View
32
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
15
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengertian dan Konsep Perikatan
a. Pengertian Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,
definisi, maupun arti istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan
pasal 1233, yang mnenyatakan bahwa “Tiap-tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”,
ditegakan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena
dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang
sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan
adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih orang (pihak)
dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban
pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
Dari rumusan di atas dapat dijelaskan bahwa ada empat unsur dalam
suatu perikatan, yaitu :
1) Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2) Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak);
3) Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan
hukum harta kekayaan;
4) Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada alah satu
pihak dalam perikatan.
b. Kewajiban dan Prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban
debitur. Prestasi terdiri dari tiga hal, yaitu memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.1
Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan untuk
tidak melakukan sesuatu tersebut disebut dengan prestasi. Prestasi
untuk melaksanakan kewajiban tersebut di atas memiliki dua unsur
penting. Pertama berhubungan dngan persoalan tanggung jawab hukum
atas pelaksanaan prestasi tersebut oleh pihak yng berkewajiban.
Jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, juga
dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban
yang dibebankan padanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari
hubungan hukum di antara para pihak dalam perikatan tersebut dari
harta kekayaan debitur tersebut.
Walau demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat
hubungan hukum, di mana pemenuhan presatasinya tidak dapat dituntut
oleh pihak terhadap siapa kewajiban harus dipenuhi (kreditur) oleh
karena tidak ada harta kekayaannya yang dijaminkan untuk memenuhi
perikatannya tersebut. Jadi dalam hal ini dimungkinkan terjadinya
1 Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta : Sinar Grafika, 2005),
3.
15
perikatan yang prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut
pelaksanaannya.
Pada pihak lain, juga dapat terjadi bahwa suatu prestasi dipenuhi
oleh suatu pihak tertentu, yang tidak berkewajiban untuk memenuhinya.
Dalam konstruksi pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga,
pihak ketiga yang memberikan jaminan kebendaan tidak pernah
berkewajiban untuk memenuhi prestasi debitur utama dalam bentuk
pelunasan utangnya. Walaupun demikian, pihak terhadap siapa prestasi
wajib dipenuhi oleh debitur utama, berhak untuk menjual kebendaan
yang dijaminkan tersebut dan untuk menjual kebendaan yang
dijaminkan tersebut dan untuk selanjutnya memeperoleh pelunasan atas
kewajiban atau prestasi debitur utama. 2
c. Debitur dan Kreditur
Bahwa setiap kewajiban atau prestasi untuk melaksanakan sesuatu
adalah juga utang yang harus dipenuhi oleh pihak yangmemeilii
kewajiban, atau prestasi tersebut. Kewajiban, prestasi atau utang
tersebut dijamin pemenuhannya oleh harta kekayaan pihak yang
berkewajiban tersebut. Oleh karena itu maka pihak yang berkewajiban
sering kali disebut dengan anma pihak yang berutang, atau sebagai
debitur.
Dalam setiap hubungan yang melibatkan dua pihak atau lebih,
keberadaan pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi atau
2 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2003), 21.
debitur pada satu sisi, pada umumnya disertai dengan pihak yang
berhak atas prstasi yang wajib dipenuhi oleh debitur, kecuali dalam
perikatan alamiah. Jika kewajiban atau prestasi untuk melakukan
seustau dari sudut debitur disebut dengan utang, maka dari sudut pihak
yang berhak atas pelaksanaan prestasi tersebut, hak atas pemenuhan
prestasi disebut dengan nama piutang. Pihak yang berhak disebut
dengan pihak perpiutang atau kreditur.3
2. Penerapan Kontrak Perjanjian
a. Pelaksanaan Kewajiban Kontrak
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga4. Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian
Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan
penerima kredit. setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara
pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk
perjanjian kredit. Pasal 1313 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer)
menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
3 Ibid., 40.
4 Undang-Undang No.10/1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan (UU
Perbankan), Pasal 1 (11).
15
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua
pihak pem-buatnya yang dinamakan perikatan. Hubungan hukum yaitu
hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang dijamin oleh hukum
atau undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan
kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut
melalui pengadilan.
Sedangkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak: pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut kreditor sedangkan pihak
yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitor.
Karena perjanjian kredit elemen pembentuknya adalah perjanjian
pada umumnya, oleh karenannya syarat sah perjanjian tersebut sama
halnya dengan syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPer yang
menentukan 4 syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1) Sepakat;
adalah perasaan rela diantara pihak pihak yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada
bila adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan
keadaan.
2) Kecakapan;
berarti orang orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut
adalah orang yang oleh hukum dapat dianggap subjek hukum, yang
tidak cakap oleh hukum adalah orang yang belum dewasa, orang
yang ditempatkan dalam pengawasan / pengampuan, orang yang
sakit kejiwaannya.
