View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
13
BAB II
PERKEMBANGAN KULINER DI SURAKARTA PADA TAHUN 1987-2012
A. Budaya Kuliner Di Indonesia Pada Masa Kolonial Tahun 1870-1942
Ratusan tahun Indonesia hidup dalam penjajahan bangsa Eropa, khususnya
Belanda. Meski merekam banyak kisah pedih kemanusiaan, penjajahan ini juga
menyisakan banyak hal lain yang bisa dikenang dan bahkan tanpa disadari masih
dirasakan oleh masyarakat Indonesia hingga kini. Dari banyaknya hal diungkap
kenangan historis tersebut, belum semuanya mampu menjadi tulisan sejarah.
Salah satu yang menarik dari masa penjajahan adalah persentuhan budaya
pribumi dengan Eropa. Persentuhan itu terasa sekali dalam pengaruh cita rasa
Belanda terhadap khazanah kuliner pribumi yang dipandang tradisional. Kini,
elemen cita rasa itu bahkan dianggap menjadi bagian dari kuliner Indonesia.
Misalnya, saat ini masyarakat Indonesia bisa dengan leluasa bisa menikmati
berbagai jenis masakan daerah, seperti selat solo, sop buntut, galantine, gadon
daging, perkedel, semur, sate, dan asinan. Padahal jika ditelusuri sejarah atau asal-
usulnya, makanan-makanan yang umumnya diteruskan secara turun-temurun baik
secara lisan maupun tulisan melalui resep-resep keluarga ini sebenarnya bukan
murni masakan Indonesia.1
1 Fadly Rahman, Rijsttafel Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial
Tahun 1870-1942. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011) Hlm. 4.
14
Dalam Serat Centhini2 diceritakan bahwa makanan tidak hanya
dihidangkan pada saat makanan utama saja, tetapi juga pada peristiwa-peristiwa
penting lainnya. Sajian makanan khusus juga diberikan kepada tetamu yang
datang ke rumah. Hidangan ini terdiri dari makanan pokok, Lauk pauk, minuman
dan aneka buah. Makanan utama yang biasanya disajikan bisa berupa nasi liwet,
nasi tumpeng, nasi uduk, nasi goreng, nasi ketan, nasi megana, nasi kebuli dan
nasi jagung.
Kuliner di Kraton Surakarta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
berbagai rangkaian kebiasaan pola konsumsi maupun yang berhubungan dengan
adat dan tata upacara yang berada dilingkungan Kraton Surakarta sendiri.
berbicara mengenai kuliner di Kraton Surakarta, maka awal dari perkembangan
kuliner di Kraton Surakarta pada masa Paku Buwana II, karena pada masa Paku
Buwana I, pemerintahannya hanya berlangsung singkat, sehingga tidak dapat
diketahui secara pasti kuliner-kuliner yang berkembang pada masa tersebut. Pada
masa Paku Buwana II, ketika terjadi perpindahan Kraton Surakarta disebutkan
beberapa peralatan dapur yang dibawa. Hal ini menunjukkan, bahwa pada masa
pemerintahan Paku Buwana II telah ada teknologi dan cara memasak untuk
hidangan keluarga Kraton dan abdi dalem-nya.3
2 Serat Centhini sebagai karya masterpiece Sunan Paku Buwana V (1820-
1823) memberikan data-data penting tentang makanan tradisional Jawa tempo
dulu. Berbagai macam nama makanan dan minuman yang disebutkan
menunjukkan betapa kayanya makanan tradisional dan teknik pengolahan
makanan Jawa Tempo dulu. http://gastroina.blogspot.com (diakses tanggal 8
Agustus 2015). 3 Ardi Baskoro., Kuliner di Keraton Surakarta (Kesinambungan dan
perubahannya)., Tesis Program Studi Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret, 2012, hlm. 45.
15
Perkembangan kuliner di Kraton Surakarta sendiri tidak bisa dilepaskan
dari adanya ruang masak (dapur) yang memang telah dibangun bersamaan dengan
berdirinya Kraton Surakarta sendiri. Kraton Surakarta memiliki beberapa dapur
yang fungi tugasnya berbeda-beda. Dapur ini berada dalam sebuah lembaga
Kraton yang bernama Lembaga Keputren yang dikepalai oleh keluarga Raja
bergelar Gusti Kanjeng Ratu (G.K.R). Dapur-dapur yang berada di bawah
lembaga keputren ini terdiri atas dapur Gondorasan, dapur Sekul Langgen, dapur
Utama (Koken), dan Pawon Ageng yang berada di dalam Keputren.4 I dua tempat
yaitu dapur utama (Koken) dan Pawon Ageng yang berada di kompleks keputren.
Juru masak atau koki di dapur umata (Koken) dan Pawon Ageng sebagian besar
adalah abdi dalem laki-laki. Beras untuk raja dipilihkan khusus dan setiap hari
seseorang abdi dalem bertugas memilihi beras itu satu per satu, jagan sampai ada
yang cacat, sehingga semuanya merupakan butir-butir yang utuh.5
Alat makan yang dipakai juga menunjukkan adanya perbedaan
berdasarkan hirarki, demikian pula mengenai macam menu yang dihidangkan.
Untuk raja, lauk pauk itu ditempatkan di pinggan-pinggan ukuran kecil berbentuk
ayam kate. Sambal yanhg dihidangkan macamnya setengah dosin, dan berbagai
variasi masakan telor serta daging tidak ketinggalan. Menu makanan Barat juga
dihadirkan, akan tetapi kesukaan sunan adalah masakan seperti sayur loncom, sate
penthul, dhendheng age, blenyik, gembrot, cabuk, balur ikan jambal yang
digoreng dengan telor. Kadang-kadang sunan memerintahkan priyantun dalem
untuk membuat nasi tumpang, nasi pecel lumbu, lothong gudheg pakis, dan cara
4Fadly Rahman, Op Cit., hlm. 47
5 Darsiti Soeratman, 2000, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-
1939, Yogyakarta: Yayasan Utama Indonesia. Hlm. 356-357.
16
menghidangkannya harus dibungkus dengan daun pisang. Macam buah yang
dihidangkan cukup banyak. Ratu Mas sering menyiapkan buah itu, sehari-harinya
macam yang disediakan sampai setengah dosin.6
Perkembangan khazanah kuliner Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
persentuhannya dengan berbagai kebudayaan, Masyarakat berada di dua kondisi:
mempertahankan budaya asli atau menerima unsur baru lalu menyesuaikannya ke
dalam kebudayaan sendiri. Dalam hal ini, local genius memegang peranan amat
penting.7
Sepanjang perjalanan sejarah kuliner di Indonesia masa kolonialisme
merupakan babakan yang amat penting dengan memberikan berbagai sentuhan
kebudayaannya. Abad ke-16 merupakan awal masuknya pengaruh budaya
kolonial ke Indonesia yang ditandai dengan persentuhan budaya, hingga abad ke-
19 sebagai puncaknya. Di Indonesia terutama di Jawa, kebudayaan kolonial jelas
lebih terlihat, hal ini karena Jawa merupakan lokus penting ragam gaya hidup
kolonial. Meski kehidupan masyarakat kolonial hanya terfokus pada sosial, politik
dan ekonomi, interaksi antara masyarakat pribumi dengan masyarakat kolonial
menciptakan berbagai keragaman budaya, hingga pada abad ke-19 menjadi
puncak dari perkembangan kebudayaan kolonial muncul istilah kebudayaan Indis.
