View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 71
DOKTRIN PERTAHANAN DALAM MEWUJUDKAN KEAMANAN MARITIM: PERSPEKTIF POSMODERNISME
DEFENSE DOCTRINE IN ACTUALIZING MARITIME SECURITY:
POSTMODERNISM PERSPECTIVE
Safril Hidayat1
Denma Kostrad (safrilhidayatzeni1995@yahoo.co.id)
Abstrak - Perubahan dalam sistem internasional yang beralih dari perspektif klasik menuju perspektif posmodernisme menimbulkan perubahan tentang pengetahuan dan makna keamanan. Isu-isu tradisional yang sebelumnya kurang mendapatkan perhatian menjadi lebih difokuskan melalui perspektif ini. Fokus perspektif posmodernisme merombak kemapanan yang ada, yang diarahkan pada keamanan individu sehingga terjadi pergeseran doktrin militer yang selama perang dingin berlaku. Kebangkitan kekuatan baru di Asia Pasifik dengan membangun poros maritim dunia secara langsung juga melibatkan Indonesia sehingga melahirkan kebijakan poros maritim. Kebijakan poros maritim seolah barang baru, namun bila dilihat lebih jauh ke belakang merupakan momentum awal yang dapat dijadikan sebagai pijakan menuju kejayaan sebagai negara maritim yang pernah dialami pada masa lalu sejarah Indonesia. Lima pilar yang digelontorkan dalam mendukung poros maritim memerlukan pertahanan maritim yang kuat guna menjamin keamanan maritim dan kedaulatan teritorial. Perubahan orientasi keamanan dengan memperhatikan determinan domestik dan determinan internasional terhadap dimensi maritim harus diimbangi dengan perubahan doktrin yang nantinya akan menghasilkan budaya dan struktur pemerintahan maritim. Poros maritim merupakan pilihan yang tepat ditengah perlunya peningkatan kapasitas negara dalam menjaga kedaulatannya ditengah pergeseran makna kedaulatan akibat globalisasi. Pemikiran poros maritim memerlukan revitalisasi doktrin pertahanan yang memadukan tiga matra dan komponen pemerintahan lainnya serta entitas di luar negara dalam mewujudkan pemerintahan maritim yang disegani dunia. Kata kunci: perspektif posmodernisme, pertahanan, poros maritim, determinan domestik, determinan internasional, doktrin, revitalisasi. Abstract - Changes in the international system is switched from the classical perspective towards the perspective of postmodernism lead to a change of knowledge and the meaning of security. Traditional issues that previously received less attention nowadays become more focused through this perspective. The focus of posmodernism remodels the existed perspective, which is directed at the individual security, causing a shift in military doctrine which was applied during the Cold War. New power is emerging in Asia-Pacific by building a world maritime fulcrum directly involve Indonesia that spawned the shaft of the maritime policy. Maritime fulcrum policy is a new good, but
1 Penulis adalah Letkol Czi Safril Hidayat, psc, M.Sc di bidang Defence and Strategic Studies dari University of Madras. Saat ini sebagai Kandidat Doktor Ilmu Hubungan Internasional Pascasarjana FISIP Unpad. Lulusan Akademi Militer tahun 1995. Mengikuti Seskoad di Defence Services Staff College, Wellington, India, dan Selapa di USAES, Missouri USA. Saat ini berdinas di Makostrad sebagai Pamen Denma Kostrad.
72 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
when seen further back is the initial momentum that can be used as a foothold to its triumph as a maritime country has experienced in the past history of Indonesia. Five pillars are disbursed in support of maritime fulcrum requires a strong maritime defense to ensure maritime security and territorial sovereignty. Safety orientation changes with regard determinants of domestic and international of the maritime dimension must be offset by changes in the doctrine that will produce cultural and maritime governance structures. Maritime fulcrum is the right choice amid the need to increase the capacity of the state in maintaining its sovereignty amid a shift in the meaning of sovereignty due to globalization. Maritime fulcrum perspective needs revitalisation of defense doctrine that combines three dimensions and components of other governments and entities outside the country in realizing the governments maritime respected. Keywords: postmodernism perspective, defense, maritime fulcrum, domestic determinants, international determinants, doctrine, revitalisation.
Pendahuluan
Keamanan (security) merupakan suatu contested concept antar perspektif dalam ilmu
hubungan internasional. Sepanjang Perang Dingin, pandangan realisme mendominasi
pemikiran tentang keamanan. Pandangan kaum realis tentang keamanan digambarkan
sebagai ajang persaingan karena asumsinya bahwa negara sulit untuk bekerja sama.
Idealisme mengambil sikap bahwa perdamaian adalah sebuah kondisi dimana negara dan
individu menikmati kebebasan, sejahtera, dan tidak ada ancaman. Liberalisme
memandang basis perdamaian internasional bukan keseimbangan kekuatan antara
negara seperti yang diyakini oleh kaum realis, tetapi berdasarkan kepatuhan kepada
norma dan hukum internasional dan lebih optimis melihat kemungkinan negara-negara
untuk bekerja sama. Pandangan di atas (realis, idealis dan liberalis) digolongkan oleh
ilmuwan ilmu hubungan internasional sebagai perspektif tradisional atau klasik, dimana
pandangan klasik tersebut goyah dengan munculnya kaum konstruktivis, teori kritis,
feminisme, dan posmodernis.2 Dalam artikel ini penulis menyoroti tentang pandangan
posmodernisme khususnya berkaitan dengan keamanan maritim.
Posmodernisme merupakan sebuah teori yang memberikan penolakan terhadap
gagasan-gagasan klasik sehingga perspektif posmodernisme bagaikan wadah bagi
pandangan yang menolak mainstream yang ada. Jackson & Sorensen menyatakan bahwa
posmodernisme adalah suatu paham yang menolak anggapan tentang realitas,
kebenaran, dan pemikiran, bahwa ada pengetahuan yang terus meluas tentang dunia
2 R. Jackson & George Sorensen, Introduction to International Relations, (Oxford: Oxford University Press, 1999).
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 73
manusia. Dengan demikian teori posmodernisme merupakan wujud dari sebuah
perlawanan atau pendobrak dari pendekatan-pendekatan tradisional yang ada.
Pandangan posmodernis tentang keamanan internasional mengalihkan fokus
keamanan dari negara kepada individu. Pandangan posmodernis ini mempengaruhi
hubungan internasional, atau sebaliknya hubungan internasional yang monoton telah
melahirkan pandangan posmodernis, menimbulkan wacana, makna, dekonstruksi dan
lain-lain dalam hubungan internasional. Pada tahun 90-an, sistem internasional juga
mengalami perubahan dengan runtuhnya tembok Berlin (1989), runtuhnya Yugoslavia
(1991), Glasnost dan Perestroika di Uni Soviet (1991), dan bubarnya Pakta Warsawa yang
semuanya dilakukan oleh massa yang menuntut kebebasan dan keamanan individu.
