View
49
Download
3
Category
Preview:
DESCRIPTION
kuliah
Citation preview
DESENTRALISASI :
LEGITIMASI EKSPLOITASI KEKAYAAN ALAM DI
DAERAH ?
Paramita Iswari1
Anta tuo melo, masakke mairi’marudindin sola nasang
do te kuli’na padang tiampa’ selengpadang tumbu-tumbukan anna Sali
papan te tondok2
artinya:Hidup yang layak dan aman
Di atas tanah yang bergunung-gunungdengan perlindungan terhadap rakyat,menuju kedamaian dan kesejahteraan.
Sebagaimana diketahui, dalam kurun waktu empat tahun
belakangan ini Negara Kesatuan Republik Indonesia
melakukan reorganisasi hubungan kekuasaan antara
Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah. 1 Koordinator pada Sekretariat Antar Wilayah KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria). KARSA
adalah adalah suatu perkumpulan terbatas yang beranggotakan orang-orang yang memiliki konsen ke isu pembaruan desa dan agraria. Sampai saat ini KARSA memfasilitasi proses belajar bersama di Sanggau, Garut dan Toraja. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi kami di Dusun Jambon,RT 05 RW 23, Desa Trihanggo, Gamping, Sleman 55291, Yogyakarta, telp 0274 – 7484045, bsbb@indosat.net.id atau di http://www.karsa.or.id
2 Ungkapan dalam bahasa Gora Tongkon.
Munculnya agenda reorganisasi ini dipicu oleh lahirnya
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian dilanjutkan
dengan pemberlakuan UU No.22/1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Satu hubungan kekuasaan yang direorganisasi melalui kedua
UU tersebut adalah desentralisasi3, yang berarti penyerahan
kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan
daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan ‘jarak’ antara
rakyat dengan pembuat kebijakan menjadi lebih dekat baik
3 Dari sudut konsep desentralisasi adalah konsep yang mengakomodir pandangan Dunia Ketiga. Karena politik desentralisasi dalam konteks isu-isu global merupakan bagian dari paket dukungan terhadap proses-proses demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga. Jadi politik desentralisasi tidak dapat dibaca sebagai munculnya kesadaran baru dari pemerintah pusat atas ‘sesat pikir’nya di masa lalu. Namun, pelaksanaan desentralisasi lebih dipahami sebagai tanggapan atas desakan eksternal akibat bangkrutnya perekonomian nasional dan beban utang luar negeri yang melambung tinggi. Sumber : Kertas Posisi YAPPIKA. Prasyarat Pelaksanaan Otonomi Daerah bagi Keselamatan Rakyat dan Keadilan Lingkungan Hidup. Dalam Fauzi, Noer dkk. Hal 19-20.
secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan
hajat hidup rakyat. Berkaitan dengan pengelolaan kekayaan
alam4, dengan desentralisasi diharapkan kesalahan-kesalahan
yang terjadi di masa lalu5 tidak akan terulang karena
kebijakan pemerintah daerah akan semakin mudah dikontrol
bahkan dicegah karena dekatnya jarak antara rakyat dengan
pembuat kebijakan.
Bagaimana realisasinya di lapangan ? Apakah reorganisasi
hubungan kekuasaan ini dapat memulihkan kerusakan-
kerusakan sosial dan ekologis6 yang diderita oleh berbagai
4 Penulis sengaja menggunakan istilah ‘kekayaan alam’ dan menghindari penggunaan kata ‘sumberdaya alam’, dengan alasan bahwa istilah ‘sumberdaya’ atau resources berkonotasi bahwa alam didudukan sederajat dengan alat-alat produksi lainnya seperti uang, buruh dan teknologi. Konsep ini.merupakan cerminan paradigma kapitalis karena mengandung makna eksploitasi yang bertujuan memaksimalkan keuntungan.
