Upload
charezo
View
3.965
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ganteng
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan referat Ilmu Kandungan dan Kebidanan yang
berjudul “Kegawatdaruratan Obstetri”. Referat ini disusun sebagai bagian dalam rangka
memenuhi salah satu tugas kami sebagai mahasiswa kedokteran yang mengikuti program
studi profesi dokter di bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia Periode 11 Juni 2012 – 4 Agustus 2012.
Saya juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak yang telah
membantu, kepada yang terhormat konsulen kami dr. Tigor P Simajuntak, Sp. OG, sehingga
referat ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak kekurangan
baik dari segi penulisan maupun keterbatasan referensi, oleh karena itu kritik dan saran saya
harapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna dan memberikan pengetahuan bagi
kita dalam mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan dengan tepat apabila menemukan
kasus ini di kemudian hari.
Jakarta, Juli 2012
Alni Dwi Cahyani
0861050002
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................................... 1
Daftar isi ................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
BAB II ISI
1. Kegawatdaruratan Pada Preeklampsia dan Eklampsi ……………….………….... 4
2. Kegawatdaruratan Pada Perdarahan …………………………………………...... 15
3. Kegawatdaruratan Pada Emboli Air Ketuban …………………………………....29
4. Kegawatdaruratan Pada Distosia Bahu …………………………………………..32
5. Kegawatdaruratan Pada Penyakit Jantung………………………………………..33
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 36
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Didunia, setiap wanita meninggal setiap menit setiap harinya karena komplikasi pada
kehamilan. Kegawatdaruratan obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janinnya. Terdapat
beberapa penyebab kegawatdaruratan obstetri yang dapat menyebabkan kematian ibu, janin
dan bayi baru lahir antara lain (1) eklampsia; (2) perdarahan; (3)distosia bahu; (4) emboli air
ketuban; (5) penyakit jantung.
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetrik secara dini sangat penting agar
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Kesalahan ataupun keterlambatan dalam
menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan
masalah utama (diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat,
dan tenang tidak panik. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan
cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan
menangani pasien harus tetap diperhatikan.
Pada referat ini penulis akan membahas kasus kegawatdaruratan obstetri mulai dari
definisi hingga penatalaksanaan kasus tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kegawatdaruratan Pada Pre-eklampsia dan Eklampsia
1. Pre-eklampsia
1.1 Definisi
Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat
vasispasme dan aktivasi endotel.1
Preeklampsia memperlihatkan gejala hipertensi, edema, dan proteinuri. Pada
umumnya, preeklampsia timbul sesudah minggu ke-20 dan paling sering terjadi pada
primigravida muda. Jika tidak diobati atau diakhiri oleh persalinan, dapat menjadi
eklampsia.2
1.2 Insidensi 3
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 0,51% - 38,4%. Preeklampsia di seluruh dunia
diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 14% (50.000-75.000) kematian maternal setiap
tahunnya. Angka kejadian preeklampsia di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5% dari semua
kehamilan, dengan gambaran insidensinya 23 kasus preeklampsia ditemukan per 1.000
kehamilan setiap tahunnya. Sementara itu di tiap-tiap negara angka kejadian preeklampsia
berbeda-beda, tapi pada umumnya insidensi preeklampsia pada suatu Negara dilaporkan
antara 3-10 % dari semua kehamilan.
1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
1. Primigravida.
2. Riwayat preeclampsia/ eklampsia pada keluarga.
3. Obesitas.
4. Penyakit ginjal.
5. Diabetes mellitus.
4
6. Hiperplasentosis: Kehamilan kembar, mola hidatidosa, dan hidrops fetalis.current
Berbagai teori yang dikemukakan mengenai faktor yang berperan dalam penyakit ini,
antara lain:
1. Faktor imunologis, endokrin, atau genetik. Hal ini disasarkan atas pengamatan bahwa
penyakit ini lebih sering ditemukan pada:
a. Primigravida.
b. Hiperplasentosis.
c. Kehamilan dengan inseminasi donor.
d. Penurunan konsentrasi komplemen CD4.
e. Wanita dengan fenotip HLA DR4.
f. Adanya aktivasi sistem komplemen netrofil dan makrofag atau diantara
kelompok atau keluarga tertentu.
2. Faktor nutrisi.
Ada yang mengemukakan bahwa penyakit ini berhubungan dengan beberapa keadaan
kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak
tak jenuh "Poly Unsaturates Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya.
3. Faktor Endotel
Teori jejas endotel akhir-akhir ini banyak dikemukakan sehubungan dengan
peranannya dalam mengatur keseimbangan antara kadar zat vasokonstriktor
(tromboksan, endotelin, angiotensin, dan lain-lain) serta pengaruhnya pada sistem
pembekuan darah.
Reaksi imunologi, peradangan, ataupun terganggunya keseimbangan radikal
bebas dan antioksidan banyak diamati sebagai penyebabnya vasospasme dan
kerusakan/ jejas endotel.2
1.4 Patofisiologi2
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot
polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/ jejas endotel, yang kemudian akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin,
dan lain-lain) dan vasodilator (nitritoksida, prostatsiklin, dan lain-lain) serta gangguan pada
sistem pembekuan darah.
5
1.5 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ditegakkan apabila pada seorang wanita hamil dengan umur
kehamilan 20 minggu atau lebih, ditemukan gejala hipertensi, proteinuria, dan edema.2
Kriteria minimum:
TD ≥140/90 mmHg setelah gestasi 20 minggu.
Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥+1 pada dipstick.
Peningkatan kepastian preeklampsia:
TD≥160 mmHg.
Proteiuria 2,0 g/24 jam atau ≥+2 pada dipstick.
Kreatinin serum >1,2 mg/dl.
Trombosit <100.000/mm3.
Hemolisis mikroangiopati (LDH meningkat).
SGPT (ALT) dan SGOT (AST) meningkat.
Nyeri kepala menetap atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya.
Nyeri epigastrium menetap.
