View
28
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
BAHAN
Citation preview
Glaukoma sekunderGlaukoma sekunder merupakan glaukoma akibat keadaan kesehatan lainnya.Glaukoma sekunder dapat terjadi pada keadaan berikut :a .Ka t a r ak ima tu r a t aupun h ipe rma tu r . K a t a r a k i m a t u r m e n i m b u l k a n g l a u k o m a b i l a t e r d a p a t k o n d i s i l e n s a mencembung (ka t a r ak i n tumesen ) ak iba t menye rap a i r s eh ingga mendorong s e l a p u t p e l a n g i y a n g a k a n m e n u t u p s u d u t b i l i k m a t a . K a t a r a k h i p e r m a t u r mengak iba tkan g l aukoma ak iba t l en sa yang t e r l a l u ma t ang bahan l ensa yang degeneratif akan keluar dari kapsul (bungkusnya) dan menutup jalan keluar cairanmata pada sudut bilik mata (glaukoma fakolitik). b.Cedera mata dapat mengakibatkan perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema)ataupun hal lain yang menutup cairan mata keluar.c .Uve i t i s , r adang d i da l am bo l a ma t a akan mengak iba tkan pe r l eka t an an t a r a i r i s dengan lensa (sinekia posterior) atau perlekatan antara pangkal iris dan tepi komea(goniosinekia).d . T u m o r d i d a l a m m a t a . e.Diabetes yang membangkitkan glaukoma neovaskular. f .Te t e s ma t a s t e ro id yang d ipaka i t e r l a l u l ama
Intumesensi Lensa
Lensa dapat menyerap cukup banyak cairan sewaktu mengalami perubahan-perubahan
katarak sehingga ukurannya membesar secara bermakna. Lensa ini kemudian dapat melanggar
batas bilik depan, menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut, serta menyebabkan
glaukoma sudut tertutup. Terapi berupa ekstraksi lensa, segera setelah tekanan intraokular
terkontrol secara medis.1
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding : Glaukoma Sekunder et causa Intumesensi Lensa
(Glaukoma Fakomorfik)
Glaukoma Sudut Tertutup Akut Primer
Glaukoma Fakolitik
Diagnosis Kerja : Glaukoma Sekunder et causa Intumesensi Lensa (Glaukoma Fakomorfik)
V. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lapang pandang
Oftalmoskopi
Genioskopi
VI. TERAPI
Farmakoterapi : Asetazolamid 250-500 mg IV/IM, dapat diulang dalam
2-4 jam maksimum 1 g/hari
Apraklonidin 1-2 tetes pada mata 3 kali/ hari
Mannitol IV 2 g/kgBB selama 30 menit
Timolol 1 tetes pada mata 2 kali/hari
Bedah : Iridektomi laser
VII. RENCANA TINDAKAN
- Menurunkan TIO dengan memberikan obat yang dapat menurunkan TIO
- Pembedahan oleh dokter spesialis bedah
VIII. SARAN KEPADA PASIEN
Menjalani pengobatan dengan taat agar tidak terjadi komplikasi
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Glaukoma merupakan suatu kelainan mata yang ditandai oleh peningkatan tekanan
intraokular, disertai pencekungan diskus optikus dan penciutan lapang pandang (Vaughan et al,
2007). Glaukoma menurut Abe, et al. (2006) dapat diklasifikasikan berdasarkan temuan sudut
bilik depan mata dan ada tidaknya penyakit (kondisi) yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular dan faktor yang menyertainya. Penyakit ini dibagi menjadi glaukoma primer yang
tidak mempunyai penyebab terjadinya peningkatan tekanan intraokular (TIO), glaukoma
sekunder dimana terjadinya peningkatan TIO disebabkan oleh penyakit okular, sistemik, atau
penggunaan obat, dan glaukoma developmental dimana peningkatan TIO adalah hasil dari
perkembangan anomali pada sudut bilik anterior mata yang terjadi selama masa embrional.
Glaukoma primer menurut Ilyas (2009) etiologinya tidak pasti, dimana tidak didapatkan
kelainan yang merupakan penyebab glaukoma. Glaukoma primer dibagi dalam glaukoma sudut
terbuka primer dan glaukoma sudut tertutup primer. Glaukoma sudut tertutup primer muncul
dengan onset akut.
Abe et al. (2006) memberikan pengertian glaukoma sekunder adalah glaukoma dimana
peningkatan tekanan intraokular disebabkan karena penyakit okular, sistemik, maupun
penggunaan obat yang menyebabkan terjadinya neuropati optik. Glaukoma sekunder dapat
dibagi lagi berdasarkan mekanisme peningkatan TIO, yaitu mekanisme sudut terbuka dan
mekanisme sudut tetutup. Menurut Gill, H., et al. (2010) glaukoma fakomorfik adalah
terminologi yang digunakan untuk glaukoma sekunder sudut tertutup yang disebabkan oleh
intumesensi lensa.
Sowka (2008) mengemukakan sesuai dengan namanya, glaukoma fakomorfik (fako = lensa ;
morf = bentuk) termasuk sekunder karena perkembangan bentuk lensa. Sudut tertutup baik akut,
subakut, maupun kronis dapat dipicu oleh katarak imatur atau intumesen dan terjadi pada mata
yang sebelumnya memiliki sudut bilik terbuka.
