View
340
Download
19
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan
tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan
penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Rachman, Maman, 2000), ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis
(hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill
dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam penguasaan soft
skill. Untuk itu penulis menulis makalah ini, agar pembaca tahu betapa pentingnya pendidikan
karakter bagi semua orang, khususnya bangsa Indonesia sendiri.
B. Rumusan masalah
Penulis telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam karya
tulis ini antara lain:
1. Apa pengertian dari pendidikan karakter itu?
2. Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa?
3. Bagaimana upaya-upaya dalam meningkatkan mutu dari pendidikan karakter?
4. Bagaimana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang disusun oleh penulis di atas, maka tujuan dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu pendidikan karakter.
2. Untuk mengetahui hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya dalam meningktakan mutu dari pendidikan karakter.
4. Untuk mengetahui bagaiamana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
“Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak
muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi
pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan
menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik,
dan manusiawi.”(Degeng, S Nyoman,1989)
2. Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi
perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan
berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-
sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat
yang telah menjadi kesepakatan bersama.
”Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu
cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu
hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah,
dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan
peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-
sikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian.
Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan,
dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang
kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan
keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu.
Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para
Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-
perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. (Hasan, S. Hamid. 2000)
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar
“Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka
bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika
merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu
kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut.
Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol
“Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan
informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat
ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu
kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis
karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini
tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan
budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari
keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika
seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural
yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika
menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter
bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata
tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk
membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah
refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (Joni, T. Raka. 1996)
3. Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila
dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum
(KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan
sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang
harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-
hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk
setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual
dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural
tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13
Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti
pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%),
peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek
kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil
pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di
lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif
terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan
pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta didik .
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh sekolah di Indonesia terutama pada
tingkat SMP negeri maupun swasta, karena di masa SMP peserta didik belum terlalu
melawan kepada guru, seperti anak SMA, dan anak SMP tidak terlalu kecil untuk
mendapatkan materi pendidikan karakter, seperti anak SD atau MI. Semua warga sekolah,
meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi
sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan
pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk
disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter
dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Menurut Trianto, (2009), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di
SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Melalui program ini diharapkan lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik
sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter
nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
a. Membangun Karakter Siswa Dengan "Sepiring Nasi" ( Iwan Gunawan,Guru SD Salman
Al Farisi, Bandung )
“Guru kreatif terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih
mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa. Ia akan
tersenyum manakala siswa bertanya, ”Pak saya menemukan hal berbeda, tidak seperti yang
bapak katakan atau teman saya temukan, mengapa?”
Awalnya ada sedikit keraguan untuk menuliskan pengalaman ini, karena banyak teman
yang ‘agak sedikit’ mengerutkan dahi dengan ‘metode yang agak sedikit nyleneh’ yang saya
pakai ini. Tapi biarlah itu berlalu, mungkin mereka belum tahu metode ‘sepiring nasi’ yang
pernah saya gunakan.
Ide awal menggunakan metode ini, didasari oleh sebuah kebingungan mengunakan
metode yang tepat untuk menjelaskan materi PKn tentang ‘Manusia sebagai mahluk sosial’.
Dalam hal ini saya dituntut untuk bisa menterjemahkan hal-hal yang abstrak menjadi nyata
buat siswa, sehingga bisa memudahkan siswa untuk memahami materi yang rumit dengan
cara yang sederhana.
Berbicara tentang sepiring nasi, kita mungkin selalu mengkaitkannya dengan masalah
makan, perut lapar, nikmat dan sebagainya. Tetapi tahukah kita bahwa sepiring nasi
menyimpan banyak rahasia yang bisa digunakan dalam pembelajaran? Lalu apa kaitan
antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Secara sepintas mungkin tidak ada. Tetapi
apabila kita mau sedikit kreatif dengan sepiring nasi, maka kita bisa menjadikannya sebagai
sebuah metoda pembelajaran.
