View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Definisi
2.1.1 Pengertian Pajak
Menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan
kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
(Devano dan Rahayu, 2006). Pajak dapat diartikan sebagai sumber dana dari
sebuah negara untuk mengatasi berbagai masalah-masalah seperti masalah sosial,
peningkatan kesejahteraan, kemakmuran serta menjadi kontrak sosial antara
pemerintah dengan warga negaranya (Ruyadi, 2009). Ciri-ciri pokok pajak dari
pengertian tersebut adalah.
1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
Masalah perpajakan harus mendapat persetujuan rakyat karena
rakyatlah yang memikul beban pajak dengan demikian penentuan tax base
dan tax rate harus melalui persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya yang
akan dituangkan dalam suatu undang-undang.
2) Pajak dapat dipaksakan
15
Mengingat pemungutannya berdasarkan undang-undang,
pemungutannya memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga dapat
dipaksakan.
3) Diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
Dana yang diperoleh dari rakyat dalam bentuk pajak digunakan untuk
memenuhi biaya atas fungsi-fungsi yang harus dilakukan pemerintah.
4) Tidak dapat ditunjukkannya kontraprestasi secara langsung
Wajib pajak tidak mendapat imbalan secara langsung atas apa yang
dibayarkan kepada pemerintah. Wajib pajak hanya dapat merasakan secara
tidak langsung bentuk-bentuk kontraprestasi dari pemerintah dalam bentuk
pembangunan fasilitas umum dan prasarana yang dibiayai dari APBN atau
APBD.
5) Berfungsi sebagai budgetair dan regulerend
Sebagai budgetair, pajak berfungsi mengisi kas negara yang digunakan
untuk keperluan pembiayaan umum pemerintah baik rutin maupun untuk
pembangunan. Sebagai regulerend, pajak berfungsi sebagai alat untuk
melaksanakan kebijakan yang diterapkan negara dalam bidang ekonomi
sosial untuk mencapai tujuan tertentu.
2.1.2 Hambatan Pemungutan Pajak
Sebagian besar masyarakat menganggap pembayaran pajak sebagai beban
sehingga masyarakat cenderung menghindar dari pajak. Usaha yang dilakukan
oleh wajib pajak untuk meloloskan diri dari pajak merupakan usaha perlawanan
16
terhadap pajak. Usaha tidak membayar pajak atau memanipulasi jumlah pajak
yang harus dibayar tentunya menjadi hambatan dalam pemungutan pajak.
Perlawanan terhadap pajak ini akan mempengaruhi jumlah penerimaan negara
dari sektor pajak.
Menurut Devano dan Rahayu (2006), berbagai bentuk perlawanan pajak
seringkali diwujudkan dalam perlawanan pasif dan perlawanan aktif.
1) Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif merupakan kondisi yang mempersulit pemungutan
pajak yang timbul dari kondisi struktur perekonomian, kondisi sosial
masyarakat, perkembangan intelektual penduduk, moral masyarakat dan
sistem pemungutan pajak itu sendiri. Tingkat pemahaman WP memberikan
andil yang besar untuk penerapan self assessment system karena WP harus
menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri. Kurangnya
pemahaman perpajakan akan mengakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan
formal pajak, sesuai dengan hasil penelitian Purwantini dan Bondan (2004)
dalam Supriyati dan Hidayati (2008), bahwa WP dengan tingkat pemahaman
rendah cenderung melakukan perlawanan pasif (ketidakpatuhan pasif) karena
tidak tahu tentang untuk apa, bagaimana, kapan dan kepada siapa pajak harus
dibayarkan.
2) Perlawanan Aktif
Pelawanan aktif meliputi usaha masyarakat untuk menghindari,
menyelundupkan, memanipulasi, melalaikan dan meloloskan pajak yang
langsung ditujukan kepada fiskus.
17
2.1.3 Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan suatu negara menurut Devano dan Rahayu (2006),
terdiri dari tiga unsur, yaitu tax law, tax policy dan tax administration yang saling
menunjang satu sama lain.
1) Tax Law
Tax law atau hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat
sebagai wajib pajak.
