View
172
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Teknologi rekayasa genetika yang saat ini berkembang pesat merupakan
hasil dari beberapa penelitian, terutama yang berkaitan dengan penemuan DNA
salah satunya adalah penurunan karakteristik pada suatu organisme. Prinsip dasar
penurunan karakteristik fisik suatu organisme pertama kali dikemukakan oleh
George Mendel tahun 1865 yang dilakukan pada tanaman pea, dengan
menunjukkan adanya hubungan fenotip dan genotip dari suatu organisme. Faktor-
faktor penurunan ini oleh Suton (1902) disebut sebagai gen, dimana gen adalah
kumpulan DNA yang terdapat dalam kromosom inti sel yang berfungsi mengatur
dan mengendalikan sifat makhluk hidup. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Avery, Ac Leod dan Mc. Carty pada tahun 1944 serta Hershey dan Chasey
pada tahun 1952, semakin diyakini bahwa gen adalah DNA yang merupakan
material genetik. Para ahli biologi seperti Delbruck, Chargaff, Crick dan Monod
memberikan sumbangan yang besar pada revolusi genetika kedua tahun 1966,
yaitu dengan menguraikan struktur DNA, serta proses transkripsi dan translasi ke
protein. Selanjutnya pada tahun 1971-1973 penelitian genetika ini maju dengan
pesatnya, sehingga dapat dikatakan telah terjadi revolusi dalam bidang biologi
modern, yaitu ditandai dengan munculnya teknologi DNA rekombinan atau
rekayasa genetika dimana inti dari seluruh prosesnya adalah kloning gen (Faisal,
2005).
Menurut Faisal (2005), teknologi rekayasa genetika merupakan
transplantasi atau pencakokan suatu gen ke dalam gen lainnya, yang dapat bersifat
antar gen ataupun lintas gen melalui teknik biologi molekuler untuk mendapatkan
karakter yang dikehendaki. Produk yang diperoleh melalui teknologi rekayasa
genetika ini dikenal dengan istilah transgenik. Dimana produk-produk transgenik
ini mencakup berbagai hal, diantaranya obat-obatan, tanaman, binatang, enzim,
bahan bakar dan pelarut.
Salah satu produk teknologi rekayasa genetika yang cukup mudah ditemui
saat ini adalah tanaman transgenik. Teknologi rekayasa genetika pada tanaman
pertama kali dilakukan pada tahun 1980an, dimana pada tahun 1988 telah
1
dihasilkan 23 jenis tanaman transgenik, tahun 1989 meningkat menjadi 30
tanaman dan pada tahun 1990 sudah lebih dari 40 jenis tanaman transgenik.
Beberapa contoh produk teknologi rekayasa genetika pada tanaman yang telah
dilakukan sampat saat ini adalah seperti pada kedelai, jagung, tembakau, kapas,
padi, tomat dan sebagainya (Faisal, 2005). Bahkan saat ini juga sedang
berkembang tanaman transgenik yang sangat bermanfaat dalam bidang medis,
yaitu berupa tanaman transgenik yang berfungsi sebagai vaksin atau disebut
sebagai edible transgenic plant-made vaccines (Yu, Natalie, 2008).
Edible transgenic plant-made vaccines diproduksi dalam pertanian
molekuler, dimana tanaman dengan spesifikasi tertentu diproses melalui
transformasi dan material dari tanaman tersebut digunakan sebagai perantara
antigen untuk dapat masuk ke dalam tubuh secara oral. Secara spesifik, sebagai
perantara antigen secara oral, tanaman yang telah berhasil ditransformasi dapat
dimodifikasi terlebih dahulu dalam bentuk pil ataupun makanan yang selanjutnya
dapat dengan mudah masuk dalam tubuh (Yu, Natalie, 2008).
Produksi edible transgenic plant-made vaccines didasari oleh beberapa
penemuan kelemahan yang dimiliki oleh vaksin konvensional atau injected
vaccines, dimana penggunaan injected vaccines ini adalah melalui proses injeksi
sehingga memasuki tubuh secara langsung melalui peredaran darah. Beberapa
kelemahan vaksin konvensional ini, diantaranya terletak pada proses pemasukan
injected vaccines ke dalam tubuh ini lebih beresiko, selain itu produksi injected
vaccines ini juga membutuhkan biaya yang besar serta kurang efisien dalam hal
penyimpanan. Oleh karena itu, para ilmuwan mulai mengembangkan penelitian
tentang edible plant-made vaccines karena vaksin jenis ini dianggap memiliki
lebih banyak keuntungan dibandingkan vaksin konvensional (injected vaccines)
(Yu, Natalie, 2008).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pada makalah ini akan dibahas
lebih mengenai proses teknologi rekayasa genetika pada tanaman khususnya
untuk memproduksi tanaman transgenik, yaitu edible transgenic plant-made
vaccines.
2
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan dikaji pada makalah ini, antara lain :
1. Apakah yang dimaksud dengan teknologi rekayasa genetika?
2. Apakah yang dimaksud dengan tanaman transgenik?
3. Bagaimana cara memproduksi suatu tanaman transgenik beserta
contohnya?
4. Apakah yang dimaksud dengan edible transgenic plant-made vaccines?
5. Bagaimana cara memproduksi edible transgenic plant-made vaccines
beserta contohnya?
6. Apakah kebaikan dan kelemahan dari edible transgenic plant-made
vaccines?
TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mengerti dan
memahami tentang teknologi rekayasa genetika, tanaman transgenik dan edible
transgenic plant-made vaccines.
3
PEMBAHASAN
TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA
Teknologi rekayasa genetika merupakan salah satu cabang dalam bidang
bioteknologi, dimana bioteknologi merupakan suatu usaha penggunaan tanaman,
hewan ataupun mikroba, baik secara keseluruhan maupun sebagian, untuk
membuat atau memodifikasi situ produk mahluk hidup ataupun merubah spesies
makhluk hidup yang telah ada. Dalam teknologi rekayasa genetika dikenal juga
istilah proses rekayasa genetika atau genetic engineering (GE), dimana proses ini
diartikan sebagai suatu proses bioteknologi modern dimana sifat-sifat dari suatu
makhluk hidup dapat dimodifikasi dengan cara menyisipkan gen dari satu spesies
makhluk hidup ke spesies yang lain ataupun dalam satu spesies. Proses genetic
engineering (GE) ini juga dikenal dengan istilah teknologi rekombinan DNA atau
recombinant DNA technology.