Gill et al. (2010) memberikan definisi galukoma fakolitik yaitu glaukoma sudut terbuka
dengan onset akut yang disebabkan oleh kebocoran katarak matur atau hipermatur (jarang pada
imatur).
II. PATOGENESIS
Pada tulisan kali ini kami hanya akan membahas patogenesis penyakit yang menjadi
diagnosis banding yaitu glaukoma sekunder et causa intumesensi lensa (glaukoma fakomorfik),
galukoma primer sudut tertutup akut, dan katarak senile.
Glaukoma sekunder sudut tertutup (glaukoma fakomorfik) merupakan komplikasi dari
katarak. Dhawan (2005) dalam tulisanya mengemukakan timbulnya glaukoma sekunder akibat
katarak dapat melalui tiga cara, yaitu:
- Glaukoma fakomorfik : Lensa dapat membengkak (intumesen) dengan menyerap cukup
banyak cairan dari kamera anterior yang menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut
sehingga jalinan trabekular terblok serta menyebabkan glaukoma sudut tertutup
- Glaukoma fakolitik : Pada katarak stadium hipermatur terjadi kebocoran protein lensa dan
masuk ke dalam kamera anterior dan ditelan oleh makrofag. Makrofag menjadi membengkak
dan menyumbat jalinan trabekular yang memacu peningkatan TIO. Glaukoma yang terjadi
adalah glaukoma sudut terbuka.
- Glaukoma fakotopik : Lensa hipermatur dapat mengalami dislokasi dan menyebabkan
peningkatan TIO dengan memblok pupil atau sudut secara mekanis, atau dispalsia korpus vitreus
yang menyebabkan blok. Selain itu Vaughan, et al. (2007) menambahkan dislokasi korpus
vitreus sebagai penyebab galukom akibat katarak meskipun mekanismenya belum jelas.
Sowka (2008) menjelaskan penebalan lensa selama kataraktogenesis dapat menghasilkan
pupil blok, dengan iris bombae dan akibatnya terjadi glaukoma sudut tertutup. Lensa menjadi
intumesensi pada katarak senilis imatur. Intumesensi merupakan proses terjadinya hidrasi kortek
yang mengakibatkan lensa menjadi cembung sehingga indeks refraksi berubah, karena daya
biasnya bertambah maka mata menjadi miopia. Ilyas (2009) menambahkan pada intumesensi,
pembengkakan lensa membuat sumbu anterior-posterior lensa makin panjang sehingga
mengakibatkan resistensi pupil pada pengaliran humor aqueous ke depan (blokade pupil). Akibat
blokade pupil ini akan terjadi pendorongan iris sehingga pangkal iris akan menutup saluran
trabekulum yang mengakibatkan bertambahnya bendungan cairan mata dan tekanan intraokuler
meninggi dan timbul glaukoma. Bilik mata depan terlihat dangkal akibat bertambah cembungnya
lensa disertai adanya iris bombe. Sowka (2008) mengemukakan ini dapat terjadi secara umum
pada pasien dengan sudut bilik mata yang memang sudah dangkal, dan kataraktogenesis
memperparah terjadinya penutupan sudut. Meskipun demikian penutupan sudut selama proses
kataraktogenesis juga dapat terjadi pada pasien dengan miopia maupun pasien dengan sudut bilik
mata yang dalam.
Vaughan (2009) menjelaskan efek peningkatan TIO mengakibatkan penurunan penglihatan
pada glaukoma dengan mekanisme utamanya adalah atrofi sel ganglion difus yang menyebabkan
penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf
optikus. Selanjutnya diskus optikus menjadi atrofi, disertai pembesaran cekungan optikus. Iris
dan korpus siliaris juga menjadi atrofi.
Neuron-neuron mengalami kerusakan oleh peningkatan TIO yang menimbulkan tekanan segala
arah pada bola mata dan menghasilkan tegangan, selanjutnya menyebabkan regangan yang
menyebabkan kerusakan neuron.
Sedangkan patogenesis terjadinya glaukoma sudut tertutup akut primer pada dasarnya sama
dengan glaukoma fakomorfik, hanya saja tidak ada penyakit (kondisi) yang mendasari terjadinya
penutupan sudut. Glaukoma primer terjadi pada mata dengan sudut bilik anterior yang dangkal
(sering pada hipermetropia) (Ilyas, 2005).
Glaukoma fakolitik berkembang pada saat terjadi kebocoran protein lensa dr katarak matur
yang menyubat jalinan trabekular dan mencegah aliran humor aqueous. Dengan usia tua dan
progresi katarak, jumlah protein BM tinggi dalam lensa menigkat. Pada katarak imatur, protein
ini ditemukan dalam nukleus lensa. Dengan matangnya katarak dan akumulasi protein,
peningkatan jumlah protein BM tinggi ditemukan pada cairan korteks lensa. Pada akhirnya,
protein keluar dari lensa dan masuk ke dalam humor aqueous. Adanya protein lensa dalam
kamera anterior memacu inflamasi dan respon makrofag. Akumulasi makrofag yang
membengkak karena menelan protein lensa sebagai penyebab utama obstruksi jalinan
trabekular. Selain makrofag, protein lensa juga dapat menyebabkan obstruksi (Johnson, 2009).
III. GEJALA DAN TANDA
Ilyas (2009) menjelaskan mata merah dengan penglihatan turun mendadak biasanya
merupakan glaukoma akut.