Perubahan sistem internasional dengan segala isu sentralnya juga memberikan
dampak bagi kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri suatu negara. Demikian pula
dengan kebijakan domestik dan luar negeri Indonesia telah diasumsikan akan
menghadapi tantangan global tersebut. Dinamika global ditengah kaburnya pengertian
batas fisik teritorial dan kedaulatan negara ini menarik bagi penulis untuk meneliti
tentang kekinian dalam doktrin yang berkaitan dengan keamanan maritim. Perubahan
makna dan dekonstruksi atas doktrin pertahanan guna mewujudkan keamanan maritim
selayaknya disesuaikan dengan kebijakan poros maritim.
Kerangka Teoretis
Perspektif Posmodernisme
Perspektif posmodernisme memiliki konsep tentang orisinalitas gagasan, yang dalam hal
ini menurut Friederich Nietzsche bahwa manusia harus menjadi penafsir orisinal sehingga
membuat manusia harus bersifat skeptis terhadap suatu hal yang ada. Skeptis
dikarenakan kebenaran dalam sebuah pengetahuan yang ada merupakan suatu hal yang
relatif atau bahkan tidak ada. Dengan kata lain, kebenaran hanyalah suatu hal yang
dibentuk oleh seseorang yang memiliki power, “There is no truth but power, who hold the
power he is able to create the truth and justice”.3
3 Maudemarie Clark, Nietzsche on Truth and Philosophy, (New York: Cambridge University Press,1990).
74 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
Dalam perspektif posmo, pendekatan genealogi menyatakan bahwa segala
sesuatu yang kita yakini merupakan sebuah produk historis dari pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya. Ilmu pengetahuan tersebut merupakan sebuah produk dari
pemikiran seseorang yang memiliki power untuk membentuk pengetahuan (knowledge)
tersebut. 4 Genealogi mengkonstruksi fenomena di masa lalu dan mengkonstruksi
pemaknaannya untuk dijadikan pijakan dalam perilaku atau praktek saat ini.
Posmodernisme memandang pengetahuan sesuai dengan perspektif dari individu,
sehingga pengetahuan merupakan sesuatu yang tidak netral. Pengetahuan memiliki
hubungan dengan power dari seorang yang menginterpretasikannya “Knowledge is
partial, partisan, and power serving”.5
Keberadaan dari knowledge dan power merupakan suatu hal yang saling berkaitan.
Knowledge merupakan hasil interpretasi dari sebuah fakta, dimana knowledge secara
alamiah merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Adanya power kemudian mengklaim
suatu interpretasi dari knowledge sebagai sesuatu yang bebas nilai. Klaim terhadap
interpretasi knowledge inilah yang selanjutnya menjadi suatu pengetahuan umum yang
diketahui masyarakat. Dengan demikian genealogi fokus pada proses dimana kita
mengkonstruksikan suatu sumber dan memberinya meaning atau makna. Makna
representasi tertentu di masa lalu tersebut selanjutnya menjadi petunjuk dalam
kehidupan kita sehari-hari dan memberikan batasan yang jelas dalam pilihan sosial dan
politik.6
Asumsi posmomodernisme lainnya adalah tidak ada sesuatu yang objektif, karena
objektivitas tidak mungkin tercapai, “there is no vantage point from which the world can
be described and analyzed objectively”. Posmodernisme menganggap bahwa kondisi sosial
politik dunia memiliki perbedaan, keberagaman atau kelainan antara satu dengan lainnya.
Teori ini melakukan dekonstruksi terhadap arus-arus besar (mainstream) paradigma
pengetahuan sehingga paradigma tersebut dijadikan sebagai arus kecil dalam paradigma
4 S. Burchill, A. Linklater, R. Devetak, J. Donnelly, M. Paterson, C. Reus-Smit, & J. True, Theories of International Relations 3rd ed, (New York: Palgrave Macmillan, 2005). 5 Ibid. 6 Bleiker, R, "Popular Dissent, Human Agency and Global Politics", dalam S. Burchill, A. Linklater, R. Devetak, J. Donnelly, M. Paterson, C. Reus-Smit, & J. True, Theories of International Relations 3rd Edition, (New York: Palgrave Macmillan, 2000).
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 75
yang ada. Hal ini berkaitan dengan suatu aspek dimana posmodernisme percaya bahwa
sebuah knowledge merupakan suatu yang dibentuk oleh power. “Power and knowledge
are mutually supportive; they directly imply one another”.7
Metode dekonstruksi secara radikal menggoyahkan konsep-konsep yang stabil
dan konsep-konsep kontranya, atau “general made of radically unsetting what are taken to
be stable concept and conceptual oppositions”. Dengan kata lain, dekonstruksi mencoba
untuk membongkar suatu konsep dan membentuk kembali sebuah pengertian baru
tentang konsep tersebut. Dekonstruksi concern terhadap konstitusi maupun dekonstitusi
dalam segala aspek baik berupa teks, teori, wacana, struktur, bangunan, kumpulan, atau
lembaga.
Namun demikian, tulisan ini bukan membahas secara teoritis tentang
posmodernisme. Fenomena hubungan internasional tidak lepas dari pandangan para
pakar yang termasuk dalam kelompok ini. Secara umum terjadi pandangan baru atas
pandangan lama yang sudah mapan sehingga pergeseran makna, tujuan dan sebagainya
merupakan implikasi dari perubahan sistem internasional dengan genealogi dan
dekonstruksi terhadap pengetahuan yang selama ini telah mapan. Penekanan penulis ada
pada meaning dan dekonstruksi tentang doktrin militer dan keamanan maritim yang
selama ini telah berlaku, yang akan dibahas pada paragraf berikutnya.
Militer Posmodernisme
Perang Kosovo dapat dinyatakan sebagai perang pertama pasca lahirnya pandangan
Posmodernisme.8 Selanjutnya Moskos et. al dalam penelitiannya menemukan bahwa
telah terjadi lebih dari 50 konflik pasca runtuhnya era Perang Dingin. 9 Perang
kontemporer selanjutnya menimbulkan dinamika baru dimana sangat jarang terjadi
perang antar negara, namun meningkatnya perang dalam negara yang dapat berakibat
fatal runtuhnya suatu negara. 10 Kebenaran klasik yang selama ini bertahan seperti
7 Colin Gordon (Ed.), Power/Knowledge. Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 Michel Foucault, (New York: Pantheon Books, 1980). 8 Charles C. Moskos et al, Militer Pasca Perang Dingin, Militer Posmo: Seri Kajian Sosiologi Militer,Terjemahan Syamsul Maarif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm.10. 9 Ibid., hlm. 435-439. 10 Ibid., hlm. 5.
