View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
134
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN SEGREGATIF
KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM
DI ERA KOLONIAL BELANDA
A. Pelapisan Kelembagaan Pendidikan,
Krisis Ekonomi, dan Kebijakan Subsidi
Salah satu konsekuensi dari keluarnya kebijakan pembentukan Departemen
Pendidikan dan Pengajaran (Departement vaan Onderwijs en Eeredienst) dan Kantor
Urusan Bumiputra (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yang memiliki otonomi
masing-masing adalah semakin menguatnya pelapisan dalam kelembagaan
pendidikan dengan peruntukan keturunan Boemipoetra di Hindia Belanda. Jika
sebelumnya, lekatnya pelapisan lebih terkait dengan antar lembaga pendidikan atau
sekolah milik pemerintah (negeri), maka dalam perkembanganya, pelapisan juga
menyentuh pada sekolah-sekolah partikelir (swasta). Meskipun sama-sama berstatus
partikelir, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending Kristen dan Missi Katholik
lebih beruntung dengan mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah kolonial.
Sebaliknya, dimata pemerintah kolonial, tepatnya pada era sebelum pemberlakuan
kebijakan politik etis, tidak satu pun lembaga pendidikan Islam mendapatkan status
yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir (swasta) Zending dan Missi.
Dengan tidak adanya pengakuan dari pemerintah kolonial, lembaga-lembaga
pendidikan Islam tidak pernah tersentuh oleh bantuan finansial (subsidi) dari
pemerintah kolonial. Secara politik, pemberian subsidi bukan saja merepresentasikan
bentuk dukungan pemerintah terhadap keberlanjutan lembaga –lembaga pendidikan
partikelir yang menerima. Lebih dari itu, pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
135
partikelir sekaligus merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap status
sekolah-sekolah tersebut. Sekolah-sekolah partikelir bersubsidi berarti berstatus
diakui dan menjadi bagian dari sistem pendidikan Hindia Belanda.
Secara historis, subsidi pendidikan mulai menjadi perbincangan serius
dikalangan elit pemerintah kolonial, ketika ekonomi Hindia Belanda memburuk
akibat krisis gula yang terjadi pada tahun 1884 dan 1893.1 Bukan hanya gula, seluruh
industri di Hindia Belanda nyaris mengalami kebangkrutan, sehingga berpengaruh
sangat besar bagi perekonomian maupun pendapatan pemerintah saat itu.
Konsekuensinya, pemerintah kolonial melakukan pengeluaran dengan disertai
pengetatan atau perampingan anggaran besar-besaran diberbagai sektor publik,
termasuk didalamnya, sektor pendidikan.
Setidaknya terdapat dua faktor penting yang mendorong terjadinya krisis
industri gula di Hindia Belanda. Fakta yang pertama adalah, ketika Eropa yang saat
itu menjadi pangsa pasar terbesar gula dari Hindia Belanda, sebagian besar beralih
ke gula bit (beet sugar).2 Konsekuensinya, Hindia Belanda mengalami surplus gula,
karena semakin mengecilnya permintaan dari Negara-negara konsumen. Kondisi ini
diperparah oleh faktor kedua, yaitu serangan hama mulai menyerang tanaman tebu di
Cirebon, lalu menyebar ke arah timur dan mencapai ujung timur pulau Jawa pada
tahun 1892.3
1 S. Nasution, Sejarah Pendidikan (Bandung: Penerbit Jemmars, 1983), 14.
2 Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), 125. 3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),
270.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
136
Krisis gula berkelindan dengan krisis disektor industri perkebunan lainnya,
terutama kopi dan tembakau. Seperti halnya industri gula, pada awalnya industri
kopi dan tembakau mengalami perkembangan pesat dan memberikan keuntungan
besar bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terutama antara tahun 1870-1885,
keuntungan besar diperoleh paska dibukanya Terusan Suez pada 1869, sehingga
biaya pengangkutan hasil produksi semakin efisien. Seperti dicatat oleh
Poesponegoro dan Notosusanto, pembukaan Terusan Suez “sangat mengurangi jarak
antara negara penghasil tanaman-tanaman dagang ini dan pasaran dunia yang
terpenting di Eropa Barat.4
Sama halnya yang terjadi dalam industri gula, harga kopi juga anjlok
dipasaran dunia pada tahun 1885. Demikian pula, harga tembakau juga menurun
tajam pada tahun 1891.5 Ditengah menurunnya harga di pangsa pasar global,
perkebunan kopi terhimpit masalah serius dengan munculnya hama daun kopi yang
sudah mulai meluas sejak tahun 1878. Pada saat yang sama, “tidak adanya paksaan
terhadap tenaga kerja dan harga yang menarik, maka hasil kopi pun merosot”.6
Produksi tembakau juga cenderung menurun, terutama di Karesidenan Besuki yang
terletak di Jawa bagian timur paska berakhirnya sistem paksa.7
Krisis industri perkebunan yang sebelumnya menjadi andalan penopang
pendapatan pemerintah kolonial memiliki konsekuensi serius bagi perekonomian
Hinda Belanda. Menarik sekali uraian Parakitri,
4 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.
5 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.
6 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 270-271.
7 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
137
“Dengan berkurangnya peranan gula sejak resesi dunia pada 1884, hampir
semua usaha yang berkaitan dengannya (economic linkage) ikut pula susut.
Sebaliknya, tembakau, teh, sawit, dan karet, maupun minyak bumi dan timah,
yang berkembang di luar Jawa, tak dapat melahirkan kaitan ekonomis yang
sama kayanya. Karet, tembakau, sawit, dan teh, berbeda dengan gula, dapat
dikembangkan dengan teknologi yang kecanggihannya jauh lebih rendah.
Sebaliknya, pertambangan menuntut teknologi yang jauh lebih canggih,
sehingga berada diluar keperluan maupun kemampuan perekonomian
rakyat”.8
Pada pertengahan hingga paruh akhir tahun 1880-an, Hindia Belanda benar-benar
mengalami depresi ekonomi. Pemasukan dari perusahaan-perusahaan perkebunan
tidak lagi dapat diharapkan, karena sebagian besar telah mengalami kebangkrutan.9
Bahkan, sebagian besar perusahaan-perusahaan tersebut disita dan diambil alih
kuasanya oleh Bank-Bank Perkebunan (Cultuurbanken) dan perusahaan-perusahaan
besar.10
Sementara, pemerintah kolonial juga tidak memungkinkan untuk
mendapatkan sumber-sumber keuangan dari penduduk Hindia Belanda, yang saat itu
juga terpukul dan terkena dampak serius akibat krisis ekonomi.
Akibat depresi ekonomi, pemerintah kolonial menempuh kebijakan
memperketat, merampingkan, dan mengurangi alokasi anggaran, termasuk untuk
bidang pendidikan. Pengurangan alokasi anggaran memiliki konsekuensi serius
terhadap perkembangan pendidikan dengan peruntukan anak-anak keturunan
Boemipoetra. Depdikbud menggambarkan,
“Pemerintah mulai menangani dengan serius pendidikan Bumiputra sejak
tahun 1948 dan semenjak itu berkembang dengan pesat sampai tahun 1882.
Tahun berikutnya yaitu 1883, Belanda termasuk Hindia Belanda mengalami
masa sulit karena pengaruh dari tahun-tahun “malaise” yang berlangsung
8 Parakitri, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 167.
9 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 126.
10 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 270.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
138
sampai tahun 1892. akibat dari periode itu, antara lain ialah membuang hal-
hal yang dirasakan tidak perlu dan mencari jalan-jalan baru untuk
mempertahankan yang ada. Personil dimana perlu dikurangi dan bagi yang
masih ada, tata tertib dan disiplin kerja ditingkatkan. Pada tahun-tahun malise
tersebut dilaksanakan kebijakan penghematan besar-besaran dan pendidikan
Bumiputra banyak “menderita” karenanya. Banyak sekolah Pendidikan Guru
(Kweekschool) yang ditutup dan banyak mata pelajaran yang dihapus. Lama
belajar, jumlah murid, tunjangan, dan gaji guru dikurangi. Usia (anak)
sekolah dasar dibatasi sampai umur 17 tahun (sebelumnya ada yang berusia
sampai 26 tahun). Gaji maksimum guru sebelum penghematan berjumlah
f.150,- kemudian diturunkan menjadi f.50,-. Sambil menunggu reorganisasi
yang ternyatan diadakan pada tahun 1893, tidak dibuka sekolah baru sama
sekali”.11
Selain tindakan-tindakan pemerintah diatas, beberapa kebijakan terkait dengan
keberlanjutan pendidikan boemipotra juga dikeluarkan. Salah satu kebijakan yang
dikeluarkan adalah memberikan kewenangan lebih besar atau lebih tepatnya,
mengalihkan tanggung jawab pendidikan (compulsory education) yang sebelumnya
berada ditangan pemerintah kepada masyarakat non pemerintah atau pihak swasta.
Penyerahan penyelenggaraan kepada pihak swasta disertai dengan pemberian
sokongan (subsidi) dari pemerintah. Tentu saja, memberikan subsidi jauh lebih
ringan beban keuangan yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Setelah melalui perdebatan panjang di Parlemen, maka pada tahun 1889
disyahkan Undang-Undang yang salah satu substansinya mengatur tentang
pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah swasta. Dan pada tahun 1890, melalui
ketentuan (Ind.Stb. No. 224), peraturan sebelumnya yang mengatur tentang larangan
11
Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 99. Bandingkan dengan deskripsikan Parakitri, “pada 18
Mei 1884, pemerintah menganggap A.W.P Verkerk Pistorius, tadinya Ajun Inspektur Pendidikan, sebagai
Kepala Proyek Pembaharuan Pendidikan Bumiputra. Dalam waktu singkat, Sekolah Dasar Bumiputra
sudah menghilangkan semua mata pelajaran tambahan (fakultatieve vakken), termasuk bahasa Belanda.
Gaji guru turun dari 75-150 ke 40-70 gulden perbulan, dan jaminan penempatan dihapus. Beberapa
Sekolah Guru malah ditutup: Magelang dan Tondano (1885), Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin
(1893). Nantinya, pada 1895 Sekolah Guru di Makassar juga ditutup. Parakitri, Menjadi Indonesia, 218.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
139
pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah partikelir bercirikan agama juga dicabut
oleh pemerintah kolonial. Dan ini berarti, “prinsip netralitas negatif diganti dengan
netralitas positif”.12
Dengan keluarnya kebijakan baru ini, maka “sejak tahun 1890,
sekolah-sekolah dari berbagai agama, termasuk Islam, yang memenuhi syarat, dapat
mengajukan permohonan subsidi dari pemerintah”.13
Masuknya sekolah-sekolah Islam sebagai bagian dari lembaga-lembaga
pendidikan yang mendapatkan subsidi, pada awalnya diwarnai pro dan kontra.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Otto van Rees (1884-1888) menolak
pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah Islam, dengan alasan “mustahil karena ada
sekitar 17.000 sekolah bercirikan Islam”.14
Alasan keterbatasan anggaran pemerintah
Hindia Belanda yang tidak mungkin “dikorbankan” untuk kepentingan lembaga-
lembaga pendidikan Islam diajukan oleh Sprenger van Eyk saat menjabat Menteri
Jajahan guna mendukung penolakan Gubernur Jenderal tersebut.
“Pada tahun 1888, Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada
sekolah-sekolah Islam, karena campur tangan Gubernur Jendral yang tidak
mau mengorbankan keuangan Negara untuk sekolah-sekolah tersebut, yang
pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang
sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan kita
(Belanda)”.15
Namun, beberapa elit kekuasaan lain memberikan dukungan sepenuhnya terhadap
kemungkinan pemberlakuan subsidi tersebut. Selain itu, Menteri Jajahan yang baru
menggantikan Sprenger van Eyk, yakni L.W.C Keuchenius juga mendukung
12
Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. 13
Nasution, Sejarah Pendidikan, 14. 14
Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. 15
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 6-7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
140
pemberian subsidi bagi sekolah Islam. Demikian pula, W.P Groeneveldt yang
menggantikan posisi Stortenbeker pada tahun 1887 juga menyetujuinya. Secara
serius, Groeneveldt menyakinkan Gubernur Jenderal bahwa, pemberian subsidi bagi
sekolah-sekolah Islam tidak akan menghabiskan keuangan pemerintah dalam jumlah
besar, karena “sedikit sekali sekolah Islam yang bersifat tetap dan mampu memenuhi
syarat subsidi”.16
Kebijakan subsidi ini berkelindan dengan proyek pemerintah kolonial untuk
mengntegrasikan lembaga-lembaga pendidikan partikelir sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional, dan oleh karena itu, mendapatkan perlakuan lebih besar dari
Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Perlakuan bukan saja berkenaan
dengan pembinaan, pengawasan, dan kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan
pembelajaran di sekolah-sekolah partikelir, melainkan juga terkait dengan dukungan
finansial (keuangan). Tak kalah pentingnya, munculnya kebijakan subsidi ini sama
sekali tidak memiliki relasi dan relevansi dengan lembaga-lembaga pendidikan
Islam. Sebaliknya, pemerintah kolonial sadar betul bahwa, pemberian subsidi
semata-mata hanya menguntungkan sekolah-sekolah partikelir milik zending Kristen
maupun Misi Katholik. Selain mendapatkan keuntungan finansial, sekolah-sekolah
partikelir tersebut juga mendapatkan pengakuan legal sebagai bagian yang menjadi
16
Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. Terbukanya peluang mendapat subsidi bagi sekolah-sekolah
Islam juga diuntungkan oleh perubahan peta politik dan kekuasaan di Belanda. Komposisi Parlemen saat
itu mayoritasnya berasal dari koalisi Partai Anti Revolusioner yang Protestan dengan Partai Katolik.
Koalisi dua partai besar ini berhasil menggantikan dominasi partai-partai berhaluan liberal yang dikenal
luas menolak dengan keras pemberian subsidi terhadap sekolah-sekolah bercirikan agama. Selain itu,
Menteri Jajahan Mr. L.W.C Keuchenius yang menggantikan Van Eyk bukan saja sepakat dengan subsidi
pendidikan, melainkan juga “pengecam keras larangan subsidi bagi sekolah Kristen”. Parakitri, Menjadi
Indonesia, 219.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
141
kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pendidikan, Agama, dan
Perindustrian. Aritonang menguraikan,
“The advance of education of education was primarily, and especially the
province of the government, nevertheless the role of the private sector, both
as individuals and organizations, was also recognized. More than that, private
education was valued as an integral part of whole system of Dutch East
Indies education. In actuality, as a result of the new regulations, just the
private sector developed most markedly, especially missionary education,
thanks to the allocation of subsidies”.17
Paparan sebelumnya secara tegas menunjukkan, hanya sekolah-sekolah partikelir
yang memenuhi persyaratan dapat diterima pengajuan untuk mendapatkan subsidi
dari pemerintah. Persyaratan mendapatkan subsidi pada akhir tahun 1980-an ini,
memang tidak seketat pada era pemberlakuan politik etis awal tahun 1900-an. Syarat
yang paling utama untuk mendapatkan subsidi adalah, sekolah-sekolah partikelir
pengusul “mengajarkan huruf latin dengan baik”.18
Dalam bahasa lain dikatakan,
selama sekolah-sekolah partikelir mengajarkan membaca dan menulis huruf latin,
maka dapat mengajukan subsidi dari pemerintah.
Sungguh pun demikian, persyaratan yang sederhana ini sama halnya dengan
menyingkirkan akses lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan
subsidi dari pemerintah. Beberapa studi yang dilakukan oleh L.W.C van den Berg
(1845-1927), J.A. van der Chijs, Soebardi, Karel Steenbrink, dan Martin van
Brunessen menunjukkan bahwa, berbagai lembaga pendidikan Islam yang tumbuh
dan berkembang sebelum abad ke-20, tidak satupun yang mengajarkan huruf latin.
Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan hanya mengajarkan baca tulis al-Qur’an
17
Aritonang, The Encounter, 35. 18
Parakitri, Menjadi Indonesia, 219.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
142
dan kitab-kitab klasik, terutama dalam bidang fikih (hukum Islam), akidah (teologi)
dan tasawuf (mistisisme Islam). Materi-materi pelajaran ini nyaris tidak mengalami
perubahan sejak abad ke-16 hingga berakhirnya abad 19 M. Sebaliknya, sekolah-
sekolah partikelir zending Kristen maupun Missi Katholik yang sejak awal telah
mengajarkan kepada para siswanya tentang membaca dan menulis dengan huruf
latin. Selain, tentu saja, juga mengajarkan mata pelajaran moral atau etika
berdasarkan doktrin-doktrin keagamaan Kristen dan Katholik.
Penyingkiran terhadap kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah
dapat dibaca, sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen
menggulirkan rencana kebijakan tentang perluasan akses pendidikan bagi penduduk
Boemipoetra melalui pendirikan sekolah-sekolah pemerintah yang baru berskala
luas. Salah satu usulan yang muncul saat itu adalah, memasukkan lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Hindia Belanda. Dalam
bahasa lain dapat dikatakan, lembaga-lembaga pendidikan Islam diusulkan agar
dimanfaatkan untuk mengembangkan pendidikan umum bagi penduduk bumiputra,
dan konsekuensinya, keberadaannya secara struktural menjadi bagian dari
Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Namun, usulan yang
mengemuka saat itu, terutama dari elit pemerintah kolonial, menolaknya dengan
tegas dan lebih memilih lembaga-lembaga pendidikan Zending maupun Missi.
Dalam penjelasan lebih luas dapat digambarkan, penyingkiran dapat dirunut
sejak tanggal 8 Maret 1819, ketika Gubernur Jenderal Van der Capellen
mengeluarkan keputusan berisikan agar diadakan penelitian menyeluruh di Jawa.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
143
Fokus penelitian terkait dengan pendidikan masyarakat Boemipoetra di Jawa yang
hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan merumuskan kebijakan tepat bagi
peningkatan baca dan tulis dikalangan penduduk Boemipoetra melalui lembaga
pendidikan. Penelitian, pada saat yang sama, juga diarahkan untuk menelusuri
“apakah sebaiknya guru yang ada dimanfaatkan dan diberi motivasi melalui
peraturan yang sesuai, atau perlu menciptakan suatu keadaan yang berbeda sama
sekali”.19
Namun, tanpa argumen yang jelas, hasil penelitian diabaikan begitu saja oleh
pemerintah kolonial. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, keputusan untuk
menyelidiki lembaga pendidikan pribumi, termasuk didalamnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebagai bagian dari pembukaan akses pendidikan kepada penduduk
Boemipoetra, tidak lebih “hanya sekedar menghasilkan laporan-laporan resmi
pemerintah mengenahi kondisi pesantren”.20
Pemerintah kolonial nampak tidak
ingin, enggan atau gamang untuk menempatkan lembaga pendidikan Islam sebagai
pilar penting penyediaan akses pembalajaran bagi penduduk Boemipoetra, sehingga
hasil penyelidikan diabaikan begitu saja.
19
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 1. Namun, Steenbrink juga melaporkan bahwa,
penelitian dengan menyebarkan angket berisikan daftar pertanyaan mengenahi fokus penelitian diatas dan
diberikan kepada seluruh Residen tidak menghasilkan data sesuai harapan pemerintah kolonial. Hanya 12
Residen yang mengisi dan memberikan jawaban, dan mereka “hanya 12 orang (Residen) saja yang
memberikan jawaban”. Selain itu, laporan juga menguraikan “adanya beberapa orang juru tulis yang
memberikan pelajaran bahasa dan huruf arab, jawa atau latin”. Dan narasi terpenting dalam laporan
penelitian adalah “adanya pendidikan agama Islam dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan
lembaga pendidikan paling penting diantara orang-orang Jawa”. Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan
Sekolah, 1-2. 20
Yudi Lathif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-
20 (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), 109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
144
Keengganan pemerintah kolonial untuk memasukkan lembaga pendidikan
Islam (pesantren) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan Hindia Belanda
diperkuat oleh J.A. van der Chijs. Sejak awal, ia dikenal sebagai pejabat tinggi
pemerintah kolonial yang secara tegas menolak penyesuaian lembaga pendidikan
Islam dan menempatkannya dibawah naungan Departemen Pendidikan, Agama, dan
Industri. Chijs secara tegas mengatakan, “tidak ada manfaatnya untuk menjadikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai titik tolak penyelenggaraan pendidikan
umum”.21
Dengan alasan teknis pendidikan, penolakannya dinyatakannya secara
tegas pada tahun 1865, tepatnya, satu tahun setelah dirinya menjabat Inspektur
Pendidikan Bumiputra.
“Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan
kebiasaan pribumi, namun saya tidak menerimanya karena kebiasaan tersebut
terlalu jelek, sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi. Yang
dimaksudkan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks Arab
yang hanya dihafal tanpa pengertian”.22
Karena tidak memungkinkan menyertakan lembaga-lembaga pendidikan Islam
sebagai bagian dari sistem pendidikan yang memberikan akses pengajaran bagi
penduduk Boemipoetra, maka ia mengusulkan adanya “proyek pemberangusan”.
Kepada pemerintah kolonial, Chijs mengajukan rekomendasi bahwa, di daerah-
21
Makmuri Sukarno dkk, Dinamika Lembaga Pendidikan Masyarakat: Studi Kasus di Nusa
Tenggara Brat dan Sulawesi Utara (Jakarta: Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan-Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia/PPT-LIPI, 2000), 7. 22
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 3; Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and
Indonesian Islam, Contacts and Conflicts, 1596-1950 (Amsterdam: Atlanta, GA, 1993), 86. Bandingkan
dengan pernyataan Bruggmans, “sebelum abad ke-20 orang Indonesia hanya pernah mengenal satu jenis
saja dari apa yang di sebut lembaga pengajaran asli, yakni sekolah-sekolah agama Islam dalam berbagai
bentuknya (langgar, surau, pesantren). Di sana orang dilatih pengajian al-Qur’an dan mempelajari
kepercayaan dan syariat agama Islam; tetapi dari segi ilmu pengajaran, menurut pengertian barat,
lembaga-lembaga pengajaran tersebut, sesuai dengan penilaian dari, siapa lagi kalau bukan Snouck
Hurgronje, sedikit sekali artinya”. I.J. Brugmans, “Politik Pengajaran”, dalam Politik Etis dan Revolusi
Kemerdekaan, ed. H. Budet dan I.J Brugmans (Jakarta: Yayasan Obor, 1987), 176.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
145
daerah yang menjadi basis berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam agar
hanya memajukan sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) “yang diperuntukkan
bagi elit teratas dari kalangan Bumiputra”. Selain bertujuan untuk memberangus atau
setidak-tidaknya, menghambat laju perkembangan lembaga-lembaga pendidikan
Islam, sekolah-sekolah milik pemerintah merupakan media efektif “dalam rangka
untuk melindungi Belanda dari apa yang disebutnya sebagai gunung berapi Islam
(Islamic vulcano)”.23
Dilain pihak, sebagai pejabat kolonial yang otoritatif dalam merumuskan arah
pendidikan Boemipoetra, Chijs memiliki pandangan yang sama sekali berbeda
dengan lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh zending Kristen.
Berdasarkan hasil penyelidikannya di Minahasa dan Maluku pada tahun 1867, ia
melakukan inspeksi ke lembaga-lembaga pendidikan zending yang ada di kedua
daerah tersebut. Ia pun memiliki kesimpulan kurang baik dengan menegaskan
lembaga-lembaga pendidikan zending yang ada tidak lebih sama dengan pesantren
atau lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Hasil penelitian Chijs menunjukkan, dari aspek materi pelajaran, sekolah-
sekolah partikelir zending “hampir 100 persen memusatkan diri pada pendidikan
agama”.24
Dalam konteks ini, Steenbrink menguraikan:
“Pelajaran yang diajarkan antara lain membaca huruf latin dan bahasa
Melayu (bukan bahasa daerah) agar para murid dapat membaca Alkitab.25
23
Lathif, Intelegensia Muslim, 110. 24
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4. 25
Dengan kata lain dapat ditegaskan, sekolah-sekolah zending pada dasarnya lebih diorientasikan
untuk menghasilkan siswa yang taat menjalankan Kekristenannya. Oleh karena itu, tidak mengejutkan,
jika “Bibel dalam bahasa Melayu di sekolah-sekolah zending adalah buku yang terpenting”. Steenbrik,
Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
146
Pelajaran sejarah tidak lebih daripada sejarah para Nabi dari Perjanjian Lama
dan Baru. Latihan musik hanya diberikan untuk mempelajari lagu yang
dipakai dalam Gereja, sedangkan ilmu bumi terbatas pada ilmu bumi
Palestina dan Laut Tengah, dan peta yang ada hanya menunjuk tentang
perjalanan Paulus”.26
Seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan Islam saat itu, status sekolah-sekolah
zending lebih mengarah sebagai lembaga gereja atau lembaga keagamaan Kristiani
ketimbang lembaga pendidikan. Kedudukan sekolah, sebagaimana ditegaskan Chijs,
“hanya merupakan persiapan kebaktian didalam Gereja”.27
Konsekuensinya,
pengelolaan kelembagaan sekolah-sekolah zending juga memiliki kelemahan
mendasar. Masih berdasarkan penyelidikan Chijs di Minahasa dan Maluku pada
1867, para guru yang terlibat dalam kegiatan pengajaran memiliki peran ambivalen
(amphibisch).28
Sejak menempuh pendidikannya sebagai calon guru sekolah-sekolah zending,
para guru hanya mendapat materi-materi pelajaran yang “yang bertujuan mendidik
dan mempersiapkan pemimpin agama bagi masyarakat setempat”. Oleh karena itu,
ketika paska menyelesaikan studinya masing-masing, para guru lebih
merepresentasikan fungsi “sebagai pembina dan pelayan umatnya semata”.29
Setidak-tidaknya, para guru di sekolah-sekolah zending memiliki peran mendua atau
ganda. Kesimpulan penyelidikan Chijs menggambarkan,
“Kedudukan sosial orang-orang (para guru) tersebut masih bersifat mendua.
Tidak dapat dikatakan apakah kedudukan mereka itu: guru sekolah atau
pemimpin agama? Biasanya mereka disebut guru sekolah, namun pada saat
26 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1984), 159. 27
Steenbrink, Beberapa Aspek, 160. 28
Steenbrink, Beberapa Aspek, 159. 29
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
147
yang sama, mereka bertindak sebagai guru agama atau juru baca do’a bagi
orang-orang yang sakit”.30
Dengan demikian, para guru selain sebagai pengajar, mereka sekaligus juga berstatus
pekerja Gereja (pendeta). Dualisme status ini dalam artikulasi praksisnya membawa
konsekuensi bahwa, “mereka lebih menitik beratkan tugasnya pada urusan Gereja
ketimbang mengurus sekolah dan berdiri di depan kelas sebagai guru profesional”.31
Jika dalam terhadap kelemahan lembaga-lembaga pendidikan Islam,
pemerintah kolonial tidak memberikan toleransi, maka sebaliknya, Chijs dan
pejabat-pejabat pemerintah kolonial memiliki perspektif lain terhadap sekolah-
sekolah zending. Bagi Chijs, misalnya, sekolah-sekolah zending tetap memiliki
kesempatan dimasukkan sebagai bagian dari Departemen Pendidikan, Agama, dan
Industri dan berperan aktif dalam memperluas akses pengajaran bagi Boemipoetra
serta patut mendapatkan dukungan penuh melalui subsidi. Ia pun mengusulkan agar
pemerintah “memperluas dan memperbaiki pendidikan (di sekolah-sekolah zending)
ini secara bertahap, sehingga unsur-unsur pendidikan umum akan menjadi lebih
kuat”.32
Secara operasional, Chijs mengusulkan agar dualisme peran para guru harus
dihapuskan atau setidak-setidaknya, dipisahkan. Karena “rangkap tugas sebagai
pendeta dan guru bertentangan dengan reglemen pemerintah”.33
Selain itu, ia juga
30
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5. 31
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250-1950
(Ternate: Kerjasama Gora Pustaka Indonesia, Nala Cipta Litera, dan Bursa Kawasan Timur Indonesia,
2007), 244. 32
Steenbrink, Beberapa Aspek, 160. 33
Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, 244.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
148
merekomendasikan kepada pengelola sekolah-sekolah zending yang berkeinginan
mendapatkan subsidi agar mengurangi bobot mata pelajaran agama.34
Secara normatif, penolakan pemerintah terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam dan sebaliknya, afirmasi terhadap sekolah-sekolah zending
didasarkan pada argumen-argumen yang masuk akal. Steenbrink menguraikan
argumen-argumen tersebut.
“Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah zending ini akhirnya masuk
kedalam sistem pendidikan umum gubernemen. Secara teknis, memasukkan
sekolah tersebut kedalam sistem sekolah umum lebih mudah daripada
memasukkan pesantren kedalam sistem pendidikan umum. Hal itu antara lain
disebabkan para murid sekolah tersebut sudah terbiasa dengan tulisan latin.
Bahasa Melayu, yang merupakan bahasa asing bagi para murid,
kenyataannya lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Arab. Bagi para juru
tulis dan pegawai gubernemen lainnya, bahasa Melayu merupakan bahasa
yang sangat penting dalam tugas sehari-hari mereka. Disamping itu, pada
sekolah-sekolah zending tersebut sudah diberikan dasar-dasar ilmu hitung.
Faktor lain yang tak kurang pentingnya dalam proses penggabungan tersebut,
adalah disebabkan sudah lama pemerintah mencampuri sekolah-sekolah
tersebut (karena hubungan organisatoris antara pemerintah dan zending) dan
zending juga mempunyai hubungan yang lebih mudah dengan pemerintah
dibanding dengan Islam. Oleh karena itu dapat dipahami, kalau sekolah
zending tersebut lebih mudah masuk dalam sistem pendidikan umum
daripada lembaga pendidikan Islam”.35
Namun sulit untuk menafikan bahwa, motif politik juga sangat lekat mewarnai
argumen pemerintah kolonial. Selain karena alasan kekhawatiran menguatnya
Islamic vulcano, penerimaan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah zending
sangat erat dengan apa yang diistilahkan oleh Furnivall dengan “unholy coalition” di
Nederland pada tahun 1889.36
Pada tahun 1988, partai-partai berbasis agama berhasil
34
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5. 35
Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5-6. 36
Furnivall, Netherlands India, 220.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
149
mendapatkan dukungan suara lebih besar dibanding dengan perolehan partai-partai
non agama atau sekuler. Konsekuensinya, partai-partai berbasis agama berhasil
mendudukkan jumlah wakilnya di parlemen lebih banyak ketimbang partai-partai
sekuler. Partai-partai berbasis agama tersebut membangun koalisi untuk menggeser
dominasi kekuatan partai-partai sekuler di parlemen.
Goudsblom sebagaimana diadaptasi oleh Suminto, dari total 100 kursi
parlemen, koaliasi partai-partai berbasis agama memiliki jumlah total 52 kursi,
terdiri dari Partai Rakyat Katholik (Catholic People’s Party/Katholieke
Volkspartij/KPV)37
dengan 25 kursi dan Partai Anti Revolusioner (Anti-
Revolutionary Party/Antirevolutionaire Partij/ARP) berbasis Protestan sebanyak 27
kursi.38
Sementara hasil koalisi partai-partai sekuler mendapatkan 47 kursi di
37
Partai Rakyat Katholik didirikan oleh Hermanus Schaepman pada tahun 1883 yang secara khusus
menampung Catholic voters dalam pemilu parlemen. Program-program politik partai ini lebih menitik
beratkan pada pembelaan terhadap kepentingan umat Katholik di Belanda dan jajahannya. Joop W.
Koopman and Arend H. Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands (Toronto: The Scrarecrow
Press, Inc., 2007), 126. Berbeda dengan partai-partai lainnya, KVP mendapatkan dukungan penuh dari
hirarkhi Gereja dan para pemimpin gereja (Catholic clergies) yang ada di Negeri Belanda. Rudy B.
Andeweg and Galen A. Irwin, Governance and Politics of the Netherlands (New York: Palgrave
Macmillan Press, 2005), 49-50. Secara ideologis, partai ini hendak mewujudkan masyarakat Kristiani
yang demokratik (Christian-Democratic) yang digali dan mengacu pada prinsip-prinsip sosial agama
Katholik (Catholic social principles). Simon Pieter Otjes, Imitating the Newcomer, How, When and Why
Established Political Parties Imitate the Policy Positions and Issue Attention of New Political Parties in
the Electoral and Parliamentary Arena: The Case of the Netherlands (PhD Dissertation: Leiden
University, 2012). 38
Partai Anti-Revolusioner (ARP) didirikan oleh Abraham Kuyper yang juga dikenal luas sebagai
pakar teologi (theologian) dan tata negara (statesman) pada tahun 1877. Sebagai partai konservatif, ARP
secara tegas menolak gagasan dan cita-cita ideal revolusi Perancis, termasuk yang berkaitan dengan
pemisahan agama (Kristen) dan Negara. Melalui Kuyper, partai ini menggulirkan format baru sistem
politik yang diintrodusir dari doktrin-doktrin Protestan sebagai antitesis sistem politik didalam masyarakat
Belanda yang didasarkan atas “non-Christian political principles”. Koopman and Hussen Jr, Historical
Dictionary of the Netherlands, 9. Dengan kata lain, ARP dibentuk untuk menghambat politik liberal yang
berkembang pesat di Belanda akibat pengaruh revolusi Perancis yang menurut Kuyper telah keluar dari
prinsip-prinsip dasar Kristiani. Rudy B. Andeweg and Galen A. Irwin, Governance and Politics of the
Netherlands (New York: Palgrave Macmillan Press, 2005), 49. Secara ideologis, ARP berpegang teguh
pada doktrin-doktrin Calvinisme. Sebagaimana ditegaskan Kuyper, Chalvinisme “not merely a religious
system, but an all-embracing life system or worldview, with implications for all domains of life and
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
150
parlemen dengan perincian Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (People’s
Party for Freedom and Democracy/Volkspartij voor Vrijheid en Democratie/VVD)39
berhaluan liberal sebanyak 46 kursi dan 1 kursi diperoleh oleh Partai Buruh (Partij
van der Arbeid/Labour Party/PvdA) yang berideologi sosialis.40
Sedangkan satu
kursi lainnya berhasil direbut oleh partai politik yang netral (lihat tabel).41
Tabel 2
Komposisi Parlemen Berdasarkan Tahun 1888
Partai Politik Non
Agama
Jumlah
Kursi
Partai Politik
Agama
Jumlah
Kursi
Partai Politik
Netral
Jumlah
Kursi
Volkspartij voor
Vrijheid en
Democratie/VVD
25 Katholieke
Volkspartij/KPV
46 Roman
Catholic State
Party/RKSP
1
Partij van der
Arbeid/Labour
27 Antirevolutionaire
Partij/ARP
1 -
thought, including society and science”. Abraham C. Flipse, “The Origins of Creationism in the
Netherlands: The Evolution Debate among Twentieth-Century Dutch Neo-Calvinists”, Church History
81:1 (March 2012): 104–147, 108. 39
Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) sebelum digantikan dominasinya oleh
partai-partai berbasis Kristen dan Katholik merupakan salah satu partai dengan kekuatan dominan di
Parlemen. Oleh karena semakin tidak mendapat dukungan dari massa pemilih, perolehan suara partai
liberal ini terus menyusut sehingga terpaksa harus merger dengan Partai Kebebasan (the Partij van de
Vrijheid/Freedom Party) pada tahun 1948. Koopman and Hussen Jr, Historical Dictionary of the
Netherlands, 236. Sejak awal, partai ini dikenal luas sangat anti terhadap dominasi peran lembaga dan elit
keagamaan di Belanda, dan karena itu, dikenal luas sebagai partai yang “anti-clerical” dan “no special
relationship with any particular religious denomination”. Michael Wintle, An Economic and Social
History of the Netherlands, 1800–1920, Demographic, Economic and Social Transition (New York:
Cambridge University, 2003), 256. Selain sekulerisasi Negara, isu utama yang diusung partai adalah
kebebasan perseorangan (individual freedom), kebebasan beragama (freedom of religion) dan hak setiap
individu untuk memilih keyakinan masing-masing (individual’s right to believe). Rudy B. Andeweg and
Galen A. Irwin, Governance and Politics, 53. Lebih dari itu, partai ini juga berperan signifikan merubah
Belanda yang pada awalnya merupakan monarkhi absholut menjadi Negara monarkhi berbasis
konstitusionalisme. Wintle, An Economic and Social History, 317. 40
Sementara Partai Buruh (PvdA) merupakan partai buruh berbasis ideologi sosialis yang sejak
tanggal 12 Pebruari 1946 bergeser menjadi partai yang bertumpu pada ideologi demokrat sosialis
(socialist democrat party). Koopman and Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands, 173.
Agenda utama partai ini adalah mendorong terwujudnya “the welfare state and government control over
economic development”. Simon Pieter Otjes, Imitating the Newcomer, How, When and Why Established
Political Parties Imitate the Policy Positions and Issue Attention of New Political Parties in the Electoral
and Parliamentary Arena: The Case of the Netherlands (PhD Dissertation: Leiden University, 2012), 110. 41
Suminto, Politik Islam di Hindia Belanda, 215. Satu-satunya partai politik yang netral dan tidak
terlibat dalam ketegangan ideologis dengan partai-partai lain dan mendapatkan satu suara adalah Partai
Negara Katholik Roma (Rooms-Katholieke Staats Partij/Roman Catholic State Party/RKSP). Koopman
and Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands, 178.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
151
Party/PvdA
Jumlah
52
Jumlah
47
Jumlah
1
Sumber: Diolah dari Suminto: 1996: 215.
Salah satu agenda terpenting koalisi partai-partai berbasis agama di parlemen adalah
menghapus kebijakan negara yang netral terhadap sekolah-sekolah swasta di Negeri
Belanda yang sebagian besar dikelola oleh Kristen dan Katholik. Salah satu bentuk
netralitas kebijakan adalah mengurangi secara signifikan jumlah dana bantuan
pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah-sekolah swasta (private
schools) milik Kristen dan Katholik (denominational schools). Sebaliknya, anggaran
pendidikan lebih dikonsentrasikan alokasinya untuk membiayai sekolah-sekolah
Negeri atau milik pemerintah (public schools). Konsekuensinya, sebagian besar
denominasional schools mengalami kesulitan untuk membiayai kegiatan belajar
mengajarnya.
Netralitas dan ketimpangan subsidi pendidikan ini menjadi agenda
pembahasan utama koalisi partai-partai berbasis agama di Belanda paska
keberhasilannya mendominasi komposisi parlemen pada tahun 1888. Dengan suara
parlemen yang dimilikinya, mereka menggulirkan isu perubahan kebijakan netralitas
pemerintah dan termasuk didalamnya tentang subsidi pendidikan. Dengan
kewenangan yang dimilikinya, sejak tahun 1890, koalisi berhasil berhasil mengubah
netralitas pemerintah. Salah satu capaian pentingnya adalah, keluarnya kebijakan
pemerintah yang mengharuskan “provided some government funding for teacher’s
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
152
salaries in all schools, wheter state or private”.42
Tidak hanya itu, terutama setelah
Abraham Kuyper yang dikenal luas sebagai aktor kunci koalisi partai-partai berbasis
agama menjadi Perdana Menteri (1901-1905), kebijakan netralitas benar benar-benar
terberangus.
Sekolah-sekolah denominasional yang dikelola Kristen maupun
Katholik mendapatkan hak sama dibanding dengan sekolah-sekolah Negeri dalam
pembiayaan pendidikan diberbagai jenjang yang ada (an equal grant at all levels).43
Koalisi partai-partai agama juga memanfaatkan kekuatan politik legalnya
untuk merubah kebijakan kebijakan di Hindia Belanda. M. Hutasoit, sebagaimana
diadaptasi oleh Idris menggambarkan,
“But in 1890 a coalition of Church parties, Catholic and Protestant, came into
control of the Government in the Netherlands after a long campaign waged
largely on the issue of government subsidies to religious school. With this
shift at home the attitude of the East Indian of number of government-
subsidized Christian schools since 1890 reflects a similar doveleopment in
the Netherlands”.44
Koalisi akhirnya dapat merubah kebijakan pendidikan yang mengeliminasi sekolah-
sekolah denominasional (Zending dan Missi) untuk mendapatkan dukungan subsidi
penuh dari pemerintah. Sebaliknya, atas prakarsa parlemen yang dikuasai koalisi,
pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan terbuka untuk mengakses
bantuan pendidikan dengan syarat-syarat yang sangat mungkin dipenuhi oleh
sekolah-sekolah Zending dan Missi. Dengan demikian, pada dasarnya, subsidi bukan
saja mengandaikan pengakuan atas legalitas sekolah-sekolah Zending dan Missi
42
Wintle, An Economic and Social History, 272. 43
Wintle, An Economic and Social History, 272. 44
Muhammady Idris, KH Ahmad Dahlan, His Life and Thought (MA Thesis: The Institute of
Islamic Studies-McGill Uiversity Montreal, 1975), 153.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
153
sebagai bagian dari Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri semata. Namun,
subsidi pemerintah Hindia Belanda, sekaligus juga menyertakan lekatnya
kepentingan ekspansi Kristen dan Katholik secara terselebung melalui sekolah-
sekolah yang dikelolanya.45
Berbagai penjelasan sebelumnya memberikan petunjuk penting bahwa,
setidaknya terdapat tiga faktor utama yang melatari hadirnya pelapisan terhadap
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Implementasi kebijakan pemerintah kolonial
Hindia Belanda untuk melibatkan sekolah-sekolah partikelir sebagai bagian dari
intitusi untuk memperluas akses pendidikan bagi penduduk Boemipoetra berdampak
pada munculnya pengakuan status diakui bagi sekolah-sekolah partikelir tersebut.
Kebijakan politik subsidi pendidikan semakin memperkokoh adanya pelapisan
terhadap lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Tidak semua sekolah partikelir
mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, tetapi sebaliknya, hanya sekolah-
sekolah Zending dan Missi yang menjadi penerima. Sementara seluruh lembaga-
lembaga pendidikan Islam tidak satu pun yang terdaftar sebagai penerima subsidi
pemerintah. Perlakuan yang berbeda secara tegas menunjuk adanya stratifikasi yang
sengaja dibangun oleh pemerintah terhadap antar sekolah-sekolah partikelir. Data-
data sebelumnya menggambarkan, pilihan pada sekolah-sekolah Missi dan Zending
45
Selain melalui rumah sakit atau lembaga-lembaga pelayanan kesehatan lainnya, ekespansi agama
Kristen dan Katholik, tentu saja juga tidak menafikan fenomena yang sama di Islam, sekolah-sekolah juga
menjadi instrumen penting. Laporan hasil penelitian mereka dibukukan kedalam buku yang cukup tebal
dan lebih dari 1.000 halaman. Salah satu aspek yang diungkap dalam laporan penelitian adalah, kebijakan
subsidi pendidikan terhadap sekolah-sekolah Zending dan Missi. Dalam laporan dinyatakan, subsidi
pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah Missi dan Katholik, terutama di wilayah Indonesia bagian
timur memberikan pengaruh signifikan terhadap meningkatnya jumlah sekolah dan angka pemeluk agama
Kristen dan Katholik. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia
(Leiden: Brill, 2008).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
154
sebagai institusi yang mendapatkan pengakuan status diakui dan sekaligus
mendapatkan subsidi sebagai akibat dari perubahan peta kekuatan politik di Belanda.
Sejak tahun 1888, era dominasi partai-partai berhaluan liberal di parlemen telah
berakhir dan digantikan oleh partai-partai berbasis ideologi agama (Protestan dan
Katholik). Pergantian kekuasaan di parlemen membawa pengaruh penting bagi
perubahan kebijakan di Hindia Belanda, salah satunya kebijakan pendidikan.
Kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang mendorong kearah pelapisan
kelembagaan pendidikan Islam dibakukan oleh parlemen, seperti ditunjukkan oleh
kebijakan subsidi pendidikan.
Akibat bekerjanya proyek pengakuan status terhadap sekolah partikelir dan
kebijakan subsidi, pelapisan lembaga-lembaga pendidikan menjadi mengemuka di
Hindia Belanda, terutama pada paruh awal tahun 1890-an. Jika dalam sistem
pendidikan sebelumnya, pelapisan hanya terjadi di lembaga pendidikan yang
dikelola oleh pemerintah atau sekolah-sekolah Negeri, maka dalam
perkembangannya bergeser dengan menyertakan sekolah-sekolah partikelir sebagai
objek pelapisan. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam berada
dalam lapisan yang tidak beruntung sama sekali dihadapan pemerintah kolonial.
Dalam era sebelum permberlakuan kebijakan politik etis, secara hirarkhis,
sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) yang diperuntukkan bagi keturunan
Eropa (Belanda) dapat dipandang sebagai lembaga-lembaga pendidikan dalam
lapisan teratas. Pada jenjang pendidikan dasar, sekolah ini bernama Sekolah Rendah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
155
Eropa (Europese Lagere School) atau populer dengan akronim ELS.46
Sedangkan
untuk pendidikan lanjutan, sekolah elit dengan peruntukan keturunan Eropa
(Belanda) bernama Gymnasium dan belakangan namanya dirubah menjadi Hoogere
Burger School (HBS).47
Selain jenis-jenis sekolah diatas, pemerintah juga
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal luas sebagai Sekolah Gadis.48
Karena peruntukannya yang ekslusif, maka baik ELS, Gyimnasium atau HBS
46
ELS pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 24 Februari 1917 yang dengan sengaja hanya
diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa (Belanda). Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 16;
Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 90. Karena peruntukannya tersebut, ELS mengedepankan prinsip
konkordansi yang sangat lekat dengan negeri induk (Belanda). Baik kurikulum, kualitas guru, maupun
infrastruktur pendidikan secara keseluruhan disamakan dengan satuan sekolah yang sama di Negeri
Belanda. Karena itu, tidak mengejutkan, jika pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi dukungan
penuh dan bahkan mendatangkan guru secukupnya dari Belanda. Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. 47
Gymnasium pertama kali didirikan di Batavia pada tahun 1860 dengan nama Gymnasium Willem
III yang secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa (Belanda). Djojonegoro, Lima
Puluh Tahun, 16. Sekolah menengah yang pada awalnya memiliki masa studi selama tiga tahun ini, pada
tahun 1867 direorganisasi menjadi dua bagian. Bagian (afdeeling) A dengan masa studi selama lima tahun
dan setiap lulusannya dapat langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di negeri Belanda. Dan bagian B
memiliki masa studi lebih rendah, yaitu tiga tahun. Bagi setiap lulusannya, mereka “dapat melanjutkan ke
pendidikan perwira, pendidikan pegawai Negeri atau akademi perdagangan, dan kerajinan di Delft, negeri
Belanda”. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 92. Pada tahun 1867 pula, Gymnasium dirubah namanya
menjadi Hoogere Burger School (HBS). Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Yogjakarta, 53. Hingga
menjelang akhir sistem politik liberal, perkembangan sekolah jenis ini sangat lambat. Berdasarkan catatan
yang ada, selain di Batavia, sekolah ini hanya dibuka di Surabaya pada tahun 1875 dan Semarang di tahun
1877. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 17; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 92. 48
Sekolah Gadis merupakan lembaga pendidikan yang secara khusus hanya menampung siswa
perempuan. Secara kelembagaan, sekolah ini mengambil dua bentuk berbeda, yaitu selain berupa sekolah
kejuruan juga berupa lembaga pendidikan umum. Untuk sekolah kejuruan, pemerintah mendirikan sekolah
bernama Institut untuk Pendidikan Wanita-Wanita Muda (Instituut voor de Opleiding van Jonge-
juffrouwen) di Molenvliet, Batavia pada tahun 1824. Hanya saja, sekolah ini tidak berumur panjang dan
akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tahun 1832. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 22. Sementara
Sekolah Gadis non kejuruan mulai dibuka seiring dengan menguatnya gerakan feminisme di Negeri induk
pada paruh kedua abad ke-19. Sekolah Gadis non kejuruan yang berupa Sekolah Rendah Eropa pertama
kali didirikan pada tahun 1876 di Batavia. Perkembangan selanjutnya untuk jenis sekolah dasar khusus
perempuan tidak ditemukan data pastinya, meskipun pemerintah memiliki kesempatan luas mendirikannya
diberbagai daerah. Kesempatan itu diperoleh satu tahun berikutnya, setelah pemerintah mengeluarkan
kebijakan bahwa, “dimana saja terdapat cukup murid wanita (Eropa) boleh didirikan Sekolah Gadis”,
sebagaimana tercatat dalam Lembaran Negara 51, Tahun 1876. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 97.
Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah, pemerintah mendirikan HBS khusus bagi para gadis di
Batavia pada tahun 1882. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
156
maupun Sekolah Gadis lebih populer dan dikenal sebagai Sekolah Eropa
(Europeesche Scholen).
Menariknya, di internal kelembagaan ELS pun juga lekat dengan pelapisan
(stratifikasi), yang ditandai oleh munculnya ELS Pertama (Eerste Europeshe Lagere
School) dan ELS Kedua (Tweede Europeshe Lagere School). Pelapisan ini
mengemuka, ketika desakan dari elit Boemipoetra agar-agar anak mereka dapat
memasuki sekolah, sementara pemerintah belum mendirikan sekolah yang secara
khusus menampung mereka. Sesuai dengan namanya, ELS Pertama diperuntukkan
bagi keturunan elit elit Eropa (Belanda).49
Selain mewajibkan sumbangan dana
pendidikan yang begitu tinggi yaitu f.6 per bulan, ELS Pertama juga “tidak
menerima anak-anak Indonesia, sekalipun anak ningrat tinggi”.50
Sebaliknya, karena
tidak memungkinkan menolak tuntutan elit Boemipoetra, maka pemerintah secara
terbatas membuka akses untuk memasukkan anak-anak mereka ke ELS Kedua.
Anak-anak yang belajar di ELS Kedua ini, sebagian besar berasal dari keturunan
Eropa (Belanda) menengah kebawah, anak-anak Indo-Eropa, dan elit Boemipoetra.51
49
Diinternal elit Eropa (Belanda) yang memiliki jabatan tinggi di Hindia Belanda atau masuk
dalam katagori “orang tua yang berada”, enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke ELS dengan alasan
“tidak menginginkan anaknya bercampur dengan anak-anak golongan rendah”. Sebaliknya, mereka lebih
memilih menyekolahkan anaknya ke Negeri Belanda. Untuk menjaga eksodus anak-anak orang kaya
maupun pejabat tinggi Hindia Belanda ke Eropa, maka pemerintah memisah ELS menjadi dua katagori.
Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. Sampai dengan menjelang akhir era politik liberal, tepatnya, pada tahun
1895, jumlah keseluruhan ELS di Hindia Belanda mencapai 159 lembaga. Djojonegoro, Lima Puluh
Tahun, 16; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 90; Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur
(Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), 127. 50
Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. 51
Pelapisan ELS bahkan lebih luas lagi terjadi di Yogjakarta saat itu yang saat itu terdapat tiga
hirarkhi lapisan. Di daerah ini terdapat dua satuan pendidikan E.L.S, yaitu Eerste Europesche Lagere
School A yang berlokasi di Jalan Ungaran, dan Eerste Europesche Lagere School B yang saat ini gedung
sekolahnya dipergunakan oleh SMPN II Yogjakarta. Sementara satu jenis lainnya, yaitu Tweede
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
157
Sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) dengan peruntukan keturunan
Boemipoetra menempati urutan kedua dalam hirarkhi dan stratifikasi kelembagaan
pendidikan di Hindia Belanda. Pada jenjang pendidikan dasar, pada awalnya hanya
ada sekolah satu jenis sekolah, yaitu Sekolah Raja (Hoofdenschool).52
Namun,
setelah keluarnya Keputusan Raja tertanggal 28 September No. 44 (Stbl. 1893, No.
125), maka sekolah dasar untuk keturunan Boemipoetra terbagi kedalam tiga satuan
pendidikan, yaitu Sekolah Raja (Sekolah Dasar), Sekolah Dasar Kelas Satu (de
Scholen der Eerste Klasse), dan Sekolah Dasar Kelas Dua (de Scholen der Tweede
Klasse).53
Pemisahan sekolah dasar menjadi dua katagori ini jelas sekali
merepresentasikan pelapisan peruntukan diinternal keturunan Boemipoetra sendiri.
