View
251
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM
MEMPERJUANGKAN LAPANGAN PEKERJAAN
(Studi Kasus Tunanetra di Yayasan Mitra Netra)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Inaya Lutfiani
1113111000060
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM
MEMPERJUANGKAN LAPANGAN PEKERJAAN
(Studi Kasus Tunanetra di Yayasan Mitra Netra)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 September 2017
Inaya Lutfiani
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Inaya Lutfiani
NIM : 1113111000060
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM
MEMPERJUANGKAN LAPANGAN PEKERJAAN
(Studi Kasus Tunanetra di Yayasan Mitra Netra)
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 28 September 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si M. Hasan Ansori, Ph.D
NIP. 197609182003122033
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM
MEMPERJUANGKAN LAPANGAN PEKERJAAN
(Studi Kasus Tunanetra di Yayasan Mitra Netra)
Oleh
Inaya Lutfiani
1113111000060
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18
Oktober 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Joharotul Jamilah, M.Si
NIP. 197609182003122033 NIP. 196808161997032002
Penguji I, Penguji II,
Saifudin Asrori, M.Si Ida Rosyidah, MA
NIP. 197701192009121001 NIP. 196306161990032002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 Oktober
2017.
Ketua Program Studi Sosiologi
FISIP UIN JAKARTA
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122033
v
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji tentang ”Agensi Penyandang Disabilitas dalam
Memperjuangkan Lapangan Pekerjaan di Yayasan Mitra Netra”. Penelitian ini
menjelaskan apa saja upaya yang dilakukan oleh agensi penyandang disabilitas
yang menjadi klien di Mitra Netra dalam memperjuangkan haknya mendapatkan
pekerjaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Subjek dalam penelitian ini
adalah penyandang disabilitas tunanetra yang menjadi klien Mitra netra. Teori
yang digunakan adalah Teori Strukturasi. Teori tersebut digunakan untuk
menganalisis tindakan-tindakan apa saja yang sudah klien Mitra Netra lakukan
untuk memperoleh pekerjaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh tunanetra
klien Mitra Netra dalam pengembangan agensi agar mendapatkan pekerjaan
adalah dengan cara mengikuti program pelatihan ketenagakerjaan yang disediakan
oleh Mitra Netra. Dengan mengikuti pelatihan-pelatihan di dalam program
ketenagakerjaan, menjadikan mereka layak bersaing di dunia kerja dengan
memiliki keahlian baik hardskill maupun softskill. Mitra Netra juga melakukan
perannya dalam membantu mengimplementasikan regulasi pemerintah mengenai
lapangan pekerjaan bagi tunanetra, melalui pengurus Mitra Netra dalam bentuk
pencarian biaya untuk dana operasional pelatihan bagi klien, karena Mitra Netra
merupakan organisasi non-profit yang tidak memiliki sumber dana pasti.
Kemudian Mitra Netra juga melakukan upaya kerjasama dengan perusahaan
swasta yang bertujuan untuk menyalurkan tunanetra sebagai tenaga kerja, serta
mengaudiensi pemerintah agar peraturan yang sudah ada dapat berjalan dengan
baik dan tunanetra mendapatkan haknya, yaitu mendapatkan pekerjaan.
Kata Kunci: Disabilitas, Tunanetra, Pekerjaan, Regulasi Pemerintah, Teori
Agensi.
vi
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur tiada henti-hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena atas izin dan kuasanya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Agensi Penyandang Disabilitas dalam Memperjuangkan Lapangan
Pekerjaan (Studi Kasus Tunanetra Yayasan Mitra Netra Jakarta)”. Meskipun
dalam penulisannya masih jauh dari kata sempurna. Selama proses penulisan
hingga akhirnya terselesaikan skripsi ini, penulis dipertemukan dengan orang-
orang hebat yang berjasa besar selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,
atas segalanya penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku Ketua Prodi Sosiologi yang telah
memberi saran dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
3. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekertaris Prodi Sosiologi yang
telah membantu dan melancarkan skripsi ini.
4. Mohammad Hasan Ansori, Ph.D sebagai dosen pembimbing yang
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terimakasih
atas doa, pengertian, waktu dan ilmunya dalam membimbing dan
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Husnul Khitam, M.Si, selaku Dosen Pengajar Proposal Skripsi 2016
Prodi Sosiologi, yang telah memberikan banyak masukan dan ilmunya
untuk skripsi ini.
vii
6. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya Prodi
Sosiologi, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran
berharganya.
7. Kedua orangtua tercinta, Ayah Drs. H. Nanang Iman dan Ibu Munih. S
serta adik penulis Muhammad Abdan Syakuron yang menjadi sumber
utama dalam motivasi menyelesaikan skripsi ini serta tiada henti
mendoakan dan memberikan semangat tenaga, pikiran dan finansial
kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
8. Tante penulis Siti Jubaedah M.Pd yang selalu memberikan dukungan
berupa moril dan materil kepada penulis, serta yang menjadi sosok
inspirasi dalam mendapatkan tema skripsi ini hingga akhirnya skripsi
bisa terselesaikan.
9. Yayasan Mitra Netra Jakarta yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian serta memberikan data yang penulis butuhkan.
Khususnya untuk pengurus, instruktur dan klien yang bersedia penulis
wawancarai.
10. Sahabat-sahabat ½ Douzen tersayang yang selalu memberikan support
selama perkuliahan yang memberikan masukan dalam skripsi ini.
11. Keluarga Sosiologi B(est) 2013 terhebat yang banyak memberikan
banyak pelajaran, kenangan dan saling memberikan semangat selama 4
tahun.
viii
12. Sahabat-sahabat tersayang sejak SMA yang selalu memberikan doa
dan semangat dari jarak jauh namun selalu memberikan motivasi agar
dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Candra Putra Ashari, S.Ds yang setia mendoakan dan memberikan
semangat tiada henti kepada penulis hingga skripsi dapat terselesaikan.
Demikianlah ucapan terima kasih dari penulis, semoga segala bantuan dan
dukungannya mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Maka dengan ini
penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat.
Jakarta, 28 September 2017
Penulis,
Inaya Lutfiani
NIM. 1113111000060
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ........................................................................................ 1
B. Pertanyaan Masalah ...................................................................................... 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 13
D.Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 15
E. Kajian Teoritis .............................................................................................. 23
E.1. Landasan Teori ...................................................................................... 23
E.2. Definisi Konseptual ............................................................................... 31
F. Metodologi Penelitian ................................................................................... 37
BAB II GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN ............................... 44
A. Latar Belakang Yayasan Mitra Netra .......................................................... 44
B. Legalitas Yayasan Mitra Netra .................................................................... 45
C. Lokasi Yayasan Mitra Netra ........................................................................ 45
D. Visi, Misi dan Fungsi Yayasan Mitra Netra ................................................ 46
E. Struktur Organisasi dan Staff....................................................................... 47
F. Program dan Layanan Yayasan Mitra Netra ............................................... 49
G. Jaringan Kerjasama yang dimiliki Yayasan Mitra Netra ............................. 56
BAB III AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM
MEMPERJUANGKAN LAPANGAN PEKERJAAN....................... 60
A. Peran Mitra Netra dalam Mengimplementasikan Regulasi Pemerintah
Tentang Kesempatan Bekerja Bagi Penyandang Disabilitas ....................... 60
B. Pengembangan Kemampuan Agensi Penyandang Disabilitas .................... 71
x
B.1. Hambatan yang dihadapi Penyandang Disabilitas ............................... 77
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 83
A. Kesimpulan .................................................................................................. 83
B. Saran.............................................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 87
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1. Distribusi Penyandang Disabilitas Usia ≥10 Tahun yang Bekerja
Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012 ......... 9
Tabel I.A.2. Jumlah Penyandang Disabilitas di Jakarta Tahun 2008.................... 10
Tabel 1.D.1 Matriks Tinjauan Pustaka ..................................................................20
Tabel II.F.1. Daftar Nama Informan ..................................................................... 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Begitu juga dengan setiap masyarakat yang memiliki kekurangan dalam
fisiknya, mereka pasti menginginkan kesetaraan dalam mendapatkan hak dan
melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia. Karena
sesungguhnya tidak ada satupun individu yang menginginkan lahir dalam
keadaan yang kurang dari segi fisik maupun mental.
Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut sekitar
1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang
penyandang disabilitas rungu, 402.817 orang penyandang disabilitas
grahita/intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang
penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592
orang mengalami disabilitas ganda (BPS-Susenas Tahun 2012). Dari data
tersebut mengalami kenaikan dibanding hasil survey susenas tahun 2009,
kenaikannya diperkirakan dari 0,92% menjadi 2,45% (Buletin disabilitas
2014).
2
Keberadaan mereka yang memiliki kekurangan fisik pun menjadi
sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Karena setiap warga Negara memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Negara bertugas sebagai pelindung bagi
penyandang disabilitas yang keberadaannya dianggap sebagai kelompok
marjinal. Mereka yang merupakan kelompok yang termarjinalisasi dari lingkup
dunia pendidikan, kesehatan, aksesibilitas pelayanan publik dan juga masalah
lapangan pekerjaan.
Dalam Pasal 41 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang
Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang menyebutkan bahwa :
Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus ( Pasal 41 ayat 2 UU No 39 Tahun2004).
Begitu pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi :
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau
cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan,
pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (UU HAM Pasal 42).
Seperti yang telah diuraikan pada pasal mengenai hak asasi manusia di
atas, penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki
hak untuk hidup, dan mempertahankan kehidupnya. Selain hak untuk hidup,
apabila membicarakan isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat
menemukan bahwa manusia sebagai warga negara memiliki hak sipil dan
politik, serta memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Penyandang disabilitas
3
sudah menjadi tanggung jawab negara dan juga orang-orang yang berada di
lingkungan mereka.
Penyandang disabilitas juga memiliki kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga
negara Indoesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan
perlakuan khusus, yang dimaksudkan adalah sebagai upaya perlindungan dari
kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan
dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut
dipandang sebagai suatu upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal (Majda, 2008:273).
Permasalahan yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas beberapa
diantaranya adalah, berdasarkan hasil wawancara bersama orangtua murid di
Klinik Terapi Rumah Sekar (tempat untuk terapi anak berkebutuhan khusus)
yaitu, menjelaskan bahwa adanya kekhawatiran mengenai pendidikan anak-
anak mereka yang merupakan penyandang disabilitas. Hasil observasi lainnya
adalah ditemukannya fasilitas semu yang pemerintah buat namun tidak
seutuhnya dapat dirasakan oleh para penyandang disabilitas, seperti guiding
block bagi tunanetra yang terpasang di jalur pejalan kaki sekitaran Kebun Raya
Bogor yang nampak hanya dijadikan pemanis, pemasangan guiding block yang
menabrak tembok, ada pula yang ditengah-tengahnya terpasang lampu taman
di mana dapat membahayakan pejalan kaki yang tunanetra.
Sekolah inklusif yang belum banyak tersedia untuk anak-anak
berkebutuhan khusus. Kemudian, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
4
yang menggunakan kendaran umum, pemerintah dan perusahaan swasta yang
menyediakan jasa transportasi umum memang sudah menyediakan tempat
duduk prioritas bagi penyandang disabilitas seperti di commuterline dan bus
TransJakarta. Namun masih belum secara total, misalnya akses menuju stasiun
atau halte yang masih menyulitkan bagi penyandang disabilitas. Hasil
observasi yang dilakukan penulis, di Stasiun Nambo belum ditemukan adanya
infrastruktur yang ramah untuk penyandang disabilitas yang menggunakan
kursi roda, karena akses untuk masuk ke dalam stasiun harus menaiki anak
tangga, belum aksesibel bagi pengguna kursi roda karena belum disediakan
tangga landai untuk pengguna kursi roda agar bisa masuk ke dalam stasiun
dengan mudah.
Persoalan yang begitu terasa oleh penyandang disabilitas dan juga
keluarganya adalah minimnya lapangan pekerjaan. Tidak banyak perusahaan
yang mau mempekerjakan mereka dan seolah-olah mereka teralienasi dari
lingkungan pekerjaan. Padahal sama seperti masyarakat yang normal mereka
juga membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya.
Di dunia kerja, peluang bagi penyandang disabilitas untuk bersaing didunia
kerja juga masih rentan stigma. Penyandang disabilitas dianggap kaum yang
tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Biasanya instansi ataupun lembaga
pemerintah ataupun swasta menggunakan kriteria fisik tertentu dalam
penerimaan karyawannya. Misalnya, tinggi tertentu, tidak cacat fisik dan
berbagai prasyarat lainnya yang menomorduakan penyandang disabilitas
(Harahap dan Bustanudin, 2015).
5
Contoh masih sedikitnya peluang kerja bagi penyandang disabilitas
adalah menurut artikel yang terdapat dalam kartunet.com, upaya pemenuhan
hak penyandang disabilitas untuk pekerjaan layak nampaknya masih mendapat
halangan. Seorang penyandang disabilitas ditolak mengikuti tes CPNS.
Jakarta, Kartunet – Kasus diskriminasi terhadap penyandang
disabilitas kembali terjadi di ranah publik. Kali ini, seorang
tunanetra ditolak untuk mengikuti seleksi CPNS 2014 ketika ingin
mengambil nomor ujian. Dikutip dari siaran pers Persatuan
Tunanetra Indonesia (Pertuni), tindak diskriminatif ini terjadi pada
Mulyadi (30), tunanetra asal Kabupaten Aceh Besar, Propinsi
Aceh. Ia ditolak mengikuti ujian masuk CPNS. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah yang tersebar di
berbagai media. Tahun ini, pemerintah RI menyediakan 300
formasi untuk penyandang disabilitas di antara sekitar 100 ribu
formasi yang tersedia.
Ketika Adi akan mengambil nomor ujian, pihak Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) Aceh Besar tidak memberikannya.
Awalnya, pihak BKD berkilah bahwa Adi tidak lolos verifikasi
karena tidak memenuhi persyaratan. Adi tidak mau menerima
begitu saja pernyataan tersebut karena merasa telah memenuhi
semua persyaratan administratif yang diperlukan. Ia terus
mengusud alasan penolakan itu, hinngga akhirnya Pihak BKD
menyatakan bahwa penolakan tersebut dilakukan karena Adi
adalah Penyandang Disabilitas dan pihak BKD belum memiliki
layanan untuk tunanetra.
Menanggapi penolakan tersebut, Adi meminta bukti penolakan
secara tertulis. Akan tetapi, pihak BKD berjanji baru dapat
mengeluarkan surat penolakan tersebut pada tanggal 7 Oktober
2014. Sementara itu, batas pendaftaran ulang ujian selambat-
lambatnya pada tanggal 10 Oktober. Ini berarti, kesempatan Adi
untuk dapat mengikuti ujian seleksi CPNS tersebut semakin
sempit. (Kartunet.com, di akses pada 20 Mei 2017 dari
https://www.kartunet.com/lagi-tunanetra-ditolak-ikut-tes-cpns-7785/)
6
Berita lainnya yang memuat mengenai masih minimnya pekerjaan bagi
penyandang disabilitas adalah, dari republika.co.id, yaitu:
Berdasarkan data hasil riset dari Universitas Indonesia mengenai
penyandang disabilitas, dari 12,15 persen penyandang disabilitas di
Indonesia, hanya 51,12 persen yang turut berpartisipasi dalam pasar
kerja Indonesia, lebih rendah dari non-penyandang disabilitas yang
berada pada angka 70,40 persen. "Bahkan penyandang disabilitas
kategori berat hanya 20,27 persen yang berpartisipasi di pasar kerja
Indonesia," ungkap Kepala Tim Riset LPEM FEB Universitas
Indonesia, Alin Halimatussadiah dalam peluncuran Jejaring Bisnis dan
Disabilitas Indonesia (JBDI) di Jakarta (Republika.com di akses pada
16 Desember 2016 diakses pada 2 Januari 2017 pukul 13:20 WIB dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9rpj384-sebagian-
besar-penyandang-disabilitas-kerja-di-sektor-informa)
Kondisi disabilitas yang masih diliputi stigma tertentu dalam masyarakat
menyebabkan munculnya kesenjangan atau ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan
pada penyandang disabilitas berupa distribusi sumber daya ekonomi yang tidak
merata, pola relasi yang tidak setara, dan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sama dibandingkan dengan mereka
yang non-difabel (Pratama, 2014:10).
Hasil observasi yang didapatkan dari orangtua murid penulis mengenai
fasilitas dan kebijakan yang telah dibuat pemerintah tidak sepenuhnya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Masih banyak penyandang disabilitas yang
tidak merasakan dampak positif dari adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat
pemerintah.