Glaukoma fakomorfik menunjukkan gejala sebagai berikut (Gill, 2010):
- Nyeri akut
- Mata hiperemis
- Pandangan kabur
- Sensasi halo
- Mual
- Muntah
- Pasien umumnya memiliki penurunan penglihatan sebelum episode akut karena riwayat katarak.
Tanda glaukoma fakomorfik termasuk di bawah ini:
- TIO tinggi (> 35 mmHg)
- Pupil dilatasi sedang, iregular
- Edema kornea
- Injeksi konjungtiva dan vena episklera
- Sudut kamera anterior dangkal
- Pembesaran lensa dan displasi ke depan
- Pembentukan katarak tidak sama antara kedua mata
Gejala dan tanda glaukoma fakolitik menurut Chen & Yi (2009), sebagai berikut:
- Pasien dengan glaukoma fakolitik secara khas mempunyai riwayat penurunan penglihatan yang
lambat selama beberapa bulan maupun tahun sebelum terjadi nyeri dengan onset akut, mata
merah, dan seringkali terjadi penurunan penglihatan yang lebih jauh.
- Penglihatan mungkin hanya dapat persepsi cahaya karena densitas katarak
- Gejalanya sama dengan glaukoma sudut tertutup akut
- Riwayat penurunan penglihatan yang lambat sebelum onset akut adalah gejala yang vital untuk
diagnosis.
- TIO meningkat sangat tinggi
- Pemeriksaan lampu slit menampakkan edema korne mikrositik, kamera anterior sembab,
makrofag, agregasi material putih.
- Penemuan genioskopi biasanya normal.
Gejala dan tanda yang didapatkan pada glaukoma sudut tertutup akut primer menurut Ilyas
(2009):
- Pasien dengan glaukoma sudut tertutup akut primer menampakkan gejala nyeri okular dan
kepala
- Penurunan lapang pandang unilateral
- Adanya halo berupa pelangi di sekitar lampu yang dilihat
- Seringkali mual dan muntah
- Ketajaman penglihatan dapat menurun secara signifikan pada mata yang terpengaruh, seringkali
sampai 20/80 atau lebih buruk.
- Tanda khas yang muncul termasuk peningkatan TIO secara signifikan, pada evaluasi
genioskopi, terdapat injeksi konjungtiva dan episklera yang dalam, dan pupil yang berdilatasi
sedang.
- Pada pemeriksaan slit lamp juga dapat terlihat edema kornea dan sudut kamera anterior yang
dangkal.
- Tonometri dapat terlihat TIO rata-rata 30 sampai dengan 60 mmHg, ataupun lebih tinggi pada
beberapa kasus.
- Gonioskopi mungkin sulit dilakukan karena edema kornea mikrositik.
- Mungkin terdapat bukti episode pentupan sudut sebelumnya dalam bentuk sinekia anterior
perifer pada mata.
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis glaukoma akut baik primer maupun sekunder ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Ilyas, 2009). Selanjutnya Ilyas (2005)
menambahkan glaukoma primer dengan sudut bilik mata depan tertutup bersifat bilateral dan
herediter dan banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Sedangkan mata pasien dengan
glaukoma sudut tertutup sekunder sangat merah, konjungtiva sangat kemotik, dengan injeksi
siliar, kornea keruh, pupil setengah dilatasi dengan reaksi terhadap sinar yang kurang atau ama
sekali tidak ada. Bilik mata depan dangkal dan di dalam bilik mata terdapat efek Tyndal positif.
Mata pada perabaan terasa keras seperti kelereng, akibat tekanan bola mata yang sangat tinggi.
Noecker & Kahook (2011) menjelaskan diagnosis glaukoma sudut tertutup akut primer dibuat
dengan visualisasi genioskopi yang menunjukkan tertutupnya sudut kamera anterior. Tonometri
menunjukkan peningkatan TIO yang bisa mencapai 40-80 mmHg. Chen & Yi (2009)
menjelaskan pada glaukoma fakolitik pemeriksaan lampu slit menampakkan edema korne
mikrositik, kamera anterior sembab, makrofag, agregasi material putih. Pada pemeriksaan
genioskopi sudut kamera anterior biasanya normal.
V. RESUME ANAMNESIS
1. Analisis RPS
Dari data riwayat penyakit sekarang didapatkan sejak 1 hari yang lalu pasien mengeluh
kedua matanya merah, disertai keluhan lain yaitu rasa sakit atau pegal pada mata, pusing, mual
dan muntah. Saat ini pasien juga merasakan penglihatannya menjadi kabur dan merasakan silau
jika terkena cahaya lampu dan seperti adanya gambaran pelangi jika melihat lampu. Data riwayat
penyakit sekarang tersebut menggambarkan perjalanan penyakit yang saat ini dialami oleh
pasien. Gejala yang dialami dapat mengarahkan kita pada diagnosis banding yaitu glaukoma
fakomorfik, glaukoma sudut tertutup akut primer, glaukoma fakolitik, dan glaukoma uveitis
karena pada masing-masing diagnosis banding tersebut didapatkan gejala serupa dengan yang
dialami oleh pasien, yaitu gejala glaukoma dengan onset yang terjadi mendadak atau akut Ilyas
(2005) mengemukakan serangan glaukoma akut dapat datang dengan tiba-tiba dan penglihatan
akan sangat menurun, disertai dengan sakit yang berat di belakang kepala, dan kadang-kadang
akibat adanya gejala yang disertai muntah, maka sering disangka penderita sakit perut. Ilyas
(2009) menambahkan serangan glaukoma akut juga menunjukkan tanda-tanda kongestif
(peradangan) dengan kelopak mata bengkak dan mata merah.
