View
220
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
A. Otonomi Daerah Dalam Rangka Pengaturan Desa
1. Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos
yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna
membuat perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam
perkembangannya, konsepsi otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving
(membuat Peraturan daerah), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintah
sendiri). C.W. van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen
huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).1
Logemann,2 mengatakan bahwa kekuasan bertindak merdeka (vrij beweging)
yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri daerahnya
itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif. Itulah yang disebut otonomi yang
oleh Van Vollenhoven dinamakan “eigenmeester schap”. Jadi3 menurut logemann
dalam tulisannya “Het Staatscrecht der Zelfregende Gemeenschappen” istilah
otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandiqheid) tetapi
bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
1M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
konstitusi RI, Jakarta, 2006., hal. 161. 2Y.W Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1987., hal. 22-
23. 3 Ibid., hal.24.
Menurut Bagir Manan, otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandirian
(vrijheid dan zelftandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan
mengurus sebagian urusan pemerintahan. Kebebasan dan kemandirian merupakan
hakikat isi otonomi. Kebebasan dan kemandirian iu adalah kebebasan dan
kemandirian dalam ikatan persatuan yang lebih besar.4
Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, antara
lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau
cara menentukan urusan rumah tangga daerah.
Otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi
wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu daerah-
daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau
pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.5
Membahas Otonomi Daerah tidak terleapas dari sistem pengaturan
kewenangan pemerintahan baik sentralisasi dan desentralisasi. Namun berkaitan
dengan topik ini akan dibahas dengan melihat dari teori desentralisasi simeteris dan
asimetris
Ahli pertama yang memulai debat seputar desentralisasi asimetris adalah Charles
Tarlton dari University of California, USA. Menurut Tarlton:6 “Pembeda inti antara
desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi asimetris terletak pada tingkat kesesuaian
(conformity), dan keumuman (commonality) pada hubungan suatu level pemerintahan
4Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum (Konstitusi dan Demokrasi Dalam Kerangka
Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan UUD-1945, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005., hal.
127. 5Ni’Matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII PRES, Yogyakarta, 2010., hal. 46.
6 Robert Endi Jaweng, “Kritik terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia”, Jurnal Analisis CSIS, Vol.
40, No. 2, Juni 2011, hal. 162.
(negara bagian/daerah) dengan sistem politik, dengan pemerintah pusat maupun antar negara
bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in the
relations of each separate political unit of the system to both the system as a whole and to
the component units”. Di sini, hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah
pusat tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama”.
Sementara dalam pola asimetris, satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal
“possessed of varying degrees of autonomy and power”. Berbedanya derajat otonomi
kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan muatan kewenangan itu membentuk derajat
hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik
lainnya, baik secara horisontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan pusat). Khusus
mengenai pola asimetris, Tarlton menekankan, “In the model asymmetrical system each
component unit would have about it a unique feature or set of features which would separate
in important ways, its interest from those of any other state or the system considered as a
whole”.7
Kerangka pikir Tarlton di atas diadopsi sekaligus diperbarui oleh John McGarry dari
Queen’s University, Canada. Titik tekannya tidak hanya terkait substansi asimetri tetapi juga
bentuk dasar legal pengaturannya. Menurut McGarry:8
“Model asimetris terjadi kalau otonomi semua unit pemerintahan subnasional
dijamin konstitusi dan terdapat sekurangnya satu unit lokal yang menikmati level otonomi
yang berbeda (umumnya otonomi lebih luas). Di negara federal, sekaligus sebagai kebalikan
dari negara unitaris, keberadaan model asimetris diatur dalam konstitusi dan otoritas federal
tidak bisa secara sepihak menarik atau membatalkan status asimetris tersebut. Dalam
perspektif politik, asimetris yang diatur dalam konstitusi ini adalah bukti pengakuan negara
akan keberagaman sifat nasional satu atau lebih wilayah”. Walaupun pada awalnya Tarlton
7 Ibid. 8 Ibid., hal. 163.
menulis tema asimetris dalam kerangka negara federal, tetapi dalam perkembangan di
kemudian hari menunjukkan bahwa konsep dan penerapan kebijakan atas model tersebut
mulai diadopsi di negara kesatuan, misalnya di Indonesia berupa otonomi khusus, daerah
khusus, dan daerah istimewa seperti kalau di Indonesia terdapat pada Aceh, Jogjakarta, dan
Papua.
Urusan yang menjadi tugas daerah dalam rangka kewenangan otonominya,
pada dasarnya terdiri atas:
a. Urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pusat kepada Daerah berdasarkan
ketentuan tentang penyerahan urusan sebagaimana diatur dalam berbagai
Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Urusan.
b. Urusan yang merupakan kewenangan aslinya sebagaimana ditetapkan didalam
undang-undang pembentukan daerahnya. Pembiayaan atas penyelenggaraan
urusan-urusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.9
Pasal 10 dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menjelaskan pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintah yang dimaksud meliputi :
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
9Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemeritahan Daerah, UII Press,
Yogyakarta, 2005., hal. 11.
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiscal nasional; dan
f. Agama.
Selain ke 6 urusan pemerintahan diatas, dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengatakan:
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Jadi daerah otonom diberi keleluasaan dan kepercayaan untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sebelum kebijakan ini ada hal ini merupakan
urusan pemerintahan pusat, sehingga dengan adanya otonomi daerah kewenangan
mengurus urusan pemerintahan menjadi terbagi, namun pemerintah pusat tetap
melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah.
Pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat manurut prakarsa sendiri,
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.10
10Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UUD 1945 mengatur bahwa prinsip otonomi daerah adalah otonomi daerah
seluas-luasnya (pasal 18 ayat (5) UUD 1945)11 yang kemudian prinsip ini dituangkan
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, bahwa prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya (Pasal 2 ayat (3) UU No 32
Tahun 2004)12, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan
dalam UU ini. Meskipun daerah otonom memiliki kewenangan untuk menjalankan
otonomi seluas-luasnya, tetapi ada rambu yang harus dipatuhi oleh daerah otonom
dimana daerah otonom dalam menjalankan kewenangannya harus juga melaksanakan
prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip Otonomi Nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan yang
dimaksud dengan Otonomi Bertanggung Jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesehjateraan rakyat.
Pemerintahan dalam pengertian pemerintahan daerah adalah penyelengaraan
pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan Dewan Perakilan Rakyat
Daerah (DPRD) berdasarkan asas desentralisasi.
11Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi daerah selaus-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat (perubahan Kedua
UUD 1945). 12Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya,
kecuali urursan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Ditinjau dari sisi wewenang, pemerintahan daerah otonom menyelenggarakan
dua aspek otonomi. Pertama, otonomi terbatas, yaitu13 :
1. urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
2. apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-
cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
3. sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal
seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi
ruang gerak otonomi daerah. Sedangkan Kedua otonomi luas bertolak dari
prinsip: semua urusan pemerintahan pada dasarnya men jadi urusan rumah
tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagi urusan pusat.
Dengan demikian, kalau dilihat dari kekuasaan pemerintahan daerah otonom,
pemerintahan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok14:
a. Pemerintahan dalam arti sempit, yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau
administratisf.
b. Pemerintahan dalam arti agak luas, yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif
dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintah daerah otonom
c. Pemerintahan dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara
dibidang eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya.
Berdasarakan pemahaman bahwa keanekaragaman istilah sistem otonomi
dipergunakan untuk maksud yang sama, maka dapat dikemukakan guna keperluan
pengacuan pengertian sistem otonomi, yakni patokan tentang cara penentuan batas-
batas urusan rumah tangga daerah. Pada umumnya dikenal 4 (empat) sistem otonomi
yang pokok, yaitu15:
a. Sistem Residu (Teori Sisa)
Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang
menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah
13Ni’Matul Huda, Op. Cit., Hal. 83. 14Ibid., Hal. 41. 15David Heipon, Kedudukan Majelis Rakyat Papua Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Provinsi Papua,
Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Maret 2013, hal. 29.
tangga daerah. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada timbulnya keperluan-
keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan
tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah pusat.
b. Sistem Otonomi Materiil, atau pengertian rumah tangga materiil (materiele
huishoudingsbegrip)
Dalam sistem ini, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif
atau terperinci. Diluar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah
pusat. Dalam pengertian otonomi materiil, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) yang
eksplisit (diperinci dengan tegas) dalam undang-undang pembentukan daerah.
Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu per
satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti apa yang tidak tercantum dalam dalam
udang-undang pembentukan daerah, tidak termasuk urusan pemerintah daerah
otonom melainkan urusan pemerintah pusat.
c. Sistem Otonomi Formil, atau pengertian rumah tangga formil (formeele
huishoudingsbegrip)
Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak
secara a priori ditetapkan dalam atau dengan undang-undang. Daerah boleh
mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya,
tetapi tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat
atau pemerintah daerah yang lebih tinggi. Dengan demikian, urusan rumah tangga
daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tunggi
tingkatannya. Di dalam pengertian sistem otonomi formil, tidak ada perbedaan
sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh
daerah-daerah otonom. Hal ini berarti apa yang dapat dilakukan negara
(pemerintah pusat) pada prinsipnya dapat pula dilakukan oleh daerah-daerah
otonom. Bila ada pembagian tugas (wewenang dan tanggung jawab) hal itu
semata-mata disebabkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis
seperti efisiensi penyelenggaraan tugas pelayanan public.
d. Sistem Otonomi Riil, atau pengertian rumah tangga riil (riele hushoudingsbegrip)
Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
masyarakat yang terjadi.
Oleh karena itu pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini
didasarkan pada keadaan yang riil di dalam masyarakat, membawa konsekuensi
bahwa tugas/urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat
diserahkan kepada pemerintah daerah dengan mempertimbangkan kemampuan
masyarakat daerah atau mengaturnya dan mengurusnya sendiri. Sebaliknya, tugas
yang telah menjadi wewenang daerah pada suatu ketika, bilamana dipandang
perlu, dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak sebagaimana
diatur dalam pasal 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu :
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memlih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
mempunyai kewajiban :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrative kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk melaksanakan tugas otonomi tersebut ditetapkan dalam bentuk
Peraturan Daerah, dan Peraturan Daerah ditetapkan untuk melaksanakan otonomi
meliputi seluruh urusan rumah tangga otonomi.
2. Peraturan Daerah
Peraturan adalah hukum yang in abstracto atau generale norm yang sifatnya
mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat
umum (generale).16
Secara teoritik, istilah “perundang-undangan” mempunyai dua pengertian,
yaitu; pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ proses
membentuk peraturan-peraturan negara, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat
Daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan
hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah.
Tujuan utama dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk
menciptakan kepastian hukum,17 karena hukum yang tertulis akan membuat para
subjek hukum mengerti betul hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan atau tidak
dilakukan, yang boleh dan atau tidak boleh, serta mana hak dan kewajibannya18
sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam
sebuah negara hukum.19 Peraturan perundang-undangan ketika dikaitkan dengan
hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-wenangan oleh
penguasa terhadap warga negaranya, sehingga dalam konsep negara hukum pengertian
tersebut kemudian dikaitkan dengan asas legalitas.20
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi
16SF. Marbun & M. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000,
hal. 94. 17TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 49 18Ibid., Hal. 49-50 19Ibid. 20Ibid.
negara-negara hukum dalam sistem kontinental.21 Asas ini dinamakan juga dengan
kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet)22 yang dalam konsep
peraturan perundang-undangan sering di identik dengan asas supremasi hukum
(government under law) dan asas pemerintahan melalui peraturan perundang-
undangan (government by rules).23 Yang menyebabkan setiap penyelenggaraan
pemerintahan harus didasari oleh hukum dan ketika tidak ada peraturan perundang-
undangan maka tidak ada kewenangan sebagai dasar bertindak bagi setiap badan atau
pejabat negara dan pemerintah.24
Teori yang mendasari asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan
adalah teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang
menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan bagian
keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau hukum
merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain25
dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma yang lebih
rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi demikian
seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).26
Stufentheorie ini kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen yang bernama
Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen,
Nawiasky menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga
21Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal.
90. 22Ibid., Hal. 91. Dikutip dari H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdsukken van Administratief Rech,
(Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995), Hal. 41. 23TitonSlametKurnia, Op. Cit., Hlm. 51. Dikutip dari Andrew Altman, Arguing About Law, Hal. 3-5. 24Ibid.,Hal. 51. 25TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 55 26Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hal. 41. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law Ana State,
New York, Russell & Russell, 1945, Hal. 113
berdasarkan kelompok-kelompoknya masing-masing yaitu terbagi atas empat
kelompok. Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),
Kelompok kedua: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara),
Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok keempat:
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan otonom).27
Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan
akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang
sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki
sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai
berpangkal pada norma tunggal28 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.29 Karena sebuah
norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi muatannya dapat
dirunut sampai ke pada norma dasar.30 Demikian peraturan perundang-undangan
sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan konsep hirarki aturan
hukum.31 Sehingga asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yaitu Lex
Superior Derodat Lex Inferiori.
Ada dua legalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah peraturan perundang-
undangan yaitu legalitas formal dan legalitas material. Sebagaimana dikemukakan
oleh Hans Kelsen bahwa “sebuah norma dapat dikatakan sah sebagai norma hukum
hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu – diciptakan menurut aturan
tertentu, dikeluarkan atau ditetapkan menurut sebuah metode spesifik. (formil)” dan
27Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System
der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2 1948, Hal. 31 dst. 28 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 94. 29 Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 57. 30 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 95, 105. 31TitonSlametKurnia, Op.Cit.,Hal. 55.
dengan materi muatan yang sesuai dengan tingkatan dan kelompoknya berdasarkan
pada aturan yang lebih tinggi dan dapat dirunut sampai ke norma dasar (materiil).32
Berdasarkan Stufentheorie yang kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen
yang bernama Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen,dan asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yaitu Lex
Superior Derodat Lex Inferiori, penulis berpendapat bahwa setiap peraturan yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, karena dalam
peraturan yang lebih rendah yang menjadi dasar peraturan tersebut dibentuk itu adalah
peraturan yang lebih tinggi sampai pada peraturan yang sangat mendasar yaitu
konstitusi yang merupakan peraturan yang paling tinggi.
Sifat suatu peraturan ialah mengikat semua penduduk sesuatu wilayah.
Peraturan itu berlaku umum. Peraturan dibuat untuk menyelesaikan beberapa hal yang
(dalam garis besarnya) mengandung kesamaan dan yang akan dan mungkin terjadi.33
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan
dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
b. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan
datang yang belum jelas betuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat
dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
c. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah
lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat
kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
32Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problem of Legal Theory), Nusa Media,
Bandung, 2012, Hal. 96-97. 33 E, Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990, hal.42
Peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui
terlebih dahulu dan mungkin akan terjadi (hal umum). Peraturan ditujukan kepada
hal-hal yang abstrak.34
Berkenaan dengan perundang-undangan, Ridwan, HR. mengutip yang
disampaikan oleh A. Hamid S. Attamimi35:
“Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harafiah dapat diartikan
peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-
undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun
delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-
undangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di Negara kita ialah
undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari padanya
seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan
Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non-
Departemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang
dibentuk dengan Undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I,
Keputusan Gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan
Peraturan Daerah Tingkat I, PeraturanDaerah Tingkat II, dan Keputusan
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan
Peraturan Daerah Tingkat II.”
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang
34ibid, hal.71 35Day Harip Saputra, Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No.188.44/0135/KUM/2007
Sebagai Objek Gugatan Di Peradilan Tata Usaha Negara, Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
April 2013, hal. 16.
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah, yang juga mengikat umum.
Di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, prinsip-prinsip pembentukan
Perda ditentukan sebagai berikut:
a. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD.
b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan
dan merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundangan-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
c. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
d. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan.
e. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan Raperda.
f. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum, atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp.50.000.000,00 (lima puluh) juta rupiah.
g. Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk
melaksanakan Perda.
h. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran.
i. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik pelanggaran
Perda (PPNS Perda).
j. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
dalam Berita Daerah
Dalam membentuk Peraturan Daerah baik yang diatur dalam Undang-undang
No. 10 Tahun 2004 maupun menurut Pasal 137 Undang-undang No. 32 Tahun 2004,
harus berdasarkan asas pembentukan peraturan perudang-undangan yang meliputi:
a. kejelasan tujuan
b. kelembangaan atas organ pembentuk yang tepat
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan
d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan.
