View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila
LBH Semarang - AJI Semarang – PBHI Jawa Tengah – Jaker HAM – LRC KJHAM – KP2KKN – eLsa
– Spartacus - Rumah Buku Simpul Semarang – GMNI FISIP UNDIP - Satjipto Rahardjo Institute -
Komunitas Payung – BEM FIB UNDIP – Gerakan Literasi Indonesia – FNKSDA – DEMA UIN
Walisongo – PMII Cabang Semarang - CCMNP.
Kertas Kerja Menolak Teror Negara
I. Pendahuluan
Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah
antikapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation del homme par lhomme. Pancasila adalah
anti exploitation de nation per nation. Karena itulah Pancasila kiri. – Soekarno, 6 November
1965.
Belakangan ini, hantu-hantu fasisme ala Orde Baru, melalui campur tangan militer ke ranah sipil
dan pembangkitan kembali fobia komunisme dalam berbagai bentuk sensor meramaikan
beberapa media massa. Sebelumnya, pembubaran diskusi maupun acara-acara progresif telah
sering sekali terjadi, pemutaran film Senyap dan Jagal di beberapa kota, pembubaran nonton
bersama dan diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta, dan lain sebagainya. Baru-baru ini
tindakan sensor tersebut disusul dengan penyitaan berbagai buku, baju, dan atribut lain yang
yang secara sepihak dianggap sebagai berbau ke-kiri-kiri-an yang menjurus pada kriminalisasi.
Hal ini bersifat kontradiktif dari hendak dimulainya proses rekonsiliasi nasional yang diinisiasi
oleh Pemerintah dengan diselenggarakanya Simposium Tragedi 1965. Semenjak itu, tampak
adanya berbagai upaya yang menghalangi proses pengungkapan kebenaran, yaitu upaya-upaya
non-demokratis yang bertujuan membungkam dan menciptakan teror ditengah masyarakat. Teror
tersebut, menurut Aliansi ini, adalah bentuk lain daripada kebangkitan hantu Fasisme Orde Baru.
Kenapa Orde Baru harus kita tolak? Jawabanya sederhana saja, karena landasan berdirinya Orde
Baru itu sendiri tidak lain dan tidak bukan merupakan pembantaian atas golongan kiri dan
pendukung Presiden Soekarno. Semenjak itu, teror tidak dapat lagi dihentikan. Kekuasaan
presidensial yang kuat ditambah dengan dwifungsi ABRI membuat posisi negara, dalam hal ini
Soeharto beserta kroninya, menjadi sangat kuat. Hal ini terlihat dari pembenaran atas perbuatan
yang jelas-jelas merenggut kemerdekaan orang banyak seperti pembunuhan dan pembuangan
massal terhadap mereka yang dituduh Komunis maupun juga terhadap oposisi politik. Harus
dicatat disini, bhwa yang disebut sebagai negara yang kuat bukanlah dalam arti bahwa negara
tersebut melakukan tindakan melawan hukum, melainkan bahwa hukum itu sendiri dipergunakan
untuk kepentingan si Negara untuk melegitimasi perbuatanya. Dengan kata lain, selain
melakukan perbuatan yang menyalahi ketentuan hukum, fasisme teror negara juga melibatkan
kekejaman yang dibenarkan oleh hukum. Dengan negara yang kuat, dengan tiadanya oposisi
politik, hegemoni dari seluruh lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun
masuknya militer dalam ranah kehidupan sipil, membuat Orde Baru tidak lebih dari sekedar
mesin perputaran modal besar semata dengan rakyat sebagai sekrup-sekrup mesin yang dapat
sewaktu-waktu dibuang atau diganti. Jargon rakyat, yang tadinya hidup dalam perdebatan-
perdebatan publik semasa Presiden Soekarno, berubah menjadi massa apolitis, persis karena
ancaman kekerasan bagi setiap suara yang menentang.1 Dengan demikian, demokrasi Pancasila
pada masa Orde Baru bukanlah Demokrasi dan juga bukan Pancasila.
Aliansi Masyarakat Semarang Sayang Pancasila melihat setidaknya terdapat lima faktor penting
yang menentukan kemana arah Indonesia pasca-Soeharto akan melangkah. Kelima faktor ini
saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan menjadi bagian per
bagian. Pertama, penghargaan atas kebebasan berserikat dan berkumpul, yang secara umum telah
terantum terutama dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) dan Ayat (3), UU 39/1999 tentang
HAM dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol. Pasal penjamin kebebasan tersebut
memiliki irisan dengan hak-hak yang lain sekaligus bersinggungan dengan ketentuan
pembatasnya. Masalahnya, manakah yang lebih kuat, irisan dari hak atau pembatasan atas hak?
Kedua, menyangkut permasalahan pertama, pembatas hak paling kuat yang menjadi akar dari
asal muasal masalah diskriminasi maupu pembenaran tindakan kekerasan terhadap golongan kiri
adalah melalui TAP XXV/MPRS/1966, dengan ketentuan pidana yang diatur dalam UU 27/1999
yang merupakan perluasan dari Pasal 107 KUHP. Penggunaan dasar hukum tersebut, meskipun
diatas kertas masih berlaku, namun jelas sudah tidak lagi kontekstual terutama bagi Indonesia
pasca-Soeharto yang mengalami keterlambatan masa keadilan transisional. Penggunaan hukum
yang demikian, adalah sebagaimana yang dilakukan Nazi, Fasisme dengan berkedok hukum.
Ketiga, mengenai masuknya militer dalam kembalinya militer kepada fungsi pertahanan negara.
