View
72
Download
21
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai Negara kepulauan Indonesia yang memiliki perairan pantai sangat
baik dan juga memiliki posisi strategis dan berpeluang sebagai pusat perdagangan
komoditi perikanan seperti ikan, udang, molusca, rumput laut berada pada posisi
persilangan dua benua. Dilihat dari peluang tersebut, maka sangat diperlukan
usaha untuk meningkatkan sumberdaya hayati perairan yang masih rendah
produktifitasnya. Usaha ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara
dari segi perikanan. Kegiatan meningkatkan sumberdaya hayati ini dilakukan
dengan usaha konservasi dan budidaya.
Salah satu sumberdaya hayati laut yang cukup potensi adalah rumput laut
atau dikenal dengan sebutan lain seaweeds, ganggang laut, atau agar-agar. Hasil
proses ekstraksi rumput laut banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau
sebagai bahan tambahan untuk industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil,
kertas, cat dan lain-lain. Selain itu digunakan sebagai pupuk hijau dan komponen
pakan ternak maupun ikan (Sujatmiko, 2003 ; Ma´ruf, 2005).
Rumput laut atau alga (seaweeds) merupakan salah satu potensi
sumberdaya perairan yang sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
bahan pangan dan obat-obatan. Saat ini pemanfaatan rumput laut mengalami
kemajuan yang sangat pesat yaitu agar-agar, algi, karaginan (carrageenan) dan
fulselaran (fulcellaran) yang merupakan bahan baku penting dalam industri
makanan, farmasi, kosmetik, dan lain-lain (Kordi, 2010).
Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang akhir-akhir
ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat adalah Eucheuma cottonii. Jenis ini
banyak dibudidayakan karena teknologi produksinya relatif murah dan mudah
serta penanganan pasca panen relatif mudah dan sederhana. Selain sebagai bahan
baku industri, rumput laut jenis ini juga dapat diolah menjadi makanan yang dapat
dikonsumsi langsung.
Rumput laut merupakan salah satu komuditas ekspor dan utama program
revitalisasi perikanan yang berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan
2
masyarakat (Parenrengi, et al., 2010 dan Aslan, 2011). Produksi rumput laut
Indonesia ditargetkan meningkat dari tahun 2009-2014 yaitu menjadi 389 persen
(Nurdjana, 2010). Untuk mewujudkan target tersebut diperlukan upaya
optimalisasi potensi sumberdaya untuk budidaya rumput laut. Strategi
pengembangan budidaya rumput laut yang perlu diterapkan adalah mengacu pada
pengelolaan lingkungan perairan berbasis ekoogis, aspek teknologi dalam
budidaya rumput laut dan penataan kawasan sesuai daya dukung lingkungan
(Kamlasi, 2008).
Rumput laut adalah produk unggulan dalam kebijakan pemerintah yang
akan menjadikan Indonesia sebagai penghasil peroduk perikanan laut terbesar
didunia pada tahun 2015. Keoptimisan ini di dasarkan pada peningkatan produksi
rumput laut Indonesia. Tahun 2009 produksi rumput laut sebesar 2,7 juta ton,
selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 3,1 juta ton, selanjutnya pada
tahun 201 naik menjadi 4,3 juta ton. Target produksi rumput laut untuk tahun
20122 adalah sebesar 5,1 juta ton (Siregar dan Mutaqin 2011; KKP2012).
Pencapaian target produk rumput laut ditentukan oleh banyak faktor dan
strategi. Anggadiredja (2007) menyatakan bahwa keberlanjutan agribisnis rumput
laut ditentukan oleh jaminan kualitas dan kontinuitas produksi (sistem produksi),
pasar (jejaring), modal usaha, dan jaminan untuk berusaha (regulasi). Sedangkan
untuk strategi pengembangannya, menurut Keppel (2008), dapat ditempuh melalui
pemetaan dan penataan kawasan budidaya, penguatan kelembagaan dan
pemberdayaan pembudidaya, penciptaan iklim usaha yang kondusif,
pengembangan sarana dan prasarana, serta pengembangan mutu dan nilai tambah.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah tentang bibit rumput
laut itu sendiri. Hal ini diperlukan dalam upaya pemenuhan jumlah dan mutu
bibit yang dibutuhkan oleh budidaya. Penyediaan bibit rumput laut untuk
menyediakan bibit rumput laut yang bermutu kepada para petani dengan sasaran
untuk peningkatan produksinya (Akmal et al., 2007).
Selain itu pemenuhan bibit rumput laut juga bertujuan untuk mewujudkan
pusat pengembangan dan produksi bibit yang berkualitas dengan menerapkan
teknologi produksi yang bermutu, dan menciptakan sistem produksi dan distribusi
3
bibit yang efisien dan terkendali untuk mengatasi permasalan ketersediaan bibit
yang bermutu (Akmal, et al., 2007).
Dari sekian jenis komoditi laut yang diolah menjadi produk perikanan,
rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang di budidayakan dalam
paktek keahlian.Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah
Eucheuma cottonii. Jenis ini banyak dibudidayakan karena teknologi produksinya
relatif murah dan mudah serta penanganan pasca panen relatif mudah dan
sederhana. Selain sebagai bahan baku industri, rumput laut jenis ini juga dapat
diolah menjadi makanan yang dapat dikonsumsi langsung.
Usaha rumput laut yang dilakukan petani sering mengalami kegagalan-
kegagalan. Kegagalan dan permasalahan yang dihadapi petani tersebut, dapat
ditanggulangi dengan memperhatikan faktor-faktor berikut : lokasi budidaya,
teknik budidaya, manajemen, bibit, musim dan letak karena faktor-faktor ini akan
sangat berpengaruh terhadap produksi rumput laut yang dibudidayakan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktek keahlian ini yaitu :
1. Mampu melakukan dan menganalisa teknik budidaya rumput laut dengan
metode longline.
2. Mampu menghitung analisa dan menganalisa usaha budidaya rumput laut.
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam praktek keahlian ini meliputi:
1. Teknik budidaya rumput laut dengan metode longline yang meliputi
pemilihan lokasi, pemilihan bibit, cara penanaman, cara perawatan,
pengendalian hama dan penyakit sampai panen.
2. Analisa usaha meliputi laba/rugi, Break Even point (BEP), Benefit Cost
Ratio (B/C Ratio).
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Rumput Laut
Rumput laut adalah macrobenthic (besar dan melekat), organisme
autothrophic, membutuhkan cahaya untuk keberlangsungan hidupnya sehingga
rumput laut tidak dapat hidup pada kedalaman laut yang tidak ada penetrasi
cahaya. Ukuran, bentuk dan warna rumput laut bervariasi.Rumput laut dapat
ditemukan di beberapa variasi habitat sepanjang pantai dan melekat pada banyak
jenis substrat seperti pasir, lumpur, batu, cangkang hewan laut, karang, kayu dan
jenis rumput laut lainnya (Guanzon, 2003).
Rumput laut dikelompokkan menjadi empat kelas Rhodophyceae
(ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang
hijau), Chynophyceae (ganggang biru-hijau) untuk menentukan divisi sinar
matahari adalah faktor utama yang diperlukan untuk kehidupan rumput laut terdiri
dari Taksonomi, Morfologi, Habitat dan penyebaran (Ditjenkabud, 2005).
2.1.1 Rhodophyceae
Rumput laut merah atau algae merah memiliki berbagai bentuk dan variasi
warna.Thallus algae merah bervariasi bentuk, tekstur dan warnanya.Bentuk
thallus ada yang silindris, gepeng dan lembaran.Rumpun terbentuk dalam
berbagai jenis percabangan mulai dari yang paling sederhana yaitu bentuk
filament sampai bentuk yang kompleks.Warna thallus beragam, ada merah, ungu,
pirang cokelat dan hijau. Algae merah mengandung pigmen fotosintetik berupa
karotin, xantofil, fikobilin terutama r-fikoeritrin (penyebab warna merah) dan
khlorofil a dan d. Alga merah mempunyai sifat adaptasi kromatik, yaitu
mempunyai kemampuan penyesuaian proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan yang dapat menimbulkan berbagai warna thallus. Pada dinding sel
terdapat selulosa dan produk fotosintetik berupa karaginan, agar, furcelaran dan
porpiran.
5
1. Eucheuma Spinosum
Nama daerah rumput laut jenis ini adalah agar-agar (Sulawesi Selatan). Ciri-
ciri rumput laut ini adalah thallus silindris, permukaan licin, cartilaginous, warna
cokelat tua, hijau kuning atau merah ungu. Ciri khusus secara morfologis memiliki
duri yang tumbuh berderet melingkari thallus dengan interval yang bervariasi
sehingga membentuk ruas-ruas thallus di antara lingkaran duri. Percabangan
berlawanan atau berselang-seling dan timbul teratur pada deretan duri antar ruas
dan merupakan yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung
percabangan meruncing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat yang
merupakan ciri khas E. Spinosum.
Habitat: alga ini tumbuh di perairan dengan persyaratan tumbuhnya, antara
lain substrat batu, air jernih, ada arus atau terkena gerakan air lainnya, kadar garam
antara 28-36 per mil dan cukup sinar matahari.
2. Eucheuma edule
Nama daerah rumput laut jenis ini adalah agar-agar besar (Pulau seribu) dan
agar-agar (Sulawesi). Ciri-ciri rumput laut Eucheuma edule adalah thallus silindris,
permukaan licin, gelatinaeus-cartilaginaeus, warna hijau kuning atau cokelat hijau.
Percabangan berselang-seling dengan interval yang jarang. Pada thallus terdapat
benjolan-benjolan yang sebagian bekembang menjadi duri-duri besar. Ukuran
thallus umumnya lebih besar dari pada jenis Eucheuma lainnya, sehingga rumpun
tampak lebih kokoh tetapi tidak begitu rimbun.
Habitat: pertumbuhan menempel pada batu di daerah rataan terumbung
karang. Kelimpahannya rendah (tidak begitu umum dijumpai) hasil budidaya.
Produksinya masih bersifat alami belum ada dari budidaya, populasinya di alam
tidak begitu banyak seperti E. Spinosum.
3. Eucheuma cottonii
Rumput laut Eucheuma cottonii memiliki ciri-ciri yaitu thallus silindris,
permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.
Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks.
Duri-duri thallus terdapat juga sama seperti hal nya dengan E. Spinosum tetapi tidak
6
bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang
utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal). Cabang-cabang pertama
dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah
kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut tampak ada yang
memanjang atau melengkung seperti tanduk.
Habitat: di alam, pertumbuhannya melekat pada substrat dengan alat
perekat berupa cakram.
4. Eucheuma Serra
Rumput laut Eucheuma serra memiliki ciri-ciri yaitu thallus gepeng,
pinggir bergerigi, permukaan licin, cartilaginous, warna merah atau merah pucat.
Ciri khusus secara morfologis menyerupai bentuk binatang lipan, percabangan
berselang-seling tidak beraturan dan membentuk rumpun yang rimbun.
Habitat: tempat tumbuh umumnya pada daerah yang selalu terkena
gerakan air, dibagian ujung luar terumbu, melekat pada batu.
2.1.2 Taksonomi
Menurut Meiyana, et al., (2001), rumput laut Eucheuma cottonii dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyaceae
Sub kelas : Florideophycidae
Ordo : Gigartinales
Famili : Soliericeae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
2.1.3 Morfologi
Ciri – ciri rumput laut tersebut adalah thallus silindris; permukaan licin;
menyerupai tulamg rawan/muda (cartilageneus); serta berwarna hijau terang,
hijau kuning, dan coklat kemerahan. Percabangan ke berbagai arah dengan
batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah pangkal
7
(basal).Percabangan thallus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi tonjolan-
tonjolan (nodulus) dan duri lunak/tumpul untuk melindungi gametangia. Duri-
duri pada thallus terdapat juga sama seperti halnya dengan E. denticulatum tetapi
tidak tersusun melingkari thallus.
Gambar 1. Rumput laut Eucheuma cottonii
Percabangan bersifat berseling (alternates), tidak teratur, serta dapat
bersifat percabangan dua-dua (dichotomus) atau percabangan tiga-tiga
(trichotomus). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat pelekat berupa
cakram.Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang
rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-
cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk
(Parenrengi dan Sulaeman, 2005).
2.1.4 Habitat dan penyebaran
Rumput laut tumbuh hampir di seluruh bagian hidrosfer sampai batas
kedalaman sinar matahari masih dapat mencapainya. Sinar matahari adalah faktor
utama yang diperlukan untuk kehidupan rumput laut. Pada kedalaman yang tidak
terjangkau sinar matahari rumput laut tidak dapat hidup. Nutrisi untuk
mempertahankan hidupnya berasal dari media air laut yang di serap secara difusi
oleh thallus rumput laut. Tempat hidup cloropichae umumya lebih dekat dengan
pantai, lebih ketengah lagi phaeophyceae dan lebih dalam lagi rhadophyceae
(Farchan dan Mulyono, 2011).
8
Daerah sebaran rumput laut sangat luas, baik yang tumbuh secara alami
maupun yang dibudidayakan. Pada awalnya rumput laut yang tumbuh secara
alami (wildstock) terdapat diseluruh perairan dangkal seluruh indonesia, tetapi
dengan pemanfaatan dan pengambilan rumput laut alami dari alam yang semakin
intensif menyebabkan stok dialam semakin terbatas khususnya pada kelompok
karaginofit.
Rumput laut E. Cottoni memerlukan sinar matahari untuk proses
fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin hidup pada
lapisan fotik, yaitu kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya.
Di alam, jenis rumput laut ini berkumpul dalam satu komoditas atau koloni dan
indikator jenisnya (spesies indicator) antara lain jenis-jenis Caulerpa, Hypnea,
Turbibaria, Padina, Gracilaria, dan Gelidium. E. cottoni tumbuh di rataan
terumbu karang dangkal sampai kedalaman 6 m, melekat di batu karang,
cangkang kerang, dan benda keras lainnya. Faktor yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan jenis ini yaitu cukup arus dengan salinitas (kadar garam) yang stabil,
yaitu berkisar 28-34 per mil. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini akan hidup baik
bila jauh dari muara sungai. Jenis ini telah dibudidayakan dengan cara diikat pada
tali sehingga tidak perlu melekat pada substrat karang atau benda lainnya.
2.2 Sistem Reproduksi
Perkembangbiakan rumput laut baik dari kelompok Gracilaria maupun
Eucheuma dikenal dalam dua bentuk reproduksi yakni dengan seksual
(generative) dan aseksual (vegetative).
2.2.1 Reproduksi Generatif
Reproduksi rumput laut secara generative atau dikenal juga sebagai
perkembangbiakan secara kawin. Rumput laut diploid (2n) menghasilkan spora
yang haploid (n). Spora ini kemudian menjadi 2 jenis yakni jantan dan betina yang
masing-masing bersifat haploid (n). Selanjutnya rumput laut jantan akan
menghasilkan sperma dan rumput laut betina akan menghasilkan sel telur. Apabila
kondisi lingkungan memenuhi syarat akan menghasilkan suatu perkawinan
dengan terbentuknya zigot yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Seperti
9
halnya yang dilaporkan oleh Seaplant (2004) bahwa silkus hidup rumput laut dari
Eucheuma dikenal dengan trifase yang terdiri dari fase gametofit (N),
tetrasporofit (2N) dan carposporofit (2N).Disebut trifase karena carpogonium
yang telah dibuahi menghasilkan diploid carposporofit bukannya mengeluarkan
carpospora.Apabila kondisi lingkungan memenuhi syarat atau menghasilkan suatu
perkawinan dengan terbentuknya zigot yang akan tumbuh menjadi tanaman
rumput laut (Meiyana, et al., 2001).
2.2.2 Reproduksi Vegetatif
Proses perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui
perkawinan. Suatu terobosan agronomi yang penting dalam mengembangkan
budidaya Eucheuma adalah ketika disadari bahwa tanaman tersebut tidak harus
melalui siklus seksual untuk menghasilkan bibit yang siap tebar. Hasil vegetative
terbukti dapat bertumbuh dan beberapa varietas telah dikembangkan dengan cara
ini selama lebih dari 30 tahun. Setiap bagian rumput laut yang dipotong akan
tumbuh menjadi rumput laut muda yang memiliki sifat (genotype) seperti
induknya. Perkembangbiakan dengan vegetative lebih umum dilakukan dengan
cara stek dari cabang-cabang thallus yang muda, masih segar, warna cerah dan
memiliki percabangan yang rimbun serta terhindar dari penyakit (Aslan, 2002).