2) Tax Policy
Tax policy atau kebijakan pajak merupakan alternatif dari berbagai
sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan (Hardika, 2006).
Kebijakan ini dibuat pemerintah berdasarkan peraturan peundang-undangan.
Kebijakan perpajakan yang dianggap baik adalah kebijakan yang adil dan
efisien.
3) Tax Administration
Tax administration atau administrasi pajak adalah cara-cara atau
prosedur pengenaan dan pemungutan pajak. Administrasi pajak sebagai suatu
prosedur meliputi tahap-tahap antara lain pendaftaran wajib pajak, penetapan
pajak dan penagihan pajak. Tahap-tahap yang tidak solid merupakan sumber
kecurangan (tax evasion). Kebijakan perpajakan yang baik tidak dapat
18
mencapai sasaran bila administrasi perpajakan tidak mampu
melaksanakannya.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Indonesia mempunyai beberapa sistem pemungutan pajak yang pernah
dilaksanakan, yaitu.
1) Official Assesment System
Dalam official assesment system wewenang pemugutan pajak ada pada
fiskus. Utang pajak timbul bila ada Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan
oleh fiskus.
2) Semi Self Assesment System
Dalam sistem ini wewenang pemungutan ada pada wajib pajak dan
fiskus. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menaksir dahulu berapa pajak
yang akan terutang untuk satu tahun pajak, kemudian mengangsurnya. Akhir
tahun pajak, pajak terutang sesungguhnya ditentukan oleh fiskus.
3) Full Self Assesment System
Dalam full self assesment system wewenang untuk menentukan
besarnya pajak sepenuhnya ada pada wajib pajak. Wajib pajak aktif
menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya.
Penerapan self asessment system dalam kebenaran pembayaran pajak menurut
Pancawati (2011), tergantung kepada kejujuran wajib pajak sendiri dalam
pelaporan kewajiban perpajakannya. Fiskus tidak campur tangan dalam
19
penentuan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi
peraturan yang berlaku.
4) With Holding System
With holding system menempatkan wewenang pemungutan pajak pada
pihak ketiga.
2.1.5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah. Kebijakan umum APBD yang selanjutnya disingkat
KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja dan
pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode satu tahun.
Struktur APBD merupakan satu kesatuan terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah meliputi semua
penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas
dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening
kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
20
daerah. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup
defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
Pendapatan daerah dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kelompok pendapatan
asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
atau kabupaten/ kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan
yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antarpemerintah daerah
yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
2.1.6 Pajak Daerah
Pajak daerah mengalami perkembangan pertama kali dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Darurat Tahun 1957 yo Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Undang-
Undang tersebut hanya mengatur pokok-pokoknya saja sedangkan secara terinci
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yaitu Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1957 tentang Penyerahan Pajak Negara Kepada
Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1957 tentang Pemberian Ganjaran,
Subsidi dan Sumbangan Kepada Daerah. Pajak Pembangunan I (Pb I) untuk
21
pertama kali diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947
yang didalamnya mengatur tentang Pajak Jalan, Pajak Potong Hewan dan Pajak
Bangsa Asing. Pada perkembangan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Pembangunan I
diubah dengan sebutan Pajak Hotel dan Restoran dan terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Hotel
dan Restoran dipisahkan menjadi Pajak Hotel dan Pajak Restoran.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Jenis-jenis pajak daerah yang menjadi sumber pendapatan bagi kabupaten/
kota adalah.
1) Pajak Hotel
2) Pajak Restoran
3) Pajak Hiburan
4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7) Pajak Parkir
22
8) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan
9) Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai salah
satu upaya untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab, maka pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang berasal
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya yang bersumber dari pajak daerah
perlu ditingkatkan sehingga kemandirian daerah dalam hal pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat terwujud.