5 Rejim orde baru dengan konsep ‘pembangunan’-nya telah menimbulkan masalah yang sangat genting bagi komunitas, yakni menurunnya kemampuan lokal untuk menjaga keselamatan rakyat, kesinambungan layanan alam dan produktivitas rakyat. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana agar arah perubahan benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat. Persyaratan sosial dan ekologis dapat dikemukakan sebagai keadaan kehidupan masyarakat dan keadaan ekosistem setempat yang harus terpenuhi atau terjadi/berlangsung di sepanjang proses perubahan. Persyaratan yang dimaksud di sini mencakup tiga urusan utama, yakni keselamatan rakyat, kelangsungan pelayanan alam dan peningkatan produktivitas rakyat. Lebih lengkapnya lihat Sangkoyo, Hendro. Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah dalam Fauzi, Noer, dkk.
6 Pada saat ini tidak ada satu pun wilayah yang bisa menyatakan bebas dari kerusakan sosial atau ekologis setelah ditimpa proses pembangunan selama lebih dari 30 tahun. Contoh kerusakan sosial misalnya adalah penyitaan tanah garapan rakyat dengan alas an lemahnya status hokum dari hak atau
rakyat? Meski tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini secara langsung, tulisan berikut coba mengemukakan
pengalaman empat tahun belakangan ini sebagai penunjuk
arah pada jawab-jawaban yang sebenarnya.
Substansi yang Terkandung Dalam Kebijakan yang Menjadi
Acuan Dasar
Kewenangan pengelolaan kekayaan alam oleh Pemerintah
Pusat dan Daerah diatur dalam Pasal 7 – 13 UU No.22 Th.1999
dan Pasal 6 UU No.25 Th.1999. Secara implisit yang dipilih
sebagai daerah otonom oleh kedua UU tersebut adalah daerah
kabupaten/kota.
Pasal 7 UU No.22 Th.1999, menyebutkan :
Ayat 1 :
kuasa atas tanah ; hilangnya pengetahuan tentang fungsi-fungsi ekologis dari tempat-tempat penting di wilayah desa seperti mata air dan hutan larangan dari ingatan rakyat desa ; hilangnya ruang politik rakyat desa untuk menentukan tata kuasa dan tata guna sumber-sumber penghidupan di desanya sendiri. Contoh kerusakan ekologis misalnya adalah terancam punahnya sumber air utama dari perbukitan dan mengeringnya sungai karena habis tandasnya penutup tanah alami di wilayah hulu ; peracunan tanah karena perluasan pasar insdustri racun pertanian di pusat-pusat produksi tani. Sumber : ibid. hal 79
Kewenangan daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
dalam kewenangan bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama dan kewenangan bidang lain
Ayat 2 :
Kewenangan di bidang lain, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana pertimbangan keuangan, sistem
administrasi negara, dan lembaga
pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi yang strategis, konservasi dan
standarisasi nasional
Dalam Pasal 7 ayat 1 ini, jelas ditunjukkan bahwa Pemerintah
Pusat hanya mengatur 5 hal utama yaitu politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta
agama. Namun, pada ayat 2, kewenangan ini diperluas ke
bidang lain, tanpa ada kejelasan sehingga dapat ditafsirkan
seluas mungkin.
Sementara, pasal 10 UU No.22 Th.1999, ayat 1 menyebutkan :
Daerah berwenang mengelola sumber daya
alam nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggungjawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Ditegaskan kembali dalam pasal ini bahwa daerah juga
berwenang mengelola kekayaan alam dan bertanggungjawab
memelihara kelestarian lingkungan. Hal ini diperkuat dengan
adanya pasal 11 UU No.22 Th.1999 yang menyebutkan 10
(sepuluh) kewenangan wajib bagi daerah kabupaten/kota
untuk dapat melaksanakan : bidang pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Namun, UU No 25 Th.1999 yang berperan sebagai pilar
institusional utama bagi desentralisasi tidak tegas mengatur
kewenangan daerah untuk mengelola kekayaan alamnya.