Hal ini juga penting mengingat beberapa peristiwa belakangan yang menunjukkan militer mulai
melakukan intervensi dari kehdupan sipil. Apabila dibiarkan, masuknya militer ke ranah sipil
akan mengganggu jalanya demokrasi. Keempat, untuk mengatasi kebencian dan penderitaan,
diperlukan adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi, yang menjadi satu bagian dari proses
rekonsiliasi. Tanpa adanya pengungkapan kebenaran dan reparasi para korban, maka kekejaman
sangat berpotensi untuk berulang. Terakhir adalah penghentian dari pelakuan stigma negatif
golongan kiri. Pemberian stigma ini dibagi dua, pertama adalah kepada korban 1965, dan yang
kedua diberikan secara luas kepada kelompok masyarakat tertentu yang tengah melakukan
advokasi/pendampingan/perjuangan kerakyatan dengan tujuan mencitrakan secara negatif atau
yang lebih buruk lagi, melakukan kriminalisasi. Kelima faktor diatas akan dibahas dibagian
bawah ini.
1 Komnas HAM setidaknya mencatat tujuh kekerasan Negara selama Orde Baru yang terindikasi merupakan Pelanggaran HAM Berat dimana peristiwa 1965 adalah yang paling luas dan besar.
II. Bagian per Bagian
Kembali mencuatnya isu mengenai komunisme belakangan ini kian mengancam kehidupan
demokrasi di Indonesia. Daulat rakyat yang telah mendapat jaminannya secara konstitusional
harus terkebiri oleh tindakan aparat TNI dan Polri yang bergerak bagai mesin-mesin penegak
hukum nir-toleransi. Khusus untuk TNI, tentu tak hanya itu. Ia telah bergerak melampaui
tugasnya, mencari panggung untuk tampil bak pahlawan.Tindakan seperti ini kembali
menggiring memori kolektif bangsa akan eksistensi orde Suharto, orde baru. Dan yang menjadi
catatan penting adalah, bahwa tindakan represif tersebut muncul setelah adanya usulan
pengungkapan kebenaran pasca Simposium 1965.
John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto menuliskan bahwa, “Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati, karena ia
menetapkan dirinya dalamhubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan
citrakhayali (simulacrum) ‘komunisme’”.Ternyata, keadaan yang demikian tak serta-merta
hilang mengiringi jatuhnya Suharto dari tampuk kekuasaan. Citra khayali adanya “bahaya laten
komunis” tetap dijaga, meski hampir genap 18 tahun pecah peristiwa reformasi. Aturan-aturan
hukum yang begitu diskriminatif dan mengangkangi kemanusian seperti Tap MPRS
XXV/MPRS/1966 tetap diakui sebagai “hukum besi”. Bahkan, di era awal reformasi diperkuat
lagi aturan hukum tersebut melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan
Negara. Dengan demikian, sangat patut diduga bahwa apa yang terjadi sekarang telah disiapkan
secara sistematis untuk dilestarikan.
Ketidaksiapan aparat TNI maupun Polri untuk berdemokrasi memiliki konsekuensi
terkesampingkannya hak asasi. Sekitar 10 hari belakangan, begitu banyak represi-represi yang
begitu agresif dilakukan oleh aparat. Mulai dari penyitaan buku-buku yang ada akaitannya
dengan G30S ataupun komunisme, penyitaan kaos atau atribut bermotif palu arit, bahkan
penangkapan pengguna kaos bermotif palu arit. Untuk penyitaan buku yang dilakukan, tampak
ketidakpahaman aparat terhadap hukum. Padahal, pengamanan barang-barang cetakan secara
ekstra judisial sebagaiamana yang termaktub dalam UU No 4/PNPS/1963 telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI 1945 oleh MK pada 2010 lalu. Pasca putusan ini, penyitaan buku
harus melalui putusan pengadilan. Sementara, untuk penangkapan pengguna kaos bermotif palu
arit telah ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Dengan kata lain, telah adanya tindakan
pengekangan kebebasan berekspresi. Jelas, bahwa Tap MPRS XXV/MPRS/1966 jo. Pasal 107a,
Pasal 107b, Pasal 107c, Pasal 107d, dan Pasal 107e UU Nomor 27 tahun 1999 dapat dijadikan
landasan oleh aparat untuk membernarkan tindakannya. Apalagi ketentuan dalam UU Nomor 27
tahun 1999 tersebut dapat dimaknai dengan sangat luas dalam penerapannya. Namun,
memandang hukum dengan kacamata kuda seperti itu sama saja dengan mementahkan reformasi.
Terlebih dengan menguatnya tuntutan akan pemenuhan serta perlindungan HAM.
Dimasukkannya rumusan yang lebih komprehensif ke dalam UUD NRI 1945 pada amandemen
kedua, disahkannya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, serta diratifikasinya
Konvenan Hak Sipil dan Politik (disamping Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
hendaknya dapat menjadi guideline aparat dalam bertindak. Hal yang demikian perlu agar
hukum benar-benar diciptakan untuk manusia, bukan manusia yang menjadi hamba hukum.
1. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat
UUD NRI 1945 merupakan the supreme law of the land dalam konteks ke-Indonesiaan. Salah
satu jaminan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 adalah kebebasan berekpresi yang merupakan
bagian dari kebebasan berpendapat yang tertera dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI 1945.