Europesche Lagere School berlokasi di Jalan Lempuyangan Wangi. Laporan Depdikbud menyebutkan,
Eerste Europesche Lagere School A “diperuntukkan bagi anak-anak Eropa (terutama Belanda) totok dari
golongan elit’. Sementara, Eerste Europesche Lagere School B merupakan satuan pendidikan yang
“diperuntukkan bagi anak-anak Eropa totok atau peranakan dari golongan menengah dan anak-anak dari
suku bangsa lain (terutama Boemipoetra ) dari golongan elit”. Sedangkan, Tweede Europesche Lagere
School dibuka untuk “anak-anak Eropa totok atau peranakan dan anak-anak bukan Eropa dari golongan
yang lebih rendah dari pada golongan-golongan yang sudah disebutkan diatas”. Depdikbud, Sejarah
Pendidikan Daerah Istimewa Yogjakarta (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), 52-53. 52
Sekolah Raja (Hoofdenscholen) didirikan oleh pemerintah dengan peruntukan bagi anak-anak
keturunan anak-anak elit Boemipoetra . Secara spesifik, Sekolah Raja diorientasikan untuk menghasilkan
tenaga terdidik untuk menjadi pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah maupun tenaga administrasi
di perusahaan-perusahaan di Hindia Belada. Pada awalnya, dua Sekolah Raja didirikan di Tondano yang
masing-masing pada tahun 1865 dan 1875. Kemudian didirikan pula sekolah yang sama di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo pada tahun 1875. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 19; Depdikbud,
Pendidikan di Indonesia, 94. Karena ada keinginan dari pemerintah untuk menghapus Sekolah Raja, maka
sebagai langkah awalnya, sekolah ini direorganisasi menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kursus
dengan lama studi tiga tahun dengan materi pelajaran yang sama dan diberlakukan di Sekolah Raja. Dan
bagian kedua hanya memberikan materi-materi yang secara khusus dibutuhkan bagi calon-calon pegawai
pemerintah dengan lama studi dua tahun. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 133. Akhirnya,
Sekolah Raja benar-benar dihapuskan dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda pada tahun 1900
dan direorganisasi menjadi Obpleiding School voor Indische Abtenaren (OSVIA) atau Sekolah Untuk
Pendidikan Pegawai Pribumi. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 19; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia,
94. 53
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun,18.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
158
Sekolah Dasar Kelas Pertama merepresentasikan lembaga pendidikan Boemipoetra
yang “diperuntukkan bagi anak-anak tokoh terkemuka pribumi, bangsawan atau
ningrat, dan penduduk kaya atau berada”. Sementara Sekolah Dasar Kelas Kedua
didirikan oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak keturunan Boemipoetra dari
lapisan menengah ke bawah. Dari sini cuku jelas bahwa, pelapisan lebih bukan
didasarkan karena kemampuan siswa, melainkan atas dasar stratifikasi sosial dan
ekonomi orang tua siswa.54
Selain jenjang pendidikan dasar, terdapat pula sekolah-sekolah kejuruan
Negeri yang diperuntukkan bagi keturunan Boemipoetra dan secara hirarkhis,
statusnya dibawah ELS dan HBS dimata pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Beberapa satuan sekolah kejuruan Negeri yang dibuka oleh pemerintah pada era
sebelum pemberlakuan sistem politik etis dapat disebut, diantaranya, Sekolah
Pertukangan (Ambachtshool),55
Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool),56
dan
Sekolah Dokter.57
54
Sejak awal, Departemen Pendidikan, Agama dan Industri sebagai lembaga pemerintah yang
paling bertanggung jawab terhadap pendidikan Boemipoetra dengan sengaja melakukan pelapisan atas
dasar status sosial dan ekonomi orang tua, dan bukan pada kemampuan calon siswa. Bagi Departemen ini,
masyarakat Hindia Belanda hanya memiliki dua kebutuhan dalam bidang pendidikan. Pertama, lapisan
masyarakat atas secara sosial maupun ekonomi yang membutuhkan membutuhkan pembelajaran supaya
“dapat membawanya kearah kemajuan dan yang dapat memenuhi syarat-syarat kepegawaian yang selalu
bertambah. Kedua, lapisan masyarakat pribumi rendah yang dirasakan cukup “dengan sekolah rendah
sangat sederhana, yang hanya memberikan pengetahuan pokok seperti: membaca, menulis, dan
berhitung”. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 132. 55
Sekolah Pertukangan Negeri mulai dibuka oleh pemerintah pada tahun 1860 di Surabaya, namun
akhirnya gulung tikar. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 95. Karena di daerah-daerah tertentu,
Surabaya misalnya, kebutuhan tenaga kerja terdidik sedemikian tinggi sebagai konsekuensi dari pesatnya
industri gula, maka Sekolah Pertukangan kembali dibuka dengan formatnya yang baru. Pada tahun 1877,
misalnya, Sekolah Pertukangan di Surabaya menggunakan format kursus selama dua tahun yang dikaitkan
dengan H.B.S setempat. Pada tahun 1894, kursus diperpanjang masa studinya menjadi tiga tahun,
sehingga sejak saat itu sekolah berdiri sendiri dan terpisah dari H.B.S. Depdikbud, Pendidikan di
Indonesia, 95. Setelah lepas dari H.B.S, Sekolah Pertukangan ini kembali direorganisasi dengan lama
studi menjadi empat tahun. Dengan reorganisasi tersebut, sekolah ini memiliki kewenangan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
159
Dibawah sekolah-sekolah milik pemerintah, baik yang secara eksklusif
diperuntukkan bagi keturunan Eropa (Belanda) maupun Boemipoetra, dalam hirarkhi
ketiga terdapat sekolah-sekolah partikelir (swasta) bersubsidi. Pada era sebelum
pemberlakuan sistem politik etis, atau lebih tepatnya di era politik liberal, sekolah-
sekolah partikelir bersubsidi sepenuhnya dikelola oleh Zending dan Missi. Sekolah-
sekolah Zending dan Missi bersubsidi memiliki status legal “dipersamakan” dengan
sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri). Oleh karena itu, keberadaannya
ditempatkan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda, dan
sekaligus, berada dibawah naungan Departemen Pendidikan, Agama, dan
perindustrian (Departement vaan Onderwijs en Eeredienst).
Lapisan terakhir dalam hirarkhi kelembagaan pendidikan di Hindia Belanda
adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang saat itu, sepenuhnya masih berupa
pesantren. Selain tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, pesantren juga
tidak mendapatkan status legal sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang
mempersiapkan ujian akhir untuk Jurusan Perairan, Pekerjaan Umum, Pengukuran Tanah (Kadaster), dan
Mesin. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 20. 56
Sekolah Guru Negeri mulai dibuka oleh pemerintah pada tahun 1852 paska keluarnya Keputusan
Pemerintah tanggal 30 Agustus 1951 di Surakarta. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan guru-
guru sekolah dasar yang kuantitasnya terus meningkat. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 20. Karena masih
belum mencukupi, sampai dengan menjelang berakhirnya sistem politik liberal, maka pemerintah akhirnya
mendirikan jenis sekolah yang sama diberbagai tempat, seperti Kweekschool di Bukit Tinggi (Fort de
Kock) pada tahun 1856, Tanah Batu (Tapanuli) tahun 1864, Tondano (1873), Ambon (1874), Probolinggo
(1875), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), dan Padang Sidempuan (1879). Depdikbud, Pendidikan di
Indonesia, 96; Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Yogjakarta, 56. 57
Sekolah Dokter sebenarnya lebih tepat disebut sebagai sekolah keperawatan yang mulai didirikan
pada berdasarkan keputusan pemerintah tertanggal 2 Januari 1849 untuk mencetak ahli kesehatan yang
akan diperbantukan di rumah sakit-rumah sakit militer di Batavia. Untuk pertama kali, sekolah ini
dinamakan Sekolah Dokter Jawa dan mulai melangsungkan kegiatan pembelajaran pada tahun 1851. Pada
awalnya, sekolah ini hanya memiliki masa studi selama dua tahun, kemudian diperpanjang menjadi tiga
tahun sejak tahun 1864. Masa studi kembali diperpanjang menjadi lima atau enam tahun pada 1875, dan
gelar yang disandang lulusannya pun juga mengalami perubahan, dari Dokter Jawa menjadi Ahli
Kesehatan Pribumi (Inlandsch Geneeskundige). Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 23; Depdibud,
Pendidikan di Indonesia, 97.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
160
ada pada saat itu. Karena statusnya yang tidak legal dimata pemerintah Hindia
Belanda, maka keberadaannya tidak menjadi bagian dari kewenangan dan tanggung
jawab Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Sebaliknya, pembinaan,
pengawasan, dan bahkan “pemberangusan” pesantren-pesantren di Hindia Belanda
berada dibawah tanggung jawab penuh Kantor Urusan Bumiputra (Kantoor voor
Inlandsche Zaken).
Pembiaran dan diskriminasi pemerintah kolonial dengan menempatkan
lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren-pesantren di Jawa dan
Madura direspon oleh elit muslim Hindia Belanda dengan membangun sikap dan
tindakan yang berbasis pada mentality outsiders. Melalui pesantren-pesantren yang
dikelolanya, elit muslim “mengambil sikap anti Belanda”, dan meniru atau
menggunakan segala atribusi gaya hidup (life style) yang berada di lingkungan
sekolah-sekolah bergaya Eropa (Belanda) adalah haram hukumnya. Konsekuensinya,
“celana dan dasi” yang biasa dikenakan oleh para guru dan siswa di sekolah-sekoah
bergaya Eropa adalah haram hukumnya, karena bagi mereka, “dinilai sebagai
pakaian identitas Belanda”.58
Menurut Suminto, sikap dan tindakan yang diputuskan oleh para elit muslim
dan pesantren-pesantren tersebut didasarkan pada satu teks Hadits Nabi SAW:
فهو منهم بقوم من تشبه“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
kaum tersebut” (HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, Tirmidzi, Abdun bin
Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Imam Thabrani, Imam Baihaqi, dan lain-lain).59
58
Suminto, Politik Islam, 50. 59
Suminto, Politik Islam, 51. Teks hadits yang melarang bagi setiap muslim untuk menyerupai
terhadap orang-orang kafir diperkuat oleh ayat al-Qur’an yang menegaskan:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
161
Penggunaan teks Hadits diatas menjadi basis legitimasi untuk membangun sikap
mentality outsiders, bukan lah tanpa alasan. Selain sangat populer dikalangan
masyarakat muslim, hadits diatas juga memiliki bentuk teks berbeda dengan jalur
periwayatan yang berbeda-beda pula.
Dalam riwayat Imam Ahmad, misalnya, teks Hadits secara lengkap
menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin kalian; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kalian menjadikan mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang zalim” (QS: Al-Maidah (5): 51).
Ayat diatas diperkuat dengan ayat lain yang beralih dari religiusitas Islam dan beralih untuk mengikuti
orang lain di luar Islam. Ayat dimaksud menegaskan:
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada
sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur
pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS: Al-Nur
(24): 63).
Demikian pula, ayat yang menegaskan larangan untuk meniru perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh
orang-orang munafik dan musyrik.
“(Keadaan kamu Hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti Keadaan orang-orang
sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari
kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu
sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal
yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. mereka itu amalannya menjadi sia-sia di
dunia dan di akhirat; dan mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS: Al-Taubah (9): 69).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
162
حدثٌا ابىالٌضز، حدثٌا عبدالزحوي بي ثابت، حدثٌا حساى بي عطٍة، عي أبً هٌٍب
بعثت بٍي ٌدي : قال رسىل اهلل صلى اهلل علٍَ وسلن: الجزشً، عي ابي عوز، قال
لَ، وجعل رسقً تحت ظل رهحً، الشزٌك وحدٍ الساعة بالسٍف حتى ٌعبد اهلل
.فهى هٌهن وجعل الذلة والصغار على هي خالف أهزي، وهي تشبَ بقىم
‚Telah berbicara kepada kami Abu> al-Nad}ri, telah berbicara kepada kami
Abdurrahma>n bin Tha>bit, telah berbicara kepada kami Hassa>n bin At}iyah,
dari Abu> Muni>b al-Jurasyi>, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW
telah bersabda: ‚Aku diutus diantara genggaman suatu masa dengan pedang
sehingga (manusia) menyembah Allah SWT dengan ke-Esa-an yang tidak
ada persekutuan bagi-Nya, dan telah dijadikan rizkiku dibawah bayang-
bayang tombakku, dan telah dijadikan kehinaan dan kecil harga dirinya
dihadapan orang yang menentang perintahku, dan barang siapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari kaum tersebut.60
Sedangkan teks Hadits secara lengkap dalam riwayat Abu Dawud dapat dijabarkan
sebagai berikut:
شٍبة، آخبزًا ابىالٌضز، حدثٌا عبدالزحوي بي ثابت، حدثٌا أبى بي حدثٌا عثواى
قال رسىل اهلل صلى : حساى بي عطٍة، عي أبً هٌٍب الجزشً، عي ابي عوز، قال
.فهى هٌهن هي تشبَ بقىم: اهلل علٍَ وسلن
‚Telah berbicara kepada kami Uthman bin Abi Syaibah, telah mengabarkan
kepada kami Abu> al-Nad}ri, telah berbicara kepada kami Abdurrahma>n bin
Tha>bit, telah berbicara kepada kami Hassa>n bin At}iyah, dari Abu> Muni>b al-
Jurasyi>, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:
‚Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari
kaum tersebut‛.61
Hadits tentang keharusan untuk menjauhi melakukan imitasi terhadap apapun yang
memiliki keterkaitan dengan kolonial Belanda dan peradaban Eropa tersebut menjadi
bagian penting dalam tradisi pesantren. Oleh karena itu, tidak mengherankan, jika
60
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadist lain yang hampir sama redaksi matannya dari Ibnu
Umar. Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Riyadh: Bait al-Ifkar al-Dauliyah,
1998), 410. 61
Abu Dawud, ‚Sunan Abu> Dawu>d‛, dalam Abdurrahma>n Muhammad Uthma>n, ‘Au>n al-Ma’bu>d Syarh Sunan Abu> Dawu>d, Vol. XI (Madinan: al-Nasyi>r Muhammad Abdul Muhsin, 1969), 86.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
163
kalangan pesantren, para guru agama, kyai dan para santri menjadi anti-
kolonialisme. Banyak kasus gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial justru
dimotori oleh guru-guru agama yang mengelola pesantren dan santri-santri mereka.
Setidak-tidaknya, mereka tidak memiliki keinginan untuk mendekat atau menjadi
bagian dari penjajah, meskipun hanya berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari.
Karena bagi kalangan pesantren, pemerintah kolonial maupun yang menjadi bagian
didalamnya berstatus kafir hukumnya menurut Islam.
B. Politik Etis, Subsidi Pendidikan
Dan Pelapisan Lembaga Pendidikan Islam
Perkembangan tidak terduga terjadi pada era pemberlakuan politik etis, yang
ditandai oleh kesediaan elit-elit muslim untuk mengadaptasi sistem pendidikan
modern bergaya Eropa. Beberapa madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam
bergaya Eropa didirikan dan bermunculan paska tahun 1900-an. Selain
menggunakan sistem klasikal, lembaga-lembaga pendidikan Islam juga mengadopsi
kurikulum pembelajaran yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial dengan
memasukkan mata pelajaran umum dan menggunakan huruf latin dalam kegiatan
tulis menulis di madrasah maupun sekolah. Perkembangan ini, tentu saja, berhasil
“memikat” dan mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk merubah
kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan. Salah satu perubahan kebijakan
terpenting adalah, kebijakan pemberian bantuan finansial (subsidi) kepada madrasah-
madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa yang mengajukan permintaan
kepada pemerintah kolonial.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
164
Perubahan kebijakan, pada saat yang sama, menandai hadirnya pola baru
pelapisan (stratifikasi) lembaga-lembaga pendidikan. Jika sebelumnya, lekatnya
pelapisan terjadi dengan menempatkan lembaga-lembaga pendidikan kedalam
lapisan paling bawah, maka di era politik etis muncul pembengkakan (polarisasi).
Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi, secara keseluruhan, berada dalam
satu stratum yang tunggal. Sebaliknya, di era pemberlakuan kebijakan politik etis,
pemerintah kolonial mereproduksi dua stratum diinternal lembaga-lembaga
pendidikan Islam. Madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa
(Belanda) berada dalam lapisan yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir
lainnya, baik yang dikelola oleh Zending, Missi, maupun aktifis-aktifis nasionalis
sekuler, dan tentu saja, berhak mendapatkan subsidi. Sebaliknya, pesantren-
pesantren maupun madrasah-madrasah bergaya Eropa yang kukuh menolak
persyaratan-persyaratan mengajukan subsidi berada dilapisan paling bawah, yang
tidak mendapatkan jatah finansial dari pemerintah kolonial dan tetap ditempatkan
diluar sistem pendidikan Hindia Belanda dengan statusnya sebagai “sekolah liar”.
Secara historis, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mulai mengadaptasi
sistem Eropa (Belanda) dapat dirunut sejak berdirinya Madrasah Mamba’ul Ulum di
Surakarta. Laporan Umum tentang Pendidikan (Algemeen Verslag van het
Onderwijs) tahun 1906 yang dikeluarkan oleh Inspektur Pendidikan Dasar
menyebutkan, telah berdiri “Sekolah Pastor Tinggi” di Surakarta melakukan aktifitas
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
165
pembelajaran.62
Steenbrink menyebut keberadaan sekolah ini “sebagai pelopor
dalam pembaharuan pendidikan (Islam), antara lain (dengan) memasukkan beberapa
unsur pendidikan barat kedalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia”.63
Proposisi Steenbrink didasarkan pada pertimbangan bahwa, madrasah ini selain
mengajarkan berbagai mata pelajaran agama semata dan menggunakan bahasa arab,
namun pada saat yang sama “juga diberikan mata pelajaran ilmu falak, pengetahuan
tentang peredaran matahari, perhitungan tentang gerhana matahari, aljabar dan
mathiq (logika)”.64
Mamba’ul Ulum bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang
melakukan pembaharuan dengan mengadaptasi sistem barat (Eropa). Di wilayah
Hindia Belanda, gerakan pembaharuan kelembagaan pendidikan Islam
menggelinding begitu cepat, misalnya, di Sumatera Barat. Berdirinya lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang mengadaptasi sistem Eropa, seperti Madrasah
Adabiyah (Adabiyah School), Madras School, Madrasah Diniyah (Diniyah School),
Arabiyah School, dan madrasah-madrasah yang berada dibawah koordinasi
Sumatera Thawalib menjadi petunjuk penting berlangsungnya gerakan pembaharuan
pendidikan Islam di Sumatera Barat.
Madrasah Adabiyah diakui sebagai “pelopor perubahan dan pembaharuan
yang pertama kali dilakukan di Sumatera Barat dalam bidang pendidikan Islam dan
62
Selain dikenal sebagai Sekolah Pastor Tinggi, madrasah ini juga di sebut dengan nama Sekolah
Penghulu (Opleiding School voor Penghulu). Ibnu Qayim Ismail, Kiai, Penghulu Jawa, Peranannnya di
Masa Kolonial (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 80; Suminto, Politik Islam, 8. 63
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36. 64
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
166
pendidikan pada umumnya”.65
Perubahan ditandai oleh pergeseran dari “sistem surau
ke pendidikan yang mempergunakan sistem sekolah (bergaya Eropa) seperti yang
dilakukan oleh Belanda”.66
Pada awalnya, madrasah mengambil di surau yang
berlokasi di Padang Panjang, namun oleh Abdullah Ahmad dipindahkan ke surau
pamannya di Padang.67
Ketika masih di Padang Panjang, selain menggunakan sistem
klassikal, madrasah ini juga memasukkan ilmu pengetahuan umum, seperti membaca
dan menulis huruf latin, berhitung, ilmu bumi, dan bahasa.68
Bahkan, paska
perpindahan lokasi sekolah ke Padang, karena tuntutan masyarakat dan pendidikan
umum lebih laku di daerah tersebut, maka mata pelajaran umum lebih ditekankan
dari pada mata pelajaran agama. Abdullah Ahmad bahkan mendatangkan empat guru
berkebangsaan Belanda dan dua guru berkebangsaan Indonesia yang memiliki ijazah
mengajar setingkat HIS.69
Karena memiliki kesetaraan dengan sekolah-sekolah dasar
65
Madrasah Adabiyah didirikan oleh salah satu tokoh muda ternama Minangkabau bernama
Abdullah Ahmad. Ia lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 dari keluarga haji dan sekaligus sebagai
pedagang kecil. Noer, Gerakan Modern, 46. Seperti ulama-ulama Minang lainnya, ia lebih dulu
menyelesaikan pendidikan dasar Islam di lingkungan keluarga dan beberapa daerah sekitar Padang
Panjang. Ia mulai terlibat dalam dunia pendidikan sekembalinya menuntut ilmu dari Makkah pada tahun
1899. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36. 66
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), I85. 67
Pada awalnya, Madrasah Adabiyah didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang Panjang pada
tahun 1909, namun “belum sampai usia setahun sekolah ini sudah ditutup dan dipindahkan ke Padang”.
Setidaknya terdapat dua faktor penting yang melatari perpindahan Madrasah Adabiyah dari Padang
Panjang ke Padang. Pertama, lokasi madrasah kurang strategis untuk “perdagangan kain (dimana
Abdullah Ahmad aktif bekerja) dan keinginan untuk menerbitkan koran, sedangkan fasilitas dan relasinya
yang baik terdapat di Padang”. Kedua, munculnya perlawanan dari masyarakat Padang Panjang terhadap
pendirian sekolah tersebut, sehingga ketika sekolah dibuka, praktis tidak mendapatkan siswa baru”.
Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 39. 68
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 86. 69
Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 39. Perubahan statusnya ini menempatkan Madrasah
Adabiyah sebagai “HIS yang pertama di Minangkabau yang memasukkan mata pelajaran agama dalam
rencana pembelajarannya”. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya
Agung, 1996), 63.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
167
Boemipoetra pada umumnya, maka Madrasah Adabiyah pada tahun 1915 dirubah
statusnya menjadi HIS Adabiyah.70
Gerakan modernisasi madrasah Abdullah Ahmad yang mengadaptasi sistem
sekolah bergaya Eropa (Belanda) mendorong elit agama lainnya di Sumatera untuk
melakukan langkah yang sama. Syeikh Muhammad Thaib Umar, salah satunya, tiga
tahun setelah berdirinya Madrasah Adabiyah, ia membangun sekolah dengan model
yang sama bernama Madras School di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1913.71
Meskipun tidak mengadaptasi ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari
kurikulum pembelajaran, namun madrasah ini telah menggunakan sistem klasikal.72
Data Yunus menyebutkan, Madras School akhirnya ditutup karena kekurangan
tempat pada tahun 1913, namun pada tahun 1918 dibangun lagi oleh Mahmud
Yunus. Pada 1923, nama lembaga dirubah lagi menjadi Diniyah School dan kembali
dirubah menjadi Al-Jami’ah Islamiyah di tahun 1931.73
70
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 151. 71
Muhammad Thaib Umar lahir di Sungayang Batusangkar pada tahun 1874 dari keluarga yang
taat beragama. Ayahnya sendiri bernama Umar bin Abdul Kadir yang dikenal sebagai guru mengaji di
Sungayang. Paska mendapatkan pendidikan dari keluarganya, Thaib Umar meneruskan studinya ke
beberapa Ulama Surau, seperti Haji Muhammad Yasin di Surau Sawah Tengah Sungayang, Syeikh Haji
Abdul Manan di Surau Talao Padang Ganting-Batusangkar, dan Syeikh M. Salih di Surau Padang Kandis
Suliki Payakumbuh. Seperti halnya Abdullah Ahmad, setelah menempuh studi di beberapa surau, Thaib
Umar menununaikan haji sambil belajar ke beberapa ulama ternama asal Jawi di Makkah, termasuk
kepada Syeikh Khatib Minangkabawi. Sekembalinya dari Makkah pada tahun 1897, Thaib Umar mulai
menyelenggarakan pengajian sistem surau dan akhirnya sesudah tahun 1908, sistem pengajaran surau
direformasi total menjadi sistem madrasah. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 156.
Nama Madras School yang digunakan oleh Thaib Umar tidak diketahui maksudnya hingga kini.
Burhanuddin, salah satunya mengatakan “tidak jelas kenapa dinamakan Madras, mungkin singkatan dari
kata Madrasah atau Sekolah Madrasah, yang berarti sekolah agama atau kombinasi sekolah dan agama
atau sekolah yang mata pelajarannya terdiri dari agama dan umum”. Burhanuddin Daya, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam, Kasus Sumatera Thawalib (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1996), 160. 72
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 88. 73
Yunus, Sejarah Pendidikan, 66.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
168
Penggunaan sistem persekolahan bergaya Eropa sebagai bagian dari
gelombang reformasi kelembagaan pendidikan Islam semakin mengemuka di
Sumatera Barat, ketika tokoh muda lainnya bernama Zainuddin Labay El-Yunusi
mendirikan Madrasah Diniyah (Diniyah School) di Padang Panjang pada 15 Oktober
tahun 1915.74
Seperti halnya Madrasah Adabiyah, Madrasah Diniyah juga telah
menggunakan sistem klasikal dalam kegiatan pembelajarannya. Kurikulum yang
dipergunakan juga tidak hanya berisikan mata pelajaran agama semata, melainkan
juga telah memasukkan berbagai disiplin pengetahuan umum.75
Madrasah ini pula
yang mempelopori penggunaan sistem ko-edukasi seperti yang banyak diberlakukan
oleh sekolah-sekolah partikelir sekuler maupun milik pemerintah.76
Salah satu
Capaian terpenting Zainuddin Labay dengan Madrasah Adabiyahnya adalah,
penerimaan masyarakat muslim lokal Minangkabau yang begitu besar. Steenbrink
menggambarkan,
“Diniyah School yang dirintis oleh Zainuddin Labay ini ternyata juga banyak
mendapat reaksi yang hebat. Sebagai gambaran umum, pada tahun 1922 di
Sumatera Barat telah terdapat 15 belas sekolah yang mengikuti sistem ini.
Pada tahun yang sama, para murid sekolah ini menggabungkan diri dan
74
Zainuddin Labay el-Yunusi lahir di Padang Panjang pada tanggal 12 Rajab 1308 H/1890 dari
keluarga yang terpandang secara religious. Ayahnya yang bernama Syeikh Muhammad Yunus merupakan
salah satu guru agama Islam ternama di Padang Panjang. Ditengah penerimaan yang luar biasa terhadap
gagasan reformasi pendidikan Islam di Minangkabau, ia begitu cepat meninggalkan dunia. Ia meninggal
dalam usia masih sangat muda, yaitu 34 tahun dan tepatnya pada 1924 M. Samsul Nizar,
Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), 20. Setelah mendapat pendidikan dasar-dasar keagamaan dilingkungan
keluarga, ia melanjutkan studinya ke beberapa ulama muda terkenal saat itu. Kali pertama ia
memperdalam ilmunya kepada Syeikh Abdullah Ahmad di Padang, namun karena tidak merasa cocok, ia
kembali memutuskan ke Padang Japang, Payakumbuh untuk berguru kepada Syeikh Haji Abbas Abdullah.
Setelah cukup lama belajar dan sekaligus menjadi salah satu pengajar di Surau Syeikh Abdullah Abbas, ia
memutuskan untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri dengan nama Madrasah Diniyah (Diniyah
School) pada tahun 1915. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 163. 75
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 89. 76
Noer, Gerakan Modern, 62.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
169
membentuk organisasi yang bernama “Persatuan Murid-Murid Diniyah
School”.77
Arabiyah School juga dapat disebut sebagai madrasah dan menjadi bagian dari
kelembagaan pendidikan Islam di Sumatera Barat yang mengadaptasi sistem
persekolahan Eropa. Sekolah yang didirikan oleh Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukit
Tinggi pada tahun 1918 ini, meskipun dengan bangunan sangat sederhana sudah
menggunakan sistem klasikal. Seperti halnya Madrasah Diniyah, Arabiyah School
juga memasukkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari
kurikulum pembelajaran.78
Dari Arabiyah School ini, beberapa madrasah yang
memiliki paradigma keagamaan sejalan dengan Syeikh Abbas mendirikan Persatuan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Islamiyah pada 5 Mei 1928 di Candung, Bukit
Tinggi.79
Selain beberapa madrasah diatas, Sumatra Thawalib dapat disebut sebagai
lembaga pendidikan yang paling penting dalam gerakan pembaharuan pendidikan
77
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 46. Catatan Noer menunjukkan, kelima belas sekolah
tersebut tersebar di berbagai wilayah Minangkabau, seperti; 1) Solok; 2) Silungkang; 3) Bukit Tinggi; 4)
Payakumbuh; 5) Pariaman; 6) Carik (Banuhampu); 7) Maninjau; 8) Balingka; 9) Sungai Aur (Ujung
Gading); 10) Sasak; 11) Sumpu; 12) Guning; 13) Ampek Angkek; 14) Sawahlunto; dan 15) Kamang.