Seperti halnya untuk persoalan konflik agraria. Meskipun era
desentralisasi berarti penyerahan kewenangan kepada
pemerintahan daerah, namun khusus untuk konflik agraria,
pemerintahan daerah tidak memiliki kewenangan
memutuskan perizinan yang telah diberikan oleh pemerintah
pusat sampai berakhirnya perizinan tersebut. Seperti
disebutkan pada pasal 8 UU No.25 Th.1999 yang berbunyi :
Perizinan dan perjanjian kerja sama
Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan
kewenangan Pemerintah sebelum
Tabel 1Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah
Pusat Propinsi1. Pertanian 1. Pertanian2. Kelautan 2. Kelautan3. Pertambangan dan Energi 3. Pertambangan dan Energi4. Kehutanan dan Perkebunan 4. Kehutanan dan Perkebunan5. Perindustrian dan Perdagangan 5. Perindustrian dan Perdagangan6. Perkoperasian 6. Perkoperasian7. Penanaman Modal 7. Penanaman Modal8. Kepariwisataan9. Ketenagakerjaan 8. Ketenagakerjaan10. Kesehatan 9. Kesehatan11. Pendidikan dan Kebudayaan 10. Pendidikan dan Kebudayaan12. Sosial 11. Sosial13. Penataan Ruang 12. Penataan Ruang14. Pertanahan15. Permukiman 13. Permukiman16. Pekerjaan Umum 14. Pekerjaan Umum17. perhubungan 15. perhubungan18. Lingkungan Hidup 16. Lingkungan Hidup19. Politik Dalam Negeri dan Adm Publik 17. Politik Dalam Negeri dan Adm Publik20. Pengembangan Otonomi Daerah 18. Pengembangan Otonomi Daerah21. Perimbangan Keuangan 19. Perimbangan Keuangan22. Kependudukan23. Olahrags24. Hukum dan perundang-undangan 20. Hukum dan perundang-undangan25 PeneranganSumber : Pasal 2 ayat 3 dan Pasal 3 ayat 5 PP No. 25 Th. 2000
ditetapkannyaPeraturan Pemerintah ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya
perizinan dan perjanjian kerja sama
Bahkan, dalam PP No.25 Th.2000 yang pada awalnya
ditujukan untuk memperinci kewenangan Pusat dan Daerah
ini, justru
membuat Pasal
7 ayat 1 UU
No.22 Th.1999
menjadi rancu.
Karena dalam
pasal 7 ayat 1,
seperti dapat
dilihat di atas,
wewenang Pemerintah Pusat dialokasikan hanya pada lima
areal utama. Ironisnya, dalam PP 25 wewenang ini merambah
hampir ke seluruh sektor kehidupan. seperti tergambar dalam
tabel 1. Dalam PP ini diatur wewenang pemerintah pusat dan
propinsi sebagai daerah otonom. Dari sini kabupaten/kota
terpaksa menerjemahkan sendiri batas-batas kewenangannya
Jadi ketidakkonsistenan telah tergambarkan sejak tingkat UU.
Kemudian tampak lebih nyata lagi ketidak sesuaiannya
dengan ‘roh’ desentralisasi ketika melihat peraturan
perundangan di bawahnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa
pada level implementasi akan menimbulkan kebingungan yang
pada akhirnya berakibat pada kerancuan.
Seharusnya agenda desentralisasi yang dimaksudkan
menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan pusat
ke pemerintahan daerah, harus disertai dengan pengaturan
yang jelas mengenai kewenangan yang berhubungan dengan
pengelolaan kekayaan alam ini. Supaya tidak terjadi tarik-
ulur antara Daerah dan Pusat, karena perbedaan persepsi
terhadap wewenangnya masing-masing. Ketidakjelasan
pengaturan itu membuat pemerintahan dinilai tidak mampu
memperbaiki kondisi sosial dan ekologis rakyat kebanyakan.
