View
248
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Breising (bracing) merupakan sistem yang sangat efektif dan ekonomis
untuk menahan beban horisontal yang bekerja dalam suatu sistem struktur. Breising
sangat efisien karena elemen yang dipasang diagonal hanya menahan gaya aksial
sehingga tidak diperlukan dimensi yang besar untuk memberikan kekakuan dan
kekuatan dalam menahan gaya geser horisontal (Smith and Coull, 1991). Menurut
Taranath (2012) rangka breising dapat mengefisienkan struktur rigid frame dengan
mengurangi momen lentur yang terjadi pada kolom dan balok. Hal ini dikarenakan
dengan menambah breising, gaya geser horisontal yang terjadi akan ditahan oleh
rangka breising melalui mekanisme aksial sehingga dapat meminimalkan momen
lentur yang terjadi pada kolom dan balok.
Elemen breising berperilaku sebagai truss element yang menerima gaya
tekan (batang tekan) dan tarik (batang tarik). Perbedaan antara batang tekan dan
batang tarik adalah kemungkinan terjadinya tekuk pada batang tekan. Setelah
mengalami tekuk batang tekan akan menjadi tidak stabil sehingga kapasitas tekan
dari suatu elemen tekan akan lebih kecil dari pada kapasitas tariknya jika elemen
mengalami tekuk.
2.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik (SRBK)
Sistem rangka breising konsentrik merupakan sistem rangka breising
dimana ujung-ujung batangnya saling berpotongan pada suatu titik dan membentuk
suatu sistem rangka vertikal penahan gaya lateral. Selama terjadinya gempa kuat,
rangka breising akan mengalami gaya tekan dan tarik bolak-balik akibat beban
siklik. Pada elemen breising yang mengalami tekan akan terjadi tekuk lentur
sehingga akan menyebabkan terbentuknya sendi plastis pada breising akibat adanya
deformasi lateral (AISC, 2010). Rasio kelangsingan batang breising harus
memenuhi ketentuan berikut :
KL/r ≤ 4√𝐸/𝐹𝑦 (2.1)
KL/r ≤ 200 (2.2)
6
Keterangan :
K : Faktor panjang efektif
L : Panjang tanpa breising dari komponen struktur (mm)
r : Radius girasi (mm)
E : Modulus elastisitas baja (MPa)
Fy : Tegangan leleh baja (MPa)
Breising dengan 4√𝐸/𝐹𝑦 ≤ KL/r ≤ 200, dapat digunakan bila kekuatan tekan
kolom yang tersedia paling tidak sama dengan beban maksimum yang ditransfer ke
kolom dan mempertimbangkan nilai Ry dikalikan dengan kekuatan nominal elemen
breising. Tipe sistem rangka breising konsentrik dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sistem rangka breising konsentrik dapat dibedakan menjadi Sistem
Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK) dan Sistem Rangka Breising
Konsentrik Biasa (SRBKB). SRBKK diharapkan dapat mengalami deformasi
inelastis yang cukup besar akibat gaya gempa rencana. SRBKK memiliki tingkat
daktilitas yang lebih tinggi daripada tingkat daktilitas SRBKB mengingat
penurunan kekuatannya yang lebih kecil pada saat terjadinya tekuk pada batang
breising tekan (DPU, 2002).
2.3 Sistem Rangka Breising Eksentrik (SRBE)
Sistem rangka breising eksentrik merupakan sistem struktur yang unik,
karena menggabungkan kekakuan dan kekuatan yang dimiliki sistem rangka
breising dengan karakteristik disipasi energi secara inelastik yang dimiliki sistem
rangka pemikul momen. Sistem ini disebut eksentrik karena ujung batang dari
breising direncanakan memiliki eksentrisitas yang biasanya terletak pada balok.
Gambar 2.1 Tipe sistem rangka breising konsentrik (SRBK)
Sumber : AISC (2010)
7
Segmen eksentrik pada balok disebut dengan link dimana komponen ini berfungsi
sebagai fuse (sekring) pada struktur. Elemen link akan mengalami leleh terlebih
dahulu melalui mekanisme lentur dan atau geser sebelum terjadi tekuk pada elemen
yang mengalami tekan (Taranath, 2012).
Menurut AISC 341-10, link adalah segmen dari balok yang berada
diantara ujung-ujung sambungan dua breising diagonal atau di antara ujung suatu
breising diagonal dengan kolom. Pada SRBE diharapkan dapat terjadi deformasi
inelastis yang cukup besar pada link saat memikul gaya-gaya akibat beban gempa
rencana. Kolom-kolom, batang bresing, dan bagian dari balok di luar link harus
direncanakan untuk tetap dalam keadaan elastis akibat gaya-gaya yang dihasilkan
oleh link pada saat mengalami pelelehan penuh. Tipe breising eksentrik ditunjukkan
pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tipe sistem rangka breising eksentrik (SRBE)
Sumber : AISC (2010)
8
2.3.1 Elemen Link
Menurut Moestopo dan Panjaitan (2012), link pada SRBE berupa elemen
yang berperilaku sebagai balok pendek yang pada kedua sisinya bekerja gaya geser
sama besar dengan arah yang berlawanan serta momen dengan besar dan arah yang
sama. Mekanisme leleh yang terjadi pada link dapat berupa terbentuknya sendi
plastis pada kedua ujung link akibat tercapainya momen sebesar Mp (momen plastis
penampang link) dan disebut link lentur, atau berupa terjadinya leleh pada pelat
badan link akibat tercapainya gaya geser sebesar Vp (gaya geser plastis penampang
link) dan disebut link geser.
Kinerja struktur yang telah terkena gempa akan berkurang akibat rusaknya
link, yang membahayakan jika struktur tersebut mengalami kejadian gempa
berikutnya. Penggantian link menjadi tidak mudah dilakukan bila link merupakan
satu kesatuan dengan balok dan/atau kolom melalui sambungan las. Penggunaan
SRBE akan menjadi lebih ekonomis apabila link yang telah rusak akibat gempa
dapat diganti tanpa mengganti komponen struktur lainnya (balok, kolom, breising)
yang masih tetap elastik memikul beban gravitasi. Sejumlah kajian telah dilakukan
terhadap penggunaan link dengan sambungan baut, sebagai link yang dapat diganti
(replaceable link).
Kinerja link yang efektif menyerap gempa ditunjukkan dengan kelelehan
yang mampu membentuk sudut rotasi inelastik yang cukup besar pada link, dimana
hal ini direncanakan terjadi pada saat struktur sudah mengalami deformasi yang
besar akibat gempa besar, sementara itu komponen struktur lainnya (balok, kolom,
pengaku/breising) direncanakan tetap dalam kondisi elastik. Kerusakan link akibat
kelelehan inilah yang sebenarnya diharapkan terjadi, untuk menghindari runtuhnya
struktur (Moestopo dkk., 2009).
Menurut Becker dan Ishler (1996) dalam Nidiasari dan Budiono (2010),
perilaku inelastik pada link dipengaruhi oleh panjangnya. Mekanisme kelelehan
link, kapasitas disipasi energi dan mode kegagalan sangat erat hubungannya dengan
faktor panjang dari link. Untuk link pendek, perilaku inelastik dominan terhadap
gaya geser, sebaliknya untuk link panjang perilaku inelastik didominasi oleh lentur.
Untuk link antara (intermediate link), kelelehan dipengaruhi oleh geser dan lentur.