76 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
nasionalisme, kedaulatan, peran militer mulai bergeser. Bahkan, muncul pertanyaan
tentang kebenaran lama tersebut. Semakin sedikit penguasa yang ditaati sepenuhnya
oleh penduduknya, munculnya peran paham kemanusiaan (humanitarianism), pluralisme,
fragmentasi, heterogenitas, dekonstruksi, permeabilitas, dan ambiguitas merupakan
kenyataan yang dihadapi dalam era posmodernist.11
Negara berusaha mempertahankan patriotisme, nasionalisme, kedaulatan dalam
pandangan tradisional tersebut, namun globalisasi keuangan, perdagangan, komunikasi,
dan aktivitas aktor individu telah menggerus basis tradisional dari kedaulatan bangsa.
Fenomena di atas menimbulkan pandangan selanjutnya akan ciri-ciri perubahan
organisasional dalam negara-bangsa. Pandangan posmodernisme melahirkan dua
kelompok besar yang menurut Moskos et. al sebagai kelompok optimis naif dan
kelompok pesimis yang mendalam.
Terlepas dari optimisme maupun pesimisme, maka kenyataan yang tak terelakkan
adalah misi angkatan bersenjata akan disusun berbeda dengan apa yang telah dilakukan
pada era Perang Dingin yang relatif pasti. Perubahan perspektif tersebut diatas
diantaranya melahirkan konsep militer kontemporer seperti perang tiga blok (Three
Blocks War) Krulak12; Penambahan operasi psikologis dan informasi dalam blok-blok yang
diciptakan oleh Krulak, maka oleh James Mattis dan Frank Hoffman dinyatakan sebagai
perang hibrida (Hybrid War)13; Selanjutnya, perang asimetris muncul dalam penulisan
akademik di akhir 1990-an kemudian menurun sejak tahun 2003, dan sekarang hampir
dilupakan.14 Awal tahun 1990-an semua hal dikaitkan dengan perang asimetris seperti
terorisme, bom jalanan, virus, isu proliferasi nuklir, dan lain-lain sehingga menimbulkan
ambigu.
Pandangan di atas lahir dari pemaknaan yang berbeda tentang konflik, resolusi
konflik yang berimplikasi kepada doktrin militer. Pengaruh pemikiran posmodernisme
yang mendobrak pemikiran klasik menghasilkan konsep baru operasi militer. Bentuk 11 Ibid., hlm 3-7. 12 Charles Krulak, “The Three Block War: Fighting in Urban Areas”, Jurnal Vital Speech of the Day, Vol. 64.No. 5, 15 Desember 1997, hlm. 139-141. 13 James N. Mattis dan Frank Hoffman, "Future Warfare: The Rise of Hybrid Wars”, 2005, dalam http://www.usni.org, diunduh pada 16 Juni 2015. 14 David L. Buffaloe, "Defining Asymmetry Warfare", the Land Warfare Papers, No. 58 September 2006, (Virginia: The Institute of Land Warfare, 2006).
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 77
ancaman dan tantangan yang diprediksi dewasa ini merupakan kelanjutan dari pemikiran
posmodernisme terutama dengan bubarnya bipolaritas Perang Dingin. Pendekatan
genealogis dan dekonstruksi ini melahirkan pula alternatif baru tentang kebijakan maritim
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Cina (Maritime Silk Road). Kebijakan AS yang mulai
mengarah ke Kawasan Asia Pasifik khususnya pasca munculnya kekuatan ekonomi dan
militer Cina, dan munculnya rezim-rezim maritim juga menunjukkan bahwa dunia mulai
melihat maritim sebagai isu baru yang menjanjikan kemakmuran sekaligus berpotensi
menimbulkan konflik bila tidak dikelola dengan baik.
Keamanan Maritim: Perspektif Posmodernisme
Boje et. al menyatakan bahwa posmodernisme muncul sebagai konsekuensi dari
kebangkrutan otoritas tradisional yang didasarkan pada rasionalitas, demikian pula
dengan Cooper menggambarkan sistem negara dunia runtuh ke dalam pemerintahan
postmodern dengan kondisi yang lebih pluralis, lebih kompleks, dan kurang terpusat.15
Byrne dalam Roe menyatakan organisasi baru postmodern yang merupakan karakteristik
lembaga pengambilan kebijakan di sektor maritim bergerak menuju semakin luasnya
penyediaan layanan; internasionalisasi; meningkatnya pemberdayaan pemangku
kepentingan, keterlibatan dan kepemilikan; menurunkan pelibatan diri oleh lembaga dan
manajemen yang dilakukan secara berlebihan; menghindari perubahan tambahan dan
merangsang perubahan radikal dan dramatis; organisasi berfokus pada unit yang lebih
kecil dan fokus pada proses daripada hasil; dan penciptaan jaringan hubungan.16
Dia menekankan nilai rekayasa ulang perusahaan dan lembaga yang dimulai
dengan ibarat selembar kertas benar-benar bersih dan menciptakan kembali sebuah
organisasi dari awal tentang kerangka kelembagaan maritim pembuat kebijakan. Dengan
demikian maka pengelolan merupakan jantung dari pemerintahan maritim. Pendapat
Byrne memiliki relevansi dengan kekinian dalam pengelolaan yang dilakukan oleh
pemerintahan maritim.
15 Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Terjemahan Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta: Jendela, 2007). 16 Michael Roe, Maritime Governance and Policy-making, (London: Springer, 2013), hlm.356.
78 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
Dari kerangka teoritis tersebut maka dalam mewujudkan kebijakan poros maritim
tidak terlepas dari doktrin pertahanan maritim guna menjaga keamanan maritim.
Perubahan knowledge dan meaning atas doktrin perlu dilakukan sehingga menghasilkan
organisasi militer yang dapat menciptakan keamanan maritim yang selanjutnya menjadi
struktur dan kultur pemerintahan maritim. Dengan demikian perubahan orientasi bagi
aktor pelaku pertahanan juga berubah, aktor-aktor yang terlibat juga semakin luas karena
tidak hanya aktor negara namun entitas di luar negara. Kebijakan poros maritim adalah
sama pentingnya dengan perubahan doktrin pertahanan itu sendiri dalam mewujudkan
keamanan maritim sehingga terwujud kebijakan poros maritim.
