View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) merupakan salah satu BUMD
yang dimiliki pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1962
sebagai usaha milik Pemerintah Daerah (Pemda) yang memberikan jasa pelayanan
dan menyelenggarakan kemanfaatan umum di bidang air minum. Aktivitas
PDAM mulai dari memproduksi, mengolah, dan mendistribusikan air bersih ke
pelanggan.
Sebagai perusahaan daerah PDAM diberi tanggung jawab untuk
mengembangkan dan mengelola sistem penyedia air bersih serta melayani semua
kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau. PDAM bertanggung jawab
pada operasional sehari-hari, perencanaan aktivitas, persiapan dan implementasi
proyek, serta bernegosiasi dengan pihak swasta untuk mengembangkan pelayanan
kepada masyarakat (Akbar, 2010).
PDAM menjalankan orientasi tujuan ganda yaitu public service oriented,
dalam rangka menyelanggarakan kemanfaatan umum dan profit orinted untuk
mengakumulasikan pendapatan guna dimanfaatkan sebagai PAD. Dua orientasi
tersebut yaitu public mission dan profit mission merupakan dua sisi yang
kontradiktif dan sulit disatukan serta berjalan selaras bersama-sama. Kemanfaatan
umum akan dikorbankan jika laba yang diutamakan, dan sebaliknya target laba
akan dikorbankan jika kualitas pelayanan publik yang diprioritaskan.
2
Sebagai perusahaan yang produknya adalah barang publik (public good),
selayaknya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Namun untuk kelangsungan hidup sebagai suatu perusahaan daerah , terutama
sebagai sumber pendapatan asli daerah PDAM diarahkan sebagai pengelola
barang ekonomis (economic good). Demikian juga ketetapan undang-undang
pembentukan PDAM menggambarkan pengelolaan barang publik sebagai barang
semi ekonomis. Terlebih pada masa mendatang bila dikaitkan dengan kelangkaan
sumber air baku menjadikan air bersih sebagai barang yang bernilai ekonomis
tinggi. Ke depan pemerintah harus menegaskan arah pengelolaan air minum
karena berkaitan dengan tujuan pendirian PDAM sebagai suatu perusahaan yang
berorientasi ekonomis.
Dalam menjalankan misi ini PDAM menghadapi banyak kendala,
terutama di kota besar permasalahan ketersediaan air bersih sangat terasa, hal itu
dipicu oleh pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk kota, perkembangan
wilayah, industri yang semakin pesat dan pencemaran lingkungan yang sulit
dikendalikan. Ketersediaan air tanah tidak bisa diandalkan lagi, karena kondisi
rumah yang berdesakan, gedung bertingkat menjulang, jalan aspal, serta
permukaan tanah yang penuh beton. Kondisi seperti itu menghalangi air hujan
masuk ke dalam tanah, sehingga kuantitas dan kualitas air tanah (ground water)
semakin merosot. Oleh karena itu, penyediaan air bersih sangat bergantung
kepada air permukaan (surface water). Air permukaan ini merupakan air baku
yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di kota-kota besar.
Apabila masalah ini tidak direspon dengan cepat oleh pemerintah daerah terutama
3
pemerintah kota dan kabupaten, akan menimbulkan persoalan yang lebih serius
bahkan akan menimbulkan krisis air bersih di perkotaan.
Effendy (2011) masalah PDAM adalah masalah kelembagaan dan
manajemen terkait dengan effisiensi rendah, SDM kurang kompeten, sistem
operasi belum effisien, budaya kerja perusahaan kurang menunjang dan tidak
dihayati, leadership tidak visioner, kurang entrepreneurship, strategi usaha tidak
jeli, dan kurang tajam.
Berdasarkan laporan dari World Bank (Mugabi et al. 2006) tantangan yang
dihadapi oleh manajemen air minum di negara berkembang antara lain: pertama,
inefisiensi air minum yang penyebab utama dari akses masyarakat miskin untuk
pelayanan air di negara-negara berkembang. Sepertiga dari produksi hilang
(melalui kerugian fisik dan komersial), pendapatan tidak cukup untuk menutup
biaya operasional apalagi memperluas cakupan pelayanan. Kedua kurangnya
sistem manajemen informasi yang effektif untuk melakukan pengawasan dan
evaluasi. Ketiga, terkait isu pelayanan publik yaitu: visi dan misi yang kurang
jelas, struktur manajemen yang kurang baik dan rendahnya kualitas sumber daya
manusia.
Siswadi (2012) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Persatuan
Perusahan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) permasalahan umum
PDAM adalah sebagai berikut: (1) cakupan pelayanan rendah: hal ini diakibatkan
dari tingginya biaya investasi pengembangan jaringan PDAM serta keterbatasan
persediaan air baku, (2) tingkat kehilangan air tinggi: diakibatkan karena kurang
terawatnya jaringan distribusi dan perpipaan, (3) tingkat penagihan piutang
4
rendah: kebanyakan PDAM masih belum menerapkan snksi yang tegas terhadap
penunggak pembayaran air, (4) meningkatnya komponen biaya produksi, seiring
dengan laju inflasi dan nilai tukar tukar yang tinggi, (5) tarif yang belum menutupi
biaya produksi, masalah tarif selalu menjadi perdebatan antara eksekutif dan
legislatif, (6) utang yang sangat besar: sejalan dengan masalah penetapan tarif dan
investasi yang besar pada jaringan dan pengolahan air, (7) ineffisiensi tenaga
kerja: masalah tenaga kerja dan profesionalisme juga menjadi kendala dalam
pengembangan PDAM menjadi perusahaan yang effisien, (8) kebijakan investasi
kurang terarah:kebijakan investasi memang menjadi pilihan yang sulit bagi
PDAM, terjadinya konflik perhitungan bisnis dan sosial menjadikan hasil dalam
kebijakan investasi kurang terarah, dan (9) campur tangan Pemda dan DPR dalam
pengambil kebijakan: hal ini yang menjadikan PDAM lambat dalam pengambil
keputusan.
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia untuk kebutuhan
penyediaan air bersih bagi masyarakatnya tergantung pada PDAM. Terdapat
sembilan PDAM yang beroperasi di Provinsi Bali yang didirikan berdasarkan
peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota masing-masing. Peningkatan jumlah
penduduk harus disertai oleh peningkatan kualitas hidup dan sanitasi lingkungan,
oleh karena itulah air bersih yang biasa dimanfaatkan oleh penduduk untuk
dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari semakin
meningkat pula. Seiring dengan perkembangan penduduk jumlah pelanggan yang
dilayani oleh PDAM dari delapan kabupaten dan satu kota di provinsi Bali
5
mengalami peningkatan. Rincian sambungan rumah dari Tahun 2008 sampai
Tahun 2010 disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1Jumlah Pelanggan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kabupaten /Kota di Bali Tahun 2008 -2010
No PDAM
Kabupaten/Kota
2008
(SR)
2009
(SR)
2010
(SR)
1 Badung 27.454 29.022 30.494
2 Denpasar 65.786 66.583 67.162
3 Gianyar 44.378 46.457 47.729
4 Klungkung 19.175 19.809 20.512
5 Tabanan 38.170 39.783 41.750
6 Buleleng 32.097 33.669 35.017
7 Karangasem 19.789 19.956 21.232
8 Bangli 10.065 10.995 11.612
9 Jembrana 17.019 17.762 18.266
Total 273,933 284.036 293.774
Sumber : DPD Perpamsi Bali, 2011
Berdasarkan Tabel 1.1 Tahun 2008 pelanggan yang dilayani adalah
sebanyak 273.933 sambungan rumah, Tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi
284.036 sambungan rumah dan Tahun 2010 sebanyak 293.974 sambungan rumah.
Pelanggan yang paling banyak adalah Kota Denpasar, disusul Kabupaten
Tabanan, dan paling sedikit Kabupaten Bangli. Kalau diperhatikan jumlah
pelanggan PDAM seperti yang tersaji pada Tabel 1.1 terkait dengan populasi
masing-masing kabupaten/kota yang ada di Bali Kota Denpasar merupakan
jumlah penduduk terpadat di Bali, menurut data statistik (Bali Dalam Angka,
2012), penduduk Bali pada Tahun 2011 sebanyak 3.572.831 orang , sebanyak
788.589 orang tinggal di Kota Denpasar.
6
PDAM di Provinsi Bali mengalami beberapa kendala seperti biaya
operasional yang tinggi, tarif masih murah, kapasitas produksi yang masih
terbatas, sarana produksi yang masih kurang, kuantitas dan kualitas air baku yang
tidak memenuhi standar dan tingkat kebocoran yang masih tinggi. Kendala yang
dihadapi tersebut, menyebabkan pelayanan kepada masyarakat tidak maksimal,
terbukti masih banyaknya keluhan dari pelanggan. Adapun keluhan pelanggan
selama tiga tahun (2008-2010) disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Banyak Keluhan Pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kabupaten /Kota di Bali Tahun 2008 -2010
No
PDAM
Kabupaten/Kota
2008 2009 2010
(Buah)(%)
(Buah) (%) (Buah) (%)
1 Badung 2.856 10,40 2.499 8,61 2.558 8,39
2 Denpasar 5.580 8,48 7.122 10,70 9.574 14,26
3 Gianyar 8.628 19,44 8.879 19,11 8.792 18,42
4 Klungkung 1.836 9,57 1.967 9,93 1.968 9,59
5 Tabanan 2.496 6,54 2.542 6,39 2.237 5,36
6 Buleleng 2.724 8,49 2.691 7,99 2.511 7,17
7 Karangasem 480 2,43 547 2,74 658 3,10
8 Bangli 288 2,86 415 3,77 637 5,49
9 Jembrana 960 5,64 1.466 8,25 1.619 8,86
Total / Rata-Rata 25.860 8,21% 28.128 8,61% 30.554 8,96%
Sumber : DPD Perpamsi Bali, 2011.
Berdasarkan Tabel 1.2 selama 3 tahun terakhir dari Tahun 2008 sampai
Tahun 2010 jumlah keluhan pelanggan mengalami peningkatan. Keluhan
pelanggan merupakan refleksi dari ketidak puasan pelanggan atas pelayanan yang
7
diberikan oleh PDAM. Secara parsial selama tiga tahun terakhir keluhan
pelanggan PDAM Gianyar paling tinggi, disusul oleh PDAM Kota Denpasar, dan
yang paling kecil PDAM Karangasem. Secara keseluruhan jumlah keluhan
pelanggan selama tiga tahun terakhir dapat dikatakan tinggi karena secara
statistik besarnya di atas 5 prosen atau di atas derajat toleransi (Arikunto, 2010).
Disamping keluhan pelanggan, tingkat kebocoran (losses), disebut juga
istilahnya dengan un accounted for water (UFW) atau air tak berekening (ATR)
merupakan selisih antara air yang di distribusikan dengan air yang tercatat di
water meter selama tiga tahun terakhir juga semakin meningkat, secara rinci
masing-masing PDAM disajikan pada Tabel 1.3 berikut ini :
Tabel 1.3
Kehilangan air pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)Kabupaten /Kota di Bali Tahun 2008 -2010
NoPDAM Kabupaten/Kota 2008
(%)
2009
(%)
2010
(%)
1 Badung 22,19 20,80 19,64
2 Denpasar 22,90 21,12 27,94
3 Gianyar 49,00 49,00 49,00
4 Klungkung 19,55 22,95 22,84
5 Tabanan 39,09 33,24 31,52
6 Buleleng 22,28 21,03 20,86
7 Karangasem 22,19 22,47 21,29
8 Bangli 21,46 26,08 28,49
9 Jembrana 22,24 20,00 20,00
Rata-Rata 26,77 26,30 26,84
Sumber : DPD Perpamsi Bali, 2011.
8
Berdasarkan Tabel 1.3 selama 3 tahun terakhir secara parsial (pada Tahun
2010) PDAM Gianyar tingkat kebocorannya paling tinggi sebanyak 49,00%,
disusul PDAM Tabanan sebesar 31,52%, dan yang paling kecil PDAM Badung
sebesar 19,64%. Secara keseluruhan selama tiga tahun terkahir tingkat kebocoran
dikatakan tinggi, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)
No. 47 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air
Minum, batas maksimal kebocoran yang dapat ditoleransi sebesar 20%.
Berdasarkan data yang disajikan tentang meningkatnya keluhan pelanggan
dan tingkat kebocoran yang tinggi merupakan indikasi kinerja PDAM di Provinsi
Bali tidak sesuai dengan harapan. Agar kinerja organisasi meningkat serta tujuan
organisasi dapat tercapai, maka diperlukan budaya organisasi yang kuat, budaya
dalam hal ini termasuk nilai, norma dan sikap (Rivai, et al., 2011). Semakin kuat
budaya organisasi, semakin besar dorongan para karyawan untuk maju bersama
dengan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, pengenalan, penciptaan, dan
pengembangan budaya organisasi dalam suatu perusahaan mutlak diperlukan
dalam rangka membangun perusahaan yang efektif dan efisien sesuai dengan misi
dan visi yang hendak dicapai.
Menurut Lee dan Yu, (2004) budaya organisasi merupakan variabel penting
dalam mewujudkan kinerja perusahaan, dan budaya organisasi tidak hanya
menjadi salah satu faktor penting sebagai pendorong utama pengembangan dan
keberhasilan pada perusahaan besar, tetapi juga penting bagi perusahaan kecil.
(Chouke dan Armstrong, 2000). Schein (2004) menjelaskan budaya organisasi
sebagai kunci dalam pencapaian keunggulan perusahaan, hal ini disebabkan
9
karena budaya organisasi mampu membuat kelompok dalam organisasi
mengambil tindakan cepat dan terkoordinasi terhadap pesaing, pelanggan, dan
berbagai proses dalam organisasi (Susanto et al. 2008).
Davidson et al. (2007) melakukan penelitian pada perusahaan perbankan
bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, demikian
pula Kotter dan Heskett (1997) menyatakan budaya organisasi berpengaruh
signifikan dengan kinerja ekonomi jangka panjang, serta mampu menentukan
sukses dan gagalnya perusahaan dimasa yang akan datang. Denison (1991)
mengembangkan keterkaitan budaya organisasi dengan kegiatan manajemen dan
kinerja usaha dengan mengembangkan empat kunci sifat budaya organisasi
meliputi: involment, consistency, adaptability dan mission.
Beberapa penelitian yang meneliti hubungan antara budaya organisasi
dengan kinerja organisasi, dimana budaya organisasi merupakan salah satu faktor
kunci peningkatan kinerja organisasi (Onken, 1998; Denison dan Mishra, 1995;
Davidson et al.,2007; Carl F Fey dan Denison, 2003; Gani, 2006; Supartha, 2006;
Gunawan, 2009; Riana, 2010; Kamaliah, 2011; dan Astawa et al. , 2012.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Chouke dan Armstrong (2000);
Marcoulides dan Heck (1993); Michie dan A.West; Lee dan Yu (2004);
Koesmono (2011); Astawa et al. (2013) dan Rashid et al (2003). Dari berbagai
penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa budaya organisasi
berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja organisasi. Hal ini berarti
pembentukan budaya organisasi yang positif dalam organisasi akan berpengaruh
positif terhadap peningkatan kinerja organisasi. Pendapat yang sama dikemukakan
10
oleh: Moeljono (2008), Kotter dan Hasket (1997), Robbins dan Judge (2009),
mengatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kondisi ini berbeda apa yang ditemukan oleh Lim (1995); Raka Suardana
(2003); Subroto (2009) ; Yuan dan Lee (2011); Ferbruanto; Dharmanegara et al
(2013); Syauta (2012); Chen (2004); Sumarto dan Subroto (2011); Xenikou dan
Simosi (2006). mengatakan bahwa budaya organisasi tidak mempengaruhi kinerja
perusahaan. Hal ini berarti pelaksanaan budaya organisasi yang baik dalam
organisasi tidak akan mempengaruhi kinerja organisasi.
Budaya organisasi dapat juga berpengaruh negatif terhadap kinerja, budaya
organisasi, merupakan budaya organisasi disfungsional. Van Veet dan Griffin
(2006) menyatakan bahwa budaya defensif berpengaruh negatif terhadap
peningkatan kinerja. Hal ini juga sejalan dengan Bathazard et al.(2006)
menemukan bahwa organisasi yang disfungsional akan menghasilkan efisiensi,
efektivitas dan kinerja yang rendah atau dalam arti budaya organisasi berpengaruh
negatif signifikan terhadap kinerja organisasi.
Disamping budaya organisasi kepemimpinan juga mempengaruhi kinerja
organisasi. Kepemimpinan merupakan kunci manajemen yang memainkan peran
penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu usaha (Handoko, 2000).
Hal senada juga dikatakan bahwa pihak manajer yang paling dekat dengan
perusahaan dan bertanggung jawab atas efisiensi operasi, profitabilitas jangka
pendek dan jangka panjang, serta penggunaan yang efektif atas modal, sumber
daya manusia dan sumber daya lainnya.. Berbagai teori menyatakan keterkaitan
11
antara Gaya kepemimpinan terhadap Kinerja organisasi (Day dan Lord, 1988;
Reksohadiprojo dan Handoko, 1996; Fidler, 1987).
Hasil beberapa penelitian hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap
kinerja organisasi (Elenkov, 2000;. Waldman et al., 2001; Obganna dan Harris,
2000), menemukan hubungan antara kepemimpinan khususnya atribut
kepemimpinan transformasional dan pengukuran efektifitas organisasi
(Bass,1985; Bass dan Avolio, 1993). kinerja kepemimpinan juga terbukti
mempengaruhi peningkatan kinerja organisasi (Prabhu dan Robson, 2000; Lee
dan Yu, 2004; Gunawan, 2009; Kamaliah, 2012; Hidayat, 2011; dan Koesmono,
2011).Beberapa penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang menyatakan
hubungan yang erat antara kepemimpinan terhadap kinerja organisasi.
Pendapat yang berbeda dari (Xenikou dan Simosi, 2006); Februanto, 2011;
Supartha, 2006; Yuan dan Lee, 2011), menemukan hasil tidak ada pengaruh yang
signifikan antara kepemimpinan dan kinerja. Hal ini berarti kepemimpinan yang
baik dalam organisasi tidak mampu meningkatkan kinerja atau kepemimpinan
dalam organisasi dpat dikatakan tidak effektif. Hasil yang berbeda ditemukan
oleh Timothy et al. (2011) mengatakan bahwa kepemimpinan transaksional
berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja organisasi, sedangkan
kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Faktor lain yang mempengaruhi kinerja perusahaan adalah komitmen
organisasional, karena komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang
kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi (Mowday et al.
1982). Komitmen organisasional bisa tumbuh disebabkan karena individu
12
memiliki ikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi dikungan moral dan
menerima nilai yang ada serta tekad dalam diri untuk mengabdi pada organisasi
(Porter et al. 1985) sedangkan menurut Wiener (1982) komitmen organisasional
merupakan dorongan dari dalam individu untuk berbuat sesuatu agar dapat
menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan
kepentingan organisasi dibandingkan kepentingan sendiri.
Berbagai penelitian terdahulu yang melihat hubungan antara komitmen
organisasional terhadap kinerja . Penelitian Rashid et al. (2006) adanya pengaruh
positif antara komitmen organisasional dengan kinerja organisasi. Begitu juga
penelitian yang dilakukan oleh Somers, (1995); Kamaliah, (2011); Koesmono
(2011); Syauta (2012) melalui identifikasi variabel komitmen affektif, normatif
dan kontinyu memberikan hasil semuanya mempengaruhi kinerja organisasi.
Sedangkan dan Randall et al. (1990) menyatakan bahwa komitmen organisasional
tidak berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Berbeda dengan hasil penelitian
Shaw et al. (2003) mengenai komitmen organisasional terhadap kinerja organisasi
antara pekerja pendatang dengan pekerja penduduk asli memukan hasil bahwa
pekerja pendatang komitmen organisasional tidak berpengaruh terhadap kinerja
organisasi, sedangkan pekerja penduduk asli kinerja organisasi berpengaruh
positif signifikan.
Pengaruh budaya organisasi terhadap kepemimpinan telah dilakukan secara
emperis. Penelitian yang dilakukan dilakukan oleh: Ogbonna dan Haris, (2002);
Kamaliah, (2011); dan Gunawan, (2009); Mehta dan Krishnan (2004); Butarbutar
dan Sandjaya (2010); dan Mohanty et al. 2012) hasil-hasil penelitiannya
13
menyimpulkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi
terhadap kepemimpinan. Sharma dan Sharma, (2011); Sumarto dan Subroto,
(2011); Endorgan et al., (2006); Van Emmerik et al., (2009); dan Alas et al.,
(2011), telah melakukan penelitian, berdasarkan hasil penelitiannya mendapatkan
hasil yang sama bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap kepemimpinan.
Hasil-hasil penelitian ini mendukung pendapat Schein (2004) yang menyatakan
bahwa budaya organisasi mempengaruhi kepemimpinan.
Schimmoeler (2010) menemukan hasil yang berbeda dari penelitiannya
mengenai pengaruh jenis budaya terhadap tipe kepemimpinan. Hasil temuannya
bahwa budaya Clan dan Adhocracy memberikan pengaruh positif signifikan
terhadap kepemimpinan transformational dan transaksiiona. Tetapi budaya clan
memiliki pengaruh terhadap kepemimpinan laissez- faire. Budaya adhocracy dan
hierarchi tidak memiliki pengaruh terhadap kepemimpinan laissez-faire.
Sedangkan budaya organisasi market tidak memiliki pengaruh dengan gaya
kepemimpinan baik transformasional, transaksional, laissez-faire.
Berbagai penelitian terdahulu yang melihat hubungan antara budaya
organisasi terhadap komitmen organisasional Penelitian Rashid et al. (2006);
Chen, (2004); Koesmono, (2011) hasil penelitiannya menyimpulkan adanya
pengaruh adanya pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi dengan
komitmen organisasional. Hal ini berarti implementasi budaya organisasi yang
baik di perusahaan akan meningkatkan keinginan karyawan untuk tetap
mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras
bagi pencapaian tujuan organisasi.
14
Berbeda dengan hasil kajian oleh Nongo dan Ikyanyon (2012) mengatakan
bahwa budaya involment dan adaptability berpengaruh positif signifikan terhadap
komitmen organisasional, sedangkan budaya consistency dan mission tidak
berpengaruh terhadap komitmen organisasional.
Beberapa kajian emperis menjelaskan hasil temuannya bahwa budaya
organisasi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, pendapat yang berbeda ada
juga yang mengatakan budaya organisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan bahkan ada temuan data emperis yang mengatakan justru budaya
organisasi berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan. Budaya organisasi di
samping berpengaruh terhadap kinerja perusahaan juga berpengaruh terhadap
kepemimpinan dan komitmen organisasional. Namun demikian, dalam penelitian
terdahulu juga ditemukan adanya variasi (inkonsisten) temuan penelitian yang
tidak saling mendukung pengaruh budaya organisasi terhadap kepemimpinan dan
komitmen organisasional. Hasil penelitian terdahulu tentang pengaruh atau
hubungan antar variabel terdapat perbedaan hasil temuan antar peneliti satu
dengan yang lain. Perbedaan atau tidak konsistennya hasil penelitian dari
beberapa peneliti terhadap pengaruh antar variabel serta hasil temuannya secara
ringkas disajikan pada Tabel 1.4.
15
Tabel 1.4
Kesenjangan Hasil Penelitian Terdahulu
Kesenjangan
PenelitianPeneliti Temuan
Gap1.
Tidak konsistennya
temuan pengaruh
budaya organisasi
terhadap kinerja
perusahaan
Onken (1998); Denison & Mishra,
(1995); Davidson et al.(2007); Carl F
Fey dan Denison (2003); Gani (2006);
Supartha (2006); Gunawan (2009);
Riana (2010); Kamaliah (2011);
Astawa et al. (2012); Astawa et al.
(2013; Chouke dan Armstrong (2000);
Marcoulides dan Heck (1993); Michie
dan A.West; Lee dan Yu (2004);
Koesmono (2011);dan Rashid et al
(2003).
Budaya organisasi berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan.
Lim (1995); Raka Suardana (2003);
Subroto (2009) ; Yuan dan Lee (2011);
Ferbruanto; Dharmanegara et al (2013);
Syauta (2012); Chen (2004); Sumarto
dan Subroto (2011); Xenikou dan
Simosi (2006).
Tidak terdapat pengaruh atau
pengaruhnya sangat lemah
sekali antara budaya organisasi
dengan kinerja organisasi
Gap2.
Tidak konsistennya
temuan pengaruh
budaya organisasi
terhadap
kepemimpinan
Ogbonna dan Haris (2002); Gunawan
(2009); Sharma dan Sharma (2010);
Sumarto dan Subroto Mehta dan
Krishnan (2004); Endorgan etal.
(2006); Van Emmerik et al. (2009);
Butarbutar dan Sandjaya (2010); Alas
et al. (2011); Mohanty et al. (2012)
Budaya organisasi berpengaruh
positif signifikan terhadap
kepemimpinan
Schimmoeller (2010),
Budaya organisasi tertentu akan
mempengaruhi gaya
kepemimpinan secara positif,
negatif, dan tidak memberikan
pengaruh sama sekali.
16
Gap 3.
Tidak konsistennya
temuan pengaruh
budaya organisasi
terhadap komitmen
organisasional
Rashid et al. (2003); Chen (2004);
Koesmono (2011);
Terdapat pengaruh positif dan
signifikan antara budaya
organisasi dengan komitmen
organisasional.
Kamaliah (2012)Budaya organisasi tidak
berpengaruh terhadap
komitmen organisasional
Nongo dan Ikyanyon (2012)Budaya involment dan
adaptability berpengaruh
positif signifikan terhadap
komitmen organisasional,
sedangkan budaya consistency
dan mission tidak berpengaruh
terhadap komitmen
organisasional
Sumber : Hasil penelitian terdahulu
Berdasarkan Tabel 1.4 tentang uraian penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa terdapat gap yang masih harus dikaji terkait pengaruh budaya organisasi
terhadap kepemimpinan, komitmen organisasional dan kinerja perusahaan. Selain
itu dalam penelitian terdahulu, terlihat masih sangat minim budaya organisasi dan
kepemimpinan yang mengadopsi nilai-nilai lokal serta pengaruhnya terhadap
komitmen organisaional dan kinerja perusahaan.
Demikian pula studi tentang budaya organisasi dan kepemimpinan lebih
banyak menganalisis fenomena yang ada di dunia Barat, yang memilki budaya
berbeda dengan perusahaan di Indonesia pada umumnya dan Bali khususnya.
Budaya organisasi perusahaan di Bali sangat kental diwarnai oleh budaya lokal
yang bersumber pada agama (Riana, 2010). Menurut Windia dan Dewi (2011)
THK sebagai suatu kebudayaan masyarakat Bali mengandung elemen
17
parahyangan (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan), pawongan
(hubungan harmonis antar manusia), dan palemahan (hubungan harmonis antara
manusia dengan lingkungan).
Dalam studinya Riana (2010) telah melakukan studi kontemplasi antara
budaya THK dengan beberapa teori budaya organisasi. Ditemukan bahwa dimensi
parahyangan analog dengan basic assumptions (Schein, 2004) dan sub sistem
nilai (Koentjaraningrat, 2005) serta merupakan perilaku yang cendrung sulit untuk
diubah karena mengandung nilai – nilai yang tidak kelihatan (Kotter & Heskett,
1997; Denison, 1991). Demikian pula Hofstede (2001) memandang basic
assumption merupakan norma-norma agama dimana oleh sebagian besar
masyarakat di Asia digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari
ketidakpastian (uncertainty avoidance). Dibandingkan dengan konsep budaya
Hofstede (2001)) dimensi palemahan analog dengan short term & long term, dan
dimensi pawongan analog dengan individualism & collectivism, power distance,
masculinity & feminity.
Berdasarkan kesenjangan penelitian pada Tabel 1.4 penelitian ini mengkaji
peran dari nilai-nilai kepemimpinan lokal yang dikenal dengan asta dasa
paramiteng prabhu dan komitmen organisasional sebagai mediasi pengaruh
budaya organisasi lokal (Tri Hita Karana) terhadap kinerja perusahaan. Dengan
demikian dipandang perlu adanya penelitian lanjutan khususnya di Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Hasil telaah teoritis dan fenomena emperis
atas konsep dari konstruksi pengaruh budaya organisasi, kepemimpinan, dan
kinerja perusahaan masih diperoleh celah yang penting dan menarik untuk diteliti
18
lebih lanjut menjadi temuan baru sehingga menginspirasi peneliti untuk menguji
kembali hasil penelitian terdahulu tidak konsistennya temuan pengaruh budaya
organisasi terhadap kepemimpinan, komitmen organisasional, dan kinerja
perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan pengaruh budaya organisasi yang
dimediasi oleh kepemimpinan dan komitmen organisasional dalam rangka
meningkatkan kinerja perusahaan tetapi masih menjadi perdebatan dalam
penelitian. Hasil beberapa penelitian terdahulu masih terdapat kontradiktif
tentang hubungan antar variabel, di samping itu hasil penelitian terdahulu masih
menyisakan fenomena bahwa konten lokal yang berkenaan budaya organisasi dan
kepemimpinan akan sangat berpengaruh terhadap hubungan antar variabel yang
telah dibangun belum banyak di teliti. Oleh karena itu peneliti berupaya untuk
memperoleh kejelasan nilai budaya lokal secara agama Hindu di Bali yang
terangkum dalam budaya Tri Hita Karana yang dimediasi oleh model
kepemimpinan secara agama Hindu yang dikenal dengan Asta Dasa Paramiteng
Prabhu, dan dimediasi oleh komitmen organisasional pengaruhnya terhadap
kinerja perusahaan pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, terdapat kontradiktif dan
kesenjangan hasil penelitian menemukan hasil berbeda tentang hubungan dan
pengaruh masing-masing variabel. Masalah utama dalam penelitian ini: “Apakah
Budaya Tri Hita Karana berpengaruh terhadap Kepemimpinan dan Kinerja
19
Perusahaaan dengan Mediasi Komitmen Organisasional pada Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali ”
Untuk menjawab permasalahan penelitian di atas, disusunlah rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kinerja
Perusahaan Daerah Air minum di Provinsi Bali?
2. Apakah Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap
kepemimpinan pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali?
3. Apakah kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali?
4. Apakah Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasional pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali?
5. Apakah komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali?
6. Apakah kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasional pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali?
20
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, disajikan tinjauan pustaka yang terdiri dari dua bagian utama
yaitu: bagian pertama, dikemukan kajian emperik mengacu pada hasil penelitian
sebelumnya yang relevan dengan konstruk yang dikaji dalam penelitian ini. Bagian
kedua, kajian teori sebagai landasan teoritis dalam studi ini yang meliputi: (1) budaya,
(2) budaya organisasi, (3) nilai-nilai budaya Tri Hita Karana, (4) kepemimpinan, (5)
kepemimpinan Asta Dasa Paramiteng Prabhu, (6) komitmen organisasional, dan (7)
kinerja perusahaan.
2.1 Penelitian Terdahulu
2.1.1 Hubungan antara budaya organisasi terhadap kinerja organisasi.
Marcoulides dan Heck (1993), melakukan pengkajian untuk menguji secara
konsepsual pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja organisasi. Penelitiannya
dilakukan di Amerika Serikat dengan sampel 26 unit organisasi, respondennya sebanyak
392 orang. Hasil penelitiannya: Variabel budaya organisasi dapat dipergunakan untuk
memprediksi kinerja organisasi, dan efektifitas pencapaian tujuan organisasi bervariasi
sesuai dengan budaya organisasi dalam organisasi tersebut.
Lim (1995) melakukan pengkajian atau evaluasi ulang (Critical Review)
terhadap hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya keterkaitan budaya
organisasi dengan kinerja organisasi,. Dasar pemikiran yang dipakai dalam
critical review ini adanya perbedaan-perbedaan dalam metodelogi yang
digunakan atas pendekatan dalam pemahaman dan pengukuran fenomena budaya
21
organisasi. Hasil kajiannya menemukan bahwa budaya organisasi tidak
berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Penelitian lain dengan jenis dimensi budaya yang sama dilakukan oleh Fey
dan Denison (2003) meneliti Perusahaan Negara di Rusia, dengan sampel
sebanyak 179 perusahaan dengan skala pengukuran yang dikemukakan oleh
Likert. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat dan
positif antara budaya organisasi terhadap efektifitas organisasi. Penelitian ini
mendukung teori yang ada yang menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
meningkatkan efektifitas organisasi (Denison, 1991)
Gunawan (2009) melakukan penelitian terhadap LPD di Bali, hasil penelitiannya
ada pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap gaya
kepemimpinan dan kinerja organisasi, demikian juga gaya kepemimpinan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi. Penelitian yang mengkaji keterkaitan
Budaya Tri Hita Karana dengan kinerja dilakukan oleh Riana (2010) terhadap industri
IKM Perak di Bali, hasil penelitiannya Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif
terhadap kinerja usaha artinya semakin baik penerapan Tri Hita Karana, semakin baik
pula kinerja usaha.
Astawa et al. (2012) yang mengkaji keterkaitan antara Budaya Tri Hita Karana
yang tercermin dalam nilai-nilai harmoni dengan effisiensi perusahan, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa nilai-nilai harmoni yang terangkum dalam budaya
Tri Hita Karana telah diterapkan dengan baik pada LPD dan mampu menurunkan risiko
kredit serta meningkatkan efisiensi perusahaan.
