WC Guru - 1 - 18 WC Murid - 2 - 2
No Jenis Sarana / FasilitasKeadaan
JumlahBaik Sedang Rusak
9 Gudang - - 1 110 Bangku siswa - 15 - 1511 Meja Siswa 25 95 7 12712 Kursi Siswa 50 145 25 22013 Lemari 2 5 7 1414 Meja Guru 10 - 2 1215 Kursi Guru 7 8 - 1516 Papan Tulis - 10 2 1217 Kursi Tamu 1 - - 118 Rak Buku - 2 - 2
B. HASIL PENELITIAN
1. Data Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA
Data-data hasil belajar IPA yang dikumpulkan dalam penelitian dari hasil belajar
peserta didik pada pembelajaran yang berbeda, yaitu pembelajaran yang menggunakan
65
model pembelajaran concept attainment dan menggunakan model problem based
learning. Data tersebut dapat dilihat di tabel dan histogram berikut :
Tabel 4.4
Data Hasil Belajar IPA yang menggunakan Model Pembelajaran Concept Attainment
NO
NAMA SISWAMODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT
1 A1 902 A2 803 A3 904 A4 805 A5 1006 A6 907 A7 808 A8 909 A9 9010 A10 9011 A11 100NO
NAMA SISWAMODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT
12 A12 8013 A13 9014 A14 9015 A15 9016 A16 9017 A17 9018 A18 9019 A19 10020 A20 7021 A21 10022 A22 7023 A23 8024 A24 9025 A25 90
n 2200
Tabel 4.5
66
Data Hasil Belajar IPA yang menggunakan Model Pembelajaran Problerm Based
Learning
NO
NAMA SISWAMODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING
1 B1 802 B2 903 B3 804 B4 705 B5 806 B6 907 B7 908 B8 809 B9 9010 B10 9011 B11 9012 B12 9013 B13 90NO
NAMA SISWAMODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING14 B14 9015 B15 9016 B16 8017 B17 10018 B18 8019 B19 7020 B20 10021 B21 10022 B22 6023 B23 9024 B24 9025 B25 70
n 2130
2. Distribusi Frekuensi Variabel Concept Attainment
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Variabel Concept Attainment
67
CA
2 8,0 8,0 8,0
5 20,0 20,0 28,0
14 56,0 56,0 84,0
4 16,0 16,0 100,0
25 100,0 100,0
70
80
90
100
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Descriptive Statistics
25 70 100 88,00 8,16
25
CA
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
CA
100,090,080,070,0
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Std. Dev = 8,16
Mean = 88,0
N = 25,00
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa 14 orang peserta didik mendapatkan nilai
90. Dengan demikian nilai yang paling banyak muncul adalah angka 90. Sedangkan
yang paling sedikit muncul adalah angka 70 dengan perolehan peserta didik hanya
dua orang yang mendapatkan angka tersebut.
Distribusi frekuensi di atas dapat dilihat secara grafik pada gambar berikut ini:
Grafik 4.1
Distribusi Frekuensi Variabel Concept Attainment
a. Deskripsi Statistik Variabel Concept Attainment
Tabel 4.7
Deskripsi Statistik Variabel Concept Attainment
68
One-Sample Test
53,889 24 ,000 88,00 84,63 91,37CAt df Sig. (2-tailed)
MeanDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Test Value = 0
PBL
1 4,0 4,0 4,0
3 12,0 12,0 16,0
6 24,0 24,0 40,0
12 48,0 48,0 88,0
3 12,0 12,0 100,0
25 100,0 100,0
60
70
80
90
100
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa nilai minimum sebesar 70,
maksimum sebesar 100, rata-rata (mean) sebesar 88,00, dan standar deviasi
sebesar 8,16.
b. Uji t Variabel Concept Attainment
Tabel 4.8
Uji t Variabel Concept Attainment
Berdasar t hitung (53,889) lebih dari t tabel (1,711). Dengan demikian terdapat
pengaruh yang signifikan model pembelajaran Concept Attainment terhadap hasil
belajar
3. Distribusi Frekuensi Variabel Problem Based Learning
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Variabel Problem Based Learning
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa 12 orang peserta didik mendapatkan nilai
90. Dengan demikian nilai yang paling banyak muncul adalah angka 90. Sedangkan
yang paling sedikit muncul adalah angka 60 dengan perolehan peserta didik hanya
1 orang yang mendapatkan angka tersebut.