Dengan prediketnya sebagai hukum tertinggi, maka idealnya, UUD NRI 1945 dapat menganulir
aturan-aturan yang bertentangan dengannya. Selain itu, dalam Pasal 19 Konvenan Hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 juga telah dijamin
tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Memang hak ini tidak tergolong kepada non-derogable rights. Namun, yang harus diingat adalah
bahwa dalam pengklasifikasian HAM, hak atas kebebasan berekspresi serta berpendapat
diklasifikasikan sebagai hak sipil dan politik. Karakteristik dari hak jenis ini adalah semakin
sedikit peran negara, maka akan semakin terjamin pemenuhan hak tersebut (negative rights). Hal
inilah kemudian yang harus menjadi pemahaman aparat dalam bertindak. Bukan semata
melaksanakan undang-undang yang berlaku hanya karena ia diberlakukan sebagai hukum positif.
Untuk melihat ketentuan pembatasan terhadap hak berekspresi dan berpendapat secara lebih
jelas, selain dapat dilihat dalam Pasal 28J UUD NRI 1945 dan Pasal 19 Ayat (3) Konvenan Hak
Sipil dan Politik, dapat dilihat dalam Prinsip Johannesburg (pengakuan penerapan jangka
panjang Prinsip-prinsip Siracusa). Keberlakuan asas erga omnes dalam ketentuan-ketentuan
mengenai HAM kiranya dapat menjadikan dasar penerapan prinsip ini untuk pembatasan.
Prinsip 1.1 huruf a Prinsip Johannesburg menyatakan:
Pembatasan apa pun terhadap ekspresi dan informasi harus ditentukan oleh hukum.
Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati
dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan
bertentangan dengan hukum atau tidak.
Dalam prinsip diatas, dinyatakan bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan adanya ketentuan
hukum. Namun yang menjadi catatan adalah, adanya frasa “tidak bersifat ambigu” dalam
ketentuan prinsip tersebut. Ambigu menurut KBBI diartikan sebagai “bermakna lebih dari satu
atau bermakna ganda”. Artinya, dasar hukum yang digunakan untuk pembatasan tidak boleh
bermakna terlalu luas. Sementara, UU Nomor 27 tahun 1999 yang digunakan sebagai dasar
pembatasan dalam ketentuan pasalnya, mengandung rumusan yang begitu luas. Hal ini dapat
dilihat misalnya dari ketentuan Pasal 107a:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau
melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/
Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Dalam rumusan pasal diatas dapat dilihat bahwa dengan adanya frasa “melalui media apapun”
dan frasa “dalam segala bentuk dan perwujudan” telah membuka peluang kesewenang-wenangan
aparat dalam pembatasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, dalam Prinsip 2 huruf b juga
disebutkan:
Khususnya, pembatasan yang dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional tidak sah
jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk
melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan
nasional, termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu
akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau
untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya,
atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan
industrial.
Frasa “melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau
pengungkapan kesalahan yang dilakukan” kiranya berkaitan dengan Simposium 65 yang baru
saja diadakan. Penindakan yang dilakukan oleh kepolisian terkesan mengabaikan keimpulan
Simposium bahwa ada keterlibatan negara dalam kasus 1965. Sementara penggunaan logo palu
arit yang dianggap aparat sebagai ekspresi kriminal erat kaitannya dengan kasus 1965. Dengan
demikian, karena pada saat ini sedang dilakukan pengungkapan kebenaran (kesalahannegara),
maka semakin kuat keharusan bagi aparat untuk tidak membatasi hak untuk berekspresi.
Terakhir, ketentuan Prinsip 4 bahwa:
Diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau lainnya, asal usul bangsa atau sosial, kebangsaan, kepemilikan,
status kelahiran atau lainnya tidak boleh menjadi dasar pembatasan terhadap kebebasan
berekspresi atau informasi, termasuk dengan alasan keamanan nasional.
Frasa “pendapat politik” sebagai salah satu alasan tidak bolehnya dilakukan pembatasan
berekspresi juga merupakan ketentuan yang juga harus menjadi perhatian dalam pembatasan
berekspresi. Jika simbol palu arit ditafsir oleh aparat sebagai simbol komunisme yang merupakan
suatu ideologi atau pendapat politik, maka berdasarkan prinsip Johannesburg dan demi
kemanusiaan, aparat harus berhenti melakukan pembatasan.
2. Batalkan atau Tidurkan Peraturan Delik Politik yang Diskriminatif
Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 bersumber dari kebijakan pertama Suharto pasca
ditandatanginya Supersemar oleh Sukarno. Ketetapan ini berisi ketentuan yang membatasi
ideologi komunisme/marxisme-leninisme untuk disebarkan dan dikembangkan dalam segala
bentuk manifestasinya. Komunisme/marxisme-leninisme, menurut ketetapan ini, hanya boleh
didiskusikan untuk kepentingan ilmiah.
Masih berbekal Supersemar, formasi kelembagaan MPRS pada saat pembentukan Ketetapan ini
juga telah “dibersihkan” oleh Suharto dari unsur-unsur pendukung komunis. Semua anggota
MPRS (dan juga pejabat negara lainnya) dipecat dari pemerintahan dan banyak yang
dipenjarakan karena dituduh terlibat peristiwa G30S.
Sementara, berdasarkan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, hierarki peraturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden; dan
6. Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Merujuk pada ketentuan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 diatas, merupakan suatu keharusan
bagi peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan apa yang telah digariskan oleh UUD
1945 sebagai hukum tertinggi negara. Tak terkecuali Ketetapan MPRS. Secara formil, Ketetapan
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 inkonstitusional karena bertentangan dengan penjelasan
Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan. Ketetapan MPRS a
quo berdasarkan Penjelasan Pasal 3 serta Pasal 2 ayat (2) UUD NRI 1945 harusnya dibentuk
dalam suatu Sidang Istimewa MPRS dengan menjelaskan kondisi kenegaraan yang mendorong
diadakannya sidang istimewa tersebut. Sementara dalam tataran praktik, Ketetapan MPRS a quo
ditetapkan dalam sebuah sidang umum (Sidang Umum IV MPRS 1966).