22
Dharmanegara et al. (2013) Hasil penelitiannya, kepemimpinan asta brata
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja, sedangkan budaya Tri Hita Karana
berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan Lembaga Perkreditan Desa di
Kabupaten Badung.
2.1.2 Hubungan antara budaya organisasi terhadap kepemimpinan.
Ogbonna dan Harris. (2002) hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan kepemimpinan. penelitian ini
juga merekomendasi tiga hal antara lain; (1) pentingnya meningkatkan kinerja dengan
gaya kepemimpinan; (2) pentingnya meningkatkan kinerja dengan budaya yang baik;
(3) pentingnya menciptakan budaya dengan kepemimpinan yang baik.
Gunawan (2009) hasil penelitiannya, budaya organisasi berpengaruh positif
signifikan terhadap gaya kepemimpinan. Penelitian yang mengkaji keterkaitan antara
budaya organisasi dengan kepemimpinan juga dilakukan oleh Sharma dan Sharma
(2010) hasil penelitiannya ada hubungan positif dan signifikan budaya organisasi
terhadap kepemimpinan.
Schimmoeller (2010) Hasil penelitiannya: budaya clan dan adhoccracy sama-sama
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap gaya kepemimpinan transformasional
dan transaksional; budaya clan berpengaruh negatif signifikan terhadap terhadap gaya
kepemimpinan laissesz-faire; dan budaya organisasi market tidak mempunyai pengaruh
dengan kepemimpinan, baik dengan transformasional, transaksional, maupun laissez-
faire.
Keterkaitan antara budaya organisasi dengan kepemimpinan juga dikaji oleh
Sumarto dan Subroto (2011) hasil penelitiannya: kepemimpinan dan strategi
berpengaruh terhadap kinerja tetapi budaya organisasi tidak berpengaruh terhadap
23
kinerja. Penelitian ini juga menemukan adanya pengaruh kepemimpinan terhadap
budaya dan budaya organisasi terhadap kepemimpinan.
2.1.3 Hubungan antara kepemimpinan terhadap kinerja organisasi.
Xenikou dan Simosi (2006) hasil penelitiannya menyimpulkan ada pengaruh
positif dan kuat budaya organisasi adaftif terhadap kinerja perusahaan, sedangkan
budaya humanistik dan kepemimpinan transpormasional tidak berpengaruh. Penelitian
lain yang mengkaji hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja organisasi dilakukan
oleh Februanto (2011) pada Direktorat IV/Tindak Pidana Narkoba dan Kejahatan
Terorganisir Bareskrim Polri. Hasil penelitiannya kepemimpinan tidak berpengaruh
terhadap kinerja organisasi.
Tomothy et al. (2011) melakukan penelitian terhadap industri kecil di Negeria,
hasil penelitiannya: kepemimpinan transaksional berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja organisasi, sedangkan kepemimpinan transformasional berpengaruh
positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja organisasi. Rekomendasi yang diberikan
untuk membangun dan pengembangan usaha di masa mendatang sebaiknya strategi
kepemimpinan yang dipergunakan adalah kepemimpinan transaksional.
Koesmono (2011) mengkaji keterkaitan budaya organisasi, kepemimpinan,
komitmen organisasional, dan kinerja. Hasil penelitiannnya kepemimpinan berpengaruh
positif signifikan terhadap kinerja karyawan.
2.1.4 Hubungan antara Budaya Organisasi terhadap Komitmen Organisasional.
Keterkaitan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasional juga
dikaji oleh Ojo (2011) hasil penelitiannya terbukti secara emperis ada pengaruh
yang positif signifikan antara budaya organisasi dengan komitmen karyawan
24
dalam mencapai tujuan perusahaan begitu juga dengan budaya organisasi dengan
kinerja perusahaan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan.
Koesmono (2011) mengkaji keterkaitan budaya organisasi, kepemimpinan,
komitmen organisasional, dan kinerja. Hasil penelitiannya budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional.
Nongo dan Ikyanyon (2012) melakukan penelitian mengkaji keterkaitan
antara budaya organisasi dengan komitmen organisional, hasil penelitiannya:
involment dan adaptability berpengaruh signifikan terhadap komitmen karyawan,
sedangkan consistency dan mission tidak berpengaruh signifikan terhadap
komitmen karyawan.
2.1.5 Hubungan antara Komitmen Organisasional terhadap kinerja organisasi.
Shaw et al. (2003) melakukan penelitian, hasil penelitiannya: komitmen
organisasional untuk pekerja pendatang tidak berpengaruh, sedangkan untuk
pekerja Warga Arab berpengaruh positif dan signifikan. Koesmono (2011) Hasil
penelitiannya ada pengaruh positif dan signifikan antara komitmen organisasional
dengan kinerja organisasi.
Syauta (2012) mengadakan penelitian yang mengkaji keterkaitan antara budaya
organisasi, komitmen organisasional dengan kinerja, Hasil penelitiannya: budaya
organisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, sedangkan
komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan
2.1.6 Hubungan antara kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasional.
Lok dan Crawford (2004) melakukan penelitian mengenai perbedaan persepsi
pimpinan pada gaya kepemimpinan, kepuasan kerja dan komitmen ditinjau dari level
pekerjaan dan budaya antar negara bagi mahasiswa MBA di Hongkong dan Sidney. Hasil
25
penelitiannya menunjukkan tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan
kerja dan komitmen organisasional. Chen (2004), hasil penelitiannya kepemimpinan
terbukti secara empiris ada pengaruh positif signifikan terhadap komitmen
organisasional.
Keterkaitan antara kepemimpinan dengan komitmen organisasional juga
dikaji oleh Yiing dan Ahmad (2008). Hasil penelitiannya terbukti secara empiris
ada hubungan yang positif signifikan antara kepemimpinan dengan komitmen
organisasional, dan budaya organisasi sangat berperanan dalam memoderasi
hubungan antara kepemimpinan dengan komitmen organisasional. Komitmen
organisasional juga terbukti secara empiris ada hubungan positif signifikan
dengan kepuasan karyawan, sedangkan terhadap kinerja tidak signifikan.
Koesmono (2011) mengkaji keterkaitan budaya organisasi, kepemimpinan,
komitmen organisasional, hasil penelitiannya kepemimpinan berpengaruh positif
signifikan terhadap komitmen organisasional.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Budaya (Culture)
Konsep budaya sejak awal telah menjadi bahasan utama dalam bidang
antropologi dan telah memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku
organisasi (organizational behavior). Konsep budaya pertama kali muncul ke permukaan
sebagai suatu dimensi utama di dalam memahami perilaku organisasi sehingga banyak
karya terakhir berpendapat tentang peran kunci budaya dalam mencapai keunggulan
organisasi (Hofstede 2001). Schein (2004) budaya dan masyarakat merupakan dua buah
26
sisi yang tidak terpisahkan. Pemahaman yang benar terhadap suatu masyarakat akan
membantu memahami budaya masyarakat tersebut secara utuh dan benar. Kesadaran
mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah organisasi semakin mengemuka
dan mendapat tempat yang semakin penting dalam kajian ilmu manajemen. Kajian inilah
kemudian diaplikasikan dalam konteks praktik-praktik ilmu manajemen sehingga
melahirkan istilah budaya korporasi (corporate culture) yang dalam perkembangannya
telah meluas menjadi kajian budaya organisasi (organization culture).
Luthan (2006) mengungkapkan bahwa budaya merupakan suatu pengetahuan di
mana masyarakat menggunakan pengalamannya untuk menghasilkan suatu sikap diri
dan perilaku sosial. Susanto et al. (2008) mendefinisikan budaya merupakan sekumpulan
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta kebiasaan
yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu.
Kumpulan budaya yang ada inilah nantinya membentuk budaya nasional yang
membedakan mereka di dalam menetapkan tujuan.
Budaya nasional merupakan pola pikir dan tata nilai yang membedakan sebuah
masyarakat dengan masyarakat lain yang selanjutnya dipergunakan sebagai pedoman
berperilaku dalam kelompok masyarakat tersebut. Susanto et al. (2008) mengemukakan
bahwa budaya yang ada di sebuah wilayah atau suatu negara ternyata memiliki
pengaruh terhadap budaya organisasi yang ada di negara tersebut. Salah satu budaya
nasional (nation culture) yang telah tumbuh dan berkembang pada masyarakat Bali dan
telah dijadikan sebagai falsafah hidup masyarakat adalah budaya Tri Hita Karana (THK).
2.2.2 Budaya Organisasi (Organizational Culture)
2.2.2.1 Definisi Budaya Organisasi
27
Berbagai definisi tentang budaya organisasi telah disampaikan dalam konteks
antropologi, psikologi organisasi, dan teori manajemen. Deal dan Kennedy (1982)
menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai dominan yang dianut oleh organisasi, Kotter
dan Heskett (1997) mengemukakan budaya organisasi merupakan pola perilaku atau
gaya yang mendorong anggota baru untuk mengikutinya. Hofstede (2001)
mendefinisikan budaya sebagai suatu pola pemikiran, perasaan, dan tindakan dari satu
kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain.
Selanjutnya Robbins dan Judge (2009) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi dan menjadi suatu
sistem dari makna bersama. Schein (2004) memilih definisi yang dapat menjelaskan
bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang ini,
atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi sedang
dipertaruhkan. Schein memberikan definisi bahwa budaya organisasi merupakan:
“a pattern of basic assumptions that a given group has invented, discovered, or
developed in learning to cope with its problems of external adaptation and
internal integration, and that have worked well enough to be considered valid,
and therefore, to perceive, think and feel in relation to those problems.“
Pada sisi lain budaya organisasi sering diartikan sebagai filosofi dasar yang
memberikan arahan bagi karyawan dan konsumen. Berdasarkan berbagai definisi
tersebut, hal penting yang perlu ada dalam definisi budaya organisasi adalah suatu
sistem nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh anggota dalam perusahaan. Selain
dipahami, sistem nilai tersebut digunakan sebagai pegangan sumber daya manusia
dalam menjalankan kewajiban dan perilakunya di dalam organisasi (Susanto et al. 2008).
2.2.2.2 Model Budaya Organisasi
28
(1) Model Budaya Organisasi Hofstede
Hofstede (2001) mengidentifikasi empat basic problem area yang dapat dianggap
sebagai dimensi budaya, yaitu: (a) social inequality, termasuk hubungan dengan
pemegang kekuasaan; (b) hubungan antara individu dengan kelompok; (c) konsep
masculinity dan femininity, merupakan implikasi sosial sebagai pembedaan gender; dan
(d) sikap terhadap ketidakpastian, sehubungan dengan kontrol terhadap agresivitas dan
pengungkapan emosi.
(2) Model Budaya Organisasi Schein
Schein (2004) membagi budaya organisasi ke dalam tiga tingkatan bangunan, yaitu
sebagai berikut. Tingkat pertama adalah artifak (artifact) di mana budaya bersifat kasat
mata tetapi sering kali tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (value) yang
memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah
asumsi dasar (basic assumption) di mana budaya diterima begitu saja (taken for
granted), tidak kasat mata dan kadang kala tidak disadari.
(3) Denison (1991) menghadirkan saling keterkaitan antara budaya organisasi, praktek-
praktek manajemen, kinerja dan efektifitas. Model ini menyoroti pentingnya
menghubungkan praktik-praktik manajemen dengan asumsi dasar dan kepercayaan
dalam menilai efektivitas budaya organisasi. Nilai-nilai dan kepercayaan dalam
organisasi menumbuhkan seperangkat praktik manajemen di mana aktivitas-
aktivitas yang dilakukan tersebut berasal dari nilai-nilai yang ada dalam organisasi.
(4) Model Budaya Organisasi Kotter dan Heskett
Kotter dan Heskett (1997) menguraikan bahwa budaya mempunyai dua tingkatan
yang berbeda dalam kaitannya dengan kemampuan dan kekuatan untuk berubah.
Secara lebih mendalam, pada tingkatan yang kurang kelihatan, budaya mengacu pada
29
nilai-nilai yang dibagi bersama oleh orang-orang di suatu kelompok dan berlaku dari
waktu ke waktu bahkan ketika keanggotaan kelompok telah berubah.
2.2.3 Budaya Tri Hita Karana (THK)
Dunia tradisi Bali yang berjiwa Hindu dengan elemen pemujaan alam dan para
leluhur adalah hasil evolusi dan akulturasi dari beberapa budaya yang datang ke Pulau
Bali. Sistem dan tatanan kehidupan seperti desa adat dengan banjarnya yang direkat
oleh konsep tiga pura yang disebut dengan Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem) dan
pura keluarga (Merajan) serta organisasi pertanian bernama subak yang diperkirakan
mulai diterapkan di Bali sejak awal abad ke 11 hingga kini masih tetap kuat
keberadaannya. Lembaga tradisional sosial, seperti banjar, desa adat, dan subak inilah
dianggap sebagai pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali (Pitana, 2002).
Menurut Sulistyawati (2000) THK adalah kearifan lokal (lokal wisdom) yang sudah
menjadi kepribadian budaya (cultural identity) karena mampu mengakomodasikan dan
mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli sekaligus menjadi
bingkai tatanan kehidupan masyarakat Bali di berbagai sektor. THK adalah konsep
bersifat totalitas meliputi alam semesta, di mana unsur-unsur THK di alam semesta
(makrocosmos) meliputi lingkungan alam fisik, manusia sebagai penggerak alam, dan
Tuhan yang menjiwai alam semesta (Putra, 2000). Menurut Kaler (2000) dalam diri
manusia (mikrocosmos) unsur-unsur THK meliputi badan kasar (angga sarira); tenaga
atau energi (prana) yang mengaktifan manusia; serta jiwa zat penghidupan manusia
atau atman.
2.2.4. Relevansi Konsep THK dalam Bisnis
Putra (2000) menyatakan bahwa apabila konsep THK dikaitkan dengan bisnis,
maka dalam parahyangan seorang pengusaha memiliki keyakinan bahwa keberhasilan
30
yang dicapai bukanlah semata-mata karena kemampuan dan kerja keras mereka,
melainkan keberhasilan tersebut juga karena kehendak Tuhan. Dalam kaitan dengan
pawongan pengusaha Hindu memiliki pandangan bahwa manusia tidak berada sendiri di
dunia sehingga manusia selalu mengharapkan kerja sama dari sesama. Dalam
hubungannya dengan usaha, mereka berupaya membina hubungan harmonis dengan
karyawan, pelanggan, pembeli, pemilik perusahaan dan pemerintah. Pengusaha
menanamkan ajaran budi pekerti atau etika dalam membina hubungan harmonis,
bertenggang rasa, saling menghormati. Pitana (2002) menekankan bahwa ajaran karma
menjadi pegangan bagi pengusaha untuk mengembangkan hubungan harmonis
terhadap berbagai unsur yang terkait dengan usahanya.
Sistem bisnis berlandaskan THK bertujuan untuk tercapainya keberlanjutan bisnis
yang tidak terbuai hanya pada usaha untuk mencari keuntungan yang maksimal dengan
menghalalkan segala cara. Pitana (2002) memandang bahwa dari ketiga komponen THK
tersebut posisi pawongan adalah sebagai subjek sekaligus objek, dalam arti manusia
dalam hidupnya menentukan dan ditentukan oleh dirinya sendiri terkait dengan
pengetahuan dan pengamalannya. Oleh karena itu, apabila konsep tersebut
diaplikasikan secara ideal maka keharmonisan akan tercapai. Sebaliknya apabila manusia
tidak peduli, maka akan menemukan ketidakharmonisan. Dengan demikian, dapat
dijelaskan bahwa jika aspek manusianya sukses tergarap, maka dua aspek lainnya yaitu
parahyangan dan palemahan secara otomatis akan mengikutinya.
2.2.5 Budaya THK dan Budaya Organisasi
Budaya THK merupakan budaya yang bersumber dari kearifan lokal. Menurut
Sobirin (2009) budaya nasional terbentuk oleh alasan-alasan yang berbeda karena
munculnya sebuah negara memiliki latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu,
31
berbagai faktor (seperti etnis, ekonomi, politik, agama, ataupun bahasa) memberikan
kontribusi dalam pembentukan budaya nasional.
Schein (2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi didasarkan atas tiga
tingkatan yaitu: Pertama adalah artifacts, sesuatu yang dimodifikasi oleh manusia untuk
tujuan tertentu yang dapat langsung dilihat dari struktur sebuah organisasi dan proses
yang dilakukan dalam organisasi. Kedua espoused beliefs and values adalah nilai-nilai
pendukung mencakup strategi, tujuan, dan filosofi dasar yang dimiliki oleh organisasi
yang dapat dipahami jika sudah mulai menyelami organisasi tersebut dengan tinggal
lebih lama dalam organisasi. Ketiga underlying basic assumptions, merupakan asumsi-
asumsi tersirat yang diyakini bersama. Nilai-nilai, kepercayaan, dan asumsi-asumsi yang
digunakan oleh para pendiri yang dianggap sebagai hal penting dalam membawa
organisasi menuju gerbang kesuksesan. Konsep bangunan budaya Schein (2004)
tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.1.
32
Gambar 2.1 Elemen-elemen Budaya
Sumber : Schein, 2004 (Riana, 2010; 58)
Model Schein (2004) dapat diaplikasikan, baik terhadap budaya nasional maupun
budaya organisasi. Budaya organisasi dapat memodifikasi pada dua tingkatan, tetapi
mempunyai sedikit dampak terhadap asumsi dasar bilamana dikaitkan dengan budaya
nasional. Kondisi ini menimbulkan tanggapan apakah perilaku, nilai, dan kepercayaan
yang ditentukan oleh budaya nasional semata-mata dipatuhi atau benar-benar
dimasukkan di dalam budaya organisasi (Sathe, 1983, dalam Sangen, 2005).
Kebudayaan selalu dikonsepsikan sebagai hasil dari hubungan yang dipolakan
dari berbagai unsur, seperti teknologi, kepercayaan, nilai, dan aturan yang berfungsi
sebagai pedoman. THK merupakan produk perilaku manusia yang lebih bersifat subjektif
dan interpretatif. Oleh sebab itu, simbol-simbol akan terbangun oleh pemahaman
subjektif yang dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang mempunyai konsekuensi
objektif. Dalam kaitannya dengan THK, parahyangan analog dengan subsistem nilai,
pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem
Visible organizationalstructure and processes
(hand to decipher)
Strategic, goals, philosophis(espoused jushfications)
Unconscious, taken-for-granded Beliefs,perception, thought, and feelings
(ultimate source of value and action)
Artifacts
Espoused Beliefs and
Values
Underlying
Assumptions
33
artefak (Windia dan Dewi 2011). Keterkaitan antar subsistem tersebut dalam konsep
THK dapat digambarkan seperti Gambar 2.2
Gambar 2.2 Konsep THK sebagai Sistem Kebudayaan
Sumber : Windia dan Dewi 2011: Halaman 11.
Berdasarkan Gambar 2.2 elemen-elemen budaya; artifacts, espouse value, dan
basic assumptions (Schein, 2004) dan subsistem pola pikir, subsistem sosial, artifak
(Koentjaraningggat, 2005) tercermin di dalam elemen-elemen budaya THK, yaitu
parahyangan, pawongan, dan palemahan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalam THK telah digunakan sebagai suatu tata nilai yang
digunakan sebagai pegangan anggota organisasi dalam melaksanakan kewajiban dan
berperilaku.
Apabila dibuatkan dalam bentuk matriks perbandingan antara teori budaya
Hofstede, Schein, Koentjaraninggrat, dan Budaya Tri Hita Karana (THK) dapat dilihat
pada Tabel 2.1 berikut.
LingkunganLingkungan
Palemahan
Sub sistem artefak
Pawongan
Sub sistem sosial
Perahyangan
sub sistem nilai
34
Tabel 2.1 Perbandingan Tingkatan dan Dimensi Budaya Organisasi
THK Koentjaraninggrat Schein Hofstede
Parahyangan Sistem nilai Basic assumption Uncertaity avoidance
Pawongan Sistem sosial Value system Individualism &
Collectivism Power
distance Maskulinity
& feminity
Pelemahan Sistem kebendaan Artifact Short term & long
term
Sumber: Berbagai referensi
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dijelaskan bahwa karakteristik dan dimensi budaya
THK telah tercermin dalam dimensi beberapa konsep budaya (Koentjaraninggrat, Schein,
dan Hofstede). Dengan demikian, konsep budaya THK merupakan konsep budaya di
mana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah mewarnai berbagai kehidupan
masyarakat khususnya di Bali, termasuk dalam melakukan aktivitas bisnis sehingga
dapat disebut budaya organisasi.
Selanjutnya Hofstede (2001) berpendapat bahwa pendekatan terhadap analisis
budaya nasional dan budaya organisasi memiliki suatu perbedaan. Pendekatan analisis
budaya nasional berpegang secara menyeluruh pada tata nilai dan norma-norma,
sedangkan budaya organisasi lebih berpegang pada praktika. Oleh sebab itu, budaya
organisasi merupakan perilaku anggota organisasi sehari-hari sehingga pengukuran tata
nilai dilakukan dengan melihat perilaku anggota organisasi (Hofstede, 2001). Dengan
demikian, sebenarnya Hofstede melakukan analisis budaya organisasi berdasarkan
35
praktika, walaupun membahas budaya nasional namun latar belakangnya adalah budaya
organisasi.
Dengan demikian konsep Tri Hita Karana dapat menuntun sikap dan perilaku
untuk menjaga integritas melalui: mensyukuri karunia tuhan dengan jalan bertakwa
kepadaNya (Ketakwaan), Bekerja sebagai pengorbanan dan pengabdian (Dedikasi) dan
sikap Kejujuran sebagai manefestasi dari unsur parahyangan. Untuk memperoleh
kesejahteraan manusia dituntut adanya etos kerja yang tinggi dalam bentuk: kreativitas,
kerja keras tanpa mengenal putus asa, menghargai waktu, kerja sama yang harmonis,
Satya wacana, efisiensi yang etis dan penuh prakarsa sebagai manefestasi dari unsur
pawongan. Untuk memperoleh kesejahteraan manusia dituntut untuk melestarikan
lingkungan dalam bentuk membangun, memelihara, dan mengamankan lingkungan
sebagai manefestasi unsur palemahan.
Berdasarkan kajian yang telah disajikan maka variabel budaya organisasi dalam
penelitian ini mengacu pada konsep falsafah budaya Bali Tri Hita Karana yang memiliki
tiga dimensi yaitu: unsur parahyangan, unsur pawongan, dan unsur palemahan yang
diadopsi sebagai Budaya Organisasi.
Teori budaya organisasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendapat
Hofstede (2001) mengatakan bahwa pada masyarakat di Asia nilai-nilai dan norma
agama masih sangat kuat. Di samping itu konsep budaya Hofstede telah populer dan
dipakai dasar untuk melihat konsep budaya nasional lebih mendalam tampaknya tidak
bisa lepas dari hasil karya Hofstede. Budaya nasional akan secara terus menerus
mempengaruhi nilai-nilai kerja dalam suatu organisasi, begitu juga dalam berbagai
literatur, khususnya yang mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan manusia lintas budaya
(nasional), tulisan-tulisan Hofstede hampir selalu menjadi rujukan utama (Sobirin 2009).
36
Untuk dapat mengaplikasikannya ke dalam nilai budaya Tri Hita Karana akan
dijastifikasikan terlebih dahulu. Dimensi parahyangan dalam budaya Tri Hita Karana
yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Dimensi parahyangan ini kalau
dijastifikasikan ke teori Hofstede identik dengan uncertainty avoidance, merupakan
reaksi dari masing-masing anggota organisasi terhadap ketidaktahuan dan
ketidakpastian. Secara umum uncertainty avoidance dibedakan menjadi dua yakni : (i)
strong uncertainty avoidance adalah toleransi yang relatif rendah terhadap situasi
ketidakpastian. Rendahnya toleransi ini mendorong munculnya upaya-upaya yang
sangat kuat untuk menghindarinya. (ii) weak uncertainty avoidance adalah toleransi
yang relatif tinggi terhadap situasi ketidakpastian, cendrung berupaya untuk
menghindari ketidakpastian. Dimensi pawongan dalam budaya Tri Hita Karana yang
merupakan hubungan manusia dengan manusia. Dimensi pawongan kalau
dijastifikasikan ke teori Hofstede identik dengan: (1) power distance, (2) individualism
dan collectivism. (3) masculinity dan feminity, Dimensi palemahan dalam budaya Tri
Hita Karana yang merupakan hubungan manusia dengan lingkungan. Dimensi
palemahan kalau dijastifikasikan ke teori Hofstede identik dengan short term dan long
term orientation merupakan orientasi terhadap waktu.
2.2.6 Kepemimpinan.
2.2.6.1 Pengertian Kepemimpinan
Berbagai aktivitas yang ada dalam suatu lembaga atau organisasi tidak akan
terlepas dari arahan dan kontrol dari seorang pemimpin, karena pemimpin akan
bertanggung jawab terhadap pendelegasian sebagian wewenangnya kepada
subordinatenya. Hubungan antara pemimpin dan pengikutnya sangat erat, karena
37
keberhasilan seorang pemimpin dalam sebuah organisasi tidak terlepas dari peran
anggota organisasinya. Kasali (2005) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah
mengkomunikasikan kepada orang lain nilai dan potensi mereka secara amat jelas
sehingga mereka bisa melihat hal itu dalam diri mereka dan mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap organisasi. Yukl (2010) mengatakan kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi orang lain untuk memenuhi sasaran bersama.
Menurut Luthans, (2006) mendefinisikan sebagai proses kelompok, personalitas,
pemenuhan perilaku tertentu, persuasi, kekuatan, tujuan, pencapaian, diferensiasi
peran, anisiasi struktur, serta kombinasi dari dua atau lebih dari hal tersebut .
Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam perusahaan, karena perilaku
kepemimpinan akan mempengaruhi perilaku, persepsi, dan sikap karyawan kepada
perusahaan, seperti effective commitment (Podsakoff et al., 2006; Gilbert, De Winne,
dan Sels, 2009), commitment organizational of valued Human Capital (Shahzad,
Rehman, dan Abbas, 2010), organizational citizenship behavior (Lian dan Salleh, 2011),
kepuasan kerja (Yusof dan Tahir, 2011; Lee, 2008), employee turnover (Yusof dan Tahir,
2011).
Menurut Drucker (Moeljono, 2008) pemimpin adalah individu yang made things
happen. Pemimpin adalah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri, membuat
organisasi menjadi sebuah organisasi yang sesungguhnya. Dalam hal ini, pemimpin
adalah individu manusianya, sementara kepemimpinan adalah sifat yang melekat
kepadanya sebagai pemimpin. Selanjutnya dari kata pemimpin tersebut, kepemimpinan
didefinisikan sebagai "the art of getting others to want to do something that individual is
convinced should be done" (Kouzes dan Posner, dalam Sims, 2002). Menurut Hasibuan
38
(2013) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan
agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.
Tannenbaum dan Schmidt mengembangkan model kepemimpinan continuum
(leadership continuum model) pada tahun 1958. Lussier dan Achua (2010) menjelaskan
bahwa leadership continuum model digunakan untuk menentukan jenis kepemimpinan
yang dipilih oleh pemimpin dengan mempertimbangkan situasi (pemimpin, bawahan,
situasi/waktu) untuk memaksimalkan kinerja. Griffin dan Moorhead (2012) juga
menjelaskan bahwa continuum perilaku memiliki range mulai dari perilaku ekstrim
pemimpin yang menggunakan otoritasnya (boss-cantered leadership) sampai perilaku
ekstrim yang membiarkan karyawan mengambil keputusan sendiri (subordinate-
centered leadership).
2.2.6.2 Teori Kepemimpinan
Menurut Gibson et al. (1996) di dalam mempelajari kepemimpinan ada
banyak teori yang dapat dijadikan acuan. Namun teori-teori tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu :
1. Teori Sifat (Trait theory) yaitu suatu pendekatan yang mempertanyakan sifat-
sifat apakah yang membuat seseorang menjadi pemimpin. Dari teori inilah
timbul pernyatan-pernyataan ilmiah yang mengemukakan bahwa
kepemimpinan itu dilahirkan sebagi pemimpin. Pendekatan ini didasarkan
pada asumsi bahwa dapat ditemukan sejumlah ciri individu terbatas dari
pemimpin yang efektif. Unsur-unsur testing kepegawaian dari manajemen
keilmuan dalam kadar yang signifikan, mendukung teori sifat kepemimpinan.
Unsur-unsur testing kepegawaian tersebut adalah :(i) Kecerdasan
39
(intelligence), (ii) Kepribadian (personality), (iii)Karakteristik fisik (physical
characteristic), dan (iv)Kemampuan supervisi.
2. Teori Situasional menyatakan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada
kecocokan antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap, dan persepsi. Ada tiga
pendekatan kepemimpinan yang berorientasikan situasi yaitu :
a) Model kepemimpinan kontingensi.
Teori kontingensi ini dikemukakan oleh Fred Fielder (1987) model
kontingensi yang dikembangkan disebut Contingency Model of Leadership
effectiveness. Model ini memuat hubungan antara leadership style dengan
favorableness of the situation, di mana untuk favorableness of the situation
digambarkan dalam tiga dimensi empiris yang meliputi: (i) Struktur derajat
tugas (The degree of task structure), (ii) Hubungan antara Anggota dengan
pemimpin (the leader-member relationship), dan (iii) Kekuatan posisi (the
leader’s position power). Dari hasil analisis Fielder menemukan bahwa dalam
situasi yang sangat favorable dan yang sangat tidak favorable maka tipe leader
yang paling efektif adalah task directed atau otoriter.
b) Model kepemimpinan Vroom-Yetton.
Vroom dan Yetton telah mengembangkan sebuah model pengambilan
keputusan kepemimpinan yang menunjukkan jenis-jenis situasi di mana
berbagai tingkatan pengambilan keputusan partisipatif akan tepat. Mereka
mencoba menyediakan suatu model normatif. Pendekatan mereka berasumsi
bahwa suatu gaya kepemimpinan tunggal adalah tepat untuk segala situasi
tidak seperti halnya Fiedler, Vroom dan Yetton berasumsi bahwa pemimpin
40
harus cukup luwes untuk mengubah gaya kepemimpinan mereka agar sesuai
dengan situasi. Fiedler berpendapat bahwa situasi harus diubah agar cocok
dengan gaya kepemimpinan yang kaku.
c). Model jalur-tujuan
Robbins (2009) menjelaskan Model Jalur - Tujuan sebagai berikut:
Hakikat teori Jalur – Tujuan yang dikembangkan oleh Robert House ini
adalah bahwa merupakan tugas seorang pemimpin untuk membantu
pengikutnya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberikan
pengarahan yang perlu dan/atau dukungan guna memastikan tujuan mereka
sesuai dengan sasaran keseluruhan dari kelompok atau organisasi.
2.2.6.3 Kepemimpinan yang Efektif
Morgan dan Marshal (2006) mengatakan ciri-ciri pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mengenali dan menyediakan besaran
pembinaan yang tepat bagi bawahan memiliki kepribadian yang caring, openness,
flexibility, warmth, objectivity, truth worthiness, honesty, strength, patience, dan
sensitivity.
Kemimpinan yang effektif menurut Jacobs et al. (2012) nyaman dengan diri
sendiri dan orang lain, meliputi nyaman dengan posisi sebagai pemegang otoritas,
percaya diri dengan kemampuannya untuk memimpin, dan kemampuan untuk
mendengarkan perasaan, reaksi, mood, dan kata-kata orang lain. Hal terpenting lainnya
adalah memiliki kesehatan psikologis.
Adair (2011) menjelaskan kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan
yang mampu memahami dan memenuhi tiga jenis kebutuhan dalam organisasi, yaitu
41
kebutuhan tugas (task needs), kebutuhan individu (individual needs), dan kebutuhan tim
(team needs). Untuk lebih jelasnya mengenai kepemimpinan yang effektif disajikan pada
Tabel 2.2
Tabel 2.2. Kepemimpinan Efektif
Kebutuhan Kualitas Nilai/fungsi
Tugas
Inisiatif Menggerakkan kelompok
perseverance
(pemeliharaan)
Mencegah kelompok agar tidak mudah menyerah
Efisiensi Pekerjaan berjalan dengan baik, memahami biaya
(energi, waktu, dan uang)
Kejujuran Sesuai dengan fakta
Percaya diri Menghadapi kenyataan
Industry Mendapatkan hasil dengan aplikasi yang mantap
Audacity/berani Tidak terkekang dengan aturan atau konvensi
Humility/sederhana Menghadapi kesalahan dan tidak menyalahkan
orang lain
Tim
Integritas Mengintegrasikan tim dan menciptakan
kepercayaan
Humor Bisa menyenangkan suasana
Audacity/berani Memberi inspirasi dengan orisinalitas dan
semangat
Percaya diri Menciptakan kepercayaan
Adil Membangun kedisiplinan melalui kesepakatan
yang adil
Jujur Penuh penghargaan
42
Kebutuhan Kualitas Nilai/fungsi
Humility/sederhana Tidak egois, sombong, dan bisa memberi pujian
Individual
Kebijaksanaan Sensitif dalam berhubungan dengan orang lain
Rasa kasih sayang Menunjukkan simpati dan keperdulian, serta sikap
membantu
Konsistensi Memudahkan orang-orang di mana mereka harus
berada
Humility/sederhana Mengenali kualitas/kemampuan dan memberikan
penghargaan
Jujur Menghargai individu
Adil Memberi dukungan dan semangat kepada individu
melalui kesepakatan yang adil
Sumber: Adair (2011: 9-11).
