View
732
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
EDISI 2010
PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP ( DARI MASA HINDIA BELANDA,
PENDUDUKAN JEPANG DAN
ZAMAN KEMERDEKAAN )
SAID HAMID HASAN
2010
EDISI 2010
Reviewers: 1. Benny Karyadi
2. Mujiyem
3. Achmad Riyanto
4. Agus Suhardono
5. Juandanilsyah
UCAPAN TERIMAKASIH
Buku ini mencapai bentuknya seperti sekarang melalui banyak uluran tangan dan
kebijakan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
pengambil kebijakan dan pemberi uluran tangan dalam menyempurnakan buku
yang ada di hadapaan pembaca.
Pengambil kebijakan yang sangat menentukan kehadiran buku ini adalah
pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Mansyur Ramly. Buku ini dimunginkan
hadir karena program kerja Balitbang yang beliau pimpin . Oleh karena itu ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada beliau disertai harapan semoga buku ini
memenuhi tujuan program yang dikembangkan.
Pengambil kebijakan yang juga sangat menentukan kehadiran buku ini adalah
pimpinan Pusat Kurikulum (PUSKUR) yaitu Ibu Dra Diah Harianti, M.Pd. Secara
programatik keberadaan buku ini disebabkan oleh program langsung yang
dikembangkan Puskur. Dalam proses penulisan kebijakan pimpinan Puskur dalam
mengendalikan kegiatan penulisan baik pada pertemuan awal ketika
memformulasikan pokok pikiran, pengendalian waktu penulisan dan pertemuan
agar penulisan dapat selesai pada waktunya, dan pengendalian berbentuk masukan
selama masa penulisan. Oleh karenanya, ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada beliau dengan penuh hormat dan dari hati penulis yang paling dalam.
Selain Ketua Puskur, pimpinan Puskur lainnya banyak berkontribusi dalam
penulisan ini. Mereka adalah Dr Herry Widyastono yang secara langsung
mengatur pertemuan untuk kepentingan penulisan, Erry Utomo, Ph.D, Drs
Sutjipto, M.Pd, Drs.N.S.Vijaya,M.Ed., dan ibu Dr Sumiyati. Nama yang
terakhir ini bahkan secara teknis mengatur segala keperluan penulisan baik dalam
bentuk pertemuan, melengkapi dokumen yang diperlukan, serta hal-hal lain yang
sangat membantu memperlancar pekerjaan penulisan. Staf Puskur lain yang
banyak memberikan bantuan dalam kegiatan ini adalah Dra Neda Kasim dan Dra
Veronika. Secara khusus pak Ujang yang telah banyak membantu penulis dalam
i
proses menemukan naskah/dokumen kurikulum. Kepada mereka semua penulis
ingin menyampikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus.
Kepada tema-teman sesama penulis untuk kurikulum SD, SMA, SMK, PAUD
yang telah bahu membahu membantu mengatasi berbagai kesulitan penulisan,
penulis ucapkan banyak terimakasih dari hati yang paling dalam. Demikian pula
dengan teman di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI yang telah membantu
mencarikan, meminjamkan, dan mengkopikan berbagai sumber penulis
sampaikan ucapan terima kasih. Secara khusus mereka adalah Prof. Dr Rochiati
Wiraatmadja, Prof. Dr. Helius Sjamsuddin, Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd.,
Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum, Drs Sjarief Moeis, Dr Nana Supriatna, Dra.
Erlina ,M.Pd, Dra. Yani Kusmarni, M.Pd.
Kepada teman dari Nagoya University, Jepang yaitu Prof. Dr Mina Hattori dan Dr
Murni Ramly penulis menyampaikan terimakasih yang mendalam. Mereka yang
banyak membantu dalam penyediaan dokumen pendidikan di masa Pendudukan
Jepang yaitu dokumen yang diberi nama “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô,
Kurasawa” sangat berharga dalam penulisan ini.
Teman-teman yang mereviu tulisan awal yaitu Benny Karyadi, Mujiyem, Achmad
Riyanto, Agus Suhardono dan Juandanilsyah memberikan sumbangan yang
berharga untuk penyempurnaan penulisan buku ini. Kepada mereka penulis
sampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Kepada mereka yang namanya tak tersebutkan tetapi banyak memberikan
kontribusi dalam penyempurnaan buku, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terimakasih yang sama nilainya dengan yang telah disebutkan di atas.
Semoga amal dan bantuan tersebut mendapatkan limpahan rahmatNya. Amin.
Bandung, Desember 2010
Penulis
ii
KATA PENGANTAR
Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran perkembangan
pemikiran kurikulum SMP yang pernah dilakukan selama masa Penjajahan
Belanda, Pendudukan Jepang, dan Masa Kemerdekaan. Masa Kemerdekaan
adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun waktu dan jumlah naskah
kurikulum SMP yang pernah dikembangkan. Pengembangan Kurikulum pada
Masa Kemerdekaan yang dikaji dimulai dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia
ketika suasana kehidupan kenegaraan Indonesia masih berada dibawah ancaman
agresi meliter Belanda, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum SMP pada
masa Pemerintahan Parlementer, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan diakhiri
pada masa Reformasi. Kerangka perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia
digunakan sebagai periodesasi kajian pengembangan kurikulum SMP karena
pengembangan keberlakuan suatu kurikulum selalu dipengaruhi oleh kebijakan
politik selain faktor-faktor yang bersifat akademik dan perkembangan di bidang
ilmu dan teknologi.
Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang dikemukakan di atas
terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen kurikulum. Kajian ini paling
dimungkinkan mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini dokumen
kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain yaitu implementasi kurikulum yang
disebut juga dengan istilah “implemented curriculum”, “observed curriculum”
atau “taught curriculum” tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber yang dapat
dikatakan sangat tidak memungkinkan membangun rekonstruksi yang dapat
memberikan gambaran yang adil. Laporan, hasil evaluasi, atau pun hasil
penelitian tentang implementasi kurikulum hanya berkenaan dengan kejadian
yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Untuk menghindari gambaran yang
tidak adil maka buku ini tidak melakukan kajian mengenai dimensi implementasi
kurikulum.
Dimensi kurikulum yang ketiga yaitu hasil tidak pula dikaji dalam buku ini
sehingga gambaran mengenai kualitas tamatan SMP dari setiap dokumen
kurikulum yang dikaji tidak direkonstruksi dalam buku ini. Alasan yang sama
v
dengan ketiadaan kajian terhadap dimensi kedua kurikulum, implementasi
kurikulum, berlaku pula bagi ketiadaan kajian dimensi hasil kurikulum. Hasil-
hasil yang diperoleh peserta didik dari ujian nasional baik yang dinamakan
Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) mau pun Ujian Nasional (UN)
memiliki kelemahan mendasar dalam validitas kurikulum. Soal-soal ujian yang
dikembangkan untuk evaluasi nasional tersebut tidak memiliki validitas
kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan walau pun memiliki validitas isi
yang dapat dipertanggungjawabkan.1
Dalam analisis yang dilakukan untuk setiap kurikulum diupayakan untuk
mengungkapkan landasan filosofis dan teoritik yang digunakan dalam
pengembangan kurikulum. Keberlanjutan dan perubahan yang terjadi dalam
landasan filosofis dan teoritik memberikan gambaran tentang terjadinya
perbedaan dalam struktur, organisasi konten kurikulum, beban belajar, dan juga
format dokumen kurikulum yang dikembangkan. Dari analisis yang dilakukan
tersebut berbagai hal yang terkait dengan masalah miskonsepsi diungkapkan agar
pembaca buku dapat mengambil makna dan memberikan penilaian yang lebih
baik terhadap kurikulum.
Dilihat dari aspek kelembagaan yang telah mengembangkan kurikulum pada masa
kemerdekaan, pengembangan kurikulum pada masa kemerdekaan dapat dibagi
atas tiga periode yaitu periode pengembangan oleh lembaga teknis, periode
pengembangan lembaga pengembang kurikulum khusus yaitu Puskur, dan periode
dimana pengembangan kurikulum menjadi wewenang satuan pendidikan . Sampai
tahun 1968, kurikulum SMP dikembangkan oleh lembaga teknis yang sekarang
bernama Direktorat SMP. Kurikulum SMP 1975 adalah kurikulum pertama yang
dikembangkan oleh lembaga yang didirikan dengan tugas khusus untuk
pengembangan kurikulum yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Kurikulum
1 Validitas kurikulum berkenaan dengan pengukuran kualitas tamatan yang dinyatakan dalam tujuan kurikulum, bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan. Kualitas dalam kemampuan intelektual, afektif dan psikomotor yang tercantum dalam tujuan kurikulum tidak terujikan dalam ujian nasional yang disebutkan di atas. Validitas konten dalam ujian nasional yang disebutkan di atas terbatas pada pokok bahasan yang diujikan dan pada tujuan dlam aspek pengetahuan dari pokok bahasan terkait.
vi
(PUSKUR). Periode ini berlangsung sampai tahun 2004 yaitu ketika pusat ini
berhasil mengembangkan kurikulum yang awalnya bernama Kurikulum Berbasis
Kompetensi pada tahun 2001 dan naskah terakhir dinamakan Kurikulum 2004.
Pada masa Reformasi pengembangan kurikulum menjadi tanggungjawab
Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Kurikulum tingkat
nasional yang dikembangkan Pemerintah berbentuk Struktur Kurikulum berlaku
secara nasional. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengawasi dan
memberikan arahan terhdap pengembangan kurikulum di tingkat satuan
pendidikan. Kurikulum lengkap dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan
diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Ucapan Terimakasih.............................................................................. i
Sambutan Kabalitang. ........................................................................... iii
Sambutan Ka Puskur ............................................................................. iv
Kata Pengantar ...................................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xii
DAFTAR FOTO ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................... 1
A. Istilah Kurikulum Sebagai Pengganti Leerpla .................... 1
B. Perubahan Nama SMP dari MULO, Shoto Chu Gakko,
SLTP, SMP ......................................................................... 4
C. Kurikulum Sebagai “Public Policy” dan “Academic/
Educational Innovation”...................................................... 6
D. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan
Kurikulum ........................................................................... 9
BAB II KURIKULUM SMP (MULO) PADA MASA HINDIA
BELANDA ......................................................................... 15
A. Kelahiran MULO Dalam Sistem Persekolahan Zaman
Hindia Belanda................................................................... 15
B. Tujuan Pendidikan MULO ................................................. 21
C. Mata Pelajaraan dalam Leerplan MULO............................ 21
viii
BAB III KURIKULUM SMP (SHOTO CHU GAKKO) PADA
MASA PENDUDUKAN JEPANG .................................... 26
A. Kebijakan Pendidikan Masa Pemerintahan Pendudukan
Jepang.................................................................................. 26
B. Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum Shoto Chu
Gakko .................................................................................. 27
BAB IV KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL
KEMERDEKAAN.............................................................. 33
A. Perkembangan dalam Kebijakan Pendidikan ..................... 33
B. Daftar Pelajaran .................................................................. 43
BAB V KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN
KABINET PARLEMENTER ............................................. 49
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 49
B. Filsafat Kurikulum SMP 1954............................................ 52
C. Tujuan Kurikulum SMP 1954 ............................................ 53
D. Rencana Pelajaran SMP 1954............................................. 63
E. Komponen Rencana Pelajaran SMP 1954.......................... 65
BAB VI KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE
LAMA................................................................................. 71
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 71
B. Kurikulum SMP Gaya Baru................................................ 74
C. Tujuan Pendidikan SMP ..................................................... 81
D. Mata Pelajaran Kurikulum SMP Gaya Baru ...................... 81
ix
BAB VII KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN
ORDE BARU ..................................................................... 85
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 85
B. Kurikulum SMP 1968......................................................... 87
C. Kurikulum SMP 1975......................................................... 95
D. Kurikulum SMP 19841....................................................... 26
E. Kurikulum SMP 19941....................................................... 44
BAB VIII KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI............ 155
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 155
B. Kurikulum 2004.................................................................. 157
C. KTSP................................................................................... 156
BAB IX MENATAP KURIKULUM SMP MASA DEPAN............... 187
DAFTAR BACAAN............................................................................. 193
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Leerplan MULO.................................................................... 22
Tabel 3.1 Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Kuriku Shoto Chu Gakko 29
Tabel 3.2 Hari Libur Sekolah................................................................ 30
Tabel 3.3 Buku Pelajaran Untuk Shoto Chu Gakko di Jakarta ............. 32
Tabel 4.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1947-
1950....................................................................................... 45
Tabel 5.1 Kelompok dan Tujuan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran
SMP 1954.............................................................................. 57
Tabel 5.2 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1954 . 63
Tabel 6.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1962 . 82
Tabel 7.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1968 . 91
Tabel 7.2 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1975 ............. 114
Tabel 7.3 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 ............. 133
Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1994 ............. 151
Tabel 8.1 Struktur Program Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah
2001 ...................................................................................... 169
Tabel 8.2 Struktur Kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah 2004 . 171
Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP/MTs dalam Standar Isi ................ 180
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sistem Pendidikan dan Persekolahan Hindia-Belanda......... 22
Gambar 2 Heirarki Tujuan Pendidikan ................................................. 100
xii
DAFTAR FOTO
Foto 1 Gedung MULO................................................................................... 15
Foto 2 Gedung Shoto Chu Gakko .................................................................. 26
Foto 3 Gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ........................................ 43
Foto 4 Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 150
xiii
PENDAHULUAN
A. ISTILAH KURIKULUM SEBAGAI PENGGANTI LEERPLAN
(RENCANA PELAJARAN)
Istilah kurikulum merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia baru merdeka dan menyatakan dirinya berdaulat atas
wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda dunia pendidikan di Indonesia
belum menggunakan istilah kurikulum. Istilah yang digunakan pada awal
kemerdekaan sampai dengan tahun enampuluhan adalah rencana pelajaran dan
daftar mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda leerplan dan
leervak. Memang tidak dapat disangkal bahwa literatur kurikulum menyebutkan
daftar mata pelajaran (list of courses) sebagai salah satu makna awal dari istilah
kurikulum. Istilah kurikulum baru digunakan di Inggeris pada awal abad ke 19
(1820) oleh Galsgow University dari bahasa Latin curere ( Tanner dan Tanner,
1980; Henderson dan Gornik, 2007:2) yang secara harfiah artinya adalah lari
tetapi pada awal abad ke 19 tersebut berubah maknanya menjadi daftar mata
pelajaran. Istilah kurikulum mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad
ke 201 (Tanner dan Tanner, 1980:4) setelah mengalami perubahan makna yang
sangat berbeda dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran.
Istilah kurikulum mulai masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur
kependidikan Amerika Serikat menjelang akhir tahun 60-an abad ke 20. Menurut
Longstreet dan Shane (1993:21) istilah kurikulum di Amerika baru dikenal umum
pada awal abad ke 20 walau pun seperti mereka akui bahwa filosof Jerman Johann
Friedrich Herbatt telah mengembangkan pikiran tentang kurikulum sebagai “a
systematic approach to the organization and selection of content as well as to
instructional delivery” pada pertengahan abad ke 19. Di Amerika Serikat,
pemikiran tentang kurikulum pada mulanya berkembang pada akhir abad ke 19
1 Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah istilah umum yang digunakan bersamaan dengan istilah didaktik.
1
dengan pembentukan Committee of Ten yang antara lain diketuai oleh Charles
Eliot dari Harvard University (Longstreet dan Shane, 1993: 22-23). Pada tahun
1918 tokoh pendidikan Amerika Serikat yang bernama Franklin Bobbitt dari
University of Chicago menerbitkan buku yang berjudul The Curriculum, buku
pertama yang menggunakan judul kurikulum. Pada tahun 1924 Bobbitt
menerbitkan buku baru yang diberi judul How to Make a Curriculum (Longstreet
dan Shane, 1993:29). Pada tahun 1927 National Society for the Study of
Education (NSSE) menerbitkan buku tahunan ke 26 organisasi ini dengan nama
Curriculum Making:Past and Present yang menurut kedua penulis tadi (Longsreet
dan Shane, 1993:32) kebangkitan awal bidang studi kurikulum sebagai suatu
pekerjaan profesional. Dalam buku tahunan NSSE, Harold Rugg sebagai editor
menyatakan tugas pengembangan kurikulum adalah (1) menentukan objektif
kurikulum, (2) seleksi materi dan aktivitas yang sesuai, dan (3) menentukan
organisasi dan tata urut materi dan aktivitas (Longstreet dan Shane, 1993:32).
Secara implisit buku tersebut menuntut adanya studi yang ilmiah dalam
pengembangan rencana dan evaluasi menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk
menentukan efektivitas kurikulum.
Meski pun Bobbitt dianggap bapak kurikulum di Amerika Serikat, tokoh
pendidikan seperti John Dewey (1916) dan terutama Ralph Tyler (1942) dianggap
oleh banyak akhli sebagai pelopor pemikir kurikulum modern dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles of
Curriculum and Instruction, Tyler mengubah makna kurikulum secara mendasar
dan membedakannya secara mendasar pula dari pengertian kurikulum sebagai
daftar mata pelajaran atau pun sebagai pengalaman belajar. Tyler (1942)
memperbaiki komponen kurikulum yang dikembangkan oleh Harold Rugg dengan
mengemukakan empat komponen yang terkait dengan kurikulum yaitu tujuan,
konten, organisasi konten, dan penilaian hasil belajar. Komponen penilaian hasil
belajar merupakan penyempurnaan yang dilakukan Tyler terhadap pemikiran
Harold Rugg. Sejak itu berbagai definisi kurikulum dirumuskan oleh mereka
yang secara khusus mendalami dan mengembangkan bidang studi kurikulum
2
tetapi keempat komponen yang dikemukakan Tyler tetap menjadi fokus
pengembangan utama kurikulum dalam setiap konstruksi dokumen kurikulum.
Pada tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar buku-buku
pendidikan dari Amerika Serikat dan Inggeris dan banyak pula di antara mereka
melanjutkan studi di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Mereka membaca
buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris tersebut dan berkenalan
dengan istilah kurikulum. Istilah kurikulum mulai masuk menjadi istilah teknis
dalam literatur dunia pendidikan Indonesia tetapi secara resmi, istilah kurikulum
di Indonesia baru digunakan pada tahun 1968 (Dokumen Kurikulum 1968)
ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 menggantikan
kurikulum yang berlaku sebelum 1964 yang masih berjudul Rencana Pelajaran
(Dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru). Sejak 1968, istilah kurikulum
digunakan secara meluas dalam berbagai kebijakan pendidikan dan literatur
pendidikan di Indonesia. Berbagai akhli kurikulum yang secara akademik belajar
tentang bidang ini mulai dimiliki bangsa Indonesia memperkaya kelompok yang
telah berpengalaman dalam mengembangkan Rencana Pelajaran (kurikulum).
Kehadiran Pusat Pengembangan Kurikulum dan Alat Pendidikan, yang ketika
naskah ini ditulis bernama Pusat Kurikulum, serta kehadiran program studi
Kurikulum di berbagai IKIP memperkuat kelompok yang bekerja dan melakukan
studi akademik dalam bidang kurikulum.
Meski pun demikian, harus diakui bahwa meninggalkan makna kurikulum sebagai
daftar mata pelajaran bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam realita pengembangan
kurikulum dan kebijakan kurikulum seringkali masih dikungkung oleh makna
kurikulum sebagai daftar mata pelajaran walau pun ada usaha nyata yang
dilakukan dalam kurikulum 1954. Dalam pelaksanaan atau implementasi
kurikulum di sekolah, kurikulum masih diperlakukan sebagai daftar mata
pelajaran. Memang mengubah sebuah kerangka berpikir dan pola tindakan bukan
merupakan sesuatu yang mudah, perlu kesadaran tinggi tentang makna baru secara
konsisten dan membangun pola tindakan baru yang sesuai dengan makna baru itu
3
merupakan perubahan yang seringkali baru terjadi dalam waktu yang panjang
apabila diupayakan secara konsisten.
Pada saat sekarang, secara resmi kurikulum diartikan sebagai “seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI nomor 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat
(19)). Rumusan pengertian kurikulum yang digunakan dalam UU RI nomor 20
tahun 2003 tersebut menyatukan tiga dimensi utama kurikulum yaitu dimensi
rencana (curriculum as intended, planned, document) dan dimensi proses
(implementasi) dan kurikulum sebagai hasil (product) dalam satu kesinambungan.
B. PERUBAHAN NAMA SMP DARI MULO, SHOTO CHU GAKKO, SLTP,
SMP
Sejak kemerdekaan, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami
perubahan nama beberapa kali. Pada zaman penjajahan Belanda ada sekolah yang
bernama MULO2 (untuk mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan di HIS3,
HCS, dan ELS4), serta HBS5 (untuk lanjutan tamatan ELS dan HCS).
Pada masa Pendudukan Meliter Jepang dikenal adanya Shoto Chu Gakko6. Shoto
Chu Gakko adalah sekolah yang dianggap sederajat dengan MULO dan yang pada
masa awal kemerdekaan dan sekarang dikenal dengan nama SMP. Perbedaan
yang mendasar dengan Mulo adalah Shoto Chu Gakko boleh menggunakan
bahasa Indonesia tetapi bahasa Belanda dilarang. Meski pun demikian, nama
2 MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Rendah yang Diperluas), bahasa pengantar Bahasa Belanda 3 HIS = Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar untuk pribumi), bahasa pengantar Bahasa Belanda 4 ELS = Europesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa), bahasa pengantar Bahasa Belanda 5 HBS = Hogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) untuk mereka yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi dikembangkan dari seksi B Gymnasium Koning Willem III pada tahun 1867 di Jakarta (Nasution,1983:130; Djumhur dan Danasaputra, 1974:128). 6 Gunawan (1986), Kebijakan‐Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bina Aksara
4
MULO tetap tercantum dalam salah satu dokumen Jepang tentang pendidikan di
pulau Jawa yang berjudul “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô”.
Setelah Indonesia berdiri sebagai negara merdeka, nama Sekolah Menengah
Pertama (SMP) mengalami berbagai pergantian. Barangkali dapat dikatakan
bahwa perubahan nama SMP yang terjadi di Indonesia menunjukkan dinamika
yang lebih tinggi dibandingkan negara mana pun di dunia, apalagi jika diingat
bahwa SMP sebagai suatu satuan pendidikan yang berdiri sendiri merupakan
suatu yang unik Indonesia. Pewarisan sistem persekolahan dari zaman penjajahan
Belanda yang kemudian diteruskan oleh pendudukan meliter Jepang dan
diformalkan dalam berbagai ketetapan legal di Indonesia memberikan dasar
hukum yang kuat bagi esksistensi SMP sebagai satuan pendidikan yang mandiri.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1950, sekolah yang disebut dengan
istilah Mulo atau pun Shoto Chu Gakko, disebut dengan nama Sekolah Menengah
Umum Tingkat Pertama disingkat SMP. Kata atau istilah umum pada nama SMP
digunakan karena sampai tahun 1973 Indonesia masih mengenal adanya sekolah
kejuruan seperti Sekolah Teknik Tingkat Pertama (STP), Sekolah Menengah
Ekonomi tingkat Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Pertanian Pertama
(SMPP), Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP), dan sekolah menengah
keguruan yaitu Sekolah Guru B (SGB). Nama-nama sekolah kejuruan dan
keguruan tersebut sangat eksplisit sehingga sangat kecil menimbulkan salah
persepsi bahwa sekolah-sekolah tersebut berkenaan dengan persiapan peserta
didik dalam satu vokasi tertentu. Untuk SMP adanya kata umum memperjelas
posisi sekolah tersebut sebagai sekolah yang tidak dirancang untuk
mengembangkan pendidikan dalam vokasi. Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003
Pasal 17 ayat (2) SMP adalah singkatan dari Sekolah Menengah Pertama, sudah
tidak lagi menggunakan kata umum di dalam nama penuhnya.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 nama SMP diubah menjadi
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) walau pun pada waktu Indonesia
5
hanya memiliki satu jenis sekolah pada jenjang ini. Jadi, SLTP adalah nama diri
sekolah seperti halnya SMP, dan bukan nama kelompok sekolah/satuan
pendidikan di jenjang lanjutan pertama. SMA yang dalam undang-undang yang
sama diubah menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) sebagai anggota dari
SLTA atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebagai nama kelompok satuan
pendidikan. Anggota lain dari SLTA adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Perubahan nama SLTP terjadi lagi sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang nomor 20 tahun 2003 yaitu ketika SLTP kembali menjadi SMP,
singkatan dari Sekolah Menengah Pertama (UU nomor 20 tahun 2003, Pasal 17)
tanpa ada kata umum. Sedangkan sekolah dibawah Departemen Agama yang
sederajat dengan SMP dan diakui oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memberikan nama kelompok satuan
baik untuk jenjang menengah pertama mau pun menengah atas.
C. KURIKULUM SEBAGAI “PUBLIC POLICY” DAN “ACADEMIC/
EDUCATIONAL INNOVATION ”
Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan
berlaku oleh pemerintah berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar
masyarakat langsung atau tidak langsung, berdampak kepada pembiayaan (cost)
yang harus dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada
kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata
kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum secara langsung. Oleh karena itu
kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan pendidikan apabila
tidak mendapat dukungan politik (politically viable) bangsa. Aspek kurikulum
yang paling banyak berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum.
Aspek ini menyatakan secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan
dikembangkan melalui pengembangan potensi setiap individu peserta didik.
6
Aspek ide kurikulum merupakan ketentuan tentang filosofi, teori serta model
kurikulum untuk mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, jika pendidikan
untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun (Wajib Belajar 9
Tahun) maka kualitas minimal yang harus dimiliki setiap anak bangsa Indonesia
mereka miliki setelah mengikuti proses pendidikan selama 9 tahun (SD/MI dan
SMP/MTs). Oleh karenanya, kurikulum pendidikan dasar harus mampu
mengembangkan materi dan proses pendidikan dimana setiap peserta didik
memiliki kesempatan dan kemampuan mengembangkan potensi dirinya menjadi
kualitas yang dimaksudkan. Posisi yang menempatkan kurikulum pendidikan
dasar menyandang peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kualitas dasar bagi seluruh manusia Indonesia, menjadikan kurikulum
SD/MI dan SMP/MTs sebagai suatu kebijakan pendidikan yang kritikal dan
fundamental. Kegagalan dalam upaya mengembangkan potensi menjadi kualitas
yang diperlukan akan menimbulkan dampak yang sangat mungkin tidak
diinginkan, dalam kehidupan pribadi yang bersangkutan dan bangsa di berbagai
dimensi kehidupan pribadi, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Pendidikan
menengah apalagi pendidikan tinggi tidak dalam posisi yang kritikal dan
fundamental sebagaimana kurikulum pendidikan dasar karena pendidikan
menengah dan tinggi tidak dalam posisi untuk mengembangkan kualitas minimal
yang dipersyaratkan bagi seluruh bangsa Indonesia tapi bagi mereka yang terpilih
berdasarkan kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang warganegara. Tentu
saja suatu bangsa memerlukan warga yang memiliki kualitas dasar, kualitas
lanjutan, dan kualitas tinggi dan karenanya secara keseluruhan pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi sangat diperlukan bangsa.
Kurikulum sebagai kebijakan publik dituangkan dalam bentuk dokumen,
direalisasikan dalam bentuk dimensi proses kurikulum yaitu pembelajaran, dan
diwujudkan dalam bentuk hasil belajar. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai
rancangan bagi landasan pengembangan dimensi proses kurikulum sedangkan
dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil
langsung dari pengalaman belajar mereka dalam dimensi proses pembelajaran.
Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu sebagai “curriculum ideas, a written
7
plan where the ideas are planned and documented, the experiences the students
have as teachers realize the ideas in the document into reality or learning
process, and the product, outcomes or the competencies the students have as the
direct result from the experiences ( Hasan, 2009) merupakan satu keseluruhan
proses pengembangan kurikulum (curriculum development).
Kurikulum adalah suatu hasil pemikiran inovatif para pengembang sebagai
jawaban terhadap apa yang diperlukan masyarakat (hasil dari “need analysis”).
Seperti dikemukakan Oliva (1992) curriculum is a product of its time. . .
Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions,
psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at
its moment in history. Oleh karena setiap terjadi perkembangan dalam masyarakat
yang berdampak luas dan menghendaki adanya kualitas baru dari anggota
masyarakatnya maka diperlukan suatu kurikulum baru. Kurikulum adalah
jawaban atau hipotesis pendidikan terhadap kebutuhan pengembangan potensi
peserta didik menjadi kualitas baru yang diperlukan untuk kehidupan dirinya
sebagai warganegara.
Dalam jawaban tersebut yaitu kurikulum baru selalu terkandung suatu inovasi.
Ruang lingkup atau “magnitude” inovasi suatu kurikulum baru beragam, dapat
berkenaan dengan sesuatu yang besar dan meliputi aspek filosofis, teoritik, model
sampai ke berbagai komponen dokumen kurikulum. Ruang lingkup inovasi
kurikulum baru tersebut dapat pula merupakan sesuatu yang sangat kecil dan
hanya berkenaan dengan satu komponen kurikulum tapi memiliki nilai pendidikan
yang signifikan. Semakin rumit dan luas kualitas baru yang dibutuhkan
masyarakat maka semakin besar pula ruang lingkup inovasi suatu kurikulum baru.
8
D. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Suatu kurikulum diganti, diubah atau dipertahankan tergantung pada tiga
kelompok utama faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum. Ketiga
faktor tersebut adalah perubahan politik, perkembangan ilmu dan teknologi, dan
perkembangan sosial-budaya-ekonomi. Ketiga kelompok faktor tersebut
berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum sebagai kebijakan publik/pendidikan
di negara mana pun, dan ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut berubah
terutama faktor politik maka kurikulum sebagai suatu kebijakan publik/
pendidikan akan berubah.
1. Faktor Politik
Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia
mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan
kekuatan politik dari kehidupan politik yang semulanya didominasi oleh
kekuatan komunis ke kekuatan politik yang didominasi kekuatan anti
komunis. Ketika terjadi perubahan kekuatan politik tersebut maka pemerintah
segera mengeluarkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968
menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu Rencana Pelajaran SMP Gaya
Baru tahun 1964. Penggantian kurikulum Gaya Baru menjadi kurikulum 1968
bersifat sementara untuk mengatasi masalah ideologi komunis, demokrasi
terpimpin dan ekonomi terpimpin yang dianggap sudah tidak sesuai untuk
kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada
dasarnya secara teknis perubahan tersebut terjadi hanya dengan menghapus
bagian-bagian tertentu konten kurikulum yang berkenaan dengan ajaran
komunisme. Perubahan tersebut memang membuktikan adanya pengaruh
politik yang sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri terhadap kurikulum
(Appel, 1979: 13; Giroux, 1981: 21-22; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah
isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu kekuatan
yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses
pendidikan dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa
9
kekuatan resmi yang dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga
dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat dan secara langsung
berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.
Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik
dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil
kebijakan di bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala
sekolah/komite sekolah). Kemauan politik dimiliki pula oleh sejumlah orang
yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan
kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil
kebijakan itu mungkin para politisi, “pressure groups”, akademisi, orang tua,
atau komunitas tertentu di masyarakat.
Pengaruh politik atau kekuatan politik (termasuk tekanan sosial) tidak dapat
dilepaskan atau pun diabaikan dalam proses pengembangan kurikulum mana
pun dan di negara mana pun. Pengaruh politik atau kekuatan politik paling
kecil adalah pengaruh terhadap kurikulum akademik perguruan tinggi karena
lembaga perguruan tinggi dilindungi dan dikembangkan sebagai lembaga yang
memiliki otonomi penuh di bidang akademik. Berbeda dari kurikulum
akademik, kurikulum profesi dan vokasional yang dikembangkan di perguruan
tinggi sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat yang menjadi pemegang
profesi dan tergabung dalam organisasi profesi.
Untuk mengurangi pengaruh politik dan masyarakat terhadap pengembangan
kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, di berbagai negara
kurikulum perekolahan dikembangkan oleh perguruan tinggi. Kebijakan
tersebut tidak menyebabkan para pengembang kurikulum dapat melepaskan
diri dari pengaruh politik dan kekuatan masyarakat. Pengaruh politik dan
masyarakat paling kecil adalah dalam bentuk apa yang tidak boleh
dikembangkan kurikulum baik terutama dalam komponen konten, proses
pendidikan atau pun penilaian hasil belajar. Pengaruh tersebut menyebabkan
suatu kurikulum hanya dapat digunakan oleh satuan pendidikan jika
10
kurikulum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan
masyarakat (politically viable).
2. Pengaruh ilmu dan teknologi
Ilmu dan teknologi merupakan faktor kuat yang banyak berpengaruh terhadap
perubahan kurikulum. Termasuk dalam disiplin ilmu yang dimaksudkan di
sini adalah disiplin ilmu seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi,antropologi, politik dan ilmu pendidikan. Sudah
sejak awal, sejak istilah kurikulum belum digunakan, perkembangan ilmu
selalu berpengaruh terhadap kurikulum (Benjamin, 1939; Taba, 1962; Saylor
dan Alexander, 1967; Kliebard, 1965; Henderson dan Kesson, 2004)
Perkembangan materi suatu disiplin ilmu baik materi substantif mau pun
materi ketrampilan, terutama materi disiplin ilmu yang langsung menjadi
materi mata pelajaran tentu akan mengharuskan terjadinya perubahan
kurikulum. Contoh dalam dunia pendidikan Indonesia misalnya adalah ketika
matematika memperkenalkan apa yang dinamakan matematika modern. Mata
pelajaran yang dulunya namanya aljabar, ilmu ukur dan ilmu pasti menjadi
matematik. Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia
digabungkan menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Perkembangan dalam teknologi mengubah kurikulum baik dalam konten mau
pun dalam proses pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi akhir-akhir ini menunjukkan kebutuhan akan pentingnya
perubahan kurikulum. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan
peluang besar dalam penerapannya dalam kurikulum untuk memudahkan
peserta didik mengakses sumber informasi, berbagai jenis informasi tetapi
juga menuntut agar peserta didik menguasai berbagai ketrampilan teknis yang
terkait dengan aplikasi alat-alat teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan dalam dunia ilmu pendidikan termasuk filsafat berpengaruh
terhadap perubahan kurikulum. Filosofi kurikulum sebagaimana dikatakan
11
oleh Schubert (1986:113) adalah jantung pengembangan kurikulum. Ia
mengatakan:
Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. . . . John Dewey (1916) supported this emphasis when he suggested that education is the testing ground of philosophy itself
Pendapat serupa dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dan Oliva
(1997). Tanner dan tanner (1980: 103) bahkan menyatakan bahwa filosofi
kurikulum berpengaruh dan menjadi sumber dalam proses pengembangan
kurikulum. Sedangkan Oliva (1997:190) mengatakan bahwa setiap
pengembang kurikulum harus sadar filosofi yang berpengaruh pada dirinya
ketika mereka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum. Sebagai contoh,
filosofi kurikulum essensialisme dan perenialisme sangat menekankan pada
pandangan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu
mengembangkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional. Atas dasar
filosofi ini, kurikulum harus mengembangkan pendidikan disiplin ilmu
sehingga konten kurikulum adalah konten disiplin ilmu dan tentu saja setiap
perkembangan yang terjadi dalam konten disiplin ilmu menghendaki
perubahan kurikulum. Ketika filosofi lain seperti eksperimentalisme,
humanisme dan rekonstruksi sosial menjadi landasan pengembangan
kurikulum maka pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari disiplin ilmu
tetap diperlukan. Pengetahuan dari disiplin ilmu berupa fakta, konsep,
generalisasi atau juga teori merupakan persyaratan awal untuk mengenal dan
memahami ketrampilan atau pun nilai yang akan dikembangkan. Pengetahuan
merupakan sesuatu yang diperlukan otak untuk mengembangkan kemampuan
kognitif tetapi juga kegiatan kognitif memberikan hasil berupa pengetahuan
baru. Kemampuan kognitif seperti memahami, menggunakan/ menerapkan,
menganalisis, dan mengevaluasi menjadi dasar kuat bagi seseorang untuk
mengembangkan kemampuan kognitif tertinggi yaitu menghasilkan suatu
pengetahuan baru atau produk baru dalam berbagai bentuk.
12
3. Perkembangan sosial-budaya-ekonomi
Sosial-budaya adalah landasan pengembangan suatu kurikulum. Pewarisan
nilai-nilai budaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan kurikulum sebab pada dasarnya kurikulum adalah salah satu
landasan pengembangan kurikulum (Smith, Stanley, dan Shores, 1957; Taba,
1962). Perkembangan fokus dan unsur nilai yang harus diwariskan pendidikan
kepada generasi muda akan memberikan dasar yang kuat untuk suatu
kurikulum berubah. Ketika fokus dan unsur nilai berhimpit dengan
kepentingan politik maka perubahan pada fokus dan unsur nilai semakin tinggi
frekuensinya. Pada saat itu maka adanya perubahan kurikulum semakin tinggi
pula.
Kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat selalu berubah. Pengaruh
politik, ilmu, dan teknologi akan lebih mempercepat perubahan yang terjadi
dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat. Perubahan yang
terjadi melahirkan berbagai kebutuhan akan kemampuan baru yang harus
dimiliki anggota masyarakat. Kemampuan baru yang dituntut oleh perubahan
kehidupan sosial-budaya-ekonomi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan
baru, ketrampilan kognitif baru, sikap baru, nilai baru, dan kebiasaan baru.
Hal-hal baru itu merupakan tambahan, penyempurnaan atau bahkan
mengganti hal-hal lama yang sudah ada. Ketrampilan baru yang dihasilkan
oleh hal-hal baru merupakan dorongan atau faktor yang kuat untuk mengubah
kurikulum.
Perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan sosial-budaya-
ekonomi tak bisa dihindari kurikulum. Kurikulum mempunyai peran yang
sangat penting untuk melayani kepentingan masyarakat (Taba, 1962; Saylor
dan Alexander, 1974). Dinamika masyarakat adalah dinamika kurikulum dan
masyarakat berkembang jika kurikulum memberikan hasil dengan kualitas
peserta didik yang mampu mengembangkan masyarakat. Pada gilirannya,
masyarakat memerlukan kualitas baru akibat dari kemajuan atau
perkembangan yang mereka miliki. Oleh karena itu apa yang terjadi di
13
masyarakat akan berpengaruh terhadap kurikulum dan sebaliknya apa yang
diberikan kurikulum kepada masyarakat akan menimbulkan perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat.
14
KURIKULUM SMP (MULO) PADA ZAMAN HINDIA BELANDA
Foto 1: MULO di Bandung pada tahun 1919 Sumber: Foto dari Priambodo, tersedia pada http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/190
A. KELAHIRAN MULO DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN ZAMAN
HINDIA BELANDA
Pendidikan barat di Indonesia sudah diperkenalkan sejak masa awal
kekuasaan Portugis di Indonesia yaitu dengan pendirian sekolah seminari di
Ternate pada tahun 1536 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976:
115). Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah untuk menyebarkan agama
Katolik, sesuai dengan semboyan “gold, glory, and gospel” ketika bangsa
Portugis menjelajah dan menjajah wilayah di luar benua Eropa. Pendidikan
15
barat dalam skala yang lebih luas dari sekolah seminari, diperkenalkan
kongsi dagang Belanda yang bernama “Vereenigde Oost-Indische
Compagnie” (VOC) di Ambon pada tahun 1607 (Nasution, 2008:4; Djumhur
dan Danasaputra, 1976:116). Ajaran agama yang diperkenalkan adalah Kristen
Protestan (Calvinisme, Lutherian) yang telah berkembang di Eropa sejak awal
abad ke 16 termasuk Belanda dan di Indonesia secara resmi dinamakan
Kristen untuk membedakannya dari Katolik. Baik Portugis mau pun Belanda
(VOC) berkonsentrasi mendirikan sekolah di daerah Maluku di masa awal
kekuasaan mereka karena Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah
yang terkenal di Eropa pada masa itu, dan menjadi daerah tujuan utama
Portugis dan Belanda ke Indonesia. Kurikulum pada waktu itu
mengembangkan proses pembelajaran yang berkenaan dengan ajaran-ajaran
agama.
Setelah VOC menduduki Jayakarta, mengubah namanya menjadi Batavia,
VOC mulai membangun sistem administrasi pemerintahan dan perdagangan.
Untuk itu VOC memerlukan tenaga kerja trampil terutama di bidang
administrasi. Pada tahun 1630 VOC membuka sekolah di Jakarta dengan
pelajaran yang utama adalah membaca, menulis, berhitung ditambah dengan
pendidikan agama Kristen seperti “memupuk rasa takut kepada Tuhan, dasar-
dasar agama Kristen, berdo’a, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua,
penguasa dan guru” (Nasution, 2008:5). Kurikulum seperti itu adalah sesuatu
yang umum pada masa itu dan untuk sekolah VOC ditetapkan oleh lembaga
pimpinan tertinggi VOC yang dinamakan De Heeren XVII.
Kebijakan pendidikan VOC pada masa itu tidak sepenuhnya memisahkan
sekolah untuk anak-anak Eropa dengan pribumi terpilih. Mereka bersekolah
bersama terutama disebabkan karena jumlah anak-anak Eropa masih terbatas
dan misi untuk menyebarkan agama Kristen (Nasution, 2008:6; Djumhur dan
Danasuparta, 1976:116) yang ditujukan kepada anak Indonesia7. Pada bulan
Desember 1799 VOC dibubarkan dan kekuasaan di Indonesia langsung berada
7 Nama Indonesia dan pribumi digunakan silih berganti dengan pengertian yang sama karena pada masa VOC nama Indonesia belum dikenal/digunakan.
16
di bawah parlemen Belanda. Pemerintahan Belanda di Indonesia dinamakan
Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Berbagai kebijakan
pendidikan baru pun dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk
anak-anak keturunan Eropa, Cina, dan pribumi dengan sekolah yang berbeda
pula. Pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs) dikembangkan
khusus dengan jenis sekolah yang berbeda dari anak-anak keturunan Eropa
yang bersekolah di dalam sistem pendidikan Eropa (Europees Onderwijs)
(Poeze, 1982: xx). Pada tahun 1817 sekolah pertama bagi anak-anak Belanda
dan Eropa lainnya dibuka di Jakarta diikuti dengan pendirian sekolah serupa
di berbagai kota di pulau Jawa (Nasution, 2008:9). Sedangkan untuk anak
Indonesia didirikan sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse-school = sekolah
ongko loro), Sekolah Desa (Dessa-school), dan Sekolah Rakyat (Vervolg-
school). Ketiganya adalah dalam kelompok sekolah dasar (lager onderwijs).
Secara keseluruhan sistem persekolahan tingkat dasar dan menengah
tergambarkan pada Gambar 1 sebagaimana dikemukakan oleh Poeze
(1982:xx)
Politik Etis dan pengaruh faham liberal yang berkembang di Belanda
membuka kesempatan pendidikan barat yang lebih besar bagi anak Indonesia.
Tekanan politik dalam negeri menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda
membuka kesempatan kepada anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih luas tetapi baik politik Etis mau pun faham liberal tidak
memberikan kesempatan yang sama antara anak Indonesia dengan anak
Belanda. Pemisahan pendidikan terjadi pada jalur dan jenjang. Pada jenjang
pendidikan dasar terjadi pemisahan pendidikan untuk anak pribumi (inlands
onderwijs), dan anak Eropa (Europees onderwijs) dan anak Cina. Dalam
jangka waktu yang cukup panjang bagi anak Indonesia hanya tersedia sekolah
pada jenjang pendidikan dasar sedangkan bagi anak Belanda tersedia sekolah
pada jenjang pendidikan menengah. Anak Indonesia yang cerdas dan jumlah
mereka semakin banyak tetapi mereka tidak memiliki melanjutkan studinya ke
jenjang pendidikan menengah. Beberapa anak priyayi tinggi dan terpilih
memang dibolehkan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.