Pasien sudah mengobati dengan obat yang dibeli di warung namun keluhan belum membaik.
2. Analisis Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan anggota keluarga yang menderita penyakit
serupa dengan pasien. Ini berarti kita dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit yang diderita
oleh pasien adalah diturunkan oleh keluarganya.
Riwayat penyakit kronis seperti diabetes melitus dan hipertensi juga negatif dalam keluarga.
Penyakit diabetes melitus dan hipertensi ini juga dapat sebagai faktor resiko terkena penyakit-
penyakit yang berada di mata (Ilyas, 2005).
3. Analisis Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Ini berarti bahwa pasien
mengalami keluhan dengan onset akut dan pertama kalinya. Pasien juga tidak memiliki riwayat
memakai kacamata. Pada pasien dengan kelainan refraksi juga mempunyai faktor yang dapat
menyebabkan munculnya penyakit mata seperti glaukoma. Umumnya dapat terjadi pada pasien
dengan sudut kamera anterior sempit (sering pada hipermetropia) (James et al., 2005). Pasien
memiliki riwayat katarak sejak satu tahun yang lalu. Namun pada anamnesis penggalian riwayat
penyakit dahulu kurang lengkap karena tidak menggali perjalanan penyakit katarak yang sejak
satu tahun yang lalu diderita pasien. Ilyas (2009) menjelaskan glaukoma akut dibangkitkan lensa
merupakan glaukoma akibat katarak intumesen, matur, ataupun hipermatur. Untuk mengetahui
etiologi glaukoma sekunder yang terjadi sangat diperlukan penggalian riwayat katarak pasien
baik perjalanan penyakitnya (gejala dan tanda yang muncul) maupun riwayat pengobatannya.
Jika sudah digali dengan baik, kita bisa mengetahui apakah glaukoma yang terjadi adalah karena
adanya penyakit (kondisi) yang mendasari (sekunder), atau tidak ada penyakit sebelumnya yang
menyebabkan terjadinya glaukoma (primer).
Selain itu penyakit kronis seperti diabetes melitus dan hipertensi juga bisa menyebabkan
kelainan pada mata seperti retinopati diabetik maupun glaukoma neovaskular. Tapi pada pasien
tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sehingga diagnosis retinopati diabetik
maupun glaukoma neovaskular tidak masuk dalam diagnosis banding.
4. Analisis Kebiasaan dan Lingkungan
Data anamnesis tidak dicantumkan kebiasaan dan lingkungan pasien. Pada glaukoma
sekunder, Ilyas (2009) mengemukakan faktor yang dapat mencetuskan serangan glaukoma akut,
yaitu seperti Emosi (bingung dan takut) dapat menimbulkan serangan akut, dan membaca dekat
yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan menimbulkan serangan pada glaukoma blok
pupil.
5. Analisis Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dengan tekanan darah yang sedikit
tinggi yaitu 130/80 mmHg yang termasuk stadium prehipertensi namun pada orang dengan usia
tua (67 tahun), tekanan darah biasanya sudah meningkat. Pemeriksaan visus menunjukkan visus
jauh pada okulus dekstra adalah 1/60, artinya pasien hanya dapat menghitung jari pada jarak 1
meter yang pada orang dengan visus normal dapat dilihat dari jarak 60 meter. Visus jauh okulus
sinistra adalah 3/60, artinya pasien juga hanya apat menghitung jari pada jarak 3 meter. Persepsi
sinar positif artinya pasien masih dapat melihat adanya sinar dan arah datangnya sinar. Menurut
Ilyas (2005) serangan glaukoma akut menunjukkan gejala kongestif dengan kelopak mata
bengkak, mata merah, tekanan bola mata sagat tinggi, pupil lebar, kornea suram dan edem, iris
sembab meradang, papil saraf optik hiperemis, edem, dan lapang pandang menciut berat. Iris
bengkak dengan atrofi dan sinekia posterior dan lensa menjadi keruh.
VI. PEMBAHASAN PEMERIKSAAN PENUNJANG TERKAIT KASUS
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut (:
1. Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan lapang pandang penting dilakukan untuk mendiagnosis dan menindaklanjuti
pasien glaukoma. Kemungkinan hasil yang akan ditemukan lapang pandang pasien berkurang
karena peningkatan TIO yang merusak papil saraf optikus.
2. Oftalmoskopi
Untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Dengan menggunakan opthalmoskop
kita bisa mengukur rasio cekungan-diskus (cup per disc ratio-CDR). CDR yang perlu
diperhatikan jika ternyata melebihi 0,5 karena hal itu menunjukkan peningkatan tekanan
intraokular yang signifikan.
3. Pemeriksaan Gonioskopi
Dengan lensa gonioskopi dapat dilihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan
glaukoma. Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai
adanya glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut (goniolens) di
dataran depan kornea setelah diberikan lokal anestesi. Lensa ini dapat digunakan untuk melihat
sekeliling sudut bilik mata dengan memutarnya360 derajat. Pemeriksaan genioskopi ditunda
sampai edema kornea berkurang, salah satunya dengan obat yang dapat menurunkan tekanan
intraokular. Hasil yang diharapkan pada pemeriksaan genioskopi menunjukkan sudut bilik mata
anterior yang tertutup.