2.2.6.4 Kepemimpinan Dalam Agama Hindu
Dalam ajaran hindu terdapat beberapa ajaran atau prinsip kepemimpinan
(leadership) yang menekankan kepada perilaku seorang pemimpin. Salah satunya
adalah Astadasa Paramiteng Prabhu atau delapan belas prinsip-prinsip utama
kepemimpinan. Suhardana (2008) prinsip-prinsip kepemimpinan ini termuat dalam
Kakawin Gajah Mada. Kakawin ini menguraikan kejayaan mahapatih Gajah Mada yang
terkenal bijaksana. Di dalam kakawin tersebut terdapat ajaran kepemimpinan di
antaranya tentang profil pemimpin, kerja keras, visioner, cerdik, cermat, tipu daya,
melenyapkan gangguan terhadap negara. Pemimpin dan pandita melaksanakan
fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva, mewujudkan kesejahtraan, melindungi
seluruh wilayah negara, menumbuhkan kesadaran warga negara terhadap tegaknya
43
hukum, mewujudkan kesucian pribadi melalui pertapaan, dan samadhi. Gajah Mada
seorang negarawan besar dan ajaran kepemimpinan yang diajarkan dan di
implementasikan masih sangat relevan dewasa ini.
Kegemilangan, kesuksesan dan kemampuan Gajah Mada dalam mempersatukan
seluruh Nusantara tentu amat menarik untuk dipelajari. Sejarah telah mencatat bahwa
misteri sukses Gajah Mada itu ternyata terletak pada kuatnya dalam meyakini dan
menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dinamakan Astadasa Paramiteng
Prabhu. Menurut Tandes (2007) secara garis besar, norma-norma kepemimpinan
Gajah Mada yang terdiri dari 18 (astadasa) prinsip itu dapat diklasifikasikan dalam tiga
dimensi :
a. Dimensi Spiritual: merupakan dimensi inti dari Astadasa Paramiteng Prabhu.
Dimensi ini membentuk kecerdasan spiritual seorang pemimpin. Kecerdasan
spiritual ini dapat diperoleh dengan mengkhayati dan mengamalkan apa yang
dinamakan Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagaiaan, yakni adanya
hubungan baik dengan Tuhan, hubungan baik antar sesama manusia dan hubungan
baik dengan lingkungan. Selanjutnya pengkhayatan dan pengamalan Tri Hita
Karana secara terus menerus akan dapat meningkatkan Tri Kaya Parisudha seorang
pemimpin: berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik. Dengan
semakin meningkatnya Tri Kaya Parisudha itu, maka kemampuan pengendalian
dirinya pun akan meningkat pula.
Dimensi spiritual kepemimpinan Gajah Mada itu terdiri atas tiga prinsip, yakni :
1) Wijaya artinya tenang, sabar dan bijaksana.
2) Masihi Samasta Bhuwana atau harmonis dengan alam.
3) Prasaja artinya hidup sederhana.
44
b. Dimensi Moral :
Dimensi Moral kepemimpinan Gajah Mada terdiri dari enam prinsip, yaitu:
1) Mantriwira artinya seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan
kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh tekanan dari pihak lain.
2) Sarjawa Upasama. Seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong atau
congkak dan tidak mentang-mentang karena jadi pemimpin atau janganlah sok
kuasa.
3) Tan Satresna. Seorang pemimpin harus berdiri diatas semua golongan.
4) Sumantri. Seorang pemimpin haruslah tegas, jujur, bersih dan berwibawa.
5) Sih Samasta Bhuwana atau dicintai dan mencintai rakyat.
6) Nagara Gineng Pratijna. Seorang pemimpin hendaknya mengutamakan kepentingan
negara dan bangsa dari pada kepentingan pribadi.
c. Dimensi Managerial:
Dimensi Managerial kepemimpinan Gajah Mada terdiri atas sembilan prinsip, yakni
:
1) Matangguan. Seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
2) Satya Bhakti Prabhu. Seorang pemimpin harus loyal kepada kepentingan yang lebih
tinggi.
3) Wagmi wak. Seorang pemimpin haruslah menjadi komunikator yang baik.
4) Wicaksaneng Naya. Untuk mencapai tujuan, seorang pemimpin perlu mengatur
strategi yang tepat.
5) Dhirotsaha. Seorang pemimpin harus bekerja dengan target yang jelas, terukur dan
berbatas waktu.
45
6) Dibyacitta. Seorang pemimpin harus akomodatif dan aspiratif.
7) Nayaken Musuh. Seorang pemimpin harus mampu menundukkan musuh-musuhnya
dengan baik yang ada di dalam dirinya sendiri maupun yang datang dari luar.
8) Ambek Paramartha. Seorang pemimpin hendaknya memusatkan perhatiannya
kepada sasaran atau target. Untuk itu seorang pemimpin harus pandai menentukan
skala prioritas, artinya mana yang perlu didahulukan.
9) Waspada Purwartha. Seorang pemimpin organisasi harus selalu mengadakan
evaluasi dan perbaikan yang terus menerus.
Penelitian ini akan menggunakan konsep pendekatan situasional (contingency)
yang dipaparkan oleh Fiedler (1987) yang dikembangkan oleh Paul dan Blanchard
(1992). Adapun pertimbangan memakai pendekatan ini: (i) secara filosofis fundamental
kepemimpinan situasional mengatakan: tidak adanya gaya kepemimpinan yang terbaik.
Kepemimpinan yang efektif adalah tergantung pada relevansi tugas, dan hampir semua
pemimpin yang sukses selalu mengadaptasi gaya kepemimpinan yang tepat, (ii)
efektivitas kepemimpinan bukan hanya soal pengaruh terhadap individu dan kelompok
tapi tergantung pula terhadap tugas, pekerjaan atau fungsi yang dibutuhkan secara
keseluruhan, (iii) fokus kepemimpinan situasional pada fenomena kepemimpinan di
dalam suatu situasi yang unik, dan (iv) kepemimpinan memiliki batas-batas budaya,
artinya para pemimpin perlu menyesuaikan gaya mereka dengan aspek-aspek kultural
yang unik dari suatu negara (Robbins, 2009).
Pada pendekatan situasional terdapat 3 variabel situasi utama yang cenderung
menentukan apakah suatu situasi tertentu menguntungkan bagi pemimpin, yaitu : (i)
hubungan pribadi mereka dengan para anggota kelompok (hubungan pemimpin-
46
anggota), (ii) kadar struktur tugas yang ditugaskan kepada kelompok untuk dilaksanakan
(struktur tugas), dan (iii) kuasa dan wewenang posisi yang dimiliki (kuasa posisi).
Untuk mengimplikasikan ajaran kepemimpinan dalam agama hindu asta dasa
paramiteng prabhu dengan menggunakan konsep pendekatan situasional yang
dipaparkan oleh Fiedler terlebih dahulu akan dijastifikasikan. Untuk dimensi spritual dan
moral identik dengan hubungan pemimpin anggota, sedangkan untuk dimensi
manajerial identik dengan struktrur tugas dan kuasa posisi.
2.2.7 Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional (organizational commitment) merupakan salah satu
tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variabel
terikat, variabel bebas, maupun variabel mediasi. Hal ini antara lain dikarenakan
lembaga membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi
agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang
dihasilkannya. Menurut Baron dan Greenberg (1990) karyawan yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga
pada akhirnya juga lebih menguntungkan bagi organisasi. Mondy dan Noe. (1996)
mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi akan
lebih termotivasi untuk hadir dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan
organisasi.
Baron dan Greenberg (1990) mengemukakan bahwa komitmen kerja
merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan individu dalam pekerjaannya dari
ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
2.2.7.1 Pengertian Komitmen Organisasional
47
Luthans (2006), mengemukakan, bahwa organizational commitment are (1) a
strong desire to remain a member of particular organization, Keinginan yang kuat untuk
mempertahankan seorang anggota organisasi tertentu, (2) a willingness to exert high
levels of effort on behalf of the organization, Sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha
mempertahankan name organisasi and (3) a definite belief in, and acceptance of, the
values and goals of the organization.
George dan Gareth (2002) organizational commitment is the collection of feelings
and beliefs that people have about their organization as a whole. Hal ini berarti level
komitmen dimulai dari sangat tinggi sampai sangat rendah, orang-orang dari
mempunyai sikap tentang berbagai aspek organisasi mereka seperti saat praktek
promosi organisasi, kualitas produk organisasi dan perbedaan budaya organisasi. Sopiah
(2008) mendefinisikan komitmen organizational sebagai derajat dimana karyawan
percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau akan
meninggalkan organisasinya. Robbins dan Judge (2009) mendefinisikan komitmen
organizational sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi
tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi tersebut. Keterlibatan terhadap pekerjaan tinggi mempunyai anti
bahwa seorang individu telah melibatkan dirinya kepada aktivitas organisasi, sementara
komitmen organizational yang tinggi berarti keberpihakan karyawan terhadap organisasi
secara riil akan dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Ayenew (2009) mengungkapkan komitmen organisasional: “organizational
commitment is based on affective attachment to the work organization. Organizational
commitment can become a vehicle by which individuals manifest loyalty to and
identification with the organization. Committed employees identify with and feel loyal
48
toward the organization, they share the value of the organization and have a personal
sense of importance about the agency's mission”.
Namun O’Reilly dan Chatman, J. (1986) berpendapat bahwa kedua hal di atas
tidak secara tiba-tiba datangnya, melainkan harus didahului oleh apa yang ia sebut
sebagai compliance dan identification. Complication adalah suatu kepatuhan individu
terhadap keinginan perusahaan semata-mata karena yang bersangkutan ingin
mendapatkan sesuatu dari perusahaan tersebut sedangkan identification adalah suatu
kebanggaan yang ada di dalam diri individu karena menjadi bagian dari perusahaan.
2.2.7.2 Komponen Komitmen Organisasional
Mowday, Steers, dan Porter (Spector, 2000) mengemukakan bahwa komitmen
organisasional terdiri dari tiga komponen, yaitu penerimaan dan keyakinan yang kuat
terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi, kesediaan individu untuk berusaha
dengan sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi serta keinginan yang kuat untuk
mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.
Menurut Meyer dan Allen (1991) ada tiga komponen komitmen organisasional
yaitu:
1. “Affective commitment refers to the employee's emotional attachment to,
identification with, and involvement in the organization. Employees with a strong
affective commitment continue employment with the organization because they
want to do so. Komitmen afektif sebagai keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi karena adanya ikatan emosional, identifikasi dengan organisasi dan
keterlibatan dengan kegiatan organisasi.
49
2. Continuance commitment refers to an awareness of the costs associated with
leaving the organization. Employees whose primary link to the organization is based
on continuance commitment remain because they need to do so.
Komitmen continuance adalah komitmen yang berkelanjutan sebagai keinginan
untuk tetap menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran akan biaya yang
terkait dengan itu ketika meninggalkan organisasi.
3. “Normative commitment reflects a feeling of obligation to continue employment
Employees with a high level of normative commitment feel that they ought to remain
with the organization”.Komitmen normatif adalah komitmen yang didasarkan pada
norma yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab
terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen
ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to)”.
Hal yang umum dari ketiga pendekatan tersebut adalah pandangan bahwa
komitmen merupakan kondisi psikologis yang mencirikan hubungan antara karyawan
dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi keputusan individu untuk tetap berada
atau meninggalkan organisasi, namun demikian sifat dan kondisi psikologis untuk bentuk
komitmen sangat berbeda.
2.2.8.Kinerja Perusahaan
2.2.8.1 Pengertian Kinerja Perusahaan
Kinerja organisasi publik belakangan ini sering di perdebatkan. Jacky Holloway,
dalam Rose dan Lawton (1999) menyatakan; At its broadest, performance management
can be defined as the managerial work needed to ensure that organization’s top – level
aims (somes times expressed as vision and mission statement) and objectives are
50
attained. Usually this will require rewalistic time periods for their attained in a
controlled way, contributing in a tangible way to top-level objectives.
Mardiasmo (2002), mengemukakan tolok ukur kinerja organisasi publik berkaitan
dengan ukuran keberhasilan yang dapat dicapai oleh organisasi tersebut. Satuan ukuran
yang relevan digunakan adalah effisiensi pengelolaan dana dan tingkat kualitas
pelayanan yang dapat diberikan kepada publik.
Dengan demikian, dapat dinyatakan kinerja organisasi publik adalah hasil kerja
yang dapat menjamin tercapainya tujuan organisasi sesuai dengan visi, misi dan sasaran
organisasi. Sehingga untuk menilai kinerja organisasi publik, diperlukan beberapa
indikator yakni; efektivitas, efisiensi, ekonomis dan ekuitas.
2.2.8.2. Pengukuran Kinerja Perusahaan
Ukuran kinerja atau parameter performance adalah suatu ukuran yang dibuat
untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja fungsi, pekerjaan maupun kinerja
industri secara umum. Dengan perkataan lain, ukuran kinerja dilakukan untuk
mengetahui seberapa jauh suatu fungsi atau bagian tertentu dari perusahaan dan orang-
orang yang bekerja di dalamnya mencapai tujuan, baik tujuan umum maupun khusus,
yang ditugaskan kepada mereka. Ukuran tersebut dinamakan ukuran kinerja dan dapat
dinyatakan secara kuantitatif atau secara kualitatif (Indrajid dan Djokopranoto, 2005).
Zainal dan Hessel (2004) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan
suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan
yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkan untuk berperan sebagai
mekanisme untuk memberikan penghargaan / hukuman (reward / punishment), akan
tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk
memperbaiki kinerja organisasi.
51
2.2.8.3 Pengukuran Kinerja Model Balanced Scorcard
Robert dan David (1997), telah merumuskan Balanced Scorcard dalam rangka
pengukuran kinerja dengan menggunakan empat aspek pengukuran. Ukuran kinerja ini
sudah mendekati ukuran ideal karena selain mengukur kinerja keuangan juga diukur
aspek non keuangan. Dalam metode pengukuran ini terdapat empat persepektif yaitu:
(i) perspektif keuangan, (ii) perspektif pelanggan, (iii) perspektif operasional, dan (iv)
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
2.2.8.4 Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik
Menurut Selim dan Woodward (2004, dalam Nawawi, 2013) mengemukakan
bahwa ada lima dasar yang bisa dijadikan indikator kinerja sektor publik antara lain: (i)
pelayanan, yang menunjukkan seberapa besar pelayanan yang diberikan, (ii) ekonomi,
yang menunjukkan apakah biaya yang digunakan lebih murah daripada yang
direncanakan, (iii) efisiensi, yang menunjukkan perbandingan hasil yang seharusnya
dengan hasil yang dicapai, dan (v) equity, yang menunjukkan tingkat keadilan potensial
dan kebijakan yang dihasilkan.
2.2.8.5 Pengukuran Kinerja Kepmendagri No.47 Tahun 1999
Dalam rangka meningkatkan pelayanan air minum kepada masyarakat baik
secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas, Kementrian Dalam Negeri telah
mengeluarkan Peraturan No. 47 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja
Perusahaan Daerah Air Minum. Pedoman ini harus dipakai untuk mengetahui
keberhasilan direksi dalam mengelola PDAM sekaligus dijadikan dasar dalam
menentukan penggolongan tingkat keberhasilan PDAM. Pada Bab II pasal 2 dan
52
pasal 3, disebutkan Badan Pengawas pada setiap akhir tahun buku melakukan
penilaian atas kinerja PDAM meliputi aspek keuangan, aspek operasional, dan
aspek administrasi. Adapun indikator dari masing-masing aspek akan disajikan
pada bab 3 dalam definisi operasional variabel .
Penelitian ini akan menggunakan pengukuran kinerja perusahaan mengacu
kepada pedoman yang lazim berlaku pada PDAM di seluruh Indonesia tentang: Pedoman
Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum berdasarkan Kepmendagri No.47 tahun
1999. Adapun pertimbangan menggunakan pengukuran kinerja ini: (i) secara praktek
sebagai pedoman untuk mengetahui keberhasilan direksi dalam mengelola PDAM
sekaligus dijadikan dasar dalam menentukan penggolongan tingkat keberhasilan PDAM,
dan (ii) kalau dibandingkan secara teori ukuran kinerja model Balanced Scorecard
(Robert dan David, 1997) tidaklah jauh berbeda, indikator masing-masing perspektif
yang dipakai ukuran kinerja dalam Balance Score Card, sudah juga dipakai indikator
pada masing-masing aspek dalam Kepmendagri No 47 Tahun 1999. Berdasarkan
pertimbangan ini menurut pandangan penulis dalam rangka menilai kinerja PDAM
sangat cocok dipakai.
53
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis hubungan antar
variabel penelitian yang secara operasional dapat dilakukan melalui uji emperis
terhadap beberapa hal sebagai berikut :
1. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja pada Perusahaan Daerah
Air Minum di Provinsi Bali.
2. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap kepemimpinan pada Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
3. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap komitmen organisasional pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
4. Pengaruh kepemimpinan terhadap komitmen organisasional pada Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
5. Pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja perusahaan pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
6. Pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja perusahaan pada Perusahaan Daerah
Air Minum di Provinsi Bali.
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini memberikan kontribusi baik
secara teoretis maupun secara praktis sebagai berikut :
54
3.2.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1 Memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia akademik, baik dalam
bidang manajemen sumberdaya manusia maupun perilaku organisasi,
khususnya mengenai budaya organisasi dengan nilai-nilai budaya Tri Hita
Karana , kepemimpinan, komitmen organisasional serta kinerja perusahaan
yang selama ini banyak diterapkan pada perusahaan atau industri apakah
sesuai jika diterapkan pada BUMD salah satunya pada Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM).
2 Dapat memberikan sumbangan konseptual dan bahan kajian teori perilaku
organisasi, khususnya mengenai budaya organisasi, kepemimpinan, komitmen
organisasional dengan menguji hubungan dengan kinerja perusahaan
berdasarkan kajian emperik yang dilakukan.
3 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi khasanah pemikiran guna
penelitian lebih lanjut, khususnya penelitian yang berhubungan dengan
variabel yang dibahas.
3.2.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1 Para Direksi PDAM, dapat memberikan sumbangan informasi dalam
pengambilan keputusan manajerial untuk budaya organisasi, kepemimpinan,
55
dan komitmen organisasional terhadap kinerja perusahaan dengan
mengimplementasikan nilai-nilai atau kontens lokal.
2 Diharapkan memberi manfaat bagi Direksi PDAM di Bali sebagai sumbangan
pemikiran dalam upaya merumuskan berbagai kebijakan tentang pengelolaan
sumberdaya manusia yang terkait dengan nilai-nilai lokal (budaya organisasi
dan kepemimpinan), komitmen organisasional dalam rangka meningkatkan
kinerja PDAM.
3 Bagi pemerintah Daerah sebagai pemilik PDAM sangat berkepentingan
terhadap kemajuan PDAM, baik dalam pelayanan maupun dalam peningkatan
keuntungan (Laba). Hasil penelitian ini yang menyangkut budaya organisasi
dengan nilai-nilai Budaya Tri Hita Karana dan kepemimpinan lokal dalam
hubungannya dengan komitmen organisasional dalam rangka meningkatkan
kinerja perusahaan dapat memberikan masukan dalam kebijakan rekrutmen
calon Direksi PDAM pada masa yang akan datang.
56
BAB 4
METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan metode penelitian yang meliputi: Kerangka konseptual
penelitian, hipotesis penelitian, definisi operasional variabel, lokasi penelitian, populasi
dan sampel, teknik pengukuran variabel, jenis data dan sumber data teknik
pengumpulan data, pendekatan penelitian, skala pengukuran data, uji validitas dan
reliabilitas instrumen, dan teknik analisis data yang digunakan. Semua hal tersebut
diuraikan sebagai berikut:
Dari berbagai telaah yang telah dipaparkan pada bab 2, baik dari aspek teoritis
maupun empiris, berbagai determinan telah dikembangkan untuk menjelaskan
beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan. Dalam penelitian ini dikaji 3
(tiga) variabel yang mempengaruhi kinerja perusahaan yaitu: Budaya Tri Hita Karana,
Kepemimpinan, dan Komitmen Organisasional.
4.1. Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kajian
mendalam, baik berdasarkan teori maupun kajian emperis tentang hubungan
antara budaya organisasi, kepemimpinan, komitmen organisasional, dan kinerja
perusahaan. Kerangka konseptual dijabarkan dari perumusan masalah yang telah
diuraikan sebelumnya serta penjelasan tiap-tiap variabel dan pola variabel
tersebut. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa budaya organisasi,
kepemimpinan, komitmen organisasional merupakan variabel penting dalam
meningkatkan kinerja perusahaan.
57
Kompleksitas dari pengaruh budaya dapat membuat sesuatu yang mudah
dipahami, namun tidak dapat dimplementasikan secara baik. Meskipun berbagai
aspek budaya nasional telah mendapat perhatian dari para praktisi, pengaruh
budaya dalam penerapan budaya organisasi belum dikoneksikan dengan baik
(Clifford dan Markus, 1986; Emerson et al., 1995; dalam Subroto, 2009).
Hofstede (2001) telah berupaya melakukan kajian untuk mengkoneksikan budaya
nasional ke dalam budaya organisasi. Hasil karyanya telah memberikan dasar
pertimbangan bahwa manusia memiliki program mental yang dibangun melalui
pengalamannya. Program mental yang dibawa dan pengalaman yang didapatkan
tersebut merupakan tata nilai dan norma-norma yang terkandung dalam budaya
nasional.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam budaya nasional di
Indonesia secara tidak langsung berpengaruh terhadap pembentukan budaya
organisasi. Shein (2004) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya nasional akan berpengaruh terhadap beberapa aspek budaya organisasi
(seperti pola kekerabatan, politik, dan pembentukan asosiasi). Pada sisi lain
Hofstede (2001) memandang bahwa pengaruh penting dari budaya nasional
terhadap budaya organisasi khususnya di Asia berada pada aspek religius yang
disebut konfusianisme. Menurut Hofstede (2001) sebagian besar masyarakat di
Asia masih menggunakan dogma dan nilai-nilai agama dalam menentukan pilihan
untuk menghindari ketidakpastian (uncertainty avoidance).
Robbins (2009) memandang budaya organisasi sebagai nilai-nilai dasar dan
dominan yang dianut oleh anggota organisasi. Disamping itu, merupakan filosofis
58
dasar organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain.
Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dasar dalam organisasi yang diyakini
kebenarannya oleh seluruh anggota organisasi. Nilai-nilai dasar inilah yang
nantinya menjadi pedoman sumber daya manusia dalam organisasi serta
digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
suatu organisasi. Menurut Susanto et al. (2008) budaya organisasi menjadi faktor
yang semakin penting, baik dalam menentukan keberhasilan maupun kegagalan
perusahaan. Oleh karena itu, yang sering terjadi justru budaya organisasi yang
kurang tepat menjadi penghalang menuju kinerja unggul.
Kajian tentang budaya organisasi dalam kaitannya dengan kinerja
perusahaan telah banyak dilakukan. Dari berbagai penelitian yang telah dilkukan
terbukti bahwa budaya organisasi dapat membawa perusahaan menuju teciptanya
kinerja yang unggul (Kotter dan Hessket 1997). Studi yang dilakukan Kotter &
Heskett menyimpulkan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak positif
terhadap kinerja usaha. Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasawarsa yang akan
datang budaya organisasi akan menjadi salah satu faktor yang yang lebih penting
lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Michie dan A. West (2004); Lee dan Yu
(2004); Onken (1998); Davidson et al.(200); Fey dan Denison (2003), hasil
penelitiannya menyimpulkan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja
organisasi. Pengkajian yang lain yang mendapatkan hasil penelitian bahwa budaya
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi
dilakukan oleh: Gani (2006); Supartha (2006); Koesmono (2011); dan
59
Marcoulides (1993). Penelitian yang mengkaji keterkaitan nilai budaya lokal
yang terangkum dalam budaya Tri Hita Karana dengan kinerja usaha dilakukan
oleh: Gunawan (2009); Riana (2010); Astawa et al. (2012); dan Astawa et al.
(2013) menemukan hasil bahwa budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja organisasi.
Peran budaya organisasi dalam meningkatkan kinerja usaha tidak terlepas
dari dukungan kepemimpinan. Budaya organisasi dan kepemimpinan merupakan
dua komponen yang saling bekaitan seperti dua sisi dalam satu uang koin. Pada
awalnya budaya perusahaan diciptakan oleh pemimpin/pendiri perusahaan yang
merupakan nilai (asumsi dasar) pendiri perusahaan untuk memecahkan masalah.
Selanjutnya nilai ini dibagikan kepada seluruh anggota organisasi sebagai
tuntunan berpikir, berbicara dan berprilaku sehingga menjadi suatu budaya
organisasi. Setelah budaya terbentuk, maka budaya tersebut akan menentukan
kepemimpinan yang dapat diterima yaitu pemimpin yang selaras dengan nilai
budaya tersebut. Oleh karena itu kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan
dua variabel penting yang saling mempengaruhi dan juga berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan. Pada tingkat organisasi budaya merupakan seperangkat
asumsi-asumsi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang dimiliki para
anggota kelompok yang bersangkutan (Schein, 2004). Oleh karena itu budaya
organisasi akan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok di dalam
organisasi, sehingga budaya organisasi dapat memberikan sumbangan terhadap
kepemimpinan dalam suatu organisasi.
60
Sharma dan Sharma (2010); Ogbonna dan Harris (2000); dan Sumarto dan
Subroto (2011), hasil penelitiannya menemukan bahwa budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepemimpinan. Dari hasil penelitian
Ogbonna dan Harris (2000) merekomendasikan tiga hal: (1) pentingnya
meningkatkan kinerja dengan gaya kepemimpinan; (2) pentingnya meningkatkan
kinerja dengan budaya yang baik.
Keberadaan seorang pemimpin dalam suatu organisasi sangat dibutuhkan
untuk memberikan arahan serta mengendalikan jalannya suatu organisasi,
berbagai gaya kepemimpinan akan mewarnai perilaku seorang pemimpin dalam
menjalankan tugasnya. Robbins (2009) kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Seorang pemimpin yang
partisipatif, berakibat kreativitas karyawan akan menonjol, karena pemimpin akan
memberikan kesempatan kepada karyawan untuk ikut memikirkan cara mencapai
tujuan perusahaan. Hasibuan (2013) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin
mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara
produktif untuk mencapai tujuan perusahaan. Pimpinan yang memiliki komitmen
organisasional yang tinggi akan berdampak pada kepuasan kerja karyawan dan
berdampak pula pada kinerja perusahaan.
Penelitian yang mengkaji keterkaitan kepemimpinan dengan kinerja
organisasi dilakukan oleh: Elenkov (2000); Waldman et al. (2001); Xenikou dan
Simosi; Prabhu dan Robson (2000); Februanto (2011); Hidayat (2011); dan
Koesmono (2011); Gunawan (2009); Kamaliah (2011); dan Dharmanegara
61
(2013). Hasil-hasil penelitiannya menemukan kepemimpinan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Selain budaya organisasi dan kepemimpinan, komitmen organisasional juga
berperan dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Komitmen menunjukkan
keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai
oleh organisasi (Mowday et al. 1979). Komitmen organisasional bisa tumbuh
disebabkan karena individu memiliki ikatan emosional terhadap organisasi yang
meliputi dukungan moral dan menerima nilai yang ada serta tekad dari dalam diri
untuk mengabdi pada organisasi (Porter et al. 1974).
Komitmen akan membuat organisasi lebih produktif dan profitable (Luthan,
2006). Bagi individu dengan komitmen organisasional yang tinggi, pencapaian
tujuan organisasi merupakan hal yang penting, sebaliknya bagi individu atau
karyawan dengan komitmen organisasional rendah akan mempunyai perhatian
yang rendah pada tujuan organisasi dan cendrung berusaha memenuhi
kepentingan pribadi. Dalam pencapaian tujuan akhir organisasi yang sesuai
dengan yang diharapkan, maka organisasi harus mempunyai komitmen
organisasional yang kuat. Komitmen organisasional yang kuat menyebabkan
individu berusaha keras mencapai tujuan organisasi sesuai dengan kepentingan
organisasi serta akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha berbuat yang
terbaik demi kepentingan organisasi dan menjadikan organisasi ke arah yang lebih
baik (Angle dan Perry 1981).
Penelitian tentang komitmen organisasional dalam kaitannya dengan kinerja
perusahaan telah banyak dilakukan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan
62
terbukti bahwa komitmen organisasional berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan (Rashid et al., 2003); Shaw et al. (2003); Kamaliah (2011); Koesmono
(2011); dan ( Syauta, 2012 ).
Berdasarkan saling ketekaitan antar variabel penelitian, dapat dibangun
kerangka konseptual seperti pada Gambar 4.1
Gambar 4.1Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber : Beberapa Hasil Penelitian.
Keterangan :
1. Budaya THK Kinerja Perusahaan: Michie dan A. West (2004); Lee dan Yu (2004);Onken (1998); Davidson et al. (2000); Fey dan Denison (2003); Denison dan Mishra(1995); Onken (1998); Davidson et al. (2007); Moelyono (2003); Raka Suardana(2003); Gani (2006); Supartha (2006); Gunawan (2009); Riana, (2010); Astawa etal.(2012); Astawa et al. (2013); Dharmanegara et al. (2013); Koesmono (2011);Kamaliah (2011); Marcoulides dan Heck (1993); Lim (1995); dan Februanto (2011)
Komitmen
Organisasional
(Y2)
Kepemimpin
an
(Y1)
Budaya
THK
X1
(Y1)2
1
3
4
5
6
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
63
2. Budaya THK Kepemimpinan: Robbins (2009); Schein (2004); Ogbonna danHarris, (2000); Sumarto dan Subroto, (2011); Sharma and Sharma, (2010); danGunawan (2009); Schimmoeller (2010);
3. Kepemimpinan Kinerja Perusahaan: Ogbonna dan Harris, (2000); Raka Suardana(2003); Elonkov (2000); Waldman et al. (2005); Gede Supartha (2006); Gunawan(2009); Xenikou dan Simosi (2006); Prabhu dan Robson (2000); Februanto (2011);Hidayat (2011); Koesmono (2011); dan Dharmanegara et al. (2013); Timothy et al.(2011)
4. Budaya THK Komitmen Organisasional: Kamaliah (2011); Rashid et al. (2003);Koesmono (2011); Lock and Crawford (2003); Nongo dan Ikyanyon, (2012); Ojo(2011); Chen (2004); dan Setyabudi (2008).
5. Komitmen Organisasional Kinerja Perusahaan: Rashid et al. (2006); Somers,(1998); Kamaliah, (2011); Shaw et al. (2003); Syauta (2012); dan Koesmono (2011).
6. Kepemimpinan Komitmen Organisasional: Muchiri (2002); O’Relly dan Chatman(1986); Randal (1990); Savery (1994); Lok dan Crawford (2004); Nystrom (1993);Chen (2004); Yousef (2000); Bass dan Avolio (1993); Rowden (2000); Bourantas danPapalexandris (1993); Yiing dan Ahmad; dan Kuo- Tsai Liou dan Ronald C. Nyhan,
(1994).
4.2 Hipotesis Penelitian.
Pembuktian hubungan antar variabel dalam kerangka konseptual penelitian dapat
dirumuskan hipotesis penelitian didasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, dan penelitian terdahulu.
3.2.1. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kinerja Perusahaan.
Gunawan (2009) dan Riana (2010); melakukan kajian budaya organisasi dengan
mengadopsi nilai-nilai budaya Tri Hita Karana menemukan hasil bahwa pelaksanaan
budaya THK mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Di samping itu juga budaya THK
mampu mempengaruhi orientasi berpikir karyawan dalam melaksanakan tugas di
perusahaan. Astawa et al. (2012) menemukan nilai-nilai harmoni yang terangkum dalam
budaya THK telah dilakukan dengan baik pada perusahaan akan memiliki kinerja yang
bagus. Berdasarkan pemaparan ini dapatlah diajukan hipotesis berikut ini.
64
Hipotesis 1: Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
3.2.2. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kepemimpinan.
Ogbonna dan Harris (2000) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara budaya organisasi terhadap kepemimpinan. Demikian juga Sumarto
dan Subroto (2011), Sharma and Sharma (2011). Begitu juga Gunawan (2009);
Sumarto dan Subroto (2011); dan Schimmoeler (2010) menemukan hasil bahwa
terdapat pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap
kepemimpinan. Beberapa penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang
menyatakan hubungan yang erat antara budaya organisasi terhadap
kepemimpinan. Berdasarkan pemaparan ini dapatlah diajukan hipotesis berikut
ini.
Hipotesis 2: Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepemimpinan.
3.2.3. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perusahaan.