Setiap pembentukan peraturan perundangan-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai, begitu juga dengan pembentukan peraturan
daerah. Pembentuk peraturan daerah harus memperhatikan materi muatan yang tidak
bertentangan dengan peraturan diatasnya. Disamping itu, juga harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Peraturan daerah dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat didaerah setempat. Setiap peraturan daerah harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan seperti penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Dalam proses pembentukannya mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 12 Undang-undang No. 10 Tahun 2004, “Materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaran
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.36 Menurut
pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 200437, jenis hirarki peraturan
perundang-undangan adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Jadi materi muatan Peraturan Daerah itu adalah :
a. seluruh materi yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan
b. menampung kondisi khusus daerah
36 Hal ini diatur juga dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan pasal 14 mengatakan “materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi”. 37 Jenis hierarki peraturan perundang-undangan ini juga diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun disini pasal 7 dalam Undang-undang No. 12 tahun
2011 hierarki peraturan perundang-undangan dijabarkan sampai pada peraturan daerah provinsi dan yang paling
bawah dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah peraturan daerah kabupaten/kota, sedangkan pada
pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2004 hanya sampai pada peraturan daerah saja.
c. penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu
Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undnag atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.38
Kemudian di dalam materi muatan Peraturan Daerah harus mengandung asas:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban dan kepastian hukum
j. keseimbangan, keserasian, dan keselaranan. Selain asas tersebut,
Peraturan Daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi
Peraturan Daerah yang bersangkutan.
Setiap materi muatan paraturan daerah harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Di samping itu,
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap masyarakat secara proposional, mencerminkan keadilan
secara proposional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Setiap materi muatan
peraturan daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
3. Desa
a. Pemerintahan Desa di Indonesia
38 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Kerjasama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta
Media, Jakarta, 2006, hal 270-271.
Berbicara cikal bakal pemerintahan desa di Indonesia sesungguhnya dimulai
sejak sebelum Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, sebagaimana diilustrasikan oleh
Cornelis van Vollenhoven39 bahwa sebelum datangnya penjajah Belanda, di nusantara
telah terdapat sistem ketatanegaraan dalam bentuk kesatuan perkampungan dan lain-
lain. Hal ini dibenarkan oleh Nasroen40 bahwa:
Desa di Indonesia telah ada sejak berates-ratus tahun yang lampau. Dari
zaman ke zaman, desa, nagari, marga ini ada dan tetap ada sampai dewasa
ini. Majapahit telah hilang, demikian pun Sriwijaya, Atjeh, Bugis,
Minangkabau, Mataram, dan sebagainya. Hindia Belanda, Pendudukan
Jepang telah lenyap, tetapi desa, nagari, marga itu tetap ada. Dari jalan
sejarah ini, sebagai bukti dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu Negara
akan tetap ada, selama desa, nagari, marga itu ada, asal Negara itu
sanggup menyatukan dirinya desa, nagari, dan marga itu.
Pengakuan (secara yuridis) atas keberadaan desa juga terjadi pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda secara yuridikal diatur berbeda antara pemerintahan
desa di Jawa dan luar Jawa. Di Jawa diatur dalam Inlandse Gemeente Ordonantie
(IGO). Di luar Jawa diatur dalam Inlandse Gemeente Ordinantie voor Buitengewesten
(IGOB). Ketentuan-ketentuan ini hanya mengatur mengenai organisasi desa, karena
desa sebagai pemerintahan asli telah ada jauh sebelum dibuatnya IGO dan IGOB yang
substansinya memberikan kesempatan kepada penduduk negeri/asli dibiarkan dibawah
langsung kepala-kepalanya sendiri (pimpinan).41
39 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koorfinasi Pemerintahan di Daerah, hal. 6. 40 Nasroen, Daerah Otonom Tingkat Terbawah, Jakarta, Beringin Trading Company, 1955, hal. 41. 41 Diatur dalam Pasal 118 jo Pasal 128 IS (Indische Staatsregelings) dan dalam Wet Houdende
Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands Indie 1903 (Decentralisatie Wet 1903). Lihat: HAW. Widjaja,
Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Suatu Telaah Administrasi Negara. Jakarta, Raja Gravindo Persada, Cet. III, hal. 23.
Selain IGO dan IGOB, dalam peraturan perundang-undangan (wettelijk
regelings) Hindia Belanda, “desa” telah diatur dalam pasal 71 Regerings Reglement
(RR) yang menegaskan bahwa:
Desa, kecuali dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk dengan
peraturan umum, memliki sendiri kepala desa dan pemerintahan desa.
Gubernur Jenderal menjaga hak-hak tersebut terhadap semua pelanggaran.
Desa diperbolehkan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
dengan memperhatikan peraturan wilayah atau pemerintahan… dan
seterusnya.
Ketentuan ini menunjukan bahwa eksistensi “desa” pada zaman Hindia
Belanda sangat diakui (atau lebih tepat “dibiarkan”) untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (huishouding gelatin) berdasarkan kewenangannya yang asli
pada saat sebelum Belanda masuk ke nusantara.
Demikian pula, dalam pasal 128 ayat (3) Indische Staatsregeling (IS)
disebutkan bahwa:
Desa adalah kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-
undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu dan pemerintahannya
merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintahan kabupaten atau
swapraja.
Melihat maksud dari ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda di atas,
dapat dipahami bahwa pada masa colonial tetap ada pengakuan terhadapn otonomi
desa sebagai otonomi asli diwilayah Hindia Belanda.
Dari penjelasan diatas, sebagai catatan bahwa sangat tidak tepat apabila “desa”
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Tentang hal ini The Lian Gie42
berpendapat bahwa:
Keterangan bahwa desa, nagari dan sebagainya adalah daerah-daerah yang
bersifat istimewa tidak tepat. Dalam pembicaraan-pembicaraan tidak
pernah tegas dinyatakan bahwa Volksgemeenschappen itu tergolong dalam
daerah istimewa. Yang nyata-nyata dianggap daerah istimewa dengan hak-
hak asal usul yang bersifat istimewa yaitu daerah-daerah
kerajaan/kesultanan yang masih ada diseluruh Indonesia pada waktu itu.
Dalam sejarah pertumbuhan pemerintahan daerah di Negara RI
selanjutnya “Desa” dan sebagainya tidak pernah dianggap sebagai daerah
istimewa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jadi, “desa” bukanlah merupakan daerah istimewa seperti halnya dengan
zelfbestuurende landschappen, yakni daerah-daerah kerajaan atau kesultanan seperti
halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mr. Djody Gondokusumo43 menyebutkan
cirri-ciri daerah istimewa sebagai berikut: Pertama, Kepala Daerah diangkat oleh
Presiden; Kedua, Pengangkatan Kepala Daerah Istimewa diambil dari keturunan
keluarga yang berkuasa; ketiga, kepala Daerah Istimewa tidak dapat diberhentikan.
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal 1 dikatakan
bahwa:
“Yang dimaksud dengan DESA adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk
didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dinamakan DUSUN
42The Lian Gie, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah
Indonesia. Yogyakarta, Karya Kencana, 1974, hal. 9. 43Djody Gondokusumo, Tata Hukum Daerah Otonom. Yogyakarta, Menara Pengetahuan, 1950, hal. 17.
adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja
pelaksana pemerintahan DESA”.
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 1 ayat (12) mengatakan:
“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Sedangkan dalam Undang-Undang Desa yang terbaru yaitu Undang-Undang
No. 6 tahun 2014 tentang desa pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan Peraturan yang
baru ditetapkan. Undang-Undang Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan masuk
dalam lembaran negara no 6 tahun 2014 pada 15 Januari 2014. Undang-Undang Desa
menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. Undang-Undang Desa menempatkan
desa sesuai dengan amanat konstitusi dengan merujuk pasal 18B ayat 2 dan Pasal 18
ayat 7. Undang-Undang Desa membentuk tatanan desa sebagai self-governing
community dan local self-government. Tatanan itu diharapkan mampu mengakomodasi
kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi fondasi keragaman NKRI.
Salah satu upaya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang desa untuk
mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan amanat konstitusi yaitu
dimasukannya dalam pasal-pasal mengenai desa adat. Desa adat pada prinsipnya
merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara
turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat
Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial
budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal
usul desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah
masyarakat.