Kemudian karena kebijakan dari pemerintah yang ada tidak sesuai
harapan untuk kaum disabilitas dan adanya juga intervensi dari masyarakat,
terlebih lagi mereka yang memiliki keluarga penyandang disabilitas maka
7
muncul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berisikan sekelompok
orang yang memiliki tujuan sama yaitu memperhatikan kehidupan penyandang
disabilitas yang kehidupannya banyak dipandang sebelah mata oleh
kebanyakan orang. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM,
terutama yang bergerak dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan
LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara, tuntutan pers yang
bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan negara
dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat (Mahardika, 2012:14).
Budi setyono dalam Friska (2012) menyatakan LSM dipandang
mempunyai peran signifikan dalam proses demokratisasi. Jenis organisasi ini
diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan
organisasi pada sektor politik-pemerintah maupun swasta,sehingga mampu
menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada
dua sektor tersebut.
Saat ini sudah banyak LSM yang bergerak dalam permasalahan untuk
kaum difabel. Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) ini berada dibawah
naungan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). PPDI adalah
payung bagi organisasi sosial penyandang disabilitas, organisasi sosial
disabilitas dan organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas sesuai
dengan tingkat kedudukannya berfungsi sebagai wadah perjuangan, koordinasi,
konsultasi, advokasi dan sosialisasi disabilitas di tingkat nasional dan
internasional. (ppdi.or.id di akses pada 16 Mei 2016 pukul 14:00 WIB dari
https://ppdi.or.id/sejarah)
8
OPD tersebut beraneka ragam dan memiliki fokus atau sentra masing-
masing untuk para penyandang disabilitas. Tujuannya sama, yaitu agar para
penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam kehidupan dan
penghidupan.
Berikut ini beberapa Organisasi Penyandang Disabilitas yang berada di
Indonesia:
1. FKPCTI ( Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia )
2. FNKDI (Federasi NasionalKesejahteraan Disabilitas Intelektual)
3. FNKTRI (Federasi Nasional Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia)
4. FKTI (Federasi Kesejahteraan Tunanetra Indonesia)
5. GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia)
6. GPDLI (Gerakan Peduli Disabilitas dan Lepra Indonesia)
7. Yayasan Mitra Netra
8. FKKADK (Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan)
9. YDMI (Yayasan Difabel Mandiri Indonesia)
10. SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel)
Dari beberapa organisasi penyandang disabilitas yang ada di Indonesia,
penulis memilih melakukan penelitian di Yayasan Mitra Netra yang terletak di
Jakarta Timur. Alasan utama penulis memilih organisasi tersebut adalah karena
Yayasan Mitra Netra yang memusatkan programnya pada upaya meningkatkan
kualitas dan partisipasi penyandang disabilitas tunanetra di bidang pendidikan
dan lapangan pekerjaan. Sesuai dengan tujuan penulis untuk menjelaskan
9
bagaimana peran Yayasan Mitra Netra dalam membantu penyandang
disabilitas memperoleh pekerjaan dan menganalisis bagaimana pengembangan
agensi penyandang disabilitas di Yayasan Mitra Netra agar mendapat
pekerjaan. Jadi, yang menjadi fokus penulis dalam penelitian ini adalah
penyandang disabilitas dengan kategori tunanetra, yang selanjutnya akan
disebut dengan penyandang disabilitas.
Hasil Susenas tahun 2012 mendapatkan bahwa 37,85% penyandang
disabilitas berumur 10 tahun ke atas memiliki pekerjaan dalam seminggu terakhir.
Sebagian besar bidang pekerjaan yang dilakukan adalah pertanian.
Tabel I.A.1. Distribusi Penyandang Disabilitas Usia ≥10 Tahun yang
Bekerja Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Data Susenas Tahun
2012
Sumber : Buletin Disabilitas 2014
Penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2008 sudah mencapai
angka 1.536.208 orang, sebagaimana yang tertulis pada situs Departemen
Sosial. Berikut juga disertakan data jumlah penyandang disabilitas pada DKI
Jakarta:
Jenis Pekerjaan Jumlah dalam Persen (%)
Jasa 18,31%
Perdagangan 15,29%
Industri 8,94%
Pertanian 51,41%
Lainnya 6,06%
10
Tabel I.A.2. Jumlah Penyandang Disabilitas di Jakarta Tahun 2008
Sumber: depsos.go.id diakses 15 Mei 2017
Selain itu juga penulis lebih tertarik melakukan penelitian penyandang
disabilitas dengan kategori tunanetra karena, seperti hasil observasi yang
ditemukan bahwa penyandang disabilitas tunanetra di jalan atau dalam
kehidupan sehari-hari mereka seperti terasingkan dari pekerjaan. Aksesibilitas
pada konteks ketenagakerjaan khususnya hak atas pekerjaan dapat dimaknai
sebagai tahap penyandang disabilitas memperoleh akses mengenai informasi
pekerjaan secara terbuka, luas, dan tanpa adanya diskriminasi. Padahal sudah
jelas aturan mengenai pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang dibuat oleh
pemerintah, yaitu terlihat dengan adanya Undang-undang No. 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas pada bagian keempat mengenai Pekerjaan,
Kewirausahaan, dan Koperasi. Pada pasal 53 yang berbunyi :
Wilayah Penyandang Disabilitas
Kepulauan Seribu 240
Jakarta Selatan 2.961
Jakarta Timur 5.666
Jakarta Pusat 3.653
Jakarta Barat 3.717
Jakarta Utara 5.842
11
1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan
Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2%
(dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau
pekerja.
2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
(Rangga, 2006)
Bahkan lebih tegas pula diatur kuota untuk memberi kesamaan
kesempatan bagi penyandang cacat tersebut. Peraturan tentang kuota diatur
secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejateraan Sosial Penyandang
Cacat yang terdapat dalam Pasal 28 yang berbunyi: “Pengusaha harus
mempekerjakan sekurangkurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang
memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja
pada perusahannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja
perusahaannya”. (Pasal 28 Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998
Tentang Upaya Peningkatan Kesejateraan Sosial Penyandang Cacat.)
Hal ini seharusnya sudah menjamin kepastian akan kuota kesamaan
kesempatan bagi pekerja penyandang disabilitas. Namun kenyataanya
masih banyak penyandang disabilitas yang belum terjamin pemenuhan
haknya untuk mendapatkan pekerjaan karena sebagian besar perusahaan
belum melaksanakan kewajiban tersebut. Selain sulit mendapatkan
pekerjaan, penyandang disabilitas yang akhirnya mendapatkan pekerjaan
12
tidak jarang mendapatkan diskriminasi di tempat kerja. Simon Field,
Manajer Program Better Work Indonesia dalam wawancaranya dengan
portal berita online Republika mengatakan bahwa:
Orang-orang dengan disabilitas seringkali mengalami
diskriminasi di tempat kerja, sejumlah perusahaan
mempekerjakan orang-orang disabilitas hanya karena kondisi
mereka (Republika.co.id diakses pada 10 Agustus 2016 pukul
13.30 WIB dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/04/meh
htg‐ indonesia‐dikritik‐disabilitas‐belum‐diakomodasi‐di‐dunia‐kerja.)
Perkataan Simon Field dapat diartikan bahwa pengusaha
mempekerjakan penyandang disabilitas karena kondisi mereka yang dalam
penerimaan mendapat kuota 1%, bukan karena melihat kemampuan kerja
dan keterampilan mereka.
Dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji peran
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk memperjuangkan hak-
hak bagi penyandang disabilitas disamping kebijakan yang telah
pemerintah buat. Sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai sebagai
suatu lembaga swadaya masyarakat dalam memfasilitasi penyandang
disabilitas untuk mendapatkan pelatihan kerja hingga mendapatkan
pekerjaan, dan apa saja yang menjadi rintangan selama proses itu
berlangsung.
13
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka yang menjadi kajian dalam
penilitian kali ini adalah :
1. Bagaimana peran Mitra Netra mengimplementasikan regulasi pemerintah
terkait dengan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas?
2. Bagaimana pengembangan agensi penyandang disabilitas dalam proses
untuk mendapatkan pekerjaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan sejauh mana tindakan Yayasan Mitra Netra dalam
membantu tunanetra dalam mendapatkan lapangan pekerjaan bagi
penyandang disabilitas khususnya tunanetra.
2. Untuk menganalisis bagaimana pengembangan agensi penyandang
disabilitas dalam proses mendapatkan pekerjaan.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Manfaat teoritis:
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan
referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini
dalam bidang Ilmu Sosiologi, utamanya dalam sosisologi organisasi
mengnai sebuah agensi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah
14
rujukan bagi mahasiswa Sosiologi Fisip UIN Jakarta mengenai
penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
2) Manfaat praktis :
Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis dalam membuat
karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis mengenai
masalah yang diteliti. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat
menambah pengetahuan mengenai peran agensi dalam membantu
ketersediaan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
15
D. Tinjauan Pustaka
Dalam skripsi ini peneliti telah membaca beberapa referensi mengenai
beberapa permasalahan menyangkut penyangdang disabilitas. Dan saat ini
sudah banyak penelitian yang mulai memperhatikan keadaan penyandang
disabilitas. Penelitian yang dilakukan ada yang ditulis dalam bentuk jurnal,
skripsi, thesis maupun disertasi. Penelitian mengenai penyandang
disabilitas itu sendiri bermacam-macam, ada yang melakukan penelitian
dari sisi kesehatan, psikologis, aksesibilitas dan lain-lain. Kemudian berikut
ini adalah beberapa referensi bacaan yang relevan dengan penelitan yang
dilakukan oleh penulis, yaitu:
Pertama jurnal yang ditulis oleh Slamet Thohari, jurusan sosiologi
fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Brawijaya, dengan judul
“Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang
Disabilitas di Kota Malang”. Dalam jurnal tersebut, menganilisi bagaimana
fasilitas-fasilitas yang ada di publik dapat dinikmati juga oleh penyandang
disabilitas dan juga menganilis bagaimana pandangan orang menilai
penyandang disabilitas. Aksesibilitas fasilitas publik dianggap penting
karena tanpa adanya aksesibilitas tersebut, penyandang disabilitas akan
mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas. Penelitian tersebut
menggunakan metode kuantitatif, dimana kesimpulan yang didapat
merupakan hasil data-data lapangan dan dari survey. Hasil dari penelitian
tersebut adalah, di Malang masih sangat minim fasilitas publik yang ramah
penyandang disabilitas, misalnya: dari 125 tempat yang dikategorikan
16
sebagai tempat publik, 975 tidak memasang guiding block dan hanya 3%
yang memasang guiding block. Padahal guiding block adalah fasilitas
penting bagi tuna netra sehingga mereka dapa mandiri dalam beraktivitas.
Fasilitas publik lain seperti toilet, tempat parkir, tempat ibadah, pelayanan
pemerintahan, instansi pendidikan masih jauh dari aksesibilitas. Dan, dari
semua fasilitas umum di Kota Malang 72% tidak aksesibel, 24% aksesibel
dan 0% aksesibel sesuai dengan standard peraturan yang ada. Hasil
penelitian mengenai pandangan orang mengenai penyandang disabilitas
adalah data menunjukkan bahwa masyarakat menilai mereka adalah orang
yang memiliki kelebihan adalah sebanyak 15, 15%; dan mayoritas menilai
bahwa mereka adalah orang yang memiliki ketidak sempurnaan yaitu
sebanyak 37,35%; dan disusul dengan 24, 24% menganggap mereka adalah
orang yang perlu dikasihani; dan hanya 23, 23% di antara mereka yang
menganggap bahwa mereka adalah orang biasa sebagaimana yang lainnya.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa umumnya masyarakat
masih melihat penyandang disabilitas sebagai “ketidaknormalan”, dengan
standar kenormalan yang direproduksi terus-menerus dalam masyarakat
yaitu tubuh sebagaimana tubuh orang banyak. Data ini menunjukkan
bahwa masyarakat malang masih melihat penyandang disabilitas sebagai
orang “liyan” yang kemudian bisa berakibat pada stigma buruk dan
tindakan diskriminatif. (Thohari, 2014)
17
Kedua, masih dengan penulis yang sama yaitu thesis yang ditulis oleh
Slamet Thohari, Jurusan Sosiologi di University of Hawai’i yang berjudul
“Contesting Conceptions of Disability in Javanese Society After The Suharto
Regime: The Case Of Yogyakarta, Indonesia”. Dalam thesisnya, membahas
penyandang disabilitas melalui perspektif sosiologi yang membahas mengenai
konsepsi diri penyandang disabilitas di Yogyakarta, melalui teori habitus dan
field Bourdeu. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana konsepsi mengenai
penyandang disabilitas di Yogyakarta yang notabene merepukan salah satu
kota besar di Indonesia yang masih sangat kental tradisinya dan juga masih
kental nuansa Islaminya. Berkaitan dengan hal tersebut, Thohari juga
memasukkan tokoh pewayangan untuk sedikit menggambarkan mengeni
penyandang disabilitas yang ada di Yogyakarta.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi atau menjelaskan
bagaimana konsep disabilitas yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan
bagaimana pula konsep tersebut memberi dampak pada kebijakan pemerintah
dalam hal kesehatan, pendidikan dan fasilitas publik. Dengan menggunakan
teori habitus, struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk
menghadapi realitas sosial. Konsep tersebut mengacu kepada konsep Jawa
yang menganggap disabilitas adalah sihir, konsep Islam yang meyakini
disabilitas sebagai objek amal atau ibadah, segi medis yang memandang
disabilitas sebagai kelainan, dan konsep sosial yang mengkonseptualisasikan
disabilitas sebagai konstruksi sosial. Seluruh konsep sangat kuat terhadap diri
18
seorang penyandang disabilitas, namun yang terkuat ternyata adalah konsep
medis berdasarkan uraian fakta yang didapatkan.(Thohari, 2011)
Ketiga skripsi dari Joko Teguh Prakoso dari Universitas Sebelas Maret
yang berjudul “Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-
Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”. Penelitian tersebut dilakukan
untuk Mengetahui proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-
difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta. Adapun teori yang digunakan
untuk menganalisis pola interaksi antara siswa difabel dan non-difabel yaitu :
Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Aksi dan Teori Kritis. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Joko, disimpulkan bahwa dalam proses
pembelajaran di sekolah dibutuhkan symbol-simbol atau pemaknaan tertentu
yang dikhususkan untuk siswa difabel agar dapat mempermudah dalam proses
belajar. Dalam melakukan setiap hal juga siswa difabel memiliki tujuan yang
disampaikan melalui interaksi baik dengan siswa sesama difabel maupun non-
difabel dan dengan guru. (Prakoso, 2010)
Keempat, skripsi yang ditulis oleh Angie Purbawisesa dari Universitas
Gajah Mada yang berjudul “Konsepsi Pembentukan Diri pada Penyintas
Difabel Fisik Pasca Gempa Bumi Yogyakarta Tahun 2006”. Berbeda dengan
penelitian yang sebelumya, pada penelitian ini sudah ditegaskan bahwa yang
menjadi objek penelitiannya hanyalah penyandang difabel fisik, walaupun
tidak lebih spesifik lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan
kecacatan tubuh pada penyintas difabel fisik pasca gempa bumi yogyakarta
tahun 2006. Teori yang dipakai adalah teori interaksionisme simbolik, teori
19
yang memiliki beberapa varian mengenai pengenalan diri sendiri ini dipakai
penelitinya untuk mencari tahu bagaimana penyintas difabel fisik memaknai
keadaannya, dan teori varian yang dipakainya yaitu teori konsep diri oleh
George Herbert Mead dan teori looking-glass self dari Charles Horton Cooley.
(Purbawisesa,2015)
Kelima, penelitian Febrilian Pratama, 2014 dengan judul “Peran
Komunitas Jakarta Barrier Free Tourism dalam aksesibilitas Transportasi
public bagi Difabel di DKI Jakarta Tahun 2012-2014”. Penelitian ini serupa
dengan penelitian dari jurnal Slamet Thohari yaitu, mengenai aksesibilitas
fasilitas umum bagi penyandang disabilitas. Penelitian yang dilakukan lebih
menitikberatkan pada bagaimana aksesibilitas bagi kaum difabel di Jakarta
berjalan. Menggunakan teori gerakan sosial baru. Kemudian hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa aksesibilitas publik ramah difabel masih
mengalami beberapa kekurangan. Ditunjukkan dari beberapa pembangunan
infrastruktur yang sudah ada tapi belum memenuhi azaz aksesibilitas bagi
difabel. Hasil yang didapat pun tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
berada di Yogyakarta, hasilnya kota-kota besar sekalipun masih belum
aksesibel bagi penyandang disabilitas yang beraktivitas di publik (Pratama,
2014)
20
Tabel 1.D.1. Matriks Tinjauan Pustaka
No Nama Penulis dan
Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
1
Slamet
Thohari,2014.
Jurnal “Pandangan
Disabilitas dan
Aksesibilitas
Fasilitas Publik bagi
Penyandang
Disabilitas di Kota
Malang”
Umumnya masyarakat
masih melihat penyandang
disabilitas sebagai
“ketidaknormalan”.