Gambar 1. Kerangka Alur Pikir
Sumber: Dari berbagai sumber teori yang dikolaborasikan oleh penulis berdasarkan teori yang digunakan dalam artikel ini.
Kebijakan Poros Maritim Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara dengan
jumlah 17.499 pulau. Dua samudera dan dua benua mengapit Indonesia yaitu Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia dengan luas perairan
Indonesia mencapai +5,9 juta kilometer persegi dan panjang garis pantai +81 ribu
kilometer. Potensi maritim Indonesia demikian variatif seperti industri bioteknologi
kelautan, perairan dalam (deep ocean water), wisata bahari, energi kelautan, mineral laut,
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 79
pelayaran, pertahanan, serta industri maritim, yang dapat memberikan kontribusi besar
bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 pasal 33.
Indonesia menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah
China dan India. Perairan Indonesia menyimpan 70% potensi minyak karena terdapat
kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia dan hanya sekitar 10%
yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.17
Dilain pihak, Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 negara yaitu India
(Landas Kontinen, ZEE), Thailand (Landas Kontinen, ZEE), Malaysia (Laut Wilayah, ZEE,
Landas Kontinen), Singapura (Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen, ZEE), Filipina
(ZEE, Landas Kontinen), Palau (ZEE, Landas Kontinen), Papua Nugini (ZEE, Landas
Kontinen), Timor Leste (Laut Wilayah, Landas Kontinen, ZEE) dan Australia (ZEE, Landas
Kontinen). Persoalan batas negara masih belum seluruhnya dapat diselesaikan.
Kebijakan poros maritim menjadi kebijakan baru yang sebenarnya bila dicermati
dapat menjadi pijakan awal kebangkitan (renaissance) bagi kejayaan Indonesia.
Sebagaimana sejarah membuktikan kejayaan Armada Sriwijaya dan Majapahit di Abad XIII
dan XIV, Banten dan Demak di Abad XVI, dan Ternate dan Tidore sebagai bandar di Jalur
Sutra Internasional. Kebijakan poros maritim terdiri dari 5 pilar yaitu: membangun budaya
maritim Indonesia; menjaga dan mengelola sumber daya laut; pengembangan
infrastruktur dan konektivitas maritim; diplomasi maritim; dan membangun kekuatan
pertahanan maritim. Melalui artikel singkat ini penulis mengulas tentang revitalisasi
pertahanan maritim dengan melihat pada pentingnya perubahan doktrin pertahanan
yang berorientasi maritim. Kebijakan poros maritim selain merupakan terobosan baru,
juga menimbulkan tantangan baru terhadap kedaulatan negara Indonesia.
Bila dilihat dari perspektif posmodernisme maka kebijakan pemerintah dengan
poros maritim adalah merupakan pendekatan posmomodernisme yang merubah
knowledge dan makna keamanan yang tidak hanya berorientasi daratan maupun ruang
udara. Sebagaimana yang berlaku pada era perang dingin persepsi terhadap ancaman
yang mengarah pada perebutan daratan dan diutamakannya isu militer tradisional.
Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Moskos et. al sebagai organisasi posmodern
17 “Menuju Indonesia sebagai Negara Poros Maritim”, dalam http://setkab.go.id/, diunduh pada 26 Juni 2015.
80 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
pertahanan maritim dalam konteks Indonesia dan dikolaborasikan dengan pendapat
Byrne dan Foucault terhadap doktrin pertahanan khususnya mewujudkan keamanan
maritim yang akan diulas dalam tulisan di bawah ini.
Determinan Domestik dan Determinan Internasional dalam Pembuatan Kebijakan Pertahanan
Kondisi internal dan kebutuhan eksternal disebut oleh Lentner sebagai determinan luar
negeri dan determinan domestik sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar
negeri suatu negara.18 Kebijakan luar negeri ini dapat berbeda sesuai dengan pembuat
keputusan yang memegang kekuasaan politik19, demikian pula halnya dengan poros
maritim. Negara mempertimbangkan determinan domestik dan determinan luar negeri.
Determinan luar negeri ini selanjutnya mengacu pada sistem internasional dan situasi.
Dimana sistem internasional yang dimaksud adalah polaritas kekuatan dominan dalam
sistem internasional.
Sementara situasi adalah pola interaksi yang tidak tercakup dalam sistem
internasional seperti regional atau kawasan tertentu.20 Dengan mengetahui lingkungan
eksternal maka dapat diketahui latar belakang munculnya suatu kebijakan luar negeri
serta mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat interaksi antar negara.21 Dari
pengertian tersebut perilaku aktor terwujud dalam berinteraksi dengan lingkungannya
sesuai dengan persepsi dan kebutuhannya dari lingkungannya. Dalam pemikiran
posmodernisme, kepentingan tersebut bersifat skeptis sehingga mana yang lebih dulu
tercapai dianggap menjadi kepentingan utama. Dengan demikian tidak ada yang diyakini
sepenuhnya kebenaran kepentingan domestik atau luar negeri yang harus didahulukan.
Determinan domestik dan luar negeri tersebut akan diuraikan pada paragraf-paragraf di
bawah ini.
18 Howard H. Lentner, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach, (Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company, 1974), hlm. 105-171. 19 Mohtar Mas’oed, Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1996). 20 Howard H. Lentner, 0p.cit, hlm. 51-70. 21 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 56.
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 81
Determinan Domestik
Kebijakan poros maritim dan tol laut merangkum 24 pelabuhan yang terdiri dari 5
pelabuhan sebagai hub port (pengumpul) (Pelabuhan Belawan/Kuala Tanjung, Pelabuhan
Tanjung Priok/Kalibaru, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan
Bitung), dan 19 pelabuhan feeder port (pengumpan) bagi pelabuhan hub (Pelabuhan
Malahayati, Batam, Jambi (Talang Duku), Palembang, Panjang, Teluk Bayur, Tanjung
Emas, Pontianak, Banjarmasin, Sampit, Balikpapan/Kanangau, Samarinda/Palaran,
Tanau/Kupang, Pantoloan, Ternate, Kendari, Sorong, Ambon dan Jayapura). 22
Keseluruhan pelabuhan tersebut telah terisi dengan matra-matra TNI lainnya selain TNI
AL. Hal ini memberikan keuntungan terhadap operasional doktrin keamanan maritim.
Demikian banyak cabang-cabang dalam institusi TNI yang telah disusun secara
proporsional dalam menjawab tantangan tugasnya.
Perairan Asia Tenggara merupakan kawasan penting dalam Poros Maritim Dunia.