Nyeri epigastrium atau kuadaran kanan atas tampak merupakan akibat nekrosis, iskemia,
edema hepatoseluler. Nyeri khas ini seringkali disertai dengan peningkatan enzim hati dalam
serum, dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.1
1.6 Penatalaksanaan
Profilaksis
Diagnosis dini dapat dilakukan selama prenatal care. Pasien hamil hendaknya diperiksa 2
minggu sekali setela bulan ke-6 dan sekali seminggu pada bulan-bulan akhir. Pada
pemeriksaan kehamilan secara rutin, harus ditentukan tekanan darah, penambahan berat
badan, dan ada atau tidaknya edema dan proteinuri.2
Beberapa cara pencegahan preeklampsia:
1. Perbaikan nutrisi:
a. Diet rendah garam
b. Diet tinggi protein
6
c. Suplemen kalsium
d. Suplemen magnesium, seng, dan asam linoleat
2. Intervensi farmakologis:
a. Obat antihipertensi
b. Aspirin
c. Heparin
d. Diuretikum
e. Vitamin E
Preeklampsia Ringan
Penderita preeklampsia ringan masih akan mengalami perbaikan dengan cara istirahat dan
pemberian sedatif.
Penderita preeklampsia ringan idealnya harus dirawat inap, namun perawatan dapat
pula dilakukan diluar rumah sakit dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Banyak istirahat (berbaring/ tidur miring).
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
c. Sedatif ringan, berupa fenobarbital (3x30 mg per oral) atau diazepam (3x2 mg per
oral) selama 7 hari.
d. Roboransia.
e. Penderita dianjurkan untuk melakukan kunjungan setiap minggu.
Penderita dianjurkan rawat inap jika setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak
mengalami perbaikan, berat badan meningkat >2kg/ minggu selama 2 kali berturut-turut, dan
ditemukan salah satu atau lebih gejala preeklampsia berat.
Preeklampsia Berat
Pederita preeklampsia berat dapat ditangani secara aktif maupun konservatif. Pada perawatan
konservatif, kehamilan dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal,
sedangkan pada perawatan aktif kehamilan segera diakhiri didahului oleh pemberian
pengobatan medisinal.
A. Perawatan aktif:
7
a. Indikasi
Bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini:
a. Kehamilan >37 minggu.b. Adanya tanda-tanda/ gejala impending eklampsia.c. Setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medisinal, terjadi kenaikan teknaan
darah.d. Setelah 24 sejak dimulainya pengobatan medisinal, tidak ada perbaikan.
1. Terdapat gawat janin.2. HELLP syndrome.
b. Pengobatan Medisinal
1. Pemberian melalui intravena secara kontinyu (dengan menggunakan infusion pump):
a. Dosis awal:
4 gram (20 cc MgSO4 20%) dilarutkan dalam 100 cc Ringer Laktat, diberikan selama 15-20 menit.
b. Dosis pemeliharaan:
10 gram (50 cc MgSO4 20%) dalam 500 cc cairan Ringer Laktat, diberikan dengan kecepatan 1-2 gr/ jam (20-30 tetes/ menit).
2. Pemberian melalui intramuskular secara berkala:a. Dosis awal:
4 gram MgSO4 (20 cc MgSO4 20%) diberikan secara i.v dengan kecepatan 1 gram/ menit.
b. Dosis pemeliharaan:Selanjutnya diberikan MgSO4 4 gram (10 cc MgSO4 40%) i.m setiap 4 jam. Tambahkan 1 cc lidokain 2% pada setiap pemberian i.m untuk mengurangi perasaan nyeri dan panas.
Syarat-syarat pemberian MgSO4:
Harus tersedia antidotum, yaitu Kalsium Glukonas 10% (1gram dalam 10 cc).
Frekuensi pernapasan >16 kali per menit.
Produksi urine >30 cc per jam (0,5 cc/ kg BB/ jam).
Refleks patella positif.
MgSO4 dihentikan pemberiannya apabila:
Ada tanda-tanda intoksikasi.
Setelah 24 jam pascapersalinan.
8
Dalam 6 jam pascapersalinan, sudah terjadi perbaikan (normotensif).
b. Diazepam diberika apabila tidak tersedi MgSO4 dapat diberikkan injeksi diazepam
10 mg IV, yang dapat diulangi setelah 6 jam.
3. Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada:
Edem paru
Payah jantung kongestif
Edem anarsaka
4. Obat antihipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg dan diastolik ≥
110 mmHg, obat-obatan dapat dipilih antara lain:
a. Hidrazaline 2 mg IV, dilanjutkan dengan 100 mg dalam 500 cc NaCl secara titrasi
sampai tekanan darah sistolik <170 mmHg dan diastolik <110 mmHg.
b. Klonidin 1 ampul dalam 10 cc NaCl IV, dilanjutkan dengan titrasi 7 ampul dalam
500 cc cairan A2 atau ringer langtat.
c. Nifedipin per oral 3-4 kali 10 mg.
d. Obat-obat lain, seperti: metildopa, etanolol, dan lobelatol.
e. Obat antihipertensi hanya diberikan jika tekanan darah sistolik >180 mmHg dan
diastolik >110 mmHg.2
5. Kardiotonika:
Indikasi diberikannya bila ada tanda-tanda payah jantung, jenis yang diberikan:
Codilanid-D.
c. Pengelolaan Obstetrik
Cara terminasi kehamilan:
Belum inpartu:
1. Induksi persalinan:
Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop ≥6
2. Seksio sesarea bila:
a. Syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi tetes oksitosin.
9
b. Delajam jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase aktif.
Sudah inpartu:
a. Kala I
Fase Laten; Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop ≥ 6.
Fase Aktif: 1. Amniotomi.
2. Bila his tidak adekuat, diberikan tetes oksitosin.
3. Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap,
dilakukan seksio sesarea.
b. Kala II
Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.
B. Pengelolaan Konservatif
a. Indikasi: Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending
eklampsia dengan keadaan janin baik.
b. Pengobatan medisinal: Sama dengan perawatan medisinal pengelolaan secara aktif.
Dosis awal MgSO4 diberikan secara i.m ( MgSO4 40%, 8 gram i.m). pemberian
MgSO4 dihentikan bial sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam.
2. Eklampsia
2.1 Definisi 2
Eklampsia adalah kejang pada wanita hamil, dalam persalinan, atau masa nifas yang disertai
dengan gejala-gejala preeklampsia.
Gejala eklampsia sama dengan preeklampsia ditambah kejang dan atau koma. Pada
umumnya eklampsia baru timbul sesudah minggu ke-20 dan makin tua kehamilan makin
besar kemungkinan timbulnya penyakit tersebut.