Elenkov (2000); Waldman et al. (2001); Obganna dan Harris (2000), menemukan
adanya hubungan antara kepemimpinan khususnya atribut kepemimpinan
transformasional dengan kinerja organisasi. Begitu juga kajian yang dilakukan oleh
Bass (1993); Xenikou dan Simosi (2006); dan Prabhu dan Robson (2000) menemukan
hasil peningkatan kinerja kepemimpinan terbukti mempengaruhi peningkatan kinerja
organisasi. Pendapat yang sama dikemukakan oleh: Lee and Yu, (2004); Gunawan
(2009); Subroto (2009); dan Kamaliah (2011) mendapatkan hasil bahwa kepemimpinan
berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi. Raka Suardana (2003) dan Koesmono
65
(2011); mengatakan bahwa kepemimpinan terhadap kinerja organisasi. Beberapa
penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang menyatakan hubungan yang erat
antara kepemimpinan terhadap kinerja organisasi. Berdasarkan pemaparan ini dapatlah
diajukan hipotesis berikut ini.
Hipotesis 3: Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
perusahaan
3.2.4. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Komitmen Organisasional.
Rashid et al.(2003); Setyabudi (2008); Ojo (2001) berdasarkan hasil penelitiannya
mendapatkan kesimpulan budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen
organisasional. Pendapat yang sama dikemukan Lock and Crawford (2004); Nongo dan
Ikyanyon (2012); dan Koesmono (2012) berdasarkan kajiannya mendapatkan
kesimpulan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap komitmen organisasional.
Beberapa penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang menyatakan
hubungan yang erat antara budaya Tri Hita Karana terhadap komitmen organisasional.
Berdasarkan pemaparan ini dapatlah diajukan hipotesis berikut ini.
Hipotesis 4: Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif dan signifikan terhadap
komitmen organisasional.
3.2.5. Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja Perusahaan.
Rashid et al. (2003), Koesmono (2011), dan Syauta (2012) melakukan penelitian
mendapatkan kesimpulan adanya pengaruh positif antara komitmen organisasional
dengan kinerja organisasi. Begitu pula Kamaliah (2011) melalui identifikasi variabel
komitmen affektif, normatif dan kontinyu mendapatkan hasil komitmen organisasional
berpengaruh terhadap kinerja manajemen. Shaw et al. (2003) menyatakan bahwa
66
komitmen organisasional untuk ekspatriat tidak berpengaruh terhadap kinerja
organisasi. Sedangkan untuk pekerja penduduk asli berpengaruh positif signifikan.
Yousef (2000) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap berbagai organisasi bisnis baik
bisnis jasa maupun industri, begitu juga dilihat dari status kepemilikan (swasta,
pemerintah dan kerja sama) menyimpulkan, bahwa komitmen organisasional
berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Beberapa penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang menyatakan
pengaruh yang erat antara komitmen organisasional terhadap kinerja organisasi.
Berdasarkan pemaparan ini dapatlah diajukan hipotesis berikut ini.
Hipotesis 5: Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja perusahaan.
3.2.6. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasional
Penelitian keterkaitan antara kepemimpinan terhadap komitmen organisasional
telah dilakukan beberapa penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh: Muchiri (2002) dan
Chen (2004), mendapatkan hasil ada pengaruh positif dan signifikan antara
kepemimpinan dengan komitmen organisasional. Hasil penelitian ini diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Ying dan Ahmad, (2008) ; Kamaliah, (2011) mendapatkan
kesimpulan yang sama bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara kepemimpinan
dengan komitmen organisasional.
Beberapa penelitian di atas memperkuat keberadaan teori yang menyatakan
hubungan yang erat antara kepemimpinan terhadap komitmen organisasional.
Berdasarkan pemaparan ini dapatlah diajukan hipotesis berikut ini.
67
Hipotesis 6 : Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
komitmen organisasional
4.3 Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan kerangka konseptual, penelitian ini dapat diklasifikasikan
menjadi 4 (empat) variabel yaitu :
1. Budaya Tri Hita Karana (THK) sebagai variabel bebas (independent
variables) (Xi)
2. Kepemimpinan sebagai variabel terikat (dependent variables), dan
sekaligus sebagai variabel mediasi (mediation variables) (Y1)
3. Komitmen Organisasional sebagai variabel terikat (dependent
variables), dan sekaligus sebagai variabel mediasi (mediation
variables) (Y2)
4. Kinerja Perusahaan sebagai variabel terikat (dependent variables)
(Y3)
Untuk memudahkan pemahaman dan pengukuran setiap variabel yang
digunakan dalam penelitian ini, maka ditetapkan definisi operasional dari masing-
masing variabel
1). Budaya Tri Hita Karana (Xi) adalah persepsi Direksi PDAM terhadap
implementasi suatu sistem nilai yang diwarnai oleh nilai-nilai yang
menekankan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan),
manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan lingkungan alam
(palemahan) yang secara rinci masing-masing hubungan tersebut adalah
sebagai berikut:
68
a) Parahyangan (Xi.1) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
b) Pawongan (Xi.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
hubungan antara manusia dengan manusia. Perilaku Organ PDAM sudah
berorientasi kepada kepentingan perusahaan.
c) Palemahan (Xi.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
hubungan antara manusia dengan lingkungan.
2). Kepemimpinan (Y1) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
mengenai proses atau cara mempengaruhi karyawan dalam mencapai tujuan
perusahaan, yang terdiri dari indikator: spiritual, moral, dan manajerial. Adapun
masing-masing indikator secara rinci dijabarkan sebagai berikut :
a) Indikator spiritual (Y1.1) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
mengenai kadar kecerdasan spiritual kepemimpinan.
b) Indikator moral (Y2.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap implementasi
mengenai kadar upaya pemimpin membina hubungan dengan organ PDAM.
c) Indikator manajerial (Y1.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi mengenai kekuasaan dan upaya pemimpin memberikan
penghargaan dan sangsi.
69
3). Komitmen Organisasional (Y2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi mengenai derajat dimana organ PDAM percaya dan mau menerima
tujuan-tujuan perusahaan dan tetap tinggal atau meninggalkan perusahaan, yang
terdiri dari indikator: afektif, kontinyu, dan normatif yang secara rinci dijelaskan
sebagai berikut :
a) Indikator afektif (Y2.1) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi mengenai keinginan untuk tetap menjadi karyawan
perusahaan karena adanya ikata emosional, dan keterlibatan dengan
kegiatan perusahaan.
b) Indikator kontinyu (Y2.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi mengenai keinginan untuk tetap menjadi karyawan
perusahaan karena adanya kesadaran akan biaya yang terkait dengan itu
ketika meninggalkan perusahaan.
c) Indikator normatif (Y2.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi mengenai norma yang ada dalam diri karyawan berisi
keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap perusahaan. Secara detail
implementasi tersebut terdiri dari item-item:
4). Kinerja Perusahaan (Y3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan mengelola PDAM dan sekaligus menentukan
tingkat penggolongan keberhasilan, yang terdiri dari indikator: Keuangan,
Operasional, dan Administrasi. secara rinci dijabarkan sebagai berikut:
a) Indikator Keuangan (Y3.1) yaitu tanggapan Direksi PDAM terhadap
implimentasi keberhasilan pengelolaan keuangan, akuntansi dan
pengolahan data elektronik.
70
b) Indikator Operasional (Y3.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam menyelenggaraan dan mengendalikan
kegiatan dalam bidang produksi, distribusi, dan perencanaan umum.
c) Indikator Administrasi (Y3.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam pengawasan dan pengendalian terhadap
penyelenggaraan, tata kerja, dan prosedur dari unit-unit kerja dalam perusahaan
sesuai ketentuan yang berlaku.
4.4 Lokasi Penelitian.
Penelitian ini berlokasi pada Perusahaan Daerah Air Minum di Bali. Terdapat 9
PDAM yang ada di Bali, yang terdiri dari 8 PDAM di tingkat kabupaten dan 1 PDAM di
tingkat kota, untuk lebih jelasnya mengenai lokasi masing-masing PDAM di Bali disajikan
pada Gambar 4.1
Gambar 4.1
Lokasi Masing-Masing PDAM di Provinsi Bali
PDAM TABANAN
PDAM KARANGASEM
PDAM BANGLIPDAM BULELENG
PDAM KLUNGKUNG
PDAM GIANYAR
PDAM JEMBRANA
PDAM BADUNG
PDAM DENPASAR
70
b) Indikator Operasional (Y3.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam menyelenggaraan dan mengendalikan
kegiatan dalam bidang produksi, distribusi, dan perencanaan umum.
c) Indikator Administrasi (Y3.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam pengawasan dan pengendalian terhadap
penyelenggaraan, tata kerja, dan prosedur dari unit-unit kerja dalam perusahaan
sesuai ketentuan yang berlaku.
4.4 Lokasi Penelitian.
Penelitian ini berlokasi pada Perusahaan Daerah Air Minum di Bali. Terdapat 9
PDAM yang ada di Bali, yang terdiri dari 8 PDAM di tingkat kabupaten dan 1 PDAM di
tingkat kota, untuk lebih jelasnya mengenai lokasi masing-masing PDAM di Bali disajikan
pada Gambar 4.1
Gambar 4.1
Lokasi Masing-Masing PDAM di Provinsi Bali
PDAM TABANAN
PDAM KARANGASEM
PDAM BANGLIPDAM BULELENG
PDAM KLUNGKUNG
PDAM GIANYAR
PDAM JEMBRANA
PDAM BADUNG
PDAM DENPASAR
70
b) Indikator Operasional (Y3.2) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam menyelenggaraan dan mengendalikan
kegiatan dalam bidang produksi, distribusi, dan perencanaan umum.
c) Indikator Administrasi (Y3.3) adalah tanggapan Direksi PDAM terhadap
implementasi keberhasilan dalam pengawasan dan pengendalian terhadap
penyelenggaraan, tata kerja, dan prosedur dari unit-unit kerja dalam perusahaan
sesuai ketentuan yang berlaku.
4.4 Lokasi Penelitian.
Penelitian ini berlokasi pada Perusahaan Daerah Air Minum di Bali. Terdapat 9
PDAM yang ada di Bali, yang terdiri dari 8 PDAM di tingkat kabupaten dan 1 PDAM di
tingkat kota, untuk lebih jelasnya mengenai lokasi masing-masing PDAM di Bali disajikan
pada Gambar 4.1
Gambar 4.1
Lokasi Masing-Masing PDAM di Provinsi Bali
PDAM TABANAN
PDAM KARANGASEM
PDAM BANGLIPDAM BULELENG
PDAM KLUNGKUNG
PDAM GIANYAR
PDAM JEMBRANA
PDAM BADUNG
PDAM DENPASAR
71
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Berdasarkan Gambar 4.1 dari 9 PDAM yang tersebar di Provinsi Bali, 4 PDAM
berada di Bali Tengah, yaitu: Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Sebanyak 3
PDAM berada di Bali Timur, yaitu : Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Satu PDAM
berada di Bali Barat yaitu: PDAM Jembrana, dan sisanya satu PDAM berada di Bali Utara
yaitu: PDAM Buleleng. Profile masing-masing PDAM tentang: jumlah pelanggan, cakupan
pelayanan, kehilangan air, kapasitas, tarif dasar, keluhan pelanggan, jumlah pegawai,
pendidikan pegawai, diklat pegawai, dan nilai kinerja secara lengkap disajikan pada Bab
V (Hasil dan pembahasan).
4.5 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh PDAM yang ada di Provinsi Bali sebanyak 9
PDAM yang terdiri dari sembilan kabupaten dan satu kota, yang juga merupakan unit
analisis penelitian ini. Teknik penarikan sampel dalam sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode sampel populasi (population sampling) atau sampel jenuh
(sensus). Dengan demikian penelitian ini dikatakan penelitian populasi atau studi sensus
(Arikunto,2010). Penelitian ini dilakukan sejak bulan April sampai Juli 2013, secara
legalitas penelitian ini telah mendapatkan izin penelitian dari: pengantar izin penelitian
dari Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; izin
penelitian dari instansi berwewenang (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali);
dan izin penelitian dari DPD Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum) Bali. Sampai
dengan batas akhir waktu pengumpulan data, jumlah kuesioner yang terkumpul
sebanyak 15 buah. Ada 1 direksi PDAM (Direktur Utama PDAM Kabupaten Gianyar)
tidak mengisi kuesioner karena kesibukan dalam menjalankan operasional perusahaan
72
dan memberikan peningkatan pelayanan sehingga sampai batas waktu pengumpulan
data belum sempat menjawab kuesioner, sehingga total kuesioner yang digunakan
untuk analisis data sebanyak 15 direksi.
4.6 Teknik Pengukuran Variabel
Berdasarkan kerangka konseptual penelitian terdapat 3 kelompok variabel dilihat
dari sifat pengaruh interaksinya yaitu: variabel bebas, variabel tergantung, dan variabel
perantara (mediating). Variabel dikenal juga sebagai source variabel atau independent
variabel yaitu variabel yang mempengarauhi variabel lain dalam model. Dalam
penelitian ini variabel bebas adalah budaya Tri Hita Karana. Variabel tergantung
(dependent variabel) adalah variabel yang diidentifikasi atau diduga sebagai variabel
yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Pada penelitian ini variabel tergantung meliputi:
kepemimpinan, komitmen organisasional dan kinerja perusahaan. Variabel perantara
(mediating) yaitu merupakan variabel yang bersifat menjadi perantara (mediating) dari
hubungan variabel penjelas ke variabel tegantung, sifatnya adalah sebagai penghubung
(“jembatan”). Dalam penelitian ini variabel mediating adalah kepemimpinan dan
komitmen organisasional.
Adapun teknik pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Budaya Tri Hita Karana, variabel ini menggunakan tiga indikator yaitu : parahyangan
di ukur dengan 12 item, pawongan di ukur dengan 12 item dan palemahan di ukur
dengan 6 item mengacu kepenelitian Riana (2010), Windia dan Dewi (2007) serta
Astawa (2012).
73
b. Kepemimpinan, variabel ini menggunakan tiga indikator yaitu: dimensi spiritual
diukur dengan 3 item, dimensi moral di ukur dengan 6 item dan dimensi manajerial
di ukur dengan 9 item. Penelitian ini berdasarkan penelitian Fidler (1987), Tandes
(2007), Sutantra (2008), serta Suhardana (2008).
c. Komitmen organisasional, variabel ini menggunakan tiga indikator yaitu : komitmen
affektif (affektive commitment) di ukur dengan 8 item, komitmen berkelanjutan
(continuance commitment) di ukur dengan 8 item, dan komitmen normatif
(normative commitment) di ukur dengan 8 item. Penelitian ini berdasarkan
penelitian Meyer dan Allen (1991) dan Ronald F Cichy, et al. (2009).
d. Kinerja perusahaan, variabel ini menggunakan tiga indikator yaitu: aspek keuangan
di ukur dengan 10 item, aspek operasional di ukur dengan 10 item dan aspek
administrasi di ukur dengan 10 item. Penelitian ini mengacu ke Permendagri No. 47
Tahun 1999 tentang Pedoman Kinerja PDAM.
Responden diminta untuk menanggapi tiap item dari indikator variabel dinilai
berdasarkan skala likert dengan interval penilaian mulai dari skor 1 (sangat tidk setuju-
STS) sampai dengan skor 5 (sangat setuju-SS). Jawaban responden yang mengarah ke
skor 5 (nilai tertinggi) dari setiap indikator menunjukkan semakin baik penerapan
masing-masing item tersebut.
74
4.7 Jenis dan Sumber Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang
diuraikan sebagai berikut.
a. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dengan melakukan
penyebaran kuesioner kepada para Pimpinan/ Direksi PDAM kabupaten/
kota di Provinsi Bali melalui pengisian kuesioner yang berhubungan dengan
penerapan budaya Tri Hita Karana di PDAM, karakteristik responden dan
identitas PDAM.
b. Data sekunder, merupakan data yang berasal dari sumber lain yang
mendukung penelitian. Data tersebut diperoleh dari Persatuan Perusahaan
Daerah Air Minum (Perpamsi) DPD Bali selaku Pembina Assosiasi.
4.8 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini:
a. Kuesioner, diberikan kepada jajaran Direksi PDAM untuk memberikan tanggapan
dan persepsi mereka terhadap pertanyaan - pertanyaan yang berkaitan dengan
variabel penelitian.
b. Wawancara mendalam, dilakukan dengan jajaran Direksi PDAM, Badan Pengawas,
Pengamat air minum dan akademisi terkait dengan hal-hal yang dapat menunjang
kegiatan penelitian. Metode ini digunakan untuk mendukung dan mengungkap
fakta-fakta dibalik temuan analisis kuantitatif. Fakta ini diharapkan mendukung
penelitian ini, yang tidak terdapat dalam kuesioner ditanyakan juga di dalam metode
ini.
75
4.9 Skala Pengukuran Data
Pengukuran data penelitian ini mempergunakan skala Likert. Skala Likert digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi responden terhadap objek (Nasir, 2009).
Dalam mengukur variabel penelitian, responden diminta untuk menyatakan
persepsinya dengan memilih salah satu dari alternatif jawaban berupa lima angka
penilaian: (5) sangat setuju, (4) setuju, (3) tidak pasti atau netral, (2) tidak setuju, (1)
sangat tidak setuju. Skala Likert digunakan untuk mengukur variabel budaya THK,
kepemimpinan, komitmen organisasional, dan kinerja perusahaan.
4.10 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Pengujian instrumen dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah instrumen
yang yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi syarat-syarat alat ukur yang baik
atau sesuai dengan standar metode penelitian.
Adapun rekapitulasi hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen terhadap item
pertanyaan atas indikator dari variabel dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.1
76
Tabel 4.1
Rekapitulasi Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Variabel Penelitian Indikator
Variabel
Item
( Butir)
Koefisien
Korelasi ( r)
Sign. Keterangan Cronbach’s
Alpha
Keterangan
Budaya
Tri Hita Karana
(X)
Parahyangan
(X1)
X11 0.408 0.025 Valid
0.852 Reliabel
X12 0.657 0.000 Valid
X13 0.612 0.000 Valid
X14 0.763 0.000 Valid
X15 0.582 0.001 Valid
X16 0.424 0.020 Valid
X17 0.763 0.000 Valid
X18 0.796 0.000 Valid
X19 0.626 0.000 Valid
X110 0.810 0.000 Valid
X111 0.583 0.001 Valid
X112 0.516 0.003 Valid
Pawongan
(X.2)
X21 0.547 0.002 Valid
0.869 Reliabel
X22 0.515 0.004 Valid
X23 0.563 0.001 Valid
X24 0.575 0.001 Valid
X25 0.672 0.000 Valid
X26 0.713 0.000 Valid
X27 0.644 0.000 Valid
X28 0.612 0.000 Valid
X29 0.647 0.000 Valid
X210 0.715 0.000 Valid
X211 0.730 0.000 Valid
X212 0.825 0.000 Valid
Palemahan
X31 0.530 0.003 Valid
X32 0.695 0.000 Valid
X33 0.804 0.000 Valid
77
(X.3) X34 0.735 0.000 Valid
0.783 ReliabelX35 0.845 0.000 Valid
X36 0.697 0.000 Valid
78
Lanjutan Tabel 4.2
Variabel
Penelitian
Indikator
Variabel
Item
( Butir)
Koefisien
Korelasi ( r)
Sign. Keterangan Cronbach’s
Alpha
Keterangan
Kepemimpinan
(Y1)
Spiritual
(Y11)
Y111 0.830 0.000 Valid
0.737 ReliabelY112 0.780 0.000 ValidY113 0.826 0.000 Valid
Moral
(Y12)
Y121 0.549 0.002 Valid
0.828 Reliabel
Y122 0.782 0.000 ValidY123 0.843 0.000 ValidY124 0.780 0.000 ValidY125 0.754 0.000 ValidY126 0.730 0.000 Valid
Manajerial
(Y13)
Y131 0.617 0.000 Valid
0.738 Reliabel
Y132 0.557 0.001 ValidY133 0.505 0.004 ValidY134 0.364 0.048 ValidY135 0.566 0.001 ValidY136 0.633 0.000 ValidY137 0.572 0.001 ValidY138 0.855 0.000 ValidY139 0.678 0.000 Valid
Komitmen
Organisasional
Affektif
(Y2.1)
Y211 0.811 0.000 Valid
0.898 Reliabel
Y212 0.827 0.000 ValidY213 0.751 0.000 ValidY214 0.773 0.000 ValidY215 0.756 0.000 ValidY216 0.682 0.000 ValidY217 0.800 0.000 ValidY218 0.757 0.000 Valid
Kontinyu
(Y2.2)
Y221 0.817 0.000 Valid
0.907 Reliabel
Y222 0.621 0.000 ValidY223 0.922 0.000 ValidY224 0.918 0.000 ValidY225 0.628 0.000 ValidY226 0.864 0.000 ValidY227 0.607 0.000 ValidY228 0.772 0.001 Valid
Y231 0.426 0.019 ValidY232 0.545 0.002 Valid
79
(Y2)
Normatif
(Y2.3)
Y233 0.361 0.050 Valid
0.642 Reliabel
Y234 0.552 0.002 ValidY235 0.814 0.000 ValidY236 0.654 0.000 ValidY237 0.473 0.008 ValidY238 0.377 0.040 Valid
80
Lanjutan Tabel 4.2
Variabel
Penelitian
Indikator
Variabel
Item
( Butir)
Koefisien
Korelasi ( r)
Sign. Keterangan Cronbach’s
Alpha
Keterangan
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
Keuangan
(Y3.1)
Y311 0.738 0.000 Valid
0.937 Reliabel
Y312 0.695 0.000 Valid
Y313 0.733 0.000 Valid
Y314 0.889 0.000 Valid
Y315 0.898 0.000 Valid
Y316 0.909 0.000 Valid
Y317 0.706 0.000 Valid
Y318 0.894 0.000 Valid
Y319 0.844 0.000 Valid
Y310 0.718 0.000 Valid
Operasional
(Y3.2)
Y321 0.881 0.000 Valid
0.960 Reliabel
Y322 0.879 0.000 Valid
Y323 0.855 0.000 Valid
Y324 0.864 0.000 Valid
Y325 0.777 0.000 Valid
Y326 0.786 0.000 Valid
Y327 0.940 0.000 Valid
Y328 0.930 0.000 Valid
Y329 0.930 0.000 Valid
Y3210 0.856 0.000 Valid
Administrasi
Y331 0.796 0.000 Valid
Y332 0.818 0.000 Valid
Y333 0.939 0.000 Valid
81
(Y3.3) Y334 0.756 0.000 Valid
0.942 Reliabel
Y335 0.815 0.000 Valid
Y336 0.745 0.000 Valid
Y337 0.835 0.000 Valid
Y338 0.783 0.000 Valid
Y339 0.861 0.000 Valid
Y3310 0.806 0.000 Valid
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Berdasarkan rekapitulasi hasil uji validitas dan reabilitas instrumen pada Tabel
4.2 di atas, menunjukkan bahwa seluruh variabel penelitian adalah valid karena
koefisien korelasi semua indikatornya lebih besar dari 0,30 dan cronbach alpha lebih
besar dari 0,60 yang berarti semua item pernyataan yang dijadikan sebagai instrumen
dapat dipercaya keandalannya. Dapat disimpulkan seluruh butir (item pernyataan) yang
digunakan adalah valid dan reliabel, sehingga kuesioner yang digunakan dapat dikatakan
valid dan dipercaya sebagai instrumen untuk melakukan pengukuran setiap indikator
variabel dan analisis data selanjutnya.
4.11 Teknik Analisis Data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis statistik deskriptip
dan statistik inferensial.
4.11.1 Analisis Staatistik Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik responden dan
deskripsi responden terhadap indikator-indikator setiap variabel penelitian. Deskripsi
82
setiap indikator dinyatakan dalam nilai frekuensi dan nilai rata-rata. Selanjutnya didapat
gambaran persepsi responden terhadap indikator-indikator dalam membentuk atau
merefleksikan variabel. Analisis deskriptif juga ditujukan untuk menggambarkan
kecenderungan tanggapan responden terhadap item-item pertanyaan yang berkaitan
dengan variabel penelitian.
4.11.2 Analisis Statistik Inferensial
Untuk menguji hipotesis dan menghasilkan suatu model yang layak (fit), penelitian
ini menggunakan Generalized Structured Component Analysis (GSCA) dikembangkan
oleh Hwang, et al. pada tahun 2004 (Solimun; 2012).
Pertimbangan pemilihan metode statistik inferensial metode GSCA dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1) Model yang terbentuk pada kerangka konseptual penelitian ini terlihat adanya
hubungan kausal yang berjenjang yaitu implementasi budaya Tri Hita Karana
mempengaruhi kepemimpinan dan komitmen organisasional selanjutnya
mempengaruhi kinerja perusahaan. Dengan banyaknya hubungan serta berjenjang,
maka permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai hanya dapat diselesaikan dengan
bantuan model berbentuk struktural.
2) GSCA merupakan alat analisis yang cocok untuk melakukan pengembangan model
dengan kriteria pemilihan model yang tepat dengan menggunakan goodness of fit
(AFIT) yang terbesar.
3) Studi ini menggunakan variabel laten yang diukur melalui indikator. GSCA cocok
digunakan untuk mengkonfirmasi unidimensionalitas dari berbagai indikator
variabel laten baik indikator bersifat refleksif maupun formatif.
83
4) GSCA merupakan metode analisis yang power full yang tidak didasarkan banyak
asumsi dan memungkinkan dilakukan analisis serangkaian dari beberapa variabel
laten secara simultan sehingga memberikan efisiensi secara statistik.
5) Metode GSCA lebih mudah untuk dioperasikan dan spesifikasi model indikator
refkleksif dan formatif. Hal ini dikarenakan pada GSCA tidak memerlukan asumsi
distribusi tertentu dan tidak memerlukan adanya modifikasi indeks.
6) Unit analisis penelitian ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tipe A, B
dan C di Provinsi Bali yang jumlahnya relatif sangat kecil yaitu 9 PDAM, sehingga
pendekatan analisis GSCA tepat untuk menggeneralisasi dari sampel yang sangat
kecil
84
BAB 5
HASIL YANG DICAPAI
5.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Pulau Bali memiliki luas wilayah sekitar 5.636,66 KM², secara geografis terbelah
menjadi 2 yaitu Bali Utara dan Bali Selatan, secara administratif dibagi dalam delapan
kabupaten yang meliputi Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung,
Tabanan, Jembrana dan satu kota yaitu Denpasar. Secara tradisional terdiri dari 1.473
desa adat/desa pakraman, 3.624 banjar, 2.760 subak. Jumlah penduduk Bali Tahun 2011
sebanyak 3.572.831 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.791.953 jiwa (49,15 % dan
perempuan sebanyak 1.780.878 jiwa (49,85%) (Pemda Provinsi Bali, 2013).
Bali merupakan satu daerah tujuan wisata yang terkenal di dunia, mengalami
perkembangan yang pesat pada sektor pariwisata. Kepariwisataan Bali telah tumbuh
dan berkembang sedemikian rupa memberikan sumbangan yang besar terhadap
pembangunan daerah dan masyarakat Bali baik secara langsung maupun tidak langsung
(Negara, 2012).
Kemajuan industri pariwisata tersebut harus didukung oleh peningkatan air bersih
secara kualitas, kuantitas, dan kontinuitas karena sistem penyediaan air bersih (fresh
water supply) merupakan general infrastructure dalam pariwisata (Yoeti, 2008),
sehingga pengelolaan secara profesional serta pengembangan sistem air bersih juga
terus dilakukan sejalan dengan perkembangan kepariwisataan. Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) merupakan institusi yang bertanggung jawab terhadap penyediaan dan
pelayanan air bersih bagi masyarakat luas baik untuk rumah tangga, sosial, pemerintah,
niaga, dan industri.
5.2 Profil PDAM di Provinsi Bali.
85
Untuk mengetahui informasi atau profil PDAM di Bali Tahun 2012 mengenai :
jumlah pelanggan berdasarkan golongan, begitu pula jumlah penduduk yang dilayani
(cakupan pelayanan), persentase air yang hilang, kapasitas air yang terpasang, tarif
dasar, jumlah keluhan, karyawan berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan
karyawan, jumlah karyawan yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan, begitu pula
data tentang kinerja PDAM dari indikator keuangan, operasional dan administrasi
disajikan berikut ini:
5.2.1Jumlah Pelanggan
Jumlah pelanggan PDAM diseluruh Bali pada Tahun 2012 sebanyak 346.391
Sambungan Rumah (SR) yang diklasifikasikan berdasarkan Rumah Tangga, Niaga,
pemerintah, Sosial, Sosial, Hidran Umum, MCK, Tangki Air, dan pelanggan khusus
(pelabuhan). Adapun jumlah masing-masing golongan pelanggan disajikan dalam
Gambar 5.1 berikut:
Berdasarkan Gambar 5.1
golongan pelanggan rumah
tangga paling banyak
berjumlah 301.407 SR atau
87,01 persen, pelanggan
berikutnya adalah golongan
niaga sebesar 9,35 persen
atau sebanyak 32.383 SR .
Pelanggan katagori sosial seperti tempat/rumah ibadah, yayasan atau institusi yang
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
301.407
32.383
1.764 5.739 3.934 1.123 41 RumahTanggaNiaga
Industri
Sosial
Pemerintah
HU/MCK/TA
Lain-Lain/Khusus
Gambar 5.1
Jumlah Pelanggan PDAM di Bali Tahun 2012
86
bertujuan sosial sebanyak 5.739 SR atau 1,66 % dari seluruh pelanggan. Pelanggan
instansi pemerintah sebanyak 3.934 SR atau sebesar 1,14 % dari jumlah pelanggan.
Sisanya jumlah pelanggan katagori Hidran Umum (HU), Mandi Cuci Kakus sebanyak
(MCK) , Tangki Air (TA), dan pelanggan khusus (pelabuhan) sebanyak 5.057 SR atau
sebanyak 1,26% dari jumlah pelanggan seluruhnya.
5.2.2 Cakupan Pelayanan
Jumlah penduduk yang terlayani (cakupan pelayanan) persentase yang mampu
dilayani bervariasi antara kabupaten/kota di Bali bekisar antara 11,79 prosen
(Kabupaten Klungkung) sampai 73,70 prosen (Kabupaten Badung) secara rata-rata
cakupan pelayanan air minum di Bali sebesar 54,18 prosen. Kalau dibandingkan dengan
cakupan pelayanan secara nasional pada tahun yang sama (2012) berdasarkan data dari
Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) masih
berada di bawah tingkat nasional sebesar 58,05 prosen (Sutjiono, 2013) Begitu pula
dibandingkan dengan target pembangunan milenium (Milenium Development Goals)
masih dibawah yang ditargetkan sebesar 68,8 prosen.
5.2.3 Tingkat Kebocoran (losses),
Merupakan selisih antara air yang di distribusikan dengan air yang tercatat di
water meter.disebut juga istilahnya dengan un accounted for water (UFW) atau air tak
berekening (ATR) Tingkat kebocorannya bervariasi antara kabupaten/kota di Bali
bekisar antara 20,39 % (Kabupaten Buleleng) sampai 49,83% (Kabupaten Gianyar)
secara rata-rata tingkat kehilangan air di Bali sebesar 27,99%. Angka ini lebih tinggi dari
yang ditetapkan berdasarkan Kepmendagri No. 47 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penilaian Kinerja PDAM, batas tingkat kebororan (kehilangan) air yang dapat ditoleransi
87
maksimal 20 persen. Dibandingkan dengan tingkat kebocoran secara nasional pada
tahun yang sama, keboran air di Bali lebih rendah dari tingkat kebocoran secara nasional
yang berkisar 37% (Sutjiono, 2013). Data secara rinci mengenai tingkat kebocoran
disajikan pada lampiran (Lampiran 11).
5.2.4 Tarif Dasar
Tarif dasar dasar yang ditetapkan oleh masing-masing PDAM bervariasi antara
kabupaten/kota di Bali bekisar antara Rp. 1.100/M3 (Kabupaten Buleleng) sampai
Rp.4.442,32/M3 (Kabupaten Badung) secara rata-rata tarif dasar air minum di Bali
sebesar Rp.2.229,80. Tarif dasar ini sudah merupakan tarif yang wajar/terjangkau oleh
daya beli pelanggan masyarakat Bali. Tarif dasar air minum dikatakan standar/wajar dan
terjangkau oleh daya beli pelanggan apabila pengeluaran air minum tidak melebihi 4%
dari pendapatan per kapita (Wahyunurdin, 2011). Pendapatan per kapita Bali pada
Tahun 2012 Rp. 21,82 juta atau Rp. 1,82 juta per bulan (www.bali.bisnis.com.
didownload, 29 Agustus 2013) dengan rata-rata 1 SR berpenghuni sebanyak 5 orang dan
konsumsi air rata-rata 20 M3 per bulan sehingga pengeluaran untuk konsumsi air sebesar
Rp.44.956,00 /SR atau 0,49%.
88
Gambar 5.2
Jumlah Karyawan PDAM di Bali Tahun 2012
5.2.5 Keluhan
Jumlah pelanggan yang merasa tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh
PDAM direpleksikan oleh keluhan bervariasi antara kabupaten/kota di Bali. Jumlah
keluhan pelanggan seluruhnya sebanyak 32.823, dari jumlah tersebut PDAM Kabupaten
Jembrana paling sedikit sebanyak 1.861 keluhan dan PDAM Kabupaten Gianyar paling
banyak sebanyak 8.597 keluhan. Berdasarkan data dari Perpamsi Bali jenis kasus
keluhan dari pelanggan (direngking kasus yang paling banyak) yaitu: bocor sebelum
water meter 27,90 %, water meter mati 10,96 %, tidak ada air 10,05 %, air kotor dan
berbau 7,66 %, air kecil 3,79 %, pemakaian tinggi 3,55 %, water meter bocor 1,53 %,
water meter kabur 0,67%, water meter tertanam, water meter di bawah bangunan,
water meter di luar tembok batas, water meter di tempat yang sempit, water meter
tertanam bangunan, dan lokasi water meter rendah. Dibandingkan dengan jumlah
pelanggan keluhan pelanggan dapatlah dikatakan cukup tinggi sebesar 9,48% di atas
5,00 %.