Sementara itu secara materil, pembentukan Tap MPRS/XXV/1966 tidak memperhatikan adanya
jaminan untuk mengekspresikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945
(sebelum perubahan) tidak menjadi perhatian bagi MPRS pada saat pembentukan Tap MPRS
XXV/MPRS/1966. Padahal semangat yang terkandung didalam Pasal 28 UUD 1945 adalah
semangat demokratisasi. Pasal 28 UUD 1945 pada proses pengesahannya telah melalui
perdebatan panjangan antara Hatta dan Yamin yang mengehendaki adanya jaminan HAM dan
demokrasi, serta di sisi seberang, Soepomo dan Soekarno yang menginginkan negara bercorak
integralistik. Perdebatan ini akhirnya berujung pada penerimaan Soepomo dan juga Soekarno
terhadap disertakannya jaminan HAM dalam konstitusi. Namun, semangat demokratisasi yang
ada dalam Pasal ini tidak serta merta dihayati oleh para pembentuk Tap MPRS
XXV/MPRS/1966. Yang demikian, menurut Adnan Buyung Nasution adalah “dampak politik
dari pemaknaan Pasal 28 UUD 1945 berdasarkan staatside integralistik totaliter di bawah
pemerintahan Suharto”.
Pasca reformasi dan Amandemen UUD NRI 1945, keberadaan Tap MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 tetap dipertahankan.Status hukum Tap MPR/MPRS dalam hierarki peraturan
perundang-undangan menempati posisi dibawah UUD NRI 1945 dan diatas undang-undang /
Perpu (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011) setelah sebelumnya sempat
dihilangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004. Sementara itu, pemberlakuan Tap
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 melalui ketentuan Pasal 2 angka 1 Tap MPR Nomor
I/MPR/2003 harus diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum,prinsip demokrasi
dan hak asasi manusia. Meskipun terlihat paradoks, karena ketentuan yang tidak menghormati
prinsip HAM ini harus diberlakukan dengan menghormati HAM, namun hal ini harus menjadi
perhatian aparat dalam menindak tindakan yang berhubungan dengan komunisme. Hal ini
diperkuat adanya jaminan HAM yang lebih komprehensif pasca amandemen kedua UUD NRI
1945. Selain Pasal 28, ada juga ketentuan Pasal 28E Ayat (2), Setiap orang berhak atas
kebebasanmeyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai denganhati
nuraninya,Pasal 28E ayat (3), Setiap orang berhak atas kebebasanberserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat,danterutama Pasal 28I ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk
tidakdisiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hakuntuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapanhukum dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlakusurut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalamkeadaaan apapun.
Dengan diakomodirnya ketentuan-ketentuan yang secara komprehensif menjamin HAM dalam
UUD NRI 1945, semakin tampak pertentangan antara Tap MPRS XXV/MPRS/1966 dengan
UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi. Terlebih lagi, dalam Pasal 28I ayat (2) telah dinyatakan
bahwa hak atas kemerdekaan pikiran tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-
derogable rights). Namun demikian, Tap MPRS ini hingga sekarang masih diakui diakui sebagai
peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi sumber hukum materiil bagi aturan-
aturan hukum lain yang bersifat diskriminatif terhadap kebebasan berekpresi, menyampaikan
pendapat dan kemerdekaan fikiran. Untuk itu merupakan keharusan bagi negara untuk mencabut
pemberlakuan Tap MPRS/XXV/1966 demi terjaminnya perlindungan HAM di Indonesia.
Analisa kedua adalah, bahwa dalam konteks civil law, sejauh pengaturan tersebut tidak
dibatalkan, dicabut, atau daluwarsa, maka pengaturan tersebut masih tetap berlaku. Situasi kedua
inilah yang terjadi di Indonesia pada masa reformasi ini. Meski beberapa pengaturan dibawahnya
telah dibatalkan oleh yudisial,2 namun pada dasarnya pada tiap-tiap keputusan tersebut tidak ada
dalam bagian amar yang menyinggung soal relevansi dari TAP MPRS itu sendiri, walaupun
adapula yang menyinggung perihal penahanan dan perlakuan sewenang-wenang. Secara garis
besar, kemenangan dari perkara yang diajukan semata-mata karena berlawanan dengan belum 2 Judicial Review Pasal 60 g UU 12/2003 yang dibatalkan melalui putusan MK No 011-017/PUU-1/2003 yang menjadi putusan penting mengingat penggunaan instrument huum internasional (kovenan sipol yang waktu itu belum diratifikasi) dalam bagian pertimbanganya. Gugatan TUN Nona Nani soal KTP Seumur hidup yang kemudian menjadi Yurisprudensi PTUN Jakarta No. 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT. Putusan MA 25 P/HUM/2007 yang membatalkan Keppres 28/1975 tentang perlakuan terhadap eks-tapol golongan C.
adanya keputusan hukum yang tetap atau praduga tidak bersalah. Hal ini barangkali disebabkan
juga karena posisi TAP yang berada tepat dibawah UUD.
