Upload
brigita-manohara
View
121
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Nama : Brigita P. ManoharaNIM : 1406509901Mata Kuliah : Hukum Pidana & Kegiatan PerekonomianNo. Urut Kehadiran : 3 (tiga)Pengajar : Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIAPROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
TAHUN 2014
HADIAH BERUJUNG BUI
Jelang hari raya, baik Idul Fitri ataupun Natal, bingkisan atau parsel jadi suatu
hal yang lumrah diberikan kepada orang yang dihormati. Tetapi sekarang paradigma itu
mesti dirubah karena jika sembrono memberi hadiah, bisa jadi pidana penjaralah yang
justru menanti. Maksud baik memberi hadiah sebagai bentuk penghormatan, namun kini
lebih baik dipikirkan kembali lebih matang dari pada dugaan gratifikasi datang
menghampiri. Tentunya hal ini tidak diingini ketika ingin berbuat baik tapi justru tuntutan
ke pengadilan yang kita dapatkan. Lalu apa itu gratifikasi yang memungkinkan pemberi
atau penerima hadiah jadi penghuni hotel prodeo?
Kata gratifikasi berasal dari bahasa Belanda yakni gratificatie. Kata ini
kemudian diserap oleh bahasa Inggris menjadi gratification yang artinya hadiah. Hadiah
disini maksudnya berbeda dengan kata gift yang dalam bahasa Indonesia juga berarti
hadiah. Kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang “tipis”. Dalam Black’s Law
Dictionary, gratification adalah suatu gratuity, suatu balas jasa (a recompense) atau hadiah
(reward) atas suatu pelayanan atas keuntungan (benefit) yang diberikan dengan sukarela
tanpa adanya bujukan atau janji. Gratuity dijelaskan sebagai suatu yang diberikan dengan
tanpa biaya (gratis) atau tanpa perlu dibalas; suatu hadiah (gift); suatu yang ‘voluntary
given in return for a favor or especially a service. Sehingga termasuk didalamnya adalah
hadiah ( a bounty), tip, suap (bribe).
Akan menimbulkan kerancuan ketika perbedaan yang “tipis’ antara
gratification dan gift belum dijelaskan lebih lanjut. Secara sederhana, hadiah (gift)
merupakan pemberian barang atau jasa tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan
dalam bentuk apapun. Sementara gratifikasi adalah pemberian hadiah tetapi memiliki
maksud tertentu yang tersembunyi dalam pemberiannya. Jadi gratifikasi merupakan
pemberian hadiah dalam bentuk khusus karena ada tendensi lain yang dimaksudkan untuk
menanam jasa kepada penerimanya. Berdasarkan Pasal 12B (1) UU No.20 tahun 2001,
gratifikasi ialah pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas menginap, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Seluruh pemberian ini tentu bukan
hanya yang diberikan secara manual di dalam negeri, namun juga meliputi pemberian yang
dilakukan di luar negeri dengan bantuan sarana elektronik.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa beda gratifikasi dan suap? Pada
Black’s Law Dictionary suap (bribe) jika diartikan secara harafiah merupakan segala
sesuatu baik uang, barang, properti, jasa, sesuatu yang bernilai, atau keuntungan apapun,
honor, atau janji atau usaha untuk memberikan apa yang diminta, memberi ataupun
menerima dengan maksud korupsi guna mendorong melakukan tindakan yang berada
dalam pengaruh penerimanya, memberikan suara atau pendapat dari orang yang memiliki
jabatan publik sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa suap dilakukan sebelum penerimanya melakukan tindakan yang diharapkan oleh
pemberinya untuk segera dilaksanakan. Karena maksud dari dilakukannya suap adalah
agar penerima hadiah mau melakukan hal yang diharapkan pemberi hadiah. Sementara
gratifikasi lebih kepada pemberian dalam upaya menanam jasa, atau ucapan terima kasih
yang berdasarkan waktunya diberikan usai penerima hadiah melakukan hal yang
menguntungkan pemberi hadiah.
Aturan mengenai gratifikasi kini diatur dalam sejumlah Undang-Undang,
diantaranya Pasal 17 Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penindakan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Keppres Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa
Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Kesederhanaan Hidup, PP Nomor 30 Tahun 1980, Pasal 12 B dan 12 C UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Dalam atuan yang ada,
jelas disebutkan pelarangan memberikan atau menerima gratifikasi khususnya bagi para
pegawai pemerintah. Bahkan salah satunya mengatur agar mereka hidup sederhana.
Menjadi ironi ketika justru para pegawai pemerintah yang dalam aturannya diminta hidup
sederhana namun pada kenyataannya hidup bergelimangan harta. Hal inilah yang
kemudian memunculkan tanda tanya, dari mana para pegawai pemerintah ini bisa
mendapatkan harta yang sedemikan berlimpah, jika gaji yang didapat dari negara
kalkulasinya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Aturan yang ada ini memang
dibuat dengan sejumlah penyesuaian untuk mencegah terjadinya gratifikasi yang
memungkinkan para pegawai pemerintah khususnya melakukan penyelewengan
wewenang yang dimiliki.