Pada masa kolonial Belanda ada satu budaya makan yang dikenal dengan
istilah rijsttafel, istilah yang disematkan orang-orang Belanda untuk jamuan
hidangan Indonesia yang ditata komplet di atas meja makan. Menurut seorang
penulis roman Belanda, Victor Ido (1948: 31), rijsttafel diartikan sebagai “…eten
6 Ibid., hlm. 357
7 Ardi Baskoro, Op Cit., hlm. 7
17
van de rijsmaaltijd een special tafel gebruikt” (suatu sajian makan nasi yang
dihidangkan secara special). Hal spesial rijsttafel adalah perpaduan budaya makan
pribumi dan Eropa sebagaimana tampak dalam pelayanan dan tata cara makan
serta jenis hidangannya.8
Orang-orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia selalu menganggap
rijsttafel adalah sebuah kemewahan dan kemasyhuran, anggapan tersebut
merupakan suatu hal yang unik dan menarik sebagai konsep budaya makan
tradisional pertama di Indonesia yang disajikan secara modern dengan tampilam
yang memikat. Jejak rijsttafel sudah dapat dilihat sejak pada kurun 1870 hingga
1942 sejalan dengan perkembangan kebudayaan Indis di Indonesia ketika politik
dan ekonomi liberal juga mempengaruhi persentuhan budaya Barat dan pribumi.
Rijsttafel merupakan simbol kemewahan gaya hidup kolonial di Hindia
Belanda. Rijsttafel juga merupakan konsep wisata kuliner pertama kali yang ada
di Indonesia yang berkembang pesat pada awal abad ke-20 yang dalam
penyajiannya yang mewah dan memikat di ruang-ruang makan hotel terkemuka.
Berdasarkan tatanan masyarakat di tanah koloni, orang Eropa dikenal sebagai
kelas sosial tertinggi yang selalu menjaga eksklusivitas atau membatasi hubungan
dengan kelas sosial yang lebih rendah. Namun, pengaruh yang diberikan dari
tanah jajahan begitu nyata deras mempengaruhi kehidupan mereka. Begitu dengan
tanah yang dijajah dalam kehidupannya turut ikut terpengaruh dan menyerap
unsur-unsur kebudayaan barat dalam kehidupan sehari-hari dan mentalitas
mereka.
8 Fadly Rahman, Op Cit., hlm. 7-8
18
Hidangan daging (vleeschgerechten) pada kuliner barat terdiri atas daging
ayam, daging babi dan daging cacah yang diolah menjadi Frikadel. Daging ayam
dapat diolah dengan berbagai cara seperti digoreng, dicampur kari (kari ayam),
atau dicampur dengan berbagai bumbu masak lainnya. bagian daging ayam (atau
bisa juga diganti dengan daging bebek) dapat dipotong tebal dan dikombinadsi
dengan bumbu-bumbu kuah dan kemudian diolah menjadi ayam besengek. Ayam
besengek adalah makanan popular dan disukai dikalangan orang Belanda,
terutama di daerah Jawa Tengah pada awal abad ke-20.9 Daging ayam selain
diolah sebagai masakan ayam besengek, juga diolah menjadi masakan ayam
betutu. Selain daging ayam, olahan daging sapi, kerbau dan rusa yang diiris tipis,
diramu dengan bumbu, dikeringkan dengan sinar matahari, kemudian digoreng
dengan minyak atau mentega.
Keraton Surakarta adalah salah satu Kerajaan yang memiliki hubungan
dekat dengan Belanda. Keraton Surakarta sebagai lembanga politik selalu
dihadapkan pada persinggungan-persinggungan dan relasi-relasi politik ekonomi
dengan masyarakat Eropa. Hal ini memberi pengaruh baru dalam tata cara
menjamu tamu-tamu kraton terutama orang Eropa. Tata cara jamuan tamu dengan
menggelar acara makan-makan ala Eropa, yang juga menghidangkan menu-menu
Eropa sesuai dengan selera tamu-tamu tersebut. Acara bersulang minum bersama
atau disebut tos dengan minuman Eropa yang biasanya berupa minuman anggur
menjadi budaya baru di lingkungan keraton. Muncul pula jamuan makan yang
disebut tabel manner, jamuan ala gaya Eropa dengan tata cara, hidangan, dan
diadakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
9 Ibid., hlm. 73
19
Budaya kolonial begitu besar pengaruhnya terhadap nuansa kuliner di
Indonesia, selain menyumbangkan resep-resep dan bumbu-bumbu, budaya kuliner
Eropa juga terlihat dari teknik pengolahan bahan makanan yang berupa teknik
memanggang (barbeque), memasak dengan menggunakan oven terutama dalam
pembuatan roti atau cake. Selain itu, budaya Eropa yang diadaptasiakan, yaitu
dalam penggunaan alat-alat makanan secara modern seperti penggunaan sendok,
garpu, pisau yang menjadi prioritas utama dalam pelayanan makanan bagi orang-
orang Eropa.
Persinggungan kebudayaan terutama dalam bidang kuliner di Jawa tidak
hanya dengan masyarakat Eropa tetapi masyarakat Asia telah lama berinteraksi
dengan masyarakat Jawa. Interaksi ini membawa pengaruh yang cukup besar
dalam perkembangan kuliner bagi masyarakat Jawa terutama Kraton Surakarta.
Komposisi hidangan kuliner Jawa biasanya terdiri dari hidangan nasi yang
disajikan dengan banyak kuah. Kuah yang biasa digunakan adalah beberapa jenis
sayuran utama, yaitu sayur lodeh, sayur asem, sayur kloeak, dan kari
(karriesaus).10
Budaya Asia menyumbang berbagai macam bumbu-bumbu khas terutama
penggunaan rempah-rempah sebagai bumbu memasak makanan, seperti cabai,
jahe, kunyit, lengkuas, pala, merica dan penggunaan santan dalam pengolahan
makanannya. Penggunaan rempah-rempah dan santan merupakan pengaruh dari
budaya India. Pengaruh budaya India sangat jelas terlihat dalam makanan yang
berbumbu kuah terutama dalam kari (karriesaus) atau dalam masakan Arab
dikenal dengan gulai. Kari (karriesaus) menggunakan kompsisi rempah-rempah,
10
Ibid., hlm. 70.
20
antara lain ketumbar, jintan, kapulaga, adas, jahe, kunyit, cabai, kayu manis,
cengkih, dan pala. Kari (karriesaus) India beraroma sangat tajam dan bercitarasa
pedas karena menggunakan bahan lombok dan lada (seperti yang terdapat pada
jenis kari di daerah Sumatera), tetapi kari Jawa lebih identik dengan penggunaan
bahan-bahan dasar beraroma wangi dan penggunaan lombok-pun tidak begitu
dominan, justru yang dominan adalah penggunaan bahan tumbukan bubuk kemiri
dan santan. Sajor Kerry Jawa umumnya berbahan misoa (javaanse vermicelli atau
mie laksa), bawang putih, bawang merah, jahe, kemiri, kunyit, gula, ketumbar,
jintan, serai, salam daun jeruk dan santan kelapa.11
Tidak adanya cita rasa pedas dalam kari Jawa disebabkan karena santan
lebih disukai dibanding lombok (cabai), mengingat cita rasa pedas sudah
dipisahkan dalam hidangan sambal. Kari tidak pernah absen dalam hidangan
menu rijsttafel, bukan hanya di Hindia Belanda namun juga di restoran-restoran
Indis di Belanda.