5.2.6 Jumlah Karyawan
Banyaknya karyawan PDAM di Bali pada Tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin
disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini :
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
88
Gambar 5.2
Jumlah Karyawan PDAM di Bali Tahun 2012
5.2.5 Keluhan
Jumlah pelanggan yang merasa tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh
PDAM direpleksikan oleh keluhan bervariasi antara kabupaten/kota di Bali. Jumlah
keluhan pelanggan seluruhnya sebanyak 32.823, dari jumlah tersebut PDAM Kabupaten
Jembrana paling sedikit sebanyak 1.861 keluhan dan PDAM Kabupaten Gianyar paling
banyak sebanyak 8.597 keluhan. Berdasarkan data dari Perpamsi Bali jenis kasus
keluhan dari pelanggan (direngking kasus yang paling banyak) yaitu: bocor sebelum
water meter 27,90 %, water meter mati 10,96 %, tidak ada air 10,05 %, air kotor dan
berbau 7,66 %, air kecil 3,79 %, pemakaian tinggi 3,55 %, water meter bocor 1,53 %,
water meter kabur 0,67%, water meter tertanam, water meter di bawah bangunan,
water meter di luar tembok batas, water meter di tempat yang sempit, water meter
tertanam bangunan, dan lokasi water meter rendah. Dibandingkan dengan jumlah
pelanggan keluhan pelanggan dapatlah dikatakan cukup tinggi sebesar 9,48% di atas
5,00 %.
5.2.6 Jumlah Karyawan
Banyaknya karyawan PDAM di Bali pada Tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin
disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini :
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Laki-LakiPerempuanTotal
1.492
292
1.784
16,37%100,00%
88
Gambar 5.2
Jumlah Karyawan PDAM di Bali Tahun 2012
5.2.5 Keluhan
Jumlah pelanggan yang merasa tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh
PDAM direpleksikan oleh keluhan bervariasi antara kabupaten/kota di Bali. Jumlah
keluhan pelanggan seluruhnya sebanyak 32.823, dari jumlah tersebut PDAM Kabupaten
Jembrana paling sedikit sebanyak 1.861 keluhan dan PDAM Kabupaten Gianyar paling
banyak sebanyak 8.597 keluhan. Berdasarkan data dari Perpamsi Bali jenis kasus
keluhan dari pelanggan (direngking kasus yang paling banyak) yaitu: bocor sebelum
water meter 27,90 %, water meter mati 10,96 %, tidak ada air 10,05 %, air kotor dan
berbau 7,66 %, air kecil 3,79 %, pemakaian tinggi 3,55 %, water meter bocor 1,53 %,
water meter kabur 0,67%, water meter tertanam, water meter di bawah bangunan,
water meter di luar tembok batas, water meter di tempat yang sempit, water meter
tertanam bangunan, dan lokasi water meter rendah. Dibandingkan dengan jumlah
pelanggan keluhan pelanggan dapatlah dikatakan cukup tinggi sebesar 9,48% di atas
5,00 %.
5.2.6 Jumlah Karyawan
Banyaknya karyawan PDAM di Bali pada Tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin
disajikan pada Gambar 5.2 berikut ini :
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Series1Series2
0
500
1.000
1.500
2.000
Laki-Laki
1.492
83,63%
Series1
Series2
89
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
185
1.287
25245 13 SMTP+
SDSMTA
Diploma
S1
Gambar 5.3
Pendidikan Karyawan PDAM di Bali Tahun 2012
Berdasarkan Gambar 5.2 Jumlah karyawan PDAM di Bali sebanyak 1.784 orang
terdiri dari 1.492 laki-laki (83,63 %), perempuan 292 orang (16,37%). Berdasarkan
informasi dari salah seorang direksi jenis pekerjaan teknik terkait dengan pekerjaan di
lapangan lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan umum (di kantor), jadi wajar
tenaga laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
5.2.7 Pendidikan Karyawan
Pendidikan karyawan PDAM di Bali pada Tahun 2012 berdasarkan jenjang
pendidikan disajikan pada Gambar 5.3 berikut ini:
Berdasarkan Gambar 5.3 Pendidikan
karyawan paling banyak tamatan SMTA
sebanyak 1.287 orang (73,33 %), disusul
tamatan S1 sebanyak 245 (13,96%),
karyawan tamatan SD dan SMP masih
juga ada terutama karyawan lama
sebanyak 185 orang (10,54 %), yang lebih
menggembirakan karyawan sudah ada tamatan S2 sebanyak 13 orang (0,74 %).
90
Gambar 5.4
Nilai Kinerja PDAM di Bali Tahun 2012
5.2.8 Pendidikan dan Pelatihan.
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sekaligus
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan PDAM telah melaksanakan program
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Jumlah karyawan yang telah mendapatkan pendidikan
dan pelatihan pada Tahun 2012 sebanyak 522 orang. Jenis Diklat seperti pendidikan
berkompetensi (manajemen air minum tingkat dasar, tingkat madya dan tingkat utama
yang merupakan syarat bagi karyawan yang menduduki eselon/manajemen di PDAM.
Sedangkan pelatihan bagi staf seperti: pelatihan operasional dan pemeliharaan instalasi
pengolahan air, pelatihan komunikasi dan hubungan pelangan, pelatihan motor listrik,
pelatihan menekan kebocoran (NRW), pelatihan komunikasi dan sikap pelayanan
kepada pelanggan, pelatihan mekanikal dan elektrikal, pelatihan operasional dan
pemeriksaan kualitas air di instalasi pengolahan.
5.2.9 Kinerja PDAM di Bali.
Nilai kinerja PDAM kabupaten/kota di Bali pada Tahun 2012 disajikan pada
Gambar 5.4 berikut :
Berdasarkan Gambar 5.4 secara
rata-rata nilai kinerja PDAM di Bali
sebesar 60,49. Indikator keuangan
nilainya paling tinggi sebesar 27,75,
disusul oleh indikator operasional, dan
yang paling kecil adalah indikator
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
27,75
21,23
11,51
60,49Keuangan
Operasional
Administrasi
Total
91
Gambar 5.5
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
administrasi sebesar 11,51. Nilai kinerja PDAM di Bali pada Tahun 2012 termasuk
kedalam katagori yang baik. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepmendagri) No. 47 Tahun 1999 pasal 3 tentang penilaian kinerja PDAM disebutkan
katagori nilai kinerja yang dicapai yaitu: a) >75 dikatagorikan baik sekali, b) >60 – 75
dikatagorikan baik, c) >45 – 60 dikatagorikan cukup, d) >30 – 45 dikatagorikan kurang,
dan e) ≤30 dikatagorikan tidak baik.
5.3 Karakteristik Responden
Responden penelitian adalah para direksi PDAM yang memimpin dan
mengendalikan semua kegiatan PDAM sesuai dengan jumlah pelanggan yaitu :
Direktur, Direktur utama, Direktur Teknik dan Direktur Umum. Populasi dan sampel
penelitian ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum yang ada di Provinsi Bali sebanyak 9
PDAM dengan 16 direksi. Dari jumlah direksi tersebut yang dapat diperoleh datanya
sebanyak 15 direksi. Karakteristik responden bertujuan untuk mendeskripsikan
karakteristik direksi menurut : jenis kelamin, umur, masa kerja, tingkat pendidikan dan
jabatan. Hasil analisis deskripsi karakteristik responden disajikan dalam bentuk gambar
atau grafik berikut ini :
5.3.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin secara lengkap disajikan pada
Gambar 5.5 berikut ini :
92
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dijelaskan karakteristik responden dilihat dari jenis
kelamin, menunjukkan bahwa semua responden 15 orang (100%) adalah laki-laki
sedangkan perempuan sama sekali tidak ada (0%). Hal tersebut mencerminkan bahwa
kiprah dan peran kaum perempuan sebagai pimpinan (direksi) pada PDAM di Bali belum
terlihat. Pada masa mendatang hendaknya memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk berpartisipasi dan berperan dalam pembangunan di sektor air bersih
sekaligus mengakomodir Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000, tentang kesetaraan
gender dalam pembangunan nasional diharapkan berdampak pada peningkatan
kesetaraan gender untuk memperoleh kesempatan dalam berpartisipasi pada berbagai
kegiatan, sehingga pemberdayaan dan keberdayaan mereka juga akan meningkat.
5.3.2 Responden Berdasarkan Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur
secara lengkap disajikan pada Gambar 5.6.
Berdasarkan Gambar 5.6 umur
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
92
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dijelaskan karakteristik responden dilihat dari jenis
kelamin, menunjukkan bahwa semua responden 15 orang (100%) adalah laki-laki
sedangkan perempuan sama sekali tidak ada (0%). Hal tersebut mencerminkan bahwa
kiprah dan peran kaum perempuan sebagai pimpinan (direksi) pada PDAM di Bali belum
terlihat. Pada masa mendatang hendaknya memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk berpartisipasi dan berperan dalam pembangunan di sektor air bersih
sekaligus mengakomodir Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000, tentang kesetaraan
gender dalam pembangunan nasional diharapkan berdampak pada peningkatan
kesetaraan gender untuk memperoleh kesempatan dalam berpartisipasi pada berbagai
kegiatan, sehingga pemberdayaan dan keberdayaan mereka juga akan meningkat.
5.3.2 Responden Berdasarkan Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur
secara lengkap disajikan pada Gambar 5.6.
Berdasarkan Gambar 5.6 umur
Series10
10
20 1515
Series1 Series2
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
2
7
2
2
13,33%
46,67%
13,33%
13,33%
92
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Gambar 5.6
Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dijelaskan karakteristik responden dilihat dari jenis
kelamin, menunjukkan bahwa semua responden 15 orang (100%) adalah laki-laki
sedangkan perempuan sama sekali tidak ada (0%). Hal tersebut mencerminkan bahwa
kiprah dan peran kaum perempuan sebagai pimpinan (direksi) pada PDAM di Bali belum
terlihat. Pada masa mendatang hendaknya memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk berpartisipasi dan berperan dalam pembangunan di sektor air bersih
sekaligus mengakomodir Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000, tentang kesetaraan
gender dalam pembangunan nasional diharapkan berdampak pada peningkatan
kesetaraan gender untuk memperoleh kesempatan dalam berpartisipasi pada berbagai
kegiatan, sehingga pemberdayaan dan keberdayaan mereka juga akan meningkat.
5.3.2 Responden Berdasarkan Umur
Karakteristik responden berdasarkan umur
secara lengkap disajikan pada Gambar 5.6.
Berdasarkan Gambar 5.6 umur
Series1
Series2
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
2
2
13,33%
13,33%
46,67%
≤40
41 -45
46-50
51-55
≥ 55
93
responden berusia di bawah 40 tahun sebanyak 2 orang (13,33%), usia responden 41 –
45 tahun dan usia 51- 55 tahun sebanyak 2 orang (13,33%), dan di atas 56 tahun masing-
masing sebanyak 2 orang (13,33%). Umur responden di atas 56 tahun masih bisa
menduduki jabatan direksi PDAM karena di atur dalam Perda PDAM. Beberapa Perda
kabupaten mengatakan jabatan direksi maksimal berumur 60 tahun. Secara umum
responden penelitian ini berumur antara 46-50 tahun sebanyak 7 orang (46,67%).
Kelompok umur tersebut secara teoritis tergolong dalam umur atau usia produktif.
Ditinjau dari kondisi umur responden menunjukkan bahwa sebagian besar para direksi
PDAM di Bali berada pada kisaran umur produktif. Artinya para direksi diharapkan
mempunyai kemampuan phisik untuk bekerja dan memiliki potensi berpikir dan
bertindak secara efektif dan effisien dalam mengelola asset perusahaan dalam rangka
meningkatkan kinerja perusahaan.
5.3.3 Responden Berdasarkan Masa Kerja
Karakteristik responden berdasarkan masa kerja secara lengkap disajikan pada
Gambar 5.7.
94
Gambar 5.7
Responden Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan Gambar 5.7 masa kerja responden mayoritas di atas 21 tahun sebanyak 7
orang (6,67%). Kondisi ini mencerminkan bahwa sebagian besar responden memiliki
masa kerja cukup lama sehingga diharapkan Direksi PDAM di Bali lebih profesional dan
terampil dalam melaksanakan manajemen air minum. Kemudian disusul oleh masa kerja
1 - 5 tahun sebanyak 5 orang (33,33%), kondisi ini mencerminkan sebagian besar
responden menduduki jabatan
Direksi PDAM mempunyai
masa kerja yang relatif
singkat. Keadaan ini
dimungkinkan karena
persyaratan direksi yang
diatur di dalam Permendagr
No. 2 Tahun 2007 dan juga
dalam Perda bisa dari
kalangan internal (karier)
maupun dari kalangan
eksternal (profesional).
5.3.4 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.8 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
94
Gambar 5.7
Responden Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan Gambar 5.7 masa kerja responden mayoritas di atas 21 tahun sebanyak 7
orang (6,67%). Kondisi ini mencerminkan bahwa sebagian besar responden memiliki
masa kerja cukup lama sehingga diharapkan Direksi PDAM di Bali lebih profesional dan
terampil dalam melaksanakan manajemen air minum. Kemudian disusul oleh masa kerja
1 - 5 tahun sebanyak 5 orang (33,33%), kondisi ini mencerminkan sebagian besar
responden menduduki jabatan
Direksi PDAM mempunyai
masa kerja yang relatif
singkat. Keadaan ini
dimungkinkan karena
persyaratan direksi yang
diatur di dalam Permendagr
No. 2 Tahun 2007 dan juga
dalam Perda bisa dari
kalangan internal (karier)
maupun dari kalangan
eksternal (profesional).
5.3.4 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.8 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
5
10
2
7
94
Gambar 5.7
Responden Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan Gambar 5.7 masa kerja responden mayoritas di atas 21 tahun sebanyak 7
orang (6,67%). Kondisi ini mencerminkan bahwa sebagian besar responden memiliki
masa kerja cukup lama sehingga diharapkan Direksi PDAM di Bali lebih profesional dan
terampil dalam melaksanakan manajemen air minum. Kemudian disusul oleh masa kerja
1 - 5 tahun sebanyak 5 orang (33,33%), kondisi ini mencerminkan sebagian besar
responden menduduki jabatan
Direksi PDAM mempunyai
masa kerja yang relatif
singkat. Keadaan ini
dimungkinkan karena
persyaratan direksi yang
diatur di dalam Permendagr
No. 2 Tahun 2007 dan juga
dalam Perda bisa dari
kalangan internal (karier)
maupun dari kalangan
eksternal (profesional).
5.3.4 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.8 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
1-5
6-10
11-15
16-20
≤ 21
95
Gambar 5.8
Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 5.9
Responden Berdasarkan Jabatan
Berdasarkan Gambar 5.8
karakteristik responden dilihat dari
tingkat pendidikan menunjukkan
bahwa responden merupakan
golongan yang berpendidikan
tinggi, tingkat pendidikan paling
banyak S1 sebanyak 10 orang (66,67%), hal ini juga tidak bisa lepas dari Perda dan
Permendagri no. 2 tahun 2007, yang mensyaratkan seorang direksi minimal tingkat
pendidikannya S1. Responden berpendidikan Magister (S2) sebanyak 5 orang (33,33%),
kondisi ini mencerminkan sebagian besar direksi PDAM di Bali telah menamatkan
pendidikan pascasarjana. Sehingga dengan pendidikan tinggi yang dimiliki oleh Direksi
PDAM diharapkan mempunyai kemampuan ketrampilan menyelesaikan tugas yang
diembannya, mengadopsi teknologi dan informasi baru dalam proses pelayanan air
minum kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.
5.3.5 Responden Berdasarkan Jabatan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.9 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
0
5
10
0 0
95
Gambar 5.8
Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 5.9
Responden Berdasarkan Jabatan
Berdasarkan Gambar 5.8
karakteristik responden dilihat dari
tingkat pendidikan menunjukkan
bahwa responden merupakan
golongan yang berpendidikan
tinggi, tingkat pendidikan paling
banyak S1 sebanyak 10 orang (66,67%), hal ini juga tidak bisa lepas dari Perda dan
Permendagri no. 2 tahun 2007, yang mensyaratkan seorang direksi minimal tingkat
pendidikannya S1. Responden berpendidikan Magister (S2) sebanyak 5 orang (33,33%),
kondisi ini mencerminkan sebagian besar direksi PDAM di Bali telah menamatkan
pendidikan pascasarjana. Sehingga dengan pendidikan tinggi yang dimiliki oleh Direksi
PDAM diharapkan mempunyai kemampuan ketrampilan menyelesaikan tugas yang
diembannya, mengadopsi teknologi dan informasi baru dalam proses pelayanan air
minum kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.
5.3.5 Responden Berdasarkan Jabatan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.9 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Ser…
10
5
Series1Series2
95
Gambar 5.8
Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 5.9
Responden Berdasarkan Jabatan
Berdasarkan Gambar 5.8
karakteristik responden dilihat dari
tingkat pendidikan menunjukkan
bahwa responden merupakan
golongan yang berpendidikan
tinggi, tingkat pendidikan paling
banyak S1 sebanyak 10 orang (66,67%), hal ini juga tidak bisa lepas dari Perda dan
Permendagri no. 2 tahun 2007, yang mensyaratkan seorang direksi minimal tingkat
pendidikannya S1. Responden berpendidikan Magister (S2) sebanyak 5 orang (33,33%),
kondisi ini mencerminkan sebagian besar direksi PDAM di Bali telah menamatkan
pendidikan pascasarjana. Sehingga dengan pendidikan tinggi yang dimiliki oleh Direksi
PDAM diharapkan mempunyai kemampuan ketrampilan menyelesaikan tugas yang
diembannya, mengadopsi teknologi dan informasi baru dalam proses pelayanan air
minum kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan.
5.3.5 Responden Berdasarkan Jabatan
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan secara lengkap disajikan
pada Gambar 5.9 berikut ini:
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
96
Berdasarkan Gambar 5.9
karakteristik responden berdasarkan
jabatan, dapat dijelaskan bahwa
responden mayoritas Direktur,
Direktur Utama, dan Direktur Umum
masing-masing 4 orang (26,67%),
disusul oleh direktur teknik 3 orang
(19,99%). Kondisi ini
mengindikasikan sebagian PDAM di Bali mempunyai pelanggan dibawah 30.000 SR
(Sambungan Rumah) dan sebagian lagi mempunyai pelanggan di atas 30.000
SR(Sambungan Rumah). Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang organ dan kepegawaian
PDAM mengatakan jumlah direksi ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan PDAM
dengan ketentuan: a) satu orang direksi untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000.
b) 3 orang direksi untuk jumlah pelanggan dari 30.001 sampai dengan 100.000 dan c)
paling banyak 4 orang direksi untuk jumlah pelanggan di atas 100.000.
5.4 Deskripsi Variabel Penelitian
Analisis deskripsi variabel bertujuan untuk menginterpretasikan makna masing-
masing variabel penelitian, indikator variabel dan item pernyataan penelitian
berdasarkan distribusi frekuensi, persentase dan rerata (mean) jawaban responden.
Berdasarkan skala pengukuran data yang digunakan (Likert), rentang skala pernyataan
responden dimulai dari satu sampai lima yang artinya dimulai dari sangat tidak
baik/setuju sampai sangat baik/setuju. Variabel-variabel yang dianalisis dalam
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
96
Berdasarkan Gambar 5.9
karakteristik responden berdasarkan
jabatan, dapat dijelaskan bahwa
responden mayoritas Direktur,
Direktur Utama, dan Direktur Umum
masing-masing 4 orang (26,67%),
disusul oleh direktur teknik 3 orang
(19,99%). Kondisi ini
mengindikasikan sebagian PDAM di Bali mempunyai pelanggan dibawah 30.000 SR
(Sambungan Rumah) dan sebagian lagi mempunyai pelanggan di atas 30.000
SR(Sambungan Rumah). Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang organ dan kepegawaian
PDAM mengatakan jumlah direksi ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan PDAM
dengan ketentuan: a) satu orang direksi untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000.
b) 3 orang direksi untuk jumlah pelanggan dari 30.001 sampai dengan 100.000 dan c)
paling banyak 4 orang direksi untuk jumlah pelanggan di atas 100.000.
5.4 Deskripsi Variabel Penelitian
Analisis deskripsi variabel bertujuan untuk menginterpretasikan makna masing-
masing variabel penelitian, indikator variabel dan item pernyataan penelitian
berdasarkan distribusi frekuensi, persentase dan rerata (mean) jawaban responden.
Berdasarkan skala pengukuran data yang digunakan (Likert), rentang skala pernyataan
responden dimulai dari satu sampai lima yang artinya dimulai dari sangat tidak
baik/setuju sampai sangat baik/setuju. Variabel-variabel yang dianalisis dalam
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
4
4
3
4
15
96
Berdasarkan Gambar 5.9
karakteristik responden berdasarkan
jabatan, dapat dijelaskan bahwa
responden mayoritas Direktur,
Direktur Utama, dan Direktur Umum
masing-masing 4 orang (26,67%),
disusul oleh direktur teknik 3 orang
(19,99%). Kondisi ini
mengindikasikan sebagian PDAM di Bali mempunyai pelanggan dibawah 30.000 SR
(Sambungan Rumah) dan sebagian lagi mempunyai pelanggan di atas 30.000
SR(Sambungan Rumah). Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang organ dan kepegawaian
PDAM mengatakan jumlah direksi ditetapkan berdasarkan jumlah pelanggan PDAM
dengan ketentuan: a) satu orang direksi untuk jumlah pelanggan sampai dengan 30.000.
b) 3 orang direksi untuk jumlah pelanggan dari 30.001 sampai dengan 100.000 dan c)
paling banyak 4 orang direksi untuk jumlah pelanggan di atas 100.000.
5.4 Deskripsi Variabel Penelitian
Analisis deskripsi variabel bertujuan untuk menginterpretasikan makna masing-
masing variabel penelitian, indikator variabel dan item pernyataan penelitian
berdasarkan distribusi frekuensi, persentase dan rerata (mean) jawaban responden.
Berdasarkan skala pengukuran data yang digunakan (Likert), rentang skala pernyataan
responden dimulai dari satu sampai lima yang artinya dimulai dari sangat tidak
baik/setuju sampai sangat baik/setuju. Variabel-variabel yang dianalisis dalam
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
4
3
Direktur
Dirut
Dirtek
Dirum
Total
97
penelitian ini terdiri dari: variabel budaya Tri Hita Karana (Xi), kepemimpinan (Y1),
komitmen organisasional (Y2), dan kinerja perusahaan (Y3). Deskripsi setiap indikator dan
variabel dapat diuraikan sebagai berikut:
5.4.1 Budaya Tri Hita Karana
Pengujian variabel budaya Tri Hita Karana, dalam studi ini difokuskan pada
implementasi nilai budaya lokal oleh pihak manajemen melalui persepsi oleh direksi
PDAM di Bali. Variabel budaya Tri Hita Karana di ukur melalui tiga indikator meliputi:
hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan) (Xi1), hubungan manusia dengan
manusia (pawongan) (Xi2) dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) (Xi3).
Analisis data secara deskripsi disajikan pada Tabel 5.1 berikut:
98
Tabel 5.1
Deskripsi Variabel Budaya Tri Hita Karana (X1)
IndikatorVariabel
Item(Butir)
Frekwensi Jawaban ( f ) & Persentase ( %) Rerata(Mean)STB (1) TB (2) CB (3) B (4) SB (5)
f % f % f % f % f %
Parahyangan
( X1.1)
X111 0 00,00 0 00,00 0 00,00 2 22,22 7 77,78 4,63X112 0 00,00 0 00.00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,50X113 0 00,00 1 11,11 1 11,11 3 33,33 4 44,44 4,02X114 0 00,00 0 00,00 0 00,00 2 22,22 7 77,78 4,67X115 0 00,00 0 00,00 1 11,11 2 22,22 6 66,67 4,41X116 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,31X117 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,13X118 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,20X119 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,39X1110 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 33,33 4,28X1111 0 00,00 0 11,11 0 00,00 6 66,67 2 22,22 4,06X1112 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,33Rerata 1,85% 02,78 % 95,37%
Rerata Indikator Parahyangan
Pawongan
( X12 )
X121 0 00,00 0 0,00 0 00,00 3 33,33 6 66,67 4,52X122 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,28X123 0 00,00 0 0,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,54X124 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,33X125 0 00,00 0 0,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,46X126 0 00,00 0 0,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,19X127 0 00,00 0 0,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,37X128 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 2 33,33 4,31X129 0 00,00 0 0,00 0 00,00 5 55,56 4 66,67 4,56X1210 0 00,00 0 0,00 0 00,00 5 55,56 4 33,33 4,31X1211 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,35X1212 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,31Rerata 0,0 % 1,85% 98,15%
Rerata Indikator Pawongan
Palemahan
(X13)
X131 0 00,00 0 00,00 2 22,22 4 44,44 3 33,33 3,98X132 0 00,00 0 00,00 0 00,00 3 33,33 6 66,67 4,26X133 0 00,00 0 00,00 0 00,00 8 88,89 1 11,11 4,07X134 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,22X135 0 00,00 0 00,00 0 00,00 8 88,89 1 11,11 4,15X136 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,22Rerata 1,85 % 1,85 % 96,29%
Rerata Indikator Palemahan
Persentase Rerata 1,23% 2,16% 96,60% 4,29Rerata Variabel Budaya Tri Hita Karana
Sumber : Data primer diolah, Tahun 2013
Hasil penelitian pada Tabel 5.1 tanggapan responden terhadap implementasi budaya Tri
Hita Karana dapat dijelaskan sebagai berikut:
4,38
4,33
4,15
99
Tanggapan responden secara keseluruhan terhadap pelaksanaan budaya Tri Hita
Karana dapat disimpulkan sebesar 96,60% responden telah menerapkannya dengan baik
melalui: parahyangan, pawongan dan palemahan, Berdasarkan Tabel 5.1 menurut
penilaian responden pelaksanaan parahyangan paling bagus , disusul pawongan, dan
paling kecil palemahan. Dengan nilai masing-masing 4,38, 4,33, dan 4,15.
5.4.2 Kepemimpinan Asta Dasa Paramiteng Prabhu
Pengujian variabel kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu, dalam studi ini
difokuskan pada implementasi nilai kepemimpinan lokal oleh pihak manajemen melalui
persepsi oleh direksi PDAM di Bali. Variabel kepemimpinan ini di ukur melalui tiga
indikator meliputi: spiritual (Y1.1) merupakan inti dari nilai kepemimpinan, yang
membentuk kecerdasan spiritual seorang pemimpin, moral (Y1.2) mencakup penegakan
kebenaran dan keadilan, serta manajerial (Y1.3) pelaksanaan tugas yang terfokus pada
pencapain tujuan. Analisis data secara deskripsi disajikan pada Tabel 5.2 berikut:
100
Tabel 5.2
Deskripsi Variabel Kepemimpinan (Y1)
Indikator
Variabel
Item
(Butir)
Frekwensi Jawaban ( f ) & Persentase ( %) Rerata
(Mean)STB (1) TB (2) CB (3) B (4) SB (5)
f % f % f % f % f %
Indikator
Spiritual
( Y1.1)
Y111 0 00,00 0 00,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,44
Y112 0 00,00 0 00,00 0 00,00 3 33,33 6 66,67 4,56
Y113 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 66,67 4,37
Rerata 00,00 % 00,00% 100,00%
Rerata Indikator Dimensi Spiritual
Indikator
Moral
(Y12)
Y121 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,28
Y122 0 00,00 0 00,00 0 00,00 8 88,89 1 11,11 4,09
Y123 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 6,667 3 33,33 4,41
Y124 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 3 44,44 4,35
Y125 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,39
Y126 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,41
Rerata 00,0 % 00,00% 100,00%
Rerata Indikator Dimensi Moral
Indikator
Manajeria
l
(Y13)
Y131 0 00,00 0 0,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,44
Y132 0 00,00 0 0,00 1 11,11 4 44,44 4 44,44 4,28
Y133 0 00,00 0 0,00 1 11,11 5 55,56 3 33,33 4,33
Y134 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,28
Y135 0 00,00 0 0,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,28
Y136 0 00,00 0 0,00 0 00,00 3 33,33 6 66,67 4,56
Y137 0 00,00 0 0,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,50
Y138 0 00,00 0 0,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,48
Y139 0 00,00 0 0,00 0 00,00 4 44,44 5 55,56 4,39
4,46
4,32
4,39
101
Rerata 00,00 % 1,39 % 98,61%
Rerata Indikator Dimensi Manajerial
Persentase Rerata 00,0% 0,46% 99,54% 4,44Rerata Variabel Kepemimpinan
Sumber : Data primer diolah, Tahun 2013
Hasil penelitian pada Tabel 5.2 tanggapan responden terhadap implementasi ajaran
kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tanggapan responden secara keseluruhan terhadap pelaksanaan kepemimpinan asta
dasa paramiteng prabhu pernyataan responden sebagian besar sudah baik sebesar
99,54%. Fakta empiris menunjukkan mampu menundukkan musuh terutama yang
bersumber dalam diri sendiri untuk mencapai tujuan perusahaan, memusatkan
perhatian kepada sasaran atau target dan selalu mengadakan evaluasi dan perbaikan
yang terus menerus. Berdasarkan Tabel 5.2 menurut penilaian responden pelaksanaan
spiritual paling bagus , disusul manajerial, dan paling kecil adalah moral, dengan nilai
masing-masing 4,46, 4,39, dan 4,32.
5.4.3 Komitmen Organisasional
Pengujian variabel komitmen organisasional, dalam studi ini difokuskan pada
implementasi ikatan psikologi dan pekerjaan pada organisasi oleh pihak manajemen
melalui persepsi direksi PDAM di Bali. Komitmen organisasional di ukur melalui tiga
indikator meliputi: keterikatan affektif/psikologi terhadap pekerjaannya (komitmen
affektif) (Y2.1), perhitungan untung rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan
keinginan tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaan (komitmen kontinyu)
102
(Y2.2), dan kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaan (komitmen normatif) (Y2.3).
Analisis data secara deskripsi disajikan pada Tabel 5.3 berikut:
103
Tabel 5.3
Deskripsi Variabel Komitmen Organisasional(Y2)
IndikatorVariabel
Item(Butir)
Frekwensi Jawaban ( f ) & Persentase ( %) Rerata(Mean)
STB (1) TB (2) CB (3) B (4) SB (5)
f % f % f % f % f %
Affektif( Y2..1)
Y211 0 00,00
0 00,00
3 33,33
2 22,22
4 44,44 3,93
Y212 0 00,00
0 00,00
2 22,22
6 66,67
1 11,11 3,78
Y213 0 00,00
0 00,00
2 00,00
6 00,00
1 11,11 3,91
Y214 0 00,00
1 11,11
1 11,11
7 77,78
0 00,00 3,78
Y215 0 00,00
0 00,00
1 11,11
6 66,67
2 22,22 4,11
Y216 0 00,00
0 00,00
1 11,11
7 77,78
1 11,11 4,04
Y217 0 00,00
0 00,00
0 00,00
5 55,56
4 44,44 4,43
Y218 0 00,00
0 00,00
0 00,00
5 55,56
4 44,44 4,48
Rerata
1,39% 13,89% 84,72%
Rerata Indikator Affektif
Kontinyu(Y2.2)
Y221 0 00,00
0 00,00
5 55,56
4 44,44
0 00,00 3,43
Y222 0 00,00
0 00,00
0 00,00
8 88,89
1 11,11 4,07
Y223 0 00,00
0 00,00
3 33,33
6 66,67
0 00,00 3,39
Y224 0 00,00
0 00,00
3 33,33
6 66,67
0 00,00 3,54
Y225 0 00,00
0 00,00
1 11,11
8 88,89
0 00,00 3,83
Y226 0 00,00
0 00,00
6 66,67
3 33,33
0 00,00 3,41
Y227 0 00,00
0 00,00
1 11,11
8 88,89
0 00,00 3,81
Y228 0 00,00
1 11,11
3 33,33
5 55,56
0 00,00 3,37
Rerata
1,39% 30,26% 68,06%
Rerata Indikator Kontinyu
Normatif
(Y2.3)
Y231 0 00,00
0 00,00
5 55,56
3 33,33
1 11,11 3,39
Y232 0 00,00
1 11,11
0 00,00
5 55,56
3 33,33 4,24
Y233 0 00,00
0 00,00
3 33,33
4 44,45
2 22,22 3,69
Y234 0 00,00
0 00,00
1 11,11
6 66,67
2 22,22 4,22
Y235 0 00,0 0 00,0 3 33,3 5 55,5 1 11,11 3,80
4,06
3,61
104
0 0 3 6Y236 0 00,0
00 00,0
01 11,1
17 77,7
81 11,11 4,00
Y237 0 00,00
0 00,00
2 22,22
6 66,67
1 11,11 3,74
Y238 0 00,00
0 00,00
0 00,00
8 88,89
1 11,11 4,26
Rerata
1,39 % 20,83% 77,78%
Rerata Indikator Normatif
PersentaseRerata
1,39% 21,78% 75,85% 3,86Rerata Variabel Komitmen Organisasional
Sumber : Data primer diolah, Tahun 2013
Berdasarkan pada Tabel 5.3 tanggapan responden terhadap implementasi
komitmen organisasional dapat dijelaskan berikut: Tanggapan responden secara
keseluruhan terhadap pelaksanaan komitmen organisasional dapat disimpulkan sebesar
75,85% responden telah menerapkannya dengan baik melalui: affektif, kontinyu dan
normatif. Berdasarkan Tabel 5.3 menurut penilaian responden pelaksanaan afektif
paling bagus , disusul normatif dan kontinyu dengan nilai masing-masing 4,06, 3,92 dan
3,61.