Bukan merupakan hal mudah untuk membuat masyarakat berhenti
memberikan hadiah kepada orang yang mereka hormati termasuk para penyelenggara
negara dan pegawai pemerintah karena budaya menjadikannya hal yang lumrah di
Indonesia. Mengutip yang disampaika oleh Frans Hendra Winarta, anggota Komisi Hukum
Nasional dalam sebuah artikel. Ia menjelaska bahwa Indonesia seperti tertular budaya
Amerika Serikat yang suka memberi uang tip. Dan pernyataan senada juga disampaikan
Aktivis Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jeremiah Limbong yang
membenarkan dalam budaya Indonesia, ada perilaku gemar memberikan hadiah,
khususnya pada suku tertentu. Bahkan tidak memberi hadiah, atau bahkan tidak
mengundang saat pernikahan bisa dikucilkan pada suku tersebut.
Bisa jadi budaya memberi ini merupakan warisan jaman kerajaan yang
dilanjutkan di masa penjajahan ketika “upeti” biasa diberikan kepada pejabat daerah dan
pegawai kerajaan guna memudahkan usaha, ataupun pengurusan ijin untuk pekerjaan
tertentu. Secara etimologi, kata upeti merupakan serapan kata utpatti dari bahasa
sanksekerta. Upeti diartikan sebagai harta yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain
sebagai tanda ketundukan dan kesetiaan atau kadang tanda hormat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, upeti memiliki dua arti, yakni emas yang wajib dibayarkan oleh negara
kecil kepada raja atau negara yang berkuasa; dan uang dan sebagainya yang diberikan
kepada seorang pejabat dan sebagainya dengan maksud menyuap.
Tradisi upeti ini merupakan hasil dari feodalisme yang ada di negeri ini jauh
sebelum bangsa Indonesia lahir. Menjadi hal yang miris, ketika budaya yang sepatutnya
bisa dicegah keberlangsunganya, namun pada jaman penjajahan, budaya ini justru tumbuh
subur. Tentu bukan kemudian kita begitu saja menyalahkan penjajah yang menerapkan
feodalisme dan kolonialisme kepada bangasa ini, tetapi bagaimana kemudian merubah
paradigma yang ada dan mengakar ini. Tidak dipungkiri, uang yang diberikan oleh pihak
yang lemah kepada pihak yang lebih kuat ini biasanya digunakan untuk membiayai proyek
yang menguntungkan keduanya. Celakanya, apa benar proyek yang ada selalu bisa
membuat masyarakat secara umum menikmatinya? Atau justru mereka menjadi korban
akibat proyek yang berjalan tidak semestinya. Salah satu contoh mudahnya adalah ketika
akan dibangun jembatan, uang hasil upeti digunakan untuk membiayainya, tetapi karena
ada kesulitan dalam pengurusan ijin maka digunakan pula memberikan gratifikasi lebih
kepada pemilik daerah terkait agar proyek bisa berjalan. Ini tentu berdampak pada
berkurangnya anggaran pembangunan sehingga memungkinkan dikuranginya standart
minimum pembangunan jembatan. Dan implikasinya pun bisa meluas pada jatuhnya
korban jika jembatan ini bermasalah pasca digunakan. Sayangnya, meski jaman sudah
ebrubah dan Indonesia sudah menjadi negara Republik yang demokratis tradisi pemberian
upeti ini masih ditemui seperti hadiah pada pernikahan anak Presiden.
Tidak dielakkan, memberi hadiah adalah hal yang biasa di Indonesia, tetapi
aturan gratifikasi, menjadikan masyarakat mesti memilah siapa yang akan diberi, apa yang
akan diberikan, dan kapan memberikannya. Jika yang diberikan hanya sebatas kue ulang
tahun dengan nominal dibawah Rp.500 ribu tentu tidak perlu melapor ke KPK. Tetapi jika
yang diberikan adalah kue ulang tahun beserta kado berupa perhiasan berlian senilai
puluhan juta rupiah, maka sudah jadi kewajiban penerima hadiah untuk melaporkannya
jika tidak ingin diduga menerima gratifikasi atau suap.
Suka tidak suka, aturan ini ada dan sudah berlaku. Mau tidak mau karena ini
adalah aturan yang berifat mengikat dan memiliki sanksi pidana, tentu sudah jadi
kewajiban seluruh warga negara untuk mematuhinya. Jadi sudah selayaknya kita mawas
dalam memberi hadiah pada pegawai pemerintah, bukan hanya pejabat atau penyelenggara
negara. Karena bukan tidak mungkin hadiah akan berujung bui tak hanya bagi pemberi
namun juga penerimanya.