VII. PEMBAHASAN TERAPI TERKAIT KASUS
Tujuan penatalaksanaan glaukoma sekunder adalah untuk menurunkan TIO dan mengobati
kausa penyakit. Terapi berupa ekstraksi lensa apabila TIO telah terkontrol secara medis
(Vaughan, et al. 2009).
1. Farmakoterapi
Terapi farmaka dilakukan untuk menurunkan TIO secara cepat untuk mencegah kerusakan
yang lebih jauh pada nervus optikus, untuk menormalkan kornea, dan mencegah terjadinya
pembentukan sinekia. Reduksi TIO dibutuhkan untuk mempersiapkan pasien untuk iridotomi
laser untuk mengatasi blok pupil yang menyebabkan glaukoma. Manajemen inisial yang
digunakan termasuk beta-bloker, agonis alfa-2 adrenergik, dan inhibitor karbonik anhidrase.
Miotikum dapat memperburuk serangan glaukoma sudut tertutup sekunder dengan meningkatkan
kontak iridolentikular. Tujuan farmakoterapi adalah untuk menurunkan morbiditas dan untuk
mencegah komplikasi (Gill, 2010).
a. Inhibitor Karbonik Anhidrase
Karbonik Anhidrase adalah suatu enzim yang ditemukan di banyak jaringan tubuh, termasuk
mata. Katalisasi suatu reaksi reversibel dimana karbon dioksida menjadi hidrasi dan asam
karbonat menjadi dehidrasi. Dengan memperlambat terbentuknya pembentukan ion bikarbonat
dengan reduksi dalam sodium dan transport cairan, dapat menghambat karbonik anhidrse dalam
proses siliaris mata. Efeknya menurunkan sekresi aqueous humor, sehingga menurunkan TIO.
Asetazolamid digunakan dengan dosis 250-500 mg IV/IM, dapat diulang dalam 2-4 jam
maksimum 1 g/hari. Efek sampingnya hilangnya kalium tubuh, parastesi, anoreksia, diare,
hipokalemia, batu ginjal, dan miopia sementara.
Kontraindikasi pada orang dengan hipersensitivitas, penyakit hati, penyakit ginjal kronis,
insufisiensi adrenokortikal, obstruksi pulmonar parah (Gill, 2010).
b. Agonis Alfa-adrenergik
Menurunkan TIO dengan menurunkan produksi humor aqueous (Gill, 2010). Apraklonidin
merupakan obat baru yg bekerja menurunkan produksi humor aqueous tanpa efek pada aliran
keluar, dapat digunakan dengan dosis 1-2 tetes pada mata yang terkena 3 kali/ hari.
c. Agen Hiperosmotik
Menurunkan TIO dengan membuat gradien osmosis antara cairan okular dan plasma, tetapi
tidak untuk penggunaan jangka panjang. Obat yang digunakan Manitol yang bekerja dengan
mengakibatkan cairan ekstraselular hiperosmotik sehingga terjadi dehidrasi sel dan diuresis.
Dosis mannitol pada pasien dengan mual dan muntah diberikan secara intravena dalam 20 %
cairan dengan dosis 2 g/kgBB selama 30 menit. Maksimal penurunan TIO dijumpai dalam satu
jam setelah pemberian mannitol.
d. Beta Bloker
Merupakan terapi tambahan yang efektif untuk menangani serangan sudut tertutup. Beta
bloker dapat menurunkan TIO dengan cara mengurangi produksi humor aqueous. Timolol
sebagai beta bloker nonselektif dalam sediaan tetes mata dapat digunakan sebanyak 2 kali
dengan interval setiap 20 menit dan dapat di ulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian (Qamar,
2008).
e. Miotik Kuat
Pilokarpin 2% atau 4 % setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian sebagai inisial terapi,
diindikasikan untuk menghambat serangan awal glaukoma akut.
Bekerja degan meningkatkan fasilitas pengeluaran cairan mata dengan membuka sudut bilik
mata dengan miosis. Efek samping yang ditimbulkan adalah sakit pada alis akibat spasme otot
siliaris dan penglihatan malam berkurang (Ilyas, 2009).
2. Nonfarmakoterapi (Pembedahan)
Ilyas menjelaskan pengobatan glaukoma sekunder akut hanya dengan pembedahan. Tindakan
pembedahan harus dilakukan pada mata dengan sudut sempit karena serangan akan berulang lagi
pada satu saat. Tindakan pembedahan dilakukan bila TIO sudah terkontrol, mata tenang dan
persiapan pembedahan sudah cukup. Tindakan pembedahannya adalah iridektomi laser. Gill
(2010) menambahkan seringkali serangan sudut tertutup terjadi lagi setelah pembedahan, karena
sudut kamera anterior masih dangkal. Dalam kondisi ini sebaiknya dilakukan ekstraksi katarak
bila sudut kamera anterior tidak dalam setelah iridektomi laser.
VIII. PEMBAHASAN PROGNOSIS DAN KOMPLIKASINYA
Kontrol tekanan intraokuler yang jelek akan menyebabkan semakin rusaknya nervus
optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadinya kebutaan. Jika TIO tetap terkontrol dan
terapi penyebab dasar menghasilkan penurunan TIO, maka kecil kemugkinannya terjadi
kerusakan penglihatan progresif (James et al. (2006).
DAFTAR PUSTAKA
Dhawan, S., 2005. Lens & Cataract.