Malang masih sangat
minim fasilitas publik yang
ramah penyandang
disabilitas, misalnya: dari
125 tempat yang
dikategorikan sebagai
tempat publik, 975 tidak
memasang guiding block
dan hanya 3% yang
memasang guiding block.
Meneliti
mengenai
penyandang
disabilitas
Tidak spesifik
kepada
disabilitas
tertentu. Fokus
penelitian
mengenai
pandangan dan
aksesibilitas
publik.
2
Slamet Thohari,
2011.
Thesis, “Contesting
Conceptions of
Disability in
Javanese Society
After The Suharto
Regime: The Case
Of Yogyakarta,
Indonesia”
Dengan menggunakan teori
habitus, struktur mental
atau kognitif yang
digunakan aktor untuk
menghadapi realitas sosial.
Konsep tersebut mengacu
kepada konsep Jawa yang
menganggap disabilitas
adalah sihir, konsep Islam
yang meyakini disabilitas
sebagai objek amal atau
ibadah, segi medis yang
memandang disabilitas
sebagai kelainan, dan
konsep sosial yang
mengkonseptualisasikan
disabilitas sebagai
konstruksi sosial. Seluruh
konsep sangat kuat
terhadap diri seorang
penyandang disabilitas,
namun yang terkuat
ternyata adalah konsep
medis berdasarkan uraian
fakta yang didapatkan.
Mengenai
kasus
penyandang
disabilitas
Teori yang
dipakai
berbeda, lebih
meneliti
bagaimana
konsepsi
mengenai
disabilitas.
Tidak berfokus
pada satu
disabilitas.
21
3
Joko Teguh Prakoso,
2010
Skripsi: “Proses dan
Pola Interaksi Sosial
Siswa Difabel dan
Non-Difabel di
Sekolah Inklusif di
Kota Surakarta”.
Teori yang dipakai,
Interaksionisme simbilik,
Aksi dan Kritis.
Proses pembelajaran di
sekolah dibutuhkan
symbol-simbol atau
pemaknaan tertentu yang
dikhususkan untuk siswa
difabel agar dapat
mempermudah dalam
proses belajar. Dalam
melakukan setiap hal juga
siswa difabel memiliki
tujuan yang disampaikan
melalui interaksi baik
dengan siswa sesama
difabel maupun non-
difabel dan dengan guru.
Membahas
mengenai
penyandang
disabilitas
Fokus
terhadap
pemaknaan
yang dipakai
dalam proses
belajar untuk
murid difabel
disekolah
inklusif.
4
Angie Purbawisesa,
2015
Skripsi, “Konsepsi
Pembentukan Diri
pada Penyintas
Difabel Fisik Pasca
Gempa Bumi
Yogyakarta Tahun
2006”
Menggunakan teori
interaksionisme simbolik
dan teori konsep diri
Mead.
pembentukan konsep diri
dalam bentuk
pemaknaan kecacatan
tubuh yang bersifat
positif akan ditemui pada
difabel fisik penyintas
yang telah dapat
menerima kondisi
kecacatan tubuhnya.
Begitu pula sebaliknya,
kecacatan tubuh akan
dianggap sebagai
penghambat dalam
menjalani kehidupan
apabila mereka belum
berhasil menempuh fase
penerimaan diri atas
kecacatan tubuh.
Membahas
mengenai
isu
penyandan
g
disabilitas
Berfokus
pada
bagaimana
penyandang
disabilitas
mengkonseps
ikan diri
mereka
22
5
Febrilian Pratama,
2014
Skripsi, “Peran
Komunitas Jakarta
Barrier Free
Tourism dalam
aksesibilitas
Transportasi public
bagi Difabel di
DKI Jakarta Tahun
2012-2014”
Menggunakan teori
gerakan sosial baru.
Hasilnya menunjukkan
bahwa aksesibilitas
publik ramah difabel
masih mengalami
beberapa kekurangan.
Ditunjukkan dari
beberapa pembangunan
infrastruktur yang sudah
ada tapi belum
memenuhi azaz
aksesibilitas bagi difabel.
Membahas
permasalah
an yang
dihadapi
oleh
penyandan
g
disabilitas.
Isu yang
dibahas
aksesibilitas
publik bagi
penyandang
disabilitas
23
E. Kajian Teoritis
E.1. Landasan Teori
E.1.1. Teori Strukturasi
Teori strukturasi merupakan hubungan antara pelaku (tindakan)
dan struktur berupa relasi dualitas. Dualitas terjadi dalam “praktik sosial”
yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (Priyono,
2002:22).
Teori ini yang mengintegrasikan antara agen dan struktur. Giddens
mengatakan bahwa setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah selalu
menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan dengan
agen) dengan struktur. Namun dalam hal ini tak berarti bahwa struktur
menentukan tindakan atau sebaliknya (Ritzer dan Douglas, 2004:507).
Menurut teori strukturasi, domain dasar 9 kajian ilmu-ilmu sosial
bukanlah pengalaman aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas
kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di
sepanjang ruang dan waktu. Aktivitas sosial memiliki tujuan bahwa
aktivitas-aktivitas sosial tidak dilaksanakan oleh aktor sosial melainkan
secara terus menerus mereka ciptakan melalui alat-alat yang digunakan
untuk mengekspresikan dirinya sendiri sebagai aktor (Ritzer, 2012: 889).
Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan
kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan
membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur
system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar
24
kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap
kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu
ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem-
sistem itu.
Struktur mengacu tidak hanya pada aturan-aturan yang disiratkan
dalam produksi dan reproduksi sistem-sitem sosial namun juga pada
sumberdaya-sumberdaya. Ketika Giddens menjelaskan sumber daya, ia
menyatakan bahwa individu menciptakan masyarakat dengan tidak sekadar
melakukan garukan melalui cara yang sederhana, tetapi lebih dahulu
menggambarkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnnya. Adapun tiga
jenis sumber daya yang dmaksudkan ialah:
1. Makna-makna.
2. Moral (sistem nilai).
3. Kekuasaan (pola-pola dominasi dan pembagian kepentingan).
Struktur dan agensi (dengan tindakan-tindakannya) tidak dapat dipahami
secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat,
namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained)
oleh masyarakat. Bentuk paling kasar pemikiran yang telah direalisasikan masih
tetap tidak bisa menyentuh signifikansi dasar jangkauan pengetahuan aktor-aktor
manusia, karena jangkauan pengetahuan ditentukan oleh kesadaran diskursif
bukan kesadaran praktis.
Strukturasi memandang pentingnya praktik sosial baik dalam aksi
maupun struktur kehidupan masyarakat. Strukturasi mengacu pada “suatu
25
cara dimana struktur sosial (social structure) diproduksi, direproduksi, dan
diubah di dalam dan melalui praktik”. Pengertian strukturasi dikaitkan dengan
konsep dualitas struktur, dimana struktur-struktur diproduksi dan
direproduksi baik oleh tindaka-tindakan manusia maupun melalui medium
tindakan social (Abercrombie dkk, 2010:560).
Menurut Giddens, agen dan struktur tak dapat dipahami dalam
keadaan saling terpisah, agen dan struktur ibarat dua sisi mata uang logam.
Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur
memerlukan tindakan sosial. Titik tolak analisis Giddens adalah tindakan
manusia, aktivitas “bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi
secara terus menerus mereka ciptakan ulang melalui suatu cara, dan
dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor
di dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang
memungkinkan aktivitas ini berlangsung”. Aktivitas tidak dihasilkan
melalui kesadaran, melalui konstruksi tentang realitas, atau tidak
diciptakan oleh struktur sosial.
Dalam menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor, orang terlibat
dalam praktik sosial dan melalui praktik sosial itulah baik kesadaran
maupun struktur diciptakan. Giddens memusatkan pada kesadaran atau
refleksivitas. Dalam merenung (reflexive) manusia tak hanya merenungi
diri sendiri, tetapi juga terlibat dalam memonitor aliran terus-menerus dari
aktivitas dan kondisi struktural. Secara umum Giddens memusatkan
perhatian pada proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan
26
kesadaran diciptakan. Jadi, Giddens menjelaskan masalah agen struktur
secara historis, processual, dan dinamis (Ritzer, 2012:889-890).
Agen tidak hanya berkaitan dengan struktur saja, tetapi juga
berkaitan dengan kekuasaan (power). Kekuasaan harus diterima sebagai
sesuatu yang tercipta di dalam dan melalui reproduksi dari struktur
dominasi. Kemudian, adapun kaitan antara kekuasaan dengan tindakan
yang dilakukan agen adalah, tindakan yang dilakukan oleh agen
meliputi penerapan cara untuk memperoleh hasil yang diinginkan
melalui intervensi langsung yang dilakukan aktor dalam kegiatan
tertentu.
Giddens memberikan penekanan terhadap agen. Menurutnya
agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam
kehidupan sosial dan agen tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan yang
artinya aktor berhenti menjadi agen bila ia kehilangan kemampuan
untuk menciptakan pertentangan. Dalam aktor Giddens mengakuai
adanya paksaan atau pembatas terhadap aktor, tetapi tidak berarti
bahwa aktor tidak mempunyai pilihan dan tidak mempunyai peluang
untuk membuat pertentangan (Ritzer, 2012:892).
27
E.1.2. Agensi
Agensi menurut Giddens ialah suatu konsep yang mengarah
terhadap aksi atau tindakan sosial yang dilakukan oleh agen sosial.
Tindakan sosial tersebut pada akhirnya mempunyai tujuan dan tidak
dipengaruhi. Agen sosial ini tidak melulu mengacu pada individu,
melainkan juga mengacu pada kelompok. Adanya interaksi aktif dari
para agen inilah yang membuat kita memahami mengenai persoalan
sosial. Kemudian yang dimaksud agensi oleh Giddens lebih mengarah
terhadap tindakan yang dilakukan oleh agen secara terus-menerus dan
berkesinambungan.(Giddens, h.11)
Agensi berkaitan erat dengan kejadian-kejadian yang
melibatkan agen sosial baik individu maupun kelompok sebagai pelaku
dalam suatu rangkaian prilaku tertentu. Apapun yang terjadi, tidak akan
terjadi jika agen sosial ini tidak terlibat didalam kejadian tersebut. Bagi
Giddens, agensi tidak mengacu pada maksud-maksud yang dimiliki
orang ketika melakukan sesuatu melaikan terutama pada kemampuan
dalam melakukan sesuatu itu. Sesuai dengan penekanan pada keagenan,
Giddens memberikan keksuasaan besar terhadap agen. Dengan kata
lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan
pertentangan dalam kehidupan sosial dan bahkan ia lebih yakin lagi
bahwa agen tak berartu apa-apa tanpa adanya kekuasaan.
28
Berdasarkan kedua penjelasan tentang agensi tadi, dapat
disimpulkan bahwa pengertian agensi mengacu pada tindakan yang
dilihat sebagai proses yang terus-menerus dan berkelanjutan, yang
dilakukan oleh agen. Giddens juga memberikan penekanan terhadap
perilaku intensional sebagai proses yang melibatkan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Sedangkan dalam mengkonseptualisasikan kemampuan
pengetahuan agen sosial, tidak cukup hanya dengan membuat
perbedaan antara kesadaran dan ketidaksadaran. Bagi Giddens akan
lebih penting jika membedakannya ke dalam tingkat pengetahuan agen
tentang lingkungan sosial yang mereka ciptakan dan melalui tindakan
mereka antara kesadaran diskursif dan kesadaran praktis.
Kemudian Giddens juga pernah menulis yang berisikan
mengenai menjadi manusia berarti menjadi agen yang memiliki tujuan.
Manusia sebagai agen memperhitungkan ekpetasi-reaksi dari
lingkungan di sekitarnya dan perubahan kebutuhan atau keinginan saat
melakukan suatu tindakan. Dengan demikian suatu tindakan yang
dilakukan oleh agen pasti memiliki tujuan yang mampu dipahami dan
dijelaskan oleh pelakunya. (Nugraha, 2014:8)
Agensi yang merupakan tindakan yang dilakukan oleh agen,
yang bersifat sengaja maupun tidak sengaja ini menurur Giddens (1984)
kata sengaja yang dimaksudkan adalah merujuk kepada upaya
menyifati tindakan yang diketahui dan diyakini oleh agen yang akan
memiliki hasil atau kualitas tertentu jika agen menggunakan
29
pengetahuan atas hal tersebut. Poole, Seibold dan Mc Phee memandang
saat terlibat dalam suatu agensi individu sadar dan paham mengenai apa
yang terjadi disekitarnya (West dan Turner,2007).
Agensi juga mengarah bukan pada suatu maksud yang dimiliki
orang dalam melakukan sesuatu, melainkan terhadap kemampuan untuk
melakukan hal-hal yang mengarah kepada suatu kekuasaan,
sebagaimana pengertian agen menurut Oxford English Dictionarry,
yaitu agen adalah merupakan seseorang yang mengeluarkan kekuasaan
atau menghasilkan suatu dampak di sekitarnya. Agensi tidak dapat
lepas dalam suatu peristiwa dimana agen adalah sebagai aktornya dalam
suatu kejadian perilaku tertentu, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya karena apapun yang terjadi, tidak akan terjadi jika agen
tidak terlibat di dalamnya. (Poster dan Giddens, 2004:10-11)
Pengertian lainnya mengenai agensi yaitu, menurut Bourdieu
yang menjelaskan bahwa agensi adalah individu-individu yang terdapat
di masyarakat, yang kemudian agensi tersebut akan membentuk suatu
struktur sosial di dalam masyarakat. Bourdieu juga mengembangkan
sebuah konsep agen yang bebas dari voluntarisme yang bersifat
subjektivistik. Bourdie menganggap bahwa tindakan agem terhadap
hubungan-hubungan sosial yang obyektif tanpa tunduk pada determinis
struktur (Bourdieu, 2010).
Karena Giddens menaruh atau memberikan kekuasaan besar
terhadap agen, maka agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan
30
pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen tidak akan berarti apa-
apa tanpa adanya suatu kekuasaan. Oleh karena itu bukanlah hal yang
aneh jika terjadi suatu pertentangan di dalam ruang sosial. Salah
satunya mengenai perjuangan kelas subordinan atas dominasi kelas
berkuasa atau bahkan perjuangan kelas dominan untuk melestarikan
kekuasaannya dengan bermacam strategi yang dilakukan oleh agen.
(Giddens, 2004:18-20).
E.1.3. Dualitas Struktur
Menurut teori strukturasi Giddens, hubungan antara agen dan
struktur bersifat dualitas, bukan hubungan dualisme. Dalam pandangan
Giddens, merupakan sesuatu yang sudah jelas jika dikatakan ada
perbedaan antara pelaku (agen, aktor) dan struktur, sebagaimana
dikatakan ada keterkaitan antara struktur dan pelaku atau sebaliknya.
(Priyono,2002:18)
Bentuk strukturasi dalam pandangan Giddens, terdapat sifat
dualitas pada struktur. Yakni, struktur sebagai medium, dan sekaligus
sebagai hasil dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara
berulang. Maka properti-properti struktural dari suatu sistem sosial
sebenarnya tidak berada di luar tindakan, namun sangat terkait dalam
produksi dan reproduksi tindakan-tindakan tersebut. Struktur dan agensi
(dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah.
Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun
pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi oleh
31
masyarakat. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui
tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi
bentuk yang bermakna hanya melalui kerangka struktur. Teori
Strukturasi memusatkan pada praktik sosial yang berulang itu yang
pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen
dan struktur keduanya. Antara agen dan struktur tidak dapat dipisahkan
(Ansori, 2007:5-6 unpublised paper)
Dengan demikian, teori strukturasi menjelaskan upaya
pengintegrasian antara agen dan struktur melalui cara yang tepat dan
dimaksudkan sebagai dualitas dan hubungan yang bersifat dualitas
antara agen dan struktur. Walaupun nantinya struktur tidak
mementukan agen dan juga sebaliknya, namun agen maupun struktur
tidak akan ada tanpa kehadiran yang lainnya. Oleh karena itu keduanya
harus dilihat secara dinamis (Ivonilia, 2009).
E.2. Definisi Konseptual
E.2.1. Pengertian Penyandang Disabilitas
Istilah penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki
perbedaan kemampuan seringkali dikenal dengan istilah “difable” (differently
abled people) atau sekarang ini lebih dikenal dengan istilah “disabilitas”,
dimana masalah yang terkait dengan disabilitas masih jarang mendapatkan
perhatian dari pemerintah maupun masyarakat di Indonesia. Terminologi lain
yang digunakan untuk menyebut “difable” ini antara lain adalah “penyandang
cacat”, “orang berkelainan”, atau “orang tidak normal”. Istilah tersebut
32
sebenarnya tidak “bebas nilai”, artinya ada pemahaman nilai tertentu yang
telah dipaksakan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang “melabelkan” dan
mendominasi kelompok masyarakat lain. (Harahap dan Bustanuddin, Jurnal
Inovatif, 2015 : 18).
