View
244
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
sr
Citation preview
1
BAB 1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Ny. K, perempuan, 24 tahun, Ibu Rumah Tangga, pendidikan terakhir SD, agama Islam,
sudah menikah, alamat Way Kepayang Pesawaran, masuk rumah sakit tanggal 5 Agustus
2015.
II. RIWAYAT PSIKIATRI
ANAMNESIS PSIKIATRI (Allo-Autoanamnesis)
Autoanamnesis dilakukan di ruang Melati pada tanggal 7 Agustus 2015 diperoleh dari
Ny. K dan Alloanamnesis diperoleh dari Tn. U (ayah dan ibu pasien) via telepon.
A. Keluhan Utama
Mengamuk dan marah-marah.
B. Keluhan Tambahan
Sering melamun, sering menyendiri, mudah menangis, sering menyalahkan diri
sendiri, ingin bunuh diri, susah tidur, nafsu makan berkurang, merasa memiliki susuk,
dan merasa terangsang ketika menempel dengan benda-benda tertentu.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar oleh orangtuanya ke RSJ Daerah Propinsi Lampung pada tanggal 5
Agustus 2015 karena mengeluhkan ngamuk dan marah-marah. Pasien merasa sangat
bersalah terhadap dirinya terutama karena kondisi fisiknya sehingga pasien ingin
pindah dari lingkungan sekitarnya, banyak melamun, merasa kesepian, bersedih dan
menyendiri, bahkan pasien merasa hidupnya sia-sia dan putus asa sehingga timbul
rasa ingin bunuh diri, tapi pasien tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri
karena tahu hal tersebut adalah dosa dan tidak menyelesaikan masalah. Pasien juga
mengeluhkan susah tidur dan nafsu makan mulai berkurang. Pasien juga mengatakan
bahwa sering terangsang jika bersentuhan dengan benda tertentu seperti ayunan dan
1
2
buah labu. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan kembali sejak 1 minggu terakhir
dikarenakan pasien mulai merasa bosan minum obat dan merasa tidak sakit.
D. Riwayat Gangguan Dahulu
1. Riwayat gangguan psikiatri
4 tahun sebelumnya pasien pernah memiliki gangguan jiwa, ini yang kedua
kalinya dirawat di RSJ Daerah Propinsi Lampung. Pasien juga mengatakan rutin
mengambil obat bulanan.
2. Riwayat gangguan fisik
Riwayat trauma kepala disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat kencing
manis disangkal, riwayat infeksi dan penyakit berat lainnya disangkal, riwayat
kejang saat kecil disangkal.
3. Riwayat penggunaan zat psikoaktif / alkohol
Pasien tidak pernah merokok, minum-minuman keras dan alkohol.
E. Riwayat tumbuh kembang
1. Prenatal dan perinatal
Keluarga pasien hanya menyampaikan pasien lahir normal dan dibantu oleh bidan
namun tidak mengetahui berat badan lahir. Pasien lahir dalam keadaan sehat pada
tahun 1991.
2. Masa kanak awal (0-3 tahun)
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah terdapat masalah
perkembangan.
3. Masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pada masa ini, pasien tidak memiliki banyak teman karena sering diejek secara
fisik.
2
3
4. Masa kanak akhir dan remaja
Pasien melewati masa kanak dan remaja berbeda dari anak seusianya karena tidak
memiliki banyak teman.
F. Masa-masa dewasa
1. Riwayat pendidikan
Pasien lulusan SD, tidak pernah tinggal kelas selama pendidikan. Ia menempuh
SD dalam kurun waktu enam tahun dan tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
2. Riwayat pekerjaan
Pasien seorang ibu rumah tangga.
3. Riwayat Reproduksi
Menarche usia 15 tahun
4. Riwayat Pernikahan
Pasien telah menikah pada tahun 2010.
5. Riwayat Kehidupan Keluarga
Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pasien tinggal dengan
kedua orangtuanya sejak lahir. Pasien telah bercerai dari suaminya sejak 2013.
Sebelum masuk RSJ pasien hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, kurang aktif
dalam organisasi sosial apapun yang ada di lingkungannya. Pasien termasuk hidup
dalam status ekonomi cukup, kedua orang tua pasien bekerja sebagai petani.
Pasien juga tidak terlalu dekat dengan saudara ataupun anggota keluarga lain yang
tinggal serumah dengan pasien.