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf
Gill, H., Juzych, M.S., Goyal, A.G., 2010. Phacomorphic Glaucoma.
http://emedicine.medscape.com/article/1204917-overview
Ilyas, S., 2005.Penuntun Ilmu Penyakit Mata (3rd ed). Jakarta: FKUI
Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyakit Mata (3rd ed). Jakarta: FKUI
James, B., Chew, C., Bron, A., 2006. Oftalmologi: Lecture Notes (9th ed). Jakarta:
Erlangga
Johnson, S., 2009. Cataract Surgery in Glaucoma Patient. New York: Springer Science
& Business Media
Noecker, R.J., Kahook, M.K., 2011. Acute Angle Closure Glaucoma.
http://emedicine.medscape.com/article/1206956-overview
Qamar, A.R., 2008. Phacomorphic Glaucoma: An Easy Approach, Pak J Ophthalmol ,
23:2,77-79
Sowka, J., Phacomorphic Glaucoma: Case and Review, American Optometric
Association, 2008;77:586-589
Sowka, J.W., Gurwood, A.S., Kabat, A.G., 2009. Handbook of Ocular Disease
Management. Hunenberg: Alcon
Vaughan, D.G., Asbury, T., Eva, P.R., 2007. General Ophtalmology (17thed). New
York: Mc Graw Hill
Yi, K., Chen, C.T., 2009. Phacophilic Glaucoma.
http://emedicine.medscape.com/article/1204814-overview
DEFINISI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea
(iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa uvea
merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen
mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya.
Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui secara pasti sehingga patofisiologi yang pasti
dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas.
Uveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun,
postulat reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai
sel dan pembuluh darah uvea.
Uveitis juga dapat ditemukan dengan hubungannya dengan kelainan autoimun, seperti SLE
(Systemic Lupus Erythematosus) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Pada kasus ini, uveitis dapat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan penimbunanan kompleks imun pada
jaringan uvea.
Penyebab ganda telah dibuktikan menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Kebanyakan tipe
uveitis anterior merupakan reaksi peradangan steril, dimana hal inilah yang membedakan dengan
uveitis posterior yang sering disebabkan oleh infeksi. Persentase terjadinya uveitis anterior
idiopatik antara 38-70% dari seluruh kejadian uveitis anterior. Kemudian penyebab terbanyak
kedua adalah terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif atau HLA-B27 yang berhubungan dengan
penyakit tertentu.
C. KLASIFIKASI PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun
parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset,
dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi.
Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan
penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana. Adapun
klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas dkk, 2002):
1. Lokasi utama dari bercak peradangan :
Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The International
Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987. Sedangkan lokasi anatomi
dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting bagi proses patogenesis dan penanganan
dari uveitis. Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:
gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi
a. Uveitis anterior
Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu peradangan intraokular
yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat terjadi apabila terjadi peradangan pada segmen
anterior bola mata. Berdasarkan data epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak
memiliki gejala sistemik yang terkait dengan uveitis, namun 50% pasien mengalami peradangan
yang disebabkan oleh trauma, dan paling sering disebabkan oleh sindrom idiopatik postviral
(Sindrom HLA-B27, herpes simpleks, dan herpes zoster, Fuchs heterochromic iridocyclitis, dan
beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit sekunder iatrogenik sering ditemukan post operasi,
komplikasi pembedahan, implant sklera, transplantasi kornea, distrupsi kapsula, atau fixed haptic
dan implantasi lensa intraokular yang difiksasi dengan iris.
Penyebab Uveitis anteriorAutoimun:
- Artritis rheumatoid juvenilis - Uveitis terinduksi-lensa- Spondilitis ankilosa - Sarkoidosis- Sindrom reiter - Penyakit chron- Kolitis ulserativa - Psoriasis
Infeksi:- Sifilis - Herpes simpleks- Tuberkulosis - Onkoserkiasis- Lepra (morbus Hensen) - Adenovirus- Herpes Zoster
Keganasan:- Sindrom masquerade - Limfoma- Retinoblastoma - Melanoma maligna- Leukemia
Lain-lain:- Idiopatik - Iridosiklitis heterokromik Fuchs- Uveitis traumatika - Gout- Ablatio retina - Krisis galukomatosiklitik
Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan
tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan memburuk apabila terpapar
cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora yang
terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada
hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik,
walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan
tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan
menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan
sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna
coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).
Gambar 3. Keratic precipitates (KP)
Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan
flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat ditemukan
pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat
mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi
perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul
granulomatosa pada stroma iris.
Gambar 4. Kanan: sinekia posterior, Tengah: fler, dan kiri : hipopion
Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun saat
reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris
ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat
terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.
b. Uveitis intermediate
Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama terjadi
pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat “bintik-bintik terapung” di dalam
lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan
distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia.
Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya
kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop.
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di
kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan anterior. Sel radang lebih besar
kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan
slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan
kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering
menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya
selubung perivaskuler pada pembuluh retina.
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam waktu 5
sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut makular
permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan
membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang
terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang menolong
namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat
edema makular. Mula-mula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon
atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan
resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah operasi katarak.
c. Uveitis posterior
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior
bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali
dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3)
hubungannya dengan penyakit sistemik.