Pada teknologi rekayasa genetika ini dikenal juga beberapa istilah, seperti
transgenik yang merupakan suatu organisme yang mengandung transgen, dimana
transgen adalah gen asing yang disisipkan ke dalam suatu spesies. Transgen ini
dapat diisolasi dari suatu spesies yang sekerabat atau bahkan spesies yang lain
sama sekali, umumnya transgen ini diisolasi dari spesies yang memiliki sifat
unggul tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa transgenik merupakan hasil atau
produk yang diperoleh dari proses teknologi rekayasa genetika. Organisme ini
juga sering disebut sebagai GMO (Genetically Modified Organism) yang
menyatakan secara jelas bahwa organisme tersebut telah mengalami modifikasi
genetik.
Mekanisme dari proses genetic engineering (GE) atau recombinant DNA
technology intinya adalah proses kloning gen, dimana awalnya meliputi proses
isolasi fragmen DNA yang mengandung gen target atau transgen. Kemudian
fragmen DNA yang mengandung gen target atau transgen diklon pada molekul
DNA sirkuler (plasmid) yang disebut vektor (vector). Vektor bertindak sebagai
wahana yang membawa gen target masuk ke dalam sel tuan rumah (host),
biasanya berupa bakteri. Di dalam sel host, vektor melakukan replikasi yang
menghasilkan banyak turunan yang identik, baik vektornya ataupun gen target
4
yang disisipkan (transgen). Ketika sel host membelah, molekul DNA rekombinan
diwariskan kepada progeny dan terjadi lagi replikasi vektor. Setelah terjadi
sejumlah pembelahan yang identik, dimana tiap sel dalam klon mengandung satu
atau lebih molekul DNA rekombinan. Setelah tereplikasi, barulah kemudian
molekul DNA rekombinan tersebut dapat dimanfaatkan lebih lanjut (Gambar 1).
Gambar 1. Mekanisme Proses Genetic Engineering
5
Setelah melalui proses tersebut maka akan diperoleh suatu produk yang
dikenal dengan istilah transgenik ataupun GMO (Genetically Modified
Organism), dimana salah satu contohnya adalah tanaman transgenik.
TANAMAN TRANSGENIK
Tanaman transgenik merupakan salah satu produk yang dihasilkan melalui
proses rekayasa genetika, dimana tanaman ini dihasilkan dengan cara
mengintroduksi suatu gen tertentu, biasanya gen yang membawa suatu sifat
unggul tertentu, kedalamnya sehingga diperoleh suatu tanaman yang memiliki
karakteristik seperti yang dikehendaki.
Beberapa sifat dari tanaman transgenik yang umumnya diaplikasikan
dalam bidang pertanian, diantaranya :
1. resisten terhadap zat kimia tertentu, seperti herbisida
2. resisten terhadap hama dan penyakit tertentu
3. memiliki sifat-sifat tertentu, seperti padi yang memiliki kandungan beta
karoten dan vitamin A, kedelai dengan kadar lemak tak jenuh rendah, dan
sebagainya
4. dapat mengambil nitrogen sendiri dari udara, dimana gen dari bakteri
pemfiksasi nitrogen disisipkan ke dalam tanaman sehingga tanaman mampu
memfiksasi nitrogen dari udara sendiri
5. resisten terhadap stress lingkungan, seperti mampu beradaptasi pada
kekeringan, iklim dingin dan kadar garam tinggi
Pemilihan karakteristik tanaman tanaman transgenik tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kualitas baik fenotip maupun genotip dari tanaman tersebut,
sehingga tanaman transgenik tersebut dapat memberikan keuntungan yang lebih
bagi konsumennya. Berikut ini merupakan beberapa tanaman transgenik yang
telah dikembangkan beserta manfaatnya :
1. Peningkatan kandungan nutrisi : Pisang, cabe, raspberries, stroberi, ubi
jalar
2. Peningkatan rasa : tomat dengan pelunakan yang lebih lama, cabe, buncis,
kedelai
6
3. Peningkatan kualitas fenotip : pisang, cabe, stroberi dengan tingkat
kesegaran dan tekstur yang meningkat
4. Mengurangi alergen : polong-polongan dengan kandungan protein
allergenik yang lebih rendah
5. Kandungan bahan berkhasiat obat : tomat dengan kandungan lycopene
yang tinggi (antioksidan untuk mengurangi kanker), bawang dengan
kandungan allicin untuk menurunkan kolesterol, padi dengan kandungan
vitamin A dan besi untuk mengatasi anemia dan kebutaan
6. Tanaman untuk produksi vaksin dan obat-obatan untuk mengobati
penyakit manusia
Gambar 2 menunjukkan beberapa contoh tanaman transgenik yang
merupakan hasil dari proses rekayasa genetika.
Gambar 2. Beberapa Contoh Tanaman Transgenik
PEMBUATAN TANAMAN TRANSGENIK
Pada dasarnya pembuatan tanaman transgenik ini sama seperti prosedur
rekayasa genetika pada umumnya, yaitu meliputi isolasi fragmen DNA yang
mengandung gen yang menurunkan karakteristik yang diinginkan atau transgen,
pembuatan rekombinan DNA dan kloning gen, transformasi molekul DNA
rekombinan ke dalam sel tanaman dan regenerasi tanaman.
7
Gambar 3 merupakan ilustrasi pembuatan tanaman transgenik secara
umum.
Gambar 3. Pembuatan Tanaman Transgenik
Proses pembuatan tanaman transgenik, hal pertama yang harus dilakukan
adalah identifikasi fragmen DNA yang mengandung gen yang akan menghasilkan
sifat tertentu (sifat yang diinginkan). Fragmen DNA yang mengandung gen
dengan karakter yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan,
cendawan, atau bakteri. Kemudian setelah teridentifikasi, selanjutnya gen tersebut
dapat diisolasi.
Setelah gen yang diinginkan terisolasi, maka dapat dilakukan perbanyakan
atau replikasi gen yang disebut dengan istilah kloning gen. Pada tahapan kloning
gen, fragmen DNA asing yang mengandung gen tersebut atau transgen akan
dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa transgen), contohnya
plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen). Kemudian, vektor kloning
akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring
dengan perkembangbiakan bakteri tersebut.
Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup
maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tanaman yang
berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun. Proses transfer gen
ini dikenal juga dengan istilah transformasi DNA. Transfer gen ini dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode langsung dan metode tidak
langsung.