17
Kesempatan itu baru terbuka ketika Pemerintah Hindia Belanda membuka
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan dasar yang diperluas.
Gambar 1: Sistem Pendidikan dan PersekolahanHindia-Belanda
EE.L.
oplM.U.L.
MM
KKKK
Kw
Hoger Onderwijs
Inlands Onderwijs Europese Onderwijs
Sumber: Poeze (1982:xx)
Middelbaar Onderwijs
Lager Onderwijs
InheemseM.U.L.O4 jr
Opl.Volkson‐Derwijzer2 jr
Normaal‐School3 jr
Tweede‐Klasse‐School5/6 jr
Dessa‐School3 jr
Vervolg‐school2/3 jr
Schakel‐school5 jr
H.I.S7 jr
E.L.S7 jr
Voorklas 1 jr
M.U.L.O3 jr
H.B.S3/5 jr
A.M.S3 jr
Midd.Landb.school 3 jr
Mosvia
2jr
Stovia 6 jr
Bestuursscchool
2 jrl
Rechtsch. 3 jr
Kweeksch.
3 jr
Hoogere
Kweek. 2 jr
Mulo atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Dasar yang
Diperluas) didirikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 (Djumhur
18
dan Danasuparta, 1959:137; van der Wal, 1963:224). Sebelumnya sudah ada
bentuk kursus lanjutan yang dinamakan mulocursussen (Van der Wal,
1963:228) dan tergabung pada ELS (sekolah dasar untuk orang Belanda)
untuk mereka yang bersekolah di ELS. Van der Wal (1963:224) menyebutkan
bahwa pendirian MULO didasarkan atas surat Direktur Pendidikan dan
Agama ( Directeur van onderwijs en eredienst, G.A.J Hazeu) kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg, 1909-1916) pada
tanggal 17 Maret 1913. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
A.W.F. Idenburg menjadi Menteri Tanah Jajahan (1902-1905; 1908-1909) dan
sesudah menjadi Gubernur Jenderal kembali menjadi Menteri Tanah Jajahan
(1918-1919). Adanya keinginan yang besar di kalangan pribumi tamatan HIS
yang cerdas untuk melanjutkan studi lebih lanjut setelah menyelesaikan studi
HIS mereka merupakan salah satu pertimbangan yang dikemukakan dalam
surat Direktur Pendidikan dan Agama Hazeu kepada Gubernur Jenderal
Idenburg untuk membuka MULO sebagai lembaga yang berdiri sendiri (als
een zelfstandig instituut). Pribumi tamatan HIS yang cerdas tersebut tidak
mungkin melanjutkan ke mulocursussen yang bagian ELS dan tidak pula ke
HBS, karena keduanya diperuntukkan bagi orang Eropa.8
Pada tahun 1914 kursus-kursus tersebut disetujui untuk dikembangkan
menjadi Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah yang
berdiri sendiri, lepas dari ELS. Pendirian MULO tersebut dikukuhkan
berdasarkan Ind. Stbl.9 1914 nomor 447 junto nomor 672 dan 687 tentang
Reglement op de openbare scholen van voortgezet en uitgebreid lager
onderwijs in Netherlands Indie” (Van der Waal, 1963:230). Istilah meer
uitgebreid (lanjutan lebih luas) memberikan indikasi tentang kedudukan
8 Dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda dipisahkan sekolah untuk orang Eropa, Cina, dan Indonesia yang dinamakan pribumi (istilah orang atau bangsa Indonesia belum digunakan). Untuk anak pribumi disediakan inlands onderwijs sedangkan untuk Eropa disediakan europees onderwijs (Poeze,1982:xx) 9 Ind. Stbl adalah singkatan Indische Staatblad yang masih berlaku dalam sistem hukum Indonesia, dinamakan Lembar Negara yang mencatat sebuah undang‐undang. Sebuah undang‐undang baru dinyatakan resmi berlaku setelah tercatat dan diundangkan dalam Lembar Negara. Lembar Negara ditandatangani oleh Sekertaris Negara (dulu oleh Menteri Kehakiman) dan diberi nomor khusus.
19
sekolah yang semula kursus dan bagian dari sekolah dasar tersebut, demikian
pula dengan istilah onderwijs (pendidikan) dan bukan school yang digunakan,
seolah-olah pelaksanaan pendidikan dilakukan bukan oleh lembaga
pendidikan yang dinamakan sekolah.
Lama belajar MULO yang semula 2 tahun ketika masih menjadi kursus dan
bagian dari ELS, dikembangkan menjadi 3 tahun setelah menjadi MULO yang
lepas dari ELS10. MULO terbuka bagi anak Indonesia yang sudah
menyelesaikan HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Pribumi
berbahasa Belanda). Sejak berdiri sendiri, Mulo menjadi lembaga/sekolah
resmi sesudah sekolah dasar dan menjadi persyaratan untuk memasuki AMS
(Algemeene Middlebare School) yang setelah Indonesia merdeka disebut
SMA.
Berbeda dari ELS, HIS, apalagi HBS, MULO tidak didasarkan pada model
sekolah Eropa (Nasution, 2008:123; Poeze, 1982:XIX). Dalam struktur
persekolahan di Belanda dan di banyak negara Eropa, tidak ada sekolah pada
jenjang menengah yang berdiri sendiri seperti MULO. Di berbagai negara
Eropa, sekolah menengah diorganisasikan dalam satu manajemen dan terdiri
atas program menengah junior (setara SMP) dan menengah senior (setara
SMA). Pada masa kemudian, tamatan MULO dapat melanjutkan pelajaran
ke sekolah kejuruan tingkat menengah (hogere vakscholen) dan ke AMS
(Algemeene Middlebare School) 3 tahun. Seperti juga MULO, menurut Poeze
AMS merupakan bentuk khusus sekolah menengah (awal) di daerah Hindia
Belanda (de specifiek Indische vorm van voorbereidend hoger onderwijs).
Tamatan MULO dapat juga melanjutkan studi mereka ke Stovia (School tot
Opleiding van Indische Artsen 6 tahun = Sekolah Dokter Jawa), Mosvia
(Middlebare Opleidingsschool vor Indische Ambtenaaren = Sekolah Menegah
Pamong Praja Pribumi 2 tahun), Rechtschool (Sekolah Hukum 3 tahun),
10 Menurut Poeze (1982: 20) ada MULO yang merupakan sekolah dalam sistem pendidikan Belanda (3 tahun) dan ditambah satu tahun bagi anak Indonesia yang melanjutkan sekolah ini dari Schakel‐school dan ada MULO Pribumi (Imheese MULO) yang masuk dalam sistem pendidikan pribumi (Inlands Onderwijs) yang lamanya 4 tahun.
20
Kweekschool (Sekolah Guru 3 tahun), dan Middle Landsbouw School
(Sekolah Menengah Pertukangan 3 tahun).
B. TUJUAN PENDIDIKAN MULO
Tujuan pendidikan MULO adalah untuk menghasilkan tamatan yang mampu
bekerja dalam administrasi pemerintahan Kolonial Belanda, melanjutkan
pendidikan ke sekolah kejuruan (Sekolah Pertanian, Sekolah Pamong Praja,
Sekolah Guru, Sekolah Hukum, Sekolah Kedokteran), dan ke sekolah menengah
umum yang lebih tinggi (AMS).
C. MATA PELAJARAN DAN LEERPLAN MULO
Bahasa instruksional yang digunakan dalam proses belajar di MULO adalah
bahasa Belanda. Oleh karena itu tamatan HIS diterima di MULO karena HIS
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa instruksional. Selain digunakan
sebagai bahasa instruksional, bahasa Belanda adalah mata pelajaran yang harus
dipelajari setiap peserta didik. Keseluruhan mata pelajaran yang terdapat pada
Rencana Pelajaran Mulo adalah:
Tabel 2.1. Leerplan (Rencana Pelajaran) MULO
KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN
I II III
Membaca 3 3 2
Bahasa Belanda (Taal) 5 4 4
Aljabar (Algebra) 6 7 5
Ilmu Ukur (Geometri, Stereometri) 2 2 2
Ilmu Alam (Natuurkunde) 3 3 4
Ilmu Hayat (Plant-en Dierkunde) 3 3 3
Sejarah (Volks geschiedenis, Vaderlanse
geschiedenis)
1 1 2
Sejarah Umum (Algemene geschiedenis) 1 1 1
21
KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN
I II III
Ilmu Bumi (Aarderijkskunde) 3 3 3
Olahraga (Gymnastik) 2 2 2
Menggambar (Tekenen) 2 2 2
Bahasa Perancis11 2 2 4
Bahasa Inggeris (Engels) 4 4 3
Bahasa Jerman (Deutsch) 4 3 4
Bahasa Melayu (elektif) 1 1 1
Menyanyi (Zingen)(elektif) 1 1 1
Sumber: Pelaku (peserta didik) dan Nasution (2004)
Dalam ilmu bumi peserta didik MULO belajar terutama geografi negara Belanda,
Eropa, dan sedikit mengenai Hindia-Belanda (Indonesia). Pengetahuan tentang
letak negara, bentuk dan karakteristik permukaan tanah, nama dan letak kota (peta
buta), dan bahkan nama-nama gedung penting serta alamatnya di berbagai kota di
Belanda merupakan pengetahuan penting dan harus menjadi pengetahuan siap
(paratekennis) yaitu pengetahuan hafalan. Pengetahuan hafalan (paratekennis)
adalah pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik dan mereka harus selalu
siap dengan jawaban di luar kepala apabila ditanyakan. Pada saat sekarang, walau
pun nama pengetahuan siap sudah tidak digunakan, dunia pendidikan Indonesia
masih mengandalkan pengetahuan siap. Soal-soal yang dibuat untuk ulangan dan
ujian berpijak pada pemikiran dasar bahwa peserta didik harus memiliki
pengetahuan siap untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
Sama halnya dengan ilmu bumi adalah mata pelajaran sejarah. Pengetahuan
sejarah yang diutamakan adalah pengetahuan sejarah tentang kerajaan Belanda
dan dinasti Oranye, asal-usul dinasti Oranye beserta raja dan ratu yang berkuasa,
perjuangan bangsa Belanda dalam percaturan kekuatan politik negara-negara
Eropa, keunggulan Belanda sebagai bangsa serta perjuangan bangsa Belanda
11 Bahasa Perancis nantinya dihapus ketika Belanda tidak lagi dikuasai Louis Bonaparte,
22
memerdekakan dirinya dari kekuasaan Jerman. Pengetahuan sejarah juga
mencakup pengetahuan tentang pelayaran bangsa Belanda ke Indonesia, pendirian
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), tokoh-tokoh VOC yang berjasa
dalam membangun kekuasaan Belanda di Indonesia, pembentukan kekuasaan dan
pemerintah Belanda di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda = Indonesia). Para
tokoh yang berkedudukan sebagai gubernur jenderal (wakil pemerintah Belanda
di wilayah Hindia-Belanda), usaha pemerintah Hindia Belanda mengembangkan
kekuasaan dan pengaruh di wilayah Nusantara (Indonesia) terutama dalam
memepertahankan kekuasaan dari para “pemberontak” (pemimpin Indonesia yang
melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam mempertahankan wilayah
kekuasaan para pemimpin/raja tersebut ). Sejarah kekuasaan Belanda di Indonesia
diikuti dengan berbagai tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam membangun
berbagai aspek kehidupan lain seperti budaya dan ekonomi termasuk program-
program kemanusiaan untuk masyarakat pribumi (Indonesia). Politik Etis (Etische
Politiek) pemerintah Hindia Belanda menjadi pokok bahasan penting karena
melalui pokok bahasan poliitik etis yang dianggap sebagai program kemanusiaan,
Pemerintah Belanda membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang “lebih
baik” terutama dalam membangun sekolah untuk menghasilkan golongan
terpelajar dan tenaga terlatih bangsa Indonesia.
Mata pelajaran sejarah umum untuk MULO mengajarkan mengenai asal-usul
peradaban dunia yang dimulai dengan asal-usul peradaban bangsa-bangsa Eropa
yaitu peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pelajaran tentang kebudayaan
bangsa Yunani dan Romawi berkenaan dengan budaya, seni dan pemerintahan
serta kekuasaan sampai kepada dongeng dan mitologi para dewa yang dikenal
dalam teologi kepercayaan Yunani dan Romawi sangat penting. Peserta didik
MULO sangat hapal mengenai pengaruh kedua peradaban tua tersebut terhadap
peradaban Eropa dan dunia barat. Peradaban bangsa Belanda dan bangsa-bangsa
Eropa lainnya yang mereka miliki sekarang memang banyak dipengaruhi
kebudayaan Yunani dan Romawi, oleh karena itu mempelajari kedua kebudayaan
tersebut memiliki makna yang penting bagi orang Belanda dan Eropa lainnya.
23
Mata pelajaran Ilmu Alam berkenaan dengan berbagai hukum alam yang telah
dihasilkan oleh para sarjana Eropa dan menjadi dasar dari ilmu pengetahuan
modern. Berbagai teori yang sampai sekarang masih dibahas dalam khasanah ilmu
alam seperti hukum Archimedes, Boyle dan sebagainya merupakan pelajaran
penting dalam Ilmu Alam. Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari belahan dunia lain
apalagi dari dunia Asia tak tersentuhkan bahkan hingga saat kini ketika Indonesia
sudah merdeka selama 65 tahun materi pelajaran IPA masih tidak banyak berubah
dari apa yang telah diperkenalkan Belanda. Dari pelajaran Ilmu Alam, peserta
didik MULO mengenal dan dilatih dalam cara berpikir empirik dan rasional. Hal-
hal yang tidak terkait dengan alam nyata dan tidak dapat dibuktikan secara
empirik dinyatakan sebagai tahayul dan dianggap bertentangan dengan cara
berpikir manusia modern.
Bahasa Melayu tidak diajarkan pada waktu kursus MULO didirikan pada tahun
1910, dan tidak juga ketika MULO sudah memiliki status sebagai sekolah
menengah (lanjutan) yang berdiri sendiri (Nasution,2008:123). Selanjutnya
Nasution (2008:124) mengatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Melayu baru ada
dalam kurikulum MULO pada tahun 1919. Pembelajaran bahasa Melayu dalam
kurikulum MULO memberikan pengaruh yang kuat terhadap pada kelompok
terpelajar Indonesia dalam membangun dan mengembangkan semangat
kebangsaan. Ketika para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi
pemuda daerah (Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra Bond, Jong Sunda, Jong
Celebes, dan sebagainya) berkongres di Jakarta, mereka menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk bangsa yang mereka cita-citakan. Pada
waktu Indonesia mengeluarkan undang-undang pendidikan pertama dan
dikokohkan dalam undang-undang pendidikan sesudahnya, aspirasi para pemuda
tersebut dikukuhkan dalam bentuk keputusan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa instruksional dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
24
KURIKULUM SHOTO CHU GAKKO (SMP) PADA MASA PENDUDUKAN
JEPANG
Foto 2: SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh Pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP) Sumber: Website SMP N 1 Yogyakarta
A. KEBIJAKAN PENDIDIKAN PENDUDUKAN JEPANG
Pada masa pendudukan militer Jepang, wilayah Indonesia dibagi atas 3 wilayah
administratif yang terpisah dan memiliki jurisdiksi sendiri yaitu pulau Jawa,
Sumatera, dan wilayah Indonesia lainnya (termasuk Kalimantan dan Sulawesi).
Meski pun bukan pemerintahan sipil, pemerintahan militer Jepang memberikan
perhatian kepada pendidikan. Dari pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer
Jepang mempersiapkan generasi baru Indonesia yang mendukung kekuasaan
Jepang dan menghasilkan mereka yang terlatih dalam kemiliteran.
Kebijakan Jepang tentang pendidikan, terutama kebijakan pendidkan di pulau
Jawa dapat diketahui dari berbagai sumber tetapi yang utama adalah dokumen
yang dinamakan Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô (Kebijakan Pendidikan Jepang
25
di pulau Jawa)(Kurasawa, 1991:16). Menurut Kurasawa dokumen tersebut adalah
dokumen rahasia yang dikumpulkan oleh personil militer Jepang, dan berisikan
doktrin, ideologi, prinsip dasar serta petunjuk pelaksanaan kebijakan pendidikan
Jepang di pulau Jawa. Dokumen serupa berkenaan dengan wilayah lain di
Indonesia merupakan sesuatu yang masih perlu ditelusuri untuk dapat
membandingkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang.
Pada masa kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, sekolah-sekolah
untuk rakyat yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda (volks
school dan vervolg school) dihapus, digantikan dengan sekolah bergaya Jepang
yang dinamakan kokumin gakkô dengan masa belajar 6 tahun. MULO diganti
dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu GakkO) dan didirikan di banyak
kota di Indonesia. Di pulau Jawa terdapat Shoto Chu Gakko di Serang (1 sekolah),
Jakarta (3 sekolah), Bogor (1 sekolah), Bandung (1 sekolah), Garut (1 sekolah),
Cirebon (1 sekolah), Pekalongan (1 sekolah), Kediri (1 sekolah), Jember (1
sekolah), Pamekasan (1 sekolah), Jogja (2 sekolah), Solo (2 sekolah), Magelang
(1 sekolah), Purwokerto (1 sekolah), Semarang (2 sekolah), Pati (1 sekolah),
Malang (1 sekolah), Bojonegoro (1 sekolah), Madiun (1 sekolah), dan Surabaya
(2 sekolah). Selain itu ada Sekolah Menengah Pertama Poetri di Jakarta, Bandung,
Jogja, Solo, Semarang, Malang, dan Madiun. Sekolah Menengah Pertama Putri
menerima siswa khusus putri dan memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dari
Sekolah Menengah Pertama biasa (Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô).
B. MATA PELAJARAN
Mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Shoto Chu Gakko mencerminkan
kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang untuk
menjepangkan bangsa Indonesia. Selain mata pelajaran yang bersifat eksakta
materi mata pelajaran lain disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di
Indonesia termasuk menarik hati bangsa Indonesia. Mata pelajaran bahasa
Belanda dihapus dan digantikan oleh mata pelajaran Bahasa Jepang. Selain
mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, dalam kurikulum Shoto Chu
Gakko ditambahkan mata pelajaran Pendidikan Semangat (Moral) dan bahasa
26
Indonesia menjadi mata pelajaran resmi. Olahraga atau Latihan Badan
mendapatkan tempat yang penting sehingga diberikan jam pelajaran yang cukup
besar yaitu 5 jam per minggu. Kedudukan penting Latihan Badan ini mudah
dipahami karena militer Jepang memerlukan pemuda dengan badan yang sehat
dan terlatih secara fisik. Senam pagi dilakukan sebelum sekolah dimulai dengan
menghadap ke arah matahari terbit. Selain latihan fisik mereka juga diajar lagu
kebangsaan Jepang (Kimigayo) serta berbagai doktrin mengenai kedudukan
Jepang sebagai pemimpin dunia (Hakko ichi U) dan pemimpin Asia.
Tambahan mata pelajaran dalam kurikulum adalah Kaligrafi. Kedudukan tulisan
indah (kaligrafi) huruf kanji sangat dihargai oleh masyarakat dan budaya Jepang.
Tradisi yang turun temurun dalam kaligrafi dimaksudkan untuk diwariskan juga
bagi bangsa Indonesia yang juga tidak asing dengan tradisi kaligrafi huruf Arab.
Tulisan indah huruf Arab telah berkembang sejak awal Islam masuk ke Indonesia
dan oleh karena itu adanya mata pelajaran kaligrafi dalam kurikulum Shoto Chu
Gakko bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Unsur barunya adalah
kalau sebelumnya yang digunakan untuk tulisan indah itu huruf Arab maka pada
masa ini huruf yang ditulis indah itu huruf kanji yang masuk dalam kelompok
huruf gambar (pictograph)12.
Tabel 3.1. mencantumkan mata pelajaran, kelas dan jam pelajaran untuk masing-
masing mata pelajaran di setiap kelas.
Tabel 3.1.: Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Dalam Kurikulum 12 Pictograph adalah huruf yang menggunakan gambar (picto) untuk mewakili suatu pokok pikiran/ide karena itu disebut juga ideograph. Tulisan ini berkembang di Cina dengan nama hanzi, di Mesir dengan nama hieroglyph, di Sumeria dengan nama tulisan paku. Tulisan Hanzi masih digunakan sampai hari ini di Cina, Korea dan Jepang bahkan seluruh negara Cina yang memiliki banyak bahasa dipersatukan dalam komunikasi tulisan melalui huruf Hanzi. Huruf Hanzi di Jepang dinamakan Kanji.
27
Shoto Chu Gakko
Kelas dan Jam pelajaran
Mata Pelajaran 1 2 3
Pendidikan Semangat (Moral) 1 1 1
Bahasa Jepang (Nippon) 9 9 9
Bahasa Indonesia 6 6 6
Ilmu Pasti 6 6 6
Ilmu Bumi 2 2 1
Latihan Badan (Pend. Jasmani) 5 5 5
Sejarah 2 1 1
Gambar Tangan (Menggambar) 2 2 2
Ilmu Alam - 2 3
Kesenian 1 1 1
Kaligrafi (Jepang) 2 2 2
Jumlah jam pelajaran 36 37 37
Sumber: diadaptasi dari Ramli, 2010, halaman 70 Dari beban belajar atau jam belajar untuk mata pelajaran Bahasa Jepang 9 jam per
minggu, Bahasa Indonesia 6 jam per minggu serta Ilmu Pasti juga 6 jam per
minggu menunjukkan pikiran pokok kurikulum yang ingin menghasilkan
“manusia baru” yang bebas dari pengaruh pendidikan Belanda. Memang jam
belajar Ilmu Pasti sedikit berkurang dari kurikulum MULO tetapi pengurangan
tersebut tidak membawa dampak yang berarti bagi kualitas manusia tamatan SMP
yang diinginkan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang.
Penghapusan bahasa Inggeris dan bahasa Jerman memperkuat ide kurikulum yang
ingin menhapuskan pengaruh budaya Belanda khususnya dan barat umumnya.
Memang menarik bahwa bahasa Jerman dihapus sedangkan bangsa Jepang pada
waktu itu bersekutu dengan bangsa Jerman. Tampaknya, kerjasama militer dalam
perang antara pemerintah Jerman dan Jepang di masa Perang Dunia II tidak
berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan SMP di masa pendudukan militer
28
Jepang di Indonesia. Pentingnya pelajaran bahasa yang mengajarkan ketrampilan
berkomunikasi dan cara berpikir berdasarkan nilai-nilai budaya yang
menghasilkan bahasa tersebut disadari benar Pemerintah Pendudukan Militer
Jepang. Oleh karena itu adanya pelajaran bahasa Jerman apalagi bahasa Belanda
akan menjadikan generasi muda Indonesia berpikir seperti orang barat dan mereka
akan tercabut dari akar budayanya. Selain itu cara berpikir barat akan
menimbulkan masalah politik bagi misi pendudukan Jepang di Indonesia.
Berdasarkan dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, sekolah dimulai setiap
tanggal 1 April setiap tahun. Kantor Pengajaran (Bunkyo Kyoku) setiap Syuu
berwewenang menetapkan buku pelajaran yang digunakan untuk setiap mata
pelajaran dan hari libur sekolah. Berdasarkan dokumen yang sama, hari libur
untuk sekolah ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun ajaran. Hari besar agama
mendapatkan porsi utama sebagai hari libur sekolah.
Pada umumnya sekolah libur pada hari besar agama Islam sebagaimana
dikemukakan dalam tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2.: Hari Libur Sekolah
HARI LIBUR LAMANYA LIBUR Mi’raj Nabi 1 hari Puasa 40 hari Grebeg Besar (pulau Jawa) 7 hari Asyura 1 hari Maulud Nabi 14 hari Tahun Baru Cina 1 hari Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, p 38
Dari ketetapan mengenai hari libur di atas ada kesan kuat bahwa kekuasaan
pendudukan Jepang di pulau Jawa sangat memperhatikan agama mayoritas
penduduk. Mayoritas penduduk pulau Jawa beragama Islam dan oleh karenanya
hari libur sekolah adalah hari besar yang terkait dengan agama Islam termasuk
perayaan Grebeg Besar. Perayaan Grebeg Besar di Yogyakarta, Surakarta dan
Cirebon berkenaan dengan Maulud Nabi Muhammad dan oleh karenanya
ditetapkan secara menjadi hari libur. Sementara itu hari libur puasa dan perayaan
29
Idul Fitri ditetapkan selama 40 hari, hari raya Idul Adha tidak ditetapkan sebagai
hari libur. Hal ini mungkin saja terkait dengan pandangan budaya di banyak tempat
di pulau Jawa yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi orang-
orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya pandangan budaya
yang demikian maka tentu saja idul adha bukan hari libur bagi anak sekolah yang
pada umumnya belum melaksanakan ibadah haji.13
Perhatian yang sangat besar terhadap hari besar agama Islam tersebut bukan saja
bersifat realistik karena pendidikan berakar pada budaya dan agama serta
lingkungan terdekat peserta didik tetapi juga merupakan upaya politis Pemerintah
Pendudukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat. Masyarakat yang
mendapatkan keleluasaan merayakan hari-hari besar tersebut akan merasa senang.
Penetapan tahun baru Cina sebagai hari libur tidak terlepas dari upaya untuk
menarik simpati masyarakat Cina di Indonesia. Kebijakan tersebut sukar diukur
keberhasilannya mengingat masa pendudukan Jepang yang singkat tetapi libur
bulan Ramadhan dan idul Fitri selama 40 hari berlangsung sampai masa
pemerintahan Orde Baru, dan baru disesuaikan pada tahun 80-an.
Buku merupakan sumber materi pelajaran yang penting dan ditetapkan oleh Kepala
Bagian Buku-buku pada Kantor Pengajaran (Bunkyô Kyoku). Untuk Kantor
Pengajaran Jakarta, Kepala bagian Buku-buku, Sadarjoen pada tanggal 11
Desember 2603 (1944) mengeluarkan daftar buku pelajaran sebagai berikut:
Tabel 3.3. Buku Pelajaran untuk kurikulum Shoto Chu Gakko di Jakarta
Mata pelajaran Buku Yang Digunakan Bahasa Indonesia Matahari Terbit Ilmu Tumbuh-tumbuhan Ilmu Tumbuh-tumbuhan I Ilmu Alam Ilmu Alam I
Ilmu Aljabar I, kelas 1 Ilmu Aljabar 2, kelas 2
Ilmu Aljabar
Ilmu Aljabar 3, kelas 3 Ilmu Ukur 1, kelas 1 dan 2 Ilmu Ukur Ilmu Ukur 2, kelas 2 dan 3
Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô
13 Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi mereka yang sudah haji masih terdapat di banyak kelompok tertentu di pulau Jawa.
30
Sayangnya daftar buku di atas tidak disertai dengan nama pengarangnya. Suatu
yang jelas, buku Matahari Terbit digunakan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia
sampai pada masa awal pemerintahan Orde Baru walau pun penulis buku sudah
berbeda dari buku dengan judul yang sama pada tahun 50-an.
Kebijakan tentang buku pelajaran memberikan keuntungan bagi pemerintah
Pendudukan Militer Jepang untuk mengontrol kualitas bahan pelajaran dan isi dari
materi pelajaran. Pemerintah Pendudukan Militer Jepang harus mengawasi apa
yang terjadi di sekolah dan jangan sampai materi pelajaran menjadi “boomerang”
bagi kekuasaan mereka di Indonesia pada waktu itu. Isi buku pelajaran tidak boleh
memuat bahan yang mengecam atau menimbulkan permusuhan kepada Pemerintah
Pendudukan Militer Jepang. Hal ini wajar dan berlaku di banyak negara sampai hari
ini tetapi keadaannya tentu lebih sensitif untuk pemerintah pendudukan dan
penjajahan dibandingkan untuk pemerintah nasional.
31
KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN
A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan diberikan terus menerus
sejak awal kemerdekaan. Kedudukan pendidikan yang dianggap teramat penting
oleh para pendiri bangsa, mereka adalah sekelompok kecil anak bangsa yang
beruntung dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahan Belanda dan
pendudukan Jepang, menyebabkan mereka berpandangan bahwa pendidikan
adalah sesuatu yang tak boleh ditelantarkan dan harus menjadi hak setiap
warganegara. Oleh karena itu selang beberapa bulan setelah kemerdekaan
diproklamasikan walau pun bangsa yang muda ini masih menghadapi tantangan
agresi militer Belanda, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-
KNIP) mengusulkan adanya pembaharuan pendidikan (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1996:73).
Berbagai pikiran dikemukakan BP-KNIP kepada Kementrian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) agar ada perubahan pikiran dan visi yang
mendasar dari pendidikan pada zaman Belanda ke pendidikan untuk bangsa
Indonesia yang baru merdeka. Diantara pikiran yang dikemukakan dalam
pandangan BP-KNIP dinyatakan bahwa pendidikan liberal yang mengagungkan
kemampuan intelektual semata harus diubah menjadi pendidikan yang
mengutamakan “kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi” (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).
Pengertian kesusilaan pada waktu itu sangat luas dan mencakup apa yang pada
saat sekarang dikenal dengan istilah karakter. Dengan tujuan ini maka diharapkan
pendidikan mengembangkan kepribadian yang berdasarkan kemanusiaan yang
tinggi dan warganegara yang bertanggungjawab. Pikiran bahwa pendidikan adalah
hak setiap warganegara dan nantinya dikenal dengan istilah demokratisasi
pendidikan tertuang dalam usulan agar hanya ada satu macam sekolah yang
32
terbuka untuk setiap orang tanpa ada perbedaan dalam gender, latar belakang
budaya, sosial dan ekonomi. Dalam usulan itu dihendaki agar pendidikan
pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional walau pun
kurikulumnya berbeda dari sekolah pemerintah dan swasta (non pesantren). Posisi
pesantren tersebut baru nantinya mendapat pengakuan hukum yang lebih tegas
pada tahun 2003 setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berdasarkan usulan BP-KNIP agar ada peraturan tentang pendidikan dan
pengajaran, Menteri PPK, Mr Soewardi membentuk Penitia Penyelidik
Pendidikan Pengajaran (Sjamsuddin, Kosoh, dan Hasan, 1993:11) yang diketuai
oleh Ki Hajar Dewantara dengan sekertaris Soegarda Poerbakawatja pada tahun
1946. Tugas panitya adalah untuk meninjau ulang “dasar-dasar, isi, susunan dan
seluruh usaha pendidikan/pengajaran (Djumhur dan Danasuparta, 1959:202).
Berdasarkan hasil kerja panitya, ditetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran bagi
guru-guru di Indonesia (Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951):
1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Perasaan cinta kepada alam
3. Perasaan cinta kepada negara
4. Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak
5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan
6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan
dan kekuatannya
7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan
masyarakat
8. Keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata
tertib
33
9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga
sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa
keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri
10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warganegara yang rajin bekerja,
mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.
Jelas bahwa pandangan pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Soegarda
Poerbakawatja sangat berpengaruh dalam kesepuluh rumusan yang telah
dihasilkan. Pemahaman keduanya yang mendalam tentang pendidikan telah
diterjemahkan dengan baik dalam posisi seorang peserta didik sebagai dirinya,
anggota keluarga, anggota masyarakat, warganegara, dan ummat manusia. Oleh
karena itu, kesepuluh prinsip yang dirumuskan tersebut sangat menekankan pada
karaktervorming yang meliputi seluruh potensi kemanusiaan seorang peserta
didik.
Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan
pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi yang memuat 10 tujuan pendidikan
yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang
berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu lebih banyak berkenaan
dengan dimensi ide kurikulum dan dinyatakan dalam istilah pedoman dasar-dasar
pengajaran. Pedoman dasar-dasar pengajaran yang ditetapkan Menteri PPK
memuat berbagai landasan pendidikan yang masih aktual bahkan untuk masa
sekarang walau pun harus diakui bahwa dalam kenyataan kurikulum pada masa-
masa akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pengajaran yang
telah dikemukakan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin
memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan
perenialisme) sebagai ide dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin
meninggalkan dasar-dasar pengajaran yang tercantum dalam pedoman tahun 1946
tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena sebagaimana dirumuskan
dalam pedoman pengajaran tahun 1946 pendidikan seharusnya berkenaan dengan
memanusiakan manusia, membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai
34
mahluk religious, sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi, bukan
sekedar hanya mengembangkan kemampuan ingatan dan pemahaman semata.
Kedua kemampuan ranah kognitif tersebut penting tetapi manusia tidak bisa hidup
hanya dengan kedua kemampuan kognitif itu.
Meski pun situasi negara penuh dengan peperangan melawan agresi militer
Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan panitya
yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan berhasil
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh pikiran dan visi yang mendalam
mengenai pendidikan bangsa. Kesepuluh ketetapan yang telah dikemukakan di
atas menunjukkan kerja panitya yang sangat sungguh-sungguh dan mengena pada
hakiki pendidikan. Hasil kerja itu, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya
telah disahkan dengan Keputusan Menteri PKK untuk digunakan di sekolah.
Sayangnya, hasil kerja panitya yang dipimpin Ki Hajar Dewantara tidak dapat
langsung dinikmati oleh bangsa Indonesia karena situasi kehidupan bangsa yang
masih belum aman dari ancaman agresi militer Belanda.
Dalam keadaan negara dan bangsa yang terancam, kepeduliaan pemerintah dan
bangsa Indonesia terhadap pendidikan tak pernah terputus. Pada tanggal 4-7
Maret 1947 diadakan Kongres Pendidikan Indonesia di bawah pimpinan Prof.
Sunaryo Kolopaking (Djumhur dan Danasuparta, 1959: 202) untuk mengkaji
berbagai masalah pendidikan nasional yang muncul di masyarakat. Kongres
Pendidikan ini dapat dikatakan sebagai kongres pendidikan pertama yang
diadakan pada tingkat nasional. Hasil Kongres dijadikan masukan untuk
memperkaya hasil kerja tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Kongres
mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memiliki undang-undang pendidikan
sebagai landasan bagi kebijakan pendidikan dalam masa-masa mendatang.
Sebagai jawaban atas perhatian rakyat terhadap pendidikan dan sebagai tindak
lanjut dari hasil Kongres Nasional Pendidikan maka pada tahun 1948 Menteri
PPK, Mr Ali Sostroamidjojo, membentuk “Panitia Pembentukan Rencana
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran”. Ki Hajar Dewantara
35
kembali dimintakan jasanya untuk memimpin panitia baru ini. Berbagai pemikiran
yang telah dikembangkan dalam kerja paniitia pada tahun 1946 dan berbagai
masukan dari kongres dijadikan dasar untuk mengembangkan naskah undang-
undang pendidikan. Pada tahun 1948 itu juga panitia telah dapat menyelesaikan
tugasnya menyusun rancangan undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran,
hasilnya dijadikan naskah dasar untuk dibahas dalam rapat BP-KNIP.
Pembahasan dalam sidang BP-KNIP dilakukan secara rutin dalam semangat
kebangsaan dan kepedulian terhadap pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1948
pembahasan naskah dasar pendidikan dan pengajaran sudah hampir selesai tetapi
terhalang oleh kondisi bangsa dalam menghadapi agresi militer Belanda. Oleh
karena itu tindak lanjut dari hasil rapat BP-KNIP ditunda untuk sementara dan
ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Djumhur dan
Danasuparta, 1974:203) . Ini adalah kongres pendidikan kedua yang dilakukan
ketika suasana negara masih belum aman, sebagaimana halnya kongres yang
pertama. Semangat dan harapan bangsa yang besar terhadap pendidikan tidak
mengendur dan menyebabkan keinginan membahas dunia pendidikan dalam satu
kongres nasional dilaksanakan. Serangan militer Belanda ke Yogya menyebabkan
hasil kerja kongres tidak langsung dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ketika
keadaan sudah memungkinkan maka BP-KNIP melanjutkan pembahasan
mengenai hasil kerja Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran di Yogyakarta ditambah dengan masukan dari hasil
Kongres Pendidikan Yogya. Sidang pertama dihadiri oleh 22 orang anggota
diketuai oleh Mr Assaat serta Menteri PP dan K yaitu S. Mangunsarkoro yang
menggantikan Mr Ali Sostroamidjojo. Pada tanggal 17 Oktober 1949 rapat
pertama membahas kembali naskah undang-undang pokok pendidikan dimulai
oleh BP-KNIP. Pemerintah memasukan naskah yang sudah direvisi berdasarkan
masukan-masukan dari anggota BP-KNIP sebelumnya dan kongres.
36
Pembahasan yang dilakukan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP)14 terhadap rancangan yang telah dihasilkan panitia yang dipimpin
Ki Hajar sangat kritis. Berbagai isu yang dianggap penting untuk kemajuan
pendidikan dibahas dengan berbagai argumentasi. Penekanan tujuan pendidikan
pada pembentukan manusia susila, misalnya, dianggap sangat penting dan
demikian pula dengan kualitas sebagai warganegara yang demokratis. Perhatian
terhadap tujuan pendidikan menghasilkan perdebatan yang amat menarik untuk
masa itu karena para pemimpin tersebut adalah mereka yang mempunyai latar
belakang pendidikan yang jauh di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan.
Meski pun mereka adalah golongan yang dinamakan intelekktual, mereka tidak
beranggapan bahwa intelektualitas semata menjadi kualitas utama yang harus
dimiliki bangsa Indonesia. Dalam tujuan yang mereka namakan karaktervorming
maka susila, demokratis, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat adalah kualitas yang penting untuk dimiliki setiap warganegara.
Selain perdebatan mengenai tujuan untuk menghasilkan manusia yang susila,
perdebatan yang sengit mengenai Rencana Undang-Undang Pendidikan dan
Pengajaran terjadi pula mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran menghasilkan
warganegara yang demokratis, status pendidikan agama, dan penggunaan bahasa
daerah sebagai bahasa pengantar. Ketidaksepahaman mengenai pengertian
manusia susila, ketidaksetujuan mengenai kehadiran pendidikan agama dan
penggunaan bahasa daerah diperdebatkan dan dipertanyakan oleh beberapa
anggota BP KNIP. Sekelompok anggota setuju bahwa pendidikan menghasilkan
manusia susila, sebagian mempertanyakan kejelasan pengertian manusia susila
dan sebagian lain menentang.
Dr D.S. Diapari, salah seorang anggota KNIP dari Serikat Sekerja Indonesia
mendukung manusia susila menjadi tujuan pendidikan bahkan mengatakan
”bahwa untuk pembangunan negara yang terutama sekali, ialah peribudi dan
akhlak pada umumnya dan bukan kepintaran” (ejaan disesuaikan dengan EYD;
14 KNIP adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum DPR yang sesungguhnya terbentuk.
37
dokumen notulen pembicaraan rapat, 1954). Mohd. Sjafei, tokoh pendidik yang
terkenal dengan sekolah Kayu Tanamnya, menyetujui tujuan pendidikan yang
menghasilkan manusia susila tetapi ia mengingatkan bahwa pekerjaan itu
bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan biaya besar. Kobarsih, anggota dari
Buruh tidak setuju dengan tujuan menghasilkan manusia susila karena
ketidakjelasan pengertian susila yang dimaksudkan. Kobarsih beranggapan bahwa
pengertian susila bersifat multi makna dan tidak seharusnya menjadi tujuan
pendidikan persekolahan.
Perbedaan pendapat tersebut berlangsung lama dan Kobarsih tetap
mempertahankan pendapatnya sehingga tampaknya tidak akan mencapai kata
sepakat. Hal inilah yang menyebabkan Ketua Sidang menanyakan kepada anggota
yang hadir apakah ada yang mendukung pendapat Kobarsih yang tidak setuju
pendidikan menghasilkan manusia susila. Ada beberapa orang menyatakan
dukungannya dan ada beberapa yang menolak pandangan Kobarsih sehingga
Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota BP-KNIP lainnya
menyatakan pendapat mereka. Tanggapan kemudian diberikan oleh M.L. Latjuba,
Sadjarwo, Mr Sartono, Mr Kasman Singodimedjo yang mendukung
dicantumkannya kata susila. Asarudin menolaknya, demikian pula dengan
Kobarsih tetap menolak pencantuman kata susila. Untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat tersebut, Ketua Sidang, Mr Assaat melakukan pemilihan
suara pada tanggal 26 Oktober 1949. Hasil pemilihan suara adalah 6 suara setuju
tujuan menghasilkan manusia susila dihapus sedangkan 15 suara setuju untuk
dipertahankan. Oleh karena itu tujuan pendidikan menghasilkan manusia susila
menjadi keputusan sidang.
Pembahasan rencana undang-undang yang dilakukan di Yogya dimulai pada
bulan Oktober tahun 1949, sebelum Konperensi Meja Bundar, dan keputusan-
keputusan kesepakatan BP-KNIP baru dapat diselesaikan pada bulan Desember
1949, dan ditetapkan sebagai undang-undang di Jogjakarta pada tanggal 2 April
1950. Ketika itu, berdasarkan persetujuan Konperensi Meja Bundar, Republik
Indonesia menjadi salah satu negara bagian di dalam negara yang dinamakan
38
Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, Undang-Undang ini ditandatangani
oleh Presiden Republik Indonesia Mr Assaat15 dan Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia S. Mangunsarkoro, di ibukota
negara RI di Yogyakarta. Setelah disahkan dengan nama Undang-Undang nomor
4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah maka
undang-undang itu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan diundangkan oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia, A.G. Pringgodigdo, pada tanggal 5 April
1950 serta dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia (yang
hanya meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Madura).
Pada tahun itu juga, 1950 bertepatan dengan perayaan kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1950, RIS dibubarkan dan negara Indonesia kembali kepada bentuk
negara kesatuan. Dengan bubarnya RIS tidak ada lagi negara bagian yang
bernama Republik Indonesia atau pun negara bagian lainnya karena semuanya
menjadi satu negara kembali yaitu Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 4
tahun 1950 yang dihasilkan oleh negara ‘Republik Indonesia Dahulu” dan
dinyatakan berlaku untuk wilayah “republik Indonesia Dahulu” dibahas oleh
DPR-RI dan disetujui untuk diberlakukan sebagai undang-undang pendidikan bagi
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Januari
1954. Pada tanggal 12 Maret tahun 1954, UU pendidikan tahun 1950 itu
ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri PP dan K
Muhammad Yamin di ibukota negara yang sudah kembali ke Jakarta.
Diundangkan dalam Lembaran Negara nomor 38 tahun 1954 tanggal 18 Maret
1954 dan ditandatangani Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, sebagai
Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia
15 Pada waktu Undang‐Undang ini mulai dirancang oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP‐KNIP) pada pertengahan bulan Oktober 1949, Mr Assaat adalah ketua BP‐KNIP. Rancangan Undang‐Undang itu adalah draft baru yang diusulkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu itu S. Mangunsarkoro berdasarkan ingatan pada draft yang telah dibuat dan dibahas setahun sebelumnya tetapi hilang ketika terjadi aksi meliter Belanda
39
Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan kebudayaan menetapkan
tentang tujuan lembaga pendidikan. Ketetapan dalam pasal 7 dalam UU nomor 4
1950 junto UU nomor 12 tahun 1954 menyebutkan :
1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah
2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannya, kecakapannya, dan ketangkasannya, baik lahir maupun bathin
3. Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.