2.1.7 Pajak Hotel dan Pajak Restoran
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 15 Tahun 2011
tentang Pajak Hotel, pajak hotel adalah pungutan daerah atas pelayanan hotel dan/
atau tempat menginap lain yang sejenis. Obyek pajak hotel adalah setiap
palayanan yang disediakan dengan pembayaran dan atau yang seharusnya dibayar
di hotel atau yang diperuntukkan untuk itu. Obyek pajak hotel termasuk antara
lain fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek antara lain hotel
berbintang, hotel melati, gubuk wisata (cottage) motel, wisma pariwisata,
pesanggrahan (hostel), losmen dan rumah penginapan termasuk rumah kost/
rumah sewa dan yang sejenisnya; fasilitas penunjang antara lain telepon, faximile,
telex, restoran bar, pelayanan cuci setrika dan seluruh transaksi sejenis lainnya;
fasilitas hiburan dan olah raga antara lain pusat kebugaran (fitness center), spa
23
kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotek dan lain-lain yang disediakan
atau dikelola hotel; jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan
di hotel. Asrama, pesantren, perkantoran, perbankan dan pertokoan dikecualikan
dari objek pajak hotel.
Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan
pembayaran atas pelayanan hotel. Sedangkan wajib pajak hotel adalah pengusaha
hotel. Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran dan pembayaran
yang seharusnya dilakukan oleh konsumen kepada hotel dengan tarif ditetapkan
sebesar 10 persen.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 16 Tahun 2011
tentang Pajak Restoran, pajak restoran adalah pungutan daerah atas pelayanan
restoran, rumah makan, bar, cafe dan sejenisnya. Obyek pajak restoran adalah
setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran dan yang seharusnya
dibayar di restoran. Obyek pajak restoran termasuk penjualan makanan dan atau
minuman ditempat yang disertai dengan fasilitas penyantapannya termasuk
penyediaan penjualan makanan/minuman yang diantar/ dibawa pulang antara lain
restoran, bar, café, rumah makan, warung dan yang sejenisnya, kecuali pelayanan
jasa boga dan katering.
Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan
pembayaran atas pelayanan restoran dan sejenisnya. Sedangkan wajib pajak
restoran adalah pengusaha restoran dan sejenisnya. Dasar pengenaan pajak hotel
adalah jumlah pembayaran dan pembayaran yang seharusnya dilakukan oleh
konsumen kepada restoran dengan tarif ditetapkan sebesar 10 persen.
24
Proses penetapan jumlah pajak yang semestinya dibayar oleh wajib pajak
baik pajak hotel maupun pajak restoran dilakukan dengan cara setiap wajib pajak
mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) yaitu surat yang digunakan
oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang
terhutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. SPTPD
harus disetorkan ke Dinas Pendapatan Daerah selambat-lambatnya 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak. Pada periode 2009 sampai dengan 2011 setiap tiga bulan
akan dilakukan perhitungan pajak oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah dengan
terlebih dahulu dilakukan prosedur pemeriksaan mengenai kebenaran laporan
pajak terutang yang tertuang dalam SPTPD. Setelah ditetapkan jumlah pajak
terutang, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah. Apabila SKPD tersebut
tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 30 hari sejak SKPD
diterima, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen sebulan.
Periode 2012 sampai dengan 2014 wajib pajak harus melaporkan sendiri SPTPD
sampai batas waktu yang telah ditetapkan, jika wajib pajak tidak melaporkan
SPTPDnya maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 25
persen dan jika wajib pajak tidak melakukan pelunasan pembayaran sampai batas
waktu yang telah ditetapkan maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2 persen sebulan.
2.2 Teori-teori Yang Digunakan
2.2.1 Kepatuhan Pajak
25
Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of
complience) merupakan tulang punggung dari self assesment system, dimana
wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan
kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar dan melaporkan
pajaknya. Menurut Ajzen (2002), etika, prinsip hidup, perasaan bersalah
merupakan kewajiban moral yang dimiliki setiap seseorang dalam melaksanakan
sesuatu. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ho (2004), dimana
tingkat kepatuhan pajak akan menjadi lebih tinggi ketika wajib pajak memiliki
kewajiban moral yang lebih kuat. Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut
Safri Nurmantu yang dikutip oleh Rahayu (2010), menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib
Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya”. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak
diantaranya adalah kesadaran wajib pajak, kewajiban moral, kualitas pelayanan,
dan sanksi perpajakan. Tingkat kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain, yaitu besarnya penghasilan, tarif pajak, persepsi wajib pajak
atas penggunaan uang pajak, perlakuan perpajakan, kelengkapan dan keakuratan
database (Bahl, 1990; Jackson, 1992; Witte dan Woodbury, 1985; Dubbin dan
Wilde, 1988; Andreoni, 1998). Dianutnya self assesment system membawa misi
dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) masyarakat untuk membayar pajak
secara sukalera (Darmayanti, 2004).
Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 dalam
Devano dan Rahayu (2006), menyatakan bahwa: “Kepatuhan perpajakan adalah
26
tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan
yang berlaku dalam suatu negara”.
Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu sistem yang telah
disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan
menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun wajib pajak. Sistem pemungutan
pajak yang berlaku di Kabupaten Badung periode 2009 sampai dengan
2011adalah sistem semi self assesment pada akhir setiap periode (triwulan) pajak,
pajak terutang sesungguhnya (sesuai perhitungan fiskus berdasarkan pemeriksaan
yang dilakukan sebelumnya) ditentukan oleh fiskus. Periode 2012 sampai dengan
2014 adalah full self assesment. Dalam sistem ini wewenang pemungutan ada
pada wajib pajak. Pada setiap masa pajak, wajib pajak melaporkan dan membayar
berapa pajak yang terutang untuk satu masa pajak sesuai dengan perhitungan
wajib pajak.
Dalam sistem ini menurut Devano dan Rahayu (2006), diperlukan
kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan usahanya, melaporkan
pajak terutang dan membayar pajaknya tepat waktu. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau
aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan
perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan
perpajakan. Jadi wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan
27
memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Chaizi Nasucha dalam Devano dan Rahayu (2006), mengidentifikasi
kepatuhan dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk
menyetorkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam penghitungan dan
pembayaran pajak terutang dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Erard
dan Feinstin dalam Devano dan Rahayu (2006), menggunakan teori psikologi
dalam kepatuhan wajib pajak yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib
pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang ditanggung dan pengaruh
kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
2.2.2 Kebijakan Pajak
Menurut kamus bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan
asas yg menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi, dsb);
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.
Menurut pendapat Ray M. Sommerfeld yang dikutip R.Mansury bahwa
pengertian pajak adalah pengalihan sumber daya dari sektor swasta kepada sektor
publik (Negara), karena penduduk yang bersangkutan mempunyai kemampuan
secara ekonomis yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tanpa
mendapat imbalan yang langsung ditunjuk dalam rangka memenuhi tujuan
ekonomi sosial negaranya. Audit pajak dan sanksi/denda yang ditetapkan oleh
28
otoritas pajak merupakan motivator utama dari kepatuhan wajib pajak (Witte dan
Woodbury, 1985). Jadi tujuan pemungutan pajak adalah merupakan tujuan sosial
dan ekonomi suatu bangsa yang ingin dicapai melalui pengeluaran publik, yang
tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut R. Mansury, tujuan kebijakan perpajakan adalah sama dengan
kebijakan publik pada umumnya, yaitu mempunyai tujuan pokok.
1) Untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,
2) Distribusi penghasilan yang lebih adil, dan
3) Stabilitas.
2.2.3 Administrasi Pajak
Menurut Lumbantoruan (1997), administrasi perpajakan (Tax
Administration) ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.
Mengenai peran administrasi perpajakan, Pandiangan (2008), mengemukakan
bahwa administrasi perpajakan diupayakan untuk merealisasikan peraturan
perpajakan, dan penerimaan negara sebagaimana amanat APBN. Menurut Gunadi
(2006), administrasi pajak dalam arti sempit merupakan penatausahaan dan
pelayanan atas hak-hak dan kewajiban pembayaran pajak, baik penatausahaan dan
pelayanan yang dilakukan di kantor pajak maupun di tempat wajib pajak,
sedangkan administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan
organisasi atau kelembagaan. Sebagai suatu fungsi, administrasi perpajakan
meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian
perpajakan. Sebagai suatu sistem, administrasi perpajakan merupakan seperangkat
29
unsur yaitu peraturan perundang-undangan, sarana dan prasarana, dan wajib pajak
yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menjalankan fungsi dan tugasnya
untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai lembaga, administrasi perpajakan
merupakan institusi yang mengelola sistem dan mengelola proses perpajakan yang
terwujud pada kantor pusat, wilayah, dan pelayanan kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja administrasi pajak.