Metode transfer gen secara langsung, dibedakan menjadi beberapa jenis,
yaitu :
8
1. Metode senjata gen (gen gun) atau penembakan miroproyektil
(microprojectile bombardment)
Prinsip dari metode ini adalah penembakan partikel DNA yang telah
terlapisi dengan emas dan kemudian secara langsung ditembakkan ke dalam sel
atau jaringan tanaman (Gambar 4).
Gambar 4. Proses Particle Bombardment
Metode ini sering digunakan pada spesies jagung dan padi. Untuk melakukannya,
digunakan senjata yang dapat menembakkan mikroproyektil berkecepatan tinggi
ke dalam sel tanaman. Mikroproyektil tersebut akan mengantarkan DNA untuk
masuk ke dalam sel tanaman. Penggunaan senjata gen memberikan hasil yang
bersih dan aman, meskipun ada kemungkinan terjadi kerusakan sel selama
penembakan berlangsung.
2. Karbid silikon
Suspensi sel tanaman yang akan ditransformasi dicampur dengan serat
karbid silicon dan DNA plasmid dari gen yang diinginkan dimasukkan ke dalam
microtube kemudian dicampur dan diputar menggunakan vortex.
3. Elektroporasi
Metode transfer DNA yang umum digunakan pada tanaman monokotil
adalah elektroporasi dari protoplas. Elektroporasi menggunakan perlakuan listrik
bervoltase tinggi menyebabkan permeabilitas tinggi pada membran sel dengan
membentuk pori-pori sehingga DNA mudah penetrasi ke dalam proptoplas.
9
Perlakuan elektroporasi ini seringkali dikombinasikan dengan perlakuan poly
ethylene glycol (PEG) pada protoplas (Gambar 5).
Gambar 5. Proses Penggabungan Protoplas
Atau secara lebih sederhana pada metode elektroporasi ini, sel tanaman yang akan
menerima gen asing harus mengalami pelepasan dinding sel hingga menjadi
protoplas (sel yang kehilangan dinding sel). Selanjutnya sel diberi kejutan listrik
dengan voltase tinggi untuk membuka pori-pori membran sel tanaman sehingga
DNA asing dapat masuk ke dalam sel dan bersatu (terintegrasi) dengan DNA
kromosom tanaman. Kemudian, dilakukan proses pengembalian dinding sel
tanaman.
Metode transfer gen yang berikutnya adalah metode transfer gen secara
tidak langsung, dimana metode transformasi ini diperantarai oleh bakteri
Agrobacterium tumefaciens (Gambar 6).
10
Gambar 6. Transfer Gen dengan Agrobacterium tumefaciens
A. tumafaciens adalah mikroorganisme tanah yang menyebabkan penyakit crown
gall (pembengkakan) pada banyak spesies tanaman dikotil (Gambar 7). Penyakit
ini muncul bila terdapat luka pada batang tanaman yang memungkinkan A.
tumafaciens dapat menyerang tanaman. Setelah bakteri ini menginfeksi akan
menyebabkan proliferasi jaringan seperti kanker di daerah puncak (crown).
Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini memiliki hubungan dengan adanya
plasmid Ti (Tumor Inducing) dalam sel bakteri tersebut.
Gambar 7. Penyakit Crown Gall
11
Sifat yang khusus pada plasmid Ti (Gambar 8) adalah bahwa infeksi sebagian dari
molekul plasmid dapat berintegrasi dalam kromosom DNA tanaman, sehingga
dihasilkan segmen yang disebut T-DNA.
Gambar 8. Plasmid Ti
Segmen ini dipertahankan dalam bentuk stabil pada tanaman dan diturunkan ke
sel anak sebagai bagian integral kromosom. T-DNA kira-kira mengandung 8 gen
yang diekspresikan dalam sel tanaman dan bertanggung jawab atas sifat-sifat
kanker pada sel yang ditransformasi. Gen-gen tersebut juga mengarahkan sintesis
senyawa yang disebut opin yang digunakan bakteri sebagai nutrient.
Dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh plasmid Ti pada bakteri A.
tumafaciens, maka plasmid Ti dapat digunakan untuk memindahkan gen baru
pada sel tanaman sehingga pembuatan tanaman transgenik dimungkinkan. Hal
yang penting adalah menginsersikan gen baru ke dalam T-DNA dan kemudian
bakteri dapat melakukan integrasi kedalam DNA kromosom tanaman. Karena
ukuran plasmid Ti yang agak besar (> 200 kb) maka hal ini menyebabkan
manipulasi molekulnya yang sangat sulit. Strategi yang digunakan untuk
memecahkan masalah ini secara umum ada dua yaitu sistem vektor biner dan
strategi kointegrasi.
Sistem vektor biner didasarkan pada pengamatan bahwa T-DNA tidak
perlu secara fisik melekat pada sisa plasmid Ti. Artinya dapat dibuat suatu sistem
dengan 2 plasmid dengan T-DNA pada molekul yang relatif kecil dan sisa
molekul plasmid dalam bentuk yang normal. Plasmid T-DNA cukup kecil untuk
memiliki tempat restriksi yang khas bagi gen yang ingin diklon serta dapat
dimanupulasi.
Opine catabolism
Virulence region
Ori
T-DNAregion
12
Jika A.tumafaciens yang mengandung plasmid Ti yang telah dimanipulasi
dimasukkan dalam tanaman secara alamiah, yaitu dengan infeksi luka pada
batang, maka hanya sel-sel yang menghasilkan crown gall yang memiliki gen
yang diklon. Oleh karena itu diperlukan suatu cara agar gen baru dapat
dimasukkan kedalam setiap sel tanaman. Pemecahan untuk masalah ini adalah
dengan menginfeksi bukan tanaman dewasa tetapi kultur sel tanaman dalam
medium cair. Sel-sel tanaman dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti
mikroorganisme. Sehingga tanaman dewasa yang berasal dari sel seperti ini akan
mengandung gen yang diklon di dalam setiap selnya dan akan meneruskan gen
tersebut kepada keturunannya. Meskipun demikian regenerasi tidaklah selalu
mungkin dapat terjadi. Syarat yang harus dipenuhi adalah vektor dihilangkan
kekuatannya (disarmed) dengan delesi paling sedikit beberapa gen yang
bertanggung jawab atas terjadinya sifat kanker pada sel yang ditransformasi.
Masalah lain pada regenerasi tanaman dewasa dari sel yang ditransformasi
adalah efisiensi proses sangat bergantung pada spesies tertentu. Contoh,
regenerasi tanaman tembakau biasanya berhasil sedangkan tanaman biji-bijian
seperti gandum dan jagung masih harus diregenerasi dari kultur sel. Selain itu
A.tumafaciens yang membawa plasmid Ti dialam hanya menginfeksi tanaman
dikotil, sedang tanaman monokotil seperti biji-bijian masih belum jelas.
Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk
mendapatkan sel yang berhasil disisipi gen asing. Hasil seleksi ditumbuhkan
menjadi kalus (sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi) hingga nantinya
terbentuk akar dan tunas. Apabila telah terbentuk tanaman muda (plantlet), maka
dapat dilakukan pemindahan ke tanah dan sifat baru tanaman dapat diamati.
Salah satu aplikasi tanaman transgenik yang sedang berkembang saat ini
adalah pemberian vaksin melalui tanaman transgenik atau yang dikenal dengan
istilah edible transgenic plant-made vaccines.
EDIBLE TRANSGENIC PLANT–MADE VACCINES
Peranan vaksin dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi
telah sejak lama kita ketahui. Salah satunya yang keberhasilan penanggulangan
dan pencegahan penyakit cacar dengan menggunakan vaksin cacar. Sampai
13
dengan akhir tahun 1990-an melalui kampanye internasional terhadap
penanggulangan penyakit utama penyebab infeksi seperti difteri, pertussis, polio,
campak, tetanus dan tuberkulosis, lebih dari 80 % balita di seluruh dunia telah
divaksinasi dengan ke 6 jenis vaksin tersebut, sehingga dapat menurunkan tingkat
kematian bayi di seluruh dunia secara signifikan. Namun demikian tidak semua
program vaksinasi ini berhasil dengan baik. Sekitar 20 % bayi-bayi yang
dilahirkan belum terjangkau oleh vaksinasi, sehingga tingkat kematian balita
akibat penyakit infeksi di seluruh dunia masih tinggi.
Beberapa faktor penting penyebab kegagalan vaksinasi antara lain adalah
harga vaksin yang mahal, menurunnya efektifitas vaksin akibat distribusi yang
tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kotak
pendingin dalam pendistribusiannya, serta sebagian besar vaksin harus diberikan
dengan cara penyuntikan. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin
terutama di negara-negara miskin, dimana penyakit infeksi tersebut
mengakibatkan tingginya angka penderita dan kematian.
Keterbatasan tersebut memacu para peneliti untuk menemukan suatu
terobosan baru dalam teknologi pembuatan dan cara pemberian vaksin. Bentuk
vaksin yang diminati adalah vaksin yang dapat dikonsumsi tanpa harus
menyuntikkannya atau tanpa harus disimpan di ruang pendingin sehingga
memudahkan pendistribusiannya.
Untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam ketersediaan vaksin
terutama bagi para balita yang tinggal di negara-negara yang sedang berkembang,
pada awal tahun 1990-an telah dikembangkan suatu teknologi tanaman transgenik
dimana tanaman tersebut mengandung fragmen DNA yang berasal dari bakteri
atau virus. Fragmen DNA bakteri atau virus yang dikloning ke dalam suatu
tanaman ini merupakan gen yang akan mengkode pembentukan protein, yang
biasanya dipilih protein yang terletak dipermukaan sel bakteri atau virus, sehingga
bila tanaman tersebut dikonsumsi akan menghasilkan respon imun. Sistem
kekebalan tubuh yang terbentuk akan dapat mengenali epitop spesifik pada
permukaan sel bakteri dan virus, yang masuk ke dalam tubuh, sehingga akan
terhindar dari infeksi bakteri atau virus tersebut. Produk tanaman transgenik inilah
yang disebut dengan edible plant-made vaccine.
14
Vaksin secara potensial dapat mencegah dan mengobati penyakit manusia.
Vaksin adalah persiapan biologi yang dapat meningkatkan imunitas atau
kekebalan terhadap suatu partikel penyakit. Umumnya vaksin mengandung suatu
agen yang menyerupai mikroorganisme penyebab penyakit, dan biasanya
diproduksi dari mikroba bentuk lemah atau mati. Agen ini mampu menstimulus
sistem imunitas tubuh untuk mengenali agen sebagai zat asing, membunuhnya dan
mengingatnya, sehingga sistem imunitas ini dapat dengan mudah mengenali dan
membunuh mikroorganisme yang sejenis apabila terinfeksi disuatu saat kemudian.
Vaksinasi adalah proses materi antigenik (vaksin) untuk memproduksi
kekebalan terhadap suatu jenis penyakit. Vaksin dapat mencegah ataupun
memperbaiki akibat dari infeksi oleh suatu zat patogen. Vaksinasi melibatkan
stimulasi sistem imunitas untuk menyiapkannya terhadap terjadinya suatu invasi
dari partikel patogen. Penggunaan vaksin sangatlah efektif karena sel T dan sel B
spesifik untuk melawan agen vaksin yang patogen, atau spesifik pada salah satu
bagiannya, sehingga siap untuk melakukan proliferasi dan diferensiasi lebih cepat
dibandingkan apabila terjadi secara alami oleh adanya zat patogen yang masuk.
Kemajuan baru di bidang vaksin seperti conjugated pneumococcal
vaccines untuk orang dewasa, nasal spray vaccines influenza, dan acellular
pertussis vaccines untuk orang dewasa, merupakan cara yang efisien untuk
menghasilkan proteksi imun yang bertahan lama. Penelitian sedang dilakukan
pada vaksin yang banyak digunakan untuk penyakit-penyakit di negara
berkembang seperti malaria, hookworm, dengue, enterotoxigenic E. coli, shigella,
tuberkulosis. Vaksin terhadap penyakit non infeksi (seperti kanker, diabetes, dan
penyakit Alzheimer) dan ketergantungan nikotin dan kokain masih merupakan
pengobatan alternatif. Vaksin terhadap senjata biologi akan dimungkinkan dengan
kemajuan pada vaksin DNA. Teknologi pemberian vaksin baru akan
mempermudah cara pemberian (seperti transkutan, depot, nasal dan pemberian
oral) tanpa mengurangi efikasi.
Salah satu strategi terbaru untuk produksi dan pengantaran antigen vaksin
secara oral adalah dengan edible transgenic plant-made vaccine dengan
menggunakan metode mikrobiologi, dimana tanaman akan mengalami modifikasi
genesitas. Gen ini merupakan gen yang diduga mengkode antigen vaksin
15
perlindungan terhadap virus, bakteri dan parasit patogen yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan hewan. Vaksin ini dapat secara mudah dihantarkan
oleh proses pencernaan dari bagian tanaman transgenik yang mudah dicerna, atau
yang menghasilkan protein murni dalam jumlah besar untuk oral.