Sepiring nasi yang biasa kita makan, sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam
bagi tumbuhnya kepekaan, kepedulian dan penghargaan atas hasil jerih payah orang lain.
Mungkin selama ini, kita hanya memandang sesaat sepiring nasi tanpa menganalisisnya
lebih dalam. Bahkan kita tidak punya waktu sama sekali untuk memperhatikan sepiring nasi
ini disaat perut sudah sangat lapar.
Cobalah amati dengan seksama dan luangkan waktu sejenak, “Apa saja” yang ada
dalam sepiring nasi? nasi, ikan asin, ikan goreng, ayam goreng , tahu, lalap, sambal, tempe,
ketimun, garam, vetsin, piring, sendok atau mungkin ada hal yang lainnya?
Dari analisis sederhana ini, cobalah uraikan kembali ‘siapa saja’ yang berperan dalam
menyediakan barang-barang tersebut. Sebagai contoh, petani merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam menyediakan beras, Ibu yang memasak nasi dan menggoreng,
tahu dibuat oleh pengrajin tahu, garam disediakan oleh petani garam, dan tentunya masih
banyak pihak-pihak lain yang terlibat. Pernahkan kita berpikir sejauh itu? Mungkin selama
ini kita hanya siap untuk menerima semua itu dalam keadaan sudah jadi…nasi rames!
Sekarang, apa kaitannya antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Kini saatnya guru
untuk menjelaskan tentang keberadaan manusia sebagai mahluk social. Sebagai mahluk
sosial, manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri.
Ajaklah siswa untuk membayangkan suatu keadaan, dimana ketika dia akan ‘makan’
harus mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri mulai dari menanam padi selama 6
bulan, mengeringkan air laut untuk membuat garam, menanam kedelai untuk membuat tahu
dan tempe, menangkap ikan di laut untuk membuat ikan asin. Keadaan ‘imaginer’ seperti ini
haruslah diterapkan, agar siswa memiliki kepekaan terhadap hasil kerja dan jerih payah
orang lain.
Untuk membangun rasa kepekaan dan kepedulian, ajaklah siswa untuk membuat
pengandaian-pengadaian seperti ini “Seandainya tidak ada petani, kita tidak bisa makan
nasi”, “seandainya tidak ada petani garam, tentunya makanan kita tidak ada rasanya”. Dari
pengandaian-pengandaian ini, guru bisa mengajak siswa untuk menyimpulkan sendiri
tentang ‘pentingnya ada orang lain di sekitar kita’, tanpa adanya mereka maka kebutuhan-
kebutuhan kita tidak akan bisa terpenuhi.
Sepiring nasi! Kau telah memberi sebuah inspirasi. Lalu, apakah kita sebagai guru
masih bingung dalam mencari metode untuk mengajarkan suatu materi? Ijinkan saya
mengutip sebuah anekdot
“Suatu saat dua orang yang berasal dari sekolah yang sama bertemu. Walaupun berbeda
angkatan tetapi mereka cepat akrab dan pada saat mereka membicarakan salah seorang
gurunya, mereka kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan yang panjang
terungkap bahwa sang guru tersebut masih melakukan praktek pengajaran yang persis sama,
bahkan ketika waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7 tahun. Ini membuktikan bahwa
guru yang bersangkutan tidak mau berubah dan mensejajarkan diri dengan kemajuan jaman.
Sudah bukan jamannya lagi kita mengajar berdasarkan diktat kuliah serta keterangan dari
dosen-dosen yang mengajar kita saat di universitas dahulu. Jaman berubah demikian cepat
dan informasi bertambah terus menerus membuat sebuah ilmu menjadi cepat usang dan
ketinggalan.
b. Kekuatan Do’a Dalam Pembelajaran ( Iwan Gunawan, Guru SD Salman Al Farisi,
Bandung )
Seringkali kali dalam suatu pembelajaran banyak siswa yang tidak berminat terhadap
suatu pelajaran tertentu, baik karena sikap gurunya ataupun materi yang disampaikan
kurang menarik dan berkenan di hati para siswa.