Desa adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar territorial
yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan
hak asal usul. Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan
tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, territorial, dan/atau gabungan geneologis dengan
territorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum
adat yang merupakan gabungan antara genelogis dan territorial. Dalam kaitan itu,
Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa
pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan
negeri di Maluku.44
Secara yuridis normatif, desa telah diberikan (lebih tepatnya “diakui”)
kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, yang menegaskan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Jadi, menurut UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat (termasuk di dalamnya “desa”) beserta hak-hak tradisioanalnya harus didasarkan
pada prinsip: “tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ketentuan tersebut oleh Jimly Asshiddiqie45 dikomentari bahwa pengakuan ini
diberikan Negara:
a. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisioanal
yang dimilikinya;
b. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat. Artinya, pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-
kesatuan tersebut, sehingga masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat
tertentu;
c. Masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hidup);
d. Dalam lingkungan (lebensraum) yang tertentu pula;
44Desa dan Desa adat, Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. 45 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Depok, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 24.
e. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran
kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban
bangsa;
f. Pengakuan dan penghormatan tidak boleh mengurangi makna Indonesia
sebagai satu Negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Norma pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus dipahami sebagai prinsip
mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum beserta hak-hak
tradisionalnya. Maksud dari “masyarakat hukum adat” adalah masyarakat hukum
(rechts-gemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa,
marga, nagari, gampong, kampong, meunasah, huta, negorij, dan lain-lain. Masyarakat
hukum adalah kesatuan masyarakat yang bersifat territorial dan genealogis, memiliki
kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat
hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar sebagai satu kesatuan hukum
(subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi juga dihormati, artinya mempunyai hak
hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti
kabupaten dan kota.46
Eksistensi desa dan kewenangan aslinya ini juga sebenarya harus dijadikan
sebagai salah satu klasifikasi hak-hak asasi manusia (human rights) yang diakui di
Indonesia, yakni hak untuk mempertahankan identitas tradisional dan hak masyarakat
tradisional. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28I ayat (2) 1945:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
46Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 21-22.
Hak-hak masyarakat tradisional atas identitas budayanya harus tetap
dipertahankan sebagai upaya perlakuan sebagai manusia yang bersifat kodrati (lex
naturalis).47 Hal ini penting dalam rangka menghindari eksploitasi manusia lainnya
(exploitation de I’homme pas I’homme) akibat dari manusia telah menjadi serigala pagi
manusia lain (homo homini lupus).
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa yang juga sudah
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lain adalah hak ulayat sebagai salah
satu contoh. Pada pasal 3 UUPA ditegaskan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentinga nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Norma yang terkandung dalam pasal ini menunjukkan adanya jaminan hukum
ketatanegaraan terhadap hak-hak tradisioanal desa berikut masyarakatnya, yakni
melindungi ataupun memfasilitasi berbagai kepentingannya, terutama yang
berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk didalamnya perlindungan
terhadap esensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup (living law).
Jaminan ini memang tidak dapat dilepaskan dari hak-hak sosial budaya masyarakat
tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia (human rights).48
47Bandingkan: Frans Magnis-Suseno, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konteks Sosio-Kultural dan Religi
di Indonesia, dalam: Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Budaya
Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 61. 48 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern
dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT Alumni, 2010, hal. 47-48.
b. Pemilihan Kepala Desa
Pemerintahan Desa secara yuridis (hukum positif, ius constitutum) terdiri atas
Kepala desa (Kades) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).49 Kedua institusi
pemerintahan desa ini secara bersama-sama dalam melakukan tugas dan kewenangan50;
1) Menetapkan peraturan desa (Perdes);
2) Menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes);
3) Menyusun perencanaan pembangunan desa;
4) Ikut serta membangun kawasan perdesaan;
5) Ikut serta dalam kebijakan kerjasama antar desa yang sifatnya membebani
masyarakat desa;
6) Mengubah status desa menjadi kelurahan;
7) BPD berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perdes dan
peraturan kepala desa (Perkades);
8) BPD berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kades.
BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD
berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala desa, serta menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.51
49 Menurut Pasal 1 butir 8 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ditegaskan bahwa:
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga
yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsure
penyelenggara pemerintahan desa. 50 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa…, Op.cit, hal. 48. 51 Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Dalam pemilihan kepala desa, BPD bertanggungjawab dalam memproses
pemilihan kepala desa, paling lama 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
kepala desa.52
Calon kepala desa adalah penduduk warga Negara Republik Indonesia yang
memenuhi persyaratan53:
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta Pemerintah;
c. Berpendidikan paling rendah taman Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau
sederajat;
d. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun;
e. Bersedia dicalonkan menjadi kepala desa;
f. Penduduk desa setempat;
g. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan
hukuman paling singkat 5 (lima) tahun;
h. Tidak dicabut hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
i. Belum pernah menjabat sebagai kepala desa paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
dua kali masa jabatan;
j. Memenuhi syarat lain yang diatur dalam peraturan daerah kabupaten/kota.
52 Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 53 Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Kepala desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa warga Negara
Indonesia yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau
telah/pernah kawin. Pemelihan kepala desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil. Pemilihan kepala desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap
pemilihan.54Kepala desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima
belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/walikota. Masa jabatan kepala
desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.55
Kepala desa berhenti berhenti, karena 56:
a) Meninggal dunia
b) Permintaan sendiri
c) Diberhentikan.
d) Kepala desa diberhentikan karena57 :
Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan
Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa;
Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan
Tidak melaksanakan kewajiban kepala desa
Melanggar larangan bagi kepala desa.
54 Pasal 46 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 55 Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 52 ) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 56 Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa 57 Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
B. Hasil Penelitian
Secara Hukum Kabupaten Maluku Tengah adalah salah satu Kabupaten di
Provinsi Maluku yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 35 Tahun 195258
tentang Pembubaran Daerah Maluku Sealatan dan Pembentukan Daerah Maluku Tengah
dan Maluku Tenggara jo Undang-Undang Nomor 60 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Daerah Swantantra Tingkat II se Maluku jo Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1979
tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ambon.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan, berkaitan dengan bidang urusan yakni :
a.pendidikan;
b.kesehatan;
c.pekerjaan umum;
d.perumahan;
e.penataan ruang;
f.perencanaan pembangunan;
g.perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i.pertanahan;
j.kependudukan dan catatan sipil;
k.pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l.keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m.sosial;
n.ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o.koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p.penanaman modal;
q.kebudayaan dan pariwisata;
r.kepemudaan dan olah raga;
s.kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t.otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u.pemberdayaan masyarakat dan desa;
v.statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
58 Lembaran Negara Republik Indonesia No. 49 Tahun 1952
y.komunikasi dan informatika;
z.pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
Pasal 2 ayat (4) huruf t dan huruf u mencakup bidang otonomi daerah,
pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan
persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa yang kemudian selanjutnya diatur pada
Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemerintahan yang berbunyi :
Pasal 16
(1) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pemerintah dapat:
a.menyelenggarakan sendiri;
b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada kepala instansi vertikal
atau kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c.menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4), Pemerintah dapat:
a.menyelenggarakan sendiri;
b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah dalam rangka dekonsentrasi; atau
c.menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(3)Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan
daerah provinsi dapat:
a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, pemerintahan
daerah kabupaten/kota dapat:
a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 17
(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang
penyelenggaraannya oleh Pemerintah ditugaskan penyelenggaraannya kepada
pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat
diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang penyelenggaraannya
ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas
pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi urusan pemerintahan
kabupaten/kota yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah kabupaten/kota telah
menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang dipersyaratkan.
(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2)
disertai dengan perangkat daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.
(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih
berhasilguna serta berdayaguna apabila penyelenggaraannya diserahkan kepada
pemerintahan daerah yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan urusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang membuka ruang bagi
daerah otonom berhak, berwenang, dan sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, untuk mencapai hasil yang maksimal, pemerintahan daerah selaku
penyelenggara urusan pemerintahan harus dapat memproses dan melaksanakan hak dan
kewajiban berdasarkan asas-asas kepemerintahan yang baik (Good Governance) sesuai
dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang tersebut. Daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Dengan demikian akan memberikan kesempatan kepada daerah dan
masyarakat untuk turut serta dalam proses pencapaian Negara.