3) Suatu hal tertentu;
artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus
jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan;
4) Suatu sebab yang halal;
berarti perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan
Undang- undang lainnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau
pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-
pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian
pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang
yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan
barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu
disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang
dulu baru kemudian pembayaran.
b. Kegagalan Pemenuhan Kewajiban Kontrak
Terkait dengan kegagalan kontrak, dapat terjadi karena faktor
internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
15
eksistensi kontrak yang bersangkutan. Hal-hal yang mengakibatkan
kegagalan pelaksanaan pemeuhan kewajiban kontrak, meliputi :
a) Wanprestasi
Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling
bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak
berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa
wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan
kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1236 BW (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan
pasal 1239 BW (untuk prestasi berbuat sesuatu).
Debitur dinyatakan lalai apabila; (i) tidak memenuhi prestasi; (ii)
terlambat berprestasi; (iii) dan berprestasi tetapi tidak sebagaimana
mestinya. Namun demikian, pada umumnya wanprestasi baru terjadi
setelah adanya pernaytaan lalai dari pihak kreditur kepada debitur.
Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang
waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya
dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur.
Pernyataan lalai merupakan upaya hukum untuk sampai pada fase
debitur dinyatakan wanprestasi.
Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya
wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah :
a) Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal;
b) Debitur menolak pemenuhan;
c) Debitur mengakui kelalaiannya;
d) Pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht);
e) Pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos); dan
f) Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan
sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur
mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak
kontraknya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal
1267 BW yang menyatakan bahwa :
Pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat
memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal
itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan,
dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Hak kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupun
dikombinasikan dengan gugatan lain, meliputi :
a) Pemenuhan (nakoming); atau
b) Ganti rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling), atau
c) Pembubaran, pemutusan atau pembatalan (outbinding), atau
d) Pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap (nakoming en
anvullend vergoeding); atau
e) Pembubaran ditambah ganti rugi pelengkap (ontbinding en
anvullend vergoeding).
b) Overmacht (force majeure; daya paksa)
15
Terkait dengan overmacht, Buku III BW mengaturnya secara
fragmantari (tersebar) dalam beberapa pasal, yaitu Bagian IV tentang
Penggantian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan (Pasal 1244 – 1245 BW) dan bagian VII tentang
Musnahnya Barang yang terutang (Pasal 144 – 1445 BW). Rumusan
overmacht menurut pasal-pasal tersebut, sebagai berikut :
Pasal 1244 BW, menyatakan :
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk
mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itu jika tidak ada iktikad buruk padanya.
Pasal 1245 BW, menyatakan :
Tidak ada penggantian biaya, rugi, dan bunga, bila karena
keadaan memaksa atau karena suatu kejaidan yang tidak
disengaja, si berutang debitur terhalang untuk memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Pasal 1444 BW, menyatakan :
Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak
dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar
kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang
sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian
yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan
musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si beroiutang,
seandainya sudah diserahkan kepadanya.
Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga,
yang dimajukannya itu.
Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicur,
musnah atau hilang, hilangnya barang ini tidaksekali-kali
membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya
untuk mengganti harganya.
Pasal 1445 BW, menyatakan :
Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang, musnah,
tak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika
ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai
barangtersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-
tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.
Maka overmacht dapat disimpulkan merupakan peristiwa yang
tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah
penutupan kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dapat
15
dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut.
Untuk itu, sebagai sarana bagi debitur melepaskan diri dari gugatan
kreditur, maka dalil adanya overmacht harus memenuhi syarat,
bahwa :
a) Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;
b) Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut di luar kesalahan
debitur; dan
c) Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan
merupakan risiko debitur.
Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht
membawa konsekuensi (akibat hukum), sebagai berikut :
a) Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi.
b) Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
c) Debitur tidak wajib membayar ganti rugi.
d) Risiko tidak beralih kepada debitur.
e) Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian
timbal balik.
f) Perikatan dianggap gugur.
c) Keadaan Sulit (Hardship)
Aturan tentang Hardship menentukan bahwa apabila pelaksanaan
kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut
bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan
tunduk pada ketentuan tentang hardship (sebagai pengecualian).
Ketentuan ini mengatur dua hal pokok, yaitu :
a). Sifat mengikat dari kontrak sebegai aturan umum.
b). Perubahan keadaan yang relevan hanya terkait kontrak-kontrak
tertentu (kontrak yang pelaksanaannya belum dilakukan/ masih
berlaku dan berjangka panjang.
Hardship adalah peristiwa yang secara fundamental telah
mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan oleh biaya
pelaksanaan kontral meningkat sangat tinggi membebani pihak yang
melaksanakan kontrak (debitur) atau nilai pelaksanaan kontrak
menjadi sangat berkurang bagi pihak yang menerima (kreditur).
Dengan diterima suatu peristiwa yang secara fundamental
memengaruhi keseimbangan kontrak sebagai hardship, tentunya
akan menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para
pihak. Apabila terjadi hardship memberikan alternatif penyelesaian,
sebagai berikut :
a) Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan
renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut
harus diajukan segera dengan menunjukkan dasar (hukum)
permintaan renegosiasi tersebut.
b) Permintaan untuk dilakukannya renegosiasi dengan sendirinya
memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk
menghentikan pelaksanaan kontrak.