2.3 Kandungan dan Manfaat Rumput Laut
2.3.1 Kandungan rumput laut
Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan karbohidrat (gula
atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak dan abu yang sebagian besar
merupakan senyawa garam natrium dan kalsium. Selain itu, rumput laut juga
mengandung vitamin-vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B!2, dan C;
betakaroten; serta mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi dan
yodium. Beberapa jenis rumput laut mengandung lebih banyak vitamin dan
mineral penting, seperti kalsium dan zat besi bila dibandingkan dengan sayuran
dan buah-buahan. Beberapa jenis rumput laut juga mengandung protein yang
cukup tinggi. Protein merupakan senyawa penting dan dibentuk oleh gabungan
lebih dari satu asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Tubuh
10
manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk mensintesis asam-asam amino
dan tidak mampu mensintesis 8 macam asam amino yang disebut asam amino
esensial.
Analisis kandungan asam amino dari Gelidium amansii,
Glacilariaverucosa, Grateloupia filicina, Ulva lactuca, dan Enteromorpha sp.
Mengandung asam amino esensial yang lengkap dan jumlahnya relatif lebih tinggi
dibandingkan provisional pattern asam amino yang ditetapkan oleh FAO/WHO.
Dengan demikian, protein yang larut dalam alkali (alkali solube protein) dari
kelima jenis tersebut memiliki kualitas yang baik. Beberapa jenis rumput laut
juga mengandung protein dengan kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan
protein dari tanaman darat, meskipun daya cernanya lebih rendah.
2.3.2 Manfaat rumput laut
1. Algin
Algin adalah jenis bahan yang dikandung oleh Phaeophyceae dikenal
dalam dunia industri dan perdagangan karena memiliki banyak manfaat. Dalam
dunia industri, algin berbentuk asam alginik (alginic acid) atau alginat. Asam
alginik adalah suatu getah selaput (membran mucilage), sedangkan alginat adalah
bentuk garam dari asam-asam alginik. Garam alginat ada yang larut dalam air
yaitu sodium alginat, posium alginat dan amonium alginat, sedangkan yang tidak
larut dalam air adalah kalsium alginat. Algin banyak digunakan dalam industri
kosmetik untuk membuat sabun, cream lotion, sampo. Industri farmasi
memerlukannya untuk pembuatan suspensi, emulsifier, stabilizer, tablet, salep,
kapsul, plester dan filter. Dalam industri makanan algin banyak dijadikan sayur,
saos dan mentega. Dalam beberapa proses industri algin juga diperlukan sebagai
bahan additive antara lain pada industri tekstil, kertas, keramik, fotografi,
insektisida, peptisida, pelindung kayu dan pencegah api (Aslan, 2002).
Algin berfungsi sebagai pemelihara bentuk jaringan pada makanan yang
dibekukan, counteract penggetahan dan pengerasan dalam industri roti berlapis
gula, pensuspensi dalam sirup, pengemulsi dalam salad dressing serta
penambahan busa pada industri bir. Di bidang bioteknologi, alginat digunakan
sebagai algin-immobilisasi sel dari yeast pada proses produksi alkohol. Di bidang
11
farmasi dan kosmetik, alginat dimanfaatkan dalam bentuk asam alginat atau
garam sodium alginat dan kalsium alginat.
2. Agar-agar
Agar pertama di produksi di cina sebelum abad ke-17. Dalam skala
industri, pabrik pembuatan agar-agar pertama didirikan di California, Amerika
serikat, pada tahun 1919 yang disusul pembuatan pabrik agar-agar di jepang
hingga saat ini dikenal sebagai produsen agar-agar utama didunia. Di indonesia,
agar-agar mulai diproduksi pada tahun 1930. Saat ini ada beberapa industri
penghasil agar-agar di indonesia bahan bakun utama yang dipakai adalah rumput
laut jenis Glacilaria sp, Paris Hypnea, dan kades Gelidiuam sp. Dari ketiga jenis
tersebut glacilaris sp yang paling banyak digunakan karena lebih murah dan agar–
agar yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan jenis lain. Agar-aagar
merupakan jenis senyawa ester asam sulfat dari senyawa galaktan yang tidak larut
dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas dalam bentuk gel (Poncomulyo,
2006).
3. Carrageenan
Rumput laut yang tergolong rhodophyceae beberapa diantaranya
mengandung bahan yanag cukup penting yaitu carrageenan. Carragenophyt
adalah kelompok penghasil carrageenan dari kelompok rhodophyceae. Kelompok
ini antara lain adalah condrus, gigartina, eucheuma, dan hypnea. Dalam dunia
industri carrageenan berbentuk garam bila bereaksi dengan sodium, kalsium dan
potasium. Carrageenan merupakan suatu jenis galaktan dan umum digunakan
pada industri makanan, khususnya sebagai emulsifier pada industri minuman.
Carrageenan juga banyak dimanfaatkan pada industri kosmetik, tekstil, obat-
obatan, cat dan juga sebagai materi dasar dari aromatic difuser. Carrageenan
terbagi atas dua fraksi yaitu Kappa carrageenan dan iota carrageenan. Kappa
carrageenan terdapat pada Eucheuma cottonii, E.striatum (E.edule) dan E.
Speciosum (Aslan, 2002).
2.4 Pemilihan Lokasi
Lokasi yang digunakan untuk lahan budidaya rumput laut sangat
mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Ketepatan dalam
12
memilih dan menentukan lokasi budidaya menjadi kunci keberhasilan usaha
tersebut. Pada tahap ini, diperlukan pertimbangan-pertimbangan mengenai
ekologi, teknis, kesehatan, sosial, dan ekonomi, serta ketentuan dari peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, perlu juga dipertimbangkan
sektor lainnya, seperti pertanian, pelayaran, pariwisata, pertambangan,
pengawetan dan perlindungan sumberdaya alam, serta kegiatan alam lainnya
(Indriani dan Sumiarsih, 2003).
Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Pada tahap ini, diperlukan
pertimbangan-pertimbangan mengenai ekologi, teknis, kesehatan, sosial dan
ekonomi, serta ketentuan dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Disamping itu, perlu juga dipertimbangkan sektor lain, seperti pertanian,
pelayaran, pariwisata, pertambangan, pengawetan dan perlindungan sumberdaya
alam, serta kegiatan alam lainnya (Indriani dan Sumiarsih, 2003). Dalam
pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut jenis Euchuema cottonii
persyaratannya adalah sebagai berikut :
a. Letak lokasi sebaiknya jauh dari pengaruh daratan. Lokasi yang langsung
menghadap laut lepas sebaiknya terdapat karang penghalang yang
berfungsi melindungi tanaman dari kerusakan akibat ombak yang kuat.
Ombak yang kuat juga akan menyebabkan keruhnya perairan lokasi
budidaya sehingga mengganggu proses fotosintesis. Disamping itu, akan
timbul kesulitan pada tahap-tahap penanaman, pemeliharaan dan
pemanenan (Pancomulyo, et, al., 2006).
b. Untuk memberi kemungkinan terjadinya aerasi, lokasi budidaya harus
mempunyai pergerakan air yang cukup. Disamping terjadi aerasi, gerakan
air yang cukup juga menyebabkan tanaman memperoleh pemasokan
makanan secara tetap, serta terhindar dari akumulasi debu air dan tanaman
penempel (Anggadiredja, et, al., 2006).
c. Bila menggunakan metode lepas dasar, dasar lokasi budidaya harus keras,
yaitu terbentuk oleh pasir dan karang.
d. Lokasi yang dipilih sebaiknya pada waktu surut yang masih digenangi air
sedalam 30-60 cm. Selanjutnya dijelaskan oleh Puja et al., (2001) bahwa
13
lokasi yang baik untuk budidaya rumput laut dengan metode rakit apung
adalah dengan kedalaman 1-15 meter. Ada dua keuntungan dari genangan
air ini, penyerapan makanan dapat berlangsung terus menerus, dan
tanaman terhindar dari sengatan matahari langsung.
Perairan yang dipilih sebaiknya ditumbuhi komunitas yang terdiri dari
berbagai jenis makro-algae. Bila perairan sudah ditumbuhi rumput laut alami,
maka daerah ini cocok untuk pertumbuhannya.
Ditjenkanbud (2003), mengatakan dalam memilih lokasi untuk budidaya
Eucheuma cottonii harus memperhatikan faktor fisika, kimia dan biologi.
2.4.1 Faktor Fisika
Keberhasilan budidaya rumpput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat
merupkan salah satu faktor penentu. Gambaran tentang faktor fisika air laut yang
diperlukan untuk budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul
masalah yang dapat menghambat usah itu snediri dan mempengaruhi mutu hasil
yang dikehendaki. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah sebagai berikut :
a. Dasar perairan
Dasar perairan yang paling cocok bagi pertumbuhan Eucheuma spp.
adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan-potongan karang yang
mati dan bercampur dengan pasir karang. Dasar perairan tidak terlalu keras terdiri
dari pasir, pecahan karang dan tidak ada endapan kotoran (Afrianto dan Liviawati,
1993 dalam Meiyana,et al., 2001). Menurut Ditjenkabud (2003) perairan yang
mempunyai dasar pecahan-pecahan karang yang pasir kasa, dipandang baik untuk
budidaya rumput laut Eucheuma sp. Kondisi dasar perairan yang demikian
merupakan petunjuk adanya pergerakan air yang baik.
Puja,et al., (2001), menjelaskan bahwa perairan yang mempunyai dasar
pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk lokasi budidaya rumput
laut. Menurut Mubarak,et al., (1990), lokasi budidaya rumput laut sebaiknya
terletak pada perairan karang yang bersifat marin atau oseanik dan jauh dari
pengaruh daratan.
14
b. Kedalaman air
Lokasi budidaya dengan kedalaman air pada saat surut terendah minimal
0,40 m sampai kedalaman di mana sinar matahari masih dapat mencapai tanaman
dan petani mampu melakukan kegiatan. Metode budidaya yang akan digunakan
akan sangat ditentukan oleh kedalaman air di lokasi budidaya.
Eucheuma spp. secara alamididapati hidup dan tumbuh dengan baik pada
kedalaman air sekitar 10-30 cm pada surut terendah. Kedalaman perairan yang
baik untuk budidaya rumput laut dengan metode rakit apung adalah 1-15 m.
Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan
mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Puja, et al., 2001). Sedangkan menurut
Kahar (1992), lahan untuk budidaya rumput laut sebaiknya memiliki kedalaman
30-60 cm saat surut.
c. Temperatur air
Temperatur air laut yang baik untuk budidaya Eucheuma spp. berkisar
antara 27-30o C. Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus
rumput laut berwarna pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat (Ditjenkanbud,
2003).
d. Kecerahan
Dalam budidaya rumput laut tingkat kecerahan yang tinggi sangat
dibutuhkan, sehingga penetrasi cahaya dapat masuk kedalam air. Intensitas sinar
yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses
fotosintesa. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter
cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Ditjenkanbud, 2005).
e. Kecepatan arus
Lokasi untuk budidaya rumput laut Eucheuma sp. harus terlindung dari
arus (pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini
terjadi, arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman. Pergerakan
air berkisar 0,2-0,4 m/detik. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah
penggantian dan penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak
sampai merusak tanaman.
Kesuburan lokasi tanaman sangat ditentukan oleh gerakan air yang
berombak maupun arus. Gerakan air ini merupakan sarana pengangkut yang
15
paling baik untuk zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut.
Ombak dan arus merupakan alat pengaduk air yang baik sehingga air menjadi
lebih homogen (Meiyana, et al., 2001).
Arus atau pergerakan air diperlukan juga oleh rumput laut untuk
pertumbuhannya karena arus laut ini membawa zat-zat makanan dan sekaligus
menghanyutkan kotoran-kotoran yang melekat pada tubuhnya (Ditjenkanbud,
2005).
Arus dapat mengatasi kenaikan temperatur air laut yang tajam. Kecepatan
arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut berkisar antara 20-40
cm/detik. Untuk pertumbuhannya, Eucheuma spp. membutuhkan gerakan air yang
dominan sepanjang tahun dengan kekuatan sedang. Suatu perairan yang cukup
gerakan air ditandai dengan terdapatnya karang lunak (soft koral) dan kondisi
daunnya (Thalasia, Einhalus) bebas dari debu air (Silt) (Indriani dan Sumiarsih,
2003).
2.4.2 Faktor Kimia
Secara umum faktor kimia sangat menentukan dalam usaha budidaya
rumput laut, karena tanapa faktor ini maka usaha budidaya yang dilaksanakan
tidak akan berjalan dengan baik. Adapun aspek yang mencakup dalam faktor
kimia adalah sebagai berikut :
a. Salinitas
Salinitas untuk pertumbuhan optimal Eucheuma spp. adalah sekitar 28-34
permil dengan nilai optimum salinitas sekitar 33 permil. Eucheuma spp. tumbuh
di alam pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar
akan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma spp. Menjadi tidak normal.
Sebaiknya lokasi budidaya jauh dari mulut muara sungai yang debit airnya besar.
Hal tersebut berguna untuk menghindari terjadinya penurunan salinitas yang
tajam serta untuk menghindari adanya endapan lumpur (Ditjenkanbud, 2005).
b. Pencemaran
Adanya pencemaran pada lokasi usaha budidaya rumput laut oleh bekas
solar atau minyak dari pengisian bahan bakar motor tempel dapat mengakibatkan
terjadinya kerontokan atau keguguran pada thallus (Meiyana, et al., 2001).
16
2.4.3 Faktor Biologi
Ciri dari faktor biologi dan lokasi tersebut banyak ditemukan hewan-
hewan pemangsa seperti ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu babi dan hewan-
hewan yang hidup di dasar perairan, keadaan seperti ini kurang baik untuk
pertumbuhan rumput laut sedangkan bila di lokasi banyak ditumbuhi rumput-
rumput laut liar yang hidup secara alami disekitar lokasi maka lingkungan
tersebut sangat cocok untuk budidaya rumput laut (Meiyana, et al., 2001).
Selain faktor oseanografis seperti fisika, kimia, biologi dan jenis substrat ,
sinar matahari juga merupakan faktor yang dibutuhkan untuk kehidupan rumput
laut. Pada kedalaman yang tidak ada sinar matahari rumput laut tidak dapat hidup.
Dalam proses kehidupan rumput laut diperlukan nutrisi. Nutrisi ini diperoleh dari
media air laut. Penyerapan nutrisi dilakukan secara difusi oleh thallus yang
dimilki oleh rumput laut. Iklim dan letak geografis sangat menentukan jenis
rumput laut yang dapat tumbuh (Ditjenkanbud, 2005).
Rumput laut mengandung beberapa zat yang penting yang mempunyai
nilai ekonomis. Rumput laut merah (Rhodophyceae) menghasilkan
Floridinstarch, mannoglycerate dan floridosida. Lebih spesifik lagi dikenal
dengan polisakarida berupa agar-agar dan karaginan. Rumput laut coklat
(Phaeophyceae) menghasilkan alginat. Rumput laut hijau (Chlorophyceae)
menghasilkan kanji dan lemak (Ditjenkanbud, 2005).
2.5 Metode Budidaya Rumput Laut
Dalam budidaya rumput laut dikenal tiga cara berdasarkan letak bibit
terhadap dasar perairan yaitu metode dasar, metode lepas dasar, metode apung dan
metode long line.
2.5.1 Metode Dasar
Metode dasar adalah metode pembudidayaan rumput laut menggunakan
benih bibit tertentu, yang telah diikat, kemudian ditebarkan ke dasar perairan, atau
sebelum ditebarkan benih di ikat dengan batu karang. Metode ini juga terbagi atas
dua yaitu : metode sebaran (broadcast) dan juga metode budidaya dasar laut
(bottom farm method).
17
a. Metode Sebaran
Menurut Aslan (2002), metode sebaran pada budidaya rumput laut adalah
suatu cara budidaya dimana bibit tanaman hanya disebarkan di perairan yang
diinginkan. Sebelum disebarkan bibit tanaman di kumpulkan terlebih dahulu,
kemidian di potong-potong hingga beratnya antara 25-30 gram lalu diikat dengan
tali rapia. Setelah diikat, potonga-potongan bibit tersebut di sebarkan yang
dasarnya berbatu karang.
