View
76
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
zjkskmskdkasjkjjkjaas
Citation preview
ROZIANTY KHAIRIAH
NIM : 11011204
SEMESTER 5, KELOMPOK 4. STIKES HANGTUAH
Artikel Ekonomi Kesehatan
Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak
27 Januari 2009
Kekurangan gizi pada ibu dan anak senantiasa berhubungan dengan gangguan tumbuh
kembang anak secara fisik, intelektual, dan sosial, yang dalam jangka panjang memengaruhi
kualitas masa depan suatu bangsa. Krisis ekonomi berpotensi memperburuk situasi kesehatan
ibu dan anak meskipun keterkaitannya tidak sederhana.
Salah satu kesimpulan dari pertemuan yang membahas dampak krisis ekonomi global
pada anak di kawasan Asia Pasifik dan Timur, di Singapura, beberapa waktu lalu itu juga
mengingatkan pada pernyataan Direktur the Aga Khan University, Zulfiqar A Bhutta bahwa
pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang sedikit pada penurunan angka kurang gizi
terhadap ibu dan anak, tetapi dampak deteriorasi ekonomi sangat besar dan cepat.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa untuk
Anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik (Unicef EAPRO ) bersama National University of
Singapore (NUS) dan Kementerian Luar Negeri Singapura itu terungkap, Asia-Pasifik pernah
mencapai pertumbuhan ekonomi mulai dari 6 sampai 8 persen, tetapi hasilnya tidak banyak
dinikmati kelompok miskin. EAPRO merupakan rumah bagi 600 juta orang dengan
pendapatan 1 dollar AS per hari, standar lembaga-lembaga internasional-meski ukuran itu
simplistic-untuk mengukur garis kemiskinan.
”Masalah gizi ibu dan anak belum terpecahkan di kawasan ini,” ujar Dr Mahesh S
Patel dari Unicef EAPRO. Dengan 20 persen jumlah anak balita berberat badan rendah—di
beberapa negara bahkan 50 persen—posisi EAPRO jauh dari target Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) dalam penghapusan kelaparan.
Siklus kekurangan gizi dan berat badan rendah akan berlanjut karena anak perempuan
kurang gizi akan menjadi perempuan kurang gizi yang melahirkan bayi kurang gizi.
”Generasi yang hilang” bukan hanya ancaman. Situasi itu, menurut Prof Kishore Mahbubani
dari NUS, sangat berbahaya bagi masa depan suatu bangsa. Itulah tantangan besar di kawasan
Asia Pasifik yang ditengarai 150 akademisi, teknokrat, dan peneliti. ”Karena tidak ada sistem
perlindungan sosial yang menjadi ’sekoci penyelamat’ ketika terjadi krisis,” ujar Dr Santosh
Mehrothra, Penasihat Senior Komisi Perencanaan India.
Gambaran umum
Krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan asupan gizi ibu hamil,
menyusui, bayi dan anak balita, meski daya tahan terhadap dampak kurang pangan dan krisis
sangat beragam. Hubungan antara tingginya harga pangan dan krisis ekonomi terhadap
kondisi kesehatan dan gizi ibu dan anak, menurut Zulfiqar, sangat kompleks, bergantung
pada sistem jaminan sosial dan peran swasta.
Krisis ekonomi berat di Peru akhir tahun 1980-an menyebabkan naiknya angka
kematian anak 2,5 persen. Di banyak negara eks Uni Soviet, fluktuasi ekonomi yang tajam
tahun 1990-an dikaitkan dengan kenaikan drastis angka bunuh diri orang dewasa, tetapi tak
berpengaruh pada kesehatan anak. Hal itu mungkin terkait dengan kuatnya sistem kesehatan
primer ibu dan anak di wilayah itu.
Di Indonesia, krisis keuangan 1997-1998 menyumbang pada naiknya angka kematian
bayi dan anak balita sebesar 14 persen, angka anemia anak naik sebesar 50-65 persen, dan
15-19 persen pada ibu hamil. Harga obat dan biaya pelayanan kesehatan melonjak 60 persen
(di Filipina 40 persen, Thailand 41 persen), angka orang sakit naik sampai 14,6 persen, kasus
TB naik 14,6 persen, angka putus sekolah menengah naik 11 persen.
Krisis keuangan di Argentina pada akhir tahun 1990-an tidak berdampak pada angka
kematian bayi dan anak balita, berbeda dengan krisis sebelumnya. Di Meksiko, angka
kematian bayi dan anak balita naik 5-7 persen. Terhambatnya pertumbuhan janin pada masa
kelaparan di Belanda tahun 1944-1945 menyumbang pada meningkatnya obesitas, risiko
skizofrenia dan gangguan tingkah laku, tekanan darah, serta risiko penyakit jantung koroner
puluhan tahun kemudian.
