View
239
Download
10
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Fraktur Metakarpal adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner Suddarth.2002) atau fraktur yang terjadi
pada ujung jari karena trauma pada sendi interfalang, atau terjadi pada metacarpal
karena karena tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal dan
dislokasi basis metacarpal I (Arief Mansjoer.2000)
Berdasarkan jenisnya fraktur metacarpal dibagi menjadi 3, yaitu: Baseball
Finger (Mallet Finger), Boxer Fracture (Street Fighter’s Fracture), dan Fracture
Bennet
Jenis-jenis fraktur metakarpal :
1. Baseball Finger (Mallet Finger)
Baseball finger (Mallet finger) merupakan fraktur dari basis falang
distal pada insersio dari tendon ekstensor. Ujung jari yang dalam keadaan
ekstensi tiba-tiba fleksi pasif pada sendi interfalang distal karena trauma,
sehingga terjadi avulsi fragmen tulang basis falang distal pada insersi tendon
ekstensor jari.
Umumnya cedera atletik, Mallet Finger terjadi ketika sendi terluar dari
jari terluka. Pemain basket dan baseball secara rutin mengalami jammed finger,
tapi cedera dapat terjadi karena crush accident pada pekerjaan atau bahkan
karena jari terpotong saat bekerja di dapur.
1. MANIFESTASI KLINIS :
Pasien tidak dapat melakukan gerakan ekstensi penuh pada ujung distal
falang. Ujung distal falang selalu dalam posisi fleksi pada sendi interfalang
distal dan terdapat hematoma pada dorsum sendi tersebut.
2. DIAGNOSIS :
Dalam banyak kasus, dokter akan menganjurkan foto rontgen agar dapat
mengetahui adanya fraktur utama dan sendi-sendi yang malalignment.
3. PENATALAKSANAAN :
Dilakukan imobilisasi menggunakan gips atau metal splinting dengan
posisi ujung jari hiperekstensi pada sendi interfalang distal sedangkan sendi
interfalang proksimal dalam posisi sedikit fleksi (Mallet splint).
\
2. Boxer Fracture (Street Fighter’s Fracture)
Boxer fracture (street fighter’s fracture) merupakan fraktur kolum
metakarpal V, dan posisi kaput metakarpal angulasi ke volar/palmar. Terjadi pada
keadaan tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal.
1. MANIFESTASI KLINIS :
Terdapat bengkak, perubahan warna kulit dan disertai memar disekitar
tempat yang terluka. Ketika mengepal, jari yang patah akan lebih bengkok kearah
ibu jari, terdapat misalignment.
2. DIAGNOSIS :
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memeriksa posisi jari dan kondisi
kulit. Pemeriksaan bisa mencakup beberapa berbagai tes gerakan dan penilaian
rasa di jari. Ini akan memastikan bahwa tidak ada kerusakan pada saraf. Sinar-X
mengidentifikasi lokasi dan luasnya fraktur.
3. PENATALAKSANAAN :
Reposisi tertutup dengan cara membuat sendi metakarpofalangeal dan
interfalang proksimal dalam keadaan fleksi 90°, kaput metakarpal V didorong ke
arah dorsal, lalu imobilisasi dengan gips selama 3 minggu
.
3. Fracture Bennet
Fraktur Bennet merupakan fraktur dislokasi basis metakarpal I.
1. MANIFESTASI KLINIS :
Tampak pembengkakan di daerah karpometakarpal (CMC) I, nyeri tekan,
dan sakit ketika digerakkan.
2. DIAGNOSIS :
Seorang dokter harus mengkonsulkannya secepat mungkin.
Pembengkakan yang berkelanjutan dapat membuat tulang lebih sulit untuk
diluruskan kembali. Pengobatan tertunda akan membuat fraktur jauh lebih sulit
untuk diobati dan dapat menyebabkan hasil yang buruk. Padded splint dapat
digunakan untuk mencegah tulang dari bergerak lebih jauh keluar dari alignment.
Dokter akan memeriksa cedera, mengambil riwayat medis, dan
memerintahkan untuk mengambil sinar-X dari cedera.
3. PENATALAKSANAAN :
Dilakukan reposisi tertutup dengan cara melakukan ekstensi dan abduksi
dari ibu jari tangan, diimobilisasi. Kadang-kadang pada keadaan yang tidak
stabil, perlu reposisi terbuka dengan kawat Kirschner atau dilakukan reposisi
tertutup di bawah C arm dan diikuti dengan asi dengan memakai wire
(percutaneus pinning).