69
CA
100,090,080,070,060,0
14
12
10
8
6
4
2
0
Std. Dev = 10,05
Mean = 85,2
N = 25,00
Descriptive Statistics
25 60 100 85,20 10,05
25
CA
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Distribusi frekuensi di atas dapat dilihat secara grafik pada gambar berikut ini:
Grafik 4.2
Distribusi Frekuensi Variabel Problem Based Learning
a. Deskripsi Statistik Variabel Problem Based Learning
Tabel 4.10
Deskripsi Statistik
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa nilai minimum sebesar 60,
maksimum sebesar 100, rata-rata (mean) sebesar 85,20 dan standar deviasi sebesar
10,05.
b. Uji t Variabel Problem Based Learning
Tabel 4.11
Uji t Variabel Problem Based Learning
Test Value = 0
t df Sig. (2-tailed)Mean
Difference
95% ConfidenceInterval of the
DifferenceLower Upper
PBL 42,389 24 ,000 85,20 81,05 89,35
70
Berdasar T hitung (42,389) lebih dari t tabel (1,711). Dengan demikian terdapat
pengaruh yang signifikan model pembelajaran Problem Based Learning terhadap
hasil belajar.
4. Perbandingan antara Hasil Belajar Concept Attainment dengan Problem
Based Learning
Analisis Uji-t
Group Statistics
Kelas N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
MP Concept Attainment Eksperimen 12 88.33 7.177 2.072
Kontrol 13 87.69 9.268 2.571
PP Based Learning Eksperimen 12 85.00 6.742 1.946
Kontrol 13 85.38 12.659 3.511
71
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig.
(2-
tailed)
Mean
Differen
ce
Std.
Error
Differen
ce
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
MP
Concept
Attainme
nt
Equal
variances
assumed
.251 .621 .192 23 .849 .641 3.336 -6.260 7.543
Equal
variances not
assumed
.194 22.361 .848 .641 3.302 -6.200 7.482
MPP
Based
Learning
Equal
variances
assumed
4.489 .045 -.094 23 .926 -.385 4.109 -8.885 8.115
Equal
variances not
assumed
-.096 18.593 .925 -.385 4.014 -8.799 8.030
Dari hasil analisis tersebut diperoleh nilai thitung sebesar 0,194 dan df = 25.
Sehingga dengan menggunakan taraf signifikansi 1% (α = 0,01) dan derajat
kebebasan (df/dk = 25-2=23) akan dicari harga dari Equal variances not assumed,
ternyata harga t tersebut terdapat dalam tabel (t Distribution Critikal Values) yaitu
22,361
72
Ternyata diperoleh t tabel sebesar 22,36. Hasil ini membuktikan bahwa thitung
lebih kecil dari pada t tabel , yakni thitung 0,194 < t tabel 22,36. Dengan demikian
hipotesis yang penulis ajukan, yaitu penggunaan model pembelajaran concept
attainment (variabel X), dengan model pembelajaran problem based learning
(variabel Y) terhadap pelajaran IPA materi alat pernapasan ikan memiliki
perbedaan yang positif.
Terlihat t hitung dari Equal variances assumed adalah 0,251 dengan
probobalitas 0,621. Karena 0,251 < 0,621 maka Ho dtolak. Dapat disimpulkan
penggunaan model pembelajaran concept attainment (variabel X), dan model
pembelajaran problem based learning (variabel Y). ternyata perbedaanya sangat
efektif/signifikan.
C. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini penulis menerapkan model pembelajaran concept attainment
pada kelas VA dengan jumlah peserta didik sebanyak 25 orang. Model pembelajaran
concept attainment didesain untuk menganalisis konsep, mengembangkan konsep,
pengajaran konsep dan untuk menolong peserta didik menjadi lebih efektif dalam
mempelajari konsep-konsep. Model pembelajaran concept attainment merupakan
integrasi yang efisien untuk mempresentasikan informasi yang telah terorganisir dari
suatu topik yang luas menjadi topik yang lebih mudah dipahami untuk setiap
stadium perkembangan konsep. Model pembelajaran concept attainment ini dapat
memberikan suatu cara menyampaikan konsep dan mengklarifikasi konsep-konsep
serta melatih peserta didik menjadi lebih efektif pada pengembangan konsep, hal ini
73
sesuai dengan pernyataan Joycc seperti yang dikutip Russamsi Martomidjojo
(2009:1) bahwa “pembelajaran concept attainment mempertajam dasar keterampilan
berfikir”.
Model pembelajaran problem based learning diterapkan di kelas VB dengan
jumlah peserta didik sebanyak 25 orang. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru
menciptakan lingkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting
dan relevan (bersangku paut) bagi peserta didik, dan memungkinkan siswa
memperoleh pengalaman belajar yang telah realistik (nyata). Model pembelajaran
problem based learning memberikan landasan terjadinya pembelajaran yang lebih
hidup, karena dengan menerapkan problem based learning pembelajaran
menerapkan pengetahuan dan keterampilan, bukan hanya menerima saja.