Beberapa tipe tanaman maupun jaringan tanaman yang dapat digunakan
untuk produksi protein dan antigen vaksin lainnya, yaitu :
1. daun dan jaringan punca (stem) dari beragam spesies dan varietas
tembakau, Arabidopsis thaliana, alfalfa, bayam dan kentang
2. rumput yang hidup di air, seperti Lemma spp.
3. biji-bijian seperti beras, kacang-kacangan, tembakau dan jagung
4. buah, seperti tomat dan strobery
5. sayuran umbi akar, seperti wortel
6. single-cell cultures dari alga Chlorella dan Chlamydomonas
7. kultur suspensi sel dari tembakau dan tanaman lainnya
8. kultur rambut akar yang diturunkan dari berbagai macam tanaman melalui
transformasi Agrobacterium rhizogenes
9. transformasi kloroplas pada beragam spesies tanaman
Berikut ini beberapa bagian dari tanaman yang sesuai untuk pembuatan
edible transgenic plant-made vaccines, yaitu:
Antigen yang ditransformasikan ke dalam tanaman, dimungkinkan akan
diekspresikan pada sitoplasma dan berkembang pada lokasi tersebut, atau bahkan
dapat berlokasi pada berbagai organel tanaman maupun pada komparment
16
penyusunnya, seperti pada nukleus, mitokondria, vakuola, retikulum endoplasma
ataupun apoplast sebagai sinyal peptida yang spesifik.
Kriteria tipe tanaman yang dapat digunakan sebagai host dalam produksi
edible transgenic plant-made vaccines ini, diantaranya bahwa tanaman tersebut
harus mudah dicerna (edible) oleh manusia ataupun hewan, dengan istilah lain
tanaman tersebut harus memenuhi status “generally regarded as safe (GRAS)”.
Selain itu, tanaman transgenik yang akan digunakan sebagai edible plant-made
vaccine ini harus dapat memproduksi daun, buah, biji ataupun umbi yang mudah
dicerna. Kriteria lainnya, yaitu bahwa biomassa tersebut harus dapat
diregenerasikan, melalui dengan yield yang tinggi.
PERKEMBANGAN EDIBLE TRANSGENIC PLANT-MADE VACCINES
Berikut ini merupakan beberapa protein serupa vaksin yang telah sukses
diproduksi dalam tanaman transgenik, diantaranya pada A. Thaliana termasuk
antigen dari virus gastroenteritis transmissible pada babi (Gomez et.al, 1998),
Shigella flexneri yang ditransformasi antigen IpaC (MacRae et.al, 2004), penyakit
infeksi bursal pada ayam (Wu et.al, 2004), antigen Mycobacterium tuberculosis
(TB) ESAT-6 (Rigano et.al, 2006), protein rekombinan virus hepatitis B atau
human immunodeficiency [partikel HBV/HIV dan protein HIV-1 p24 (Greco
et.al, 2007; Lindh et.al, 2008) dan protein human papillomavirus L1 (Kohl et.al,
2007)].
Pada bagian buah dan umbi, diantaranya telah berhasil dikembangkan
beberapa vaksin misalnya antigen yang berhasil diproduksi pada buah tomat, yaitu
seperti glycoprotein G pada virus rabies, glycoprotein F pada virus synctial
respiratory, protein permukaan pada virus hepatitis E, antigen Yersinia pestis F1-
V, antigen sintetik HBV/HIV, capsid antigen virus Norwalk, antigen permukaan
virus hepatitis B, dan polipeptida sintetik yang mengandung epitop diphteria,
pertussis, dan eksotoksin tetanus (DPT). Bahkan saat ini sedang dikembangkan
transformasi protein chimaeric HPV-16 L1. Sedangkan pada kentang, telah
berhasil ditransformasikan beberapa vaksin, diantaranya E.coli heat-labile
enterotoxin (LT-B), lapisan protein virus Norwalk, virus untuk penyakit
haemorrhagic (RHDV) VP 60 pada kelinci, HbsAg, kombinasi vaksin cholera,
17
E.coli dan rotavirus, protein human papillomavirus E7 dan L1, serta envelope
protein virus untuk penyakit Newcastle.
Pada daun dan bibit juga telah berhasil dikembangkan beberapa jenis
vaksin dimana telah dilakukan pula tes in vivo terhadap vaksin tersebut,
diantaranya seperti pada alfalfa transgenik yang diberikan sebagai pakan mencit
menunjukkan adanya fusi antara epitop dari FMDV dengan glucuronidase (gus A)
sebagai gen reporter, bayam transgenik yang dapat digunakan untuk menurunkan
virus rabies pada mencit, produksi HBsAg pada lupin dan lettuce transgenik
sehingga menghasilkan antibodi terhadapnya pada mencit dan manusia, albumin
bibit bunga matahari dalam lupin yang menghasilkan efek anti-allergen terhadap
vaksin, antigen permukaan pada virus hepatitis B pada yellow luppin calli atau
tumours transgenik.
Selanjutnya pada biji-bijian seperti jagung yang telah berhasil
mentransformasikan beberapa jenis antigen terhadap virus dan bakteri serta
antibodi. Contohnya E.coli LT-B toxin dan vaksin terhadap virus gastroenteritis
(TGEV), dimana keduanya telah dilakukan uji in vivonya. Selain itu adalah padi
yang telah berhasil mentransformasikan Cry j 1 dan Cry j 2 protein allergenik
pada keju Jepang yang mampu mereduksi allergen yang spesifik terhadap IgE,
poliferasi sel T dan respon histamin. Lalu sintetik gen fusi dari E.coli LT-B dan
epitop dari epidermis virus diare, sebagai vaksin oral terhadap infeksi virus
penyakit bursal (IBDV) VP2, serta memproduksi fusi dari chimaera dengan
subuniy cholera toxin (CTB) sebagai stimulus spesifik untuk respon dari serum
antibodi As16.
Berikut ini merupakan beberapa contoh tanaman transgenik yang berperan
sebagai perantara penghasil vaksin atau biofactor :
18
PEMBUATAN EDIBLE TRANSGENIC PLANT-MADE VACCINES
Pembuatan edible plant-made vaccines dapat dilakukan dengan beragam
cara, diantaranya sebagai berikut:
Akan tetapi, pembuatan edible transgenic plant-made vaccines melalui tanaman
transgenik merupakan metode yang paling umum, mudah dan efisien untuk
dikembangkan. Hal ini dikarenakan pembuatan edible transgenic plant-made
vaccines memiliki beberapa keuntungan disbanding metode yang lain, yaitu
memiliki yield yang tinggi, ekonomis, dapat mencakup skala besar, permanent,
19
lebih murni, idak terkontaminasi, memiliki ekspresi multi gen dan toksisitas
rendah.