Menurut Masduki dalam Reisa (2011), difabel merupakan sebuah
sebutan untuk orang-orang yang hidup dengan kekurangan baik fisik maupun
mental (cacat). Kata difabel itu muncul sekitar tahun 1998 di Yogyakarta yang
digagas oleh aktivis gerakan penyandang cacat dari lembaga-lembaga yang
menaungi isu mengenai penyandang difabel untuk memperhalus sebutan yang
ditujukan bagi para penyandang cacat. (Reisa, 2011:3)
Kemudian, disabilitas itu sendiri merupakan kesulitan atau
ketergantungan dalam melakukan aktifitas essensial secara mandiri, seperti
melakukan peran tertentu, mengurus dirinya kebutuhan dirinya, dan hidup
sendiri di rumah, serta untuk melakukan aktivitas penting yang menyangkut
kualitas hidup. (Linda, dkk, 2004:1)
Istilah yang 'menang' dan resmi dalam ratifikasi CRPD (Convention
on the Rights of People with Disability) adalah "Penyandang Disabilitas". Dari
bentuknya, istilah ini mengganti istilah "cacat" dengan "disabilitas”. CRPD
yaitu konvensi tentang Hak-hak Difabel/Penyandang Disabilitas, telah
diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 (selanjutnya disingkat UU
No.19/2011) tentang Pengesahan CRPD. CRPD merupakan instrument HAM
internasional dan nasional dalam upaya Penghormatan, Pemenuhan dan
33
Perlindungan Hak difabel di Indonesia (Development tool and Human Rights
Instrument). Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan
menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua
penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang
disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan. (Harahap dan Bustanuddin,
Jurnal Inovatif, 2015: 21).
Masyarakat mengenal istilah disabilitas atau difabel sebagai seseorang
yang menyandang cacat. Banyak yang mengartikan bahwa penyandang
disabilitas adalah individu yang kehilangan anggota tubuh atau struktur
tubuhnya. Hal tersebutlah yang membuat disabilitas diidentikkan dengan suatu
kecacatan yang terlihat saja. Pembatasan makna disabilitas dengan kecacatan
inilah yang membuat adanya undercoverage, sehingga pendataan disabilitas
mengacu pada konsep kecacatan yang menghasilkan data yang underestimate.
(bps.go.id-artikel, 2014).
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus atau
penyandang disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas
memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang
disabilitas, yaitu:
1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:
a. Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual,
di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata
dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
34
b. Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas
intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow
learnes) yaitu anak yang memiliki IQ antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.
c. Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan
dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh.
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa). Tunadaksa adalah individu yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-
muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra). Tunanetra adalah
individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total
(blind) dan low vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu
yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen
maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam
pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
35
d. Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami
kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal,
sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan
disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang
disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun
adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan
bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda). Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan, yaitu cacat fisik dan mental (Reefani, 2013:17)
Dari penjelasan diatas, dalam penelitian ini penulis memilih untuk
menggunakan istilah penyandang disabilitas untuk menggantikan kata
cacat, penulis mengikuti istilah yang telah disepakati oleh CRPD dan telah
diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011.
E.2.2. Tuna netra
Aqila (2014:36-37), Tunanetra merupakam sebutan untuk individu
yang mengalami gangguan pada indra penglihatan. Pada dasarnya, tunanetra
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Buta Total.
Buta Total bila tidak dapat melihat dua jari dimukanya atau
hanya melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat
36
dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa
menggunakan huruf lain selain huruf Braille.
2. Low Vision.
Low Vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata
harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang
dilihatnya, atau mereka yang memiliki pandangan kabur ketika
melihat objek.
Banyak yang menjadi penyebab ketunanetraan pada diri seseorang,
salah satunya adalah terjadi malformasi dari retina untuk kelainan saraf
optik dan malforasi selebral. Kemudian penyebab ketunanetraan antara
lain:
1. Faktor Internal
Penyebab ketunanetraan ini merupakan berasal dari diri
seseorang contohnya; gen atau sifat bawaan keturunan,
kekurangan gizi, keracunan obat, dan lain-lain.
2. Faktor Eksternal
Penyebab ketunanetraan ini tidak secara alami melekat pada diri
seseorang atau tidak dialami sejak bayi, misalnya; kecelakaan, terkena
penyakit sipilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat
bantu medis saat proses persalinan sehingga syarafnya rusak, suhu tubuh
yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena penyakit bakteri atau
virus.
37
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Menurut Creswell (1998:15)., metode penelitian kualitatif
merupakan sebuah proses penyelidikan untuk memahami suatu masalah sosial
atau manusia, didasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang
dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci,
dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Syarifudin Hidayat dan Sedarmayanti
(2011:200) memiliki pandangan berbeda mengenai penelitian kualitatif yang
menyatakan bahwa penelitian untuk mengungkap gejala holistik-kontekstual
menjadi pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan peneliti
sebagai instrumen kunci.
Metode ini dipilih karena dalam penyusunan skripsi, penulis
membutuhkan sebuah informasi yang akurat serta dapat lebih mendalami
sebuah permasalahan yang sedang digali oleh peneliti. Menurut Wiratna
(2014:6) penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian
tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi
organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.
Menurut Wiratna (2014:22) menyatakan bahwa studi kasus
merupakan penelitian tentang manusia (dapat suatu kelompok, organisasi
maupun individu), peristiwa, latar secara mendalam, tujuan dari penelitian ini
mendapatkan gambaran yang mendalam tentang suatu kasus yang sedang
38
diteliti. Dengan adanya studi kasus dapat mempermudah peneliti mendalami
sebab dan tujuan Yayasan Mitra Netra memperjuangkan membantu tunanetra
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Menurut Robert K. Yin (2006:1) menambahkan bahwa metode studi
kasus tepat digunakan ketika permasalahan yang diangkat di dalam penelitian
berkenaan mengenai masalah-masalah kekinian. Isu mengenai penyandang
disabilitas ini selalu menjadi permasalahan yang mendapatkan perhatian dari
berbagai elemen, baik dari masyarakat biasa, para akademisi, bahkan
pemerintah.
2. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat dua jenis data yang pada nantinya akan digunakan sebagai
sumber yaitu data primer dan sekunder. Menurut Wiratna (2014) berdasakan
sumbernya, data dibagi menjadi :
a. Data primer : Data yang diperoleh dari informan berupa hasil wawancara
antara peneliti dengan narasumber. Informan dalam
penelitian ini adalah pengurus yayasan, intruktur pelatihan
dan klien yayasan.
b. Data sekunder : Data yang didapat dari catatan, data, dokumen yang dimiliki
oleh Yayasan Mitra Netra yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan data sekunder sebagai pendukung dari
data primer.
39
Teknik-teknik yang digunakan dalam memperoleh data yang relevan
dan akurat, yaitu: seperti yang dinyatakan oleh Wiratna (2014:33) bahwa
observasi partisipasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan dimana
peneliti terlibat dalam keseharian informan. Observasi akan dilakukan di
Yayasan Mitra Netra yang berlokasi di Lebak Bulus, Jakarta timur.
Pengamatan yang dilakukan adalah mengikuti kegiatan atau proses pelatihan
kerja yang dilakukan oleh pengurus maupun anggota, untuk mengetahui apa
saja yang diajarkan agar mereka siap mendapatkan pekerjaan.
b. Wawancara
Pada umumnya wawancara digunakan sebagai media dalam memperoleh
informasi dan bisa sebagai pembuktian terhadap informasi dan isu yang sedang
diteliti. Wiratna menyatakan bahwa wawancara merupakan kegiatan untuk
memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang
diangkat dalam penelitian (2014:31). Dalam proses wawancara juga tidak
dilakukan sembarangan, narasumber yang dipilih harus sesuai dengan kriteria
tertentu agar data yang diperoleh bisa relevan dan akurat. Jenis wawancara yang
akan digunakan yaitu wawancara terarah (guided interview) seperti yang
dinyatakan oleh Wiratna (2014:32) yaitu peneliti menanyakan kepada subyek
yang diteliti berupa pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan pedoman yang
disiapkan sebelumnya.
40
3. Subjek dan Lokasi penelitian
a. Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah beberapa pengurus Yayasan Mitra Netra yang
bertugas atau yang memahami mengenai program ketenaga kerjaan dan beberapa
penyandang disabilitas netra yang mengikuti pelatihan kerja. Dalam proses
seleksi, diperlukan kriteria-kriteria khusus bagi subjek penelitian. Penelitian ini
difokuskan klien dan pengurus Yayasan Mitra Netra :
1. Subjek penelitian merupakan pengurus yayasan sebanyak 3 orang dan
instruktur pelatihan dalam bidang tenaga kerja sebanyak 4 orang.
2. Subjek penelitian yang merupakan anggota adalah mereka yang sedang
dalam proses pelatihan sebanyak 3 orang. Dan tambahan 1 orang staff dari
PT. Candra Intech Perkasa.
Subjek utama dalam melakukan penelitian ini adalah pengurus yayasan
yang bertugas di bagian ketenaga kerjaan, sedangkan yang menjadi subjek
pendukung adalah instruktur beberapa program pelatihan yang diadakan oleh
yayasan dan juga klien yayasan yang sedang dan atau sudah selesai mengikuti
pelatihan di yayasan.
41
Tabel II.F.1. Daftar Nama Informan
No Nama Keterangan Jenis Kelamin Tempat Wawancara
1 Aria
Indrawati Pengurus Perempuan Yayasan Mitra Netra, jakarta
2 M. Akhyar Pengurus Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
3 Herman Pengurus Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
4 Suryo
Pramono Instruktur Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
5 Irma
Hikmayanti Instruktur Perempuan Yayasan Mitra Netra, jakarta
6 Arie
Moersas Instruktur Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
7 Oki Kurnia Instruktur Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
8 Juwita
Maulida Klien Perempuan Yayasan Mitra Netra, jakarta
9 Windra Klien Laki-laki Yayasan Mitra Netra, jakarta
10 NA Klien Perempuan Yayasan Mitra Netra, jakarta
11 Candra
Putra
Staff PT.
Candra
Intech
Laki-laki Kantor PT. Candra Intech
Perkasa
b. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Yayasan Mitra Netra di Lebak Bulus, Jakarta
Timur. Lokasi tersebut merupakan tempat yang penulis pilih sebagai studi kasus
dalam penelitian ini. Dimana yayasan tersebut memiliki program pelatihan
ketenaga kerjaan bagi tunanetra.
42
4. Metode analisis data
Data-data yang telah terkumpul melalui library research dan field
research selanjutnya dianalisis secara kualitatif, dan penarikan kesimpulan
dengan mempergunakan logika berfikir deduktif sehingga diperoleh gambaran
yang jelas dan menyeluruh mengenai agensi Mitra Netra dalam
memperjuangkan pekerjaan bagi penyandang disabilitas dan apa saja yang
menjadi hambatannya.
Analisis data dengan cara mengumpulkan data-data dari hasil observasi,
wawancara, yang direduksi membentuk suatu kesimpulan atau penyajian data
informasi dari data yang ada. Kesimpulan penelitan diambil berdasarkan hasil
pemahaman dan pengertian, yang menghasilkan suatu interpretasi gejala-
gejala, fakta-fakta secara sistematis dan akurat, sehingga membentuk sebuah
kesimpulan berdasarkan data-data yang terkumpul.
Menurut Miles dan Faisal dalam Wiratna (2014) bahwa analisis data
berlangsung secara bersama-sama dengan proses pengumpulan data dengan
alur tahapan sebagai berikut :
a. Reduksi data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang
tereperinci. Laporan tersebut disusun berdasarkan data yang diperoleh
kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, dan difokuskan
pada hal-hal yang penting.
43
b. Penyajian data yang diperoleh dikategorikan menurut pokok permasalahan dan
dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat
pola-pola hubungan satu data dengan data lainya.
c. Penyimpulan dan verifikasi, kegiatan penyimpulan merupakan langkah lebih
lanjut dari kegiatan reduksi dan penyajian data. Kesimpulan yang diperoleh
pada tahap awal biasanya kurang jelas, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya
akan semakin tegas dan memiliki dasar yang kuat. Kesimpulan sementara perlu
diverifikasi. Teknik yang dapat digunakan adalah triangulasi sumber data dan
metode, diskusi teman sejawat.
d. Kesimpulan akhir, diperoleh berdasarkan kesimpulan sementara yang telah
diverifikasi. Kesimpulan final diharapkan dapat diperoleh setelah pengumpulan
selesai.
44
BAB 2
GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN
A. Latar Belakang Yayasan Mitra Netra
Yayasan yang didirikan pada tanggal 14 Mei 1991 ini merupakan yayasan
yang bersifat independen, karena tidak berafiliasi dengan organisasi sosial politik
ataupun organisasi keagamaan manapun. Beberapa pendiri utama yayasan ini
adalah penyandang disabilitas tuna netra. Yayasan Mitra Netra adalah organisasi
nirlaba yang memusatkan programnya pada upaya meningkatkan kualitas dan
partisipasi penyandang disabilitas tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan
pekerjaan. Yayasan Mitra Netra sebagai lembaga yang berkecimpung di bidang
ketunanetraan, dalam merencanakan dan melaksanakan program kerjanya,
Yayasan Mitra Netra menggunakan pendekatan kemitraan, yaitu kemitraan antara
tunanetra dan saudara-saudara lain yang berpenglihatan, setra kemitraan antara
Yayasan Mitra Netra dan lembaga-lembaga lain agar terciptanya sinergi yang
baik. Hal tersebut terlihat dalam struktur organisasi yayasan yang terdiri dari
tunanetra dan mereka yang berpenglihatan.
Kemudian adapun yang melatar belakangi didirikannya Yayasan Mitra
Netra adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya kesamaan kesempatan melalui kesetaraan perlakuan
bagi tunanetra baik di bidang pendidikan ,aupun di bidang tenaga
kerja.
45
2. Belum tersedianya sarana atau layanan yang khusus bagi tunanetra
secara memadai baik di bidang pendidikanmaupun di bidang tenaga
kerja.
B. Legalitas Yayasan Mitra Netra
1. Akte Notaris, No.31/Notaris Agus Majid, Tanggal 14 Mei 1991.
2. Surat izin Dinas Sosial DKI Jakarta No. 387/ORSOS/1992.
3. Surat izin BKKKS DKI Jakarta No.
054/BKKKS/KU/SK/DU/IX/1996.
4. Surat izin Kanwil Depsos DKI Jakarta No.387/ORSOS/1992.
5. Telah tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
No.100 pada tanggal 14 Desember 2001.
C. Lokasi Yayasan Mitra Netra
Yayasan Mitra Netra pada awal berdirinya berlokasi di Salemba,
kemudian pada tahun 1995 Yayasan Mitra Netra belum menempati lokasi yang
tetap. Sehingga harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Kemudian pada tahun 1996-1997 Yayasan Mitra Netra oleh Mendiknas diizinkan
untuk menempati Sekolah Luar Biasa (SLB) yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta
Selatan. Kemudian, tahun 2002 hingga kini, Yayasan Mitra Netra telah memiliki
gedung sendiri yang terletak di Jl. Gunung Balong II.58 Lebak Bulus II, Jakarta
Selatan.
46
D. Visi, Misi dan Fungsi Yayasan Mitra Netra
1. Visi Yayasan Mitra Netra
Dalam upaya memberikan perannya di bidang pemberdayaan tunanetra
di Indonesia, kemudian yayasan ini memiliki visi yaitu “Berfungsi sebagai
pengembang dan penyedia layanan, guna terwujudnya kehidupan
tunanetra yang mandiri, cerdas dan bermakna dalam masyarakat yang
inklusif.”
2. Misi Yayasan Mitra Netra
Sebagai sebuah layanan dan pelatihan bagi tuna netra dan organisasi
lain, yayasan ini hadir ditengah-tengah masyarakat dengan misi untuk:
a. Mengurangi dampak ketunanetraan melalui rehabilitasi,
seperti trauma dan kesiapan diri bagi tunanetra dewasa
(tunanetra baru)
b. Mengembangkan potensi tunanetra melalui pendidikan dan
pelatihan.
c. Memperluas peluang kerja tunanetra melalui upaya
difersifikasi dan penempatan kerja.
d. Mengembangkan keahlian dan sarana khusus bagi tunanetra
melalui penelitian.
e. Meningkatkan kemampuan lembaga penyedia layanan bagi
tunanetra yang lain dengan menyebarluaskan keahlian serta
produk yang dihasilkan.
47
f. Melakukan advokasi guna mendorong terwujudnya
masyarakat inklusi, yang mengakomodir berbagai jenis
perbedaan.