4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk mendjadi orang yang dapat memberi pimpinan didalam masyarakat dan yang memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
5. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan baik jasmani maupun rokhaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin yang layak.
Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar terkecuali di TK dan kelas
1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). TK dan ketiga kelas awal SD boleh
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Pasal 9 secara tegas
mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada pasal ini ”pendidikan
jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan
perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala jenis
sekolah”. Selain pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran
dalam kurikulum di setiap sekolah mata pelajaran lain yang dinyatakan secara
tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah
Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya
40
akan mengikuti pelajaran tersebut”. Pendidikan campuran (co-education) diterima
sebagai suatu keharusan untuk sekolah negeri terkecuali sekolah khusus yang
menghendaki hanya peserta didik laki-laki atau perempuan saja maka pendidikan
campuran tidak dilakukan (separated education).
Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran menetapkan pula
mengenai wajib belajar. Dalam Bab VII Pasal 10 ayat (1) ditetapkan “semua anak-
anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun
diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”. Pengertian wajib
belajar dalam pasal ini lebih dekat dengan pengertian “compulsory education” dan
bukan kepada pengertian pendidikan minimal (basic education) yang ddigunakan
dalam Wajib Belajar 9 Tahun. Meski pun demikian adanya ketetapan ini
memperlihatkan semangat demokratisasi pendidikan yaitu pendidikan bagi semua
warganegara dan bukan bagi sekelompok orang yang dianggap memiliki
keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan. Dasar pemikiran demokratisasi
pendidikan masih tetap diberlakukan dalam kebijakan pendidikan pemerintah
sampai saat kini.
Foto 3: SMP Negeri 1 Jakarta berdiri pada tahun 1947, sedangkan bangunan yang digunakan merupakan bangunan bekas EERSTE SCHOOL D yang dibangun pada tahun 1907. EERSTE SCHOOL D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia.Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia
41
mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu).
Sumber: available at http://blog-smpn1.blogspot.com/
B. MATA PELAJARAN DALAM RENCANA PELAJARAN SMP 1947 - 1950
Daftar Pelajaran adalah istilah yang digunakan untuk kurikulum, menggantikan
istilah Rencana Pelajaran sejalan dengan berlakunya Undang-Undang nomor 4
tahun 1950. Mata pelajaran yang terdapat dalam Daftar Pelajaran tersebut tidak
jauh berbeda dari SMP pada masa Jepang terkecuali bahasa Jepang tidak lagi
diajarkan. Menulis indah yang semulanya diarahkan untuk menulis indah huruf
kanji digantikan dengan menulis indah huruf latin. Bahasa Inggeris kembali
diajarkan. Sejarah diajarkan dengan menghilangkan peristiwa yang terkait dengan
sejarah bangsa Jepang dan digantikan dengan peristiwa pendudukan Jepang di
Indonesia. Sebaliknya materi sejarah yang terkait dengan peristiwa sejarah
Indonesia dan sudah diajarkan pada Rencana Pelajaran SMP di masa Jepang,
diperbesar dengan berbagai peristiwa sejarah Indonesia yang dinyatakan sebagai
peristiwa dalam sejarah nasional. Selain ada mata pelajaran sejarah (Indonesia) di
SMP dikenal ada mata pelajaran sejarah dunia yang befokus pada sejarah Eropa
dan Asia.
Apa yang terjadi dengan mata pelajaran sejarah terjadi pula dengan mata pelajaran
geografi dimana bagian-bagian dari geografi Jepang dihilangkan sedangkan
materi pelajaran wilayah geografis Indonesia ditambah dari yang sudah ada pada
masa Jepang. Mata pelajaran moral diganti dengan mata pelajaran budi pekerti
sedangkan mata pelajaran seperti pekerjaan tangan, olahraga dan kesenian tetap
dipertahankan. Bahasa Melayu yang terkadang pada dokumen lain disebutkan
dengan bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu tidak
lagi diajarkan karena Indonesia sudah secara resmi menempatkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi.
42
Hakekat kurikulum tetap berorientasi pada aplikasi dan pemanfaatan apa yang
sudah dipelajari untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan filosofi
rekonstruksi sosial dan humanisme untuk kurikulum tetap digunakan sampai pada
kurikulum tahun 1954 dan kemudian digantikan oleh filosofi kurikulum yang
lebih berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan
berpikir rasional (esensialisme dan perenialisme). Sejak kurikulum 1954 terlebih-
lebih sejak kurikulum 1975, filosofi esensialisme dan perenialisme mendominasi
raancangan kurikulum di Indonesia. Untuk SMP, sejak Kurikulum 1975 filosofi
perenialisme lebih banyak digunakan dibandingkan filosofi esensialisme.
Selain Daftar Pelajaran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:99),
kurikulum SMP pada masa ini mengenal pembagian jurusan di kelas III yaitu
bagian A (sosial-ekonomi) dan bagian B (Ilmu Pasti). Pembagian jurusan di kelas
III SMP tersebut berjalan terus sampai tahun 1962 ketika ada pandangan atau ide
baru mengenai tujuan pendidikan SMP.
Tabel 4.1: STRUKTUR DAN MATA PELAJARAN
RENCANA PELAJARAN SMP 1947-1950
Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran
I II IIIA IIIB
Bahasa Indonesia 5 5 6 5
Bahasa Inggeris 4 4 4 4
Bahasa Daerah 2 2 2 1
I
Bahasa
Sub Jumlah 11 11 12 10
Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4
Ilmu Ukur 4 3 - 4
II
Ilmu Pasti
Sub Jumlah 8 6 2 8
Ilmu Alam/Kimia 2 3 2 2
Ilmu Hayat 2 2 2 2
III
Pengetahuan Alam Sub Jumlah 4 5 4 4
IV Ilmu Bumi 2 2 3 3
43
Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran
I II IIIA IIIB
Sejarah 2 2 2 2 Pengetahuan Sosial Sub Jumlah 4 4 5 5
Hitung Dagang - 1 2 -
Pengetahuan Dagang - - 2 -
V
Pelajaran Ekonomi
Sub Jumlah - 1 4 -
Seni Suara 1 1 1 1
Menggambar 2 2 2 2
Pek. Tangan/Ker. Wanita 2 2 2 2
VI
Pelajaran Ekspresi
Sub Jumlah 5 5 5 5
VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3
VIII Budi Pekerti (bukan mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah)
IX Agama 2 2 2 2
Jumlah 37 37 37 37
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:100)
Daftar Pelajaran di atas menampilkan karakteristik kurikulum yang berbeda dari
kurikulum MULO atau pun Shoto Chu Gakko. Pendidikan SMP pada masa
kemerdekaan mengenal adanya penjurusan pada kelas terakhir yaitu jurusan A
(sosial-ekoonomi) dan B (ilmu Pasti). Pembagian ini memposisikan kurikulum
SMP sebagai dasar untuk melanjutkan pelajaran ke SMA, dan SMA pada masa itu
sudah sejak awal dibedakan dalam jurusan sehingga dikenal adanya SMA-A,
SMA-B, dan SMA-C.
Mereka yang lulus dari jurusan A di kelas III SMP boleh melanjutkan pelajaran ke
SMA A (Bahasa) atau ke SMA C (ekonomi) sedangkan mereka yang lulus dari
jurusan B (Ilmu Pasti) boleh masuk ke SMA B (Ilmu Pasti) dan pada masa
kemudian boleh pula melanjutkan ke SMA C. Pada masa tersebut nama jurusan
yang sebenarnya merupakan jalur program studi menjadi nama unik sekolah
44
karena satu SMA dibedakan dari SMA lainnya berdasarkan jurusan yang
dibinanya (SMA-A, SMA-B, SMA-C). Penjurusan pun sudah dilakukan pada
waktu peserta didik mendaftar untuk masuk ke SMA. Tentu saja pemisahan SMA
yang demikian sudah tidak dikenal pada masa sekarang karena juruan-jurusan
yang ada (IPA, IPS, Bahasa) adalah program dalam satu SMA dan penjurusan
baru dilakukan di tahun kedua ketika peserta didik naik kelas XI.
Konsep kurikulum yang menarik dari Daftar Pelajaran SMP pada masa ini adalah
pelajaran Budi Pekerti yang tidak diajarkan sebagai suatu mata pelajaran terpisah
tapi diintegrasikan ke dalam semua kegiatan mata pelajaran lain dan kegiatan
sekolah. Konsep ini menggambarkan pemahaman materi kurikulum yang
mendalam dan penerapannya dalam suatu desain kurikulum yang sesuai dengan
karakteristik materi kurikulum. Konten/materi kurikulum terdiri atas pengetahuan,
ketrampilan (intelektual, motorik, sosial) dan nilai/moral/sikap. Materi pelajaran
Budi Pekerti bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi sarat dengan
nilai/moral/sikap yang harus dikembangkan dalam cara berpikir, bertindak,
berkomunikasi, dan melakukan kegiatan sehari-hari seorang peserta didik.
Materi pelajaran yang demikian, sebagaimana halnya dengan materi ketrampilan,
harus dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan selama seorang peserta
didik belajar di sebuah satuan pendidikan atau jenjang pendidikan. Tidak seperti
pengetahuan yang dapat dipelajari dan dikuasai dalam setiap pertemuan kelas,
materi pelajaran dalam ranah nilai/moral/sikap memerlukan penguatan yang terus
menerus baik secara sekuensial dari suatu mata pelajaran mau pun penguatan
horizontal dari berbagai mata pelajaran. Penguatan-penguatan itu dilakukan baik
dalam proses interaksi di kelas tetapi juga dalam proses interaksi sesama teman,
dengan guru dan pegawai sekolah di lingkungan sekolah (luar kelas). Konsep
pendidikan nilai yang demikian telah diterapkan dalam mata pelajaran Budi
Pekerti pada kurikulum SMP di awal masa kemerdekaan.
Pemahaman mengenai prinsip pendidikan nilai/moral/sikap dan karakteristik
materi nilai/moral/sikap tersebut dirancang dan diterapkan dengan baik untuk
45
berbagai mata pelajaran dalam Daftar Pelajaran SMP tahun 1950. Sayangnya,
materi pelajaran agama yang juga sarat dengan nilai/moral/sikap dikembangkan
dengan tidak menggunakan prinsip untuk materi nilai/moral/sikap tersebut
sehingga pendidikan agama cenderung menjadi mata pelajaran tentang
pengetahuan agama. Materi mata pelajaran agama yang didominasi oleh materi
pengetahuan menjadikan pelajaran agama lebih mengutamakan hafalan dan
kurang pada pengembangan perilaku beragama. Semestinya, prinsip yang sama
sebagaimana digunakan untuk pendidikan Budi Pekerti dapat juga diterapkan
pada pendidikan agama sehingga materi pelajaran mengenai pengetahuan tentang
berbagai ajaran, kaedah dan ketrampilan dalam menjalan ibadah dikembangkan
melalui mata pelajaran agama sedangkan aspek perilaku beragama dikembangkan
melalui mata pelajaran agama dan mata pelajaran lainnya.
Kondisi pendidikan agama yang terjadi pada masa awal kemerdekaan masih
berlanjut sampai masa kini. Kondisi yang ada pada masa itu adalah pendidikan
agama bukan wajib bagi seluruh peserta didik (Bab XII Pasal 20 undang-undang
pendidikan nomor 12 tahun 1954) dan materi pendidikan agama dikembangkan
oleh Kementerian Agama, terpisah dari pengembangan materi mata pelajaran lain.
Kedua hal ini kiranya menjadi penyebab perilaku beragama tidak menjadi materi
mata pelajaran lain di luar mata pelajaran agama. Pada saat sekarang kebijakan
tentang pendidikan agama sudah berubah dan pendidikan agama menjadi
pendidikan wajib bagi seluuruh peserta didik. Kiranya, perencanaan kurikulum
SMP masa kini sudah dapat menerapkan prinsip pengembangan konten kurikulum
yang membedakan organisasi konten pengetahuan, nilai dan ketrampilan.
46
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN KABINET
PARLEMENTER
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Di akhir tahun 1949 terjadi persetujuan antara pemerintah Belanda dengan
pemerintah Republik Indonesia dalam pertemuan yang dinamakan Konperensi
Meja Bundar (KMB). Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan negara Republik
Indonesia dan tidak lagi melakukan agresi militer tetapi Indonesia menjadi negara
serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia
Serikat terdiri atas Republik Indonesia dan berbagai kerajaan yang ada di
Nusantara dan yang dibentuk Belanda. Negara Republik Indonesia Serikat tidak
bertahan lama dan dalam bulan Agustus 1950, negara Republik Indonesia Serikat
dibubarkan, negara Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan tetapi
dasar hukum negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-
Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD 1950, sistem pemerintahan berubah dari
pemerintahan presidensiil ke pemerintahan parlementer. Dalam sistem
parlementer, Presiden adalah kepala negara dengan wewenang pemerintahan yang
sangat terbatas. Pemimpin pemerintahan adalah perdana menteri. Pada masa
pemerintahan parlementer ini, bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan
umum pertama yang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling demokratis
dan bersih. Pada masa ini juga bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan
konperensi yang bertarap Internasional yaitu Konperensi Asia Afrika yang sangat
besar pengaruhnya terhadap gerakan kemerdekaan di banyak negara di benua Asia
dan Afrika.
Pada masa antara 1954 – 1959 adalah masa di mana bangsa Indonesia mulai
menerapkan Undang-undang nomor 20 tahun 1954 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang merupakan pemberlakuan kembali
Undang-undang nomor 4 tahun 1950. Nomor baru yaitu Nomor 12 tahun 1954
diberikan untuk menyatakan berlakunya Undang-undang nomor 4 tahun 1950 di
wilayah seluruh Indonesia setelah melalui proses persetujuan di DPR RI dan
ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Maret 1954. Oleh karena
47
itu masa antara 1954 – 1959 adalah masa yang penting bagi kehidupan pendidikan
di Indonesia dan bagi perkembangan kurikulum. Kurikulum yang sudah
digunakan pada tahun 1947 untuk SMP (Departemen Pendidikan Nasional, 2009)
diganti dengan kurikulum baru yang dilaksanakan sejak 1954/1955 tetapi
diundangkan secara resmi pada tahun 1954 yaitu setelah dilaksanakan selama 3
tahun. Walau pun dilaksanakan mulai tahun ajaran 1954/1955 karena
diundangkan pada tahun 1954 kurikulum ini dikenal dengan nama Rencana
Pelajaran 1954.
Pada masa antara 1954 – 1959 Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP dan K) baru memiliki bagian-bagian yang berkenaan dengan
pelayanan tetapi belum memiliki bagian yang berkenaan dengan penelitian dan
pengembangan. Oleh karena itu tidak ada lembaga/kantor khusus yang bertugas
untuk penelitian dan pengembangan kurikulum (istilah yang digunakan masih
Rencana Pelajaran). Rencana Pelajaran SMP 1954 diterbitkan dan diundangkan
oleh Jawatan Pendidikan Umum, Kementerian PP dan K. Kurikulum SMP 1954
yang dihasilkan pada masa ini yaitu Rencana Pelajaran SMP 1954 dikembangkan
dan dihasilkan oleh para inspektur SMP, sebagai hasil kerja mereka dalam sebuah
konperensi yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1953.
Ketiadaan lembaga khusus yang memiliki tugas resmi mengembangkan
kurikulum, seperti Pusat Kurikulum (PUSKUR) pada masa kini, tidak harus
berarti mereka memiliki keterbatasan dalam wawasan teoritik pengembangan
kurikulum. Pada masa itu para inspektur dianggap orang yang paling
berpengalaman dalam dunia pendidikan (SMP) dan oleh karenanya dianggap
kelompok yang paling mampu untuk mengembangkan rencana pelajaran baru
sesuai dengan undang-undang pendidikan yang baru. Pengalaman mereka yang
panjang dalam dunia pendidikan menjadi dasar kuat dalam wawasan dan
kemampuan pengembangan kurikulum. Kebebasan berpikir yang dipayungi oleh
kehidupan politik parlementer masa itu menyebabkan para inspektur memiliki
kebebasan dalam memikirkan dan merencanakan rencana pelajaran yang baru.
Kelompok pengembang tersebut bebas dari pengarahan dari para atasan termasuk
dari menteri PP dan K.
48
Kurikulum yang dikembangkan dalam Rencana Pelajaran 1954 dapat dikatakan
memang masih terbatas baik dalam dimensi ide mau pun dalam pengembangan
rincian komponen serta format/model yang digunakan. Meski pun demikian,
dasar-dasar dan komponen penting yang harus dimiliki sebuah dokumen
kurikulum sebagai rencana telah tertuang dalam rumusan yang singkat dan padat.
Ide tentang pembelajaran setiap mata pelajaran dirumuskan dalam maksud dan
tujuan, petunjuk didaktik (cara mengajar) serta pokok bahasan yang terpisah.
Tampaknya, kesederhanaan dalam pemikiran dan format/model adalah
kecenderungan masa itu. Lagipula dapat dikatakan bahwa kesederhanaan
mencerminkan nilai yang tinggi dalam sistem nilai budaya bangsa Indonesia pada
waktu itu. Oleh karenanya, kesederhanaan dalam format dianggap sebagai standar
yang baik pula. Hal lain yang jelas ialah apa yang telah dirumuskan dalam
rencana pelajaran sangat mewakili kualitas pemahaman para pengembang
Rencana Pelajaran tentang suatu ide serta tradisi pendidikan yang berlaku saat itu.
Pokok-pokok bahasan setiap mata pelajaran diirinci dalam bentuk suatu tabel
yang berisikan kolom mengenai informasi tentang jumlah jam pelajaran dalam
satu minggu untuk suatu pokok bahasan, pokok bahasan yang dinamakan
pokok/bagian, pelajaran yang merupakan rincian materi pokok bahasan
(pokok/bagian), dan keterangan. Buku yang harus digunakan guru sebagai
pegangan dalam pembelajaran dan buku yang harus dibaca peserta didik untuk
setiap kelas ditetapkan di bagian bawah tabel. Rancangan tersebut memiliki
keterbacaan yang tinggi, didukung oleh penggunaan istilah yang umum dan
dikenal dengan baik oleh guru.
Keuntungan lain dari rencana pelajaran yang dikembangkan oleh para inspektur
adalah kemudahan dalam sosialisasi dan implementasi. Keterpautan emosional
para inspektur terhadap kelompok yang telah menghasilkan kurikulum tersebut,
menyebabkan mereka memiliki dedikasi yang tinggi untuk menjaga keberhasilan
pelaksanaan rencana pelajaran yang telah dihasilkan kelompok inspektur menjadi
suatu kenyataan di kelas. Apalagi inspektur adalah mereka yang memiliki
wewenang formal dan “kekuasaan” untuk memonitor dan membantu kesulitan
guru dalam pelaksanaan implementasi rencana pelajaran.
49
B. FILOSOFI KURIKULUM SMP 1954
Pada masa pemerintahan Kabinet Parlementer, Pemerintah Indonesia
menghasilkan kurikulum yang dikenal dengan nama Rencana Pelajaran SMP
1954. Dari tujuan yang dirumuskan untuk setiap mata pelajaran dapat dikatakan
adanya indikasi yang kuat bahwa filosofi kurikulum yang dianut adalah gabungan
antara filosofi experimentalisme-rekonstruksi sosial (Tanner dan Tanner, 1980).
Setiap tujuan yang dirumuskan menekankan pada kegunaan praktis dari materi
mata pelajaran bagi peserta didik agar dapat digunakan ketika mereka masuk
menjadi anggota masyarakat yang aktif. Walau pun berorientasi pada
pemanfaatan praktis yaitu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, suatu
kenyataan yang harus diingat bahwa orientasi praktis tersebut tidak mengabaikan
pengembangan aspek intelektualitas peserta didik.
Posisi filosofi gabungan antara experimentalisme-rekonstruksi dan essensialisme
adalah sesuatu yang wajar dan mudah dipahami jika diingat bahwa kurikulum
SMP 1954 dihasilkan berdasarkan undang-undang pertama pendidikan Indonesia
yang sangat kuat dalam pandangan bahwa pendidikan adalah alat untuk
mensejahterakan masyarakat. Pendidikan yang hanya berfokus pada
pengembangan intelektual atau pun kemampuan berpikir rasional semata ditolak
oleh para penentu undang-undang tersebut yaitu anggota Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ketika merumuskan UU nomor 4 tahun
1950, yang nota bene adalah generasi pertama pendiri bangsa ini, dan oleh
anggota DPR-RI ketika UU nomor 4 tahun 1950 ditelaah kembali dan kemudian
diundangkan sebagai UU nomor 12 tahun 1954.
Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954, pelajaran bahasa Indonesia ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan menimbulkan keinsyafan
peserta didik sebagai bangsa warga bangsa Indonesia, bahasa Inggeris ditujukan
untuk mampu menggunakan bahasa tersebut dalam hubungan dengan dunia luar
baik secara aktif mau pun pasif, ilmu pasti untuk membentuk jiwa yang kritis serta
memupuk kebiasaan bersih, teliti, tabah, dan tanggungjawab dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam menyelesaikan pekerjaan. Pelajaran pengetahuan alam
50
ditujukan untuk mengenal dan memperhatikan alam di sekitar peserta didik dan
menambah pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam serta menggunakan
pengetahuan tersebut dalam praktek kehidupan keseharian. Untuk kelompok
Pengetahuan Sosial ( mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah) tujuannya adalah agar
dapat membangun keinsyafan pada peserta didik sebagai warganegara yang
demokratis, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit. Sedangkan
tujuan pelajaran ekonomi adalah mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan
pelajaran dan untuk hidup di masyarakat dengan pengetahuan yang berguna dalam
pembangunan ekonomi nasional.
C. TUJUAN MATA PELAJARAN
Istilah tujuan yang digunakan dalam Rencana Pelajaran 1954 adalah Maksud dan
Tujuan. Maksud menggambarkan apa yang diinginkan sedangkan tujuan
menyatakan apa yang akan dicapai/dimiliki. Kedua kata tersebut menjadi satu
istilah teknis yang digunakan kurikulum 1954 dan sebelumnya untuk
menggambarkan apa yang dimaksudkan dengan istilah tujuan yang dipakai
kurikulum pada masa kini. Rencana Pelajaran SMP 1954 tidak mencantumkan
tujuan yang akan dicapai oleh kurikulum.
Kurikulum 1954 atau lebih tepatnya dinamakan Rencana Pelajaran SMP yang
diimplementasikan pada 1954/1955 untuk kelas I SMP (tahun 1955/1956 untuk
kelas II dan tahun 1956/1957 untuk kelas III. Dokumen Rencana Pelajaran SMP
1954 diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP dan K pada
tahun 1958. Rencana Pelajaran atau kurikulum 1954 tersebut disusun berdasarkan
Konperensi Inspektur-inspektur SMP tahun 1953 di Bandung. Ide kurikulum
belum tampak sebagai kesatuan tetapi sudah ada dalam bentuk pikiran tentang
setiap mata pelajaran, sebelum rincian materi ajar (pokok bahasan) suatu mata
pelajaran untuk setiap kelas. Dokumen kurikulum terdiri dari hanya satu buku
yang berisikan struktur mata pelajaran dan dinamakan ikhtisar daftar jam
pelajaran diikuti dengan ide/pikiran kurikulum untuk setiap mata pelajaran, dan
kemudian rincian bahan ajar untuk setiap kelas.
51
Ide kurikulum (mata pelajaran) berisikan pokok-pokok pikiran tentang tujuan
(diistilahkan dengan maksud dan tujuan), dan petunjuk didaktik (istilah yang
diwarisi dari bahasa Belanda). Petunjuk didaktik terdiri atas strategi dan proses
pencapaian tujuan (bagaimanakah mencapai tujuan), dan pokok-pokok materi
pelajaran.Dalam strategi dan proses pencapaian tujuan dikemukakan peran guru,
aspek-aspek kemampuan belajar peserta didik yang harus diperhatikan guru, dan
kegiatan yang harus dilakukan peserta didik (istilah yang digunakan pada waktu
itu adalah murid).
Dalam kurikulum 1954 mata pelajaran dibagi dalam 6 kelompok dan 3 mata
pelajaran berdiri sendiri (tidak masuk kelompok). Kelompok-kelompok tersebut
adalah kelompok bahasa, ilmu pasti, pengetahuan alam, pengetahuan sosial,
pelajaran ekonomi, pelajaran ekspresi. Sedangkan mata pelajaran yang tidak
membentuk kelompok dan berdiri sendiri adalah mata pelajaran pendidikan
jasmani, budi pekerti, agama. Mata pelajaran agama bukan mata pelajaran wajib
karena Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 pasal 20 ayat (1) menyebutkan
bahwa pelajaran agama diberikan di sekolah negeri tetapi orang tua memiliki hak
menentukan apakah anaknya ikut pelajaran agama atau tidak. Dalam struktur
kurikulum ditentukan pula jumlah jam pelajaran untuk tahun pertama, tahun
kedua, dan tahun ketiga.
Kurikulum SMP tahun 1954 memiliki jalur atau jurusan. Peserta didik harus
mengikuti pelajaran yang sama selama 2 tahun dan pada kenaikan ke kelas 3
ditentukan apakah seseorang naik ke kelas III A (bahasa, ekonomi, sosial) atau ke
kelas III B (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam). Nilai rapor peserta didik dalam
mata pelajaran terkait menentukan apakah seseorang naik ke kelas A atau B.
Mereka yang memiliki nilai rapor yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran
kelompok bahasa, ekonomi dan sosial akan naik ke kelas III A sedangkan mereka
yang memiliki nilai yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran kelompok Ilmu
Pasti dan Pengetahuan Alam naik ke kelas III B.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam dokumen Rencana Pelajaran
SMP 1954 tidak merumuskan tujuan kurikuler atau pun tujuan instruksional
52
umum. Model (kurikulum) yang berlaku pada masa itu belum mengenal
“nomenclature” tujuan rencana pelajaran (tujuan kurikulum) . Pada masa itu
pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran masih sangat kuat dan oleh
karenanya istilah yang dikenal adalah tujuan mata pelajaran. Mata pelajaran lah
yang memiki materi pelajaran dan dengan demikian maka mata pelajaran pulalah
yang memiliki tujuan. Rencana pelajaran adalah rencana dari setiap mata
pelajaran dan bukan merupakan satu kesatuan rencana yang ditopang oleh
berbagai materi yang dikemas dalam mata pelajaran, sebagaimana yang dikenal
dalam pengembangan kurikulum (modern).
Disamping tujuan mata pelajaran, Rencana Pelajaran SMP 1954 juga memiliki
tujuan kelompok mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran dijadikan satu dalam
kelompok seperti kelompok Ilmu Pasti, Pengetahuan Alam, dan Pengetahuan
Sosial. Hakekat pengelompokkan ini adalah adanya kesamaan antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran lain. Bahasa Indonesia, bahasa Inggeris, dan
bahasa daerah masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan dan tidak ada
rumusan tujuan untuk kelompok bahasa. Tampaknya hal tersebut disebabkan
karena posisi dan karakter materi pelajaran bahasa Indonesia berbeda dari bahasa
Inggeris sebagai bahasa asing, dan bahasa daerah yang berlaku hanya untuk
daerah tertentu. Sedangkan mata pelajaran berhitung, aljabar, dan ilmu ukur dalam
kelompok ilmu pasti karena memiliki persamaan posisi teoritik keilmuan dan
karakter materi pelajaran sehingga ada tujuan kelompok mata pelajaran sedangkan
tujuan mata pelajaran disebut dengan istilah tujuan khusus. Dalam kelompok
Pengetahuan Alam ada mata pelajaran ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hayat, dan
hanya ada tujuan kelompok pengetahuan alam sedangkan tujuan khusus untuk
setiap mata pelajaran tidak ada. Untuk kelompok Pengetahuan Sosial yang terdiri
dari mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah ada tujuan kelompok dan tujuan
masing-masing mata pelajaran. Jadi terdapat ketidakajegan (inkonsistensi) dalam
konseptualisasi rencana pelajaran.
Ketidakajegan dalam merumuskan tujuan tampaknya disebabkan karena masing-
masing kelompok dikembangkan oleh kelompok inspektur yang khusus dan
53
masing-masing kelompok inspektur memiliki kebebasan dalam mengembangkan
rencana pelajaran untuk kelompoknya. Meski pun demikian, sesuatu yang
disepakati ialah adanya komponen tujuan yang dinamakan maksud dan tujuan.
Keseragaman hanya terjadi bahwa mereka (tim inspektur) merumuskan rencana
pelajaran dalam aspek kelas, jam per minggu, pokok/bagian mata pelajaran,
materi pelajaran yang diistilahkan dengan pelajaran dan keterangan dalam suatu
bangunan tabel atau matriks.
Dari dokumen yang diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP
dan K, maksud dan tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan sebagai berikut:
Tabel 5.1: Kelompok, Maksud dan Tujuan Rencana Pelajaran SMP 1954
Kelompok Mata Pelajaran dan
Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan
Bahasa Indonesia A.membentuk penguasaan bahasa yang sedemikian hingga murid2 dengan teliti dan lancar dapat mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka serta dengan teliti dan lancar pula dapat memahami orang lain B. harus menimbulkan di hati murid2 keinsyafan sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan dan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia, yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan dihargai setinggi-tingginya
Bahasa Inggeris A.Tujuan umum mempelajari bahasa Inggeris ialah memperoleh suatu alat hubungan dengan dunia luar (dalam lapangan politik, kebudayaan, pengetahuan, ekonomi, dan sebagainya). Oleh karena bagian besar di dunia mempergunakan bahasa Inggeris, maka pentinglah bagi kita untuk menguasai bahasa ini sebaik-baiknya. B.Tujuan khusus pelajaran bahasa Inggeris pada sekolah menengah pertama ialah supaya murid dapat mempergunakan bahasa Inggeris yang sederhana baik pasif mau pun aktif.
Bahasa Daerah
Kelompok Ilmu Pasti
1. Mengajar berpikir secara logis, agar terbentuklah jiwa yang kritis 2. Memupuk kebiasaan untuk menyelesaikan tiap pekerjaan dengan kebersihan, ketelitian, ketabahan hati serta penuh
54
Kelompok Mata Pelajaran dan
Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan
1.Berhitung 2.Aljabar 3. Ilmu Ukur
rasa tanggung jawab 3. Mengajar mempergunakan segala kecakapan dan kebiasaan itu dalam kehidupan sehari-hari ----------------------------------------------------------------------- a.Memelihara dan mempertinggi ketangkasan dan ketelitian terutama mengenai berhitung angka b. Membantu pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur ------------------------------------------------------------------------ a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Aljabar dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Ukur, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang aljabar agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA ------------------------------------------------------------------------- a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Ukur dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Menggambar, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang Ilmu Ukur, agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA c.Belajar menyusun suatu uraian yang logis, singkat dan tepat
Kelompok Pengetahuan Alam
1.umumnya bertujuan mengenal dan memperhatikan alam di sekitar kita dan menambah pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala dalam alam, berdasarkan sifat-sifatnya dan hukum-hukunya yang tertentu 2.memberikan pengertian tentang alat-alat dan sebagainya yang dipergunakan dalam praktek hidup sehari-hari yang kerjanya berdasarkan hukum-hukum alam tersebut. 3.pada umumnya untuk menarik perhatian murid-murid akan alam di sekitar kita dan memberi dasar untuk pelajaran pada SLA
Kelompok Pengetahuan Sosial
1.Memberi pengetahuan dan pengertian dasar tentang cara hidup manusia berhubung dngan keadaan alam sekelilingnya, perkembangan dan susunan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia khususya, dan negara-negara lain umumnya 2.Memberi pengetahuan dasar tentang kebudayaan bangsa
55
Kelompok Mata Pelajaran dan
Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan
Ilmu Bumi Sejarah
Indonesia dan bangsa lain 3.Membangun akan keinsyafan kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala kebangsaan yang sempit 4.Memberi pengertian tentang perhubungan antara bangsa dengan bangsa yang lain yang menjadi syarat mutlak untuk menuju ke arah pelaksanaan kemakmuran dan kesejahteraan bersama ------------------------------------------------------------------------- 1.Memberi pengetahuan dan pengertian tentang keadaan geografis indonesia dan negara-negara lain di dunia ini yang menentukan keadaan dan perkembangan cara hidup manusia dalam segala lapangan 2.Memperbesar kecakapan murid-murid untuk mempergunakan alat-alat Ilmu Bumi (peta, globe, angka-angka, statistik, gambar2, grafik-grafik) agar dapat memberi manfaat kepadanya dalam kehidupannya sehari-hari ------------------------------------------------------------------------- 1.Memberi pengertian elementer tentang pertumbuhan dan perkembangan di dalam kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa sendiri pada khususnya; atau dengan kata-kata lain: memberi sekedar pengertian tentang terjadinya masyarakat dan susunannya dewasa ini 2.Menarik pelajaran-pelajaran yang berguna dari peristiwa-peristiwa luhuran budi dan sifat dari pada orang-orang yang besar yang berjasa dalam sejarah 3.Mempertinggi budi-pekerti murid2 dengan jalan menunjukkan kejadian yang telah terjadi di waktu yang lampau 4.Membangkitkan dan memelihara serta memupuk rasa cinta akan bangsa dan tanah air 5.Memahami cara dan susunan pemerintahan di negeri kita dan di samping itu juga di negeri lain
Kelompok Pelajaran Ekonomi
1.Memperkenalkan murid-murid dengan gejala-gejala dalam lapangan ekonomi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari 2.Memberi pengetahuan pokok tentang hal yang tersebut di atas dan ketangkasan2 di dalam soal-soal hitung dagang untuk mempersiapkan murid:
56
Kelompok Mata Pelajaran dan
Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan
Hitung Dagang Pengetahuan Dagang
a.melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi b.memasuki masyarakat di hari kelak dengan pengetahuan yang berguna dalam pembangunan ekonomi nasional ------------------------------------------------------------------------ 1.Memberi pengetahuan dasar tentang menghitung hal-hal yang terpenting dalam transaksi perdagangan 2.Menambah kecakapan berhitung terutama untuk keperluan Perdagangan ------------------------------------------------------------------------ 1.Mempersiapkan murid untuk melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi 2.Memberi pengetahuan dan pengertian pokok tentang hal- hal yang terdapat dalam dunia ekonomi dan perdagangan, supaya murid dapat mengerti dalam garis besar, apa yang terjadi dalam dunia ekonomi di sekitar mereka
Kelompok Mata Pelajaran Ekspresi Seni Suara Menggambar
1.Mendidik dan membimbing murid-murid untuk menyetakan perasaan dan fikiran dengan bebas dan untuk mencipta sesuatu yang sesuai dengan kewajibannya (aktif kreatif) 2.Membangun dan mengembangkan rasa keindahan dan mendidik murid menghargai ciptaan orang lain khusus karena sifat keindahannya 3.Memberi pendidikan yang menjamin keseimbangan antara pendidikan fikiran (intelek), perasaan (emosi) dan jasmani 4.Memberikan perintang waktu 5.Melatih murid dalam ketangkasan ------------------------------------------------------------------------ a.Mengembangkan perasaan dan membangun minat terhadap Seni-Suara (vokal dan instrumental), dapat menghargai dan mengikuti ciptaan seni suara b.Memberi pengetahuan dasar dan melatih murid menyanyi lagu-lagu sederhana dengan tepat dan suara murni c.Turut menghidupkan perasaan kebangsaan, persatuan dan persaudaraan d.Sedapat mungkin murid harus dapat mempergunakan alat musik atau gamelan ------------------------------------------------------------------------- 1.Mendidik mengamat-amati alam sekitarnya dengan teliti 2.Mengembangkan perasaan tentang perbandingan antara benda-benda dan bagian-bagiannya 3.Melatih murid dalam ketangkasan
57
Kelompok Mata Pelajaran dan
Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan
Pekerjaan Tangan
4.menggambar untuk mata pelajaran lain (Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya) 5.Mengembangkan perasaan keindahan dan keseimbangan warna dan bentuk ------------------------------------------------------------------------ 1. Mendidik murid untuk mewujudkan perasaan dan fikiran dalam rupa yang berukuran tiga 2. Membangunkan dan mengembangkan aktivitas dan daya cipta murid2 3. Memupuk rasa indah 4. Menghidupkan hasrat kerja praktis 5. Memperkuat rasa tata tertib dan susunan teratur 6. Mengadakan keseimbangan (harmoni) antara rohani dan jasmani 7. Memberikan perintang waktu yang berfaedah bagi murid2
Budi Pekerti (terjalin dalam semua mata pelajaran dan dalam semua usaha sekolah)
1. Mendidik murid-murid agar menjadi anggota masyarakat yang bersifat dan berperasaan sosial 2. Mendidik murid2 menjadi manusia yang berakhlak baik 3. Mendidik murid2 menjadi warganegara yang baik dan Bertanggungjwab
Agama Dibuat oleh Kementerian Agama
Keterangan:
Hasrat = kemauan Keinsyafan = kesadaran Ketangkasan=Ketrampilan Perintang waktu = penggunaan waktu senggang Ilmu Alam = Fisika Ilmu Bumi = Geografi Ilmu Hayat = Biologi
Dari setiap rumusan maksud dan tujuan pada kurikulum SMP 1954 yang
dikemukakan dalam Tabel 5.1 di atas terdapat petunjuk yang jelas bahwa apa
yang sudah dipelajari peserta didik di sekolah harus berguna bagi kehidupan
sehari-hari peserta didik. Masalah yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai
pokok kajian/bahasan.
58
Pemanfaatan suatu ketrampilan untuk mata pelajaran lain dinyatakan secara
eksplisit. Ketrampilan dalam ilmu ukur, misalnya, digunakan untuk menggambar,
geografi dan biologi sedangkan kemampuan menggambar digunakan untuk
geografi, sejarah, biologi, dan fisika. Konsep keterkaitan ketrampilan yang
dikembangkan oleh satu mata pelajaran dan terkait dengan mata pelajaran lain
memberikan petunjuk bahwa para pengembang rencana pelajaran tersebut
memahami secara mendalam karakteristik materi kurikulum/pelajaran yang
dinamakan ketrampilan. Pemahaman yang mendalam mengenai karaktersitik
materi nilai ditunjukkan oleh pernyataan mengenai budi pekerti dimana
disebutkan pendidikan budi pekerti “terjalin dalam semua mata pelajaran dan
dalam semua usaha sekolah”. Sementara penguasaan pengetahuan yang bersifat
berbeda dari materi ketrampilan dan nilai tidak dijalin dengan mata pelajaran lain
karena memang sifat dari pengetahuan yang spesifik dan sulit digunakan untuk
mempelajari materi pengetahuan mata pelajaran lain yang juga bersifat spesifik.
Dari apa yang tersurat pada maksud dan tujuan, selain mencerminkan pemahaman
yang mendalam dari para pengembang Rencana Pelajaran SMP 1954 tetapi juga
mencerminkan konsep kurikulum modern. Indikasi yang ditunjukkan oleh maksud
dan tujuan pada Rencana Pelajaran tersebut mencerminkan pengertian kurikulum
bukan lagi sekedar daftar mata pelajaran. Jadi walau pun istilah yang digunakan
adalah Rencana Pelajaran tetapi pengertian kurikulum yang digunakan adalah
pengertian modern kurikulum. Dalam pengertian modern, kurikulum adalah suatu
rancangan pendidikan yang dikembangkan dalam bentuk rencana, dilaksanakan
dalam berbagai proses interaksi, untuk mempersiapkan peserta didik bagi
kehidupannya sebagai anggota masyarakat/bangsa dan sebagai dirinya. Sedangkan
mata pelajaran hanyalah sekedar organisasi materi kurikulum yang karena terlalu
luas maka diikat dalam suatu kesatuan organisasi yang dinamakan mata pelajaran.
Oleh karena itu, secara hakiki setiap mata pelajaran adalah bagian integral
kurikulum dan bersifat saling menunjang antara satu mata pelajaran dengan mata
pelajaran lainnya. Organisasi konten kurikulum dalam kemasan mata-mata
pelajaran itu menyebabkan proses pembelajaran menjadi terkendali (manageable)
dan terencana dengan baik.
59
Perlu dikemukakan bahwa dalam setiap mata pelajaran terdapat materi kurikulum
yang sifatnya spesifik untuk suatu mata pelajaran dan materi kurikulum yang
sifatnya umum dan untuk semua mata pelajaran. Materi kurikulum yang bersifat
spesifik adalah pengetahuan. Pengetahuan terdiri atas pengetahuan tentang fakta,
istilah, kategori atau klasifikasi, prinsip, generalisasi, teori, model, strukture,
prosedur, cara-cara, pendapat, dan menggunakan sesuatu.Materi kurikulum yang
bersifat umum dan menjadi milik semua mata pelajaran berkenaan dengan
kemampuan berpikir, berkomunikasi, menerapkan ketrampilan, cara kerja, nilai
dan sikap, serta kebiasaan (Airasian, 2001). Prinsip yang digunakan dalam
rumusan tujuan dan maksud pada tabel 5.1 di atas jelas memperlihatkan
penerapan kedua kelompok materi kurikulum yang dikemukakan sebelumnya
dengan baik. Berbagai ketrampilan dan nilai diterapkan pada berbagai mata
pelajaran sedangkan pengetahuan yang spesifik mata pelajaran menjadi materi
kajian untuk mata pelajaran terkait.
Pendekatan yang digunakan untuk menyatakan keterkaitan itu dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Pendekatan yang dilakukan oleh Rencana Pelajaran SMP
1954 menempatkan keterkaitan antar mata pelajaran dalam rumusan maksud dan
tujuan. Format lain yang dapat digunakan adalah merumuskan keterkaitan itu
dalam elemen pengorganisasian (organizing element) seperti konsep, tema,
ketrampilan dan nilai, atau lainnya.
D. STRUKTUR RENCANA PELAJARAN DAN MATA PELAJARAN
Struktur dan mata pelajaran yang terdapat dalam Rencana Pelajaran SMP tahun
1954 tercantum pada tabel berikut:
Tabel 5.2: Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Tahun 1954
60
Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran
I II IIIA IIIB
Bahasa Indonesia 5 5 6 5
Bahasa Inggeris 5 4 5 4
Bahasa Daerah 2 2 2 1
I
Bahasa
Sub Jumlah 12 11 13 10
Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4
Ilmu Ukur 3 3 - 4
II
Ilmu Pasti
Sub Jumlah 7 6 2 8
Ilmu Alam/Kimia 2 4 2 5
Ilmu Hayat 2 2 2 2
III
Pengetahuan Alam
Sub Jumlah 4 6 4 7
Ilmu Bumi 2 2 3 2
Sejarah 2 2 3 2
IV
Pengetahuan Sosial
Sub Jumlah 4 4 6 4
Hitung Dagang - 1 2 -
Pengetahuan Dagang - - 2 -
V
Pelajaran Ekonomi
Sub Jumlah - 1 4 -
Seni Suara 1 1 1 1
Menggambar 2 2 2 2
Pek. Tangan/Ker. Wanita 2 2 2 2
VI
Pelajaran Ekspresi
Sub Jumlah 5 5 5 5
VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3
VIII Budi Pekerti (bukan mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah)
IX Agama 2 2 2 2
Jumlah 37 37 39 39
Rencana pelajaran SMP 1954 menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa
mendapatkan alokasi waktu yang paling banyak (46 jam), diikuti oleh kelompok
Ilmu Pasti (23 jam), Ilmu Alam (21 jam), Ekspresi (20 jam) dan Pengetahuan
Sosial (18 jam). Alokasi waktu untuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris
bahkan lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya, lebih dari dua kali dari kelompok
61
lainnya.. Alokasi waktu tersebut dapat dimaknai sebagai prioritas yang diberikan
terhadap pendidikan bahasa terutama bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Posisi
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional amat penting dalam mengembangkan
jati diri bangsa peserta didik dan oleh karenanya mereka harus memiliki
kesempatan yang luas dalam menguasai bahasa persatuan tersebut. Bahasa
Inggeris digunakan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik
berkomunikasi dengan bangsa lain.