Selain India yang menyumbang penggunaan bumbu-bumbu yang berasal
dari rempah-rempah dan santan, budaya China memberikan sumbangan berupa
penggunaan kecap, pengolahan tahu serta masakan yang berbahan mie dan soun
serta bihun. Selain pada bumbu, pengruh China juga terlihat jelas dalam
penggunaan daging babi ke dalam sajian kuliner. Daging babi ini bisa dibuat sate
dengan dipotong seperti dadu, ditusuk dengan bumbu kemudian di bakar.
Sedangkan kebudayaan Timur Tengah menyumbang penggunaan daging kambing
dalam pengolahan bahan makanan.
11
Fadly Rahman, op.cit., hlm. 72-73.
21
Budaya dapur Nusantara banyak sekali dipengaruhi oleh budaya kuliner
Tionghoa dan Belanda. Pengaruh dari dua kebudayaan asing ini kuat mengakar
dan bertransformasi menjadi salah satu identitas baru sama sekali. Kuliner
Indonesia hasil alkulturasi dengan budaya Tionghoa dan Belanda ini kemudian
menemukan bentuknyta sendiri yanhg tidak dapat ditemui baik di dapur Tiongkok
ataupun Belanda yang asli.
Interaki bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang
sangat panjang. Kepulauan Nusantara yang disebut dengan istilah Nan Yang oleh
bangsa Tionghoa sudah dikenal sebagai satu mitra penting oleh hampir setiap
kerajaan yang berkuasa di Tiongkok dari waktu ke waktu. Nan Yang secara
harfiah berarti “Lautan Selatan” mengacu kepada kawasan di selatan Tiongkok,
yang notabene adalah kawasan Asia Tenggara dimana Indonesia termasuk
didalamnya. Sementara itu, kepulauan Nusantara sejak zaman dulu dengan sejarah
panjang kerajaan-kerajaannya sudah menjadi melting pot dan hub penting di
kawasan Asia Tenggara.12
Kuliner peranakan tidak dapat menghindari pemakaian santan yang
memberikan sentuhan perpaduan rasa dengan spektrum cita rasa yang luas untuk
indera pengecap kita. Specialties mulai dari Medan, Aceh, Jakarta, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Bali, Malaka, Penang, Singapura, dan Thailand tidak ada
yang luput dari pemakaian santan. Selain itu, santan juga dapat ditemukan dalam
kuliner India beberapa di antarnya diadopsi juga di Indonesia. Karakteristiknya
yang machting (rich and tasty-Dutch) memberikan kekhasan luar biasa dalam
12
Aji Chen Bromokusumo, Peranakan Tionghoa Dalam Kuliner
Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2013), hlm. XX-XXI.
22
sajian yang menggunakannya sehingga sering diistilahkan dengan „signature
dish‟.13
Jawa sendiri memiliki cara pengolahan dalam masakannya dan juga
memiliki bumbu asli yang berupa bawang merah dan bawang putih, garam, daun
salam dan kencur. Bumbu-bumbu ini tidak pernah ketinggalan dalam setiap
pengolahan makanan.
Terkait kuliner Jawa identik dengan makanan yang manis, menurut Hadi
Hinzler, di Jawa kuno, manis memang dikenal sebagai salah satu rasa yang wajib
ada dalam makanan, tapi itu tidak dominan. Dalam teks-teks Jawa kuno sering
disebut ajaran Hindu tentang enam rasa atau sad rasa, yaitu manis, asin, asam,
pedas, pahit dan sepat. Hidangan baru akan nikmat kalau mengandung enam rasa
itu dengan perimbangan yang harmonis. Selain itu menurut Joe Arijanto dari
bagian Research and Culinary Culture di Komunitas Aku Cinta Masakan
Indonesia berpendapat, rasa manis dalam masakan Jawa mungkin bisa dikaitkan
dengan banyaknya suplai gula di Jawa akibat didirikannya banyak pabrik gula.14
B. Budaya Kuliner Pada Masa Jepang Tahun 1942-1945
Secara resmi invasi Jepang dimulai sejak 5 Maret 1942 dan sejak itulah
Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Dalam struktur pemerintahan
Jepang di Indonesia, kekuasaan tertinggi berada di tangan Saiko Sikikan,
statusnya sebagai panglima tentara pendudukan. Khusus daerah swapraja di Jawa
diganti namanya menjadi daerah Kooti. Status Kasunanan Surakarta Hadiningrat
13
Ibid., hlm. 18. 14
Antropologi Kuliner Nusantara, 2015, Jakarta: PT. Gramedia, Hlm. 68.
Hal ini juga dikuatkan oleh buku Semerbak Bunga Di Bandung Raya karangan
Haryoto Kunto yang terbit pada tahun 1986.
23
pada 31 Maret 1942 disahkan sebagai pemerintahan kerajaan Solo-Ko. Raja tetap
berkuasa atas wilayahnya dan secara administratif berada di bawah birokrasi
militer Jepang di Jakarta.15
Memasuki kekuasan masa Jepang tahun 1942-1945 dari Belanda nyata-
nyata telah menurunkan derajat kesejahteraan fisik bagi kehidupan rakyat. Salah
satunya terlihat dari kebijaksanaan Jepang dalam masalah pangan. Sebagai sesama
“bangsa konsumen beras” Jepang juga mendorong produksi beras tetap stabil.
Sepanjang tahun 1942-1945 produksi pangan di Jawa dan Madura masih terk
onsentrasi pada beras lalu singkong. Pada masa sebelum Jepang, program
diversifikasi pangan pernah diusahakan untuk ditingkatkan produksi dan
konsumsinya.
Keadaan pun menjadi kian parah ketika Jepang dengan kebijakan
ekstremnya berusaha memusnahkan segala bentuk pengaruh barat diantaranya
melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kebijakan itu
berdampak pada pelarangan buku-buku bahasa Belanda dan bahasa Inggris lalu
diganti dengan memajukan pemakaian bahasa Jepang dan bahasa Indonesia.
Kebijakan pada pelarangan buku-buku bahasa Belanda dan bahasa Inggris
berdampak salah satunya peredaran buku-buku masak yang jadi melangka. Praktis
hal itu mempengaruhi kemunduran aktifitas boga yang pada masa sebelumnya
kental dengan selera serba Eropa. Jepang berhasil mematikan selera masak dan
makan Eropa yang dalam pandangannya termasuk dari wujud sikap “kemewah-
15
http://www.solopos.com/2015/12/16/gagasan-historiografi-thengkleng-
671435, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016).