Indonesia memiliki 39 selat yang terkait dengan selat lain di kawasan Asia, dan dari 39
selat tersebut ada 4 selat yang menjadi lokasi strategis jalur pelayaran internasional yaitu
Selat Malaka, Selat Makassar, Selat Sunda dan Selat Lombok.23
Saat ini pengelolaan laut Indonesia melibatkan banyak lembaga yaitu Kementerian
Pertahanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Kementerian
Lingkungan Hidup, TNI AL, dan Polri dan Badan/Lembaga lainnya. Berdasarkan UU Nomor
6 Tahun 1996 tentang Perairan lndonesia disebutkan, lndonesia mempunyai kedaulatan
(sovereignty) di Perairan lndonesia, yang wilayahnya terdiri dari Perairan Pedalaman,
Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial lndonesia. Guna menjaga kedaulatan itu dewasa ini
pengayaan kekuatan (power enhancement) dilakukan dengan meningkatkan SDM, alut
sista, teknologi informasi dan sebagainya guna menjaga teritorial tersebut. Dilain pihak,
TNI AL masih membutuhkan lebih banyak kapal dan anggaran dalam melaksanakan
22 Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub Bobby R. Mamahit, “Kemenhub: Tol Laut Libatkan 24 Pelabuhan di Seluruh Nusantara”, 2015, dalam http://jurnalmaritim.com/, diunduh pada 16 Juni 2015. 23 “Panglima TNI: Angkatan Laut Tentukan Poros Maritim”, dalam http://www.antaranews.com/nasional/umum, diunduh pada 20 Juni 2015.
82 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
tugasnya menjaga kedaulatan di laut mengingat selama ini penambahan alusista kapal
masih relatif kecil.
Dalam Doktrin TNI AL yang diterbitkan tahun 2001, kata maritim diartikan
berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan. Kata
maritim mengandung arti integrasi/gabungan, dan menunjukkan suatu lingkungan
kelautan serta bukan menunjukkan institusi. Hal ini tentunya menjadi perbedaan
tersendiri bila dikaitkan dengan pandangan posmodernis dan pemerintahan maritim.
Penguatan lembaga diperlukan dengan peranan yang demikian kompleks tidak hanya TNI
AL. lndonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah NKRI yang merupakan satu kesatuan
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Termasuk
dasar laut dan tanah di bawahnya, ruang udara di atasnya serta seluruh sumber kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Penegakan kedaulatan maritim Indonesia
sesungguhnya adalah pengawasan terhadap kapal dan pesawat udara asing agar
mentaati hak dan kewajibannya serta melaksanakan penindakan kepada kapal dan
pesawat udara asing yang melanggar ketentuan dalam setiap rezim lintas selama
melintas di perairan lndonesia.
Determinan Luar Negeri
Doktrin militer ditengah gencarnya pemikiran posmodernisme menghasilkan perubahan
besar dalam struktur dan kultur militer. Kultur dan struktur militer di kalangan dunia
ketiga umumnya terbentuk dengan doktrin yang telah berlaku sepanjang perang dingin,
dimana siapa lawan dan kawan pada saat perang dingin demikian jelas. Dewasa ini
dengan dinamika yang terus bergerak dan pendulum yang bergetar (dynamic equilibrium)
maka lawan menjadi absurd dan tidak tergambar secara fisik dengan jelas. Doktirn yang
telah digunakan selama era perang dingin sehingga menjadi struktur militer yang tepat
pada masa itu telah menjadi kultur di masa sekarang. Dengan demikian doktrin dan
struktur yang ada dewasa ini selayaknya ditinjau ulang guna melahirkan kultur baru, yaitu
kultur maritim.
Gagasan Poros Maritim Presiden Joko Widodo selaras dengan gagasan Jalan Sutra
Maritim Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Jalur Sutra Maritim merupakan upaya untuk
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 83
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok bagian tenggara dengan negara-
negara ASEAN melalui Selat Malaka, negara-negara di Asia Tengah (Srilangka,
Bangladesh, India, Maladewa, Pakistan) melalui Samudera Hindia, dan negara-negara di
Timur Tengah hingga Eropa Selatan melalui Laut Merah dan Laut Mediterania, yang
akhirnya bertemu dengan jalur sutra darat di Eropa Tengah. Melihat kebijakan tersebut
maka sejak tahun 2010 Cina telah membangun ekonomi dan militer berbasis maritim.
Sejauh ini, negara-negara di sepanjang Jalur Sutera Maritim termasuk negara-
negara ASEAN, menyambut baik gagasan Presiden Xi Jinping tersebut. Malaysia misalnya,
berupaya menyiapkan beberapa pelabuhannya seperti Kuantan, Klang, Penang dan Johor
untuk terkoneksi lebih baik dengan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok.24 Demikian juga
negara-negara di tepi Laut Tiongkok Selatan dan Samudra Hindia seperti Vietnam,
Bangladesh, Maladewa, Sri Langka, India dan Pakistan; masing-masing menunjukkan
gairah menerima ajakan Tiongkok meningkatkan hubungan ekonomi melalui laut.
Negara-negara besar lain di luar Asia Tenggara/Asia Selatan juga mempunyai
rencana besar memanfaatkan wilayah lautan Samudra India dan Samudra Pasifik. Jepang
menyatakan berkeinginan untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara di
kawasan Indo-Pasifik, khususnya dengan negara-negara ASEAN, India, dan lain-lain.
Amerika Serikat juga mulai menoleh ke Asia mengimbangi kemunculan Tiongkok sebagai
adidaya (superpower) ekonomi dan militer baru. Australia tentunya tidak ingin terisolir
dari keramaian yang terjadi di kawasan sebelah utaranya, yang perlu mendapatkan
perhatian serius.
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan yang melibatkan sejumlah negara anggota
ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam) dengan Tiongkok, yang
dalam tahun-tahun belakangan ini kembali memanas, adalah salah satu persoalan yang
perlu dipertimbangkan dalam keamanan poros maritim. Meskipun bukan menjadi bagian
dari negara yang bersengketa, Indonesia perlu menjadi bagian dari pencarian solusi damai
atas masalah tersebut.
24 “Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri”, dalam http://www.bakosurtanal.go.id/, diunduh pada 20 Juni 2015.
84 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
Selain itu, Indonesia “terkepung” di tengah-tengah US Pacific Development. AS kini
memiliki 13 pangkalan militer yang terletak di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara,
seperti Christmas Island, Cocos Island, Darwin, Guam, Filipina, Malaysia, Singapore,
Vietnam hingga kepulauan Andaman, Nicobar, dan lain-lain.