Adapun pembuatan tanaman transgenik sebagai vaksin pada dasarnya
memiliki metode yang sama seperti pada pembuatan tanaman transgenik pada
umumnya. Dimana tahapannya meliputi identifikasi dan isolasi transgen, replikasi
gen atau kloning gen, transfer gen dan proses transformasi, serta regenerasi
(Gambar 9).
Gambar 9. Proses Pembuatan Tanaman Transgenik
Akan tetapi untuk memproduksi suatu tanaman transgenik sebagai vaksin ini,
perlu juga dilakukan beberapa analisa yang bertujuan untuk meyakinkan
keberhasilan proses transformasi dari gen ke dalam tanaman dan hal ini dapat
dilakukan dengan beragam metode, yaitu yang melibatkan metode analisa secara
kualitatif dan kuantitatif.
Berikut ini adalah salah satu contoh pembuatan edible transgenic plant-
made vaccine, yaitu tomat sebagai penghasil antigen untuk penyakit hepatitis B.
Dalam hal ini, antigen yang dikembangkan adalah gen ORF2 yang merupakan
bagian gen dari virus hepatitis E.
Virus hepatitis E merupakan penyebab utama keakutan dari penyakit
hepatitis non A, non B (NANB) di dunia dan umumnya terjadi dinegara yang
belum berkembang, dimana Asia Tengah dan Timur serta Afrika Utara adalah
wilayah epidemiknya. Rata-rata infeksi paling tinggi adalah menyerang orang
muda dengan usia 15 – 40 tahun. Hepatitis E merupakan penyakit yang
20
ditimbulkan dari air, umumnya disebarkan melalui air yang terkontaminasi,
dimana di dalamnya dimungkinkan tersebar bibit virus tersebut. Penyakit ini
biasanya disebarkan dari satu individu ke individu lainnya melalui rute fecal-oral.
Vaksin untuk virus hepatitis E ini, sebenarnya telah dapat diproduksi dan
memiliki efektifitas yang tinggi. Akan tetapi, karena patogen dari virus hepatitis E
ini sulit untuk dikultur atau dikembangkan, sehingga vaksinnya pun masih berada
dalam keadaan terbatas. Sehingga muncul keinginan untuk memproduksi
vaksinnya melalui rekombinan subunit.
Susunan gen atau genom virus hepatitis E terdiri atas suatu RNA yang
linier, single stranded, dan bermuatan positif, yaitu 7,5 kb yang terdiri dari 3’ poly
(A) tail dan 3’ noncoding region, dan terdiri dari 3 open reading frame (ORFs)
yang saling overlapping. Ketiga frame pengkode tersebut digunakan untuk
mengekspresikan protein-protein yang berbeda (Gambar 10).
Gambar 10. Ketiga open reading frame (ORFs) pada virus Hepatitis E
ORF2 yang berlokasi diantara 5 147 dan 7 127 nt, terdiri dari 1 980 nt dan
mengkode 660 asam amino (71 – 88 kDa) yang mengekspresikan satu atau lebih
penyusun struktural protein capsid. ORF2 juga memiliki epitop yang penting
untuk menginduksi antibodi penetral dan difokuskan dalam pengembangan
vaksin. Epitop utama berada didekat gugus karboksil diakhir ORF2 dan ORF3.
Epitop yang terdapat di ORF2 lebih banyak (90,5%) daripada epitop yang terdapat
pada ORF3 (73,5%). Beberapa antigen ORF2 yang berbeda dapat menginduksi
beberapa antibodi, seperti berikut ini :
21
Protein yang dikode oleh ORF2 dari virus hepatitis E merupakan suatu subunit
yang dapat dikembangkan sebagai kandidat vaksin karena memiliki antigenisitas
tinggi. Sejauh ini, gen ORF2 atau fragmentnya telah dapat diekspresikan pada sel-
sel prokariot, sel serangga, sel hewan dan Pichia pastoris serta lainnya, dimana
produk yang terekspresi memiliki sifat immunogenitas tinggi.
Karena hepatitis E terjadi dinegara berkembang dengan sanitasi
lingkungan rendah, dimana proses pengobatan medis mungkin terhalang oleh
biaya yang relatif tinggi maka edible transgenic plant-made vaccine dapat
dijadikan salah satu alternatif jalan keluarnya. Dalam hal ini tanaman transgenik
yang edibel dan digunakan sebagai perantara produksi vaksin terhadap virus
hepatitis E adalah buah tomat.
Tomat merupakan buah yang kaya nutrisi dan dapat dikonsumsi sebagai
dalam keadaan mentah sehingga dapat mempermudah proses transformasi vaksin
ke dalam tubuh. Oleh karena itu, tomat dianggap merupakan tanaman yang ideal
untuk digunakan sebagai pembawa vaksin oral, khususnya dalam hal ini untuk
penyakit hepatitis E.
Prosedur pembuatan edible transgenic plant-made vaccine untuk virus
hepatitis E dengan perantara buah tomat sebagi tanaman transgenik adalah
pertama harus dilakukan identifikasi dan isolasi fragment DNA 810 bp (E2) dari
wilayah ORF2 pada virus hepatitis E yang terletak diantara residu asam amino
394 dan 604, dimana fragmen DNA (E2) ini diisolasi langsung dari serum
22
penderita hepatitis E dan kemudian dilakukan PCR terhadapnya. Selanjutnya,
fragmen DNA (E2) diinsersikan ke dalam pBPF7 diantara promotor CaMV35S
dan terminator nos pada sisi BamHI/EcoRI untuk membentuk pBE2. Fragmen
yang mengandung “P35S+W+E2+Tnos” diisolasi oleh ekstraksi gel dari plasmid
pBE2 setelah dilakukan restrisksi oleh PstI dan kemudian diklonkan kembali ke
dalam plasmid pCAMBIA1301 yang telah diuraikan dengan endonuklease yang
sama utuk memperoleh binary plasmid p1301E2 (Gambar 11).
Gambar 11. Plasmid p1301E2
Kemudian plasmid p1301E2 secara langsung ditransformasikan ke dalam
Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 dengan metode freeze-thaw.