Suatu yang mengundang pertanyaan adalah posisi bahasa daerah. Mata pelajaran
bahasa daerah memang tidak berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia tetapi
bahasa daerah adalah wahana bagi peserta didik untuk mengenal dirinya dan
masyarakat terdekat lebih baik. Berdasarkan prinsip pendidikan yang
dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1977) maka pendidikan harus berakar pada
budaya dan agama. Artinya, peserta didik seharusnya mendapatkan keleluasaan
belajar bahasa daerah lebih besar dari alokasi waktu yang tercantum dalam
struktur kurikulum SMP 1954. Memang jika prinsip pendidikan yang
dikemukakan Ki Hajar Dewantara ingin diterapkan maka pelajaran kebudayaan
daerah yang didalamnya terdapat bahasa daerah, budaya dan nilai) menjadi nama
mata pelajaran menggntikn nama bahasa daerah.
Kelompok mata pelajaran ilmu pasti, pengetahuan alam, ekspresi, dan
pengetahuan sosial diberikan alokasi waktu yang berimbang. Perbedaan antara
satu dengan lainnya dalam keempat kelompok tersebut tidak terlalu mencolok jika
dibandingkan dengan perbedaan keempatnya dengan kelompok mata pelajaran
bahasa. Posisi kelompok ekspresi memang menarik karena kelompok ini
diharapkan dapat mengembangkan kreativitas, kecerdasan emosional, rasa indah
serta membangun keseimbangan antara ketiganya dengan kemampuan intelektual,
kessimbangan antara perkembangan jasmani dan rokhani, memberi kesempatan
bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan vokasional dan
menggunakan waktu dengan kegiatan yang berguna. Oleh karena itu kelompok
ekspresi mendapat alokasi waktu yang cukup. Ketiga kelompok lainnya, secara
tradisional berkenaan dengan pengembangan kemampuan intelektual walau pun
62
pandangan itu tidak lagi dianut secara ketat oleh para pengembang kurikulum
SMP 1954.
E. KOMPONEN RENCANA PELAJARAN SMP 1954
Struktur Rencana Pelajaran SMP 1954 mirip dengan Rencana Pelajaran 1950.
Sebagaimana sebelumnya, pendidikan SMP di kelas I dan II adalah pendidikan
dasar tingkat menengah pertama kemudian dilanjutkan di kelas III dengan
pendidikan spesialisasi yang dinamakan jurusan. Di kelas III dikenal ada jurusan
A (sosial-ekonomi) dan B (Ilmu Pasti), sama seperti Rencana Pelajaran
sebelumnya. Perubahan dalam ide kurikulum sangat sedikit. Perbedaan yang
mendasar terutama dalam pemberian makna terhadap pendidikan jurusan dan
konsekuensinya dalam beban belajar jurusan. Dalam pandangan tersebut untuk
jurusan A diperlukan penguasaan bahasa Inggeris yang lebih baik sehingga jam
pelajaran bahasa Inggeris untuk jurusan A ditambah dari 4 menjadi 5 jam.
Demikian pula pelajaran sejarah untuk jurusan A ditambah dari 2 menjadi 3 jam.
Sementara itu untuk jurusan B dirasakan perlu penambahan jam pelajaran untuk
bidang terkait dengan jurusan B (Pasti-Alam) yaitu Ilmu Alam/Kimia ditambah
dari 2 menjadi 5 jam sedangkan materi ilmu bumi dianggap tidak perlu terlalu
banyak sehingga dikurangi dari 3 menjadi 2 jam.
Konsekuensi dari pandangan yang berbeda tentang pendidikan jurusan
menyebabkan beban belajar untuk kelas III lebih besar dibandingkan dari
pendidikan dasar di kelas I dan II SMP. Tampaknya bagi para pengembang
kurikulum, pendidikan spesialisasi dipandang sebagai pendidikan yang
memerlukan pendalaman tertentu yang terkait dengan jurusan tersebut.
Berdasarkan pandangan tersebut pula maka untuk setiap jurusan diberikan
tambahan mata pelajaran baru yang dianggap perlu untuk memperkuat
kemampuan peserta didik di masing-masing jurusan. Untuk jurusan A (Sosial-
ekonomi) ada penambahan mata mata pelajaran Pengetahuan Dagang sedangkan
pada jurusan B (Ilmu Pasti) ada penambahan mata pelajaran Ilmu Kimia yang di
kelas I dan II dimasukkan dalam pelajaran Pengetahuan Alam tetapi di kelas III B
ilmu Kimia diajarkan sebagai mata pelajaran berdiri sendiri. Pandangan mengenai
63
perlunya kajian yang lebih mendalam untuk beberapa mata pelajaran dan perlu
adanya mata pelajaran baru menyebabkan jumlah jam belajar di kelas III menjadi
lebih besar dibandingkan di kelas I dan II.
Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 ditetapkan jam belajar sebagai berikut:
jumlah jam belajar satu minggu untuk untuk kelas I dan II adalah 37 jam
pelajaran terdiri atas hari Senin – Rabu diberikan 7 jam pelajaran, hari Kamis dan
Sabtu 6 jam pelajaran, sedangkan hari Jum’at hanya diberikan 4 jam pelajaran.
Sedangkan jumlah jam belajar untuk kelas III adalah 39 jam terdiri atas 7 jam
pelajaran untuk hari Senin – Kamis dan Sabtu sedangkan untuk hari Jum’at tetap
4 jam pelajaran. Setiap hari disediakan 2 kali jam istirahat, masing-masing 15
menit kecuali pada hari Jum’at hanya disediakan satu kali jam istirahat.
Rencana Pelajaran SMP 1954 menyediakan petunjuk pelaksanaan pembelajaran
setiap kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran, dan dinamakan Petunjuk
Didaktik. Dalam petunjuk tersebut dikemukakan apa yang diharapkan dilakukan
oleh para peserta didik dan bagaimana guru harus berbuat sehingga perilaku yang
diharapkan dari peserta didik tadi dapat diwujudkan. Misalkan untuk kelompok
bahasa maka peserta didik diharapkan dapat “mengeluarkan pikiran dan perasaan
secara lisan, ialah bercakap-cakap, bercerita, berpidato, menguraikan sesuatu,
bersoal-jawab, menilpon dan sebagainya”. Untuk itu guru harus memimpin prose
belajar di kelas dengan:
a. Memberikan kesempatan kepada murid untuk berlatih mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan
b. Latihan ini hendaklah berisi pula latihan percaya akan diri sendiri dan berani mengucapkan sesuatu sehingga tumbuh suatu peribadi yang bebas dan tahu harga diri
c. Isi daripada yang diucapkan itu hendaklah tersusun secara logis sehingga ucapan itu menjadi teliti dan jelas. Bentuk ucapan itu (susunan kalimat dan pemakaian kata-kata) seperti yang lazim dalam Bahasa Indonesia
d. Lancar atau tidak keluarnya ucapan itu tergantung pada latihan yang cukup e. Hal yang dijadikan pokok pembicaraan dapat diambil dari lapangan
kehidupan masyarakat. Syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa murid tahu betul-betul seluk-beluknya, sehingga murid biasa mengucapkan pikiran dan perasaan secara teliti dan lancar (Djawatan Pendidikan Umum Kementerian P.P dan K, 1954:6)
64
Petunjuk didaktik untuk ketrampilan berbahasa tulis dikemukakan adalah sebagai
berikut: “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara tulisan ialah pada hakekatnya
mengarang, yang terdiri dari membuat ceritera pendek, membuat laporan sesuatu
kejadian, membuat surat, membuat ikhtisar, menyusun iklan, menyusun tilgram,
dan sebagainya”.
a. Secara teliti dan lekas menuliskan buah pikiran, baru dapat setelah melewati
latihan yang banyak. Berikan murid2 kesempatan yang cukup untuk berlatih b. Isi karangan hendaklah logis dan tersusun baik sehingga terang segala yang
dimakud untuk membaca. Pakailah kalimat yag sederhana c. Bentuknya harus menurut jalan Bahasa Indonesia dan tertulis dalam ejaan
yang teratur. Orientasi kurikulum pada kehidupan keseharian dan pemanfaatan apa yang sudah
dipelajari terungkapkan dengan jelas dalam petunjuk didaktik setiap kelompok/
mata pelajaran. Dalam pelajaran bahasa Indonesia kegiatan belajar membuat surat,
menyusun iklan dan menyusun telegram (pada masa itu telegram adalah
komunikasi tertulis tercepat) menunjukkan orientasi kurikulum terhadap
kehidupan keseharian. Dalam pelajaran bahasa Inggeris ada 9 petunjuk didaktik
yaitu “intonation”, “pronounciation”, kepercayaan diri peserta didik16,
penggunaan gambar, cerita pendek, perbendaharaan kata yang terkait dengan
kehidupan sehari-hari peserta didik, kata digunakaan dalam konteks dan demikian
juga tes, terjemahan dilakukan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, dan
pengenalan budaya. Jelas 9 petunjuk tersebut menekankan pada pemanfaatan
bahasa dan kemampuan berbahasa keseharian. Lagipula kepercayaan peserta didik
bahwa mereka mampu berbahasa Inggeris menjadi suatu dasar didaktik yang
sangat kuat dan masih perlu dikembangkan pada masa kini. Banyak peserta didik
yang sudah merasa tidak mampu ketika diminta membaca atau berbicara dalam
16 Kepercayaan diri dalam berbahasa asing adalah modal dasar untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Setiap orang yang mau mengungkapkan pikirannya dalam bahasa asing harus diawali dengan kepercayaan diri, dan berdasarkan kepercayaan diri yang dimilikinya yang bersangkutan menata pikirannya dalam struktur kalimat yang sesuai dengan kaedah bahasa terkait. Dengan kepercayaan diri itu pula yang bersangkutan memiliki “keberanian” untuk mengucapkan kalimat yang ada pada pikirannya. Oleh karena itu membangun kepercayaan diri peserta didik untuk mampu berbahasa Inggeris adalah petunjuk didaktik yang sangat fundamental, dan perlu diberlakukan bagi setiap orang yang belajar bahasa di luar bahasa ibunya.
65
bahasa Inggeris dan tentu saja sikap yang demikian penjadi penghambat dalam
belajar bahasa dan belajar mata pelajaran mana pun.
Dalam petunjuk didaktik mengenai Aljabar dikemukakan 4 pedoman. Pedoman
nomor 3 menyebutkan “taraf terakhir dalam pelajaran aljabar adalah pemecahan
persamaan2 tersamar. Hendaklah dipilih soal-soal yang mengenai kehidupan
sehari-hari dengan tidak terlalu hipotetis”. Sedangkan dalam petunjuk didaktik
keempat (d) dikemukakan “hendaknya ada hubungan yang rapat antara aljabar
dengan matapelajaran2 lainnya (umpamanya membaca grafik dalam aljabar
merupakan suatu soal yang penting, karena besar hubungannya dengan
matapelajaran2 lainnya). Orientasi pada kehidupan keseharian juga jelas
terungkap pada petunjuk didaktik kelompok Pengetahuan Alam yang
mengemukakan 8 petunjuk. Tujuh petunjuk berkenaan dengan cara belajar akkti
dimana peserta didik belajar menemukan dalam suasana “mmenarik perhatian,
menimbulkan minat terutama untuk pengamatan dan penyelidikan sendiri”.
Petunjuk didaktik kedua menyebutkan “bahan pelajaran disusun sedemikian rupa
sehingga murid-murid mengetahui penggunaannya dalam prraktek hidup sehari-
hari”. (Dokumen Rencana Pelajaran SMP, hal40).
Dalam kelompok Pengetahuan Sosial terdapat petunjuk didaktik yang terpisah
untuk mata pelajaran Ilmu Bumi dan Sejarah. Ilmu Bumi memiliki petunjuk
sebanyak 4 buah sedangkan sejarah memiliki petunjuk sebanyak 13 buah.
Petunjuk Ilmu Bumi yang pertama berkenaan dengan keeterkaitan antara Ilmu
Bumi dan Sejarah dimana dikatakan “ilmu sejarah mempelajari riwayat hidup
manusia, ilmu Bumi mempelajari keadaan manusia pada suatu waktu. Oleh karena
itu kedua mata pelajaran ini harus diajarkan dalam hubungan yang erat”.
Tampaknya istilah “hubungan yang erat” sama maksdunya dengan “correlated
curriculum content”.
Tidak seperti mata pelajaran kelompok bahasa, ilmu pasti dan ilmu alam yang
menyatakan secara keterkaitan dan pemanfaatan mata pelajaran dalam kehidupan
sehari-hari peserta didik secara eksplisit, tidak demikian halnya dengan petunjuk
didaktik ilmu bumi. Tidak ada pernyataan eksplisit tentang hal tersebut dan
mungkin hal ini disebabkan karena dalam makksud dan tujuan sudah dinyatakan
66
bahwa kelompok Pengetahuan Sosial “membangun akan keinsyafan
kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun
keinsyafan nasional, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit”.
Pernyataan ini tampaknya sudah cukup mewakili orientasi pelajaraan sosial
kepada kehidupan keseharian.
Dalam petunjuk didaktik mata pelajaran sejarah terdapat pernyataan yang
menunjukkan perlunya keterkaitan mata pelajaran sejarah dengan kehidupan
sehari-hari. Dalam petunjuk didaktik nomor 2 disebutkan “harus diinsyafi oleh
murid2 bahwa nasib dan kebahagiaan tanah air dan bangsa kita bergantung kepada
sifat-sifat dan cita2 mereka (pelaku sejarah, pen.), dengan kata-kata lain: kita
bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembentukan masyaraat dikemudian
hari”, dan pada petunjuk didaktik nomor 5 dikatakan “sejarah bukan rentetan
fakta-fakta belaka, tetapi harus diinsyafi sebab-musabab dan akibatnya bagi
masyarakat”. Oleh karena itu pendekatan rekonstruksi yang selalu mengkaitkan
pendidikan dengan masalah sosial dan kehidupan peserta didik di masyarakat
sangat kental digunakan dalam kurikulum SMP 1954.
Setiap kelompok mata pelajaran atau mata pelajaran memiliki tujuan dan petunjuk
didaktik, diikuti dengan tabel atau matriks yang berisikan kolom kelas, jumlah
jam pelajaran per minggu, pokok/bagian dari pelajaran, pelajaran dan keterangan.
Walau pun berbeda dan terutama ketiadaan kolom evaluasi atau asesmen hasil
belajar pada dasarnya format ini mirip dengan format Garis-Garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) yaang digunakan kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Dalam
kolom keterangan terdapat informasi mengenai buku yang digunakan untuk
pokok/bagian dan pelajaran tertentu.
67
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA
(1959 – 1965)
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Pada tahun 1959 Indonesia mengalami perubahan politik yang sangat mendasar
ketika UUD tahun 1950 dinyatakan tidak lagi berlaku dan Indonesia kembali
menggunakan UUD 1945. Proses pengembalian penggunaan UUD 1945 tersebut
dinyatakan dalam dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Bersamaan dengan
kembali ke UUD 1945 Presiden Soekarno memperkenalkan konsep kehidupan
bangsa yang baru yaitu Manipol Usdek (Manipol = Manifesto Politik ; USDEK =
Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Dengan Manipol Usdek maka
semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan haruslah
disesuaikan dengan konsep baru itu termasuk pendidikan.
Menanggapi perubahan politik yang terjadi maka Menteri Muda Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Prijono (Priyono) mengeluarkan instruksi pada
tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal dengan nama Sapta Usaha Tama (Tujuh
Usaha Utama). Dalam konsideran instruksi Sapta Usaha Tama disebutkan
“sesudah Presiden/Panglima Tertinggi pada tanggal 5 Juli 1959 mendekritkan,
bahwa bangsa Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar ’45, maka sudah
sewajarnyalah, bahwa kaum pendidik dan para pelajarnya wajib memiliki kembali
semangat dan jiwa proklamasi untuk dapat memberi contoh kepada seluruh
masyarakat” (Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200).
Selanjutnya dikatakan bahwa “para pendidik harus sanggup menjadi pelopor dari
perubahan jiwa dan sikap bangsa”. Kemudian ditetapkan “untuk menjelmakan
maksud di atas saya umumkan tindakan-tindakan jangka pendek yang segera
harus dikerjakan dalam lingkungan Kementerian P.P. dan K. dan dalam
masyarakat, yang saya namakan SAPTA USAHA TAMA, sebagai berikut:
1. penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian P.P. dan K.
68
2. menggiatkan kesenian dan olah raga
3. mengharuskan “usaha halaman”,
4. mengharuskan penabungan,
5. mewajibkan usaha-usaha koperasi,
6. mengadakan “Klas masyarakat”
7. membentuk “Regu Kerja” di kalangan SLA dan universitas
(Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200-201)
Sapta Usaha Tama adalah program jangka pendek Menteri. Sekolah sudah harus
menerapkan kegiatan nomor 2, 3, 4 dan 5 untuk SD dan SMP sedangkan SMA
dan universitas ditambah dengan Usaha Tama nomor tujuh. Dua tahun setelah itu
terjadi perubahan kabinet dan Dr Prijono menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan. Dalam Kabinet Kerja III, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dengan
Prof Dr Prijono sebagai menterinya.
Selanjutnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan17 Dr Prijono
mengeluarkan instruksi baru yang dinamakan yaitu Instruksi Menteri Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan nomor 2 yang dikenal dengan nama Panca Wardhana
(Pantja Wardhana) pada tanggal 17 Agustus 1961. Panca Wardhana adalah tindak
lanjut dari instruksi Sapta Usaha Tama. Dalam instruksi tentang Panca Wardhana
tahun 1961 tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK)
menegaskan:
(1) Pantjasila dengan Manipol sebagai pelengkapnja, sebagai asas pendidikan nasional
(2) Menetapkan Pantja Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip:
17 Pada waktu itu terdapat 2 kementerian yaitu Kementerian Pendididkan Dasar dan Kebudayaan dan Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dr Prijono adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan sedangkan Prof.Dr. Ir. Thajib Hadiwidjaja adalah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
69
a. perkembangan tjinta bangsa dan tanah-air, moral nasional/internasional/ keagamaan;
b. perkembangan ketjerdasan; c. perkembangan emosil-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-
batin, d. perkembangan keprigelan atau keradjinan tangan; e. perkembangan djasmani.
(3) Menjelenggarakan ”hari Krida” atau hari untuk kegiatan-kegiatan dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu.
Terlepas dari suasana dan pengaruh politik yang melahirkan instruksi Pantja
Wardhana tersebut tetapi apa yang dinyatakan dalam ketetapan titik 2.a, 2.b, 2.c,
2.d, dan 2.e instruksi tersebut merupakan inti ketetapan yang sarat dengan
pemikiran pendidikan, bersesuaian pula dengan konsep cipta, rasa, dan karsa yang
dianjurkan Ki Hajar Dewantara. Berbagai potensi peserta didik (kecerdasan,
emosional, ketaqwaan, ketrampilan, dan kesegaran jasmani) menjadi kepedulian
pendidikan. Cinta tanah air dan bangsa pada generasi baru bangsa dan yang
nantinya menjadi warganegara sudah seharusnya menjadi tugas pendidikan yang
sama dengan tugas mengembangkan potensi peserta didik dalam ranah lainnya.
Sedangkan ketetapan dalam titik 3 memberikan kesempatan yang luas kepada
peserta didik untuk mengembangkan minat mereka dalam seni, budaya, dan
berbagai permainan tetapi juga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menerapkan berbagai ketrampilan dan sikap yang diperoleh di kelas. Sebaliknya,
sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik dari kegiatan seni, budaya dan
permainan (sebagai produk budaya) akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar
mereka di kelas dan sekolah. Antara kedua wilayah tersebut terjadi
kesinambungan yang saling memperkuat yang memperkuat pengembangan sikap
dan nilai serta ketrampilan seni dan pengetahuan tentang nama, peraturan, dan
cara main.
70
B. RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU
Sejalan dengan perubahan politik dan kebijakan pendidikan yang telah
dikemukakan di atas maka terjadi perubahan kurikulum SMP (juga kurikulum SD
dan SMA). Pada bulan Agustus 1962 pemerintah menetapkan kurikulum baru
untuk SMP menggantikan kurikulum SMP 1954. Kurikulum SMP tahun 1962
dihasilkan oleh Rapat Kerja Para Pengawas SMP seluruh Indonesia di Tugu dari
tanggal 3 – 10 Juli 1962 (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964).
Pertemuan para pengawas SMP seluruh Indonesia tersebut dilakukan di Yogya (1-
9 Oktober 1961), pertemuan kedua di Tugu (21 Nopember – 4 Desember 1961),
pertemuan ketiga di Yogya (15 -25 Januari 1962) dan pertemuan keempat di Tugu
(3 – 10 Juli 1962). Pertemuan terakhir di Tugu dianggap menghasilkan naskah
final kurikulum baru (1962) untuk SMP dan wajib dilaksanakan di seluuruh
Indonesia mulai tanggal 1 Agustus 1962.
Pada tanggal 7 – 13 Juli 1963 dilakukan Rapat Kerja Pengawas SMP seluruh
Indonesia di Tawangmangu. Rapat kerja Tawangmangu membahas Rencana
Pelajaran baru SMP dan pelaksanaannya di seluruh Indonesia selama tahun ajaran
1962/1963. Selain membahas laporan pelaksanaan kurikulum SMP yang
dihasilkan di Tugu pada tahun 1962, Rapat Kerja Para Pengawas SMP di
Tawangmangu masukan dari Pembantu Menteri bidang Pendidikan, Direktorium
Jawatan Pendidikan Umum, gagasan dari Urusan Pendidikan Menengah Umum
Tingkat Pertama, saran dari para pengawas SMP, dan saran dari berbagai urusan
di lingkungan Jawatan Pendidikan Umum. Rapat Kerja para pengawas SMP
seluruh Indonesia di Tawangmangu tersebut menghasilkan dokumen Rencana
Pelajaran SMP Gaya Baru. Kata Pengantar Dokumen Rencana Pelajaran SMP
Gaya Baru ditandatangani oleh Kepala Urusan Pendidikan Menengah Umum
Tingkat Pertama, Zainuddin, di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1963 (Dokumen
Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964)
Selain perubahan politik, perubahan dalam pandangan mengenai fungsi
pendidikan yang dilaksanakan suatu sekolah pada jenjang tertentu turut
menentukan perubahan kurikulum. Tentu tidak dapat disangkal bahwa perubahan
politik memberikan pengaruh terhadap pandangan pendidikan yang harus
71
dikembangkan dan pada gilirannya kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap
kurikulum. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada kejadian dimana faktor
politik tidak berpengaruh terhadap pandangan pendidikan dan kedua faktor
tersebut (politik dan pandangan pendidikan) secara bersama-sama tidak
memberikan dampak terhadap terjadinya perubahan kurikulum. Oleh karena itu
kenyataan perubahan politik dan perubahan pandangan pendidikan berpengaruh
terhadap perubahan kurikulum adalah suatu keadaan yang tak mungkin dihindari
dalam konteks politik mana pun di negara mana pun. Dalam Dokumen Rentjana
Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan bahwa perubahan kurikulum tersebut
disebabkan adanya TAP MPRS nomor II/MPRS/1960, instruksi Menteri
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tentang Sapta Usaha Tama dan Panca
Wardhana, dan Haluan Negara.
Kurikulum SMP 1962 dan kemudian diperbaiki menjadi Kurikulum SMP Gaya
Baru berubah dalam struktur kurikulum dibandingkan Kurikulum SMP 1954.
Perubahan pertama adalah penghapusan terhadap penjurusan yang dikenal dalam
kurikulum SMP 1954 dan sebelumnya. Pembagian jurusan di kelas III SMP yang
terbagi atas jurusan A (sosial-budaya) dan B (ilmu Pasti) pada kurikulum SMP
1954, ditiadakan oleh kurikulum SMP Gaya Baru. (Kosoh, Sjamsuddin, Hasan,
1993:96). Penghapusan jurusan A dan B pada kelas III SMP didasarkan pada
pandangan pedagogik bahwa pendidikan SMP bukan pendidikan disiplin ilmu dan
lagipula masyarakat belum memerlukan tenaga kerja tamatan SMP yang memiliki
spesialisasi yang dikembangkan pada jurusan di kelas III SMP. Tamatan SMP
yang bekerja tidak ditempatkan berdasarkan jurusan yang mereka ikuti pada
waktu SMP. Oleh karena itu, adanya jurusan tersebut tidak memberikan nilai apa
pun bagi peserta didik baik dari segi keilmuan mau pun dari pemanfaatan di
masyarakat. Lagipula, pada tingkat SMP dikenal adanya berbagai sekolah
kejuruan yang memberikan berbagai ketrampilan vokasional yang diperlukan
masyarakat (Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama = SKKP; Sekolah Teknik =
ST; Sekolah Menengah Ekonomi Pertama = SMEP, dan sebagainya).
72
Struktur kurikulum SMP Gaya Baru didasarkan pada konsep Panca Wardhana.
Struktur kurikulum terdiri atas kelompok dasar, cipta, rasa/karya, dan krida.
Kelompok dasar adalah untuk mengembangkan wardhana pertama yaitu
pengembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/ internasional/
keagamaan; kelompok cipta untuk mengembangkan wardhana kecerdasan;
kelompok rasa/karya untuk mengembangkan wardhana emosional-artistik atau
rasa keharuan dan keindahan lahir-batin; kelompok krida untuk mengembangkan
wardhana keprigelan atau kerajinan tangan; sedangkan pendidikan jasmani untuk
mengembaangkan wardhana perkembangan jasmani. Pengelompokkan ini diikuti
dengan pengelompokkan mata pelajaran.
Masa antara 1959 – 1965 atau disebut juga Masa Orde Lama adalah awal
pengaruh politik yang semakin kuat dalam pendidikan di Indonesia, melebihi
pengaruh politik terhadap kurikulum yang terjadi pada masa sebelumnya. Pada
masa ini ideologi negara menjadi mata pelajaran dalam kurikulum setiap sekolah
dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan dasar-dasar filosofi bangsa
dan ideologi politik yang dianut oleh pemerintah. Mata pelajaran civics
diperkenalkan dan menjadi mata pelajaran utama, menjadi mata pelajaran yang
memiliki tugas untuk mengemban amanat pendidikan ideologi bangsa,
dikelompokkan dalam kelompok wardhana pertama yaitu perkembangan cinta
bangsa dan tanah air, moral nasiona/internasional/keagamaan. Dalam mata
pelajaran civics dibahas ideologi politik pemerintah sebagai landasan manusia
baru Indonesia sehingga civics harus ditempatkan dalam wardhana pertama dan
menjadi mata pelajaran bagi seluruh peserta didik (dari SD sampai ke sekolah di
atas SMP).
Selain mata pelajaran Civics, dalam kelompok wardhana pertama yang disebut
Kelompok Dasar, terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan,
Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan Agama/Budi Pekerti (Sejarah Nasional
Indonesia jilid VI:278; Kosoh, Sjamsuddin, dan Hasan, 1993:96; Departemen
Pendidikan Nasional, 1996:129). Mata pelajaran Pendidikan Jasmani/Kesehatan
dimasukkan sebagai bagian dari Kelompok Dasar walau pun pendidikan jasmani
berkenaan dengan pengembangan wardhana kelima. Jelas tujuan kelompok
73
pertama wardhana yaitu Kelompok Dasar adalah untuk membangun kesadaran
sebagai satu bangsa dan pengetahuan serta kesadaran akan ideologi bangsa.
Bangsa baru haarus memperhatikan generasi muda yang akan meneruskan
perjuangan ideologi para pemimpin bangsa pada waktu itu.
Dalam Kelompok Cipta terdapat mata pelajaran Bahasa Daerah, Bahasa Inggeris,
Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia, dan ilmu
Administrasi. Kelompok Cipta adalah kelompok yang memberikan pengetahuan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Pengetahuan yang
dipelajari dalam berbagai mata pelajaran dalam Kelompok Cipta merupakan
bahan utama untuk menggerakkan kemampuan otak dalam ranah kognitif
(mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, menilai, dan menciptakan
pengetahuan baru). Suatu hal yang tidak jelas adalah alasan mengapa mata
pelajaran Bahasa Daerah masuk dalam Kelompok Citra dan bukan dalam
kelompok Dasar padahal bahasa Daerah merupakan medium pendidikan yang
dapat mengembangkan rasa kebangsaan menjadi lebih kuat. Mungkin ada
kekhawatiran bahwa pengajaran Bahasa Daerah disalahgunakan untuk
pengembangan perasaan kedaerahan yang berlebihan sehingga dapat
membahayakan persatuan nasional. Pertimbangan lainnya mungkin karena hanya
beberapa daerah saja di Indonesia yang menghendaki adanya pengajaran Bahasa
Daerah sehingga akan sangat janggal apabila Bahasa Daerah ada dalam Kelompok
Dasar yang berlaku untuk seluruh peserta didik dan di wilayah atau komunitas
masyarakat mana pun. Apalagi jika diingat bahwa SMP di daerah perkotaan
melayani masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok etnis dan pemakai
bahasa daerah yang beragam sehingga akan menimbulkan banyak kesulitan
teknis.
Dalam kelompok Cipta mata pelajaran matematika tidak dikenal. Secara
tradisional, sebagaimana diwariskan Belanda yang dikenal adalah kelompok ilmu
Pasti bukan matematika. Dalam kelompok ini terdapat mata pelajaran ilmu
Aljabar dan ilmu Ukur. Pemikiran bahwa pendidikan haruslah berdasarkan
disiplin ilmu dan diberi label sebagaimana label disiplin ilmu (menurut pandangan
filosofi esensialisme) belum berkembang sepenuhnya. Pada masa belakangan
74
ketika pandangan filosofis perenialisme semakin kuat pengaruhnya dalam
pengembangan kurikulum maka pemikiran pendidikan disiplin ilmu semakin
menjadi andalan sejak dari SD sampaai ke SMA. Sesuai dengan pandangan
perenialisme maka label untuk pendidikan disiplin ilmu tidak perlu menggunakan
nama resmi disiplin ilmu yang bersangkutan dan penggabungan beberapa disiplin
ilmu diperkenankan. Pendekatan perenialisme yang memperkenankan
penggabungan berbagai disiplin melahirkan label mata pelajaran seperti IPA dan
IPS.
Dalam kelompok Rasa/Karsa terdapat mata pelajaran Menggambar, Kesenian,
Prakarya, dan Kesejahteraan Keluarga. Kelompok mata pelajaran ini jelas
bertujuan mengembangkan perasaan yang halus dan kemampuan berkreasi yang
tinggi. Keejahteraan Keluarga tidak terbatas pada kesejahteraan ekonomi tetapi
teutama pada kesejahteraan batin, kesehatan, dan pembinaan generasi muda dalam
membentuk kperibadian. Oleh karena itu adalah wajar jika Kesejahteraan
Keluarga menjadi mata pelajaran dalam kelompok Rasa/Karsa. Sedangkan
kedudukan mata pelajaran lain seperti Menggambar, Kesenian, Prakarya dalam
kelompok Rasa/Karsa adalah amat jelas.
Dalam kelompok wardhana keempat yaitu Ketrampilan terdaapat mata pelajaran
Krida. Mata pelajaran Krida memberikan kesempatan yang luas kepada peserta
didik SMP untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Banyak nilai yang
dapat dikembangkan dalam mata pelajaran Krida.
Perbedaan ide kurikulum yang berbeda antara kurikulum SMP Gaya Baru dengan
kurikulum SMP tahun 1950 dan 1954 adalah mengenai posisi mata pelajaran
dalam kurikulum. Dalam kurikulum sebelumnya kurikulum tidak dianggap
identik dengan daftar mata pelajaran dan mata pelajaran adalah organisasi konten
kuurikulum berdasarkan kedekatan materi/bahan ajar. Oleh karena itu suatu mata
pelajaran dapat mengembangkan materi ajar dari mata pelajaran lain seperti
materi budi pekerti yang tidak dijadikan mata pelajaran tetapi materi budi pekerti
dikembangkan dalam setiap mata pelajaran lain. Pemikiran yang mmendasari ide
kurikulum SMP tahun 1954 mencerminkan pandangan kurikulum modern, tidak
lagi dianut dalam kurikulum SMP Gaya Baru atau terkadang disebut juga dengan
75
nama kurikulum Panca Wardhana. Setiap mata pelajaran memiliki materi
pelajaran yang hanya dikembangkan oleh mata pelajaran tersebut dan tidak
berbagi dengan mata pelajaran lain. Materi pelajaran budi pekerti yang dekat
dengan pendidikan Agama digabungkan menjadi satu mata pelajaran dengan
menggunakan label Pendidikan Agama/Budi Pekerti. Materi kesehatan yang
seharusnya dapat dikembangkan dalam berbagai mata pelajaran menjadi
tanggungjawab mata pelajaran pendidikan Jasmani sehingga dinamakan
Pendidikan Jasmani/Kesehatan.
Tampaknya pandangan kurikulum yang demikian masih berlaku sampai kini.
Konten kurikulum yang terdiri atas pengetahuan, kemampuan kognitif,
kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotorik tidak mendapat perlakuan
yang seimbang. Konten kurikulum yang mendaptkan pertimbangan utama adalah
konten pengetahuan ( tentang fakta, istilah, lambang, prosedur, kemampuan,
nilai, sikap dan sebagainya) dan bersifat sangat spesifik milik suatu disiplin ilmu
atau gabungan disiplin ilmu yang dijadikan mata pelajaran. Konten yang bersifat
ketrampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang bersifat dasar/fundamental
dan tidak spesifik milik disiplin ilmu tidak mendapatkan perlakuan yang
selayaknya. Padahal, pada hakekatnya konten kurikulum yang bersifat
ketrampilan akan menyebabkan peserta didik mampu belajar sepanjang hayat,
berpikir kritis dan kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kebiasaan belajar
yang tinggi, sikap yang positif dan produktif, dan menjadi kemampuan dasar
yang mampu mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya
sepanjang hayat.
Konten kurikulum yang demikian memberikan kemampuan kepada peserta didik
mengolah berbagai informasi yang terdapat pada pengetahuan dan menghasilkan
pengetahuan baru dari hasil olahan kemampuan kognitif. Konten kurikulum yang
demikian memberikan pula dorongan kepada peserta didik untuk
mengembangkan rasa ingin tahu, kebiasaan membaca dan belajar. Dengan
konten kurikulum seperti itu menjadikan peserta didik manusia yang mampu
mengembangkan segala potensi kemanusiaannya dan bukan mesin penghapal
pengetahuan.
76
Oleh karena perubahan ide kurikulum yang terjadi pada kurikulum SMP Gaya
Baru terkait pada pengaruh aspek politik dan juga berkenaan dengan aspek
akademis ide kurikulum. Penciutan pengertian konten kurikulum hanya pada
aspek pengetahuan menyebabkan desain dan organisasi konten kurikulum menjadi
terbatas pada desain kurikulum akademik dan organisasi konten yang teoritik
keilmuan. Pengaruh lebih lanjut adalah pada pengertian hasil belajar yang
terkerdilkan menjadi hapalan tentang pengetahuan, ketrampilan, dan sikap bukan
pada perilaku yang didasarkan pada sikap yang harus dikembangkaan kurikulum
mau pun pada ketrampilan dalam menerapkan berbagai prosedur, kemampuan
memecahkan masalah, berkomunikasi, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, dan
ketrampilan belajar.
C. TUJUAN PENDIDIKAN SMP
Dalam Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan tujuan
pendidikan SMP adalah sebagai berikut:
Pendidikan di SMP harus menyiapkan anak-didik menjadi warganegara patriotik, manusia susila, bertanggungjawab, supaya menjadi potensi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dasar idiologis tujuan pendidikan di atas adalah bahwa “pendidikan harus
berazaskan Pancasila dengan pelengkapnya Manipol” (Dokumen Rentjana
Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964). Revolusi masih dianggap belum selesai dan
dalam suasana yang demikian maka tujuan pendidikan sebagaimana yang
dirumuskan di atas merupakan suatu yang sangat beralasan.
D. MATA PELAJARAN RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, mata pelajaran dalam kurikulum SMP
Gaya Baru dikelompokkan berdasarkan kelompok ranah wardhana yang terdapat
pada Panca Wardhana kecuali kesehatan jasmani yang disatukan dalam kelompok
Dasar atau cinta bangsa tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan.
Sesuai dengan Panca Wardhana, selain kelompok Dasar dikenal adanya kelompok
77
Cipta dan kelompok Krida. Kelompok Cipta merupakan kelompok paling besar
baik dalam pengertian jumlah mata pelajaran mau pun dalam beban belajar.
Kelompok Dasar adalah kelompok kedua terbesar sedangkan kelompok krida
adalah kelompok yang memiliki mata pelajaran tunggal.
Selengkapnya, struktur dan pesebaran mata pelajaran serta beban belajar
kurikulum SMP Gaya Baru adalah sebagai berikut:
Tabel 6.1: Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru
Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran
I II III
Civics 2 2 2
Bahasa Indonesia 5 5 5
Sejarah Kebangsaan 1 1 1
Ilmu Bumi Indonesia 1 1 1
Pendidikan Agama/Budi Pekerti 2 2 2
Pendidikan Jasmani/Kesehatan 2 2 2
A
Kelompok
Dasar
Sub Jumlah 13 13 12
Bahasa Daerah 2 2 2
Bahasa Inggeris 4 4 4
Ilmu Aljabar 3 3 3
Ilmu Ukur 3 3 3
Ilmu Alam 2 2 2
Ilmu Hayat 2 2 2
Ilmu Bumi Dunia 1 1 1
Sejarah Dunia 1 1 1
Ilmu Administrasi 1 1 1
Sub Jumlah 19 19 19
B
Kelompok
Cipta
C Kelompok Menggambar 2 2 2
78
Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran
I II III
Kesenian 1 1 1
Prakarya 2 2 2
Kesejahteraan Keluarga 1 1 1
Rasa/Karya
Sub Jumlah 6 6 6
D
Krida
Krida 2 2 2
Jumlah 40 40 40
Orientasi kurikulum yang kuat pada kepentingan politik telah menyebabkan
kurikulum tidak mampu mengembangkan berbagai prinsip pendidikan yang dasar
dan telah diggunakan serta dikembangkan dalam kurikulum sebelumnya (Rencana
Pelajaran SMP 1954). Keterkaitan antar materi pelajaran, terutama materi
kelompok ketrampilan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain
sudah tidak lagi menjadi pendekatan yang digunakan dalam kurikulum SMP
1962. Materi suatu mata pelajaran dirancang hanya untuk mata kuliah tersebut dan
tidak dikaitkan dengan mata pelajaran lainnya.
Pendekatan konten kurikulum suatu mata pelajaran yang khusus dan terpisah dari
mata pelajaran lainnya yang dilakukan kurikulum SMP 1962 menjadi awal dalam
sejarah pengembangan kurikulum SMP. Pendekatan yang demikian dianggap
sebagai pendekatan terbaik oleh banyak para akhli ilmu pengetahuan (Tanner dan
Tanner, 1980; Unruh dan Unruh, 1984). Pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan berpikir intelektual dan kemampuan berpikir
rasional. Kedua kemampuan ini hanya dapat dikembangkan melalui pendidikan
disiplin ilmu karena disiplin ilmu memiliki cara berpikir intelektual yang rasional
dan sistematis. Disiplin ilmu pula yang dapat membebaskan orang dari cara
berpikir dan orientasi berpikir yang tidak logis.
79
Filosofi esensialisme yang menyatakan bahwa pendidikan disiplin ilmu dalam
dunia pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan hakekat ilmu itu sendiri.
Nama mata pelajaran pun harus disesuaikan dengan nama disiplin ilmu.
Penggabungan beberapa disiplin ilmu menjadi nama satu mata pelajaran sangat
ditentang oleh filosofi esensialisme walau pun diperkenankan oleh filosofi
perenialisme. Nama-nama mata pelajaran yang terdapat dalam Kurikulum SMP
1962 sseperti sejarah, ilmu bumi, ilmu aljabar, ilmu alam, ilmu hayat dan
sebagainya jelas menunjukkan orientasi kurikulum pada filosofi esensialisme.
Pengaruh politik yang kuat terlihat pada mata pelajaran kelompok dasar terutama
mata pelajaran civics, sejarah, ilmu bumi. Untuk mata pelajaran Civics peserta
didik mempelajari berbagai pidato Presiden, manusia sosialisme Indonesia,
Manipol, revolusi Indonesia termasuk musuh-musuh revolusi. Materi mata
pelajaran sejarah berkewajiban untuk “mewujudkan dan memperteguh cita-cita
revolusi bangsa Indonesia. Oleh karena itu pengajaran Sejarah Kebangsaan
haruslah (a) Proklamasi- sentris dan (b) ber-eskatologi masyarakat sosialis
Indonesia. Dalam kewajiban untuk mewujudkan dan memperteguh cita-cita
revolusi Indonesia, materi pelajaran ilmu bumi Indonesia bertujuan mewujudkan
masyarakat sosialisme Indonesia.
80
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU
(1967 – 1994)
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Masa Pemerintahan Orde Baru adalah masa yang ditandai oleh berbagai kebijakan
pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan politik Orde Baru yang anti
komunisme, perkembangaan dalam teori belajar yang menekankan pada kegiatan
ssiwa yaang aktif dalam belajar, pendekatan kurikulum yaang digabungkan
dengan model desain instruksional. Perkembangan politik dan akademik yang
demikian menghasilkan berbagai kurikulum selama masa hampir 30 tahun
tersebut. Dimulai dengan kurikulum 1968 sebagai kurikulum yang dirancang
untuk mengikis pengaruh komunisme dalam dunia pendidikan dan merupakan
awal penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia,
dilanjutkan dengan kurikulum 1975 yang merupakan kurikulum pertama di
Indonesia yang secara resmi memperkenalkan istilah pendekatan “integrated
curriculum” yang melahirkan mata pelajaran IPA sebagai pengganti kelompok
Ilmu Alam dan mata pelajaran IPS yang menggantikan mata pelajaran
Pengetahuan Sosial dalam Rencana Pelajaran 1954.
Pada kurun waktu hampir 10 tahun Kurikulum 1975 digantikan oleh Kurikulum
1984 yang menggunakan model kurikulum yang sama dengan kurikulum SMP
sebelumnya tetapi mengalami perubahan pada kurikulum SMA dimana
pendekatan “discrete disciplinary approach diperkenalkan kembali. Sepuluh tahun
kemudian yakni pada tahun 1994, kurikulum SMP diganti dengan kurikulum baru
yang dinamakan Kurikulum 1994. Beberapa perubahan dalam pendekatan
kurikulum terjadi tetapi masih menyesisakan berbagai masalah terkait jika dilihat
dari organisasi konten kurikulum yang menggunakan pendekatan integrated dan
posisi pendidikan ketrampilan (skills) masih belum mendapatkan tempat yang
sesuai dengan karakteristik materi ketrampilan yang bersifat “developmental”.