B. Etiologi Fraktur
Setiawan et al (2000, hal 112) menjelaskan bahwa fraktur dapat terjadi karena hal
berikut:
Karena adanya tekanan yang menimpa tulang lebih besar dari daya tahan tulang
Karena tulang yang sakit, dinamakan fraktur Patologik ialah kelemahan tulang akibat
penyakit kanker atau osteoporosis.
C. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan fraktur yang
menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan gerak, gangguan keseimbnangan dan
nyeri. Nyeri disalurkan ke susunan syaraf pusat oleh dua sistem syaraf yang disebut
nociceftor, nociceftor ini distimulasi secara langsung dengan adanya kerusakan pada
sel. Nociceptor tersebut adalah zat-zat kimia seperti bradikinin, histamin,
prostaglandin dan sirotinin. Zat-zat kimia tersebut adalah suatu asam amino yang
dapat menyebabkan vaso dilatasi yang kuat dan meningkatkan permiabilitas kapiler,
kontraksi otot halus dan menstimulus reseptor. Impuls-impuls nyeri disalurkan ke
sum-sum tulang belakang oleh dua jenis serabut: Serabut serabut yang bermyelin
rapat serabut A-delta, serabut serabnuit lamban serabut C.
Nyeri dapat diterangkan sebagai nyeri tajam atau menusuk dan yang mudah
diketahui lokasinya akibat akibat dari impuls-impuls yang disalurkan serabut delta-A.
Serabut-serabut sarap aferen masuk ke spinal lewat melalu “dorsal root” dan sinaps
pada dorsal horn, terdiri dari lamina II dan III membentuk substansial yang disebut
substantia gelatinosa. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-sum belakang pada
interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal asendens, yaitu
spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT). STT merupakan sistem
yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan lokasi dari stimulus
kepada thalamus kemudian ke korteks untuk diinterpretasikan (Long 1996, l 220).
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak disebabkan nyeri bertambah bila
digerakkan(Setiawan 2000, hal 112). Akibat nyeri menyebabkan enggan untuk
bergerak termasuk toiletening, menyebabkan penumpukan faeses dalam colon. Colon
mereabsorpsi cairan faeses sehingga faeses menjadi kering dan keras dan timbul
konstipasi (Long, 1996, hal 224). Apabila luka menjadi robek, hal ini akan
menyebabkan resiko infeksi, risiko disfungsi neurovaskuler, dan risiko kerusakan
pertukaran gas akibat cedera vaskuler. (Doenges, hal 773, 776, 778).
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi norepinephrin,
sarap msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di hipothalamus mengaktifkan
kerja organ tubuh sehingga REM menurun menyebabkan gangguan tidur. (Standar
asuhan keperawatan Muhammadiyah, 1998 hal 12)
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya dekubitus,
yaitu luka pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada daerah bone
promenence
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman akan
integritas stubuh, merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan kecemasan.
D.Patofisiologi fraktur sampai gangguan KDM
Rudapaksa atau trauma berat
Penyakit (Osteoporosis)
fraktur
Luka terbuka
Adanya Hubungan dengan dunia luar
Terputusnya kontinuitas jaringan
Organisme
merugikan mudah
masuk
Cedera vaskuler, pembentukan
trombus
Oedema
Disfungsi Neurovaskuler
Perubahan aliran darah
1
Nyeri saat pergerakan
Enggan untuk bergerak
Kerusakan mobilitas Fisik
Mobilisasi sekret terganggu
2 3
Merangsang nociceptor sekitar
untuk mengeluarka
histamin, bradikinin,
prostaglandin
Nyeri dihantarkan
melalui Serabut A-delta dan
Sumsum tulang belakang
Serabut saraf aferen
4
Resiko Infeksi
Kerusakan pertukaran gas
Kerusakan mobilitas Fisik
Disfungsi Neurovaskuler
1 2 3 4
Perubahan membran Alveolar
(kapiler)
edema paru
Penekanan yang terlalu lama
Sirkulasi darah terganggu
Pemenuhan nutrisi dan O2 ke jaringan menurun
Ischemia
Nekrosis jaringan
Dekubitus
Ancaman integritas
Stressor
Tirah baring yang cukup lama
Bising usus menurun
Retensi faeces dalam colon
Cairan faeces direabsorpsi oleh
colon
faeces kering
Spinal melalui sinap pada dorsal
root dan sinap pada dorsal horn
Spinal assenden (STT/SRT)
Thalamus
Kortek Serebri
Timb
Merangsang RAS di Hipothalamus
REM Menururn
Sumber: Setiawan et al. (2000, hal 112), Long (1996, hal 224), Doenges, (hal 773, 776, 778).