Penyebab uveitis posterior1.Penyakit infeksi
a. Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.
b. Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab penyakit Lyme).
c. Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus
d. Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca2. Penyakit Non Infeksi:
a. Autoimun: - Penyakit Behcet - Oftalmia simpleks- Sindrom vogt-koyanagi-Harada - Vaskulitis retina- Poliarteritis nodosa
b. Keganasan:- Sarkoma sel reticulum - Leukemia- Melanoma maligna - Lesi metastatik
c. Etiologi tak diketahui:- Sarkoidosis - Retinopati “birdshot”- Koroiditis geografik - Epiteliopati pigmen retina- Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut
Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.
Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis, sarcoidosis,
penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis
serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma,
atau sarkoidosis.
Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan
kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan sel-sel
vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior
umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan
penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada
gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.
Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom samaran”, seperti
retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini adalah
infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.
Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk
toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom samaran,
panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen
posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial
adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis
candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.
Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina
akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.
Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,
kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset
uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen
posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan
infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.
d. Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli anterior, vitreous, retina,
dan koroid)
Istilah “uveitis difus” merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih merata dari
semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus tidak memiliki tempat
peradangan yang predominan dimana peradangan merata pada kamera okuli anterior, vitreous,
dan retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini
seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis
bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat
geografik secara khas tidak ada.
2. Berat dan perjalanan penyakit :
a. Akut
b. Sub-akut
c. Kronik
d. Rekurens
Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut,
kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi iris) akut sering terjadi pada
dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia
(sensitif terhadap cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya iritis
akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan dengan
faktor genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis (arthritis
pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis. Berdasarkan perjalanan penyakit,
terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan selalu muncul hanya pada satu mata.
Beberapa pasien dapat mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang
mengalami serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan badan siliar
(struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering menunjukan gejala minimal
hingga keparahan yang mampu merusak mata. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan
kronik iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-
anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial
untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak mengeluhkan gejala yang
berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis mata untuk
merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter spesialis mata karena
iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah arthritis rheumatoid juvenil timbul,
anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini memerlukan check up periodik hingga usia remaja.
3. Berdasarkan patologinya :
a. Non-granulomatosa
Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan
berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam fenomena
hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni
iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel
plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior
kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin
terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior maka
pupil tampak tidak teratur.
Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap
toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh
dalam tubuh harus pula dicari.
b. Granulomatosa
Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).
Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan.
Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan
laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun
lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi
limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea
terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan menemukan kista
toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas
pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya.
Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior, dan
keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut
memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama
berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena
terbentuk sinekia posterior. KP “mutton fat” besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea
dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri
atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini sepadan
dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris disebut nodul busacca.
Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat “mutton-fat”
dan nodul Koeppe dan Busacca
Gambar 6. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris
dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior
Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putih-kekuningan
samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus posterior demikian
pada umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling
melekat erat, retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses penyembuhan,
kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur timbul di tepian bintik-bintik putih
kekuningan. Pada tahap sembuh, umumnya terdapat deposit pigmentasi yang cukup banyak. Jika
makula tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien umumnya
tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang sesuai dengan daerah parut.
4. Demografi, lateralitas dan faktor penyerta :
a. Distribusi menurut umum
b. Distribusi menurut kelamin
c. Distribusi suku bangsa atau ras
d. Unilateral dan bilateral
e. Penyakit yang menyertai atau mendasari
5. Penyebab yang diketahui :
a. Bakteri : tuberkulosa, sifilis
b. Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet.
c. Jamur : Kandidiasis
d. Parasit : Toksoplasma, toksokara
e. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika
f. Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis,
penyakit vaskuler.
g. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma
h. Lain-lain : AIDS
D. PENDEKATAN DIAGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu. Misalnya,
karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh sakit dan
fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat
atau cukup lanjut hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid
sendiri tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina,
penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu. Vitreus
juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang
merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan vitreus dan
bersifat reversible bila peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien yang sedang
mengalami peradangan uvea akan mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut:
- Mata merah (hiperemis konjungtiva)
- Mata nyeri
- Fotofobia
- Pandangan mata menurun dan kabur
- Epifora
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi dari
gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat, fotofobia, dan
hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan hipopion. Faktor diluar
gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis anterior. Onset, durasi, dan
keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui. Selain itu usia pasien, latar
belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari
sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi pasien dengan uveitis.
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan
antara lain:
1. Pemeriksaan subyektif mata
a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam pengllihatan,
pemeriksaan gerakan bola mata.
b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan
c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal
2. Pemeriksaan obyektif mata
Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering ditemukan pada
360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju arah limbus. Hal inilah
yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak dengan arah
menjauhi limbus.)
c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari
produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.
d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.
e. pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai iris
yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung mengenai iris
berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:
- Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa penyebab
fotofobia lain, seperti konjungtivitis.
- Pupil dalam kondisi miosis
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp
a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda asing.
b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea
c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih pada
endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan ke dalam uveitis
nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak
(gambaran granula “mutton-fat”).
d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli anterior
tampak kotor.
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera okuli
anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
- 0 à tidak ditemukan
- +1 à ditemukan dalam jumlah sedikit
- +2 à ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
- +3 à iris dan lensa terlihat berkabut
- +4 à intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi)
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan hubungan
etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan laboratorium ini tidak dilakukan
bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.
b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens, pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.
E. PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis
mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah
pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau sistemik
dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari
fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan
sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan disebabkan
karena infeksi.
- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah
- Mengurangi pembentukan jarangan parut
Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi. Initial
dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg
setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering
off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi
umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid
level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison
(2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi
adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari
sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada
pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat
kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan
kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.
Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,
selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya
ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya
dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan pemberian
jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang
mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung dari
keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat
1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate,
sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid
dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu
dimonitor.
Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai dirasakan
gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian
steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap
kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih
sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi
ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan
sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.
Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:
1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan
2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya
Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:
- Prednisolone 1% (pred forte) à steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk uveitis.
Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari leukosit
PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat menghambat
kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga tidak boleh
digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang mengalami infeksi
jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone
dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak dalam pemakaian
jangka panjang.
b. Obat anti inflamasi nonsteroid
Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi kontra.
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai
life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon,
indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs
(NSAIDs) yang lainnya .
2. Obat sikloplegia
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil, selain
juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi. Mekanisme ini dapat
mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal
dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali
2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi cepat, demam,
merah, dan mulut kering.
- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) à menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan midriasis
setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini dapat menurun
pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis dibandingkan
siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaukoma
sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu
cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
- Homatropine 2-5% (isopto) à menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis
setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6
jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choice yang sering digunakan
pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma sudut
tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd
(dewasa).
Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif terhadap
steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi sebelumnya,
immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal pada
penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan skleritis
nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam
jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat meningkalkan
kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi penanganan jangka
panjang dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-
koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik yaitu
mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan diteliti pada
pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini
yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk penanganan peyakit inflamasi ocular
yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai pemblok mediator spesifik pada sistem
imunitas yang sering ditemukan pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor
Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2
contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui injeksi
intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya manfaat dalam
penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman refraksi pada
edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki waktu paruh yang
pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga resiko terjadi
pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk terjadinya
endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.
Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang diindikasikan dalam
manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika
menemukan perubahan dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami
opasitas untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi inflamasi dan
immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan struktural yang dapat terjadi pada mata
misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio retina).
Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan untuk minimal
jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit (eradikasi komplit dari sel
kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara umum, 24-48 jam preoperative, topical
prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan
prednisolon (1 mg/kg) tergantung dari proses inflamasi alami. Steroid intraokular dan periokular
dapat diberikan saat operatif sedang berlangsung. Medikasi sistemik dan topikal diberikan
dengan dosis diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi.
Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai follow-up yaitu:
- Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan
- Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan biomikroskopis/slit
lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.
- Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan sikloplegik yang
dipakai dalam terapi medikamentosa
- Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6 bulan.
F. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu:
1. Glaukoma sekunder
Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea antara
lain:
a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat peradangan iris pada
uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan mengganggu
drainase dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera okuli anterior
dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular,
b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di beberapa
tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan terlihat
pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma dengan
memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke
depan dan menutup sudut iridokornea.
c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang (fler)
pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan terjadi
glaukoma.
Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus optikus
sehingga terjadi kebutaan permanen.
3. Katarak komplikata
Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada fisiologis
lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya mengenai
seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik
katarak senilis biasanya.
4. Ablasio retina
5. Edema kistoid macular
6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:
Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna
2. Otot3. Susunan saraf pusat
4. Tulang
5. Kulit
6. Mata
- Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
- Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.- Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
- Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.
- Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.
- Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7. Darah8. Pembuluh darah9. Kelenjar adrenal bagian
kortek10. Metabolisme protein, KH
dan lemak
11. Elektrolit
12. Sistem immunitas
- Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit- Kenaikan tekanan darah- Atrofi, tidak bisa melawan stres
- Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
- Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)
- Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.
Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan penanganan
yang tepat.
BAB III
KESIMPULAN
Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan
siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas
banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada
area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa
elemen mata penting lainnya.
Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari uveitis
juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis
sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate
reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai sel dan
pembuluh darah uvea.
Uveitis diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter yang digunakan
antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit;
karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi
dari uveitis sangat penting dalam diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan
yang cost-efective dapat terlaksana.
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis
mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah
pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan.
terapi pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi
penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana pengobatan,
dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor segmen posterior mata.
Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan penanganan
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Granulomatose. Diakses
tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Al-Fawaz, Abdullah.. Levinson. Ralph. D.. (2010). Uveitis, Anterior, Non-Granulomatose.
Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Farooqui, Saadia. Zohra.. Foster, C. Stephen.. Sheppard.. (2008). Uveitis, Classification. Diakses
tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
Gordon, Kilbourn. (2009). Iritis and Uveitis. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari
www.emedicine.medscape.com
Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC:
Jakarta.
Ilyas, Sidarta, dkk. (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Edisi ke-2. Sagung Seto: Jakarta.
Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
Janigian, Robert. H. (2010). Uveitis, Evaluation and Treatment. Diakses tanggal 3 Maret 2010,
dari www.emedicine.medscape.com
Janigian, Robert. H.. Filippopoulos, Theodoros.. Welcome, Brian. A.. (2008). Uveitis,
Intermediate. Diakses tanggal 3 Maret 2010, dari www.emedicine.medscape.com
3. Uveitis Posterior
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat berterbangan”
atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis
mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-
tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi. Apabila proses
peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis
yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang
kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau
sheathing pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai
hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan
parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.
Recommended