2.2 Klasifikasi2
10
Menurut saat terjadinya, eklampsi dapat dibedakan atas:
1. Eklampsia antepartum, yang terjadi sebelum persalinan.
2. Eklampsia intrapartum, yang terjadi sewaktu persalinan.
3. Eklampsia pascapersalinan, yang terjadi setelah persalinan.
Eklampsia pascapersalinan dapat terjadi segera (early pospartum), yaitu setelah 24 jam
sampai 7 hari pascapersalinan atau lambat (late postpartum) setelah 7 hari pascapersalinan
selama nifas (jarang).
2.3 Insidensi
Frekuensinya bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain. Frekuensi rendah
umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik, penyediaan
tempat tidur antenatal yang cukup dan penanganan preeklampsia yang sempurna.
Di negara-negara berkembang frekuensi dilaporkan berkisar 0,3 – 0,7 %, sedangkan
di negara-negara maju berkisar 0,05 – 0,1 %. 4
Sebagian besar kasus (90%) muncul pada trimester ketiga kehamilan hingga 48 jam
pascasalin, sementara sisanya sebelum kehamilan 20 minggu. Dilaporkan ada kasus
eklampsia yang terjadi 23 hari pascasalin. Data di Amerika Serikat, eklampsia merupakan
penyebab kematian kedua kematian ibu.5
2.4 Etiologi
Penyebab eklampsia belum sepenunya diketahui benar. Oleh karena itu eklampsia
merupakan kelanjutan atau stadium akhir dari preeklampsia.
2.5 Patofisiologi2
Dasar patofisiologi untuk eklampsia adalah vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan
hambatan aliran darah dan menerangkan proses terjadinya hipertensi arterial. Kemungkinan
vasospasme juga membahayakan pembuluh darah sendiri karena peredaran darah dalam vasa
vasorum terganggu sehingga terjadi kerusakan vaskuler. Pelebaran segmental yang biasanya
disertai penyempitan arteriol segmental mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan
vaskuler mengingat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen penbuluh darah yang
melebar dan teregang. Lebih lanjut, angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel
endotel dengan membuatnya berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran
11
sel antar endotel sehingga melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah seperti
trombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel. Pada keadaan normal, wanita
hamil memiliki resistensi terhadap efek pressor dari pemberian angiotensin II. Sedangkan
pada wanita yang menderita preeklampsi, kepekaan pembuluh darah yang meningkat
terhadap hormon pressor ini dan hormon lainnya meningkat. Hal inilah yang mendahului
awal terjadinya hipertensi karena kehamilan.
2.6 Diagnosis
Kejang eklampsia merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa dan berujung pada
kematian. Pandangan kabur, nyeri ulu hati, nyeri kepala, adalah gejala yang sering
dikeluhkan pasien sebelum terjadi kejang/ eklampsia.5
Pada eklampsia, tekanan darah biasanya tinggi yaitu sekitar 180/110 mmHg. Denyut
nadi kuat dan berisi, kecuali pada keadaan yang sudah buruk. Oleh karena itu, denyut nadi
menjadi kecil dan cepat. Demam yang tinggi menunjukkan prognosis yang buruk. Pernapasan
biasanya cepat dan berbunyi. Pada keadaan yang berat bisa terjadi sianosis.
Proteinuria hampir selalu ada bahkan kadang-kadang sangat banyak, edema juga
biasanya ada.
Eklampsia antepartum biasanya akan diikuti oleh persalinan setelah beberapa waktu
kemudian. Meskipun demikian, dapat juga pasien berangsur – angsur membaik, tidak kejang
lagi, dan kemudian sadar, sedangkan kehamilannya terus berlangsung.
Umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya
gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di
epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas dan hiperefleksia.
Serangan kejang eklampsia dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Tingkat invasi (tingkat permulaan): Mata terpaku, kepala dipalingkan ke satu pihak,
dan kejang – kejang halus terlihat pada muka. Tingkat ini berlangsung beberapa detik.
2. Tingkat kontraksi (tingkat kejang tonis): Seluruh badan menjadi kaku, kadang-
kadang terjadi epistotonus. Lamanya 15 sampai 20 detik.
3. Tingkat konvulsi (tingkat kejang klonis): Terjadinya kejang yang hilang timbul,
rahang membuka dan menutup begitu pula mata, otot-otot muka dan otot badan
berkontraksi dan berelaksasi berulang. Kejang ini sangat kuat hingga pasien dapat
12
terlempar dari tempat tidur atau lidahnya tergigit. Ludah yang berbuih bercampur
darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru, berangsur-angsur kejang
berkurang, dan akhirnya berhenti. Lamanya ±1 menit.
4. Tingkat koma: Setelah kejang klonis ini, pasien jatuh dalam koma. Lamanya koma ini
bervariasi dari beberapa menit sampai berjam – jam. Jika pasien sadar kembali, ia
tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi (amnesi retrograd).
Setelah beberapa waktu, dapat terjadi serangan baru dan kejadian yang diterangkan di
atas berulang lagi, kadang-kadang 10-20 kali.2
2.7 Penatalaksanaan(2,1)
1. Profilaksis.
Upaya pencegahan eklampsia dilakukan dengan cara menemukan kasus preeklampsia
sedini mungkin dan mengobatinya dengan adekuat.
Tindakannya dapat berupa:
a. Identifikasi faktor predisposisi.
b. Menemukan gejala awal hipertensi, edema, dan proteinuria.
c. Rujukan yang tepat.
d. Perawatan jalan atau inap.
e. Pengobatan medisinal.
f. Pengobatan obstetrik untuk mengakhiri kehamilannya.
2. Pengobatan.
Secara teoritis eklampsia adalah penyakit yang disebabkan oleh kehamilan. Oleh
karena itu, pengobatan yang terbaik adalah megakhiri kehamilannya, misalnya dengan
seksio sesarea atau secara pervaginam.
Tujuan pengobatan eklampsia adalah:
a. Mencegah timbulnya kejang selanjutnya.
b. Menurunkan/ kontrol tekanan darah secara berangsur-angsur dan tidak boleh
terlalu banyak:
Tekanan darah tidak boleh lebih turun dari 20% dalam 1 jam.