Salah satu wewenang yang timbul dari adanya daerah otonom yaitu wewenang
untuk membuat dan membentuk suatu peraturan dimana peraturan itu yang akan menjadi
sebuah instrumen hukum untuk menjalankan kepemerintahan daerah. Peraturan daerah
(Perda) adalah satu kebijakan penting dalam mewujudkan Good Government. Salah satu
Perda yang dibuat oleh pemerintah Maluku Tengah adalah Peraturan Daerah No. 1 Tahun
2006 Tentang Negeri yang kemudian akan menjadi fokus penulis dalam skripsi ini.
1. Pemerintahan Negeri
Sejak menjadi Daerah otonomi, Maluku Tengah merupakan salah satu
daerah di Indonesia dengan system pemerintahan adat yang tak jauh berbeda dengan
daerah lain. Selain itu juga pemerintahan adat di sini juga memiliki keunikan
keaneka-ragamannya masing-masing. Penyelenggaraan pemerintahan adat disini
berdasar pada peraturan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Secara administratif pemerintahan yang dilaksanakan pada tingkat negeri terbagi
menjadi 3 bagian yakni : kelurahan, pemerintahan administratif dan pemerintahan
adat. Pemerintahan adat merupakan bentuk pemerintahan yang dijalankan berdasar
pada hukum adat yang berlaku di negeri tersebut.
Dalam pemerintahan adat yang dijalankan saat ini, menurut Coleey dibentuk
oleh pemerintah colonial Belanda yang juga memanfaatkan pemerintahan tradisional
tingkat desa atau negeri saat itu. Pemerintahan tersebut berdiri secara otonom yang
dipimpin langsung oleh seorang pemimpin. Pemimpin tersebut terbagi ke dalam tiga
kategori atau kepangkatan dengan jabatan raja sebagai yang tertinggi.59 Ketiga Gelar
tersebut adalah Raja, Patih dan“orang kaya” sementara istilah lain dari raja adalah
Latu yang masih terpelihara dalam gelar yang digunakan dalam upacara-upacara.
Kepada setiap raja (kepala desa) patih dan orang kaya (ongka), pemerintah Kolonial
Belanda memberikan hadiah sebuah “Kepala rotan perak” sebagai lambing
pengukuhan formal dan kekuasaan politik mereka. Kepala desa atau raja biasanya
merupakan kaum Bangsawan desa atau negeri tersebut, dan pewarisan takhtanya
diwariskan secara turun-temurun oleh Putra Sulung yang disetujui oleh dewan atau
dewan Sanir60i.
Saat ini di Maluku Tengah sistim pemerintahan Negeri telah dihidupkan
kembali setelah sekian lama “mati”. Pemerintahan tingkat desa atau negeri tersebut
dijalankan berdasar pada regulasi pemerintahan yang telah ditetapkan mulai dari
pusat hingga daerah. Salah satu aturan dalam penataan pemerintahan yaitu Peraturan
Daerah (Perda) Maluku Tengah Tahun 2006 tentang Pemerintah Negeri. Peraturan
daerah tersebut terdiri dari 16 bagian penting yang mengatur tentang tata aturan
pemerintahan negeri di Kabupaten Maluku Tengah. Dan yang terpenting adalah
Peraturan daerah No. 1 Tahun 2006 tentang negeri, dimana pada Perda inilah yang
menjadi “Umbrella Provision” (ketentuan payung) dalam melahirkan berbagai
kebijakan regulasi pada tataran tata hukum local yang diharapkan mampu
59, Frank L Cooley, Altar and Throne in central moluccan Society, (ter), Tim Satya Karya, Mimbar dan
Takhta, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1961, hal. 225 60 Pewarisan Takhta Raja ini biasanya hanya berasal dari Matarumah keturunan, namun dalam
perkembangannya ada juga terdapat dua Matarumah saat masa penjajahan Belanda, matarumah itu diangkat oleh
pemerintah Kolonial untuk memimpin Negeri. Ibid…, Hal. 226.
menjadikan wilayah Kabupaten Maluku Tengah akan berkembang, lebih maju sesuai
dengan ciri dan karakteristik daerahnya.61
2. Pemerintahan Negeri dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2006
Peraturan daerah (Perda) dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi
Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan tugas pembantuan.62 Perda merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(sebagaimana dimaksud dalam pasal 136 ayat (2) dan pasal 146 Undang-Undang No.
32 tahun 2004).63
Menurut Yulius Ferdinandus64 Perda ini dibentuk berdasarkan mandat
Undang-undang No. 22 tahun 1999. Undang-undang ini berisi tentang pemerintah
daerah, termuat pengaturan mengenai Desa yang telah ditegaskan sebagai suatu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli mengenai asal-usulnya,
dengan demikian dalam undang-undang ini telah menetapkan keaneka-ragaman pada
posisi yang tepat untuk mengembangkan demokratisasi, pertisipasi, dan
pemberdayaan masyarakat.65 Berangkat dari hal tersebut, barulah dibentuk tim dalam
menyusun Peraturan daerah tentang pemerintahan Negeri. Setelah itu dipertegas
61 Lembar Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 62 Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, dilengkapi dengan Undang-undang
No. 32 Tahun 2004, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hal. 138. 63 ibid 64Yulius Ferdinandus Merupakan Asisten I Sekretaris daerah Kabupaten Maluku Tengah yang menjabat
dari tahun 2002-2007, pada saat itu terlibat langsung dalam perumusan dan penyusunan Perda Tersebut. 65 Inilah merupakan penjelasan Ferdinandus yang tertuang dalam: Pengaturan Desa dan Kelurahan
Berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999, Jakarta, Direktirat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi
Daerah Departemen Dalam Negeri, 1999.
dengan adanya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya dalam penjelasan yang tertuang dalam Lembaran peraturan daerah
Kabupaten Maluku Tengah tentang Negeri adalah dengan berlakunya undang-undang
tersebut, dan juga peraturan pemerintah (PP) No. 32 tahun 2005 dan Peraturan
Daerah Provinsi Maluku No. 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri
Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi
Maluku, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta perangkat pemerintahan
adat di Kabupaten Maluku Tengah diharapkan dapat memperoleh legalitas hukum
melalui kebijakan regulasi di bidang perundang-undangan local dengan berbagai
penyesuaian berdasarkan ketentuan hukum positif yang dapat membantu kelancaran
penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten Maluku Tengah. Dengan demikian
revatalisasi kesatuan masyarakat hukum adat, baik secara structural maupun
fungsional dimaksudkan untuk dapat memacu partisipasi masyarakat di Maluku
Tengah dalam mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
daerah.66
Secara hukum setiap Perda harus berdasar pada pasal 7 ayat 1 Undang-
Undang No. 10 tahun 2004 yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-
undangan di Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI). Berangkat dari hal
tersebut Perda ini dibuat berdasar pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
18 ayat 6:
“Pemerintahan daerah berhak mentapkan peraturan daerah dan peraturan
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
dan Pasal 18 B ayat (1) dan (2) :
66 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006.
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Kemudian Undang-undang 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah),
kemudian Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 (tentang Desa), Peraturan
Pemerintah No. 73 Tahun 2005 (tentang Kelurahan) dan Peraturan Daerah Provinsi
Maluku No. 14 Tahun 2005. Dalam kerangka inilah yang kemudian menjadi dasar
untuk pembentukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Negeri.67
Peraturan daerah No. 1 Tahun 2006 tentang pemerintahan Negeri adalah
objek kajian penulis dalam penulisan skripsi ini. Kajian penulis adalah pasal-pasal
yang berhubungan dengan sistim Pemerintah Negeri terutama dalam hal pengisian
jabatan kepala Negeri. Pemerintahan Negeri disini adalah negeri-negeri yang
memiliki hak ulayat adat, sehingga dengan Perda ini membuka ruang bagi negeri-
negeri tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan negeri yang sesuai dengan
hukum adat yang berlaku di negeri-negeri adat dalam hal pengisian jabatan kepala
negeri.68
Dalam Perda tersebut Pemerintahan di tingkat Negeri terbagi menjadi tiga
bagian yakni: Kelurahan, Negeri Administratif dan Negeri Adat atau Negeri. Ketiga
bentuk pemerintahan tingkat Desa ini memiliki karateristik masing-masing.
67 Deddy Enos Luturmas, Analisis Sosio-Politis Terhadap Dampak Peraturan Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Negeri, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, September
2012. 68 Lembaran., Op.cit., Hal. 104.