Doktrin Pertahanan Terpadu dalam Mewujudkan Keamanan Poros Maritim
Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan tentang tugas TNI
dan masing-masing matra. Selanjutnya terhadap ancaman militer seluruhnya disusun
doktrin oleh TNI dan masing-masing Angkatan sebagaimana yang tertuang dalam doktrin
Kartika Eka Pakci (TNI AD), Doktrin Doktrin Jalesveva Jayamahe (TNI AL), Doktrin Swa
Bhuana Paksa (TNI AU). Hakikat ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan baik dari
dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. 25 Ancaman dapat
digolongkan kedalam jenis (ancaman militer dan ancaman nonmiliter), sumber (luar
negeri dan dalam negeri), dan aktor (aktor negara dan aktor bukan negara). Persepsi
ancaman telah dinyatakan dalam namun keseluruhannya hanya berkaitan dengan
penguasaan daratan yang diduduki oleh aparatus negara. Padahal dalam kenyataannya
menurut pemikiran posmomodernisme, penguasaan dapat dilakukan pada daerah yang
memang diperlukan oleh sebuah negara untuk kepentingan nasionalnya yang belum
tentu dilakukan melalui suatu peperangan. Serangan investasi dan legislasi dapat
dilakukan sebagaimana yang terjadi dalam kasus Sipadan-Ligitan.
Doktrin pertahanan negara adalah suatu ajaran tentang prinsip-prinsip
fundamental yang memberi arah bagi pengelolaan sumber daya pertahanan. Konsepsi
pertahanan negara memerlukan doktrin pertahanan negara sebagai pedoman atau
penuntun. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta
yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga
negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Selanjutnya dijabarkan dalam Doktrin Pertahanan Negara yang merupakan prinsip-
prinsip dasar yang diyakini kebenarannya, digali dari nilai-nilai perjuangan bangsa dan
25 Doktrin Pertahanan Negara, 2014.
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 85
pengalaman masa lalu untuk dijadikan pedoman/ajaran dalam mengembangkan konsep
pertahanan dan keamanan negara. Kedudukan dan Stratifikasi Doktrin Pertahanan
Negara berada pada tingkatan strategis berskala nasional guna pengelolaan sistem
pertahanan negara.
Doktrin Pertahanan Negara berkedudukan sebagai instrumen dasar dalam
mengembangkan seluruh doktrin yang berhubungan dengan pertahanan negara. Pada
pengelolaan sistem dan penyelenggaraan pertahanan negara, terdapat sejumlah doktrin
dengan level dan penggunaannya masing-masing, tetapi satu dengan yang lainnya berada
dalam suatu kesatuan yang membentuk strata doktrin. Secara ideal sinergitas antar matra
telah dinyatakan dalam doktrin ini. Fokus dari penggabungan matra saat ini lebih besar
porsinya dalam bentuk operasi militer perang dan operasi militer selain perang dalam
tugas penanggulangan teroris dan bencana alam. Sementara tugas-tugas lainnya (14
Tugas OMSP) belum seluruhnya dilakukan secara bersama-sama oleh tiga matra TNI.
Masing-masing berjalan sendiri dan berusaha mandiri dalam menjalankan fungsinya. Hal
ini tentu saja tidak salah, namun melihat pada pemikiran posmodernisme diatas maka
selayaknya kegiatan itu dilakukan dengan menyusun organisasi militer yang lebih kenyal
dan memiliki jaringan luas yang melibatkan entitas di luar negara seperti LSM nasional dan
internasional dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tetap mempertahankan
kedaulatan teritorial NKRI.
Doktrin Pertahanan Negara berada pada tingkatan sebagai Doktrin Dasar bagi
semua doktrin yang berhubungan dengan pertahanan negara. Tugas dan tanggung jawab
penyusunan Doktrin Pertahanan Negara berada dalam lingkup fungsi dan kewenangan
Kementerian Pertahanan. Pada strata di bawahnya yang berpedoman pada Doktrin Dasar
terdapat Doktrin Induk yang meliputi Doktrin Pertahanan Militer dan Doktrin Pertahanan
Nirmiliter.26 Doktrin Pertahanan Militer dirumuskan dan dijabarkan oleh Mabes TNI
menjadi Doktrin Tri Dharma Eka Karma (Doktrin Tridek). Doktrin Pertahanan Militer
berlaku bagi TNI dan komponen penggandanya. Doktrin-doktrin yang bersifat kematraan
berinduk pada Doktrin Pertahanan Militer. Doktrin Pertahanan Militer dikembangkan
pada strata Doktrin Pelaksanaan. Doktrin Pelaksanaan pada lingkup pertahanan militer
merupakan doktrin-doktrin pada tingkat matra. Doktrin matra terdiri atas Doktrin 26 Ibid. hlm. 14.
86 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
Pertahanan Militer Matra Darat yaitu Doktrin Kartika Eka Paksi; Doktrin Pertahanan
Militer Matra Laut yaitu Doktrin Jalesveva Jayamahe; sedangkan Doktrin Pertahanan
Matra Udara yaitu Swa Bhuana Paksa.
Doktrin Pertahanan Nirmiliter dirumuskan oleh Kementerian Pertahanan beserta
seluruh Kementerian/Lembaga terkait menjadi Pedoman Strategis Pertahanan Nirmiliter
Dwi Bhakti Eka Darma. Penjabarannya disesuaikan dengan kompleksitas peran dan fungsi-
fungsi nirmiliter serta tuntutan kebutuhan penyelenggaraan pertahanan nirmiliter.
Doktrin pada lingkup pertahanan nirmiliter dapat dijabarkan dalam Doktrin Pelaksanaan
sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal tersebut setiap fungsi pemerintahan diluar bidang
pertahanan dapat membuat doktrin pelaksanaan sesuai dengan bidangnya yang
menginduk pada Doktrin Pertahanan Nirmiliter.
Militer Indonesia telah tersusun dalam struktur yang selama ini berorientasi atas
kepentingan nasional pertahanan rangkaian pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil
terluar serta persepsi atas ancaman yang diprediksi dan telah terjadi. TNI memiliki
berbagai Kotama Operasional dan Kotama pembinaan yang diorientasikan atas prediksi
ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang bernuansa masa berlakunya
bipolaritas dunia. Hal ini tercermin dalam doktrin pertahanan yang dimiliki Indonesia
termasuk didalamnya Doktrin masing-masing matra. Ada simpul-simpul yang
memungkinkan dilaksanakannya kerjasama matra dalam mewujudkan keamanan poros
maritim.