3. Fungsi Yayasan Mitra Nitra
Berpangkal pada visi dan misi yang telah dijelaskan di atas, adapun
fungsi Yayasan Mitra Netra adalah :
a. Sebagai pendorong terwujudnya layanan rehabilitasi mental
bagi tunanetra oleh konselor sesama tunanetra.
b. Sebagia penunjang pendidikan bagi tunanetra, terutama
sistem pendidikan terpadu.
c. Sebagai pengembang sumber dya manusia dan peluang
kerja tunanetra
d. Sebagai pengembang model penanganan dan layanan
ketunanetraan.
e. Sebagai pengembang peralatan ketunanetraan.
E. Struktur Organisasi dan Staff
Yayasan Mitra Netra dikepalai oleh seorang direktur eksekutif yang secara
langsung mengawasi kelima bagian di bawahnya, yang dikepalai oleh Kepala
Bagian. Pada setiap bagiannya membawahi beberapa seksi yang dikepalai oleh
beberapa seksi (Kasi).
48
Berikut ini susunan struktur organisasi Yayasan Mitra Netra :
Pembina Yayasan
1. Ketua : drg. Anita Ratnasari Tanjung, MARS
2. Wakil Ketua Pembina : Imas Fatimah, SH, MKn
3. Anggota : Lusie Indrawati,SH, MBA.
Ir. Ratna Iswahyuni
Pengurus Yayasan
1. Ketua: Drs. Bambang Basuki
2. Sekretaris: Drs. Mohammad Ahyar
3. Bendahara: M. Nurizal, SE, MSi.
Kepala Bagian Yayasan
1. Kabag. Personalia & Umum: Tri Winarsih
2. Kabag. Keuangan: Abdul Wahid, S.E.I
3. Kabag. Humas: Aria Indrawati, S.H.
4. Kabag. Rehabilitasi & Diklat: Muizzudin Hilmi
5. Kabag. Produksi Buku & Perpustakaan: Indah Lutfiah, SPd.
6. Kabag. Penelitian & Pengembangan: Nur Ichsan
49
F. Program dan Layanan Yayasan Mitra Netra
1. Program Bagian Rehabilitasi
Program rehabilitasi Yayasan Mitra Netra dilaksanakan dengan tujuan:
a. Membantu memulihkan keseimbangan mental dan psikologis bagi
mereka yang baru mengalami ketunanetraan, baik dalam kategori
buta total maupun low vision, hingga mereka dapat menerima
ketunanetraannya, memiliki harapan baru akan masa depan mereka
dan dapat merumuskan langkah yang akan ditempuh setelah
mengalami kebutaan.
b. Memberikan bekal kemampuan dan keterampilan dasar
ketunanetraan yang dibutuhkan untuk mempersiapkan para
tunanetra agar dapat hidup mandiri dan berfungsi di lingkungan
masyarakat.
Program rehabilitasi yang dilaksanakan meliputi:
a. Menyelenggarakan layanan konseling yang diberikan oleh konselor
sesama tunanetra. Layanan ini merupakan sebuah layanan yang
diselenggarakan untuk membantu memulihkan keseimbangan
psikologis, mental serta sosioemosional bagi mereka yang baru
mengalami penurunan atau hilangnya fugsi penglihatan. Layanan
ini juga dilakukan untuk membantu para tunanetra mengatasi
berbagai permasalahan psikologis dan sosioemosional yang
dihadapi di dalam kehidupan sehari-hari.
50
b. Menyelenggarakan pelatihan orientasi dan mobilitas
Pelatihan orientasi dan mobilitas adalah sebuah pelatihan yang
bertujuan untu membekali para tunanetra dengan kemampuan dan
keterampilan memanfaatkan keseluruhan indra dalam upaya
mengenali lingkungan, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, serta untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara
efektif dan aman. Pelatihan orientasi dan mobilitas dilakukan oleh
dua instruktur yang profesional dengan metode pengajaran
individual. Pelatihan ini berlangsung kurang lebih 3 bulan, dengan
memperhatikan derajat ketunanetraan klien, serta berpusat pada
kebutuhan klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dan
diharapkan tunanetra yang telah mengikti pelatihan menjadi pribadi
yang lebih mandiri.
c. Menyelenggarakan pelatihan membaca dan menulis Braille.
Membaca dan menulis merupakan aktivitas yang penting dalam
kehidupan. Aktivitas membaca dan menulis memungkinkan
seseorang dapat menempuh pendidikan, memperoleh pekerjaan,
mendapatkan informasi berbentu tulisan, melakukan komunikasi
dan mendapatkan hiburan.
Untuk itu Yayasan Mitra Netra menyelenggarakan kursus baca
tulis huruf Braille bagi para tunanetra baru sebelum mendapatkan
51
pendidikan atau pelatihan lebih lanjut. Kusrus tersebut dilaksanakan
oleh seorang instruktur dengan waktu kurang lebih 2 bulan.
2. Program Pendidikan
Di bidang pendidikan, Yayasan Mitra Netra menyediakan layanan
khusus bagi tunanetra yang menempuh pendidikan secara inklusi di sekolah
umum dan perguruan tinggi, yaitu:
1. Layanan pendampingan, meliputi pendampingan pendaftaran,
pendampingan belajar, pendampingan ujian, tutorial, konseling serta
advokasi.
2. Menyediakan layanan perpustakaan yang menyediakan buku khusus
untuk tunanetra, baik dalam bentuk Braille maupun buku bicara atau
audio (buku dalam bentuk kaset atau CD)
3. Menyelenggarakan kursus-kursus untuk membantu kemandirian
tunanetra dalam menempuh pendidikan, yaitu:
a. Kursus abakus
Kursus yang diperuntukkan membantu siswa tunanetra
dalam mengikuti mata pelajaran eksakta, agar dapat
menghitung dengan cepat. Dalam kursus ini, Yayasan Mitra
Netra bekerjasama dengan Yayasan Aritmatika Indonesia
untuk melatih 2 orang staff menjadi instruktur pada kursus
tersebut.
52
b. Kursus mengetik manual 10 jari
Kursus ini untuk memberikan bekal keterampilan pada
tunanetra yang menjadi klien, khususnya siswa dan
mahasiswa tunanetra yang mengikuti pendidikan terpadu
agar dapat mengerjakan tugas lebih mandiri.
c. Kursus Komputer
Kursus ini ada sebagai tindak lanjut dari kursus megetik 10
jari, dengan tujuan mereka memungkinkan memperoleh
akses terhadap komputer yang merupakan sarana bantu
pendidikan atau kerja dengan teknologi tinggi. Bagi
tunanetra, untuk dapat mengakses komputer, pada
komputer tersebut harus diinstalkan peralatan khusus baik
berupa software yang dapat merubah tampilan pada
monitor menjadi suara atau software dan hardware khusus
pada braille display.
3. Program Informasi dan Komunikasi
a. Memperoleh buku untuk tunanetra, baik dalam bentuk buku braillle
maupun buku bicara.
b. Mengembangkan layanan perpustakaan Braille online pada
www.kebi.or.id sebagai metode media kerjasama antar lembaga yang
memproduksi buku Braille di Indonesia.
53
c. Mengembangkan layanan perpustakaan sebagai pusat data dan
informasi.
d. Mengembagkan pusat layanan internet bagi tunanetra, dengan
menyediakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak
pembaca layar dan akses internet, yang dapat digunakan secara cuma-
cuma.
e. Mengembangkan mailing list sebagai media komunikasi dan diskusi
tentang masalah ketunanetraan dan kecacatan lain pada
mitrajaringan@yahoogroups.com
4. Program Bagian Ketenagakerjaan
Latar Belakang munculnya program ketenagakerjaan, yaitu
sebagaimana manusia lainnya, setelah menyelesaikan pendidikan, tunanetra
juga seharusnya bekerja, agar mereka dapat mandiri secara ekonomi, menjadi
manusia yang bermakna di masyarakat, dan tidak lagi menjadi beban keluarga
serta masyarakat.
Melalui program "diversifikasi peluang kerja bagi tunanetra", Mitra
Netra menyediakan serangkaian layanan yang bertujuan:
1. Secara berkesinambungan mencari peluang kerja yang dapat
atau bahkan lebih produktif jika dilakukan tunanetra.
2. Mempersiapkan tunanetra baik dari sisi ketrampilan fisik (hard
skill) maupun ketrampilan halus (soft skill) untuk memasuki
peluang tersebut.
54
3. Membangun komunikasi dengan perusahaan maupun lembaga
pemerintah untuk membuka peluang kerja bagi tunanetra.
4. Mengupayakan magang kerja bagi tunanetra agar memiliki
pengalaman bekerja.
5. Mempromosikan tunanetra ke masyarakat yang telah siap
untuk ditempatkan sebagai karyawan.
6. Mempersiapkan tunanetra yang berminat untuk berwirausaha
agar dapat mulai merintis usaha sendiri.
Jenis layanan yang disediakan oleh Mitra Netra adalah :
1. Bimbingan karir pekerjaan lanjutan.
2. Pelatihan ketrampilan halus sebagai persiapan bekerja (soft skill pre
employment training).
3. Magang kerja.
4. Promosi tenaga kerja tunanetra ke masyarakat.
5. Penempatan tenaga kerja tunanetra baik di perusahaan maupun
instansi pemerintah.
6. Memberikan pendampingan intensif di tiga bulan pertama setelah
penempatan kerja.
7. Peminjaman alat kerja berupa komputer dan scanner jika tunanetra
memeerlukan untuk magang kerja.
Fasilitas Layanan yang disediakan oleh Yayasan Mitra Netra, yaitu:
55
1. Tempat pelatihan
2. Komputer laptop
3. Scanner
4. Bahan pelatihan kerja (job training) yang dapat dibaca secara
mandiri oleh tunanetra.
Waktu Layanan yang diberikan kepada para tunanetra, antaralain:
1. Bimbingan karir pekerjaan : 10 jam pertemuan
2. Pelatiahn ketrampilan halus : 50 jam pertemuan
3. Magang kerja : 3 bulan
4. Pemantauan intensif di awal penempatan kerja : 3 bulan
Syarat & Ketentuan Layanan yang harus dipenuhi oleh tunanetra yang
ingin mengikuti layanan ketenagakerjaan di Yayasan Mitra Netra, adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan minimal SMA atau yang sederajat
2. Memiliki ketrampilan menggunakan komputer tingkat dasar,
yaitu Ms word dan internet, namun jika peluang pekerjaan
membutuhkan kualifikasi lebih maka persyaratan akan
ditambah sesuai permintaan perusahaan.
3. Memiliki kemauan dan kesungguhan untuk bekerja.
4. Bersedia mengikuti tahapan yang ditetapkan.
5. Program Pelatihan dan Pengembangan
56
Sebagai sebuah lembaga yang mengembangkan dan menyediakan
layanan khusus bagi tunanetra, menyelenggarakan kegiatan di bidang
penelitian merupakan salah satu program prioritas di Yayasan Mitra Netra.
Secara umum, kegiatan penelitian yang diselenggarakan dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu:
1) Penelitian yang secara langsung berkaitan dengan teknologi
2) Penelitian yang berkaitan dnegan masalah sosial, terutama dalam
bidang pendidikan dan ketenagakerjaan.
G. Jaringan Kerjasama yang dimiliki Yayasan Mitra Netra
Untuk mendukung berjalannya semua program dan layanan yang ada di
yayasan ini, kemudian Mitra Nitra pun menjalin kerjasama dengan beberapa
lembaga agar semua program dan layanan dapat berjalan dengan maksimal dan
para tunanetra yang mengikutinya mendapatkan pelayanan yang maksimal.
Di bawah ini adalah lembaga yang menjadi jaringan kerjasama Yayasan
Mitra Netra, yaitu:
1. Lembaga Internasional
1) AusAID (The Australian Agency for International Development)
2) Abilis Foundation, Finlandia
3) APCD (Asia Pacific Development Center on Disability)
4) DAISY Consortium, Swiss
5) Force Foundation, Belanda
57
6) Foundation Dark & Light Blind Care (sekarang Light for The
World), Belanda
7) Helen Keller International (HKI) Indonesia
8) Inverso Baglivo Foundation, Amerika Serikat
9) ICEVI (International Council of Education for People with Visual
Impairment)
10) Lilian Foundation, Belanda
11) ONNET (Overbrook Nippon Network on Educational
Technology)
12) The Nippon Foundation, Jepang
13) VSO (Volunteer Service Overseas)
2. Lembaga Lokal dan Korporasi
1) Bank BCA
2) Bank Panin
3) Bank Permata
4) Citibank
5) Coca Cola Foundation
6) Diageo Foundation
7) Djarum Foundation
8) ExxonMobil Oil Indonesia
9) Federal International Finance.
10) Hewlett-Packard (HP) Indonesia.
58
11) IBM Indonesia.
12) Kick Andy Foundation.
13) Maverick Communication Counsultant.
14) Medco Group.
15) Microsoft Indonesia.
16) Penebar Swadaya.
17) Perusahaan Gas Negara (PT PGN)
18) Standard Chartered Bank.
19) TIFA Foundation, Indonesia.
20) Trubus Media Swadaya.
21) UPS Cardig International.
22) Yayasan Mitra Mandiri.
23) Zentha Hitawasana
3. Pemerintah
1) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
2) Bank Indonesia.
3) Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
4) Dinas Sosial DKI Jakarta.
5) Kementerian Komunikasi dan Informasi RI.
6) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
7) Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI.
8) Kementerian Sosial RI.
9) Mahkamah Konstitusi RI
59
4. Perguruan Tinggi
1) Universitas Bina Nusantara, Jakarta
2) Universitas Dian Nuswantoro, Semarang
3) Universitas Indonesia
4) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
5) Universitas Negeri Jakarta.
6) Universitas Negeri Surabaya.
7) Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Kerjasama yang dilakukan oleh Mitra Netra sudah banyak yang
memberikan keuntungan, contohnya Mitra Netra mendapatkan donatur dan
sponsor kegiatan serta Mitra Netra bisa menyalurkan klien bekerja di Bank
swasta. Program-program yang diadakan oleh Mitra Netra juga sudah banyak
yang memberikan manfaat bagi klien. Hasil observasi dan wawancara
menunjukkan dengan adanya program konseling membuat tunanetra menjadi
lebih mengerti apa yang mereka butuhkan dan apa yang harus mereka lakukan.
Mereka yang menjadi tunanetra saat dewasa juga menjadi bisa lebih menerima
keadaan tersebut. Dari program pendidikan memudahkan klien yang seorang
mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah menggunakan laptop dengan kursus
10 jari dan kursus komputer yang mereka ikuti selama menjadi klien Mitra Netra.
60
BAB III
AGENSI PENYANDANG DISABILITAS DALAM MEMPERJUANGKAN
LAPANGAN PEKERJAAN
A. Peran Mitra Netra dalam Mengimplementasikan Regulasi Pemerintah
Tentang Kesempatan Bekerja Bagi Penyandang Disabilitas
Pada bagian ini penulis akan membahas hasil penelitian mengenai
bagaimana Mitra Netra mengimplementasikan regulasi pemerintah dalam
membantu tunanetra yang menjadi klien untuk mendapatkan pekerjaan
berdasarkan data dan informasi yang merupakan hasilkan dari proses
wawancara dengan para informan. Pemerintah dalam tugasnya dalam
melindungi dan memperhatikan hak penyandang disabilitas sebagai warga
negaranya dalam persoalan mendapatkan pekerjaan, membuat aturan-aturan
yang tertuang dalam Undang-Undang.
Dalam hal ketenagakerjaan, peraturan tentang kuota diatur secara jelas
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998
Tentang Upaya Peningkatan Kesejateraan Sosial Penyandang Cacat yang
terdapat dalam Pasal 28 yang berbunyi: “Pengusaha harus mempekerjakan
sekurangkurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi
persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada
perusahannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya”. Pada
kenyataannya perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas masih
sangat minim. Pada dasarnya pekerja merupakan bagian dari faktor produksi
61
yang sangat penting bagi perusahaan, karena dapat mempengaruhi kegiatan
perusahaan. Hal tersebut dikarenakan pekerja merupakan faktor produksi
yang dapat mengelola faktor produksi lain perusahaan (Nababan, hal 1).
Undang-Undang terbaru yang mengatur mengenai pemenuhan hak
penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan tertuang dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pada
bagian keempat mengenai Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi. Pada
pasal 53 yang berbunyi :
1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,
dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling
sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja.
2. Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1%
(satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau
pekerja.
Dalam usahanya dalam membantu pemerintah agar aturan-aturan yang
dibuat dapat di implementasikan. Aturan-aturan yang negara buat dalam
bentuk Undang-Undang berusaha diterjemahkan oleh Mitra Netra. Undang-
undang No.8 tahun 2016 diatas menjadi acuan dan mempertegas bahwa
penyandang disabilitas memiliki hak yang sudah diatur oleh pemerintah,
kemudian yang menjadi tugas Mitra Netra adalah bagaimana caranya agar
aturan yang sudah jelas ada bisa berjalan dengan baik dan dapat dinikmati
oleh penyandang disabilitas tunanetra yang menjadi klien Mitra Netra.