Struktur dan Perilaku Politik di Daerah
Tidak hanya sekedar pembagian ‘jatah’ mana wewenang
pemerintah pusat dan daerah, masalah lain yang dahulu juga
sudah diperkirakan pada awal pelaksanaan otonomi daerah,
adalah kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah untuk
mengelola ‘jatah’-nya demi pemulihan kondisi sosial dan
ekologis rakyat.
Berdasarkan pengalaman lima tahun terakhir ini tergambar
masih belum ada ‘niat’ yang sungguh-sungguh baik dari
badan eksekutif maupun legislatif di daerah untuk mengelola
kekayaan alam demi kemakmuran hajat hidup rakyat7. Dalam
hal ini political will di daerah, patut dipertanyakan. Karena
7 Bagaimana memiliki ‘niat’ baik, jika secara personal anggota badan eksekutif dan legislatif memiliki kepentingan dalam industri ekstraktif di daerahnya. Contoh kasus di Taman Nasional Tanjung Puting - Kalimantan Tengah, tokoh yang menjadi dalang illegal logging adalah anggota legislatife. Atau masih di wilayah yang sama, dimana Bupati memiliki saham besar dalam industri ekstraktif yang mengeksploitasi kekayaan alam di wilayahnya.
Tabel 2 Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan Sumber Daya Alam
BidangPusat(%)
Daerah(%)
Minyak 85 15PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain
366
Gas Alam 70 30PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain
61212
Pertambangan Umum
20 80Iuran TetapPropinsiKab/Kota Penghasil
1664
Iuran eksplorasi & eksploitasi (royalti)PropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain
633232
Hutan 20 80IHPHPropinsiKab/Kota Penghasil
1664
Provisi SDHPropinsiKab/Kota PenghasilKab/Kota Lain
163232
Alokasi Umum 75 25ProvinsiDaerah Kab/Kota
2.522.5
ReboisasiPerikananPBBBPHTB
60201020
40809080
Sumber : Pasal 6 UU No.25 Th 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dengan desentralisasi, peluang daerah untuk mengelola dan
mendapatkan keuntungan dari hasil eksploitasi kekayaan
alamnya lebih besar dari
sebelumnya (lihat tabel 2).
Seharusnya dibayangkan
bahwa dengan pelimpahan
wewenang ke daerah, maka
daerah akan mengelola
potensi kekayaan alamnya
dengan sebaik-baiknya demi
rakyat di daerah yang
bersangkutan. Namun, yang
terjadi adalah “segala
penyakit yang tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke
pemerintahan daerah”. Sama seperti masa sewaktu
sentralisasi, semangat terbesarnya adalah semangat meng-
eksploitasi8. Kekayaan alam dipandang sebagai sumber untuk
8 Sebagai ilustrasi, kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian tahun 2000 meningkat tajam menjadi 8.575.970 ton. Pada akhir tahun 2003 kapasitas produksi industri
meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) setinggi-
tingginya demi jalannya roda pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya. Contoh kasus di Kabupaten
Sanggau – Kalimantan Barat, konteks umum Sanggau
memang diisi oleh berbagai krisis sosial-ekologis sebagai
konsekuensi dari perluasan praktek ekstraksi dan eksploitasi
sumber daya alam9 yang difasilitasi oleh pemerintah pusat dan
daerah dan dijalankan oleh badan usaha skala raksasa sejak
rejim orde baru sampai saat ini. Jadi, jangan pernah
membayangkan bahwa kekayaan alam akan dikelola sebaik-
baiknya demi rakyat. Karena untuk mendiskusikan petani
atau masyarakat adat ternyata dianggap tidak terlalu penting
bagi penguasa dan pejabat negara --kecuali untuk kampanye
dalam rangka memperebutkan kekuasaan-- di republik ini.