24
mewahan tiada terpuji” itu sebagaimana istilah itu disebut dalam pembaharuan
negeri.16
Sebuah kisah menarik terkait bukti matinya aktivis boga warisan eropa
sebagai akibat dari kebijakan jepang dikisahkan seoraang perempuan berdarah
china kelairan Lasem (tahun 1922) bernama Julie. Pada 1941, ia menjadi guru
sekolah dasar di pati. Namun pada masa jepang, Julie berhenti mengajar dan
kemudian mendapatkan tambahan belajar bahasa Jepang. salah satu hobinya sejak
kecil adalah memasak. Mengingat tengah hidup di masa Jepang, ia pun
mengoleksi resep-resep masak yang ditulis dalam bahasa Jepang. Apa yang
dilakukannya itu mungkin lebih sebagai strategi agar lebih aman dari kontrol
Anti-Belanda yang gencar dilancarkan Jepang. Sebagai seorang anak perempuan
yang hidup di bawah kekuasaan Jepang, ia dan keluarganya pun memang harus
waspada. Pasalnya banyak perempuan saat itu dipaksa menjadi jygun ianfu atau
perempuan penghibur. Kekhawatiran pun menyergap orang tua Julie. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia pun didandani seperti layaknya
anak laki-laki dan rambutnya dipotong pendek.
Strateginya mengumpulkan resep-resep berbahasa Jepang pun berubah
keberuntungan baginya. Ketika ia dan keluarganya harus mengungsi dari Lasem
ke Surabaya, para tentara Jepang memeriksa barang bawaannya. Tentara Jepang
menemukan resep-resep berbahasa Jepang koleksi Julie dan wajah mereka merasa
senang melihatnya. Walhasil, berkat resep-resep bertuliskan huruf Kanji itu Julie
16
Fadly Rahman., Sejarah Makanan di Indonesia Dalam Perspektif
Global., Tesis Program Studi Sejarah, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2014, hlm. 301.
25
pun bisa lepas dari pemeriksaan Jepang. Tentu nasibnya akan menjadi lain jika
yang disimpannya adalah resep-resep masak berbahasa Belanda.
Pengalaman Julie itu kiranya mewakilli kenyataan umum padahal
absennya buku masak sepanjang masa perang. Hal itu disinggung jelas dalam
pengantar penerbit Balai Pustaka untuk edisi cetakan keempat buku masak
berbahasa Sunda masakan djeung amis-amis terbit pada 1951.
Apabila dihubungkan dengan masa situasi Jepang, maka maksud "berbagai
hal yang jadi penghalang" terbitnya buku masak itu, seperti disinggung penerbit,
lebih disebabkan juga oleh perubahan sosial budaya yang anti-barat. Dari
pernyataan penerbit itu tersirat, buku masak adalah produk penerbitan yang begitu
laris pada masa normal, sebagaimana itu ditunjukkan dari buku Masakan djeung
Amis-Amis yang mengalami cetak ulang ketiga. Permintaan atas buku masak itu
sebenarnya terus mengalir pada masa sulit tapi penerbit tidak bisa memenuhinya
karena situasi yang tidak memungkinkan. Ini menandakan adanya kalangan
pribumi tentu dari kalangan menengah ke atas yang merindukkan masa-masa
berseminya selera makan pada masa sebelum Jepang berkuasa.
Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi penerbitan media)
sangat ketat memindai layak atau tidaknya media apapun terbit. Buku-buku masak
yang memuat citra selera Eropa pun tidak luput dari sensornya. Jangankan buku
masak karya orang Belanda, buku masak karya orang pribumi pun tidak lepas dari
sensornya jika di dalamnya memuat resep-reep bercitra Eropa. Perlakuan itu
misalnya menjerat Boekoe Masak-Masakan karya Chailan Sjamsu yang memuat
unsur resep-resep Eropa. Tidak heran jika buku masak itu tidak dicetak ulang
26
pada masa Jepang. Bukunya baru dicetak ulang pada 1948. Kekuasaan jepang
berakhir pada 1945. Indonesia pun baru bisa mengecap kemerdekaannya.17
C. Masa Revolusi Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Lepas dari kekuasaan Jepang dan masuk masa kemerdekaan bukan berarti
situasi menjadi membaik dan mendukung hidupnya kembali aktifitas boga,
situasinya justru lebih pelik. Apabila kekuasaan Jepang begitu anti pada segala
unsur barat, maka pada masa awal kemerdekaan, bergelora gerakan radikal anti
Jepang sekaligus anti kolonial dan feodal dalam kehidupan sosial sebagai balasan
rakyat terhadap para pangreh praja yang dahulu dianggap menindasnya.
Selain itu penghalang lainnya adalah belum stabilnya bahan-bahan
makanan. Hal itu terungkap dalam buku masak karya W. C. Keijner cetakan
kesembilan dan kesepuluh yang baru terbit pada tahun 1948 terakhir terbit tahun
1939. Meski terkesan berusaha menyiasati tingginya harga bahan-bahan makanan,
tap pada dasarnya buku masak Keijner ini mengesankan usaha untuk
mereproduksi citra selera masak kolonial yaitu menampilkan hegemoni citra rasa
Eropa. Hal itu terasa dari bagaimana penerbit menyinggung kenaikan harga
boncis dan wortel sebagai jenis sayuran yang notabene identik dengan bahan
makanan Belanda.18
Pada masa kemerdekaan Gastronom seperti Sjamsu justru berusaha
mengubur segala gaya hidup kolonial dalam hal kemewahan makanannya. Secara
tidak langsung justru ia ingin menyadarkan rakyat Indonesia di berbagai daerah
untuk bangga terhadap makanannya sendiri. Kesadarannya menampilkan resep-
17
Ibid., hlm. 301-304. 18
Ibid., hlm. 306.
27
resep makanan daerah di Indonesia pun mungkin tidak lepas dari pemikirannya
bahwa setiap makanan mulanya adalah makanan daerah (regional dish). Makanan
daerah sendiri lahir sebagai respon terhadap iklim, sumber daya, dan kebiasaan
setiap kelompok orang di daerahnya masing-masing. Dengan kata lain, ia ingin
menyadarkan pembacanya di berbagai daerah agar mampu memberdayakan
potensi sumber daya bahan makanan untuk dapat di olah menjadi olahan-olahan
yang lezat dan sehat. Tujuan pokok lainnya adalah menseleksi beberapa makanan
di setiap daerah agar dapat hadir dalam lingkup “hidangan makanan Indonesia”.19
D. Perkembangan Kuliner Di Surakarta Tahun 1987-2012
Kuliner sebagai penegas stratifikasi sosial menunjukkan bahwa perbedaan
makanan tidak hanya menyangkut selera dan alat-alat yang digunakan oleh
masyarakat tetapi juga bagaimana aktifitas makan menunjukkan hubungan sosial
dan politik dalam masyarakat. Hubungan sosial dan politik dalam keraton
Surakarta yang ditunjukkan dalam aktifitas makan banyak mengalami perubahan
sesuai dengan kondisi masyarakat. Pada masa kolonial tampak jelas hubungan
aktifitas makan ini menggambarkan jurang stratifikasi sosial dalam masyarakat
baik dalam dilingkungan dalam keraton sendiri maupun diluar lingkungan
keraton. Perubahan yang mendasar dalam hal ini adalah dengan semakin
memudarnya kekuasaan keraton maka aktifitas makan di keraton tidak lagi
menunjukkan perbedaan yang jelas antara Raja, bangsawan dan wong cilik. Jenis
makanan yang biasa dimakan oleh Raja dan kaum bangsawan keraton sekarang
dapat dinikmati oleh lapisan masyarakat lain tidak terkecuali wong cilik. Banyak
jenis makanan yang dahulu hanya bisa dinikmati di dalam lingkungan keraton
19
Ibid., hlm. 310-311.