3
4
Tn U Ny. M
Ny.KTn S
Ket:
: Laki- laki
: Perempuan
: Laki- laki sudah meninggal
: Perempuan Sudah meninggal
Ny.K: Penderita dengan gangguan mental
: Sudah Terpisah
: Tinggal Serumah
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan gangguan jiwa, riwayat DM,
Hipertensi dan penyakit berat lainnya disangkal.
4
5
7. Aktivitas sosial
Pasien memiliki hubungan sosial yang kurang baik dengan lingkungan tempat
tinggal pasien mengaku bahwa sering menjadi bahan ejekan oleh masyarakat
lingkungan sekitarnya karena tampilan fisiknya. Pasien sering menyendiri dan
merasa kesepian di rumah karena pasien merasa orang tua dan keluarga juga
tidak pernah mendukung dan lebih sering memarahinya, sehingga pasien merasa
lebih baik pindah dari lingkunganya, pasien juga sering merasa lebih baik mati
daripada harus menghadapi lingkungan dan keluarganya. Pasien juga merasa
memiliki susuk yang tidak mau dilepas oleh pamannya sehingga pasien sering
malas untuk melakukan aktivitas apapun, sehingga pasien sering melamun.
8. Riwayat sosial ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja, sehari- hari hanya tinggal di rumah dan kadang-
kadang membantu orang tuanya.
9. Riwayat agama
Pasien beragama Islam.
F. Persepsi Pasien tentang dirinya
Pasien merasa dirinya tidak mengalami gangguan jiwa, pasien selalu merasa dirinya
jelek dan tidak menarik serta memiliki banyak kekurangan. Ia juga merasa orang lain
tidak mengerti tentang dirinya dan tidak menyukai dirinya.
III. STATUS PSIKIATRI
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan :
Seorang perempuan terlihat sesuai usianya memakai seragam RSJ Prov.
Lampung, penampilan cukup rapih, perawakan pendek, kurus, kulit kuning
langsat, rambut hitam tidak panjang dan rapi, kuku pendek dan kebersihan diri
baik
2. Kesadaran : compos mentis
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
5
6
Selama wawancara pasien duduk dengan tenang dan kontak mata dengan
pemeriksa baik, terlihat bisa terawa, tersenyum dan mampu menyampaikan apa
yang dirasakan.
4. Pembicaraan
Spontan, intonasi cukup, volume cukup, kualitas cukup, kuantitas cukup,
artikulasi cukup jelas.
5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
B. Suasana perasaan
1. Mood : Hipotimia
2. Afek : Terbatas mengarah ke tumpul
3. Keserasian : appropiate
C. Fungsi kognitif (Intelektual)
1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan keceradasan : sesuai dengan taraf
pendidikan pasien
2. Daya konsentrasi : baik
3. Daya Ingat : jangka segera, jangka pendek, jangka panjang baik
4. Orientasi : waktu, tempat, orang : baik
5. Pikiran abstrak : baik
D. Persepsi
1. Halusinasi : Tidak ditemukan
2. Ilusi : tidak ada
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada
E. Pikiran
1. Bentuk pikir :
Non-Realistik
2. Proses berpikir
Produktivitas : baik
Kontuinitas: koheren
Relevan : relevan
Hendaya berbahasa : tidak ada
6
7
3. Isi pikiran
Waham bersalah (-)
Ide suicide (+)
4. Daya Nilai
Norma sosial : baik
Uji daya nilai : baik
Penilaian realitas : baik
F. Tilikan
Tilikan derajat 1, pasien menyangkal dirinya sakit jiwa dan pasien tidak mengetahui
apa penyakitnya sehingga dibawa ke rumah sakit.
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Tanda-tanda vital:
TD = 130/80 mmHg
N = 80x/menit
P = 16x/menit
S = afebris
b. Pemeriksaan Fisik
Mata : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Paru : tidak ditemukan kelainan