Berikut ini akan dijabarkan tentang Perda No. 1 tahun 2006 tentang
pemerintahan di tingkat desa atau Negeri.
a. Kelurahan
Kelurahan merupakan wilayah pemerintahan tingkat desa yang dibentuk di
ibukota Kabupaten atau ibu kota kecamatan. Kelurahan dibentuk karena
masyarakatnya bersifat heterogen.69 Kelurahan adalah wilayah Kerja Lurah
sebagai perangkat daerah Kabupaten dan diisi oleh Lurah dan Perangkatnya dari
Pegawai Negeri sipil (PNS) sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (13) dan
(14).70 Di Maluku Tengah sendiri terdapat enam kelurahan, lima di wilayah
kecamatan Kota Masohi dan satu di kecamatan Amahai.
b. Negeri Administratif
Negeri Administratif adalah Kesatuan Masyarakat Hukum diluar Negeri
Genologis. Negeri administratif terdiri dari desa-desa yang sebelumnya dibentuk
karena program Transmigrasi atau dengan kata lain yang penduduknya heterogen
atau plural, yang memiliki wewenang melaksanakan urusan pemerintahan desa
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Di Maluku Tengah
jumlah negeri administratif adalah 47 negeri administratif. Kepala Pemerintah
Negeri administratif adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah Negeri dan badan Permusyawaratan negeri (BPN)71 dalam mengatur
69 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006. 70 Ibid., hal 4,8. 71Badan Permusyawaratan Negeri adalah Lembaga yang merupakan Perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemerintahan yang dibentuk ditingkat pemerintahan Negeri administratif dan merupakan unsur
penyelenggara pemerintahan Negeri administratif.
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, dan diakui dan dihormati dalam sistim Pemerintahan
NKRI.
Kepala Pemerintah Negeri administratif diangkat secara demokrasi. Dalam
pemerintahan di negeri administratif karena bentuk pemerintahnya bersifat
demokratis, oleh karena itu dalam pencalonan untuk kepala pemerintah, seluruh
masyarakat dimungkinkan dalam pencalonan asalkan memenuhi kriteria-kriteria
yang telah diatur dalam peraturan daerah. Disini terlihat bahwa seluruh
masyarakat memiliki hak yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya kepala
pemerintah negeri administrative mengemban masa Jabatan maksimal selama 2
periode atau (12 Tahun), sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 7 ayat 2 :
Masa Jabatan Kepala Pemerintah Negeri Administratif
adalah enam tahun dan dapat dicalonkan/dipilih kembali
untuk satu masa jabatan berikutnya.
Selain masa jabatan, kriteria lain pun harus dipenuhi antara lain memiliki
umur antara 25-60 tahun dan tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan berkelakuan “baik”. Pemerintah Negeri administratif tidak
memiliki wewenang dalam menjalankan fungsi adat-istiadat di negeri tersebut
hanya sebagai pendukung dalam penyelenggaraan adat. Kebanyakan negeri
administratif diperuntukan bagi negeri-negeri yang tidak memiliki hak ulayat adat
seperti negeri transmigrasi local maupun negeri transmigrasi nasional.
c. Negeri
Negeri dalam penjelasan Perda ini adalah kesatuan Masyarakat Hukum
adat yang terikat karena hubungan geneologis (hubungan darah) dan territorial
(wilayah), yang memiliki batas-batas yuridiksi, dan berfungsi mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat sebagai wujud dari kewenangan berdasarkan otonomi asli/otonomi
bawaan serta kewenangan pemerintahan dalam bentuk urusan pembantuan yang
diserarkan oleh pemerintah Provinsi dan atau pemerintah kabupaten, maupun
urusan yang diberikan maupun tidak dilaksanakan oleh kabupaten serta urusan
yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.72 Ini
artinya Negeri adat memiliki hak otonom sesuai ketentuan adat yang berlaku di
Negeri tersebut, namun tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan yang lebih
tinggi.
Pada dasarnya negeri-negeri “asli” di kabupaten Maluku Tengah memiliki
hak ulayat adat. Negeri yang memiliki hak ulayat adat disebut sebagai Negeri.
Negeri atau Negeri adat dipimpin oleh seorang raja.73
Raja diangkat berdasarkan Hukum adat yang berlaku di negeri masing-
masing sesuai dengan ketentuan pasal 3:
1. Negeri dipimpin oleh seorang kepala Pemerintah Negeri dengan Gelar
Raja atau disebut dengan nama lain sesuai adat-istiadat, Hukum adat,
dan budaya setempat.
2. Jabatan Kepala pemerintah Negeri merupakan Hak dari
Matarumah/keturunan tertentu berdasarkan garis keturunan lurus dan
72 Lembaran Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006. 32-33. 73 Raja atau yang disebut dengan nama lain yaitu Patti, Latu, Ongka, Dll, adalah Gelar kepala kesatuan
masyarakat Hukum adat dan Pemerintahan yang memimpin Negeri.
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal khusus
yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan
yang berhak bersama saniri negeri.
Ini artinya raja yang kemudian diangkat hanya berasal dari
matarumah/keturunan tertentu yang berhak memimpin Negeri. Sistim ini adalah
bentuk pemerintahan berdasar pada garis keturunan tertentu atau bersifat
Monarki74. Untuk memahami bagaimana proses pengangkatan Raja Negeri
haruslah dilihat dulu matarumah/keturunan yang berasal dari matarumah Prenta.
Matarumah Prentah adalah matarumah yang secara Hukum adat memiliki
Legitimasi dalam memerintah Negeri. Setiap negeri di Maluku Tengah memiliki
satu matarumah prentah. Artinya setiap orang (laki-laki) dari matarumah Prentah
yang berhak menduduki raja kalau ada lebih dari satu, maka diadakan pemilihan
yang calonnya hanya dari matarumah ini. Berbeda dengan Negeri administrasi,
Raja memiliki periode yang tak terbatas dalam arti setiap periode (6 tahun) akan
diadakan musyawarah Matarumah/keturunan dalam penentuan kelanjutan dari
masa periode pemerintahan raja tersebut atau juga dapat dialihkan kepada
keturunannya yang masih dalam matarumah/keturunan yang sama. Untuk
memahami bagaimana proses pengangkatan Raja Negeri haruslah dilahat dulu
matarumah/keturunan yang berasal dari matarumah Prenta. Matarumah Prentah
adalah matarumah yang secara Hukum adat memiliki Legitimasi dalam
memerintah Negeri. Setiap negeri di Maluku Tengah memiliki satu matarumah
74 Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti
pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau
sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Jabatan penguasa monarki dijabat secara turun temurun.
Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku.
http://id.wikipedia.org/wiki/Monarki, dikunjungi pada tanggal 4 agustus 2014 pukul 16.00.
prentah. Artinya setiap orang (laki-laki) dari matarumah Prentah yang berhak
menduduki raja. Kalau ada lebih dari satu, maka diadakan pemilihan yang
calonnya hanya dari matarumah ini.75 Selain itu berbeda dengan negeri
administratif, kriteria pencalonan seperti umur dan pendidikan dalam Perda
dikesampingkan. Alasannya karena dalam hukum adat tidak ada kriteria tersebut
dan negeri adat bersifat otonom.
Di sisi lain jika di negeri administratif kriteria yang diperuntuhkan bagi
calon pemimpin diantaranya pendidikan minimal SMP atau sederajat dan usia
minimal 25 tahun dan maksimal 60 tahun, di negeri adat tidak demikian. Kriteria
pendidikan dan usia dikesampingkan. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan :
Pertama sesuai dengan adat-istiadat dan hukum adat setempat yakni kharisma
kepemimpinan adat dari kepala pemerintah Negeri ditentukan berdasarkan tanda-
tanda khusus, bukan dari pendidikan. Maka hasil musyawarah
matarumah/keturunan harus ditegaskan tanda-tanda khusus tersebut. Jadi
pendidikan seorang kepala pemerintah Negeri dikesampingkan dengan dengan
kharisma kepemimpinan adat yang memiliki tanda-tanda khusus tersebut. Kedua
demikian juga persyaratan usia dapat dikesampingkan apabila sesuai adat-istiadat
dan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan
menegaskan, kepala pemerintah negeri dapat berusia lebih dari 60 tahun.76
Dalam Perda ini seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, terjadi juga
berbagai perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan adat, diantaranya
75 Deddy Enos Luturmas, Analisis Sosio-Politis Terhadap Dampak Peraturan Daerah Kabuoaten Maluku
Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Negeri, Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
Sepetember 2012, hal.110. 76 Penjelasan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pelantikan
Pemerintah Negeri
pemerintah adat juga merupakan pemerintah negeri, atau raja dilain sisi sebagai
kepala adat juga wewenangnya sebagai kepala pemerintah negeri, dan juga
merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi
maupun pemerintah pusat.