Demikian pula halnya dengan materi yang termasuk kategori nilai/sikap masih
belum berhasil dikembangkan sesuai dengan hakekat nilai/sikap yang juga
termasuk kelompok “developmental content”.
81
Dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun, Pemerintahan Orde Baru telah berhasil
mengembangkan 4 kurikulum untuk SMP dan sekolah lainnya. Keempat
kurikulum yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984 dan 1994. Hampir menjadi tradisi
bahwa setiap 10 tahun terjadi perubahan kurikulum. Kenyataan semacam itu dapat
dikatakan sebagai suatu kejadian yang berlangsung sampai akhir Pemerintahan
Orde Baru. Upaya untuk menjadikan kurikulum responsi terhadap perkembangan
kehidupan mayarakat di bidang sosial-budaya-politik-ilmu-teknologi-seni-
ekonomi menyebabkan masa sepuluh tahun merupakan masa yang cukup panjang
untuk menjawab tantangan perkembangan kehidupan masyarakat.
Dilihat dari ruang lingkup pengembangan kurikulum (curriculum development)
yang meliputi pengembangan ide dan rancangan pembelajaran (curriculum
construction) yang terwujud dalam bentuk dokumen kurikulum, sosialisasi dan
implementasi kurikulum (curriculum implementation) serta evaluasi kurikulum
(curriculum evaluation) maka sangat adekuat untuk dikatakan bahwa tidak
keseluruhan pekerjaan pengembangan kurikulum tersebut terlaksana.
Implementasi kurikulum yang merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan
strategi implementasi yang harus meliputi keragaman kualitas dan kesiapan
sekolah merupakan aspek pengembangan yang sangat terabaikan. Sama halnya
dengan implementasi adalah pekerjaan evaluasi kurikulum yang sistematis dan
terus-menerus (kontinyu) memberikan informasi baik kepada pengembangan
kurikulum ketika dokumen disiapkan apalagi pada waktu implementasi
merupakan dimensi pekerjaan pengembangan kurikulum yang tidak terlaksana
sebagaimana seharusnya maka waaktu sepuluh tahun untuk perubahan kurikulum
terasa amat singkat. Berdasarkan laporan yang tersedia terjadi suatu kenyataan
yang cukup memperihatinkan karena belum lagi suatu rancangan kurikulum
(dokumen) terlaksana maka sekolah sudah harus melaksanakan kurikulum baru
yang nota bene tidak juga mampu mereka laksanakan. Kelemahan dalam
sosialisasi dan pelatihan yang harus diterima guru dalam pengetahuan,
pemahaman, dan ketrampilan melaksanakan kurikulum menyebabkan mereka
berada dalam posisi yang tidak siap melaksanakan kurikulum baru.
82
Selain faktor politik, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan
kurikulum pada masa ini adalah perkembangan dalam berbagai teori belajar,
model dan orientasi kurikulum, serta kemajuan dalam teknologi yang berdampak
pada aplikasinya dalam dunia pendidikan membawa berbagai pemikiran baru
dalam kurikulum. Inovasi berbagai aspek kurikulum dilakukan dalam setiap
perubahan kurikulum tersebut terutama sejak Kurikulum 1975. Oleh karena itu
masa Pemerintahan Orde Baru merupakan masa yang sangat penting dalam
sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia bukan saja dilihat dari banyaknya
kurikulum yang dihasilkan pada masa ini tetapi terlebih dari pemikiran-pemikiran
baru pendidikan yang diperkenalkan dalam setiap kurikulum. Pada masa ini dapat
dikatakan Indonesia mengalami dinamika pengembangan kurikulum yang cukup
signifikan dalam menjawab perkembangan masyarakat walau pun ada jurang yang
cukup luas antara pemikiran kependidikan yang dikembangkan para
pengembangan kurikulum dengan pengelola dan pelaksana kurikulum.
Kesenjangan yang demikian memang disayangkan dan menyebabkan
pengurangan nilai responsif para pemikir kurikulum.
B. KURIKULUM SMP 1968
Perkembangan kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1968
sudah mulai membaik, pemerintahan sudah mulai stabil walau pun bahaya
komunis masih dianggap pemerintah dan rakyat masih sebagai bahaya “latent” .
Upaya penumpasan gerakan yang secara resmi dikenal dengan nama G.30.S/PKI
dianggap sudah dianggap mencapai titik yang dapat memberikan peluang bagi
bangsa untuk memikirkan berbagai hal yang terkait dengan berbagai aspek
kehidupan lain di luar keamanan. Dalam penataan kehidupan kebangsaan
pendidikan dianggap menjadi ujung tombak untuk mengikis pengaruh dan
penyebaran paham komunisme. Generasi muda harus mendapatkan perlindungan
dari ancaman bahaya “latent” komunisme. Untuk itu, Pemerintah mengeluarkan
kurikulum baru untuk SMP yang dikenal dengan nama Kurikulum SMP 1968
sebagai pengganti Kurikulum SMP 1964. Kurikulum SMP 1968 dikeluarkan oleh
83
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan
Perubahan politik yang mendasar terjadi pada tahun 1965 terutama diakibatkan
oleh peristiwa yang dikenal dengan nama Pemberontakan G30S/PKI. Peralihan
kekuasaan dari pemerintah Presiden Soekarno kepada mandataris Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) kepada Major Jenderal Soeharto dan kemudian
pengangkatan beliau sebagai presiden Republik Indonesia oleh MPRS mengubah
banyak kebijakan pendidikan masa sebelumnya. Ajaran Manipol dan ajaran
komunis dilarang, dan dengan demikian kurikulum sekolah harus bebas dari
upaya memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran tersebut. Pada tahun
1966, MPRS mengeluarkan ketetapan TAP XXVII/MPRS/1966. Dalam TAP
tersebut dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk ”menghasilkan
manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-
Undang Dasar 1945”.
Dengan adanya TAP tersebut maka arah dan tujuan pendidikan Indonesia berubah
dari menghasilkan ”manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis”
menjadi manusia Pancasila sejati. Perubahan ini sangat fundamental dilihat dari
pandangan pendidikan karena tujuan pendidikan sebelumnya adalah untuk
menghasilkan manusia revolusioner berdasarkan ajaran MANIPOL-USDEK
sedangkan tujuan yang ditetapkan oleh MPRS adalah untuk mengikis tujuan
tersebut. TAP MPRS ini memang merupakan manifestasi adanya pengaruh politik
yang kuat sebagai reaksi pengaruh politik Orde Lama. Meski pun demikian,
haruslah diingat bahwa pengaruh politik terhadap pendidikan bukan merupakan
sesuatu yang unik dan ekslusif Indonesia tetapi sesuatu yang terjadi di berbagai
negara di dunia lagipula perubahan politik yang terjadi sangat fundamental dan
dapat dianggap sebagai suatu tuntutan kebutuhan masyarakat (politik) yang baru.
Oleh karena itu perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
84
2. Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1968
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, MPRS menetapkan perubahan kebijakan
pendidikan di Indonesia yang menghapus pendidikan tentang Manipol-Usdek dari
kurikulum sekolah. TAP MPRS nomor XXVII tahun 1966 Bab II Pasal 4
menetapkan isi pendidikan sebagai berikut:
(1) Mempertinggi mental modal budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama;
(2) Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan;
(3) Membina/memperkembangkan physik yang kuat dan sehat.
Isi pendidikan di atas dapat dianggap sebagai rincian dari manusia Pancasila sejati
yang dinyatakan sebagai tujuan pendidikan Indonesia dan dinyatakan dalam Pasal
3 pada Bab II dari TAP MPRS tersebut. Berdasarkan TAP MPRS itu maka
disusunlah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968 menggantikan
Kurikulum 1964. Dalam sejarah kurikulum di Indonesia, Kurikulum 1964 dapat
dikatakan sebagai kurikulum yang paling singkat masa berlakunya.
Struktur Kurikulum SMP 1968 berbeda dari Kurikulum SMP Gaya Baru (1962)
atau pun dari Kurikulum SMP 1954. Struktur Kurikulum SMP 1968 lebih
sederhana dibandingkan kedua kurikulum yang mendahuluinya. Struktur
Kurikulum SMP 1968 terdiri atas Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila,
Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan
Khusus. Adanya kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila disesuaikan dengan tujuan
pendidikan ”menghasilkan manusia Pancasila sejati” yang telah ditetapkan oleh
MPRS, menggantikan Kelompok Dasar yang ditetapkan dalam Kurikulum SMP
Gaya Baru. Jumlah mata pelajaran dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila
lebih sedikit dibandingkan jumlah mata pelajaran Kelompok Dasar Kurikulum
SMP Gaya Baru. Demikian pula dengan beban belajar untuk kelompok
Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit yaitu 11 jam dibandingkan 13 jam pada
kelompok Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan
dan Ilmu Bumi Indonesia dihilangkan dari kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila
85
sementara itu mata pelajaran Civics (Kewargaan Negara) diantikan oleh
Pendidikan Kewargaan Negara yang didalamnya terdapat unsur Sejarah
Indonesia, Ideologi Negara Pancasila, Politik dan Tata Hukum Indonesia.
Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar adalah kelompok mata pelajaran yang
memberikan pengetahuan dasar dalam bahasa, ilmu pasti, ilmu alam, dan
pengetahuan sosial. Kelompok ini menjadi dasar bagi mereka yang akan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA) dan dasar untuk
berbagai ketrampilan yang diperlukan masyarakat. Pada kelompok ketiga yaitu
Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus adalah kelompok untuk
mengembangkan keckapan khusus yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja
tertentu tetapi juga untuk mengembangkan minat seseorang yang dapat digunakan
dalam mengembangkan pekerjaan yang lepas dari “formal vocation” di
pemerintah mau pun swasta. Pada dasarnya Kelompok Pembinaan Kecakapan
Khusus dalam Kurikulum SMP 1968 mirip atau bahkan dapat dikatakan sama
dengan kelompok Rasa/Karsa dalam Kurikulum SMP Gaya Baru.
Sebagaimana dengan kurikulum Kurikulum SMP Gaya Baru, Kurikulum SMP
1968 tidak mengenal adanya penjurusan pada kelas III SMP. Pendidikan SMP
adalah pendidikan umum dan oleh karenanya kurikulum SMP tidak perlu
menyiapkan peserta didik dalam spesialisasi pendidikan keilmuan (disiplin ilmu)
yang khusus. Pandangan bahwa pendidikan di jenjang SMP ini merupakan bagian
dari pendidikan umum bagi banga Indonesia dianut sampai sekarang bahkan
diperkuat posisinya dalam program Wajib Belajar 9 Tahun (WAJAR 9 Tahun)
yang dicanangkan Pemerintah sejak 1984.
Tabel 7.1. di bawah ini menggambarkan keseluruhan struktur kurikulum, mata
pelajaran, beban belajar serta distribusinya untuk setiap kelas. Sebagaimana
kurikulum sebelumnya masa belajar belajar satu tahun akademik dibagi dalam
kuartal dan beban belajar untuk setiap kuartal sama. Distribusi beban belajar
nantinya berbeda ketika sistem semester digunakan menggantikan sistem kuartal.
Tabel 7.1: Struktur dan Mata Pelajaran
86
Rencana Pelajaran SMP Tahun 1968
KELAS KELOMPOK MATA PELAJARAN
I II III
1.Pendidikan Agama 3 3 3
2.Pendidikan Kewargaan Negara 3 3 3
3.Bahasa Indonesia (I) 3 3 3
A
Pembinaan
Jiwa Pancasila
4.Olahraga 2 2 2
Sub Jumlah 11 11 11
1.Bahasa Indonesia (II) 2 2 2
2.Bahasa Daerah 2 2 2
3.Bahasa Inggeris 3 3 3
4.Ilmu Aljabar 3 3 3
5.Ilmu Ukur 3 3 3
6.Ilmu Alam 3 3 3
7.Ilmu Hayat 2 2 2
8.Ilmu Bumi 2 2 2
9.Sejarah 2 2 2
B
Pembinaan
Pengetahuan
Dasar
10.Menggambar 2 2 2
Sub Jumlah 24 24 24
1.Administrasi 1 1 1
2.Kesenian 2 2 2
3.Prakarya 2 2 2
C
Pembinaan
Kecakapan
Khusus 4.Pendidikan Kesejahteraan Keluarga 1 1 1
Sub Jumlah 6 6 6
Jumlah 41 41 41
Jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1968 (18) lebih sedikit
dibandingkan kurikulum SMP Gaya Baru.(19). Perbedaan jumlah satu mata
pelajaran tidak menyebabkan beban belajar peerta didik berkurang. Pada
87
kurikulum SMP Gaya Baru jumlah beban belajar keseluruhan peserta didik 40
jam seminggu sedangkan dalam kurikulum SMP 1968 dengan jumlah mata
pelajaran lebih sedikit tetapi jumlah jam belajar lebih banyak yaitu 41 jam
seminggu. Penambahan jam terjadi dengan memberikan jam belajar yang lebih
besar kepada Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewargaan Negara masing-
masing dari 2 jam menjadi 3 jam.
Dalam kelompok kedua, penambahan jam belajar terjadi pada mata pelajaran
bahasa Inggeris dan Ilmu Alam masing satu jam. Sedangkan mata pelajaran lain
tidak bertambah atau pun tidak berkurang. Organisasi konten yang dinamakan
mata pelajaran pun berubah terutama untuk mata pelajaran bahasa Indonesia,
Sejarah, dan Ilmu Bumi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia yang semula terdiri
atas satu mata pelajaran dalam kurikulum SMP Gaya Baru dalam kurikulum SMP
1968 dipecah menjadi 2 yaitu bahasa Indonesia I dan bahasa Indonesia II dan
keduanya ditempatkan dalam kelompok yang berbeda. Bahasa Indonesia I masuk
dalam kelompok Pembinaan Jiwa Paancasila sedangkan Bahasa Indonesia II
masuk dalam kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar.
Berbeda dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Sejarah dan Ilmu
Bumi yang dalam kurikulum SMP Gaya Baru terpisah dalam dua mata pelajaran,
dalam kurikulum SMP 1968 masing-masing dijadikan satu mata pelajaran. Mata
Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Sejarah Dunia digabungkan menjadi mata
pelajaran Sejarah. Mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia dan Ilmu Bumi Dunia
digabungkan menjadi satu dengan nama mata pelajaran Ilmu Bumi.
Penggabungan kedua mata pelajaran tersebut tidak mengubah jam pelajaran
karena jika sebelumnya terdiri atas 1 jam masing-masing untuk Sejarah
Kebangsaan dan Sejaarah Dunia sekarang menjadi 2 jam pelajaran untuk mata
pelajaran Sejarah. Demikian pula dengan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia
yang digabungkan dengan Ilmu Bumi Dunia menjadi Ilmu Bumi dengan jam
belajar yang juga digabungkan sehingga menjadi 2 jam.
88
Perbedaan lain untuk kedua mata pelajaran tersebut yaitu penempatannya dalam
kelompok. Jika dalam kurikulum SMP Gaya Baru mata pelajaran Sejarah
Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dimasukkan dalam kelompok Dasar
sedangkan Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia dalam kelompok Cipta maka
setelah digabungkan mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi masuk dalam
kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar. Hal ini mencerminkan adanya
pemikiran kurikulum yang berbeda antara pengembang kurikulum SMP Gaya
Baru dengan SMP 1968.
Ide para pengembang kurikulum SMP 1968 tidak lagi memandang mata pelajaran
Sejarah Kebangsaan dan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia sebagai bagian dari
dasar pembentukan kebangsaan atau Jiwa Pancasila. Tampaknya penggabungan
itu didasarkan pada pemikiran bahwa materi Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi
Indonesia tidak berbeda dari materi Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia yaitu
bagian dari pendidikan akademik. Oleh karenanya, materi masing-masing kedua
mata pelajaran tersebut dapat digabungkan dan fungsinya menjadi mata pelajaran
akademik semata. Para pengembang kurikulum SMP 1968 mungkin saja lupa
bahwa persyaratan untuk menjadi warganegara Indonesia adalah memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah nasional, ilmu bumi (geografi)
Indonesia, bahasa Indonesia dan ideologi negara. Oleh karena itu menjadikan
materi Sejarah Kebangsaan (nasional) dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi materi
kajian akademik tampaknya melupakan persyaratan warganegara tersebut. Tentu
saja orang dapat berargumentasi bahwa yang terpenting adalah peserta didik dapat
mempelajari dan memiliki pengetahuan mengenai materi Sejarah kebangsaan dan
Ilmu Bumi Indonesia bagaimana pun keduanya diorganisasikan dan ditempatkan
dalam struktur kurikulum. Pandangan demikian melemahkan makna dan fungsi
dari kelompok mata pelajaran dalam struktur kurikulum karena pembagian mata
pelajaran dalam kelompok tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai
tujuan dan fungsi struktur yang ada.
89
Perubahan kelompok terjadi dengan mata pelajaran Ilmu Administrasi yang dalam
kurikulum SMP Gaya Baru masuk dalam kelompok Cipta sedangkan dalam
kurikulum SMP 1968 dimasukkan dalam kelompok Pembinaan Kecakapan
Khusus. Berbeda dari mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi, perubahan
kelompok menyebabkan nama mata pelajaran nya pun berbeda yaitu dari Ilmu
Administrasi yang masuk kelompok Cipta menjadi Administrasi yang masuk
kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Dalam hal ini, perubahan kelompok
tidak menimbulkan permasalahan dalam struktur kurikulum karena mater
pelajaran administrasi sebagai ilmu berbeda dari materi pelajaran administrasi
sebagai ketrampilan.
C. KURIKULUM SMP 1975
Kurikulum 1968 dianggap sudah mulai usang. Perkembangan kehidupan politik,
sosial, budaya, teknologi dan terutama ekonomi dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan kurikulum yang ada. Sementara itu keberadaan lembaga resmi di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Badan Pengembangan Pendidikan
dimana ada bagian Pengembangan Kurikulum memberikan arahan pengembangan
kurikulum yang lebih fokus, sistematis, dan sesuai dengan perkembangan ilmu
pendidikan terutama kurikulum. Pakar yang belajar khusus dalam kurikulum
menambah kekuatan bangsa Indonesia dalam memikirkan kurikulum lebih serius.
Pada tahun 1975 Pemerintah mensyahkan kurikulum baru untuk SMP yang diberi
nama Kurikulum SMP 1975.
Hasil kajian penilaian telah menunjukkan bahwa kualitas tamatan SMP
sebagaimana yang dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1968 sudah dianggap
tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Masyarakat menghendaki tamatan
SMP yang mampu belajar aktif, menjadi manusia yang mampu mencari,
mengolah, dan mengembangkan pengetahuan baru. Untuk itu peserta didik tidak
lagi menjadi orang yang pasif menerima berbagai informasi yang disajikan guru
dan buku teks tetapi sudah harus menjadi subjek yang mampu membelajrkan
dirinya dengan cara belajar aktif.
90
Untuk mendukung posisi peserta didik sebagai subjek dalam belajar berbagai
inovasi pendidikan telah tersedia. Inovasi dalam proses pembelajaran yang
mengarah kepada pendekatan teknologi pembelajaran yang terencana, terarah dan
jelas memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menguasai pengetahuan,
kemampuan, nilai, dan sikap yang harus mereka miliki. Inovasi pembelajaran
dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional dianggap
lebih efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu
Pemerintah telah menyelesaikan penulisan buku-buku pelajaran yang memerlukan
kurikulum baru karena berbagai pokok bahasan dan informasi baru yang terdapat
pada buku-buku tersebut.
1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan
Perubahan dalam tujuan pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru terus
berkembang. Dapat dikatakan hampir pada setiap sidang MPR lima tahunan
menghasilkan tujuan pendidikan baru. Dalam Sidang Umum MPRS pada tahun
1973 MPRS menghasilkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 yaitu mengenai
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam bagian mengenai Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda dinyatakan bahwa
“pembangunan dibidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila
dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-
Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan
rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan
kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai
dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.”
(Dokumen TAP MPRS No. IV Tahun 1973; Gunawan, 1986: 52).
Istilah manusia Pancasila sejati tidak lagi digunakan. Situasi politik pada tahun
1973 kiranya sudah lebih stabil dibandingkan tahun 1966 dalam menangkal
91
pengaruh negatif faham dan gerakan komunis di Indonesia. Oleh karena itu kata-
kata Pancasila sejati dalam tujuan pendidikan tidak perlu dinyatakan secara
ekspilisit. Sebagai gantinya jargon politik yang populer pada waktu itu adalah
manusia pembangunan. Semua kegiatan diarahkan untuk pembangunan dan
suasana pembangunan fisik dan non fisik mendominasi kehidupan kebangsaan.
Pembentukan manusia pembangunan sesuai dengan kebijakan politik pada waktu
itu yang menempatkan pembangunan sebagai jargon politik penting dalam
kehidupan bangsa. Sesuai dengan arah pembangunan bangsa maka pendidikan
sebagai salah satu upaya pembangunan bangsa harus menghasilkan manusia
sesuai dengan ciri kehidupan bangsa pada waktu itu.
Perubahan lain yang cukup menonjol dari rumusan tujuan dalam TAP MPRS IV
tahun 1973 dibandingkan TAP MPR sebelumnya adalah pada TAP MPRS IV
tahun 1973 posisi pengetahuan dan ketrampilan cukup penting dibandingkan
rumusan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966. Penempatan posisi pengetahuan
dan ketrampilan memang sudah sewajarnya karena adalah suatu kenyataan yang
tak dapat disangkal bahwa manusia memang tidak mungkin hidup tanpa ilmu
pengetahuan. Tujuan pendidikan yang dirumuskan TAP MPRS IV tahun 1973
memperlihatkan tugas pendidikan yang cukup mendasar dalam mengembangkan
potensi peserta didik di berbagai bidang untuk menjadi manusia yang “sehat
jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat
mengembangkan kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap
demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang
tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai
sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang
Dasar 1945.”
Dalam tujuan yang dirumuskan TAP MPRS nomor IV Tahun 1973 manusia
Indonesia adalah manusia yang selain sehat jasmani dan rokhani, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan tetapi memiliki pula berbagai kualitas afektif yang
92
masih tetap aktual untuk masa kini. Sikap demokrasi dan tanggungjawab adalah
sesuatu yang masih diperlukan hingga saat kini dan untuk masa panjang selama
negara Indonesia dan bangsa Indonesia menegakkan kehidupan kebangsaannya
atas dasar demokrasi, sesuatu yang tidak saja dominan tetapi juga menjadi
alternatif terbaik dalam kehidupan kebangsaan. Cara merumuskan yang
memberikan keseimbangan antara kemampuan kognitif dan afektif (demokrasi
dan bertanggungjawab) digunakan pula dalam rumusan berikutnya. Kualitas
kognitif yaitu kecerdasan yang tinggi diseimbangkan dengan kualitas afektif yaitu
budi pekerti yang luhur. Prinsip keseimbangan digunakan pula dalam rumusan
mengenai usaha pendidikan untuk menghasilkan manusia yang mencintai
bangsanya dan juga sesama manusia untuk tidak menimbulkan sikap chauvinistis
atau nasionalisme yang sempit.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, TAP MPRS
Nomor IV tahun 1973 telah pula menetapkan mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila sebagai pengganti Civics atau Kewargaan Negara pada kurikulum
sebelumnya. Pada bagian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Tenologi dan
Pembinaan Generasi Muda titik 2 TAP MPRS tersebut dirumuskan arah bagi
kurikulum TK sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA). Dalam titik 2 itu
dirumuskan sebagai berikut: “untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum
disemua tingkat pendidikan, mulai dari Taman kanak-kanak sampai perguruan
Tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila
dan unsur unsur yang cukup untuk meneruskan Jiwa dan Nilai-nilai 1945 kepada
Generasi Muda”. Kedudukan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai
mata pelajaran wajib berlaku sampai saat kini walau pun nama mata pelajaran ini
mengalami perubahan nama beberapa kali, disesuaikan dengan TAP-TAP MPR
pada masa berikutnya.
Disamping perubahan politik yang terutama dalam keputusan mengenai tujuan
pendidikan nasional terjadi pula berbagai pemikiran baru tentang kurikulum.
Kehadiran beberapa sarjana yang memfokuskan dirinya pada bidang
93
pengembangan kurikulum dan bidang studi kurikulum memperkenalkan berbagai
pemikiran baru untuk kurikulum 1975. Berbagai teoori dan pemikiran mengenai
pengembangan kurikulum (curriculum development) yang mereka pelajari dan
dianggap bermanfaat bagi dunia pendidikan Indonesia mereka aplikasikan dalam
pekerjaan pengembangan Kurikulum 1975. Mereka memperkenalkan pikiran
inovatif mengenai desain kurikulum, posisi peserta didik dalam belajar, proses
pembelajaran, dan evaluasi atau asesmen hasil belajar. Desain kurikulum yang
mengarah kepada model pendekatan tujuan menghasilkan struktur tujuan lebih
jelas dan keterkaitan antara berbagai jenjang tujuan dinyatakan secara eksplisit.
Jika dalam Kurikulum SMP 1954 tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan
terpisah dari materi yang dipelajari maka pada Kurikulum SMP 1975 dirumuskan
dalam sebuah matriks sehingga jelas keterkaitan antara tujuan kurikuler dan
tujuan instruksional. Selain itu, Kurikulum SMP 1975 memperlihatkan keterkaitan
yang jelas antara Tujuan Kurikuler, Tujuan Instruksional Umum, materi, metode,
dan penilaian hasil belajar. Kurikulum sebelumnya tidak memperlihatkan
keterkaitan berbagai komponen itu dalam satu matriks.
Pemikiran inovatif yang juga dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1975 adalah
adanya penjelasan mengenai berbagai hal yang dianggap inovatif atau pun yang
merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilaksanakan seebelumnya. Diantara
pikiran-pikiran itu penggunaan model Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI) dan sistem penilaian yang berkelanjutan merupakan aspek
inovasi, pedoman pelaksanaan kurikulum banyak berpengaruh terhadap
pengembangan kurikulum berikutnya. Sebagian dari pemikiran inovatif yaitu
pengunaan filosofi perenialisme masih dipertahankan untuk jenjang pendidikaan
dasar sedangkan penerapan filosofi perenialisme untuk kurikulum SMA
mendapatkan tantangan politis yang kuat sehingga pada tahun 1984 Kurikulum
SMA kembali dikembangkan berdasarkan filosofi esensialisme sampai hari ini.
Tentang tujuan, Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan hierarkis antara tujuan
pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler,
tujuan pendidikan instruksional umum, dan tujuan pendidikan instruksional
94
khusus. Keterkaitan antar tujuan tersebut masih berlangsung sampai kurikulum
1994 dan menjadi petunjuk kuat mengenai keterkaitan antara apa yang
dikehendaki bangsa Indonesia dengan apa yang dikembangkan kurikulum. Secara
diagramatik keterkaitan itu digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Heirarki Tujuan Pendidikan
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
TUJUAN KURIKULER
TUJUAN KURIKULER
TUJUAN KURIKULER
TIU TIU TIU TIU TIU TIU
TUJUAN INSTITUSIONAL (LEMBAGA)
Di bawah setiap TIU terdapat sejumlah TIK yang harus dirumuskan guru.
Hierarchi keterkaitan tujuan pendidikan tersebut berdasarkan asumsi bahwa
apabila tujuan pendidikan di bawah dirumuskan dengan benar dan tercapai maka
tujuan pendidikan di atasnya akan tercapai. Artinya, jika kualitas hasil belajar
yang dirumuskan guru dalam TIK tercapai maka TIU yang menjadi dasar
pengembangan TIK tersebut diasumsikan tercapai. Jika berbagai kualitas hasil
95
belajar yang dirumuskan dalam berbagai TIU tercapai maka Tujuan Kurikuler
untuk bidang tudi tersebut tercapai. Jika kualitas hasil belajar yang dirumuskan
dalam berbagai Tujuan Kurikuler dimiliki peserta didik maka tamatan SMP akan
memiliki kualitas hasil belajar yang dirumuskan dalam Tujuan Institusional
(SMP) tersebut. Apabila semua tujuan institusional semua lembaga pendidikan
tercapai maka kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan
Pendidikan Nasional tercapai pula.
2. Tujuan Institusional SMP
Dalam bab III Buku I Kurikulum SMP 1975 ditetapkan adanya Tujuan Umum dan
Tujuan Khusus. Tujuan Umum menggambarkan tujuan pendidikan SMP yang
terdiri atas tiga tujuan yang mencakup wewenang yang dimiliki seorang tamatan
pendidikan SMP. Ketiganya adalah menjadi “warganegara yang baik sebagai
manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin; menguasai hasil pendidikan umum
yang merupakan kelanjutan dari hasil pendidikan di Sekolah Dasar; dan memiliki
bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan
untuk terjun ke masyarakat”. Tujuan nomor satu jelas merupakan tujuan yang
dirancang untuk menjadi kualitas peserta didik yang belajar dari kurikulum SMP
sehingga kurikulum SMP diharapkan mampu mengembangkan berbagai
pengetahuan, ketrampilan dan nilai untuk menjadi warganegara yang baik. Tujuan
nomor dua menggambarkan keterkaitan antara kurikulum SD – SMP sehingga
ketiga kualitas yang dirumuskan dalam tujuan pertama merupakan suatu upaya
lanjutan dari apa yang sudah dikembangkan dalam kurikulum SD. Sedangkan
tujuan ketiga menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik dari hasil
yang dirumuskan pada tujuan pertama dan kedua yaitu peserta didik dapat
menggunakan kemampuan yang sudah dimiliki untuk melanjutkan pendidikan
mereka ke jenjang yang lebih tinggi atau menjadi anggota masyarakat yang
memiliki keutuhan kemampuan serta sehat lahir-batin.
Tujuan khusus pendidikan SMP menjadi tujuan yang secara operasional harus
terjamin ketercapaiannya dalam rancangan dokumen kurikulum, dalam proses
96
implementasi kurikulum berupa kegiatan proses belajar-mengajar, dan terbukti
dalam informasi yang dikumpulkan oleh asesmen hasil belajar dan bahkan
evaluasi kurikulum. Tujuan khusus tersebut mencakup bidang pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai. Ketiga ranah ini merupakan ranah penting karena
pengetahuan adalah landasan untuk mengembangkan ketrampilan (belajar,
berpikir, kinestetik, estetika, kesehatan, kepemimpinan, dan vokasional), dan
untuk mengembangkan nilai yang berkenaan dengan ideologi dan dasar hukum/
filosofi negara, agama, kemanusiaan; sikap demokratis dan tenggang rasa,
tanggungjawab, apresiasi budaya dan karya, percaya diri, rasa ingin tahu (minat),
disiplin dan patuh, jujur, mandiri, berinisiatif, kreativitas, kritis, rasional, objektif,
menghargai pekerjaan ; kebiasan hidup hemat, produktif, sehat dan berolahraga,
menghargai waktu.
Dari tujuan khusus yang dirumuskan dalam Buku I Bab III Pasal 5 jelas
menunjukkan pemahaman para pengembang kurikulum dalam berbagai teori
tentang intelegensia, sikap dan nilai, serta tujuan. Rumusan tujuan khusus tersebut
jelas membedakan ranah pengetahuan dari kemampuan/ketrampilan dan nilai.
Pada masa belakangan para pelaksana kurikulum dan pengambil kebijakan dalam
kurikulum tidak memberikan perhatian yang sungguh dalam mengembangkan
ranah kemampuan/ketrampilan serta sikap dan nilai tetapi terfokuskan pada
pengembangan pengetahuan. Ranah kemampuan/ketrampilan yang meliputi
berbagai aspek inteleligensia yang lebih luas dibandingkan “multiple
intelligences” Howard Gardner tidak mendapatkan perhatian dan pengembangan
yang seharusnya. Ranah sikap dan nilai terabaikan dalam kadar yang sama dengan
ranah kemampuan/ketrampilan. Kedua ranah yang disebutkan belakangan ini
diperlakukan seperti ranah pengetahuan sehingga proses belajar dan materi
pelajaran kedua ranah tersebut dikerdilkan menjadi ranah pengetahuan.
Ketrampilan dan nilai serta sikap yang dikembangkan Kurikulum 1975 masih
relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini dan masih relevan
dengan kebijakan pendidikan Pemerintah akhir-akhir ini yang diterjemahkan
dalam kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa, belajar aktif, mandiri-
97
kreatif dan kewirausahaan. Pelajaran yang muncul dari pengalaman Kurikulum
SMP 1975 adalah kekurangan dalam perhatian dan kemampuan mengembangkan
proses belajar yang dapat membangun kemampuan, sikap dan nilai yang telah
dirumuskan sebagai tujuan menjadi perilaku peserta didik. Kelemahan dalam
mengembangkan proses pembelajaran dan keterpurukaa proses pembelajaran
kemampuan (skills), sikap dan nilai menyebabkan pengembangan ranah
ketrampilan intelektual dan afektif tersebut menjadi pengembangan pengetahuan
sehingga peserta didik mengenai apa yang dimaksudkan dengan berbagai
ketrampilan, sikap dan nilai yang dibahas di kelas tapi mereka tidak mampu
melakukannya dalam perilaku keseharian mereka di sekolah dan masyarakat.
Kelemahan lain adalah dalam penilaian hasil belajar peserta didik yang
sebagaimana halnya dengan proses pembelajaran terfokuskan dan terpuruk pada
upaya mencari informasi tentang kemampuan peserta didik dalam ranah
pengetahuan. Pengaruh dari asesmen hasil belajar yang terpuruk pada
pengetahuan maka proses pembelajaran semakin memusatkan perhatiannya pada
upaya pengembangan pengetahuan. Sayangnya, kelemahan ini berlanjut pada
kurikulum SMP berikutnya. Kenyataan ini merupakan pelajaran terbaik agar
bangsa ini tidak lagi dan lagi mengulang kesalahan yang sama.
3. Prinsip Yang Melandasi Pengembangan Kurikulum SMP 1975
Prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum SMP 1975 adalah
sebagai berikut:
- Prinsip Fleksibilitas Program - Prinsip efisiensi dan efektivitas - Prinsip berorientasi pada Tujuan - Prinsip Kontinuitas - Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Kelima prinsip tersebut digunakan dalam aspek pengembangan kurikulum yang
berbeda. Prinsip fleksibilitas program memberikan kemungkinan bagi sekolah
untuk menyelenggarakan pendidikan ketrampilan yang berbeda baik pendidikan
ketrampilan wajib mau pun pilihan. Sekolah harus menentukan proram
pendidikan mana yang akan dikembangkan disesuaikan dengan fasilitas yang
98
dimiliki sekolah dan kebutuhan masyarakat akan ketrampilan yang ada pada
program yang ditawarkan kurikulum. Sekolah harus menghindari kejenuhan yang
terjadi di masyarakat akan kebutuhan suatu ketrampilan tertentu sehingga peserta
didik dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mencari pekerjaan.
Prinsip efisiensi dan efektivitas digunakan untuk memanfaatkan waktu yang
tersedia di kelas dengan sebaik-baiknya dan kemampuan belajar peserta didik
diukur dari beban tugas yang harus dilakukannya. Kurikulum mendesain agar
proses belajar-mengajar di kelas tidak menghabiskan waktu belajar untuk
menyalin materi pelajaran dari papan tulis. Penerapan prinsip efisiensi dan
efektiitas kedua adalah dengan cara mengurangi jam belajar per minggu dari 42
jam menjadi 36. Pengurangan jam belajar tersebut dilakukan dengan landasan
pikiran bahwa jam belajaar yang terlalu padat tidak memberikan peluang bagi
peserta didik untuk mencernakan materi pelajaran dengan baik karena jenuh, dan
memungkinkan peserta didik menggunakan waktu untuk mengembangkan
kreativitas di luar kegiatan kelas.
Prinsip berorientasi pada tujuan digunakan untuk mengembangkan proe belajar-
mengajar sehingga setiap guru dan peserta didik memahami apa yang akan
mereka capai dengan materi pelajaran yang ada. Berdasarkan tujuan yang akan
dicapai dan materi pelajaran maka guru haru dapat menentukan proses belajar
yang paling efektif.
Prinsip kontinuitas dirancang dan dikembangkan dalam pengertian bahwa adanya
kontinuitas antara apa yang sudah dipelajari di SD dengan apa yang dipelajari di
SMP dan juga dasar untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi.
Prinsip ini merapakan prinsip kurikulum yang cukup penting yang sering
diistilahkan dengan “vertical organization”. Kontinuitas dalam “vertical
organization” tidak saja berkenaan dengan materi pengetahuan (knowledge) yang
sudah dipelajari di sebuah jenjang pendidikan tetapi juga kontinuitas antara materi
ketrampilan (intelektual, emosional, sosial, psikomotorik) dan materi afekti (nilai
dan sikap) dari kelas/sekolah ke kelas/sekolah yang lebih tinggi.
Prinsip pendidikan seumur hidup menyatakan bahwa apa yang sudah dipelajari di
sekolah dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut ketika eseorang sudah
99
tidak lagi belajar di jalur sekolah atau pun luar sekolah. Ia memiliki kemandirian
untuk belajar terus bagi pengembangan kemampuan dan kepribadian dirinya.
Sebetulnya untuk bisa belajar sepanjang hiddup seseorang memerlukan
ketrampilan belajar, kebiasaan dan ketrampilan membaca, rasa ingin tahu yang
tinggi serta disiplin. Sayangnya, nilai-nilai ini yang juga dinatakan dalam tujuan
kurikulum tidak dikembangkan sebagaimana seharusnya. Tneu saja dengan
demikian, belajar sepanjang hidup tidak tampak dalam realita kehidupan peserta
didik di sekolah dan masyarakat.
4. Pikiran Pokok Kurikulum 1975
Pada tanggal 17 Januari tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan nomor 008-D/U/1975, Pemerintah menetapkan kurikulum baru untuk SMP
dan dinamakan Kurikulum 1975, sesuai dengan tahun penetapan berlakunya kurikulum
tersebut. Dapat dikatakan bahwa Kurikulum 1975 memberikan landasan baru bagi
kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum 1975 merupakan kurikulum
pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan teori, model, dan desain kurikulum
modern. Pikiran teoritik tentang peserta didik, proses pembelajaran, penilaian hasil
belajar dijadikan dasar-dasar utama dalam pemikiran pengembangan kurikulum. Model
pembelajaran yang dikenal dengan nama Perencanaan Sistem Instruksional menjadi
model baru dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dalam kegiatan pengembangan kurikulum 1975 pikiran teoritik dan prosedur
pengembangan kurikulum modern dilaksanakan dalam pengembangan ide kurikulum,
rancangan pembelajaran dan pedoman pelaksanaan. Ide kurikulum memuat landasan
filosofis, teoritis dan model kurikulum dan sebenarnya adalah jawaban kependidikan
Pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat sebagaimana yang dipersepsi oleh para
pengambil keputusan dalam bidang pendidikan dan terjemahan dari kebijakan tersebut
oleh para pengembang kurikulum secara teknis. Ide kurikulum tersebut dirancang
sedemikian rupa dan ditulis dalam Buku I dokumen kurikulum yang dinamakan
Ketentuan-ketentuan Pokok. Rancangan pembelajaran yang dinamakan Garis-Garis Besar
Program Pengajaran (GBPP) untuk setiap mata pelajaran dikembangkan dalam Buku II.
Untuk melaksanakan Kurikulum 1975 dikembangkan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum
berkenaan dengan hal khusus dan model satuan pelajaran, penilaian, bimbingan dan
100
penyuluhan, serta administrasi dan supervisi dalam Buku III. Model pengembangan
dokumen kurikulum yang terdiri atas 3 buku ini nantinya dilanjutkan terus pada
pengembangan kurikulum berikutnya dan baru berubah ketika kebijakan pendidikan
memberikan wewenang pengembangan kurikulum kepada daerah dan sekolah.
Buku I Kurikulum 1975 memuat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor 008-D/U/1975 tentang pikiran-pikiran pokok (curriculum ideas) dari
Kurikulum 1975. Pikiran pokok tersebut berisikan ketentuan umum, dasar dan
tujuan pendidikan , tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan SMP, susunan
kurikulum (struktur kurikulum), susunan program pengajaran dan metode
penyampaian, dan strategi implementasi yang dinyatakan dalam bagian lain-lain/
penutup. Dalam bagian umum dirumuskan berbagai istilah yang digunakan dalam
kurikulum seperti GBPP, model satuan pelajaran, jam pelajaran, semester,
program pendidikan umum, program pendidikan akademis, pendidikan
ketrampilan pilihan terikat, pendidikan ketrampilan pilihan bebas, lama waktu
belajar di SMP, dan guru bidang studi (Kurikulum SMP 1975 menggunakan
istilah bidang studi dan bukan mata pelajaran dan oleh karena itu maka guru pun
adalah guru bidang studi dan bukan lagi guru mata pelajaran. Beberapa dari istilah
tersebut merupakan istilah yang sudah dikenal dan diartikan sama dengan
pengertian yang sudah dikenal kepala sekolah, guru, dan masyarakat. Beberapa
istilah adalah istilah baru yang dikembangkan dan digunakan oleh Kurikulum
1975.
Rumusan istilah-istilah yang digunakan dalam kurikulum baik yang sudah umum
mau pun yang baru, memiliki makna yang penting. Rumusan itu menyampaikan
pengertian yang digunakan oleh para pengembang ketika mereka mendesain dan
mengembangkan dokumen kurikulum (curriculum as a written plan). Pengertian
tersebut mengikat dan menjadi patokan bagi kepala sekolah, guru dan pengawas
sehingga terjadi kesamaan bahasa dalam komunikasi antara para pelaksana
kurikulum dengan pengembang kurikulum. Kesamaan bahasa antara para
pengembang dan pelaksana dipersyaratkan dalam banyak literatur tentang
pengembang kurikulum karena kesamaan bahasa tersebut menjadi satu kunci
101
keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Meski pun demikian harus diingat bahwa
adanya rumusan istilah yang telah dilakukan para pengembang kurikulum
bukanlah pengganti sosialisasi sebagai salah satu strategi implementasi
kurikulum. Rumusan yang telah dikembangkan menjadi titik berangkat dalam
membangun persamaan bahasa dalam sosialisasi. Lagipula, sosialisasi mempunyai
fungsi untuk membangun pemahaman dan mengembangkan ketrampilan baru
yang diperlukan guru bidang studi. Sayangnya, kelemahan dalam sosialisasi untuk
implementasi terutama berkenaan dengan aspek ketrampilan yang harus dimiliki
guru seperti pengembangan PPSI, merumuskan tujuan instruksional khusus
berdasarkan kaategori atau taksonomi tujuan pendidikan Bloom (Taxonomy of
Educational Objectives), pengembangan tes objektif, dan bahkan ketrampilan
dalam belajar dengan Cara Belajar Siswa Aktif serta pengembangan strategi dan
proses pembelajaran yang menyebabkan peserta didik belajar aktif, menjadi
faktor yang cukup menentukan kelemahan kalau tidak dapat disebut sebagai
kegagalan implementasi Kurikulum SMP 1975. Pelatihan yang dilakukan tidak
sampai kepada setiap guru dan tidak mampu mengembangkan ketrampilan yang
diperlukan guru. Lagipula, banyak dari pelatihan tersebut dilakukan sepanjang
perjalanan implementasi dan bukan di awal tahun sebelum implementasi di kelas I
dilakukan.