Noer, Gerakan Modern, 62. 78
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 91-92. 79
Yunus, Sejarah Pendidikan, 97. Selain Syeikh Abbas, beberapa ulama pengelola madrasah yang
hadir dalam pertemuan tersebut, seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syeikh Muhammad Jamil Jaho,
Syeikh Abdul Wahid ash-Shalihy, Syeikh Arifin Arsyadi, Syeikh Muhammad Salim, Syeikh Khatib Ali,
Syeikh Muhammad Said, Syeikh Makhudum, Syeikh Muhammad Yunus, Syeikh Adam, Syeikh Hasan
Basri, dan Syeikh Abdul Madjid. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), 96. Beberapa madrasah yang dikelola mereka, dapat disebut, misalnya, Madrasah Islamiyah
Candung Bukit Tinggi yang berdiri pada tahun 1907, Madrasah Tabek Gadang yang mulai membuka
pelajaran di tahun 1906, dan Madrasah Tarbiyah Batu Hampar yang dibangun pada tahun 1910. Yunus,
Sejarah Pendidikan, 97. Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sendiri merupakan “organisasi yang
bertanggung jawab untuk membina dan memperjuangkan serta mengembangkan madrasah-madrasah
tarbiyah yang sudah ada”. Demikian pula, organisasi ini juga berfungsi sebagai wadah komunikasi dan
koordinasi untuk merumuskan “kesatuan pola dalam pembinaan madrasah, baik nama, sistem pengajaran
maupun kurikulumnya”. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. IV, 96.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
170
Islam di Sumatera Barat, terutama dalam penerapan sistem persekolahan Eropa
(Barat).80
Sumatra Thawalib bukanlah satu lembaga yang tunggal, melainkan lebih
merupakan konsorsium dari berbagai lembaga pendidikan dan tersebar di berbagai
kawasan di Sumatera Barat. Seluruh sekolah-sekolah yang berada dibawah supervisi
Sumatra Thawalib memiliki satu model nyaris sama, menggunakan sistem klasikan
dan sekaligus memasukkan mata pelajaran umum.
Secara garis besar, transformasi sistem persekolahan Eropa kedalam
lembaga-lembaga pendidikan dilingkungan jaringan Sumatera Thawalib terkait
dengan berbagai aspek. Pertama, merubah sistem surau yang bertumpu pada model
pembelajaran halqah menjadi sistem sekolah. Kedua, mempersingkat masa studi
yang berkepanjangan dan tidak ada batas waktu sebagaimana berlaku dalam sistem
80
Sumatera Thawalib pada awalnya merupakan organisasi pelajar yang beranggotakan “pelajar-
pelajar mengaji Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parebek Bukit Tinggi” dengan tujuan
“membina sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran umum dan agama, berdasarkan Islam modern”.
Daya, Gerakan Pembaharuan, 93. Sejarah berdirinya Sumatera Thawalib dapat dirunut sejak berdirinya
“Perkumpulan Sabun” pada tahun 1916. Perkumpulan ini dimotori oleh para siswa atau santri Surau
Jembatan Besi. Perkumpulan Sabun sendiri lebih tepat disebut koperasi dengan managemen sederhana
yang dibentuk setelah mendengarkan substansi Pidato Bagindo Djamaluddin Rasyad dalam sebuah Rapat
Umum di Padang Panjang pada tahun 1915. Dalam pidatonya tersebut, Rasyad menguraikan berbagai
manfaat yang dapat diambil dalam dengan berorganisasi. Dinamakan dengan Perkumpulan Sabun, karena
organisasi ini dibentuk untuk “memenuhi ataupun berusaha memenuhi keperluan sehari-hari para pelajar
seperti sabun, pensil, tinta, dan sebagainya”. Meskipun dalam perkembangannya, organisasi ini sejak
tahun 1917 “tampaknya dapat memenuhi segala macam keperluan pelajar sampai-sampai kepada
menggunting rambut, menjahit pakaian, dobi”. Keuntungan yang diperoleh dari koperasi digunakan untuk
membayar gaji para guru di Surau Jembatan Besi. Noer, Gerakan Modern, 55. Pada saat yang hampir
bersamaan, Syeikh Ibrahim Musa juga mempelopori berdirinya organisasi pelajar di Surau Parebek
dengan nama Jami’atul Ikhwan atau Mudzakaratul Ikhwan pada 14 Agustus 1919, dan akhirnya kembali
dirubah menjadi Sumatera Thuwailib (Pelajar Kecil Sumatera). Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. VI
(Jakarta: PT Intermasa, 2005), 253. Proses pembentukan Sumatera Thawalib mulai mengemuka, ketika
wakil pelajar dari kedua organisasi ini mulai melakukan pertemuan berkala sekali dalam setiap
minggunya. Tidak hanya itu, pertukaran pemikiran antar kedua pengelola juga semakin giat dilakukan,
baik antara pengurus surau dengan pengasuhnya maupun antara Haji Abdul Karim Amrullah dengan
Ibrahim Musa. Serangkaian pertemuan dan tukar pemikiran tersebut menghasilkan keputusan bersama
tentang perlunya persatuan dengan cara membentuk satu organisasi bersama. Noer, Gerakan
Pembaharuan, 56. Puncaknya, pada tanggal 15 Februari 1920 dibentuklah organisasi baru yang bernama
Sumatera Thawalib. Daya, Gerakan Pembaharuan, 91; Noer, Gerakan Modern, 56.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
171
surau menjadi beberapa tahun pelajaran. Ketiga, mengelola penyampaian mata
pelajaran sedemikian rupa dan disesuikan dengan tingkat perkembangan kognitif
siswa. Keempat, meringkas atau membuat diktat-diktat yang akan dipergunakan
sebagai bahan ajar di kelas dengan tidak lagi atau menghindari penggunaan buku-
buku yang cukup tebal. Kelima, memberikan jam mengajar kepada masing-masing
guru berdasarkan keahlian spesifik masing-masing, sehingga konsekuensinya, tidak
ada lagi seorang guru untuk semua mata pelajaran. Keenam, mengatur jadwal
pelajaran kedalam satu daftar pelajaran yang tetap, sehingga guru dituntut
menyesuaikan waktu mengajarnya berdasarkan daftar tersebut dan tidak boleh
mengajar hanya berdasarkan kemampuannya semata. Ketujuh, mewajibkan kepada
siswa membayar biaya pendaftaran awal dan iuran wajib setiap bulan. Kedelapan,
mengatur gaji guru dan pengelola lainnya, termasuk didalamnya penjaga madrasah.
Kesembilan, mengangkat tenaga administrasi yang secara khusus berperan
mengelola administrasi madrasah.81
Jaringan madrasah-madrasah modern Sumatra Thawalib dapat dirunut sejak
Haji Abdul Karim Amrullah kembali dari studinya di Timur Tengah.82
Kesempatan
81
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 94-95. 82
Haji Abdul Karim Amrullah dikenal juga dengan nama Haji Rasul yang lahir di Kampung Kepala
Kabun, Jorong Betung Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Safar 1296 bertepatan dengan 10
Februari 1879 M. Subhan SD, Ulama-Ulama, Syeikh Haji Rasul, Utstadz Ahmad Hassan, KH Zainal
Mustofa, dan KH Isa Anshary (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 33. Sebagaimana tokoh-tokoh muda
Minangkabau lainnya, Haji Rasul berasal dari keluarga dengan latar belakang agama yang taat dan
sekaligus bangsawan. Ayahnya bernama Syeikh Muhammad Amrullah dengan gelar Tuanku Kisai yang
merupakan tokoh agama di daerahnya. Pada awalnya, selain kepada anggota keluarganya, ia juga
menghabiskan waktunya belajar diberbagai surau di Minangkabau. Pada tahun 1894, Ia melanjutkan
studinya di Makkah selama kurang lebih 7 tahun dan sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya.
Noer, Gerakan Modern, 45. Karena kapasitas keilmuwan agama Islam yang begitu mendalam, maka
sekembaliknya dari Makkah, ia mendapat gelar Tuanku Syeikh nan Mudo, sebuah gelar yang
merepresentasikan pengakuan masyarakat Minangkabau terhadap kedalaman ilmunya. Nizar,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
172
luas yang dimilikinya dalam pengelolaan Surau Jembatan Besi Padang Panjang
digunakan seluas-luasnya untuk melakukan modernisasi kelembagaan. Model
pembelajaran tidak lagi menggunakan sistem trasional, melainkan mulai menerapkan
sistem klasikal. Reformasi kurikulum juga menjadi bagian penting dari pembaharuan
Surau Jembatan Besi yang tidak lagi hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama
klasik dan modern. Sebaliknya, beberapa pengetahuan umum juga menjadi materi
wajib yang diajarkan dalam kegiatan pembelajaran.83
Sistem klasikal pada awalnya
hanya berupa tiga kelas, yakni kelas 1, 2, dan kelas 3. Berdasarkan hasil evaluasi
yang dilakukan, maka jumlah kelas ditambah dan secara keseluruhan menjadi tujuh
kelas. Tujuh kelas ini berasal dari kelas 1 yang dipecah menjadi 4 tingkatan, yaitu
1A, 1B, 1C, dan 1D. Sementara kelas 2 dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 2A dan
2B. Sedangkan kelas 3 dipertahankan tetap menjadi satu tingkatan. Formasi kelas ini
kembali mengalami reorganisasi, yakni kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D menjadi kelas 1,
2, 3, dan 4, kelas 2A dan 2B menjadi kelas 5 dan 6, dan kelas 3 menjadi kelas 7.84
Memperbincangkan Dinamika, 17. Meski gelar Syeikh telah disandangnya, namun ia merasa belum cukup
keilmuwan yang dimilikinya. Haji Rasul kembali memutuskan pergi haji ke Makkah sambil menuntut
ilmu untuk kedua kalinya selama beberapa tahun dan kembali ke Minangkabau pada tahun 1906. Noer,
Gerakan Modern, 45. Sekembalinya di Makkah untuk kedua kalinya, ia mendirikan dan mengelola surau
di Maninjau. Ditengah-tengah proses mengelola surau di Maninjau, ia diminta oleh Abdullah Ahmad
untuk membantu mengajar di Surau Jembatan Besi, meskipun tidak menetap. Keterlibatan Haji Rasul di
Jembatan Besi sangat dirasakan oleh Abdullah Ahmad, ia diminta untuk meninggalkan Maninjau dan
menetap di Padang. Sejak saat itu, untuk keperluan mengajar di Jembatan Besi, ia tidak lagi bolak balik
Maninjau-Padang Pandang, melainkan Padang-Padang Panjang. Ketika Haji Abdul Lathif Rasyidi yang
juga merupakan tokoh utama Surau Jembatan Besi selain Abdullah Abbas meninggal dunia, seluruh
masyarakat muslim Padang Panjang meminta kepada Haji Rasul agar menetap dan memimpin Surau. Dan
akhirnya, atas restu dari Abdullah Ahmad, maka Haji Rasul sejak tahun 1912 menetap di Padang Panjang
dan sekaligus pemimpin tunggal Surau Jembatan Besi. Daya, Gerakan Pembaharuan, 86. 83
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 93. 84
Daya, Gerakan Pembaharuan, 115.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
173
Reformasi kelembagaan yang terjadi di Surau Jembatan Besi menginspirasi
Syeikh Ibrahim Musa Parabek untuk memodernisasi surau yang dikelolanya.85
Pada
21 September tahun 1921, Surau Parebek yang dikelola oleh Ibrahaim Musa mulai
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal dan juga
memasukkan mata pelajaran umum kedalam kurikulum yang harus dipelajari oleh
setiap siswa di berbagai tingkatan dan diberi nama Sumatera Thawalib Parebek.86
Pada awal tahun 1926, misalnya, Ibrahim Musa telah berhasil membangun sebuah
gedung sekolah yang terdiri dari tujuh lokal sebagai tempat belajar bagi kelas 1
sampai dengan kelas 7. Tidak hanya itu, ruangan kantor dan kamar khusus untuk
para pengajar juga berhasil dibangun. Untuk memenuhi tempat tinggal para siswa,
Sumatera Thawalib Parebek juga berhasil membangun sebuah asrama bertingkat dua
dengan kapasitas 16 kamar. Sistem pembelajaran modern juga berhasil
diimplementasikan secara sempurna. Selain mata pelajaran umum, ilmu-ilmu sekuler
seperti berhitung, sejarah Islam, ilmu bumi, bahasa Inggris, Perancis dan Belanda
juga diajarkan di kelas.87
Sumatera Thawalib Padang Japang juga menjadi bagian dari gerakan
pembaharuan pendidikan yang dimanifestasikan kedalam adaptasi sistem
85
Syeikh Ibrahim Musa Parebek memiliki nama lengkap Syeikh Ibrahim bin Musa bin Abdul
Malik Perebek lahir pada tahun 1882 di Bukit Tinggi dari keluarga yang taat beragama. Nizar,
Memperbincangkan Dinamika, 20. Pendidikan dasar ke-Islam-an diperolehnya dari ayah dan ibunya yang
bernama Musa dan Maryam, dan setelah mengkhatamkan al-Qur’an pada usia 13 tahun, ia mulai
meneruskan studinya ke beberapa surau. Pada usia 18 tahun, ia melanjutkan studinya ke Makkah selama
kurang lebih 8 tahun. Tidak puas dengan apa yang diperolehnya, ia pada tahun 1909-1912 kembali ke
Makkah untuk menuntut ilmu sambil menunaikan ibadah haji. Noer, Gerakan Modern, 48. Sekembalinya
dari Makkah, ia mendirikan surau dan kemudian direorganisasi menjadi Sumatera Thawalib Parebek pada
21 September 1921. Daya, Gerakan Pembaharuan, 128. 86
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 94. 87
Daya, Gerakan Pembaharuan, 129.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
174
persekolahan Eropa (Barat) juga mengemuka di Sumatera Thawalib Padang Japang.
Gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh Syeikh Abbas Abdullah yang melakukan
perubahan secara radikal terhadap surau yang didirikan dan dikelolanya, yaitu Surau
Padang Japang.88
Adaptasi sistem persekolahan Eropa di Sumatera Thawalib Padang
Japang ini dideskripsikan secara detail oleh Burhanuddin Daya.
“Sekembalinya ke Padang Japang, dicurahkan pikiran, waktu dan tenaganya
kembali kepada Perguruan Sumatera Thawalib, yang sudah tiga tahun
ditinggalkannya itu.89
Sepeninggalnya, memang sekolahnya ini tetap
berjalan, diasuh oleh pembantu-pembantunya. Mereka berhasil membangun
gedung sekolah dan asrama untuk murid-muridnya. Hanya setelah Syeikh
Abbas menanganinya kembali, organisasi sekolah, administrasinya, kegiatan
belajar dan mengajar serta kurikulum dan mata pelajarannya diatur dengan
baik dan disempurnakan. Lama belajar ditetapkan tujuh tahun, kelas satu
sampai dengan kelas tujuh, meniru HIS. Dengan sistem klasikal, pelajar-
pelajarnya duduk dibangku dan menghadapi meja tulis dalam mengikuti
pelajaran, sistem halqah ditinggalkan. Mata pelajarannya terbagi dalam dua
bidang ilmu, agama dan umum. Mata pelajaran agama terdiri dari: ilmu fikih,
ilmu tauhid, tafsir, hadist, sejarah Islam, mantiq, dan bahasa Arab. Mata
pelajaran umum meliputi ilmu bumi, sejarah, berhitung, membaca dan
menulis latin, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan juga bahasa
88
Syeikh Abbas Abdullah anak laki-laki Syeikh Abdullah yang juga dikenal sebagai salah satu
pasukan Padri dalam melawan Belanda. Setelah mendapatkan pendidikan dari keluarga dan surau-surau
sekitarnya, ia dalam usia 13 tahun menunaikan ibadah haji dan menetap disana guna menuntut ilmu
selama kurang lebih 8 tahun. Selama di Makkah, ia memperdalam Islam terutama kepada Syeikh Khatib
Minangkabau, Syeikh Khatib Kumango, Syeikh Latif Syukur, dan lain-lain. Sekembalinya ke Padang
Japang, Syeikh Abbas mendirikan dan mengelola surau dengan sistem tradisional dengan hanya
mengajarkan kitab-kitab keagamaan Islam. Pembelajaran sistem surau terus dpertahankan Syeikh Abbas
hingga kurang lebih lima belas tahun. Dalam kaitan ini, Daya menyebutkan “setelah sekitar lima belas
tahun membina pengajian (di surau) ini, beliau (Syeikh Abbas) berusaha mengubah pengajian di suraunya
dan mengikuti jejak Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dan Haji Ibrahim Musa, mendirikan
Sumatera Thawalib dan mengubah pengajian suraunya menjadi Perguruan Sumatera Thawalib dengan
sistem kelas menurut pola yang berlaku di Jembatan Besi Padang Panjang dan Parebek Bukit Tinggi,
tahun 1919”. Daya, Gerakan Pembaharuan, 133. 89
Sebagaimana dilaporkan Daya, Syeikh Abbas melakukan ibadah haji untuk kedua kalinya pada
tahun 1921. Sementara kegiatan pembelajaran atau pengajian surau diserahkan kepada para pembantunya,
seperti Sa’aduddin dari Padang Japang, Munir Datuk Palindih dari Padang Luar, dan Engku Abizar dari
Koto Tuo”. Selepas menunaikan haji, ia melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan sempat memperdalam
pengetahuan di Negara tersebut. Beberapa Negara lain, seperti Palestina, Syiria, Libanon, dan sekitarnya
juga dijelajahi oleh Syeikh Abbas. Ia dalam perjalanannya juga sempat berkeliling Jawa dan mengamati
berbagai pesantren dan sekolah-sekolah umum, seperti HIS, MULO, AMS, dan sebagainya yang telah
mengalami kemajuan pesar di Jawa. Daya, Gerakan Pembaharuan, 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
175
Indonesia. Buku pelajaran untuk mata pelajaran umum disesuaikan dengan
yang dipakai oleh sekolah umum, terutama sekolah kelas dua (Sekolah Kelad
Dua), sedangkan untuk pelajaran agama dipakai kitab-kitab yang dibawa
sendiri oleh Syeikh Abbas dari Mesir”.90
Perguruan Thawalib Jembatan Besi, Parebek, dan Padang Japang hanyalah tiga dari
begitu banyak Perguruan yang masing-masing seringkali mengelola lebih dari sebua
lembaga pendidikan (madrasah). Beberapa dapat disebut, diantaranya, Perguruan
Sumatera Thawalib Sungayang yang dikelola oleh Muhammad Thaib Umar.
Demikian pula, Sumatera Thawalib Payakumbuh yang mendirikan Mursyidah
School di Batang Tabit, Sungai Kemuning dan dikelola oleh Angku Mudo Karung
Sicincin sebagai kepala madrasah dan Haji Abdullah Abbas Padang Japang sebagai
pemimpin umumnya. Terdapat pula Perguruan Sumatera Thawalib Maninjau yang
merupakan cabang dari Sumatera Thawalib Padang Japang dan pada awalnya
merupakan surau yang diasuh oleh Syeikh Abdussalam. Di Bukit Tinggi juga
terbentuk cabang Sumatera Thawalib Parebek yang dikelola oleh Emil Imron dan
beberapa alumni dari Parebek. Sumatera Thawalib juga berkembang di Pariaman
melalui Sutan Darap (1888-1942), alumni Abdullah Padang Japang dan berhasil
mendirikan Diniyah School di Surau Tepi Air pada tahun 1920. Di Kubang Putih
dekat Bukit Tinggi juga berdiri Sumatera Thawalib School pada tahun 1924 yang
dipelopori oleh Buya Labay Khatib, seorang alumni Padang Panjang. Di Tanjung
Limau, H. Mukhtar yang juga alumni Thawalib Parebek berhasil mendirikan
Madrasah Perguruan Thawalib pada tahun 1923. Pada tahun 1928, Sumatera
90
Daya, Gerakan Pembaharuan, 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
176
Thawalib juga berkembang di Padusunan Pariaman yang pembentukannya dimotori
oleh Engku Bukhari, alumni Thawalib Parebek.91
Contoh-contoh lainnya dapat disebutkan, misalnya, Perguruan Thawalib
Bandar Dalam, Payakumbuh yang mendirikan dua lembaga sekaligus, yaitu Al-Islam
School dan Tauhidul Islam School di Situjuh Batur. Perguruan Thawalib Pasar
Gadang juga mendirikan madrasah di lokasi yang sama. Demikian pula di Lubuk
Lintah, Pauh Sembilan juga telah berdiri Perguruan Sumatera Thawalib yang
digerakkan oleh masyarakat muslim setempat. Para penghulu dan kaum cerdik
pandai yang didukung penuh oleh masyarakat juga mendirikan Perguruan Thawalib
di Lubuk Busung. Bahkan laporan Burhanuddin Daya juga menyebutkan, di Padang
Panjang sendiri juga terdapat madrasah-madrasah yang didirikan dan
diselenggarakan Perguruan Thawalib berbeda, seperti Perguruan Thawalib Sigando
di Gunung, Perguruan Thawalib Ngalau, dan Perguruan Thawalib Padang Lawas.
Selain itu, terdapat Perguruan Thawalib Kampung Dalam (Pariaman) yang
mendirikan Madrasah Al-Manar, dan Sumatera Thawalib Sikapak (Pariaman)
membangun Perguruan Thawalib Sikapak. Di daerah-daerah lain juga berdiri
Perguruan Thawalib dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelolanya,
seperti Perguruan Thawalib Kurai Taji (Pariaman), Perguruan Thawalib Indarung,
Perguruan Thawalib Alang Laweh yang keduanya berlokasi di daerah Padang,
91
Daya, Gerakan Pembaharuan, 136-146.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
177
disusul Perguruan Thawalib Sianok, Perguruan Thawalib Pasar (Bukit Tinggi),
Perguruan Thawalib Bingkang (Solok), dan seterusnya.92
Normaal School (Normal Islam) atau yang dalam bahasa Arab populer
dengan nama Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah juga termasuk dari lembaga-
lembaga yang secara serius mengadaptasi sistem persekolahan Eropa di Sumatera
Barat. Sekolah ini didirikan oleh organisasi Persatuan Guru-Guru Agama Islam
(PGAI) di Minangkabau. Secara resmi, sekolah ini mulai melaksanakan kegiatan
belajar mengajar pada tanggal 1 April 1931.93
Berbeda dengan madrasah-madrasah
yang ada diatas, Normal School sepenuhnya mengadaptasi sistem persekolah Eropa
(Belanda). Laporan Depdikbud menyebutkan,
“Sekolah Normal Islam betul-betul sudah merupakan sekolah umum yang
bercorak Islam, karena dari 17 buah mata pelajaran, sekitar 12 % saja mata
pelajaran Islam dan bahasa Arab. Tetapi kalau dilihat dari jumlah jam
pelajaran, maka jam pelajaran untuk mata pelajaran agama dan bahasa Arab
berjumlah 41%, mata pelajaran umum lebih banyak daripada mata pelajaran
agama.
Sekolah Normal Islam diasuh oleh guru yang ahli dibidang mata pelajaran
agama dan bahasa Arab oleh guru didikan Mesir. Guru yang mengajarkan
92
Daya, Gerakan Pembaharuan, 147-148. 93
Yunus, Sejarah Pendidikan, 103. Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) merupakan organisasi
bagi para guru agama Islam di Minangkabau yang pada dasarnya sudah berdiri pada tahun 1919, namun
baru mendapatkan pengesahan dari pemerintah kolonial satu tahun kemudian (tanggal 7 Juli tahun 1920).
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104. Pendirian organisasi ini dimotori oleh guru
dan sekaligus intelektual muda Minangkabau, Zainuddin Labay el-Yunusi yang saat itu berumur 30 tahun.
Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 47. Ia mendapatkan dukungan penuh dari salah satu ulama
senior kaum muda Minangkabau, yakni Syeikh H. Abdullah Ahmad Padang. Yunus, Sejarah Pendidikan,
93. Beberapa ulama Minang yang terlibat dalam pendirian organisasi dapat disebut, misalnya, Abdullah
Ahmad, Jamil Jambek, Abdul Karim Amrullah, Sutan Ibrahim Parebek, Abdul Rusydi, dan tokoh-tokoh
lain yang berjumlah 15 orang. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104. Dalam
kepengurusan pertama, Zainuddin Labay terpilih menjadi ketua, sementara Jamil Jambek dan Haji Abdul
Karim menempati posisi sebagai penasehat. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 48. Sebagaimana
ditegaskan dalam Anggaran Dasar (AD) PGAI tahun 1921, organisasi ini bertujuan untuk “menjaga
martabat, memperbaiki nasib, dan memberikan pertolongan kepada guru agama Islam, memajukan dan
memperbaiki pengajaran agama Islam”. Selain itu, PGAI juga bertujuan untuk “mendirikan sekolah Islam,
menguasahakan kebebasan dalam pengembangan agama Islam dan lain-lain sebagainya”. Depdikbud,
Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
178
mata pelajaran umum diambil dari tamatan HIK atau AMS atau HBS,
sekolah yang dibina oleh Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Brat. Dari
mereka itu yang diambil hanya ilmunya saja, sedangkan kebiasaan barat
sedapat mungkin tidak diperlihatkan didalam lingkungan Normal Islam”.94
Masih di daerah Minangkabau, transformasi sistem persekolahan Eropa (Barat) juga
mengemuka di lembaga pendidikan yang dikelola oleh dua aktifis perempuan, yaitu
Rahmah el-Yunusiah dan Rohana Kudus. Meski dengan latar belakang berbeda,
keduanya memiliki satu pemikiran. Perempuan Minangkabau harus memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan yang menggunakan
sistem persekolahan bergaya Eropa. Madrasah-madrasah bergaya Eropa yang
tumbuh menjamur di era keduanya belum dirasakan manfaatnya secara optimal bagi
komunitas perempuan. Karena itu, mereka pun tergerak untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang secara eksklusif membuka akses pendidikan bagi perempuan
Minangkabau.
Rahmah el-Yunusiah mendirikan sekolah Islam khusus untuk perempuan
dengan nama Al-Madrasah al-Diniyah (Sekolah Keagamaan) di Padang Panjang
94
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 105. Menariknya, meski menggunakan
standar yang berlaku dalam sistem persekolahan Eropa, namun bagi lulusannya sangat ditekankan untuk
tidak menjadi pegawai pemerintah. Laporan Depdikbud menyebutkan, “suatu hal yang patut di tiru oleh
generasi muda sekarang dari Normal School adalah bahwa tamatannya tidak ada yang menggantungkan
nasib pada pemerintah waktu itu, karena masalah tersebut sudah ditekankan betul sewaktu masih belajar,
baik didalam kelas maupun diasrama”. Dalam kelembagaan Normal School tidak hanya berfungsi sebagai
tempat tinggal, tetapi juga sebagai sarana pendidikan non formal di luar sekolah. Keberhasilan tamatan
Normal Islam bukan hanya pada nilai ijazah saja, tetapi juga kemampuannya untuk mengajarkan dan
menyampaikan pelajaran kepada masyarakat”. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat,
106. Prinsip dasar untuk tidak menggantungkan pekerjaan pada ijazah yang diperolehnya, nampak begitu
kuat dipegang oleh salah satu lulusan Normal Islam, yaitu KH Zarkasyi yang juga pendiri Pondok
Pesantren Modern Gontor Ponorogo (Jawa Timur). Ia bahkan mengkritik sistem persekolahan Eropa
(Belanda) yang semata-mata diorientasikan untuk mencetak tenaga kerja semata di lembaga-lembaga
pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Lance Castles, “Notes on the Islamic School at Gontor”, Indonesia,
Vol. 1 (April 1966), 30-45.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
179
pada 1 November 1923.95
Pada awalnya, sekolah ini masih menggunakan sistem
tradisional, pelajaran diberikan tiap hari selama tiga jam dan proses kegiatan
pembelajaran berlangsung di sebuah masjid Pasar Usang, Padang Panjang. Namun,
sistem klasikal mulai diberlakukan sejak tahun 1924 seiring dengan perpindahan
kegiatan pembelajaran dari masjid ke sebuah balai berlantai dua di dekat masjid.