Ketidaktertarikan siswa ini bisa ditampilkan dalam bentuk pembangkangan, ribut
ataupun mungkin dengan cara yang lebih sopan, misalnya dengan bertanya kepada guru
tentang “apa manfaatnya bagiku” belajar materi ini. Di tengah semakin ketatnya persaingan
di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering
khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidakberhasilan dalam meraih prestasi belajar
atau bahkan takut tinggal kelas.
Sepintas, pertanyaan “apa manfaatnya bagiku” ini agak sepele dan tidak perlu
pembahasan lebih lanjut. Akan tetapi bagi siswa, hal ini penting untuk diketahui karena
menyangkut keaktifan dalam merespon materi pembelajaran, dan rasa aman di dalam
mengahadapi masa depan mereka. Sebagaima dikatakan Arden N. Fardesen bahwa hal yang
mendorong seorang siswa untuk belajar adalah:
1. Adanya sifat ingin tahu dan menyelidiki dunia yang amat luas.
2. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman.
4. Adanya uasaha untuk memperbaiki kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru,
baik dengan koprasi maupun dengan kompetisi.
5. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
6. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar.
Guru harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di
dalam menjalani masa-masa belajarnya. Hal ini senada dengan pendapat Trianto, (2009)
tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat di pandang dari segi diri-
pribadinya (self oriented), seorang guru harus berperan sebagai :
Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus
untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya.
Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik
di sekolah.
model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para
peserta didik.
Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa
aman berada dalam didikan gurunya.
Seringkali, kita sebagai guru mengarahkan permasalahan ini kepada siswa sebagai
penyebabnya, baik karena siswa yang malas, tidak punya buku paket atau alasan lain.
Seorang guru harus senantiasa mau beintrospeksi pada diri sendiri. Betapa banyak guru
sering menempatkan dirinya sebagai “dewa kebenaran” yang seolah-olah serba tahu semua
keinginan muridnya. Padahal sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan
tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut
guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan
profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses
pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang
yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang
tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Guru seringkali terjebak dalam pemecahan masalah “apa manfaatnya bagiku” dengan
menggunakan metode-metode yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Dari
beberapa metode dan pendekatan yang digunakan, ada satu hal yang kiranya bisa dijadikan
‘alternative’ untuk memecahkan masalah tersebut terlepas dari cara yang telah dilakukan
oleh guru seperti memperjelas tujuan yang ingin dicapai, membangkitkan minat siswa,
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar, memberi pujian yang wajar
terhadap setiap keberhasilan siswa, memberikan penilaian, memberi komentar terhadap
hasil pekerjaan siswa, dan menciptakan persaingan dan kerja sama yang sehat. Alternatif ini
sangat murah dan mudah dilakukan, tanpa perlu mempelajari teori yang rumit yaitu berdoa.
Lalu apa hubungannya antara doa dengan kebermaknaan dalam pembelajaran? Cobalah
ingat-ingat kembali oleh kita, berapa kali kita mendoakan siswa-siswa kita dalam belajar
atau minimal mendoakan mereka diawal atau diakhir pembelajaran? Walaupun semua guru
berbuat demikian, betapa jarang kita mendoakan mereka diawal atau diakhir pembelajaran.
Mungkin kita hanya menutup dan membuka pembelajaran dengan ucapan “selamat pagi
anak-anak”, “selamat siang”, “selamat sore” serta ucapan-ucapan lainnya, atau bisa juga
langsung ngeloyor meninggalkan anak-anak tanpa sepatah kata pun. Ucapan-ucapan ini
bukannya tidak bagus, akan tetapi masih terlalu umum.
Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua
(guru) mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak
merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya.