Tekanan darah tidak boleh kurang dari 140/90 mmHg.
c. Mengatasi hemokonsentrasi dan memperbaiki diuresis dengan pemberian cairan,
misalnya cairan ringer laktat. Karena air keluar dari pembuluh darah dan
13
menimbulkan edema, terjadi hipovolemi. Hipovolemi ini menyebabkan oliguri
sampai anuri bahkan dapat menimbulkan syok.
Pemberian cairan harus hati-hati karena dapat menimbulkan hiperhidrasi dan
edema paru. Oleh karena itu produksi urine tidak boleh kurang dari 30cc/jam dan
tekanan vena sentral tidak boleh melebihi 6-8 cm air.
d. Mengatasi hipoksia dan asidosis dengan mengusahakan agar penderita
memperoleh O2 dan mempertahankan kebebasan jalan napas.
e. Mengakhiri kehamilan tanpa memandang umur kehamilan setelah kejang dapat
diatasi.
Pengobatan Medisinalis
1. Obat Antikejang
Magnesium sulfat diberikan secara parenteral adalah obat antikejang yang efektif
tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya. Obat ini
dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskular dengan ijeksi
intermiten. Jadwal dosis untuk preeklampsia berat sama seperti untuk eklampsia. Bila
timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2 gr MgSO4 20% i.v selama 2 menit,
sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 gr hanya
diberikan sekali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka
diberikan amobarbital 3-5 mg/ kg/ bb i.v pelan-pelan.
2. Perawatan Serangan Kejang dan Koma
Bersama dengan bagian saraf, perawatan penderita dilakukan:
1. Di kamar isolasi yang cukup terang dan tenang.
2. Masukkan sudip lidah ke dalam mulut penderita.
3. Kepala direndahkan, daerah orofaring diisap.
4. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.
5. Pada status konvulsivus, dapat dipertimbangkan pemberian suntikan Benzodiazepin 1
amp (10 mg) i.v perlahan-lahan, Fenitoin untuk mencegah kejang ulangan dengan
dosis 3 x 300 mg, atau Diazepam.
6. Diberikan infus cairan manitol 20%. Pemberian dilakukan selama 5 hari.
7. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan memakai Glasgow Coma Scale.
14
3. Pengobatan Obstetrik:
a. Sikap terhadap kehamilan
Semua kehamilan dengan eklampsia dan impending eklampsia harus diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
Gejala impending eklampsia:
Penglihatan kabur
Nyeri ulu hati yang hebat
Nyeri kepala hebat
b. Saat pengakhiran kehamilan
Terminasi kehamilan pasien eklampsia dan impending eklampsia adalah dengan
seksio sesarea.
Persalinan pervaginam dipertimbangkan dengan keadaan-keadaan berikut:
Pasien inpartu kala II
Sindroma HELLP
Komplikasi serebral (CVA, stroke)
Saat pengakhiran kehamilan ditetapkan, yaitu apabila sudah terjadi pemulihan
hemodinamik dan metabolism ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih dari
keadaan-keadaan berikut:
1. Setelah pemberian obat antikejang terakhir.
2. Setelah kejang terakhir.
3. Setelah pemberian obat-obat antihipertensi terakhir.
4. Pasien mulai sadar (responsif).
B. Kegawatdaruratan Pada Perdarahan
1. Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum didefinisikan sebagai perdarahan dari jalan lahir setelah kehamilan
minggu ke-20 dengan insidensi 2,5%.6
1.1 Plasenta Previa
1.1.1 Definisi
15
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim sehingga
menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.
1.1.2 Klasifikasi 2
1. Plasenta previa totalis atau komplit : adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum.
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri
internum.
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium
uteri internum. Jarak yang lebih 2cm dianggap plasenta letak normal.
Sejalan dengan membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah rahim dan
meluasnya segmen bawah rahim, plasenta yang berimplantasi di segmen bawah rahim ikut
berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut bermigrasi.
1.1.3 Insidensi
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas 35
tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal. Kecacatan
uterus ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah
dilapotkan insidennya berkisar 1,7 % sampai 2,9 %. Di negara maju insidensinya lebih
rendah yaitu kurang dari 1 % mungkin disebaban oleh berkurangnya wanita hamil paritas
tinggi.1
1.1.4 Etiologi dan Faktor Resiko2
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang endometriumnya kurang
baik, misalnya karena atrofi endometrium atau kurang baiknya vaskularisasi desidua.
Keadaan ini bisa ditemukan pada:
1. Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek.
2. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium.
3. Umur lanjut (diatas atau sama dengan 35 tahun).
4. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (seksio sesarea,
kuret, dll.)
16
5. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau pemakai kokain.
Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan dikompensasi dengan hipertrofi
plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok berat (lebih dari 20 batang sehari).
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh menjadi
luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang tumbuh meluas akan mendekati atau
menutupi ostium uteri internum.
Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari tempat implantasi
yang lebih baik, yaitu tempat yang lebih rendah dekat ostium uteri internum.
1.1.5 Patofisiologi
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya trimester ketiga atau mungkin lebih awal, tapak
plasenta yang terbentuk dari desidua basalis akan mengalami pelepasan oleh karena
terbentuknya segmen bawah rahim. Dengan melebarnya istmus uteri menjadi segmen bawah
rahim, maka plasenta yang berimplantasi sedikit banyak akan mengalami laserasi akibat
pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta. Demikian pula pada waktu serviks mendatar
dan membuka ada bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi
perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervillus dari plasenta.
Oleh karena fenomena pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan plasenta previa pun
pasti akan terjadi. Perdarahan di tempat itu relative dipermudah dan diperbanyak oleh karena
segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot
yang dimilikinya sangat minimal, akibatnya pembuluh darah di tempat itu tidak tertutup
secara sempurna.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding segmen bawah rahim yang mudah
diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada
dinding uterus. Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta
perkreta yang pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli dan ke rectum
bersama plasenta previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang
sebelumnya bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang mudah rapuh dan robek oleh
sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi
meningkatkan kejadian perdarahan pascapersalinan pada plasenta previa, mislanya dalam
kala tiga karena plasenta sukar melepas dengan sempurna atau setelah uri lepas karena
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi dengan baik. 3
17
1.1.6 Manifestasi Klinik6
1. Gejala yang terpenting ialah perdarahan uterus keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri.
Perdarahan bersifat berulang-ulang karena terjadi pergeseran antara plasenta dan
dinding rahim. Oleh karena itu, regangan dinding rahim dan tarikan pada serviks
berkurang, tetapi dengan majunya kehamilan regangan bertambah lagi dan
menimbulkan perdarahan baru.