9
Kekakuan link juga sangat dipengaruhi oleh faktor panjang link. Link
panjang memiliki kekakuan yang lebih rendah dari link pendek. Gambar 2.3 (a) dan
(b) memperlihatkan bahwa link dengan rasio e/L = 0 memiliki kekakuan yang tinggi
sesuai dengan konsep desain Concentrically Braced Frame (CBF), sedangkan link
dengan rasio e/L = 1 memiliki kekakuan elastis yang rendah sesuai dengan konsep
desain Moment Resisting Frame (MRF). Agar kekakuan dan deformasi inelastik
link tidak berlebihan, maka panjang link harus dibatasi.
2.3.2 Kekuatan Geser dan Batasan Panjang Link
Berdasarkan AISC 341-10, Seismic Provisions for Structural Steel
Buildings, kekuatan geser pada link merupakan nilai terendah dari kondisi batas
pelelehan geser dalam badan dan pelelehan lentur pada penampang bruto.
1. Kondisi pelelehan geser
Vn = Vp (2.3)
Dimana :
Vp : kekuatan geser (N)
Vp = 0,6 Fy (d-2tf) tw, untuk Pr/Pc ≤ 0,15 (2.4a)
Vp = 0,6 Fy (d-2tf) tw √1− (𝑃𝑟
𝑃𝑐)2, untuk Pr/Pc > 0,15 (2.4b)
Gambar 2.3 (a) dan (b) Pengaruh variasi e/L terhadap kekakuan elastis EBF
Sumber : Engelhart dan Popov (1988) dalam Nidiasari dan Budiono (2010)
(a) (b)
10
Pr : kekuatan aksial perlu kombinasi LRFD (N)
Pc : kekuatan leleh aksial nominal (N)
Pc= Fy Ag (2.5)
Fy : tegangan leleh baja (MPa)
d : tinggi penampang (mm)
tf : tebal sayap penampang (mm)
tw : tebal badan penampang (mm)
Ag : luas penampang (mm²)
2. Kondisi pelelehan lentur
Vn = 2Mp/e (2.6)
Dimana :
Mp : momen plastis penampang (Nmm)
Mp= Fy Z, untuk Pr/Pc ≤ 0,15 (2.7a)
Mp= 𝐹𝑦 𝑍 (1−𝑃𝑟/𝑃𝑐
0,85), untuk Pr/Pc > 0,15 (2.7b)
e : panjang link (m)
Z : modulus plastis penampang (mm³)
Panjang link (e) harus dibatasi jika nilai Pr/Pc > 0,15 dengan ketentuan
sebagai berikut :
Untuk ρ’ ≤ 0, 5 maka 𝑒 ≤ 1,6 𝑀𝑝
𝑉𝑝 (2.8a)
Untuk ρ’ > 0, 5 maka 𝑒 ≤ 1,6 𝑀𝑝
𝑉𝑝(1,15 − 0,3𝜌′) (2.8b)
Keterangan :
ρ’ = 𝑃𝑟/𝑃𝑐
𝑉𝑟/𝑉𝑐 (2.9)
Pr : kekuatan aksial perlu kombinasi LRFD (N)
Pc : kekuatan leleh aksial nominal (N)
Vr : kekuatan geser perlu kombinasi LRFD (N)
Vc : kekuatan leleh geser nominal (N)
Vc = 0,6 Fy (d-2tf) tw (2.10)
11
2.3.3 Sudut Rotasi Link
Berdasarkan AISC 341-10, Seismic Provisions for Structural Steel
Buildings sudut rotasi link merupakan variabel primer yang digunakan untuk
mendeskripsikan deformasi inelastik dari link. Sudut rotasi link merupakan sudut
rotasi plastis antara link dengan bagian dari balok di luar bagian link. Besarnya
rotasi link dapat dihitung dengan mengasumsikan Eccentrically Braced Frame
(EBF) akan berdeformasi dalam mekanisme rigid-plastis seperti pada Gambar 2.4.
Keterangan :
L : panjang bentang
h : tinggi tingkat
∆p : story drift
θp : besar sudut story drift, rad (∆p/h)
γp : sudut rotasi link, rad
Respon inelastik dari link sangat dipengaruhi oleh panjang link yang
berkorelasi dengan perbandingan nilai Mp/Vp, yaitu sebagai berikut ini :
1. Jika 𝑒 ≤ 1,6𝑀𝑝
𝑉𝑝 (2.11)
Respon inelastik pada link akan didominasi oleh geser.
Sudut rotasi link dibatasi hingga 0,08 rad.
2. Jika 1,6𝑀𝑝
𝑉𝑝 < 𝑒 ≤ 2,6
𝑀𝑝
𝑉𝑝 (2.12)
Gambar 2.4 Rotasi link pada struktur rangka breising eksentrik V-terbalik
Sumber : AISC (2010)
12
Respon inelastik pada link dipengaruhi oleh kombinasi lentur dan geser.
Sudut rotasi link merupakan hasil interpolasi antara 0,08 – 0,02 rad
3. Jika 𝑒 > 2,6𝑀𝑝
𝑉𝑝 (2.13)
Respon inelastik pada link akan didominasi oleh lentur.
Sudut rotasi link dibatasi hingga 0,02 rad.
Keterangan :
e : panjang link (mm)
Mp : momen plastis (Nmm)
Vp : kekuatan geser (N)
2.4 Sistem Sambungan
Berdasarkan SNI 1729:2015, desain sambungan untuk konstruksi baja
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Sambungan Sederhana
Sambungan sederhana merupakan sambungan yang mengabaikan adanya
momen. Pada analisis struktur sambungan sederhana dianggap memungkinkan
terjadinya rotasi relatif tidak terkekang antara elemen yang tersambung
bercabang. Sambungan sederhana harus mempunyai kapasitas rotasi yang
cukup untuk mengakomodasi rotasi perlu yang ditentukan melalui analisis
struktur. Hubungan balok kolom yang menggunakan sambungan sederhana
ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Sambungan Sederhana
Sumber : Detallesconstructivos (2015)
13
2. Sambungan Momen
Sambungan momen dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sambungan
momen Tertahan Penuh (TP) dan sambungan momen Tertahan Sebagian (TS).
a. Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP)
Sambungan momen tertahan penuh menyalurkan momen dengan rotasi
yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang tersambung. Pada
analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak mengalami rotasi
relatif. Suatu sambungan TP harus memiliki kekuatan dan kekakuan untuk
mempertahankan sudut antara komponen struktur yang tersambung pada
kondisi batas kekuatan.
b. Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS)
Sambungan momen tertahan sebagian mampu menyalurkan momen, tetapi
rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh diabaikan.
Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respon gaya-deformasi
sambungan. Elemen komponen sambungan TS kekuatan, kekakuan dan
kapasitas deformasi yang cukup pada kondisi batas kekuatan.
Penggunaan sambungan momen pada hubungan balok kolom ditunjukkan pada
Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Sambungan Momen
Sumber : Dewobroto (2015)
14
2.5 Pelat Komposit
Struktur komposit adalah struktur gabungan dua atau lebih bahan yang
bekerja bersama-sama sebagai satu kesatuan, dengan memanfaatkan karakteristik
masing-masing bahan secara optimal. Struktur komposit dapat berupa gabungan
antara baja dan beton, beton dan kayu atau gabungan antara bahan-bahan yang lain.
Dua buah atau lebih material yang disusun dapat mengalami aksi komposit hanya
jika terjadi interaksi antara kedua material tersebut (Giri, 2009).
Salah satu bagian struktur yang dapat dibuat komposit adalah pelat beton
dengan dek baja gelombang. Pada struktur komposit antara pelat beton dan dek baja
gelombang, dek baja gelombang dimanfaatkan sebagai tulangan tarik. Untuk
penyederhanaan perhitungan dek baja gelombang didekati dengan penampang pelat
ekivalen seperti Gambar 2.7 dan untuk persyaratan pelat komposit ditunjukkan pada
Gambar 2.8.