Cobalah tambahkan doa dalam memulai dan mengakhiri pembelajaran kita dengan doa
seperti ini “semoga pembelajaran hari ini bisa bermanfaat buat masa depan kalian”,
“mudah-mudahan Allah SWT memberikan keberkahan terhadap ilmu yang baru saja kalian
pelajari” atau mungkin dengan doa-doa lain yang lebih khusus. Ternyata hal ini sejalan
dengan firman Allah “Berdoalah kamu kepadaKu niscaya Aku perkenankan doa
permohonan kamu” (QS: Al-Mukmin:60).
Jadi, kalau selama ini anak-anak kita membangkang, ribut dan tidak menyenangi materi
yang kita sampaikan, atau ilmu yang disampaikan oleh kita dirasakan tidak bermanfaat oleh
anak didik kita, boleh jadi karena kita kurang mendoakan mereka atas ilmu yang telah
dipelajarinya. Dengan dilantunkannya doa oleh guru buat murid, maka akan terjalin pola
pembelajaran dalam suasana takaful yaitu perasaan senasib dan sepenanggungan; semangat
saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran di dalam mencapai tujuan belajar. Dengan
melafadzkan do'a pada awal dan akhir pembelajaran akan tercipta check-and-balance dan
menjadikan do'a sebagai parameter kesuksesan pembelajaran kita.
Rosulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian,
janganlah kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian
mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah mendoakan
keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian mendoakan keburukan sebab jika waktu
doa kalian bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa, maka Allah akan mengabulkan
doa kalian (yang buruk itu).” (HR. Abu Dawud). Semoga kita termasuk guru-guru yang
senantiasa memanfaatkan akal dan mendoakan para siswanya untuk kemajuan
pembelajaran. Amiin
4. Pendidikan Karakter Yang Berhasil
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian
indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan
SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
a. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja.
b. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
c. Menunjukkan sikap percaya diri.
d. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
e. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi
dalam lingkup nasional.
f. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain
secara logis, kritis, dan kreatif.
g. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
h. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
i. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
j. Mendeskripsikan gejala alam dan social.
k. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
l. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
m. Menghargai karya seni dan budaya nasional.
n. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
o. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik.
p. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun.
q. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
Menghargai adanya perbedaan pendapat.
r. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
s. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana.
t. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah.
u. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan
nilai-nilai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa kategori yaitu:
1. Bangsa Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan
karakter melalui sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena
anak usia SMP sangat cocok untuk diberi pembelajaran tentang pendidikan karakter.
2. Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua (guru)
mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak
merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa
depannya.
3. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
4. Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa
depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Dan bila
pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar
bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.
B. Saran
Pemerintah harus selalu memantau atau mengawasi dunia pendidikan, karena dari dari
dunia pendidikan Negara bisa maju dan karena dunia pendidikan juga Negara bisa hancur, bila
pendidikan sudah disalah gunakan.
Selain mengajar, seorang guru atau orang tua juga harus mendo’akan anak atau
muridnya supaya menjadi lebih baik, bukan mendo’akan keburukan bagi anak didiknya.
Guru harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di
dalam menjalani masa-masa belajarnya, karena jika tidak semua pembelajaran yang di jalani
anak didik akan sia-sia. Semoga karya tulis dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
pembaca. Amiiin..
DAFTAR PUSTAKA
Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7
Degeng, S Nyoman,1989,Taksonomi Variabel , Jakarta, Depdikbud.
Hasan, S. Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya
Joni, T. Raka. 1996. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD.
Trianto, 2009, Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher.
PENDIDIKAN KARAKTER
Abstrak
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Berdasarkan penelitian di Harvard University
Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan
dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang
lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen
oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga
lemah sekali dalam penguasaan soft skill. Pendidikan karakter bagi semua orang, khususnya
bangsa Indonesia sendiri.
Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini yaitu Bagaimana
hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa dan upaya yang dilakukan serta
gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil
Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa
depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Dan bila pendidikan
karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini,
negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.
Kata kunciPendidikan, Karakter Bangsa
Recommended