2. Bagian terendah janin sangat tinggi karena plasenta terletak pada kutub bawah rahim
sehingga bagian terendah tidak dapat mendekati pintu atas panggul.
3. Pada plasenta previa, ukuran panjang rahim berkurang maka pada plasenta previa
lebih sering disertai kelainan letak jika perdarahan disebabkan oleh plasenta previa
lateral dan marginal serta robekannya marginal, sedangkan plasenta letak rendah,
robekannya beberapa sentimeter dari tepi plasenta.
1.1.7 Diagnosis7
Anamnesis perdarahan tanpa keluhan, perdarahan berulang. Pemeriksaan klinis untuk
mengetahui kelainan letak dari perabaan fornises apakah teraba bantalan lunak pada
presentasi kepala.
Sebelum tersedia darah dan kamar operasi, tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam
karena pemeriksaan dalam ini dapat menimbulkan perdarahan yang lebih membahayakan.
Diagnosis plasenta previa ditegakkan dengan pemeriksaan Ultrasonografi (USG).
Dengan USG transabdominal ketepatan diagnosisnya mencapai 95-98%. Dengan USG
transvaginal ketepatannya bisa lebih tinggi lagi. Dengan bantuan USG, diagnosis plasenta
previa atau letak rendah sering kali sudah dapat ditegakkan sejak dini sebelum kehamlan
trimester ketiga.
1.1.8 Penatalaksanaan8
Penatalaksanaan plasenta previa terbagi menjadi 2 golongan, yaitu:
18
1. Konservatif:
Syarat:
Keadaan umum ibu dan anak baik
Perdarahan sedikit
Usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan tafsiran berat janin kurang dari
2500.
Tidak ada his persalinan.
2. Aktif:
a. Persalinan pervaginam:
Dilakukan pada plasenta letak rendah, yang didiagnosis dengan melakukan
pemeriksaan USG.
b. Persalinan perabdominam:
Dilakukan pada keadaan plasenta previa perdarahan banyak, plasenta previa totalis,
plasenta previa lateralis posterior, plasenta letak rendah dengan letak anak sungsang.
1.2 Solusio Plasenta
1.2.1 Definisi2
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta dari tempat implantasinya
yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum janin lahir.
1.2.2 Klasifikasi2
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan
luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, solusio plasenta
sedang, solusio plasenta berat.
Solusio plasenta ringan: Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%. Jumlah darah
yang keluar biasanya kurang dari 250 ml. Darah yang keluar terlihat seperti haid.
Gejala-gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali dari darahnya
yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
Solusio plasenta sedang: Luas plasenta yang lepas telah melebihi 25%, tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml
19
tetapi belum mancapai 1000 ml. keluarnya darah ditandai dengan nyeri perut yang
terus menerus, DJJ menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
Solusio plasenta berat: Luas plasenta yang terlepas sudah lebih dari 50% dan jumlah
darah yang keluar mencapai 1000 ml atau lebih. Keadaan umum penderita buruk
disertai syok, dan hampir semua kasus janinnya telah meninggal. Komplikasi
koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai oleh oliguri biasanya telah ada.
1.2.3 Insiden1
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan dan
merupakan penyebab dari 20-35% kematian perinatal.
Solusio plasenta seringkali berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat
sebesar 1 diantara 8 kehamilan.
1.2.4 Etiologi dan Faktor Resiko2
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa hal yang
mempengaruhi terjadinya solusio plasenta:
1. Hipertensi esensialis atau preeklampsia
2. Tali pusat yang pendek
3. Trauma
4. Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior.
5. Uterus yang sangat mengecil (hidroamnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir)
Disamping itu, terdapat juga pengaruh dari umur lanjut, multipara, ketuban pecah
dini, defisiensi asam folat, merokok, alcohol, kokain, mioma uteri.
1.2.5 Patofisiologi7
Solusio plasenta dimulai dengan perdarahan dalam desidua basalis, terjadilah hematom dalam
desidua yang mengangkat lapisan-lapisan diatasnya. Hematom ini makin lama makin besar
sehingga bagian plasenta menjadi terlepas.
Akhirnya hematom mencapai bagian pinggir plasenta dan mengalir keluar antara
selaput janin dan dinding rahim.
20
1.2.6 Manifestasi Klinis
1. Perdarahan yang disertai nyeri, juga diluar his.
2. Anemi dan syok.
3. Rahim keras seperti papan dan terdapat nyeri tekan karena isi rahim bertambah
dengan darah yang berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang (uterus en
bois).
4. Palpasi sukar karena rahim keras.
5. Fundus uteri makin lama makin naik.
6. Pada Vagina Toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi rahim
bertambah).
7. Sering terdapat proteinuri karema disertai preeklampsia.
1.2.7 Diagnosis
a. Pemeriksaan USG: Didapatkan implantasi plasenta normal dengan gambaran
hematom retroplasenter.
b. Pemeriksaan Laboratorium:
Bed side clotting test untuk menilai fungsi pembekuan darah atau penilaian
tidak langsung kadar fibrinogen.
Pemeriksaan darah untuk fibrinogen, trombosit, waktu perdarahan, waktu
pembekuan.
1.2.8 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Solusio Plasenta Sedang/ Berat:
1. Perbaiki keadaan umum
a. Resusitasi cairan/ transfusi darah.
Berikan darah lengkap segar
Atau salah satu dari plasma segar, PRC, konsentrasi trombosit.
Atasi kemungkinan gangguan perdarahan.
2. Melahirkan janin :
a. Janin hidup ( gawat janin) : dilakukan seksio sesarea, kecuali bila pembukaan
sudah lengkap. Pada keadaan ini, dilakukan amniotomi, drip oksitosin
àekstrasi forceps.
b. Janin mati : dilakukan persalinan pervaginam. Dengan amniotomi, drip
oksitosin lalu bisa dilakukan seksio sesarea.