kertas meningkat menjadi 11.064.915 ton. Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.972.100 ton. Pada akhir tahun 2003 kapasitas produksi industri pulp mencapai 7.102.900 ton. Ditinjau dari perspektif ekonomi, pesatnya pertumbuhan kapasitas produksi industri pulp dan kertas ini merupakan hal strategis, karena di samping menciptakan lapangan kerja baru juga mendatangkan devisa bagi negara. Namun yang sering dilupakan orang, asal-usul dari bahan baku pembuat kertas ini diantaranya adalah kayu bulat yang 85% berasal dari hutan alam. Akibatnya, terjadi over eksploitasi untuk hutan alam. Sumber : Industri Pulp dan Kertas : Ancaman terhadap Hutan Alam Indonesia dalam Lembar Informasi Forest Watch Indonesia
9 Berdasarkan catatan dari LBBT dan PPSHK ditemukan lebih dari 20 kasus yang terkait dengan HPH dan perkebunan besar terutama kelapa sawit yang mengakibatkan konflik dan marginalisasi masyarakat adat di Kabupaten Sanggau.
Selain itu, struktur dan perilaku politik di daerah juga
menyebabkan berbagai penguasaan, pemanfaatan dan
pengelolaan kekayaan alam di daerah tidak dapat
terselesaikan karena belum memiliki dasar hukum dan
mekanisme penyelesaian konflik. Hal ini membahayakan,
karena dampaknya selain akan mempercepat pengurasan
kekayaan alam juga akan menimbulkan konflik baik vertikal
(antara industri ekstraktif dengan rakyat) maupun horisontal
(antara sesama rakyat). Misalnya kasus Pertambangan Emas
Tanpa Ijin (PETI) di DAS Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Karena ketiadaan instrumen hukum untuk menyelesaikannya,
maka saat ini kasus tersebut berkembang menjadi konflik
antara suku Dayak Punan Oheng Kereho dengan penambang
yang merupakan pendatang (berasal dari suku lain di luar
Ketemenggungan mereka dan etnis lain).
Kasus mengenai ketidakmampuan dan ketidaksiapan
Pemerintah Daerah juga tercermin pada Kasus Peraturan
Daerah mengenai Cendana di Nusa Tenggara Timur. Perda ini
--konon-- dilahirkan untuk melindungi kelestarian Kayu
Cendana. Namun, implikasi dari penerapan Perda ini justru
bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Karena, di dalam
Perda ini terkandung aturan dimana setiap warga yang
memiliki Cendana wajib melaporkan keberadaannya,
sehingga Pemda setempat dapat menarik pajak atas
kepemilikan cendana tersebut (tanpa peduli apakah cendana
tersebut memang sengaja ditanam maupun tumbuh dengan
sendirinya di lahan milik warga). Sehingga, yang terjadi
adalah banyak warga yang kemudian merasa keberatan dan
kemudian memusnahkan cendana yang tumbuh di lahan
miliknya, untuk menghindari kewajiban membayar pajak.10
10 Hoeroepoetri, Arimbi. 2001. Tak Ada Tempat Bagi Rakyat. YLBHI, E-LAW Indonesia, RACA Institute dan Kreasi Wacana, Jakarta. Hal 15.
Cerita di atas muncul karena kebijakan dilahirkan tanpa
partisipasi rakyat sama sekali. Padahal, menurut UU No. 22
Th.1999, seluruh kebijakan seharusnya disusun berdasarkan
aspirasi dan partisipasi masyarakat luas (Penjelasan Angka 9,
butir 1). Ini sudah umum terjadi. Dalam beberapa kasus-kasus
legislasi perda tentang desa misalnya. Perda yang dikawal oleh
ornop tersebut pada akhirnya berakhir dengan kekecewaan
bahkan kemarahan rakyat. Di Sanggau, masyarakat dan
ornop merasa dikhianati, karena kesepakatan-kesepakatan
yang telah dicapai sebelumnya terwujud lain dalam Perda
yang kemudian diundangkan, sehingga pemerintah daerah
dan DPRD setempat dituntut mendapat sangsi adat11. Bahkan
di Toraja, masukan untuk revisi Perda dari masyarakat adat
yang mengorganisir dirinya melalui Aliansi Masyarakat Adat
Toraya, dimintakan 1 hari setelah revisi Perda tersebut
disahkan. Ini kenyataan yang benar-benar memprihatinkan!