15
c) Apabila negosiasi gagal mencapai kesepakatan dalam jangka
waktu yang wajar, maka para pihak dpat mengajukannya ke
pengadilan.
d) Apabila pengadilan membuktikan adanya hardship, maka
pengadilan dapat memutuskan untuk :
i. Mengakhiri kontrak pada tanggal dan waktu yang pasti; atau
ii. Mengubah kontrak dengan mengembalikan
keseimbangannya.5
3. Jaminan Kredit Menurut Hukum Ekonomi Syari’ah
a. Hukum Jaminan
Jaminan merupakan sebuah janji tertulis yang dibuat oleh seseorang
atas utang yang tidak dapat dikembalikan. Jaminan merupakan syarat
bentuk tanggungan dan nilainya sebagai tanggungan sangat tergantung
pada kredit keuangan dan kedudukan penjamin, serta bentuk dan syarat
jaminan.6
Dalam perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan” ini dibedakan
dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang-undang Nomor 14 Tahun
1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, tidak dikenal istilah “agunan”,
yang ada istilah “jaminan”. Sementara dalam undang-undang Nomor 7
5 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial),
(Jakarta : Kencana, 2010), 285.
6 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1994), 23-
24.
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan pengertian yang
tidak sama dengan istilah “jaminan” menurut Undang-undang Nomor 14
Tahun 1967.
Arti jaminan menurut undang-undang nomor 14 tahun 1967 diberi
istilah “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, diberi arti lain, yaitu keyakinan
atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan diperjanjikan.
Jika ada syarat kerjasama dengan jaminan maka syarat tersebut batal
akan tetapi apabila terjadi kelalaian atau kesengajaan dari pihak
mudharib yang mengakibatkan kerugian maka diperbolehkan kerugian
itu ditanggung oleh pihak mudharib. Fatwa DSN nomor 07/DSN-
MUI/IV/2000, tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh) memutuskan
perihal ketentuan pembiayaan, LKS sebagai penyedia dana menanggung
semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah)
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,
namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya
15
dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
Adapun istilah “agunan”, ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, diartikan sebagai berikut :
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syari‟ah.7
Dalam perpektif hukum perbankan, agunan dibedakan atas 2 (dua)
macam, yaitu agunan pokok dan agunan tambahan. Agunan pokok adalah
barang, suart berharga, atau garansi yang berkaitan langsung dengan
objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang
yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan, proyek yang dibiayai dengan
kredit yang bersangkuan, maupun tagihan debitur; sedangkan agunan
tambahan adalah barang, surat berharga, atau garansi yang tidak
berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan, yang ditambahkan sebagai agunan.8
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Yang dimaksud dengan jaminan kredit atau pembiayaan adalah
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
7 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), 66-67.
8 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), 23.
2. Jaminan kredit atau pembiayaan dalam arti luas meliputi watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah debitur.
Dalam arti sempit jaminan kredit atau pembiayaan adalah agunan.
3. Jenis agunan kredit/pembiayaan terdiri dari :
Agunan pokok yaitu berupa barang, proyek, atau hak tagih yang
dibiayai dengan pembiayaan yang bersangkutan.
Agunan tambahan yaitu berupa barang yang tidak berkaitan
langsung dengan objek yang dibiayai.
4. Lembaga keuangan syariah harus memperoleh agunan dari nasabah
debitur/penerima fasilitas sebagai jaminan kredit/pembiayaan yang
diberikannya. Ketentuan ini bersifat legal mandatory, sehingga wajib
ditaati.9
b. Jaminan dalam Pembiayaan
Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan
atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran
kembali suatu utang. Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-
kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan
penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas atau kredit.
Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan
kredit/pembiayaan. Jaminan kredit/pembiayaan berupa watak,
kemampuan, modal, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan
9 Faturrahman., 43.
15
jaminan immateril yang berfungsi sebagai first way out. Dengan jaminan
immateril tersebut diharapkan debitur dapat mengelola perusahaannya
dengan baik sehingga memperoleh pendapatan bisnis guna melunasi
kredit/pembiayaan sesuai yang diperjanjikan. Jaminan kredit/pembiayaan
berupa second way out. Sebagai second way out, pelaksanaan
penjualan/eksekusi agunan baru dilakukan apabila debitur gagal
memenuhi kewajibannya melalui first way out.10
Jaminan bank adalah suatu jenis penanggungan, di mana yang
bertindak sebagai penanggung adalah Bank. Bank garansi terjadi jika
Bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan
pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu
kepada kreditur.11
Dalam hukum Islam berkaitan dengan jaminan utang dikenakan dua
istilah yaitu kafalah dan rahn.