Kombinasi itu ada kalanya hanya TNI AL-TNI AD, TNI AL-TNI AU, TNI AD-TNI AU,
TNI AD-TNI AL-TNI AU, sebagai komponen utama. Komponen cadangan dilakukan oleh
menwa, aparatus sipil negara, dan entitas negara lainnya. Sangat jarang dilibatkan entitas
luar negara dalam mewujudkan operasional yang komprehensif. Kecenderungan yang
terjadi besarnya keinginan untuk mendominasi sebuah OMP oleh militer (sipil dibawah
militer), dan rendahnya kepercayaan diri sipil memimpin militer (supremasi sipil). Hal ini
tentunya memerlukan pemaknaan ulang dan dijadikan pengetahuan oleh penguasa yang
memiliki power untuk merubahnya sesuai konteks kekinian. Besarnya ancaman nirmiliter
tentunya lebih berat dihadapi bila dibandingkan dengan ancam militer. Namun ancaman
militer dewasa ini demikian kecil selain itu legalitasnya juga sering menimbulkan polemik
(kasus Suriah, Libya, Kongo, Sudan, Somalia, Timor Leste dan sebagainya). Sebaliknya
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 87
ancaman nirmiliter justru besar dengan segala modusnya terutama melalui perpanjangan
tangan baik yang didukung negara maupun perpanjangan tangan agen asing di pihak
lokal.
Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam negeri maupun luar
negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan
keselamatan segenap bangsa. Ancaman aktual merupakan ancaman nyata, berbentuk
separatis bersenjata, terorisme, kelompok radikal, konflik komunal, pencurian kekayaan
alam seperti illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining serta bencana alam. Ancaman
potensial merupakan benih ancaman yang sewaktu–waktu dapat timbul seperti sengketa
perbatasan, disintegrasi bangsa, konflik antar golongan, keresahan sosial, upaya
penggantian ideologi Pancasila, dan sebagainya.
Ancaman terdiri dari ancaman militer dan non militer. Ancaman militer berupa:
agresi (invasi, bombardemen, blokade, serangan unsur angkatan bersenjata negara lain,
unsur kekuatan bersenjata negara lain, tindakan suatu negara, pengiriman kelompok
bersenjata), bukan agresi (pelanggaran wilayah Indonesia yang dilakukan oleh negara
lain, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, ancaman keamanan di laut dan
udara yurisdiksi nasional Indonesia, konflik komunal). Ancaman non militer yaitu ancaman
berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, keselamatan umum, dan
legislasi).27
Doktrin yang telah diterapkan selama lebih dari 30 tahun tersebut menjadi kultur
dan struktur yang telah bertahan lama. Kebijakan Presiden tentang poros maritim
tentunya semakin memerlukan revitalisasi doktrin yang selama ini telah berlaku. Dengan
demikian personel yang mengawakinya semakin mantap bersinergi menghadapi
kebijakan poros maritim yang tidak ringan.
Tujuan militer tradisional adalah mengalahkan kekuatan militer lainnya.
Perimbangan kekuatan militer secara fisik menjadi sorotan utama seperti alutsista,
senjata nuklir, jumlah personel, sehingga cenderung membentuk koalisi atau aliansi.
Perang merupakan jalan yang ditempuh dalam mencapai kepentingan nasional. Kekuatan
militer pada era Perang Dingin umumnya bertumpu pada kekuatan militer darat (Army)
27 Ibid., hlm. 24-39.
88 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
memerlukan sudut (angle) yang berbeda dari perspektif maritim. Tujuan militer tradisional
dalam hal ini bukan berarti diabaikan, namun tujuan-tujuan tersebut menjadi lebih kecil
posinya bila dibandingkan tujuan-tujuan yang selama ini diasumsikan sebagai tujuan
nontradisional seperti ekonomi, budaya yang dimana pada masa Perang zdingin disebut
low politics. Kedaulatan negara bahkan secara teritorial tidak terganggu namun secara
ekonomi bisa saja hancur seperti yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada 1997-1999
dimana Indonesia sendiri mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998. Krisis itu tidak dapat
dihadapi dengan ujung bayonet, karena tidak jelas musuhnya dimana dan kekuatannya
fisiknya berapa.
Demikian pula doktrin matra lain tidak hanya semata-mata untuk nuansa OMP
namun perlu dikembangkan pula dalam nuansa OMSP. Dalam UU No.34/2002 dijelaskan
tentang tugas TNI yaitu Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain
Perang (OMSP). Semakin menurunnya intensitas konflik antar negara maka kerja sama
yang dibangun adalah lebih cenderung dalam dimensi OMSP. Sekalipun latihan militer
gabungan tetap dilaksanakan namun dalam konsep membangun kerjasama. Dalam
konteks hubungan internasional dengan menetapkan visi untuk menjadi bagian dari kerja
sama intenasional dapat diasumsikan masih terlalu luas. Visi untuk ikut menyumbang
pasukan dan menjaga perdamaian internasional di masa depan kelihatan lebih fokus dan
memiliki potensi untuk menjadi bisa diterapkan. Kebijakan maritim memerlukan
pengetahuan dan penerapan yang panjang. Otoritas sipil masih awam dengan kerja sama
yang dilakukan dengan instansi terkait dengan maritim, dan perlunya doktrin yang
menyatukan antara matra-aparat sipil-aktor non negara.
Dalam hubungan internasional maka entitas diluar negara dan bangsa adalah aktor
individual, lembaga, atau institusi, rezim-rezim ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Kebijakan yang dilakukan dalam mengelola maritim di Indonesia merupakan produk
dangkal yang perlu diperdalam sehingga mengoptimalkan peranan entitas di luar negara
dan bangsa.
Peranan para pelaku dagang yang menggunakan alur laut dan maritim Indonesia
bukan tidak mungkin suatu saat akan menjadi sumber perekat kerja sama dan koordinasi
yang baik dalam kepentingan keamanan maritim. Hal ini telah terwujud dalam dimensi
penanggulangan bencana korban pesawat Air Asia MH-370 dimana maskapai ini mampu
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 89
merangkai kerja sama militer antar negara. Sejatinya militer tersebut tidak dapat bekerja
sama tanpa otoritas dari negara. Namun panggilan kemanusiaan atas korban kecelakaan
tersebut sekali lagi membuktikan terjadinya kerjasama antara sipil dan militer, tidak
adanya perbedaan antara pendukung dan kelompok tempur, dan sekaligus membuktikan
bahwa isu OMSP lebih mengena dibandingkan OMP.