21
1.3 Vasa Previa
1.3.1 Definisi
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di dalam selaput ketuban
dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian sampai ke dalam insersinya di tali pusat.
Perdarahan terjadi bila selaput ketuban yang melewati pembukaan serviks robek atau pecah
dan vaskular janin itu pun ikut terputus.
1.3.2 Insidensi
Perdarahan antepartum pada vasa previa menyebabkan angka kematian janin yang tinggi
yaitu 33% sampai 100%. Keadaan ini sangat jarang kira-kira 1 dalam 1.000 sampai 5.000
kehamilan.
1.3.3 Faktor Resiko
Faktor resiko antara lain pada plasenta letak rendah, kehamilan pada fertilisasi in vitro, dan
kehamilan ganda terutama triplet. Semua keadaan ini berpeluang lebih besar bahwa vaskular
janin dalam selaput ketuban melewati ostium uteri. Pembuluh darah janin yang melewati
pembukaan serviks tidak terlindung dari bahaya terputus ketika ketuban pecah dalam
persalinan dan janin mengalami perdarahan akut yang banyak.
1.3.4 Diagnosis dan Penatalaksanaan
Vasa previa dapat didiagnosa dengan melakukan pemeriksaan penunjang USG. Bila terduga
terdapat perdarahan fetal, untuk konfirmasi dibuat pemeriksaan APT atau Kleihauer- Betke .
pemeriksaan ini didasari darah janin yang tahan terhadap suasana alkali.
Bila diagnosis dapat ditegakkan sebelum persalinan, maka tindakan terpilih untuk
menyelamatkan janin adalah melalui bedah sesar.
2. Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan
selesai atau setara dengan pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml pada
histerektomi sesarea elektif, dan 3000 sampai 3500 ml untk histerektomi sesarea secara
darurat.1 Kejadiannya sekitar 4-7% dari seluruh kehamilan.6
22
2.1 Atonia Uteri
2.1.1 Definisi
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana uteri tidak dapat berkontraksi dengan baik
dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi
tidak terkendali. Umumnya perdarahan karena atonia uteri terjadi dalam 24 jam pertama post
partum.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia
uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan
adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi
selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko (8, 1)
Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi terdapat
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu:
1. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
2. Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a. Kehamilan ganda
b. Poli hidramnion
c. Makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan
uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
3. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim
tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
4. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
23
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali
teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera
setelah plasenta lahir.
5. Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma
intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan
menghalangi uterus berkontraksi.
6. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan
buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah
untuk berkontraksi.
7. Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan
menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan
untuk melakukan kontraksi.
8. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan
gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi
yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
9. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi
relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi
tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan
untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai
sedativa atau penenang.
10. Induksi atau augmentasi persalinan
24
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat
proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
11. Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata
merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus
uterus terhambat untuk berkontraksi.
12. Riwayat atonia uteri sebelumnya
13. Pemijatan dan penekanan uterus yang sudah berkontraksi secara terus menerus.
2.1.3 Manifestasi Klinis8
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak
merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini
terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku
darah.
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan
menggumpal
4. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual dan lain-lain.
2.1.4 Diagnosis2
Diagnosis ditegakkan bila setelah janin dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan
banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih
dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis,
25
maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam
kalkulasi pemberian darah pengganti.
2.1.5 Pencegahan8
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih
dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen
aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan
transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,
dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala
III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10
unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
2. Sementara dilakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan kompresi
bimanual.
3. Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih tertinggal,
lakukan evakuasi sisa plasenta) dan tidak ada laserasi jalan lahir.
4. Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan.
5. Lakukan uji pembekuan darah untuk konfirmasi pembekuan darah.
26
2.2 Inversio uteri
2.2.1 Definisi
Inversio uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar
lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit atau komplit.8
Pada inversio uteri komplit, uterus berputar balik sehingga fundus uteri terdapat
dalam vagina dengan selaput lendirnya sebelah luar. Sedangkan jika fundus hanya menekuk
ke dalam dan tidak keluar ostium uteri internum disebut inversio uteri inkomplet.
2.2.2 Insidensi
Inversio uteri merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan obstetrik yang jarang terjadi (1 per
2000 – 12.000 kelahiran) namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat
dengan angka kematian yang tinggi (15 – 70%).7
2.2.3 Etiologi
Tiga faktor diperlukan untuk terjadinya inversio uteri:
1. Tonus otot yang lemah.
2. Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan dengan tangan,
dan tarikan pada tali pusat)
3. Kanalis servikalis yang longgar.
Inversio uteri juga dapat terjadi saat batuk, bersin, atau mengejan, juga karena perasat
crede.2
2.2.4 Manifestasi Klinis2, 8
1. Syok
2. Fundus uteri sama sekali tidak teraba atau teraba tekukan pada fundus.
3. Pada vulva tampak fundus uteri yang terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
melekat.
4. Perdarahan yang banyak dan bergumpal.
2.2.5 Penatalaksanaan2,1
27
1. Atasi syok dengan pemberian infus Ringer Laktat dan bila perlu beri tranfusi darah.
2. Reposisi manual dalam anestesi umum sesudah syok teratasi. Jika plasenta belum
lepas, baiknya plasenta jangan dilepaskan dulu sebelum uterus di reposisi karena
dapat menimbulkan banyak perdarahan. Setelah reposisi berhasil, berikan drip
oksirosin dan dapat juga dilakukan kompresi bimanual. Pemasangan tampon rahim
supaya tidak tejadi lagi inversion.
3.
4. Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan tindakan operatif.
2.3 Retensio Plasenta
2.3.1 Definisi
Retensio plasenta adalah gagalnya kelahiran plasenta dalam waktu 30 menit setelah janin
lahir. 7
2.3.2 Insidensi 7
Muncul 2-3% pada persalinan pervaginam cukup bulan. Bertambah 3 kali lipat pada
persalinan dengan umur kehamilan 26 minggu, bertamah 20 kali lipat pada persalinan 20
minggu. Pada negara berkembang insiden retensio plasenta mencapai (16-17%).
2.3.3 Etiologi2
1. Patologi anatomi:
Plasenta akreta, inkreta, perkreta.