Sebelumnya urusan pemerintah adat tidak mendapat dana alokasi khusus
namun dalam Perda ini dana alokasi diperuntuhkan untuk urusan-urusan adat dan
juga pendapatan negeri yang dulu diperuntuhkan bagi kepala desa dan tidak
masuk dalam urusan adat, kini seluruhnya masuk dalam urusan adat. Sesuai
dengan ketentuan pasal 45 ayat 1:
Sumber pendapatan Negeri/Negeri administratif terdiri dari :
a. Pendapatan asli Negeri/Negeri administratif berasal dari :
Pendapatan yang diperoleh dari usaha Negeri/Negeri administratif.
Pendapatan yang diperoleh dari hasil kekayaan Negeri/Negeri
administratif.
Pendapatan hasil swadaya dan partisipasi masyarakat
Negeri/Negeri Administratif.
Pendapatan yang diperoleh dari pungutan Negeri/Negeri
administratif.
Pendapatan yang diperoleh dari lembaga kemasyarakatan.
b. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten yang
terdiri dari ;
Pendapatan dari hasil pajak daerah kabupaten.
Bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten
Bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten dalam rangka urusan pemerintahan.
c. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
d. Pinjaman Negeri/Negeri adminitratif.
e. Hasil kerjasama antar Negeri/Negeri administratif.
f. Lain-lain pendapatan Negeri/Negeri administratif sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dana kebupaten diberikan langsung kepada Negeri atau Negeri
administratif untuk dikelola oleh pemerintah Negeri/Negeri administratif, dengan
ketentuan 30 % digunakan untuk biaya operasional pemerintah Negeri/Negeri
administratif dan Saniri/Badan Permusyarawatan Negeri (BPN), serta 70 %
digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. Besar kecilnya tergantung dari
jumlah penduduk dan luas wilayah suatu negeri.77
Pada sisi lain sebelumnya raja adat dan perangkat saniri tidak mendapat
gaji atau upah dari pemerintah, namun dengan adanya Perda ini Raja dan
perangkat saniri juga mendapat gaji dan tunjangan-tunjangan khusus dari
pemerintah. Seperti yang dikemukakan Raja Negeri Sfluru, tunjangan serta gaji
yang diterimanya berkisar diatas dua juta rupiah, ditambah dengan fasilitas berupa
kendaraan dinas diantaranya motor dinas. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
penerima gaji tersebut juga bergantung dari jumlah penduduk negeri tersebut dan
pendapatan negeri tersebut. Demikian juga sekertaris negeri maupun negeri
77 Penjelasan yang tertuang dalam Lembar Perda No. 1 tahun 2006., hal. 42.
administratif saat ini berstatus sebagi pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat
oleh raja dengan mendapat persetujuan dari badan saniri negeri kemudian
diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk selanjutnya dibuat Surat Keputusan
(SK) Bupati tentang pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal
yang sama juga berlaku di negeri administratif.
Dengan adanya Perda ini masyarakat sangat antusias untuk menduduki
posisi raja. Sebelum adanya perda ini masyarakat kurang berpartisipasi dalam
menentukan posisi raja atau kepala negeri.
C. Pembahasan
Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah telah menerbitkan Peraturan Daerah
No. 1 tahun 2006 tentang Negeri. Peraturan Daerah tersebut tersusun berdasarkan pada
sistim Otonomi Daerah yang berlaku di Indonesia.78 Peraturan Daerah ini mengatur
tentang Kelurahan, Pemerintahan Negeri dan Negeri Administratif. Dalam Peraturan
Daerah ini termuat segala bentuk pemerintahan ditingkat Negeri dengan mengacu pada
sistim hukum adat setempat terutama dalam hal pemilihan kepala negeri.
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dalam Perda ini menjelaskan bahwa Negeri dipimpin
oleh seorang yang bergelar raja atau sebutan lain sesuai dengan adat-istiadat, hukum adat
dan budaya setempat. Kemudian selanjutnya diatur bahwa jabatan Kepala Pemerintah
Negeri merupakan Hak dari Matarumah/keturunan tertentu berdasarkan garis keturunan
78 Pipin Syariahfudin, S.H. M.H. dan Dra Dedah Jubaedah, M.Si., Pemerintahan Daerah diIndonesia di
lengkapi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Bandung : Pustaka setia, 2006, hlm 13, 38.
lurus dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal khusus yang
ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah Matarumah/keturunan yang berhak.79
Sistem Pemerintahan Adat di Maluku Tengah yang dilandaskan pada Peraturan
Daerah No. 1 tahun 2006 tentang Negeri, menjelaskan bahwa pemilihan dan penunjukkan
kepala Negeri biasanya berasal dari tingkat tertinggi bangsawan desa. Kedudukan
tersebut cenderung untuk diwariskan secara turun-temurun. Pada masa lampau, putra
sulung menggantikan ayahnya sebagai raja, kecuali jika ia tidak mampu.80 Jadi, hanya
orang-orang tertentu yang bisa menjadi kepala negeri yaitu seseorang yang berasal dari
keturunan bangsawan desa dan seorang laki-laki yang bisa memimpin dan menggantikan
kepala desa sebelumnya dari keturunan yang sama, seperti : Patti, seseorang yang kaya
yang pernah dikenal pada Negeri-Negeri di Maluku Tengah, maka hanya keturunan dari
Patti tersebut yang bisa menjadi Kepala Negeri.81
Adanya konsep terti exclutie Ariestoteles yang merupakan prinsip penyisihan
jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii atau
dapat didefiniskan seperti ini ”sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal
tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata
lain : “sesuatu x mestilah p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip
ini ialah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya
dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau
non-p.82
79 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Negeri
80 Frank L Cooley, Altar and Throne in central moluccan Society, (ter), Tim Satya Karya, Mimbar dan
Takhta, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1961, hlm 225 81 Pasal 3 ayat (1) Penjelasan Perda No. 1 Tahun 2006 Kabupaten Maluku Tengah Tentang Negeri.
82 http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran
Dengan konsep penalaran terti excluti ini maka penulis mencoba menganalisis
terdapat pertentangan dan tidak pertentengan dan tidak ada pemahaman lain dari
Peraturan Daerah Kabupaten No. 1 Tahun 2006 ini terlihat berkatian dengan
pengangkatan raja atau kepala negeri biarlah itu menjadi domainya hukum adat dengan
aturan-aturan adat yang diselenggarakan oleh pemangku adat didalam lingkungan
masyarakat adat atau negeri itu sendiri dalam hal ini khususnya di Kabupaten Maluku
Tengah walaupun disisi lain Pemerintah menganggap penting mengangkat dan
melindungi apa yang menjadi kearifan lokal atau budaya masyarkat di Kabupaten
Maluku Tengah.
1. Problematika Pengisian Jabatan Kepala Negeri Yang Diatur Didalam Peraturan
Daerah Kabupaten Maluku Tengah No 1 Tahun 2006 Tentang Negeri
a. Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lebih Tinggi
Jika melihat materi muatan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) yang
mengatur tentang pengisian jabatan kepala negeri ini yang isinya menyebutkan
bahwa Negeri dipimpin oleh seorang yang bergelar raja atau sebutan lain sesuai
dengan adat-istiadat, hukum adat dan budaya setempat. Kemudian selanjutnya diatur
bahwa jabatan Kepala Pemerintah Negeri merupakan Hak dari Matarumah/keturunan
tertentu berdasarkan garis keturunan lurus dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain, kecuali dalam hal-hal khusus yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah
Matarumah/keturunan yang berhak.83
83 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Negeri
Dengan aturan yang seperti itu Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur
tentang pengisian jabatan kepala negeri ini bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aturan-
aturan tersebut sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Selanjutnya pada pasal 28D ayat (3) mengatakan :
“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
Dengan demikian setiap masyarakat dalam hal ini masyarakat ditiap-tiap Negeri
di Kabupaten Maluku Tengah memiliki hak yang sama untuk ikut dalam
Pemerintahan dalam hal ini dapat mencalonkan diri sebagai Kepala Negeri atau
Raja tampa harus melihat garis keturunan masyarakat tersebut.
b. Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Terutama pada pasal 6 yang menjelaskan mengenai asas-asas dalam
materi muatan peraturan perundang-undangan, asas-asas tersebut adalah: a)
pengayoman; b) kemanusiaan; c) kebangsaan; d) kekeluargaan; e) kenusantaraan;
f) bhineka tunggal ika; g) keadilan; h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; i) ketertiban dan kepastian hukum; dan atau j) keseimbangan,
keserasian dan keselarasan.