11 Lihat Harian Umum Kompas, 26 Agustus 2003.
Peran Rakyat dan Organisasi-organisasi Non Pemerintah di
Daerah
Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk
mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Dari sini ruang
partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan
dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat
dengan pembuat kebijakan seharusnya, kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah
semakin besar.
Namun, pengalaman empat tahun belakangan ini
menunjukkan bahwa kontrol baik dari rakyat maupun
organisasi non pemerintah di daerah terhadap perangkat
perundang-undangan yang muncul sebagai penjabaran UU
diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat mungkin, peraturan-
peraturan perundangan ini justru malah bertolak belakang
dari jiwa UU di atasnya tersebut.
Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan
pengorganisasian serta pendampingan rakyat telah dilakukan
baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri. Refleksi
beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas
dan kualitas pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam
memulihkan kerusakan sosial dan ekologis ini masih relatif
lemah12. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif
masih tidak lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang
digunakan juga tidak dipahami secara kritis. Akibatnya,
seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah
menimbulkan masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah
ornop masih sibuk membenahi permasalahan internal
organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor
tidak seimbangnya jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit)
dengan kerusakan-kerusakan yang harus dipulihkan.
12 Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya
dengan mendalami substansi permasalahan juga metode untuk
resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian harus diperkuat
dan sikap kritis dipertajam sehingga kebijakan-kebijakan
yang keluar dari pemerintah daerah dapat mencerminkan
aspirasi rakyat dan ditujukan untuk memulihkan kerusakan
sosial dan ekologis yang selama ini terjadi. Sehingga cerita
Perda tentang Cendana di Nusa Tenggara Timur tidak
berulang.
Penutup
Kekayaan alam memang tidak pernah lepas dari berbagai
kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan modal
dan kepentingan rakyat. Konflik antar kepentingan ini selalu
memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda
desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah
kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah
seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama
pengelolaan kekayaan alam. Namun, pengalaman empat tahun
terakhir ini menunjukkan bahwa “segala penyakit yang
tadinya ada di pemerintah pusat beralih ke pemerintahan
daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang
harus direvisi13, political will dari eksekutif dan legislatif di
daerah yang belum muncul serta struktur politik yang ada
juga tidak memungkinkan perubahan. Di samping itu,
kapasitas pihak yang terkalahkan selama ini beserta
‘pembela’nya juga masih relatif lemah. Apakah ini akan
dibiarkan terus-menerus berlangsung? Apakah kita akan
berdiam diri melihat kerusakan sosial dan ekologis yang
bertambah parah? Semoga TIDAK!
Sumber Bacaan :
Fauzi, Noer. 2001. Otonomi Daerah Sumber Daya Alam – Lingkungan. LAPPERA Pustaka Utama, Yogyakarta.
13 Peluang desentralisasi tidak hanya perihal tata pemerintahan--seperti yang revisi UU 22 yang saat ini sedang berlangsung, dimana fokus revisi hanya pada pemilihan kepala daerah secara langsung-- namun ketidakadilan yang selama ini terjadi yang mengakibatkan kerusakan sosial dan ekologis pada rakyat
Heroepoetri, Arimbi.2001. Seri Otonomi : Tak Ada Tempat Bagi Rakyat. YLBHI, E-LAW Indonesia, RACA Institute dan Kreasi Wacana, Jakarta.
Iswari, Paramita.2003. Dinamika Pembaruan Desa dan Agraria : Pengalaman Belajar di Sanggau, Garut dan Toraja. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Marut, Donatus K.2001. Desentralisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Daerah dalam Otonomi dan Lingkungan Hidup : Prospek Pengelolaan Lingkungan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah, Semakin Buruk atau Baik?. Konphalindo, Jakarta.
Zakaria, Yando.2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Recommended