Administrasi perpajakan harus sebagai service point yang memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat sekaligus pusat informasi perpajakan.
2.2.4 Hubungan Pemahaman Peraturan Pajak Dengan KepatuhanMembayar Pajak
Pemungutan pajak menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai
dasar dalam pelaksana pemerintah sebagai fiskus dengan wajib pajak. Dalam
hubungan tersebut terdapat kewajiban dan hak baik dari pihak fiskus maupun
wajib pajak.
Apabila salah satu pihak kurang memahami atau sengaja tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka maka akan timbul ketidaksesuaian
dengan peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan yang mengatur suatu
kegiatan harus disosialisasikan agar masing-masing pihak mengetahui hak dan
kewajibannya masing-masing serta sanksi yang dikenakan apabila kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan. Begitu pula dengan peraturan pajak. Dalam hal ini
kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya sangat
dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap aturan pajak.
30
Undang-undang dan peraturan pajak merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak karena berada diluar
kendali wajib pajak. Undang-undang dan peraturan pajak mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak hotel dan pajak restoran dari segi
sosialisasi undang-undang dan peraturan pajak, tingkat kemudahan untuk
memahami peraturan pajak, serta persepsi wajib pajak terhadap keadilan dalam
undang-undang perpajakan. Sosialisasi undang-undang dan peraturan pajak
dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan wajib pajak terhadap kewajibannya
dalam perpajakan, dalam hal ini pajak hotel dan restoran. Sosialisasi ini dapat
dilakukan melalui brosur maupun sosialisasi secara lisan. Sosialisasi yang
dilakukan secara kontinyu akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak akan
kewajibannya membayar pajak hotel dan pajak restoran.
Menurut Marquardt, dalam Hardika (2006), tingkat kemudahan memahami
peraturan pajak dimaksudkan sebagai kemungkinan kesalahan yang diperbuat
dalam melaksanakan undang-undang dan peraturan pajak. Undang-undang dan
peraturan pajak yang rumit akan menyulitkan wajib pajak untuk memahami dan
melaksanakan kewajibannya yang berarti kepatuhan wajib pajak akan berkurang.
Kesadaran wajib pajak adalah kondisi dimana wajib pajak memahami dan
melaksanakan aturan perpajakan dengan benar dan sukarela. Apabila pemahaman
dan pelaksanaan kewajiban perpajakan semakin baik, maka tingkat kesadaran
wajib pajak semakin tinggi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
perpajakannya (Muliari dan Ery, 2011).
31
Keadilan dalam undang-undang perpajakan mencerminkan pengenaan
pajak secara umum dan merata. Teori dasar mengenai keadilan antara lain
exchange theory dan equity theory. Menurut Arrington and Reckers, dalam
Hardika (2006), exchange theory menggambarkan hubungan antara pengorbanan
dan manfaat yang diterima secara adil oleh wajib pajak. Equity theory
menekankan keadilan dalam kaitannya dengan motivasi wajib pajak untuk
berperilaku patuh. Dalam penelitian ini keadilan dilihat dari dua dimensi yaitu
dimensi pertama berkaitan dengan manfaat yang diterima dibandingkan dengan
kewajiban yang dilaksanakan (benefit principle) dan dimensi kedua berkaitan
dengan keadilan pajak dibandingkan dengan wajib pajak lain (ability principle).
Semakin baik (adil) persepsi wajib pajak terhadap peraturan perundang-undangan
pajak maka kepatuhan wajib pajak akan semakin tinggi.