Dari asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang sudah
disebutkan diatas menurut penulis ada beberapa asas yang bertentangan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Negeri terutama pada pasal 3 ayat (1) dan (2) yang menjelaskan mengenai tata
cara pilkades di Negeri atau desa. Asas-asas yang dimaksudkan penulis yaitu
keadilan dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga Negara tanpa
kecuali. Dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah
bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku,
ras, golongan, gender atau status sosial.
c. Pasal 43 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM mengatakan:
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
(2) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Berdasarkan aturan-aturan diatas maka secara langsung dapat dikatakan
bahwa masyarakat di setiap negeri di Kabupaten Maluku Tengah dapat memilih dan
dipilih untuk memimpin di Negeri atau Desa masing-masing tampa harus
terdiskriminasi oleh garis keturunan raja yang hanya diperbolehkan untuk
memimpin.
Dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia
didasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur
dalam pasal 6 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan sejalan dengan prinsip
atau asas Lex Superior Derodat Legi Inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi
membatalkan hukum yang derajatnya lebih rendah)84. Prinsip ini didukung dengan
adanya Stufentheorie – Hans Kelsen dan die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen – Hans Nawisaky.
Teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang
menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan bagian
keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau hukum
merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain85
dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma yang lebih
rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi demikian
seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).
Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen, yang berangkat dari Stufentheorie – Hans Kelsen. Nawiasky
menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga berdasarkan
kelompok-kelompoknya masing-masing yaitu terbagi atas empat kelompok.
Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara),
Kelompok kedua: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara),
Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok keempat:
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan otonom).86
Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan
akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang
84Ranuhandoko, Terminologi Hukum, hal 386 85TitonSlametKurnia, Op.Cit., Hal. 55 86Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System
der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2 1948, Hal. 31 dst.
sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki
sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai
berpangkal pada norma tunggal87 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.88 Karena
Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi
muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.89 Demikian peraturan
perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan konsep
hirarki aturan hukum.90 Dengan melihat Peraturan Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Tahun 2006 secara hirarki sudah tepat tapi secara substansi isi peraturan
tidak mengakomodasi masyarakat lain yang haknya diatur pada Pasal 28 D ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang mana secara tidak langsung dapat dipilih atau
tidak dipilih tampa pengecualian dia berdasarkan garis keturunan tertentu atau dapat
dikatakan garis keturunan raja.
2. Tidak Bertentangan Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lebih
Tinggi
Setelah melihat penjelasan mengenai pertentangan di atas dalam Pasal 3
ayat (1) dan (2) mengenai pengisian jabatan kepala Negeri penulis kemudian
berpendapat bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga mengatur mengenai
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, ini tertuang dalam pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur bahwa :
87 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 94. 88 Maria FaridaIndrati S., Op.Cit.,Hal. 57. 89 Hans Kelsen, Op.Cit., Hal. 95, 105. 90TitonSlametKurnia, Op.Cit.,Hal. 55.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Norma pasal 18B ayat (2) UUD 1945 harus dipahami sebagai prinsip
mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum beserta hak-hak
tradisionalnya. Maksud dari “masyarakat hukum adat” adalah masyarakat hukum
(rechts-gemeenschap) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat, seperti desa,
marga, nagari, gampong, kampong, meunasah, huta, negorij, dan lain-lain.
Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat yang bersifat territorial dan
genealogis, memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan
dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam dan ke luar
sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri
mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi
juga dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya
dengan kesatuan pemerintahan lain, seperti kabupaten dan kota.91
Pasal 18B ayat (2) ini adalah aturan yang khusus dari pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) yang merupakan aturan yang bersifat umum. Hal ini sejalan
dengan prinsip atau asas hukum yang mengatakan bahwa hukum yang bersifat
khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogate legi
general).
Berangkat dari prinsip dan asas diatas maka Pasal 18B ayat (2) yang
mengatur dan mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dalam hal ini masyarakat
91 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 21-22.
hukum adat yang berada di Kabupaten Maluku Tengah bersama hak-hak
tradisionalnya berkaitan dengan pengisian jabatan kepala Negeri yang diangkat
berdasarkan keturunan raja yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maluku
Tengah Nomor 1 tahun 2006 tentang Negeri Pasal 3 ayat (1) dan (2)
mengesampingkan aturan-aturan hukum yakni pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(3) yang bertentangan dengan Perda tersebut.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku tentunya memiliki budaya
dan hukum adat masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
bersangkutan. Untuk itulah maka upaya pengembangan kebudayaan hukum adat
dilakukan secara terus menerus sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 32
Undang-Undang Dasar 1945. Selain telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 32,
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hukum adat diatur juga dalam 92
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Pasal 6 (1), yang berbunyi :
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan pemerintah”
Desa atau Negeri adalah tempat dimana komunitas atau masyarakat adat ada
untuk melestarikan, menjaga agar kebudayaan atau adat istiadat yang sudah ada
tidak tergerus oleh perkembangan zaman atau arus modernisasi.
Eksistensi desa dan kewenangan aslinya ini juga sebenarya harus dijadikan
sebagai salah satu klasifikasi hak-hak asasi manusia (human rights) yang diakui di
Indonesia, yakni hak untuk mempertahankan identitas tradisional dan hak
masyarakat tradisional. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28I ayat (2) UUD
1945:
92 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 6 (1)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
Hak-hak masyarakat tradisional atas identitas budayanya harus tetap
dipertahankan sebagai upaya perlakuan sebagai manusia yang bersifat kodrati (lex
naturalis).93
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa ini, juga
memberikan dasar untuk mengurus tanah adat yaitu hak ulayat sebagai mana diatur
dalam pasal 3 UUPA sebagai berikut :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentinga nasional dan Negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Norma yang terkandung dalam pasal ini menunjukkan adanya jaminan
hukum ketatanegaraan terhadap hak-hak tradisioanal desa berikut masyarakatnya,
yakni melindungi ataupun memfasilitasi berbagai kepentingannya, terutama yang
berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat, termasuk didalamnya perlindungan
terhadap esensi hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup (living
law). Jaminan ini memang tidak dapat dilepaskan dari hak-hak sosial budaya
masyarakat tradisional sebagai bagian dari hak asasi manusia (human rights).94
Jadi, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2)
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 tahun 2006 tentang Negeri yang
93 Bandingkan: Frans Magnis-Suseno, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konteks Sosio-Kultural dan Religi
di Indonesia, dalam: Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Prespektif Budaya
Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 61. 94 Ateng Syafrudin & Suprin Na’a, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern
dalam Desain Otonomi Desa. Bandung, PT Alumni, 2010, hal. 47-48.
mengatur tentang pengisian jabatan kepala negeri tidak bertentangan melihat pada
Pasal 18b ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisioanl sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Melihat hal itu penulis berpendapat
bahwa ada jaminan hukum yang negara berikan pada masyarakat-masyarakat hukum
adat yang masih manjalankan kehidupan mereka sesuai dengan adat istiadat yang
berlaku diwilayah mereka.
Pasal 2 ayat (4) huruf t dan huruf u Peraturan Pemerintah No 38 Tahun
2007 mencakup bidang otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat
dan desa yang kemudian selanjutnya diatur pada Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan
Pemerintah No 38 Tahun 2007 berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan.
Yang demikian dapat dilihat bahwa penyelenggaraan daerah berdasarkan otonomi
daerah maka Pemerintah Daerah dari tingkat Propinsi sampai Pemerintahan Desa
dalam penyelenggaraan Pemerintahan dalam hal ini berkaitan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Maluku Tengah No 1 Tahun 2006 tentang Negeri, dalam
melaksanakan Pemerintahan Desa atau Negeri sudah tepat terutama berkaitan
dengan Pemilihan Kepala Desa atau Negeri yang harus memiliki garis keturunan
tertentu atau keturunan raja.
Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah No. 1 Tahun 2006 tentang
Negeri ini juga telah mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat
yang merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat dimana seorang
pemimpin atau Kepala Desa atau Negeri atau Raja harus berasal dari keturunan
tertentu yakni biasa masyarakat setempat menyebutkan keturunan raja. Perda yang
seperti itu yang mengandung nilai-nilai adat seharusnya dijaga dan dilestarikan
karena akan menjadi ciri khas tersendiri daerah tersebut yang berbeda dengan
daerah-daerah lainnya.