Kultural dan struktural maritim inilah yang perlu dibangun bersama antara otoritas
sipil dan militer yang berorientasi pada pemerintahan maritim dengan kebijakan poros
maritim. Semua pihak secara bahu membahu menyusun keseluruhan visi, misi dan
strategi institusinya secara bersinergi yang dimulai dari atas (top down) bagaimana
kebijakan maritim dijalankan dan mengelolanya. Negara mengamanatkan melalui
konstitusi dan regulasi kepada pemerintah untuk memformulasikan legalitas dan
legitimasi sebagai landasan membangun sistem pertahanan negara yang dikenal sebagai
upaya bela negara dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta sebagai suatu
soliditas kekuatan pertahanan militer yang diperankan oleh TNI dan kekuatan pertahanan
nirmiliter yang diperankan oleh masyarakat dengan berbagai latar profesi dan juga
kemampuan industri pertahanan sebagai penopang. Sebagaimana pesan Panglima Besar
Jenderal Soedirman:
”Bahwa Negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka
perlu sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-
badan di luar tentara”.28
Internasionalisasi kekuatan militer Indonesia tentunya tetap berpedoman pada
politik luar negeri Indonesia bebas aktif. Tujuan ideal politik luar negeri Indonesia dalam
pembukaan UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan. Tujuan politik luar negeri Indonesia
dalam pembukaan UUD 1945 adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan hubungan luar negeri dengan
berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional. Pelaksanaan kegiatan
hubungan luar negeri, baik regional maupun internasional, melalui forum bilateral atau
28 Diucapkan dihadapan Konferensi Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 12 November 1945 bertempat di MT-TKR Yogyakarta.
90 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
multilateral, diabdikan pada kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri
yang bebas aktif. Politik Luar Negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif,
dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta
rasional dan luwes dalam pendekatan.
Maka internasionalisasi militer Indonesia dalam kebijakan poros maritim adalah
berorientasi kerjasama dengan negara bangsa lainnya. Kebijakan ini tidak bertentangan
atau sejalan dengan semakin tumbuhnya kejahatan transnasional yang terjadi di laut.
Pulau-pulau Indonesia yang demikian banyak juga dapat menjadi kemungkinan
persinggahan atau dalam istilah militer sebagai pancangan kaki. Perubahan paradigma
dalam doktrin maka pancangan kaki yang dilakukan oleh militer adalah dalam kerangka
berpikir OMSP.
Kerja sama yang dibangun oleh Indonesia dengan negara lain hendaknya
terbangun melalui doktrin kerja sama antar matra yang bersinergi. Kerja sama antar
matra ini selanjutnya diimplementasikan dalam setiap kegiatan operasi gabungan yang
tidak hanya dalam konteks OMP namun juga OMSP yang terjalin erat dengan komponen
bangsa lainnya.
Kesimpulan
Indonesia harus menjamin keamanan maritim di perairan yurisdiksinya, selain itu
Indonesia juga harus peduli dan menaruh perhatian terhadap berbagai permasalahan
keamanan maritim kawasan (khususnya yang mengemuka di kawasan Asia Tenggara),
karena jika permasalahan keamanan maritim tersebut tidak tertangani dengan baik maka
akan berimplikasi juga terhadap Poros Maritim Indonesia.
Munculnya kelompok yang optimis dan pesimis dalam konteks Indonesia terhadap
perubahan tersebut tidak perlu mengurungkan niat untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara maritim. Militer dengan segala kepentingan pertahanannya dan sebagai organisasi
posmodern yang solid dan mapan dibutuhkan peranannya dalam bersinergi dengan
aparatur sipil. Namun di sisi lain, militer juga menghadapi minimnya pandangan sebagian
masyarakat akan ketakutan merambahnya militer seperti halnya yang terjadi pada masa
lalu. Kultur militer semakin disempurnakan dengan adanya paradigma maritim sehingga
Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2 91
budaya selalu di depan, dominasinya mulai dikurangi di tengah maraknya tuntutan
supremasi sipil dan peran entitas di luar negara. Namun perlu diingat bahwa budaya
militer sekalipun tidak lagi mendominasi, militer tetap melihat, mengamati, dan
menganalisa perubahan tersebut guna menjaga utuhnya NKRI sebagaimana adagium “old
sodiers never die, they just fade away.” Hal ini merupakan salah satu tulang punggung
negara dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Daftar Pustaka
Buku
Burchill, S., A. Linklater, R. Devetak, J. Donnelly, M. Paterson, C. Reus-Smit, & J. True. 2005. Theories of International Relations 3rd ed. New York: Palgrave Macmillan.
Bleiker, R. 2000. "Popular Dissent, Human Agency and Global Politics", dalam S. Burchill, A. Linklater, R. Devetak, J. Donnelly, M. Paterson, C. Reus-Smit, & J. True. Theories of International Relations 3rd Edition. New York: Palgrave Macmillan.
Clark, Maudemarie. Nietzsche on Truth and Philosophy. 1990. New York: Cambridge University Press.
Gordon, Colin (Ed.). 1980. Power/Knowledge. Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 Michel Foucault. New York: Pantheon Books.
Jackson, R. & George Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press.
Moskos, Charles C. et al. 2010. Militer Pasca Perang Dingin, Militer Posmo: Seri Kajian Sosiologi Militer. Terjemahan Syamsul Maarif. Jakarta: Prenada Media Group.
Lentner, Howard H. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.
Mas’oed, Mohtar. 1996. Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan M. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Roe, Michael. 2013. Maritime Governance and Policy-making. London: Springer.
Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jendela.
Jurnal
Krulak, Charles. 1997. “The Three Block War: Fighting in Urban Areas”. Jurnal Vital Speech of the Day. Vol. 64.No. 5. 15 Desember.
Buffaloe, David L. 2006. "Defining Asymmetry Warfare". the Land Warfare Papers. No. 58. Virginia: The Institute of Land Warfare.
92 Jurnal Pertahanan Agustus 2015, Volume 5, Nomor 2
Website
Mattis, James N., dan Frank Hoffman, "Future Warfare: The Rise of Hybrid Wars”, 2005, dalam http://www.usni.org, diunduh pada 16 Juni 2015.
Mamahit, Bobby R, “Kemenhub: Tol Laut Libatkan 24 Pelabuhan di Seluruh Nusantara”, 2015, dalam http://jurnalmaritim.com/, diunduh pada 16 Juni 2015.
“Menuju Indonesia sebagai Negara Poros Maritim”, dalam http://setkab.go.id/, diunduh pada 26 Juni 2015.
“Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri”, dalam http://www.bakosurtanal.go.id/, diunduh pada 20 Juni 2015.
“Panglima TNI: Angkatan Laut Tentukan Poros Maritim”, dalam http://www.antaranews.com/nasional/umum, diunduh pada 20 Juni 2015.
Recommended