Jadi dapat dikatakan bahwa TAP XXV/MPRS/1966 masih berlaku baik secara de facto dan de
jure. Sementara TAP mengatur perihal ketentuan yang bersifat umum, dan hanya bersifat
melarang, pengaturan dibawahnya yang menggunakan TAP tersebut sebagai gantungan validasi
formilnya, memiliki konsekuensi hukum yang berakibat pada sifat diskriminatif secara legal dan
pengaturan pidana. Untuk kepentingan tulisan ini akan dibahas satu saja contoh mengenai
ketentuan pemidanaan yang termuat dalam UU 27/1999. Pada intinya, ketentuan dalam UU a
quo tersebut mendefinisikan mengenai delik pidana politik, yaitu delik pidana yang mempunyai
muatan politik di dalamnya dan dalam konteks UU a quo, yang diatur secara spesifik adalah
ketentuan pidana dari penyebarluasan Komunisme/Marxisme/leninisme. Ketentuan delik dalam
UU a quo tersebut bersifat luas dan multitafsir. 3 Keduanya, baik TAP MPRS maupun UU
27/1999 merupakan satu paket kesatuan dari pengaturan yang bersifat sewenang-wenang. TAP
MPRS sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya pada tahun 1966, sebagai
pengaturan yang dibuat secara sewenang-wenang dengan tujuan untuk membenarkan tindakan
kekerasan terhadap yang dituduhkan sebagai kiri atau komunis dalam berbagai kebijakan selama
orde baru, dan ketentuan UU 27/1999 adalah turunan dan ketentuan pidana yang lahir pada masa
menjelang reformasi.
Pertanyaanya, apakah suatu hukum yang menyalahi nilai kemanusiaan masih dapat dikatakan
sebagai hukum? Tentang hal ini, ada baiknya untuk menilik dari pengalaman Jerman pasca Nazi.
Sebagaimana telah diketahui, Nazi adalah partai yang secara sah memenangi pemilu, dan bahkan
kebijakan rasialnya juga dilakukan secara sah menurut hukum. Radbruch, sebagai jawaban dari
pertanyaan diatas menyatakan bahwa “positivism with its credo that ‘law is a law’ rendered the
German legal profession defenceless against laws of arbitrary and criminal content.”4 Lebih
jauh, Radbruch berpendapat bahwa hukum positif tidak dapat lagi dinyatakan berlaku apabila
mencapai pada titik dimana ketidakadilan sudah tidak dapat lagi ditoleransi, dan kedua, apabila
dalam pengundanganya memang bertujuan untuk mengingkari keadilan. Kedua hal tersebut
3 Terutama Pasal 107 a:
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 107 huruf e dengan ancaman maksimal 15 tahun: Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudanya;
Ketentuan delik dalam dua pasal diatas bersifat sangat luas dengn semata-mata memberlakukan pidana pada penyebaran dalam bentuk apapun, juga bahwa ketentuan diketahu atau patut diduga, yang tentu bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. 4 Frank Haldemann. Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on Nazi Law. Ratio Juris Vol. 18 No. 2 June 2005. Hlm 165.
adalah standar minimum dari keadilan.5 Jadi, dihadapan ketidakadilan yang tidak terperikan,
suatu hukum sudah tidak berlaku sebagai hukum.
Tap MPRS dengan demikian harus diletakkan dalam konteksnya hari ini, bahwa secara positif
memang masih berlaku, namun pengaturan tersebut, apabila memang belum dapat dibatalkan,
dapat untuk dibuat tidak berlaku, atau menidurkan pengaturan tersebut. Akan tetapi, kenapa
pengaturan Tap beserta dibawahnya perlu untuk ditidurkan atau dibuat tidak berlaku?
Sebagaimana telah diketahui, Indonesia pasca-fasisme Soeharto mengalami masa transisi yang
terlambat, kalau tidak mau dikatakan gagal. Keterlambatan itu nampak pada tidak dibereskanya
kejahatan masa lalu hingga lebih dari satu dekade masa reformasi. Untuk kasus 1965 dimana
langkah-langkah awal baru hendak ditempuh, maka pada saat inilah seharusnya masa transisi
baru akan dimulai. Keadilan transisional, dan dengan pengungkapan kebenaran di dalamnya
memiliki konsekuensi lain, yaitu bahwa pengungkapan dan keadilan itu akan mengubah tatanan
hidup pada umumnya, yang berarti memerlukan cara-cara berhukum yang luar biasa. Sejauh ini,
proses transisional di Indonesia berjalan secara kontradiktif, pada satu sisi negara rajin
mengundakan atau meratifikasi Hukum bermuatan HAM, namun pada saat yang bersamaan juga
tidak menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu dan belakangan justru menciptakan teror berdalih
legalitas hukum. Klausula ketidakadilan yang tidak terperikan, dalam formulasi Radbruch, dalam
kasus 1965 dimana menelan korban –mengutip Sarwo Edhie- 3 juta orang dan pembuangan
terhadap 1 juta orang lainya, dalam 50 tahun pencarian keadilan, telah terpenuhi. Maka Tap
MPR adalah hukum yang tidak memiliki validitas hukum.
Kemudian apabila hukum tersebut bukan lagi hukum, apa yang dapat diperbuat? Dalam hal
tersebut dapat diterapkan kebijakan untuk tidak menerapkan hukum (non enforcement of law).6
Posisi strategis dari penerapan kebijakan ini ada pada pihak kepolisian, selaku garda depan dari
pelaksanaan kebijakan pidana. Maka, apabila Kepolisian dengan ini memang merupakan salah
satu bagian dari proses rekonsiliasi dan keadilan yang lebih besar bagi bangsa dan negara,
penggunaan TAP maupun UU 27/1999 sebagai dalih kriminalisasi hari-hari ini harus dipandang
sebagai hal yang tabu dan tidak manusiawi. Ketidakmanusawian berkedok peraturan hukum.