2.2.5 Hubungan Penerapan Kebijakan Pajak Dengan KepatuhanMembayar Pajak
Menurut Supadmi (2009) kajian teori sistem pemungutan pajak berdasarkan
self assessment menuntut kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kebijakan pajak atau tax policy
menurut Hardika (2006), merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak
dituju dalam sistem perpajakan. Kebijakan pajak juga merupakan faktor
lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Kebijakan pajak
dikaitkan dengan sanksi pajak dan penyelesaian masalah tunggakan pajak. Dalam
undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi yaitu sanksi administrasi
dan sanksi pidana. Sanksi administrasi yang diberikan berupa pengenaan denda.
32
Grasmick dan Scott dalam Hardika (2006), mengatakan bahwa penerapan sanksi
yang berat dan tegas akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Untuk mencegah
ketidakpatuhan serta untuk mendorong wajib pajak untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya maka haruslah diberlakukan sanksi yang tegas dalam rangka untuk
memajukan keadilan dan efektivitas sistem pajak (Webley et.al, 1991). Sanksi
perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan akan ditaati, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat
pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2009).
Untuk memperpanjang ijin usaha hotel maupun restoran, wajib pajak harus
mendapat rekomendasi lunas pajak dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Badung. Untuk itu tunggakan tersebut harus segera dilunasi. Kebijakan yang
diambil oleh pihak Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung adalah
memberikan peringatan dan pemanggilan terhadap wajib pajak yang memiliki
tunggakan dan memberikan kebijakan untuk mencicil pelunasannya.
2.2.6 Hubungan Kemudahan Administrasi Pajak Dengan KepatuhanMembayar Pajak
Salah satu elemen penting dalam suksesnya operasi sistem pajak terutama
sistem pajak yang berbasis self assessment adalah pengetahuan wajib pajak ( Palil
et al., 2011) dan salah satunya pengetahuan administrasi pajak. Administrasi
merupakan kegiatan penyiapan data maupun informasi yang berguna baik bagi
fiskus maupun wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Menurut Devano dan Rahayu (2006), pada dasarnya
sasaran administrasi perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak
33
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dan pelaksanaan ketentuan perpajakan
secara seragam satu persepsi antara wajib pajak dan fiskus dalam menilai suatu
ketentuan untuk mendapatkan penerimaan maksimal dengan biaya optimal.
Menurut Rahayu dan Ita (2009), reformasi administrasi perpajakan
diwujudkan dengan merubah struktur organisasi berdasarkan fungsi pajak, adanya
perbaikan pelayanan, adanya e-system, serta adanya account representative dan
complaint center. Administrasi pajak dalam mempengaruhi kepatuhan wajib pajak
dikaitkan dengan kemudahan dalam pembayaran pajak, kemudahan dalam
mengetahui data pembayaran dan tunggakan pajak (transparansi) serta keakuratan
dalam pemeriksaan pajak. Apabila wajib pajak semakin dimudahkan dalam
prosedur pembayaran pajak maka kepatuhan membayar pajak akan meningkat.
Semakin mudah wajib pajak dalam mengetahui jumlah tunggakan dan data
pembayarannya maka wajib pajak akan semakin patuh dalam melakukan
kewajibannya membayar tunggakan pajak.
Dalam rangka penetapan pajak hotel, restoran dan hiburan, petugas
penghitungan pajak Dinas Pendapatan Kabupaten Badung akan melakukan
pemeriksaan terhadap laporan penjualan wajib pajak. Tujuan pemeriksaan tersebut
adalah untuk mengetahui besarnya pajak yang sebenarnya menjadi pajak terutang.
Petugas harus memperoleh bukti-bukti yang akurat baik dari wajib pajak maupun
dari pihak ketiga yang berhubungan dengan wajib pajak agar ketetapan pajak
tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari yang sebenarnya menjadi pajak terutang.
Dengan demikian keakuratan dalam pemeriksaan pajak sangat mempengaruhi
34
besarnya ketetapan pajak yang pada akhirnya akan berpengaruh pula terhadap
kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak sesuai ketetapan tersebut.