2.6 Analisis Modal
Analisis modal adalah suatu bentuk analisis yang digunakan untuk
menentukan vibration modes dari struktur. Mode ini digunakan untuk mengetahui
perilaku struktur (CSI, 2013). Analisis modal dilakukan dengan hanya
Gambar 2.7 (a) Tebal pelat ekivalen (Dp)
(b) Diagram tegangan pelat komposit
Sumber : Giri (2009)
(a) (b)
Gambar 2.8 Persyaratan pelat komposit
Sumber : Giri (2009)
15
memperhitungkan berat sendiri struktur tanpa adanya beban tambahan. Dari
analisis ini akan diperoleh beberapa parameter seperti bentuk mode struktur (mode
shapes), periode alami struktur (T), dan frekuensi alami struktur (ω).
2.7 Pembebanan
Beban yang bekerja pada struktur secara umum dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu beban vertikal dan beban lateral. Beban vertikal terdiri atas beban
mati (berat sendiri struktur dan beban mati tambahan) serta beban hidup. Beban
lateral terdiri atas beban angin dan beban gempa, dalam hal ini beban lateral yang
diperhitungkan adalah beban gempa karena dianggap mempunyai pengaruh yang
lebih dominan pada struktur.
2.7.1 Beban Mati
Menurut SNI 1727:2013, beban mati adalah berat seluruh bahan
konstruksi bangunan gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap,
plafond, tangga, dinding partisi tetap, finishing, klading gedung dan komponen
arsitektural dan struktural lainnya serta peralatan layan terpasang lain termasuk
berat keran. Berat sendiri elemen struktur dihitung secara otomatis oleh software
ETABS 2015, dimana berat material beton diambil 2400 kg/m³ dan untuk material
baja diambil 7850 kg/m³. Beban mati tambahan yang bekerja pada stuktur dihitung
berdasarkan Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung
(PPPURG) tahun 1987, yaitu sebagai berikut :
1. Berat spesi/adukan (screeding) = 21 kg/m² per cm tebal
2. Berat penutup lantai = 24 kg/m² per cm tebal
3. Berat plafond = 11 kg/m²
4. Berat penggantung plafond = 7 kg/m²
5. Berat instalasi MEP = 40 kg/m²
6. Berat pasangan dinding ½ bata = 250 kg/m²
2.7.2 Beban Hidup
Menurut SNI 1727:2013, beban hidup adalah beban yang diakibatkan oleh
pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain yang tidak termasuk
beban konstruksi dan beban lingkungan, sepeti beban angin, beban hujan, beban
16
gempa, beban banjir atau beban mati. Beban hidup atap merupakan beban pada atap
yang diakibatkan (1) pelaksanaan pemeliharaan oleh pekerja, peralatan, dan
material serta (2) selama masa layan struktur yang diakibatkan oleh benda bergerak,
seperti tanaman atau benda dekorasi kecil yang tidak berhubungan dengan
penghunian. Besaran beban hidup untuk masing-masing kategori bangunan dapat
dilihat pada Lampiran A.
2.7.3 Beban Gempa
Beban gempa yang dikerjakan pada model struktur adalah beban gempa
berupa respon spektrum. Berikut ini adalah tahapan perhitungan beban gempa
respon spektrum yang mengacu pada SNI 1726:2012 :
1. Menentukan kategori risiko (KR) dan Faktor Keutamaan Gempa (Ie).
Penentuan kategori risiko dan Faktor Keutamaan Gempa mengikuti tabel pada
Lampiran B.
2. Menentukan nilai Ss (T=0,2 detik) dan S1 (T=1,0 detik) berdasarkan lokasi
bangunan.
3. Menentukan kelas situs dan koefisien situs
Berdasarkan sifat-sifat tanah pada lokasi bangunan, situs diklasifikasikan
sebagai kelas situs yaitu SA (batuan keras), SB (batuan), SC (tanah keras, sangat
padat dan batuan lunak), SD (tanah sedang), SE (tanah lunak), dan SF (tanah
khusus, yang membutuhkan investigasi geoteknik). Koefisien situs ditentukan
dengan menggunakan Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Koefisie situs, Fa
Sumber : SNI 1726:2012 (2012)
17
4. Menghitung parameter spektrum respon percepatan pada periode pendek (SMS)
dan periode 1 detik (SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh kelas situs.
SMS = Fa.Ss (2.14)
SM1 = Fv.S1 (2.15)
5. Menghitung parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek (SDS)
dan periode 1 detik (SD1).
SDS = 2/3 SMS (2.16)
SD1 = 2/3 SM1 (2.17)
6. Menentukan kategori desain seismik (KDS) struktur menggunakan Tabel 2.3
dan Tabel 2.4.
Tabel 2.2 Koefisien situs, Fv
Sumber : SNI 1726:2012 (2012)
Tabel 2.3 Kategori desain seismik berdasarkan nilai SDS
Sumber : SNI 1726:2012 (2012)
Tabel 2.4 Kategori desain seismik berdasarkan nilai SD1
Sumber : SNI 1726:2012 (2012)
18
Selain kategori pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4, struktur dengan kategori risiko I,
II, atau III yang berlokasi di mana parameter respon spektral percepatan
terpetakan pada periode 1 detik (S1) lebih besar dari 0,75 harus dikategorikan
sebagai struktur dengan kategori desain seismik E. Struktur dengan kategori
risiko IV yang berlokasi di mana parameter respon spektral percepatan
terpetakan pada periode 1 detik (S1) lebih besar dari 0,75 harus dikategorikan
sebagai struktur dengan kategori desain seismik F (BSN, 2012).
7. Membuat grafik spektrum respon desain (Sa)
Untuk T < T0, maka :
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆 (0,4 + 0,6𝑇
𝑇0) (2.18)
Untuk T0 ≤ T ≤ Ts, maka :
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆 (2.19)
Untuk T > Ts, maka :
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷1
𝑇 (2.20)
Keterangan :
SDS : parameter respon spektral percepatan desain pada
periode pendek.
SD1 : parameter respon spektral percepatan desain pada
periode 1 detik.
T : periode getar fundamental struktur.
T0 = 0,2 𝑆𝐷1
𝑆𝐷𝑠 (2.21)
TS = 𝑆𝐷1
𝑆𝐷𝑆 (2.22)
Nilai untuk masing-masing parameter desain terkait dengan gaya yang ditinjau,
termasuk simpangan antar lantai tingkat, gaya dukung, dan gaya elemen
struktur individu untuk masing-masing ragam dan spektrum respon dibagi
dengan kuantitas (R/Ie). Nilai R dan Ie dapat dilihat pada Lampiran B. Grafik
respon spektrum desain dapat dilihat pada Gambar 2.9.
19
8. Prosedur kombinasi orthogonal (pasal 7.5.3, SNI 1726:2012)
Pengaruh beban paling kritis akibat arah penerapan gaya gempa pada struktur
dianggap terpenuhi jika komponen dan pondasinya didesain untuk memikul
kombinasi beban-beban yang ditetapkan berikut : 100 persen gaya untuk satu
arah ditambah 30 persen gaya arah tegak lurus.
9. Berat seismik efektif (pasal 7.7.2, SNI 1726:2012)
Berat seismik efektif struktur (W) harus menyertakan seluruh beban mati dan
minimum sebesar 25 persen beban hidup lantai (beban lantai di garasi publik
dan struktur parkiran terbuka serta beban penyimpanan yang tidak melebihi 5
persen dari berat seismik efektif lantai, tidak perlu disertakan).