Jantung : tidak ditemukan kelainan
Abdomen : tidak ditemukan kelainan
c. Status Neurologis
Sistem sensorik : dalam batas normal
Sistem motorik : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
d. Pemeriksaan Laboratorium
7
8
Tanggal 05 Agustus 2015
Hemoglobin : 13 g/dl
Eritrosit : 4,1 juta sel/mm
Leukosit : 7.500 sel/mm
Trombosit : 302.000 sel/mm
SGOT : 39 U/I
SGPT : 47 U/I
V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
Ny. K, perempuan, 24 tahun, Ibu Rumah Tangga, pendidikan terakhir SD, agama
Islam, sudah menikah, alamat Way Kepayang Pesawaran, masuk rumah sakit tanggal
5 Agustus 2015.
Seorang perempuan terlihat sesuai usianya memakai seragam RSJ Prov. Lampung,
penampilan cukup rapih, perawakan pendek, kurus, kulit kuning langsat, rambut
hitam tidak panjang dan rapi, kuku pendek dan kebersihan diri baik. Pasien diantar
oleh orangtuanya ke RSJ Daerah Propinsi Lampung pada tanggal 5 Agustus 2015
karena mengeluhkan ngamuk dan marah-marah. Pasien merasa sangat bersalah
terhadap dirinya terutama karena kondisi fisiknya sehingga pasien ingin pindah dari
lingkungan sekitarnya, banyak melamun, merasa kesepian, bersedih dan menyendiri,
bahkan pasien merasa hidupnya sia-sia dan putus asa sehingga timbul rasa ingin
bunuh diri, tapi pasien tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri karena tahu hal
tersebut adalah dosa dan tidak menyelesaikan masalah. Pasien juga mengeluhkan
susah tidur dan nafsu makan mulai berkurang. Pasien juga mengatakan bahwa sering
terangsang jika bersentuhan dengan benda tertentu seperti ayunan dan buah labu.
Keluhan-keluhan tersebut dirasakan kembali sejak 1 minggu terakhir dikarenakan
pasien mulai merasa bosan minum obat dan merasa tidak sakit.
4 tahun sebelumnya pasien pernah memiliki gangguan jiwa, ini yang kedua kalinya
dirawat di RSJ Daerah Propinsi Lampung. Pasien juga mengatakan rutin mengambil
obat bulanan. Riwayat trauma kepala disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat
kencing manis disangkal, riwayat infeksi dan penyakit berat lainnya disangkal,
8
9
riwayat kejang saat kecil disangkal. Pasien tidak pernah merokok, minum-minuman
keras dan alkohol.
Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pasien tinggal dengan kedua
orangtuanya sejak lahir. Pasien telah bercerai dari suaminya sejak 2013. Sebelum
masuk RSJ pasien hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, kurang aktif dalam
organisasi sosial apapun yang ada di lingkungannya. Pasien termasuk hidup dalam
status ekonomi cukup, kedua orang tua pasien bekerja sebagai petani. Pasien juga
tidak terlalu dekat dengan saudara ataupun anggota keluarga lain yang tinggal
serumah dengan pasien.
Riwayat prenatal dan perinatal pasien lahir dalam keadaan sehat Pada masa kanak
awal, pasien tidak pernah terdapat masalah perkembangan. Pada masa kanak
pertengahan hingga remaja pasien berbeda dari anak seusianya di mana pasien tidak
memiliki banyak teman karena sering diejek secara fisik. karena tidak memiliki
banyak teman. Pasien menempuh pendidikan SD selama enam tahun dan tidak
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Pasien memiliki hubungan sosial yang kurang baik dengan lingkungan tempat tinggal
pasien mengaku bahwa sering menjadi bahan ejekan oleh masyarakat lingkungan
sekitarnya karena tampilan fisiknya. Pasien sering menyendiri dan merasa kesepian di
rumah karena pasien merasa orang tua dan keluarga juga tidak pernah mendukung
dan lebih sering memarahinya, sehingga pasien merasa lebih baik pindah dari
lingkunganya, pasien juga sering merasa lebih baik mati daripada harus menghadapi
lingkungan dan keluarganya. Pasien juga merasa memiliki susuk yang tidak mau
dilepas oleh pamannya sehingga pasien sering malas untuk melakukan aktivitas
dengan sekitarnya dan sering melamun.