Selain itu, meja, bangku dan papan tulis juga mulai digunakan untuk menunjang
efektifitas pembelajaran. Sementara lantai atas digunakan sebagai asrama bagi para
pelajar putri dengan kapasitas tampung sebanyak 60 siswa pada tahun 1925. Dalam
perkembangannya, pada 1930, Rahmah berhasil mendirikan sebuah kelas tambahan
tingkat menengah untuk mempersiapkan lulusannya menjadi guru madrasah tingkat
95
Rahmah el-Yunusi lahir di Padang Panjang pada hari Jum’at tanggal 1 Rajab 1318 H/26 Oktober
1900 M dan meninggal di kota yang sama pada hari Rabo, 9 Dzulhijjah 1388 H bertepatan dengan tanggal
26 Februari 1969. Ia lahir dari keluarga yang sangat taat beragama dan tokoh terpenting di Padang
Panjang dan sekitarnya. Ayahnya bernama Syeikh Muhammad Yunus yang pernah menjabat hakim
(qadhi) di Pandai Sikat, Padang Panjang. Sementara kakeknya bernama Imanuddin dikenal luas sebagai
ulama ahli falak dan tokoh penting tarekat Naqsaqabandiyah di Minangkabau. Sementara ibu Rahmah el-
Yunusi bernama Rafi’ah. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 93. Ia adalah adik dari Zainuddin Labay,
sehingga tidak mengejutkan, jika pendidikan pada masa kecilnya dihabiskan bersama bersamanya,
meskipun kakaknya yang lain bernama Muhammad Rasyid juga berperan penting. Meskipun hanya
sampai mengenyam pendidikan formal ditingkat dasar selama tiga tahun, tetapi karena didikan kedua
kakaknya tersebut, Rahmah cukup lancar membaca dan menulis huruf Arab maupun huruf latin.
Junaidatul Munawarah, “Rahmah el-Yunusiah: Pelopor Pendidikan Perempuan”, dalam Ulama
Perempuan Indonesia, ed. Jajad Burhanuddin dkk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 5. Selain
kepada kedua kakaknya, ia juga belajar kepada beberapa ulama surau terkenal saat itu, seperti Abdul
Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Demikian pula, ia juga sempat berguru kepada
Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Abdul Rasyid Rasyidi, Muhammad Jamil Jambek, dan Daud Rasyidi.
Adjisman dkk, Rahmah el-Yunusiah, Tokoh Pembaharu Pendidikan dan Aktifis Perempuan di Sumatera
Barat (Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional-Badan Pengembangan Kebudayaan dan
Pariwisata, 2002), 23-24. Tidak hanya pengetahuan Islam, Rahmah juga sangat tertarik dengan
pengetahuan umum, terutama yang berkenaan dengan reproduksi perempuan. Ia pernah mengikuti kursus
ilmu kebidanan di RSU Kayu Taman pada tahun 1931-1935 dan berhasil mendapatkan ijin praktek dari
dokter. Ilmu kebidanan tradisional juga dipelajarinya dari kakak ibunya, Kudi Kurai yang pernah
menangani persalinan Rahmah dan Sutan Syahrir. Untuk menyempurnakan pengetahuan tentang
kesehatan, ia juga pernah berguru secara langsung kepada enam dokter yang pernah mengajarnya ditempat
kursus ilmu kebidanan, yaitu dr. Sofyan Rasyad, dr. Tazar, dr. A. Saleh, dr. Arifin, dr. Rasidin, dan dr.
Sani. Menariknya, Rahmah juga pernah mendalami “gimnastik dari seorang guru Belanda, Mej. Oliver,
pada Majelis Normal School (Sekolah Pendidikan Guru) di Guguk Malintang”. Munawarah, “Rahmah el-
Yunusiah”, 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
180
dasar. Puncaknya, Rahmah pada tahun 1937 berhasil membangun sekolah guru
khusus untuk perempuan, dan dalam waktu hampir bersamaan, sekolah jenis yang
sama berhasil pula didirikan khusus untuk siswa laki-laki.96
Selain menggunakan sistem klasikal, sekolah yang didirikan Rahmah juga
memasukkan mata pelajaran umum. Hanya saja, masuknya ilmu-ilmu umum dalam
kurikulum madrasah dilakukan secara bertahap. Hasil laporan penelitian
menyebutkan,
“Selain mempersiapkan sarana fisik, Rahmah juga memperhatikan
pengembangan bidang kurikulum dan program pendidikan. Sekolah yang
semula hanya mengajarkan ilmu agama, lima tahun kemudian secara
bertahap memasukkan mata pelajaran umum (sekuler) dalam kurikulumnya,
disamping program ekstra kurikuler seperti renang, bertenun, menganyam,
dan musik. Pelajaran sekuler mulai dimasukkan dalam kurikulum pada 1928,
kemudian dikembangkan lebih luas pada 1931 dan 1938, sehingga dalam
kurikulumnya terdapat pelajaran bahasa Indonesia, menulis latin, berhitung,
kesehatan, ilmu bumi, menggambar, ilmu tumbuhan, ilmu binatang, kerja
tangan, bahasa Inggris, hitung dagang, tata buku, ilmu tubuh manusia, ilmu
alam, dan bahasa Belanda”.97
Sementara Rohana Kudus berhasil mendirikan Sekolah Amai Setia yang secara
khusus juga diperuntukkan bagi perempuan.98
Sebelum mendirikan sekolah
bersistem Eropa, Rohana sejak umur 12 tahun telah menyelenggarakan pendidikan
96
Noer, Gerakan Modern, 63. 97
Munawarah, “Rahmah el-Yunusiah”, 18. 98
Rohana Kudus lahir di Koto Gadang Bukit Tinggi pada tanggal 28 Desember 1884 dengan nama
singkat Rohana. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 158. Pada usia 24 tahun, ia
menikah dengan Abdoel Koedoes yang kemudian nama belakang suaminya nya sekaligus menjadi nama
belakang Rohana. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 92. Berbeda dengan Rahmah el-Yunusi yang
berlatar belakang keluarga muslim taat, ia merupakan keturunan bangsawan. Ayah Rohana bernama
Muhammad Arsyad Maharadja Sutan yang berprofesi sebagai juru tulis. Jika dilihat dari silisilah keluarga
besarnya, ia merupakan kakak sulung seayah lain ibu dengan St Syahrir dan masih satu nenek dengan Haji
Agus Salim. Karena latar belakang keluarga ini pula yang membuka kesempatan dirinya untuk menempuh
dan menyelesaikan pendidikannya di Normaal School voor Meisjers. Setelah selesai studinya, ia bersama-
sama dengan beberapa temannya mendirikan lembaga pendidikan yang secara khusus diperuntukkan bagi
perempuan. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 92.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
181
non formal, tepatnya pada tahun 1896. Dalam usianya tersebut, ia sudah mengajar
teman-teman sebayanya untuk menulis dan membaca tulisan dalam bahasa Arab dan
latin. Ketika usianya memasuki 21 tahun, ia mendirikan lembaga pendidikan yang
diberinya nama Sekolah Gadis di Koto Gadang, Bukit Tinggi dengan materi
pelajaran utamanya Kerajinan Wanita. Enam tahun kemudian, tepatnya pada 1
Februari 1911, ia pun berhasil mengubah Kerajinan Amai Setia yang pada awalnya
merupakan lembaga kursus khusus bagi perempuan menjadi Sekolah Amai Setia.99
Berbagai madrasah dan sekolah Islam diatas hanyalah merupakan contoh dari
begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam di Minangkabau yang berhasil
memodernisasi kelembagaan masing-masing seiring berjalannya impelementasi
kebijakan politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun tidak
merepresentasikan perkembangan kuantitas yang sesungguhnya atas fenomena
menguatnya transformasi sistem persekolahan Eropa dikalangan masyarakat muslim
Minangkabau, tetapi contoh-contoh diatas menjadi petuntuk penting pergeseran
sistem kelembagaan pendidikan Islam. Di Minangkabau, surau tidak lagi menjadi
satu-satunya model kelembagaan pendidikan Islam, tetapi sebaliknya, terdapat pula
madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam dengan coraknya yang cukup
beragam. Meskipun madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam secara
keseluruhan memiliki satu sistem kelembagaan yang sama, menggunakan sistem
klasikal dan memasukkan mata pelajaran umum kedalam kurikulum pembelajaran.
99
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 145; Ahmadi, Sejarah Pendidikan, 37;
Jumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 158.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
182
Sejak tahun 1900-an, menguatnya transformasi sistem persekolahan Eropa
(Barat) tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, melainkan juga mulai merasuk ke
Jawa. Hal ini ditandai oleh berdirinya madrasah-madrasah maupun sekolah-sekolah
Islam yang menggunakan sistem klasikal dan sekaligus memasukkan mata pelajaran
pengetahuan umum (sekuler). Sebagian besar, lembaga-lembaga pendidikan Islam
bersistem Eropa didirikan dan dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan Islam.
Dan hanya sebagian kecil diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut yang
dikelola oleh elit-elit muslim secara perseorangan maupun jaringan keluarga besar.
Selain di madrasah Mamba’ul Ulum, madrasah Jami’at Khair dapat disebut
sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang mulai mengadaptasi sistem
persekolahan Eropa di Jawa paska pemberlakuan kebijakan sistem politik etis.100
Kehendak kuat Jami’at Khair untuk mengadaptasi sistem persekolahan Eropa pada
dasarnya sudah mulai mengemuka sejak tahun 1901, namun upaya yang dilakukan
menemui jalan buntu. Organisasi Islam ini baru berhasil mendirikan madrasah
tingkat dasar dengan sistem Eropa pada 1905, sebuah lembaga pendidikan “pertama
100
Jami’at Khair didirikan oleh muslim keturunan Arab di Jakarta yang bergerak dalam bidang
sosial dan pendidikan. Organisasi ini sudah mulai menjalankan aktifitasnya sejak tahun 1905, namun
masih bersifat informal dan diam-diam, karena belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Meskipun keanggotaan organisasi bersifat terbuka dan tanpa diskriminasi, organisasi ini didirikan hampir
sepenuhnya oleh masyarakat muslim keturunan Arab di Jakarta. Beberapa dari mereka dapat disebut,
misalnya, Sayid Muhammad Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur, Syeikh Muhammad bin Abdullah bin
Syihab, dan Sayid Syehan bin Syihab. Noer, Gerakan Modern, 68. Setelah menjalankan aktifitasnya
secara informal, pada tahun 1903 organisasi ini mengajukan izin resmi kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Dan baru dua tahun kemudian, organisasi mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah dengan
nama Jami’at Khair pada tanggal 17 Juni 1905 dengan besluit No. 4. Muhammad Syamsu As, Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999), 282.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
183
bagi masyarakat Arab di Jakarta”.101
Tentang keberadaan madrasah Jami’at Khair
ini, Noer menggambarkan,
“Sekolah Dasar Jami’at Khair didirikan pada tahun 1905. Sekolah ini bukan
suatu sekolah yang semata-mata bersifat agama tetapi merupakan suatu
sekolah dasar biasa dimana bermacam-macam mata pelajaran seperti
berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam), dan ilmu bumi diberikan.
Kurikulum disusun, sedangkan kelas-kelas telah diorganisir. Bahasa
perantara adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, oleh sebab memang
lingua franca dikalangan anak-anak Arab Indonesia adalah bahasa Melayu
atau bahasa daerah, bergantung pada dimana mereka tinggal”.102
Akibat perselisihan tajam antara beberapa pengajar yang berhaluan modernist
dengan elit Jami’at Khair pada tahun 1910 berdampak pada pecahnya organisasi
menjadi dua. Para pengajar berhaluan modernist dimotori oleh Ahmad Syurkati yang
secara terbuka mengkritik praktek-praktek pemberian hak istimewa kepada
keturunan Rasul Muhammad atau lebih populer dengan istilah Sayyid.103
Perselihan
semakin meruncing pada tahun 1913, sehingga Surkati menyatakan keluar dari
101
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 59. 102
Neor, Gerakan Modern, 69. Yang menarik, bahasa Inggris merupakan bahasa wajib kedua
setelah bahasa Indonesia, sementara bahasa Belanda justru tidak diajarkan. Demikian pula, bahasa Arab
juga tidak digunakan sebagai bahasa wajib dalam kegiatan pembelajaran, melainkan hanya menjadi
bahasa pengantar. Tenaga pengajar yang berasal dari Indonesia juga diseleksi secara ketat, dan untuk
guru-guru agama tidak jarang madrasah ini mendatangkan langsung dari negeri Arab. Steenbrink,
Pesantren, Madrasah, Sekolah, 60. 103
Syeikh Ahmad Surkati lahir di Dongola Sudan pada tahun 1292 H bertepatan dengan 1872 M
dari keluarga muslim yang taat dan sekaligus terpelajar. Ayahnya yang bernama Muhammad Surkati
adalah lulusan Universitas Al-Azhar yang memiliki banyak koleksi kahazanah Islam. Bisri Affandi, Syeikh
Ahmad Syurkati (1874-1943), Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999), 209. Selepas menempuh pendidikan dasar dan menengah di Sudan, ia dikirim ayahnya untuk
melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Namun, seperti halnya ayahnya, ia tidak berhasil berhasil
menyelesaikan studinya. Meskipun tidak selesai studinya, ia tidak kembali ke kampung halaman,
melainkan mengembara dan memperdalam ilmunya di Madinah selama kurang lebih 4 tahun dan ke
Makkah selama 11 tahun. Keseriusannya dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman menempatkan dirinya
sebagai orang pertama dari Sudan yang mendapatkan sertifikasi tertinggi guru agama dari pemerintah
Istambul (Turki Utsmani). Noer, Gerakan Modern, 74. Perkenalan Surkati dengan Jami’at Khair terjadi,
ketika organisasi ini membutuhkan guru-guru agama lulusan Al-Azhar dan dia diusulkan oleh teman-
temannya. Akhirnya, ia bersama dengan dua temannya yakni Muhammad Thayyib dari Maroko dan Abdul
Hamid dari Sudan meninggalkan Makkah menuju Jakarta pada tahun 1329 H bertepatan dengan 1911 M.
Affandi, Syeikh Ahmad Syurkati, 210.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
184
Jami’at Khair dan untuk selanjutnya, ia mendirikan organisasi Jami’ah Al-Islam wa
Al-Irsyad Al-Arabiyah atau Al-Irsyad.104
Di Jakarta dan cabang-cabang yang
didirikan diberbagai daerah di Hindia Belanda dan terutama Jawa, Al-Irsyad berhasil
membangun madrasah-madrasah maupun sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa
(Belanda), baik ditingkat dasar, menengah, maupun sekolah guru. Dengan
menggunakan sistem persekolahan Eropa, lulusan Al-Irsyad, seperti di Jakarta dan
Surabaya, tidak saja akhirnya berprofesi sebagai guru dan pedagang, melainkan
“sebagian diantaranya menjadi pegawai pemerintah seperti yang bekerja di kantor-
kantor masalah pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken)”.105
Menguatnya fenomena adaptasi sistem persekolahan Eropa juga terjadi di
Jawa Barat. Hal ini ditandai oleh berdirinya madrasah-madrasah yang
diselenggarakan oleh Persatuan Islam (PERSIS) Bandung.106
Di Bandung, organisasi
Islam modernist ini mendirikan madrasah dari jenjang dasar hingga menengah atas,
terdiri dari madrasah tingkat Tajhiziyah, Tsanawiyah, Mu’allimin, dan Aliyah.
Keseluruhan tingkatan madrasah-madrasah yang diskelola PERSIS tersebut telah
mengunakan sistem klasikal.107
Selain itu, madrasah-madrasah yang ada tidak hanya
mengajarkan ilmu pengetahuan agama semata, melainkan juga mata pelajaran
umum. Untuk tingkat Ibtidaiyah, misalnya, mata pelajaran agama yang diajarkan
104
Secara resmi Al-Irsyad secara resmi berdiri pada tahun 1914, namun baru mendapatkan
pengakuan Pemerintah Hindia Belanda satu tahun kemudian melalui besluit No. 47 tertanggal 17 Agustus
1915 dengan alamat Petojo Jaga Monyet No. 19 Jakarta. Syamsu As, Ulama Pembawa Islam, 288. 105
Noer, Gerakan Modern, 76. 106
Secara resmi, Persatuan Islam (PERSIS) terbentuk pada tanggal 12 September 1923 di Bandung
yang diketuai oleh Ahmad Hassan dan M. Natsir sebagai penasehat sekaligus menjadi guru senior.
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 87. 107
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, 88.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
185
meliputi fikih, Qur’an dan tafsirnya, bahasa Arab, tauhid (teologi), gramatika bahasa
Arab (nahwu dan sharf), tajwid, sejarah Islam, faraidz (hukum waris), membaca dan
menulis huruf Arab, dan pidato dengan menggunakan bahasa Arab. Sementara mata
pelajaran umum mencakup membaca dan menulis huruf latin, berhitung, ilmu bumi,
sejarah, bahasa Indonesia, dan bahasa Daerah.108
Masih di Jawa, tepatnya di Majalengka Jawa Barat juga berdiri sekolah Islam
modern bergaya Eropa (Belanda) dan populer nama “Santi Asrama” atau sekolah
berasrama. Sekolah ini didirikan pada tahun 1932 dan dikelola KH Abdul Halim
bukan hanya memberikan mata pelajaran yang berorientasi pada penguatan aspek
kognitif semata, melainkan juga afektif dan psikomotorik.109
Selain juga
menggunakan sistem klasikal dalam kegiatan belajar mengajarnya. Orientasi pada
aspek kecakapan (psikomotorik) didasarkan pada pertimbangan Halim bahwa, belum
ditermukan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dilengkapi bukan saja
“berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga
108
Yunus, Sejarah Pendidikan, 299. Demikian pula tingkat atau jenjang Tsanawiyah yang juga
mengajarkan mata pelajaran agama dan umum (sekuler) sekaligus. Untuk mata pelajaran agama di tingkat
Tsanawiyah meliputi; 1) tauhid (teologi); 2) tafsir; 3) hadits; 4) fikih; 5) ushul fikih; 6) musthalah hadits;
7) faraidz (hukum waris), 8) nahwu; 9) sharf; 10) bahasa Arab; 11) balaghah; 12) tarikh (sejarah); dan 13)
mantiq (logika). Sedangkan mata pelajaran umum yang diajarkan dan menjadi bagian dari kurikulum
tingkat Tsanawiyah mencakup; 1) bahasa Inggris; 2) bahasa Indonesia; 3) berhitung; 4) ilmu alam; 5) ilmu
bumi; 6 ilmu kesehatan; dan 7) ilmu pedagogis (mengajar). Yunus, Sejarah Pendidikan, 301. 109
Abdul Halim merupakan salah satu tokoh penting pendidikan Islam di Jawa Barat dalam era
kolonial Hindia Belanda. Ia lahir di kampung Cibolerang, Majalengka pada tahun 1887 M dari keluarga
muslim yang sangat taat. Ayahnya yang bernama KH Abdul Halim merupakan pejabat penghulu di
Jatiwangi, Cirebon. Pendidikan dasarnya banyak dihabiskan di berbagai pesantren yang tersebar di Jawa
Barat, seperti pesantren Bobos (Cirebon), pesantren Ciwedas, Cilimus (Kuningan), pesantren Kanayangan
(Pekalongan). Di masing-masing pesantren, ia menghabiskan waktu untuk memperdalam pengetahuan
keislaman selama kurang lebih satu sampai tiga tahun hingga ia berumur 22 tahun. Setelah merasa cukup
belajar di tanah air, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan haji sekaligus memperdalam pengetahuan
Islam dihadapan ulama-ulama terkenal saat itu, misalnya, kepada Syeikh Khayyath. Tepat pada tahun
1911, ia kembali ke Majalengka dan memulai aktifitasnya sebagai motor gerakan pembaharuan
pendidikan Islam di Jawa Barat . Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, 72.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
186
kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian,
bergantung dari bakat masing-masing”.110
Tidak mengejutkan, jika di Santi Asrama,
selain “diberikan pelajaran agama dan umum, juga diberikan pendidikan
ketrampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan ukiran kayu”.111
Selain Jami’at Khair, Al-Irsyad, Santi Asrama PUI dan madrasah-madrasah
PERSIS, organesasi modernist Islam Muhammadiyah dapat disebut sebagai
organisasi yang palings sukses mengadaptasi sistem persekolahan Eropa
(Belanda).112
Sejak organesasi ini didirikan, perluasan akses pendidikan modern bagi
penduduk muslim Boemipoetra menjadi salah satu agenda utamanya. Satu tahun
sebelum wafatnya KH Muhammad Dahlan pada tahun 1923, Muhammadiyah telah
berhasil mendirikan 8 sekolah partikelir dengan sistem Eropa (Belanda) jenjang
pendidikan dasar, menengah dan kejuruan dengan 73 orang guru dan 1.019 siswa.
Sekolah-sekolah bergaya Eropa dimaksud meliputi; 1) Opleiding School di
110
Noer, Gerakan Modern, 82. 111
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 74. 112
Muhammadiyah secara resmi berdiri pada tanggal 18 November 1912 di Yogjakarta dengan KH
Ahmad Dahlan sebagai pendiri utamanya dan didukung sepenuhnya oleh beberapa abdi dalem Keraton
Yogjakarta yang sekaligus menjadi pengurus pertama organisasi. Secara lengkap, pengurus
Muhammadiyah periode pertama, terdiri; 1) Mas Ketib Amin, KH Ahmad Dahlan sebagai Ketua dan Mas
Penghulu, Haji Abdullah Siradj (Sekretaris). Selain Ketua dan Sekretaris, pengurus periode pertama juga
menyertakan beberapa anggota, yaitu: 1) Raden Ketib Tjandana, Haji Ahmat; 2) Haji Abdul Rahman; 3)
Raden Haji Sarkawi; 4) Mas Gebajan, Haji Mohammad; 5) Raden Haji Djaelani; dan 6) Haji Anis; dan 7)
Mas Tjarik, Haji Muhammad Pakih. Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 29; Achmad Jainuri,
The Muhammadiyah Movement in Twentieth-Century Indonesia: A Socio-Religious Study (MA Thesis:
McGill University Montreal, Canada, 1992), 21; Ahmad Najib Burhani, “Revealing the Neglected
Missions: Some Comments on the Javanese Elements of Muhammadiyah Reformism”, Studia Islamika,
Vol. 12, No. 1 (2005), 105; Ahmad Najib Burhani, The Muhammadiyah’s Attitude to o Javanese Culture
in 1912-1930: Appreciation and Tension (MA Thesis: Leiden University, 2004), 50-51; Weinata Sairin,
Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 51-52. Namun,
organisasi ini baru mendapatkan pengesahan (Besluit) dari Gubernur Jendral pada tanggal 14 Agustus
1914, setelah KH Ahmad Dahlan dan Haji Abdullah Siradj mengajukan permohonan pada 20 Desember
1912. Jainuri, The Muhammadiyah Movement, 22; Sairin, Gerakan Pembaharuan, 52.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
187
Magelang; 2) Kweekschool di Magelang dan Purworejo; 3) Normaal School di
Blitar; 4) NBS di Bandung; 5) Algemeene Midelbare School di Surabaya; 6) TS
School di Yogjakarta; 7) Sekolah Guru di Kotagede; dan 8) Hoogere Kweekschool di
Purworejo.113
Sekolah-sekolah bergaya Eropa yang dikelola Muhammadiyah meningkat
sangat signifikan sepeninggalnya KH Ahmad Dahlan. Data tahun 1932, misalnya,
menunjukkan, jumlah lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi modernist
ini mencapai 207 lembaga. Data ini belum termasuk lembaga-lembaga pendidikan
lain yang juga telah menggunakan sistem modern, seperti klasikal dan memasukkan
mata pelajaran umum (sekuler), selain mata pelajaran umum dalam kurikulum
pembelajarannya (lihat tabel). Selain itu, jumlah keseluruhan ini hanya diambil dari
daerah Jawa dan Madura, sehingga angka lebih besar akan didapatkan, jika dihitung
secara keseluruhan di Hindia Belanda.114
Tabel 3
Muhammadijah School in Jawa and Madura in 1932
Type of School West
Java
Central
Java
East
Java
Madura Total
Western School System
Volksschool
Standard School
Schakel School
H.I.S
MULO/Normaal H.I.K
Kweekschool
8
1
0
7
1
1
88
23
17
32
2
3
2
2
5
10
1
0
0
2
1
1
0
0
98
28
23
50
4
4
Total 18 165 20 4 207
Religious Schools
Dinijah
Wustha
2
1
59
9
12
1
4
0
77
11
113
Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan, 23-24. 114
Alfian, Muhammadiyah: Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch
Colonialism (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1989), 190.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
188
Total 3 68 13 4 88
Other Schools
Aisjiah/Meisje School
Jatimschool (School for
Orphans)
Bustan (Kindergarten)
Others
2
0
1
0
6
7
1
4
0
0
0
0
8
0
0
0
0
7
2
4
Total 3 18 0 0 13
Grand Total
24
251
33
8
316
Sumber: Alfian: 1989: 190
Sistem persekolahan Eropa (Belanda) juga berpengaruh dalam proses pembentukan
Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo (Jawa Timur).115
Pondok Darussalam
mendirikan madrasah yang menggunakan sistem klasikal, terdiri dari 6 kelas dengan
masa studi di enam tahun. Selain menggunakan sistem klasikal, madrasah di Gontor
juga menyertakan beberapa pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulum
pembelajaran. Beberapa pengetahuan sekuler yang diajarkan di Gontor meliputi; 1)
Berhitung; 2) Aljabar; 3) Ilmu ukur; 4) Ilmu alam; 5) Ilmu hayat; 6) Sejarah
Indonesia/Umum; 7) Ilmu bumi; 8) Pendidikan ilmu jiwa; 9) Praktek mengajar; 10)
Tata negara; 11) Gerak badan yang merupakan kegiatan ekstrakurikuler; 12
115
Pondok Modern Gontor didirikan pada tahun 1926 bertepatan dengan tahun 1344 H oleh tiga
bersaudara, yaitu KH Imam Zarkasyi, KH Ahmad Zahal, dan KH Zainuddin Fanani. Saat pertama berdiri,
KH Syarkasyi bertanggung jawab sebagai direktur madrasah, sementara Ahmad Sahal menempati posisi
sebagai pengasuh. Sementara Zainuddin Fanani tidak begitu aktif, karena setelah itu, ia diangkat sebagai
pegawai di Departemen Sosial Depsos) Jakarta. Lance Castles, “Notes on Islamic School at Gontor”,
Indonesia, Vol. 1 (April 1966): 30-45, 30. Setelah didirikan pada tahun 1926, pesantren ini mengalami
reorganisasi besar-besaran pada tahun 1936, tepat satu tahun setelah Imam Zarkasyi menyelesaikan
studinya di Normal School Padang. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur (Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional-Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 156. Diatara tiga nama pendiri ini, Imam Zarkasyi lah yang memiliki
peran terpenting dalam menjaga keberlanjutan pesantren di masa selanjutnya. Peran penting yang
mengemuka dalam diri Zarkasyi adalah wajar, karena ia adalah lulusan Normal School Padang yang
dikelola oleh Mahmud Yunus dan kawan-kawan. Catatan Yunus sendiri menyebutkan, Zarkasyi
menyelesaikan studinya dari Normal School pada tahun 1935 M. Yunus, Sejarah Pendidikan, 249. Siti
Fathimah, Modernism and The Contextualization of Islamic Doctrines, The Reform of Indonesian Islam
Proposed by Nurcholish Madjid (MA Thesis: McGill University Montreal, Canada, 1995), 20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
189
Menggambar/seni suara yang juga ekstrakurikuler; 13) Bahasa Indonesia; dan 14)
Bahasa Inggris.116
Nahdhatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) juga dapat disebut sebagai
bagian dari madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang mengadaptasi
sistem persekolahan Eropa (Barat).117
Sejak tahun 1929, selain telah menggunakan
sistem klasikal, madrasah-madrasah Nahdhatul Wathan juga memasukkan mata
pelajaran umum dalam kurikulum pembelajarannya.