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung (makful‟anhu). Menurut Bank Indonesia, kafalah adalah akad
pemberian jaminan (makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada
pihak lain dimana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas
pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan
(makful).12
10
Ibid., 44. 11
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia (Pokok-pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan), (Yogyakarta : Penyalur, Bina Usaha, 1980), 106. 12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), 187.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS tertanggal 17
Maret 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, menyatakan bahwa kafalah yang diatur dalam konsep syariah
bisa dikatakan sama persis dengan konsep pemberian jaminan yang
diatur menurut hukum positif. Kafalah berdasarkan SEBI 10/2008 :
“...merupakan suatu pelayanan bank syariah yang di mana bank
bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah
terhadap pihak ketiga. Objek jaminan peminjaman dalam kafalah
merupakan kewajiban pihak yang meminta jaminan dengan nilai, jumlah
dan spesifikasi yang jelas, seta tidak bertentangan dengan syariah (tidak
diharamkan). Dalam pelaksanaan pemberian jaminan, bank syariah
dapat meminta jaminan berupa cash collateral atau bentuk jaminan
lainnya atas nilai penjaminan dan bank dapat memperoleh imbalan atau
fee atas jasa pemberian jaminan tersebut.”13
Dikatakan bahwa dalam skema kafalah, bank memberikan jasa dengan
bertindak selaku penjamin atas pemenuhan kewajiban (utang) nasabah
kepada pihak ketiga, yang dikenal dengan istilah awam garansi bank.
Atas pemberian kafalah ini, bank syariah menerima imbalan atau fee
(ujrah) yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal
tetap. Tidak dibolehkan apabila nilai nominal dari barang yang dijamin
13
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS tanggal 17 maret 2008 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan
jasa Bank Syariah.
15
jumlahnya berubah-ubah atau tidak sesuai dengan kesepakatan awal,
kecuali dibuatkan kontrak baru.
Walaupun pada awalnya berbentuk jasa, apabila terjadi keadaan
nasabah melakukan wanprestasi atas kewajibannya terhadap pihak ketiga
sehingga kemudian pihak yang menerima jaminan “mencairkan” jaminan
itu, bank garansi (kafalah) tersebut barulah menjadi utang. Bank
kemudian akan memenuhi kewajiban nasabah kepada pihak ketiga atas
dasar Qardh (dana talangan), dan selanjutnya nasabah berutang kepada
bank syariah yang wajib dikembalikan oleh nasabah baik secara tunai
maupun dengan mencicil.14
Sedangkan Rahn secara bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan. Menurut istilah rahn yaitu perjanjian (akad)
pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
utang. Para ulama mendefinisikan dengan penetapan suatu barang yang
memiliki nilai dalam pandangan Syari’at sebagai jaminan atas utang yang
mana utang tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengan barang
yang digadaikan. Dengan demikian, secara sederhana dapat dijelaskan
bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Rahn (Gadai dan Borg) ialah menyerahkan benda berharga dari
seseorang kepada orang lain sebagai penguat atau tanggungan dalam
utang piutang. Borg adalah benda yang dijadikan jaminan. Benda sebagai
borg ini akan diambil kembali setelah utangnya terbayar. Jika waktu
14
Http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt555a9fe6e506f/bank-garansi-dan-kafalah diakses
pada 30 Mei 2018.
pembayaran yang telah ditentukan telah tiba dan utang belum terbayar,
maka borg ini digunakan sebagai ganti yaitu dengan cara dijual sebagai
bayaran dan jika ada kelebihan dikembalikan kepada orang berutang.15
Hukum gadai adalah sunah bagi yang memberikan utang dan mubah
bagi yang berutang. Dasarnya ialah QS. Al Baqarah ayat 283 :
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
Artinya : “Dan jika kamu dalam perjanan (dan bermuamalah secara
tunai), sedangkan kamu tidak mendapat seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang memberi
utang)...”
Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima
jaminan disebut murtahin.16
Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah dinyatakan “Apabila si berutang atau
si pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tak
diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan”.
Berikutnya, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni fatwa DSN-
MUI Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn. Menurut fatwa
tersebut, rahn adalah menahan barang sebagai jaminan atas hutang,
hingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau
15
Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2 (Muamalah dan Akhlaq), (Bandung : Pustaka
Setia, 1999), 21. 16
Gufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, ( Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002), 176.
15
mengambil sebagian manfaat barang itu. Apabila jatuh tempo, maka
pihak piutang memperingatkan pihak terhutang untuk melunasi hutang-
hutangnya, dan apabila pihak terhutang tidak dapat melunasi hutang-
hutangnya maka pihak penghutang akan menjual atau mengeksekusi
barang jaminan melalui lelang sesuai syariah.17
Uang dapat dipinjamkan dalam beberapa cara, dan dengan syarat-
syarat yang berbeda. Bahkan ada beberapa macam bentuk pinjaman uang
tanpa jaminan. Sejumlah uang tertentu dapat dipinjamkan selama jangka
waktu yang ditetapkan berdasarkan suku bunga tertentu. Kreditur dapat
memperkenankan debitur untuk menarik jumlah yang berbeda-beda pada
rekening yang ada sekarang sampai batas yang ditentukan. Beberapa
pinjaman mempunyai tujuan tertentu, misalnya apabila bank
meminjamkan uang untuk membiayai proyek tertentu. Dalam beberapa
contoh lain mungkin tidak ada perjanjian antara kreditur dan debitur
mengenai bagaimana dan untuk apa uang itu dipergunakan.