Proses Penyembuhan Tulang
Terjaga
Dekubitus
Kerusakan
pertukaran gas
Timbul Nyeri
Konstipasi
Cemas
Proses penyembuhan tulang pada fraktur terbagi atas 4 bagian tulang :
1. Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri dari 5 fase, yaitu :
• Fase hematoma.
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematom disekitar luka dan
didalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapatkan
persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.
• Fase proliferasi seluler sub periosteal dan endosteal.
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan karena adanya sel-sel osteogenik yang berfroliferasi dari
periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum
membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler dalam kanalis modularis.
• Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis).
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium
membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai
woven bone, ini merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.
• Fase konsolidasi (fase union secara radiologi).
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-
perlahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas
yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara
bertahap.
• Fase remodeling
Setelah union lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian
yang menyerupai bulbus meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada
fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan
tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara
perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan untuk membentuk ruang sum-sum.
2. Penyembuhan fraktur pada tulang spongiosa.
Penyembuhan terutama oleh aktivitas endosteum dalam trabekula.
Bila vaskularisasi/kontak baik, maka penyembuhannya cepat.
3. Penyembuhan fraktur pada lempeng epifisis.
Fraktur epifisis sangat cepat penyembuhannya, oleh karena epifisis
aktif dalam pembentukan tulang.
4. Penyembuhan fraktur pada tulang rawan sendi
Penyembuhan sulit (vaskularisasi kurang/tidak ada). Bila ada celah
fraktur akan diisi oleh jaringan ikat. Penyembuhan kembali menjadi tulang
rawan hialin dimungkinkan bila dilakukan reposisi anatomis dan fiksasi
interna khusus dengan CPM (Continous Passive Movement).
D. Tanda dan Gejala
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
- Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama
proses penyembuhan secara periodic
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau
menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
F. Komplikasi fraktur :
Komplikasi Fraktur
Burner (2000, hal 2365) membagi komplikasi fraktur kedalam empat
macam, antara lain :
a. Syok hipovolemik atau traumatik yang terjadi karena perdarahan.
b. Sindrome emboli lemak ( terjadi dalam 48 jam atau lebih setelah
cedera). Berasal dari sumsum tulang karena perubahan tekanan dalam
tulang, fraktur mendorong molekul-molekul lemak dari sumsum tulang
masuk ke sistem sirkulasi darah.
c. Sindrom Kompartemen terjadi karena perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa diakibatkan
karena:
1. Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus
otot terlalu ketat, gips atau balutan yang terlalu menjerat.
2. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema.
3. Emboli paru dan Koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID) semua
fraktur terbuka dianggap mengalami kontaminasi. Merupakan
komplikasi akibat fraktur.
G. Penatalaksaan
Menurut Setiawan et al (2000, hal 123) dan menurut Price dan Wilson
(1995, hal 1187) Pada klien dengan fraktur dapat dilakukan empat prinsip
perawatan dan pengobatan antara lain :
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan atau terjadinya fraktur harus diketahui dengan pasti, hal
ini menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Reposisi
Merupakan upaya mengembalikan fragmen-fragmen tulang agar dapat
kembali seperti semula seoptimal mungkin dan dapat dilakukan dengan cara
:
1) Reposisi Tertutup (tanpa pembedahan)
Pada kebanyakan kasus, reposisi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan
traksi manual.
2) Reposisi Terbuka
Yaitu dilakukan melalui pembedahan sehingga bisa melihat kedudukan
yang patah.
c. Retensi – Reduksi/Fiksasi
Yaitu melakukan immobilisasi supaya terjadi penyambungan fragmen
tulang yang patah. Immobilisasi ini sangat penting dalam proses penyambungan
tulang, terutama dalam proses pembentukan kallus.
Cara fiksasi yaitu :
1) Fiksasi Eksternal
Yaitu pemasangan alat bantu fiksasi yang dipasang di luar tulang,
gips, traksi)
2) Fiksasi Internal
Yaitu immobilisasi dengan proses pembedahan untuk memasukan
suatu alat fiksasi seperti paku, sekrup dan pen yang dipasang didalam
tulang. secara umum tujuannya adalah yang dipasang didalam tulang.