Tanaman tomat ditransformasi melalui daun dengan diperantarai oleh
Agrobacterium tumefaciens strain EHA105 dengan plasmid p1301E2. Tunas yang
dihasilkan berasal dari kalus yang telah bertransformasi setelah ditumbuhkan
selama 3 – 4 minggu pada media khusus yang mengandung 20 mg hygromycin
(Hyg) dan 300 mg cefotaxime per liter. Dimana kedua bahan tersebut berfungsi
sebagai antibiotik untuk mengurangai kontaminasi dari mikroba lain yang
mengganggu pertumbuhan tunas tanaman tomat yang telah bertransformasi.
Tanaman tomat kecil yang telah tumbuh dipindahkan ke tanah sebagai media
tumbuh kemudian ditumbuhkan sebagaimana tanaman pada umumnya.
Gambar 12 menunjukkan prosedur pembuatan tanaman tomat sebagai
edible transgenic plant-made vaccine terhadap penyakit Hepatitis E.
23
Gambar 12. Pembuatan Tomat sebagai Edible Transgenic Plant-Made Vaccineterhadap Penyakit Hepatitis E
Tanaman tomat yang telah bertransformasi dan dipindahkan ke dalam
media tumbuh tanah, diletakkan di dalam rumah kaca untuk menghasilkan
pertumbuhan tanaman tomat yang maksimum dan dengan kualitas terbaik.
Dimana tanaman tomat yang telah bertransformasi akan dapat tumbuh dengan
baik dan setelah 1 bulan akan menghasilkan bunga serta buah (Gambar 13).
24
Gambar 13. Bunga dan Buah dari Tanaman Tomat yang telah bertransformasi
Beberapa analisa kualitatif dan kuantitatif perlu dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan proses transformasi. Dalam hal ini beberapa metoda
analisa yang dilakukan antara lain analisa ekspresi gen Gus, PCR, Sourthen Dot
Blotting dan ELISA.
Analisa ekspresi gen Gus bertujuan untuk membuktikan bahwa plasmid
p1301E2 dengan transgen tersebut telah bertransformasi dengan gen dalam
jaringan tumbuhan. Dimana dalam hal ini diperlukan adanya perbandingan
ekspresi gen Gus antara tanaman tomat yang telah ditransformasi dan tidak.
Karena perbedaan yang tampak apabila hanya dilihat dengan mata adalah tidak
terlalu signifikan perbedaannya, dimana pada tanaman tomat yang telah berhasil
mengalami transformasi akan menampakkan warna yang berbeda, yaitu pada daun
akan tampak lebih hijau menyala, sedangkan daun tanaman tomat yang tidak
ditransformasi tetap berwarna hijau seperti tanaman tomat pada umumnya
(Gambar 14).
Gambar 14. Warna Daun Tanaman Tomat Tanpa Transformasi dan telah Bertransformasi
25
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa yang lebih peka dan akurat untuk dapat
memastikan telah tertransformasinya transgen dalam plasmid tersebut, salah
satunya dengan analisa ekspresi gen Gus ini.
Proses pelaksanaan analisa ekspresi gen Gus ini dilakukan dengan
mereaksikannya dengan Gus reaction buffer (larutan X-gluc staining) selama 12
hingga 24 jam pada suhu 37 0C, kemudian dibersihkan dengan alkohol absolut,
diamati dan difoto dibawah mikroskop. Kemudian dibandingkan antara hasil yang
diperoleh pada tanaman tomat yang ditransformasi dan tidak. Berdasarkan hasil
analisa ekspresi gen Gus ini tampak bahwa daun pada tanaman tomat yang
mengalami transformasi berwarna hijau lebih terang, sedangkan pada tanaman
tomat yang tidak ditransformasi berwarna putih (Gambar 15).
Gambar 15. Hasil Analisa Ekspresi Gen Gus pada Tanaman yangTidak Ditransformasi dan telah Bertransformasi
Hal ini membuktikan bahwa transgen dalam plasmid p1301E2 telah berhasil
mengalami transformasi dengan gen dalam jaringan daun tanaman tomat.
Metode analisa lain yang dapat dilakukan adalah PCR, dimana PCR ini
bertujuan membuktikan terekspresi atau tidaknya gen Hepatitis E virus pada
tanaman tomat yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2. Metode PCR
ini dilakukan dengan menggunakan sampel gen yang diisolasi dari daun tanaman
tomat yang telah ditransformasi ataupun wild type (tidak ditransformasi) yang
kemudian dibandingkan dengan marker DNA serta marker gen HEV dari plasmid
p1301E2 dalam suatu hasil elektroforesis DNA. Berdasarkan hasil elektroforesis
DNA dari hasil PCR, diperoleh data bahwa pada sampel gen yang berasal dari
plasmid p1301E2 mengekspresikan pita 810 bp dan hal ini diikuti oleh sampel gen
yang berasal dari daun tanaman tomat yang telah ditransformasi. Sedangkan untuk
26
tanaman tomat wild type, tidak menunjukkan adanya ekspresi pita pada 810 bp
(Gambar 16).
Gambar 16. Hasil Elektroforesis DNA pada Gen Hasil PCRA1 = Marker DNA
A2 = Gen plasmid p1301E2A3 = Gen wild type
A4 – A10 = Gen tanaman tomat ditransformasi plasmid p1301E2
Sehingga dapat dismpulkan bahwa tanaman tomat tersebut telah berhasil
ditransformasikan dengan transgen dalam plasmid p1301E2.
Berikutnya adalah metode analisa Southern Dot Blotting, yang berfungsi
sama seperti pada analisa dengan PCR dan elektroforesis DNA, hanya
perbedaannya terletak pada hasil yang diperoleh. Pada PCR dan elektroforesis
DNA ditunjukkan dengan terekspresi atau tidaknya pita 810 bp, sedangkan pada
metode ini hanya ditunjukkan oleh intensitas warna ungu yang dihasilkan oleh
reaksi antigen dan antibodi HEV.
Pada metode Southern Dot Blotting ini, diperoleh hasil bahwa sampel
yang berasal dari plasmid p1301E2 memberikan warna ungu yang pekat yang
menunjukkan tingginya reaksi antara antigen dan antibodi didalamnya. Hal ini
diikuti oleh sampel yang berasal dari DNA tanaman tomat yang telah
ditransformasi, yaitu warna ungu yang cukup pekat, dimana hal ini menunjukkan
bahwa dalam sampel DNA tersebut terdapat reaksi antigen dan antibodi yang
cukup tinggi. Sedangkan pada sampel wild type, tidak diperoleh warna ungu atau
tidak terekspresi (negatif). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanaman tomat
tersebut telah bertransformasi dengan plasmid p1301E2 (Gambar 17).