5.4.4 Kinerja Perusahaan
Pengujian variabel kinerja perusahaan, dalam studi ini difokuskan pada
implementasi kemampuan melakukan effisiensi dan efektivitas operasional perusahaan
pihak manajemen melalui persepsi oleh direksi PDAM di Bali. Variabel kinerja
perusahaan di ukur melalui tiga indikator meliputi: indikator keuangan (Y3.1), indikator
operasional (Y3.2), dan indikator administrasi (Y3.3). Analisis data secara deskripsi
disajikan pada Tabel 5.4 berikut:
3,92
105
Tabel 5.4Deskripsi Variabel Kinerja Perusahaan(Y3)
IndikatorVariabel
Item(Butir)
Frekwensi Jawaban ( f ) & Persentase ( %) Rerata(Mean)STB (1) TB (2) CB (3) B (4) SB (5)
f % f % f % f % f %
Keuangan( Y3.1)
Y311 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,04Y312 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,20Y313 0 00,00 0 00,00 2 22,22 6 66,67 1 11,11 3,87Y314 0 00,00 1 11,11 1 11,11 6 66,67 1 11,11 3,87Y315 0 00,00 0 00,00 1 11,11 7 77,78 1 11,11 3,98Y316 0 00,00 0 00,00 1 11,11 7 77,78 1 11,11 3,94Y317 0 00,00 0 00,00 1 11,11 7 77,78 1 11,11 4,94Y318 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,09Y319 0 00,00 0 00,00 1 11,11 7 77,78 1 11,11 3,98Y3110 0 00,00 0 00,00 0 00,00 0 00,00 0 00,00 3,98Rerata 1,11 % 11,11% 87,78%
Rerata Indikator Aspek Keuangan
Operasional(Y3.2)
X121 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,31X122 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,37X123 0 00,00 0 00,00 1 11,11 5 55,56 3 33,33 4,15X124 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,15X125 0 00,00 0 00,00 1 11,11 5 55,56 3 33,33 4,15X126 0 00,00 0 00,00 2 22,22 4 44,44 3 33,33 4,08X127 0 00,00 0 00,00 0 00,00 6 66,67 3 33,33 4,31X128 0 00,00 0 00,00 1 11,11 4 44,44 4 44,44 4,28X129 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,20X1210 0 00,00 0 00,00 1 11,11 5 55,56 3 33,33 4,15Rerata 00,00 % 6,67% 93,33%
Rerata Indikator Aspek Operasional
Administrasi
(Y3.3)
X131 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,15X132 0 00,00 0 00,00 0 00,00 8 88,89 1 11,11 4,04X133 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,04X134 0 00,00 0 00,00 1 11,11 8 88,89 0 00,00 3,87X135 0 00,00 0 00,00 2 22,22 7 77,78 0 00,00 3,76X136 0 00,00 0 00,00 0 00,00 7 77,78 2 22,22 4,15X137 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,15X138 0 00,00 0 00,00 1 11,11 6 66,67 2 22,22 4,15X139 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,43X1310 0 00,00 0 00,00 0 00,00 5 55,56 4 44,44 4,33Rerata 00,00 % 06,67 % 93,42%
Rerata Indikator Aspek AdministrasiPersentase Rerata 0,37% 8,15% 91,48% 4,10Rerata Variabel Kinerja Perusahaan
Sumber : Data primer diolah, Tahun 2013
Berdasarkan pada Tabel 5.4 tanggapan responden terhadap implementasi kinerja
perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tanggapan responden secara keseluruhan terhadap pelaksanaan kinerja
perusahaan dapat disimpulkan sebesar 91,48% responden telah menerapkannya dengan
4,21
3,99
4,11
106
baik melalui: indikator keuangan, operasional dan administrasi tetapi masih ada
responden belum melaksanakan dengan baik sekitar 0,37%. Walaupun memiliki
persentase kecil, tetapi harus membutuhkan penangan khusus bagi pihak manajemen di
PDAM Provinsi Bali. Karena itu diperlukan adanya saling pengertian, sosialisasi antara
pihak manajemen dan karyawan mengenai kinerja perusahaan dan
mengimplementasikan berdasarkan permendagri No. 47 Tahun 1999. Tanggapan
responden terhadap kinerja perusahaan indikator operaional paling bagus, disusul oleh
keuangan dan paling kecil indikator administrasi masing-masing nilainya 4,21, 4,11, dan
3,99.
5.5 Asumsi Generalized Structured Componen Analysis (GSCA)
Asumsi pada GSCA hanya berkaitan dengan pemodelan persamaan struktural dan
tidak terikat dengan pengujian hipotesis, yakni hubungan antara variabel laten dalam
model struktural adalah linear. Uji asumsi linear dilakukan dengan regresi dengan Curve
Estimation dengan menggunakan software SPSS. Pengujian linearitas data bertujuan
untuk melihat apakah model yang digunakan merupakan model linear. Linear adalah
peningkatan atau penurunan variasi pada kriterium diikuti secara konsisten oleh
peningkatan atau penurunan pada prediktor sehingga pola hubungannya membentuk
garis lurus. Dikatakan memenuhi asumsi linearitas (Solimun, 2010) apabila: (1) nilai
equation linear adalah signifikan (di bawah 0,05), dan nilai equation yang lain diabaikan,
(2) semua nilai equation tidak signifikan (di atas 0,05). Tidak memenuhi asumsi
linearitas apabila: (1) nilai equation linear tidak signifikan (di atas 0,05), (2) minimal ada
satu nilai equation yang lain signifikan (di bawah 0,05). Hasil pengujian linearitas
hubungan antar masing-masing variabel laten disajikan pada Tabel 5.5
107
Tabel 5.5Hasil Pengujian Asumsi Linearitas
NO. Hubungan
Antara Variabel
(Keterangan)
Equation Model Summary
R Square F df1 df2 Sig
1
Budaya Tri Hita Karana
Kinerja Perusahaan
(Linear)
Linear ,245 2,276 1 7 ,175
Logarithmica - - - - -
Inverse .020 ,142 1 7 ,717
Quadratic ,283 1,183 2 6 ,369
Cubic ,304 ,729 3 5 ,578
2
Budaya Tri Hita Karana
Kepemimpinan
(Linear)
Linear ,195 1,898 1 7 ,234
Logarithmica - - - - -
Inverse ,003 ,021 1 7 ,890
Quadratic ,236 ,927 2 6 ,446
Cubic ,247 ,547 3 5 ,672
3
Kepemimpinan
Kinerja Perusahaan
(Linear)
Linear ,054 ,399 1 7 ,548Logarithmica - - - - -Inverse ,353 3,818 1 7 ,092Quadratic ,192 ,713 2 6 ,527Cubic ,654 3,149 3 5 ,124
4
Budaya Tri Hita Karana
Komitmen
Organisasional
(Linear)
Linear ,587 9,930 1 7 ,016Logarithmica - - - - -Inverse ,216 1,925 1 7 ,208Quadratic ,632 5,153 2 6 ,050Cubic ,646 3,040 3 5 ,131
108
5
Komitmen
Organisasional
Kinerja Perusahaan
(Linear)
Linear ,150 1,231 1 7 ,304Logarithmica - - - - -Inverse ,008 ,041 1 7 ,845Quadratic ,213 ,812 2 6 ,488Cubic ,558 2,108 3 5 ,218
6
Kepemimpinan
Komitmen
Organisasional
(Linear)
Linear ,002 ,014 1 7 ,909Logarithmica - - - - -Inverse ,131 1,053 1 7 ,339Quadratic ,023 ,071 2 6 ,932Cubic ,486 1,578 3 5 ,305
Sumber : Data primer diolah, Tahun 2013
Berdasarkan hasil pengujian asumsi linearitas seperti tercermin pada Tabel 5.5
hasil analisis menunjukkan hubungan antar semua variabel memenuhi asumsi linearitas,
dengan demikian, membuktikan bahwa data yang digunakan memenuhi persyaratan
linearitas. Karena hubungan antar semua variabel memenuhi asumsi linearitas, maka
bisa dilanjutkan ke analisis GESCA.
5.6 Evaluasi Goodness-of- fit Model Struktural dan Overall Model
Model yang diuji dalam penelitian ini dikatakan fit apabila didukung oleh data
empiris. GSCA memberikan ukuran goodness-of-fit yang terdiri dari fit model structural
dan overall model yang dapat dilihat dari nilai FIT, AFIT, GFI (Unweighted least-squares)
109
dan SRMR (Standardized root mean square residual). Hasil komputasi data penelitian ini
dengan metode GSCA diperoleh model fit, yang dapat disajikan pada Tabel 5.6
Tabel 5.6
Evaluasi Goodnes-of-fit Model Struktural dan Overall Model GSCA
NO MODEL FIT
1 FIT 0.909
2 AFIT 0.864
3 GFI 0.948
4 SRMR 0.163
5 NPAR 30
Sumber : Hasil olahan GSCA, Tahun 2013 (Lampiran 13)
Dari hasil output GSCA pada Tabel 5.6 evaluasi goodness-of-fit model struktural
dan overall model penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
Berdasarkan goodness-of-fit model struktural dan model keseluruhan (overall
model) dengan uji FIT, AFIT, GFI dan SRMR dapat disimpulkan bahwa kompleksitas
model yang dispesifikasi dalam penelitian ini mampu menjelaskan 86,40% varian data
yang telah terkoreksi. Begitu pula nilai GFI=0,948 dan SRMR = 0,163 yang menunjukkan
model fit yang baik (GFI≥0,90 dan SRMR mendekati nol).
5.7 Pengujian Model Pengukuran (Measurement Model)
110
Pengujian model pengukuran (measurement model) dalam penelitian ini
bertujuan untuk menilai indikator - indikator variabel (observed variabel) yang
merefleksi sebuah konstruk atau variabel laten yang tidak dapat diukur secara langsung.
Analisis atas indikator-indikator yang diuji agar dapat memberikan makna atas simbol
yang diberikan pada variabel laten. Analisis secara empiris bertujuan memvalidasi model
dan realibilitas konstruk yang mencerminkan parameter-parameter pada variabel laten
yang dibangun berdasarkan teori dan kajian empiris. Penelitian ini mempergunakan
analisis GSCA, ada tiga kriteria untuk menilai model pengukuran yaitu: convergent
validity, discriminan validity dan composite reliability.
Berdasarkan ketiga kriteria penilaian model pengukuran dari hasil bootstrapping
pada metode GSCA, maka pengujian model pengukuran terhadap setiap indikator yang
merefleksikan konstruk atau variabel laten dapat dijelaskan sebagai berikut:
5.7.1 Measurement Model Variabel Budaya Tri Hita Karana
Variabel Budaya Tri Hita Karana, diukur dengan tiga indikator yaitu :
Parahyangan, (X1), Pawongan (X2) dan Palemahan (X3). Nilai estimate pada
loading untuk setiap indikator variabel budaya Tri Hita Karana, AVE dan Alpha
dapat dilihat pada Tabel 5.7
Tabel 5.7
Hasil Pengujian Model Pengukuran Variabel Budaya Tri Hita Karana
111
Keterangan : CR*= Signifikan pada = 0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Hasil komputasi model pengukuran variabel laten budaya Tri Hita Karana pada
Tabel 5.7 nampak bahwa ketiga indikator, yaitu: parahyangan, pawongan dan
palemahan valid untuk digunakan dalam merefleksi pengukuran variabel laten budaya
Tri Hita Karana. Dibuktikan dengan nilai estimasi pada loading ketiga indikator variabel
secara keseluruhan memiliki nilai lebih besar dari 0,70 dan nilai CR signifikan pada
tingkat kepercayaan 95%. Mencerminkan bahwa korelasi diantara semua indikator
variabel positif dan signifikan dalam merefleksi variabel budaya Tri Hita Karana.
Hasil analisis data, jika dilihat dari nilai estimasi pada loading yang diperoleh
untuk masing-masing indikator, indikator parahyangan adalah paling dominan dalam
merefleksi variabel budaya Tri Hita Karana. Nilai estimasi loading faktor pada indikator
parahyangan paling besar diantara ketiga indikator lainnya yakni sebesar 0,993.
Kemudian indikator pawongan 0,989 dan terkecil indikator palemahan sebesar 0,989.
Variabel
Indikator
Loading
Budaya
Tri Hita Karana
(X)
Estimate SE CR
AVE = 0.982 Alpha = 0,990
X1 Parahyangan 0.993 0.132 7.53*
X2 Pawongan 0.990 0.276 3.59*
X3 Palemahan 0.989 0.295 3.35*
112
Selain itu nilai titik kritis (CR) yang diperoleh, indikator parahyangan dapat dipergunakan
untuk mengukur variabel budaya Tri Hita Karana karena diperoleh nilai terbesar 7.53*
signifikan pada tingkat kepercayaan α = 0,05 dibandingkan dengan indikator pawongan
dan palemahan.
5.7.2 Measurement Model Variabel Kepemimpinan
Variabel kepemimpinan, diukur dengan tiga indikator yaitu: spiritual (Y1.1), moral
(Y1.2) dan manajerial (Y1.3). Nilai estimate pada loading untuk setiap indikator variabel
kepemimpinan, AVE dan Alpha dapat dilihat pada Tabel 5.8
113
Tabel 5.8
Hasil Pengujian Model Pengukuran Variabel Kepemimpinan
Keterangan : CR*= Signifikan pada = 0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Hasil komputasi model pengukuran variabel laten kepemimpinan pada Tabel 5.8
nampak bahwa ketiga indikator, yaitu: spiritual, moral dan manajerial valid untuk
digunakan dalam merefleksi pengukuran variabel laten kepemimpinan. Dibuktikan
dengan nilai estimasi pada loading ketiga indikator variabel secara keseluruhan memiliki
nilai lebih besar dari 0,70 dan nilai CR signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
Mencerminkan bahwa korelasi diantara semua indikator variabel positif dan signifikan
dalam merefleksi variabel kepemimpinan. Hasil analisis data, jika dilihat dari nilai
estimasi pada loading yang diperoleh untuk masing-masing indikator, indikator
manajerial adalah paling dominan dalam merefleksi variabel kepemimpinan. Nilai
estimasi loading faktor pada indikator manajerial paling besar diantara ketiga indikator
lainnya yakni sebesar 0,992. Kemudian indikator spritual 0,980 dan terkecil indikator
moral sebesar 0,988. Selain itu nilai titik kritis (CR) yang diperoleh, indikator manajerial
dapat dipergunakan untuk mengukur variabel kepemimpinan karena diperoleh nilai
Variabel
Indikator
Loading
Kepemimpinan(Y1)
Estimate SE CR
AVE = 0.974 Alpha=0,987
Y1.1 Spiritual 0.980 0.456 2.15*
Y1..2 Moral 0.988 0.692 2.40*
Y1.3 Manajerial 0.992 0.029 34.5*
114
terbesar 34,5* signifikan pada tingkat kepercayaan α = 0,05 dibandingkan dengan
indikator spiritual dan moral.
5.7.3 Measurement Model Variabel Komitmen Organisasional
Variabel komitmen organisasional diukur dengan tiga indikator yaitu: affektif
(Y2.1), kontinyu (Y2.2), dan normatif (Y2.3). Nilai estimate pada loading untuk setiap
indikator variabel komitmen organisasional, AVE dan Alpha dapat dilihat pada Tabel 5.9
Tabel 5.9Hasil Pengujian Model Pengukuran Variabel Komitmen Organisasional
Variabel
Indikator
Loading
Komitmen
Organisasional
(Y2)
Estimate SE CR
AVE = 0.974 Alpha=0,987
Y2.1 Afektif 0.983 0.210 4.68*
Y2.2 Kontinyu 0.986 0.471 2.09*
Y2.3 Normatif 0.998 0.040 25.02*
Keterangan : CR* = Signifikan pada = 0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Hasil komputasi model pengukuran variabel laten komitmen organisasional pada
Tabel 5.9 nampak bahwa ketiga indikator, yaitu: afektif, kontinyu, dan normatif valid
untuk digunakan dalam merefleksi pengukuran variabel laten komitmen organisasional.
115
Dibuktikan dengan nilai estimasi pada loading ketiga indikator variabel secara
keseluruhan memiliki nilai lebih besar dari 0,70 dan nilai CR signifikan pada tingkat
kepercayaan 95%. Mencerminkan bahwa korelasi diantara semua indikator variabel
positif dan signifikan dalam merefleksi variabel komitmen organisasional . Hasil analisis
data, jika dilihat dari nilai estimasi pada loading yang diperoleh untuk masing-masing
indikator, indikator normatif adalah paling dominan dalam merefleksi variabel
komitmen organisasional. Nilai estimasi loading faktor pada indikator normatif paling
besar diantara ketiga indikator lainnya yakni sebesar 0,998. Kemudian indikator kontinyu
0,986 dan terkecil indikator affektif sebesar 0,983. Selain itu nilai titik kritis (CR) yang
diperoleh, indikator normatif dapat dipergunakan untuk mengukur variabel komitmen
organisasional karena diperoleh nilai terbesar 25,02* signifikan pada tingkat
kepercayaan α = 0,05 dibandingkan dengan indikator affektif dan kontinyu.
5.7.4 Measurement Model Variabel Kinerja Perusahaan
Variabel kinerja perusahaan, diukur dengan tiga indikator yaitu : keuangan(Y3.1),
operasional (Y3.2), dan administrasi (Y3.3). Nilai estimate pada loading untuk setiap
indikator variabel kinerja perusahaan, AVE dan Alpha dapat dilihat pada Tabel 5.10
116
Tabel 5.10
Hasil Pengujian Model Pengukuran Variabel Kinerja Perusahaan
Keterangan : CR* = Signifikan pada = 0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Hasil komputasi model pengukuran variabel laten kinerja perusahaan pada Tabel
5.10 nampak bahwa ketiga indikator yaitu: keuangan, operasional dan administrasi valid
untuk digunakan dalam merefleksi pengukuran variabel laten kinerja perusahaan. Hal
tersebut dibuktikan dengan nilai estimasi pada loading ketiga indikator secara
keseluruhan memiliki nilai lebih besar dari 0,70 dan nilai CR signifikan pada tingkat
kepercayaan 95%. Hal ini mencerminkan bahwa korelasi diantara semua indikator positif
dan signifikan dalam merefleksi variabel kinerja perusahaan. Hasil analisis data, jika
dilihat dari nilai estimasi pada loading yang diperoleh untuk masing-masing indikator,
indikator operasional adalah paling dominan dalam merefleksi variabel kinerja
perusahaan. Nilai estimasi loading faktor pada indikator operasional paling besar
Variabel
Indikator
Loading
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
Estimate SE CR
AVE = 0.983 Alpha = 0,991
Y3.1 Keuangan 0.992 0.050 20.04*
Y3.2 Operasional 0.995 0.041 24.27*
Y3.3 Administrasi 0.988 0.164 6.01*
117
diantara ketiga indikator lainnya yakni sebesar 0,995. Kemudian indikator keuangan
0,992 dan terkecil indikator administrasi sebesar 0,988. Selain itu nilai titik kritis (CR)
yang diperoleh, indikator operasional dapat dipergunakan untuk mengukur variabel
kinerja perusahaan karena diperoleh nilai terbesar 24,27* signifikan pada tingkat
kepercayaan α = 0,05 dibandingkan dengan indikator keuangan dan administrasi.
5.8 Pengujian Model Struktural dan Hipotesis Penelitian
Model struktural dievaluasi dengan melihat nilai koefisien parameter jalur
hubungan antara variabel laten. Pengujian struktural dilakukan setelah model hubungan
yang dibangun dalam riset ini sesuai dengan data hasil observasi dan kesesuaian model
secara keseluruhan (goodness-of-fit model overall). Tujuan pengujian terhadap model
hubungan struktural untuk mengetahui hubungan antara variabel laten yng dirancang
dalam studi ini. Dari out put model GSCA, pengujian struktural dan hipotesis dilakukan
dengan melihat nilai estimasi koefisien jalur dan nilai titik kritis (CR*) yang signifikan
pada α= 0,05. Hasil analisis data secara lengkap dapat dilihat pada out put model GSCA,
(Lampiran 13). Berdasarkan kerangka konseptual penelitian ini, maka pengujian model
hubungan dan hipotesis antara variabel dapat dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: (1)
pengujian koefisien jalur pengaruh langsung, (2) pengujian koefisien jalur pengaruh
variabel mediasi. Uraian hasil pengujian hubungan antara variabel penelitian sebagai
berikut:
5.8.1 Pengujian Hipotesis dan Koefisien Jalur Pengaruh Langsung
Pengujian hipotesis dan koefisien jalur pengaruh secara langsung antara budaya
Tri Hita Karana, kepemimpinan, komitmen organisasional dan kinerja perusahaan. Hasil
118
analisis data pengujian pengaruh langsung antara variabel penelitian dapat dilihat dari
nilai koefisien jalur dan titik kritis (CR*) yang signifikan pada α =0,05 yang disajikan pada
diagram jalur Gambar 5.10
Gambar 5.10Diagram Koefisien Jalur dan Pengujian Hipotesis
Ket. : ns = Non Signifikan; s= Signifikan (CR*)pada α =0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Hasil pengujian pada Gambar 5.10 tampak bahwa dari enam pengaruh langsung
antara variabel yang diuji terdapat 5 berpengaruh signifikan yaitu: (1) variabel budaya
Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, (2) budaya Tri Hita
Karana berpengaruh signifikan terhadap kepemimpinan, (3) kepemimpinan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, (4) variabel komitmen
organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, dan (5) budaya Tri
Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional. Sementara
hanya satu variabel yang tidak berpengaruh signifikan adalah kepemimpinan tidak
Komitmen
Organisasional
(Y2)
Kepemimpin
an
(Y1)
Budaya
THK
X1
(Y1)0.993 (s)
)(((s)
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
0.670 (s)
)(((s)
0.454 (s)
)(((s)
0.599 (s)
)(((s)
0.251(s)
)(((s)
0.261(ns)
)(((s)
119
berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional. Hasil Pengujian pengujian
pengaruh langsung antara variabel secara lengkap disajikan pada Tabel 5.11
Tabel 5.11
Koefisien Jalur Pengaruh Langsung dan Pengujian Hipotesis
Keterangan : CR*= Signifikan pada =0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian, maka pengujian pengaruh langsung dan hipotesis
penelitian bertujuan untuk menjawab apakah hipotesis yang diajukan dapat diterima
atau ditolak. Hasil pengujian hipotesis pengaruh langsung dapat dijelaskan sebagai
berikut:
H1 : Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan
Hipotesis PengaruhLangsung
KoefisienJalur
C.R(Uji t) Keterangan
H1Budaya THK (Xi) Kinerja Perusahaan(Y3)
0.670 2.41* Signifikan Diterima
H2Budaya THK (Xi) Kepemimpinan (Y1) 0.993 6.27* Signifikan Diterima
H3Kepemimpinan (Y1) KinerjaPerusahaan
0.454 5.47* Signifikan Diterima
H4Budaya THK (Xi)KomitmenOrganisasional (Y2)
0.599 2.56* Signifikan Diterima
H5KomitmenOrganisasional (Y2) KinerjaPerusahaan (Y3)
0.051 2.46* Signifikan Diterima
H6Kepemimpinan (Y1)KomitmenOrganisasional (Y2)
0.261 0.15 T.Signifikan Ditolak
120
Hasil pengujian pengaruh budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja perusahaan
dapat dibuktikan dengan nilai estimate koefisien jalur sebesar 0.670 dengan arah positif.
Koefisien jalur bertanda positif memiliki arti hubungan antara budaya Tri Hita Karana
dengan kinerja perusahaan adalah searah, dapat pula dibuktikan dengan nilai titik kritis
(CR) sebesar 2.41*. Hasil pengujian hipotesis (H1) membuktikan bahwa budaya Tri Hita
Karana berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Artinya semakin
baik implementasi budaya Tri Hita Karana maka kinerja perusahaan akan semakin
meningkat, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima atau
didukung oleh fakta empiris.
H2 : Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kepemimpinan.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa nilai estimasi koefisien jalur
pengaruh langsung budaya Tri Hita Karana terhadap kepemimpinan sebesar 0.993
dengan nilai titik kritis (CR) sebesa 6.27*, signifikan pada α =0,05. Hasil pengujian
diperoleh adanya dukungan fakta empiris terbukti untuk menerima hipotesis (H2).
Koefisien jalur bertanda positif dapat diartikan hubungan antara budaya Tri Hita Karana
terhadap kepemimpinan searah. bahwa semakin baik penerapan budaya Tri Hita Karana
maka kepemimpinan semakin baik.
H3: Kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Hasil analisis pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja perusahaan diperoleh
nilai estimasi koefisien jalur pengaruh langsung sebesar 0.454 dengan nilai titik kritis
(CR) sebesar 5.47* yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil ini berarti
terdapat cukup bukti empiris untuk menerima hipotesis (H3). Mencermati nilai koefisien
jalur bertanda positif dapat diartikan bahwa hubungan antara kepemimpinan terhadap
kinerja perusahaan adalah searah. Hubungan searah tersebut berarti kepemimpinan
121
yang baik mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Dengan demikian semakin bagus
kepemimpinan maka semakin meningkat kinerja perusahaan.
H4: Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan pada komitmen organisasional.
Hasil pengujian diperoleh bahwa nilai estimasi koefisen jalur pengaruh langsung
budaya Tri Hita Karana terhadap komitmen organisasional sebesar 0.599 dengan nilai
titik kritis (CR) sebesar 2.56* berarti signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil
pengujian menunjukkan terdapat cukup bukti secara empiris untuk menerima hipotesis
(H4) yang menyatakan budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap
komitmen organisasional diterima. Namun dengan melihat tanda koefisien jalur positif
berarti hubungan antara budaya Tri Hita Karana dengan komitmen organisasional
searah. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin baik implementasi Tri Hita Karana
maka semakin tinggi komitmen organisasional.
H5: Komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Pengujian secara langsung diperoleh nilai estimasi koefisien jalur komitmen
organisasional terhadap kinerja perusahaan sebesar sebesar 0.051 dengan nilai titik
kritis (CR) sebesar 2.46* signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil pengujian
menunjukkan terdapat cukup bukti secara empiris untuk menerima hipotesis (H5) yang
menyatakan komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja
perusahaan. Dengan melihat tanda koefisien jalur positif berarti hubungan antara
komitmen organisasional dengan kinerja perusahaan searah. Hasil ini mengindikasikan
bahwa semakin tinggi komitmen organisasional maka kinerja perusahaan semakin
meningkat.
H6: Kepemimpinan berpengaruh tidak signifikan terhadap komitmen organisasional
122
Hasil pengujian diperoleh bahwa nilai estimasi koefisen jalur pengaruh langsung
kepemimpinan terhadap komitmen organisasional sebesar 0.261 dengan nilai titik kritis
(CR) sebesar 0.15 berarti tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil pengujian
menunjukkan tidak terdapat cukup bukti secara empiris untuk menerima hipotesis (H6)
yang menyatakan kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasional ditolak.
5.8.2 Pengujian Hipotesis dan Koefisien Jalur Pengaruh Mediasi
Pengujian pengaruh mediasi bertujuan mendeteksi kedudukan variabel
intervening dalam model. Pengujian mediasi dilakukan guna menentukan sifat hubungan
antara variabel baik sebagai variabel mediasi sempurna (complete mediation), mediasi
sebagaian (partial mediation) dan bukan variabel mediasi. Pendekatan GSCA pengujian
variabel mediasi dapat dilakukan melalui perbedaan koefisien. Pendekatan perbedaan
koefisien menggunakan metode pemeriksaan dengan melakukan analisis tanpa
melibatkan variabel mediasi.
H1.a : Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan,
dimediasi oleh kepemimpinan.
Hasil pengujian pengaruh variabel budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja
perusahaan pada model awal dengan melibatkan variabel mediasi menunjukkan budaya
Tri Hita Karana secara langsung berpengaruh signifikan terhadap kepemimpinan
maupun pada variabel kinerja perusahaan seperti Gambar 5.11.
Gambar 5.11
Diagram Jalur Pengujian Dengan Variabel Mediasi
Kepemimpinan Pengaruh Budaya Tri Hita Karana
Terhadap Kinerja Perusahaan
123
Budaya Tri
Hita Karana
(X)
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
Kepemimpinan
(Y1)
0.670*
(a)
(b) (c)
0.454*0.993*
Keterangan : *= signifikan pada α =0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Agar menyimpulkan dugaan atas variabel mediasi, maka variabel budaya Tri Hita
Karana dianalisis kembali hubungannya tanpa melibatkan variabel mediasi dalam model
dan hasil pengujian dapat dilihat pada diagram jalur pada Gambar 5.12
Gambar 5.12
Diagram Jalur Pengujian Tanpa Variabel Mediasi
Pengaruh Budaya Tri Hita Karana Terhadap
Kinerja Perusahaan
Budaya Tri
Hita Karana
(X)
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
0.985*
(d)
124
Keterangan : * = signifikan pada α =0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Gambar 5.13 Berdasarkan kedua model pada Gambar 5.11 dan 5.12 dapat
dilihat bahwa nilai koefisien jalur dan signifikansi hubungan (a), (b) dan (c) signifikan
pada model awal, namun nilai koefisien (a) lebih kecil (turun) dari nilai koefisien (d) dan
koefisien (d) signifikan, maka variabel kepemimpinan dalam model penelitian ini
dikatakan variabel mediasi parsial (partial mediation). Hasil ini berarti hubungan antara
budaya Tri Hita Karana secara langsung dapat mempengaruhi kinerja perusahaan,
maupun melalui pengaruh mediasi kepemimpinan.
H1.b : Budaya Tri Hita Karana berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan
dimediasi oleh Komitmen organisasional.
Hasil pengujian pengaruh variabel budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja
perusahaan pada model awal dengan melibatkan variabel mediasi menunjukkan budaya
Tri Hita Karana secara langsung berpengaruh signifikan terhadap komitmen
organisasional maupun pada variabel kinerja perusahaan seperti Gambar 5.13.
Agar menyimpulkan dugaan atas variabel mediasi, maka variabel budaya Tri Hita Karana
dianalisis hubungannnya dengan kinerja perusahaan tanpa melibatkan variabel mediasi
dalam model dan hasil pengujian dapat dilihat pada diagram jalur Gambar 5.12.
125
Gambar 5.13
Diagram Jalur Pengujian Dengan Variabel Mediasi
Komitmen Organisasional Pengaruh Budaya
Tri Hita Karana Terhadap Kinerja Perusahaan
Keterangan : *= signifikan pada α =0,05
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Berdasarkan kedua model pada Gambar 5.12 dan Gambar 5.13 dapat dilihat
bahwa nilai koefisien jalur dan signifikansi hubungan (a) signifikan, (b) signifikan dan (c)
signifikan pada model awal, namun nilai koefisien (a) lebih kecil (rendah) dari nilai
koefisien (d) dan koefisien (d) signifikan, maka variabel komitmen organisasional dalam
model penelitian ini dikatakan variabel mediasi parsial (partial mediation). Hasil ini
berarti hubungan antara budaya Tri Hita Karana secara langsung dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan, maupun melalui pengaruh mediasi komitmen organisasional. Hasil
pengujian koefisien pengaruh variabel mediasi kepemimpinan dan komitmen
organisasional dalam penelitian ini, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.12
Budaya Tri
Hita Karana
(X)
Kinerja
Perusahaan
(Y3)
Komitmen
Organisasional
(Y2)
0.670*
(a)
(b) (c)
0.051*0.599*
126
127
Tabel 5.12
Koefisien Jalur Pengaruh Mediasi dan Pengujian Hipotesis
Hipotesi
s
Pengaruh Variabel Mediasi Koefisien
Jalur
Keterangan
Sifat
Bebas Mediasi Terikat Mediasi
H1.a Budaya Tri
Hita
Karana
Kepemimpinan Kinerja
Perusahaan0.993 Signifikan
Mediasi
Parsial
H1.b Budaya Tri
Hita
Karana
Komitmen
Organisasional
Kinerja
Perusahaan 0,599 Signifikan
Mediasi
Parsial
Sumber : Hasil Olahan GSCA, Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 5.12 hasil pengujian koefisien jalur dan hipotesis pengaruh
variabel mediasi dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel budaya Tri Hita Karana
terhadap kinerja perusahaan melalui kepemimpinan dan komitmen organisasional
adalah mediasi parsial (partial mediation). Artinya hubungan antara variabel budaya Tri
Hita Karana dengan kinerja perusahaan secara langsung dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan, maupun melalui pengaruh kepemimpinan dan komitmen organisasional.