Secara umum tujuannya adalah proteksi fiksasi sampai sembuh.
Fiksasi dilakukan setelah sebelumnya dilakukan tindakan reposisi.
Akibat dari pemasangan fiksasi internal ini mengakibatkan oto-otot kaku,
sendi dan kekuatan ekstremitas yang berkurang karena otot atau sendi yang
jarang digunakan semaksimal mungkin. Setelah dalam jangka waktu yang
ditentukan dan ditunjang data-data bahwa fragmen tulang telah tersambung
atau adanya kelainan pemasangan pada alat ini (paku, sekrup, pen) harus
dikeluarkan melalui operasi.
3) Rehabilitasi/Reposisi
Yaitu perawatan atau tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan
atau memulihkan jaringan yang terganggu ke fungsi semaksimal mungkin.
Dilakukan segera dan sudah dilakukan bersamaan dengan pengobatan
fraktur, untuk menghindari atrofi dan kontrkatur.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian terhadap klien dengan gangguan muskuloskeletal meliputi
pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan data, sumber data
diperoleh dari klien sendiri, keluarga klien, perawat, dokter atau dari catatan
medis.
Pengumpulan Data meliputi :
a. Biodata Klien dan Penanggung Jawab Klien
Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
status marital, agama, alamat, tanggal masuk RS, nomor catatan medis dan
diagnosa medis. Biodata penanggung jawab meliputi nama, umur,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat dan hubungan dengan klien.
b. Keluhan Utama
Keluhan yang paling menonjol dan dirasakan oleh pasien saat dilakukan
pengkajian. Biasanya klien yang mengalami fraktur mengeluh tidak dapat
melakukan pergerakan, nyeri, lemah, dan tidak dapat melakukan sebagian
aktivitas sehari – hari (Setiawan et al, 2000, hal 130)
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Berisi bagaimana terjadinya fraktur, kapan terjadinya, bagian mana yang
terkena, serta berisi status nutrisi, eliminasi, aktivitas, istirahat tidur dan
personal higiene (Setiawan et al 2000, hal 131)
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu dikaji untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami sesuatu
penyakit yang berat atau penyakit tertentu yang memungkinkan akan
berpengaruh pada kesehatannya sekarang (Setiawan et al 2000, hal 131)
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui untuk menentukan apakah dalam keluarga ada penyakit
keturunan atau penyakit – penyakit karena lingkungan yang kurang sehat
yang berdampak negatif sehingga memperberat penyakitnya. Biasanya
fraktur tidak ada kecenderungan menurun dari keluarga karena penyebab
biasanya kecelakaan (Long, 1996, hal 356).
f. Data Aspek Biologis yang meliputi :
1) Keadaan Umum
Pada klien fraktur biasanya mengalami kelemahan, kebersihan diri
kurang, kurus, kesadaran kompos mentis. Pemeriksaan tanda – tanda vital
juga dilakukan biasanya terdapat perubahan yaitu tekanan darah
meningkat, suhu tubuh meningkat dan pernafasan cepat dan dangkal.
(Setiawan et al 2000, hal 132)
2) Sistem Neurosensori
Yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf kranial, fungsi sensori
serta refleks. Pada klien dengan fraktur biasanya terjadi hilang gerakan
atau sensasi, spasme otot, kesemutan atau paraestesis. (Doengoes 2000, hal
762)
3) Sistem Pernafasan
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sekret
pada lubang hidung, pergerakkan cuping hidung waktu bernafas,
auskultasi bunyi nafas. Hal ini penting karena imobilisasi
berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi sekret pada
jalan nafas. (Setiawan et al 2000, hal 132)
4) Sistem Kardiovaskuler
Kaji dari mulai warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya
peninggian vena jugularis, ukur tekanan darah. Hypotensi,
hipertensi, takikardi, pengisisan kapilaer lambat, pucat pada bagian
yang terkena. biasanya terjadi pada klien yang mengalami fraktur.
(Setiawan et al 2000, hal 132 dan Doengoes 2000, hal 762)
5) Sistem Gastrointestinal
Konstipasi, perubahan pola makan dan minum dari normal,
kurang kegiatan dan BAB harus menggunakan pispot juga merupakan
hal yang dapat menyebabkan perubahan pola eliminasi BAB.