27
Gambar 17. Hasil Southern Dot BlottingB1 = Sampel DNA wild type
B2 = Sampel plasmid p1301E2B3 – B8 = Sampel DNA tanaman tomat ditransformasi dengan plasmid p1301E2
Intensitas warna ungu yang dihasilkan menunjukkan pula tinggi rendahnya kadar
antigen dalam sampel DNA yang ada, dimana semakin tinggi intensitas warnanya
maka semakin tinggi pula kadarnya.
Beberapa metode analisa yang telah dilakukan tersebut merupakan metode
sebagai analisa kualitatif suatu sampel. Sedangkan untuk analisa kuantitatif dapat
dilakukan dengan metode ELISA. Dalam hal ini metode ELISA digunakan untuk
menentukan kadar protein HEV yang terdapat dalam sampel tanaman tomat wild
type dan yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2, dimana sampel yang
digunakan berasal dari ekstrak protein dalam buah dan daun. Hasil yang diperoleh
dari metode ELISA ini, baik pada buah ataupun daun, yaitu bahwa pada sampel
tanaman tomat wild type tidak menunjukkan hasil apapun (negatif), sedangkan
pada tanaman tomat yang telah ditransformasi dengan plasmid p1301E2
memberikan kadar protein sebesar 47,9 ng/g daun dan 61,22 ng/g buah.
Dari beberapa analisa yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
tanaman tomat ini dapat digunakan sebagai edible transgenic plant-made vaccine
terhadap virus Hepatitis E.
KEBAIKAN DAN KELEMAHAN EDIBLE TRANSGENIC PLANT–MADE
VACCINES
Setiap produk yang berasal dari teknologi rekayasa genetika, termasuk
salah satunya tanaman transgenik khususnya sebagai edible transgenic plant-
28
made vaccine tentu memiliki beberapa kebaikan dan kelemahan. Kebaikan dari
edible transgenic plant-made vaccine antara lain :
1. Biaya produksi untuk skala besar tidak terlalu mahal, apabila
dibandingkan dengan vaksin konvensional
2. Mudah dalam hal penyimpanan
3. Mudah dalam hal pemrosesan
4. Administrasinya mudah dan tepat dan mudah diaplikasikan secara oral
ataupun nasal ketika produk telah dimurnikan
5. Baik untuk menginduksi imunitas mukosa
6. Mengurangi penggunaan binatang sebagai vaksin
Sedangkan beberapa kelemahan yang dapat ditimbulkan oleh edible
transgenic plant-made vaccine, diantaranya :
1. Alergenitas
2. Kerusakan lingkungan, disebabkan oleh adanya hilangnya sifat-sifat alami
tanaman dan degradasi komponen seluler.
3. Toleransi oral, apabila antigen diberikan terlalu frekuentif atau dengan
dosis rendah yang berulang-ulang maka dapat mengakibatkan sistem
imunitas mukosa menurun dan menjadi tidak peka terhadap vaksin
sehingga tidak dapat melakukan penyembuhan dengan vaksin kembali.
4. Transfer gen, perpindahan antigen ke dalam suplai makanan konvesional
melalui hibridisasi genetik atau kontaminasi produk dapat mengakibatkan
toleransi oral.
5. Dosis yang tidak konsisten, tidak tertentunya jumlah antigen tidak dapat
menghasilkan respon imun yang diperlukan untuk perlindungan terhadap
suatu penyakit.
Oleh karena itu, penggunaan dan pembuatan edible transgenic plant-made
vaccine sebaiknya dilakukan dengan bijaksana atau dapat diatur dalam suatu
peraturan tertentu yang berasal dari Pemerintah.
29
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari informasi tersebut antara
lain :
1. Teknologi rekayasa genetika pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan
suatu produk baru dengan kualitas yang lebih tinggi.
2. Tanaman transgenik merupakan salah satu produk hasil dari teknologi
rekayasa genetika, dimana proses pembuatannya melibatkan beberapa
tahapan tertentu, yaitu isolasi fragmen DNA transgen, pembuatan
rekombinan DNA dan kloning gen, transformasi molekul DNA
rekombinan ke dalam sel tanaman dan regenerasi tanaman.
3. Edible transgenic plant-made vaccine adalah salah satu aplikasi dari
tanaman transgenik yang diperlukan dalam bidang kesehatan dan sedang
berkembang saat ini. Salah satu contohnya adalah tanaman tomat sebagai
edible transgenic plant-made vaccine terhadap virus Hepatitis E.
4. Tahapan akhir dari pembuatan edible transgenic plant-made vaccine
adalah melakukan analisa dengan berbagai metode untuk membuktikan
bahwa transgen yang ada telah bertransformasi dengan gen dari jaringan
tanaman.
5. Seluruh produk hasil teknologi rekayasa genetika termasuk tanaman
transgenik, khususnya edible transgenic plant-made vaccine memiliki
beberapa kebaikan dan kelemahan tertentu. Sehingga proses
pengembangannya harus dapat dilakukan dengan bijaksana dan bahkan
diatur oleh suatu peraturan Pemerintah.
30
DAFTAR PUSTAKA
Berg, J.M, J.L. Tymoczko, L. Stryer. Biochemistry 5th Edition. W. H. Freeman
and Company and Sumanas, Inc.
Giddings, G., G. Allison, D. Brooks, A. Carter. 2000. Transgenic Plants as
Factories for Biopharmaceuticals. Nature America.
Kirk, D.D, K. McIntosh, A.M. Walmsley, R.K.D Peterson. 2005. Risk Analysis
for Plant Made Vaccines. Transgenics Research Spinger 2005.
Lehninger. 2005. Biochemistry 4th Edition.
Ma, Y., S.O Lin, Y. Gao, M. Li, W.X Luo, J. Zhang, N.S Xia. 2003. Expression
of ORF2 Partial Gene of Hepatitis E Virus in Tomatoes and
Immunoactivity of Expression Products. World Journal of
Gastroenterology.
Rybicki, E.P. 2009. Plant Produced Vaccines : Promise and Reality. Drug
Discovery Today Volume 14 Numbers ½.
Rybicki, E.P. 2010. Plant Made Vaccines for Humans and Animals. Plant
Biotechnology Journal Volume 8 pp. 620-637.
Sophie, S. Genetically Modified Organism (GMO) atau Transgenik. Yayasan
IDEP Foundation.
Wang, L. and H. Zhuang. 2004. Hepatitis E: An Overview and Recent Advances
in Vaccine Research. World Journal of Gastroenterology.
31
Recommended