2.2.7 Hubungan Antara Pemahaman Peraturan Pajak (Tax Law) DenganKemudahan Administrasi Pajak
Menurut Djoned Gunadi M (2005), pengertian administrasi pajak adalah
bagian dari pelaksanaan hukum formal di bidang perpajakan dalam rangka
menjalankan fungsi pelayanan, pengawasan dan pembinaan, karena administrasi
pajak melalui pelaksanaan tata usaha perpajakan dan sarananya timbul bukan
karena hasil imaginasi ataupun rekaan dari para penyelenggara, akan tetapi
disusun sebagai kehendak ketentuan formal perpajakan untuk melaksanakan misi
menjadikan ketentuan material perpajakan suatu kenyataan yang baik dan benar.
Menurut Yadnyana dan Sudiksa, (2011) rendahnya kesadaran masyarakat
akan kewajiban perpajakan ini seringkali disebabkan oleh karena ketidaktahuan
masyarakat akan aturan perpajakan. Sebelumnya penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan pajak penting dalam rangka meningkatkan tingkat kepatuhan pajak
(Richardson, 2006) dalam Hardiningsih (2011). Artinya, wajib pajak lebih
bersedia untuk mematuhi aturan dan ketentuan yang berlaku jika mereka
memahami konsep dasar perpajakan.
Dari uraian tersebut dimuka maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
administrasi pajak adalah segala urusan administrasi perpajakan sebagai salah satu
instrument pelaksanaan di bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi
pelayanan masyarakat, pengawasan masyarakat dalam rangka
35
pelaksanaankewajiban perpajakan, dan pembinaan dari pelaksanaan pengawasan
di maksud.
2.2.8 Hubungan Antara Penerapan Kebijakan Pajak (Tax Policy) DenganKemudahan Administrasi Pajak
Fenomena keterkaitan antara Tax Policy dan Tax Administration ini telah
lama menjadi perhatian para ahli ekonomi khususnya di bidang perpajakan. Salah
satunya adalah Casanegra de Jantscher (1990), dalam penelitiannya ia
menyimpulkan:“In the real sense, tax administration is tax policy”. Pada
kesempatan lain, hal senada juga diungkapkan oleh seorang Professor ekonomi,
Richard M. Bird (1991) yang mengatakan: “in developing countries, policy
change without administrative change is nothing and that is critical to ensure that
changes in tax policy are compatible with administrative capacity”. Upaya-upaya
pemerintah melalui berbagai kebijakannya untuk menggenjot penerimaan negara
dari sektor perpajakan tentunya harus ditimbang secara proporsional agar setiap
kebijakan pajak tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian nasional (Fajar,
2005).
Upaya menarik investor asing untuk menanamkan investasinya sampai saat
ini masih merupakan salah satu dari agenda pemerintah khususnya investasi asing
yang bersifat langsung (Rahayu, 2005). Salah satunya upayanya adalah
memperbaiki kebijakan administrasi poerpajakan suatu daerah. Administrasi dan
kebijakan perpajakan tak ubahnya sebagaimana dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Sukses tidaknya kedua hal tersebut sangat bergantung satu sama
lainnya. Perubahan di level kebijakan yang bersifat strategis harus sejalan dan
36
“diselaraskan” dengan perubahan, kapasitas dan kebutuhan administrasi
perpajakan.
Milka Casanegra de Jantscher dan Richard M. Bird (1992) dalam
penelitiannya yang menyimpulkan: “Successful tax administration reforms thus
have these three main ingredients in common-simplification, strategy, and
committment”. Kesederhanaan (simplicity) yang dimaksud oleh Bird adalah
bahwa sistem administrasi perpajakan dapat secara efektif diaplikasikan pada
negara-negara berkembang dengan tingkat kepatuhan yang rendah sekalipun.
Jurus atau strategi (strategy) disini dimaknai sebagai adanya suatu formulasi
rencana yang berkaitan dengan penentuan prioritas dan alokasi sumber daya yang
optimal. Komitmen (committment), diartikan sebagai dukungan penuh dan
konsisten dari semua lini dari mulai dari level pembuat kebijakan, manajemen,
hingga ke level teknis operasional di lapangan.