Keuntungan dari metode sebaran adalah :
1) Biaya untuk persiapan material sangat murah
2) Penanaman mudah dilakukan dan tidak banyak memakan waktu
3) Biaya pemeliharaan sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali
4) Baik untuk dasar perairan keras seperti oerairan yang bebatu karang
Sedangkan kerugian yang ditimbulkandengan menggunakan metode
sebaran adalah :
1) Bibit banyak yang terbawa arus dan ombak
2) Tanaman dapat dimakan ikan dan predator seperti bulu babi
3) Produksi yang dihasilkan rendah
4) Metode ini tidak baik untuk perairan yang dasarnya pasir
b. Metode berkebun
Menurut Aslan (2002), pada metode ini bibit tanaman seberat 100 gram
yang telah diikatkan pada tali rapia, sebelum di tebarkan rumput laut diikat
terlebih dahulupada batu karang atau balok semen kemudian disusun rapih hingga
berjalur-jalur. Ukuran tiap jalur sekitar 120 cm dan jarak antara jalur 60 cm untuk
memudahkan pengawasan. Sedangkan jarak antara tanaman minimal 20 cm.
keuntungan menggunakan metode berkebun adalah :
1) Harga material murah dan tahan lama.
2) Penanaman mudah dilakukan.
3) Biaya pemeliharaan yang diperlukan sedikit.
4) Produksi yang di hasilkan lebih tinggi dibandingkan metode sebaran karena
tanaman disusun rapih seperti kebun satur.
18
Kerugian menggunakan metode berkebun adalah :
1) Tanaman masih mudah rusak, karena letak di dasar perairan
2) Mudah terserang bulu babi dan hewan predator lainnya.
2.5.2 Metode Lepas Dasar
Metode lepas dasar adalah pemeliharaan rumput laut di atas dasar rumput
laut, pada saat surut masih terendam air. Ketinggian air pada saat surut sekitar 0,6
meter.
Metode ini baik diselenggarakan pada dasar perairan yang berpasir atau
pasir berkarang kondisi ini di harapkan tidak banyak bahan organik atau lumpur
yang menenpel di batang yang di pelihara sebagai prasarana pemeliharaan
digunakan kayu sebagai patok. Untuk jalur dapat digunakan kayu atau plastik PE.
Patok ditancapkan pada lahan yang dikerjakan dan panjang dari permukaan tanah
satu meter jarak antara patok untuk merentangkan tali ris sekitar 2,5 meter. Setiap
patok di pasang berjajar dan di hubungkan dengan tali ris polyetilen (PE)
berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 30 cm. Tali ris yang telah
berisi ikatan tanaman di rentangkan pada tali utama dan posisi tanaman berada
pada sekitar 30 cm diatas perairan. Metode lepas dasar di pasang secara berbaris
dengan ukuran total biasanya berukuran 50m x 5m. Setelah itu baru dibuat unit
lainnya. Pada dua unit dengan luas 100m x 5m ini membutuhkan bahan-bahan
sebagai berikut :
a) Patok kayu : panjang 1 m ( diameter 5 cm) sebanyak 275 buah
b) Tali rentang : bahan PE (diameter 3,5 – 4 mm) sebanyak 10 kg
c) Tali ris : bahan PE (diameter 8 mm) sebanyak 15 kg
d) Tali PE (diameter 1-2 mm) sebanyak 1 kg
e) Tali rapia : sejumlah 18 gulung besar
f) Bibit seberat 50 – 100 gram per-ikat sebannyak 500-1000 kg
Produksi rumput laut yang diperoleh dengan metode lepas dasar ukuran
500 m2 untuk setiap musim tanam (mt) adalah sebesar 5000-8000 kg basah atau
620-800 kg kering (dengan konversi sekitar 8:1).
19
2.5.3 Metode Apung
Metode apung merupakan metode budidaya rumput laut yang banyak
digunakan oleh para petani adalah metode rakit apung dan metode longline.
a) Metode Rakit Apung
Menurut Anggadiredja, et al., (2006), metode rakit apung merupakan
budidaya rumput laut dengan cara mengikat rumput laut pada ris (seperti metode
lepas dasar) yang diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu. Satu unit
rakit apung berukuran 2,5 x 5 m yang dapat dirangkai menjadi satu dengan
lainnya. Satu rangkaian maksimal 5 unit dengan jarak antar rangkaian sekitar 1
m. Kedua ujung rangkaian diikat dengan tali yang ujungnya diberi pemberat agar
rakit tidak hanyut oleh arus atau gelombang. Jarak tanam antar rumpun rumput
laut sekitar 25 x 25 cm dengan berat bibit 100 gram untuk setiap ikatan. Tanaman
harus selalu ada di bawah permukaan air dan mulaipada minggu keempat hingga
panen tanaman diusahakan pada kedalamn sekitar 30-40 cm di bawah permukaan
air.
Keuntungan menggunakan metode rakit apung antara lain :
1) Lebih banyak digunakan pada lokasi dengan kondisi perairan lebih dalam.
2) Tanaman lebih banyak menerima intensitas cahaya matahariserta gerakan air
yang terus memperbaharui kandungan nutrisi Pada air laut dan mempermudah
penyerapan nutrisi oleh tanaman sehingga pertumbuhan tanaman lebih cepat.
Kerugian menggunakan metode rakit apung antara lain sebagai berikut :
1) Apabila muncul ke permukaan air, tanaman langsung terkena sengatan panas
matahari atau air hujan dakam waktu lama akan berakibat bagian tanam
tersebut memutih kemudian mati.
2) Biaya produksi lebih tinggi dari lepas dasar, terutama untuk pembelian bambu
serta tali jangkar. Sementara itu, bambu lebih mudah rusak dibandingkan
dengan patok kayu pada lepas dasar.
Sarana dan peralatan yang diperlukan untuk 1 unit usah budidaya rumput
laut berukuran 5m x 2,5 m adalah sebagai berikut :
a) Bambu sebanyak 30 batang
b) Tali rakit PE berdiameter 8 mm sebanyak 9 kg
c) Tali rakit PE ( diameter 3,5 mm – 4 mm ) sebanyak 10 kg
20
d) Jangkar 50 kg sebanyak 12 buah
e) Tali rapia PE ( diameter 1-2 mm) sebanyak 0,5 kg
f) Tempat penjemuran 2 m x 50 m sebanyak 4 unit
g) Peralatan budidaya (keranjang, pisau, gergaji, dan parang)
h) Perahu jukung, sebanyak 1 unit
i) Bibit rumput laut sebanyak 600 kg
Hasil produksi yang diperoleh dari 1 unit yang terdiri dari 20 rakit ukuran
2,5 m x 5 m (asumsi hasil panen 8 kali berat awal ) adalah sebesar 2400 kg –
4800 kg rumput laut basah permusim tananm (MT) atau 262,5 kg – 525 kg
rumput laut kering (dengan konversi sekitar 8:1).
b) Metode Longline
Metode Longline adalah metode budidaya menggunakan tali panjang yang
di bentangkan metode budidaya ini banyak diminati oleh masyarakat karena alat
dan bahan yang digunakan lebih tahan lama, dan mudah didapat. Teknik budidaya
rumput laut dengan metiode ini adalah menggunakan tali sepanjang 50-100 yang
pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 m diberi
pelampung berupa potongan sterefoam atau botol aqua bekas 500 ml.
(Ditjenkanbud, 2005).
Pada saat pemasangan tali utama harus diperhatikan arah arus pada posisi
sejajar atau sedikit menyudut untuk menghindari terjadinya belitan tali satu
dengan lainnya. Rumput laut sebanyak 50-100 gram diikatkan pada tali sepanjang
dengan jarak antara titk sekitar 25 cm. Jarak antar tali 1 dengan 1 blok 0,5 m dan
jarak anatara blok 1 m dengan mempertimbangkan kondisi arus dan gelombang.
Dalam 1 blok terdapat 4 tali yang berfungsi untuk jalur sampan pengontrolan.
Dengan demikian untuk satu hektar hamparan dapat dipasang 128 tali, dimana
setiap tali dapat ditanam 500 titik atau diperoleh 64.000 titik/ha. Apabila berat
bibit awal yang ditanam antara 50-100 gram. Maqka jumlah bibit yang dibutuhkan
sebesar 3.200-6.400 kg/ha areal budidaya (Ditjenkanbud, 2005).
Sarana dan peralatan yang diperlukan untuk 1 unit usaha budidaya rumput
laut dengan metode longline adalah sebagai berikut :
a. Sarana Pokok
- Tali titik ( ukuran 0,4 cm ) sebanyak 10 kg
21
- Tali jangkar (diameter 10 mm ) sebanyak 50 kg
- Tali jangkat sudut ( diameter 6 mm ) sebanyak 10 kg
- Jangkar tancap dari kayu atau kantong plastik sebanyak 104 buah
- Pelampung sterefoam sebanyak 60 kg
- Pelampung botol aqua/karet sandal secukupnya
b. Sarana penunjang :
- Perahu sampan sebanyak 1 buah
- Timbangan seberat 100 kg
- Waring 50 m3
- Para-para penjemuran dari kayu/ bambu (ukuran 6 m x 8 m )
sebanyak 3 unit
- Pisau kerja 5 buah
- Masker/snorkel 1 buah
- Karung plastik ( ukuran 50 kg ) sebanyak 1.000 lembar
Panen dilakukan setelah mencapai umur 45 hari atau lebih dengan hasil
panen rumput laut basah sebesar 25.600-51.200 kg (asumsi 1 rumpun bibit
menjadi 8 kali lipat saat panen), kemudian dikurangi dengan persediaan benih
untuk musim tanam berikutnya sebanyak 3.200 - 6.400 kg. Maka hasil panen
basah yang siap untuk dikeringkan sebesar antara 22.400 kg – 44.800 kg atau
diperoleh hasil panen rumput laut kering 2.800 - 5.600 kg (konversi dari basah
menjadi kering 8:1) (Ditjenkanbut,2005).
2.6 Pemilihan bibit
Penyediaan bibit yang baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat
menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut.Kegiatan tersebut meliputi
seleksi, penampungan, dan pemotongan thallus.Penyediaan bibit rumput laut
dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan baik secara vegetative maupun
generative (Paranrengi, et al., 2007).Peranan kebun bibit merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan dalam penyediaan bibit yang berkelanjutan
khususnya produksi bibit budidaya yang siap tebar.
Penerapan bioteknologi dalam propagasi bibit merupakan alternatiflain
dalam penyediaan bibit yang memiliki kualitas yang lebih baik melalui
22
peningkatan potensi genetiknya. Pada lokasi yang masih memiliki bibit alam,
budidaya rumput laut dapat menggunakan bibit yang berasal dari alam, tetapi pada
lokasi yang sulit untuk mendapatkan bibit alam maka dapat menggunakan rumput
laut hasil budidaya atau hasil kultur jaringan.
2.6.1 Kriteria bibit yang baik
Menurut Setiadi dan Budiharjo (2000), pemilihan bibit dalam budidaya
rumput laut adalah sebagai berikut:
a. Bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil
dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas
budidaya. Selain itu, bibit masih baru dan masih muda.
b. Bibit unggul mempunyai ciri bercabang banyak dan bebas dari
penyakit.
c. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha
budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya.
d. Pengangkutan bibit harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat,
dimana bibit harus dalam keadaan basah atau terendam air.
e. Pada saat penyimpanan harus diperhatikan agar tidak terkena bahan
bakar minyak, kehujanan atau kekeringan.
Untuk mendapatkan pertumbuhan rumput laut yang optimal, bibit yang
akan digunakan harus yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi
bibit dengan kriteria sebagai berikut:
a. Thallus rumput laut secara morfologi bersih, segar, dan muda (umur
25-35 hari) dimana tanaman yang segar ditandai dengan thallus yang
keras dan berwarna cerah (warna khas rumput laut).
b. Thallus rumput laut bebas dari penyakit
c. Thallus memiliki cabang yang banyak, rimbun dan berujung agak
runcing
d. Bibit harus seragam dan tidak tercampur dengan jenis lain
e. Berat bibit awal diupayakan seragam sekita 50-100 gr per ikatan
23
Menurut kahar (1992), bahwa bibit yang digunakan dalam budidaya
rumput laut harus mono spesies, muda, bersih, segar dan mampu tumbuh secara
optimal. Bibit tanaman yang muda dan bersih akan lebih mudah menyerap
makanan dan melakukan proses fotosintesis. Bibit yang baik berasal dari tanaman
induk yang sehat, segar dan bebas dari jenis lainnya. Bibit yang beli dari petani
lain dibawa dengan sistem pengangkutan yang baik, karena ini akan berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup bibit selanjutnya. Menurut Indriani dan Sumiarsih
(2003), dalam pengepakan bibit rumput laut disusun dalam kantong plastik secara
berseling dengan spon basah dan penyusunan bibit tidak boleh dipadakan.
Penyediaan bibit sebaiknya berasal dari lokasi yang sama atau berdekatan
agar tidak memerlukan pengangkutan bibit yang relatif lama sehingga bibit tidak
mengalami stress dan kerusakan. Bibit yang berasal dari lokasi yang sama tidak
memerlukan penyesuaian lingkungan (aklimatisasi) yang lama. Jika tidak
memungkinkan maka pengangkutan bibit harus dilakukan dengan baik dan hati-
hati agar bibit dapat sampai di tempat tujuan dalam keadaan masih segar.
Bibit yang akan ditanam harus yang berkualitas baik agar tanaman dapat
tumbuh sehat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan bibit tersebut dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Bibit yang digunakan merupakan thallus muda yang bercabang banyak,
rumbun, dan berujung runcing.
b. Bibit tanaman harus sehat dan tidak terdapat bercak, luka, atau tekelupas
sebagai akibat terserang penyakit ice-ice atau terkena bahan cemaran, seperti
minyak.
c. Bibit rumput laut Eucheuma cottonii harus terlihat segar dan berwarna
cerah, yaitu coklat cerah dan hijau cerah.
d. Bibit harus seragam dan tidak boleh tercampur dengan jenis lain (Berat bibit
awal diupayakan seragam, sekitar 100 gr per ikatan/rumpun).
Menurut Kahar (1992), bahwa bibit yang digunakan dalam budidaya
rumput laut harus mono spesies, muda, bersih, segar dan mampu tumbuh secara
optimal. Bibit tanaman yang muda dan bersih akan lebih mudah menyerap
makanan dan melakukan proses fotosintesis. Menurut Indriani dan Sumiarsih
(2003), bibit rumput laut yang akan ditanam harus muda, bersih dan segar agar
24
memberikan pertumbuhan yang optimum. Bibit yang baik berasal dari tanaman
induk yang sehat, segar dan bebas dari jenis lain.
Bibit yang dibeli dari petani lain dibawa dengan sistem pengangkutan
yang baik, karena ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bibit
selanjutnya. Menurut Indriani dan Sumiarsih (2003), dalam pengepakan bibit
rumput laut disusun dalam kantong plastik secara berseling dengan spon basah
dan penyusunan bibit tidak boleh dipadatkan.
2.6.2 Pengepakan bibit
Sebelum diangkut dari satu lokasi ke lokasi lain, bibit yang akan ditanam
sebaiknya dikemas (packing) terlebih dahulu supaya tidak mengalami kerusakan.
Adapun pengepakan dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
1) Masukan bibit sehat dan segar kedalam kantong plastik besar yang telah
dilubangi kecil-kecil menggunakan paku untuk aerasi.
2) Kepadatan harus diperhatikan karena bibit harus tetap mempunyai ruang
udara dan harus dijaga tetap dalam keadaan lembab, meskipun tidak
sampai membasahi kertas karton yang digunakan untuk mengemas bibit.
3) Masukan kantong plastik yang telah berisi bibit kedalam kotak karton dan
kardus besar.
4) Apabila perlu ditumpuk, sebaiknya penumpukan kardus tidak lebih dari 3
tumpuk untuk menjaga supaya tetap ada ruang udara dalam kardus atau
karton.
2.6.3 Penanganan bibit dalam pengangkutan
Penanganan bibit dalam pengangkutan dari tempat asal ke lokasi budidaya
dilakukan sebagai berikut.
a) Selama dalam pengangkutan, biarkan bibit tetap lembab/basah, tetapi
tidak sampai meneteskan air.
b) Usahakan agar tidak terkena air tawar, hujan, atau embun karena akan
merusak bibit.
c) Bibit tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung.
25
d) Selama perjalanan, usahakan bibit tidak terkena minyak dan kotoran
lainnya.
e) Jauhkan bibit dari sumber panas, seperti mesin mobil atau mesin perahu.