Kalau krisis keuangan global 2008 tidak diantisipasi, menurut estimasi jurnal
kesehatan terkemuka di dunia, The Lancet, 35,3 persen dari 55 juta anak usia di bawah lima
tahun di Asia Tenggara tumbuh kerdil, angka anemia ibu hamil naik 10-20 persen, dan bayi
lahir berat badan rendah naik 5 sampai 10 persen.
”Perempuan adalah pihak terakhir yang mendapat manfaat meningkatnya pendapatan,
tetapi yang pertama terkena dampak krisis dan kekurangan pangan. Situasi itu akan
berdampak pada janin di kandungannya,” ujar Rita Bhatia dari Organisasi Pangan dan
Pertanian (FAO) Kantor Regional Bangkok.
Sistem jaminan social
Krisis 1997-1998 menegaskan pentingnya perencanaan investasi sosial jangka
pendek, menengah, dan panjang dengan pendekatan terintegrasi sehingga mekanismenya
mampu menggapai kelompok miskin dan yang mendekati kondisi ”hampir miskin” akibat
krisis. Krisis selalu terkait dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja dan menurunnya
kualitas hidup keluarga.
Menurut Prof Vitit Muntarbhorn, mantan Pelapor Khusus PBB mengenai Masalah
Perdagangan Anak, mekanisme sistem perlindungan sosial itu seharusnya sudah disiapkan
pada situasi terbaik dari kondisi ekonomi di suatu negara. ”Itu merupakan persiapan untuk
menghadapi situasi apa pun,” ujarnya.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Dr Bayu Krisnamurti
mengingatkan, dalam situasi apa pun perempuan dan anak selalu dalam kondisi rentan. Selain
itu, kemiskinan selalu bersifat multidimensi. ”Juga sangat kompleks,” tegas Dr Adi Sasongko
dari Yayasan Kusuma Buana, yang mengingatkan keterkaitan kemiskinan dengan letak
geografi, kondisi sosial, ekologi, dan budaya masyarakat. Semua itu memengaruhi pola
perawatan dan pengasuhan anak, selain rendahnya kualitas pendidikan, khususnya
pendidikan dasar yang didapat orangtua.
”Di Pulau Panggang, di gugusan Kepulauan Seribu, seorang anak mengonsumsi
jajanan dengan kualitas buruk sampai Rp 30.000. Mereka minum susu kental manis dan
orangtua mengira itu sudah cukup,” ujar dokter yang selama belasan tahun berkutat dengan
masalah cacingan pada anak serta masalah anemia pada ibu, anak, dan remaja.
Oleh : Maria Hartiningsih (www.cetak.kompas.com)
Sumber: http://www.b2p3ks.net/depsos/index.php?mod=artikel&sub=artikel&act=detail&Id
Kesimpulan
Siklus kekurangan gizi dan berat badan rendah akan berlanjut karena anak perempuan
kurang gizi akan menjadi perempuan kurang gizi yang melahirkan bayi kurang gizi.
”Generasi yang hilang” bukan hanya ancaman. Situasi ini, sangat berbahaya bagi masa depan
suatu bangsa. Dan pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang sedikit pada penurunan angka
kurang gizi terhadap ibu dan anak, tetapi dampak deteriorasi ekonomi sangat besar dan cepat.
Krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan asupan gizi ibu hamil,
menyusui, bayi dan anak balita, meski daya tahan terhadap dampak kurang pangan dan krisis
sangat beragam. Hubungan antara tingginya harga pangan dan krisis ekonomi terhadap
kondisi kesehatan dan gizi ibu dan anak, sangat kompleks, bergantung pada sistem jaminan
sosial dan peran swasta. Hal ini dapat terlihat pada krisis yang terjadi di indonesia, argentina
dan negara lainnya.
Krisis menegaskan pentingnya perencanaan investasi sosial jangka pendek,
menengah, dan panjang dengan pendekatan terintegrasi sehingga mekanismenya mampu
menggapai kelompok miskin dan yang mendekati kondisi ”hampir miskin” akibat krisis.
Krisis selalu terkait dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja dan menurunnya
kualitas hidup keluarga.
Saran
Pengaruh krisis sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak, tentu kita tidak
menginginkan terjadi los generation, maka sangat perlu upaya penanggulangan apabila terjadi
krisis, karana banyak hal-hal yang bersifat negatif yang akan terjadi ketika krisis terjadi,
misalnya: PHK besar-besaran, pengangguran, tungkat pendapatan yang rendah, adapun upya
yang bisa di lakukan dalam menaggulangi krisis adalah:
( sepuluh arahan presiden RI )
1. Selalu optimis
2. Kebijakan dan tindakan yang tepat, serta kerja keras
3. Optimasi APBN.
4. Dunia usaha harus tetap bergerak.
5. Semua pihak harus cerdas menangkap peluang.
6. Penggunaan produk dalam negeri.
7. Memperkokoh sinergi dan kemitraan.
8. Menghindari ego sektoral.
9. Mengutamakan kepentingan rakyat.
10. Komunikasi yang tepat dan bijak.
Recommended