28
sekarang telah beredar luas di masyarakat. Masyarakat tidak lagi menganggap
makanan yang dimakan oleh Raja dan bangsawan adalah makanan yang berkelas.
Masyarakat telah menganggap sama dalam hal selera maupun penggunaan alat-
alat makan.
Bila melihat lebih jauh semakin menipisnya stratifikasi yang didasarkan
pada selera dan kuliner di keraton Surakarta dikarenakan lingkungan keraton
sendiri yang membuat kuliner-kuliner tersebut turun derajatnya menjadi makan
biasa. Semakin hilangnya keberadaan koken keraton dan semakin hilangnya
budaya jamuan makan yang didasarkan oleh keraton Surakarta sendiri. Semakin
besarnya arus globalisasi membawa keraton hanya mempertahankan tradisi-tradisi
budaya yang berkaitan dengan wilujengan dan sesaji serta ubo rampenya.
Sedangakan jamuan makan dan makan bersama keluarga keraton yang
menunjukkan sebagai bagian dari kekuatan politik keraton Surakarta telah
hilang.20
Dalam perkembangannya, kuliner tidak hanya menyangkut seni memasak,
tapi juga sebuah bisnis yang memerlukan manajerial agar bisa bertahan dan
berkembang dari waktu ke waktu. Berbeda dengan konsep pemahaman dalam
industri pangan, dalam kuliner lingkupnya lebih detail sehingga beberapa hal
berikut perlu diperhatikan, antara lain:
Cara memasak, di dalamnya melibatkan variasi dan teknik memasak yang
akan menghasilkan rasa, penampilan, dan bentuk yang bisa mengundang selera.
Kedua cara saji, merupakan seni menghidangkan masakan agar terlihat cantik dan
20
Ardi Baskoro., op.cit., hlm. 147-148.
29
menarik perhatian. Cara saji biasanya lekat dengan pendukung makanan semacam
seni mangukir buah, sayur atau peranti saji yang sesuai. Ketiga cara makan, cara
makan tiap masakan sangat spesifik. Cara makan yang berbeda akan
menghasilkan rasa dan plesuare yang berbeda saat dimakan. Beberapa komponen
pelengkap semacam makanan pendamping, sambal, saos atau lalapan menjadi
sangat penting. Teknik pencampuran hidangan utama, pelengkap atau urutan
menyantap makanan menjadi sangat penting karena akan menghasilkan rasa
berbeda. Keunikan terletak pada paduan atau urutan menikmatinya. Keempat cara
memilih bahan, merupakan salah satu teknik yang tidak boleh dilewatkan karena
dengan memilih bahan yang cocok dan benar, maka hasil masakan menjadi sangat
menarik dan sempurna. Kelima tujuan makanan, merupakan bagian yang penting
untuk diperhatikan karena beberapa masakan memiliki fungsi sendiri juga dalam
konsumsi setiap hari. Bukan hanya menjadi pengisi perut tapi juga memiliki arti
sosial dan religious. Beberapa masakan dibuat untuk tujuan sosial misalnya untuk
pesta, untuk tujuan ritual tradisional untuk perkawinan. Beberapa masakan
diciptakan untuk mencapai fungsi kebersamaan dalam keluarga. Masakan yang
demikian biasanya disantap bersama-sama. Dalam konteks ini, kuliner tidak
hanya sekedar seni memasak tapi juga merupakan hasil nyata dari sebuah gaya
hidup yakni bagian dari sebuah kebudayaan bangsa.
Industri pangan yang dimotori oleh korporasi besar dapat melintas batas
wilayah Negara mana pun. Mereka mengusung konsep budaya makan yang
terpola pada keseragaman. Melakukan propaganda dan promosi besar untuk
mengubah budaya dan kebiasaan makan disatu Negara menjadi bisnis besar yakni
permintaan akan produksi yang diciptakannya. Dengan pola franchise atau aneka
30
bentuk kerja sama lainnya, mereka mengusung satu merek yang disebarkan ke
seluruh dunia. Di setiap Negara berdiri ratusan outlet mereka yang menjadi
pencetak uang. Orang berduyun-duyun antri membelinya, tanpa sadar mereka
sudah diarahkan untuk mengkonsumsi makanan yang sama di seluruh penjuru
dunia.
Kuliner, memiliki keunikan tersendiri karena merupakan hasil dari
interaksi budaya dalam sebuah komunitas. Tiap daerah akan memiliki jenis
masakan khas tersendiri. Masakan bisa khas karena dipengaruhi oleh letak
geografis daerah. Masakan daerah empat musim akan berbeda dengan daerah
tropis. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi masakan yang dihasilkan. Di
daerah pantai yang banyak pedagangnya memiliki ciri masakan yang cepat saji
(fast cook), sementara kelompok petani (pegunungan) cenderung mamasak slow
cook (butuh waktu lama). Kondisi alam sekitar juga mempengaruhi jenis masakan
yang dihasilkan. Kekayaan alam yang dimiliki satu daerah menjadi penyumbang
terbesar jenis masakan yang dihasilkan.
Bisnis masakan tradisional tidak pernah mati meski perkembangannya
mengalami pasang surut. Tidak dapat dipungkiri pola makan kita sekarang adalah
kontribusi pelestarian masakan tradisional dalam keluarga dari generasi ke
generasi. Gaya hidup dan kebiasaan makan orang Indonesia sebenarnya tidak
mengalami perubahan yang terlalu signifikan dengan seiring masuknya pengaruh
luar dan perkembangan industri pangan. Perubahan gaya hidup yang paling
terlihat adalah di kota besar saja. Keaslian kuliner tradisional relative lebih terjaga
31
di desa namun dari sisi bisnis kulinernya kurang memberikan peluang karena
masyarakatnya cenderung mandiri dalam menyediakan masakan.
Menurut teori kebutuhan Maslow, pangan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia atau basic needs. Karena termasuk kebutuhan dasar,
maka pemenuhan terhadap pangan menjadi hal mutlak jika manusia ingin tetap
bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi,
manusia baru akan bisa memikirkan untuk mencapai kebutuhan lainnya.
Kebutuhan bersosialisasi (social needs), percaya diri (self esteem) dan aktualisasi
diri (self actualization) merupakan tiga teratas kebutuhan manusia.
Namun, hal tersebut tampaknya tidak berlaku lagi sekarang. Pangan bukan
lagi produk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia semata.
Pangan saat ini menjadi sebuah gaya hidup baru di kalangan masyarakat. Pangan
berubah menjadi sebuah industri kuliner yang memberikan tidak hanya cita rasa
tapi juga kebutuhan lain manusia untuk bersosialisasi maupun beraktualisasi.
Sebab, industri kuliner yang berkembang saat ini juga menyediakan ruang bagi
konsumen untuk bisa berkumpul dengan komunitasnya melalui layanan ruangan
maupun jasa lainnya.
Tidak mengherankan jika industri kuliner saat ini tumbuh sangat subur.