2.6.4 Penyimpanan bibit sebelum ditanam
Sebaiknya, bibit segera ditanam setelah sampai di lokasi budidaya. Lokasi
yang akan digunakan untuk tempat penanaman rumput laut pun harus sudah
disiapkan, termasuk peralatan, bahan, dan tenaga kerja. Apabila karena sesuatu
hal tidak bisa segera ditanam atau waktunya tidak memungkinkan, sebaiknya bibit
dikeluarkan dari kantong plastik dan langsung disiram air laut. Bibit rumput laut
jangan direndam dalam wadah karena akan mengeluarkan lendir (mucus),
kemudian membusuk dan mati. Cara lain yang bisa dilakukan yaitu dengan
memasukan bibit ke dalam jaring plastik, kemudian direndam di dalam laut.
Dengan cara ini, lendir yang keluar langsung hanyut ke dalam air laut sehingga
tidak sempat merusak bibit.
2.7 Penanaman dan Pemeliharaan Rumput Laut
2.7.1 Penanaman Bibit
Kegiatan penanaman untuk semua metode relatif sama dimana penanaman
diawali dengan mengikat rumput laut (bibit) pada tali jalur yang telah dilengkapi
dengan tali pengikat. Berat bibit yang ditanam berkisar antara 50-100 g. Untuk
metode long line penanaman secara horizontal menggunakan jarak tanam minimal
40 cm dan penanaman secara vertikal menggunakan jarak minimal 25 cm x 30
cm. Setelah selesai mengikat rumput laut maka tali jalur yang berisi rumput laut
tersebut diikatkan pada kerangka yang telah tersedia (Runtuboy, et al., 2001).
Pengikatan bibit sebaiknya dilakukan segera setelah pemanenan atau
sesaat setelah bibit sampai di lokasi budidaya. Lokasi yang akan digunakan untuk
tempat penanaman rumput laut harus sudah disiapkan sebelumnya termasuk
peralatan, bahan dan tenaga kerja. Pengikatan bibit rumput laut dikenal dua
metode yakni loop pendek dan loop panjang dengan masing-masing memiliki
kelemahan dan kelebihan. Pada loop pendek pergerakan bibit lebih kaku
dibandingkan dengan loop panjang tetapi pada loop panjang memiliki kelemahan
26
dalam hal mudah terbelit apabila arus relatif besar. Penggunaan loop panjang
memiliki keuntungan dalam hal kemudahan pengikatan bibit.
Apabila karena suatu hal tidak dapat segera dilakukan pengikatan dan
penanaman, sebaiknya bibit segera dikeluarkan dari kantong dan disiram air laut.
Bibit rumput laut tidak baik jika direndam dalam wadah (kontainer) karena akan
mengeluarkan lendir, yang dapat menyebabkan thallus membusuk dan akhirnya
akan mati. Cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan memasukkan bibit ke
dalam jarring kemudian direndam dalam laut, sehingga lendir yang keluar akan
masuk atau larut dalam air laut sehingga tidak merusak thallus bibit rumput laut.
Bibit yang akan ditanam dipilh bibit yang berkualitas sesuai dengan
kriteria yang telah diuraikan sebelumnya. Kepadatan penanaman bibit rumput laut
tergantung dari jenis dan metode budidaya yang akan digunakan. Pada budidaya
Eucheuma penggunaan bibit dengan berat awal berkisar 50-100 gram per ikatan
dengan jarak tanam tidak kurang dari 25 cm. Pengikatan bibit dapat dilakukan di
darat atau langsung di laut khususnya pada metode lepas dasar. Apabila dilakukan
pengikatan di darat sebaiknya dilakukan di tempat yang teduh dan pada pagi atau
sore hari. Penanaman dilakukan segera setelah selesai pengikatan, agar bibit
masih segar dan tidak lama terekspos di darat.
Prinsip metode rawai menggunakan tali panjang yang dbentangkan
sehingga metode tersebut dikenal dengan istilah metode longline. Teknik
budidaya rumput laut metode longline adalah sebagai berikut:
a. Bibit yang akan diikat dengan tali titik (diameter 2,5 mm) kemudian
diikatkan pada tali ris dengan jarak 20, 30, dan 40 cm dengan panjang tali
ris 20 m yang direntangkan pada tali utama (diameter 10 mm). semakin
panjang tali ris yang digunakan, semakin besar kemungkinan untuk terbelit
atau terkait dengan tali ris disampingnya terutama pada saat arus/ombak
yang besar.
b. Tali jangkar dengan diameter 10 mm diikatkan pada kedua ujung tali
utama yang dibawahnya sudah diikatkan pada jangkar, batu karang, batu
pemberat, atau karung yang telah diisi pasir.
27
c. Pelampung yang digunakan adalah derijen 20 L dan botol plastik bekas
pada tali ris yang dapat digunakan untuk mengapungkan rumput laut agar
tetap berada pada posisi yang diinginkan.
d. Pelampung diikat pada tali ris dengan menggunakan tali penghubung
dengan panjang sekitar 10-15 cm supaya rumput laut tidak mengapung di
permukaan.
e. Pada satu betang talin utama, dapat diikatkan beberapa tali ris dengan
jarak antar tali ris sekitar 1 m, untuk menghindari benturan antar tali ris
akibat gelombang atau arus kuat.
Peralatan dan bahan yang diperlukan untuk satu blok terdiri dari 20
bentang tali ris dengan luas satu blok adalah 20 × 20 m adalah sebagai berikut:
a. Tali ris polyetilen diameter 5 mm
b. Tali jangkar dan tali utama polyetilen diameter 10 mm
c. Jangkar / pemberat
d. Bibit rumput laut sebanyak 500 kg
e. Pelampung utama sebanyak 10 buah
f. Pelampung pembantu berupa botol air mineral bekas sebanyak 200 buah
g. Peralatan lainnya berupa pisau, keranjang, dan perahu/sampan.
2.7.2 Pemeliharaan dan Perawatan Bibit
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut tidak hanya tergantung pada
pemilihan lokasi dan bibit yang tepat serta metode budidaya yang sesuai, tetapi
juga sangat ditentukan oleh perawatan selama masa pemeliharaan.Perawatan yang
dimaksud, bukan hanya terhadap tenaman itu sendiri tapi juga fasilitas budidaya
yang digunakan. Oleh karena itu peranan pengelola (pembudidaya) rumput laut
sangat diperlukan untuk memperkecil kemungkinan adanya kerusakan khususnya
kekuatan alam yang tak terduga. Perawatan rumput laut yang dapat dilakukan
meliputi;
a. Membersihkan lumpur dan kotoran
Lumpur akan melekat pada tanaman bila pergerakan air kurang atau
kurangnya arus gelombang. Hal ini biasanya terjadi pada musim dimana kurang
angin dan tempat pemeliharaan sangat terlindung. Dalam kondisi demikian, perlu
28
dilakukan pemeliharaan yang sungguh-sungguh, seperti rajin menggoyang-
goyangkan tali jalur agar lumpur yang melekat terlepas. Jika pada tanaman
banyak terdapat banyak lumpur yang melekat maka biasanya akan menyebabkan
tanaman mudah terserang beberapa jenis cacing atau muncul gejala ice-ice.
b. Penyulaman tanaman
Penyulaman pada tanaman perlu dilakukan bila ada tanaman yang rusak
sehingga jumlah tanaman pada setia tali ris tidak berkurang,kerusakan tanaman
dapat disebabkan oleh gelombang besar atau dimakan binatang herbivora,
dilakukan pemagaran disekeliling blok tanaman dengan jaring. Pada umumnya,
serangan ikan akan berkurang bila tanaman berada agak ketengah dan jauh dari
karang hidup (Anggadiredja, et al., 2006).
c. Monitoring pertumbuhan
Pertumbuhan tanaman dapat dipantau dengan cara sampling untuk
mengukur laju pertumbuhannya sehingga produksi rumput laut yang akan dapat
diprediksi. Pemantauan laju pertumbuhan tanaman dengan cara sampling satu kali
dalam seminggu. Pertumbuhan tanaman dapat dikatakan baik bila laju
pertumbuhan hariannya tidak kurang dari 3% (Anggadiredja, et al., 2006).
Sampling dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Timbang berat tanaman pada pertama kali smpling (pada usia 7 hari).
b) Timbang kembali tanaman yang sama pada hari ke-14, kemudian hitung laju
pertumbuhannya. Penimbangan sample dan perhitungan laju pertumbuhan
dilakukan berkali-kali setiap 7 hari. Pertumbuhan tanaman dikatakan baik bila
laju pertumbuhan hariannya tidak kurang dari 3%.
d. Penyisipan tanaman dan pergantian sarana yang rusak; dalam masa
pemeliharaan rumput laut, tidak menutup kemungkinan terjadinya bibit atau
tanaman yang rusak atau jatuh akibat iklim yang tidak bersahabat, atau adanya
serangan hama predator. Hal yang sama dapat juga terjadi pada sarana budidaya
yang digunakan. Oleh karena itu, penyisipan tanaman tetap perlu dilakukan bila
ada yang terlepas atau jatuh sehingga jumlah tanaman pada setiap tali ris tidak
berkurang. Kerusakan tanaman dapat disebabkan oleh gelombang yang besar atau
dimakan binatang herbivora seperti ikan baronang dan penyu. Untuk menghindari
serangan predator terhadap tanaman dapat dilakukan dengan cara pemagaran
29
lokasi budidaya dengan menggunakan jarring. Selain itu penggantian sarana
budidaya yang rusak segera dilakukan agar usaha budidaya dapat berjalan dengan
baik.
e. Pemantauan pertumbuhan; perkembangan tanaman sebaiknya dipantau
secara rutin untuk mengetahui laju pertumbuhan rumput laut sehingga produksi
dapat diperkirakan. Selain itu, pembudidaya dapat mempersiapkan langkah
antisipasi dini apabila terjadi penurunan pertumbuhan yang drastic. Laju
pertumbuhan rumput laut dapat diketahui dengan cara pengambilan contoh
beberapa rumput laut untuk ditimbang secara berkala misalnya setiap minggu
selama pemeliharaan berlangsung. Pertumbuhan rumput laut dikatakan baik dan
menguntungkan bila laju pertumbuhan hariannya tidak kurang dari 3%.
Penentuan laju petumbuhan rumput laut diukur pada setiap minggu
(sampling) pengamatan ± 42 hari dengan menggunakan rumus menurut (Atmadja,
et al., 1996).
Keterangan : G = Laju pertumbuhan harian (%)
Wt = Bobot rata-rata akhir (gr)
Wo = Bobot rata-rata awal (gr)
t = Waktu pengujian (hari)
2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut
2.8.1 Jarak Tanam
Jarak tanam adalah jarak antara rumpun atau ikatan rumput laut yang satu
dengan ikatan rumput laut yang lain pada setiap tali dengan jarak tertentu. Jarak
berhubung dengan persatuan luas lahan, semakin luas jarak tanam akan semakin
luas lalu lintas pergerakan air yang membawa unsur hara sehingga pertumbuhan
rumput laut dapat meningkat. Jarak tanam yang digunakan selain mempengaruhi
lalu lintas pergerakan air juga akan menghindari terkumpulnya kotoran pada
G={ t√ WtWo
−1}x100 %
30
thallus yang akan membantu pengudaraan sehingga proses fotosintesis yang
diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut dapat berlangsung serta mencegah
adanya fluktasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Jarak tanam yang
digunakan untuk menghasilkan rumput laut yang optimal adalah antara 20-25 cm
(Meiyana, et al., 2001).
2.8.2 Berat Awal
Berat awal adalah banyaknya bobot dari rumput laut yang digunakan
sebagai bibit untuk setiap ikatan rumput laut. Berat awal tanaman berhubungan
dengan populasi rumput laut, dalam persatuan luas lahan populasi rumput laut
akan berpengaruh pada pertumbuhan rumput laut. Berat awal yang rendah akan
mengurangi jumlah populasi dalam persatuan luas alahan sehingga pemanfaatan
lahan jadi berkurang sehingga secara ekonomis juga memberikan hasil yang tidak
baik.
Pertumbuhan rumput laut secara vegetatif dengan ujung-unjung dari
thallus akan membentuk percabangan yang baru. Semakin ringan berta awal yang
digunakan ujung-ujung thallus akan semakin sedikit sehingga pertumbuhan yang
terjadi tidak begitu cepat dan semakin besar berat pada ujung thallus akan
semakin banyak sehingga pertumbuhan rumput laut akan lebih meningkat.
Berat wala dari bibit rumput laut yang baik adalah antara 50-150 gram
(Afrianto dan Lipiawati, 1993 dalam Meiyana, et al., 2001). Selanjutnya
dijelaskan oleh Runtuboy, et al., 2001, bahwa berat bibit yang ditanam untuk
menghasilkan pertumbuhan yang baik adalah berkisar anatara 50-100 gram.
Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh proses fotosintesis, selain
pengaruh berat bibit dan jarak tanam. Dengan metode longline, maka selain
matahari yang diserap tanaman dikatakan memadai karen berada dipermukaan air
yang cenderung masih terjangkau sinar matahari (Meiyana, et al., 2001).
Selanjutnya dijelaskan oleh Aditya dan Ruslan (2004), musim kemarau yang
pangjang dan musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi berpengaruh
terhadap pertumbuhan rumput laut.
31
2.9 Hama Dan Penyakit Rumput Laut
Dengan semakin berkembangnya usaha budidaya rumput laut di Indonesia
segala permasalahan dan hambatan yang mungkin terjadi terutama terhadap
kemungkinan serangan hama dan penyakit pada tanaman rumput laut perlu
mendapat diperhatikan khusus. Serangan hama dan penyakit bila dibiarkan dapat
berakibat merununnya produksi. Oleh karena itu perlu diketahui jenis hama dan
penyakit yang menyerang rumput laut sehingga dapat mengambil langkah-
langkah penanggulangannya atau paling tidak dapat memperkecil kerugian. Data
mengenai dampak penyakit terhadap produksi budidaya rumput laut masih sangat
terbatas.
Menurut Aditya dan Ruslan (2004), apabila suatu perairan digunakan
sebagai lahan budidaya rumput laut dalam skala besar maka hama ini tidak
seberapa mengganggu terhadap hasil panen, namun apabila dalam skala kecil
maka serangan serangan hama ini akan terasa besar.
2.9.1 Hama
Beberapa hama yang dapat menyerang rumput laut adalah ikan baronang,
penyu, larva bulu babi, larva teripang dan tanaman pengganggu lainnya.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan penentuan lokasi yang tepat,
pengguanaan teknologi yang tepat, isolasi lokasi dengan menggunakan pembatas,
pengontrol rutin (Meiyana, et al., 2001). Sedangkan menurut kuniaastuti, et al.,
(2001), untuk menanggulangi seranagn penyu terhadap tanaman adalah dengan
cara melindungi area budidaya dengan memasang pagar dari jaring atau waring.
Menurut Aditya dan Ruslan (2004), apabila suatu perairan yang digunakan
sebagai lahan budidaya rumput laut dalam skala besar maka hama ini tidak
seberapa mengganggu terhadap hasil panen, namun apabila dalam skala kecil
maka serangan hama ini akan terasa besar.
Hama yang menyerang tanaman budidaya rumput laut berdasarkan ukuran
besar kecilnya hama dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hama mikro atau
mikro gazer dan hama makro atau makro grazer (Doty, 1987 dalam
Ditjenkanbud, 2005). Untuk mengatasi hama dapat juga menggunakan spesies
rumput laut yang tidak dimakan ikan namun kandungan karagenannya sangat
32
tinggi, contohnya didaerah bali sedang dikembangkan uji coba budidaya rumput
laut dengan sebutan “Rangda”.
1. Hama Mikro
Hama mikro yang menyerang rumput laut, berukuran panjang kurang dari
2 cm dan melekat pada thallus. Menurut Doty (1987), hama mikro yang sering
ditemukan pada rumput laut adalah larva bulu babi (Tripneustus sp.), larva
teripang (Holothuria sp). Selanjutnya dijelaskan bahwa larva bulu babi
(Tripneustes sp.) bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian
menempel pada tanaman rumput laut, sehingga larva bulu babi menyebabkan
tanaman gracilaria sp. berwarna kuning dan rusak.Larva teripang (Holothuria sp.)
yang menempel dan menetap pada thallus rumput laut, kemudian tumbuh menjadi
besar.
Larva yang sudah besar akan menjadi hama makro dan dapat memakan
thallus rumput laut secara langsung dengan cara menyisipkan ujung-ujung cabang
rumput laut kedalam mulutnya. Sedangkan Lumut Kutu, berwarna coklat
kehitaman dengan ukuran yang kecil seperti rambut, biasanya menempel dan
menembus jaringan thallus rumput laut menyebabkan terhambatnya penetrasi
cahaya matahari sehingga batang/thallus rumput laut membusuk dan rontok.