5.9 Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan ini, berkaitan dengan hipotesis yang dirumuskan pada pembahasan
sebelumnya, dan juga memuat penjelasan pengaruh antara variabel penelitian baik
secara langsung, maupun pengaruh variabel mediasi. Hasil penelitian ini sekaligus
128
menjastifikasi hipotesis penelitian yang diajukan pada bab sebelumnya. Uraian
pembahasan hasil pengujian hipotesis penelitian ini, sebagai berikut:
5.9.1 Pembahasan Pengaruh Langsung
Pembahasan pengaruh langsung antara variabel penelitian ini, mengacu pada
hasil pengujian hipotesis pengaruh secara langsung yakni pengaruh budaya Tri Hita
Karana, kepemimpinan, dan komitmen organisasional, terhadap kinerja perusahaan.
Kemudian pengaruh kepemimpinan terhadap komitmen organisasional. Pengujian
hipotesis pengaruh langsung terdiri dari enam hipotesis, hasil pengujian diperoleh lima
hipotesis berpengaruh signifikan (didukung oleh fakta empiris) dan satu hipotesis tidak
berpengaruh signifikan (ditolak/tidak dapat dibuktikan secara empiris). Penjelasan
terhadap hasil pengujian hipotesis pengaruh langsung, dapat diuraikan sebagai berikut:
5.9.1.1 Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kinerja Perusahaan
Hasil analisis variabel budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja perusahaan
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa
budaya Tri Hita Karana mampu menjelaskan variasi perubahan pada kinerja PDAM di
Provinsi Bali.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Robbin (2009), yang menyatakan
kinerja dibentuk oleh budaya organisasi. Penelitian ini juga mendukung pendapat
Kotter dan Haskett (1997) mengatakan budaya yang kuat sering dikatakan membantu
kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkatan yang luar biasa dalam diri karyawan.
Budaya yang kuat membantu kinerja karena memberikan struktur dan kontrol yang
dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang kaku dan yang dapat
menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. Begitu pula penelitian ini juga mendukung
129
pendapat Hofstede (2001) bahwa budaya yang kuat dan khas sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu organisasi. Organisasi yang sukses mempunyai budaya kuat
sekaligus khas, termasuk mitos yang memperkuat subbudaya organisasi. Organisasi yang
gagal mempunyai sub-sub budaya kerja yang berlainan satu sama lain, atau mempunyai
budaya masa lalu yang membuat organisasi terhalangi dalam melakukan adaptasi
terhadap lingkungan yang berubah.
Temuan penelitian ini memperluas penelitian yang dilakukan oleh: Davidson et al.
(2000); Fey dan Denison (2003); Denison et al.(2004); Lee dan Yu (2004); Onken (1998);
Supartha (2006); dan Kamaliah (2011) menyimpulkan adanya pengaruh positif dan
signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya Lee dan Yu
(2004) menjelaskan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu budaya organisasi dapat
menjadi sumber unggulan kompetitif berkelanjutan di dalam melakukan aktivitas bisnis.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chouke dan
Amstrong (2000) bahwa budaya organisasi yang unik berdampak positif tehadap kinerja
usaha. Budaya merupakan bagian integral dari proses adaptasi organisasi dan ciri-ciri
budaya spesifik sangat bermanfaat sebagai determinan kineja usaha dan efektivitas
organisasi (Denison dan Mishra, 1995). Katagori yang unik dimaksud (Chouke dan
Amstrong, 2000), dan spesifik (Denison dan Mishra, 1995) adalah dari pengukuran
budaya organisasi menggunakan nilai-nilai budaya Tri Hita Karana dengan tiga indikator
yaitu: Parahyangan, Pawongan dan Palemahan dalam praktika budaya organisasi.
Temuan hasil penelitian ini memperkaya dan memperkuat penelitian yang
terdahulu mempergunakan variabel budaya Tri Hita Karana yang dilakukan oleh
Gunawan (2009); Riana (2010); Astawa et al. (2012); Astawa et al. (2013), menghasilkan
penelitian searah dengan penelitian ini, budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif
130
signifikan terhadap kinerja organisasi. Kondisi ini memberikan makna bahwa di PDAM
untuk meningkatkan kinerja perusahaan diperlukan penerapan nilai- nilai budaya yang
mengedepankan keharmonisan antar sesama manusia, lingkungan dan Tuhan.
Hubungan antar manusia dapat dicerminkan melalui pemenuhan dan penghormatan
hak dan kewajiban karyawan oleh manajemen. Hubungan baik dengan pelanggan atau
masyarakat serta lingkungan akan membawa nama baik PDAM di mata pelanggan,
sehingga mampu mendorong tercapainya kinerja yang optimal. Hubungan baik yang
dibangun oleh menajemen terhadap karyawan dan lingkungan di yakini juga berasal dari
kekuatan sang pencipta, sehingga penerapan atas kepercayaan terhadap Tuhan
dimasing diri karyawan adalah kegiatan yang mutlak dilakukan secara terencana dalam
program kinerja perusahaan.
Budaya Tri Hita Karana sebagai budaya organisasi pada PDAM dapat
mengarahkan PDAM menuju kinerja yang diharapkan. Hasil wawancara dengan
beberapa direksi PDAM dapat disajikan untuk mendukung hasil temuan ini seperti
disampaikan oleh Direktur Utama PDAM Tabanan:
“Saya menyadari pemahaman di setiap karyawan tentang konsep hubungan harmonis
adalah sangat penting untuk memperlancar pelayanan terhadap masyarakat, sehingga
konsep THK merupakan solusi yang saya lakukan disini. Hal lain hampir delapan puluh
lima persen staf saya berasal dari Bali sehingga akan lebih mudah pemahaman
mengenai budaya THK”
Direktur PDAM Klungkung telah menyampaikan kepada peneliti terkait penerapan
THK untuk menjaga kinerja agar tetap tercapai dengan baik sebagai berikut:
131
“Saya sangat percaya hubungan baik dengan Tuhan lewat upacara mecaru untuk
memelihara debit air agar sesuai dengan perencanaan, hal ini saya sudah lakukan setiap
desa yang ada sumber airnya”
Hal yang sangat antusias dilakukan oleh Direktur Utama PDAM Badung terkait
dengan kepercayaan untuk memelihara sumber mata air lewat kekuatan Tuhan dalam
bentuk Upacara Pakelem setiap purnama sasih keenem (setiap bulan penuh pada bulan
Februari) di Bendungan Estuary yang merupakan sumber air baku utama PDAM Badung
untuk melayani pelanggan di Badung Selatan khususnya di Kecamatan Kuta dan
kawasan wisata Nusa Dua. Hasil wawancara ini memberikan makna bahwa konsep THK
telah dipahami oleh Direktur Utama PDAM dan dilakukan secara berkala.
Pada model pengukuran indikator parahyangan memiliki kontribusi paling kuat
dalam penerapan budaya Tri Hita Karana pada PDAM di Bali dengan nilai loading factor
sebesar 0,993. Dapat dikatakan bahwa indikator parahyangan merupakan indikator
yang mampu merubah prilaku organ PDAM. Ini menunjukkan bahwa indikator
parahyangan sangat diperlukan bagi manajemen PDAM terutama berkenaan dengan
sejauh mana nilai-nilai yang dianut mampu membentuk perilaku manajemen PDAM
dalam bentuk tindakan nyata terhadap ketakwaan, dedikasi dan kejujuran. Dalam ajaran
agama hindu ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa merupakan kewajiban karena
rasa syukur diciptakan sebagai manusia. Rasa syukur mendorong manusia untuk
melaksanakan amanah bekerja tanpa pamerih yang diwujudkan dalam bentuk dedikasi.
Ketaatannya terhadap ajaran Tuhan melahirkan sikap yang menjunjung tinggi kejujuran.
5.9.1.2 Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kepemimpinan
132
Hasil analisis variabel budaya Tri Hita Karana terhadap kepemimpinan
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Dengan demikian hasil penelitian
ini dapat membuktikan secara empiris bahwa semakin baik pelaksanaan budaya Tri Hita
Karana maka semakin baik kepemimpinan. Hasil ini mengindikasikan bahwa budaya Tri
Hita Karana mampu menjelaskan variasi perubahan pada kepemimpinan PDAM di
Provinsi Bali.
Hasil ini dapat dijelaskan bahwa budaya Tri Hita Karana yang diterapkan oleh
PDAM mengarahkan kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu untuk memerankan
model spiritual, moral dan manajerial. Adanya pengaruh positif signifikan budaya Tri
Hita Karana terhadap kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu dapat dijelaskan
budaya Tri Hita Karana yang dianut oleh PDAM di Bali mendukung pemimpin untuk
menerapkan model kepemimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur:
spiritual, moral dan manajerial.
Jika ditinjau dari indikator pembentuk budaya Tri Hita Karana dan
kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu yang digunakan dalam penelitian ini maka
bisa dilihat adanya kesejajaran indikator kedua variabel tersebut, sehingga ketika
dilakukan pengujian secara empiris, maka hasil yang diperoleh juga cendrung
berpengaruh positif. Indikator pembentuk dimensi parahyangan, pawongan dan
palemahan dalam budaya Tri Hita Karana sejajar dengan spiritual, moral dan manajerial.
Ketika budaya Tri Hita Karana yang di implementasikan pada PDAM di Bali, mendukung
indikator budaya Tri Hita Karana tersebut, maka secara langsung pula akan mendukung
indikator-indikator kepemimpinan asta dasa paramiteng prabhu.
Penerapan nilai budaya Tri Hita Karana akan dapat menuntun manajemen
PDAM untuk meningkatkan kualitas kepemimpinannya sehingga layak
133
diimplementasikan sebagai budaya organisasi pada PDAM. Hal ini disebabkan karena
mayoritas manajemen PDAM adalah orang Bali yang beragama hindu yang sebagaian
besar telah mengenal nilai-nilai budaya lokal sehingga sudah saatnya dijadikan nilai-nilai
yang patut dipedomani sebagai budaya PDAM. Nampaknya nilai-nilai yang ada belum
terimplementasi dengan baik. Hasil wawancara dengan beberapa Direksi PDAM
mengenai implementasi Tri Hita Karana sebagai budaya organisasi PDAM menyatakan
sangat setuju karena nilai- nilai tersebut ada dan telah dianut, namun belum dibakukan
sebagai nilai-nilai budaya organisasi PDAM.
Hasil analisis model pengukuran , jika dilihat dari nilai estimasi pada loading
yang diperoleh untuk masing-masing indikator, indikator parahyangan adalah paling
dominan dengan nilai estimasi sebesar 0,993, selain itu nilai titik kritis (CR) terbesar
7.53* dalam merefleksi variabel budaya Tri Hita Karana. Dapat dikatakan indikator
parahyangan paling diyakini merupakan indikator yang mampu merubah perilaku
seseorang. Ini menunjukkan bahwa indikator parahyangan sangat diperlukan bagi
manajemen PDAM terutam berkenaan sejauh mana nilai-nilai yang dianut mampu
membentuk perilaku manajemen PDAM dalam bentuk tindakan nyata terhadap
ketakwaan, dedikasi dan kejujuran. Dalam ajaran agama Hindu ketakwaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa merupakan kewajiban karena rasa syukur diciptakan sebagai
manusia. Rasa syukur mendorong manusia untuk melaksanakan amanah bekerja secara
tulus tanpa pamerih yang diwujudkan dalam bentuk dedikasi. Ketaatannya terhadap
ajaran Tuhan melahirkan sikap yang menjunjung tinggi kejujuran.
Hal ini menunjukkan bahwa pengadopsian Budaya Tri Hita Karana yang tercermin
pada parahyangan, pawongan dan palemahan telah dapat membentuk perilaku yang
baik. Perubahan perilaku kerja telah menimbulkan perilaku kepemimpinan yang baik
134
dalam bentuk adaptabilitas kepemimpinan dalam PDAM. Kuatnya nilai budaya Tri Hita
Karana telah dapat membentuk gaya kepemimpinan yang baik bagi manajemen PDAM.
Sehingga dapat dikatakan kuatnya budaya organisasi (budaya Tri Hita Karana) PDAM
berpengaruh terhadap kepemimpinan PDAM. Oleh karena itu patut secara formal
ditetapkan sebagai budaya kerja bagi PDAM di Provinsi Bali.
Temuan ini mendukung kajian empiris terdahulu yang dilakukan oleh: Obganna
dan Harris (2002); Sharma dan Sharma (2010); Sumarto dan Subroto (2011); Gunawan
(2009); Mehta dan Krishnan (2004); Endorgan et al. (2006); Van Emmerik et al. (2009);
Butarbutar dan Sendjaya (2010); dan Mohanty et al (2012), hasil-hasil penelitiannya
menyimpulkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi
terhadap kepemimpinan. Kesesuaian penelitian terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan ini menunjukkan bahwa dalam situasi apapun dan dimanapun kontek
keterjadiannya, budaya organisasi merupakan elemen universal yang akan
mempengaruhi perilaku kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Hasil penelitian ini
memperkuat teori yang dicetuskan oleh Schein (2004) dan Fleenor dan Bryant (2002)
yang menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi gaya kepemimpinan.
5.9.1.3 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Perusahaan.
Hasil analisis variabel kepemimpinan terhadap kinerja perusahaan menunjukkan
adanya pengaruh positif dan signifikan. Hasil penelitian ini dapat membuktikan secara
empiris bahwa semakin baik pelaksanaan kepemimpinan maka semakin baik kinerja
perusahaan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan mampu menjelaskan
variasi perubahan pada kinerja perusahaan pada PDAM di Provinsi Bali.
135
Penelitian ini menunjukkan berlakunya teori kepemimpinan dan memperkaya
penelitian terdahulu yaitu: kepemimpinan berperan besar dalam mencapai sasaran atau
tujuan organisasi, dimana sasaran atau tujuan yang ingin dicapai berupa prestasi atau
kinerja (Day dan Lord, 1988). Senada dengan pendapat tersebut Reksohadiprojo dan
Handoko (1996) menyatakan bahwa kepemimpinan mempengaruhi banyak faktor, salah
satunya adalah kinerja sebuah organisasi. Pendapat ini juga didukung oleh Fiedler
(1987), menyatakan bahwa keberhasilan manajer mempengaruhi bawahannya
ditentukan oleh motivasi dasar yang dimiliki oleh manajer bersangkutan. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Elenkov (2000)
dan Waldman et al. (2001), mengatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan
antara kepemimpinan karismatik terhadap kinerja organisasi.
Kepemimpinan dalam penelitian ini mempergunakan kepemimpinan agama
hindu yaitu asta dasa paramiteng prabhu mempergunakan 3 indikator, yaitu : spiritual,
moral, dan manajerial. Teori kepemimpinan yang dipakai menurut pendapat Fiedler
(1987), yang juga memakai 3 indikator yaitu: struktur tugas, struktur hubungan, dan
posisi kekuasaan. Kalau dijastifikasi seperti yang telah diuraikan pada bab 2, dimana
struktur tugas dan posisi kekuasaan identik dengan manajerial, sedangkan struktur
hubungan identik dengan spritual dan moral.
Berdasarkan analisis model pengukuran indikator manajerial memiliki kontribusi
dominan dalam penerapan kepemimpinan pada PDAM di Provinsi Bali dengan nilai
loading faktor sebesar 0,992 (seperti tersaji pada Tabel 5.8). Jika hasil penelitian ini
dikaitkan dengan operasional PDAM di Bali, maka hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan yang di dalamnya meliputi struktur tugas, struktur hubungan dan
136
posisi kekuasaan mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan yang didalamnya
meliputi : keuangan, operasional dan administrasi.
Struktur tugas menunjukkan sejauhmana direksi menekankan perhatian mereka
pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-anggotanya sebagai suatu alat
untuk mencapai tujuan akhir (Robbins, 2009). Yukl (2010) menyatakan berorientasi pada
struktur tugas artinya sejauhmana seorang pemimpin menentukan dan menstrukturkan
perannya sendiri dan peran dari para bawahan ke arah pencapaian tujuan formal
kelompok.
Seorang pimpinan yang menekankan pada struktur tugas senantiasa menjelaskan
tugas-tugas kepada bawahannya, mengajak para bawahannya untuk merumuskan
tujuan organisasi yang dipimpinnya dan menjelaskan bagaimana cara mengerjakan
suatu pekerjaan kepada bawahannya. Kondisi ini akan memberikan pemahaman kepada
bawahan terhadap apa yang harus dikerjakan.
Seorang pimpinan yang akan menekankan pada posisi kekuasaan akan senantiasa
memberikan kesempatan kepada bawahan untuk memperoleh penghargaan atas
prestasi yang dicapai baik penghargaan finansial maupun non finansial serta senantiasa
akan memberikan sangsi finansial maupun non finansial kepada bawahan yang tidak
berprestasi. Kondisi ini akan dapat memberikan kepuasan bagi pemimpin dan bawahan
karena penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan.
5.9.1.4 Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Komitmen Organisasional
Hasil analisis variabel budaya Tri Hita Karana terhadap komitmen organisasional
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Dengan demikian hasil penelitian
ini dapat membuktikan secara empiris bahwa semakin baik pelaksanaan budaya Tri Hita
Karana maka semakin tinggi komitmen organisasional. Hasil ini mengindikasikan bahwa
137
budaya Tri Hita Karana mampu menjelaskan variasi perubahan pada komitmen
organisasional PDAM di Provinsi Bali.
Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yang mengikat
semua anggota organisasi secara bersama-sama (Kreitner dan Knicky, dalam Susanto et
al. 2008). Temuan ini mendukung kajian empiris terdahulu yang dilakukan oleh: Rashid
et al. (2003); Chen (2004; Ojo (2011); Koesmono (2011); Nongo dan Ikyanyon (2012).
Hasil-hasil penelitiannya menyimpulkan adanya pengaruh positif dan signifikan antara
budaya organisasi terhadap kepemimpinan. Kesesuaian penelitian terdahulu dengan
penelitian yang dilakukan ini menunjukkan bahwa dalam situasi apapun dan dimanapun
kontek keterjadiannya, budaya organisasi merupakan elemen universal yang akan
mempengaruhi perilaku karyawan dalam sebuah organisasi dalam menjalankan tugas
dan beraktivitas.
Temuan ini mendukung pendapat Robbins dan Judge (2009) yang menyatakan
hasil spesifik dari budaya yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan,
kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa
yang diyakini organisasi. Keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan,
loyalitas, dan komitmen organisasional. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil
kecendrungan karyawan untuk meninggalkan organisasi.
Temuan ini juga memperkuat teori yang dicetuskan oleh Schein (2004) yang
menyatakan pada dasarnya budaya organisasi mewakili norma-norma, perilaku yang
diikuti oleh anggota organisasi. Budaya berperan penting dalam mendorong terciptanya
effektifitas organisasi, secara spesifik budaya berperan dalam menciptakan jati diri,
ikatan emosional, komitmen dan landasan berprilaku. Budaya kuat akan menciptakan
138
suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri karyawan, motivasi yang tinggi inilah
menumbuhkan komitmen dan loyalitas yang tinggi pada organisasi.
5.9.1.5 Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap kinerja perusahaan.
Hasil analisis variabel komitmen organisaional terhadap kinerja perusahaan
menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan. Dengan demikian hasil penelitian
ini dapat membuktikan secara empiris bahwa semakin tinggi pelaksanaan komitmen
organisasional maka semakin baik kinerja perusahaan. Hasil ini mengindikasikan bahwa
komitmen organisasional mampu menjelaskan variasi perubahan pada kinerja
perusahaan pada PDAM di Provinsi Bali.
Temuan ini memperkuat hasil penelitian Shaw et al. (2003) yang melakukan
penelitian terhadap pekerja-pekerja di Uni Emirat Arab (UEA) yang menguji pengaruh
komitmen organisasional terhadap kinerja organisasi. Hasilnya untuk pekerja/warga
Arab terdapat pengaruh yang positif dan signifikan. Hasil penelitian ini juga memperkaya
hasil penelitian Kamaliah (2011) yang melakukan penelitian terhadap bagian pada Bank
Syariah di Riau, salah tujuan penelitiannya mengkaji pengaruh komitmen organisasional
terhadap kinerja bagian pada Bank Syariah di Pekanbaru. Hasil penelitiannya ada
pengaruh positif dan signifikan komitmen organisasional terhadap kinerja bagian.
Temuan ini juga memperkuat dan mendukung hasil temuan Syauta (2012) yang
melakukan penelitian di Perusahaan Daerah Air Minum Jayapura Provinsi Papua. Salah
satu kajiannya, menguji pengaruh komitmen organisasional tehadap kinerja karyawan,
temuan yang didapatkan komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap
kinerja karyawan.
139
5.9.1.6 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasional.
Hasil analisis diperoleh kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap komitmen
organisasional. Hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan secara empiris bahwa
pelaksanaan kepemimpinan yang baik akan menyebabkan komitmen organisasional
semakin tinggi. Hasil ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan tidak mampu
menjelaskan variasi perubahan komitmen organisasional pada PDAM di Provinsi Bali.
Tidak signifikannya pengaruh kepemimpinan terhadap komitmen organisasional
salah satunya disebabkan perbedaan konsep pengukuran. dan indikator. Kepemimpinan
dalam penelitian ini terbentuk dari indikator- indikator yang diambil dari nilai-nilai
kepemimpinan agama Hindu, sedangkan konsep pengukuran dan indikator komitmen
organisasional tidak terbentuk dari nilai-nilai agama Hindu. Di samping itu pemimpin di
PDAM merupakan jabatan politis yang tidak mampu mempengaruhi komitmen
karyawan yang sudah ditetapkan dalam tupoksi secara tegas dan jelas, sehingga
keberadaan pimpinan merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Daerah. Kondisi
ini akan sangat membatasi usaha kreatif dan inovatif dalam membangun komitmen
perusahaan yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berarti
komitmen perusahaan yang dibalut dalam tupoksi hanya bisa dijalankan dengan baik
apabila disetujui oleh pemilik melalui peraturan bupati atau wali kota.
Temuan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Lok dan Crawford
(2004), yang melakukan penelitian mengenai kepemimpinan, kepuasan kerja, dan
komitmen organisasional ditinjau dari level pekerjaan dan budaya antar bangsa negara
bagi mahasiswa MBA di Hongkong dan Sydney. Hasil temuannya tidak ada pengaruh
kepemimpinan terhadap komitmen organisasional.
140
Begitu juga temuan ini memperluas mendukung hasil temuan Bourantas dan
Papalexandris (1993) yang melakukan pengkajian di Yunani terhadap prilaku pemimpin
dan variabel yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi publik dan
organisasi private (bisnis). Temuannya pengaruh pimpinan lemah terhadap kepuasan
dan komitmen karyawan terhadap organisasi pada organisasi publik dibandingkan
dengan organisasi privat. Temuan ini mendukung temuan Kuo-Tsai Liou, (1994) yang
melakukan pengkajian beberapa faktor yang berpengaruh terhadap komitmen pada
organisasi publik. Temuannya komitmen terhadap organisasi publik secara signifikan
ditentukan oleh masa jabatan dan kedudukan dalam organisasi sedangkan
kepemimpinan tidak berpengaruh signifikan.
Kesesuaian penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan ini walaupun
hasil penelitian menemukan hasil sama namun objek dan pengukurannya berbeda, jadi
hasil penelitian ini memperkaya temuan penelitian terdahulu.
Temuan ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh: Yousef (2000);
Muchiri (2002)); Chen; (2004); Yiing dan Ahmad (2008); dan Koesmono (2011) yang
menemukan kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen
organisasional. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu disebabkan
oleh objek penelitian yang berbeda dan perbedaan konsep dari konstruk atau variabel
yang dipakai dan indikator yang membentuk terutama mengenai kepemimpinan .
Kepemimpinan dalam penelitian ini terbentuk dari indikator- indikator yang diambil dari
nilai-nilai kepemimpinan agama Hindu, sedangkan peneliti yang lain memakai konsep
kepemimpinan yang berbeda. Yiing dan Ahmad (2008) kepemimpinan yang dipakai
mengacu konsep yang dipergunakan oleh Ogbonna dan Haris (2001) yang
diklasifikasikan 3 jenis (directive, partisipative dan supportive). Muchiri (2002) konsep
141
kepemimpinan yang dipakai adalah kepemimpinan transformasional dan transaksional.
Begitu juga halnya dengan peneliti yang lain memakai konsep dari konstruk atau variabel
serta indikator yang yang membentuknya memakai konsep dan pengukuran yang
berbeda, sehingga berkontribusi terhadap hasil temuan yang berbeda pula.
5.9.2. Pembahasan Pengaruh Variabel Mediasi
Pembahasan pengaruh variabel mediasi, berdasarkan hasil pengujian diperoleh
bahwa hubungan variabel budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja perusahaan, yang
dimediasi oleh kepemimpinan dan komitmen organisasional adalah mediasi parsial
(partial mediation). Penjelasan terhadap hasil pengujian hipotesis pengaruh mediasi
antara variabel penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
5.9.2.1 Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kinerja Perusahaan di Mediasi oleh
Kepemimpinan.
Hasil analisis jalur pengaruh budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja perusahaan,
yang di mediasi oleh kepemimpinan diperoleh nilai koefisien positif dan signifikan
(Tabel 5.11). Hasil ini berarti bahwa implementasi budaya Tri Hita Karana mampu
menciptakan kepemimpinan yang baik dan melalui kepemimpinan yang baik maka
kinerja perusahaan meningkat.
Hasil uji sifat mediasi diperoleh bahwa kepemimpinan merupakan mediasi
parsial (partial mediation). Artinya implementasi budaya Tri Hita Karana dapat
mempengaruhi kinerja secara langsung dan dapat juga melalui kepemimpinan. Dengan
kata lain, jika kepemimpinan yang diterapkan di PDAM di Bali tidak mengarah ke
perilaku kepemimpinan spiritual, moral dan manajerial pun, budaya Tri Hita Karana
142
tetap dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Namun demikian, pada tertentu
keberadaan kepemimpinan spiritual, moral, dan manajerial diperlukan untuk
mendorong peran budaya Tri Hita Karana dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Berdasarkan hasil tersebut, maka penelitian ini mampu memberikan bukti secara
empiris bahwa kepemimpinan merupakan variabel intervening yang memediasi
hubungan antara implementasi budaya Tri hita Karana terhadap kinerja perusahaan
secara parsial. Dengan demikian bagi pengambil keputusan pada PDAM di Provinsi Bali
yang memiliki perhatian terhadap kepemimpinan sebaiknya terus menerus
meningkatkan manajerial karena memberikan dampak positif terhadap peningkatan
kinerja perusahaan.
Dengan kata lain bahwa implementasi budaya Tri hita Karana yang direfleksi melalui
parahyangan, mampu meningkatkan manajerial (kepemimpinan). Selanjutnya
manajerial yang baik didukung oleh peningkatan operasional perusahaan berupa
cakupan pelayanan meningkat, peningkatan kecepatan penyambungan baru, dan
peningkatan kemudahan pelayanan tersedianya service point di luar kantor pusat dapat
meningkatkan kinerja perusahaan pada PDAM di Provinsi Bali.
Jika mengacu hasil kajian Rashid et al.(2003), bahwa budaya Tri Hita Karana di
PDAM di Bali akan dapat mempengaruhi kinerja perusahaan ketika ada faktor lain yang
membantu menginternalisasikan budaya Tri Hita Karana agar bisa dengan mudah
diterima oleh staf dan karyawan yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap dan
loyalitas karyawan pada pekerjaan dan terhadap organisasi.
5.9.2.2. Pengaruh Budaya Tri Hita Karana terhadap Kinerja Perusahaan di Mediasi Oleh
Komitmen Organisasional.
143
Hasil analisis jalur pengaruh budaya Tri Hita Karana terhadap kinerja perusahaan,
yang di mediasi oleh komitmen organisasional diperoleh nilai koefisien positif dan
signifikan (Tabel 5.11). Hasil ini berarti bahwa implementasi budaya Tri Hita Karana
mampu meningkatkan komitmen organisasional dan melalui komitmen organisasional
yang tinggi maka kinerja perusahaan meningkat. Hasil uji sifat mediasi diperoleh bahwa
komitmen organisasional merupakan variabel mediasi parsial (partial mediation).
Artinya implementasi budaya Tri Hita Karana dapat mempengaruhi kinerja secara
langsung maupun melalui komitmen organisasional. Berdasarkan hasil tersebut, maka
penelitian ini mampu memberikan bukti secara empiris bahwa komitmen organisasional
merupakan variabel intervening yang memediasi hubungan antara implementasi budaya
Tri hita Karana terhadap kinerja perusahaan secara parsial. Dengan kata lain bahwa
implementasi budaya Tri hita Karana yang direfleksi melalui parahyangan, mampu
meningkatkan normatif (komitmen organisasional). Selanjutnya normatif yang tinggi
didukung oleh peningkatan operasional perusahaan berupa cakupan pelayanan
meningkat, peningkatan kecepatan penyambungan baru, dan peningkatan kemudahan
pelayanan tersedianya service point di luar kantor pusat dapat meningkatkan kinerja
perusahaan pada PDAM di Provinsi Bali.
Dengan demikian bagi pengambil keputusan pada PDAM di Provinsi Bali yang
memiliki perhatian terhadap komitmen organisasional sebaiknya terus menerus
meningkatkan komitmen normatif karena memberikan dampak positif terhadap
peningkatan kinerja perusahaan.
5.10 Implikasi Penelitian
5.10.1 Implikasi Teoretis
144
Hasil penelitian ini telah memberikan temuan-temuan sesuai dengan model
penelitianyang telah dibangun, sehingga dapat dikemukakan beberapa implikasi
teoretis sebagai berikut:
1. Secara teoretis penelitian ini telah mampu membangun model teoritik tentang
nilai-nilai budaya lokal (Tri Hita Karana) pada Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) di Bali serta peran mediasi nilai-nilai kepemimpinan lokal dan komitmen
organisasional dalam kaitannya dengan kinerja perusahaan. Hasil dari model
teoritik tersebut menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya lokal secara umum
disebut dengan Tri Hita Karana secara langsung mempengaruhi kinerja
perusahaan sedangkan secara tidak langsung mempengaruhi kinerja perusahaan
melalui nilai-nilai kepemimpinan lokal (asta dasa paramiteng prabhu) dan
komitmen organisasional.
2. Penelitian ini juga mampu membangun model teoretik tentang peranan budaya
Tri Hita Karana yang menekankan keselarasan hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya yang di mediasi oleh nilai kepemimpinan lokal (asta dasa paramiteng
prabhu) dan komitmen organisasional. Hasil dari model ini menjelaskan budaya
Tri Hita Karana yang dijalankan oleh salah satu lembaga BUMD yaitu PDAM di
Bali telah mampu meningkatkan kinerja perusahaan.
3. Penelitian telah mampu mengembangkan kajian empiris Hofstede (1991)
mengidentifikasi empat basic problem area yang dapat dianggap sebagai
dimensi budaya salah satu terkait dengan sikap ketidak pastian. Pada
PDAM model ketidak pastian telah dikemas ke dalam implementasi nilai
budaya lokal yaitu Tri Hita Karana yang berbasis relegi menuju
145
keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia
dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam sekitarnya
(palemahan).
5.10.2 Implikasi Praktis
Implikasi praktis penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman bagi direksi dan manajemen Perusahaan Daerah Air Minum dalam
mengimplikasikan nilai-nilai lokal yaitu budaya dan kepemimpinan dalam
meningkatkan kinerja perusahaan melalui komitmen organisasional. Berdasarkan
temuan penelitian maka implikasi praktis penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Penerapan nilai budaya THK berpengaruh langsung terhadap kinerja
perusahaan. Implikasinya adalah bahwa konsep nilai-nilai harmonisasi
hubungan (baik hubungan dengan Tuhan, maupun horizontal antar manusia
dan dengan lingkungan) di dalam budaya THK terbukti mampu meningkatkan
kinerja perusahaan. Konsep harmonisasi dimaksud adalah sikap organ PDAM
yang memandang bahwa segala yang mereka dapatkan dari aktivitas
perusahaan bukan hanya semata-mata hasil jerih payah yang dilakukan, tetapi
juga karena karunia Tuhan. Oleh sebab itu, segala hasil yang didapat tersebut
seharusnya dapat dipergunakan untuk menjaga harmonisasi dengan Tuhan dan
sesama manusia, dengan selalu menempatkan manusia pada derajat yang
sama. Di samping itu, dalam menjalankan aktivitas perusahaan organ PDAM
wajib menjaga harmonisasi dengan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan
dengan selalu memperhatikan keseimbangan lingkungan, baik lingkungan
146
fisik maupun non fisik seperti: menjaga kelestarian lingkungan perusahaan,
lingkungan sumber air baku, kesejahteraan masyarakat sekitar lingkungan
perusahaan, masyarakat sekitar sumber air baku, dan turut mendukung
program corporate social responsibility. Hasil analisis empiris
mengindikasikan bahwa secara konseptual para direksi menganggap aspek
pawongan (hubungan harmonis antar manusia) memegang peranan penting.
Artinya dalam melaksanakan aktivitas perusahaan manusia memegang peran
yang strategis karena di samping sebagai subjek, manusia juga merupakan
objek dalam perusahaan.