5 Ibid hlm 166 sebagaimana dikatakan Radbruch menurut Haldermann: Positive law loses its legal character or its legal validity if, and only if, it reaches a level of extreme injustice. 6 Menurut Suteki, kebijakan tidak menerapkan hukum dapat diterapkan dengan berdasar pada 4 alasan sebagai berikut: 1. apabila penerapan hukum tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. 2. Apabila hukum bersifat jauh dari realitas sosal dan tidak dekat dengan keadilan rakyat. 3. Bila memang tidak ada peraturan pelaksananya 4. Bilamana bangsa dan Negara menghendaki, yakni untuk kepentingan yang lebih besar dari pada penegakan hukum di bidang tertentu, non enforcement melalui system restitutif atau restorative. Disarikan dari Suteki. Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Unversitas Diponegoro, Semarang 4 Agustus 2010. Suteki tidak menjelaskan konteks non-enforcement of law tersebut dalam konteks kejahatan Ham berat, namun beberapa poin darinya dapat dipergunakan untuk kepentingan tulisan ini terutama poin 1 dan sebagian dari poin 4. Aliansi berpendapat bahwa kebijakan restitutf/restorative tidak lantas menghilangkan kebijakan pidananya.
3.Tentara Kembali ke Barak
Penghapusan dwifungsi ABRI seharusnya membatasi peran TNI dalam mengintervensi setiap
kegiatan masyarakat dalam menyampaikan pendapat yang sudah dijamin oleh UUD 45. Namun
yang terjadi, dwifungsi ABRI masih terasa nyata di dalam masyarakat, kausalitas dari hal ini
menimbulkan gesekan-gesekan. Studi mengenai dwifungsi menghasilkan dua pemikirian dan
fokus. Dwifungsi ABRI merupakan ideologi. Dan kedua, dwifungsi ABRI merupakan sebuah
konstruksi sosial7. Sedangkan dwifungsi ABRI memiliki fungsi-fungsi yang dimiliki dan melekat
pada ABRI sebagai kekuatan Hankam dan Kekuatan Sosial dalam rangka Perjuangan Nasional
untuk mencapai Tujuan Nasional 8 . Dwifungsi ABRI memaksa masyarakat untuk bergerak
dibawah tekanan psikis dan ideologis, psikis artinya masyarakat wajib mematuhi dan mengikuti
segala aturan yang dijalankan oleh negara melalui ABRI sebagai simbol/ cara agar aturan itu
benar-benar dilakukan dan dijalankan. Sedangkan ideologis berarti ABRI memberikan sedikit
ruang untuk masyarakat terlibat dalam sosial dan politik. Dwifungsi ABRI secara konseptual
maupun secara praktis merupakan kontra posisi dan paham atau ideologi supremasi sipil. Paham
supremasi sipil memandang bahwa tentara hanyalah alat negara belaka yang didudukan dibawah
dan dikendalikan oleh pemerintah (sipil) yang berkuasa9. Dwifungsi ABRI sangat khas dengan
politik orde baru terutama dalam menjamin stabilitas keamanan negara. Dwifungsi ABRI yang
diketahui masyarakat diluar ABRI adalah suatu bentuk militerisme yang nyata yang ditunjukan
oleh negara dalam politik orde baru.
Konsep dwifungsi ABRI muncul pertama kali dalam bentuk konsep “Jalan Tengah” yang
diusulkan oleh Jenderal A.H. Nasution pimpinan TNI AD saat itu kepada Presiden Soekarno
dalam ulang tahun Akademi Militer Indonesia (AMI) di Magelang tahun 1958. Dwifungsi ABRI
menjawab kegelisahan dalam tubuh ABRI untuk menjawab tantangan Presiden mengenai ABRI
sebagai alat negara dalam menjalankan politiknya serta pelaku politik dalam keterpihakan negara
saat politik timur-barat. ABRI kemudian mengambil “jalan tengah” diantara kedua hal tersebut.
ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula menjadi
penonton dalam arena politik. Perwira ABRI harus diberi kesempatan melakukan partisipasinya
didalam pemerintahan atas dasar individu, artinya tidak ditentukan oleh institusi ABRI.
Dwifungsi ABRI bila dilihat dalam tataran konseptual terasa sangat tegas terutama dalam
membagi posisi ABRI di dalam negara. Namun, dalam prakteknya konsep ideologis yang
ditawarkan oleh Jenderal A. H. Nasution mendapatkan mispersepsi terutama di tubuh ABRI itu
sendiri. Prinsip penjaminan keamanan berubah menjadi konsep represi yang menghambat
perjuangan masyarakat masa itu untuk bahu membahu memajukan negara. Bahaya laten
dwifungsi ABRI juga ada di dalam politik orde baru yang masih sangat nyata kita rasakan hingga
saat ini. Selain melakukan represi fisik dan psikis, ABRI bisa bebas menyalurkan ide-ide
7 Azca, M. Najib. 1998. Hegemoni Tentara. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 3 8 Ibid. Hlm 4 9 Ibid. Hlm 5
strategis kepada negara melalui faksi militer dalam pemerintahan, yang secara terang-terangan
ABRI masuk kedalam politik melalui keterlibatan dengan partai Golongan Karya.
Reformasi mungkin bisa menghapus dwifungsi ABRI secara legal melalui tuntutannya, namun
dwifungsi ABRI sudah terlanjur mengakar, sehingga adanya perubahan-perubahan ke arah
masyarakat sipil yang merdeka akan selalu mendapat tekanan apapun bentuknya. Sehingga
betapapun reformasi berusaha menghapus nilai-nilai yang terkandung melalui dwifungsi ABRI
selama masih ada praktik-praktik kemiliteran yang dilakukan penghapusan hanya sebuah
wacana. Kembalikan militer kepada tugasnya, kembalikan tentara pada baraknya.