Dari status mental, kesadaran pasien compos mentis, sikap pasien selama wawancara
kooperatif. Selama wawancara pasien tenang. kontak mata dengan pemeriksa baik,
terlihat bisa terawa, tersenyum dan mampu menyampaikan apa yang dirasakan. Pasien
berbicara spontan, intonasi cukup, volume cukup, kualitas cukup, kuantitas cukup,
artikulasi cukup jelas. Mood pasien hipotimia dengan afek terbatas mengarah ke
tumpul dan serasi. Bentuk pikiran nonrealistik, arus pikir koheren, produktivitas baik,
9
10
dengan kontinuitas baik, dan tidak didapatkan hendaya berbahasa. Pada isi pikir
terdapat waham bizar, ide bunuh diri. Pada penilaian fungsi kognitif, daya konsentrasi
baik, orientasi waktu,tempat dan orang baik, daya ingat jangka panjang, daya ingat
jangka menengah baik, jangka pendek, dan jangka segera juga baik. Penilaian pasien
dalam norma sosial, uji daya nilai tidak terganggu. Pasien merasa dirinya tidak sakit
hanya orang lain saja yang tidak mengerti akan dirinya.
VI. FORMULASI DIAGNOSIS
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan perasaan atau mood, gangguan persepsi,
dan isi pikir yang bermakna serta menimbulkan suatu distress (penderitaan) dalam
kehidupan sosial pasien sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami
gangguan jiwa.
Berdasarkan data-data yang didapat memelalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
rekam medik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun
kelainan organik. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis
gangguan mental organik (F.0) dan penggunaan zat psikoaktif (F.1). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan pasien dan keluarga. Pada pasien
didapatkan gangguan afektif yaitu mood hipotimia, afek terbatas mengarah ke tumpul
dan kesesuaian appropriate. Keluhan disertai dengan perasaan sedih, murung, merasa
bersalah, hidup sia-sia, serta putus asa bahkan terlintas dipikirannya untuk mati, nafsu
makan berkurang. Dari gejala diatas didapatkan afek terbatas mengarah ke tumpul
yang menonjol disertai dua gejala depresif yang menonjol yaitu pasien tidak mampu
meneruskan kegiatan sosial, harga diri serta kepercayaan diri berkurang, gagasan
tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan untuk membahayakan diri, tidur
terganggu, dan nafsu makan berkurang yang terjadi lebih dari 2 minggu. Pada pasien
juga ditemukan gejala khas skizofrenia yaitu “delution of influence” di mana pasien
merasa dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar berupa susuk dan “delution
of perception” berupa anggapan suatu benda bisa membuatnya terangsang a sehingga
didapatkan aksis I diagnosis skizoafektif tipe depresi (F.25.1).
Aksis II tidak ada diagnosis dikarenakan pada autoanamnesis tidak didapatkan
gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Pasien menyelesaikan
10
11
pendidikan SD nya dengan baik. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental
(F.70).
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Maka,
pada aksis III tidak didapatkan gangguan medis umum.
Aksis IV stresor masalah ada pada masalah lingkungan sosial.
Aksis V GAF 60-51 pada saat pemeriksaan. Penilaian terhadap kemampuan pasien
untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assessment of
Functioning). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 60-51 = gejala sedang
(moderate) disabilitas sedang.
VII. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I : skizoafektif tipe depresif (F25.1), DD : depresif berat dengan
gejala psikotik (F32.3)
Aksis II : tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada diagnosis
Aksis IV : masalah lingkungan sosial
Aksis V : GAF60-51 (saat ini)
VIII. DAFTAR PROBLEM
a. Organobiologik: tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi
diduga terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter.
b. Psikologik : ditemukan gangguan afektif berupa mood hipotimia dan afek
terbatas mengarah tumpul, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, ide
bunuh diri, delution of influence and perception.
c. Sosiologik : ditemukan kesulitan dalam berhubungan sosial dengan lebih suka
meyendiri sehingga dibutuhkan sosioterapi.
IX. PROGNOSIS
Faktor yang meringankan :
1. Tidak ada riwayat keluarga
Faktor yang memperberat:
1. Tidak ada dukungan lingkungan
2. Serangan berulang
3. Kesadaran akan penyakitnya kurang
11
12
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad malam
X. RENCANA TERAPI
a. Psikofarmaka :
Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Sertraline 1 x 25 mg (pagi)
Golongan atipikal
Risperidon 2 x 1 mg selama 5 hari, dipertimbangkan peningkatan dosis berdasarkan
tanda dan gejala yang ditemukan
b. Psikoterapi Supportif
a. Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan dan
efek samping pengobatan
b. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol.
c. Membantu pasien untuk menerima kenyataan dan menghadapinya.
d. Mendorong pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari
secara bertahap.
e. Menggali kemampuan yang ada pada diri pasien agar bisa dikembangkan.
c. Psikoedukasi
Kepada keluarga :
a. Memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
gangguan yang dialami pasien.
b. Menyarankan kepada keluarga pasien agar lebih berpartisipasi dalam
pengobatan pasien secara teratur seperti memberikan suasana/lingkungan
yang kondusif bagi penyembuhan dan pemeliharaan pasien, mengingatkan
pasien agar teratur minum obat, serta mengantar pasien saat pasien kontrol
12
13
BAB 2
PEMBAHASAN
a. Apakah diagnosis sudah tepat?