2. Fungsional:
His kurang kuat
Plasenta adhesive
2.3.4 Manifestasi Klinis
Pada proses kala III didahului dengan tahap pelepasan plasenta akan ditandai oleh perdarahan
pervaginam atau plasenta sudah sebagian lepas, tetapi tidak keluar pervaginam, sampai
akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum
terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas
28
dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan harus diantisipasi dengan segera
melakukan plasenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
2.3.5 Diagnosis
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan
activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting
Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan
yang disebabkan oleh faktor lain.
2.3.6 Penatalaksanaan
Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut,
sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral
dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral. Bila
kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas ferosus 600
mg/hari selama 10 hari.
Lakukan eksplorasi ke dalam uterus dengan cara manual, jika terdapat sisa plasenta
yang tertinggal segera lakukan teknik pelepasan plasenta secara manual. Jika penyebabnya
adalah plasenta akreta, maka dilakuakan tindakan operatif.
3. Kegawatdaruratan Karena Emboli Air Ketuban
3.1.1 Definisi
Emboli cairan amnion adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh
hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumptif secara mendadak.1
29
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal, sehingga tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut
dan syok.
Emboli air ketuban dapat menyebabkan kematian mendadak atau beberapa waktu
sesudah persalinan.4
3.1.2 Insidensi
Kejadian ini sangat jarang terjadi dengan insidensi terjadi sekitar 1:8000 dan 1:30.000, dan
kematian 30 menit setelahnya terjadi sekitar 85%. Walaupun fasilitas dan para tenaga
kesehatan sudah paham untuk upaya mengurangi angka kematian tersebut, hal ini masih
menjadi kasus dengan peringkat 3 teratas yang menyebabkan kematian ibu di Inggris.7
Sindrom ini mutlak jarang dijumpai, namun sindrom ini merupakan penyebab umum
kematian ibu. Dengan menggunakan data 1,1 juta kelahiran di California, diperkirakan
frekuensinya sekitar 1 kasus per 20.000 kelahiran.1
3.1.3 Etiologi
Setelah ketuban pecah ada kemungkinan bahwa air ketuban masuk ke dalam vena-vena
tempat plasenta, endoserviks, atau luka lainnya (seksio sesarea, luka rahim). Air ketuban
mengandung lanugo, verniks caseosa, dan mekonium yang dapat menyebabkan emboli.2
Faktor predisposisi emboli air ketuban meliputi multiparitas wanita gemuk, persalinan
dengan oksitosin drip, persalinan presipitatus ( kurang dari 3 jam ), pada IUFD atau Missed
abortion. Bila dilihat dari waktu kejadiannya, kondisi ini dapat terjadi pada persalinan
spontan, persalinan dengan seksio sesarea, dan waktu terjadi rupture.
3.1.4 Patofisiologi
Cairan amnion masuk ke sirkulasi akibat rusaknya sawar fisiologis yang biasanya terdapat
antara kompartemen ibu dan janin. Melalui laserasi pada vena endoservikalis selama dilatasi
serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah.
Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama
vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena kontraksi yang luar biasa, air
ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun
cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa
30
ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok
anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah
di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran
darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-
paru.
Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme
arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri
berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia miocardium. Mengakibatkan gagal
jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin
memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan
atonia uteri dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder
mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Dalam hal ini
masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat
dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng
menginduksi koagulasi intravaskuler.
3.1.5 Manifestasi Klinis
Secara umum temuan klinik adanya emboli cairan ketuban adalah dispnu mendadak, sianosis,
kejang, kolaps kardiovaskular, respiratory arrest dan koma. Disritmia kardiak termasuk
disosiasi elektromekanik, bradikardi, ventrikular takikardia atau fibrilasi dan sistolik. Adanya
hipoksia serebri memungkinkan terjadinya manifestasi kejang tonik-klonik pada 10-18%
penderita emboli cairan ketuban. Manifestasi berupa gawat janin berupa bradikardi atau
deselerasi memanjang biasanya terjadi beberapa menit sebelum timbulnya gejala-gejala pada
ibu. 5
Sesak napas yang sekonyong-konyong, sianosis, edema paru, syok, dan relaksasi otot-
otot rahim dengan perdarahan pascapersalinan.
Syok terutama disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap adanya bahan-bahan air
ketuban dalam darah; terutama emboli mekonium bersifat letal. Juga terjadi koagulopati
karena disseminated intravascular clotting.4
31
3.1.6 Penatalaksanaan
Selama 40 tahun lebih, penatalaksanaan penderita dengan emboli cairan ketuban masih tetap
terbatas pada tindakan suportif saja. Koreksi hipoksia, koagulopati dan mempertahankan
sistem kardiovaskular sangat penting. Berikut adalah protokol penatalaksanaan untuk
menghadapi kasus-kasus emboli cairan ketuban:
Pemasangan intubasi sambil melakukan ventilasi oksigen konsentrasi tinggi (90-
100%) dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi untuk mempertahankan pO2 > 60
mmHg.
Akses intravena dengan memakai jarum besar, untuk jalur transfuse, cairan, produk-
produk darah dan obat-obatan.
Mempertahankan tekanan sistolik >90 mmHg dengan pemberian cairan saline secara
tepat untuk mencapai dosis preloading yang adekuat, dan pemberian ager pressor
seperti dopamine serta inotropik seperti digoksin.
Koreksi koagulopati dengan frozen plasma dan trombosit.
Monitoring DJJ, bila masih terdengar, seksio sesarea perimortem dapat dilakukan.
Koordinasi dan kerjasama dengan spesialis medik intensif atau subspesialis medik
yang berkaitan.
C. Kegawatdaruratan Distosia Bahu
3.1 Distosia Bahu
Merupakan penyulit yang berat karena sering kali baru diketahui saat kepala anak sudah lahir
dan tali pusat sudah terjepit anatra panggul dan badan anak.
Angka kejadian pada janin dengan berat >2500 gram adalah 0,15% sedangkan pada
janin dengan berat badan >4000 gram 1,7%.
Segera setelah kepala anak lahir dan terjadi distosia bahu harus segera dibuat
episiotomy mediolateral yang lebar dan anestesi yang adekuat. Kemudian bersihkan mulut
dan hidung anak.
Upaya melahirkan bahu dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
32
1. Panggil bantuan; Mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada saat ini
dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung kemih jika
penuh.
