View
212
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Citation preview
Berkaca Pada Alam
Publikasi 19/05/2003 10:03 WIB
eramuslim - Jika kita perhatikan batu-batu yang bertengger
dipinggiran sungai, terkadang kuyup oleh sentuhan genit air-air sungai
yang menghampiri walaupun mereka terus berjalan. Namun untuk
beberapa lama batu-batu itu mengering oleh sinaran matahari yang
menembus dari celah-celah dedaunan. Silih berganti air dan matahari
menyapa bebatuan yang tak pernah bergeser dari tempatnya,
sebelum perubahan alam atau tangan manusia yang menghendakinya
berpindah. Kemudian jika terlihat satu sisi dari batu itu yang terus
menerus lembab, yang kemudian lumut hijau nan cantik menghiasi
seluruh sisi permukaan itu, artinya sinar matahari tak pernah singgah
diatasnya. Batu, air sungai dan sinar matahari itu mengajarkan kepada
kita tentang banyak hal. Kepasrahan batu-batu menerima air dan sinar
matahari, adalah cermin keikhlasan. Dan keteguhannya untuk tetap
ditempatnya, adalah kesabaran. Lumut hijau di sisi batu yang tak
tersinari matahari adalah petunjuk arah jalan.
Mendakilah lebih tinggi, kita akan menemukan jenis tumbuhan, warna
daun dan buah yang berbeda. Jalan semakin terjal dan sempit, hanya
akar-akar besar dari pohon tua yang terkadang menjadi perantara
menuju undakan berikutnya. Sesaat beristirahatlah dan perhatikan
semuanya. Tumbuhan, daun dan buah dengan warna yang lebih
mencolok dan lebih khas, mengajarkan kepada kita, bahwa Allah Maha
Adil dengan menempatkan setiap makhluknya pada keadaan dan
tempat dimana ia bisa beradaptasi dan hidup. Satu hal bagi manusia,
teruslah bergerak mencari kehidupan, karena Allah akan senantiasa
menuntun kita kepada tempat kehidupan terbaik. Namun jika pada
akhirnya kita berhenti disatu tempat yang Allah kehendaki setelah
semua usaha yang dilakukan, disitulah kita meletakkan prinsip qonaah
dan sabar, serta bersyukur atas ketetapan Allah.
Saatnya senja menyambut hari. Sinar merah kekuningan yang
menyejukkan masih bisa kita nikmati dari celah-celah ranting dan
daun, sesekali ia seperti berkedip dan terus memandangi semua
makhluk yang terus bergerak. Seperti mengikuti, matanya terus
menatap dan mengawasi sementara sinarnya semakin lama semakin
redup digantikan malam. Tinggallah menunggu rembulan. kemudian
kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin,
penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih
mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan
mata kaki. Senja hanya sesaat, namun kahadirannya begitu memukau
dan terasa manfaatnya. Tidak hanya indah, senja senantiasa
menebarkan pesona keanggunan kepada siapapun yang menatapnya.
Kepada hidup, kepada makhluk dan kepada Allah, semestinya
manusiapun seelok, sebermanfaat dan semenyenangkan senja. Karena
mungkin, besok tak lagi tersedia waktu untuk melakukan semua itu.
Dan bila malam tiba, kabut pekat menutup jarak pandang kita,
sementara angin kebekuan menyelimuti kulit tipis kita yang tak henti
bergerak. Sejenak berhenti sesungguhnya hanya menambah tebal
selimut kebekuan itu walaupun waktu yang sejenak itu untuk sekedar
menyeruput air hangat dari tungku batu. Tak banyak yang bisa
dilakukan, tak banyak pilihan selain terus bergerak keatas agar lebih
cepat mendapati fajar. Ingin mata terpejam sekedar menghela nafas
dan mengaturnya satu persatu agar tak saling menyusul, tapi
kehendak kuat yang menggebu untuk segera tiba di puncak seolah tak
bisa kompromi. Rembulan hanya mengintip di kejauhan. Sedangkan
kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin,
penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih
mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan
mata kaki. Terkadang sering kita mendapat satu kondisi dimana tak
lagi mempunyai pilihan untuk berbuat banyak, namun masih ada satu
dalam dada ini yang masih kita percayai karena ianya tak pernah
berdusta. Ialah mata hati dan nurani. Berhenti bukan jalan yang tepat
apalagi kembali ke belakang, padahal jalan tinggal selangkah.
Tanyalah pada hati, niscaya kebenaran yang kita dapat.
Dan pada akhirnya, setelah semua perjuangan, lelah, juga peluh yang
hampir tak bedanya dengan embun dipucuk dahan, sebuah tanah
mengering pada pijakan terakhir membuat nafas menjadi lega. Hilang
semua lelah, lepas semua keputusasaan yang menghantui selama
perjalanan, karena mentari pagi menyambut kehadiran kita di puncak
perjalanan. Tersenyum adalah kepastian, kepuasan adalah kewajaran
dikala seperti tak ada lagi jarak antara kita dengan Sang Pencipta dari
puncak ini. Ingin rasanya berteriak meminta kepada-Nya, namun
ditempat ini, berbisik pun Dia pasti mendengarnya, karena kita begitu
dekat. Perjalanan takkan pernah berujung, namun sudah pasti ada
masanya kita kan berhenti. Teruslah mendaki agar kita semakin dekat
pada-Nya. Teruslah bergerak, namun jika telah sampai di puncak
semua keinginan, jangan pernah lupa bahwa kita pernah dibawah, dan
pasti akan kembali ke bawah. Esok atau nanti. Wallaahu ‘a’lam
bishshowaab
Recommended