Menurut kami diagnosis pada kasus ini sudah tepat karena:
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan suasana perasaan serta gangguan persepsi
dan isi pikir sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan jiwa.
AKSIS I
Berdasarkan data-data yang didapat memelalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan rekam
medik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun
kelainan organik. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis
gangguan mental organik (F.0) dan penggunaan zat psikoaktif (F.1). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan pasien dan keluarga. Pada pasien didapatkan
gangguan afektif yaitu mood hipotimia, afek terbatas mengarah ke tumpul dan
kesesuaian appropriate. Keluhan disertai dengan perasaan sedih, murung, merasa
bersalah, hidup sia-sia, serta putus asa bahkan terlintas dipikirannya untuk mati, nafsu
makan berkurang. Dari gejala diatas didapatkan afek terbatas mengarah ke tumpul yang
menonjol disertai dua gejala depresif yang menonjol yaitu pasien tidak mampu
meneruskan kegiatan sosial, harga diri serta kepercayaan diri berkurang, gagasan
tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan untuk membahayakan diri, tidur
terganggu, dan nafsu makan berkurang yang terjadi lebih dari 2 minggu. Pada pasien
juga ditemukan gejala khas skizofrenia yaitu “delution of influence” di mana pasien
merasa dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar berupa susuk dan “delution of
perception” berupa anggapan suatu benda bisa membuatnya terangsang a sehingga
didapatkan aksis I diagnosis skizoafektif tipe depresi (F.25.1).
AKSIS II
Aksis II tidak ada diagnosis dikarenakan pada autoanamnesis tidak didapatkan
gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Pasien menyelesaikan
pendidikan SD dengan baik. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental
(F.70).
13
14
AKSIS III
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Dari
pemeriksaan laboratorium pasien juga tidak ada yang bermasalah pada aksis III tidak
ada diagnosis.
AKSIS IV
Pasien memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Pasien merasakan ketidaknyamanan di lingkungan sosialnya karena pasien sering
mendapatkan ejekan fisik dan intimidasi dari orang-orang sekitarnya sehingga aksis IV
stresor masalah lingkungan sosial.
AKSIS V
GAF60-51 pada saat pemeriksaan. Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk
berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assessment of
Functioning). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 60-51 = gejala sedang
(moderate) disabilitas sedang. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan pemeriksaan
kemampuan pasien secara umum cukup baik ditunjukkan dengan kontak mata, sikap,
serta pasien mampu berkomunikasi dengan cukup kooperatif.
b. Apakah rencana terapi sudah tepat?
Rencana terapi pada kasus ini sudah tepat. Berdasarkan buku ajar psikiatri FK UI,
pengobatan depresi adalah dengan farmakoterapi serta psikoterapi untuk menurunkan
banyaknya stressor dalam hidup pasien. Farmakoterapi yang dipilih untuk pasien ini
adalah Sertraline yang merupakan obat antidepresi golongan SSRI (Selective
Serotonoin Reuptake Inhibitors) dan obat antipsikotik golongan atipikal . Sertraline
dipilih karena obat ini memiliki efek kardiologik yang minimal dibandingkan obat
antidepresi golongan yang lain. Selain itu golongan SSRI juga memiliki efek samping
lain yang minimal, spektrum antidepresi yang luas, dengan gejala putus obat sangat
minimal, serta lethal dose yang tinggi (> 6000mg) sehingga relatif aman untuk pasien
ini yang berobat jalan.