2.8 Kombinasi Pembebanan
Berdasarkan SNI 1727:2013, struktur, komponen dan pondasi harus
dirancang sedemikian rupa sehingga kekuatan desainnya sama atau melebihi efek
dari beban terfaktor. Kombinasi beban terfaktor yang digunakan dalam metode
desain kekuatan adalah sebagai berikut :
1. 1,4D (2.23)
2. 1,2D + 1,6L +0,5 (Lr atau S atau R) (2.24)
3. 1,2D + 1,6 (Lr atau S atau R) + ( L atau 0,5W) (2.25)
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R) (2.26)
5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S (2.27)
Gambar 2.9 Spektrum respon desain
Sumber : BSN (2012)
𝑆𝑎 =𝑆𝐷1
𝑇
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆
𝑆𝑎 = 𝑆𝐷𝑆 0,4 + 0,6𝑇
𝑇0
20
6. 0,9D + 1,0W (2.28)
7. 0,9D + 1,0E (2.29)
Keterangan :
D : beban mati
E : beban gempa
L : beban hidup
Lr : beban hidup atap
R : beban hujan
S : beban salju
W : beban angin
Berdasarkan SNI 1726:2012, pengaruh gempa E pada persamaan 2.27 dan
persamaan 2.29 harus ditentukan sebagai berikut :
E = Eh + Ev
= ρQE + 0,2.SDS.D (2.30)
E = Eh - Ev
= ρQE - 0,2.SDS.D (2.31)
Persamaan 2.30 disubtitusikan ke persamaan 2.27 dan persamaan 2.31
disubtitusikan ke persamaan 2.29 sehingga diperoleh kombinasi untuk beban
gempa sebagai berikut :
(1,2 + 0,2 SDS)D + 1,0(ρQE) + L + 0,2S (2.32)
(0,9 - 0,2 SDS)D + 1,0(ρQE) (2.33)
Keterangan :
Eh : pengaruh gempa horizontal
Ev : pengaruh gempa vertikal
ρ : faktor redudansi, diambil 1,3 (pasal 7.3.4.2, SNI 1726:2012)
QE : pengaruh gaya gempa horizontal dari V atau Fp
SDS : parameter percepatan spektral desain pada periode pendek
2.9 Batasan Simpangan Antar Lantai Tingkat
Simpangan antar lantai tingkat desain (∆) tidak boleh melebihi simpangan
antar lantai tingkat ijin (∆a). Batasan simpangan antar lantai tingkat ijin dari
beberapa jenis sistem struktur ditunjukkan pada Tabel 2.5.
21
2.10 Perilaku Struktur Terhadap Beban Gempa
Akibat pengaruh beban gempa rencana, struktur bangunan yang
direncanakan harus masih dalam keadaan berdiri, tetapi sudah mencapai kondisi di
ambang keruntuhan. Perilaku struktur sebelum mencapai ambang keruntuhan
sangat dipengaruhi oleh kekuatan, kekakuan dan tingkat daktilitas dari struktur
yang direncanakan. Dalam keadaan normal parameter kekuatan dan kekakuan
struktur sangat penting untuk menjaga stabilitas bangunan, tetapi di bawah
pengaruh beban gempa daktilitas struktur sangat penting untuk menjaga agar
struktur tidak runtuh secara mendadak saat menerima beban gempa.
Untuk menghindari keruntuhan total pada struktur yang direncanakan
maka diperlukan mekanisme keruntuhan struktur yang aman. Berdasarkan lokasi
terbentuknya sendi plastis pada elemen struktur maka ada dua tipe mekanisme
keruntuhan yang biasanya terjadi, yaitu (Indarto, 2013) :
a. Mekanisme keruntuhan pada balok, yaitu keadaan dimana sendi-sendi plastis
terbentuk pada balok dari struktur bangunan, baru kemudian diikuti dengan
keruntuhan pada kolom struktur (strong column-weak beam).
b. Mekanisme keruntuhan pada kolom, yaitu keadaan dimana sendi-sendi plastis
terbentuk pada kolom dari bangunan pada suatu tingkat kemudian baru diikuti
dengan keruntuhan balok (strong beam-weak column).
Mekanisme keruntuhan pada struktur gedung diperlihatkan pada Gambar 2.10.
Tabel 2.5 Simpangan antar lantai tingkat ijin
Sumber : SNI 1726:2012 (2012)
22
2.10.1 Daktilitas Struktur
Daktilitas adalah kemampuan struktur untuk mengalami deformasi
inelastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa
sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup sehingga tidak terjadi
keruntuhan secara mendadak pada struktur. Tingkat daktilitas merupakan
perbandingan antara simpangan maksimum struktur sebelum mengalami
keruntuhan (δm) dengan simpangan struktur pada saat terjadinya leleh pertama
(δy). Tingkat daktilitas struktur dapat dibedakan menjadi 3 yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat 1 (struktur elastis), yaitu dimana struktur diproporsikan sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi persyaratan penyelesaian detail struktur yang
ringan dimana struktur akan merespon terhadap gempa secara elastik.
2. Tingkat 2 (daktilitas parsial), yaitu dimana struktur diproporsikan sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi persyaratan penyelesaian detail struktur secara
khusus, dimana struktur dapat merespon terhadap gempa secara elastik tanpa
mengalami keruntuhan getas.
3. Tingkat 3 (daktilitas penuh) yaitu dimana struktur di proporsikan sedemikian
rupa, sehingga dengan memenuhi persyaratan penyelesaian detail struktur yang
lebih rinci, struktur mampu merespon gempa kuat secara inelastik sambil
mengembangkan sendi plastis di dalam balok – baloknya dengan kapasitas
Gambar 2.10 Mekanisme leleh pada struktur gedung
(a) mekanisme leleh pada balok, (b) mekanisme leleh pada kolom
Sumber : Indarto (2013)
(a) (b)
Sendi plastis
pada kolom
Sendi plastis
pada balok
23
Taraf Kinerja Sturktur Gedung R
Elastik Penuh 1 1,60
1,5 2,40
2 3,20
2,5 4,00
3 4,80
3,5 5,60
4 6,40
4,5 7,20
5 8,00
Daktail Penuh 5,3 8,50
Daktail Parsial
pemancaran energi yang baik tanpa mengalami keruntuhan. Daktilitas struktur
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1 < 𝜇 = 𝛿𝑚
𝛿𝑦 (2.34)
Dalam persamaan 2.34, 𝜇 = 1 adalah tingkat daktilitas untuk struktur yang
berperilaku elastis penuh. Parameter daktilitas untuk struktur gedung ditunjukkan
pada Tabel 2.6.
2.11 Kinerja Struktur
Pada proses perencanaan stuktur, evaluasi terhadap kinerja struktur sangat
penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sasaran dari kinerja stuktur yang
direncanakan dapat dinyatakan secara jelas, sehingga penyewa, pemilik, asuransi,
pemerintah atau penyandang dana mempunyai kesempatan untuk menetapkan level
kinerja yang dipilih. Ketetapan tersebut nantinya akan digunakan oleh perencana
sebagai pedoman dalam perencanaannya. Sasaran kinerja terdiri atas kejadian
gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard) dan taraf kerusakan yang
diijinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian
gempa tersebut. Menurut FEMA (1997) yang menjadi acuan klasik untuk
perencanaan berbasis kinerja adalah level kinerja bangunan yang terdiri atas :
1. Operational Level
Tidak terjadi kerusakan struktural maupun non struktural pada bangunan.
Kemungkinan terjadi sedikit kerusakan utilitas pada bangunan dan beberapa
sistem yang tidak terlalu penting tidak berfungsi. Bangunan memiliki risiko
Tabel 2.6 Daktilitas struktur
Sumber : SNI 03-1726-2002 (2002)
24
yang sangat rendah terhadap keselamatan jiwa. Bangunan yang berada di lokasi
dengan tingkat gempa rendah harus dapat memenuhi atau melampaui level ini.
