4
Koprol, Sejarah Sebuah Nama Sepantasnya jika sebuah nama disematkan kepada orok agar menjadi penunjuk harapan mulia. Setelah remaja banyak hal yang tidak dimengerti dan membuatnya bertanya-tanya, yang paling mengusik kenapa dia diberi nama Koprol. Beberapa sering kali bertanya justru yang banyak diterima semprotan dan umpatan ayahnya. Untuk kesekian kali ia pun bertanya kepada perempuan yang telah melahirkannya. Bahkan ibunya juga membisu seperti pur yang dipatok ayam, lenyap tak bersuara. Tak ada yang memberitahu alasan orang yang memberinya nama tersebut. Nampak nyata lambaian bayang daun yang terbelai-belai angin, seperti ritme lambai tangan gadis yang sedang menikmati pergumulan dengan pria siapa saja. Irama itu seolah mencela Koprol yang sedang berbingung dalam permenungan. “Tapi kenapa aku harus memikirkan sejarah namaku, toh diganti pun bisa”, pikirnya. Ia pun mengajukan diri kepada kedua orang tuanya “aku harus ganti nama”. Tapi setelah demo panjang lebar Ayahnya tidak setuju, “tidak semudah itu”. Koprol kembali lagi dalam kursi menung, “Sepertinya harus aku sendiri yang memulai pengubahan namaku. Tahun ini adalah saat mulai masuk Sekolah Menengah Atas, dan Ayah ingin sekolahku di kota besar. Kuawali dari sini saja agar nanti bisa kupakai nama baruku hingga aku kuliah dan sukses jadi pengusaha”, timang-timang pikirannya mengawang. “ingat, Prol.. kamu akan sukses dengan namamu” Ayahnya memberikan kata pelepasan untuk kepergian Koprol ke kota. Koprol diantarkan Pakdhenya ke Jakarta, ia sangat yakin Jakarta lah kota impian untuk mengubah namanya. Di perjalanan ia amati beberapa anak-anak jalanan yang memapah kotak berdawai ban bekas dengan lubang resonansi seadanya. Koprol berusaha menemukan kesadaran “betapa beruntungnya aku”. Tapi ada yang mengusiknya, kenapa anak-anak

CERPEN "koprol"

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Click! http://maghfurmuhammad.blogspot.com/

Citation preview

Page 1: CERPEN "koprol"

Koprol, Sejarah Sebuah Nama

Sepantasnya jika sebuah nama disematkan kepada orok agar menjadi penunjuk harapan mulia. Setelah remaja banyak hal yang tidak dimengerti dan membuatnya bertanya-tanya, yang paling mengusik kenapa dia diberi nama Koprol. Beberapa sering kali bertanya justru yang banyak diterima semprotan dan umpatan ayahnya. Untuk kesekian kali ia pun bertanya kepada perempuan yang telah melahirkannya. Bahkan ibunya juga membisu seperti pur yang dipatok ayam, lenyap tak bersuara. Tak ada yang memberitahu alasan orang yang memberinya nama tersebut.

Nampak nyata lambaian bayang daun yang terbelai-belai angin, seperti ritme lambai tangan gadis yang sedang menikmati pergumulan dengan pria siapa saja. Irama itu seolah mencela Koprol yang sedang berbingung dalam permenungan. “Tapi kenapa aku harus memikirkan sejarah namaku, toh diganti pun bisa”, pikirnya.

Ia pun mengajukan diri kepada kedua orang tuanya “aku harus ganti nama”. Tapi setelah demo panjang lebar Ayahnya tidak setuju, “tidak semudah itu”. Koprol kembali lagi dalam kursi menung, “Sepertinya harus aku sendiri yang memulai pengubahan namaku. Tahun ini adalah saat mulai masuk Sekolah Menengah Atas, dan Ayah ingin sekolahku di kota besar. Kuawali dari sini saja agar nanti bisa kupakai nama baruku hingga aku kuliah dan sukses jadi pengusaha”, timang-timang pikirannya mengawang.

“ingat, Prol.. kamu akan sukses dengan namamu” Ayahnya memberikan kata pelepasan untuk kepergian Koprol ke kota. Koprol diantarkan Pakdhenya ke Jakarta, ia sangat yakin Jakarta lah kota impian untuk mengubah namanya.

Di perjalanan ia amati beberapa anak-anak jalanan yang memapah kotak berdawai ban bekas dengan lubang resonansi seadanya. Koprol berusaha menemukan kesadaran “betapa beruntungnya aku”. Tapi ada yang mengusiknya, kenapa anak-anak itu nampak sangat riang seakan air mata tak pernah sekalipun meleleh dari sudut mata mereka. Dan mereka sangat girang hingga berjungkir balik di atas trotoar.

“Pakdhe, kenapa mereka kelihatan gembira sampai jungkir balik begitu?”

“O, itu, itu namanya koprol”“koprol, Pakdhe?”