Berdasarkan pengertian dari dua model pembelajaran di atas, di ketahui bahwa
dengan menggunakan model pembelajaran concept attainment peserta didik menjadi
lebih efektif dalam mempelajari konsep-konsep dan mengembangkan konsep.
Sedangkan dengan menggunakan model pembelajaran problem based learning,
peserta didik di hadapkan pada masalah dan dituntut untuk dapat memecahkan
masalah tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Data perolehan nilai peserta didik yang menggunakan model pembelajaran
concept attainment menunjukan bahwa 14 orang peserta didik mendapatkan
nilai 100, 14 orang mendapat nilai 90, 5 orang mendapatkan nilai 80 dan 2 orang
mendapat nilai 70. Dengan demikian nilai yang paling banyak muncul adalah
74
angka 90, sedangkan yang paling sedikit muncul adalah angka 70. Berdasarkan
deskripsi statistik variabel menunjukan bahwa nilai minimum sebesar 79,
maksimum sebesar 100, rata-rata (mean) sebesar 88,00. Standar deviasi sebesar
8,16, t hitung (53,889) lebih dari t tabel (1,711).
2. Data perolehan nilai peserta didik yang menggunakan problem based learning
menunjukan bahwa 3 0rang peserta didik mendapat nilai 100, 12 orang
mendapat nilai 90, 6 orang mendapat nilai 80, 3 orang mendapat nilai 70 dan 1
orang mendapat nilai 60. Dengan demikian nilai yang paling banyak muncul
adalah 90, sedangkan yang paling sedikit muncul adalah 60. Berdasarkan
deskripsi variabel menunjukan bahwa nilai minimum sebesar 60, maksimum
sebesar 100, rata-rata (mean) sebesar 85,20. Standar deviasi sebesar 10,05, t
hitung (42,389) lebih dari t tabel (1,711).
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar dengan concept
attainment lebih besar di banding problem based learning yaitu dengan perolehan
nilai rata-rata sebesar 88,00 lebih dari problem based learning yang perolehan
nilainya 85,20.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan
75
1. Pembelajaran dengan menggunakan model concept attainment memberikan
suatu cara menyampaikan konsep dan mengklarifikasi konsep-konsep serta
melatih peserta didik menjadi lebih efektif dalam pengembangan konsep
sehingga nilai rata-rata hasil belajar mata pelajaran IPA kelas V a yaitu 88,00.
2. Pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning,
menghadapkan peserta didik pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan
dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki sehingga nilai rata-rata hasil
belajar mata pelajaran IPA kelas V b sebesar 85,20.
3. Perbedaan penggunaan model pembelajaran concept attainment dengan
problem based learning bisa dilihat dari nilai t hitung concept attainment
(53,889) lebih besar dibandingkan dengan t hitung problem based learning
(42,389), rata-rata nilai peserta didik yang menggunakan concept attainment
adalah (88,00) sedangkan yang menggunakan problem based learning adalah
(85,20). Melalui uji t kedua data prestasi belajar concept attainment dan
problem based learning, diperoleh nilai t hitung sebesar 0,194 sedangkan t
tabel 22,36. Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran
concept attainment (variabel X), dengan model pembelajaran problrm based
learning (variabel Y) terhadap pelajaran IPA materi alat pernapasan ikan
memiliki perbedaan yang positif.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran dalam penelitian ini :
76
1. Guru diharapkan mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk
memilih model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi yang akan
diajarkan sehingga dapat hasil belajar.
2. Guru hendaknya lebih sering memilih dan menetapkan model pembelajaran
yang memungkinkan peserta didik lebih aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai..
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakakah setelah
menggunakan model pembelajaran yang diterapkan memberikan hasil dan
perbedaan yang lebih baik lagi pada topik maupun mata pelajaran yang lain
dan meningkatkan motivasi belajar yang lebih baik bagi peserta didik.
JADWAL PENELITIAN
No. Kegiatan Bulan..............................2012April Mei Juni Juli
77
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41 Penyusunan proposal2 Penyusunan instrument 3 Bimbingan proposal4 Semester proposal5 Perbaikan proposal6 Bimbingan BAB I-III7 Perbaikan BAB I-III8 Pelaksanaan penelitian9 Penulisan skripsi10 Bimbingan BAB IV11 Revisi skripsi12 Sidang skripsi13 Perbaikan skripsi
78