2. Lakukan episiotomy luas (mediolateral) untuk memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan di daerah suprapubis oleh pembantu penolong. Sementara penolong
menggerakan kepala anak ke bawah kea rah sacrum ibu untuk melepaskan bahu depan
yang tersangkut di bawah simfisis.
4. Perasat McRoberts. Menganjurkan ibu untuk memegang dan menarik kedua pahanya
kearah perutnya sambil meregangkan kedua pahanya ke kanan dan ke kiri. Sementara
penolong berusaha membebaskan bahu depan anak yang tersangkut dengan
menggerakan kepala anak ke bawah.
Manuver-manuver tersebut ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus
distosia bahu. Namu, bila maneuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat
dilakukan:
5. Perasat wood. Memutar bahu depan 180º sehingga bahu depan menjadi bahu belakang
dan bahu belakang yang sudah di putar ke depan akan lahir dibawah simfisis. Hal ini
dapat terjadi karena bahu belakang sudah turun lebih jauh dari bahu depan.
6. Berusaha melahirkan bahu belakang. Secara hati-hati melahirkan lengan belakang
dengan geakan lengan anak dengan tangan sedemikian rupa sehingga seolah-olah
lengan anak menyapu mukanya dan selanjutnya menyapu dadanya, dilanjutkan
dengan melahirkan lengan belakang. Kemudian bahu dipitar sehingga diameter
biakronialis mengisi diameter oblik dari pintu bawah panggul dan selanjutnya bahu
pun dilahirkan di bawah simfisis.
7. Dilakukan fraktur klavikula dan maneuver Zavanelli.
D. Kegawatdaruratan Karena Penyakit Jantung
Penyakit jantung terbanyak disebabkan oleh rheuma (90%) dan biasanya dalam bentuk
stenosis mitralis. Disamping itu dapat disebabkan oleh kelainan jantung kongenital dan
penyakit otot jantung.
Penyakit jantung pada wanita hamil baru diketahui jika ada dekompensasi, seperti :
sesak nafas, jantung yang berdebar-debar, sianosis, kelainan nadi, edema atau asites.
33
1.1 Diagnosis
Dokter biasanya mendiagnosis penyakit jantung atas adanya :
a. Bising diastolis atau bising sistolis yang kuat.
b. Pembesaran jantung pada gambar rontgen.
c. Adanya aritmia (bunyi jantung tidak teratur)
Pasien dengan penyakit jantung biasanya dibagi dengan 4 golongan, yaitu :
1: Pasien yang tidak usah membatisi aktivitas fisik.
2: Pasien yang harus membatasi aktivitas fisik. Jika melakukan pekerjaan
sehari-hari, akan terasa capai, jantung bedebar-debar, sesak napas.
3: Pasien harus sangat membatasi aktivitas fisik.
4: Pasien tidak bisa melakukan aktivitas fisik sama sekali.
1.2 Penatalaksanaan
Perawatan Antenatal
Konsultasi dan rawat bersama dengan bagian kardiologi, di ruang penyakit dalam.
Bila rawat jalan, kontrol setiap minggu, tiap kunjungan sekaligus memeriksakan diri
ke bagian kebidadanan dan kardiologi.
Dilakukan pemeriksaan EKG dan foto thorax, atau ECG bila perlu.
Setelah kehamilan 32 minggu, dilakukan pemeriksaan NST dan USG serial.
Pimpinan Persalinan
Dilakukan bersama bagian kardiologi
1. Induksi persalinan
Induksi dilakukan hanya atas indikasi obstetri. Tetes oksitosin akan meningkatkan
volume darah yang menyebabkan edem paru. Untuk mencegah hal tersebut dapat
diberikan diuretika.
2. Kala I
a. Perlu pemantauan ketat terdapat ibu maupun janin.
b. Bila diperlukan, dapat diberikan profilaksis digitalis dan antibiotic (dilakukan
konsultasi dengan bagian kardiologi)
34
c. Berikan oksigen bila terlihat adanya sianosis.
3. Kala II tergatung klasifikasi:
a. I : Persalinan spontan
b. II-IV :Cegah ibu mengedan dan selesaikan persalinan dengan ekstrasi
forceps, selama kala II harus didampingi kardiologi.
4. Kala III
a. Berikan oksitosin 10 iu i.m setelah bayi lahir
b. Berikan PRC jika diperlukan transfusi darah
c. Pada kasus tertentu diberikan profilaksis furosemid 40mg i.v
Masa nifas
Pada 24 jam pertma masa kehamilan lakukan pemantauan tanda-tenda terjadinya
dekompensasi.
Penaganan gagal jantung dalam persalinan
Segera baringkan ibu dalam posisi miring ke kiri untuk menjamin aliran darah ke uterus lalu
beri analgesi yang sesuai. Jika perlu oksitosin, berikan dalam jumlah konsentrasi yang tinggi
dengan tetesan rendah. Persalinan pervaginam dengan mempercepat kala II. Sedapat mungkin
hindari mengedan jika perlu lakukan episiotomy dan akhir persalinan dengan ekstrasi forceps.
Tangani gagal jantung dengan memberikan morfin 10 mg dalam dosis tunggal.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F.G., MacDonald P.C., Grant N.F., Leveno K.J., Gilstrap L.C., Hanskins
G.D.V., Clark S.L., Williams Obstetric, Ed. 21, EGC, Jakarta. 2006: 627-673, 687-759,
467-510.
2. Sastrawinata Sulaiman, Obstetri Patologi, Edisi 2. EGC, Jakarta. 2005. 112-120, 121-
170, 171-186.
3. DeCherney AH, Nathan L. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.
10th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2007: 318-326, 328-341.
4. h ttp://etd.eprints.ums.ac.id/14903/3/BAB_1.pdf
5. http://octariasaputra-referat.blogspot.com/2011/12/eklampsia.html
6. Krisnadi Sofie Rifayani, Anwar Anita Deborah, Alamsyah Muhammad. Obstetri
Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Jakarta: CV Sagung Seto; 2012:
23-38, 75-88.
7. Magowan Brian, Owen Philip, Drife James. Clinical Obstetrics & Gynaecology. 2rd ed.
UK: Elsevier Limited; 2009: 365-377.
8. Prawihardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Ed. 4. Jakarta: Bina Pustaka; 2008: 522- 579.
36