“Nahdhatul Wathan membuka enam jenjang kelas. Kelas pertama dan kedua
dinamakan sifir awal (Nol A) dan sifir tsani (Nol B). Para murid sifir awal
dididik untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab, dan membaca Al-
Qur’an. Dan untuk tahun berikutnya mereka bisa menjadi murid sifir tsani,
dengan mata pelajaran yang sama dengan sifir awal tetapi lebih mendalam.
116
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur, 161. 117
Madrasah Nahdhatul Wathan merupakan madrasah yang didirikan oleh para aktifis muslim
didikan timur tengah di Surabaya pada tahun 1914. Beberapa yang terlibat dalam pendirian madrasah ini,
diantaranya, KH Mas Mansur, KH Wahab Chasbullah, KH Abdul Kahar Muzakkar yang dikenal sebagai
salah satu saudagar penting di Surabaya saat itu. Dua tahun setelah mengajukan pendirian kepada
pemerintah kolonial, maka Nahdhatul Wathan mendapatkan status badan hukum (Rechtsperson) pada
tahun 1916. Dalam kepengurusan pertama, KH Abdul Kahar menempati posisi sebagai Direktur,
sementara Ketua Dewan Guru dijabat oleh KH Wahab, dan Mas Mansur menjadi Kepala Sekolah yang
dibantu KH Ridlwan Abdullah. Choirul Anam, Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Surabaya:
Duta Aksara Mulia, 2010), 28-29. Dalam perkembangannya, Mas Mansur yang juga memiliki peran
penting dalam pendirian madrasah menyatakan diri keluar dari Nahdhatul Wathan pada tahun 1922, sebagi
akibat dari memburuknya hubungan dengan KH Wahab Chasbullah. Fealy menyebutkan bahwa,
memburuknya hubungan antara keduanya mengemuka, ketika “pada tahun 1921, Muhammadiyah
membuka cabang di Surabaya dan berhasil meyakinkan Mas Mansur, yang mempunyai hubungan
keluarga dan relasi profesional baik dikalangan modernist maupun tradisionalist, untuk bergabung dalam
organisasi tersebut”. Greg Fealy, “Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU”,
dalam Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdhatul Ulama-negara, ed. Greg Fealy dan Greg
Barton (Yogjakarta: LKiS, 1997), 9. Jabatan Mas Mansur sebagai kepala sekolah diserahkan kepada
dewan pengurus dan kemudian ditunjuk KH Mas Alwi bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Anam,
Sejarah Pertumbuhan, 32. Sepeninggal Mas Mansur, KH Wahab dan pengelola yang lain tetap
mengembangan Nahdlatul Wathan, bukan saja di Surabaya melainkan juga dibeberapa daerah di Jawa
Timur. Haidar menggambarkan, “dalam waktu yang sangat singkat, lima tahun pertama berdiri beberapa
cabang madrasah di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan beberapa tempat di Surabaya sendiri”.
Haidar menambahkan, “sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdhatul Wathan, sebagian lagi
menggunakan nama lain, seperti Far’u al-Wathan (Gresik dan Malang), Hidayah al-Wathan (Jagalan dan
Jombang), Khithabah al-Wathan (Pacarkeling) atau Akh al-Wathan (Semarang) dan lain-lain”. Anam,
Sejarah Pertumbuhan, 33; M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih
Dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 43.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
190
Sedangkan murid sifir tsani dipersiapkan untuk memasuki madrasah empat
tahun berikutnya, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas empat (tamat).
Sedangkan mata pelajaran kelas I: menulis halus (Arab), menyusun kalimat
dan membaca al-Qur’an, tajwid (ilmu membaca al-Qur’an) dan menghafal
tuntunan agama dalam bahasa Jawa. Kelas II mata pelajaran agama seperti
kelas I tetapi lebih mendalam dan ditambah mata pelajaran nahwu dan sharf
(gramatika Arab), tauhid (teologi), hisab (ilmu hitung), dan membaca kitab.
Sedangkan kelas III, sama dengan kelas II tapi lebih mendalam lagi. Kelas IV
sama seperti kelas III ditambah mata pelajaran ilmu bumi”.118
Menariknya, sistem persekolahan Eropa (Belanda) juga diadaptasi oleh kalangan
pesantren yang dikelola oleh muslim tradisionalist. Pesantren Tebuireng, Jombang
(Jawa Timur), misalnya, selain tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren
juga mendirikan madrasah bergaya Eropa.119
Transformasi sistem persekolahan
Eropa (Belanda) di Pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari mulai
mengemuka paska keterlibatan aktif KH M. Ilyas dan KH Wahid Hasyim.
Keputusan mengadaptasi sistem persekolahan Eropa (Belanda) berawal dari
pendirian Madrasah Salafiyah Syafi’iyah pada tahun 1916 yang dipimpin oleh KH
Ma’sum yang juga menantu Hasyim Asy’ari. Dengan tetap tidak meninggalkan
118
Anam, Sejarah Pertumbuhan, 89. 119
Pesantren Tebuireng Jombang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari sepulangnya dari menuntut
ilmu di Makkah. Pesantren ini didirikan pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 1317 H bertepatan dengan tahun
1899 Masehi. Heru Soekardi, Kyai Haji Hasyim Asy’ari (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional-Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980),
47. Banyak kolega, terutama dari kalangan kyai saat itu yang cukup heran dengan Tebuireng sebagai
tempat yang dipilih Hasyim. Mas’ud mendeskripsikan, “para kyai lain yang semasa dengan Hasyim
mentertawakan kekonyolan keputusan Hasyim untuk mendirikan sekolah di Tebuireng, karena Tebuireng
adalah desa terpencil yang jauh dari kota Jombang”. Tidak hanya itu, “kritik semakin tajam, ketika
mengetahui bahwa wilayah tersebut tidak aman, karena di sana banyak penduduk yang tidak agamis,
perampok, pemabuk, penjudi, serta prostitusi”. Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara,
Jejak Intelektual Arsitek Islam (Jakarta: Prenada Media, 2006), 234. Untuk pertama kalinya, pesanren
Tebuireng hanya memperoleh 28 anak sebagai pendaftar. Dalam perkembangannya, Hasyim berhasil
membangun pesantren Tebuireng sebagai basis pengembangan Islam tradisional terkenal, bukan hanya di
Jawa melainkan juga di luar Jawa. Spesialisasi Hasyim dibidang Hadits telah mendorong banyak santri,
termasuk kyai senior untuk mendalami disiplin ilmu tersebut ke Tebuireng. Salah satunya adalah KH
Khalil Bangkalan yang juga sekaligus pernah menjadi guru Hasyim. Ia secara khusus datang ke Tebuireng
untuk belajar hadits kepada Hasyim Asy’ari, beberapa tahun sebelum Khalil meninggal dunia. Mas’ud,
Dari Haramain ke Nusantara, 238-239.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
191
sistem pembelajaran tradisional seperti halqah dan bandongan, madrasah Salafiyah
yang dikelola secara terpisah telah menggunakan sistem klasikal. Secara
keseluruhan, madrasah terbagi menjadi enam kelas (tingkatan), yakni “kelas
persiapan selama setahun dan lima tahun program madrasah”.120
Selain itu, mata
pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Sejarah, Matematika,
dan Geografi juga diajarkan di madrasah.121
Transformasi sistem persekolahan bergaya Eropa (Belanda) semakin
menemukan bentuknya, ketika KH Muhammad Ilyas menjabat sebagai direktur
madrasah. Sejak tahun 1926, mata pelajaran umum diperluas yang tidak hanya
beberapa mata pelajaran diatas, melainkan dimasukkan sejarah Indonesia. Selain itu,
buku-buku yang dipakai dalam pengajaran mata pelajaran umum ditulis dalam huruf
latin. Meskipun, bahasa Arab tetap digunakan untuk mata pelajaran sejarah Islam.122
Perubahan kearah sistem persekolahan modern semakin mengemuka, ketika KH
Wahid Hasyim mulai terlibat aktif membantu pengelolaan madrasah. Atas
persetujuan KH Hasyim, Wahid merubah Madrasah Salafiyah menjadi Madrasah
Nidzamiyah pada tahun 1934.123
Selain satu tahun sekolah persiapan, masa studi
diperpanjang menjadi 6 tahun. Berbagai mata pelajaran umum “lebih banyak
120
Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy’ari (Yogjakarta: LKiS,
2008), 45. 121
Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, 241. 122
Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, 45. 123
Saiful Umam, “KH Wahid Hasyim, Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi”, dalam Menteri-
Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Ed. Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Jakarta: PPIM
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah-INIS-Balitbang Departemen Agama RI, 1998), 103.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
192
dimasukkan kedalam kurikulum yang merupakan 70 % dari seluruh mata pelajaran”,
dan didalamnya, “bahasa Inggris juga diajarkan lebih intensif”.124
Beberapa eksemplar madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam diatas,
hanya merupakan sebagian kecil dari potret yang sesungguhnya di seluruh Hindia
Belanda di era pemberlakuan sistem politik etis. Masih begitu banyak lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang melakukan modernisasi kelembagaannya dengan
mengadaptasi sistem persekolahan Eropa (Belanda). Sungguh pun demikian,
beberapa contoh madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam diatas dapat
digunakan sebagai petunjuk menguatnya keinginan elit-elit muslim lokal untuk
menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan nasional Hindia Belanda. Tentu saja,
hal ini merupakan fenomena yang nyaris tak terjadi di era sebelum kebijakan politik
etis diberlakukan. Konsekuensinya adalah, lembaga pendidikan Islam di Hindia
Belanda tidak lagi tunggal yang hanya direpresentasikan oleh keberadaan pesantren,
dayah atau surau.
Berdirinya madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa
(Belanda) ini mendapatkan respon cukup berarti dari pemerintah kolonial. Respon
tersebut dimanifestasikan kedalam kebijakan pendidikan yang memberikan peluang
bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan akses subsidi,
sebagaimana yang telah lebih dulu dinikmati oleh sekolah-sekolah partikelir Zending
dan Missi. Hanya saja, tidak semua lembaga pendidikan mendapatkan guliran
subsidi dari pemerintah kolonial. Selain dihadapkan pada persyaratan yang cukup
124
Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, 47.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
193
ketat, subsidi hanya diberikan kepada sekolah-sekolah partikelir yang mengajukan
diri sebagai penerima. Oleh karena itu, meskipun telah memiliki persyaratan yang
ditentukan, selama sekolah tidak mengajukan diri sebagai penerima, maka tidak akan
mendapatkan guliran subsidi pendidikan dari pemerintah kolonial.
Dalam konteks sebagai pendaftar penerima, lembaga-lembaga pendidikan
Islam terpecah menjadi dua arus utama. Disatu sisi, madrasah-madrasah dan sekolah-
sekolah Islam yang dikelola oleh Muhammadiyah bersedia untuk mengajukan diri
sebagai penerima subsidi.125
Sebagai organisasi yang mengelola lembaga pendidikan
Islam dengan sistem persekolahan Eropa terbanyak saat itu, Muhammadiyah
mendapatkan subsidi terbanyak di era kolonial Belanda dibanding dengan madrasah-
madrasah dan sekolah-sekolah Islam lainnya.126
Bahkan, sekolah-sekolah Islam
bergaya Eropa (Belanda) Muhammadiyah yang mendapatkan subsidi secara
keseluruhan lebih besar kunatitas numeriknya dibandingkan dengan total lembaga
pendidikan partikelir neutral agama. Data tahun 1937, misalnya, jumlah sekolah
Muhammadiyah bersubsidi mencapai 122 lembaga, sementara sekolah-sekolah netral
125
Sungguh pun demikian, bukan berarti lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah
sepenuhnya menggantungkan diri dari subsidi pemerintah kolonial. Karena organisasi ini menempatkan
pendidikan sebagai program utamanya, maka prinsip swakelola tetap menjadi prinsip utama. Pendirian
setiap lembaga pendidikan, karena itu, dilakukan berdasarkan sistem perencanaan yang sistematis dengan
tidak bergantung pada bantuan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Steenbrink menggambarkan,
“Muhammadiyah tetap merupakan satu-satunya organisasi yang mampu mendirikan sekolah baru dengan
perencanaan yang agak sistematis, misalnya, pertama-tama dikumpulkan uang, kemudian dibuat
perencanaan, dicari yang bersedia mengajar, dicari pengakuan resmi pemerintah, dibangun gedung, baru
kemudian sekolah dibuka”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 66. 126
Salah satu yang menyebabkan banyaknya jumlah lembaga pendidikan penerima subsidi dari
Muhammadiyah, karena sejak awal organisasi ini banyak mendirikan sekolah-sekolah Islam bergaya
Eropa (Belanda), selain tentu saja, juga mendirikan madrasah dan pesantren. Catatan Suminto
menunjukkan, pada tahun 1939, Muhammadiyah memiliki 1.744 sekolah yang “sekitar separuh
daripadanya merupakan sekolah model pemerintah, dan separuh lainnya model madrasah”. Oleh karena
“model pertama pada umumnya dinilai baik pemerintah kolonial, (maka) diberi subsidi olehnya”.
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 47.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
194
agama hanya 89 buah lembaga, dan sekolah-sekolah partikelir yang diselenggarakan
oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya 33 lembaga.127
Selain Muhammadiyah, Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di Sumatera
juga termasuk lembaga pendidikan Islam yang menerima subsidi dari pemerintah
kolonial. Madrasah ini mulai mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah Hindia
Belanda satu tahun, setelah “pada tahun 1916 sekolah Adabiyah ini diakui oleh
pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam”.128
Sayangnya, setelah mendapatkan subsidi pemerintah, madrasah ini tidak lagi
mendapatkan tempat dihati masyarakat muslim dan tokoh-tokoh kaum mudo
setempat, sehingga berakhir dengan popularitasnya yang merosot tajam.129
Dan
127
Muhammad Saleh, Gerakan Muhammadiyah Dan Posisi Dalam Politik di Era Kepemimpinan
Amien Rais dan Syafii Ma’rif (MA Thesis: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004),
70-71. Alfian memberikan statistik berbeda tentang perbandingan total lembaga pendidikan
Muhammadiyah penerima subsidi dengan sekolah-sekolah netral agama. Berdasarkan tahun 1937-1938,
sekolah-sekolah rakyat (Volksschool) yang menerima subsidi sejumlah 99 lembaga, sementara sekolah-
sekolah netral agama dari jenis yang sama sebanyak 95 yang menerima. Sebaliknya, untuk sekolah-
sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda, sekolah-sekolah netral agama sebanyak 69 lembaga yang
menerima subsidi, dan sebaliknya sekolah-sekolah Muhammadiyah ”only 5 received subsidies from the
government”. Untuk satuan pendidikan MULO, sebanyak 3 MULO partikelir netral agama berhasil
mendapatkan subsidi pemerintah, sementara satu jenis sekolah yang sama milik Muhammadiyah tidak
mendapatkan subsidi. Demikian pula untuk jenis sekolah pendidikan guru, meskipun Muhammadiyah
berhasil membangun di Yogjakarta, Solo, dan Jakarta, tetapi tak satupun yang mendapatkan subsidi,
sedangkan 7 sekolah netral agama jenis yang sama diberi subsidi oleh pemerintah kolonial. Alfian,
Muhammadiyah, The Political, 310. 128
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 39-40. 129
Salah satu faktor terpenting menurunnya popularitas Madrasah Adabiyah adalah dominasi mata
pelajaran umum, sehingga mengesampingkan berbagai mata pelajaran agama. Latif, Intelegensia Muslim,
134. Dalam kaitan ini, Steenbrink menegaskan, “akan tetapi usahanya (Abdullah Ahmad) dibidang
pendidikan dengan Sekolah Adabiyah ini oleh kebanyakan orang tidak dinilai tinggi”. Alasannya,
“sekolah ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi dari sistem pendidikan surau kepada suaru
penyesuaian total kepada sistem barat” yang ditandai oleh “perhatian terhadap pendidikan agama di
sekolah ini sangat kecil, sedangkan seluruh unsur tradisional dalam waktu beberapa tahun saja telah
ditinggalkan”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 41. Selain itu, kedekatannya dengan para
pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda juga menjadi pemicu memudarnya kredibilitas Madrasah
Adabiyah sebagai agen terpenting modernisasi kelembagaan pendidikan Islam. Dalam satu karyanya, Latif
menggambarkan, “kedekatan Abdullah Ahmad dengan para pejabat Belanda menjadikan sekolah ini
kehilangan statusnya sebagai pelopor gerakan reformisme-modernisme Islam”. Latif, Intelegensia Muslim,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
195
bahkan, status Abdullah Ahmad sebagai salah satu tokoh kaum muda Minangkabau
tidak lagi diperhitungkan secara mendalam oleh para koleganya.130
Tanpa menafikan menguatnya pro dan kontra dikalangan elit muslim
Boemipoetra terhadap penerimaan subsidi dikalangan lembaga-lembaga pendidikan
Islam, terdapat potret yang menarik dicermati. Di era pemberlakukan kebijakan
politik etis, pemerintah kolonial melalui pemberian subsidi dengan sengaja telah
membangun pelapisan atau stratifikasi lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa (Belanda) yang
mendapatkan subsidi, sama halnya diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional Hindia Belanda dan berada dibawah naungan Departemen Pendidikan dan
Agama. Dengan pengakuan ini, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam bersubsidi
dimata pemerintah memiliki status yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir
Zending dan Missi.
Pada saat yang sama, madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya
Eropa (Belanda) tidak bersubsidi berada dilapisan ketiga, dibawah sekolah-sekolah
milik pemerintah dilapisan pertama, dan sekolah-sekolah partikelir bersubsidi yang
menempati lapisan kedua. Bagi pemerintah kolonial, lembaga-lembaga pendidikan
Islam partikelir non subsidi masuk dalam katagori sekolah liar (wilde scholen).
134. Lebih spesifik lagi, Noer menyebut duduknya seorang berkebangsaan Belanda sebagai Kepala
Sekolah HIS Adabiyah berimplikasi serius bagi kredibilitas madrasah. Bagi Noer, “Kepala sekolahnya
pada waktu itu adalah seorang Belanda, dan oleh sebab itu, maksud agar sekolah itu merupakan tiang
tumpuan bagi golongan pembaharuan menjadi hilang”. Noer, Gerakan Modern, 52. 130
Pudarnya kredibilitas keulamaan dalam diri Abdullah Ahmad dimata para ulama modernist saat
itu semakin menemukan bentuknya, ketika ditengah perlawanan sengit ulama Minangkabau terhadap
kebijakan Ordonansi Guru, namun pada saat yang sama, “ia (Abdullah Ahmad) berpihak pada Belanda
dalam perlawanan terhadap guru Ordonansi di Sumatera Barat”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,
Sekolah, 41-42.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
196
Berbeda dengan hampir seluruh lembaga pendidikan pesantren yang benar-benar
menjauhkan diri dari sistem persekolahan Eropa, sekolah-sekolah liar tetap
menggunakan sistem pendidikan bergaya Eropa. Hanya saja, sekolah-sekolah liar ini
memiliki karakternya yang khas. Secara keseluruhan, para pengelola sekolah
mengambil sikap non kooperatif secara tegas terhadap sistem pendidikan nasional
Hindia-Belanda. Mereka tidak pernah memerlukan ijin kepada pemerintah kolonial
untuk mendapatkan pengakuan resmi, tidak pernah mengajukan sebagai penerima
dan sekaligus menolak pemberian subsidi pendidikan.131
Sekolah-sekolah liar ini tentu saja berhasil menciptakan kekhawatiran luar
biasa bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagi aparat pemerintah kolonial,
mereka cukup menyadari bahwa sebagian dari sekolah-sekolah liar memiliki kualitas
yang setara dengan sekolah-sekolah partikelir bersubsidi. Setidaknya, sekolah-
sekolah yang dikelola oleh Normal Islam Padang, Taman Siswa dan INS Kayutanam
dapat disebut sebagai eksemplar lembaga pendidikan liar berkualitas. Para
lulusannya dapat dipastikan memiliki kompetensi yang tidak kalah dengan keluaran
sekolah-sekolah partikelir bersubsidi. Sementara sejak awal, anak-anak keluaran
sekolah-sekolah partikelir ini “menemukan diri mereka sebagai orang luar yang
131
Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vo. V, 138-142; Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, 58-63; Latif, Intelegensia Muslim, 226; Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 393;
H.A.R Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995, Suatu Analisis Kebijakan
(Jakarta: PT Grasindo, 1995), 12-18. Diskusi secara mendalam tentang kharakter khas sekolah liar ini
dapat dirujuk dalam Aria Maulana, Berbeda Haluan Satu Tujuan, Pandangan Soeara Umum, Persatoean
Indonesia dan Daulat Ra’jat terhadap Ordonansi Sekolah Liar (1932) (Skripsi: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, 2008); Handoko Candra, Sistem Pendidikan Kolonial, Kasus
Ordonansi Sekolah Liar (Skripsi: Fakultas Sastra-Universitas Indonesia, 1987).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
197
mutlak dari sistem”.132
Pada saat yang sama, lulusan sekolah liar dapat dipastikan
akan bekerja diluar sistem, karena ijazah yang dimilikinya tidak mendapatkan
pengakuan dari pemerintah kolonial. Mereka memiliki potensi menjadi intelegensia
modern yang memainkan peran penting dalam aktifitas pergerakan nasional
melawan kolonialisme di Hindia Belanda.
Pesantren yang secara kuantitas numerik lebih besar dibanding madrasah-
madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa (Belanda) tetap dalam statusnya
yang tidak berubah dimata kolonial. Kecuali beberapa pesantren yang telah
memodernisasi diri, seperti ditunjukkan oleh Pesantren Tebuireng Jombang dan
sebagian kecil pesantren lainnya. Pesantren-pesantren yang masih kukuh dengan
sistem kelembagaan tradisionalnya tetap tidak diakui sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional Hindia Belanda. Konsekuensinya, kewenangan dan tanggung
jawab untuk mengawasi dan memperkecil pengaruh pesantren diserahkan kepada
Kantor Urusan Bumiputra (Kantoor voor Inlandsche Zaken), dan bukan menjadi
tanggung jawab langsung Departemen Pendidikan dan Agama secara langsung.
Seiring dengan pemberlakuan kebijakan politik etis, tetap saja mustahil bagi
pesantren untuk mendapatkan dan menikmati subsidi pemerintah, seperti halnya
yang didapatkan oleh madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam partikelir
bergaya Eropa (Belanda).
132
Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vo. V, 141.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
198
C. Anggaran Pendidikan, Distribusi Subsidi, Dan Diskriminasi
Lekatnya pelapisan yang diproduksi oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda dalam era liberal dan direproduksi kembali paska pemberlakuan kebijakan
politik etis, berdampak serius bagi menguatnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang
diskriminatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Salah satu indikasi yang
sangat mengemuka adalah, ketimpangan distribusi subsidi pendidikan yang
diberikan oleh pemerintah kolonial. Baik secara kuantitas numerik maupun jumlah
nominal bantuan yang diberikan selalu dalam komposisi yang timpang. Bahkan,
sebelum permberlakuan sistem politik etis, tidak ada satu pun lembaga pendidikan
Islam yang mendapatkan bantuan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
Dalam era paska krisis pada paruh akhir 1880-an, kebijakan diskriminatif
belum menyentuh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebaliknya, diskriminasi
lebih pada ketidak adilan distribuasi anggaran pendidikan antara sekolah-sekolah
dengan peruntukan keturunan Eropa (Belanda) dan keturunan Boemipoetra. Data
L.F. Van Gent dkk dalam “Gedenboek voor Nederlansch-Indie, 1898-1923”,
sebagaimana diadaptasi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud)
menyebutkan, sejak tahun 1883 sampai dengan 1892, sekolah-sekolah dengan
peruntukan keturunan Eropa (Belanda) selalu mendapatkan guliran anggaran lebih
besar dibanding dengan sekolah-sekolah Boemipoetra (lihat tabel).133
133
Depdikbud, Pendidikan di Indonesia Dari Jaman Ke Jaman (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1986), 99.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
199
Tabel 4
Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya
Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra
Berdasarkan Tahun 1883 dan 1892
Tahun Pengeluaran Jumlah Murid
Sekolah Rendah
Eropa
Sekolah Rendah
Bumiputra
Sekolah Rendah
Eropa
Sekolah Rendah
Bumiputra
1883 f. 1.631.000 f. 1.196. 000 9.700 35.000
1886 f. 1.746.000 f. 990.000 10.700 43.000
1889 f. 1.934.000 f. 978.000 10.900 -
1892 f. 2.096.000 f. 1.040.000 18.700 53.000
Sumber: Depdikbud: 1986: 99
Tabel diatas memberi petunjuk penting bahwa, pemerintah kolonial dengan sengaja
telah membakukan kebijakan anggaran pendidikan diskriminatif terhadap sekolah-
sekolah dengan peruntukan keturunan Boemipoetra. Pada saat menjelang krisis,
tepatnya tahun 1883, sekolah-sekolah rendah Eropa yang hanya menampung kurang
lebih 9.700 siswa mendapatkan porsi anggaran sebesar f. 1. 631.000, sementara
dengan jumlah total siswa sebesar 35.000 siswa di tahun yang sama, sekolah-sekolah
rendah dengan peruntukan keturunan boempoetra hanya mendapatkan jatah
1.196.000 gulden. Ketika ekonomi Hindia Belanda mulai membaik pada tahun 1892,
diskriminasi peruntukan anggaran justru semakin mengemuka.134
Pada tahun
134
Hindia Belanda mulai berhasil keluar dari krisis finansial pada awal tahun 1890-an, ketika
pemerintah berhasil mempertahankan industri gula sebagai komoditas ekspor unggulan. Dalam konteks
ini, Rickleaf menggambarkan, “Industri gula akhirnya bertahan. Sesudah uji coba yang panjang dan sulit
dalam seleksi pembastaran berganda, pihak Belanda akhirnya menghasilkan tebu yang menolak hama.