Tingkat Penyebaran yang cepat dan menjadi penyebab kerusakan masal pada
budidaya rumput laut (Anggadireja, 2006).
2. Hama Makro
Menurut Anggadireja (2006), tanaman yang biasanya diserang hama
makro adalah tanaman yang berada dekat perairan dengan dasar karang atau
karang berpasir sekitar pantai. Hama makro adalah hama yang berukuran lebih
besar dari ukuran 2 cm. Hama makro yang biasanya menyerang dan dapat
menghancurkan tanaman rumput laut yaitu dari kelompok ikan beronang (Siganus
javus), teritip, dan beberapa marga alga seperti, Ectocarpus, Polysiphonia dan
Enteromorpha.
Hama makro adalah hama yang berukuran lebih besar dari 2 cm. Hama
makro yang paling ganas dan dapat menghancurkan tanaman Eucheuma sp. Yaitu
ikan baronang (Siganus spp) dan penyu hijau (Chelonia midas). Hama lainnya
yaitu bulu babi (Diademma spp.), teripang (Holuthuria sp.), bintang laut
33
(Protoneostes). Ketika masih fase larva, bulu babi dan teripang tergolong dalam
hama mikro.
Pada umumnya, tanaman yang diserang yaitu tanaman yang berada dekat
perairan dengan dasar karang atau karang berpasir sekitar pantai. Serangan ikan
akan berkurang bila rumput laut yang ditanam pada lokasi agak ke tengah.
Sementara, hama Gracilaria sp. Yang ditanam ditambak berupa ikan mujair
(Tillapia), siput kecil, atau sumpil/tritip.
1. Ikan Baronang
Gambar 2. Ikan baronang (Siganus sp) (Sumber :Anggadireja, 2006)
Ikan baronang dikenal oleh masyarakat dengan namakea-kea (Pulau
Seribu), di Jawa Tengah dengan nama biawas dan nelayan-nelayan di Pulau
Maluku menamakan dengan sebutan samadar. Menurut Saanin (1986), ikan
beronang termasuk dalam kingdom animalia, filum chordata, kelas pisces, ordo
perciformes, sub ordo acanthuroidei, famili siganidae, genus Siganus dan spesies
Siganus javus. Oleh karena itu ikan beronang termasuk famili Siginidae dengan
tanda-tanda khusus sebagai berikut D XIII, 10 A VII, 9, P2 I, 3, 1, tubuhnya
membujur dan memipih lateral, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil
posisinya terminal.Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya
dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama
dan biasanya tertanam di bawah kulit. Duri-duri ini dilengkapi dengan kelenjar
bisa/racun pada ujungnya.
34
Ikan ini termasuk ke dalam jenis "primary herbivor" yaitu pemakan
plankton nabati tumbuhan.Sesuai dengan morfologi dari gigi dan saluran
pencernaannya yaitu mulutnya kecil, mempunyai gigi seri pada masing-masing
rahang, gigi geraham berkembang sempurna, dinding lambung agak tebal, usus
halusnya panjang dan mempunyai permukaan yang luas, ikan beronang termasuk
pemakan tumbuh-tumbuhan (Saanin, 1986).
Menurut Saanin (1986), serangan ikan beronang umumnya bersifat
musiman sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang berbeda. Ikan
beronang memakan ujung-ujung thallus gracilaria sp. Tanda pada rumput laut
yang termakan ikan beronang adalah terdapat bekas potongan kecil pada ujung
thallus, tidak semua thallus termakan habis dan rumput laut tidak mengalami
pembusukan. Ikan beronang tidak memakan seluruh thallus.
Thallus yang dimakan hanya percabangan yang paling muda. Biota ini
menjadi salah satu pengganggu pada budidaya rumput laut karena sifat makannya
yang bergerombol dan mencari tumbuhan hijau. Ikan beronang mempunyai mulut
yang kecil. Biota ini juga tidak memakan rumput laut sebagai makanan utama.
Sehingga rumput laut yang dimakan hanya cabang thallus yang baru trubus atau
yang muda saja. Berbeda dengan thallus yang dimakan penyu, ujung thallus yang
termakan akan mudah tumbuh lagi.
Cara melindungi tanaman rumput laut dari serangan ikan baronang dapat
dilakukan waktu penanaman. Awal penanaman rumput laut sebaiknya sebelum
musim benih ikan baronang. Dengan cara tersebut diharapkan kerugian dpat
diperkecil. Penanaman secar serentak juga dapat mengurangi serangan hama ikan
baronang.
35
2. Teritip
Gambar 3. Teritip (Sumber : Sulistiyo, 1988)
Anggadireja (2006) mengatakan, teritip termasuk ke dalam kingdom
animalia, filum arthropoda, subfilum krustasia, kelas maxillopoda, sub kelas
thecostraca, infrakelas cirripedia dan genus Ballanus. Teritip biasanya melekat
pada batu, badan kapal, malah pada badan paus. Teritip mampu bertahan
sekiranya ia terdedah kepada udara semasa air surut. Ketika itu, ia akan menutup
cangkerangnya untuk mengekalkan kelembapan badannya.
Teritip yang mempunyai ukuran lebih besar menempel pada thallus yang
tua sedangkan tertitip ukuran kecil menempel pada thallus muda. Penempelan
teritip biasanya diikuti dengan tumbuhnya lumut di sekitar thallus yang ditempeli.
Sedangkan kerusakan yang timbul adalah thallus yang ditempeli lama kelamaan
akan berwarna putih. Tanda- tanda rumput laut yang di tempeli oleh teritip di
antaranya yaitu terdapat bekas potongan pada percabangan dan ujung thallusnya
serta adanya pembusukan akibat potongan tersebut. Sedangkan kerusakan yang
disebabkan oleh adanya penempelan teritip pada rumput laut adalah timbulnya
lumut di sekitar thallus (Anggadireja, 2006).
36
3. Alga Ectocarpus
Gambar 4.Ectocarpus sp. (Sumber : Aslan, 1991)
Ectocarpus sp. merupakan salah satu jenis dari ganggang cokelat
(Phaeophyceae). Aslan (1991) mengatakan ganggang cokelat umumnya terdapat
di laut, melekat pada batu-batuan dan seringkali terdampar di pantai. Bentuk
tubuhnya menyerupai tumbuhan tingkat tinggi karena memiliki alat yang mirip
akar, batang dan daun. Panjang talusnya dapat mencapai 10 meter.
Menurut Aslan (1991) ganggang ini berwarna kecoklatan karena selain
mengandung klorofil juga mengandung pigmen fukosantin yang merupakan
pigmen dominan dan karoten serta santofil. Cara kita mengenali tumbuhan ini di
pantai adalah dengan mengamati ciri-cirinya, berupa talus berwarna cokelat yang
mempunyai gelembung-gelembung udara berbentuk seperti “buah”.Adanya
gelembung udara ini menyebabkan ganggang cokelat dapat mengapung dalam air
laut. Gelembung udara juga mengandung cadangan udara untuk bernapas.
Ganggang cokelat berkembangbiak secara vegetatif dengan fragmentasi
dan berkembangbiak secara generatif dengan oogami yaitu peleburan
spermatozoid dan ovum membentuk zigot. Kemudian zigot akan tumbuh dan
berkembang menjadi ganggang cokelat dewasa (Aslan, 1991).
37
4. Alga Enteromorpha
Gambar 5.Alga Enteromorpha (Sumber : Aslan, 1991).
Menurut Aslan (1991) Enteromorpha sp. berasal dari kata enteron yang
berarti usus dan morphe yang berarti bentuk. Sel bagian tengah dan ujung berisi
satu pirenoid di setiap selnya. Kloroplasnya sering memiliki bentuk seperti
mangkuk yang tampak di bagian permukaan dengan ukuran yang berbeda
panjangnya pada masing-masing sel. Bentuk dan susunan selnya seperti pada
tumbuhan tingkat tinggi. Alga ini berukuran kecil dan sering membentuk rumpun.
Thallusnya berbentuk tabung dan di dalamnya terdapat ruang silinder. Siklus
hidupnya mengalami pergantian keturunan yang isomorfik, tetapi beberapa
spesies hanya menggunakan zoospora dalam reproduksinya. Zoospora dibebaskan
melalui lubang lateral pada dinding sel. Alga ini digunakan untuk makanan ikan.
5. Bintang Laut (Protoneustes nodosus)
Bintang laut (Protoneustes nodosus) , merupakan hama yang mempunyai
kemampuan memanjat pada tanaman rumput laut dan dapat menutupi cabang-
cabangnya. Cabang-cabang tanaman rumput laut yang ditutupi atau yang
ditempeli bintang laut akan mati serta banyak percabangan yang patah serangan
bintang laut pengaruhnya relatif kecil. Serangan bintang laut tidak terjadi pada
tanaman rumput laut yang jauh dari dasar perairan.
6. Bulu babi
Bulu babi dan bulu babi duri pendek merupakan hama yang merusak
bagian tengah thallus. Serangan bulu babi dapat mengakibatkan bagian cabang
utama thallus terlepas dari tanaman induk serangan bulu babi pengaruhnya relatif
38
kecil dan tidak terasa terutama pada areal budidaya yang cukup luas. Hama bulu
babi tidak dapat menyerang rumput laut yang jauh dari dasar perairan.
7. Penyu hijau (Chelonia midas)
Penyu hijau merupakan hama yang merusak tanaman budidaya paling
ganas. Penyu hijau biasanya menyerang pada malam hari. Hama ini dapat
memnagsa habis tanaman budidaya pada areal tanaman yang tidak begitu luas.
Cara menanggulangi serangan penyu hijau terhadap tanaman rumput laut
adalah dengan melindungi areal budidaya dengan memasang pagar dari jaring.
Pada areal budidaya yang cukup luas serangan hama ini tampak tidak berarti.
Serangan akan tampak terutama pada daerah tepi atau dekat dengan perbatasan
perairan dalam. Selain itu juga untuk menghindari hama dapat juga menanam
rumput laut yang tidak disukai oleh ikan yaitu Halymenia sp.
2.9.2 Pengendalian Hama pada Rumput Laut
Pengendalian terhadap hama mikro yaitu dengan intensif membersihkan
rumput laut,hama ini dapat ditanggulangi dengan melakukan perendaman selama
2-3 menit dalam larutan rinso seperti yang dilakukan oleh pembudidaya rumput
laut di Karimunjawa, Jepara (Sulistyo, 1988).
Pencegahan dilakukan dengan menentukan lokasi budidaya yang efektif
terutama lokasi yang cukup dalam dengan arus yang cukup. Upaya yang
dilakukan untuk menanggulangi hama makro ini adalah dengan cara
memperbaiki dan atau memodifikasi teknik budi daya, sehingga tanaman
budidaya berada pada posisi permukaan air.
2.10 Penyakit pada Rumput Laut
Menurut Ditjenkanbud (2005), penyakit rumput laut dapat didefinisikan
sebagai salah satu gangguan fungsi atau terjadinya perubahan anatomi atau
struktur yang abnormal. Misalnya adanya perubahan dalam laju pertumbuhan dan
penampakan seperti warna dan bentuk. Perubahan ini pada akhirnya berpengaruh
pada tingkat produktivitas hasil. Terjadinya penyakit umumnya disebabkan oleh
adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dan adanya interaksi antara faktor
39
lingkungan (suhu, kecerahan, salinitas, dan lain-lain) dengan jasad patogen
(organisme yang berperan sebagai penyebab penyakit).
2.10.1 Penyakit Ice-ice
Penyakit rumput laut didefinisikan sebagai terganggunya struktur dan
fungsi yang normal, seperti terjadinya perubahan laju pertumbuhan, penampakkan
(warna dan bentuk), serta akhirnya berpengaruh terhadap tingkat produktivitas.
Ice-ice diketahui pertama kali menginfeksi Eucheuma di Philipina pada tahun
1974 merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput laut pada saat musim
hujan. Ice-ice merupakan penyakit dengan tingkat infeksi cukup tinggi di negara
Asia penghasil Eucheuma (Philips, 1990).
Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut
jenis Eucheuma spp. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di
Pilipina. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak pada
bagian thallus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi
putih dan akhirnya thallus tersebut terputus. Penyakit ini timbul karena adanya
mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah. Gejala yang terlihat
adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan
pada beberapa cabang menjadi putih, kemudian thallus menjadi putih dan
membusuk.
Adanya perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan di lokasi
budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ditjenkanbud, (2005) bahwa penyebab ice-ice ini adalah perubahan lingkungan
yang tidak sesuai untuk pertumbuhan yang menyebabkan menurunnya daya tahan
rumput laut tersebut. Sedangkan menurut Doty, 1987 dalam Ditjenkanbud,
(2005) mengatakan bahwa penyebab ice-ice ini adalah karena adanya bakteri
patogen tertentu. Hal ini menjadikan bahwa sebenarnya timbulnya bakteri tersebut
merupakan serangan sekunder. Kemungkinan efektifitas serangan bakteri hanya
terjadi pada saat pertumbuhan tanaman tidak efektif.
40
Gambar 6.Rumput laut Eucheuma cottonii. yang terkena penyakit ice-ice
(Sumber :Kaas and Perez, 1990).
Kaas and Perez (1990) menyebutkan rumput laut dapat tumbuh maksimal
pada pH air berkisar 6 - 9, dengan pH optimum sekitar 7,5 - 8,0 dan salinitas air
sekitar 28 - 34 permil dengan nilai optimum salinitas sekitar 33 permil serta
kandungan unsur Nitrogen dan Phosphor yang cukup untuk penggemukan thallus.
Nutrisi yang dibutuhkan oleh rumput laut diperoleh dari nutrien yang terkandung
di dalam badan air dan akan tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai
suhu antara 27-30 0C, kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar
1,5 meter, pergerakan air yang memadai antara 20 - 40 cm/detik serta sinar
matahari yang cukup untuk proses fotosintesisnya.
Menurut Kaas and Perez (1990) penyakit ice-ice merupakan efek
bertambah tuanya rumput laut dan kekurangan nutrisi ditandai dengan timbulnya
bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi
kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya menjadi
hancur atau rontok.Ice-ice dapat menyebabkan thallus menjadi rapuh dan mudah
putus.
Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya
perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang thallus menjadi putih
dan membusuk. Stress yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang
mendadak seperti: perubahan salinitas, suhu air dan intensitas cahaya, merupakan
faktor utama yang memacu timbulnya penyakit ice-ice. Ketika rumput laut
mengalami stress karena rendahnya salinitas, suhu, pergerakan air dan instensitas
cahaya, akan memudahkan infeksi patogen (Mintardjo, 1990).
41
Mintardjo (1990) mengatakan dalam keadaan stress, rumput laut
(misalnya: Gracilaria, Eucheuma atau Kappaphycus) akan membebaskan
substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan diduga merangsang
banyak bakteri tumbuh di sekitarnya. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman
dan menular.
Bakteri yang dapat diisolasi dari rumput laut dengan gejala ice-ice antara
lain adalah Pseudomonas spp., Pseudoalteromonas gracilis, dan Vibrio spp.
Agarase (arginase) dari bakteri merupakan salah satu faktor virulen yang berperan
terhadap infeksi ice-ice (Yuan, 1990).
Yuan (1990) mengatakan faktor-faktor predisposisi atau pemicu lainnya
juga dapat menyebabkan ice-ice. Predisposisi itu antara lain serangan hama seperti
ikan baronang (Siganus spp.), penyu hijau (Chelonia midas), bulu babi (Diadema
sp.) dan bintang laut (Protoneostes) yang menyebabkan terjadinya luka pada
thallus. Luka akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Pertumbuhan
bakteri pada thallusakan menyebabkan bagian thallustersebut menjadi putih dan
rapuh. Selanjutnya, pada bagian tersebut mudah patah dan jaringan menjadi
lunak.Infeksi ice-ice menyerang pada pangkal thallus, batang dan ujung thallus
muda, menyebabkan jaringan menjadi berwarna putih. Pada umumnya
penyebarannya secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantara air.
Infeksi akanbertambah berat akibat serangan epifit yang menghalangi penetrasi
sinar matahari karena thallus rumput laut tidak dapat melakukan fotosintesa.
2.10.2 Penyakit White Spot
Menurut Ditjenkabud (2005), penyakit White spot terdapat pada jenis
rumput laut Laminaria japonica di Cina. Gejala awal penyakit ini ditandai dengan
terjadinya perubahan warna thallus dari coklat kekuning-kuningan menjadi putih
kemudian menyebar ke seluruh thallus dan bagian tanaman membusuk dan
rontok.
