View
225
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
Penyakit Parkinson Primer dan Penatalaksanaannya
Kelompok A8
Awalliantoni 10.2011.411
Natalia Hadina 10.2010.129
Gari kharisma 10.2010.131
Agung Haryanto 10.2010.207
Ratna Tri Permata 10.2010.265
Limanto putranata 10.2010.316
Novi Ayu Putri 10.2011.422
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1970, pekerja kantoran di seluruh dunia seringkali mengeluhkan iritasi
dari membran mukosa mereka, kelelahan, sakit kepala ketika mereka bekerja di dalam
gedung, yang gejalanya akan membaik dalam 10 menit sampai 1 jam ketika meninggalkan
gedung tersebut. Berdasarkan gejala-gejala ini, maka diberikanlah nama sick building
syndrome. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai msalah
kesehatan akibat lingkungan kerja yang berhubj.ungan dengan polusi udara, IAQ dan
buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Helath Organization ( WHO) tahun 1984
melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya
dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2
juta meninggal akibat diantaranya akibat indoor air pollution atau polusi udara di dalam
ruangan. Di Indonesia kasus Penyakit Akibat Kerja (PAK) ini masih belum banyak dapat
didiagnosis sehingga hampir tidak ada pelaporannya.
Oleh sebab itu pembuatan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui dan mulai
menyadari adanya penyakit akibat kerja, tujuh langkah mengenai diagnosis okupasi, apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhi dan juga bagaimana penatalaksanaan serta pencegahannya.
1
Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal
dari tempat kerja yaitu :
1. Faktor fisis :
a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja;
b. Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain
penyakit susunan darah dna kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah dapat
mengakibatkan katarak (cataract) kepada lensa mata, sedangkan sinar ultra
violet menjadi sebab konjungtivitis fotoelektrika.
c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), kejang
panas (heat cramps) atau hiperpireksia. Sedangkan suhu terlaluu rendah dapat
menyebabkan frostbite.
d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison
e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indra
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Faktor kimiawi :
a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis , di antaranya silikosis, abestosis dna
lainnya.
b. Uap yang di antaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever),
dermatosis (penyakit kulit) akibat kerja atau keracunan oleh zat toksis uap
formaldehida.
c. Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya.
d. Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit.
e. Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur dan
lainnya yang menimbulkan keracunan.
3. Faktor Biologis :
Misalnya bibit penyakit antraks atau bbrusella (brucella) yang menyebabkan
penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit.
4. Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap
badanyang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuaannya
menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat
terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.
2
5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan
industrial yang tidak baik, dengan akibat timbulnya misalnya depresi atau penyakit
psikosomatis.
Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi
Ada tujuh langkah untuk mendiagnosis suatu penyakit akibat kerja, yang disebut
dengan 7 langkah diagnosis okupasi. Diagnosis penyakit akibat kerja adalah landasan
terpenting bagi manajemen penyakit tersebut promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Diagnosis penyakit akibat kerja juga merupakan penentu bagi dimiliki atau tidak dimilikinya
hak atas manfaat jaminan penyakit akibat kerja yang tercakup dalam program jaminan
kecelakaan kerja. Sebagaimana berlaku bagi smeua penyakit pada umumnya, hanya dokter
yang kompeten membuat diagnosis penyakit akibat kerja. Hanya dokter yang berwenang
menetapkan suatu penyakit adalah penyakit akibat kerja. Tegak tidaknya diagnosis penyakit
akibat kerja sangat tergantung kepada sejauh mana metodologi diagnosis penyakit akibat
kerja dilaksanakan oleh dokter yang bersangkutan.1
Cara menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai kekhususan apabila
dibandingkan terhadap diagnosis penyakit pada umumnya. Untuk diagnosis penyakit akibat
kerja, anamnesis dan pemeriksaan klinis serta laboratoris yang biasa digunakan bagi
diagnosis penyakit pada umumnya belum cukup, melainkan harus pula dikumpulkan data dan
dilakukan pemeriksaan terhadap tempat kerja, aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerja guna
memastikan bahwa pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab penyakit akibat kerja
yang bersangkutan. Selain itu, anamnesis terhadap pekerjaan baik yang sekrang maupun pada
masa sebelumnya harus dibuat secara lengkap termasuk kemungkinan terhadap terjadinya
paparan kepada faktor mekanis, fisik, kimiawi, biologis, fisiologis/ergonomis, dan mental-
psikologis.