62
Pengusaha dalam merekrut pekerja sangat berhati-hati, sehingga dapat
mempekerjakan pekerja yang memiliki kualitas dan dapat bekerja maksimal
bagi perusahaan. Penyandang disabilitas bagi sebagian orang salah satunya
pengusaha, masih dipandang sebagai seseorang yang tidak dapat bekerja
dengan baik dan tidak memiliki keahlian. Bahkan masih banyak pihak yang
menganggap penyandang disabilitas sebagai seseorang yang tidak sehat
secara fisik maupun mental. Hal ini menyebabkan pengusaha ragu
mempekerjakan penyandang disabilitas, dan menyebabkan kuota 1% tersebut
masih sulit dilaksanakan.
Oleh karena itu, Mitra Netra berusaha untuk membongkar stigma yang
ada di masyarakat bahwa sebenarnya penyandang disabilitas tunanetra bisa
bekerja dengan baik dan juga bisa memiliki keahlian yang dapat menunjang
kegiatan mereka dalam bekerja. Dalam hal ini pengurus dan instruktur Mitra
Netra berperan penting agar tunanetra yang menjadi klien bisa mendapatkan
keahlian agar bisa mendapatkan pekerjaan. Mitra Netra melalui program
ketenagakerjaan berusaha membukakan peluang untuk tunanetra agar bisa
bersaing di dalam dunia kerja.
Mitra Netra melakukan upaya-upaya untuk membantu tunanetra agar
dapat melewati hambatan-hambatan yang selama ini menghambat mereka
dalam mendapatkan pekerjaan, yaitu dengan cara membuka upaya kerjasama
dengan instansi pemerintahan, perusahaan swasta, dan individu yang
bertujuan untuk mendapatkan donatur untuk dana operasional Mitra Netra,
63
karena Mitra Netra tidak memiliki dana pasti untuk kebutuhan operasional
(non-profit).
Seperti penjelasan berikut ini:
Kita ini LSM sepenuhnya uangnya mobilisasi sumber daya,
dananya dari masyarakat tidak ada dana pribadi. Jadi kita juga
melakukan kerjasama untuk mendapatkan donasi selain juga
kerjasama supaya bisa membantu klien bekerja. (Wawancara
dengan Akhyar, salah satu pengurus Mitra Netra, Jakarta, 20 Juli
2017)
Maka dari itu, Mitra Netra membangun relasi sebanyak mungkin
untuk mendapatkan donator untuk dana operasional dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan di Mitra Netra. Seperti yang dikatakan oleh ibu Aria
berikut ini:
Kami tidak menerima subsidi dari pemerintah, tunanetra tidak
mendapatkan subsidi pemerintah. Kalaupun pemerintah memberi
hanya sedikit, tidak seberapa besarnya. Kami mendapat bantuan
dana dari donatur, dulu masih dari luar negeri saja memang, tapi
untuk saat ini sudah mulai banyak lembaga yang menjadi donatur.
Bahkan individu juga sudah ada beberapa yang menjadi donatur
kami. (wawancara dengan Aria, salah satu pengurus Mitra Netra,
Jakarta, 5 Mei 2017)
Dipertegas lagi oleh Suryo:
Tapi untuk saat ini Mitra termasuk yang sudah mandiri, tidak
sepenuhnya mengandalkan donatur. Ya sekitar 50% lah kita bisa
mandiri. Dulu sempat kita sangat kekurangan dana, sampai harus
mengeluarkan tenaga pengajar karena tidak sanggup membayar
mereka. Itu berat sekali karena harus memilih siapa yang akan tetap
bertahan dan yang harus keluar. Begitulah kira-kira tantangan
lembaga non-profit (wawancara dengan Suryo, salah satu instruktur
Mitra netra, Jakarta, 8 Mei 2017).
Selain itu, kerjasama yang dilakukan juga untuk membuka peluang
tunanetra untuk bekerja, Mitra Netra menyalurkan klien yang sudah siap
64
bekerja ke perusahaan-perusahaan yang menjadi relasi Mitra Netra. Proses
awalnya Mitra Netra yang menyerahkan proposal permohonan bantuan dana
kepada perusahaan atau instansi pemerintah, lalu selanjutnya relasi dengan
sendirinya memberikan bantuan atau mensponsori jika Mitra Netra sedang
mengadakan acara ataupun membutuhkan sesuatu. Proses yang sama juga
saat membangun relasi dengan perusahaan yang mempekerjakan penyandang
disabilitas tunanetra, Mitra Netra memberikan proposal dan mengaudiensi
pihak perusahaan agar mau menerima pegawai penyandang disabilitas
tunanetra. Seperti yang ditarakan oleh Windra:
Ada yang sebagai sponsor, waktu itu saya lupa perusahaan mana
bagi-bagi tongkat, jam bicara sama voice recorder. Keuntungan
lainnya sudah pasti Mitra mempunyai jalur untuk menyalurkan
tenaga kerja ke perusahaan. (Wawancara dengan Windra, salah satu
klien Mitra Netra, Jakarta, 10 Juni 2017)
Setelah terjadi kesepakatan dan sudah ada yang bekerja di tempat
tersebut, kedepannya perusahaan tersebut yang nantinya akan menghubungi
Mitra Netra jika sedang membuka lowongan atau membutuhkan pekerja
dengan kategori penyandang disabilitas tunanetra. Dengan adanya informasi
dari internet dan bahkan dari media televisi yang memberitakan mengenai
Mitra Netra, maka ada juga perusahaan yang datang untuk melakukan
kerjasama baik sebagai donatur maupun sebagai mitra dalam mempekerjakan
tunanetra yang menjadi klien Mitra Netra.
Pada awal berdirinya, program yang diadakan oleh Mitra Netra lebih
diutamakan untuk program pendidikan karena melihat fakta lapangan pada
saat itu di mana pendidikan bagi tunanetra sangat minim dan akses yang tidak
65
mudah. Terutama bagi tunanetra yang masih bersekolah mereka hanya bisa
menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa saja, padahal seharusnya sudah
banyak sekolah inklusif yang bisa menerima murid tunanetra tentu saja
didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hal tersebut sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Aria selaku Humas Mitra Netra, sebagai
berikut:
Mitra Netra ini didirikan awalnya lebih concern ke pendidikan
lebih dahulu. Jadi karena di awal tahun 90-an itu fasilitas dan
layanan pendukung pendidikan untuk tunanetra, khususnya untuk
tunanetra yang sekolah di sekolah reguler hingga perguruan tinggi
itu nyaris tidak ada. Saya pun bisa lulus kuliah lebih karena
dukungan keluarga sebenarnya, bukan karena pemerintah
memfasilitasi saya.( Wawancara dengan Aria, salah satu pengurus
Mitra Netra, Jakarta, 5 Mei 2017)
Adanya program ini karena melihat kenyataan yang ada jika pada
dasarnya semua orang pasti membutuhkan pekerjaan, setelah mendapatkan
pendidikan yang baik tentu saja tujuannya adalah mendapatkan pekerjaan
yang baik pula. Bagi orang-orang yang tidak memiliki hambatan secara fisik
dan mental saja merasakan sulitnya mendapatkan pekerjaan, apalagi mereka
yang memiliki kesulitan dalam melihat tentu saja membutuhkan
pendampingan khusus dan usaha yang lebih besar dibandingkan orang-orang
yang tidak memiliki hambatan. Maka dibuatlah program ketenagakerjaan
yang berlandaskan munculnya program tersebut adalah karena mulai banyak
pemikiran bahwa jika tunanetra sudah mendapatkan pendidikan, maka harus
juga mendapatkan pekerjaan sebagai tujuan akhirnya.
66
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Aria, berikut ini:
Kita harus break to stigma. Jadi program peluang kerja itu berjuang
keras membongkar image secara perlahan bahwa tunanetra tidak
identik dengan tukang pijat, karena tunanetra bisa melakukan
pekerjaan lain asal pekerjaan itu membutuhkan kemampuan
berfikir, berbicara dan berkomunikasi bisa. Kecuali pekerjaan yang
membutuhkan penglihatan seperti pilot, dan supir. (Wawancara
dengan Aria, salah satu pengurus Mitra Netra, Jakarta, 5 Mei 2017)
Dengan adanya program ketenagakejaan yang disediakan oleh Mitra
Netra diharapkan bahwa kedepannya pandangan masyarakat akan berubah
mengenai tunanetra. Bahwa tunanetra juga dapat melakukan pekerjaan lain,
dalam hal ini tentunya untuk tunanetra yang tidak disertai dengan
permasalahan lain dan tidak mengalami hambatan kecerdasan. Apa yang
dikatan oleh Ibu Aria benar adanya, bahwa selama pekerjaan tersebut
bukanlah mengendarai kendaraan tentu saja masih memungkinkan untuk
dilakukan oleh tunanetra. Seperti yang di ungkapkan oleh Suryo selaku
instruktur komputer di Mitra Netra:
Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan oleh tunantera selain
memijat ya mba, contohnya saya saja bisa menjadi tenaga pengajar
sebagai instruktur komputer. Bahkan di Newyork pernah ada
walikotanya tunanetra. Jadi selama tunanetra memiliki kemauan
dan adanya wadah untuk melatih kemampuan maka tunanetra akan
memiliki pekerjaan yang lebih layak. (Wawancara dengan Suryo,
salah satu instruktur Mitra Netra, Jakarta, 8 Mei 2017)
67
Adapun jenis layanan yang disediakan di dalam program
ketenagakerjaan untuk menunjang kesiapan tunanetra dalam mendapatkan
pekerjaan adalah :
1. Bimbingan karir pekerjaan lanjutan.
2. Pelatihan ketrampilan halus sebagai persiapan bekerja (soft skill
pre employment training).
3. Magang kerja.
4. Promosi tenaga kerja tunanetra ke masyarakat.
5. Penempatan tenaga kerja tunanetra baik di perusahaan maupun
instansi pemerintah.
6. Memberikan pendampingan intensif di tiga bulan pertama setelah
penempatan kerja. Bentuk pendampingannya yaitu salah satu
pengurus Mitra Netra mendampingi dan memberikan pengarahan
kepada klien yang sudah diterima bekerja di perusahaan tersebut.
7. Peminjaman alat kerja berupa komputer dan scanner jika tunanetra
memerlukan untuk magang kerja. (www.mitranetra.or.id, di akses
20 Juli 2017, 16:00 WIB)
Beberapa kelas pelatihan yang disediakan adalah :
1. Pelatihan membaca huruf braile
2. Pelatihan mengoperasikan komputer bicara, di dalamnya termasuk
belajar mengoperasikan Ms. Word, Ms.Excel, dan Ms. Power Point
3. Pelatihan bahasa asing
4. Kelas minat dan bakat yaitu, theater dan musik
5. Pemograman
68
Dalam mengikuti pelatihan, klien yang bergabung dengan program
ketenagakerjaan Mitra Netra harus memenuhi syarat dan ketentuan yang
berlaku, yaitu:
1. Pendidikan minimal SMA atau sederajat.
2. Memiliki kemampuan komputer tingkat dasar. Pelatihan ini bisa
klien dapatkan di dalam program lain, sebelum mengikuti program
ketenagakerjaan.
3. Memiliki kemauan dan kesungguhan untuk bekerja.
4. Bersedia mengikuti tahapan yang ditetapkan.
Pelatihan yang diberikan tidak hanya hardskill tapi juga softskill,
karena untuk terjun ke dunia pekerjaan kedua hal tersebut memiliki peran
penting, terutama untuk mereka yang memiliki hambatan penglihatan.
Pelatihan hardskill seperti, pelatihan mendasar yaitu membaca braile,
menggunakan komputer bicara yang pada awal berdirinya Mitra Netra belum
tersedia komputer bicara, maka saat itu alat yang digunakan untuk melatih
tunanetra mengetik 10 jari adalah mesin ketik. Kemudian diadakan pelatihan
softskill seperti, orientasi mobilitas, pengembangan bakat dan pengembalian
kepercayaan diri. Tunanetra diajarkan mengetik 10 jari agar memudahkan
mereka jika suatu saat mereka harus bisa mengetik di komputer.
Seperti penjelasan Aria berikut ini:
Di dalam program ini, kami ada pelatihan yang disediakan oleh
Mitra Netra untuk klien ada pre-employment training. Jadi kami
menyediakan pelatihan hardskill dan softskill. Semua klien yang
baru bergabung itu biasanya pertama ikut pelatihan braile ya, lalu
pelatihan mengoperasikan komputer bicara. Tapi dulu kan belum
ada ya, jadi waktu awal kami menggunakan mesin ketik biasa
melatih mereka mengetik dengan 10 jari. Dari pelatihan ini kami
harapkan klien bisa mandiri dan mempersiapkan mereka untuk
bekerja. Tapi waktu awal belum ada pelatihan softskill, jadi dulu
69
klien hanya dapat pelatihan hardskill. Tapi seiring berjalannya
waktu kami melihat bahwa tunanetra juga perlu dibekali dengan
dengan softskill yang baik. (Wawancara dengan Aria, salah satu
pengurus Mitra Netra, Jakarta, 5 Mei 2017)
Program yang kemudian berkembang dengan adanya pelatihan
pemograman dan bagaimana cara berselancar di dunia maya yang diharapkan
dapat membantu para client yang sedang dalam masa sekolah ataupun kuliah
untuk mempermudah dalam mengerjakan tugas. Sebelum tahun 2000an Mitra
Netra juga menyediakan laptop yang bisa dipinjam oleh klien yang sedang
menempuh pendidikan jika membutuhkan untuk mengerjakan tugas sekolah
ataupun tugas kuliah. (Observasi, Mitra Netra, Jakarta, 15 Mei 2017)
Selain itu, program-program baru juga diadakan sesuai dengan minat
dan bakat klien, seperti adanya kelas bahasa asing yaitu, Bahasa Inggris dan
Bahasa German, kelas teater dan kelas musik. Dengan adanya kegiatan baru
yang diadakan oleh Mitra Netra, terlihat bahwa Mitra Netra serius dalam
memfasilitasi klien, penulis melihat adanya beberapa fasilitas yang disediakan
berupa studio musik, meja tenis untuk yang gemar olahraga, alat musik
angklung, perpustakaan yang telah disiapkan untuk tunanetra, aula kecil
untuk berlatih theater dan dapur kecil yang diperuntukkan kelas memasak
lengkap dengan peralatan masak (Observasi 30 Mei 2017).
Harapannya adalah jika klien memiliki bakat dan di asah dengan baik
akan sangat baik jika dapat dijadikan suatu pekerjaan. Adanya penambahan
program baru tersebut memiliki alasan tersendiri yang seperti yang
diungkapkan oleh Ahyar sebagai berikut:
70
Kami melakukan survey sederhana pada tahun 2008 mengenai
kebutuhan lain agar tunanetra bisa mendapatkan pekerjaan, hanya
15 orang memang yang menjadi sampel tapi sudah mewakili
beberapa kelompok, yaitu mereka yang sudah bekerja, sudah lulus
S1 tapi belum bekerja, mahasiswa dan mereka yang masih di
bangku SMA. Hasilnya adalah perlunya berbagai keterampilan
yang harus ditambahkan, yaitu pelatihan softskill. Saat itu kami
mendapatkan volunteer dari Irlandia yang mampu mengadaptasi
permasalahan pekerjaan untuk tunanetra. (wawancara dengan
Ahyar, salah satu pengurus Mitra Netra, Jakarta, 20 Juli 2017)
Hal tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Mas Ari selaku
instruktur teater yang masuk di dalam program softskill di Mitra Netra bahwa
tunanetra juga membutuhakan pelatihan softskill yang dapat menambah nilai
plus dalam mencari pekerjaan, yaitu:
Awalnya itu aku diminta salah satu murid aku di Sanggar Ananda
untuk mengajar teater untuk acara ulangtahun Mitra Netra.
Awalnya pas dateng ke sini itu aku juga baru tahu kalau ini itu
yayasan tunanetra saat itu dikasih penjelasan sama ketua yayasan
Pak Bambang, awalnya aku sempet down gimana nih ngajar theater
tunanetra tapi saat itu aku malah punya visi misi sendiri di diri aku
agar dapat membantu mewujudkan keinginan mereka (client
tunanetra), karena untuk mereka akan sangat menyenangkan jika
apa yang menjadi minat mereka bisa menjadi suatu pekerjaan yang
menghasilkan. (wawancara dengan Ari, salah satu instruktur Mitra
Netra, Jakarta, 30 Mei 2017)
Mitra Netra bertugas untuk membuka peluang sebesar-besarnya untuk
membantu tunanetra bisa mendapatkan pekerjaan. Apa yang dilakukan oleh
Mitra Netra yaitu, melakukan kerjasama dengan perusahaan dan menyediakan
program ketenagakerjaan yang di dalamnya berisikan pelatihan-pelatihan agar
tunanetra mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan merupakan bagian
dari praktik sosial yang sudah mulai melembaga.