Pemberantasan penyakit White spot rumput laut dilakukan dengan
mengganti air tambak dua kali seminggu. Apabila dalam seminggu air tambak
tidak diganti, maka pada thallus tanaman rumput laut akan muncul bercak putih
42
dan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Penyakit ice-ice dan white spot biasanya terjadi pada bulan April atau mei
yaitu pada saat kecerahan perairan tinggi. Pada kondisi ini tingkat kelarutan unsur
nitrat tidak tercukupi untuk keperluan fotosintesa sehingga berakibat terjadinya
perubahan warna secara nyata. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan cara
menurunkan posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula untuk mengurangi
penetrasi sinar matahari. Cara lain juga dapat dilakukan dengan pemberian pupuk
nitrogen. Akan tetapi saran ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
2.10.3 Pencegahan Penyakit Ice-ice dengan Standar Operating Procedure
(SOP)
Mintardjo (1990) mengatakan Serangan penyakit ice-ice harus dapat
dicegah, agar kerugian dapat terkurangi.Untuk itu perlu diterapkan langkah-
langkah kongkret dalam pencegahan penyakit tersebut. Serangan penyakit dapat
dicegah dengan penerapan standar baku dalam kegiatan budidaya rumput laut atau
dikenal dengan Standar Operating Procedure (SOP) yang terdiri dari tiga tahap
kegiatan, yaitu:
a. SOP 1: Penentuan Lokasi Budidaya Rumput Laut
Parameter penting yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi dalam
budidaya rumput laut antara lain:
Suhu 20-28 oC, kecepatan arus 20-40 cm/detik.
Dasar perairan berupa karang dan substrat berpasir .
Kedalaman air minimal 2 meter saat air surut terendah dan maksimum 15
meter.
Salinitas berkisar 28 - 35 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt.
Kecerahan tinggi, sehingga sinar matahari dapat mencapai rumput laut.
Lokasi bebas dari cemaran terutama minyak dan sampah organik.
b. SOP 2 : Pemilihan Bibit Rumput Laut yang Berkualitas
Kualitas bibit rumput laut sangat menentukan produktivitas, kualitas
produk dan ketahanan terhadap penyakit ice-ice. Penggunaan bibit unggul
merupakan cara yang sangat penting untuk pengendalian penyakit ice-ice.
43
Philiphina telah memiliki bibit unggul, yaitu Kappaphycus striatum galur saccol
yang tahan terhadap ice-ice. Desinfeksi bibit juga perlu dilakukan untuk
meniadakan bakteri oportunistik yang dapat dilakukan dengan cara bibit rumput
laut direndam dalam larutan PK (Potasium Permanganat) dosis 20 ppm. Beberapa
butir SOP untuk penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas (Mintardjo, 1990) :
Bibit sebaiknya dipilih dari tanaman yang tumbuh baik, masih segar, tidak
ada bercak-bercak, berwarna homogen serta tidak mudah patah.
Bibit diperoleh dari tanaman rumput laut yang tumbuh secara alami
maupun dari tanaman hasil budidaya.
Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha
budidaya dan jumlahnya sesuai dengan luas area budidaya.
Pada saat pengangkutan diupayakan agar bibit tetap terendam di dalam air
laut. Apabila pengangkutan dilakukan melalui udara dan darat, sebaiknya
bibit dimasukan ke dalam kotak karton yang dilapisi plastik. Kemudian
bibit disusun secara berlapis dan berselang-seling dan dibatasi dengan
lapisan kapas atau kain yang dibasahi air laut.
Bibit dijaga agar tidak terkena minyak, air hujan, serta kekeringan.
Dalam menjaga kontinuitas produksi rumput laut sebaiknya harus
dilakukan pergantian bibit.
c. SOP 3 : Penerapan Teknologi Budidaya Rumput Laut
Mintardjo (1990) mengatakan Teknik budidaya rumput laut yang
digunakan disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan.Pada perairan yang
relatif tenang, metode budidaya rakit, long line, dan pancang dapat
diterapkan.Pada perairan yang bergelombang besar metode budidaya yang tepat
adalah metode kantong (metode Cidaun).Pembersihan terhadap kotoran yang
melekat pada thallus dan biofouling harus dilakukan secara rutin. Pembersihan
dilakukan sesering mungkin (sebaiknya setiap hari) dengan cara digoyang di
dalam air sampai kotoran lepas.
Menurut Mintardjo (1990) penanaman rumput laut untuk metode rakit,
long line dan pancang sebaiknya dilakukan bukan pada musim gelombang.Untuk
lokasi di pantai barat sebuah pulau penanaman sebaiknya dilakukan pada musim
44
angin timur.Sebaliknya untuk lokasi di pantai timur sebuah pulau penanaman
dilakukan pada musim angin barat.Penanaman rumput laut dengan metode
kantong dapat dilakukan sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh musim.Pada
saat bukan musim tanam, sebaiknya dilakukan penanaman rumput laut untuk
penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas.
2.11 Pemanenan
Dua hal penting yang harus diperhatikan pada saat panen rumput laut
adalah umur dan cuaca. Hal pertama yaitu umur rumput laut. Umur rumput laut
akan sangat menentukan kualitas dari rumput laut tersebut. Jika rumput laut
tersebut akan digunakan sebagai bibit maka maka pemanenan dilakukan setelah
rumput laut berumur 25-35 hari karena pada saat itu tanaman belum terlalu tua.
Sebaliknya jika rumput laut tersebut akan dikeringkan maka sebaiknya
pemanenan dilakukan pada saat rumput laut tersebut, berumur 1,5 bulan atau lebih
karena pada saat umur tersebut kandungan karaginan cukup tinggi
(Runtuboy, et al., 2011). Menurut Aslan (1995), Kappaphycus alvarezii memiliki
kandungan carrageenan 9,5 %, dalam dunia industri dan perdagangan
carrageenan memiliki fungsi yang sama dengan agar-agar dan alginat.
Hal kedua yang sangat penting pada saat panen adalah cuaca. Jika
pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca cerah maka mutu dari rumput
laut tersebut dapat terjamin. Sebaliknya jika pemanenan dan penjemuran
dilakukan pada cuaca mendung akan terjadi proses fermentasi pada rumput laut
tersebut yang menyebabkan mutu tidak terjamin (Runtuboy, et al., 2011).
Menurut Runtuboy, et al., (2001), rumput laut hasil budidaya setelah
dipanen dikeringkan sebagai komoditi perikanan. Mutu hasil produksi budidaya
juga ditentukan oleh cara penanganan pasca panen. Perlakuan penjemuran selalu
mengikuti permintaan pasar, ada yang cukup dijemur langsung, ada yang sebelum
dijemur dicuci dengan air tawar, bahkan ada yang dijemur setelah difermentasi.
Proses penjemuran yang langsung dikeringkan memerlukan waktu 2-4 hari tanpa
dicuci air tawar atau tanpa diputihkan merupakan permintaan yang banyak
diminati oleh pasar.
45
BAB III
METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktek keahlian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2015 – 12Maret
2016 di perairan teluk Banten kampus BAPPL STP Karangantu, Banten.
3.2 Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan selama praktek
Nama alat dan bahan Satuan Kegunaan
Tali utama 30 × 10 m
(10) mm
Sebagai intruksi lokasi
budidaya
Tali jalur 10 m
(5 mm)
Sebagai substrat pengikat
rumput laut
Tali ris 25 cm
(2.5mm)
Sebagai pengikat rumput laut
pada tali jalur
Botol akua bekas 400 buah Sebagai pelampung
Pelampung dirigen 10 buah Sebagai pelampung tali utama
Pemberat 16 buah Untuk menjaga konstruksi
tidak terbawa gelombang
Pisau 1 buah Alat pemotong
Gunting 1 buah Alat pemotong
Timbangan 1 buah Untuk menimbang berat
rumput laaut
Termometer 1 buah
(10C)
Pengukur suhu
Refraktometer 1 buah
(0 ppt)
Pengukur salinitas
pH paper 1buah
(1 – 14 )
Pengukur ph
Meteran 1 buah
(30 m)
Pengukur pasang surut air
46
Sechi disk 1 buah Pengukur kecerahan
Sikat gigi bekas 4 buah Alat pembersih rumput laut
Curen meter 1 buah Alat pengukur kecepatan arus
E. cotonii 366kg
3.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan praktek langsung.Praktek
dilakukan dalam 3 tahap yakni tahap persiapan, tahap kedua penanaman rumput
laut, tahap ketiga meliputi pengukuran data pertumbuhan Eucheuma cotonii
dengan perlakuan yang berbeda pada satu tempat, kemudian membandingkan
pertumbuhan rumput laut yang berbeda jenis pada satu tempat serta,
membandingkan pertumbuhan rumput laut pada tempat yang berbeda dengan
perlakuan yang berbeda.
3.4 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak lima kali dengan rentang
waktu 7 hari selama satu siklus pembudidayaan rumput laut yaitu dalam
waktu 1 bulan 15 hari. Hal ini didukung dengan pendapat Hayashi et al.
(2007) bahwa kondisi kualitas rumput laut terbaik dapat dicapai bila rumput
laut dibudidayakan selama 45 hari. Pengukuran parameter fisik dan kimia
dilakukan dengan mengambil sampel air permukaan pada setiap stasiun
pengamatan. Untuk beberapa parameter fisik kimia pengukuran dilakukan
secara langsung di lapangan, sedangkan nitrat, fosfat, dianalisis di
laboratorium FPIK Unhalu.
Pada tahap ini selain dilakukan pengukuran terhadap suhu, salinitas,
kecepatan arus dan kecerahan perairan lokasi budidaya, juga diambil sampel
rumput laut untuk memperoleh data pertambahan berat (pertumbuhan) setiap satu
minggu sekali.
3.4.1 Analisa Data
Untuk menganalisis pengaruh musim, lokasi, dan jarak dari garis pantai
diuji terhadap produksi rumput laut di uji dengan cara Analisi Univariat desain
Faktorial (Steel and Torrie 1982 ; Nazir 2009).
47
3.4.2 Analisa Deskriptif
Didalam analisa data penulis mengunakan metode deskriptif
yaitumenjelaskan atau menggambarkan hasil praktek berdasarkan prinsip-prinsip
ilmiah mengenai teknik pemeliharaan, faktor rumput laut Eucheuma sp. di
perairan teluk banten yang berada di antara Pulau Pisang dan Pulau Lima BAPPL
STP Serang.
3.4.3 Analisa Kuantitatif
Untuk menghitung pertumbuhan E.Spinosum dan E. cotonii dengan
menggunakan persamaan Yamaguchi sebagai berikut :
Dimana: Wt = Berat tanaman sesudah t hari;
Wo = Berat tanaman mula-mula;
t = Lama penanaman/ hari
3.4.4 Analisa Laba dan Rugi
Analisa rugi laba dapat diperhitungkan dengan cara mengurangi jumlah
total penerimaan dengan jumlah total biaya, dimana akan didapatkan total
keuntungan. Analisa ini untuk mengetahui prospek usaha pada periode tertentu,
dalam memperoleh laba, rugi atau impas (jumlah pendapatan sama dengan biaya).
Suatu usaha dapat dikatakan layak apabila total penjualan lebih besar dari total
biaya yang dikeluarkan.
Menurut Kasmir dan Jakfar (2003), analisa laba/rugi dihitung dengan
persamaan :
DGR=(Wt−Wo)
(Wt+Wo ) 1t
x 100 %
2
48
π=TR−TC
Keterangan :π : Total Profit
TC : Total Cost
TR : Total Revenue
3.4.5 Analisa Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Analisa yang digunakan untuk mengetahui perbandingan ratio hasil yang
diperoleh terhadap suatu jumlah biaya yang dikeluarkan. Semakin besar ratio
biayanya, berarti usaha tersebut semakin menguntungkan.
Rumus analisa B/C Ratio menurut Khairuman dan Amri (2002),
B/CRatio= Total PenerimaanTotal BiayaOperasional
Kreteria : B/C < 1 , Tidak layak
B/C = 1, Impas
B/C > 1 Layak
3.4.6 Analisa Titik Impas (Break even point)
Titik impas adalah suatu kejadian apabila setelah dibuat perhitungan rugi
laba dari suatuu periode kerja atau suatu kegiatan tertentu, perusahaan tidak
memperoleh laba tetapi juga tidak menderita kerugian. Dapat dikatakan
keuntungan sama dengan nol. Jadi, seluruh penghasilan yang didapat sama dengan
biaya yang dikeluarkan. Dalam perhitungan analisa usaha ada dua macam Break
Event Point, yaitu BEP dalam skala unit produksi dan BEP dalam skala rupiah.
Perhitungan BEP menurut Effendi dan Oktariza (2006), dapat
menggunakan rumus :
BEP (Unit) = BiayaTetap
Harga Jualunit
− BiayaVariabelunit
BEP (Rp) = BiayaTetap
1− BiayaVariabelProduksi terjual(Rp .)
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Lokasi Budidaya
Lokasi praktek keahlian budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di Desa
Karangantu Teluk Banten merupakan perairan yang terlindung dari hempasan
ombak langsung, karena lokasi kegiatan praktek budidaya tersebut terletak
diantara Pulau Lima dan Pulau Pisang, hal ini didukung oleh pendapat Puja, et al.,
(2001) bahwa lokasi yang terlindung biasanya didapatkan diperairan teluk.
Gambar 7. Lokasi Budidaya Rumput Laut
Dasar perairan disekitar Pulau Pisang terdiri dari lumpur berpasir dan
pecahan karang, dan dasar perairan di sekitar Keramba Jaring Apung (KJA)
adalah lumpur, perairan didekat pulau memiliki pergerakan air yang cukup, hal ini
sesuai dengan pendapat Mubarak, et al., (1990) bahwa dasar perairan berupa
pecahan-pecahan karang dan pasir merupakan kondisi dasar perairan yang sesuai
untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottoni. Kondisi tersebut juga merupakan
indikator adanya gerakan air yang baik.Hal ini sesuai dengan pendapat Meiyana
(2001) yang menyatakan bahwa dasar perairan tidak terlalu keras dan terdiri dari
pasir, pecahan karang, serta tidak ada endapan kotoran baik untuk budidaya
rumput laut. Kemudian Puja, et al., (2001) menyatakan bahwa perairan yang
Pulau Pisang
Pulau Lima
Lokasi budidaya
50
mempunyai dasar pecahan karang dan pasir kasar dipandang baik untuk lokasi
budidaya rumput laut.
Kedalam perairan di lokasi budidaya rumput laut berkisar antara 6-7 meter
dari permukaan air. Hal ini berbeda dengan pendapat Anggadiredja, et al. (2006)
yang menyatakan bahwa lahan untuk budidaya rumput laut sebaiknya memiliki
kedalaman 40 cm.
Lokasi budidaya yang mendukung akan menambah hasil produksi dengan
berkurangnya biaya perawatan atau lebih besarnya tingkat penambahan berat
akhir pada saat panen. Aslan (2012) menyatakan bahwa salah satu penentu
keberhasilan dalam usaha budidaya laut diawali dengan pemilihan lokasi,
memiliki kondisi perairan bagus dan luasan yang cukup sehingga dapat dilakukan
estimasi jumlah unit kermba yang dapat tertampung diareal tersebut sesuai
dengan komoditas yag dikelolanya dan daya dukung lahan.
Adapun hasil parameter kualitas air dilokasi budidaya adalah sebagai
berikut :
1. Suhu
Suhu dilokasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah berkisar
antara 28-30°C. Hal ini sesuai dengan pendapat Ditjenkanbud, (2003) yang
menyatakan bahwa temperatur air laut yang baik untuk budidaya rumput laut
adalah berkisar antara 27-30°C. Kenaikan temperatur yang tinggi akan akan
mengakibatkan thallus rumput laut berwarna pucat kekuning-kuningan dan tidak
sehat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Aslan (1995) yang menyatakan bahwa
perkembangan beberapa jenis alga tergantung pada kondisi suhu dan intensitas
cahaya. Menurut Aslan (1995), suhu yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma
cottonii adalah berkisar antara 25-30°C. Akan tetapi Eucheuma sp mempunyai
toleransi terhadap suhu 25-30°C dengan fluktruasi harian 4°C.
2. Salinitas
Salinitas perairan dilokasi budidaya adalah berkisar antara 29-32 ppt. Hal
ini sesuai dengan pendapat Aslan (2002), yang mengatakan bahwa rumput laut
merupakan alga laut yang relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang
berada diatas 30 ppt. Menurut Aslan (2002), salinitas yang baik berkisar antara
28-32 ppt dengan nilai optimum 30 ppt.