Ada beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut. Hal ini setidaknya terlihat
dari pola konsumsi masyarakat yang mulai bergeser ke masakan dan minuman
32
jadi (BPS, 2012). Selain itu, dari tahun ke tahun, usaha makanan atau restoran
terus meningkat.21
Industri kuliner di wilayah Surakarta makin ramai. Pelaku industri ini
menilai pesatnya bisnis kuliner terutama kuliner modern didukung dengan adanya
peningkatan gaya hidup masyarakat. Selain itu menjamurnya mall juga turut serta
mendukung bisnis ini. Investor dari luar kota gencar invasi ke wilayah Surakarta
dan ikut mengembangkan bisnis kuliner.22
Surakarta sebagai salah satu kota di Tanah Air yang merupakan “gudang”-
nya makanan lezat. Berbagai makanan minuman maupun jajanan yang khas dapat
dengan mudah dijumpai di Surakarta. Pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang
jalan Slamet Riyadi boleh dibilang memiliki hubungan erat dengan dunia
kepariwisataan di kota Bengawan. Boleh disebut nama besar dan pamor Surakarta
sebagai gudangnya makanan-makanan khas, tak lepas dari andil PKL yang saban
hari “hinggap” di kanan kiri jalan utama kota ini.23
Para PKL itu bersanding
dengan Notosuman, Kalilarangan, Gading, Keprabon maupun beberapa kawasan
lain yang selama ini dikenal sebagai tempat yang menjual makanan khas.
Notosuman misalnya, dikenal sebagai sentral serabi, Kalilarangan marak penjual
bakso, Keprabon dengan sega liwetnya dan Gading terkenal dengan sotonya. Di
21
http://gopanganlokal.miti.or.id/index.php/peran-strategis-industri-
kuliner-bagi-pertumbuhan-ekonomi, (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). 22
http://www.solopos.com/2013/11/03/bisnis-kuliner-solo-makin-ramai-
462099, (diakses pada tanggal 15 Oktober 2014). 23
Solo Pos, 4 Oktober 1997. Ini diakui pengamat pariwisata Drs. Tundjung
Wahadi Sutirto, M. si. Staf pengajar Fakultas Sastra UNS yang telah mengkaji
secara khusus kepariwisataan di Solo lewat penelitiannya berjudul Analisis
Potensi Pariwisata di Kota Surakarta itu berpendapat, makanan khas yang
disajikan PKL memang menjadi daya tarik wisatawan tersendiri.
33
sepanjang jalan Slamet Riyadi penjaja kue serabi banyak dijumpai berderet di
pinggir jalan, selain sejumlah pedagang lesehan. Makanan khas di Solo amat
potensial untuk disajikan sebagai daya tarik wisatawan, khususnya dari sektor
boga. Sepanjang pengamatannya, di Solo ini fenomena makanan tradisional dalam
pemasarannya mengenal waktu. Pagi hari banyak dijumpai penjaja jamu Jawa,
dawet, bubur kacang hijau, dan jajanan yang dikenal masyarakat dengan jajanan
pasar (gethuk, thiwul, gathot, urap ketan) dan lainnya. Pada siang hari, ada penjaja
gendongan yang menyajikan makanan lotis, rujak, brambang asem, uli cabuk dan
lainnya. Sedang di sore hari, sangat mudah ditemui penjaja makanan srabi, bakso
dan klepon. Menjelang malam bermunculan penjaja hik yang bertempat di
perempatan-perempatan jalan. Makanan yang digelar di hik ini adalah minuman
antara lain wedang kopi, wedang jahe dan wedang tape di samping aneka
makanan yang namanya terkesan lucu dan khas, semacam nasi sega kucing, sega
oseng-oseng serta makanan lainnya. Pada saat malam dapat dijumpai penjaja
minuman yang dikenal dengan nama wedang ronde yang dijajakan berkeliling.24
Sebagai daerah Kerajaan, Surakarta selain memiliki kekayaan budaya juga
memiliki beragam kekayaan kuliner tradisional. Nama-nama kuliner tradisional
dapat dilihat di dalam Serat Centhini. Berikut ini kuliner tradisional di Surakarta
antara lain;
24
Ibid.,
34
1. Nasi Liwet
Kuliner di Kota Surakarta memiliki tempatnya masing-masing, seperti
Keprabon yang terkenal dengan nasi liwet.25
Nasi liwet merupakan makanan
klasik buatan tangan-tangan ahlinya, yaitu warga Baki, yang lestari hingga
berabad-abad lamanya. Paku Buwana IX (1861-1893) pernah memborong nasi
liwet demi memanjakan lidah dan mengenyangkan perut para pangrawit yang
bersedia memainkan gamelan menghibur raja semalam suntuk. Setiap pagi dan
malam, penjual nasi liwet bertebaran menjajakan dagangan mereka. Fenomena ini
membuktikan adanya keinambungan sejarah wirausaha kuliner nasi liwet, sama
halnya sejarah wirausaha batik di Laweyan.26
Nasi Liwet terdiri dari nasi putih gurih, irisan daging ayam, sambal goreng
labu siam, kumut (santan kental) dan telur kukus ini, pada awalnya adalah menu
hidangan Raja-raja Keraton Surakarta. Resepnya diwariskan turun-temurun dan
telah berusia ratusan waktu. Terkait kemunculannya nasi liwet tidak diketahui
sejak kapan mulai dikonsumsi. Seiring berjalannya waktu, nasi liwet bisa
dinikmati oleh masyarakat luas. Nasi Liwet disajikan dalam pincuk daun pisang
lengkap dengan potongan daun yang berfungsi sebagai sendok.
25
Dalam buku kumpulan kolomnya, Mangan Ora Mangan Ngumpul
(2012: 55), UK menyatakan: sega liwet Malioboro itu’kan tiruan Solo. Itu pun
tiruan yang jelek. Tidak gurih, tanpa areh yang putih mumpluk ditaruh di atas
sambel goreng jipang. Sing asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha, kalo tindak
Solo mau mencicipi itu di Keprabon. 26
http://www.solopos.com/2014/02/18/gagasan-kuliner-solo-menurut
umar-kayam-490558, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016).
35
Gambar. 1
Nasi Liwet
Sumber: www.google.com
2. Thengkleng
Hidangan thengkleng muncul seabad silam dari aksi para buruh Laweyan
yang memunguti sisa-sisa daging kambing dari mbok mase, juragan batik
perempuan yang kaya raya. Sekelompok buruh tidak mampu menjangkau
makanan berkelas itu, lantas mengolah tulang dan jeroan kambing untuk disantap.
Selain dangkal dan mengabaikan peristiwa sejarah lokal yang memuat jiwa
zaman, analisis tersebut tanpa bersandar data. Jika ditengok dari lembaran sejarah
kuliner Nusantara, kelompok penyuka makanan berbahan daging kambing ialah
kaum etnis Arab dan keturunannya. Beberapa perayaan agama Islam dan hajatan
komunitas keturunan etnis Arab menempatkan kambing sebagai bahan pokok.
Tidak mengherankan bila kemudian bertebaran warung satai kambing di daerah
yang ditinggali komunitas keturunan Arab. Thengkleng lahir dari buah kreativitas
wong Solo dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya masa penjajahan
Jepang. Thengkleng bukan hanya citarasa, namun juga filosofi tidak mudah takluk
36
oleh penderitaan hidup. Bukan hanya urusan teknis, tapi juga nilai pengetahuan
kuliner yang diwariskan puluhan tahun.27
Penjual thengkleng di Surakarta yang terkenal salah satunya adalah Bu
Edi. Bu Edi bersama penjual thengkleng lainnya membuat tulang-belulang dan
jeroan kambing yang senantiasa diabaikan di ruang dapur oleh tukang masak atau
koki, alih-alih disantap di meja makan. Sejak tahun 1970-an Bu Edi setia
mengolah dan menjajakan thengkleng, mulai dari cara berjualan keliling hingga
menetap di bawah gapura Pasar Klewer. Berjubelnya pembeli yang rela dhempet-
dhempetan (berimpitan) di dhingklik panjang sebelum warung dibuka dan
seringnya kewalahan meladeni pesanan di rumah merupakan secuil bukti
thengkleng Surakarta memang sanggup menggoyang lidah. Kuliner thengkleng
hanya dapat dijumpai di Kota Surakarta. Meski penjual thengkleng dapat dijumpai
di kota lain, tetapi rasanya berbeda dengan thengkleng yang ada di Kota
Surakarta.