1. Diagnosa klinis
a. Anamnesis penyakit
Menanyakan sejak kapan gejala muncul
Apakah sakit semakin membaik ataupun memberat
3
Adakah keluhan tambahan
Apakah mempunyai sakit menahun
Menanyakan apakah seorang perokok dan sejak kapan merokok
Menanyakan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama
Menanyakan adakah keluhan yang dialami seperti batuk berdarah, dahak
banyak.1
b. Anamnesis riwayat pekerjaan
Berapakah lama waktu kerja dalam sehari
Sudah berapa lama bekerja sekarang
Riwayat pekerjaan sebelumnya
Alat kerja, bahan kerja, proses kerja
Barang yang diproduksikan/dihasilkan
Kemungkinan pajanan yang dialami
APD (Alat Pelindung Diri) yang dipakai
Hubungan gejala dan waktu kerja
Adakah pekerja lain ada yang mengalami hal sama1
Anamnesis tentang riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan dimaksudkan untuk
mngetahui kemungkinan salah satu faktor di tempat kerja, pada pekerjaan dan atau
lingkungan kerja menjadi penyebab penyakit akibat kerja. Riwayat penyakit meliputi antara
lain awal-mula timbul gejala atau tanda sakit pada tinggkat dini penyakit, perkembangan
penyakit, dan terutama penting hubungan antara gejala serta tanda sakit dengan pekerjaan dan
atau lingkungan kerja.1
Riwayat pekerjaan harus ditanyakan kepada penderita dnegan seteliti-telitinya dari
pemrulaan sekali smapai dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya
mencurahkan perhatian pada pekerjaan yangg dilakukan waktu sekarang, namun harus
dikumpulkan informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit
akibat kerja yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari
pekerjaan terdahulu. Hal ini lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Buatlah tabel yang secara kronologis memuat wkatu ,
perusahaan, tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau
lingkungan kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan kuestioner
yang direncanakan dengan tepat sangat membantu.1
4
Perhatian juga diberikan kepada hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala
dan tanda penyakit. Pada umumnya gejala dna tanda penyakit akibat kerja berkurang, bahkan
kadang-kadang hilang sama sekali, apabila penderita tidak masuk bekerja; gejala dan tanda
itu timbul lagi atau menjaid lebih berat, apabila ia kembali bekerja. Fenomin seperti itu
sangat jelas misalnya pada penyakit dermatosis akibat kerja atau pada penyakit bissinosis
atau asma bronkhiale akibat kerja atau lainnya. Informasi dan dan data hasil pemeriksaan
kesehatan khusus sangat penting artinya bagi keperluan menegakkan diagnosis penyakit
akibat kerja. Akan lebih mudah lagi menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, jika
tersedia data kualitatif dan kuantitatif faktor-faktor dalam pekerjaan dan lingkungan kerja
yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja.1
c. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan umum dan khusus
Pemeriksaan fisik dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang sesuai
untuk suatu sindrom, yang sering-sering khas untuk suatu penyakit akibat kerja.
Kesadaran
TTV(tanda-tanda vital) berupa tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan
frekuensi napas.
Tinggi dan berat badan
Kepala dan muka : rambut, mata (strabismus, refleks pupil, kornea dan
konjungtiva), hidung (mukosa, penciuman, epistaksis, tenggorokan, tonsil,
suara), rongga mulut (mukosa, lidah, gigi), leher (kelenjar gondok), toraks
(bentuk, pergerakan, paru, jantung), abdomen (hati, limpa), genetalia,
tulang punggung, ekstremitas(refleks:fisiologis/patologis, koordinasi otot :
tremor, tonus, paresis, paralisis dan lain-lain).
d. Pemeriksaan penunjang : laboratorium, rontgem, spirometer, audiometer, dsb.
Pemeriksaan laboratoris dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya
penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan ada dalam tubuh tenaga kerja
yang menderita penyakit tersebut. Guna menegakkan diagnosis penyakit akibat
kerja, biasanya tidak cukup sekedar pembuktian secara kualitatif yaitu tentang
adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus ditunjukkan juga banyaknya
atau pembuktian secara kuantitatif. Pemeriksaan laboratoris berupa pemeriksaan
darah, urin, tinja, serta pemeriksaan tambahan /monitoring biologis berupa
pengukuran kadar bahan kimia penyebab sakit di dalam tubuh tenaga kerja
misalnya kadar dalam urin, darah dna sebagainya.
5
Pemeriksaan rontgen (sinar tembus) sering sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang disebabkan
penimbunan debu dalam paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya sinar tembus
baru ada maknanya jika dinilai dengan riwayat penyakit dan pekerjaan serta hasil
pemeriksaan lainnya dan juga data lingkungan kerja.
e. Pemeriksaan tempat kerja : misalnya kelembaban, kebisingan, penerangan.
Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan adanya
faktor penyebab penyakit di tempat atau ruang kerja serta mengukur kadarnya.
Hasil pengukuran kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk
melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat sebagai
penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau tidak untuk menyebab sakit.
Meliputi faktor lingkungan kerja yang dapat berpengaruh terhadap skait penderita
(faktor fisis, kimiawi, biologis, psikososial), faktor cara kerja yang dapat
berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses produksi, ergonomi),
waktu paparan nyata (per hari, perminggu) dan alat pelindung diri.
2. Pajanan yang dialami
Meliputi pajanan saat ini dan sebelumnya. Informasi ini diperoleh terutama dari
anamnesis yang teliti. Akan lebih baik lagi jika dilakukan pengukuran lingkungan
kerja.
3. Hubungan pajanan dengan penyakit
Untuk mengetahui hubungan pajanan dengan penyakit dilakukan identifikasi pajanan
yang ada. Evidence based berupa pajanan yang menyebabkan penyakit. Kemudian
perlu diketahui hubungan gejala dan waktu kerja, pendapat pekerja (apakah
keluhan/gejala ada hubungan dnegan pekerjaan).
4. Pajanan yang dialami cukup besar
Mencari tahu patofisiologis penyakitnya, bukti epidemiologis, kualitatif beurpa cara
atau proses kerja, lama kerja, lingkungan kerja. Kemudian dilakukan observasi tempat
dan lingkungan kerja, pemakaian APD, serta jumlah pajanan berupa data lingkungan,
data ,monitoring biologis serta hasil surveilans.
5. Peranan faktor individu
Berupa status kesehatan fisik adakah alergi /atopi, riwayat penyakit dalam keluarga,
serta bagaimana kebiasaan berolah raga, status kesehatan mental, serta higine
perorangan.
6. Faktor lain di luar pekerjaan
6
Adakah hobi, kebiasaan buruk (misalnya merokok) pajanan di rumah serta pekerjaan
sambilan yang dapat menjadi faktor pemicu penyakit yang diderita.
7. Diagnosis okupasi
Diagnosis okupasi dilakukan dengan meneliti dari langkah 1-6, referensi atau bukti
ilmiah yang menujukkan hubungan kausal pajanan & penyakit.
Berdasarkan skenario, maka didapatkan :
1. Diagnosis Klinis
Anamnesis
o Nama : Tuan P.
o Umur : 28 tahun.
o Pekerjaan : Pegawai keuangan sudah 2 tahun bekerja.
o Alamat : Pasar Rebo.
o Keluhan Utama : sering sakit kepala dan cepat lelah sejak 3 bulan terakhir.
o Keluhan tambahan : mengeluh batuk pilek berulang, mata panas, iritasi
hidung, mudah mengantuk, tenggorokan iritasi
o Riwayat Penyakit Sekarang : Tuan P berumur 28 tahun datang dengan
mengeluh sering sakit kepala dan cepat lelah sejak 3 bulan terakhir, juga
mengalami batuk pilek berulang, mata panas, iritasi hidung, mudah
mengantuk, tenggorokan iritasi, serta tidak demam.
o Riwayat Penyakit Dahulu : dulu sudah pernah tetapi hilang saat cuti
o Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada hipertensi, tidak ada diabetes, dan tidak
ada alergi.
o Riwayat Sosial : pasien bekerja di perkantoran dengan AC sentral selama 8
jam/ hari tanpa istirahat yang cukup.
Pemeriksaan Fisik
o TTV :
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Tekanan Darah : 110/70
Suhu bdan : 360C
o Status gizi :
Tinggi badan : 160 cm
7
Berat badan : 56 kg
Bentuk badan : atletikus
IMT : 21,9 kg/m2
o Tingkat kesadaran dan keadaan umum :
Kesadaran : compos mentis
Tidak tampak kesakitan
o PF kepala, mata,dada, paru-paru, jantung, pemeriksaan saraf : batas normal.
2. Pajanan yang dialami
a. Fisik :
o Pencahayaan : pencahayaan pada kantor yang terlalu terang atau terlalu redup
dapat mempengaruhi keadaan pekerja, kelelahan mata pasien karena bekerja
dengan computer terus-menerus.
o Suhu : suhu ruangan dapat panas atau terlalu dingin. Suhu udara yang tidak
nyaman bagi pekerja mempengaruhi kinerja dan kesehatan pekerja. Ruangan yang
terlalu dingin dapat menyebabkan pekerja mudah terkena flu. Atau terlalu panas
dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pekerja.
o Kelembaban: manusia dapat berkerja nyaman pada suhu 20-26 derajat celcius
dengan kelembapan 40-60%. Suhu ruangan dapat mempengaruhi secara langsung
saraf sensorik membrane mukosa dan kulit serta dapat memberikan respon
neurosensoral secara tidak langsung yang menyebabkan perubahan sirkulasi darah.