(Setiawan et al 2000, hal 133)
6) Sistem Perkemihan
Biasanya tidak terdapat gangguan. (Doenges 2000, hal 762)
7) Sistem Muskuloskeletal
Terdapat nyeri pada daerah yang terkena, terjadi deformitas,
spasme otot dan kelemahan otot. (Doengoes 2000, hal 762 dan
Setiawan et al 2000, hal 133)
8) Sistem Genitourinaria
Biasanya tidak terdapat gangguan. (Doengoes 2000, hal 762)
9) Sistem Integumen
Pada fraktur biasanya terjadi pembengkakan kulit dan jaringan,
perubahan warna kulit, laserasi kulit, avulasi jaringan dan perubahan
suhu (Setiawan et al 2000, hal 134 dan Doengoes 2000, hal 762)
10) Sistem Endokrin
Pada sistem ini biasanya tidak mengalami gangguan.
(Doengoes 2000, hal 762)
2. Pengkajian Psikologis
Pada klien fraktur sering terdapat cemas, khawatir takut tidak
sembuh kembali dan takut di amputasi.
3. Pengkajian Sosial
Interaksi sosial sering terganggu akibat kerusakan mobilisasi fisik
dan gangguan body image.
4. Pengkajian Spiritual
Jarang terjadi, klien dapat melaksanakan kewajibannya sebagai
muslim, kadang klien lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
5. Data Penunjang
Menurut Doenges (2000, hal 762) data penunjang yang harus
dilengkapi pada pasien dengan fraktur adalah:
a. Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi, luasnya fraktur.
b. Skan tulang, tomogram, skan CT / MRI, memperlihatkan
fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c. Laboratorium terutama hematokrit mungkin meningkat atau
menurun, peningkatan jumlah SDP, peningkatan kreatinin dan profil
koagulasi.
6. Dampak Masalah Terhadap Kebutuhan Dasar
Fraktur dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh lainnya dan
terhambatnya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Doenges (2000, hal 761) membagi dampak masalah terhadap
kebutuhan dasar akibat fraktur sebagai berikut, yaitu :
a. Kebutuhan Aktivitas
Klien yang mengalami fraktur akan berdampak pada
penurunan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari, karena akan
kehilangan fungsi. Klien akan takut dan enggan bergerak karena nyeri
akibat fraktur (Carpenito, 2001, hal 244)
b. Kebutuhan Rasa Nyaman
Karena adanya fraktur klien akan merasa nyeri berat secara
tiba-tiba pada saat cedera atau dimobilisasikan sehingga mengganggu
rasa nyaman
c. Integritas Kulit
Akibat immobilisasi dapat menyebabkan sirkulasi pada area
tertentu kurang lancar dan disertai adanya penekanan terus-menerus
dapat menyebabkan kerusakan kulit (dekubitus).
d. Kebutuhan Eliminasi B.A.K
Pada saluran perkemihan biasanya tidak terjadi perubahan atau
kerusakan.
e. Kebutuhan Nutrisi
Klien yang mengalami fraktur khususnya fraktur ekstremitas
akan berdampak pada pemenuhan nutrisi.
f. Kebutuhan Eliminasi B.A.B
Klien yang immobilisasi juga dapat menyebabakan konstipasi
karena kelemahan otot serta kemunduran reflek defekasi akibat
terlalu lama imobilitas di tempat tidur.
g. Kebutuhan Oksigen
Penurunan pernapasan yang disebabkan ketidakseimbangan O2
dan CO2. Sekresi juga akan terakumulasi dalam saluran pernapasan
akibat klien sulit batuk dan merubah posisi. Juga akibat oedema paru.
h. Kebutuhan Istirahat dan Tidur
Faktor psikosomatik seperti rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
terhadap lingkungan akan mengakibatkan aktifnya RAS di fomatio
retikularis sehingga menurunkan aktivitas REM yang membuat klien
dalam keadaan terjaga
i. Kebutuhan Personal Hygine
Karena keadaan fisik yang kurang maksimal mengakibatkan
klien kurang mampu untuk merawat personal hyginenya sendiri.
j. Kebutuhan Rasa Aman/Cemas
Kurangnya pengetahuan dan informasi tentang penyakit dan
prosedur yang dilaksanakan akan menyebabkan klien menjadi cemas.