Gap yang muncul antara kebijakan (policy at strategic level) yang
direncanakan dan didesain dan praktek administrasinya (administration in
practice) seringkali memunculkan hipotesa bahwa sebaik apapun inisiasi program
kegiatan atau kebijakan yang dibuat, apabila tidak tersosialisasikan dan
terkomunikasikan dengan baik dan efektif, hasilnya seringkali tidak sesuai dengan
harapan dari tujuan disusunnya kebijakan dimaksud.
Disinilah, fungsi komunikasi publik (kehumasan) yang merupakan bagian
dari fungsi manajemen perubahan (change management) menjadi sangat penting
untuk dapat menjembatani gap antara otoritas perpajakan dan pemangku
kepentingan tersebut.Tidak hanya pada tataran penyebarluasan informasi searah,
37
tetapi lebih kepada membangun komunikasi yang lebih interaktif antara para
pembuat kebijakan (policy makers) dengan para pemangku kebijakan
(stakeholders), masyarakat Wajib Pajak pada khususnya.
2.3 Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Untuk mendukung penelitian ini beberapa hasil penelitian dijadikan referensi.
Karpiana (2004), dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Wajib Pajak Untuk Memenuhi Kewajiban Pada Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Badung”. Berdasarkan hasil analisis dengan analisis faktor ternyata
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap wajib pajak terhadap kewajiban
membayar pajak hotel dan restoran di Kabupaten Badung adalah faktor peraturan
perundang-undangan dan sanksi hukum, faktor penghargaan (reward) kepada
wajib pajak yang telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, faktor pelayanan
petugas pajak, faktor informasi dan kemudahan birokrasi serta faktor
pertanggungjawaban.
Prianthara (2004), dengan judul “Pengaruh Sikap Wajib Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Hotel dan Restoran (Studi
Empiris pada Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung)”. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yaitu sikap wajib pajak terhadap
prioritas pembangunan; sikap wajib pajak tentang sanksi denda PHR; sikap wajib
pajak terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap penghindaran
38
PHR terhadap variabel terikat yaitu kepatuhan wajib pajak. Hasil analisis dengan
analisis regresi linier berganda menunjukkan hasil yang signifikan baik secara
parsial maupun simultan. Secara parsial pengaruh semua variabel bebas memiliki
arah positif. Variabel sikap wajib pajak terhadap prioritas pembangunan memiliki
pengaruh yang paling tinggi terhadap variabel terikat.
Hardika (2006), berjudul “Pengaruh Lingkungan dan Moral Wajib Pajak
terhadap Sikap dan Kepatuhan Wajib Pajak pada Hotel Berbintang di Provinsi
Bali”. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak.
Variabel bebas yang digunakan adalah undang-undang dan peraturan pajak,
kebijakan pajak, administrasi pajak, sikap wajib pajak dan moral wajib pajak.
Melalui analisis dengan pemodelan Structural Equation Modelling (SEM),
disimpulkan bahwa undang-undang dan peraturan pajak berpengaruh secara
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak baik secara langsung maupun melalui
sikap wajib pajak, kebijakan pajak tidak berpengaruh signifikan secara langsung
terhadap kepatuhan wajib pajak namun berpengaruh secara tidak langsung melalui
sikap wajib pajak, administrasi pajak berpengaruh signifikan secara langsung
terhadap kepatuhan wajib pajak namun tidak berpengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak melalui sikap wajib pajak, moral wajib pajak berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak, serta sikap wajib pajak tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
variabel yang digunakan, dimana pada penelitian ini variabel terikatnya adalah
kepatuhan membayar pajak hotel dan restoran, variabel bebas yang digunakan,
39
yaitu peraturan pajak, kebijakan pajak dan variabel interveningnya adalah
administrasi pajak. Penelitian ini menggunakan analisis persamaan struktural
dengan alternative Partial Least Square dengan objek penelitian pajak hotel dan
pajak restoran di Kabupaten Badung.
Recommended