2. Kepemimpinan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya THK. Implikasi yang
terkandung adalah konsep harmonisasi, baik secara vertikal maupun secara
horizontal adalah merupakan konsep spiritualitas dalam menjalankan misi
perusahaan yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan
tanggung jawab sosial dalam melakukan aktivitas perusahaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa harmonisasi hubungan berperan penting dalam
membangun jiwa kepemimpinan karena dapat menjadi spirit dalam membina
hubungan baik secara individu maupun secara kelompok sekaligus
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan mempengaruhi perilaku,
persepsi, dan sikap karyawan kepada perusahaan.
3. Komitmen organisasional dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya THK. Implikasi
yang terkandung adalah konsep harmonisasi, baik secara vertikal maupun
secara horizontal adalah meupakan konsep spiritualitas dan moralitas menjadi
penggerak kesetiaan karyawan pada organisasi dan kepercayaan terhadap
147
nilai-nilai perusahaan. Karyawan yang diperlakukan sama dengan karyawan
lain akan setia pada perusahaan, mereka berbagi nilai perusahaan dan
mempunyai suatu pengertian dan kepedulian terhadap arti pentingnya budaya
dan misi perusahaan.
148
5.11 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan dengan maksimal, dan hasil penelitian atas
pengujian model yang dibangun telah diupayakan agar terintegrasi dan
komprehensif, namun disadari masih terdapat keterbatasan-keterbatasan sehingga
menjadikan penelitian ini kurang sempurna. Adapun keterbatasan penelitian ini
sebagai berikut :
1. Sampel hanya direksi Perusahaan Daerah Air Minum, untuk mengekploitasi
implimentasi nilai-nilai lokal dalam budaya dan kepemimpinan terhadap
kinerja perusahaan melalui komitmen organisasional seharusnya melibatkan
Dewan Pengawas, pihak manajemen, dan kepala unit.
2. Analisis empiris dari penelitian ini berdasarkan data survei yang hanya
menyajikan hubungan dalam satu titik waktu (cross sectional), karena
lingkungan bisnis yang terus berubah, maka untuk mengidentifikasikan
perubahan tersebut diperlukan kajian penelitian lanjutan.
149
BAB 6
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana tahap berikutrnya adalah menyempurnakan laporan ini berdasarkan masukan
dari tim monitoring dan evaluasi, sehingga laporan ini menjadi sempurna.
150
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengujian hipotesis, hasil dan temuan penelitian, dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif terhadap kinerja pada Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan budaya Tri Hita Karana yang baik
mampu meningkatkan kinerja PDAM. Implementasi parahyangan, pawongan dan
palemahan yang baik mempunyai peran penting dalam mendukung tercapainya
pelaksanaan budaya Tri Hita karana, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata
pada kinerja perusahaan. Dari pelaksanaan budaya Tri Hita Karana, indikator
parahyangan lebih mendominan merefleksikan budaya Tri Hita Karana, tetapi
persepsi responden ternyata yang di diprioritaskan adalah palemahan. Hasil ini
mengindikasikan bahwa parahyangan lebih dominan namun belum dilaksanakan
dengan baik sehingga berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan. Selain itu
karena adanya perbedaan dalam segi pemahaman dan pelaksanaan budaya Tri Hita
Karana di tingkat manajemen serta adanya mediasi parsial kepemimpinan dan
komitmen organisasional.
2. Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif terhadap kepemimpinan pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan budaya Tri Hita Karana
yang baik mampu meningkatkan kepemimpinan PDAM. Implementasi parahyangan,
pawongan dan palemahan yang baik mempunyai peran penting dalam mendukung
151
tercapainya pelaksanaan budaya Tri Hita Karana, sehingga dapat memberikan
kontribusi nyata pada kepemimpinan.
3. Kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja pada Perusahaan Daerah Air
Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan kepemimpinan yang baik mampu meningkatkan
kinerja perusahaan PDAM. Implementasi spritual, moral, dan manajerial yang baik
mempunyai peran penting dalam mendukung tercapainya pelaksanaan
kepemimpinan , sehingga dapat memberikan kontribusi nyata pada kepemimpinan
dan kinerja perusahaan.
4. Budaya Tri Hita Karana berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan budaya Tri Hita Karana
yang baik mampu meningkatkan komitmen organisasional PDAM. Implementasi
parahyangan, pawongan dan palemahan yang baik mempunyai peran penting dalam
mendukung tercapainya pelaksanaan budaya Tri Hita karana, sehingga dapat
memberikan kontribusi nyata pada komitmen organisasional perusahaan.
5. Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja pada Perusahaan
Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan komitmen organisasional yang baik
mampu meningkatkan kinerja PDAM. Implementasi afektif, kontinyu, dan normatif
yang baik mempunyai peran penting dalam mendukung tercapai pelaksnaan
komitmen organisasional, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata pada kinerja
perusahaan.
6. Kepemimpinan tidak berpengaruh nyata terhadap komitmen organisasional pada
Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali. Pelaksanaan spiritual, moral dan
manajerial yang baik mempunyai peranan dalam mendukung tercapainya komitmen
152
organisasional tetapi tidak dapat memberikan manfaat yang nyata pada peningkatan
komitmen organisasional pada Perusahaan Daerah Air Minum di Provinsi Bali.
7. Komitmen Organisasional sebagai mediasi hubungan antara implementasi Budaya Tri
Hita Karana dengan kinerja perusahaan dapat memberikan peran yang penting dan
nyata dalam mendukung peningkatan kinerja perusahaan pada Perusahaan Daerah
Air Minum di Provinsi Bali.
7.2 Saran
Berdasarkan pada hasil dan kesimpulan dapat dikemukakan saran-saran yang
menjadi rekomendasi penelitian ini sebagai berikut:
1. Budaya Tri Hita Karana sebaiknya diadopsi sebagai budaya organisasi PDAM di
Provinsi Bali karena dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan, dan meningkatkan
komitmen organisasional serta mampu meningkatkan kinerja PDAM. Hendaknya
kepada jajaran direksi dan manajemen PDAM di Bali lebih memasyarakatkan budaya
yang dianut bahkan dijadikan pedoman kerja bagi organ PDAM di Bali.
2. Hasil penelitian ini dapat direkomendasikan kepada pihak manajemen PDAM di
Provinsi Bali untuk meningkatkan pelaksanaan budaya Tri Hita Karana, selalu
menjaga hubungan harmonis dengan pihak yang terkait, hukum karma phala
hendaknya menjadi pegangan dalam melaksanakan pelayanan air minum.
Kesuksesan pelayanan air minum kepada pelanggan bukan semata-mata karena
kemampuan perusahaan tetapi juga kehendak Tuhan, dan melaksanakan tugas
dalam pelayanan air minum kepada masyarakat merupakan yadnya berdasarkan
prinsip ngayah.
153
3. Hasil penelitian ini dapat direkomendasikan kepada pihak manajemen PDAM di
Provinsi Bali untuk meningkatkan pelaksanaan kepemimpinan melalui: pengendalian
diri sendiri untuk mencapai tujuan perusahaan, hendaknya memusatkan perhatian
kepada sasaran atau target, dan selalu mengadakan evaluasi dan perbaikan yang
terus menerus.
4. Pengembangan komitmen organisasional oleh pihak manajemen PDAM harus
memperhatikan kondisi yang berkaitan dengan kekawatiran karyawan jika
diberhentikan karena jenis pekerjaan ini bersifat spesifik menyulitkan untuk
memperoleh pekerjaan yang sama.
5. Perlu dikaji ulang bobot masing-masing indikator penilaian kinerja berdasarkan
Kepmendagri No. 47 tahun 1999. Pada pasal 3 ayat 2, bobot masing-masing
indikator: keuangan sebesar 45%, operasional 40%, dan administrasi 15%. Dari hasil
analisis terhadap pelaksanaan kinerja, indikator operasional paling dominan
merefleksikan kinerja perusahaan, diikuti oleh indikator keuangan, dan paling kecil
indikator administrasi begitu juga dari persepsi responden ternyata yang di
diprioritaskan (paling dominan) adalah indikator operasional, keuangan, dan
indikator administrasi. Sebaiknya untuk penilaian kinerja berdasarkan Kepmendagri
No. 47 tahun 1999 khusus untuk daerah Provinsi Bali ditinjau kembali urutan
pembobotan kinerjanya dimulai dari indikator operasional yang nilai bobotnya
paling besar, diikuti indikator keuangan, serta terakhir indikator administrasi.
154
DAFTAR PUSTAKA
Adair, John. 2011. 100 Greatest Ideas for Effective Leadership, CapstonePublishing Ltd, West Sussex, UK.
Alas, Ruth, Olle Obius, dan Sinikka Vanhala. 2011. Connection betweenOrganizational Culture, Leadership and the Innovation Climate inEstonian Enterprises, E- Leader Vietnam, p.15
Akbar, Andri. 2010. Gambaran Umum PDAM di Indonesia, Google, Diunduhmelalui: andriakbar.blogspot.com/2010/gambaran umum-pdam-di-indonesia.html., pada Desember 2013.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, EdisiRevisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Astawa Putu, Sudarma Made, Siti Aisjah, dan Djumahir. 2012. Credit Risk andHarmonious Values Practice (Study at Village Credit Institution(Lembaga Perkreditan Desa) of Bali Province. Journal of Business andManagement Volume 6, Issue 4, pp., 16-20.
Astawa Putu, Sudarma Made, Siti Aisjah, dan Djumahir. 2013. InstitutionalOwnership and Harmonious Values in Increasing Financial Performanceof Village Credit Institution(Lembaga Prekreditan Desa/LPD). Journal ofBasic and Applied Scientific Research Volume 3, No.6, Part IV, pp.,813-824.
Ayenew, Berhan. 2009. The Impact of Motivational Factors on OrganizationalCommitment, VDM Verlag Muller Aktiengesllschft & Co.KG. USA.
Balthazard, Pierra A, Robert A. Cooke and Richard E Potter. 2006. DysfunctionalCulture, Dysfunction Organization: capturing the Behavioural Normsthat form Organizational Culture and Drive Performance, Journal ofManagerial Pyschology, Vol. 21, No. 8, pp. 709-732.
Baron, R.A., dan J. Greenberg. 1990. Behavior in Organization: Understandingand Managing the Human Side of Work, Third Edition, Allyn and Bacon,Toronto.
Bass, B.M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectation, New York:the Free Press.
Bourantas, Dimitris dan Papalexandris Nancy,.1993. Diffrerences in LeadershipBehaviour and Influence Between Public and Private Organizations inGreece, The International Journal of Human Resource Management Vol.4, pp. 859-871.
155
Butarbutar, Ivan D. dan Sen Sendjaya. 2010. The Influence of National Culture onCorporate Leadership in High- Performing Firms: A case of Indonesia.Proceeding of the 2010 Business and Information ConferenceConference kitakyushu, Japan, 2-4 July, pp.1-15.
Chen Li Yueh. 2004, Examining The Effect of Organization Culture andLeadership Behaviors on Organization Commitment, Job Satisfaction,and Job Performance at Small and Middle –Size Firms of Taiwan, TheJournal of American Academy of Business, Cambridge, September, pp.432-438.
Chouke dan Amstrong R. 2000. The Learning Organization in Small andMedium-Size Enterprises in Singapore, International Journal ofOperation of entrepreuneurial Behavior and Research, Vol.14. No.2, pp.129-140.
Davidson Gina, Coetzee, Melinde, and Visser, Delene, 2007. OrganizationalCulture and financial performance in a South African Invesment Bank,university of South Africa, Journal of Industrial Psychology, 33 (1), pp.38-48.
Day, D.V. and Lord, R.G. 1988. Executive Leadership and OrganizationalPerformance : Suggestions for New Theory and Methodology, Journalof Management, 14.p.453-464.
Denison, Daniel R. 1991. Corporate Culture and Organization Effectiveness,John Welly & Sons, New York.
Denison, Daniel R. and Mishra Aneil K.1995. Toward A Theory OfOrganizational Culture and Effectiveness. Organization Scienne. Vol. 6No.2
Denison, D.R, Stephanie Haaland, Paulo Goelzer. 2004. Corporate Culture andOrganizational Effectiveness: is Asia Different from The Rest of TheWorld, Organizational Dynamic, Vol. 33, No. 1, pp.98-109
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 1998. Keputusan Menteri DalamNegeri Nomor 7 Tahun 1998, Tentang Kepengurusan PerusahaanDaerah Air Minum, Jakarta.
--------- , 1999, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 47. 1999. TentangPedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum, Jakarta.
---------- , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 Tahun 2007. Tentang Organdan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum, Jakarta.
Dharmanegara, Ida Bagus Agung, Made Sudarma, Noermijati, and Solimun.2013. Effect of Spiritual Intelligence and Asta Brata Leadership to theCulture of Tri Hita Karana and Employment Performance, Journal ofBusiness and Management, Vol 11, pp. 05 – 12.
156
Effendy Sjahril. 2011. Memotivasi SDM PDAM, Majalah Air Minum, PersatuanPerusahaan Air Minum Seluruh Indonesia, Edisi 187, April 2011, Hal 50-51.
Elenkov, Detelin S. 2000. Effects of Leadership on Organizational Performance InRussian Companies, Journal of Business Research, Vol.55, pp. 467-480.
Erdogan, Berrin, Robert C. Liden, dan Maria L. Kraimer, 2006. Justice andLeader Member Exchange: The Moderating Role of OrganizationalCulture, Academy of Management Journal, 2006, Vol. 49, No.2, pp. 395-406.
Februanto, Heru. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan DanOrganisasi Pembelajaran Terhadap Kinerja Organisasi (Studi PadaDirektorat IV/ Tindak Pidana Narkoba dan Kejahatan Terorganisir),Desertasi Program Doktor Ilmu Manajemen, Universitas BrawijayaMalang.
Fey, Carl F and Denison, Daniel R. 2003. Organizational Culture andEffectiveness: Can American Theory Be Applied in Russia?,Organization Science, Vol.14, No.6, pp.686-706.
Fidler, F.E. dan Garcia, J.E. 1987. New Approaches to Effective Leadership:Cognitive and Organizational Performance, Willey&Sons Inc., NewYork.
Fleenor, John.W and Bryant Carl. 2002. Leadership Effectiveness andOrganizational Culture: An Exploratory Study, Center for creativeLeadership, Toronto, Canada.
Gani, Achmad. 2006. Pengaruh gaya Kepemimpinan, Budaya organisasi danMotivasi kerja terhadap kinerja karyawan Industri kayu olahan di kotamakasar, Disertasi, Program Doktor Ilmu Administrasi, PPS UnibrawMalang.
Gibson, J L., Ivancevich John M, dan James H. Donnely.1996. OrganizationalBehaviour Structure Process, Nunuk Adiarni (Penerjemah) OrganisasiPerilaku Struktur Proses, Binarupa Aksara, Jakarta.
Gilbert Caroline, Sophie De Winne, dan Luc Sels. 2009. The Influence of lineManagers and HR Departement on Employees, Affective Commitment,Faculty of Business and Economics, Katholieke Universitet Leuven.
George JM. dan Gareth R. Jones. 2002. Organizational Behaviour, Third Edition,Printice Hall, New Jersey.
Griffin Ricky W. dan Morhead Gregory. 2012. Organizational BehaviorManaging People and Organizations, South-Western Cengage Learning,Mason OH.
157
Gunawan Ketut. 2009. Pengaruh Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja danMotivasi Kerja terhadap Gaya Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi(Studi pada LPD di Bali), Jurnal Aplikasi Manajemen, vol.7, pp 441-449
Hasibuan, Malayu. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi,Cetakan keTujuhbelas, Bumi Aksara, Jakarta.
Handoko, T. Hani. 2000. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia,Edisi Kedua , BPPE, Yogyakarta.
Hidayat. 2011. Perilaku Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan Pengaruhnyaterhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi pada DinasKependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta), DisertasiProgram Doktor Ilmu Manajemen Program Pascasarjan UniversitasBrawijaya, Malang
Hofstede, Geert. 2001. Culture’s Consequencess; International Deferences inwork related values. Beverly Hills, CA and London : Sage Publication
Indrajid, Richardus Eko dan Richardus Djokopranoto. 2005. Strategi ManajemenPembelian dan Suply Chain, Pendekatan Manajemen Terkini, Untukmenghadapi Persaingan Global, Grasindo Indonesia, Jakarta
Jacobs E., Robert L.L. Masson, Riley L. Harvill, dan Christine J. Schimmel. 2012.Group Counseling: Strategies and Skills, Cengage Learning, Beltmont,CA.
Kaler. 2000. Keseimbangan antar unsur Tri Hita Karana, IKIP Negeri Singaraja
Kamaliah. 2012. Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, Pengaruhnya terhadapKomitmen Organisasi dan Kinerja Manajemen, Disertasi ProgramDoktor Ilmu Manajemen Program Pascasarjana Universitas BrawijayaMalang
Kasali, Rhenald. 2005. Change, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koentjaraningrat. 2005. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, GramediaPustaka Utama, Jakarta.
Koesmono Teman H. 2011. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepemimpinanterhadap Kinerja melalui Variabel Mediasi Komitmen OrganisasionalKaryawan Perusahaan Swasta di Surabaya Timur, Jurnal Mitra Ekonomidan Manajemen Bisnis, Vol. 2, No. 2, pp.155-171.
Kotter, JP and Heskett, S.L. 1997. Corporate Culture and Performance, PTPrehanlindo Simon & Schruster Pte Ltd, Jakarta
Kuo- Tsai Liou and Ronald C. Nyhan. 1994. Dimensions of OrganizationalCommitmen in the Public Sector: an Emperical Assessment PublicAdministration Quarterly, Southtern Public Administration Education
158
Poundation, Unpublished Articles. Frontiers of Emperical Research andDevelopment pp. 99-118.
Lee Kwik Yiing & Ahmad Kamarul Bin Zaman, 2008. The Moderating Effect ofOrganizational Culture on The Relationship between LeadershipBehavior and Organizational Commitment and Job Satisfaction andPerformance, Leadership & Organizational Development Journal, Vol.30. pp. 53-86.
Lee Seung Suk. 2008. Relationship Among Leadership Empowerment, JobSatisfaction, and Employee Loyalty in University Dining StudentWorkers, Dissertation (Doctor of Philosophy), Iowa State University,Ames, Iowa.
Lee Siew Kim Jean dan Yu Kevin. 2004. Corporate Culture and OrganizationalPerformance. Journal of Management Psychology, Vol.19 PP. 340-359
Lian Lee Kim dan Salleh Abdul Latif. 2011. Mediating Effects of SubordinatesCompetence on Leadership Styles and Organizational CitizenshipBehaviour, African Journal of Business Management, Vol. 5, No. 19, pp.7790-7801.
Lim Bernard. 1995. Examining the Organizational Culture and OrganizationalPerformance Link: A critical review of The Methodologies and Findingsof Recent Reseachers Into The Presumed Link Between Culture andPerformance, Leadership & Organization Development Journal, Vol.16,No.5, pp.16-21.
Lok Peter and Crowford John. 2004. The Effect Of Organizational Culture AndImpact Leadership Style On Job Satisfaction And OrganizationalCommitment. A Cross National Comparison, journal of ManagementDevelopment, Vol. 23, pp.321-338.
Lussier Robert N. dan Achua Christopher F. 2010. Leadership: Theory,Application, & Skill Development, South-Western Cengage Learning,Mason, OH.
Luthans Fred. 2006. Organizational Behavior, edition 10 th Edition, VivinAndhika Yuwono,Shekar Purwani, Th. Arie P, dan Winong RosariPerilaku Organisasi Edisi 10 (Penerjemah), Andi, Yogyakarta.
Marcoulides George A, dan Heck Ronald. 1993. Organization Culture AndPerformance : Proposing And Testing Model, Organization Science,Vol.4, pp. 209-225.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,Yogyakarta.
159
Mehta, Shuchi dan Venkat R. Krishnan. 2004. Impact of Organizational Cultureand Influence Tactics on Transformational Leadership, Management &Labour Studies, Vol. 29, No. 4, pp. 281-290
Meyer, John P. dan Allen, Natalie J. 1991. A Three Component Conceptualizationof Organizational Commitment, Human Resource Management Review,Vol.1, No.1, pp. 61-89.
Michie Susan, and A. West Michael, 2004. Managing People and Performance: anEvidance Based Frame Work Applied to Health Service Organizations,the International Journal of Management Reviews, Vol.6, Issue 2, pp.91 -111.
Moeljono, Djokosantoso. 2008. More About Beyond Leadership – 12 KonsepKepemimpinan , PT Alex Media Komputendo, Jakarta.
Mohanty, Ayasakanta, Manoranjan Dash, Sanjib Pattnaik, Jyoti Ranjan Das, danSurjya Kumar Misra. 2012. Study of Organization Culture andLeadership Behavior in Small and Medium Sized Enterprises, EuropeanJournal of Scientific Reseach, Vol. 68, No. 2, pp. 258-267.
Mondy R. Wayne dan Noe Robert M. 1996. Human Resource Management,Prentice-Hall international, Inc. USA.
Morgan Howard phil Harkins, dan Marshal Goldsmith. 2006. The Art andPractice Leadership Coaching, Alih Bahasa; Santi Indra Astuti, PTTransmedia.
Mowday, RT. Steers, R.M, Porte` LW. 1979. The Measurement of OrganizationalCommitment, Journal of Vocational Behavior, Vol.14. 224-247.
Mugabi Josses, Sam Kayaga, and Cyrus Njiru. 2006. Strategic Planning forWater Utilities in Developing Countries, Journal of Utility Policy, Vol.15, pp.1-8.
Muchiri Michael Kibaara.2002. The effects of Leadership Style on OrganizationalCitizenship Behavior and Commitment: The Case of Railwaycorporation, Gadjah Mada Internatiobal Journal of Business Vol. 4,No.2, pp.265-293.
Nasir, M. 2009. Metode Penelitian, Cetakan ke tujuh, Penerbit Ghalia Indonesia,Jakarta.
Nawawi Ismail. 2013. Budaya Organisasi Kepemimpinan & Kinerja, EdisiRevisi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Negara Kusuma, I Made. 2012. Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur sebagaiPengembangan Wisata Alternatif, Analisis Pariwisata, Vol. 12, No.1 Th.2012, hal. 1, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Denpasar
160
Nongo Ezekiel Saasongu dan Ikyanyon Darius Ngutor. 2012. The Influence ofCoporate Culture on Employee Commitment to the Organization,International Journal of Business Management, Vol.7, pp. 21-28.
Ogbonna, Emmanuel and Harris C Lioyd. 2000. Leadership style, organizationalculture and performance: emperical evidence from UK Company,Journal of Resources management, Vol.11, pp. 766-788.
Ojo,Olu. 2010. Organizational Culture and Corporate Performance:EmpericalEvidence from Nigeria, Journal of Business Systems, Governance andEthics, Vol. 5, No. 2, pp. 1-12.
Onken, Marina. H. 1998. Temporal Elements of Organizational Culture andImpact on Firm Performance, Journal of Managerial Psychology Vol.14,pp. 231-243.
O’Reilly,CA and Chatman,J. 1986, Organizational Commitment and PsychologyAttachment : The Effect of Compliance and Internalization on ProsicalBehavior, Journal of Applied Psychology, Vol.71, No.3, pp.492-499.
Paul Hersey dan Blanchard Kennet H. 1992. Management of OrganizationalBehaviour: Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice – Hallinternational, Inc.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali. 2013. Bali Dalam Angka 2012, Badan PusatStatistik Provinsi Bali, Denpasar.
Pitana, I Gede. 2002. Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika MasyarakatBali, dalam Pidato ilmiah Pengukuhan Guru Besar, Unud, Denpasar.
Podsakoff, Philip M., William H. Bommer, Nathan P. Podsakoff, dan Scott B.MacKenzie. 2006. Relationships between Leader reward and PunishmentBehaviour and Subordinate Attitudes, Perceptions, and Behaviours:AMeta-analytic Review of Existing and New Reseach, OrganizationalBehavior and Human Decision Process, Vol.99, pp. 113-142.
Porter, L.Steers, Mowday, R and Boulin, P. 1974. Organization Commitmen, JobSatisfaction and Turnover Among, Psychiatric Technicians, Journal ofApplied Psycology, pp.603-609.
Prabhu, Vas B. & Robson Andrew. 2000. Impact of Leadership and SeniorManagement Commitment on Business Excellence : An Emperical Studyin the North East of England, Total Quality Management, Vol.11, pp.399 – 409.
Putra, Gusti Made. 2000. THK dalam Arsitektur Bali, Kumpulan MakalahKonsep dan Implementasi THK dalam Pembangunan Bali MenyongsongPelaksanaan Otonomi Daerah, Pusat Kajian Bali.
161
Raka Suardana, Ida Bagus. 2003. Pengaruh Kepemimpinan, Budaya organisasidan faktor Individu terhadap Perilaku Kerja dan Kinerja Organisasi,Disertasi PPS Universitas Airlangga Surabaya
Rashid, Md.Zabid Abdul, Sambasivan, Murali dan Johari Juliana. 2003. TheInfluence of Corporate Culture and Organizational Commitment onPerformance, Journal of Management Development, Vol. 22, No. 8,pp.708-728.
Reksohadiprojo, Sukanto. dan Handoko 1996. Perencanaan dan organisasiperusahaan, Edisi 1, Yogyakarta, BPFE
Ritchie, Michael, 2000, Organizational Culture: An Examination of its Effects onthe Internalization Process and Member Performance, SouthernBusiness Review, School of Business Administration, University ofSouth Carolina Alken, SC 29801
Riana, I Gede. 2010. Dampak Penerapan Budaya Tri Hita Karana TerhadapOrientasi Kewirausahaan dan Orientasi Pasar Serta KosekuensinyaPada Kinerja Usaha Dengan Moderator Pembelajaran Bisnis, Disertasi,Program Doktor Ilmu Manajemen, Program Pascasarjana FakultasEkonomi Universitas Brawijaya.
Rivai Veithzal, Ahmad Fawzi, Ella Jauvani Sagala, dan Silviana Murni. 2011.Performance Appraisal, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Robbins, Stephen, dan Judge P. Timothy A. 2009. Organizational Behaviour,Diana Angelica, Ria Cahyani, dan Abdul Rosyid (penerjemah) PerilakuOrganisasi, Edisi 12, Salemba Empat, Jakarta.
Robert Kaplan dan David P. Norton. 1997. Balance Score Card, TranslatingStrategy in to action, Harvard Business School, Press Boston,Messachusets.
Rose Aidan dan Lawton Alan. 1999. Public Services Management, EnglandPearson Limited
Sangen, M. 2005. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Orientasi Pasar dn BudyaTerhadap Kinerja Usaha Kecil Etnis Cina, Bugis, Jawa, dan Banjar (Studipada Industri Pengolahan Pangan di Kalimantan Selatan), DisertasiProgram Doktor Ilmu Manajemen, Program Pascasarjana FakultasEkonomi Universitas Brawijaya.
Schein, Edgar H. 2004. Organization Culture and Leadership, John Willey &Son, Inc., New York.
Schimmoeller, Leon J. 2010. Leadership Style in Competing OrganizationalCultures, Kravis Leadership Institute, Leadership Review, Vol. 10,Summer 2010, pp. 125 – 141.
162
Shazad Khurram, Rehman-Ur- Kashif, dan Abbas Muhammad. 2010. HRPractices and Leadership Styles as Predictors of Employee Attitude andBehaviour: Evidence from Pakistan, European Journal of SocialSciences, Vol.14, No. 3, pp. 417-426.
Sharma, Sanjeev K. and Sharma Aditi. 2010. Examining the Relationship betweenOrganization Culture and Leadership Styles, Journal of the IndianAcademy of Applied Psychology, Vol. 36, pp. 97-105.
Shaw,Jason D., Delery, John E., Abdulla Mohamed H.A. 2003. OrganizationalCommitment and Performance among guest workers and Citizens ofArab Country, Journal of Business Research, Vol. 56, pp., 1021-1030.
Sims, Ronald R. 2002. Managing Organizational Behavior, GreenwoodPublishing Group Inc., Westport USA.
Siswadi, Edi. 2012. Reengineering BUMD Mengoptimalkan Kualitas pelayananyang Unggul, Mutiara Press, Bandung.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sobirin Achmad. 2009. Budaya Organisasi (Pengertian, Makna dan Aplikasinyadalam Kehidupan Organisasi), Edisi Kedua, UPP STIM, Yogyakarta.
Analysis GSCA, Diklat : Aplikasi Statistika Multivariat GSCA, di Fakultas MIPAUniversitas Brawijaya Malang.
-----------. 2013. Diklat Penguatan Metodelogi Penelitian, Program StudiStatistika Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang.
Somers, M.J.Bimbaum, D. 1998. Work Related Commitment and JobPerformance ; Its’s Also The Nature of Perform That Count , Journal ofOrganizational Behaviour Vol.16. pp.621-634.
Spector, P.E. 2000. Industrial and Organizational Psychology: Reseach andPractice, second Edtion, John Willey & Sons, Inc. New York.
Subroto, Andi. 2009. Peranan budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Strategiuntuk Meningkatkan Kinerja. Disertasi Program Doktor IlmuManajemen, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Suhardana, KM. 2008. Niti Sastra :Ilmu kepemimpinan atau ManajemenBerdasarkan Agama Hindu, Paramita, Surabaya.
Sulistyawati. 2000. THK sebagai Local Genius, kumpulan makalah konsep danimplementasi THK dalam Pembangunan Bali Menyongsong PelaksanaanOtonomi Daerah, Pusat Kajian Bali. Denpasar.
Sumarto dan Sobroto Andi. 2011. Organizational Culture and Leadership Rolefor Improving Organizational Performance : Automotive Components
163
Industry In Indonesia, International Journal of Innnovation Managementand Tecnology, Vol. 2, pp. 383-389.
Susanto A.B, F.X. Sujanto, Himawan Wijanarko, Patricia Susanto, SuwahyudiMertosono, dan Wagiono Ismangil. 2008. Corporate Culture &Organization Culture, The Jakarta Consulting Group, Jakarta
Syauta, Jack Henry. 2012. Pengaruh Budaya Organisasi KomitmenOrganisasional Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (StudiPada Perusahaan Daerah Air Minum Jayapura Provinsi Papua),Desertasi Program Doktor Ilmu Manajamen Universitas BrawijayaMalang.
Tandes, Bhree. 2007. Asta Dasa Kottamaning Prabhu 18 Rahasia SuksesPemimpin Besar Nusantara Gajah Mada, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Timothy C., Obiwuru, Andy T. Okwu, Victoria O. Akpa, dan Idowu A. Nwankwere. 2011. Effect of Leadership Style on Organizational Performance:Survey of Selected Small Scale Enterprises in Ikosi- ketu CouncilDevelopment Area of Lagos State, Nigeria, Australian Journal ofBusiness and Management Research, Vol. 1 No. 7, pp.100-111.
Undang Undang No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. PemerintahRepublik Indonesia, Jakarta.
Van Emmerik, Hetty, Hein Wendt, dan Martin C. Euwema. 2009. Gender Ratio,Societal Culture, Male and Female Leadership, Journal of Occupationaland Organizational Psychology, pp. 1-21, Copyright 2009 The BritishPsychological Society.
Van Veet, Griffin. 2006, Dysfunctional Organization Culture, Journal ofManagrial Psychology, Vol. 21, No. 88.
Waldman, David A., Ramires GabrielG., House RobertJ., Puranam Phanish. 2001.Does Leadership Matter? CEO Attributes and Profitability UnderConditions of Perceived Environmental Uncertainty, Academy ofManagement Journal,Vol. 44, pp. 134-143.
Wiener, Y.1982. Commitment in Organizations: A Normative View. TheAcademy of Management Review. 7(3), pp.418-428.
Xenikou, Athena and Maria Simosi. 2006. Organizational Culture andTransformational Leadership as predictors of business Unit Performance,Journal of Managerial Psychology Vol. 21, No.6, pp. 566-579.
Yiing Lee Huey, and Ahmad Kamarul Zaman Bin. 2009. The Moderating effectsof Organizational Culture on Relationships between LeadershipBehaviour and Organizational Commitment and between organizational
164
commitment and job satisfaction and performance, Leadership &Organization Development Journal, Vol. 30, No. 1, pp. 53 - 86
Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata: introduksi, Informasi, danImplementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Yousef, Darwish A. 2000. Organizational Commitment: a Mediator of theRelationship of Leadership behaviour with Job Satisfaction andPerformance in a non Western Country, Journal of ManagerialPsychology, Vol. 15, pp. 6-28.
Yuan Cheng Kang dan Lee Chuan Yin. 2011. Exploration of Construct ModelLinking Leadership Types, Organization Culture, EmployeesPerformance and Leadership Performance, Procedia Social andBehavioral Sciences, Vol 25, pp., 123-136.
Yukl, Gary. 2010. Leadership in Organization, Budi Supriyanto KepemimpinanDalam Organisasi, Edisi Kelima (Penerjemah), PT Indeks, Jakarta.
Yusof Juhaizi Mohd., dan Tahir Izah Mohd., Tahir. 2011. Spiritual Leadershipand Job Satisfaction: A Proposed Conceptual Framework, InformationManagement and Business Review, Vol. 2. No. 6, pp. 239-245.
Zainal, Syarifudin dan Hessel Nogi S. Tangkilisan. 2004. Kinerja OrganisasiPublik, YPAPI, Yogyakarta.
Recommended