Kelembapan dapat mempengaruhi SBS dan terdapat hubungan significan antara
udara kering, lembap, suhu dengan gejala membrane mukosa. Polutan kimia dan
partikel pada kelembapan rendah dapat menimbulkan kekeringan, iritasi mata serta
saluran nafas dan kelembapan diatas 60% dapat menyebabkan sesak dan kelelahan.
Kelembapan yang terlalu tinggi juga memicu pertumbuhan jamur.
o Bising CPU : serupa dengan keadaan diatas, bising yang ditimbulkan CPU
membuat suasana tidak nyaman bagi pekerja, terutama yang bekerja dengan
computer seharian.
o Radiasi elektromagnetis: Radiasi elektromagnetis yang terdapat pada komputer itu
menyebabkan kelelahan pada mata dan akibatnya akan sering untuk mengucek
mata, yang akan menyebabkan laserasi pada mata. Makanya perlu dilakukan
istirahat pada mata sejenak untuk menenangkan mata tersebut supaya mata tidak
terlalu lelah. Mungkin radiasi elektromagentis juga memancarkan radiasinya secara
8
tidak langsung ke otak sehingga mengurangi oksigen di otak dan menyebabkan
sakit kepala.
b. Kimia
Pajanan kimia yang dialami pekerja dapat berasal dari: bahan kimia printer dan
juga bahan kimia mesin fotokopi, juga bisa kimia pada cat yang terdapat pada dinding
gedung, kemudian juga bisa berasal dari asap rokok yang sangat menganggu sirkulasi
udara di kantor. Kimia yang terdapat pada pembersih lantai pada gedung tersebut juga
kebanyakan mengandung formaldehid yang menyebabkan pusing atau sakit kepala
akibat ketidakseimbangan cairan endolymph di telinga bagian dalam, mual muntah
terhadap orang yang sensitive terhadap formaldehida, formaldehida sangat beracun dan
dapat mempengaruhi reseptor peregangan paru-paru yang berfungsi membantu
mengatur pola pernapasan, kemudian juga bisa menyebabkan mata telinga leher yang
mungkin akan mengalami sensasi terbakar saat terpapar formaldehid tersebut, iritasi
kulit pun mungkin akan terjadi apabila terkena zat-zat toksik seperti formaldehida.
Pajanan kimia juga bisa berupa karbon dioksida, karbon monoksida, aseton, alcohol dan
gas organic lainnya yang merupakan polutan yang dapat dikeluarkan oleh pekerja
kantor melalui pernapasan dan keringat. 2
c. Biologi
Berbagai virus, jamur bakteri bisa ditularkan melalui gedung yang sudah lama
berdirinya, kelembapan yang makin bertambah, kemudian kesehatan para pekerja lain
yang menularkan virus kepada sesame pekerjanya. AC sentral mungkin bisa juga ada
bakteri legionellanya disana dan menyebabkan flu atau demam tinggi bahkan sampai
pneumonia.
d. Ergonomi
Sikap bungkuk yang menghadap ke depan komputer, kemudia leher menunduk,
gerakan berulang pada jari-jari tangan bisa menyebabkan orang itu lelah, kemudian
bisa juga mengalami low back pain atau karena gerakan tangan yang terus menerus
menimbulkan Carpal Tunnel Syndrome yang merupakan kondisi medis dimana saraf
median dikompresi di pergelangan tangan, menyebabkan parastesia, mati rasa,
parastesia dan kelemahan otot di tangan.
e. Psikososial
9
Bapak itu merasa lelah, monoton sehingga kurang oksigen terhadap hal
pekerjannya dan kemudia sakit kepala akibatnya pekerjannya tidak dapat terselesaikan
dengan baik. Bekerja pada usia muda yang mempunyai beban tersendiri. Jam kerja
berlebihan dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Pekerjaan yang monoton yakni bagian
membuat laporan keungan, memfotokopi berkas,print berkas dimana waktu dihabiskan
di depan komputer dan menyebabka kelelahan dan kejenuhan pada pekerja.