Sering kali suatu pinjaman uang dijamin dengan suatu beban atas atau
kepentingan pada barang debitur, sehingga jika debitur tidak dapat
memenuhi hutangnya, kreditur boleh menerima barang itu dan
memulihkan piutangnya dari hasil penjualan barang milik debitur itu.
Menurut Common Law, apabila penyewa terlambat membayar setiap
angsuran, kreditur dapat segera menarik kembali perjanjan itu dengan
17
Abdul Ghofur Anshari, Tanya Jawab Perbankan Syariah, (Yogyakarta : UII Press, 2008), 87.
alasan melanggar syarat pokok, dan mengambil kembali barangnya.
Dalam beberapa hal cara demikian ini akan berlaku tidak adil.18
4. Prinsip-Prinsip Hukum Ekonomi Syariah
Dalam hukum ekonomi syariah terdapat prinsip-prinsip yang harus
dipenuhi antar sesama manusia yang berkaitan dengan harta dan
kepemilikan. Prinsip-prinsip ini dijadikan sebagai dasar (aturan) dalam
melakukan kegiatan berekonomi (muamalah). Terdapat empat prinsip
yang harus dilakukan, antara lain:
a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.
Dalam prinsip pertama mengandung arti, Pada dasarnya
(asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu
hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas
makna lainnya. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum
ditemukan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menyatakan
keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan
haram, maka pada saat itu pula akad mu’amalah tersebut menjadi
terlarang berdasarkan syara’.
QS. Al-Baqarah ayat 29 :
ماء هو الذي خلق لكم ما ف الرض جمعا ثم استوى إلى الس
ء علم اهن سبع سماوات وهو بكل ش فسو
18
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, (Bandung : Kotak Pos 272, 1986), 297.
15
Artinya : “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Di dalam kaidah Al Ashlu Fil Mua‟malati Al Ibahah Hatta Yadullu
ad daliilu ala tahrimiha (Prinsip dasar pada masalah-masalah yang
mendatangkan manfaat adalah boleh dan dalam masalah-masalah
yang menimbulkan mudarat adalah haram).
Salah satu bentuk kaidah ini adalah Al-Ashlu fil manafi‟ al-Ibahah
(Prinsip dasar pada masalah manfaat adalah boleh). Pendapat para ahli
hukum Islam (Fuqaha) terkait kaidah ini, sebagai berikut :
Pendapat pertama menyatakan bahwa prinsip dasar segala sesuatu
adalah larangan atau pencegahan sebagaimana diungkapkan kelompok
ahl al-hadits (tekstualis), atau keharaman seperti diungkapkan yang
lainnya. Sebagian lainnya menisbatkan pendapat ini sebagai pendapat
Jumhur. Menurut Abu Hanifah menyatakan bahwa segala sesuatu-
haram hingga ada petunjuk yang mengarahkan pada kebolehan.
Pendapat kedua menegaskan bahwa prinsip dasar segala sesuatu
adalah kebolehan hingga ada bukti atau petunjuk yang mengarahkan
pada keharaman. Ini adalah pendapat madzab Syafi’i, dan Muhammad
bin Abdullah Al-Hakam. Sebagian ulama muta‟akhkhirin
menisbahkan pendapat ini sebagai pendapat Jumhur.19
b. Mu’amalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-
unsur paksaan.
Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah
hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada
unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas
ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi
itu menjadi batal berdasarkan syara’.
QS. An-Nisa’ ayat 29:
نكم بالباطل إل أن تكون ها الذن آمنوا ل تأكلوا أموالكم ب ا أ
تجارة عن تراض منكم
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu...”
Prinsip toleransi sebenarnya berkaitan dengan prinsip
kemerdekaan. Manusia memberikan kebebasan bergerak dan
bertindak sepanjang tidak melakukan kerusakan dan merugikan
masyarakat umum atau hak-hak orang lain. Bebas bukan berarti
19
Nashr Farid Muhammad Washil, Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta : Amzah, 2009), 76.
15
memaksakan kehendak agar akidah orang lain berpindah.
Kemerdekaan adalah kebebasan menjalankan hukum-hukum Allah.20
QS. Al Baqarah : 256
ن قد ت ل إكراه ف الد شد من الغ ن الر ب
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat..”
c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.
Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat
dan menolak madharat bagi kehidupan manusia. Prinsip ini
mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya
memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata
lain, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya merealisasi
tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bila ternyata aktivitas
ekonomi itu dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan manusia,
maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, harus
dilaksanakan. Namun bila sebaliknya, mendatangkan madharat,
maka pada saat itu pula harus dihentikan.
Qs. Al-A’raf ayat 56
20
Beni Ahmad Saebeni, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 241.
فسدوا ف الرض بعد إصلحها وادعوه خوفا وطمعاول ت
Artinya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan)...”