2. Immediate Occupancy Level
Bangunan yang memiliki level kinerja ini diharapkan untuk meminimalisir atau
tidak ada kerusakan yang terjadi pada elemen struktur dan hanya terjadi
kerusakan ringan pada elemen non struktur. Setelah terjadi gempa bangunan
dapat langsung difungsikan kembali (reoccupy) tetapi tetap memerlukan
beberapa perbaikan, pembersihan dan menunggu pemulihan layanan utilitas.
Bangunan ini memiliki risiko terhadap keselamatan jiwa yang sangat rendah.
3. Life Safety
Pada level kinerja ini, terjadi kerusakan pada elemen struktural dan non
struktural sehingga diperlukan perbaikan sebelum bangunan dapat difungsikan
kembali. Walaupun terjadi kerusakan pada beberapa elemen struktur, tetapi
keselamatan penghuni gedung tetap terjamin.
4. Collapse Prevention
Bangunan yang berada pada level kinerja ini dapat menimbulkan bahaya yang
signifikan terhadap keselamatan jiwa penghuni akibat adanya kegagalan
komponen non struktural tetapi karena bangunan tidak langsung runtuh maka
kerugian yang besar dapat dihindari.
Tabel 2.7 Level kinerja bangunan
Sumber : FEMA 273 (1997)
25
Berdasarkan Tabel 2.8, level kinerja struktur dapat ditentukan dengan
menghitung roof drift ratio pada saat target perpindahan tercapai. Roof drift ratio
adalah perbandingan antara perpindahan yang terjadi pada atap dengan tinggi total
bangunan (ATC 40, 1996). Besarnya perpindahan atap (roof drift) dapat diperoleh
setelah melakukan analisis statik nonlinear pushover pada model struktur.
Penentuan nilai roof drift ratio dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Tabel 2.8 Level kinerja struktur
Sumber : FEMA 273 (1997)
Gambar 2.11 Roof drift ratio pada struktur
Sumber : ATC 40 (1996)
26
2.12 Analisis Statik Nonlinear Pushover
Analisis statik nonlinear pushover merupakan prosedur khusus yang
digunakan untuk mendesain struktur berbasis kinerja di bawah pengaruh beban
seismik (CSI, 2013). Menurut Dewobroto (2005) analisis pushover dilakukan
dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian
secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali, sampai satu target perpindahan
lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah titik pada atap,
atau lebih tepat lagi adalah pusat massa atap. Analisis pushover akan menghasilkan
sebuah grafik/kurva yang menggambarkan hubungan gaya geser dasar (V) dengan
perpindahan yang terjadi pada titik kontrol (δ).
Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum
mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Tujuan analisis
pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi
serta untuk memperoleh informasi bagian kritis dari elemen struktur. Selanjutnya
dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk
pendetailan atau stabilitasnya. Cukup banyak studi menunjukkan bahwa analisis
statik pushover dapat memberikan hasil mencukupi (ketika dibandingkan dengan
hasil analisis dinamik nonlinier) untuk bangunan regular dan tidak tinggi. Analisis
pushover dapat digunakan sebagai alat bantu untuk perencanaan tahan gempa,
asalkan menyesuaikan dengan keterbatasan yang ada, yaitu :
1. Hasil analisis pushover masih berupa suatu pendekatan, karena bagaimanapun
perilaku gempa yang sebenarnya adalah bersifat bolak-balik melalui suatu
siklus tertentu, sedangkan sifat pembebanan pada analisis pushover adalah
statik monotonik.
2. Pemilihan pola beban lateral yang digunakan dalam analisis adalah sangat
penting.
3. Untuk membuat model analisis nonlinear akan lebih rumit dibanding model
analisis linear. Model tersebut harus memperhitungkan karakteristik inelastik
beban-deformasi dari elemen-elemen yang penting dan efek P-Δ.
Analisis pushover dilakukan dengan memberikan beban lateral pada pola
tertentu sebagai simulasi beban gempa, dan harus diberikan bersama-sama dengan
pengaruh kombinasi beban mati dan tidak kurang dari 25% dari beban hidup yang
27
disyaratkan, selanjutnya beban tersebut harus diberikan secara bertahap dalam satu
arah (monotonik). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami leleh
di satu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Urutan terjadinya leleh ini berkaitan
dengan urutan terbentuknya sendi plastis pada masing-masing elemen struktur.
Sendi plastis akan terus bermunculan hingga batas deformasi pada struktur tercapai.
Secara umum, tahapan dari analisis statik non linear pushover adalah sebagai
berikut (Dewobroto, 2005) :
1. Menentukan titik kontrol untuk memantau besarnya perpindahan yang terjadi
pada struktur yang akan digunakan untuk menyusun kurva pushover.
2. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya
lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga
diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang
terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka perlu
dibuat beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk mendapatkan
kondisi yang paling menentukan. Bentuk kurva pushover ditunjukkan pada
Gambar 2.12.
3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).
Titik kontrol didorong sampai batas perpindahan tersebut, yang mencerminkan
perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang
ditentukan.
4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target
perpindahan merupakan hal utama dari perencanaan barbasis kinerja.
Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika
Gambar 2.12 Kurva pushover
Sumber : Dewobroto (2005)
28
memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan
deformasi maupun kekuatan.
2.12.1 Mekanisme Sendi Plastis
Pada analisis pushover, struktur didorong sampai mengalami keruntuhan
dengan pola beban lateral tertentu. Menurut Dewobroto (2005) pola beban lateral
yang harus diberikan pada model struktur dalam proporsi yang sama dengan
distribusi gaya inersia sebidang dengan diafragma lantai, dimana untuk analisis pola
pembebanan terdiri atas dua jenis. Berikut ini adalah pola pembebanan yang dapat
digunakan :
1. Distribusi gaya lateral yang diberikan adalah sama dengan pola ragam
fundamental pada arah yang ditinjau, jika sedikitnya 75% massa dapat
diantisipasi pada ragam tersebut.
2. Besarnya pola distribusi gaya lateral yang kedua adalah proporsional dengan
total massa tiap lantai. Pola ini berbentuk beban merata sepanjang tinggi lantai.
Pola keruntuhan menunjukkan tahapan terjadinya sendi plastis pada
elemen-elemen struktur seperti pada balok, breising, dan kolom. Pada struktur
rangka pemikul momen, sendi plastis hanya diperbolehkan terjadi pada balok
(mekanisme balok) dan ujung bawah kolom lantai dasar atau ujung kolom atas
lantai teratas. Oleh karena itu, perlu diterapkan konsep “strong column weak beam”
agar dipastikan terjadinya sendi plastis hanya pada elemen balok saja (mekanisme
balok). Khusus pada model SRBE diharapkan terjadinya sendi plastis dan
keruntuhan terlebih dahulu pada elemen balok link. Adapun keterangan mengenai
karakteristik sendi plastis ditampilkan pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Grafik hubungan gaya vs perpindahan
Sumber : CSI (2013)
29
Kurva diatas menunjukkan hubungan gaya – perpindahan yang bergerak
dari titik A – B – C – D –E. Titik tersebut merepresentasikan karakteristik sendi
plastis yang timbul pada elemen struktur. Titik A adalah titik awal, titik B
menandakan leleh pertama, C menandakan kapasitas ultimate, D adalah kekuatan
sisa (residual strength), dan E menandakan elemen struktur tersebut telah
mengalami keruntuhan (failure). Level kinerja struktur (IO, LS, dan CP) terletak di
antara sendi plastis leleh pertama sampai mencapai batas ultimate-nya.