B. Diagnosa Keperawatan
Stiawan et al (2000, hal 136), Doengoes (2000, hal 761)
Kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien yang mengalami fraktur
diantaranya :
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan akibat fraktur.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan
akibat fraktur.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit dan terpajannya
dengan lingkungan akibat fraktur terbuka, fiksasi pen eksternal.
d. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik akibat
immobilisasi1
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
dan terpasangnya alat fiksasi.
f. Kerusakan pola istirahat dan tidur behubungan dengan nyeri
g. Depisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan pergerakan
akibat fraktur.
h. Resiko disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan cedera vaskuler
i. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan
mobilisasi sekret tidak adekuat
j. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan
C. Tujuan, Intervensi dan Rasionalisasi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan pergerakkan fragmen tulang dan
cedera jaringan lunak
- Tujuan : Keluhan nyeri tidak ada.
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini.
Tabel .2.1Nyeri Akut berhubungan dengan Pergerakan Fragmen Tulang
dan Cedera Jaringan Lunak.
Intervensi Rasional
a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat, traksi.
b. Tinggikan dan sokong ekstremitas yang mengalami luka/fraktkur.
c. Kaji tngkat nyeri klien
d. Lakukan tekhnik distraksi dengan cara mengajak klien berbincang-bincang
e. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan punggung, perubahan posisi.
f. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
g. Dorong klien untuk menggunakan teknik manajemen stres, contoh
a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
b. Untuk meingkatkan aliran darah balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri.
c. Dengan menkaji tingkat nyeri klien untuk keefektifan pengawasan intervensi. Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri.
d. Dengan melakukan teknik distraksi pada klien dengan cara berbincang-bincang, dapat mengalihkan perhatian klien tidak hanya tertuju pada nyeri.
e. Meningkatkan sirkulasi umum ; msnurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
f. Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolasi inflamasi pada jaringan yang cedera.
g. Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri,
relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi. Sentuhan terapeutik.
yang mungkin menetap untuk periode lebih lama.
Sumber: Doenges et. al. (2000, hal 765) Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan trauma jaringan
akibat fraktur.
- Tujuan : Meningkatkan/mempertahankan mobilitas
pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini.
Tabel .2..2Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
trauma jaringan akibat fraktur.
Intervensi Rasional
a. Lakukan rentang gerak aktif pada anggota gerak sehat sedikitnya 4 kali/hari
b. Lakukan latihan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang sakit dengan hati-hati, dan sangga ekstrimitas yang fraktur.
c. Ubah posisi setiap 2-4 jam
d. Tingkatkan latihan gerak secara perlahan.- Hari
kedua post op, klien bisa duduk di tempat tidur dengan nyaman
- Hari ketiga post op, klien bisa turun dari tempat tidur dan jalan-jalan di sekitar dengan tangan yang
a. Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit, menghindari spasme otot, dan gerak aktif meningkatkan kemandirian dalam pergerakkan
b. Gerak pasif dapat mencegah kontraktur, dan dengan cara disangga, agar tidak terjadi pergeseran pada tulang yang fraktur
c. Melancarkan sirkulasi sehingga mempercepat penyembuhan serta mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit.
d. Rentang grak secara bertahap dimungkinkan tidak menyebabkan keterkejutan pada klien
fraktur disangga- Hari
keempat post op dan seterusnya, klien bisa turun dari tempat tidur
-Sumber: Carpenito. (2001, hal 245) . Buku saku Diagnosa
Keperawatan(edisi 8), EGC, Jakarta.
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan Kulit
dan Terpajannya dengan Lingkungan Luar
- Tujuan : Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,
bebas drainase purulen atau eritema
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini.
Tabel 2.3Resiko Infeksi berhubungan dengan Kerusakan Kulit
dan Terpajannya dengan Lingkungan Luar
Intervensi Rasionala. Kaji sisi pen/kulit perhatikan
keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema, eritema, bau tak enak.
b. Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
c. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
d. Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan edema lokal/eritema ekstremitas cedera.
e. Berikan irigasi luka/tulang dan berikan sabun basah/hangat sesuai indikasi
f. Monitor tanda-tanda vital.
a. Dapat mengindikasikan timbulnya inifeksi lokal/nekrosis jatingan, yang dapat menimbulkan osteomielitis.
b. Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
c. Kekuatan otot, spasme tonik otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
d. Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis.
e. Debrideman lokal/pembersihan luka menurunkan mikroorganisme dan insiden infeksi sistemik.
f. Adanya peningkatan tanda-tanda vital merupakan salah satu tanda dan gejala adanya infeksi
g. Mengganti balutan untuk menjaga agar luka tetap bersih dan dapat
g. Ganti balutan tiap hari dengan menggunakan alat yang seteril
h. Ajarkan teknik perawatan luka
i. Berikan antibiotik sesuai program pengobtan
j. Kolaborasi dengan tim laboratorium terutama peningkatan leukosit.