3. Hubungan Pajanan dengan Penyakit
Langkah-langkah untuk menentukan hubungan pajanan dengan penyakit terdiri atas:
a) Identifikasi pajanan yang ada:
Pasien seorang pria yang bekerja di gedung perkantoran, jam kerja pasien 8 jam
dan semuanya dihabiskan di dalam ruangan dingin, pasien bekerja di gedung
bertingkat yang dipastikan menggunakan AC sentral, pasien sudah bekerja di
gedung perkantoran tersebut cukup lama sekitar 2 tahun.
b) Evidence based dari pajananpenyakit
Menurut Environmental Protection Agency (EPA), istilah "Sick Building
Syndrome" (SBS) digunakan untuk menggambarkan situasi di mana penghuni
bangunan mengalami kesehatan akut dan efek kenyamanan yang tampaknya
terkait dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, tetapi tidak ada
yang spesifik penyakit atau penyebab dapat diidentifikasi.
Secara patofisiologi belum ada literature yang menuliskan secara rinci, akan tetapi
berbagai jurnal telah menulis, sebagai berikut :
1. Pasien sudah bekerja di gedung perkantoran selama 2 tahun dengan 8 jam
kerja dan duduk lama di depan komputer
2. 30% Pekerja perkantoran dengan poor air quality (ventilasi buruk) mengalami
gejala-gejala seperti SBS
3. Bekerja terlalu lama dengan computer dapat menyebabkan kelelahan mata dan
mengakibatkan keluhan sakit kepala.
4. Kemudian dipastikan pula apakah dia kalau hari libur kerja itu gejalanya
menghilang atau tidak.3
4. Dipastikan juga gejala atau keluhan dia bukan penyebab aktivitas dia di luar atau riwayat
alergi sang pasien Pajanan Cukup Besar?
Pajanan yang terjadi pada pasien cukup besar, hal ini dibuktikan dengan :
Waktu terpapar pajanan
10
Mengingat bahwa pajanan terjadi setiap hari selama 8 jam dan sudah terjadi
selama 5 tahun.
Perlu dikonfirmasikan juga apakah teman sekerja pasien ada yang mengalami hal
yang sama atau tidak.
5. Faktor Individu
- Dari hasil anamnesis tidak ditemukan riwayat alergi, dan sebagainya.
6 Faktor Lain di Luar Pekerjaan
Faktor lain diluar pekerjaan antara lain:
1. Hobi: suka membaca buku dan nonton TV tidak lebih dari 2 jam
2. Kebiasaan
3. Pajanan di rumah
7. Diagnosis Okupasi
Dari hasil kaji dapat yang didapat dengan anamnesis pasien dan melihat evidence based
yang ada dapat dipastikan bahwa pasien ini menderita Sick Building Syndrome.
Alasan mengapa pasien ini didiagnosis menderita Sick Building Syndrome adalah
a) Pajanan yang pasien terima selama bekerja merupakan factor yang terbukti secara
penelitian dapat menyebabkan Sick Building Syndrome
b) Pasien tidak mempunyai riwayat alergi sehingga diagnosis alergi dapat ditolak
c) Hari libur kerja memperingan bahkan menghilangkan keluhan pasien tersebut
d) Gedung yang lama dan bukti-bukti mengenai paparan fisik, kimia biologi
ergonometric, psikososial yang dialami menunjukkan ke arah diagnosis sick building
syndrome
Diagnosis Okupasi
Dari data-data khasus terlihat dari gejala-gejalanya maka diagnosis okupasi yang diambil
adalah Sick Building syndrome.
Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung
atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan
11
dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau
penyebab khusus yang dapat diidentifikasi.
Terdapat dua komponen diagnosis SBS, pertama apakah gejala terjadi pada satu atau
beberapa pekerja dalam gedung yang sama dan kedua adalah gejala muncul saat berada di
dalam gedung dan menghilang bila berada di luar gedung. Sick building syndrome bukan
penyakit tunggal yang dapat didiagnosis segera pada pekerja di dalam gedung. Asma, rinitis
dan konjungtivitis alergi adalah penyakit alergi yang mempunyai gejala sama dengan SBS.
Sakit kepala dan lethargy merupakan gejala nonspesifik yang dapat terjadi pada sebagian
besar penyakit dan dapat berkaitan dengan pajanan okupasi. Pengenalan gejala, pemeriksaan
fisik serta laboratorium bila tersedia merupakan langkah awal dalam mendiagnosis dan
penatalaksanaan SBS bertujuan untuk menyingkirkan kondisi lain yang mempunyai gejala
sama.3
Pekerja dengan SBS lebih sensitf terhadap stimuli dibandingkan dengan pekerja tanpa
SBS. Keluhan wheezing dan atau dada tertekan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan
peakflow meter atau spirometri sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak
ditemukan kelainan maka tidak terdapat penyakit. Waktu saat timbulnya penyakit merupakan
salah satu faktor penting pada SBS. Beberapa metode dapat digunakan untuk membantu
dalam mendiagnosis SBS.3
Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor penyebab SBS. Stres akibat
lingkungan kerja mekanismenya belum jelas diketahui, diduga karena tidak ada
keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan. Stres merupakan gabungan antara
beban kerja di kantor dengan lingkungan sosial dan faktor ini dapat memberikan fenomena
fisiologis maupun psikologis. Kuantitas kerja dapat menghambat kenyamanan bekerja dan
berperan pada iritasi mukosa dan keluhan umum lainnya. Hal ini merupakan indikator tidak
langsung akibat stres kerja.3
Patofisiologi
Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia bahwa
volatile organic compounds (VOCs) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon
monoksida atau formalehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi
respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan
12
asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin,
degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi.
Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas,
peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh
bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel.
Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat
dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.6
Hipotesis ke dua adalah hipotesis bioaerosol; penelitian cross sectional menunjukkan
bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs
konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah faktor pejamu,
yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.6 Stres karena pekerjaan dan
faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS. Building related illness (BRI)
berbeda dengan SBS, adalah suatu penyakit yang dapat didiagnosis dan diketahui
penyebabnya berkaitan dengan kontaminasi udara dalam gedung.6
Indikator Sick Building Syndrome
Indikator Sick Building Syndrome yaitu:
1. Penghuni gedung mengeluh sakit kepala, iritasi mata, hidung atau tenggorokan, batuk
kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan dalam berkonsentrasi,
kelelahan dan peka terhadap bau.
2. Penyebab dari gejala tidak diketahui.
3. Sebagian besar pengadu melaporkan lega segera setelah meninggalkan gedung.
Sedangkan indikator sakit yang disebabkan oleh kondisi bangunan yaitu:
1. Penghuni gedung mengeluhkan gejala seperti batuk, dada sesak, demam, menggigil
dan nyeri otot.
2. Gejala-gejala dapat didefinisikan secara klinis dan telah diidentifikasi penyebabnya
secara jelas.
3. Penghuni gedung mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah
meninggalkan gedung
Gejala Sick Building Syndrome
Para penghuni gedung umumnya mengalami gejala Sick Building Syndrome yang
bervariasi. Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di
dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk-batuk
kering, sakit kepala, iritasi di mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal,
13
badan lemah, kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi.
dan lain-lain. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu.
Keluhan-keluhan tersebut biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa
mengganggu dan yang penting, amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang.
Sick Building Syndrome baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan sampai
50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua
atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa. Keluhan atau gejala Sick
Building Syndrome dibagi dalam kategori sebagai berikut:
Kelainan Gejala
Iritasi membran mukosa Iritasi mata, hidung, dan
tenggorokan
Gejala neurologis Nyeri kepala
Kelelahan
Sulit konsentrasi
Cepat marah
Gejala menyerupai asma Dada terasa tertekan
Wheezing
Gangguan kulit Kulit kering
Iritasi kulit
Gejala gastrointestinal Diare
Tabel 1. Gejala dan tanda SBS3
Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan
sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan
kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang,
pegal-pegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.
Faktor Risiko
Kategori Faktor
Faktor bangunan/ gedung - Kontaminan :
1. Volatile organic compounds
2. Environmental Tobacco Smoke (ETS)
14
3. Formaldehyde
4. Odors
5. Debu organic
6. Debu inorganic
7. Agent microbial
8. Gas-gas seperti CO, CO2, NO2, O3, SO2
9. Kontaminan lainnya
- Ventilasi udara bersih yang tidak adekuat
- Sistim ventilasi sentral tanpa oparable-window
- Kenaikan atau penurunan kelembapan
- Suhu tinggi
- Karpet
- Bising
- pencahayaan
Faktor Host atopi
pemakaian kontaks lens
perempuan
keadaan psikologi
Faktor Pekerjaan - stress kerja
- kurangnya control pada pekerjaan/ lingkungan
- ketidakpuasan terhadap supervisor
- jam kerja berlebih
Tabel 2. Faktor Resiko Sick Building Syndrome
1. Meskipun penyebab spesifiknya masih belum diketahui, berikut adalah hal-hal yang
dianggap dapat menyebabkan Sick Building Syndrome, biasanya berhubungan dengan
ketidaksesuaian temperatur, kelembaban, serta pencahayaan dalam suatu bangunan.7
2. Kontaminasi polutan kimia dari luar:
Udara dari luar yang masuk ke dalam gedung dapat menjadi salah satu sumber polusi
dalam suatu gedung. Polusi dari asap pembuangan sepeda motor, pipa udara, dan
saluran pembuangan dalam gedung (kamar mandi dan dapur) dapat berpengaruh pada
15
kondisi kesehatan udara dalam bangunan yang memiliki sistem ventilasi udara yang
buruk.