71
B. Pengembangan Kemampuan Agensi Penyandang Disabilitas
Dalam mencapai tujuannya mendapatkan pekerjaan yang layak, tentu
saja dibutuhkan pengembangan kualitas bagi penyandang disabilitas agar siap
bersaing di dalam dunia kerja. Dalam upayanya agar penyandang disabilitas
memiliki kualitas daya saing yang bagus, mereka yang bergabung dengan
Mitra Netra mengikuti pelatihan-pelatihan yang disediakan oleh Mitra Netra.
Mitra Netra sendiri memiliki beberapa program yang disediakan untuk klien
agar penyandang disabilitas mampu survive ditengah-tengah masyarakat.
Penyandang disabilitas yang bergabung dengan Mitra Netra sebagian besar tahu
Mitra Netra bisa memberikan pelatihan-pelatihan untuk menunjang diri mereka
dalam mendapatkan pekerjaan adalah melalui berita di televisi dan melalui
internet. Seperti yang dikatakan oleh Juwita berikut ini:
Aku itu tahu Mitra dari berita di televisi ya, waktu aku sudah agak
lama jadi tunanetra terus aku liat salah satu talkshow gitu membahas
Mitra Netra. Dari situ aku mulai cari-cari infonya lewat internet, aku
juga menemukan web Mitra. Kemudian membujuk orangtua aku
untuk mengizinkan aku pindah ke Jakarta untuk bergabung dengan
Mitra Netra, tapi tujuan awal aku masih sebatas biar bisa mandiri dan
bisa kuliah aja (wawancara dengan Juwita, 8 Mei 2016, salah satu
klien Mitra Netra, Jakarta)
Penyandang disabilitas yang mengikuti pelatihan-pelatihan yang
disediakan oleh Mitra Netra di dalam program ketenagakerjaan, selain itu
beberapa klien Mitra Netra juga pernah mengikuti pertemuan mahasiswa tingkat
nasional yang membahas persoalan yang tunanetra hadapi. Hasil dari pertemuan
tersebut adalah diadakannya konsultasi bimbingan karir yang disediakan oleh
Mitra Netra bagi kliennya yang mengikuti program ketenagakerjaan. Hasil
wawancara dengan informan juga menjelaskan bahwa Mitra Netra adalah
72
tempat pertama yang mereka datangi untuk mengikuti pelatihan-pelatihan
agar mendapatkan pekerjaan. Selain itu, sebelum mengikuti program
ketenagakerjaan ada juga yang mengikuti program pendidikan dan berhasil
mempermudah mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pelatihan yang diikuti oleh klien adalah pelatihan hardskill dan juga
softskill. Pelatihan hardskill seperti, pelatihan mendasar yaitu membaca
braile, menggunakan komputer bicara yang pada awal berdirinya Mitra Netra
belum tersedia komputer bicara, maka saat itu alat yang digunakan untuk
melatih tunanetra mengetik 10 jari adalah mesin ketik, mengoperasikan
Ms.Word, Ms.Excel dan pemograman berbasis web. Kemudian diadakan
pelatihan softskill seperti, orientasi mobilitas, pengembangan bakat dan
pengembalian kepercayaan diri.
Giddens (2004:10-11) berpendapat bahwa konsepsi agensi itu sendiri
mengarah terhadap tindakan sosial yang dilakukan aktor secara berulang-
ulang yang mengarah terhadap praktek sosial nantinya akan memiliki tujuan
dan berpengaruh terhadap suatu sistem sosial. Penyandang disabilitas yang
menjadi klien Mitra Netra dalam perannya sebagai agensi, kapasitasnya
dalam melakukan tindakan untuk mendapatkan pekerjaan yaitu dengan cara
mengikuti pelatihan-pelatihan yang disediakan oleh Mitra Netra secara terus-
menerus dan berkesinambungan.
Dari beberapa pelatihan yang disediakan oleh Mitra Netra,
penyandang disabilitas yang menjadi klien bebas memilih pelatihan apa saja
yang ingin mereka ikuti, kecuali untuk pelatihan dasar seperti membaca braile
73
dan mengoperasikan Ms.Office dengan komputer bicara serta pelatihan
orientasi mobilitas. Sedangkan untuk pelatihan tambahan seperti, Bahasa
Inggris, Bahas German, pengembangan minat dan bakat yaitu, teater, musik,
dan memasak adalah pelatihan yang tidak wajib diikuti oleh klien. Klien
Mitra Netra bisa memilih sesuai minat dan bakatnya yang sekiranya dapat
menunjang kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan yang mereka
inginkan.
Penyandang disabilitas yang mengikuti pelatihan di dalam program
ketenagakerjaan diberikan jadwal dalam seminggu ada 3 kali pertemuan
masing-masing pertemuan pelatihan diberikan selama 2 jam. Adapun
pelatihan terbagi dalam kelas individual dan kelompok, tergantung dengan
kebutuhan penyandang disabilitas yang mengikuti pelatihan. Untuk kelas
yang kelompok biasanya terdiri dari 5-6 klien dalam satu kelas.
Salah satu informan yang memilih pengembangan minat dan bakat
kelas teater adalah NA. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan
informan NA, salah satu yang menjadi alasan mengapa NA memilih kelas
teater adalah dia ingin melatih kepercayaan dirinya yang dia rasa hilang
setelah mengalami kehilangan penglihatan. Selain itu juga melatih
kemampuannya dalam berakting, dan juga menjadikan dia menjadi sosok
yang mudah dalam bersosialisasi dengan klien lainnya. Selain mengikuti
kelas teater, NA juga mengikuti kelas Bahasa Inggris untuk menambah
kemampuannya dalam berbahasa asing, karena saat ini menurut NA banyak
perusahaan yang mencari pegawai yang bisa berbahasa asing.
74
Ada juga klien bernama Juwita, yang mengikuti kelas pemograman
berbasis web. Dari hasil wawancara dengan Juwita, didapatkan alasannya
adalah karena Juwita adalah seorang mahasiswi jurusan komunikasi di
Universitas Muhammadiyah Jakarta, maka dipilih pelatihan tersebut untuk
menunjang perannya sebagai mahasiswa komunikasi. Juwita juga mengikuti
program pendidikan yang disediakan oleh Mitra Netra sebelum mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi, melalui program pendidikan tersebut
membantu Juwita dalam proses untuk bisa masuk ke perguruan tinggi.
Mitra Netra berperan memberikan pendampingan, yang meliputi
pendampingan belajar persiapan masuk, pendampingan pendaftaran,
pendampingan ujian, diberikan konseling, advokasi dan disediakannya
fasilitas perpustakaan. Setelah menjadi mahasiswi, Juwita mengikuti program
ketenagakerjaan. Adapun manfaat yang Juwita rasakan adalah dengan
mengikuti pelatihan-platihan yang disediakan dan adanya pendampingan dari
Mitra Netra Juwita bisa magang di Tingweb yang merupakan salah satu
digital brand.
Dengan adanya pelatihan minat dan bakat yang disediakan oleh Mitra
Netra, membuat penyandang disabilitas yang menjadi klien Mitra Netra
menjadi lebih kreatif. Mereka yang mengikuti kelas teater dan musik
angklung sering tampil dalam acara-acara baik yang diadakan oleh Mitra
Netra, atau undangan dari perusahaan dan sekolah-sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga bisa berkarya dan membuat
penyandang disabilitas lain termotivasi agar bisa berkarya.
75
Jika pelatihan minat dan bakat tidak semua penyandang disabilitas
mengikuti kelas yang disediakan, jika untuk pelatihan orientasi mobiltas semua
penyandang disabilitas atau klien Mitra Netra mengikti pelatihan ini. Karena
pelatihan ini cukup penting untuk penyandang disabilitas melakukan kegiatan
sehari-hari dengan bantuan tongkat. Dengan adanya pelatihan ini membuat
penyandang disabilitas menjadi mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari di
rumah, di sekolah atau kampus, bahkan di tempat mereka bekerja. Walaupun
dalam prosesnya, sebelum benar-benar melakukan mobilitasnya tanpa bantuan
orang lain, tentu saja penyandang disabilitas diberikan pendampingan atau
arahan mengenai tempat tersebut, misalnya seperti memberitahu letak pintu
masuk dan keluar, letak toilet, letak meja kerja mereka dan jalan menuju tangga
atau lift. Dalam hal ini dibutuhkan penyesuaian yang membutuhkan waktu
tergantung dengan masing-masing individu penyandang disabilitas itu sendiri.
Sejak diadakannya program ketenagakerjaan oleh Mitra Netra sudah
ada beberapa pekerjaan yang berhasil didapatkan oleh klien, yaitu:
1. Operator telepon.
2. Telemarketing.
3. Call Center.
4. Receptionist.
5. Penulis di salah satu brand digital.
6. Freelancer mengajar komputer bicara, bahasa Inggris dan bahasa
german.
7. Translator.
8. Wirausaha.
76
Dengan berhasilnya tunanetra bekerja di lingkungan dengan orang-
orang yang tidak tunanetra membuktikan bahwa tunanetra sebenarnya bisa
bekerja dengan baik dan memiliki keahlian jika dilatih, hal ini mematahkan
stigma mengenai tunanetra tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Untuk jumlah pasti sudah ada berapa klien yang bekerja, penulis tidak
mendapatkan data tertulisnya dari Mitra Netra. Perusahaan yang sudah
berhasil membuka kerjasama dengan Mitra Netra untuk penyaluran klien
untuk bekerja baru sebatas Bank swasta seperti beberapa diantaranya, yaitu
CIMB Niaga, Permata Bank dan Standart Charted.
Penyandang disabilitas yang sudah berhasil mendapatkan pekerjaan
beberapa diantaranya tidak melalui perantara Mitra Netra, mereka melamar
sendiri ke perusahaan atau sekolah inklusi. Persoalan lainnya mengenai
peraturan pemerintah yang dirasakan oleh tunanetra adalah mereka merasa
bahwa pemerintah membuat peraturan belum secara tepat. Seperti yang
diutarakan tunanetra oleh Suryo selaku instruktur Mitra Netra yang juga
seorang tunanetra:
Harusnya kan ada ya jurnal atau apa gitu hasil mereka melakukan
penelitian atau survey mengenai kami (tunanetra). Ini tidak ada
sama sekali. Saya aja sudah bersyukur dengan usaha yang lumayan
besar bisa kuliah dan menjadi tenaga pengajar di sini. (Wawancara
dengan Suryo, salah satu instruktur Mitra Netra, Jakarta, 8 Mei
2017)
Bagi penyandang disabilitas yang menginginkan pekerjaan yang layak
dan disetarakan dengan orang-orang yang tidak memiliki hambatan, tentu saja
diperlukan pengembangan kualitas diri mereka yang akan menunjang mereka
dalam bekerja di suatu perusahaan. Dengan kemampuan yang mereka miliki
setelah mengikuti pelatihan-pelatihan yang disediakan oleh Mitra Netra, baik
77
pelatihan hardskill maupun softskill membuat mereka menjadi individu yang
siap bersaing dan survive di dunia luar. Pengembangan kemampuan yang
dilakukan oleh agensi penyandang disabilitas tersebut adalah merupakan
praktek sosial yang di maksudkan oleh Giddens. Praktek sosial tersebut
dilakukan dengan cara belajar, meningkatkan kempuan dirinya agar mereka
layak menjadi pegawai dalam perusahaan dan mendapatkan pekerjaan yang
mereka inginkan.
B.1. Hambatan yang dihadapi Penyandang Disabilitas
Dalam proses mendapatkan pekerjaan, tunanetra yang menjadi klien
di Mitra Netra tentu saja mengalami hambatan-hambatan yang selama ini
menghambat mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Tunanetra yang menjadi
klien di Mitra Netra berasal dari berbagai daerah tidak hanya dari Jakarta.
Beberapa informan yang penulis wawancarai ada Juwita yang berasal dari
Bumiayu, NA yang berasal dari Tangerang Selatan dan Windra yang berasal
dari Bojonegoro.
Tiga orang informan sebagai klien Mitra Netra kebetulan merupakan
tunanetra dewasa atau newly blind, yaitu mereka mengalami tunanetra saat
sudah memasuki usia dewasa, bukan tunanetra sejak lahir. Membahas
peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hak penyandang disabilitas
dalam mendapatkan pekerjaan, peraturan Pemerintah sebagai struktur
memberikan kemungkinan bagi penyandang disabilitas sebagai agen melakukan
sesuatu yang bukan sekedar pola interaksi tetapi merujuk pada pedoman tindakan
pada suatu tatanan sosial tersebut yaitu bagaimana mereka mendapatkan
pekerjaan. Bagi Giddens, struktur sosial membantu penyandang disabilitas yang
78
menjadi klien Mitra Netra sebagai agen untuk menjadikan dunia masuk akal,
mencapai maksud dan tujuan tunanetra sebagai agen. Tetapi struktur dapat pula
membatasi ruang gerak tunanetra sebagai agen untuk berimproviasi dalam dunial
sosial, salah satunya teradapat pada peraturan yang belum dilakukan sepenuhnya
oleh perusahaan swasta atau bahkan instansi pemerintahan.
Dalam persoalan pekerjaan bagi penyandang disabilitas, khususnya
dalam penelitian ini adalah tunanetra adalah sebuah pekerjaan rumah yang
cukup besar, baik bagi tunanetra itu sendiri, organisasi yang bergerak
membantu tunanetra dan pemerintah. Fakta dilapangannya, penyandang
disabilitas tunanetra memiliki kesempatan lebih kecil dibanding penyandang
disabilitas lainnya. Seperti yang diutarakan oleh Windra berikut ini:
Saya dan beberapa rekan di sini pernah melamar pekerjaan di Job
Fair yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas. tapi tidak
kunjung mendapat panggilan kerja. Setelah saya ketahui bahwa
beberapa perusahaan memang menerima penyandang disabilitas,
namun mereka yang cacat fisik saja, bukan seperti kami
(tunanetra). (wawancara dengan Windra, salah satu klien Mitra
Netra, Jakarta, 10 Juni 2017)
Pernyataan dari salah satu informan tersebut yang memaparkan bahwa
peluang kerja tunanetra dibeberapa perusahaan masih kecil, di mana
perusahaan hanya mau menerima penyandang disabilitas dengan kriteria
cacat fisik yang tidak mengganggu indera penglihatan dan pendengaran. Dari
pernyataan tersebut membuat penulis melakukan satu wawancara singkat
dengan satu perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, yaitu PT. Candra
Intech Perkasa di Gunung Putri, Kab. Bogor. Beberapa perusahaan terlihat
79
belum siap jika memiliki karyawan dengan kondisi sebagai penyandang
disabilitas, terutama tunanetra yang notabenenya memang membutuhkan
fasilitas khusus seperti komputer bicara dan aksesibilitas di area perusahaan
yang memudahkan tunanetra dalam melakukan mobiltas sehari-hari. Tapi
juga tidak menutup peluang untuk tunanetra bisa mendapatkan pekerjaan
yang layak kedepannya. Ketika penulis mengajukan pertanyaan mengenai ada
atau tidaknya pegawai disabilitas, berikut ini jawabannya :
Sejauh ini kami belum pernah memiliki karyawan yang disabilitas
ya, karena di sini yang harus dikerjakan termasuk pekerjaan kasar
dan berat. Tapi mungkin jika suatu saat ada pelamar yang
merupakan penyandang disabilitas bisa dipertimbangkan untuk di
kantornya selagi dia memiliki keahlian. Mungkin kalau untuk yang
cacat fisik jika masih memungkinkan masih bisa dipekerjakan
sebagai supir, jika tunanetra dibagian kantor sepertinya. Karena kan
kalau untuk mempekerjakan tunanetra kami harus menyediakan
segala fasilitas yang dibutuhkan juga ya. Tapi tidak menutup
kemungkinan juga ya (wawancara dengan Candra, salah satu staff
PT. Candra Intech Perkasa, 13 September 2017)
Tentu saja hal itu menjadi suatu hambatan bagi tunanetra sekaligus juga
hambatan Mitra Netra dalam melaksanakan visi dan misinya dalam membantu
tunanetra. Untuk itu tunanetra yang bergabung menjadi klien Mitra Netra
berusaha agar mereka dapat melewati hambatan-hambatan tersebut.