k. Berikan intake protein dan vitamin
mencegah terjadinya kontaminasi.
h. Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam perawatan luka bila klien pulang
i. Antibiotik merupakan obat untuk mencegah/mengobati infeksi dengan cara membunuh kuman yang masuk.
j. Adanya peningkatan leukosit merupakan salah satu tanda adanya infeksi.
k. Protein sangat penting untuk mengembangkan keseimbangan nitrogen dan asam amino untuk metabolisme : protein dan vitamin C juga sangat penting untuk penyembuhan luka
Sumber: Doenges, et. al. (2000, hal 773). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
d. Konstipasi berhubungan dengan Penurunan Peristaltik Akibat
Immobilisasi
- Tujuan : Bising usus kembali normal, tak ada keluhan
dalam eliminasi BAB
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.4Konstipasi berhubungan dengan
Penurunan Peristaltik Akibat Immobilisasi
Intervensi Rasional
a. Melatih klien untuk melakukakan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen seperti miring ke
a. Dengan melakukan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen akan meningkatkan ketegangan otot abdomen
b. kiri dan kanan.
c. Memberikan makanan
b. yang membantu peningkatan pristaltik usus sehingga pengeuaran feses akan lancar.
c. Makanan tinggi serat akan menarik cairan dari lumen usus,
tinggi serat sehingga feses konsistensinya lembek dan mudah dikeluarkan
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 770). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
e. Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan Imobilisasi
dan Terpasangnya Alat Fiksasi.
- Tujuan : Menyatakan ketidak nyamanan hilang,
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi
terjadi
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.5Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan
Imobilisasi dan Terpasangnya Alat Fiksasi.
Intervensi Rasionala. Kaji kulit untuk luka
terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu, memutih.
b. Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan tempat kering dan bebas kerutan. Tempatkan bantalan air/bantalan lain bawah kiku/tumit sesuai inidikasi.
c. Kaji posisi bebat pada alat traksi
d. Lakukan mobilisai aktif maupun pasif.
a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan/atau pemasangan bebat atau traksi, atau pembentukan edema yang membutuhkan intervensi medik lanjut.
b. Menurunkan tekanan konstan pada area yang peka da risik abrasi/kerusakan kulit
c. Posisi yang tak tepat dapat menyebabkan cedera kulit/kerusakan.
d. Dengan mobilisasi aktif maupun pasif sirkulasi darah pada daerah tertentu lancar dan penekanan-penekanan pada daerah tertentu tidak berlebihan
Sumber: Doengoes, et. al. (2000, hal 771). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
f. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri
- Tujuan : Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel .2.6Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri
Intervensi Rasionala. Berikan makanan
kecil, susu hangat sore harib. Turunkan jumlah
minum sore hari, lakuikan berkemih sebelum tidur
c. Batasi masukan makanan dan minuman mengandung kafein
d. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik dan sedatif
a. Meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk
b. Menurunkan kebutuhan akan bangun untuk pergi ke kamar mandi
c. Kafein dapat memperlambat klien untuk tidur dan memopengaruhi tidur tahap REM.
d. Nyeri meruhi kemampuan klien untuk tidur, dsan sedatif obat yang tepat untuk menuiingkatkan istiraht
Sumber : Doengoes, et. al. (2000, hal 494, 385). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
g. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Keterbatasan Pergerakan
Akibat Fraktur
- Tujuan : Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.7Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan
Keterbatasan Pergerakan Akibat Fraktur
Intervensi Rasionala. Beri informasi tentang
pentingnya perawatan diri bagi klien
b. Bantu dan fasilitasi klien dalam melakukan personal higiene
c. Jaga kebersihan pakaian dan alat tenun klien
d. Berikan lotion dan talk setelah mandi
a. Dengan memberikan informasi dapat menambah wawasan pengetahuan klien tentang cara perawatan diri yang benar
b. Dengan menyediakan dan mendekatkan akan mendorong kemandirian klien dalam hal melakukan aktivitas
c. Pakaian yang bersih dan alat tenun yang kering dapat mencegah terjadinya gatal.