Dalam hal ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi
perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung kepositif
(sunnah), cenderung ke negatif (makruh) dan negatif (haram). Dan
tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat
potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda.
Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum
rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu
pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan
azimah seimbang dengan dengan kebolehan melakukan rukhsah.21
Qs. Al Baqarah ayat 286 :
ا.. ه ع س ل و ا إ س ف ن ف الل ل ك ل
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas
kesanggupannya..”
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf
karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan
ibadah, benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan
21
Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1997), 124.
15
khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad,
akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu
untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut terkurangi
kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia,
baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena
hubungan dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula.
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya
kaidah سر adalah untuk membuktikan adanya prinsip المشقة تجلب الت
tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak
menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan
kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi
menyulitkan.
Dari segi bahasa masyaqqah bermaksud sesuatu yang
meletihkan. Atau al-masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologi)
adalah al-ta‟ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, kesukaran. 22
QS. An-Nahl ayat 7:
فس ن ق ال ش ل ب ه إ غ ال وا ب ون ك م ت د ل ل ى ب ل م إ ك ال ق ث ل أ م ح ت و
م ح وف ر ء ر م ل ك ب ن ر إ
Artinya : “Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang
tidak sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran
(yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
22
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2006), 55.
Kaidah kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya
kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudaha,. hukum yang
dipraktiknya menyulitkan mukkallaf dan pada diri dan sekitarnya
terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban
tersebut berada di bawah kemampuan mukkallaf tanpa kesukaran.23
Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf
(subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga
mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
1. al-Masyaqqah al-„Azhimmah
Kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang
akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan mengakibatkan kita
tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah
Kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat
tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan,
apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka
ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat dengan masyaqqah
yang ringan, maka tidak ada kemudahan.
23
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002), 139-140.
15
3. al-Masyaqqah al-Khafifah
Kesulitan yang ringan, seperti terasa lapar waktu puasa,
terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan
sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat
ditanggulangi dengan mudah dengan cara bersabar dalam
melaksanakan ibadah, dengan alasan kemaslahatan dunia dan
akhiratn tercermin dalam ibadah tadi lebih utama dari pada
masyaqqah yang ringan ini.24
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga
telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat
diperbolehkan) kemudahan (rukhsah), yaitu:
1. Kekurang mampu bertindak hukum ( النقص)
Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib
melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji.
Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini
disebut unsur pemaaf.
2. Kesulitan yang umum (البلوى وم م (ع
Seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak
mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama
tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa
kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3. Bepergian ( فر (اس
24
Djazuli., 57-58.
Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jumat.
4. Keadaan sakit ( ,(المرض
Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air,
shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan
Ramadhan dengan kewajiban qadhasetelah sehat.
Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh,
wanita yang sedang mentruasi.
5. Keadaan terpaksa ( الءكراه)
Seperti, diancam orang lain untuk membatalkan puasa
ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6. Lupa ( سيان الن )
Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu
puasa.
7. Ketidaktahuan ( (الجهل
Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak
tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba.
Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah,
dengan adanya aturan-aturan khusus yang disebut sebagai
syariat yang sudah disesuaikan dengan tingkat kemampuan
15
dan potensi yang dimiliki seorang hamba, demi
kemaslahatan dan untuk kepentingan manusia sendiri.25
d. Dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman,
dan unsur lain yang diharapkan berdasarkan syara’.
QS. Al Baqarah ayat 279,
ورسوله وإن تبتم فلكم رءوس فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الل
أموالكم ل تظلمون ول تظلمون
Artinya : “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”
Sistem hukum ekonomi syariah mencangkup cara dan pelaksanaan
kegiatan usaha yang didasarkan prinsip syariah. Hal itu biasa disebut
sistem hukum ekonomi Islam. Ilmu ekonomi syariah merupakan ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
kerakyatan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dan filsafat hukum
ekonomi Islam melahirkan nilai-nilai dasar yang menjadi sistem hukum
ekonomi Islam, di antaranya sebagai berikut :
a. Pemilikan
25
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam : Kaidah-kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 124.
Menurut sistem hukum ekonomi Islam pemilikan bukanlah
penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan
untuk memanfaatkan. Lama kepemilikan atas sesuatu benda terbatas
pada lamanya manusia hidup di dunia ini dan kalau ia meninggal
dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli warisnya
menurut ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Sumber-sumber daya
alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat
hidup orang banyak harus menjadi milik umum atau negara, atau
sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum
atau orang banyak.
b. Keseimbangan
Nilai dasar keseimbangan harus dijaga sebaik-baiknya, bukan saja
antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat, tetapi juga
keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan
umum. Disamping itu, harus dipelihara keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
c. Keadilan
Prinsip keadilan diterapkan dalam setiap segi kehidupan manusia
terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik, dan ekonomi,
karena keadilan adalah titik tolak sekaligus proses dan tujuan semua
tindakan manusia.26
26
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), 12.