Page 2: CERPEN "koprol"

“iya, koprol”“itu kan namaku, Pakdhe”“memang, itu namamu, masa’ kamu ndak pernah koprol jungkir balik

gitu?”“pernah sih Pakdhe.. hehe, o, itu namanya koprol ya Pakdhe”“lho ya iya”“sekarang aku tahu”

Koprol tak peduli lagi alasan kegirangan mereka. Yang ia aduk di kepala hanya terkaan-terkaan perihal namanya. Apa mungkin pemberian nama itu karena ia dilahirkan terbalik kaki yang keluar terlebih dahulu alias sungsang. Atau mungkin dulu ibunya atlet balet. Atau bisa jadi karena istilah “koprol” sedang marak ketika dia lahir. Tapi kenapa harus Koprol. Dan yang aneh lagi kenapa Ayahnya berpesan seperti itu sebelum ia berangkat. Ia tak henti-henti memutar bola-bola pikiran itu di otaknya, hingga sesekali bola-bola itu bergesekan dan berbenturan sampai menghambur.

Serasa singkat saja Koprol dan Pakdhenya tiba di tempat tujuan. Menyalami Budhe dan dua sepupu yang masih balita, mandi, sajadah maghrib lantas menidurkannya. Tak sadar matahari sisa subuh sudah memanjati jendela kamar. Koprol masih berkelimpungan, sementara Pakdhe dan Budhenya tak tega membangunkan, karena Koprol terlihat sangat kelelahan setelah perjalanan. Enggan tubuh dikompromikan dengan semangat nama. Iya, Koprol masih terus meranjangi tubuhnya. Pelupuk mata hanya ingatan ketika tertutup saat malam pertama ia di Jakarta.

Dinding yang memampang angka-angka menunjuk angka sepuluh dengan sudut sembilan puluh derajat arah duabelas. Searah dua orang berlenggang di halaman rumah Pakdhenya, dua pengamen komplek yang mungkin profesional. Bagaimana jika mereka pengintai yang hendak menyatroni rumah Padhenya. Ya.. siapa tahu, yang pasti itu tidak mungkin prasangka Koprol, karena dia sedang dalam bawah sadar. Yang jelas dua orang itu berbekal gitar sambil mengumbar suara parau. Toh dua orang itu sedah berlalu dan menyambangi pintu lain. Kelana yang berjalan dari rumah ke rumah menunggu uluran receh dari tangan-tangan yang menjulur dari dalam pintu.

Keadaaan sekitar rumah-rumah kiri dan kanan sangat lengang. Mungkin tinggal pembantu dan anjing penjaga yang tersisa. Sedang pemilik

Page 3: CERPEN "koprol"

rumah masing-masing telah sibuk di belakang meja kantor, termasuk sang Pakdhe.

“Prol, bangun Prol…!” teriak Budhe Koprol, tanpa jawaban.“Koprol, bangun, Jakarta menunggumu”

Mendengar kata Jakarta Koprol langsung bangkit. Dengan langkah seribu ia menuju kamar mandi. Ia ganti shalat Isya’ dan Subuh lalu meluncur ke ruang makan. Pandangannya mencari-cari Pakhenya.

“Pakdhe mana, Budhe?”“baru bangun kamu?, Pakdhemu sudah berangkat”“berangkat kemana, Budhe?”“ke kantor, besok kamu diantar sama Pakdhe ke sekolahmu”“sekolahku jauh nggak, Budhe?“satu kilo meter dari sini, nanti biar Pakdhemu yang ndaftarkan”

Dalam beberapa hal Koprol lebih suka melakukan sendirian. Iya, dia suka kesendirian. Tapi ada beberapa kegiatan yang ia rasa harus dilakukan dengan orang lain, termasuk urusan mendaftarkan sekolah. Lagipula di Jakarta, Pakdhenya lah yang menjadi orang tua walinya. Jam-jam berlalu, hingga pendiriannya untuk hanya berdiam di rumah tergoyahkan. Ia putuskan untuk berkeliling sekitar komplek. Dan lagi-lagi, sendirian. Setelah berjalan beberapa meter, ia menemukan sepi arena skateboard. Ia penasaran bagaimana rasanya berkoprol setelah itu adalah pengalaman masa kecil yang mudah ia lupakan. Ia memang sudah lelah mencari jawaban dengan bertanya. Kali ini ia ingin mendapatkan jawabannya sendiri.

“Trus gue harus koprol sambil bilang wow gitu?!” apa istimewanya koprol hingga iklan pun memakainya. Tapi tampaknya orang yang berkoprol di telivisi itu sedang merayakan suatu yang menyenangkan seperti tingkah anak-anak jalanan yang ia temui lalu. Dan ia pun paham, koprol atau lebih kelihatan berjungkir balik, adalah sebuah ekspresi atau seleberasi kegembiraan seseorang. Paling tidak, orang yang memberi nama untuknya punya tujuan agar Si Koprol selalu bahagia. Sebuah jawaban yang cukup menghibur.

Page 4: CERPEN "koprol"

Hingga pertanyaan selanjutnya tentang ada apa dengan pesan Ayahnya. Dan itu juga ia yang harus menemukan sendiri jawabannya, mungkin nanti.

Yogyakarta, 12 Maret 2012