Industri ini juga meningkatkan produksinya. Wilayah yang ditanami tebu diperluas, tetapi pertumbuhan
produksi yang lebih besar berasal dari kemajuan teknologi. Pada tahun 1885, produksi gula dari Jawa
berjumlah 380.400 metrik ton dan hanya sedikit dibawah 400.000 ton pada tahun 1890. Tapi ia meningkat
hingga 581.600 metrik ton pada tahun 1895 dan 744.300 metrik ton pada tahun 1900”. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern, 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 271. Selain itu, meskipun
Parakitri bernah mengatakan bahwa, komoditas-komoditas selain gula kurang maksimal hasilnya sebagai
sumber anggaran pemerintah Hindia Belanda, namun sulit membantah bahwa, karet salah satunya,
memiliki kontribusi cukup penting. Komoditas ini secara gemilang berhasil menarik investor Eropa untuk
berinvestasi, bukan saja di Jawa, melainkan juga di luar Jawa. Siahaan menguraikan, “setelah percobaan
pertama berhasil dengan sangat memuaskan, dilanjutkan dengan penanaman berikutnya secara besar-
besaran. Ternyata tanaman baru (karet) ini sangat cocok; mutu dan produksinya jauh lebih baik dibanding
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
200
tersebut, dari jumlah total siswa sekolah-sekolah rendah Eropa sebanyak 18.700,
pemerintah kolonial memberikan jatah bantuan sebesar f. 2.096.000. Sedangkan
sekolah-sekolah rendah Boemipoetra yang total siswanya mencapai kurang lebih
53.000 anak hanya mendapatkan sokongan anggaran sebesar f. 1.040.000.
Jika dihitung anggaran pendidikan per siswa, diskriminasi alokasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah kolonial lebih lekat dan kentara lagi (lihat tabel).135
Tabel 5
Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya
Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra
Berdasarkan Tahun 1883-1892
Tahun SD Eropa SD Bumiputra
Murid Biaya Satuan
Biaya
Murid Biaya Satuan
Biaya
1883 9.700 f. 1.631.300 f. 168 35.000 f. 1.196.000 f. 34
1886 10.700 f. 1.746.000 f. 163 43.000 f. 990.000 f. 23
1889 10.900 f. 1.934.000 f. 177 48.000 f. 978.000 f. 20
1892 18.700 f. 2.096.000 f. 112 53.000 f. 1.040.000 f. 20
Sumber: Djojonegoro: 1996: 58
Alokasi anggaran masing-masing siswa sekolah rendah Eropa (Belanda) pada saat
menjelang krisis mencapai 168 gulden pertahun, yang tentu sangat tidak sebanding
dengan karet dari negeri asalnya, Brazil. Keberhasilan tanaman karet di Deli dan Pulau Jawa, dengan cepat
menarik perhatian pengusaha Eropa. Hampir setiap minggu lahir perkebunan karet baru di daerah Deli.
Karena di Sumatera Timur banyak tanah kosong yang sangat luas dan iklimnya cocok untuk pohon karet,
menyebabkan Sumatera Timur disebut Garden of the East untuk tanaman hevea”. Siahaan, Industrialisasi
di Indonesia Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir (Jakarta: Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 1996), 14. Pemulihan ekonomi juga didukung oleh jenis-jenis komoditas lain berkualitas
ekspor yang juga berkembang relatif pesat, terutama di luar Jawa, meskipun keuntungan yang diperoleh
pemerintah belum mampu menyamai komoditas gula. Kartodirdjo mencatat bahwa sejak tahun 1890,
terdapat tiga kecenderungan yang menjadi daya dukung membaiknya ekonomi Hindia Belanda. Pertama,
meningkatnya beberapa hasil ekspor, seperti tembakau, teh, karet, dan minyak tanah. Kedua, semakin
besar bagian yang diambil oleh daerah luar Jawa dalam produksi untuk keperluan ekspor tersebut. Ketiga,
meningkatnya pertumbuhan tanaman untuk ekspor jual (cash crops) secara pesat dibandingkan dengan
perkembangan tanaman pangan (food crops), terutama di daerah-daerah di luar Jawa. Kartodirdjo,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium, Vo. I (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), 328. 135
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), 58.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
201
dengan peruntukan bagi sekolah-sekolah Boemipoetra untuk setiap siswa hanya
mendapatkan jatah sebesar 34 gulden. Pada saat krisis mencapai puncaknya,
kebijakan penganggaran yang diskriminatif tetap saja mengemuka. Tahun 1886,
masing-masing siswa yang belajar di sekolah-sekolah Eropa (Belanda) mendapatkan
alokasi anggaran sebesar 163 dan 177 gulden di tahun 1889. Sebaliknya, siswa-siswa
yang menempuh pendidikannya di sekolah-sekolah Boemipoetra hanya mendapatkan
alokasi sebesar 23 gulden pada tahun 1886, dan turun menjadi 20 gulden pada tahun
1889. Seiring dengan membaiknya perekonomian Hindia Belanda, tepatnya pada
tahun 1892, penganggaran yang diskriminatif tetap menjadi bagian penting dari
kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Tabel diatas melaporkan bahwa, setiap
siswa di sekolah-sekolah Eropa mendapatkan jatah anggaran sebesar 112 gulden, dan
sebaliknya, peruntukan bagi para siswa di sekolah-sekolah Boemipoetra hanya 20
gulden.
Kebijakan penganggaran yang diskriminatif terus diberlakukan hingga
menjelang berakhirnya sistem politik liberal di Hindia Belanda. Diskriminasi
anggaran dapat dilihat dari rasio distribusi anggaran bagi sekolah-sekolah rendah
berdasarkan tahun 1898 (lihat tabel).
Tabel 6
Keadaan Anggaran Pendidikan Sekolah Rendah
Berdasarkan Tahun 1898
1898 Jumlah Keterangan
Jumlah Sekolah Rendah Bumiputra 721 (201) Yang dikurung
berstatus sekolah
swasta
Jumlah murid Bumiputra 131.000 -
Jumlah biaya f. 1.359.000 -
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
202
Jumlah Sekolah Rendah Eropa 146 (5) Yang dikurung
berstatus sekolah
swasta
Jumlah murid Sekolah Rendah Eropa 18.000 -
Jumlah biaya f. 2.188.000 -
Jumlah murid pada lembaga pendidikan
lainnya di Hindia Belanda
150.000 -
Jumlah seluruh pengeluaran untuk
pendidikan
f. 4.048.000 -
Sumber: Depdikbud: 1986: 100
Sumber Depdikbud tentang kebijakan penganggaran yang diskriminatif dalam tabel
diatas, dapat diperbandingkan dengan data yang ajukan oleh Djojonegoro (lihat
tabel).
Tabel 7
Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya
Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra
Berdasarkan Tahun 1898
Deskripsi Sekolah
Negeri Swasta Jumlah Murid Biaya Satuan
Biaya
SD Eropa 141 5 146 18.000 f. 2.188.000 f. 122
SD Bumiputra 520 201 721 131.000 f. 1.359.000 f. 10
Lembaga-lembaga
lainnya
- - - 150.000 f. 501.000 f. 3
Jumlah
206
206
867
299.000
f. 4.048.000
f. 14
Sumber: Djojonegoro: 1996: 58
Data Depdikbud dan Djojonegoro diatas mengggambarkan, dari jumlah total
sekolah-sekolah rendah Boemipoetra sebesar 721 lembaga dan memiliki 131.000
siswa pada tahun 1898, pemerintah Hindia Belanda hanya mengalokasikan anggaran
sebesar 1.359.000 gulden. Dari jumlah anggaran yang diberikan, masing-masing
siswa mendapatkan jatah sebesar 10 gulden. Pada saat yang sama, sekolah-sekolah
Eropa yang jumlah totalnya sebesar 146 lembaga mendapatkan porsi anggaran
sebesar 2.188.000 gulden. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, maka masing-
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
203
masing siswa yang menempuh pelajaran di sekolah-sekolah Eropa mendapatkan
dukungan dana sebesar 122 gulden. Padahal, jumlah keseluruhan lembaga hanya
sebanyak 146 sekolah dengan total 18.000 siswa.
Seiring dengan implementasi kebijakan politik etis di Hindia Belanda, terjadi
pergeseran menarik terkait dengan kebijakan alokasi distribusi anggaran pendidikan.
Masuknya sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai penerima subsidi
dari pemerintah, disatu sisi memunculkan fenomena baru dalam sistem pendidikan
Hindia Belanda. Sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang menggunakan sistem
modern atau bergaya Eropa bermunculan dan berhasil menarik perhatian pemerintah
kolonial untuk mengeluarkan kebijakan pemberian dukungan finansial (subsidi)
kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Penerimaan pemerintah
kolonial nyaris mustahil terjadi pada era sebelum pemberlakuan kebijakan politik
etis. Sungguh pun demikian, kebijakan pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah
Islam, pada saat yang sama, menghadirkan pembengkakan praktek diskursif
diskriminasi kebijakan pendidikan.
Dalam manifesnya yang pertama, diskriminasi mengemuka dalam bentuk
kebijakan alokasi anggaran dengan peruntukan sekolah-sekolah rendah milik
pemerintah (Negeri) maupun sekolah-sekolah partikelir (swasta) Boemipoetra.
Kebijakan penganggaran diskriminatif ini dapat dilihat dalam dari statistik
pengeluaran pemerintah dari tahun 1909 sampai dengan 1920 (lihat tabel). Sekolah-
sekolah rendah Negeri dan partikelir yang menampung anak-anak Boemipoetra dari
lapisan bawah, seperti Sekolah Desa dan Sekolah Rendah Kelas II memperoleh
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
204
anggaran yang jauh lebih kecil nominalnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah
rendah yang diperuntukkan bagi keturunan Eropa, China, dan elit Boemipoetra, baik
ELS, HIS maupun HCS .
Tabel 8
Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid, Biaya, dan Satuan Biaya
Sekolah Dasar Negeri dan Bersubsidi
Berdasarkan Tahun 1909-1920
No Komponen
1909 1915 1918 1920
01
Sekolah Desa - 4.700 6.000 7.700
Murid - 328.000 380.000 423.000
Biaya - f. 938.000 f. 169.000 f. 3.496.000
Satuan Biaya - f. 3 f. 4 f. 8
02
Sekolah Bumiputra
(Kelas II)
1.853 4.400 4.200 5.200
Sekolah Swasta 1.138 2.700 2.600 -
Murid 162.000 321.000 355.000 358.000
Biaya f. 1.359.000 f. 1.493.000 f. 4.420.000 f. 7.036.000
Satuan Biaya f. 8 f. 5 f. 12 f. 20
03
HIS dan HCS - 153 228 239
Sekolah Swasta - 24 - -
Murid - 28.000 39.000 48.000
SD Eropa 219 235 238 249
Sekolah Swasta 35 40 50 53
Murid 25.000 32.000 36.000 37.000
Sekolah Swasta 5.000 - - -
Biaya (termasuk HIS
dan HCS)
f. 267.000 f. 6.600.000 f. 9.648.000 f. 12.380.000
Satuan Biaya f. 107 f. 110 f. 129 f. 146
04
Murid Semua
Lembaga Pendidikan
di Hindia Belanda
196.000 718.000 822.000 922.000
Biaya f. 5.500.000 f. 16.000.000 f. 24.000.000 f. 31.684.000
Satuan f. 28 f. 22 f. 29 f. 34
Sumber: Djojonegoro: 1996: 59
Sekolah-sekolah desa (Volkschool) dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan
untuk anak-anak Boemipoetra dari lapisan bawah termasuk yang paling merasakan
akibat langsung dari kebijakan penganggaran diskriminatif pemerintah kolonial.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
205
Tabel diatas menunjukkan, pada tahun 1915, misalnya, dari jumlah 4.700 sekolah
dengan 328.000 siswa Boemipoetra hanya mendapatkan 938.000 gulden. Dari
jumlah anggaran yang diberikan pemerintah pusat di Batavia, masing-masing
sekolah hanya mendapatkan jatah sebesar 3 gulden setiap tahunnya. Peningkatan
kuantitas numerik cukup pesat pada tahun 1918 tetap saja tidak membuat pemerintah
memiliki perhatian lebih terhadap sekolah-sekolah desa. Alokasi anggaran yang
diberikan bagi masing-masing siswa tetap kecil, yakni 4 gulden pertahunnya.
Padahal, jumlah sekolah meninggat secara signifikan dari 4.700 pada tahun 1915
menjadi 6.000 di tahun 1918. Perhatian pemerintah kolonial baru mulai dirasakan
pada tahun 1920 yang ditandai oleh peningkatan alokasi anggaran dari 4 gulden pada
tahun 1918 menjadi 8 gulden untuk masing-masing siswa. Sungguh pun demikian,
alokasi anggaran sekolah-sekolah desa tetap saja paling kecil dibanding jenis-jenis
sekolah lainnya.
Kebijakan anggaran yang diskriminatif juga sangat terasa bagi Sekolah
Rendah Kelas II. Alokasi anggaran untuk jenis sekolah ini, pada tahun 1909 hanya
sekitar 1. 359.000 gulden yang diperuntukkan bagi 1.853 lembaga yang terdiri dari
715 Sekolah Rendah Kelas II milik pemerintah dan selebihnya, yakni sebanyak
1.138 lembaga berstatus partikelir (swasta). Dana yang digulirkan pemerintah
diperuntukkan bagi 162.000 anak keturunan Boemipoetra, sehingga masing-masing
siswa hanya mendapatkan alokasi sebesar 8 gulden. Ironisnya, jika dihitung dari
peruntukan bagi masing-masing siswa, alokasi anggaran bagi jenis sekolah ini
menurun, meskipun secara nominal mengalami peningkatan dari 1.359.000 pada
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
206
tahun 1909 menjadi 143.000 gulden di tahun 1915. Mengacu pada tabel diatas, jika
dihitung berdasarkan jumlah total siswa sebesar 321.000 anak, maka masing-masing
hanya mendapatkan sokongan anggaran dari pemerintah sebesar 5 gulden.
Diskriminasi anggaran terus melekat pada tahun 1918 dan 1920 terhadap Sekolah
Dasar Kelas II. Pada tahun 1918, misalnya, dari jumlah total 4.200 lembaga dengan
355.000 siswa, anggaran yang diberikan oleh pemerintah sebesar 4.420.000 gulden.
Dengan jumlah anggaran tersebut, maka masing-masing siswa hanya mendapatkan
porsi bantuan 12 gulden. Sementara pada tahun 1920, dengan jumlah total siswa
sebanyak 358.000 dan tersebar di 5.200 sekolah, pemerintah memberikan anggaran
sebanyak 7.036.000 gulden dan dengan demikian, masing-masing siswa
mendapatkan dukungan pembiayaan sebesar 20 gulden.
Alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah desa dan sekolah-sekolah rendah
kelas II diatas, jauh sekali kesenjangannya, bila dibandingkan dengan jenjang
pendidikan dasar dengan peruntukan bagi keturunan Eropa (Belanda), China, dan elit
Boemipoetra, seperti ELS, HIS, dan HCS. Pada tahun 1907, misalnya, sekolah-
sekolah dasar Eropa yang berjumlah 219 lembaga dengan 25.000 siswa mendapatkan
anggaran sebesar 267.000 gulden. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, maka
masing-masing siswa mendapatkan aliran dana sebesar 107 gulden pertahun.
Demikian pula pada tahun 1915, pemerintah menggulirkan anggaran sebesar
6.600.000 gulden yang diperuntukkan bagi 388 ELS, HIS, dan HCS. Dengan total
anggaran yang ada, masing-masing siswa mendapat dukungan pembiayaan
pendidikan sebesar 110 gulden pertahun. Rasio anggaran semakin timpang antara
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
207
sekolah-sekolah dengan peruntukan keturunan Boemipoetra lapisan bawah (Sekolah
Desa dan Sekolah Rendah Kelas II) berdasarkan tahun 1918 dan 1920. Dari jumlah
total 466 lembaga yang terdiri dari 228 HIS dan HCS serta 238 ELS, pemerintah
kolonial mengalokasikan anggaran sebesar 9.648.000 gulden. Dengan total anggaran
yang ada, maka masing-masing siswa mendapatkan bantuan dana sebesar 129 gulden
pertahun. Jumlah anggaran yang diperoleh masing-masing siswa meningkat menjadi
146 gulden pada tahun 1920. Besaran bantuan bagi masing-masing siswa dihitung
berdasarkan jumlah total alokasi anggaran sebesar 12.380.000 gulden dibagi besaran
jumlah total siswa 239 HIS dan HCS yang memiliki 48.000 siswa, dan 249 ELS
dengan total siswa sebanyak 37.000 anak.
Rasio alokasi anggaran antara sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi
keturunan Eropa (Belanda), China dan elit Boemipoetra dibandingkan dengan
lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai satuannya yang diperuntukkan bagi
keturunan bomipoetra lapisan menengah ke bawah. Menariknya, kebijakan
diskriminatif tidak saja diberlakukan pada jenjang pendidikan dasar, melainkan juga
menengah dan kejuruan. Statistik pendidikan tahun 1937 dengan gamblang
menunjukkan, pemerintah memberikan anggaran yang timpang antara sekolah-
sekolah Eropa, China dan elit bomipoetra dengan sekolah Boemipoetra dengan
peruntukan bagi masyarakat lapisan menengah ke bawah (lihat tabel).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
208
Tabel 9
Perbandingan Biaya Tiap Murid Menurut Tipe Sekolah
Berdasar Tahun 1937
No Bentuk Dasar Sekolah
Dengan Bahasa Pengantar
Belanda
Biaya Rata-
Rata Tiap
Murid
Setahun
(Gulden)
Sekolah Dengan
Bahasa Pengantar
Bumiputra
Biaya
Rata-Rata
Tiap
Murid
Setahun
(Gulden)
01 SEKOLAH PENDIDIKAN UMUM
Sekolah Rendah
1. Sekolah Eropa (ELS)
2. HIS
3. Sekolah Khusus
4. Schakel
5. HAS (Seperti HIS untuk
Arab).
6. HCS (Untuk China)
f. 90
f. 45
-
-
-
f. 60
1. Sekolah Desa
2. Sekolah Vervolg
3. Sekolah Vervolg
berpengantar
Bahasa Belanda
4. Sekolah Vervolg
untuk Gadis
f. 5
f. 14.50
f. 20
f. 17
Sekolah Menengah
1. Tingkat Pertama MULO
2. Tingkat Atas untuk
Persiapan Perguruan
Tinggi:
A. HBS 5 Tahun
B. AMS
f. 213
f. 174
f. 260
1. MULO Bumiputra
f. 65
02 SEKOLAH PENDIDIKAN KEJURUAN
Sekolah Ketrampilan Untuk Anak Laki-Laki
1. Sekolah Amabcht
(Pertukangan)
2. Sekolah Latihan
Pertukangan untuk yang
Berbahasa Belanda
3. Sekolah Teknik 5 Tahun
f. 202
f. 169
f. 345
Sekolah Latihan
Pertukangan (Ambachts
Leergang).
f. 169
Sekolah Ketrampilan untuk Anak Gadis
1. Sekolah Kesejahteraan
Keluarga.
f. 58 - -
Sekolah Dagang
1. Sekolah Dagang Pertama.
2. Sekolah Dagang
Menengah Atas (2 Tahun).
-
f. 175
Sekolah Dagang Kecil f. 23
(f. 24)
03 PERGURUAN TINGGI
Sekolah Tinggi Teknik f. 1.100 - -
Sekolah Tinggi Hukum f. 260 - -
Sekolah Tinggi Kedokteran f. 375 - -
Sumber: Depdikbud: 1986: 129
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
209
Tabel diatas menggambarkan, siswa-siswa dari keturunan Eropa (Belanda), China,
Timur Asing (Arab), dan elit Boemipoetra yang menempuh pendidikan di ELS, HIS,
Sekolah Khusus, Schakel School, HAS, dan HCS mendapatkan sokongan dana dari
pemerintah jauh lebih tinggi. Anak-anak yang bersekolah di ELS, misalnya,
mendapatkan dukungan finansial untuk masing-masing sebesar 90 gulden.
Sedangkan, para siswa HCS menempati urutan kedua dengan mendapatkan porsi
bantuan sebesar 60 gulden, disusul siswa-siswa yang bersekolah di HIS dengan
bantuan sebesar 45 gulden pertahunnya. Sebaliknya, bagi siswa-siswa yang
bersekolah di Sekolah Desa, Vervolg School berpengantar bahasa daerah dan
Melayu, Vervolg School berpengantar bahasa Belanda, Vervolg School khusus bagi
perempuan memperoleh dukungan dana lebih rendah. Para siswa yang belajar di
Vervolg School berpengantar bahasa Belanda, masing-masing hanya mendapatkan
20 gulden pertahunnya, disusul Vervolg School khusus bagi perempuan dengan 17
gulden, Vervolg School sebesar 14.50, dan Sekolah Desa yang masing-masing siswa
hanya mendapat suntikan anggaran sebesar 5 gulden pertahun.
Kebijakan penganggaran diskriminatif juga menyentuh jenjang pendidikan
jenjang pendidikan menengah. Pemerintah, misalnya, mengalokasikan anggaran
untuk Sekolah MULO Tingkat Pertama yang diperuntukkan, terutama bagi
keturunan Eropa (Belanda) sebesar 213 gulden bagi setiap siswa pertahun.
Sebaliknya, para siswa yang menempuh pendidikannya di MULO Bumiputra hanya
mendapatkan guliran dana dari pemerintah sebesar 65 gulden pertahun. Dari data ini
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
210
dapat ditegaskan, anggaran MULO Eropa lebih dari 300 persen jumlahnya
dibandingkan dana yang diperoleh oleh MULO Bumiputra.
Kebijakan diskriminatif juga mengemuka di sekolah-sekolah kejuruan dalam
berbagai satuan pendidikan yang ada. Dari tiga satuan pendidikan kejuruan untuk
siswa laki-laki keturunan Eropa (Belanda) dan elit Boemipoetra, seperti Sekolah
Amabcht (Pertukangan) dan Sekolah Teknik dengan masa belajar 5 tahun
mendapatkan alokasi anggaran lebih besar dibanding dengan Sekolah Latihan
Pertukangan (Ambachts Leergang), salah satu jenis sekolah kejuruan dengan
peruntukan bagi keturunan Boemipoetra. Sekolah Amabcht, salah satunya,
mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 202 gulden, dan Sekolah Teknik 5
Tahun mendapatkan alokasi lebih besar, yaitu 345 gulden untuk setiap siswa
pertahun. Sementara, Sekolah Latihan Pertukangan (Ambachts Leergang)
mendapatkan porsi bantuan sebesar 169 gulden setiap siswa pertahunnya.
Diskriminasi juga melekat dalam sekolah kejuruan dengan konsentrasi
pendidikan perdagangan. Alokasi anggaran untuk masing-masing siswa di Sekolah
Dagang Menengah Atas dengan masa studi 2 tahun dan diperuntukkan, terutama
bagi keturunan Eropa (Belanda) dan elit Boemipoetra mendapatkan suntikan
anggaran dari pemerintah sebesar 175 gulden pertahun. Sebaliknya, masing-masing
siswa yang menempuh pendidikan di Sekolah Dagang Kecil yang sebagian besar
berasal dari kalangan Boemipoetra kelas menengah kebawah hanya mendapatkan
dukungan anggaran sebesar 23 atau 24 gulden setiap tahunnya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
211
Kebijakan penganggaran dibidang pendidikan yang diskriminatif terus
mengemuka dalam bentuknya yang berbeda paska tahun 1920-an (lihat tabel).
Tabel 10
Pengeluaran Terperinci Menurut Jenis dan Satuan Pendidikan
Jumlah Absolut Dalam Ribuan Gulden
Berdasarkan Tahun 1931-1940 Tahun Sekolah Untuk Pendidikan Umum Jumlah Pendidikan
Kejuruan
Perguruan
Tinggi
Pengeluaran
Terperinci
Bukan
Menurut
Jenis
Sekolah
Jumlah
Total Pendidikan
Rendah
Bumiputra
Pendidikan
Rendah
Eropa
(Belanda)
MULO
dan
Menengah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
1931 20.351.9 18.045.9 8.830.3 47.288.1 8.881.4 1.057.6 4.089.1 61.886.2
1932 20.369.6 15.490.1 8.049.6 43.909.3 7.889.4 993.6 2.831.6 55.623.9
1933 19.027.9 14.191.9 7.158.1 40.377.9 6.689.0 968.9 2.161.4 50.197.2
1934 14.440.5 11.976.7 5.845.7 32.262.9 4.666.1 810.6 1.727.6 39.467.2
1935 11.493.4 9.667.6 4.656.7 25.817.7 4.008.6 724.2 1.882.7 32.373.2
1936 12.008.3 9.360.0 4.719.2 24.793.9 3.488.6 718.4 1.716.0 32.829.1
1937 10.714.7
4.113.0*
9.624.7 4.888.9 26.513.9
18.626.6
3.533.2
3.059.1
739.1 2.042.9 32.829.1
24.467.7
1938 4.235.3** 11.401.4 6.352.4 21.989.1 3.785.1 865.3 2.882.2 29.521.7
1939 3.574.6 12.435.0 7.152.6 23.162.2 4.505.0 986.5 4.008.5 32.662.3
1940 4.027.2 12.281.1 7.484.1 23.792.4 4.826.1 998.5 4.223.9 33.850.9
Sumber: Depdikbud: 1986: 127
Keterangan:
* Bilangan yang digaris bawahi mengatakan pengeluaran Pemerintah Pusat yang sebenarnya
tanpa terhitung didalamnya, subsidi untuk sekolah-sekolah yang penyelenggaraannya
diserahkan kepada kesatuan-kesatuan otonomi lokal.
** Sebagai akibat penyerahan pada 1 Januari 1937 kepada kesatuan otonomi lokal di Jawa
dan Madura, penyelenggaraan sekolah desa, vervolg, dan pertukangan, maka jumlah
pengeluaran Pemerintah Pusat menurun sekali.
Secara sepintas, tabel diatas memperlihatkan rasio alokasi anggaran pendidikan
rendah Boemipoetra lebih besar dibandingkan dengan pendidikan rendah Eropa
(Belanda). Tahun 1931, salah satunya, alokasi anggaran untuk sekolah rendah
Boemipoetra mencapai 20.351.900 gulden, sementara sekolah-sekolah rendah Eropa
mendapatkan porsi anggaran sebesar 18.045.900 gulden. Begitu pula pada tahun
1932, sekolah-sekolah rendah Eropa mendapatkan bantuan pembiayaan dari
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
212
pemerintah sebesar 15.490.100 gulden, menjadi 14.191.900 di tahun 1933,
11.976.700 (1934), 9.667.600 (1935), dan menurun menjadi 9.630.000 ribu gulden
pada tahun 1936. Pada saat yang sama, meskipun alokasi anggaran bagi sekolah-
sekolah rendah Boemipoetra juga mengalami penurunan, tetap saja, jumlah dana
yang diperoleh lebih besar dibanding sekolah-sekolah rendah Eropa (Belanda). Data
tahun 1932 menunjukkan, sekolah-sekolah Boemipoetra memperoleh guliran dana
dari pemerintah kolonial sebesar 20.369.600 gulden, menurun menjadi 19.027.900
(1933), 14.440.500 (1934), 11.493.4 (1935), dan tahun 1936 meningkat secara tidak
signifikan menjadi 12.008.300 gulden.
Namun, jika ditelusuri secara mendalam, maka tetap saja pemerintah kolonial
Hindia Belanda memberlakukan kebijakan penganggaran yang diskriminatif bagi
sekolah-sekolah Boemipoetra. Jika paparan sebelumnya menunjukkan bahwa,
kebijakan penganggaran diskriminatif lebih terkait dengan perbedaan perlakuan
pemerintah kolonial dalam pemberian bantuan dana pendidikan antara sekolah-
sekolah Boemipoetra dengan peruntukan masyarakat lapisan bawah dengan sekolah
bagi keturunan Eropa (Belanda), China dan elit Boemipoetra, maka tabel diatas
mengandaikan diskriminasi dalam bentuk berbeda. Sekolah-sekolah dengan
peruntukan keturunan Boemipoetra dari berbagai lapisan mendapatkan alokasi
anggaran pendidikan dari pemerintah kolonial jauh lebih sedikit dibanding dengan
sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi keturunan Eropa (Belanda).