51
3. Kecerahan
Kecerahan merupakan transparansi perairan yang ditemukan secara visual
dengan menggunakan secchi disk. Adapun nilai kecerahan dilokasi budidaya
adalah 2-4 meter dari permukaan air. Menurut Aslan (2002), tingkat kejernihan air
diukur dengan penampakan kecerahan yang mencapai kedalaman 5 meter atau
lebih. Meskipun demikian kecerahan yang ideal adalah minimal 1,5 meter.
Sedangkan Ditjenkanbud (2005), mengatakan bahwa kecerahan air yang baik
untuk pertumbuhan rumput laut adalah 1-5 meter. Menurut Mubarak, et al.,
(1990) kecerahan suatu perairan berhubungan dengan kekuatan intensitas cahaya
matahari kedalam suatu perairan tersebut.
4. Kecepatan arus
Kecepatan arus dilokasi budidaya adalah 30-60 cm/detik. Menurut
Mubarak, et al., (1990) kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya
rumput laut adalah berkisar antara 20-40 cm/detik. Untuk pertumbuhan Eucheuma
sp. membutuhkan gerakan air yang konstan sepanjang tahun dengan kekuatan
sedang. Pendapat ini kemudian didukung oleh Ditjenkanbud (2005), yang
menyatakan bahwa rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan
melalui aliran air yang melewatinya. Pertukaran air yang teratur akan
menguntugkan bagi alga, karena membantu mensuplai nutrient yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut. Suplai zat hara ini dibantu oleh
gerakan ombak dan arus yang memudahkan rumput laut untuk menyerap zat hara,
membersihkan kotoran, dan melangsungkan CO2 dengan O2 (Indriani dan
Sumiarsih, 1991).
Menurut Indriani dan Sumiarsih (2003), suatu perairan yang cukup
gerakan air ditandai dengan terdapatnya karang lunak (Soft Koral) dan kondisi
daun lamun yang bebas dari debu air. Sedangkan gerakan air yang bergelombang ,
ombaknya harus tidak boleh lebih dari 30 cm. Bila arus yang cepat maupun
gelombang yang tinggi, dapat memungkinkan terjadinya kerusakan tanaman
seperti patah ataupun terlepas dari substratnya. Selain itu unsur hara belum sempat
diserap tetapi telah dibawa pergi oleh air.
52
4.2 Faktor – faktor Pendukung Budidaya Rumput Laut
Dalam budidaya rumput laut Eucheuma cottonii, ada beberapa factor yang
sangat mempengaruhi dan mendukung keberhasilan usaha budidaya yaitu sebagai
berikut :
4.2.1 Musim
Kegiatan budidaya rumput laut dipengaruhi oleh musim barat dan musim
timur, musim barat terjadi pada bulan Januari sampai Mei sedangkan musim timur
terjadi pada bulan Juni sampai Desember. Pelaksanaan praktek keahlian budidaya
rumput laut ini dilaksanakan pada saat musim barat, angin dan arus kencang diatas
50 cm/detik, terutama pada malam hari. Hal ini menyebabkan konstruksi budidaya
rusak, terutama pada ikatan tali yang tiba-tiba renggang dan rumput laut yang
telah ditanam terlepas dan jatuh kedasar perairan. Untuk mengantisipasi keadaan
tersebut, maka dilakukan penambahan jarak antara tali jalur yang awalnya 1 meter
menjadi 1,5 meter yang bertujuan untuk menghindari atau mengurangi kekusutan
antara tali jalur pada saat terjadinya angin dan gelombang besar yang
menyebabkan konstruksi rusak.
4.2.2 Tata Letak
Pemasangan tali jalur ditempatkan searah dengan arah arus sehingga
tanaman mendapat aliran atau pergerakan air yang dapat membantu dalam
pembersihan dan pemenuhan nutrisi bagi rumput laut.Lokasi budidaya harus jauh
dari jalur pelayaran umum untuk mencegah dan atau menghindari rusaknya
konstruksi budidaya.
4.3 Penyediaan Bibit
Bibit rumput laut yang digunakan adalah jenis Eucheuma cottonii, yang
diambil dari pembudidaya di daerah Pontang, umur bibit 20 hari sebanyak 500 kg.
Namun jumlah yang ditanam adalah sebanyak 326 kg, sisa yang tidak tertanam
sekitar 174 kg karena banyak yang busuk, sakit dan patah. Berat per titik 100 gr
dengan 3 perlakuan jarak tanam, yaitu jarak tanam 20 cm sebanyak 27 jalur, jarak
53
tanam 30 cm sebanyak 9 jalur dan jarak tanam 40 cm sebanyak 9 jalur.
Penanaman dilakukan dengan metode rawai atau longline.
Berat bibit yang ditanam pada setiap ikatan sudah sesuai pendapat
Afriyanto dan Lifiawati dalam Meiyana (2001) yang menyatakan bahwa berat
awal rumput laut yang baik adalah antara 50-150 gram. Semakin ringat berat awal
yang digunakan ujung-ujung thallus semakin sedikit sehingga pertumbuhan yang
terjadi tidak begitu cepat dan semakin besar berat awal ujung-ujung thallus akan
semakin banyak sehingga pertumbuhan rumput laut dapat lebih meningkat.
Jarak tanam yang dipakai pada budidaya rumput laut Eucheuma cottonii
ini adalah dengan menggunakan tiga perlakuan jarak tanam, yaitu : jarak tanam
20, 30 dan 40 cm. Meiyana (2001), menyatakan bahwa semakin luas jarak tanam
akan semakin luas gerakan air yang membawa unsur hara sehingga pertumbuhan
rumput laut akan meningkat.
Proses pengikatan bibit dilakukan setelah penimbangan. Pengikatan
langsung dilakukan pada tempat penimbangan untuk mengefisienkan pekerjaan
sehingga bibit rumput laut yang akan ditaman tidak mengalami kerusakan yang
nantinya akan menggagu pertumbuhannya.
Menurut Runtuboy (2001), penanaman untuk semua metode relatif sama
dimana penanaman diawali dengan pengikatan bibit rumput laut, bibit yang
ditanam berkisar antara 50-100 gram.
Gambar 8. Bibit Rumput Laut Eucheuma cottonii
Selain bibit rumput laut Eucheuma cottonii biasa (tanpa perlakuan) juga
dilakukan penanaman bibit rumput laut kultur jaringan dari jenis Eucheuma
54
cottonii yang diambil dari Bogor sebanyak 50 rumpun thallus dengan berat per
thallus berkisar antara 0.25 – 1.86 gram. Metode penanaman dilakukan dengan
menggunakan wadah dari sangku yang dilapisi waring.
Gambar 9. (A) Bibit rumput laut kultur jaringan, (B) Wadah budidaya kultur
jaringan
4.3.1 Pemasangan Kontruksi Budidaya
Pemasangan kontruksi budidaya rumput laut dipasang diantara Keramba
Jaring Apung (KJA) dan pulau pisang, dengan luas kontruksi 20 m x 40 m yang
kemudian dipasang jangkar dan pelampung utama pada setiap sudut kontruksi.
Jarak antara tali jalur 1.5 meter dan pada setiap tali jalur diberi pelampung dari
botol bekas sebanyak 10 botol pada masing-masing tali jalur. Meiyana (2001),
menyatakan bahwa jarak antara jalur adalah satu meter kondisi ini memungkinkan
rumput laut bisa mendapatkan unsur hara yang cukup karena semakin luas jarak
tanam akan semakin luar pergerakan air yang membawa unsur hara sehingga
pertumbuhan rumput laut akan meningkat.
Gambar 10. Pemasangan Konstruksi Budidaya
A B
Bibit rumput laut kultur jaringan
55
Sebelum penebaran bibit tali rentang yang sudah berisi bibit kemudian
diberi pelampung dari botol bekas yang dipasang dengan jarak 2
meter/pelampung. Penebaran bibit dilakukan dengan cara menurunkan bibit per
tali rentang yang kemudian tali rentang diikatkan pada tali utama denga jarak
antar tali rentang adalah 1,5 meter. Bibit ditanam dengan kedalam 30 cm dari
permukaan laut. Seperti halnya tanaman darat, penanaman bibit rumput laut harus
memperhatikan jarak tanam. Menurut Meiyana (2001), jarak tanam antar bibit
berkisar antara 20-25 cm dan diusahakan bibit rumput laut tidak menyentuh dasar
perairan karena hala tersebut dapat mengakibatkan tanaman mudah diserang
predator.
4.3.2 Pemasangan Rumput Laut
Penanaman rumput lautEucheuma cottonii biasa dilakukan pada tanggal
09 Februari 2016 dengan metode longline, dimana bibit rumput laut ditimbang
sebanyak 100 gram yang kemudian diikat pada masing-masing tali titik yang
terdapat pada tali jalur. Bibit yang sudah terpasang kemudian dipisah berdasarkan
jarak tanam dan bibit di angkut dengan menggunakan long boat yang kemudian
ditutup dengan menggunakan terpal agar bibit tidak mati akibat sinar matahari.
Gambar 11. (A) Penimbangan bibit sebelum dipasang pada tali titik, (B)
Pengangkutan bibit.
Sebelum penebaran bibit, tali rentang yang sudah diisi bibit kemudian
diberi pelampung dari botol bekas yang dipasang dengan jarak 2 meter per
pelampung, dalam satu rentangan diberi 10 pelampung. Penebaran bibit dilakukan
dengan cara menurunkan bibit per tali rentang yang kemudian tali rentang
A B
56
diikatkan pada tali utama. Jarak antara tali rentang adalah 1.5 meter. Bibit ditanam
dengan kedalaman 50 cm dari permukaan laut.
Gambar 12. Bibit rumput yang sudah dipasang pada kontruksi
Penebaran rumput laut kultur jaringan dilaksanakan pada tanggal 13
februari 2016. Metode penanaman dengan menggunakan wadah sangku yang
dimasukkan kedalam jaring kantong dan diberi pemberat dibagian bawah jaring
agar bentuk jaring simetris. Jaring kemudian diikatkan di aquatec dan atau
kerangka kelas apung.
Rumput laut kultur jaringan diangkut dengan menggunakan toples dan
dilapisi dengan kertas yang sudah dibasahi dengan air laut, kemudian bibit
disusun dengan hati – hati dan ditutup kembali dengan kertas basah, kemudian
toples ditutup rapat. Tujuan pemberian kertas basah adalah agar rumput laut tetap
dalam keadaan lembab dan atau tidak kering, sehingga bibit tidak cepat layu
selama perjalanan atau pengangkutan.
Gambar 13. (A) cara pengangkutan bibit, (B) penebaran bibit rumput laut kultur
jaringan
Bibit rumput laut
A B
57
4.3.3 Pemeliharaan dan Perawatan Thallus
Pemeliharaan rumput laut Eucheuma cottonii biasa (tanpa perlakuan)
dimulai sejak tanggal 9 Februari – 9 Maret 2016. Sedangkan rumput laut kultur
jaringan dimulai sejak tanggal 13 Februari – 5 Maret 2016.
Waktu pembersihan tanam dilakukan sehari sekali dengan cara
membersihkan rumput laut dari lumpur dan hama penempel lainnya. Hal ini
dikarenakan tingkat penempelan lumut dan lumpur yang tinggi yang dipengaruhi
kondisi perairan berlumpur dan kecepatan arus dilokasi kurang baik, kegiatan
perawatan tidak hanya dipusatkan pembersihan kompetitor akan tetapi perawatan
seluruh sarana pendukung kegiatan budidaya.
Kegiatan pemeliharaan bibit yang dilakukan sesuai dengan pendapat Aslan
(2006), bahwa kegiatan pengawasan selama pemeliharaan minimal dilakukan
seminggu sekali, namun bila kondisi perairan yang kurang baik misalnya kondisi
ombak keras serta kondisi perairan yang banyak dipengaruhi keadaan musim
kurang mendukung, perlu pengawasan dua hari sekali.
Cara perawatan selama pemeliharaan dilakukan dengan cara mengikat
thallus dengan menggunakan sikat gigi bekas dan menggerakan tiap ikatan pada
tali ris yang ditanam. Pembersihan bertujuan untuk menghilangkan lumpur dan
kotoran yang menempel pada thallus yang dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan rumput laut. Menurut Indriyani dan Sumiarsih (2003), kotoran
sering melekat pada tanaman. Kotoran yang melekat dapat menghambat proses
metabolisme sehingga laju pertumbuhan menurun. Beberapa tumbuhan penempel
sperti Ulva, Hypnea, Chaetomorpha, Entoromorpha sering membelit tanaman dan
konstruksi budidaya sehingga dapat menimbulkan kerusakan.
Perawatan thallus dilakukan sehari sekali dengan cara membersihkan
thallus dari lumpur, sampah dan tanaman yang menempel pada thallus. Selain
pembersihan thallus, juga dilakukan pembersihan lokasi budidaya dari sampah
yang terbawa arus dan juga dilakukan pembersihan tali jalur dan tali utama dari
lumpur dan atau lumut yang menempel dengan cara menyikat tali dengan sikat.
58
Gambar 14. Perawatan Rumput Laut Eucheuma cottonii
Perawatan rumput laut kultur jaringan dilakukan sehari sekali dengan cara
membersihkan jarring dan sangku dari lumpur, teritip, dan tanaman penenmpel
seperti rumput api–api. Perawatan harian rumput laut kultur jaringan dilakukan
dengan cara menyikat jaring dengan menggunakan sikat cuci. Sedangkan untuk
pembersihan menggunakan mesin steam dilakukan tiga hari sekali. Selain
pembersihan wadah, juga dilakukan pembersihan thallus dari hama penempel
seperti spat tiram, cacing, rumput api-api dan balutan karang yang menutupi
thallus.
Gambar 15. Pembersihan Wadah Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii
Kultur Jaringan
Menurut Setiadi dan Budihardjo (2000), hal-hal yang perlu diperhatikan
selama pemeliharaan rumput laut yaitu pembersihan tanaman dari tumbuhan
penempel, atau predator dan kompetitor lainnya. Tanaman yang rusak dan hilang
karena arus yang besar diganti dengan tanaman yang baru. Selain itu dilakukan
pula monitoring kulaitas air, monitoring pertumbuhan dan perbaikan sarana
budidaya.
59
4.3.4 Monitoring Pertumbuhan
Monitoring pertumbuhan rumput laut dilakukan secara sampling satu
minggu sekali. Sampling rumput laut Eucheuma cottonii biasa (tanpa perlakuan)
dilakukan dengan cara mengambil 3 titik dari masing-masing jarak tanam yang
kemudian ditimbang dan dirata-ratakan. Untuk sampling pertama titik rumput laut
yang akan disampling diambil secara acak, kemudian titik sampel tersebut diberi
tanda dengan menggunakan tali yang berbeda warna antara jarak tanam. Hal ini
dimaksud untuk mempermudah pada saat sampling berikutnya.
Sampling pertumbuhan rumput laut kultur jaringan hanya dilakukan sekali
selama masa pemeliharaan. Hal ini dikarenakan ukuran rumpun rumput laut kultur
jaringan terlalu kecil dan terbatasnya timbangan elektrik selama pemeliharaan.
Sampling rumput laut kultur jaringan dilakukan dengan cara menimbang 15
rumpun thallus yang kemudian hasilnya di rata-ratakan.
1. Metode pengambilan sampel
Pengukuran pertumbuhan dilakukan satu minggu sekali, yang bertujuan
untuk mengetahui tingkat pertumbuhan pada biota yang dipelihara. Adapun cara
atau metode yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Sampel diambil dengan cara membuka beberapa titik yang dianggap
mewakili (masing-masing jarak tanam diambil 3 titik)
b. Rumput laut ditiriskan beberapa saat dan kemudian dilakukan
penimbangan
c. Pemberian tanda pada titik yang telah ditimbang
d. Hasil penimbangan dicatat untuk mengetahui pertumbuhan harian
rumput laut.
Adapun cara menghitung laju pertumbuhan harian rumput laut dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
G = Laju pertumbuhan harian (g/hari)
Wt = bobot akhir rumput laut
G=Wt−Wot
60
Wo = bobot awal rumput laut
t = waktu / lama pemeliharaan (hari).
Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan rumput laut Eucheuma
cottonii.
minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3 minggu ke-40
5
10
15
20
25
Grafik Pertumbuhan Harian
20 cm30 cm40 cm
ADG
(gr)
Gambar 16. Data sampling pertumbuhan harian rumput laut
Berdasarkan grafik pertumbuhan diatas dapat dilihat bahwa pertumbuhan
rumput laut mengalami penurunan pada minggu ke-2 untuk jarak tanam 20 cm
dan 30 cm, dan pada minggu selanjutnya pertumbuhan rumput laut dengan jarak
tanam 20 cm meningkat dan jarak tanam 30 cm meningkat pada minggu ke-3 dan
kembali menurun pada minggu ke-4. Sedangkan untuk jarak tanam 40 cm
mengalami kenaikan yang pesat pada minggu ke-2 dan menurun drastis pada
minggu ke-3 dan ke-4. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : rumput
laut banyak yang terlepas dari ikatan yang disebabkan oleh pergerakan arus dan
gelombang yang sangat kuat. Selain itu juga dipengaruhi oleh banyaknya hama
predator seperti ikan baronang dan penyu disekitar lokasi budidaya.
2. Pembersihan Organisme Penempel
Pembersihan rumput laut dari organisme penempel dilakukan sekali sehari
yang dilakukan pada pagi hari. Pembersihan dilakukan dengan cara
61
membersihkan dengan cara menyikat lumpur yang menempel pada rumput laut
yang dapat mengganggu pertumbuhannya.
3. Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air yang dilakukan meliputi pengamatan disekitar
lokasi budidaya rumput laut, selain untuk mengetahui kondisi lingkungan
budidaya juga mengetahui kondisi perairan yang sewaktu waktu bisa berubah.
Pengukuran parameter kualitas air yang dilakukan selama kegiatan berlangsung
meliputi kecerahan, kecepatan arus, suhu, salinitas dan pH.
a. Kecerahan
Frekuensi pengukuran kecerahan dilakukan satu hari sekali dengan
menggunakan sechi disk yang dilakukan pada pukul 06.00 adan 16.00. Adapun
prosedur pengukurannya adalah sebagia berikut :
1. Menyiapkan secchi disk yang telah diberi tali skala agar dapat mengetahui
tingkat kecerahan yang ada pada lokasi budidaya.
2. Sechi disk dimasukan kedaam perairan yang akan diukur dengan cara
menurunkan perlahan dari terlihat menjadi tidak terlihat dan dari tidak terlihat
menjadi terlihat samar-samar yang kemudian nilainya dirata-ratakan.
3. Catat nilai pengukuran, dan nilai tersebut merupakan niali kecerahan perairan.
b. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dua kali sehari yaitu pada pukul 06.00-16.00
WIB. Adapun prosedur pengukuran suhu yang dilakukan sebagai berikut :
1. Termometer dimasukan kedalam perairan yang akan diukur suhunya pada
kedalaman 50 cm.
2. Diamkan selama 3-5 menit agar skala pada termometer akan stabil.
3. Termometer diangkat dan diposisikan horisontal dalam air sejajar dengan
penglihatan.
4. Angka yang ditunjukan merupakan nilai suhu perairan.
c. Salinitas
Alat yang digunakan dalam mengukur salinitas adalah Refraktometer.
Pengukuran salinitas dilakukan satu minggu sekali pada pukul 17.00 WIB.
Adapun proses pengukuran salinitas adalah sebagai berikut :
1. Ambil air sampel dengan menggunakan botol bekas
62
2. Lakukan kalibrasi pada refraktometer dengan menggunakan air tawar
3. Prisma pada refraktometer dikeringkan dengan menggunakan tissue
4. Ambil air sampel dengan menggunakan pipet tetes, dan kemudian teteskan
diatas prisma
5. Refraktometer akan menunjukan skala konsentrasi garam
6. Angka yang ditunjukan merupakan nilai konsentrasi garam/salinitas.
d. Derajat keasaman (pH)
Alat yang digunakan dalam pengukuran pH adalah kertas pH paper. pH
diukur satu minggu sekali yang diakukan pada pukul 17.00 WIB. Adapun cara
pengukurannya adalah sebagai berikut :
1. Ambil sampel air dengan menggunakan wadah botol bekas
2. Masukkan/celupkan pH paper kemudian dicocokkan dengan
menggunakan indikator pada wadah pH paper tersebut.
3. Warna yang sesuai dengan warna pada pH paper merupakan nilai pH
perairan.
e. Kecepatan arus
Hasil pengukuran kecepatan arus selama kegiatan praktek berlangsung
berkisar antara 30-60 cm/detik. hal ini dipengaruhi oleh angin barat. Angin barat
terjadi pada bulan Januari sampai dengan April. Nilai kecepatan arus selama
kegiatan praktek tidak sesuai dengan pendapat Meiyana (2001), yang menyatakan
bahwa arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut berkisar antara 20-
40 cm/detik. kurangnya kecepatan arus dilokasi budidaya menyebabkan tanaman
akan mudah ditempeli lumpur,kompetitor dan kotoran yang mengendap. Selain itu
juga penempelan lumpur dan kotoran akan mempermudah tanaman terserang
cacing jenis nematoda dan muncul gejala ice-ice (Anggadiredja, et al., 2006).
4.4 Hama dan Penyakit
Dalam kegiatan budidaya rumput laut,hama dan penyakit merupakan salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya. Sehingga harus dilakukan
pengendalian terhadap hama dan penyakit selama masa pemeliharaan sampai
panen.
63
4.4.1 Hama
Hama yang ditemukan selama masa pemeliharaan dengan menggunakan
metode longline dan jaring kantong adalah : ikan baronang (Siganus spp), penyu
hijau (Chelonia midas), kepiting, rumput laut Sargasum, dan organisme penempel
seperti lumut, teritip, dan spat tiram. Hal ini didukung oleh pendapat
Ditjenkanbud (2005), yang menyatakan bahwa beberapa hama makro yang sering
ditemukan menyerang pada budidaya rumput laut antara lain : ikan baronang,
bintang laut, bulu babi, dan penyu hijau.
Ikan baronang (Siganus spp) merupakan hama yang paling dominan yang
menyerang rumput laut. Banyaknya ikan baronang tersebut mengganggu rumput
laut yang menyebabkan pertumbuhan rumput laut pada budidaya long line kurang
maksimal hal ini ditandai dengan banyaknya thallus yang tumpul akibat dimakan
ikan baronang tersebut. Selain ukuran terhambatnya pertumbuhan rumput laut,
thallus bekas makan baronang dapat menimbulkan penyakit berupa luka yang
kemudian memudahkan timbulnya penyakit ice-ice.
4.4.2 Penyakit
Adapun penyakit yang ditemukan selama masa pemeliharaan adalah
penyakit ice-ice. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak
pada bagian thallus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur
menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut terputus.
Penyakit ice-ice timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman
rumput laut yang lemah. Gejala yang terlihat adalah pertumbuhan yang lambat,
terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi
putih, kemudian thallus menjadi putih dan membusuk.
Menurut Anggadiredja, et al., (2006) penyakit pada rumput laut
merupakan suatu gejala gangguan fungsi atau terjadinya perubahan fisiologis pada
tanaman. Pada umumnya hal ini terjadi akbibat adanya perubahan faktor
lingkungan yang ekstrim seperti perubahan suhu, salinitas, pH, dan tingkat
kecerahan air. Penyakit yang sangat umum terjadi pada rumput laut yaitu penyakit
ice-ice.
64
Adanya perubahan lingkungan seperti : arus, suhu dan kecerahan di lokasi
budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya
terjadi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Trono
(1974), bahwa penyebab ice-ice ini adalah perubahan lingkungan yang tidak
sesuai untuk pertumbuhan yang menyebabkan menurunnya daya tahan rumput
laut tersebut. Sedangkan Uyenco, et al., (1981), mengatakan bahwa penyebab ice-
ice ini adalah karena adanya bakteri patogen tertentu. Hal ini menjadikan bahwa
sebenarnya timbulnya bakteri tersebut merupakan serangan sekunder.
Kemungkinan efektifitas serangan bakteri hanya terjadi pada saat pertumbuhan
tanaman tidak efektif.
Gambar 17. Rumput laut kultur jaringan yang terserang penyakit ice-ice.
Penyakit ice-ice dan White spot biasanya terjadi pada bulan April atau Mei
yaitu pada saat kecerahan perairan tinggi. Pada kondisi ini tingkat kelarutan unsur
nitrat tidak tercukupi untuk keperluan fotosintesa sehingga berakibat terjadinya
perubahan warna secara nyata. Penyakit ini dapat ditanggulangi dengan cara
menurunkan posisi tanaman lebih dalam dari posisi semula untuk mengurangi
penetrasi sinar matahari. Cara lain juga dapat dilakukan dengan pemberian pupuk
Nitrogen. Akan tetapi saran ini masih perlu dikaji lebih lanjut (Aslan, 2005).
4.5 Monitoring Kualitas Air
Monitoring kualitas air dilakukan sehari sekali dengan cara mengukur
parameter fisika yang meliputi suhu, salinitas, pH, kecerahan, dan kecepatan arus.
Sedangkan pengukuran parameter kimia seperti nirat, nitrit, ammonia dan CO2,
dilakukan seminggu sekali dikarenakan terbatasnya alat dan bahan.
Thallus yang terserang penyakit ice-ice
65
Gambar 18. (A) Pengukuran suhu, (B) Pengukuran kecepatan arus, (C)
Pengukuran kecerahan.
Gambar 19. (A) Pengukran Nitrat, (B) Pengukuran Nitrit.
4.6 Panen
Panen dilakukan pada tanggal 09 Februari 2016 selama 29 hari masa
pemeliharaan. Pemanenan dilakukan pada pagi hari, panen secara total yaitu
dengan cara melepas semua tali jalur yang berisi rumput laut yang kemudian
diangkut ke darat menggunakan long boat. Rumput laut yang sudah sampai
didarat kemudian dilepaskan dari tali untuk dilakukan penimbangan untuk
mengetahui biomassa panen. tali jalur dan tali titik kemudian disikat dan dicuci
dengan menggunakan air tawar.
A B C
A B
66
Gambar 20. (A) Panen, (B) penimbangan hasil panen rumput laut
Bibit awal rumput laut atau jumlah rumput laut yang ditebar adalah
sebanyak 326 kg, dan biomassa panen adalah 376 kg dalam pemeliharaan selama
29 hari.
4.7 Analisa usaha
Analisa usaha merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui
layak atau tidak suatu usaha untuk dijalankan. Dengan analisa perusahaan dapat
mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kerugian yang diperoleh. Berikut
perhitungan yang dapat digunakan dalam budidaya rumput laut :
4.7.1 Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan pada saat
operasional untuk menjalankan produksi. Biaya operasional berdasarkan
fungsinya dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah
biaya yang tidak habis penggunaannya dalam suatu produksi dan besar kecilnya
tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya
yang penggunaannya habis dalam satu kali produksi, dimana besar kecilnya
tergantung besar kecilnya produksi yang dihasilkan.
1. Biaya Tetap
Tabel 2. Biaya Tetap
No Uraian Jumlah
Harga
satuan/kg
(Rp)
Jumlah
(Rp)
1 Tali Utama 9 kg 50.000 450.000
2 Tali Jalur 10 kg 45.000 450.000
3 Tali Titik 5 Gulung 15.000 75.000
A B
67
4 E. Cottonii 326 kg 2.500 815.000
5 Derigen 10 Unit 30.000 300.000
6 Jangkar Semen 6 unit (2 sak) 75.000 150.000
Jumlah 2.240.000
2. Biaya Variabel
Tabel 3. Biaya Tidak Tetap
No Uraian JumlahHarga satuan
(Rp)Total
1 Bensin 40 liter 10.000 400.000
Jumlah 400.000
Total biaya operasional = Biaya tetap + biaya tidak tetap
= Rp. 2.240.000 + Rp. 400.000
= Rp. 2.640.000,-
4.7.2 Analisa Rugi Laba
Tabel 4. Analisa rugi laba
Analisa Rugi laba (Per siklus) Jumlah (Rp)
Total biaya operasionalBiaya tetap dan biaya tidak tetap
2.640.000
Penerimaan376kg x Rp 2.500
940.000
Laba bersihTotal penerimaan – Total biaya
-1.700.000
4.7.3 Analisa Titik impas ( Break Even Point)
68
1. BEP (Unit) = BiayaTetap
Harga Jualunit
− BiayaVariabelunit
= 2.240 .000
2.500−400.000376
= 1.559,88 Kg
2. BEP (Rp) = BiayaTetap
1− BiayaVariabelProduksi terjual(Rp .)
= 2.240 .000
1−400.000940.000
= 3.926.824,-
4.7.4 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
B/CRatio= Total PenerimaanTotal BiayaOperasional
B/CRatio= 940.0002.640 .000
¿¿
= 0,35<1 = Tidak layak
Dari setiap biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp 2.640.000 maka
diperoleh penerimaaan Rp 940.000 artinya usaha tersebut tidak layak diteruskan.
69
BAB V
KESIMPULAN
Kegiatan praktek Budidaya Rumput Laut ( Eucheuma cottonii) dilakukan
di perairan Teluk Karangantu, Banten, yang terletak antara Pulau Lima dan Pulau
Pisang. Dasar perairan yang disekitar keramba jaring apung (KJA) adalah lumpur
berpasir, sedangkan di sekitar arah Pulau Pisang adalah pasir bercampur dengan
pecahan karang. Kedalaman perairan adalah 6-7 meter, kecerahan 2-4 meter dan
kecepatan arus 30-60 cm/detik.
Praktek Budidaya Rumput Laut ( Eucheuma cottonii) dilakukan dengan
menggunakan metode longline. Metode longline adalah metode budidaya
menggunakan tali panjang yang di bentangkan yang kemudian diikatkan pada tali
utama. Kontruksi budidaya yang digunakan adalah tali utama ukuran 10 mm, tali
rentang ukuran 5 mm, dan tali jalur 2,5 mm.
Penanaman rumput laut dilakukan dengan cara menurunkan rumput laut
yang telah dipasang pada tali titik yang terikat pada tali jalur. Tali jalur kemudian
diikatkan pada tali utama dengan jarak antar tali adalah 1,5 meter. Sebelum
penanaman, tali jalur yang sudah diikatkan bibit diberi pelampung menggunakan
botol bekas dengan jarak antar pelampung 2 meter. Perlakuan yang digunakan
dalam kegiatan budidaya rumput laut adalah perlakuan dengan jarak tanam 20
cm,30 cm dan 40 cm.
Perawatan rumput laut dilakukan sehari sekali sampai dengan dua kali
sehari. Perawatan rumput laut dilakukan dengan cara membersihkan rumput laut
70
dari lumpur dan hama penempel dengan menggunakan sikat gigi. Selain
pembersihan thallus juga dilakukan pembersihan tali dan lokasi budidaya dari
lumut,teritip, sargasum dan hama penempel lainnya.
Hama yang menyerang rumput laut selama krgiatan praktek berlangsung
adalah ikan baronang, penyu hijau, kepiting, lumut dan sargasum. Sedangkan
penyakit yang menyerang adalah penyakit ice-ice. Penyerangan penyakit ice-ice
diakibatkan karena pengaruh fluktruasi parameter kualitas air, luka dari bekas
gigitan ikan baronang, dan akibat arus dan gelombang yang besar.
Monitoring pertumbuhan dilakukan dengan cara sampling yang dilakukan
sekali seminggu. Sampling dilakukan dengan cara mengambil 3 titik dari masing-
masing jarak tanam yang kemudian ditimbang dan dirata-ratakan. Berdasarkan
hasil monitoring pertumbuhan selam kegiatan praktek berlangsung, didapat hasil
pertumbuhan yang tidak stabil. Hal ini dikarenakan serangan hama seperti ikan
baronang dan penyu serta akibat dari arus dan gelombang yang besar.
Pemanenan rumput laut dilakukan setelah bibit berumur 29 hari.
Pemanenan dilakukan pada pagi hari secara panen total dengan cara melepaskan
tali jalur dari tali utama, kemudian bibit yang ada pada tali jalur diangkut dengan
menggunakan long boat. Selama pengangkutan, bibit ditutup dengan
mengguankan terpal agar rumput laut tidak layu terkena sinar matahari. Bibit
ditampung dengan bak fiber. Bibit rumput laut kemudian dilepas dari ikatannya
dan selanjutnya ditimbang untuk mengetahui bobot akhir atau jumlah total panen.
Dari hasil perhitungan analisa usaha didapatkan hasil bahwa kegiatan
budidaya rumput laut ini kurang menguntungkan dengan kerugian Rp. 1.700.000,
sehingga kegiatan budidaya tersebut tidak layak untuk dilanjutkan.
Recommended