15
5. Pembiayaan Bermasalah Menurut Hukum Ekonomi Syari’ah
Pembiayaan bermasalah muncul dari adanya penyaluran dana atau
pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada nasabahnya. Pembiayaan ini
didasarkan kepada transaksi-transaksi bisnis yang tidak tunai, sehingga
menimbulkan kewajiban-kewsajiban pembayaran. Dalam perspektif fikih,
transaksi tidak tunai ini sering menjadi pembahasan utang-piutang. Hal-hal
berikut akan membahas tentang landasan utang-piutang, etika berutang
dan bagaimana penyelesaian utang-piutang menurut hukum ekonomi
syariah.
a. Landasan Utang-Piutang
Ajaran Islam yang bersandarkan kepada Al-Quran dan Hadis Nabi
SAW mengakui kemungkinan terjadinya utang-piutang dalam berusaha
(mu‟amalah) atau karena kebutuhan mendesak untuk memenuhi
kebutuhannya.
Dapat disimpulkan bahwa Islam mengakomodir kegiatan transaksi
secara tidak tunai/utang, dengan syarat semua transaksi tersebut dicatat
sesuai prosedur yang berlaku, ditambah adanya saksi-saksi dan barang
jaminan (rahn) sebagai perlindungan (sesuai kebutuhan). Tujuan
adanya prosedur tersebut, agar hubungan utang-piutang yang dilakukan
para pihak yang melakukan akad terhindar dari kerugian.27
Dalam utang piutang, atau dalam sebuah pembiayaan seharusnya
Lembaga Keuangan Syariah memiliki kualifikasi dalam pemberian
27
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2012), 74.
pembiayaan kepada calon nasabahnya. Menurut Binti Aisyah dalam
bukunya menerapkan prinsip 6C dalam pemberian pembiayaan
meliputi:
1. Character, artinya sifat atau karakter yang dimiliki nasabah
pembiayaan.
2. Capacity, artinya adalah kemampuan nasabah dalam melakukan
pembayaran angsuran, dilihat dari berapa besar keuntungan yang
diperoleh.
3. Capital, artinya besarnya modal yang diperlukan peminjam. Hal ini
termasuk struktur modal, kinerja hasil dari modal apabila nasabah
merupakan perusahaan, dan segi pendapatan jika nasabah merupakan
seorang perorangan.
4. Collateral, artinya adanya sebuah jaminan dalam pembiayaan.
Penilaian terhadap collateral dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu :
a. Segi Ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang yang digunakan.
b. Segi Yuridis, yaitu apakah agunan tersebut memenuhi syarat-
syarat yuridis untuk dipakai sebagai agunan.
5. Condition Of Economy, artinya keadaan meliputi kebijakan
pemerintah, politik, segi budaya yang mempengaruhi perekonomian.
Penilaian terhadap segi ekonomi dapat dilihat dari :
a. Peraturan-Peraturan Pemerintah
b. Situasi, politik, dan perekonomian dunia.
15
6. Constain, artinya hmbatan-hambatan yang mungkin mengganggu
proses usaha.28
b. Etika Utang-Piutang
Ajaran Islam mengajarkan beberapa etika ketika melakukan utang-
piutang di antara sesama manusia. Beberapa prinsip etika berutang-
piutang antara lain :
1. Menepati Janji
Apabila telah diikat perjanjian utang/pembiayaan untuk jangka
waktu tertentu, maka wajib ditepati janji tersebut dan pihak yang
berutang/penerima pembiayaan membayar utang/kewajibannya sesuai
perjanjian yang dibuatnya. Menepati janji adalah wajib dan setiap
orang bertanggungjawab terhadap janji-janjinya.
QS. Al Maidah ayat 1
يا أي ها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...”
2. Menyegerakan Pembayaran Utang
Orang yang memikul beban utang wajib terus berusaha
membereskan sangkutan-sangkutan utangnya hingga tuntas. Sapabila
dia mengalami kesempitan sehingga merasa lemah membayar
utangnya,maka adalah suatu keutamaan untuk terus bersungguh-
sungguh membayar utangnya.
28
Binti Nur Aisyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta : Kalimedia, 2015), 80-
84.
3. Melarang Menunda-nunda Pembayaran Utang
Perbuatan menunda-nunda pembayaran utang padahal dia mampu
termasuk perbuatan tidak terpuji, dianggap perbuatan zalim, dan
bahkan bisa dianggap sikap orang yang mengingkari janji (munafiq).
4. Lapang Dada Ketika Membayar Utang
Salah satu akhlak yang mulia ialah berlaku tasamuh (toleransi) atau
lapang dada dalam pembayaran utang. Sikap ini merupakan kebalikan
dari pada sikap menunda-nunda, mempersulit dan menahan hak orang,
5. Tolong-menolong dan Memberi Kemudahan
Sikap tolong-menolong dan membantu melepaskan kesusahan dan
kesulitannya yang diterima oleh orang lain, Islam menilai termasuk
akhlak mulia/terpuji.