2.12.2 Idealisasi Kurva Pushover
Berdasarkan FEMA 356 (2000) hubungan nonlinier antara gaya geser
dasar dan perpindahan titik kontrol, dapat diidealisasikan agar mendapatkan
kekakuan efektif Ke dan gaya geser dasar saat leleh Vy pada bangunan seperti
terlihat pada Gambar 2.14 dan Gambar 2.15.
Gambar 2.14 Kurva pushover (positive post-yield slope)
Sumber : FEMA 356 (2000)
Gambar 2.15 Kurva pushover (negative post-yield slope)
Sumber : FEMA 356 (2000)
30
Hubungan ini harus membentuk garis bilinier dengan kemiringan awal Ke
dan kemiringan pasca leleh berupa sudut α. Kekakuan lateral Ke merupakan nilai
secant stiffness yang dihitung dari gaya geser dasar yang mempunyai nilai sama
dengan 60% kuat leleh efektif stuktur. Nilai kekauan elastik Ki didapatkan dari
rumus kesetimbangan statik, dengan mengambil gaya geser dasar gempa yang
terjadi dan simpangan pada saat struktur masih berperilaku elastis, bisa juga nilai
tersebut diambil melalui kurva pushover yang sudah ada pada tiap-tiap model.
Sedangkan kemiringan pasca leleh α, penentuan titik awalnya merupakan
perpotongan garis Ke dengan Vy kemudian penentuan titik garis yang melewati
kurva pushover aktual dan berhenti pada target perpindahan yang telah ditentukan.
Kekuatan geser efektif tidak boleh diambil lebih dari gaya geser maksimum pada
kurva.
2.13 Target Perpindahan
Target perpindahan (δt) merupakan perpindahan maksimum yang terjadi
pada struktur pada saat dibebani gempa rencana. Untuk mendapatkan perilaku
struktur pasca keruntuhan maka perlu dibuat analisis pushover untuk membuat
kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral titik kontrol sampai
minimal 150% dari target perpidahan. Permintaan membuat kurva pushover sampai
minimal 150% target perpindahan adalah agar dapat dilihat perilaku strukur yang
melebihi kondisi rencananya. Perencana harus memahami bahwa target
perpindahan hanya merupakan rata-rata nilai dari beban gempa rencana. Perkiraan
target perpindahan menjadi kurang benar untuk bangunan yang mempunyai
kekuatan lebih rendah dari spektrum elastis rencana (Dewobroto, 2005). Cara yang
dapat digunakan untuk menentukan target perpindahan adalah prosedur statik
nonlinear (ASCE 41-13 NSP) dan metode spektrum kapasitas (FEMA 440 EL).
2.13.1 Prosedur Statik Nonlinear (ASCE 41-13 NSP)
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan target
perpindahan adalah menggunakan metode koefisien perpindahan dari ASCE 41-13
untuk prosedur statik non-linear. Penyelesaian dilakukan dengan memodifikasi
respons elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan faktor koefisien C0, C1, dan
31
C2 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum (elastis dan inelastis) yang
disebut target perpindahan.
Proses dimulai dengan menetapkan waktu getar efektif (Te) yang
memperhitungkan kondisi inelastis bangunan dan mencerminkan kekakuan linier
dari sistem SDOF ekivalen. Jika diplotkan pada spektrum respons elastis akan
menunjukkan percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi puncak
(Sa) versus waktu getar (T). Redaman yang digunakan selalu 5% yang mewakili
level yang diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respons pada daerah
elastis. Puncak perpindahan spektra elastis (Sd) berhubungan langsung dengan
akselerasi spektra (Sa) dengan hubungan berikut:
𝑆𝑑 = (𝑇𝑒2
4𝜋2 𝑆𝑎) (2.35)
Selanjutnya target perpindahan pada titik kontrol (δt) ditentukan sebagai
berikut (ASCE, 2013) :
𝛿𝑡 = 𝐶0. 𝐶1. 𝐶2. 𝑆𝑎 (𝑇𝑒2
4𝜋2 ) 𝑔 (2.36)
Dimana :
Te : waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi elastik.
C0 : faktor modifikasi yang menghubungkan nilai spektral perpindahan
ekivalen struktur Single Degree of Freedom (SDOF) dengan
perpindahan pada atap dari struktur Multi Degree of Freedom
(MDOF) berdasarkan Tabel 7-5 ASCE 41-13.
C1 : faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik
maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik
linier.
C1 = 1,0 untuk T > 1,0 detik (2.37a)
C1 = 1 + 𝜇𝑠𝑡𝑟𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ−1
𝛼𝑇𝑒2 untuk T < 0,2 detik (2.37b)
α : faktor kelas situs
α = 130, untuk kelas situs A atau B (2.38a)
α = 90, untuk kelas situs C (2.38b)
α = 60, untuk kelas situs D, E atau F (2.38c)
μstrength : rasio elastik antara kekuatan perlu dengan kekuatan leleh.
𝜇𝑠𝑡𝑟𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ = 𝑆𝑎
𝑉𝑦𝑊⁄. 𝐶𝑚 (2.39)
32
C2 : koefisien untuk memperhitungkan efek “pinching” dari hubungan
beban deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan.
C2 = 1,0, untuk T > 0,7 detik (2.40a)
C2 = 1 +1
800(𝜇𝑠𝑡𝑟𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ−1
𝑇𝑒)2
, untuk T ≤ 0,7 detik (2.40b)
Ts : waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons
spektrum pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi
konstan ke bagian kecepatan konstan.
Sa : akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu
getar alami efektif pada arah yang ditinjau.
Vy : gaya geser dasar pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover
menjadi bilinier
W : berat seismik efektif struktur
Cm : faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 7-4 ASCE 41-13.
g : percepatan gravitasi
2.13.2 Metode Spektrum Kapasitas (FEMA 440 EL)
Metode spektrum kapasitas (capacity spectrum method) menggambarkan
hubungan dua kurva yang disebut spektrum, yaitu spektrum kapasitas (capacity
spectrum) dan demand spectrum. Spektrum kapasitas menggambarkan kapasitas
struktur yang berupa hubungan gaya dorong total atau gaya geser dasar (base shear)
dengan perpindahan lateral struktur pada titik kontrol. Demand spectrum
menggambarkan besarnya tuntutan kinerja (demand) akibat gempa dengan periode
ulang tertentu.
Spektrum kapasitas diperoleh dari kurva kapasitas hasil analisis statik
nonlinear pushover, tetapi kurva kapasitas harus diubah dengan cara tertentu agar
mempunyai satuan yang sama dengan spektrum demand. Hal ini perlu dilakukan
karena kurva kapasitas merupakan hubungan antara gaya dorong total dan
perpindahan dari struktur Mutli Degree of Freedom System (MDOF), sedangkan
spektrum demand dibuat untuk struktur Single Degree of Freedom System (SDOF).
Spektrum kapasitas dan spektrum demand diplotkan ke dalam sebuah kurva dengan
format spektral percepatan (Sa) dan spektral perpindahan (Sd) yang disebut
33
Acceleration-Displacement Respon Spectrum (ADRS). Grafik ADRS ditunjukkan
pada Gambar 2.16.
Berdasarkan FEMA 440 (2005) ada tiga prosedur yang digunakan dalam
penentuan titik kinerja (performance point) dengan menggunakan metode spektrum
kapasitas, yaitu :
1. Prosedur A (Direct Iteration) : Pada prosedur ini dilakukan iterasi langsung
untuk memperoleh titik kinerja. Spektrum demand ADRS yang dihasilkan tidak
dimodifikasi untuk menghasilkan perpotongan dengan spektrum kapasitas.