Dalam Ketentuan Umum Kurikulum 1975 istilah baru yang diperkenalkan
Kurikulum SMP 1975 yaitu Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), model
satuan pelajaran yang nantinya menggunakan model Program Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI), semester sebagai pengganti sistem kuartalan, guru
bidang studi sebagai pengganti guru mata pelajaran, tujuan instruksional (umum
dan khusus). Garis Besar Program Pengajaran dirumuskan sebagai “ikhtisar dari
pada keseluruhan program pengajaran yang terdiri atas tujuan-tujuan kurikuler,
tujuan-tujuan instruksionil (sic!) dengan ruang lingkup bahan-bahan pengajaran
yang diatur dan disusun secara berurutan menurut semester dan kelas”. Secara
khusus GBPP dikembangkan sebagai dokumen khusus untuk setiap bidang studi
yang ada dalam struktur Kurikulum 1975 berisikan rumusan tujuan kurikuler,
102
tujuan isntruksional umum (TIU), pokok-pokok bahasan, dan tata urut
penyampaian bahasan (sequence) di setiap semester, dan dari satu semester ke
semester berikutnya. Guru berkewajiban mengembangkan GBPP menjadi satuan
pelajaran untuk setiap TIU dan pokok bahasan yang perlu dipelajari untuk
menguasai kemampuan yang tertuang dalam rumusan TIU18. Setiap rumusan TIU
mengandung komponen peserta didik, kemampuan/ketrampilan (intelektual,
afektual, psikomotorik), dan aspek substantif yang harus dipelajari dan dikuasai
peserta didik. Aspek substantif dipelajari dan digunakan untuk melatih peserta
didik dalam menguasai aspek kemampuan tetapi aspek kemampuan/ketrampilan
juga digunakan dalam mempelajari aspek substantif sehingga peserta didik
mencapai tingkat mahir dalam menggunakan kemampuan/ketrampilan. Kedua
proses tersebut bersifat timbal balik dan menyebabkan terjadinya proses belajar
bermakna.
Model satuan pelajaran dirumuskan sebagai “pedoman tentang proses belajar-
mengajar yang meliputi tujuan-tujuan instruksionil (khusus), pokok-bahasan,
uraian kegiatan belajar-mengajar murid dan guru, alat/media pelajaran, dan alat
evaluasi yang digunakan”. Sebagaimana dikemukakan di atas model satuan
pelajaran yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 dinamakan Program
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Model PPSI dikembangkan dari
wilayah Desain Instruksional (Instructional Design) dan bukan bidang kurikulum.
Meski pun demikian, PPSI cukup efektif untuk mengimplementasi kurikulum
sebagai dokumen menjadi kurikulum sebagai suatu proses. Pemanfaatan PPSI
sebagai salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 18 Dalam Buku I Kurikulum SMP 1975 titik 2.3 di halaman 21 dikatakan bahwa “pokok bahasan yang telah disusun secara berurutan ini selanjutnya perlu dikembangkan menjadi suatu program instruksionil yang jelas sasarannya (dalam bentuk rumusan tujuan instruksionil yang lebih khusus), perincian pokok‐pokok bahasan, alat‐alat pelajaran yang harus disediakan dan digunakan, cara mengajar dan belajar yang harus ditempuh, lamanya pelajaran itu diadakan, alat evaluasi yang perlu disusun untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan para siswa. Petunjuk tersebut agak “menyesatkan” karena model yang digunakan adalah pendekatan tujuan sebagaimana dinyatakan dalam buku yang sama di halam 17 (prinsip berorientasi pada tujuan) dan pada halaman 21 tentang kedudukan tujuan. Dengan pendekatan tujuan maka seharusnya TIK dirumuskan sebagai operasionalisasi TIU terutama yang berkenaan aspek kemampuan intelektual, afektif, dan psikomotorik dan rincian materi pembelajaran dari materi TIU yang sesuai dengan materi pokok bahasan.
103
memiliki dampak yang cukup positif dalam perkembangan pendidikan di
Indonesia. Memang harus diakui bahwa model PPSI memberikan keterbatasan
dalam arti pencapaian tujuan yang sangat terbatas tetapi hal tersebut dapat
dihindari jika rumusan TIU dan terutama rumusan TIK tidak diarahkan kepada
persyaratan pandangan behavioristik Mager yang dikenal dengan persyaratan
ABCD (audience, behavior, conditions, degree). Sayangnya, rumusan ABCD ini
merupakan salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP
1975 dalam merumuskan TIK.
Bersamaan dengan penerapan PPSI maka diperkenalkan pula istilah instruksional
umum (TIU) dan instruksional khusus (TIK) sebagai upaya membedakan dengan
pengertian tujuan kurikuler yang digunakan dalam Garis Besar Program
Pengajaran. Selain sebagai pembeda yang disebabkan oleh fungsi dan ruang
lingkup yang berbeda antara tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus, penggunaan istilah instruksional umum dan khusus
memberikan landasan pengembangan yang lebih jelas. Tujuan kurikuler
merumuskankan kualitas hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta
didik dari sebuah bidang studi, tujuan instruksional umum merumuskan kualitas
hasil hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari beberapa
pokok bahasan sebuah bidang studi sedangkan TIK merumuskan kualitas hasil
belajar/kemampuan peserta didik setelah mempelajari suatu pokok bahasan.
Pikiran pokok lain yaang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 mengenai sistem
penilaian. Kurikulum SMP 1975 menghendaki adanya perubahan dari pandangan
lama bahwa penilaian hanya dapat dilakukan pada akhir catur wulan/kuartalan
atau pada akhir tahun maka Kurikulum SMP 1975 dilaksanakan pada akhir setiap
satuan pelajaran. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah frekuensi pengukuran
pencapaian hasil belajar menjadi lebih sering sehingga peserta didik mengikuti tes
atau ulangan untuk ruang lingkup materi yang lebih terbatas. Lagipula, ketika
asesmen itu dilakukan pada setiap saat peserta didik membahas suatu pokok
bahasan maka daya ingat akan lebih kuat dan segar dibandingkan apabila tes atau
ulangan itu dilakukan pada beberapa saat setelah materi pelajaran itu dikaji.
104
Semakin lama suatu pengetahuan bersifat asing atau tidak menjadi bagian integral
dari schema seseorang dan semakin lama jarak waktu antara saat ketika materi
tersebut dipelajari dengan saat ulangan/tes maka semakin banyak pengetahuan itu
tersimpan dalam memori dan sukar dipanggil untuk menjawab pertanyaan yang
ada dalam tes/ulangan.
Semakin sering sebuah pengetahuan digunakan maka semakin mudah tinggi
tingkat kemampuan untuk memanggilnya. Pengetahuan yang digunakan setiap
hari menjadi pengetahuan yang selalu siap dipanggil setiap saat dan dengan
demikian ia akan tersimpan dalam memori di tempat yang mudah terjangkau. Jika
alat asesmen hasil belajar digunakan tidak saja untuk mengumpulkan informasi
tentang kemampuan peserta didik tetapi juga menjadi fasilitas bagi peserta didik
untuk mengakses pengetahuan dan menggunakannya maka semakin sering
diadakan ulangan/tes semakin tinggi tingkat pemanfaatan pengetahuan dan pada
gilirannya semakin mudah memanggil pengetahuan yang bersangkutan. Dari
suudut pandang teoritis ini maka pikiran yang dikembangkan Kurikulum SMP
1975 merupakan suatu pendekatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam
mengatasi kelemahan peserta didik dalam menghafal.
Dalam bidang penilaian hail belajar Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan dua
jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan sumatif. Keduanya memiliki fungsi
yang berbeda. Penilaian formatif dilakukan untuk memperbaiki kemampuan
peserta didik sedangkan penilaian sumatif digunakan untuk menentukan tingkat
keberhasilan belajar peserta didik. Istilah formatif dan sumatif diperkenalkan oleh
Michael Scriven tahun 1967 untuk bidang evaluasi kurikulum dan oleh Benjamin
Bloom dan kawan-kawannya untuk bidang evaluasi hasil belajar. Sejak
diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 kedua istilah itu menjadi nomenclature
yang dikenal oleh guru, masyarakat pendidik, dan juga orang tua terkadang dalam
penggunaan makna yang salah. Kesalahan yang terjadi ialah penilaian formatif
tidak digunakan untuk memperbaiki kemampuan peserta didik yang rendah baik
kemampuan kelas (dengan adanya ketentuan lebih dari 75% peserta didik di suatu
kelas menguasai kurang dari 75% kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan
105
instruksional khusus) apalagi secara individual dimana guru harus melakukan
analisis jawaban peserta didik secara khusus untuk menentukan kelemahan yang
masih dimiliki seorang peserta didik. Kalaulah tradisi penilaian formatif ini
berjalan sebagaimana seharusnya dan berkelanjutan sampai masa kini banyak
kelemahan proses pembelajaran dapat diperbaiki dan peserta didik akan selalu
mendapatkan bantuan belajar yang diperlukannya.
Hal lain yang berkenaan dengan asesmen hasil belajar ialah asesmen itu harus
menckup keseluruhan aspek tingkah laku. Artinya, asesmen yang dilakukan tidak
boleh hanya membatasi diri pada upaya mendapatkan informasi mengenai
penguasaan pengetahuan semata tetapi juga aspek lain dari kemampuan yang
harus dimiliki peserta didik. Asesmen harus berkenaan dengan kemampuan/
ketrampilan intelektual, afeksi, dan juga psikomotor. Prinsip menyeluruh dalam
asesmen hasil belajar diaplikasikan oleh Kurikulum SMP 1975 dan ini hanya
dapat dilakukan jika guru paham dan memiliki ketrampilan menerapkannya.
Kembali masalah sosialisasi jadi masalah sehingga guru tidak memiliki
ketrampilan yang cukup untuk melaksanakan kurikulum.
Prinsip belajar tuntas merupakan pikiran pokok yang dikembangkan dalam
Kurikulum SMP 1975 adalah mengenai pendekatan belajar tuntas. Dalam
pedoman dinyatakan bahwa apabila 75% peserta didik tidak menguasai 75%
kemampuan yang dirumuskan dalam TIK maka guru harus mengulang
pembelajaran pokok bahasan tersebut. Prinsip belajar tuntas mengatakan bahwa
setiap peserta didik dapat menguasai kemampuan dan pengetahuan apa pun yang
dikehendaki kurikulum asalkan mereka diberi waktu yang sesuai dengan tingkat
kecepatan belajar mereka. Metode mengajar dapat membantu peserta didik dapat
memperpendek waktu untuk menguasai kemampuan dan pengetahuan asalkan
dilakukan dalam suatu proses pembelajaran yang tepat bagi seorang peserta didik.
Penerapan prinsip dan pendekatan belajar tuntas tidak saja memerlukan perubahan
kemampuan pada diri guru tetapi terlebih lagi perubahan dalam cara pandang
mengenai belajar dan posisi peserta didik dalam belajar. Pendekatan belajar tuntas
106
menhendaki suatu keyakinan pada diri guru bahwa setiap peserta didik akan
mampu menguasai kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan. Mengubah cara
pandang guru lebih sulit dibandingkan dengan mengembangkan ketrampilan baru
dan tentu saja lebih sulit lagi dibandingkan dengan penguasaan pengetahuan.
Pikiran pokok yang dikembangkan Kurikulum 1975 yang telah dikemukakan di
atas memberi petunjuk yang kuat bahwa Kurikulum 1975 mencoba mengubah
banyak tradisi yang sudah berakar dalam dunia pendidikan Indonesia. Model
kurikulum yang berorientasi pada tujuan, model penerapan proses pembelajaran
yang juga berorientasi pada tujuan serta asesmen yang mengukur pencapaian
kemampuan yang terumuskan dalam tujuan menjadikan Kurikulum 1975 sebagai
tonggak pengembangan kurikulum modern di Indonesia. Kurikulum 1975
dikembangkan untuk mengubah berbagai tradisi dengan hal-hal baru.
5. Struktur Kurikulum dan Bidang Studi
Buku I Pasal 6 dan 7 menetapkan struktur Kurikulum SMP 1975 terdiri atas
program pendidikan umum, program pendidikan akademis, dan program
pendidikan ketrampilan. Program Pendidikan Umum harus diikuti oleh eluruh
peserta didik. Demikian pula dengan program Pendidikan Akademis yang akan
menjadi dasar bagi mereka yang akan melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Program Ketrampilan terdiri atas dua kelompok yaitu Program Ketrampilan
pilihan terikat yang berkenaan dengan berbagai ketrampilan vokasional dan
Program Ketrampilan pilihan bebas yang berkenaan dengan berbagai kegiatan
keilmuan, olahraga, kesenian dan kesehatan. Dua kelompok proram Ketrampilan
yang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 memberikan keleluasaan kepada
peserta didik untuk mendapatkan ketrampilan yang berguna untuk
mengembangkan minat mereka untuk memasuki dunia kerja berbekal ketrampilan
vokasional yang bersifat pilihan terikat dan ketrampilan untuk memperdalam
suatu bidang minat tertentu. Keterkaitan dengan TAP MPRS tahun 1973 yang
memberikan perhatian khusus kepada ketrampilan diterjemahkan dalam bentuk
kedua pilihan ketrampilan ini.
107
Tabel 7.2 Struktur dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1975
K E L A S
I II III Program Pendidikan
No. Bidang Studi
Semester 1 2 3 4 5 6
Pendidikan Umum
1.Pendidikan Agama
2.Pendidikan Moral Pancasila
3.Olahraga dan Kesehatan
4.Pendidikan Kesenian
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
3
2
2
2
3
2
Pendidikan Akademis
5. Bahasa Indonesia
6. Bahasa Daerah
7. Bahasa Inggeris
8. Ilmu Pengetahuan Sosial
9. Matematika
10.Ilmu Pengetahuan Alam
5
(2)
4
4
5
4
5
(2)
4
4
5
4
5
(2)
4
4
5
4
5
(2)
4
4
5
4
5
-
4
4
5
4
5
-
4
4
5
4
Pendidikan Ketrampilan
11.Pilihan terikat
12.Pilihan bebas
6
-
-
6
6
-
-
6
6
-
-
6
Jumlah jam pelajaran per minggu 37 37 37 37 37 37
(39) (39) (39) (39)
Struktur dan bidang studi Kurikulum 1975 memiliki beberapa perubahan dari
Kurikulum 1968 SMP. Perubahan pertama adalah pada label nama kelompok
yaitu nama Pembinaan Jiwa Pancasila sudah tidak digunakan dan digantikan
dengan Pendidikan Umum. Perubahan nama atau label ini jelas memperlihatkan
orientasi keilmuan yang lebih kuat pada Kurikulum 1975 dibandingkan
Kurikulum 1968. Penggantian nama yang sangat bersifat politis dan sensitif
tersebut tentu saja sudah berdasarkan analisis kondisi masyarakat dan
pemerintahan pada waktu itu yang sudah lebih dapat menerima tidak
digunakannya istilah Pancasila. Kajian terhadap rumusan tujuan pendidikan dalam
TAP MPRS nomor IV tahun 1973 yang sudah mengganti istilah manusia
108
Pancasila sejati (TAP MPRS XXVII tahun 1966) menjadi manusia pembangunan
yang ber-Pancasila menunjukkan adanya sikap yang lebih akomodatif terhadap
penggunaan istilah lain selain Pancasila.
Dalam kelompok Pendidikan Umum bahasa Indonesia tidak lagi menjadi
anggotanya karena Bahasa Indonesia menjadi bidang studi dalam kelompok
Pendidikan Akademis. Artinya, dengan perubahan posisi ini maka pendidikan
Bahasa Indonesia bukan lagi merupakan salah satu landasan pokok, bersamaan
dengan Pendidikan Agama dan Pancasila, untuk pendidikan kewargaannegara.
Kebijakan serupa terjadi ketika Kurikulum 1954 digantikan oleh Kurikulum 1962,
1964 dan 1968 dimana mata pelajaran sejarah Indonesia diubah posisinya menjadi
menjadi mata pelajaran akademis semata. Padahal untuk menjadi warganegara
seseorang harus mengetahui ideologi negaranya, sejarah bangsanya, wilayah,
tatanegara dan bahasa nasional/bahasa resmi. Untuk warganegara yang dilahirkan
dan dibesarkan di Indonesia pendidikan, dalam hal ini kurikulum, adalah upaya
untuk mengembangkan wawasan dan kesadaran kewarganegara- annya. Oleh
karena itu perubahan posisi Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 1975 dan mata
pelajaran Sejarah Indonesia serta Ilmu Bumi/Geografi Indonesia menjadi bidang
kajian akademis jelas didasarkan pada pertimbangan ilmu dan bukan didasarkan
pada konsep kewargaannegaraan yang dimaksudkan.
Kelompok Pengetahuan Dasar dalam Kurikulum 1968 diganti namanya menjadi
kelompok Pendidikan Akademis. Penggantian nama kelompok ini jelas
menunjukkan konsep Kurikulum 1975 yang didasarkan pada pemikiran kurikulum
pendidikan disiplin ilmu. Dalam kelompok ini maka bidang studi yang tercantum
memiliki fungi utama untuk mengembangkan kemampuan akademis peserta didik
dalam cara berpikir, bersikap, rasa ingin tahu, dan belajar. Meski pun demikian,
ada hal yang rancu yaitu bidang studi Bahasa Daerah yang dimasukkan sebagai
bidang kajian akademis. Sebagaimana halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa
Daerah dalam kurikulum diarahkan untuk mengembangkan kemampuan
berbahasa dan apresiasi terhadap karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa
daerah. Dengan memaukkan Bahasa Daerah sebagai bidang studi dalam kelompok
109
Pendidikan Akademis tentu saja mengurangi tujuan yang dimaksudkan. Meskipun
disadari bahwa pada waktu Kurikulum 1975 digunakan, SMP belum menjadi
bagian dari pendidikan dasar karena pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP) baru
ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yaitu pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) sedangkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Terdahulu Tentang Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia menetapkan SMP sebagai
pendidikan menengah dan bukan bagian dari pendidikan dasar, dan mungkin ini
yang memberikan justifikasi memasukkan bidang studi Bahasa Daerah sebagai
anggota kelompok Pendidikan Akademis.
Suatu kenyataan menarik dalam kelompok Pendidikan Akademis adalah
pemikiran para pengembang kurikulum untuk menggunakan organisasi “broad-
fields” yaitu dengan menggabungkan mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur
menjadi bidang studi Matematika, mata pelajaran Ilmu Alam dan Ilmu Hayat
menjadi Ilmu Pengetahuan Alam serta mata Ilmu Bumi dan mata pelajaran
Sejarah menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Perkembangan pemikiran
kurikulum sekolah menengah ketika upaya memperkenalkan pendekatan ini untuk
kurikulum perguruan tinggi dianggap berhasil mengembangkan kemampuan
berpikir mahasiswa yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak (Tanner dan Tanner,
1980:428; Longstreet dan Shane, 1993:82). Keberhasilan tersebut menarik
perhatian para pengembang kurikulum sekolah menengah dan sekolah dasar di
Amerika Serikat (Longstreet dan Shane, 1993:82) dan pada saat sekarang dunia
menyaksikan bahwa organisasi “broad-fields” menjadi pendekatan yang banyak
dilakukan untuk kurikulum sekolah dasar dan menengah di berbagai negara
(NIER, 1999; O’Donnel dkk, 2002). Walau pun di Indonesia terjadi
perkembangan baru dalam pemikiran pengembang kurikulum dan pengambil
kebijakan pendidikan di Indonesia dengan membatasi penerapan organisasi
“broad-fields” terbatas pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), apa yang
sudah diperkenalkan Kurikulum 1975 merupakan titik awal sejarah perkembangan
110
kurikulum di Indonesia dalam menerapkan pemikiran organisasi konten “broad-
fields”.
Organisasi “broad-fields” pada dasarnya adalah pendekatan dalam pendidikan
disiplin ilmu. Pada saat sekarang pendekatan ini telah berkembang sedemikian
rupa dan dianggap merupakan titik berangkat untuk mengembangkan kemampuan
berpikir komprehensif, analitik, evaluatif dan sintesis/mencipta sehingga
memberikan kemungkinan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik.
Keleluasaan dalam berpikir dan melihat masalah yang tidak terbatasi oleh
dinding-dinding ilmu yang “discrete” memberikan dasar yang kuat untuk
mengembangkan kreativitas.19 Oleh karena itu pendekatan “broad-fields”
mengubah tradisi kurikulum di Indonesia yang sebelumnya selalu berdasarkan
pendekatan “discrete disciplinary” sesuai dengan pandangan essensialisme.
Permasalahan yang muncul adalah ketika pendekatan ini diperkenalkan
Kurikulum SMP 1975, guru yang ada di sekolah dididik untuk mengembangkan
materi dan proses pembelajaran berdasarkan pendekatan “discrete disiciplinary”.
Pada tahun-tahun awal implementasi kurikulum dan bahkan untuk waktu 5 tahun
setelah Kurikulum SMP 1975 dinyatakan resmi berlaku masih banyak di antara
guru yang mengajar bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) secara terpisah. Guru yang terdidik dalam bidang
geografi mengajar geografi, guru yang terdidik dalam sejarah tetap mengajar
sejarah, dan guru yang terdidik dalam ekonomi mengajarkan materi pelajaran
ekonomi. Hal yang sama terjadi pula dengan bidang studi IPA yang terdiri atas
komponen materi terutama berasal dari biologi dan fisika. Masing-masing guru
biologi dan fisika mengajar bidang studi IPA dengan cara mengajar materi
masing-masing disiplin ilmu secara terpisah.
19 Dalam revisi yang dilakukan oleh Airisian dan kawan‐kawan terjadi pemberian makna baru dan restrukturisasi taksonomi tujuan pendidikan ranah kogniti yang dikembangkan Bloom dan kawan‐kawan. Dalam revisi ini kemampuan synthesis ditetapkan sebagai kemampuan kognitif tertinggi, di atas kemampuan evaluasi yang ditetapkan sebagai kemampuan di bawah sintesis tetapi yang hasil evaluasi itu diperlukan untuk membangun sinthesis. Istilah sinthesis diganti menjadi “create” kemampuan menciptakan yang merupakan kemampuan untuk menghasilkan kreativitas.
111
Kenyataan bahwa guru IPS dan IPA masih mengajar dengan menggunakan
pendekatan “discrete disciplinary” dapat dikatakan sebagai indikator yang
menyebabkan ketidakberhasilan upaya Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan
pendekatan ini. Tampaknya, sosialisasi kurikulum yang kurang mampu
mempersiapkan lapangan dalam melaksanakan pendekatan ini dan kurangnya
koordinasi yang lebih baik dan terarah antara para pengembang kurikulum dan
pengambil kebijakan kurikulum dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan
kurang berhasil. Pikiran-pikiran baru yang akan dikembangkan oleh sebuah
kurikulum baru sudah sepatutnya dikomunikasikan dan mesti dibicarakan dengan
lembaga penghasil tenaga kependidikan secara menyeluruh dan mendalam
sehingga lembaga pendidikan tenaga kependidikan dapat mengembangkan
wawasan baru dan ketrampilan baru yang dikehendaki kurikulum dalam program
pendidikan calon guru yang dibina dalam bentuk pendidikan pra-jabatan dan
kepada guru yang sudah ada di lapangan dalam bentuk pendidikan dalam jabatan.
6.Satuan Pelajaran dan Taksonomi Tujuan Pendidikan
Implementasi atau penerapan Kurikulum SMP 1975 di sekolah melalui
perenanaan yang dilakukan guru yaitu dengan mengembangkan Satuan Pelajaran
(Satpel). Satuan pelajaran pada dasarnya adalah rencana guru dalam
mengembangkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) menjadi
kurikulum guru dalam bentuk rencana tertulis guru. Satuan pelajaran yang harus
dikembangkan guru masih terbatas pada pengembangan satu pokok bahasan yang
terdapat pada GBPP dan belum menjadi rencana pembelajaran guru untuk satu
semester. Pemikiran bahwa implementasi kurikulum dilakukan melalui
perencanaan guru dalam bidang studi secara terpisah masih mendominasi
pemikiran para pengembang kurikulum. Oleh karena itu Satuan Pelajaran dibuat
oleh guru bidang studi tersebut baik yang dilakukan guru secara individual mau
pun dalam kelompok Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi. Guru bidang studi
IPS mengembangkan Satuan pelajaran untuk kelas yang diajarnya demikian pula
guru bidang studi IPA, Matemateka, Bahasa Inggeris dan seterusnya. Pada waktu
pertemuan di Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi mereka berkelompok pada
112
kelas yang diajar oleh guru dari berbagai sekolah dan menghasilkan Satuan
Pelajaran untuk bidang studi kelas yang menjadi tanggungjawab mereka.
Sebagaimana kurikulum sebelumnya, pemikiran bahwa kurikulum adalah
kurikulum sekolah dan bidang studi atau pun mata pelajaran adalah bagian dari
kurikulum sekolah belum menjadi fokus perhatian para pengembang kurikulum.
Konsekuensi dari pemikiran bahwa kurikulum adalah kurikulum sekolah
menghendaki perencanaan dokumen kurikulum yang menggambarkan adanya
keutuhan tersebut. Oleh karena itu materi kurikulum yang masuk dalam kategori
ketrampilan (ketrampilan kognitif, ketrampilan sosial, ketrampilan kinestetik, dan
sebagainya), dan materi kurikulum yang masuk dalam kategori nilai dan sikap
harus diorganisasikan sebagai materi kurikulum yang dikembangkan melalui
materi pengetahuan yang diorganisasikan dalam label mata pelajaran atau bidang
studi. Pemikiran semacam itu pernah dimunculkan dalam rancangan kurikulum
berbasis kompetensi dengan label kompetensi lintas kurikulum. Label itu salah
nama karena tidak ada kurikulum mata pelajaran tetapi label itu dapat dimengerti
karena tradisi ebelumnya memperlakukan mata pelajaran sebagai
kurikulum.Sayangnya pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan
kompetensi lintas kurikulum adalah pendekatan induktif padahal seharusnya
dilakukan di awal proses pengembangan/konstruksi dokumen kurikulum.
Sejalan dengan kebijakan mengenai Satuan Pelajaran dan penggunaan tes objektif
yang bersifat terukur, rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang terukur
dan spesifik dengan persyaratan ABCD yang dikemukakan Mager maka
diperkenalkan juga taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh
Benjamin Bloom, dan kawan-kawan (1957). Istilah teknis yang mulai
diberlakukan adalah kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan istilah yang
digunakan. Istilah teknis ini berkembang sampai saat kini walau pun dalam
penggunaannya banyak kalangan yang mencampuradukkan antara pengetahuan
dengan kognitif, antara nilai dan sikap dengan jenjang afektif, dan antara gerak
motorik dengan ketrampilan psikomotorik. Tidak jarang terdengar para pengambil
keputusan atau pelaksana pendidikan menyamakan pengetahuan dengan kognitif.
113
Pengetahuan adalah unsur subtantif yang dihasilkan oleh ilmu dan kegiatan
lainnya terdiri atas pengetahuan tentang istilah, konsep, teori, prosedur, nilai,
moral, ketrampilan (intelektual dan motorik). Kognitif adalah kemampuan akal
dalam memeroses pengetahuan dalam berbagai jenjang kemampuan kognitif20
sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Demikian pula menyamakan
nilai/moral/sikap dengan jenjang afektif padahal nilai/moral/sikap adalah materi
yang dikembangkan dalam berbagai jenjang afektif (menerima, merespon,
menilai, mengorganisasikan, dan menjadikan kebiasaan). Gerak motorik adalah
gerak yang harus dilakukan otot dengan kendali psikologis dan kognitif untuk
mencapai jenjang psikomotorik yang paling tinggi.
Rumusan TIK yang dikembangkan guru dalam menyusun TIK dan butir soal
menggunakan kata kerja yang terkait dengan kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor. Kata kerja tersebut dikenal dengan istilah Kata Kerja Operasional
(KKO) digunakan untuk merinci perilaku terukur dalam rumusan TIK dari kata
kerja yang masih bersifat umum yang terdapat pada rumusan Tujuan Instruksional
Umum (TIU). Pemanfaatan Kata Kerja Operasional (KKO) dalam
mengembangkan tujuan masih menjadi tradisi dalam penerapan kurikulum masa
kini. Orientasi pengukuran dalam penilaian hasil belajar masih cukup dominan
dan oleh karena itu rumusan TIK yang terukur dan butir soal yang terkait dengan
keterukuran perilaku peserta didik masih merupakan tuntutan yang harus dipenuhi
guru dalam melaksanakan kurikulum.
7. Asesmen Hasil Belajar
Ada beberapa prinsip yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 berkenaan
dengan asesmen hasil belajar. Pertama diperkenalkan adanya asesmen formatif 20 Jenjang kognitif yang dikembangkan Bloom dan kawan dan diterbitkan dalam buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives direvisi oleh Airasian, dan kawan‐kawan dimana untuk menghilangkan kesalahpahaman maaka pengetahuan digambarkan secara terpisah dari kognitif, sintesis ditempatkan sebagai jenjang kognitif tertinggi, dan label untuk setiap jenjang diganti menjadi mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menilai (evaluate), mencipta (create).
114
dan sumatif. Kedua adanya kebijakan mengenai frekuensi asesmen yang
dilakukan terus menerus setiap suatu pokok bahasan selesai dipelajari sehingga
prinsip asesmen modern yaitu asesmen dilakukan secara kontinu diperkenalkan
oleh Kurikulum SMP 1975. Melalui penerapan prinsip ini maka dapat dikatakan
peserta didik selalu berada dalam keadaan siap belajar dan mengikuti asesmen
bahkan ada kesan bahwa peserta didik belajar untuk tes.
Secara teoretik, asesmen formatif adalah asesmen untuk mengenal kekuatan dan
kelemahan peserta didik dalam menguasai pengetahuan dan kemampuan tertentu.
Berdasarkan informasi mengenai kelemahan yang dimiliki peserta didik guru
melakukan berbagai tindakan perbaikan (remedial) sehingga peserta didik yang
bersangkutan dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang diharapkan.
Asesmen sumatif berfungsi untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta didik
baik dalam bentuk kenaikan kelas atau pun keberhasilan menyelesaikan
pendidikannya di sebuah satuan pendidikan. Kedua fungsi asesmen ini saling
melengkapi tetapi asesmen formatif lebih penting bagi membantu peserta didik
dalam keberhasilan belajar. Sayangnya, dalam pelaksanaan kurikulum asesmen
sumati lebih dominan dibandingkan asesmen formatif.
Tentu saja praktek yang lebih mementingkan asesmen sumatif kesan tersebut
tidak menguntungkan karena dengan menerapkan fungsi formatif dalam asesmen
hasil belajar maka guru dan peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk
memperbaiki penguasaannya. Melalui penerapan fungsi formatif maka dari hasil
tes atau ulangan guru dan juga peserta didik mendapat informasi tentang materi
pelajaran yang belum mereka kuasai dan guru serta peserta didik dapat
menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki tingkat penguasaan.
Memang kebijakan ini memberikan tugas yang tidak ringan kepada para guru
tetapi memberikan keuntungan edukatif yang tinggi kepada peserta didik.
Perpindahan kajian dari satu pokok bahasan ke pokok bahasan berikutnya dapat
dilanjutkan tanpa ada akumulasi ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik
pada akhir satu semester.
115
Dalam Buku III B tentang Pedoman Penilaian, Kurikulum SMP 1975
memperkenalkan inovasi lain yaitu tes objektif dan pendekatan norms-referenced
pada pengolahan data asesmen. Pengembangan butir soal objektif merupakan
sesuatu yang baru karena sebelumnya guru menggunakan soal uraian. Perubahan
dari tes uraian yang dianggap terlalu banyak mengandung hal-hal yang subjektif
ke tes objektif menghendaki ketrampilan baru yang harus dimiliki guru. Guru
harus memiliki kemampuan dalam menyusun kisi-kisi soal yang didalamnya
melibatkan berbagai keputusan mengenai tingkat kesulitan butir soal dan tes,
bentuk-bentuk butir soal serta kemampuan yang diukur soal tersebut, dan
proporsi kemampuan yang diukur oleh tes. Penentuan setiap komponen yang
tercantum dalam kisi-kisi memerlukan pertimbangan pedagogis dan profesional
guru yang hanya diperoleh jika guru mendapatkan pelatihan dalam jabatan
(inservice). Sayangnya, pelatihan yang diterima guru dalam mengembagkan tes
objekti dan menyusun soal objektif hanya berkenaan dengan aspek teknis-
administratif tetapi tidak cukup adekuat untuk memberikan ketrampilan terlatih
dalam mnentukan pertimbangan pedagogis. Akibatnya, apa yang terjadi terutama
terkait dalam kemampuan guru dalam menyusun kisi-kisi soal secara teknis dan
memenuhi berbagai persyaratan dari sudut pandang tes tetapi tidak dari sudut
pandang pedagogis kependidikan.
Kemampuan lain yang mendasar dan diperlukan guru adalah kemampuan
mengkontruksi butir soal objektif dalam ragam yang banyak digunakan yaitu
pilihan ganda (multiple choice), benar – salah (true-false), dan menjodohkan
(matching). Konstruksi soal-soal dalam kelompok butir soal objektif, baik dalam
merekonstruksi pernyataan (statement) mau pun dalam pilihan (options)
memerlukan ketrampilan khusus yang hanya diperoleh melalui pelatihan yang
cukup. Guru yang akan melaksanakan Kurikulum 1975 sudah harus memiliki
ketrampilan yang diperlukan dalam mekonstruksi butir soal objektif sebelum
mereka mengimplementasikan kurikulum tersebut. Kiranya tak perlu dikatakan
bahwa ketidakmampuan guru dalam merekonstruksi butir soal dan tes objektif,
karena mereka tidak mendapatkan pelatihan, menyebabkan keampuhan alat
116
asesmen ini dalam menghasilkan informasi yang diperlukan dan valid menjadi
masalah besar. Butir soal yang dikonstruksi tanpa mengindahkan persyaratan yang
standar akan menghasilkan informasi yang menyesatkan. Strategi implementasi
yang lemah dan yang menyebabkan guru sebagai pelaksana utama kurikulum
dalam posisi yang tidak siap untuk merealisasikan rancangan yang tercantum
dalam dokumen menjadi suatu kenyataan atau proses pembelajaran yang
diharapkan akan menimbulkan berbagai masalah kurikulum, guru dan
masyarakat/bangsa yang menggunakan kurikulum tersebut.
Kebijakan lain mengenai asesmen hasil belajar yang dianjurkan Kurikulum SMP
1975 yaitu penerapan prosedur norms-referenced dalam menentukan nilai bagi
peserta didik. Melalui pendekatan “norms-referenced assessment”, nilai seorang
peserta didik ditentukan berdasarkan posisi skornya dibandingkan kelompok
“norms”nya yaitu teman sekelasnya. Pendekatan “norms-referenced assessment”
menyebabkan guru harus menghitung angka rata-rata matematis kelas (means)
dan simpangan baku (standar deviasi) kelas yang dijadikan kelompok “norms”.
Atas dasar hitungan angka rata-rata dan simpangan baku guru harus membangun
tabel sigma untuk mengkonversikan skor individu yang diperoleh seorang peserta
didik menjadi nilai peserta didik yang bersangkutan. Cara ini menyebabkan
seorang peserta didik di suatu kelas atau sekolah menjadi sangat sulit
mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya adalah kelompok peserta didik
yang cemerlang. Cara ini pula menyebabkan seorang peserta didik di suatu kelas
atau sekolah menjadi mudah mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya
terdiri atas peserta didik dengan kemampuan rendah. Oleh karena itu nilai
seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah tertentu yang sama dengan
seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah lain tidak memiliki makna
bahwa kualitas hasil belajar kedua peserta didik tersebut sama atau “comparable”.
8. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
Inovasi lain yang tak kalah pentingnya yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975
adalah buku khusus yang disebut Buku II Garis-Garis Besar Program Pengajaran
117
(GBPP). Buku II berkenaan dengan aspek didaktik dari suatu mata pelajaran.
Untuk SMP ada GBPP bidang studi Pendidikan Agama (Islam, Kristen-Protestan,
Katolik, Budha, Hindu), Pendidikan Moral Pancasila, Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), Bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris), Olahraga dan Kesehatan,
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, Kesenian (Seni Tari, Seni Rupa, Seni
Musik), Ketrampilan (Jasa, Teknik, Kerajinan, Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga, Pertanian, dan Maritim). Ketrampilan Maritim merupakan ketrampilan
baru yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 dan merupakan ketrampilan
penting bagi masyarakat dan peserta didik di banyak wilayah Indonesia yang
terdiri dari banyak pulau dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia .
Dalam GBPP setiap bidang studi dan mata pelajaran terdapat komponen tujuan
kurikuler, tujuan instruksional, bahan pengajaran (pokok bahasan dan uraian),
program (kelas, semester, jam pelajaran), metode, sarana/sumber, penilaian dan
kolom keterangan. Secara prinsip GBPP adalah pengembangan lebih lanjut dari
pedoman dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 meski pun format yang digunakan
berbeda. GBPP yang digunakan Kurikulum SMP 1975 sepenuhnya berbentuk
matriks sedangkan untuk rencana Pelajaran SMP 1954 terdiri atas deskripsi dan
matriks. Perbedaan kedua adalah jika pada Renana Pelajaran SMP 1954 petunjuk
yang diberi judul Rencana Pelajaran bersatu dengan struktur kurikulum dan mata
pelajaran yang dinamakan Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran maka pada Kurikulum
SMP 1975 GBPP yang diberi judul Buku II terpisah dari Buku I yang berisikan
ketentuan-ketentuan pokok dan di dalamnya terdapat struktur dan mata pelajaran.
Inovasi GBPP dirancang agar rincian program pengajaran untuk setiap bidang
studi dan mata pelajaran menjadi lebih jelas. Guru dengan mudah dapat
mengembangkan Satuan Pelajaran dari GBPP masing-masing bidang studi.
Sayangnya, guru kemudian terpaku pada GBPP sehingga mereka melupakan
Buku I yang merupakan aspek ide dari kurikulum. Aspek ide kurikulum sangat
penting untuk memahami dan mengembangkan wawasan mengenai GBPP. GBPP
yang merupakan tabel yang lebih mudah untuk digunakan guru tetapi karena ide
kurikulum dalam Buku I tidak dipelajari dan dipahami guru maka kurikulum tidak
118
berhasil diterjemahkan dengan baik. Ketika guru mengembangkan GBPP menjadi
Satuan Pelajaran mereka mampu menterjemahkannya secara teknis tetapi
kehilangan roh kurikulum. Posisi GBPP yang demikian terfokus pada hal teknis
menyebabkan banyak guru yang bahkan hanya memperhatikan GBPP untuk kelas
yang diajarkannya, bukan lagi GBPP bidang studi yang mencakup program
pengajaran kelas I – III (7 – 9) SMP. Kenyataan yang demikian berlanjut untuk
kurikulum yang menggantikan Kurikulum SMP 1975.
D. KURIKULUM SMP 1984
Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia pendidikan
menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMP 1975
dengan Kurikulum SMP 1984. Berbeda dari Kurikulum SMP 1975 yang
diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
keberlakuan Kurikulum SMP 1984 tidak berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar yang digunakan adalah Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983
tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMP 1975 disebabkan adanya kebijakan
tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur
program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra
kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar
tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa
kini dan masa mendatang (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan
Pengembangan, halaman 2)
Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan dalam keputusan
menteri di atas, enggantian ini disebabkan adanya berbagai faktor yang bersifat
eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah faktor politik, sosial,
budaya, ekonomi, teknologi, ilmu yang berkembang di masyarakat.
Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan
119
pembangunan” (Kurikulum 1984 SMP: Landasan, Program, dan Pengembangan:
hal 1).
1.Perubahan Kebijakan Pendidikan
Ketika suasana politik sudah lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR
sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR,
perwakilan daerah, dan perwakilan golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di
bawah pimpinan Adam Malik sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua yang
terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo, H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR
menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan
negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam
TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI
pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan Yang
Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan Falsafah
Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah
berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di
bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional
yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu,
bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan
serta mencapai tujuan Nasional”.
Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan sesuai
dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan pada
program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor
IV/MPR/1978 menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan,
mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas
pembangunan bangsa”. Dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam
TAP sebelumnya rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPR nomor
120
IV/MPR/1978 ini lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk
menghasilkan manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara.
Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun kemudian MPR
menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983.
Selain merumuskan tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978
memutuskan pula tentang Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila.
Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial,
Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu
diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan
Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan “Pendidikan
Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur unsur yang dapat
meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda
dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-
kanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu saja
membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja
termasuk kurikulum SMP.
Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang
lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari hasil
pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir
Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs.
Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan H. Soenandar Prijosoedarmo.
Tap tentang GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor
II/MPR/1983. Sebagaimana telah dikemukakan di ata rumuan tujuan pendidikan
nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR
nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan
bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian
dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-
121
manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
2. Tujuan Institusional SMP
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum tentang
Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan
institusional SMP. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMP
selainmemberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat.
Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMP selalu
menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model
“comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran
demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah
sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah
kejuruan sehingga SMP harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan
vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang
disebutkan di atas.
Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik siswa
untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah
Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan
yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga
pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama
bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di
masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah
tamat SMP.
122
3. Pikiran Pokok Kurikulum SMP 1984
Kurikulum SMP 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum
1975 berdasarkan tiga pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan
akademik.. Perubahan dalam kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor
II/MPR/1983 dimana dinyatakan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan
kurikulum 1975 harus diubah untuk menampung keputusan politik tersebut.
Ketetapan MPR adalah suatu keputusan politik yang lebih tinggi bahkan dari
keputusan pada tingkat presiden apalagi menteri. Secara politis dan hukum
ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan perwujudan dari suara rakyat
Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983 tersebut dijabarkan dalam
Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 yang
menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan tersebut harus
mencakup:
a. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa
b. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program
Inti dan program Pilihan
c. Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra
kogniti, afektif, dan psikomotorik
d. Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan
disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik
e. Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi
kebutuhan lapangan kerja masa kini mau pun masa mendatang.
Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil
evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan yang
123
mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik yang
sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan
kurikulum SMP 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain
yang cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi
menghendaki adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMP 1975.
Faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil
evaluasi terhadap kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi
tersebut menunjukkan “ belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata
pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi
pelajaran untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan demikian
pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu
berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang
diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memeroses perolehannya”
(Dokumen Kurikulum 1984:1).
Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama
Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan
yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan
oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki
langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran
aktif peserta didik dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil
belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam
belajar dan mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan
merumuskan masalah yang diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari
berbagai sumber informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah
dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga
menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan
Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik
di lapangan.
124
Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan
disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru
yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua,
fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di
sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku
pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten
kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk
mampu memeroses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak
diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak
memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan
pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari
sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah
informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk
menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi.
4.Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984
Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP 1975 yaitu terdiri
dari Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun
demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMP 1984
menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah
dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38).
Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi
Kurikulum SMP 1984
KELAS/SEMESTER
I II III PROGRAM
JAM PELAJARAN
BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6
JUMLAH
PENDIDIKAN UMUM
1.Pendidikan Agama
2.Pendidikan Moral Pancasila
3.Pendidikan Sejarah Perjuang-
2
2
-
2
2
2
2
2
-
2
2
2
2
2
-
2
2
2
12
12
6
125
KELAS/SEMESTER
I II III PROGRAM
JAM PELAJARAN
BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6
JUMLAH
an Bangsa
4.Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan
5.Pendidikan Kesenian
3
2
3
2
3
2
3
2
3
2
3
2
18
12
PENDIDIKAN AKADEMIS
6. Bahasa Indonesia
7. Bahasa Daerah*)
8. Bahasa Inggeris
9. Ilmu Pengetahuan Sosial
10.Matematika
11.Ilmu Pengetahuan Alam
a. Biologi
b. Fisika
5
(2)
4
4
6
3
3
5
(2)
4
4
4
3
3
5
(2)
4
4
6
2
3
5
(2)
4
4
4
2
3
5
(2)
4
3
6
2
3
5
(2)
4
3
4
2
3
30
(12)
24
22
30
14
18
PENDIDIKAN KETRAMPILAN
12.Pendidikan Ketrampilan**)
4
4
4
4
4
4
24
JUMLAH JAM PELAJARAN PER MINGGU
38 40
38 40
37 39
37 39
36 38
36 38
222 234
*) Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah **) Pada setiap semester dipilih 1 (satu) Paket Bahan Pengajaran
Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dengan
Kurikulum SMP 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan
pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika.
Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada
TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983
bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan
126
Pendidikan Moral Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewargaan negara dan
bukan kajian akademis. Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa dikelompokkan sebagai bidang studi dan Program Pendidikan Umum.
Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama sebagai
bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang dimulai dengan
kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya, keberadaan bidang studi ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara
memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan
bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan
tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam
Program Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi
persyaratan tersebut. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai
pendidikan kewargaannegara.
Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat
menarik tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh.
Jika Program Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai pendidikan
kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi
Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan
Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang
studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia
maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan
Umum ebagaimana ditetapkan dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang
tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum
tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum dan
pengelompokkan bidang studi.
127
Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan
Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara walau pun
terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS
sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Dalam GBPP disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk
mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan
manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas
memperlihatkan posisi bidang kajian akademis yaitu kemampuan berpikir dalam
melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan lingkungan
hidupnya).
Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian
dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan yaaitu (1)
“pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2) “pendekatan
struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari generalisasi secara
luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara
pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut
merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam
posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis
memang dirancang sebagai pendidikan akademis, bukan pendidikan
kewargaannegara (bukan kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran).
Landasan berpikir demikian menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah
Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam kelompok Program Pendidikan Umum
merupakan sesuatu yang wajar walau pun menimbulkan masalah dalam ide
kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara.
Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi
Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika
dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur
dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada
tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang
memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label
128
berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang beraliran esensialisme yang
kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu harus sesuai dengan kaedah
disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut pandangan perenialisme
pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten
kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut esensialisme
penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme
penggabungan eperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima.
Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA
dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi
esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai
penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci
mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan
Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan
informasi mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut
untuk lebih dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA,
apalgi hal tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide
kurikulum yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS
yaitu bidang studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach”
sedangkan IPS menggunakan pendekatan “integrated approach”.
Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan Akademis,
Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMP 1975.
Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA
yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam
Kurikulum SMP 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975.
Kesederhanaan Kurikulum SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya
tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu jenis
dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas).
Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan
bahwa mata pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait
dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh
129
karena itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan
otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian
komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam
bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan
penyuluhan pertanian.
Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang studi
IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA struktur kurikulum
secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu Biologi dan
Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II Ilmu
Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang
terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan
Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk
Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu
dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4).
Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja
terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai
suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS dengan
ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang
terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi, kependudukan, ekonomi,
sosiologi dan anthropologi. Kiranya adanya pengaruh pengambil kebijakan
kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah dan menginginkan
pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme menyebabkan
terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS
dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan konseptual yang cukup
mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi komponen materi
Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS dalam inkonsistensi
antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi
IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi
terpadu.
130
Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran ketrampilan tentu memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dalam berbagai
bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin dimaksukinya setelah
yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP dan tidak melanjutkan pada
pendidikan di atasnya. Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan
untuk lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah
kepada diversifikasi kurikulum. Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan
menjadi suatu yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan
tentang mata pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana
kurikulum sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban
penyelenggara pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama
pemerintah) untuk melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata kuliah
pilihan, apabila dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya,
kenyataan menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian,
dan ketrampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan biaya
operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak didukung oleh
kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai masa kini menyebab
sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk melaksanakan kurikulum.
Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin melaksanakan apa yang telah
direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as plan) menjadi suatu
realita kurikulum (implemented, observed, atau taught curriculum).
Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya dengan
Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata pelajaran antar
semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu mata pelajaran
tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap semester. Kurikulum
SMP 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk bidang studi
ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk Kurikulum SMP
1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep antar
semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan
131
Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan
dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (Kurikulum SMP 1984). Penawaran antar semester dalam Kurikulum
SMP 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah Pilihan
Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran ketrampilan
yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu kesatuan utuh dan tidak
berlanjut pada semester lain. Konsep demikian banyak digunakan dalam
kurikulum perguruan tinggi karena hakekat materi satu mata kuliah yang
sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Credit System (SKS) sehingga
materi satu semester suatu mata kuliah merupakan satu kesatuan utuh (terkecuali
mata kuliah prasyarat) dan tersedianya banyaknya mata kuliah pilihan pengganti
mata kuliah yang tidak ditawarkan pada semester terkait.
Kurikulum SMP 1984 tidak menggunakan prinsip di atas dalam mengembangkan
bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa walau pun ditawarkan dalam
model antar semester. Sebagaimana bidang studi lainnya, materi bidang studi
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 4 adalah kelanjutan semester 2
dan materi semester 6 adalah kelanjutan materi semester 4 dan 2. Kembali
ketiadaan dokumen mengenai proses pengembangan ide kurikulum dan dalam hal
ini berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa menyebabkan kesulitan kita memahami ide kurikulum yang digunakan.
Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4 dan materi semester 6
sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat selang semester (alternate)
semester mengundang masalah yang berkaitan dengan prinsip tata urut
(sequence) dalam pengembangan materi kurikulum dan dalam proses
pembelajaran. Memang harus diakui bahwa untuk unit kelas atau tahun akademik
penawaran materi pembelajaran yang bersifat selang semester mungkin bukan
masalah besar tetapi harus pula diingat bahwa kurikulum bukan berkenaan dengan
kelas tapi sekolah dan keberhasilan penguasaan materi pembelajaran bersifat
menyeluruh.
132
Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan Kurikulum SMP 1984 dalam
bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak sama dengan kurikulum
perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata kuliah diakhiri dengan
penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam
mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan mata kuliah lain yang akan
dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kebijakan kurikulum di SMP
tidaklah demikian karena materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4 akan masuk dalam ujian akhir sekolah.
Oleh karena itu sistem penawaran selang semester (alternate semester) tidak
sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat persekolahan.
Pertimbangan yang mungkin digunakan untuk mengembangkan pembelajaran
yang bersifat selang semester untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa adalah beban belajar keseluruhan per semester. Ada pertimbangan yang
cukup kuat agar beban belajar setiap semester tidak melebihi 38 jam untuk kelas I,
37 jam untuk kelas II, dan 36 jam untuk kelas III sehingga beban belajar
keseluruhan Kurikulum SMP 1984 sama dengan Kurikulum SMP 1975 yaitu 222
jam atau 234 bagi sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.
Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berakibat pada alokasi beban
belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika menggunakan alokasi
beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil (1,3,dan 5) dengan semester
genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil dimana Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan maka bidang studi Matematika memiliki
beban belajar 6 sedangkan di setiap semester genap ketika bidang studi
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ditawarkan dengan beban belajar 2 jam
maka beban belajar bidang studi Matematika berkurang dari 6 menjadi 4 jam.
Akibatnya, distribusi jam belajar bidang studi Matematika Kurikulum SMP 1984
berbeda dari Kuurikulum SMP 1975 yang memiliki beban belajar sama di setiap
semester yaitu masing-masing 5 jam.
133
Dalam pemikiran kurikulum beban belajar adalah sesuatu yang harus
dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak mungkin
menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang menunjukkan bahwa
kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating variable) yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang. Meski pun demikian, pemikiran bahwa beban
belajar yang berbeda antara kelas I, II, III cukup mengundang permasalahan jika
pengurangan beban belajar dilakukan hanya untuk mempersiapkan peserta didik
untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta
didik yang akan menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang
lebih banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya.
Pikiran baru yang dikembangkan oleh Kurikulum SMP 1984 adalah materi
muatan lokal. Muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan masyarakat setempat. Pemikiran tentang materi
muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum harus relevan dengan
masyarakat yang dilayani kurikulum. Pengembangan materi nasional kurikulum
untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, berlaku untuk seluruh
lapisan masyarakat dan komunitas yang berdiam di mana pun di Indonesia bahkan
di luar negeri. Sedangkan kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani
kurikulum harus diberi alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan
lokal.
Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan bahwa
keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan masukan dari Kantor
Departemen Kabupaten dan Kotamadya21. Berdasarkan pertimbangan
kepentingan daerah kabupaten dan kotamadya maka Kantor Wilayah Departemen
21 Pada masa itu sistem pemerintahan bersifat sentralistis. Di setiap propinsi ada perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dinamakan Kantor Wilayah untuk tingkat propinsi dan Kantor Departemen untuk tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Kotamadya adalah istilah yang digunakan pada masa itu dan sekarang berubah menjadi Kota.
134
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan mata pelajaran untuk materi muatan
lokal. Pada umumnya penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan untuk materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain
itu mata pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan
vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat seperti
pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa.
Kebijakan mengenai materi muatan lokal yang diperkenalkan Kurikulum SMP
1984 sebenarnya dapat memberikan orientasi baru kurikulum. Dengan adanya
materi muatan lokal, terlebih materi yang berkenaan dengan ketrampilan
vokasional, Kurikulum SMP 1984 memberikan kemungkinan kepada tamatan
SMP untuk memasuki dunia kerja dengan bekal kemampuan vokasional yang
cukup sehingga dunia kerja mendapatkan tenaga kerja yang siap untuk
melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan mengenai bahasa dan kesenian
daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan lokal memberikan dasar pendidikan
yang kuat karena peserta didik tidak tercabut dari akar budaya masyarakat
darimana mereka berasal.
Konsekuensi dari materi muatan lokal ini tentu saja sekolah harus melakukan
kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat. Kajian tersebut untuk melihat
ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja dan kemampuan yang
diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini penting agar kurikulum
tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi yang sudah jenuh atau dengan
ketrampilan yang tidak sesuai dengan tuntutan vokasi. Untuk mampu melakukan
kajian kebutuhan (need analysis) maka bagian kurikulum di setiap sekolah atau
yang bertanggungjawab dalam mengembangkan materi muatan lokal harus
terlatih untuk melalukan kajian kebutuhan.
Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal terutama berkenaan dengan
mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan ketrampilan vokasional tertentu,
sekolah memerlukan fasilitas belajar yang cukup dan dari jenis yang digunakan di
masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan dana khusus untuk pengadaan fasilitas
135
belajar bagi vokasional tertentu karena sebelumnya SMP tidak dilengkapi dengan
fasilitas demikian. Ketersediaan fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang
berorientasi vokasional merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang
tersedia untuk itu dapat dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan
lokal dalam Kurikulum SMP 1984 bersifat nasional.
E. KURIKULUM SLTP22 1994
Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru menggantikan
Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan kurikulum di Indonesia,
kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun 1994 dinamakan Kurikulum SMP
1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini disebabkan paling tidak oleh tuntutan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR nomor
II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993.
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989, yaitu undang-undang kedua mengenai
pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia, memperkenalkan jenjang
pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6 tahun) dan
pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun). Pengertian Pendidikan
Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 2 tahun 2003
digunakan sampai saat sekarang. Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar
yang ditetapkan UU nomor 20 tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk
Pendidikan Dasar berubah, meliputi kurikulum untuk SD dan kurikulum SLTP.
1.Perubahan Kebijakan Pendidikan
Pada tahun 1988 MPR bersidang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara yang tercantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988. Mengenai
22 Berdasarkan ketetapan dalam Undang‐undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13 Ayat (1) disebutkan “Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”. Istilah SLTP tidk digunakan dalam pasal‐pasal yang terdapat pada Ketetapan.
136
pendidikan TAP MPR nomor II/MPR/1988 merumuskan tujuan pendidikan
sebagai berikut:
a.Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.
g.Pendidikan Pancasila termasuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulaai daari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta
Titik (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum yaitu
Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4, PMP dan
pendidikan sejarah perjuangan bangsa.
Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP MPR
nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan pendidikan
nasional berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam TAP nomor II/MPR/1988.
Pendidikan dirumuskan untuk:
mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.
Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekedar redaksional
antara tujuan yang dirumuskan TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR
nomor II/MPR/1993. Diantara perbedaan kualitas antara keduanya adalah
137
semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial, kerja keras,
bertanggungjawab, mandiri, serta bertanggungjawab tidak lagi menjadi tujuan
pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993.
Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan nasional antara
kedua TAP tersebut mencerminkan adanya perubahan suasana politik yang cukup
mendasar. Pembangunan ekoonomi menjadi semakin kuat walau pun fokus pada
pembangunan pada bidang lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah
salah satu fokus penting Pemerintah dalam pembangunan.
Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP MPR
nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993 di atas, nama pendidikan
sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP MPR nomor
II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas menunjukkan bahwa
pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian dari Pendidikan Pancasila.
Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan bangsa
juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan sebagai berikut:
Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan
memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, danjenjang pendidikan termasuk prasekolah.
Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan
kewarganegaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bidang studi
atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr Nugroho Notosusanto yang menjabat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka pendidikan sejarah perjuangan bangsa
menjadi bidang studi dan kemudian dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984.
Setelah beliau wafat dan digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang
138
Pendidikan Pancasila berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila
tercantum dalam mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila
dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak menjadi bagian dari
mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri
walau pun TAP MPR tentang Pendidikan Pancasila tidak berubah. Memang
materi Pendidikan Pancasila tidak perlu selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi
kebijakan yang tercantum dalam TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk
memuat unsur-unsur Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran
(Pendidikan Pancasila). Dengan hilangnya unssur pendidikan sejarah perjuangan
bangsa dan unssur lain dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan kebijakan
kurikulum.
Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 2
tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 maka tujuan pendidikan nasional
mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya yang memiliki
tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”23 (UU nomor 2 tahun 1989).
Dari rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk
mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang dinyatakan
dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 atau pun Undang-Undang nomor 12
tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966. Dokumen itu jelas menunjukkan
bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi pada pengembangan potensi peserta
didik sedangkan dalam UU nomor 2 tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan
yaitu berkenaan dengan kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya
23 Rumusan tujuan pendidikan nasional yang ada dalam UU nomor 2 tahun 2003 berbeda dari rumusan tujuan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 .
139
pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa mengembangkan
kehidupan manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang
cerdas yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas.
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tidak menganut paham bahwa kecerdasan
kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan manusianya.
Oleh karena itu pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan dengan manusia
tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa yang diinginkan. Manusia
Indonesia seutuhnya yaitu yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan,
budi pekerti, berpengetahuan dan berktrampilan, sehat jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri tidak harus menjadikan kualitas
kehidupan bangsa berkembang. Tampaknya, rumusan itu menganut faham bahwa
kualitas kehidupan bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas
manusia yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan.
Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU nomor 2 tahun
1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi terhadap pencapaian
hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang
dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas yang harus dikuasai
seorang peserta didik tidak pula didasarkan pada tujuan pendidikan nasional
sehingga alat evaluasi nya pun tidak dikembangkan untuk mengumpulkan
informasi mengenai pencapaian tujuan pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan
untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional
(UN) adalah untuk menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur
pencapaian tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu sifat tujuan pendidikan
yang mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan.
Dalam ketetapan pada Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Isi Kurikulum maka dicantumkan materi pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi wajib dan bahan kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan
140
(3) tidak tercantum unsur pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun pneididkan Kewarganegaraan. Dengan demikian terjadi disharmoniasasi ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum. Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas tapi tidak TAP MPR
Foto 4: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP. Nama SLTP adalah nama yang digunakan UU nomor 2 tahun 1989. Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta
2.Struktur Kurikulum SLTP 1994
141
Struktur Kurikulum SLTP 1994 lebih sederhana dibandingkan struktur kurikulum
sebelumnya. Tabel berikut, tabel 7.4 memperlihatkan Struktur Kurikulum SMP
1994
Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SLTP 1994
Kelas No. Mata Pelajaran
I II III
1. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2
2. Pendidikan Agama 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 6 6 6
4. Matematika 6 6 6
5. Ilmu Pengetahuan Alam 6 6 6
6. Ilmu Pengetahuan Sosial 6 6 6
7. Kerajinan Tangan dan Kesenian 2 2 2
8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 2 2 2
9. Bahasa Inggeris 4 4 4
10. Muatan Lokal (sejumlah mata pelajaran) 6 6 6
Jumlah 42 42 42
Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan semua
mata pelajaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata pelajaran yang
satu sama dengan mata pelaajaran lain dalam fungsinya. Mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bersama-sama dengan mata pelajaran
Pendidikan Agama yang dalam kurikulum sebelumnya dimasukkan dalam
kelompok dasar atau pembinaan jiwa Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak
mengenal kelompok dan dengan demikian tidak memisahkan posisi kedua mata
pelajaran tersebut dari mata pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum
142
mata pelajaran dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan
yang hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.
Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 ditunjukkan pula oleh
penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Penggabungan juga dilakukan antara biologi dan
fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan alokasi
waktu yang satu yaitu 6 jam belajar. Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994
dilakukan juga terhadap mata pelajaran kesenian dan mata pelajaran ketrampilan
menjadi mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan.
Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih dalam
kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi “broadfield”
yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya secara filosofis tidak ada perubahan
antara Kurikulum SMP 1994 dari Kurikulum SMP 1984 walaupun haru diakui
bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi perenialisme lebih utuh
dibndingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg
dilakukan Kurikulum SMP 1984.
Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP 1994
memberikan beban belajar yang lebih tinggi kepada peserta didik. Dengan jumlah
mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan Kurikulum SMP 1984
(yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum SMP 1975, jam belajar
peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih tinggi yaitu 42 jam setiap
semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975 yang 37 jam setiap semester dan
Kurikulum SMP 1984 yang dimulai dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun
ke 37 jam di kelas II dan menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III.
Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan mata
pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran maka
pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975 dan
Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi konten
kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994 pendekatan
143
mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum Kurikulum 1975
dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran lebih sederhana dan
tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara pengembang dan pelaksana
kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah kurikulum antara pengembang
dan pelaksana kurikulum sangat penting untuk keberhasilan implementasi
kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu secara tepat apa yang dimaksudkan
pengembang kurikulum sehingga ketika guru mengembangkan dokumen
kurikulum menjadi kurikulum sebagai suatu realita atau “observed curriculum”
maka ide pengembang kurikulum dapat dilaksanakan dengan tepat pula.
Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester
(alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana
yang digunakan Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai kurikulum
sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap semester dan beban
belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran. Konstruksi struktur kurikulum
yang demikian memang memberikan kemudahan kepada sekolah dalam
merencanakan implementasi terutama dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan
beban belajar setiap semester menyebabkan guru lebih mudah memberikan
pertimbangan mengenai kedalam materi yang akan dipelajari peserta didik setiap
semester.
Kuurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar yaitu 42
jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah yaitu 42 jam per semester.
Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang memiliki jam
belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Jumlah
jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh kelas dan tidak ada
pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu sebagaimana yang ada
pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran Matematika mau pun IPS
memiliki jam pelajaran yang sama untuk setiap tahun untuk masing-masing mata
pelajaran.
Kurikulum SMP 1994 memandang mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Maatematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan alokasi
jam belajar yang sama yaitu masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk kesenian dan
144
ketrampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran dengan label mata
pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam untuk mata pelajaran ini
sangat rendah dibandingkan alokasi dalam Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum
SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide) kurikulum para pengembang Kurikulum
SMP 1994 tidak memandang pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama
pentingnya dibandingkan pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975
dan Kurikulum SMP 1984.
Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP 1984
masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan mata
pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan bahwa
keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor Wilayah
(Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap dipertahankan.
Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984, penetapan materi muatan
lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi hampir di setiap daerah tidak
berbeda yaitu bahasa daerah dan kesenian daerah. Posisi mata pelajaran bahasa
daerah dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran wajib dalam Keadaan seperti
ini masih dipertahankan pada saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih
besar kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing
dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
145
KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI (OTONOMI DAERAH)
A. PERUBAHAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian diikuti
dengan krisis politik. Kepemimpinan Presiden Soeharto mendapat tantangan dari
masyarakat dan terutama mahasiswa. Gelombang unjuk rasa dan tuntutan agar
Presiden Soeharto mundur semakin gencar dan masif setelah terjadi pembunuhan
beberapa mahasiswa Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Pada tanggal 21 Mei
1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan Wakil Presiden
B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Pergantian kepala
pemerintahan dan kepala negara tersebut terjadi karena Presiden Soeharto
mengundurkan diri mendapatkan tekanan mahasiswa dan masyarakat yang tidak
puas lagi atas kepemimpinan Presiden Soeharto dan ketika beberapa anggota
kabinet yang melihat suasana politik yang tidak menguntungkan mengundurkan
diri, dan beberapa pimpinan masyarakat menolak untuk membantu menyelesaikan
kemelut politik. Masa pemerintahan Presiden Habibie ditandai dengan upaya
mengembalikan kehidupan demokrasi di Indonesia yang dianggap sudah tercabik-
cabik pada masa pemerintaha Orde Baru dan upaya membangun kehidupan
kenegaraan yang didasarkan pada otonomi daerah yang lebih nyata.
Pemerintahan Presiden Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrachman Wahid
(20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) pada tahun. Tidak sampai dua tahun menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden Abdurachman Wahid
dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Presiden Megawati (223 Juli 2001 –
20 September 2004). Presiden Megawati adalah presiden terakhir yang diangkat
oleh MPR dan bukan dipilih langsung oleh rakyat, SESUAI DENGAN Undang-
Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen. Pada masa pemerintahan
Presiden Megawati dibentuk tim Reformasi Pendidikan yang merancang berbagai
reformasi di sejumlah aspek pendidikan yang dirasakan harus disesuaikan dengan
kebijakan nasional mengenai otonomi daerah. Pendidikan tidak lagi menjadi
wewenang Pemerintah (Pusat) tetapi dilimpahkan sebagai bagian dari Pemerintah
146
Daerah. Rancangan tim Reformasi Pendidikan ini kemudian dijadikan dasar
dalam pengembangan undang-undang baru tentang pendidikan nasional.
Pada tahun 2003 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas tahun 2003) disyahkan. Undang-undang
Sisdiknas 2003 membawa perubahan tujuan pendidikan dan konsep pendidikan.
Perubahan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan Undang-undang
Sisdiknas tahun 2003 dapat dikatakan merupakan koreksi terhadap tujuan
pendidikan sebelumnya. Pemikiran baru tentang pendidikan, posisi peserta didik
dalam pendidikan dan proses pembelajaran menyebabkan pengertian pendidikan
dirumuskan sesuai dengan perkembangan baru tersebut. Perubahan sistem
pemerintahan dari sentralistis ke otonomi membawa pemikiran baru mengenai
wewenang pengembangan kurikulum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan
fungsi pendidikan dirumuskan untuk ”mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedangkan tujuan pendidikan dirumuskan
untuk ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggungjawab” .
Koreksi ini sangat fundamental karena menyangkut hakiki kegiatan pendidikan.
Dalam pikiran baru ini, kegiatan pendidikan berfungsi untuk mengembangkan
potensi yang ada pada peserta didik, baik potensi pengembangan pengetahuan,
ketrampilan intelektual, nilai dan sikap dan fisik. Dalam mengembangkan potensi
tersebut proses pendidikan memiliki kemampuan mengarahkannya kepada suatu
kualitas tertentu seperti keimanan, ketaqwaan, kemuliaan akhlak, kesehatan fisik,
dan sebagainya. Oleh karena itu perkembangan tujuan pendidikan di Indonesia
147
mencapai titik yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, pedagogik,
dan politik24 .
B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KURIKULUM 2004)
Pada awal tahun 2000, Pemerintah mulai merintis pengembangan kurikulum baru
yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa sarjana kurikulum
yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang studi kurikulum dan diantaranya
baru kembali dari pendidikan di luar negeri dengan gelar tertinggi (S3) di bidang
kurikulum. Mereka belajar tentang kurikulum berbasis kompetensi dan landasan
pemikiran kurikulum berbasis kompetensi untuk kurikulum SD, SLTP, SLTA dan
SMK. Kurikulum berbasis kompetensi direncanakan untuk menggantikan
kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum SMP 1994 walau pun rencana tersebut
tidak dapat direalisasikan karena adanya perubahan kebijakan mengenai
wewenang penyelenggaraan pendidikan yang diberikan kepada pemerintah
daerah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah. Meski pun demikian, Kurikulum Berbasis
Kompetensi perlu dikemukakan sebagai suatu peristiwa dalam sejarah
pengembangan kurikulum di Indonesia.
Sebenarnya, pemikiran kurikulum berbasis kompetensi bukan sesuatu yang baru
di Indonesia. Di jenjang pendidikan tinggi pemikiran kurikulum berbasis
kompetensi telah dikembangkan untuk program pendidikan guru pada tahun 70-
an. Sebelumnya, kurikulum di lembaga pendidikan perhotelah telah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi untuk berbagai program studi yang dimilikinya.
Di program pendidikan profesi seperti kedokteran, apoteker, psikolog, insinyur,
dan sebagainya kurikulum berbasis kompetensi telah pula digunakan. Di jenjang
pendidikan menengah, kurikulum berbasis kompetensi telah diterapkan untuk
24 Pertanggungjawaban politik (political viability and accountability) dibuktikan oleh semua rumusan tujuan yang telah dibicarakan sejak 1950 yaitu dengan pencantuman tujuan tersebut dalam suatu ketetapan resmi seperti undang‐undang. Meski pun demikian sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara politk bukanlah jaminan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau pun pedagogic.
148
sekolah kejuruan. Pada tahun 2002 melalui Surat Keputusan Mendiknas nomor
045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan pengertian
kompetensi. Dalam SK tersebut dikemukakan "Kompetensi adalah seperangkat
tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat
untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di
bidang pekerjaan tertentu". Untuk sekolah umum seperti SD, SLTP, dan SLTA
memang penerapan kurikulum berbasis kompetensi masih merupakan barang
baru.
Dalam kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum 2004, kompetensi
diartikan sebagai “pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali
melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati.
Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan
bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual”. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa “kompetensi dikembangkan secara berkesinambungan sejak Taman
Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal, Kelas I sampai dengan Kelas XII yang
menggambarkan suatu rangkaian kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan
konsisten seiring dengan perkembangan psikologis peserta didik” (Dokumen
power point, Depdiknas, hal 4). Walau pun tidak dinyatakan secara eksplisit,
pengertian ketrampilan mencakup ketrampilan intelektual, emosional, kinestetik,
sosial, intrapersonal, komunikasi, dan sebagainya.
Kurikulum Berbasis Kompetensi mulai dikembangkan pada tahun 2000, tahun
terakhir abad ke 20. Pada tahun pertama abad berikutnya, yaitu tahun 2001, tim
pengembang sudah berhasil mengembangkan draft pertama sampai kepada buku
acuan untuk guru, orang tua dan pembina yang terdiri atas buku untuk setiap mata
pelajaran. Pada tahun akademik 2001/2002 dilakukan “mini piloting” di beberapa
sekolah di Sidoarjo, Bandung, Serang, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sekolah
yang ikut serta dalam “mini piloting” harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain:
1. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap
2. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap
3. Memiliki dana yang cukup
149
4. Memiliki nara sumber dari luar sekolah
Dalam “piloting” tersebut menggunakan sekolah yang termasuk kriteria ideal.
Melalui “piloting” dengan kriteria sekolah yang demikian dapat diamati
kemampuan kurikulum bekerja secara maksimal sehingga berbagai masalah dapat
segera diidentifikasi sebagai masalah yang sudah “exhausted”. Sayangny,
pendekatan yang demikian hanya dapat menggambarkan kurikulum bekerja dalam
kondisi yang seharusnya sedangkan demikian banyak sekolah yang tidak memiliki
kondisi yang sama dengan kondisi sekolah “mini piloting”. Hal yang demikian
sering dilakukan dalam sejarah pengembangan kurikulum di Indonesia sehingga
pada waktu terjadi desiminasi secara nasional maka kegagalan implementasi
kurikulum secara nasional sudah dapat diprediksi, sejalan dengan banyaknya
sekolah yang memiliki persyaratan di bawah kriteria sekolah “piloting”. Keadaan
yang demikian sangat disayangkan karena akibatnya kurikulum yang telah
dikembangkan dengan baik tidak terlaksana dengan baik sehingga tidak mampu
menghasilkan tamatan sesuai dengan kualitas yang direncanakan dalam dokumen
kurikulum.
Dilihat dari prosedur dalam mengkonstruksi kurikulum (curriculum construction)
untuk menghasilkan suatu dokumen kurikulum yang baik, prosedur yang
dilakukan dalam mengembangkan dokumen kurikulum sudah memenuhi standar
prosedur. Dengan pemenuhan standar prosedur tersebut tidak pula diragukan
bahwa dokumen kurikulum yang dihasilkan adalah dokumen kurikulum yang baik
dan berkualitas. Sayangnya keberhasilan konstruksi kurikulum (curriculum
construction) baru sebagian keberhasilan pengembangan kurikulum (curriculum
development) karena masih ada satu dimensi kurikulum yang sama pentingnya
dengan konstruksi kurikulum yaitu implementasi kurikulum. Sayangnya lagi,
suatu dokumen kurikulum baru dapat memberikan hasil dengan kualitas tamatan
sebagaimana yang direncanakannya hanya apabila dokumen kurikulum berhasil
dilaksanakan dengan baik dalam bentuk proses atau implementasi kurikulum atau
“taught curricculum”. Dokumen Kurikulum 2004 tidak pernah menjadi
“implemented curriculum” atau “taught curriculum” karena kebijakan pendidikan
150
yang memberikan wewenang pegembangan kurikulum tingkat sekolah kepada
pemerintah daerah.
1.Pemikiran Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam rasional pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dikemukakan
bahwa tuntutan GBHN 1999, perkembangan IPTEK, dan globalisasi telah
menyebabkan dan menuntut perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu dirasakan adanya keperluan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
manusia dalam berbagai dimensi kehidupan sebagai sumber daya manusia yang
berkualitas dan berbudi luhur. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas diperlukan kurikulum yang bersifat lebih fleksibel, dinamis, mampu
mengakomodasi keanekaragaman kemampuan peserta didik. Kebutuhan itu
disebabkan oleh kenyataan bahwa “kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber
pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada
modal intelektual, modal sosial dan kredibilitas” (Dokumen Kurikulum Berbasis
Kompetensi, 2001).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa perkembangan yang pesat di masyarakat telah
menyebabkan tumbuhnya industri baru berbasis kompetensi tinggi. Perkembangan
industri dan masyarakat menuntur adanya sumber daya manusia dengan
kemampuan atau kompetensi tinggi pula. Untuk menjawab keperluan tersebut
maka diperlukan pendidikan dengan standar mutu yang tinggi agar bangsa
Indonesia memiliki warganegara dengan keunggulan kompetitif dan komparatif
pada tingkat nasional dan bahkan internasional (Dokumen Kurikulum Berbasis
Kompetensi, 2001). Atas dasar pemikiran demikian maka perlu dikembangkan
kurikulum baru untuk masa depan yaitu kurikulum berbasis kompetensi.
Kemudian dikatakan lebih lanjut dokumen tersebut bahwa kompetensi
dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup
dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan
kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk
menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas
budaya dan bangsanya.
151
Selanjutnya dikemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi harus menjamin
pertumbuhan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
penguasaan ketrampilan hidup, akademik, seni, pengembangan kepribadian
Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia (Dokumen Kurikulum Berbasis
Kompetensi, 2001).
Dalam proses pengembangan dokumen kurikulum (curriculum construction)
tingkat nasional maka dikembangkan buku untuk setiap mata pelajaran. Buku
tersebut diberi judul Kurikulum Berbasis Kompetensi dan diikuti dengan nama
mata pelajaran untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Dalam setiap buku
terdapat nama-nama tim pengembang, rasional, pengertian mata pelajaran, fungsi
dan tujuan, materi pokok, pendekatan dan organisasi penyajian, kompetensi
umum, dan rambu yang menjadi bagian dari bab I Pendahuluan buku. Dalam Bab
2 terdapat Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator Pencapaian Hasil
belajar untuk setiap kelas dan catur wulan. Pencantuman nama tim pengembang
tampaknya merupakan suatu kebijakan baru untuk memberikan tanggungjawab
yang lebih besar kepada tim pengembang.
Dalam rasional buku Kurikulum Berbasis Kompetensi disebutkan bahwa
pengembangan kurikulum dilakukan pada dua jenjang yaitu Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
daerah dikarenakan adanya TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan UU nomor 22/1999
tentang otonomi pemerintahan. Berdasarkan TAP dan UU maka Buku Kurikulum
Berbasis Kompetensi merupakan realisasi dari wewenang pemerintah pusat dalam
“menentukan kompetensi umum secara nasional yang berlaku di seluruh daerah”
(Buku Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Berdasarkan kompetensi umum
nasional yang telah ditetapkan Pemerintah maka pemerintah daerah berkewajiban
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah
masing-masing. Berdasarkan rambu-rambu yang ada daerah pada dasarnya diberi
wewenang mengembangkan silabus yang akan digunakan guru dalam mengelola
proses pembelajaran.
152
Dalam bagian kedua, buku Kurikulum Berbasis Kompetensi memuat kompetensi
dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. Dalam satu tahun/
kelas terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik kelas
tersebut. Istilah kelas tidak secara konsisten digunakan dalam dokumen
Kurikulum SLTP Berbasis Kompetensi. Kajian antara buku-buku Kurikulum
Berbasis Kompetensi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penamaan kelas:
pada beberapa dokumen kurikulum disebutkan kelas I, II, dan III tetapi di
beberapa dokumen kurikulum lain disebutkan kelas VII, VIII, dan IX. Tampaknya
ada kegalauan mengenai konsep kelas yang disebabkan kegalauan dalam
menempatkan posisi SLTP yang dalam UU nomor 2 tahun 1989 adalah bagian
dari pendidikan dasar 9 tahun. Jika SLTP merupakan bagian dari pendidikan dasar
9 tahun maka adalah wajar apabila penamaan kelas di SLTP merupakan
kelanjutan dari kelas di SD yaitu kelas VII, VIII dan IX. Dalam struktur
persekolahan yang dikemukakan dalam Materi Diskusi KBK berkenaan dengan
kebijakan umum penamaan kelas yaitu “ (1) Kelas 0 untuk pendidikan prasekolah,
(2) Kelas I sampai dengan Kelas VI untuk pendidikan dasar, dan (3) Kelas VII
sampai dengan Kelas XII untuk pendidikan menengah”. Walau pun bahan diskusi
tersebut belum bersifat final tampaknya para pengembang kurikulum KBK tahun
2001 tidak sepenuhnya mengikuti apa yang tercantum dalam materi tersebut.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam dokumen pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dikemukakan
ada 12 prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi tahun 2001 dan prinsip yang sama tetap digunakan dalam revisi
terakhir kurikulum yang dilakukan pada akhir tahun 2003. Keduabelas prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika Kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika, estetika, logika, dan kinestika.Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan
153
mengangkat nilai-nilai pluralitas dan nilai-nilai universal.Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar dalam konteks holistik dan total untuk memberikan ruang bagi pengalaman estetik dengan melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan termasuk berpikir kreatif dan inovatif dengan keseimbangan yang nyata antara kognisi dan emosi dapatmemberikan keterampilan kognitif sekaligus dengan keterampilan interpersonal. b. Kesamaan Memperoleh Kesempatan
Setiap orang berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya. Untuk itu perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul. Hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan upaya untuk menjamin persamaan memperoleh kesempatan pendidikan. c.Memperkuat Identitas Nasional
Kurikulum harus menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap pentumbuhan peradaban bangsa Indonesia dan sumbangan bangsa Indonesia terhadap peradaban dunia. Dengan demikian kunikulum harus mempertahankan keberlanjutan tradisi budaya yang bermanfaat dan mengembangkan kesadaran, semangat, dan kesatuan nasional. Materi tentang pemeliharaan identitas nasionat patriotisme, sikap nonsektarian, kemampuan untuk bertoleransi terhadap perbedaan yang ditimbulkan oleh agama, ideologi, wilayah,bahasa, dan jender perlu diperhatikan dalam kurikulum. d. Menghadapi Abad Pengetahuan
Globalisasi dalam bidang informasi, komunikasi, dan teknologi menyebabkan semakin meningkatnya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pasar bebas, kemampuan bersaing, serta penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi makin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Sumber daya alam yang makin terbatas tidak lagi dapat menjadi tumpuan modal karena sumber kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dan modal fisik ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kredibilitas. Pada abad pengetahuan ini dipenlukan masyarakat yang berpengetahuan yang diperoleh dengan cara belajar sepanjang hayat. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat beragam dan berkualitas, sehingga diperlukan kunikulum yang mendorong untuk meningkatkan 4/18 kemampuan metakognitif dan kemampuan berpikir dan belajar dalam mengakses, memilih, menilai pengetahuan, dan mengatasi situasi yang membingungkan dan penuh ketidakpastian.
154
e. Menyongsong Tantangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan. Teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk menyediakan kemudahan belajar elektronik atau belajar dengan kabel on-line yang memperrnudah akses ke dalam informasi dan ilmu pengetahuan baru yang tidak tertulis dalam kunikulum. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang luwes dan adaptif terhadap berbagai pengetahuan baru sesuai dengan keadaan zaman. f. Mengembangkan Keterampilan Hidup
Pendidikan perlu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan hidup yang terjadi di masyarakatnya. Beberapa aspek utama keterampilan hidup antara lain kerurnahtanggaan, pemecahan masalah, berpikir kritis, komunikasi, kesadaran diri, menghindari stres, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal dan pemahaman tentang berbagai bentuk pekerjaan serta kemampuan vokasional disertai sikap positif terhadap kerja. Oleh karena itu, di dalam kunikulum perlu dimasukan ketenampilan hidup agar peserta didik memiliki kemampuan bersikap dan berpenilaku adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif.
g. Mengintegrasikan Unsur-unsur Penting ke Dalam Kurikuler
Kurikulum perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan dan sikap tentang budi pekerti, hak asasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup dan kependudukan, kehutanan, home economics, pencegahan konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan penyalahgunaan narkoba, perdamaian, demokrasi, dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal. Pengintegrasian unsur-unsur tensebut perlu disesuaikan dengan sifat rnata pelajaran pokok yang relevan dan perkembangan kernampuan peserta didik. h. Pendidikan Alternatif
Pendidikan tidak hanya terjadi sccara formal di sekolah tetapi juga harus terjadi di mana saja. Hal itu sangat penting terutama dalam rangka mencapai universalisasi dan demokratisasi pendidikan. Pendidikan alternatif meliputi antara lain pendidikan non-formal, pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh, sistem lain yang lentur yang diselenggarakan oleh pemenintah atau organisasi non-pemerintah. i. Berpusat Pada Anak Sebagai Pembangun Pengetahuan
155
Upaya untuk memandinikan peserta didik untuk belajar, benkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan, dan penilaian din untuk suatu refleksi akan mendonong rnereka untuk membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pandangan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secana lebih efektif. Dalam hal ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator belajar.
j. Pendidikan Multikultur dan Multibahasa
Indonesia terdiri atas masyarakat dengan beragam budaya, bahasa, dan agama. Implikasi dari hal tersebut yaitu bahwa dalam pendidikan perlu menerapkan metodik yang produktif dan kontekstual untuk mengakomodasikan sifat dan sikap masyarakat pluraristik dalam kerangka pembentukan jati diri bangsa. j. Penilaian Berkelanjutan dan Komprehensif
Kurikulum harus menanggapi kebutuhan belajar peserta didik untuk mengetahui hasil belajarnya. Hassil belajar dipandang sebagai umpan balik untuk perbaikan lebih lanjut terhadap segala kekurangan dan kelebihan peserta didik selama belajar dalam kurun waktu tertentu. Oleh karenanya penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Hasil dan suatu penilaian umumnya tergantung pada identifikasi jenis dan alat penilaian yang digunakan serta tujuan, kritenia penilaian. dan interpretasi hasil. Relevansi, reliabilitas, dan validitas penilaian merupakan prosedur yang menentukan kualitas umpan balik. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian harus dilakukan secara komprehensif yang mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. k. Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan harus berlanjut sepanjang hidup manusia dalam rangka untuk mengembangkan, menambah kesadaran, dan selalu belajar tentang dunia yang berubah dalam segala bidang. Dengan demikian, kerusakan dan keusangan pengetahuan dapat dihindari. Dalam hal ini, kurikulum harus menyediakan kompetensi dan materi yang berguna bagi peserta didik bukan hanya untuk kepentingannya di masa sekarang, tetapi juga kepentingannya di masa yang akan datang dengan memberikan fondasi yang kuat untuk inkuiri dan memecahkan masalah yang merupakan titik awal untuk menguasai cara berpikir bagaimana berpikir dan belajar sepanjang hidupnya.
156
Memang harus diakui bahwa beberapa dari yang dikemukakan sebagai prinsip di
atas pada dasarnya bukanlah prinsip pengembangan kurikulum. Ada diantaranya
berupa tantangan yang harus dijawab oleh kurikulum seperti mengembangkan
keterampilan hidup, menyongsong tantangan teknologi informasi dan komunikasi,
menghadapi abad pengetahuan, pendidikan sepanjang hayat dan memperkuat
identitas nasional. Beberapa yang lain memang merupakan prinsip yang harus
digunakan dalam mengembangkan kurikulum seperti penilaian berkelanjutan dan
komprehensif, pendidikan multikultur dan multibahasa, berpusat pada anak
sebagai pembangun pengetahuan, keseimbangan etika, logika, estetika, dan
kinestika. Sedangkan yang dinamakan prinsip pendidikan alternatif bukan prinsip
pengembangan kurikulum tetapi lebih mengarah kepada prinsip pengembangan
pendidikan. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikuler bukan
prinsip dan bukan pula tantangan tetapi merupakan pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh para pengembang kurikulum. Pekerjaan yang tertinggal
demikian digunakan juga dalam Kurikulum SMP 1975 sebagai prinsip walau pun
seharusnya pengembang kurikulum tidak seharusnya memberikan pekerjaan yang
mendasar dalam pengembangan materi dan organisasi materi kurikulum kepada
para guru.
3. Visi dan Misi SMP
Kurikulum Berbasis Kompetensi memperkenalkan adanya visi dan misi yang
harus dinyatakan dalam kurikulum. Pikiran ini dikembangkan terus sampai pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk SMP (isitlah ini digunakan walau
pun berdasarkan UU nomor 2 tahun 2003 seharusnya istilah yang digunakan
adalah SLTP) yang menjadi bagian dari pendidikan dasar maka visi dan misinya
adalah visi dan misi pendidikan dasar. Tentu saja visi dan misi lembaga menjadi
bagian penting dalam pengembangan kurikulum karena kurikulum harus
mendukung pencapaian visi dan misi tersebut.