Berdasarkan keterangan di atas, Islam mengakui dan membolehkan
utang-piutang, walaupun kebolehan tersebut ditekankan karena
kebutuhan yang mendesak dan berupaya sesegera mungkin untuk
membayarnya. Menunda-nunda pembayaran utang dianggap sebagai
suatu perbuatan tercela, apalagi dalam keadaan mampu.29
c. Alternatif Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Beberapa alternatif penyelesaian cidera janji dalam pembiayaan,
antara lain :
1. Melakukan restrukturisasi terhadap utang yang ada antara lain
dengan penjadwalan, perpanjangan jangka waktu, dan hapus buku
29
Ibid., 78.
15
atau hapus tagih sebagian atau seluruh utang gharimin (orang yang
berutang). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, surah Al
Baqarah ayat 280 :
م ك ر ل قوا خ د ص ن ت أ ة و ر س ى م ل ة إ ر ظ ن ة ف ر س و ع ان ذ ن ك إ و
ون لم ع م ت ت ن ن ك إ
“Dan jika (orang berutang) itu berada dalam kesukaran maka
berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik begimu, jika kamu
mengetahui”.
2. Bagi yang berutang (debitur) dan kemudian pada saat yang sama
mempunyai tagihan/piutang (kredit) pada pihak lain, maka orang
yang berutang tersebut dapat melakukan pembayaran utang dengan
mengalihkan beban utang yang ditangguhnya kepada orang yang
berpiutang, kepadanya. Hal ini disebut dengan istilah “hiwalah” atau
“hawalah”.
3. Bagi yang berutang (debitur, sedangkan harta atau yang dimilikinya
habis dan tidak mampu membayar utang-utangnya, dia dapat
dinyatakan sebagai orang yang bangkrut (muflis) oleh hakim (di
Indonesia oleh hakim Pengadilan Niaga). Menjatuhkan hukuman
terhadap orang yang tidak mampu membayar utang, dinamakan
dengan al-Taflis (pailit/pernyataan bangkrut). Bagi yang dinyatakan
pailit (taflis) oleh hakim, maka orang tersebut tidak dapat melakukan
tindakan hukum terhadap sisa harta yang dimilikinya. Dan harta
tersebut dialokasikan untuk pembayaran utang yang menjadi
tanggungannya.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola
penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang
diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian
sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negoiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.30
Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan umumnya
didasarkan pada dua pola dasar, yaitu :
a) Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, di mana
untuk gugatan ini harus didasarkan pada adanya hubungan
kontraktual (privity of contract) di antara para pihak (penggugat
dan tergugat);
b) Adanya pembuatan melanggar hukum onverchtmatige daad), di
mana dalam gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum
tidak perlu didahului adanya hubungan kontraktual di antara para
pihak, namun yang paling elementeer adalah adanya perbuatan
yang merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara
30
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian
Sengketa, Pasal 1 ayat (10).
15
perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat
kesalahannya.31
4. Al-Hajr (Pengampunan) yaitu larangan bagi seorang untuk
melaksanakan akad dan bertindak hukum terhadap hartanya. Dalam
hal ini Hakim memutuskan untuk menahan harta seseorang untuk
keperluan pemabayaran utangnya. Hal ini mirip dengan ketentuan
pailit dalam hukum perdata.
5. Penerapan Hukum Ta‟zir bagi debitur. Bagi debitur yang sengaja
tidak mau menyelesaikan utangnya, padahal dia mampu, salah
satunya bisa diterapkan hukuman ta‟zir berupa eksekusi jaminan. 32
Eksekusi jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin
pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang milik
tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama
proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan lain perkataan
bahwa barang-barang tersebut lalu tidak dapat dialihkan,
diperjualbelikan atau dengan jalan lain dipindahtangankan kepada
orang lain. Bukan hanya barang-barang tergugat saja yang dapat
disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang bergerak milik
penggugat sedniri yang ada pada penguasaaan tergugat dapat
diletakkan sita jaminan.33
31
Agus Yudha., 308.
32 Ibid., 81.
33 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), 76.
Objek jaminan utang yang lazim digunakan dalam suatu utang-
piutang, secara umum dapat dikelompokkan antara lain : barang
bergerak, dan jaminan perorangan (penanggungan utang).
a. Barang bergerak yang berupa barang berwujud, misalnya berupa
perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan
rumah tangga, perlengkapan kantor, alat berat, alat transportasi
laut dan sungai, alat transportasi udara, barang persediaan, barang
dagangan, dan sebagainya.
b. Barang tidak bergerak berupa tanah dan benda-benda yang
berkaitan (melekat) dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung,
hotel, dan sebagainya. Barang tidak berwujud dapat berupa
tagihan, piutang, dan sejenisnya (tetapi untuk surat yang
mempunyai harga mungkin masih perlu penegasan apakah
termasuk sebagai barang berwujud atau barang tidak berwujud
misalnya saldo tabungan dan saldo giro yang seharusnya
dibedakan dari bilyet deposito atau sertifikat deposito).
Recommended