4. Mendukung penuh jalanya proses Rekonsiliasi
Indonesia pasca Soeharto sesungguhnya memerlukan cara pandang baru yang bertolak dari
kekejaman masa lalu. Masalahnya, meskipun pasca reformasi banyak peraturan perundangan
yang bermunculan, baik melalui proses legislasi maupun ratifikasi konvensi internasional, pada
lain pihak keadilan transisional nyaris tidak berjalan. Sebagai akibatnya, tidak ada pembelajaran
dan pengungkapan kekejaman sehingga tidak ada refleksi atasnya. Dengan tidak adanya
pembelajaran, maka potensi berulangnya peristiwa sangat mungkin untuk terjadi, disamping
tidak adanya akses pengetahuan bagi generasi muda untuk mempelajarinya. Dari sini, proses
rekonsiliasi, meskipun sesungguhnya terlambat sekian lama, menemukan urgensinya. Setelah
sekian tahun mengalami kemandegan dari proses berskas Penyelidikan Komnas HAM menuju
Kejaksaan Agung, juga ditolaknya rekomendasi rehabilitasi yang merupakan hak prerogatif
Presiden setelah mendapatkan rekomendasi dari Mahkamah Agung pada masa Bagir Manan
ketika periode Megawati Soekarnoputri, 10 kemandegan dari penyelesaian peristiwa 1965 sebagai
dasar landasan berdirinya Orde Baru.
Pertanyaan paling mendasar dari proses rekonsiliasi untuk kasus 1965 ini adalah, rekonsiliasi
macam apa yang hendak ditempuh. Apakah kekejaman masa lalu itu hendak dibiarkan saja
berlalu? Atau apakah perlu untuk mengingatnya? Aliansi berpendapat bahwa melupakan adalah
salah satu langkah menuju pengulangan. Memutuskan untuk mengingat sekalipun, masih
memerlukan langkah lebih jauh lagi, yaitu mengenai bagaimana luka itu hendak dibuka, apakah
hendak dibarengi dengan penghukuman atau hanya sekedar mengingat saja. Dalam perspektif
ini, penghukuman kepada yang bersalah bukan hanya sekedar berarti merampas kemerdekaan
pada mereka yang bersalah, melainkan harus dipandang sebagai penebusan atas kesalahan yang
pernah dilalui. Hanya saja, ada satu lagi cara lain, bahwa penebusan kesalahan tersebut tidak
semata-mata dilalui melalui penghukuman, namun juga permaafan, dan inipun bukan sekedar
permaafan begitu saja, melainkan permaafan yang dibarengi dengan pengungkapan kebenaran
sebagai gantinya.
Melalui skema diatas, terdapat hal yang harus dicermati dari struktur hukum di Indonesia.
Bahwa betul, inisiasi Pemerintah untuk melakukan simposium 1965 adalah suatu kemajuan yang
10 Surat Rekomendasi KMA/403/2003
berarti apabila dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya, akan tetapi kemajuan
tersebut belum dibarengi dengan perubahan struktur hukum sehingga membuat alur rekonsiliasi
nampaknya masih jauh api dari panggang. Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, hanya
terdapat dua mekanisme Pelanggaran HAM Berat: yaitu melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dan
Rekonsiliasi. Sialnya, keduanya tidak bersifat saling melengkapi, melainkan bersifat substitusi.
Draft RUU KKR 2015 yang merupakan inisiasi dari Pemerintah semenjak dibatalkanya UU
27/2004 masih mencantumkan ketentuan pengampunan secara universal tanpa adanya timbal
balik berupa pengungkapan kebenaran. Sementara itu, tidak ada ketentuan apapun dalam RUU a
quo kecuali pemanggilan paksa yang dapat mewajibkan bagi pelaku untuk mengungkapkan
kebenaran. Pada lain pihak, apabila memilih penyelesaian melalui UU 26/2000, kelemahanya
terdapat pada lemahnya ketentuan mengenai reparasi korban. Hal ini karena UU 26/2000 sendiri
telah sedari awal keliru dipersepsi –sebagaimana namanya- sebagai Pengadilan HAM, padahal
UU a quo tersebut yang merupakan adopsi dari Statuta Roma merupakan pengadilan pidana.
Jadi, dalam perspetif UU a quo, suatu tindakan pelanggaran HAM Berat hanya terjadi apabila
ada pelaku, tanpa adanya pelaku, tidak ada korban. Bahkan apabila ada pelaku, hak korban
sebagaiman terdapat dalam Pasal 35 hanya dapat diberikan berupa pilihan opsional saja dan
bukan merupakan sesuatu yang bersifat wajib sebagaimana tercantum dalam kata dapat dalam
pasal 5 ayat (2).
Apabila rekonsiliasi adalah penulisan ulang sejarah, maka siapakah kemudian yang
menuliskanya. Akankah kebenaran dalam perspektif korban tersebut kemudian menggantikan
keadilan secara cuma-cuma atas kekejaman yang dilakukan oleh pelaku? Sebagai pembanding,
kondisi politik Chile pasca diktator Agusto Pinochet ditempuh dengan kebijakan eksekutif yang
berani, menggunakan dekrit presiden dengan tambahan ketentuan bahwa setiap hasil temuan
komisi akan diserahkan pada kekuasaan yudisial, yang berarti tidak melanggengkan impunitas
bagi pelaku, selain dibarengi dengan proses reparasi bagi korban yang berjalan dengan kuat. Di
Afrika Selatan, Sub-komisi Amnesti menentukan apakah sebuah pengungkapan kebenaran itu
telah dilakukan dengan penuh, untuk kemudian menentukan kelayakan seseorang dalam
amnestinya. Dengan demikian, baik reparasi, penghentian impunitas, dan pengungkapan
kebenaran dari kedua pengalaman tersebut berjalan secara beriringan, tentu disamping perbedaan
konteks kekuatan politiknya.