Risperidon 2 x 1 mg per hari selama lima hari. Lalu dievalusi setiap dua minggu
mengenai kondisi pasien, naikan sampai dosis optimal, lalu dipertahankan sampai 8-12
minggu lalu diturunkan tiap dua minggu perlahan lahan selanjutnya dipertahankan
sampai dengan dua tahun. Alasan penggunaan risperidon, karena pada pasien ini
14
15
pengobatan yang pertama saat masuk RSJ pertama kali tidak bisa disebutkan oleh
pasien dan keluarga sehingga dipilih obat antipsikotik dengan efek samping yang kecil
dan dimulai dengan dosis paling kecil. Risperidon memiliki efek samping yang kecil
untuk terjadinya sindrom ekstrapiramidal dan efek sedatif, juga tidak membuat
perubahan fungsi kognitif pada pasien, dan obat ini juga mudah didapatkan.
Selain psikofarmaka, psikoterapi dan edukasi juga sangat diperlukan. Menurut
penelitian pengobatan hanya dengan obat tidak cukup untuk kesembuhan pasien, tetapi
juga harus diiringi oleh lingkungan keluarga yang mendukung dan sikap pasien
terhadap penyakit yang diderita. Pada pasien ini pengawasan dan perhatian sangat
kurang dari keluarga, sehingga pasien mengalami keluhan ini, maka itu harus selalu
diberikan edukasi kepada keluarga tentang pentingnya dukungan dari keluarga serta
perlu pengawasan pengobatan terhadap pasien jika kualitas hidup pasien ingin kembali
baik lagi.
c. Apakah prognosis sudah tepat?
Ada beberapa pertimbangan yang memperngaruhi prognosis pasien:
Faktor yang meringankan :
Tidak ada riwayat keluarga (keluarga pasien tidak ada yang mengalami gangguan
yang sama)
Faktor yang memperberat:
Tidak ada dukungan lingkungan
Serangan berulang
Kesadaran akan penyakitnya kurang
Pada pasien ini tidak didapatkan gangguan medis umum yang dapat mengancam
nyawanya maka prognosis quo ad vitam yaitu ad bonam.
Pada prognosis quo ad functionam yaitu dubia ad bonam dikarenakan pasien ini
merupakan pasien yang sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama dengan
respon pengobatan yang baik. Keluhan pada pasien ini berulang dikarenakan putus
obat, maka jika pengobatan dilanjutkan memungkinkan fungsi kembali membaik.
Pada prognosis quo ad sanationam yaitu dubia ad malam dikarenakan stresor pada
pasien berasal dari masalah lingkungan sosial. Selain itu, gangguan pasien ini
termasuk kronik karena sudah lebih dari 4 tahun. Hal ini kemungkinan akan
memperberat kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
15
20112010
16
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
16
lahir 20 thn 24 thn22 thn
1991 2013 Juli 2015 - sekarang
Keluhan tahun 2011 kembali muncul
Pasien tidak rutin minum obat
Menikah
Suka menyendiri, melamun di rumah
Marah-marah
Perilaku kacau
Merasa tidak berguna dan ingin mati
Susah tidur
Putus asa
19 thn
bercerai
GAF40-31 GAF70-61 GAF50-41 GAF60-51
17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Gangguan Skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan
afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat
bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif
terbagi dua yaitu, tipe manik dan tipe depresif.
Sejarah
Di tahun 1913 George H. Kirby dan pada tahun 1921 August Hoch keduanya
menggambarkan pasien dengan ciri campuran skizofrenia dan gangguan afektif (mood).
Karena pasiennya tidak mengalami perjalanan demensia prekoks yang memburuk, Kirby dan
Hoch mengklasifikasikan mereka di dalam kelompok psikosis manic-depresif Emil
Kraepelin. Di tahun 1933 Jacob Kasanin memperkenalkan istilah “gangguan skizoafektif”
untuk suatu gangguan dengan gejala skizofrenik dan gejala gangguan mood yang bermakna.
Pasien dengan gangguan ini juga ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba, seringkali pada
masa remajanya. Pasien cenderung memiliki tingkat fungsi premorbid yang baik, dan
seringkali suatu stressor yang spesifik mendahului onset gejala. Riwayat keluarga pasien
sering kali terdapat suatu gangguan mood. Kasanin percaya bahwa pasien memiliki suatu
jenis skizofrenia. Dari 1933 sampai kira-kira tahun 1970, pasien yang gejalanya mirip dengan
gejala pasien-pasien Kasanin secara bervariasi diklarifikasi menderita gangguan skizoafektif,
skizofrenia atipikal, skizofrenia dalam remisi, dan psikosis sikloid.4
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang dari 1 persen,
kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Namun, angka tersebut adalah angka
perkiraan, karena di dalam praktik klinis diagnosis gangguan skizoafektif sering kali
digunakan jika klinisi tidak yakin akan diagnosis. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih
rendah pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita yang menikah; usia onset
untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki seperti juga pada skizofrenia.
Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan
memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata.
17
18
Etiologi
Sulit untuk menentukan penyebab penyakit yang telah berubah begitu banyak dari
waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa penyebab gangguan skizoafektif mungkin mirip
dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu teori etiologi mengenai gangguan skizoafektif
juga mencakup kausa genetik dan lingkungan.
Penyebab gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, tetapi empat model
konseptual telah diajukan.
1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe
gangguan mood.
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari skizofrenia
dan gangguan mood.
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang berbeda,
tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan mood.
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok
gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan pertama. Sebagian
besar penelitian telah menganggap pasien dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu
kelompok heterogen.
Tanda dan Gejala
Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala gangguan
mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit yang sama, baik
secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik dan
manik menonjol pada episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif
tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.2
Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam
berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu
manik maupun depresif.2,3
Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
(PPDGJ-III):3 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
18
19
a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi pikirannya
tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain).
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
19
20
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu
perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan
beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Diagnosis
Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik skizofrenia maupun
gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif
mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi
lain.
Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) adalah bahwa pasien
telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif berat atau episode manik yang
bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik untuk fase aktif dari skizofrenia.
Disamping itu, pasien harus memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua
minggu tanpa adanya gejala gangguan mood yang menonjol. Gejala gangguan mood juga
harus ditemukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan residual. Pada intinya,
kriteria dituliskan untuk membantu klinisi menghindari mendiagnosis suatu gangguan mood
dengan ciri psikotik sebagai suatu gangguan skizoafektif.
20
21
Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)
Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif
A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode
campuran dengan
gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.
Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi.
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit.
D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau
suatu manik
suatu episode campuran dan episode depresif berat)
Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.
Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed. 4.
DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita
gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang pasien
diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe manik atau
suatu episode campuran dan episode depresif berat. Selain itu, pasien diklasifikasikan
menderita tipe depresif.
21
22
Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah karena cukup
sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-kondisi lain dengan
gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau membentuk sebagian penyakit
skizofrenik yang sudah ada, atau di mana gejala-gejala itu berada bersama-sama atau secara
bergantian dengan gangguan-gangguan waham menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam
kategori yang sesuai dalam F20-F29. Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana
perasaan (mood) pada gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis
gangguan skizoafektif.
Tabel 2. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan
afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously),
atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode
penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik
atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.
Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif
berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau
campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua
episode manik atau depresif (F30-F33)
Diagnosis Banding
Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan
mood perlu dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan skizoafektif. Pasien yang
diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan phencyclidine (PCP), dan beberapa
pasien dengan epilepsi lobus temporalis secara khusus kemungkinan datang dengan gejala
22
23
skizofrenik dan gangguan mood yang bersama-sama. Diagnosis banding psikiatrik juga
termasuk semua kemungkinan yang biasanya dipertimbangkan untuk skizofrenia dan
gangguan mood. Di dalam praktik klinis, psikosis pada saat datang mungkin mengganggu
deteksi gejala gangguan mood pada masa tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi
boleh menunda diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut telah
terkendali.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis
di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan
gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, memiliki
prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki
prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut telah
didukung oleh beberapa penelitian yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun
setelah episode yang ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga
perjalanan gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe bipolar,
mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar I dan
bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak ada faktor
pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya gejala defisit atau gejala negatif; onset yang
awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia.
Lawan dari masing-masing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik.
Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan
perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan jenis
kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan bahwa perilaku
bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan skizoafektif daripada laki-laki
dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan
skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.
23
24
Terapi
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah
sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk
gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan dan antimanik diikuti jika
semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk
pengendalian jangka pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan
gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan
gangguan skizoafektif, tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine
(Tegretol), valproate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja
tidak efektif. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan
antidepresan dan terapi elektrokonvulsif (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif
terhadap terapi antidepresan.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Psikiatri. 2013. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis edisi 7 jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Maramis W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Maslim, Rusdi. 2007. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran jiwa FK Unika Atmajaya.
Maslim, Rusdi. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropika Edisi Ketiga. Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya : Jakarta.
Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
25
Recommended