Visi untuk pendidikan dasar dirumuskan sebagai berikut:
157
Penyelenggaraan pendidikan dasar adalah dalam rangka
menghasilkan lulusan yang mempunyai dasar-dasar karakter,
kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang kuat dan memadai
untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal sehingga
memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan
atau dalam kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.
Sedangkan misi pendidikan dasar dirumuskan sebagaimana tercantum di bawah
ini:
• Menanamkan dasar-dasar perilaku berbudi pekerti dan berakhlak mulia. • Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. • Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan
berpikir logis, kritis, dan kreatif. • Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab, kemandirian dan kecakapan
emosional. • Memberikan dasar-dasar keterampilan hidup, kewirausahaan, dan etos
kerja. • Membentuk rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.
Visi dan misi yang dikembangkan untuk pendidikan dasar sangat fundamental
sebagai kualifikasi minimal bangsa Indonesia. Seyogyanya warganegara
Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan minimal 9 tahun
memiliki kualitas yang menjadi visi dan misi pendidikan dasar sehingga mereka
dapat dan mampu berpartisipasi sebagai warganegara yang produktif,
bertanggungjawab, dan berkemampuan untuk mengembangkan diri sepanjang
hayatnya. Kurikulum sebelumnya tidak mengembangkannya dalam bentuk visi
dan misi tetapi dalam rumusan yang dinamakan tujuan yang memiliki kualitas
serupa atau mirip dengan visi dan misi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jadi
terdapat kontinuitas dalam upaya kurikulum untuk mengembangkan kualitas
manusia Indonesia walaupun terdapat pula berbagai perubahan yang disebabkan
oleh adanya untuk kehidupan di suatu periode waktu dan proyeksi kehidupan pada
periode waktu mendatang.
158
4. Struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP
Naskah awal Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP yang dikembangkan pada
tahun 2001 memiliki struktur kurikulum sebagai berikut:
Tabel 8.1. Struktur Program Kurikulum
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Alokasi Waktu Jenis dan Jumlah
Mata pelajaran Pokok Kelas VII
Kelas VIII
Kelas IX
1.Agama 2 2 2
2.Kewarganegaraan dan Sejarah 3 3 3
3.Bahasa dan Sastera Indonesia 6 6 6
4.Matematika 6 6 6
5.Sains 6 6 6
6.Ilmu Sosial 3 3 3
7.Bahasa Inggeris 4 4 4
8.Pendidikan Jasmani 2 2 2
9.Kesenian dan Kerajinan Tangan 2 2 2
Jumlah 34 34 34
Struktur Kurikulum Bebrasis Kompetensi yang ditunukkan dalam tabel 8.1 sangat
sederhana dan banyak mengurangi beban belajar. Jika pada Kurikulum SMP 1994
beban belajar setiap semester Dominasi pandangan filosofis esensialisme pada
para pengembang Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat kuat walau pun
fenomena tersebut agak mengherankan karena pada umumnya kurikulum berbasis
kompetensi tidak mendasarkan diri pada pendidikan disiplin ilmu. Sejarah
pendidikan kompetensi yang awalnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk
memiliki ketrampilan atau kemampuan yang diperlukan dunia kerja menyebabkan
pengaruh pandangan filosofi pendidikan disiplin ilmu tidak menonjol. Kenyataan
159
yang ditunjukkan dalam struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tabel 8.1
di atas berbeda dari tradisi umum kurikulum berbasis kompetensi. Nama-nama
mata pelajaran seperti Sains dan Ilmu Sosial menggambarkan pengaruh
pendidikan disiplin ilmu yang sangat kuat. Tentu saja dominasi pendidikan
disiplin ilmu agak kurang sesuai dengan tujuan dan misi kelembagaan SMP dan
Madrasah Tsanawiyah kecuali untuk misi yang berkenaan dengan pengembangan
kemampuan berpikir logis, kritis dan kreatif. Alokasi waktu yang sangat besar
untuk mata pelajaran yang dikenal sebagai mata pelajaran yang melatih peserta
didik dalam berpikir logis, kritis, dan kreatif seperti matematika, sains menambah
kuatnya kesan ketidakajegan antara kurikulum sebagaimana yang dinyatakan
dalam struktur dengan misi kelembagaan.
Tampaknya, hasil “mini piloting” dan uji publik meredam pandangan pendidikan
disiplin ilmu yang terasa dominan pada struktur tabel 8.1. Setelah dilakukan “mini
piloting” dan taggapan masyarakat maka struktur Kurikulum Berbasis
Kompetensi sebagaimana yang tercantum pada tabel 8.1. mengalami
penyempurnaan. Jumlah SKS yang sudah lebih merata dengan mengurangi sks
untuk mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam memberi indikasi adanya
perubahan dalam ide kurikulum para pengembang. Pandangan pendidikan disiplin
ilmu yang didasarkan pada filosofi esensialis juga mendapat koreksi yang cukup
kuat sehingga mata pelajaran sains dan ilmu sosial diubah menjadi label bidang
studi dan mata pelajaran yang lebih menyesuaikan diri dengan pandangan filosofis
perenialisme.
Hasil dari penyempurnaan struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi tercantum
pada tabel 8.2. berikut ini.
160
Tabel 8.2. Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama Dan Madrasah Tsanawiyah
Alokasi Waktu
Kelas VII VIII IX
A.Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Pendidikan Kewarganegaraan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Bahasa Inggeris
Matematika
Pengetahuan Sosial
Pengetahuan Alam
Kesenian
Pendidikan Jasmani
Ketrampilan/Teknologi
Informasi dan Komunikasi
2
2
5
4
5
4
5
2
3
2
2
2
5
4
5
4
5
2
3
2
2
2
5
4
5
4
5
2
3
2
B.Pembiasaan Kegiatan pembiasaan 2 2 2
C.Muatan Lokal Kegiatan atau Mata pelajaran - - -
Jumlah 36 36 36
Adanya mata pelajaran baru yaitu Ketrampilan dalam teknologi informasi dan
komunikasi memberikan warna inovasi yang kuat pada Kurikulum SMP 2004.
Masyarakat Indonesia yang sudah sangat mengenal komputer sebagai produk
teknologi informasi sudah sepantasnya mendapat tanggapan dari kurikulum.
Sudah saatnya sekolah mempersiapkan calon warganegara produktif untuk
mengenal, mampu dan mahir menggunakan komputer beserta fasilitas internet
terutama untuk SMP dan masyarakat kota.
Untuk masyarakat dan SMP di daerah pedalamam keberadaan mata pelajaran
khusus dalam kurikulum mengundang masalah yang cukup serius. Pertama,
mereka tidak memiliki fasilitas yang diperlukan sedangkan peserta didik tidak
mungkin dapat dinyatakan telah menyelesaikan program belajar di SMP jika
161
mereka tidak pernah mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Dengan demikian, mereka yang tidak pernah memiliki kesempatan
untuk mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi
tidak akan pernah dapat menyelesaikan pendidikan mereka di SMP. Ini adalah
sesuatu yang bersifat berbahaya bagi kurikulum karena dengan demikian
kurikulum sudah memberikan perlakuan yang tidak “fair” kepada seluruh peserta
didik.
Kedua, kurikulum dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada kelompok
peserta didik yang beruntung. Artinya, kurikulum melanggar prinsip yang
diletakkan untuk mengembangkan kurikulum itu sendiri yaitu “perlu adanya
jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi
ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul”.
Kalau pun mereka yang tidak mengikuti mata pelajaran ketrampilan Teknologi
Informasi dan Komunikasi boleh dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan
mereka di SMP tetapi terjadi diskriminasi karena mereka tidak memiliki
kemampuan yang sama dengan sebaya mereka yang mengikuti mata pelajaran
tersebut padahal ketidakikutsertaan mereka bukan disebabkan oleh kemampuan
mereka yang tidak sesuai dengan materi pelajaran. Kenyataan seperti ini
merupakan pelajaran berharga dari sejarah kurikulum. Kurikulum telah
mengkianati prinsipnya dan peserta didik diperlakukan tidak adil. Sayangnya, kita
tidak belajar dari pengalaman ini dan kejadian seperti ini masih juga diulangi oleh
Kurikulum KTSP dalam struktur Kurikulum yang dinyatakan dalam Standar Isi
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2003 tentang Standar
Isi).
Sejujurnya, ketimpangan dan ketidakajegan kurikulum dalam prinsip serta
perlakuan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik tidak hanya terjadi pada
mata pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Demikian pula
dengan mata pelajaran kesenian dan pendidikan olahraga dan kesehatan dimana
banyak SMP yang tak mungkin melaksanakan sesuai dengan apa yang
dikehendaki kurikulum karena ketiadaan fasilitas belajar. Lebih lanjut, jika
Standar Kompetensi Lulusan untuk setiap mata pelajaran yang diberlakukan
162
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dikaji maka kita akan menemui
ketimpangan yang sama yaitu adanya Standar Kompetensi Lulusan yang tidak
mungkin dikuasai peserta didik karena ketiadaan fasilitas di SMP dimana mereka
belajar. Hal yang sama ditemukan pula dalam Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran tertentu.
Permasalahan kurikulum yang dikemukakan di atas dapat dikatakan masalah
menahun yang terjadi pada setiap penggantian kurikulum baik yag menggunakan
buku sebagai sumber belajar apalagi yang memerlukan fasilitas belajar lain yang
canggih, mahal, dan sarat teknologi. Sukar untuk diingkari bahwa dengan
demikian maka hasil belajar yang dimiliki peserta didik di SMP yang demikian
adalah mereka yang dinyatakan berhasil dengan kemampuan yang kurang dari apa
yang dipersyaratkan kurikulum. Ketimpangan ini tentu saja merugikan mereka
karena mereka telah kehilangan daya saing dan berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan ketika dunia kerja menghendaki kemampuan penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi sebagai persyaratan.
Suatu kenyataan yang menyenangkan dari struktur kurikulum di atas ialah
Kurikulum SMP 2004 (dan kurikulum lainnya) telah mampu menyatukan SMP
dengan Madrasah Tsanawiyah karena secara hitam di atas putih dinyatakan bahwa
kurikulum adalah Kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah
Tsanawiyah. Penyatuan ini senafas dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengakui
kesejajaran antara SMP dengan MTs (SD dengan MI, SMA dengan MA, SMK
dengan MAK). Tentu saja untuk Madrasah Tsanawiyah yang memiliki misi
berbeda dari SMP struktur kurikulum tersebut perlu disesuaikan.
5. Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 untuk SMP dan MTs terdiri atas Buku
Kerangka Dasar, Buku Standar Kompetensi Bahan Kajian, Buku Standar
kompetensi Mata Pelajaran, dan Buku-Buku Pedoman. Keseluruhan dokumen
kurikulum ini menunjukkan pengembangan pikiran kurikulum yang berbeda dari
kurikulum sebelumnya walau pun secara materiil Buku Standar Kompetensi Mata
163
pelajaran dapat dikatakan sama dengan GBPP pada Kurikulum SMP 1975, 1984,
dan 1994. Buku Kerangka Dasar berisikan landasan pengembangan, Buku Standar
Kompetensi Bahan Kajian dan Mata pelajaran berisikan struktur kompetensi,
Buku Pedoman berisikan pedoman pengelolaan KBK, kegiatan belajar-mengajar,
dan penilaian berbasis kelas.
Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran edisi Agustus 2001 yang berjudul
“Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran) Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama” mengalami revisi setelah melalui piloting (istilah
yang digunakan dalam dokumen), uji publik dan penyesuaian dengan UU nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Buku baru diberi judul
Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran)
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jadi terjadi perubahan
yang mendasar dalam judul buku tidak saja berkenaan dengan nama kurikulum
dari Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi Kurikulum 2004 tetapi juga secara
eksplisit dinyatakan isi buku yaitu standar kompetensi. Juga secara eksplisit
dinyatakan bahwa kurikulum diberlakukan untuk dua jenis sekolah yaitu SMP
(nama yang digunakan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas) dan
Madrasah Tsanawiyah. Ini untuk pertama kali Pusat Kurikulum menghasilkan
kurikulum yang secara eksplisit mencantumkan sekolah Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kementerian Agama dalam sebuah dokumen kurikulum, sesuai
dengan ketetapan pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.25
Buku Standar Kompetensi ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku ini dikemukakan mengenai
rasional mengenai pentingnya mata pelajaran yang dimaksud, pengertian, tujuan
dan fungsi, ruang lingkup, standar kompetensi lintas kurikulum, standar
kompetensi bahan ajar, standar kompetensi mata pelajaran, dan rambu-rambu
25 Ini juga menjadi kurikulum terakhirr yang dihasilkan Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional setelah ada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang memberikan wewenang mengembangkan sstruktur kurikulum kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) .
164
pada bagian I Pendahuluan. Bagian II menguraikan kompetensi dasar, indikator,
materi pokok mata pelajaran yang dimaksud untuk kelas VII, VIII, dan IX.
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah standar yang berlaku untuk seluruh
mata pelajaran. Seharusnya nama standar ini adalah standar lintas mata pelajaran
atau standar kurikulum karena kurikulum hanya ada satu untuk satu satuan
pendidikan, bukan untuk setiap mata pelajaran. Dalam Buku Standar Kompetensi
terdapat 9 Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Sedangkan pada bagian II Buku
yang sama terdapat Standar Kompetensi yang harus diselesaikan untuk kelas
tertentu. Setiap kelas memilikilebih dari satu Standar Kompetensi, beragam dalam
jumlah untuk setiap kelas dan setiap mata pelajaran.
Setiap Standar Kompetensi dirinci dalam beberapa Kompetensi Dasar, jumlahnya
beragam tergantung keluasan dari Standar Kompetensi. Satu Kompetensi Standar
memiliki sejumlah indikator yang merupakan rincian perilaku dan pengetahuan
yang harus dimiliki peserta didik. Berdasarkan indikator maka dikembangkan
Materi Pokok. Setiap Kompetensi Dasar memiliki satu materi pokok yang
dirumuskan dalam bentuk pernyataan tunggal seperti “penggunaan mikroskop” ,
“proses sosialisasi” atau dapat pula dirumuskan dalam suatu pernyataan yang
menyatakan keterkaitan antara dua konsep atau lebih seperti ‘keanekaragaman
hidup dan upaya pelestariannya”, “atmosfer dan pengaruhnya terhadap
kehidupan”. Guru dan sekolah mengembangkan silabus berdasarkan Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, dan Materi Pokok yang terdapat pada
buku Standar Kompetensi.
C. KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
Kurikulum 2004 atau yang semula bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi
tidak pernah diimplementasikan secara nasional. Kurikulum 2004 tidk mendapat
dukungan politis karena terjadi perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia dari sentralistik ke otononomi daerah. Naskah terakhir Kurikulum 2004
telah mencoba mengakomodasi perubahan tersebut tetapi upaya yang
dimaksudkan tidak cukup kuat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang
165
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 20
thun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebabkan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tidak mempunyai pilihan lain terkecuali
melaksanakan ketetapan dalamundang-undang tersebut. Proses pengembangan
Kurikulum 2004 dilakukan bersamaan dengan masa pengembangan Undang-
Undang nomor 20 tahun 2000 dan masa proses Undang-Undang nomor 20 tahun
2003. Ketika Kurikulum 2004 mencapai dinyatakan sebagai kurikulum yang
sudah siap dilaksanakan, dinyatakan dapat diimplementasikan oleh evaluasi
sumatif, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional sudah dinyatakan berlaku dan Departemen Pendidikan Nasional adalah
kementerian yang paling bertanggungjawab dalam keberhasilan pelaksanaan
undang-undang tersebut. Oleh karenanya kementerian yang paling terdepan dalam
melaksanakan undang-undang tersebut tidak memiliki pilihan lain terkecuali tidak
mengimplementasikan Kurikulum 2004 yang baru selesai dikembangkannya.
1. Perubahan Kebijakan Pendidikan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas sejak 1999 telah terjadi perubahan
kewenangan pemerintah yang dikenal dengan nama Otonomi PemerintahDaerah.
Pendidikan dasar dan menengah adalah wewenang yang dilimpahkan dari
Pemerintah ke Pemerintah Daerah. Dalam kewenangan mengenai pengembangan
kurikulum Pasal 36 ayat (2) UU nomor 20 tahun 2003 menyebutkan “kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”.
Untuk memenuhi ayat ini kurikulum tidak lagi mungkin dikembangkan pada
tingkat nasional karena adalah sangat tidak mungkin bagi pengembang kurikulum
di tingkat nasional untuk menyesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan pesert didik di satu satuan pendidikan. Keragaman yang dimiliki oleh
setiap satuan pendidikan dan daerah memberikan ruang yang sangat tipis dan
hampir dapat dikatakan tidak mungkin untuk menyusun satu kurikulum nasional.
Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional memperjelas dan memperkuat wewenang pengembangan
166
kurikulum. Pasal tersebut menyebutkan “kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan
supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk
pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”. Ayat (2) ini
didahului oleh ayat (1) yang menegaskaan bahwa “kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah”.
Ketentuan ini menyebabkan Kurikulum 2004 yang telah dikembangkan
Pemerintah (Dediknas-Puskur) tidak mungkin dilaksanakan di satuan-satuan
pendidikan.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pikiran kurikulum
kompetensi yang telah dikembangkan dalam Kurikulum 2004 dan biaya besar
yang telah dikeluarkan untuk pengembangan naskah atau dokumen kurikulum.
Oleh karena itu ide-ide tersebut dimasukkan dalam berbagai ketentuan seperti
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dimasukkan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional mengenai Standar Isi. Demikian pula halnya dengan Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi Lintas Kurikulum, dan Standar
Kompetensi Mata Pelajaran dikemas dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional. Sedangkan Struktur Kurikulum untuk SMP dan Madrasah Tsanawiyah
dikemas dalam bentuk Standar Isi.
Berdasarkan kebijakan baru maka kurikulum dikembangkan oleh setiap satuan
pendidikan dan dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Struktur KTSP mengacu kepada Struktur Kurikulum yang ditetapkan
oleh PeraturanMenteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini terjadi kerancuan
penetapan karena Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum bukan Standar Isi dan
berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
wewenang mengembangkan standar dan kurikulum dilakukan oleh lembaga yang
berbeda. Standar dikembangkan oleh lembaga independen yang dinamakan Badan
Standar Nasional Pendidikan sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum
dikembangkan oleh lembaga yang diberi wewenang secara institusional yaitu
167
Pusat Kurikulum. Kedua produk dari kedua lembaga tersebut dinyatakan berlaku
resmi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
2.Struktur Kurikulum KTSP untuk SMP/MTs
Berdasarkan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2005 yang dimaksudkan dengan
Standar Isi adalah:
1. kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan,
2. beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah,
3. kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan
4. kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.
Pengertian di atas merupakan turunan dari apa yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Seperti yang telah dikemukakan di
atas sebenarnya ketetapan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 dimana dinyatakan bahwa struktur
kurikulum adalah taggungjawab Pemerintah dan bukan BSNP, berdasarkan
Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan adalah tanggung jawab dan
dikembangkan BSNP, ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Struktur Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah ditetapkan sebagai berikut yang
ditetapkan dalam Standar Isi adalah sebagai berikut:
168
Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP /MTs dalam Standar Isi
Kelas dan Alokasi Waktu
Komponen VII VIII IX
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama 2 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 4
4. Bahasa Inggris 4 4 4
5. Matematika 4 4 4
6. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4
7. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4
8. Seni Budaya 2 2 2
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
2 2 2
10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi
2 2 2
B. Muatan Lokal 2 2 2
C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)
Jumlah 32 32 32
2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran
169
Ada ketidaksamaan antara struktur kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah yang
ditetapkan dalam Standar Isi dengan struktur kurikulum yang ditetapkan dalam
Kuurikulum SMP/MTs 2004. Dalam pengelompokkan struktur kurikulum
SMP/MTs Standar Isi mengenal Pengembangan Diri sedangkan sturktur pada
Kurikulum 2004 tidak ada tetapi ada kelompok Pembiasaan yang dalam struktur
di atas tidak dikenal. Selain itu terjadi perubahan dalam beban belajar untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia (5 menjadi 4), maatematika (5 menjadi 4), IPA (5
menjadi 4), Pendidikan Jasmani (3 menjadi 2). Oleh karena itu beban belajar
keseluruhan pun menjadi lebih sedikit pada Struktur Kurikulum Standar Isi
dibandingkan Kurikulum 2004 yaitu dari 36 menjadi 32 walau pun Standar Isi
memberi kelonggaran bagi satuan pendidikan untuk menambah 4 sks setip
semester jika dianggap penting.
Semangat filosofi perenialisme dikembangkan lagi dalam struktur kurikulum pada
tabel 8.3 di atas dibandingkan struktur kurikulum 2004 pada tabel 8.2. Oleh
karena itu nama mata pelajaran Pengetahuan Sosial diganti menjadi Ilmu
Pengetahuan Sosial, Pengetahuan Alam diganti menjadi Ilmu Pengetahuan Alam,
Bahasa dan Sastra Indonesia diganti menjadi Bahasa Indonesia.
Pengembangan Diri merupakan sesuatu yang baru dari Struktur Kurikulum
SMP/MTs yang ditetapkan dalam Standar Isi. Walau pun Pengembangan Diri
diberi sks 2 tetapi pada pelaksanaannya Pengembangan Diri yang dimaksudkan
pada Struktur Kurikulum SMP/MTs Standar Isi di atas sama dengan Pembiasaan
yang tercantum dalam Struktur Kurikulum 2004. Tampaknya nama
Pengembangan Diri dianggap lebih sesuai dibandingkan Pembiasaan.
Pemikiran tentang adanya Pengembangan Diri yang dinyatakan secara eksplisit
dan terpisah dari mata pelajaran lain dalam Struktur Kurikulum SMP/MTs
berdasarkan Standar Isi memang mengundang masalah kurikulum. Sebagaimana
dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005
170
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.
Permasalahan pertama adalah adanya istilah Pengembangan Diri merupakan
“contradictio in terminis” karena keseluruhan kurikulum harus merupakan
pengembangan potensi peserta didik dan setiap kuriulum harus memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan minat, bakat,
keunggulannya serta berbagai karakter yang berkenaan dengan nilai umum dan
pribadi, sikap umum dan pribadi serta berbagai kemampuan pribadi yang
diperlukan dirinya sebagai seorang mahluk. Kegiatan pengembangan diri yang
dibatasi pada kegiatan ekstrakurikuler dan konseling memberi keterbatasan yang
tidak seharusnya terhadap pengembangan diri peserta didik oleh kurikulum.
3. Prinsip Pengembangan KTSP untuk SMP/MTs
Standar Isi memuat tujuh prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Ketujuh prinsip tersebut tidak khusus untuk KTSP SMP/MTs tetapi
juga untuk sekolah lainnya. Selanjutnya dikemukakan “Kurikulum tingkat satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah
dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi
serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.” (Permendiknas
nomor 22 tahun 2005)
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
171
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
172
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
173
Ada penyempurnaan prinsip pengembangan kurikulum yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 di atas
dibandingkan dengan prinsip pengembangan Kurikulum 2004. Selain jumlahnya
yang lebih sedikit tetapi juga ketujuh ketetapan tersebut lebih menggambarkan
pengertian suatu prinsip pengembangan kurikulum terkecuali prinsip belajar
sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat adalah suatu tujuan dalam
mengembangkan perhatian, kemauan, kemampuan untuk dapat belajar sepanjang
hayat dan oleh karenanya lebih kepada tujuan pendidikan dibandingkan prinsip
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, konsep Belajar Sepanjang Hayat
sebaiknya menjadi landasan kriteria, bukan prinsip, untuk mengembangkan materi
kurikulum.
Salah satu prinsip pengembangan kurikulum yang baik, dari tujuh yang
dinyatakan dalam pedoman tersebut, tapi tampaknya akan sangat sulit dilakukan
yaitu keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Prinsip ini sangat
bagus dan harus menerus menjadi prinsip pengembangan kurikulum di Indonesia
mengingat keragaman budaya, sosial, ekonomi, historis, dan geografis masyarakat
Indonesia. Sayangnya, dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
permasalahan muncul pada pengertian keseimbangan. Apabila kepentingan
nasional diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan dalam struktur dan isi
kurikulum dan kepentingan daerah dikembangkan dalam mata pelajaran muatan
lokal sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 22 tahun 2005, dan apabila pengertian keseimbangan dipatok dengan
ukuran sks maka sks yang telah ditetapkan pusat lebih besar dari alokasi sks untuk
muatan lokal. Dalam pengertian jumlah sks maka prinsip keeimbangan tidak
pernah dapat dilaksanakan satuan pendidikan dalam mengembangan KTSP.
Prinsip keseimbangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan baik melalui
dua cara. Pertama, materi muatan lokal yang dikembangkan satuan pendidikan
dikemas tidak hanya menjadi materi mata pelajaran-mata pelajaran muatan lokal
174
yang berdiri sendiri tetapi jugadikembangkan sebagai materi pelajaran untuk
mata pelajaran lain yang telah ditetapkan dalam struktur kurikulum. Kedua, dalam
menetapkan materi Standar Isi Pemerintah mengembangkan materi yang
dipandang penting dari sudut kepentingan nasional, bukan semua materi yang
harus dikuasai peserta didik untuk suatu mata pelajaran. Apabila Pemerintah
menempuh kebijakan tentang materi muatan lokal sebagaimana yang
dikemukakan disini maka baik Pemerintah mau pun satuan pendidikan memiliki
kemungkinan untuk menerapkan prinsip keseimbangan antara kepentingan
nasional dan daerah. Pemerintah dapat menerapkan isi dan kompetensi minimal
untuk setiap mata pelajaran sedangkan satuan pendidikan dapat menambah isi dan
kalau perlu kompetensi baru untuk mata pelajaran yang dimaksudkan. Jika satuan
pendidikan berpendapat bahwa kompetensi tidak perlu atau perlu ditambah dan
untuk menguasai kompetensi tersebut dapat ditambah dengan materi dari lokal
maka satuan pendidikan dapat memberikan pertimbangan edukatif mengenai
keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Orientasi lingkungan dan
penerapan prinsip pendidikan yang dimulai dari lingkungan terdekat (Ki Hajar
Dewantara) dapat diterapkan dengan pendekatan pengembangan materi lokal yang
dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ditetapkan Pemerintah.
175
MENATAP MASA DEPAN
Sejarah selalu terkait dengan masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang. Masa lalu adalah masa dimana berbagai peristiwa sejarah terjadi, menjadi
dasar bagi lahirnya kehidupan masa kini, dan masa kini memiliki potensi
menentukan masa yang akan datang. Apa yang dialami masa kini dan bagaimana
persepsi tentang masa depan membangun berbagai kegiatan yang akan
memberikan arah kehidupan masa depan. Tiga dimensi waktu sejarah dengan
demikian akan terus berlangsung.
Pengembangan kurikulum selalu berorientasi ke masa depan. Setiap pengembang
kurikulum selalu didasarkan pada visi tentang kualitas masyarakat bangsa yang
diperlukan 12 tahun mendatang atau paling pendek untuk masa 6 tahun
mendatang. Semakin jauh masa yang dapat diperkirakan pengembang kurikulum
dan semakin akurat prediksi kuaitas manusia yang diperlukan semakin tinggi
tingkat relevansi suatu kurikulum. Pengalaman masa lampau dalam
pengembangan kurikulum, analisis mengenai kekuatan yang berpengaruh
terhadap kehidupan bangsa dan kurikulum masa kini dapat dijadikan landasan
untuk membangun kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dan tinggi tingkat
prediksi kualitas yang diperlukan bangsa di masa depan. Oleh karena itu berbagai
pengalaman di masa lampau memberikan pelajaran yang berharga untuk
pengembangan kurikulum masa kini dan masa mendatang.
Peristiwa dalam pengelaman pengembangan kurikulum di Indonesia terutama
sesudah masa kemerdekaan merupakan kekayaan intelektual bangsa yang tak
ternilaikan. Jatuh bangun dalam pengalaman pengembangan kurikulum adalah
pelajaran yang dapat digunakan untuk pengembangan kurikulum pada masa-masa
berikutnya. Keberlanjutan dan perubahan pemikiran (ide) kurikulum yang
disebabkan oleh berbagai faktor eksternal seperti keputusan politik, dari jenjang
paling tinggi hingga jenjang yang operasional, serta berbagai faktor internal yang
bersifat filosofis dan teoritis pendidikan dan kurikulum menghasilkan masyarakat
Indonesia yang ada pada saat kini. Kurikulum yang telah dikembangkan
memberikan hasil berupa warganegara yang memiliki kualitas sesuai dengan yang
176
dikembangkan oleh kurikulum tertentu bertemu dengan warganegara dengan
kualitas yang dihasilkan. Interaksi antar generasi yang dihasilkan kurikulum
memberikan kesempatan kepada masing-masing untuk belajar satu sama lainnya
dan memperkaya kualitas masing-masing yang sudah dipunyai.
Tentu saja dalam kesempatan saling memberi tersebut ada yang memiliki
pengaruh yang besar terhadap lainnya tetapi sayangnya belum ada pengetahuan
dan cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai interaksi tersebut. Walau pun
demikian, faktor eksternal sering kali menjadi faktor yang lebih dominan sehingga
upaya untuk melakukan kajian tersebut tidak boleh melepaskan diri dari kajian
terhadap faktor kekuasaan (power atau pun social pressure) yang dominan pada
saat kajian dilakukan dan pada masa ketika kurikulum akan memberikan hasilnya
berupa warganegara yang berkualitas. Kualitas akhir masyarakat Indonesia adalah
hasil pertarungan berbagai kelompok generasi kurikulum dan kekuasaan.
Dari segi filosofi dan teori pengembangan kurikulum di masa depan tampaknya
akan lebih bijaksana apabila konseptualisasi kurikulum didasarkan pada kebijakan
pemerintah mengenai tujuan dan fungsi serta tujuan setiap pendidikan. Kiranya
pada masa mendatang kurikulum untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs)
perlu dikembangkan dalam satu kesatuan dan berdasarkan visi pendidikan umum
yang berlaku untuk semua warganegara. Visi pendidikan umum yang
dimaksudkan adalah pendidikan dasar bukan pendidikan untuk menghasilkan
manusia dalam bidang ilmu tertentu atau beberapa jalur bidang keilmuan tetapi
untuk pengmbangan potensi kemanusiaannya. Kualitas yang diharapkan bukanlah
mereka yang unggul dalam satu bidang studi atau disiplin ilmu tetapi mereka yang
mampu mengembangkan dirinya untuk belajar sepanjang hayat dan berkonstribusi
terhadap kehidupan bangsa dalam kapasitasnya sebagai warganegara. Kualitas
yang akan dihasilkan kurikulum adalah kualitas minimal warganegara Indonesia
pendidikan dalam pengetahuan, kemampuan kognitif, nilai dan sikap, berbagai
ketrampilan motorik, dan kebiasaan yang memberi bekal kuat kepada setiap
warganegara untuk mengembangkan diri. Ketrampilan membaca, kebiasaan
membaca, rasa ingin tahu, kebiasaan dan kemampuan belajar, kemampuan
berpikir logis-kritis-analitis-kreatif, cinta tanah air dan rasa kebangsaan, mampu
177
hidup dalam perbedaan (bhineka), religious dalam menjalankan agama merupakan
kualitas dasar bagi setiap warganegara setelah mereka menyelesaikan pendidikan
9 tahun. Pengetahuan dasar yang mampu mengembangkan memori bersama
(collective memory) sebagai bangsa, tentang wilayah tanah air, suku dan
kelompok budaya yang membentuk bangsa, potensi alam, seni dan manusia yang
menjadi kekayaan bangsa kiranya harus dimiliki peserta didik yang telah
menyelesaikan pendidikan di SMP/MTs. Kurikulum SMP masa mendatang sudah
seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai
pengetahuan dasar tersebut.
Konseptualisasi kurikulum pendidikan dasar yang demikian menghendaki
penerapan berbagai filsofi kurikulum dan tidak lagi terbatas pada perenialisme.
Eklektisme filosofi dalam pengembangan kurikulum adalah suatu praktek yang
umum dilakukan dan pendekatan yang demikian memungkinkan peserta didik
untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional dan ketrampilan mereka.
Pengembangan potensi-potensi tersebut tidak lagi terbatas pada pengetahuan dan
jenjang pemahaman tetapi sudah harus dikembangkan menjadi kebiasaan yang
mereka implementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kurikulum SMP
melanjutkan, memantapkan, dan mengembangkan lebih lanjut kebiasaan yang
sudah dikuasai peserta didik dari kurikulum SD dan memberikan kesempatan
untuk menerapkan hasil belajar tersebut dalam prilaku keseharian mereka.
Desain konten kurikulum harus pula mengalami perubahan sesuai dengan hakekat
tujuan, karakteristik konten, proses belajar, dan asesmen hasil belajar. Tujuan
didasarkan pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan kelembagaan secara
seimbang. Untuk tujuan kelembagaan SMP maka kualitas yang diperlukan bagi
mereka yang akan langsung menjadi warganegara aktif dan produktif berimbang
dengan kualitas yang diperlukan bagi mereka yang akan melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah. Kedua kualitas itu memiliki ruang singgung yang luas
terutama berkenaan dengan kualitas manusia yang memiliki kemampuan dasar
berupa kemampuan belajar, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, religiusitas, rasa
kebangsaan serta pengetahuan dasar yang berkenaan dengan dirinya, masyarakat,
bangsa, tanah airnya (geografis, biologis) dan negaranya (filosofi, sistem dan
178
struktur pemerintahan, aturan/hukum, cara dan prosedur untuk berkontribusi
dalam kehidupan kenegaraan). Pengetahuan dasar ini yang akan memberikan
jawaban mengenai siapa dirinya, bangsanya, dan negaranya (memori kolektif
bangsa) sebagai hasil perkembangan yang dialami oleh generasi terdahulu.
Konten dan organisasi konten untuk kurikulum masa mendatang perlu
memperhatikan karakteristik konten. Secara kategorial konten kurikulum terbagi
atas pengetahuan, kemampuan intelektual dan manual, nilai dan sikap. Konten
pengetahuan bersifat “mastery” yaitu konten yang dapat dikuasai pada akhir suatu
pertemuan kelas. Konten kemampuan intelektual dan manual, nilai serta sikap
bersifat “developmental” dan hanya dapat dikuasai melalui suatu proses panjang
dan saling menunjang antara satu pertemuan kelas dengan pertemuan kelas
lainnya antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Apabila kualitas
pengetahuan diukur dari banyaknya pengetahuan yang harus dimiliki seorang
peserta didik dari setiap mata pelajaran dan satu satuan atau jenjang pendidikan.
Sedangkan kualitas penguasaan konten yang bersifat kemampuan intelektual,
manual, nilai, sikap bersifat selalu meningkat dari satu jenjang kemampuan ke
jenjang kemampuan yang lebih tinggi. Jenjang tertinggi yang dimiliki seorang
peserta didik adalah hasil belajar dalam aspek kemampuan, nilai, dan sikap. Hasil
ini menggambarkan kualitas dan keberhasilan pendidikan/kurikulum untuk satuan
pendidikan SMP. Oleh karena itu pengukuran keberhasilan belajar dalam
kemampuan, nilai, dan sikap tidak diukur sebagai hasil tambah sebagaimana yang
dilakukan terhadap hasil belajar pengetahuan.
Kurikulum SMP masa mendatang didasarkan pada dua prinsip yaitu kurikulum
bukan daftar mata pelajaran dan setiap peserta didik dapat memiliki pengetahuan
dasar, kemampuan dasar dan nilai serta sikap dasar yang merupakan kualitas
minimal bangsa Indonesia. Prinsip pertama menghendaki pengembangan konten
kurikulum untuk satu mata pelajaran dengan mata pelajaran dalam satu kaitan
yang saling memperkuat. Prinsip saling memperkuat ini sudah harus tercermin
dalam dokumen kurikulum secara jelas, terlaksana dalam proses pembelajaran,
dan penilaian hasil belajar. Dalam dokumen kurikulum SMP keterkaitan konten
satu mata pelajaran dinyatakan secara eksplisit dengan mata pelajaran lainnya.
179
Dalam proses pelaksanaan, perencanaan pembelajaran dilakukan dalam suatu
rencana bersama di masing-masing SMP sebagai rencana induk satuan pendidikan
dalam pengembangan kurikulum. Dalam rencana bersama yang dapat disebut
sebagai rencana induk (grand design) satuan pendidikan, kualitas tamatan satuan
pendidikan tersebut sudah terumuskan, kaitan pengembangan konten kemampuan
intelektual, manual, nilai dan sikap sudah terencana dan tertulis. Kepala sekolah
dan guru duduk bersama sebagai komunitas pendidik (community of educators)
dalam pengembangan rencana induk pada setiap awal tahun untuk setiap
angkatan.
Pengetahuan yang dikembangkan dalam konten kurikulum SMP terdiri atas
pengetahuan tingkat nasional, daerah dan satuan pendidikan. Pengetahuan tingkat
nasional adalah pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara di
mana pun mereka bertempat tinggal. Pengetahuan nasional ini memberikan dasar
bagi pengembangan memori kolektif sebagai bangsa dan kemudahan bagi yang
bersangkutan untuk bepergian ke berbagai wilayah di negaranya, bertemu dan
berkomunikasi dengan sesama warganegara Indonesia lainnya. Pengetahuan
tentang wilayah, penduduk, kultur yang berbeda akan memberikan kenyamanan
ketika berkomunikasi dengan sesama warganegara dan memberik kemudahan
untuk mencari kehidupan di wilayah di luar propinsi.
Pengetahuan tentang daerah propinsi, kabupaten/kota di lokasi suatu SMP akan
memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kehadiran wilayah,
karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, hasil-hasil tambang dan
pertanian yang menjadi keunggulan daerah dan memberikan kontribusi terhadap
kehidupan bangsa dan negara. Pengenalan wilayah sendiri yang mendalam
dibandingkan wilayah lainnya akan memberikan dasar untuk mengenal berbagai
fenomena alam, budaya, dan ekonomi sehingga peserta didik SMP akan memiliki
kemampuan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerahnya lebih baik lagi.
Pengetahuan tentang daerah akan mampu membangun wawasan kebangsaan yang
lebih baik karena mereka akan bangga pada wilayahnya dan memhami kontribusi
wilayahnya terhadap kehidupan kebangsaan.
180
Pengetahuan yang berkenaan dengan lingkungan terdekat SMP dimana peserta
didik belajar akan sangat bermanfaat untuk mengenal komunitasnya. Mereka akan
memiliki pengetahuan yang baik tentang kehadiran komunitas/masyarakat bahkan
keluarganya, karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, transportasi,
hasil-hasil tambang dan pertanian yang menjadi keunggulan daerah di mana
peserta didik tersebut tinggal. Pengetahuan tentang lingkungan terdekat
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyayangi, memelihara dan
mengembangkan lingkungan di sekitarnya.
Konten kemampuan intelektual dan manual dapat dikembangkan pada tingkat
nasional tetapi penerapan kemampuan pada lingkungan terdekat, propinsi, dan
nasional. Sedangkan konten yang bersifat nilai dan sikap dikembangkan
berdasarkan nilai, moral, dan sikap yang berlaku di masyarakat di sekitarnya
sehingga tidak terjadi konflik antara apa yang dipelajari di sekolah dengan
masyarakat. Nilai dan sikap itu kemudian dikembangkan kepada wilayah yang
lebih luas yaitu kota/kabupaten, propinsi dan nasional. Nilai dan sikap nasional
pada dasarnya adalah nilai dan sikap yang hidup di setiap komunitas etnis, sosial,
dan budaya bangsa Indonesia.
181
DAFTAR BACAAN
Airasian, P.W. dkk (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridges Edition. New York: Longman
Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan
Paul.
Bradjanegara, S. (1956). Sedjarah Pendidikan Indonesia. Yogyakarta
Benjamin, H. (1939). The Saber-tooth Curriculum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University
Depdikbud (1965). 20 tahun Indonesia Merdeka. VIII. Jakarta
Depdikbud (1976). Pendidikan Indonesia 1900 – 1970. Jakarta: Balitbang
Depdikbud (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983. Jakarta: Depdiknas
Depdikbud (1989). Statistik Pendidikan Menengah Umum: Sekolah, Murid, Guru dan Pembina SMP dan SMA seluruh Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen
Depdikbud (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dinas Sejarah TNI – AD (1976). Sumbangan TNI Angkatan Darat Dalam Pemantapan Orde Baru. Bandung: Angkasa Offset
Djumhur, I dan Danasaputra (1976). Sedjarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bandung
Gay, G. (2000). Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. New York and London: Teachers College, Columbia University
Giroux, H.A. (1981). Ideology, Culture, and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University Press
Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
Hasan, S.H. (2009). The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi
182
pada Seminar International tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15, 2009
Henderson, J.G. dan Kesson, K.R. (2004). Curriculum Wisdom: Educational Decisions in Democratic Society. New Jersey: Prentice-Hall
Henderson, J.G. dan Gornik, R. (2007). Transformative Curriculum Leadership. Third edition. Columbus, Ohio: Pearson Prentice-Hall.
Kartodirjo, S. dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ki Hadjar Dewantara (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Kliebard, H.M. (1965). Structure of the Disciplines as an Educational Slogan, dalam Readings in Curriculum. (Second edition).(editor Glen Hass, Kimball Wiles, dan Joseph Bondi)
Klein, M.F. (1989). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University.
Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Needham Heights. MA: Allyn & Bacon.
Mestoko, S. (1979). Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Depdikbud
Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jenmars
NIER (1999): An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: NIER
O’Donnell, S. dkk. (2002) (Eighth ed.). International Review of Curriculum and Assessment Frameworks: Comparative tables and factual summaries – 2002. London: National Foundation for Educational Research
Poerbakawatja, S. (1970). Pendidikan Dalam Alam Terbuka. Jakarta: Gunung Agung
Poeze, H.A. (1982). Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indie. Deel I 1927 – 1928. The Hague: Martinus Nijhoff
183
Post, T.R. dkk. (1997). Interdisciplinary Approaches to Curriculum: Themes for Teaching. Columbus, Ohio: Prentice Hall, Inc.
Said, M. (1981). Pendidikan Abad Ke Duapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya. Jakarta: Mutiara
Said, M. dan Dahlan Mansyur (1953). Pendidikan dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Pustaka Rakyat
Santoso, Slamet Imam (1987). Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung
Saylor, J.G. dan Alexander, W.M. (1974). Planning Curriculum for Schools. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc
Sekertariat Negara (1984). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Tira Indonesia
Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Banddung: Angkasa
Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti
Smith, B.O., Stanley,W.O. dan Shores, J.H. (1957). Cultural Roots o the Currciulum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University
Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional
Taba, H. (1962). The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt Brace and World
Tanner, D dan Tanner, L.N (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation.
Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.
184
Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Waring, M. (1979). Social Pressures and Curriculum Innovation: A Study of the Nuffield Foundation Science Teaching Project. London: Methuen
185
DOKUMEN
1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah
2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran Disekolah untuk Seluruh Indonesia
3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional 5. Dokumen Kurikulum 1964 6. Dokumen Kurikulum 1968 7. Dokumen Kurikulum 1975 8. Dokumen Kurikulum 1984 9. Dokumen Kurikulum 1994 10. Dokumen Kurikulum 2004 11. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2005 14. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 15. TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 16. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 17. TAP MPR Nomor II/MPR/1978 18. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 19. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 20. TAP MPR Nomor II/MPR/1988 21. Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa 1991
186
Recommended