d. Untuk meningkatkan rasa nyaman klien dan dapat mencegah terjadinya biang keringat
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 301). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
h. Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan
cedera vaskuler
- Tujuan : Perfusi jaringan adekuat
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.8Resiko Disfungsi Neurovaskuler berhubungan dengan
cedera vaskuler
Intervensi Rasionala. Lepaskan
perhiasan dari ekstrimitas yang sakit
b. Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur
c. Lakukan pengkajian neuromuskular, perhatikan perubahan fungsi
a. Dapat membendung sirkulasi bila terjad edema
b. Warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial. Sianosis diduga gangguan vena
c. Gangguan perasaan kebas, kesemutan, peningkatan nyeri terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau saraf rusak
motor/sensor
d. Kaji keluhan rasa terbakar dibawah gips
e. Awasi posisi/lokasi cincin penyokong bebat
f. Selidiki tanda iskemia ekstrimitas tiba-tiba, contoh peniurunan suhu kulit, dan peningkatan nyeri]
g. Dorong pasien untuk melakukan ambulasi sesegera mungkin
h. Selidiki nyeri tekan, pembengkakan pada dorso fleksi kaki.
i. Awasi tanda vital.
d. Faktor ini disebabkan atau mengidentifikasikan tekanan mjaringan/iskemia, menimbulkan kerusakan atau nekrosis
e. Alat traksi dapat menyebabkan tekanan pada pembuluh darah/saraf, terutama pada aksila dan lipat paha.
f. Dislokasi fraktur sendi (khususnya lutut) dapat menyebabkan kerusakan arteriyang berdekatan, dengan akibata hilangnya aliran darah ke distal.
g. Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstrimitas bawah
h. Terdapat peningkatan untuk tromboplebitis dan emboli paru pada pasien imobilisasi selama lima hari
i. Perubahan tanda-tanda vital menunjukkan peningkatan sirkulasi
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 766). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
i. Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru dan
mobilisasi sekret tidak efektif
- Tujuan : Mempertahankan fungsi pernafasan adekuat.
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.9 Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
Edema paru dan mobilisasi sekret tidak efektif
Intervensi Rasional
a. Awasi frekuensi pernafasan dan upayanya. Perhatikan stridor, penggunaan otot bantu, retraksi,
a. Tarkifne, dispnea, dan perubahan dalam mental dan tanda dini insufisiensi pernafasan dan mungkin
terjadinya sianosis sentral.
b Auaskultasi bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidak samaan
c. Atasi jaringan cedera/tulang dengan lembut, khusunya selama beberapa hari pertama
d. Bantu dalam latihan nafas dalam
e Observasi sputum untuk tanda adanya darah
hanya indikator terjadinya emboli paru tahap awal
b. Perubahan dalam bunyi adventisius menunjukan terjadinya komplikasi pernafasan
c. Dapat mencegah terjadinya emboli lemak, yang erat hubungannya dengan fraktur.
d. Menungkatkan ventilasi alveolar dan prfusi. Reposisi meningkatkan drimnage sekret dan menurunkan kongesti pada area dependen.
e. Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru
Sumber:Doengoes, et. al. (2000, hal 768) . Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (edisi 3), EGC, Jakarta
j. Ansietas berhubungan dengan Kurang pengetahua
- Tujuan : Cemas hilang
- Intervensi dan rasionalisasi dari diagnosa diatas, dapat dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.10Ansietas berhubungan dengan
Kurang pengetahua
Intervensi Rasionala. Jalin rasa percaya
b. Kaji ulang tingkat kecemasan klien
c. Berikan kesempatan mengekspresikan perasaannya
d. Berikan penjelasan tentang penyakit yang diderita
e. Berikan kesempatan bertanya untuk
a. Rasa percaya dapat melahirkan keterbukaan
b. Dapat mengetahui derajat kecemasan klien sehingga memudahkan intervensi selanjutnya
c. Beban kecemasan dapat berkurang dengan diekspresikan
d. Dengan mengetahui penyakit, dimungkinkan klien akan merasa tenang
e. Dimungkinkan dapat mengetahui hal yang tidak diketahui
Sumber: Carpenito. (2001, hal 245) . Buku saku Diagnosa Keperawatan (edisi 8), EGC, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2011. Metacarpal Fracture. Di unduh dari http://orthoinfo.aaos.org/ pada 30 april 2013.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah, EGC, Jakarta.
Grace, Pierce & Neil Borley. 2007. At A Glance: Ilmu Bedah, edisi III. Erlangga, Jakarta
Mansjoer, Arief ,2000, Kapita Selekta Kedokteran.edisi II, Aeschepalus, Jakarta.
Rasad, Sjahriar. 2008. Radiologi Diagnostik, edisi II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Recommended