Penulisan ulang sejarah berarti pula harus dibarengi dengan dihapusnya seluruh peraturan
diskriminatif, terlebih tindakan-tindakan kriminalisasi melalui penyematan stigma yang luas
maupun delik politik yang ambigu. Dan satu lagi, bahwa rekonsiliasi tidak dapat berjalan
bersamaan dengan teror Orba, karena persis dasar legitimasi Orde Baru itulah yang hendak
dilampaui.
5. Hapuskan Stigma Negatif PKI
Sudah sejak lama peristiwa 1965 terjadi. 50 tahun yang lalu ternyata belum cukup untuk
menghilangkan stigma PKI di Indonesia. Kebanyakan stigma yang muncul di masyarakat terkait
PKI adalah stigma buruk atau negatif. Hal itu merupakan hasil dari kampanye kebudayaan yang
diakukan oleh Orde Baru dengan beberapa produk kebudayaan seperti Film Pengkhianatan
G/30S/PKI ,novel Pengkhiatanan G/30S/PKI, buku karangan Nugroho Notosusanto, majalah
Horison, dll. Bagaimana produk kebudayaan tersebut sangat berperan aktif dalam memproduksi
kebencian terhadap PKI dan ideologi berbau kiri serta sejenisnya. Hal itu merupakan sebuah
keadaan yang mencerminkan ketidakdewasan dalam berbangsa dan negara.
Bukan hanya itu, peran institusi pendidikan dalam memproduksi kebencian terhadap PKI dan
ideologi kiri sangat masif dilakukan. Hal tersebut terjadi hampir di semua jenjang pendidikan
formal di Indonesia seperti SD, SMP, maupun SMA. Peran guru-guru sejarah sangat fital dalam
memproduksi kebencian dan stigma negatif tersebut. Ironisnya, meskipun era reformasi telah
menggema di republik ini hampir 20 tahun ditandai dengan terbitnya buku-buku yang
membantah produk kebudayaan Orde Baru seperti film dan buku, hal itu tidak memperlemah
kampanye kebencian terhadap PKI, komunisme, dan ideologi kiri.
Kemudian muncul juga organisasi islam fundamentalis yang termakan oleh stigma yang
dibangun Orde Baru bahwa komunis ataupun PKI itu anti terhadap tuhan (atheis). Organisasi-
organisasi ini dengan sangat brutal mengganggu proses rekonsiliasi akar rumput ataupun dari
negara, ketika mereka membubarkan diskusi-diskusi ataupun acara-acara yang mencoba mencari
sedikit kebenaran tentang peristiwa 1965, dll. Banyak kasus-kasus yang sudah terjadi di seluruh
Indonesia terkait pembubaran yang secara brutal dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut.
Padahal stigma yang dibentuk Orde Baru bahwa komunis itu atheis sangat salah besar. Banyak
tokoh-tokoh PKI ataupun komunisme yang sangat religius.
Bukan berarti kita membela dan ikut menjadi komunis, namun ini adalah sebuah upaya untuk
menciptakan keadilan di lapisan seluruh masyarakat Indonesia. Mereka yang selama ini distigma
sebagai komunis, PKI yang diidentikan dengan kekejaman, kesadisan yang tidak mengenal
Tuhan sangat tertekan, trauma yang sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya. Mereka merasa
tidak bebas dengan kehidupan bermasyarakat, padahal UUD 1945 melindungi semuanya dan
tidak membeda-bedakan. Mari berjuang bersama menghilangkan stigma buruk PKI, komunisme,
ideologi kiri dll, mari berjuang bersama dengan Ideologi Pancasila yang melindungi semuanya.
Mengutip Voltaire, saya barangkali tak sependapat denganmu, tapi hakmu untuk
mengutarakanya, akan terus saya bela.
III. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan diatas, Aliansi mengajukan rekomendasi berupa:
1. Penjunjungan tinggi terhadap hak kebebasan berpendapat/berserikat
2. Menuntut untuk membatalkan TAP XXV/MPRS/1966 dan aturan hukum turunannya, atau
kepada aparat untuk melakukan diskresi dengan menidurkan beserta seluruh pengaturan
diskriminatif dibawahnya sebagai bagian dalam proses rekonsiliasi dan keadilan transisional.
3. Kepada militer untuk kembali ke barak dan tidak mencampuri kehidupan sipil.
4. Kepada pemerintah untuk mempercepat jalanya proses rekonsiliasi yang termuat di dalamnya
ketentuan mengenai pengungkapan kebenaran yang adil, mengakhiri impunitas, dan reparasi bagi
para korban.
5. Kepada seluruh masyarakat pada umumnya dan aparat pada khususnya untuk mengakhiri
penggunaan stigma negatif PKI yang biasa disematkan baik kepada korban, pendamping korban,
maupun pekerja sosial masyarakat yang bertujuan untuk menimbulkan teror atau ketakutan.
Semoga ketidakadilan ini dapat segera berakhir, dimana tidur nyenyak kita tidak lagi dihantui
oleh mimpi-mimpi buruk, para monster berseragam yang berlagak ala Orba. Merdeka!
***
Recommended