Penentuan titik kinerja berdasarkan prosedur ini dapat dilihat pada Gambar
2.17.
Gambar 2.16 Kurva ADRS
Sumber : FEMA 440 (2005)
Gambar 2.17 Penentuan titik kinerja dengan prosedur A
Sumber : FEMA 440 (2005)
34
2. Prosedur B (Intersection with MADRS) : Pada prosedur ini, titik kinerja
didefinisikan sebagai titik perpotongan antara spektrum kapasitas dengan
spektrum demand ADRS termodifikasi (MADRS). Spektrum demand MADRS
dihasilkan dengan memodifikasi nilai effective damping spektrum ADRS.
Penentuan titik kinerja berdasarkan prosedur B ditunjukkan pada Gambar 2.18.
3. Prosedur C (MADRS Locus of Possible Performance Points) : Pendekatan ini
menggunakan respon spektrum percepatan termodifikasi untuk beberapa
asumsi penyelesaian dan daktilitas yang sesuai untuk menghasilkan titik kinerja
yang mungkin. Titik kinerja didefinisikan sebagai titik yang tepat berada antara
perpotongan perkiraan titik (locus) dengan spektrum kapasitas. Titik kinerja
berdasarkan prosedur C dapat dilihat pada Gambar 2.19.
Gambar 2.18 Penentuan titik kinerja dengan prosedur B
Sumber : FEMA 440 (2005)
Gambar 2.19 Penentuan titik kinerja dengan prosedur C
Sumber : FEMA 440 (2005)
35
2.14 Penelitian Terkait Dengan Penggunaan Breising Pada Struktur Baja
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dilakukan penelitian mengenai
penggunaan breising pada struktur baja. Berikut ini adalah beberapa penelitian
terkait dengan penggunaan breising pada struktur baja khususnya penggunaan
breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik V-terbalik :
2.14.1 Kotabagi et al. (2015)
Penelitian yang dilakukan Kotabagi et al. (2015) bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan berbagai tipe breising konsentrik terhadap
respon struktur akibat beban gempa dan beban angin. Struktur dimodel dan
dianalisis dengan software ETABS 2013. Struktur yang ditinjau adalah struktur
gedung 10 lantai dengan tinggi tingkat 5 meter pada lantai dasar dan 3 meter untuk
lantai diatasnya. Geometri struktur dan hasil analisis dapat dilihat pada Gambar
2.20, Gambar 2.21, dan Gambar 2.22.
V-braced Inverted V X-braced Diagonal 1 Diagonal 2
Gambar 2.20 Model struktur rangka breising konsentrik
Sumber : Kotabagi et al. (2015)
Gambar 2.21 Simpangan struktur arah X dan Y akibat beban gempa
Sumber : Kotabagi et al. (2015)
36
Berdasarkan penelitian ini adapat diketahui bahwa penggunaan breising
dapat mengurangi simpangan yang terjadi pada struktur baik itu akibat beban
gempa maupun beban angin. Dibandingkan dengan tipe breising lain yang
dianalisis pada penelitian ini, breising tipe-X (X-brace) memiliki simpangan
terkecil baik itu akibat beban gempa maupun beban angin.
Penelitian yang dilakukan Kotabagi et al. (2015) selanjutnya akan
dikembangkan lebih lanjut pada tugas akhir ini dengan dengan membandingkan
breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik V-terbalik. Perbandingan
dilakukan tidak hanya terbatas pada simpangan struktur melainkan juga akan
ditinjau perilaku dan kinerja struktur. Struktur yang akan dianalisis berupa gedung
perkantoran dengan denah simetris dan akan dianalisis dengan software ETABS
2015.
2.14.2 Kalibhat et al. (2014)
Kalibhat et al. (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh
penambahan breising konsentrik (breising tipe-X dan tipe V-terbalik) terhadap
kinerja struktur portal baja dengan menggunakan software ETABS 9.7.2. Pada
penelitian ini struktur yang ditinjau adalah portal baja 2D satu bentang dengan
panjang bentang 5 meter dengan tinggi tingkat 3 meter. Struktur yang dianalisis
terdiri atas portal 3 lantai, 5 lantai, 7 lantai, dan 10 lantai. Portal yang dianalisis
dapat dilihat pada Gambar 2.23.
Gambar 2.22 Simpangan struktur arah X dan Y akibat beban angin
Sumber : Kotabagi et al. (2015)
37
Untuk mengetahui kinerja dari masing-masing model struktur, maka
dilakukan analisis pushover terhadap semua model struktur. Hasil analisis pushover
dari masing-masing model struktur ditunjukkan pada Gambar 2.24.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa penambahan
breising pada struktur dapat meningkatkan kemampuan struktur dalam memikul
beban gempa dan meningkatkan kekakuan struktur, dimana dalam hal ini breising
konsentrik tipe-X memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan
breising konsentrik tipe V-terbalik. Besarnya gaya gempa (gaya geser dasar) dan
Gambar 2.23 Model struktur 3 lantai dan 5 lantai
Sumber : Kalibhat et al. (2014)
3 story 5 story
10 story 7 story
Gambar 2.24 Grafik perbandingan simpangan vs gaya geser dasar
Sumber : Kalibhat et al. (2014)
38
simpangan atap dari masing-masing tipe breising dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan
Tabel 2.10.
Pada tugas akhir ini akan dilakukan pengembangan terhadap hasil
penelitian yang dilakukan Kalibhat et al. (2014) dengan melakukan analisis
terhadap struktur baja dengan breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik
V-terbalik. Pada tugas akhir ini akan dibahas mengenai pebandingan perilaku dan
kinerja dari struktur baja dengan breising tersebut. Model struktur dibuat dalam
bentuk 3D pada software ETABS 2015, dimana model struktur diasumsikan
sebagai gedung perkantoran yang terletak pada tanah lunak (SE).
2.14.3 Tafheem and Khusru (2013)
Penelitian yang dilakukan oleh Tafheem and Khusru (2013) bertujuan
untuk membandingkan respon struktur terhadap beban gempa dan beban angin pada
struktur baja dengan breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik tipe-V.
Struktur yang ditinjau adalah struktur baja 6 lantai dengan dimensi struktur 30 ft x
75 ft dan tinggi tingkat adalah 10 ft. Struktur dimodel dan dianalisis menggunakan
software ETABS 9.6.0. Geometri struktur dan hasil analisis dari penelitian ini
adalah seperti pada Gambar 2.23 dan Gambar 2.24.
Tabel 2.9 Gaya geser dasar masing-masing model struktur
Sumber : Kalibhat et al. (2014)
Tabel 2.10 Simpangan atap (RD) masing-masing model struktur
Sumber : Kalibhat et al. (2014)
39
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa penggunaan
breising dapat mengurangi simpangan pada struktur baik akibat beban angin
maupun beban gempa. Breising konsentrik tipe-X memiliki kekakuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan breising eksentrik tipe-V dimana breising konsentrik
tipe-X mengurangi simpangan sebesar 87% sedangkan breising eksentrik tipe-V
mengurangi simpangan sebesar 48%.
Pada tugas akhir ini akan dilakukan pengembangan terhadap hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Tafheem and Khusru (2013) dengan dengan
membandingkan breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik V-terbalik.
Perbandingan dilakukan tidak hanya terbatas pada simpangan struktur melainkan
juga akan ditinjau perilaku dan kinerja struktur. Struktur yang akan dianalisis
berupa gedung perkantoran 7 lantai dengan denah simetris yang berukuran 18 m x
18m dan akan dianalisis dengan software ETABS 2015.