Dalam sistem pendidikan Hindia Belanda, jenis sekolah rendah Eropa
(Belanda) hanya satu, yaitu Sekolah Dasar Eropa (Europeesche Lagere School/ELS).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
213
Jika melihat S.L. Van der Wal dalam “Het Onderwijsbeleid in Nederlands, 1900-
1940”, diperoleh data bahwa, pada tahun 1935, misalnya, jumlah keseluruhan ELS
baik Negeri maupun partikelir mencapai sekitar 277 lembaga, terdiri dari 170 ELS
Negeri dan 107 berstatus partikelir (Swasta). Dari jumlah keseluruhan ELS di tahun
yang sama, terdapat 45.033 siswa.136
Jika dihitung rata-rata, maka masing-masing
ELS mendapat kucuran dana dari pemerintah 34.901.1 gulden. Dan jika dihitung
berdasarkan jumlah total siswa, masing-masing mendapatkan porsi anggaran dari
pemerintah sebesar 214.7 gulden pertahunnya.
Sebaliknya, sekolah-sekolah dasar yang diperuntukkan bagi keturunan selain
Eropa (Belanda) cukup banyak jenis dan kuantitasnya. Termasuk dalam jenis ini
adalah, Sekolah Rendah Bumiputra Kelas I (Eerste Klase) yang terdiri dari Sekolah
Rendah China (Hollandsch Chineesche School/HCS), Sekolah Rendah Bumiputra
(Hollandsch Inlandsche School/HIS). Selain itu, terdapat pula satuan-satuan sekolah
lain yang masuk dalam katagori pendidikan rendah Boemipoetra, seperti Sekolah
Desa (Volksschool), Sekolah Rendah Kelas II (Tweede Klasse), dan Sekolah Rendah
Lanjutan (Vervolgschool) dengan lama studi dua tahun.137
Pada tahun 1935, kuantitas numerik masing-masing satuan pendidikan
rendah Boemipoetra diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut. Jumlah keseluruhan
Sekolah Rendah Kelas II berdasarkan tahun 1935 sebanyak 64 lembaga dengan
jumlah siswa keseluruhan sekitar 12.154 anak.138
Di tahun yang sama, jumlah HCS
136
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 62. 137
Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 112-113. 138
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 64.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
214
di Hindia Belanda baik milik pemerintah maupun partikelir sebanyak 106 lembaga
dengan total siswa mencapai 22.856.139
Disusul HIS yang memiliki jumlah
keseluruhan lembaga mencapai 286 sekolah dan menampung 62.040 siswa.
Demikian pula, Sekolah Desa yang pada tahun 1935 berjumlah 16.962 lembaga dan
menampung siswa dari keturunan Boemipoetra paling besar, yaitu 1.595.140 anak.140
Sementara jumlah Vervolgschool di tahun yang sama mencapai 2.586 lembaga dan
memiliki siswa secara keseluruhan mencapai sekitar 214. 326 anak.141
Secara
keseluruhan, jumlah satuan pendidikan rendah Boemipoetra mencapai 20.004
lembaga dan memiliki total siswa sekitar 1.906.516 anak. Jika dihitung secara
keseluruhan jumlah lembaga pendidikan rendah Boemipoetra pada tahun 1935, maka
masing-masing sekolah hanya mendapatkan porsi bantuan dana dari pemerintah
sebesar 574.5 gulden pertahun. Sedangkan, dari jumlah total siswa yang menempuh
pendidikannya di seluruh jenjang pendidikan dasar Boemipoetra, maka masing-
masing dari siswa tersebut mendapatkan bantuan pembiayaan dari pemerintah
kolonial kurang lebih 6.0 gulden pertahunnya.
Ditengah belitan kebijakan penganggaran yang diskriminatif di era
pemberlakuan sistem politik etis, lembaga-lembaga pendidikan Islam benar-benar
dalam posisi yang kurang beruntung. Bagi madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah
Islam yang menggunakan sistem pendidikan Eropa (Belanda), sebagian dari mereka
disamakan statusnya dengan lembaga-lembaga pendidikan partikelir, baik yang
139
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 63. 140
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 65. 141
Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 65.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
215
diselenggarakan oleh Zending Kristen, Missi Katholik maupun gerakan-gerakan
nasionalis sekuler. Konsekuensinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam bergaya
Eropa (Belanda) mendapat dukungan finansial atau subsidi dari pemerintah.
Sayangnya, kebijakan penganggaran yang sejak awal didesain dengan watak
dasarnya yang diskriminatif berakibat hanya sebagian kecil dari lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang berhasil menikmati subsidi. Pada saat yang sama, sekolah-
sekolah partikelir Zending, Missi, dan Nasionalist yang menerima bantuan
pembiayaan pendidikan atau subsidi secara numerik jauh lebih besar jumlahnya.
Dengan demikian, kebijakan penganggaran diskriminatif juga memiliki bentuknya
yang lain, yaitu pembedaan perlakuan pemerintah terhadap sekolah-sekolah
partikelir bergaya Eropa di Hindia Belanda.
Dalam era pemberlakuan politik etis, diskriminasi kebijakan penganggaran
terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari
kebijakan makro pemerintah tentang pemberian bantuan finansial (subsidi) terhadap
agama-agama di Hindia Belanda, terutama Kristen, Katholik, dan Islam. Terhadap
ketiga agama tersebut, pemerintah benar-benar telah berlaku tidak adil dengan
mengeluarkan kebijakan pengalokasian dana bantuan yang timpang.
W.H. Alting von Geusau, sebagaimana diadaptasi oleh Suminto,
menunjukkan bentuk nyata kebijakan penganggaran diskriminatif tersebut. Pada
tahun 1917, misalnya, pemerintah kolonial hanya mengeluarkan subsidi dengan
peruntukan bagi aktifitas keagamaan Islam sebesar 127.029 gulden (lihat tabel).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
216
Tabel 11
Subsidi Pemerintah terhadap Islam
Berdasarkan Tahun 1917
No Peruntukan
Jumlah Total
Jumlah
01 Gaji 212 Penghulu a.f. 49 perbulan setara f. 582
pertahun.
f. 123.384 f. 123.384
02 Sumbangan pesta Islam pertahun:
A. Pesta lebaran di Palembang.
B. Pesta Islam di Solo Yogjakarta
f. 100
f. 550
f. 650
03 Sumbangan kepada ulama:
A. Untuk tiga orang penghulu (2 orang di
Pekalongan dan 1 orang di Batang).
B. Untuk beberapa ulama Aceh
f. 655
f. 2.340
f. 2.995
Jumlah
f. 127.029
Sumber: Suminto: 1996: 33.
Sebaliknya, pada tahun yang sama, pemerintah kolonial memberikan subsidi atau
bantuan aktifitas keagamaan Kristen dan Katholik dalam jumlah yang jauh lebih
besar. Untuk mendukung aktifitas keagamaan kedua agama dimaksud, pemerintah
kolonial Hindia Belanda pada tahun 1917 memberikan sumbangan dana sebesar
1.235.500 gulden (lihat tabel).
Tabel 12
Subsidi Pemerintah terhadap Kristen dan Katholik
Berdasarkan Tahun 1917
No Peruntukan
Jumlah Total
Jumlah
01 Bantuan kepada Kristen:
A. Pendeta Protestan pertahun.
B. Rumah yatim piatu Semarang
C. Pembantu pendeta Protestan
f. 550.000
f. 54.000
f. 14.300
f. 618.350
02 Bantuan kepada Katholik
A. Kelas 1 seorang.
B. Kelas 2 di Jawa 11 orang a.f . 4.200
C. Kelas 2 di Luar Jawa 5 orang a.f. 4.200
D. Kelas 3 di Luar Jawa 11 orang a.f. 1.800
E. Pembantu Pastur 11 orang a.f. 300
F. Penolong kelas 26 orang a.f. 4.200
G. Rumah yatim piatu Katholik Semarang
f. 6.000
f. 46.200
f. 21.000
f. 19.800
f. 3.300
f.25.200
f. 60.550
182.050
03 Sekolah Dasar Swasta (umumnya Kristen) f. 414.000 f. 414.000
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
217
04 Organisasi Zending, Pembudayaan Mentawai f. 10.500 f. 10.500
05 Organisasi Zending, Pembudayaan Enggano f. 3.000 f. 3.000
06 Lembaga Penyebar Bijbel, 2 orang ahli bahasa f. 7.600 f. 7.600
Jumlah
f. 1.235.500
Sumber: Suminto: 1996: 33.
Kebijakan diskriminatif dalam pemberian subsidi kepada Kristen, Katholik, dan
Islam terus mengemuka yang ditandai oleh alokasi ketimpangan alokasi bantuan
untuk mendukung aktifitas ketiga agama tersebut. Majalah “Berita Nahdlatoel
Oelama’, Tahun 9, 11/137”, sebagaimana dikutip Anam mendeskripsikan
ketimpangan bantuan finansial yang diberikan oleh pemerintah kolonial dari tahun
1920-1940 (lihat tabel).
Tabel 13
Perbandingan Subsidi Pemerintah
Dengan Peruntukan Protestan, Katholik dan Islam
Berdasar Tahun 1920-1940
Tahun Kristen
Dan Protestan
Islam
1920 f. 1.010.100 f. 5.900
1921 f. 1.110.100 f. 5.900
1922 f. 1.077.100 f. 5.900
1923 f. 1.095.100 f. 5.900
1924 f. 1.116.100 f. 5.900
1925 f. 1.115.000 f. 4.000
1926 f. 1.108.000 f. 4.000
1927 f. 1.417.000 f. 4.000
1928 f. 1.748.000 f. 4.000
1929 f. 1.728.000 f. 4.000
1930 f. 1.641.000 f. 4.000
1931 f. 1.612.000 f. 4.000
1932 f. 1.862.300 f. 4.700
1933 f. 1.601.300 f. 7.700
1934 f. 1.511.500 f. 7.500
1935 f. 1.176.500 f. 7.500
1936 f. 1.007.500 f. 7.500
1937 f. 1.004.500 f. 7.500
1938 f. 1.022.500 f. 7.500
1939 f. 1.197.500 f. 7.500
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
218
1940 f. 1.304.400 f. 4.600
Sumber: Anam: 2010: 112.
Data yang dipublikasikan oleh majalah Berita Nahdlatoel Oelama’ diperkirakan
belum merepresentasikan jumlah bantuan sesungguhnya yang digulirkan oleh
pemerintah kolonial kepada Kristen dan Katholik. Hal ini dapat dibandingkan
dengan laporan Van der Plas tertanggal 20 Maret 1928 dan Hary J. Benda. Sungguh
pun demikian, perbedaan data yang diberikan tidak mengurangi keabsahan penilaian
terhadap kebijakan diskriminatif pemerintah terhadap Islam.
Dalam laporan Van der Plas tentang Kongres Muhammadiyah di Yogjakarta
yang berlangsung pada 12-20 Februari 1928, ia menyertakan deskripsi bantuan
finansial pemerintah Hindia yang dikucurkan kepada Kristen dan Islam (lihat tabel).
Tabel 14
Perbandingan Subsidi Pemerintah
Dengan Peruntukan Protestan dan Islam
Berdasar Tahun 1928
Kristen Jumlah
Islam* Jumlah
Gaji wakil sekretaris Gereja-
gereja Prostestan
f. 2.700 Pemugaran masjid
Kutaraja Aceh
f. 2.250
Tunjangan para pendeta, guru
agama, pembantu pendeta,
dan guru Kristen pribumi
f. 1.503.100 Lain-lain kepentingan
Islam
f. 1.600
Lain-lain pada pos 570a f. 160.500 - -
Jumlah
f. 1.666.300
Jumlah
f. 3.950
Sumber: Suminto: 1996: 36.
Tabel diatas menunjukkan, jumlah subisidi pemerintah untuk mendukung aktifitas
keagamaan Kristen mencapai 1.666.300 gulden, dan sebaliknya, aktifitas keagamaan
Islam hanya mendapatkan kucuran dana bantuan pemerintah sebesar 3.950 gulden.
Secara sepintas, jumlah bantuan yang diberikan lebih sedikit dibanding dengan data
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
219
hasil publikasi Berita Nahdlatoel Oelama’ yang melansir jumlah bantuan pemerintah
terhadap Kristen dan Katholik sebesar 1.748.000 gulden. Namun, jika dhitung
seksama, bantuan bagi kedua agama sangat potensial lebih besar jumlahnya. Jumlah
1.666.300 gulden yang dilaporkan Van der Plas hanya untuk Kristen dan belum
mencakup bantuan dengan peruntukan Katholik yang rata-rata mencapai 35-40 %
dari total bantuan yang dikucurkan kepada Kristen. Dengan demikian, baik Berita
Nahdlatoel Oelama’ dan laporan Van der Plas pada dasarnya memiliki muara yang
sama bahwa, pemerintah kolonial telah dengan sengaja memberikan perlakuan
berbeda terhadap Islam dibanding Kristen dan Katholik.
Statistik diskriminasi bantuan bagi Kristen, Katholik, dan Islam yang dilansir
Berita Nahdlatoel Oelama’ dapat diperbandingkan pula dengan hasil temuan Harry
J. Benda (lihat tabel).142
Tabel 15
Perbandingan Subsidi Pemerintah
Dengan Peruntukan Protestan, Katholik dan Islam
Berdasar Tahun 1936-1939
No Staatsblad van Nederlands
Indie
Protestan
Katholik Islam
01 1936, No. 355 (hal. 25-26) f. 686.100 f. 286.500 f. 7.500
02 1937, No. 410 (hal. 25-26) f. 683.200 f. 290.700 f. 7.500
03 1938, No. 511 (hal. 27-28) f. 696.100 f. 296.400 f. 7.500
04 1939, No. 593 (hal. 32) f. 844.000 f. 335.700 f. 7.600
Sumber: Benda: 1985: 263.
142
Statistik singkat tentang perbandingan alokasi subsidi pemerintah terhadap aktifitas keagamaan
Kristen, Katholik, dan Islam berdasarkan tahun 1936-1939 cukup mendapat tempat diberbagai hasil studi
relasi Islam dan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Benda merupakan intelektual yang berhasil
mentabulasi subsidi dan belakangan digunakan oleh banyak pengkaji Islam di era kolonial Belanda. Harry
J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Bandung:
Pustaka Jaya, 1985), 263.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
220
Tabel yang dideskripsikan oleh Benda memberikan petunjuk penting bahwa,
ketimpangan bantuan pemerintah terhadap ketiga agama (Kristen, Katholik dan
Islam) juga cukup lekat, seperti halnya hasil temuan Berita Nahdlatoel Oelama’.
Meskipun, angka-angka subsidi bagi Kristen dan Katholik yang dideskripsikan
Benda lebih rendah jumlahnya. Bantuan pemerintah terhadap Kristen dan Katholik,
jika dihitung secara komulatif pada tahun 1936, misalnya, akan didapatkan angka
sebesar 972.600 gulden pertahun, meningkat menjadi 973.900 (1937), 992.500
(1938), dan kembali mengalami peningkatan menjadi 1.179.700 gulden pada tahun
1939. Bantuan bantuan sedikit lebih rendah dibanding dengan angka-angka yang
dipublikasikan oleh Berita Nadlatoel Olema’, yaitu 1.007.500 gulden pada tahun
1936, menurun menjadi 1.004.500 (1937), kembali meningkat menjadi 1.022.500
(1938), dan pada tahun 1939 bertambah mencapai 1.197.500 gulden. Sungguh pun
demikian, Perbedaan data jumlah bantuan pemerintah terhadap aktifitas keagamaan
Kristen dan Katholik tetap mencerminkan lekatnya diskriminasi kebijakan alokasi
anggaran dibidang keagamaan di Hindia Belanda.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik dalam bentuk madrasah-madrasah,
sekolah-sekolah Islam, dan pesantren menjadi bagian tak terpisahkan dari bidang
keagamaan. Konsekuensinya, ketika diskriminasi menemukan bentuknya dalam
bidang keagamaan, tentu saja, dapat dipastikan lembaga-lembaga pendidikan Islam
juga menjadi bagian dari objek kebijakan diskriminatif pemerintah Hindia Belanda.
Sepanjang sejarah pemberlakuan politik etis di Hindia Belanda, sekolah-sekolah
partikelir yang dikelola Zending dan Missi mendapatkan alokasi bantuan atau subdisi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
221
pendidikan jauh besar kuantitasnya dibandingkan dengan lembaga-lembaga
pendidikan partikelir Islam.
Diskriminasi kebijakan subsidi pendidikan dapat dilihat dari rasio sekolah-
sekolah partikelir bergaya Eropa (Belanda) yang mendapatkan dukungan pendanaan
dari pemerintah kolonial (lihat tabel).
Tabel 16
Perbandingan Jumlah Sekolah Swasta Bersistem Barat
Yang Bersubsidi Pemerintah Tahun 1936
No
Jenis Sekolah Afiliasi Sekolah
Islam Katholik Protestan Umum
01 Volksscholen 98 515 1.661 14.482
02 Vervolgscholen 23 70 1.335 2.338
03 HIS dan Schakelscholen 6 21 39 218 Sumber: Steenbrink: 1994: 89.
Deskripsi Steenbrink memberi petunjuk penting bahwa, sekolah-sekolah Volkssholen
Kristen dalam satuan pendidikan yang sama berada diurutan kedua penerima subsidi
terbanyak dengan jumlah 1.611 sekolah, disusul Katholik 515, dan Islam yang hanya
sejumlah 98 sekolah. Diskriminasi juga mengemuka pada jenis sekolah sambungan
(Vervolgscholen). Tabel diatas menunjukkan, sebanyak 1.335 Vervolgscholen
Kristen menerima subsidi dari pemerintah, Katholik 70, dan baru Islam dengan 23
sekolah. Pemerintah juga memberlakukan kebijakan subsidi diskriminatif untuk jenis
sekolah HIS dan Schakelscholen. Pada kedua jenis ini, sejumlah 39 milik Kristen,
disusul 21 Katholik, dan hanya 6 sekolah HIS dan Schakelscholen Islam yang
mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
Perlakuan diskriminatif sama halnya dengan menegasikan konstribusi
signifikan lembaga-lembaga pendidikan Islam era kolonial. Terutama menjelang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
222
akhir era pemberlakuan politik etis, kuantitas numerik lembaga pendidikan Islam
mengalami peningkatan cukup pesat. Dengan meningkatnya kuantitas kelembagaan,
maka dapat dipastikan penduduk Boemipoetra Hindia Belanda semakin terbuka
aksesnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, di daerah-daerah yang
dikenal luas sebagai basis Islam seperti Aceh dan Sumatera Barat, jumlah lembaga
pendidikan Islam lebih besar. Di Sumatera Barat, misalnya, kuantitas numerik
lembaga pendidikan Islam lebih banyak dibanding dengan sekolah-sekolah bergaya
Eropa, baik milik pemerintah (Negeri) maupun partikelir bersubsidi (lihat tabel).
Tabel 17
Perbandingan Sekolah Pemerintah dan Bersubsidi
Dengan Lembaga Pendidikan Islam Di Sumatera Barat
Berdasarkan Tahun 1933
Pemerintah/Bersubsidi Islam
Tingkat Sekolah Jumlah Murid Tingkat Sekolah Jumlah Murid
HIS 13 3.435 Sekolah Agama
Murni
589 9.285
Schakel 3 401 Sekolah Agama
dengan Pengetahuan
Umum
452 25.292
Kelas II (dan
Vervolgscholen)
163 401 Sekolah Umum
Disertai Agama
132 44.577
ELS 6 1.061 - - -
MULO 4 516 - - -
Jumlah
189
32.286
Jumlah
1.173
79.154
Sumber: Poesponegoro dan Notosusanto:V: 1993: 142.
Keterangan:
* Dalam katagori lembaga pendidikan Islam, 35 HIS Partikelir yang didirikan oleh
organisasi lokal dengan murid 825 tidak dimasukkan.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mendapatkan subsidi pemerintah kolonial
sebagian besar adalah milik organisasi Islam Muhammadiyah. Karena sebagian besar
sekolah ”sesuai dengan stelsel pengajaran Pemerintah Hindia Belanda”, maka
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
223
sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mengajukan permintaan subsidi dipenuhi oleh
pemerintah, meskipun pemenuhan hanya diberikan kepada sebagian kecil dari
jumlah keseluruhan sekolah bergaya Eropa (Belanda) yang dikelola organisasi
modernist tersebut.143
Alfian memberikan deskripsi tentang sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
berhasil mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial berdasarkan data tahun 1937-
1937. Dalam satuan pendidikan Sekolah Desa (Volkschool), ia mengatakan,
“In 1937-1938, for example, there were 216 Muhammadiyah Volksholen in
Indonesia, of which 99 received subsidies from the government. In the same
year, the Protestant school system alone had 1.727 Volscholen receiving
subsidies, while there were also 537 Catholic Volkscholen and 95 Neutral
Volkscholen receiving subsidies. Of the 2.458 subsidized Volkscholen there
were 209.497 pupils, of whom only 9.999 were in 99 subsidized Volkscholen
of Muhammadiyah. In the same year, the government Volkscholen had a
total of 1.530.648 pupils”.144
Meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas, sekolah-sekolah rendah bergaya Eropa
(Belanda) dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar kegiatan
pembelajaran milik Muhammadiyah juga mendapatkan sokongan atau subsidi dari
pemerintah. Hanya saja, jumlah sekolah penerima subsidi sangat jauh dibanding
sekolah-sekolah partikelir jenis yang sama dari Kristen dan Katholik. Berdasarkan
tahun 1937-1938, jumlah sekolah rendah berpengantar bahasa Belanda, seperti HIS
dan Schkelschool milik Muhammadiyah mencapai 166 sekolah, dan hanya 5
diantaranya yang mendapat subsidi pemerintah. Pada saat yang sama, sekolah-
143
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogjakarta (Jakarta: Proyek Inventarisasi Dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 89. 144
Alfian, Muhammadiyah: Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch
Colonialism (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1989), 310-311.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
224
sekolah Kristen mendapatkan subsidi sebanyak 102 lembaga, disusul Katholik
dengan jumlah 84 sekolah, dan 69 sekolah netral dari jenis ini juga mendapat
sokongan atau bantuan dana dari pemerintah kolonial.145
Basoeni memberikan angka sedikit lebih besar berkenaan dengan pemberian
subsidi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dibandingkan
sekolah-sekolah partikelir agama yang diselenggarakan oleh Zending dan Missi.
Secara deskriptif, sekolah-sekolah Muhammadiyah bersubsidi mencakup MULO 1,
disusul HIS sebanyak 4, Schakelschool 2, Vervolgsschool 1, dan Volkscholen
dengan jumlah paling besar dan mencapai 95 lembaga. Dengan demikian, jumlah
keseluruhan sekolah-sekolah Muhammadiyah dari berbagai jenjang dan satuan
pendidikan yang mendapatkan subsidi pemerintah sebanyak 123 sekolah. Pada saat
yang sama, sekolah-sekolah partikelir Missi yang mendapat guliran subsidi mencapai
692 lembaga. Jumlah tesebut terdiri dari AMS sebanyak 1 sekolah, disusul HBS 3,
MULO 10, ELS 40, HCS 12, HIS 18, Schakel 3, Vervolgsschool 71, Volksshool 529,
HIK 1, Normaalschool 1, dan Technisschool sebanyak 3 lembaga. Seperti halnya
data yang diajukan oleh Alfian, Basoeni juga menyebutkan bahwa, sekolah-sekolah
Kristen mendapat porsi subsidi lebih besar ketimbang Katholik dan Islam. Secara
deskriptif, sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi meliputi Lycium 1, AMS
1, MULO 12, ELS 24, HCS 28, HIS 35, Schakel 3, Vervolgsschool 148, Volksschool
145
Alfian, Muhammadiyah, 310-311.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
225
1.628, Kweeksschool 2, Cursusavond 11, Technisschool 3, dan Lagere School
sejumlah 2 lembaga (lihat tabel).146
Tabel 18
Perbandingan Sekolah Muhammadiyah Bersubsidi
Dengan Sekolah-Sekolah Kristen dan Protestan
Sekolah Kristen Katholik Muhammadiyah
Lycium 1 - -
AMS 1 1 -
HBS - 3 -
MULO 12 10 1
ELS 24 40 -
HCS 28 12 -
HIS 35 18 4
Schakelschool 3 3 2
Vervolgschool 148 71 1
Volksschool 1.628 529 95
HIK - 1 -
Normaalschool - 1 -
Kweekschool 2 - -
Cursuusavond 11 - -
Technisschool 3 2 -
Lagere School 2 - -
Jumlah
1.898
692
123
Sumber: Basoeni: 1942: 2.
Jika diperbandingkan antara data Steenbrink, Alfian, dan Basoeni, maka dapat
diperoleh petunjuk penting bahwa, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
mendapatkan subsidi dari pemerintah sebagian besar dan bahkan nyaris seluruhnya
merupakan lembaga-lembaga yang dikelola oleh Muhammadiyah. Konsentrasi
subsidi kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah cukup dapat dipahami, karena
sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang dikelolanya berdasarkan sistem
pendidikan nasional Hindia Belanda saat itu.
146
Ahmad Basoeni, “Pengadjaran Rakjat”, Kalimantan Raya, 02 Mei 1942, 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
226
Perhatian pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam
bergaya Eropa, sebaliknya, bertolak belakang dengan dukungannya terhadap
madrasah-madrasah Islam dan pesantren. Sejak dikeluarkannya kebijakan subsidi
pendidikan pada paruh akhir tahun 1880-an hingga berlakunya sistem politik etis,
madrasah-madrasah dan pesantren hampir seluruhnya tidak tersentuh oleh subsidi
pemerintah. Salah satu alasan terpentingnya adalah, kedua lembaga pendidikan Islam
ini “merupakan jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang
diperkenalkan pemerintah (kolonial Hindia Belanda), baik dari sudut isi pengajaran,
cara pendidikan, maupun dari kemungkinan yang bisa diharapkan oleh anak didik”.
Kesimpulannya, jika sekolah-sekolah partikelir berusaha “mengikuti sejauh mungkin
corak serta sifat dari sekolah pemerintah”, sehingga mendapatkan subsidi, maka
sebaliknya, madrasah dan pesantren dapat dikatakan sebagai lembaga-lembaga
pendidikan Islam “yang secara sadar mencari sifat lain”, dan karena itu, nyaris
mustahil mendapatkan dukungan pembiayaan pendidikan dari pemerintah.147
Konsekuensi dari pilihan madrasah dan pesantren, maka keduanya bukan saja
tidak diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda. Lebih
dari itu, seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan di kedua lembaga pendidikan
Islam tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pengelola dan masyarakat. Beberapa
contoh dapat disebut, misalnya, Nahdhatul Wathan, madrasah-madrasah non subsidi
milik Muhammadiyah, Pesantren Tebuireng (Jombang), dan Pesantren Modern
Gontor (Ponorogo). Demikian pula, surau-surau dan madrasah-madrasah yang
147
Posponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. V, 138.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
227
tergabung dalam Perguruan Sumatera Thawalib di Sumatera Barat juga
mengandalkan sumber dana mandiri dari masyarakat dengan tanpa menggantungkan
subsidi atau sokongan finansial dari pemerintah Hindia Belanda.
Recommended