3. Cabuk Rambak
Cabuk rambak bisa dikatakan hampir punah. Dahulu, penjual cabuk
rambak berjalan mengelilingi kota Surakarta di pagi hari melayani pembelinya. Di
Pasar Gede, Cabuk Rambak seakan menemukan panggungnya kembali, selalu
saja ada pembeli yang datang menyicipi hidangan ini. Cabuk Rambak adalah
hidangan sederhana yang kaya citarasa. Sederhana karena hanya potongan tipis
ketupat yang diberi bumbu yang dihidangkan bersama semacam kerupuk. Kaya
rasa, karena bahan yang digunakan tidaklah biasa. Walaupun terlihat seperti
27
http://www.solopos.com/2015/12/16/gagasan-historiografi-thengkleng-
671435, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016).
37
bumbu kacang, namun yang dipakai terbuat dari wijen, kemiri, daun jeruk yang
dicampur parutan kelapa yang sudah di sangrai. Rasa bumbunya lebih ringan
dengan tekstur lebih encer dibanding bumbu kacang, dominasi bumbunya ada di
citarasa kemiri yang sedikit menyengat. Untuk melengkapi tekstur yang lembut
dari ketupat, disajikan sejenis kerupuk yang biasa disebut Karak. Karak terbuat
buat dari nasi yang dipadatkan. Cabuk Rambak disajikan diatas pincuk daun
pisang dan diberi tusuk sate sebagai alat makan. Cabuk rambak sudah ada sejak
tahun 1923, hal ini dibuktikan dari literatur kuliner Serat Centhini, cabuk rambak
terdapat didalam salah satu makanan yang ditemukan di Mataram.28
Gambar. 2
Cabuk Rambak
Sumber: www.google.com
28
Pada saat perhelatan dilengkapi dengan pertunjukan wayang dan banyak
penjualmakanan yang berada di sana. Makanan yang dijual oleh para penual pada
saat pertunjukan wayang sangat beraneka ragam. Yaitu;bakmi ayam, saoto
kambangan, cokoten, rondhe cemoe, wedang teh, dhawet, srebat, cao, bir manis,
beras kencur, semelak, legen aren arum, panganan goreng, babasahan,
wuwungkusan, pala pendem, kasimpar, gegonhongan, gegorengan, criping,
jenang dodol, pondhoh, wajik, jadah, jadah gedhang, ketan ore, gethuk, juwadah
pohung, cethot, juruh, ledre, surabi, jenang cocoh bang, pethak, puli, awung-
awung, cabuk rambak, pecel, sega liwet, dll. (Wahjudi Pantja Sunjata, dkk. 2014,
Kuliner Jawa Dalam Serat Centhini, Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB), Hlm. 34-35).
38
4. Pecel Ndesa
Pecel ndesa29
berbeda dengan pecel pada umumnya, nasi yang digunakan
dari beras merah. Nasi beras merah itu dipadukan dengan berbagai jenis sayuran
yang direbus seperti kenikir, taoge, daun pepaya, daun bayam, jantung pisang,
kacang panjang, dan daun ketela. Kuah bumbu pecel ndesa juga berbeda dengan
pada umumnya pecel di daerah lain. Kuah bumbu itu merupakan sambal wijen
yang dicairkan.
Gambar. 3
Pecel Ndesa
Sumber: www.google.com
5. Brambang Asem
Brambang asem adalah daun ketela rambat yang direbus dan disajikan di
pincuk daun pisang. Namun memang yang membuat spesial adalah bumbu yang
disiramkan bumbunya yang terbuat dari asem jawa, gula jawa, cabai dan bawang
merah. Potongan ketela yang segar, bercampur dengan rasa asem manis pedas
bumbunya. Tak lupa lauk pendamping sebongkah tempe gembus yang manis
29
Ibid.,
39
terbuat dari ampas tahu. Tidak ada literatur yang menjelaskan kapan kuliner
brambang asem mulai dikonsumsi.
Gambar. 4
Brambang Asem
Sumber: www.google.com
6. Gethuk Lindri
Gethuk lindri30
terbuat dari singkong rebus yang digiling kemudian
ditambah dengan gula dan pewarna makanan. Panganan khas Soloraya ini biasa
disajikan bersama ketan hitam, cenil, klepon, gendar, gatot, lalu ditaburi parutan
kelapa dan disiram larutan gula merah.
30
Ibid.,
40
Gambar. 5
Gethuk lindri
Sumber: www.google.com
7. Lenjongan
Lenjongan adalah kumpulan jajanan pasar khas Surakarta, Lenjongan
terdiri dari Gatot, Thiwul, Klepon, Sawut, Jagung manis (Grontol), Cenil, Gendar
Puli, Ketan Hitam dan masih banyak lagi. Makanan ini juga terdapat pada Serat
Centhini, lokasi penemuannya di Mataram. Sehingga makanan ini sudah ada dan
dikonsumsi sejak tahun 1923.
Gambar. 6
Lenjongan
Sumber: www.google.com
41
8. Dawet Selasih
Dawet selasih berisikan bubur sumsum, ketan hitam, cendol, tape ketan,
selasih yang kemudian disiram dengan santan dan ditambah es batu. Di dalam
Serat Centhini dawet ditemukan di wilayah Mataram, selain sesaji saat memasang
tarub dawet juga dijajakan dalam acara pertunjukan wayang.31
Gambar. 7
Dawet Selasih
Sumber: www.google.com
9. Gempol Pleret
Gempol pleret32
berisikan bola-bola yang terbuat dari tepung beras yang
biasa disebut warga Surakarta sebagai gempol. Gempol biasa disajikan bersama
31
Sesaji saat memasang tarub yang disediakan adalah berbagai makanan,
sirih dan pisang. Macam kuliner itu antara lain; sega lulut, sega wuduk, sega
basahan, sega golong, jajan pasar, dhawet, rujak, pecel pitik, jangan menir, ayam
lembaran, jenag abang, jenang putih, jenang baro-baro, jonglong, inthil, pisang
ayu, suruh ayu. (Ibid., Hlm. 28-29). 32
“Jayengwesti memerintahkan kepada istrinya yang bernama Turiga
untuk membuat nasi senandung. Dengan perasaan gugup Ni Turida menyiapkan
makanan. Bersama adiknya ia menata berbagai makanan yang berupa buah-
buahan, antara lain: jambu, pisang mas, kelampok arum, salak, pakel, kueni,
duren, manggis, pijetan, duku, pundung, srikaya, serta mangga dodol. Selain itu,
juga disajkan buah nanas, tebu, semangka, papaya jingga. Sajian yang berupa
makanan jajanan antara lain: randhakeli, raramendut, pipis tuban, pipis kopyor,
sempurna, lemat pasung, lemper, semar tindu, gempol pleret, jadah dan jenang
42
irisan buah nangka, cendol, yang ditambah beberapa lembaran tipis dari tepung
ketan yang disebut pleret. Racikan itu selanjutnya disiram dengan kuah santan
yang dicampur dengan gula merah dan es batu.