Gambar 2.25 Portal arah X model struktur breising tipe-X dan tipe-V
Sumber : Tafheem and Khusru (2013)
Gambar 2.26 Grafik simpangan struktur arah Y dan arah X
Sumber : Tafheem and Khusru (2013)
40
2.14.4 Sudarsana, dkk. (2015)
Penelitian yang dilakukan Sudarsana, dkk. (2015) bertujuan untuk
mengetahui perbandingan efisiensi antara struktur baja dengan Sistem Rangka
Pemikul Momen Khusus (SRPMK) dan struktur baja dengan Sistem Rangka
Bresing Eksentrik (SRBE) pada level kinerja yang sama yaitu Life Safety. Struktur
yang ditinjau terdiri atas struktur SRPMK dan SRBE (V-terbalik) 4 lantai, 7 lantai,
dan 10 lantai dengan tinggi antar tingkat adalah 4 meter. Struktur difungsikan
sebagai gedung perkantoran dengan ukuran denah 30x18 meter. Untuk mengetahui
kinerja dari masing-masing model struktur, maka dilakukan analisis pushover
terhadap semua model struktur dengan bantuan software SAP 2000 v.15. Portal
struktur dan hasil analisis dari masing-masing model struktur ditunjukkan pada
Gambar 2.27, Gambar 2.28, dan Gambar 2.29.
Gambar 2.28 Grafik pushover masing-masing model struktur
Sumber : Sudarsana, dkk. (2015)
Gambar 2.27 Portal struktur SRPMK dan SRBE
Sumber : Sudarsana, dkk. (2015)
Struktur 4 Lantai
Struktur 10 Lantai
Struktur 7 Lantai
41
Hasil analisis menunjukkan bahwa SRPMK memiliki nilai berat total
material baja yang lebih besar dari SRBE pada level kinerja Life Safety. Pada
struktur 4, 7, dan 10 tingkat, SRPMK akan lebih berat berturut-turut sebesar
29,70%, 26,42%, dan 19,68% dibandingkan dengan SRBE. Semakin tinggi tingkat
gedung, perbedaan berat struktur semakin berkurang. Disamping itu, SRPMK juga
memiliki nilai target perpindahan dan gaya geser seismik yang lebih besar dari
SRBE baik pada Arah sumbu X maupun Y pada saat dicapainya level kinerja Life
Safety.
Penelitian yang dilakukan Sudarsana, dkk. (2015) akan dikembangkan
lebih lanjut dengan melakukan perbandingan perilaku dan kinerja struktur rangka
baja dengan breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik V-terbalik. Model
struktur dibuat dalam bentuk 3D pada software ETABS 2015, dimana model
struktur diasumsikan sebagai gedung perkantoran yang terletak pada tanah lunak
(SE). Namun pada tugas akhir ini tidak dibahas perbandingan efisiensi penggunaan
material baja struktur baja dengan breising konsentrik tipe-X dan breising eksentrik
V-terbalik.
2.14.5 Pradhana (2014)
Pradhana (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
variasi L/H terhadap perilaku dan kinerja Struktur Rangka Breising Eksentrik
(SRBE) tipe V-terbalik dengan panjang link beam adalah 300 mm. L adalah panjang
bentang dan H adalah tinggi tingkat. Struktur ditinjau adalah gedung 10 lantai yang
dimodelkan dan dianalisis dengan bantuan software SAP 2000. Model struktur yang
Gambar 2.29 Grafik perbandingan berat masing-masing model struktur
Sumber : Sudarsana, dkk. (2015)
42
dibuat terdiri atas Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) dengan sambungan
kaku, model SRBE dengan L/H bervariasi dari 1,25, 1,50, dan 1,75 dengan
sambungan sendi dan SRBE dengan sambungan kaku. Model struktur dan hasil
analisis ditunjukkan pada Gambar 2.30 dan Gambar 2.31.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa struktur SRBE L/H = 1,75
memiliki kekakuan dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur
SRBE dengan variasi L/H yang lainnya. Namun dilihat dari mekanisme
terbentuknya sendi plastis struktur SRBE L/H = 1,75 tidak menunjukkan
mekanisme keruntuhan yang baik, dimana sendi plastis terjadi pada kolom lantai
dasar bagian atas. Pada variasi L/H yang sama yaitu 1,50, struktur yang
Gambar 2.31 Grafik pushover struktur SRPM dan SRBE dengan L/H bervariasi
Sumber : Pradhana (2014)
Gambar 2.30 Model struktur SRPM dan SRBE dengan L/H bervariasi
Sumber : Pradhana (2014)
43
menggunakan sambungan kaku pada hubungan balok kolom memiliki kekakuan
dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur dengan sambungan
sendi.
Pada tugas akhir ini akan dilakukan pengembangan terhadap hasil
penelitian yang dilakukan Pradhana (2014). Pada tugas akhir ini akan dibahas
mengenai perbandingan perilaku yang terdiri atas simpangan, kekakuan, kekuatan,
dan daktilitas serta kinerja struktur rangka baja dengan breising konsentrik tipe-X
dan breising eksentrik V-terbalik pada nilai L/H 1,50. Model struktur diasumsikan
sebagai gedung perkantoran 7 lantai yang berada pada kondisi tanah lunak (SE) dan
dianalisis dengan software ETABS 2015. Sambungan balok kolom pada model
diasumsikan sebagai sambungan momen.
2.14.6 Tama (2013)
Tama (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui kinerja struktur baja
dengan Sistem Rangka Breising Eksentrik (SRBE) tipe V-terbalik dengan panjang
link (e) yang bervariasi. Struktur yang ditinjau adalah struktur gedung 10 lantai
dengan dengan tinggi antar tingkat adalah 4 meter dan panjang bentang balok pada
arah X maupun Y adalah 6 m. Struktur dimodelkan dan dianalisis dengan bantuan
software SAP 2000. Model struktur terdiri atas Sistem Rangka Pemikul Momen
(SRPM) sebagai acuan, model SRBE dengan panjang link 500 mm, 400 mm, dan
300 mm serta model dengan panjang link 0 mm atau model Sistem Rangka Breising
Konsentrik (SRBK). Untuk mengetahui kinerja dari masing-masing model struktur,
maka dilakukan analisis pushover terhadap semua model struktur. Model struktur
dan hasil analisis pushover dapat dilihat pada Gambar 2.32 dan Gambar 2.33.
Gambar 2.32 Model struktur SRPM, SRBE, dan SRBK
Sumber : Tama (2013)
44
Penelitian yang dilakukan pada tugas akhir ini menggunakan penelitian
yang telah dilakukan Tama (2013) sebagai salah satu acuan, dimana diperoleh
bahwa model SRBE memiliki kinerja yang terbaik dengan panjang link 300 mm
pada perbandingan nilai L/H adalah 1,50. Hal ini dilihat dari pola keruntuhan
dimana kelelehan pertama terjadi pada link dan jumlah terjadinya sendi plastis pada
level E paling sedikit. Selanjutnya pada tugas akhir ini dilakukan pengembangan
dengan membandingkan perilaku dan kinerja struktur rangka baja dengan breising
eksentrik V-terbalik dan struktur baja dengan breising konsentrik tipe-X. Model
struktur diasumsikan sebagai gedung perkantoran 7 lantai yang berada pada kondisi
tanah lunak (SE) dan dianalisis dengan software ETABS 2015. Sambungan balok
kolom pada model diasumsikan sebagai sambungan momen.
Gambar 2.33 Grafik pushover struktur SRPM dan SRBE dengan e bervariasi
Sumber : Tama (2013)
Recommended