Giddens berpendapat bahwa setiap manusia merupakan agen yang
betujuan (purposive agent) karena sebagai individu, Jadi, setiap individu
sebagai agen memiliki dua kencenderungan, yakni memiliki alasan-alasan
untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini
secara terus menerus sebagai bertujuan, bermaksud dan bermotif. Sedangkan
agensi mengacu pada perbuatan, kemampuan atau tindakan otonom untuk
80
melakukan apapun. Dalam hal ini agensi penyandang disabilitas memiliki
kemampuan untuk bisa keluar dari hambatan-hambatan yang menghalangi
mereka untuk mendapatkan pekerjaan, dengan cara mengikuti pelatihan yang
diadakan oleh Mitra Netra dan juga melakukan usaha di luar menjadi klien
Mitra Netra, misalnya mencoba membuka usaha sendiri, mendapatkan
dukungan dari keluarga agar bisa lebih percaya diri, bergabung dengan
perkumpulan tunanetra agar memperbanyak jaringan.
Sebuah struktur sosial juga mempunyai pengaruh besar di dalam
terciptanya sebuah sistem sosial. Menurut Giddens struktur merupakan
perwujudan adanya sumberdaya dan aturan. Struktur sosial dapat terwujud
apabila melalui praktek sosial. Dengan berhasilnya tunanetra mendapatkan
pekerjaan di perusahaan swasta, menjadikan nilai lebih baik bagi Mitra Netra
ataupun bagi perusahaan yang menerima penyandang disabilitas sebagai
pegawainya. Membuat adanya daya tarik agar penyandang disabilitas lain
yang juga memiliki keinginan mendapatkan pekerjaan menjadi ikut
bergabung menjadi klien Mitra Netra, atau bagi mereka yang sudah merasa
bisa mendapatkan pekerjaan bisa mencoba langsung ke perusahaan untuk
mendapatkan pekerjaan. Sistem sosial juga hanya bisa terwujud bila adanya
suatu wewenang dan aturan. Penyandang disabilitas sebagai agen harus
mematuhi peraturan yang ada baik yang di buat oleh pemerintah maupun
peraturan yang ada di dalam Mitra Netra itu sendiri.
Bagi Juwita, salah satu informan menjelaskan bahwa hambatan yang
dia hadapi sudah ada sejak masih kuliah, misalnya adalah hambatan untuk
81
mengerjakan tugas kuliah, mobilitas menuju kampus dan penerimaan
lingkunganya. Namun, hambatan tersebut bisa Juwita hadapi semenjak
mengikuti pelatihan yang ada di Mitra Netra, dengan mengikuti pelatihan
penyandang disabilitas bisa mengerjakan tugas kuliah, mengetik di laptop
atau komputer, berselancar di dunia maya mencari informasi dan bahan
refernsi tugas.
Hambatan lainnya yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam
upayanya mendapatkan pekerjaan adalah keterampilan bicara, wawasan
penunjang potensi diri penyandang disabilitas serta masih kecilnya peluang
untuk bekerja di sektor pemerintahan. Walaupun, sudah ada beberapa teman-
teman dari penyandang disabilitas klien Mitra Netra yang sudah berhasil
bekerja di sektor pemerintahan namun belum merata disemua instansi
pemerintahan, baik daerah maupun pusat atau BUMN.
Mengacu pada pernyataan Giddens tentang struktur pada konteks
“aturan-aturan” (rules) dan “sumber daya” (resourcers). Relasi yang
terbentuk antara tuanetra yang menjadi klien Mitra Netra dan peraturan
pemerintahan pada konteks rules memberikan klien Mitra Netra pedoman
tindakan. Artinya, klien Mitra Netra harus mematuhi segala aturan yang
berlaku pada peraturan pemerintahan. Sehingga pada konteks ini struktur
membatasi ruang gerak klien Mitra Netra. Sedangkan relasi yang terbentuk
antara klien Mitra dan peraturan pemerintahan pada konteks resource
menjadikan klien Mitra Netra sebagai agensi. Artinya, klien Mitra Netra
dapat berimprovisasi atau merevisi struktur. Artinya, struktur pada konteks
82
sumber daya bersifat membebaskan (enabling) penyandang disabilitas klien
Mitra Netra sebagai agensi. Namun dalam hal ini agensi tunanetra belum
sampai pada tahap merubah struktur, namun upaya-upaya yang sudah
dilakukan dalam bentuk praktek sosial sudah menuju ke arah merubah
struktur.
Penyandang disabilitas yang menjadi klien Mitra Netra sebagai agensi
memiliki kebebasan dalam hal menjalankan tujuannya dalam mendapatkan
pekerjaan. Dengan cara mengikuti pelatihan dan bahkan ikut serta
mengaudiensi pemerintah bersama pengurus Mitra Netra agar aturan-aturan
yang dibuat oleh pemerintah dapat terimplementasikan dengan baik. Dalam
hal ini, keterkaitan antara agensi dan struktur keduanya saling mengikat atau
mengekang, namun disaat yang bersamaan keduanya juga saling
membebaskan.
83
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas terutama
dalam hal mendapatkan pekerjaan yang layak pada saat ini masih menjadi
permasalahan yang sangat rumit. Pemerintah sebagai pemegang regulasi pun
pada kenyataannya belum terlalu banyak memberikan kontribusi nyata yang
dapat dinikmati oleh penyandang disabilitas. Terutama permasalahan yang
dihadapi oleh mereka yang tunanetra, masih kuatnya stigma yang melekat
pada masyarakat mengenai bahwa tunanetra hanya bisa melakukan pekerjaan
sebagai pemijat, tunanetra tidak akan bisa melakukan kegiatan sehari-hari
sendiri, tunanetra yang tidak bisa mandiri dalam segala hal.
Ditambah lagi dengan fasilitas pendidikan yang masih jauh dari kata
cukup untuk tunanetra mendapatkan kualitas pendidikan yang baik, membuat
tunanetra semakin dipandang sebelah mata dan orientasi orangtua yang belum
baik juga termasuk suatu kendala dalam usaha merubah stigma masyarakat
mengenai penyandang disabilitas terutama tunanetra.
Yayasan Mitra Netra hadir untuk menerjemahkan regulasi pemerintah
yang mengatur hak tunanetra dalam mendapatkan pekerjaan, Mitra Netra
membuat suatu program ketenagakerjaan yang di mana berisikan persiapan
dan penyaluran tenaga kerja kepada pihak yang menjalin kerjasama dengan
Mitra Netra. Kemudian yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Netra adalah
84
membuka upaya kerjasama dengan instansi pemerintah dan perusahaan
swasta. Tujuannya adalah mencari donatur yang mau membantu pendanaan
operasional Mitra Netra, karena tidak adanya dana pasti karena Mitra Netra
merupakan lembaga non-profit. Kerjasama yang dilakukan Mitra Netra
dengan perusahaan adalah bertujuan untuk mencari perusahaan yang mau
menerima pegawai tunanetra baik dari klien Mitra Netra agar memudahkan
menyalurkan tunanetra yang sudah siap bekerja.
Klien Mitra Netra sebagai agen, dalam konteks agensi yang
melakukan sebuah tindakan yang bertujuan mendapatkan pekerjaan adalah
dengan cara mengikuti pelatihan yang dimaksudkan agar tunanetra yang ingin
bekerja dilengkapi dengan keahlian sehingga dapat menunjukkan bahwa
tunanetra juga bisa bersaing dengan orang-orang yang tidak memiliki
keterbatasan secara fisik. Pelatihan yang diadakan adalah pelatihan hardskill
dan softskill agar tunanetra yang sudah memiliki keahlian bisa juga survive di
masyarakat, pendampingan juga akan dilakukan oleh Mitra Netra selama
masa training untu tunanetra yang sudah berhasil diterima bekerja di suatu
perusahaan. Untuk tunanetra yang ingin mengikuti pelatihan ketenagakerjaan
ini harus memenuhi syarat yang diberikan Mitra Netra. Agensi tunanetra
berusaha keluar dari hambatan-hambatan yang menghambat mereka untuk
mendapatkan pekerjaan.
Dualitas struktur selalu merupakan dasar utama kesinambungan dalam
reproduksi ruang dan waktu. Struktur tidaklah bersifat di luar agen tetapi
sebagai jejak-jejak memori dan diimplementasikan dalam praktek-praktek
85
sosial. Peraturan pemerintah dengan penyandang disabilitas yang menjadi
fokusnya dalam Undang-undang penyandang disabilitas keduanya saling
berkaitan. Walaupun struktur tidak menentukan agen dan juga sebaliknya
tetapi sesungguhnya baik agen maupun struktur tidak bisa berjalan tanpa
kehadiran satu sama lain. Oleh karena itu, keduanya harus dilihat secara
dinamis.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan
oleh penulis sebelumnya, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Akademis
Disarankan kepada peneliti selanjutnya pada bidang sosiologi, untuk
dapat melakukan penelitian mengenai penyandang disabilitas melalui
kacamata teori lain yang ada di sosiologi, karena menurut penulis
banyak permasalahan mengenai penyandang disabilitas yang dapat
digali menggunakan kacamata sosiologi.
2. Praktis
a. Pemerintah
Pemerintah diharapkan bisa lebih menunjukkan kerja nyata dalam
memperhatikan penyandang disabilitas, khususnya Kementrian
Ketenagakerjaan karena permasalahan pekerjaan bagi penyandang
disabilitas ini adalah seharusnya menjadi tanggung jawab
Kemnaker bukan sepenuhnya tanggung jawab Kemensos.
Pemerintah juga diharapkan dalam membuat perarturan bisa
86
bekerja sama dengan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat
yang bergerak menyuarakan hak penyandang disabilitas, karena
mereka pasti akan lebih paham kondisi lapangan yang sebenarnya
dan tahu apa yang mereka butuhkan. Dan membuat peraturan baru
mengenai sanksi yang akan diterima oleh perusahaan jika tidak
melaksanakan peraturan mengenai yang mewajibkan perusahaan
memiliki karyawan penyandang disabilitas.
b. Masyarakat
Masyarakat memiliki peran penting untuk meningkatkan
kepercayaan diri seorang penyandang disabilitas, khususnya dalam
hal ini tunanetra. Masyarakat diharapkan bisa merubah
pandangannya dengan tidak memandang sebelah mata kemampuan
mereka. Masyarakat perlu mengorientasi diri masing-masing
bahwa tunanetra juga membutuhkan pengakuan dari lingkungan
sekitar, terutama untuk masyarkat yang memiliki anggota keluarga
tunanetra.
c. Instansi pemerintahan dan Instansi swasta
Adanya UU yang mengharuskan memiliki karyawan 2% untuk
instansi pemerintahan dan 1% instansi swasta diharapkan semua
pihak terkait bisa melaksanakan aturan tersebut. Perusahaan juga
harus siap mengadaptasi kebutuhan bagi pegawai yang tunanetra.
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner. Kamus Sosiologi,
terjemahan Desi Noviyanti dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010.
Aqila, Smart Rose. Anak Cacat Bukan Kiamat, Metode Pembelajaran dan Terapi
Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jogyakarta: Kata Hati, 2014.
Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,
2010.
Bourdieu, Pierre. Arena Produksi Kultural, “Sebuah Kajian Sosiologi budaya”.
Kreasi Wacana, 2010.
Creswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among
Five Traditions. California: Sage Publication, 1998.
Esmara. Sumber Daya Manusia, Kesempatan Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
Jakarta: UI Press, 1986.
Felix, MT Sitorus. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor:
Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial, 1998.
Giddens, Anthony. Teori Strukturasi Dasar Dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Giddens, Anthony. The Constitution of society. Cambridge: Polity Press. 2004.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Cetakan keempat. Yogyakarta:
Pedati, 2011.
Giddens, Anthony dan Mark Poster, Teori Strukturasi Untuk Analisa Sosial.
Malang: Citra Mentari Group, 2004.
Hendropuspito, Sosiologi Sistematika, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Henselin, James M, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jilid I,edisi ke 6
Jakarta: Erlangga, 2006.
Majda, El Muhtaj. Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset, 2007.
88
Neuman, W. Lawrence. Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif (dialihbahasakan Oleh Edina T. Sofia). Jakarta: Indeks, 2013.
Priyono, Herry. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), 2000.
Reefani, Nur Kholis. Panduan Anak Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta:Imperium.2013
Ritzer, Goerge dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana, 2004.
Ritzer, Goerge. Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012.
Sedarmayanti dan Hidayat, Syarifudin. Metodologi Penelitian. Bandung : Mandar
Maju, 2011.
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial), Bandung:
PT Refika Aditama, 2005.
Wiratna, Sujarweni V. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustakabarupress, 2014.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada Pasal 27
West, Richard & Turner, Lynn H. Introducing Communication Thoery Continuing
the Classical tradition. (4th ed.). Singapore : McGraw Hill. 2007.
Yin, Robbert K. Studi Kasus: desain dan metode. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
Zuriah, Nurul, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan: Teori Aplikasi.
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
Skripsi
Budi Santoso, Ahmad. Solidaritas Virtual dan Pemberdayaan Difabel dalam
Bloghosphere Indonesia. Skripsi S1 Fakultas ilmu Sosial Universitas
Negeri Surabaya, 2003.
Dara R, Reisa. Citra Difabel dalam Novel Layang-Layang Putus: Tinajuan
Sosiologis. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia, 2011.
89
Pratama, Febrilian. Peran Komunitas Jakarta Barrier Free Tourism dalam
Aksesibilitas Transportasi Publik bagi Difabel di DKI Jakarta Tahun
2012-2014. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, 2014.
Hapriyanti, Aan. Agensi Perempuan dalam Pengelolaan Sampah. Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, 2016.
Ivonilia. Gerakan 3R dalam Pengelolaan Sampah di Jepang Sebagai Praktik
Sosial: Analisis dari Teori Strukturasi Giddens. Skripsi Universitas
Indonesia, 2009.
Mahardika, Friska. Lembaga Swadaya Masyarakat Berdasarkan Undang-undang
No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Skripsi S1
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2011.
Nursalim. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Sekretariat Nasional Forum
Indonesia Untuk Transparasi Anggaran (LSM SEKNAS FITRA) dalam
Mendorong Transparansi Anggaran Negara. Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2011.
Nugraha, Arya Satya. Interelasi agensi dan struktur dalam produksi berita
kekerasan agama: Studi kasus produksi berita kekerasan yang
menimpa Ahmadiyah di Kantor berita Antara. Skripsi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2014.
Prakoso, Joko Teguh. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-
Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Skripsi S1 Universitas
Sebelas Maret, 2010
Purbawisesa, Angie. Konsepsi Pembentukan Diri pada Penyintas Difabel Fisik
Pasca Gempa Bumi Yogyakarta Tahun 2006. Skripsi S1 Universitas
Gajah Mada, 2015.
Thesis
Abieser, Yogi. Peranan Lembaga Masyarakat dalam penanggulangan AIDS.
Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
2003.
Thohari, Slamet. Contesting Conceptions of Disability in Javanese Society After
The Suharto Regime: The Case Of Yogyakarta, Indonesia. Thesis
University Of Hawaii, 2011.
Tulisan Ilmiah/Jurnal/artikel
Ansori, Mohammad Hasan. “The sociological Theories of Pierre Bourdieu and
Anthony Giddens”, unpublished paper, 2007.
90
Harahap, Rahayu Repindowaty dan Bustanuddin. 2015. “Perlindungan Hukum
TerhadapPenyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights of
Persons With Disabilities (CRPD)”. INOVATIF| Jurnal Ilmu
Hukum,8(1) (pp. 17-29).
Linda P. Fried, dkk, “Untaling the Concepts of Disabilyty, Fraity, and
comorbidity: Implication for improved Targeting and care”, Journal of
Gerontology Medical Sciences Vol. 59, 2004, hlm. 1
Muukkonen, Martti. “Civil Society”. Makalah dalam Annual Meeting of Finish
Sociologist, 24 – 25 Maret 2000.
Thohari, Slamet. “Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi
Penyandang Disabilitas di Kota Malang”. Journal Of Disability,
Universitas Brawijaya, 2014.
Website
www.depsos.go.id diakses 15 Mei 2017
www. Ppdi.or.id di akses pada 16 Mei 2016 pukul 14:00 WIB dari
https://ppdi.or.id/sejarah
www.mitranetra.or.id diakses pada 25 Februari 2017
_________, Indonesia Dikritik Belum Disabilitas Belum Diakomodasi di Dunia
Kerja. Republika.co.id 12 Desember 2012 diakses pada 10 Agustus
2016 pukul 13.30 WIB dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/04/mehhtg‐ indonesia‐dikritik‐disabilitas‐belum‐diakomodasi‐di‐dunia‐kerja.
_________, Sebagian Besar Penyandang Disabilitas Kerja di Sektor Informal,
Republika.co.id 16 Desember 2016 diakses pada 2 Januari 2017 pukul
13:20 WIB dari http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9rpj384-sebagian-besar-penyandang-disabilitas-kerja-di-sektor-informa
_________, Lagi, Tunanetra ditolak Ikut Tes CPNS. Kartunet.com 6 Oktober
2016 di akses pada 20 Mei 2017 WIB dari https://www.kartunet.com/lagi-tunanetra-ditolak-ikut-tes-cpns-7785/
Recommended