3. Kontaminasi polutan kimia dari dalam:
Sebagian besar polutan berbahaya yang terdapat dalam suatu bangunan memang
berasal dari dalam bangunan itu sendiri, di antaranya dari material pelapis bangunan,
karpet yang berdebu, mesin fotokopi, furnitur maupun alat pembersih yang
mengandung bahan kimia berbahaya yang termasuk Volatile Organic Compound
(VOC), misalnya formaldehyde. Selain itu, asap rokok, kompor, maupun alat
pemanas lainnya juga dapat menjadi sumber polutan kimia yang berbahaya dari
tubuh. Berdasarkan penelitian, jenis-jenis polutan tersebut dalam konsentrasi yang
tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan akut, selain itu juga mengandung
karsinogen yang merupakan penyebab kanker.8
4. Kontaminasi polutan biologis:
Polutan biologis termasuk di dalamnya adalah serbuk sari, bakteri, virus, serta lumut.
Polutan-polutan ini dapat hidup dan berkembang dalam air menggenang dan ruangan
yang lembab. Apabila terkontaminasi, dapat menyebabkan demam, badan menggigil,
batuk, sesak napas, pegal-pegal, ataupun reaksi alergi.
5. Sistem tata udara yang kurang baik:
Pada tahun 1970-an, embargo minyak dunia membuat para arsitek mulai membuat
bangunan yang lebih kedap dari udara luar, dengan ventilasi ke luar bangunan yang
lebih sedikit. Hal ini antara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Pengurangan ventilasi udara ke luar ini diketahui, dalam banyak kasus, berpengaruh
besar terhadap penurunan kondisi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan
tersebut. 7
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan/atau menghilangkan sumber
kontaminasi penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan
keluhan meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan
pekerjaan. Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara,
membuka jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam
gedung, pendidikan dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.18 Laju
ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/ orang.
Jendela atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan
16
membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan
ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. Larangan
merokok di ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi dan
arsitektur gedung yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah
lingkungan, merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai
penyebab tersering SBS. Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan
pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS.
Medika mentosa
Pengobatan dilakukan berdasarkan simptom:
Decongestan: membantu melancarkan pernafasan dan pengeluaran mucus atau
lendir dari hidung.
Dextromethorpan atau ambroxol: membantu mengeluarkan dahak atau
mengencerkan dahak.
Paracetamol, ibuprofen, aspirin: demam, sakit kepala dan nyeri seluruh badan.
Antibiotik erythromycin: untuk penyakit seperti Legionnaire.5,7
Non-medika mentosa
1. Menghilangkan sumber kontaminasi penyebab SBS, misalnya dengan
pembersihan AC secara berkala
2. Jangan merokok, karena dapat memperberat penyakit
3. Menghilangkan sumber polutan. Jika suatu gedung telah dinyatakan telah terkena
SBS, maka perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari sumber
polutan yang dominan. Setelah sumber tersebut ditemukan, maka langkah
selanjutnya adalah menghilangkan sumber polutan tersebut.
4. Meningkatkan laju pertukaran udara. Ini dapat dilakukan dengan melakukan
modifikasi terhadap sistem ventilasi yang telah ada disesuaikan dengan standar
baku yang telah ada.
5. Membersihakan udara yang disirkulasikan di dalam gedung. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan filter yang dapat menyaring udara, meskipun
sangat terbatas.
6. Menjaga temperature dan kelembapan ruangan dalam rentang dimana kontaminasi
biologis susah bertahan hidup. Biasanya dalam temperature 70oF dan kelembapan
40-60%.
7. Jendela sedapat mungkin dibuka untuk membantu proses pertukaran udara dalam
dan udara luar.
17
Pencegahan Sick Building Syndrome
Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal
diikuti dengan upaya agar suasana lingkungan udara di gedung tempat kerja menjadi lebih
sehat. Yang perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menghindari suatu gedung menjadi penyebab sindrom gedung sakit ini.
Ternyata upaya pencegahannya cukup luas, menyangkut bagaimana gedung itu dibangun,
bagaimana desain ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat-
alat dan lain-lain.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Umumnya penderita Sindrom Gedung Sakit akan sembuh apabila keluar dari dalam
gedung tersebut, gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat
simtomatis (obat-obat penghilang gejala penyakit).
2. Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan
terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini
perlu diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan
sumber-sumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk
ke dalam gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian
rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply
udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan, demikian pula
harus diperhatikan jumlah supply udara segar yang cukup apabila ada penambahan-
penambahan karyawan baru dalam jumlah yang signifikan.
3. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih
ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih
ramah lingkungan (green washing, non toxic, natural, ecological friendly).
4. Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam
satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian
ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai.
5. Jangan asal membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus menerus menambah jumlah
orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak.
6. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotocopy,
diletakkan dalam ruangan terpisah.
Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru,
agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic compounds
18
(VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari bahan-bahan bangunan
baru dapat segera dibuang.
Diagnosis Banding
Legionnaire’s Disease
Penyakit Legionnaire adalah jenis pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Biasanya
mendapatkannya dengan bernapas dalam kabut dari air yang mengandung bakteri. Kabut
dapat berasal dari kolam air panas, mandi atau AC unit untuk bangunan besar. Bakteri tidak
menyebar dari orang ke orang.
Penyakit ini termasuk kedalam suatu Building Related Illness, BRI, adalah suatu
penyakit yang pada pekerja, akan tetapi tidak sama dengan SBS. Pada BRI berbeda dengan
SBS, hal ini terlihat pada penyebab BRI itu sendiri. Etiologi SBS tidak diketahui, hanya
factor risikonya saja, sedangkan etiologi BRI sudah teridentifikasi, salah satunya adalah
bakteri Legionella pneumophila. Pada BRI didapatkan gejala yang lebih berat. Berikut adalah
indicator penyakit BRI :
Penghuni bangunan mengeluhkan gejala seperti batuk, sesak dada, demam,
menggigil, dan nyeri otot
Gejala klinis dapat didefinisikan dan memiliki penyebab yang jelas diidentifikasi.
Pengadu mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah meninggalkan
gedung.
Gejala penyakit Legionnaire termasuk demam, menggigil, batuk dan nyeri otot dan
sakit kepala kadang-kadang. Jenis lain dari pneumonia memiliki gejala yang sama. Anda
mungkin akan memerlukan x-ray dada untuk mendiagnosis pneumonia. Tes laboratorium
dapat mendeteksi bakteri tertentu yang menyebabkan penyakit legionnaire.4
Bukan saja menginfeksi paru, tetapi pada kasus lebih serius dapat menyebar ke
jantung. Bentuk lebih mild dari legionnaire adalah Pontiac fever yang dapat sembuh sendiri
tanpa tatalaksana. Paling umum, Penyakit bangunan wabah hasil dari aerosol yang
terkontaminasi, biasanya disebarkan dalam sistem ventilasi dari menara pendingin, kondensor
yang menguapkan, dan sistem pendingin udara. Sumber lain dari aerosol termasuk air mancur
hias,dan bak pusaran air panas. Spesies Legionella dapat kultur sampai 40% dalam menara
pendingin, meskipun infeksi yang berasal dari paparan aerosol dilaporkan jarang. Bakteri
Legionella berkembang dalam sistem air dipertahankan pada suhu hangat antara sekitar 26,7
° C (80 ° F) dan 48,9 ° C (120 ° F). Pembersihan dan perawatan sumber-sumber potensial
sangat penting dalam mencegah wabah Legionnaires’s disease.2,5
19
Kesimpulan
Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni
gedung atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang
dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat
penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi.
Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara
ruangan yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan
gedung, distribusi udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi
(indoor air quality).
Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan
sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan
kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang,
pegalpegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.
20
Keluhan umumnya dapat ditangani secara simtomatis yang seyogyanya diikuti dengan
upaya menyehatan lingkungan di dalam gedung. Faktor pencegahan mempunyai peran yang
amat penting. Secara umum cara pencegahan pada dasarnya berupa turut sertanya
perhitungan di bidang kesehatan dalam membangun, menata dan merawat suatu gedung.
Gedung-gedung bertingkat dengan sistim AC sentral sudah mulai menjamur di kota-kota
besar negara kita dan masalah sindrom gedung sakit ini cepat atau lambat akan kita hadapi
dalam praktek sehari-hari.
Daftar Pustaka
1. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick
building sindrome. Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005.
2. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS,
Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation
management and prevention. 5th ed. London: WB Saunders;2002. Page 241-55.
3. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Jakarta: Med J Indones; 2002.
Page 124-31.
4. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building
syndrome headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003. Page
171-2.
21
5. Fischman ML. Current Occupational & Environmental Medicine. Ed. 4. New York :
Mc Graw Hill ; 2007. Page 718-719.
6. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health
Perspect 2002. Page 663-7.
7. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms
in relation to chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup
Environ Health 2004. Page 461-70.
22
Recommended