Gambar. 8
Gempol Pleret
Sumber: www.google.com
10. Timlo Sastro
Timlo merupakan makanan khas Surakarta. Timlo sastro adalah timlo
yang pertama ada di Surakarta, berdiri sejak tahun 1952, awalnya berupa
angkringan di depan toko Alus Pasar Gede. Timlo sastro berkembang degan pesat
hingga pada tahun 1958 pindah ke Balong (sebelah Timur pojokan pasar gede).
Timlo merupakan makanan yang menyerupai soto yang diberi kuah daging dan
tambahan berupa sosis , rempelo ati, dan telur.33
dodol. Setelah semuannya tersedia, Jayengwesti mempersilahkan Seh Amongraga
untuk menyantapnya. Hanya karena anugrah Allah SWT ia dapat memberi
jamuan seperti yang disajikan. Seh Amongraga pun berterima kasih dan hanya
mengambil pisang mas satu biji” (Wahjudi Pantja Sunjata, dkk. Op cit., Hlm. 42). 33
Solopos, 21 September 2002, Koleksi Monumen Pers Nasional
Surakarta.
43
Gambar. 9
Timlo Sastro
Sumber: www.google.com
Kuliner di Kota Surakarta mengalami perkembangan. Hal ini dapat dilihat
mulai tahun 1997 pemerintah kota Surakarta mengangkat kuliner sebagai daya
tarik wisata. Kota Barat menjadi salah satu destinasi wisata boga di Surakarta.
Kota Barat tumbuh jadi “Malioboro”-nya Solo. Solo tidaklah salah bila disebut
sebagai kota malam. Kawasan Kota Barat telah tumbuh menjadi semacam obyek
wisata boga menarik. Kalau boleh membandingkan dengan Yogyakarta, maka
Kota Barat adalah “Malioboro”-nya Solo. Julukan ini bukannya tanpa alasan.
Setidaknya, gambaran kehidupan yang muncul di sepanjang Jalan Dr. Muwardi,
tepatnya mulai pertigaan Lapangan Kota Barat hingga Gereja St. Antonius,
Gendengan memang tidak akan membohonginya. Di sana aneka macam hidangan,
baik makanan hingga minuman tersaji dengan berbagai cara penyajian. Sebagian
besar menampilkan gaya lesehan. Sangat mirip dengan Malioboro di Yogyakarta.
Pada awalnya kawasan Kota Barat hanya terdapat beberapa pedagang saja, seperti
Gudeg Yu Landip, Tisada Burger dan warung bubur kacang hijau di ujung
pertigaan Jalan Dr. Muwardi dan Jalan Yosodipuro. Kotabarat kini benar-benar
44
jadi kawasan sentra boga paling popular di Surakarta. Lebih dari 30 kios (warung)
yang menampilkan berbagai jenis makanan berderet di sana.34
Gladag Langen Bogan merupakan wisata kuliner malam di Kota Surakarta
yang diresmikan pada Minggu malam 13 april 2008. Kehadiran tempat wisata
kuliner malam Gladag Langen Bogan semakin memperkuat Surakarta sebagai
kota terkenal dengan sebutan kota yang tidak pernah tidur. Gladag Langen Bogan
Surakarta adalah arena kuliner yang hanya dibuka pada malam hari, berlokasi di
sebelah timur bundaran Gladag, tepatnya di JL. Mayor Sunaryo depan Beteng
Trade Center dan Pusat Grosir Solo. Jika siang hari tetap sebagai jalan raya,
sedangkan pada malam hari jalan ditutup untuk menjadi arena kuliner. Setiap
malam selalu dipenuhi pengunjung baik dari masyarakat Surakarta maupun yang
datang dari luar Kota Surakarta yang penasaran dengan wisata kuliner malam ini,
Gladag Langen Bogan merupakan salah satu pilihan baru sebagai salah satu
tujuan wisata di Kota Surakarta. Pusat jajanan malam hari ini menawarkan aneka
macam makanan dan minuman khas tradisional yang sudah legendaris di Kota
Surakarta. Masyarakat dan wisatawan dapat menemukan dengan mudah berbagai
makanan dan minuman seperti thengkleng, sate kere, mie thoprak, wedang ronde,
wedang dongo, dan masih banyak lagi di Gladag Langen Bogan yang digelar di
sepanjang jalan utama depan Pusat Grosir Solo dan Beteng Trade Center Gladag.
Pada akhir pekan, tak hanya makanan dan minuman khas yang ditawarkan disini,
34
Solopos, 4 Oktober 1997, Koleksi Monumen Pers Nasional Surakarta.
45
sajian musik live dapat pula dinikmati para pengunjung dengan cuma-cuma dan
adanya fasilitas hotspot.35
Perkembangan kuliner di Surakarta semakin mengalami peningkatan, hal
ini karena adanya dukungan dari pemerintah dalam memberikan ruang untuk
menjajakan kuliner di Kota Surakarta. Wisata Kuliner yang menjadi tren
dikalangan masyarakat juga memberi dampak pada perkembangan kuliner Di
Kota Surakarta.
Gambar. 10
Gladag Langen Bogan
Sumber: www.google.com
Perkembangan kuliner di Kota Surakarta semakin berkembang dengan
bertambahnya jumlah rumah makan dan restoran di kota ini. Jumlah rumah makan
dan restoran di Surakarta terus berkembang selama 2011-2012. Berdasarkan data
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surakarta jumlah restoran
dan rumah makan naik masing-masing 10,53% dan 2,92%. Hingga Desember
2012 terdapat 21 restoran dan 247 rumah makan di Kota Surakarta. Angka
tersebut tumbuh dari tahun sebelumnya yaitu 19 restoran dan 240 rumah makan.
35
http://www.surakarta.go.id/konten/gladag-langen-bogan-galabo,
(diakses pada tanggal 15 Oktober 2014).
46
Pertumbuhan industri kuliner di Kota Surakarta ini didukung oleh permintaan dari
konsumen yang cukup banyak. Selain itu, keberadaan restoran dan rumah makan
ini juga berpengaruh terhadap minat wisatawan berkunjung. Jumlah rumah makan
dan restoran yang ada masih minim jika dibandingkan dengan realitas di
lapangan. Pasalnya, sejumlah rumah makan dan restoran yang ada tidak mengurus
perizinan sesuai ketentuan Peraturan Daerah (Perda) Kota Solo No 4 Tahun 2002
tentang Hiburan Umum. Berdasarkan peraturan itu setiap usaha harus memiliki
izin usaha. Sebuah usaha dikategorikan sebagai rumah makan salah satunya
adalah hanya menyajikan makanan jadi. Sedangkan kategori restoran adalah usaha
kuliner yang menyajikan makanan lengkap dengan proses pembuatan.36
36
m.solopos.com/2013/02/13/wah-solo-dipenuhi-restoran-dan-rumah-
makan-378815, (diakses pada tanggal 19 Oktober 2014).
Recommended