View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
1/342
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA PANGANTERHADAP KETAHANAN PANGAN
DAN DAMPAKNYA PADA
STABILITAS EKONOMI MAKRO
NYAK ILHAM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
2/342
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi Saya yang berjudul:
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP
KETAHANAN PANGAN DAN DAMPAKNYA PADA STABILITAS
EKONOMI MAKRO
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi Saya sendiri, dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi
lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 27 November 2006
NYAK ILHAMNRP. A. 161020071
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
3/342
iii
ABSTRAK
NYAK ILHAM. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangandan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro (BONAR M. SINAGA sebagaiKetua, WILSON H. LIMBONG, HERMANTO SIREGAR, dan D.S.
PRIYARSONOsebagai Angota Komisi Pembimbing)Di negara yang pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih besar selalu
dijumpai permasalahan kurang pangan sehingga memerlukan perhatian pemerintah.Perhatian tersebut di antaranya berupa kebijakan harga pangan yang bertujuanmemberi insentif bagi petani untuk memproduksi pangan dan menjamin harga panganyang stabil bagi konsumen. Harga pangan yang tidak stabil dapat menyebabkaninstabilitas ekonomi makro. Permasalahannya adalah kecenderungan pasar yangmengglobal dan semakin terbatasnya anggaran pemerintah untuk mendukung
pembangunan membuat kebijakan harga pangan semakin sulit dilaksanakan. Tujuanpenelitian ini adalah: (1) menganalisis dinamika pangsa pengeluaran pangan sebagaiproksi dari kesejahteraan penduduk, (2) menganalisis efektivitas kebijakan harga
pangan terhadap ketahanan pangan, (3) menganalisis dampak kebijakan harga panganterhadap stabilitas ekonomi makro, dan (4) menganalisis efektivitas kebijakan hargapangan terhadap stabilitas ekonomi makro. Hasil penelitian ini diharapkan bergunauntuk meyakinkan berbagai pihak bahwa kebijakan harga pangan tersebut masihrelevan untuk dilakukan.
Analisis data menggunakan pendekatan ekonometrika. Analisis dinamikapangsa pengeluaran pangan menggunakan data Susenas 1996, 1999, dan 2002 danmodel regresi. Analisis efektivitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan
pangan menggunakan data sekunder deret waktu 1975-2004 dan model ErrorCorection Model. Analisis dampak kebijakan harga pangan terhadap keseimbangandan stabilitas ekonomi makro menggunakan data sekunder deret waktu 1980.1-2004.4dan model Vector Error Correction Model untuk menganalisis Impulse Response
FuctionForecast Error Variance Decomposition.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) pangsa pengeluaran pangan layak
dijadikan indikator ketahanan pangan, dan berdasarkan indikator tersebut hasilpembangunan selama ini lebih dinikmati penduduk berpendapatan tinggidibandingkan penduduk berpendapatan sedang dan rendah, (2) kebijakan harga
pangan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan, namun masih belum efektif danbias kepada ketersediaan energi dan tidak berpengaruh terhadap ketersediaan protein,(3) kebijakan harga pangan tidak berpengaruh terhadap konsumsi energi dan protein,ketersediaan pangan ditingkat nasional tidak menjamin akses pangan penduduk, (4)kebijakan harga pangan mengakibatkan stagflasi ekonomi namun tidak menyebabkan
peningkatan pengangguran dan instabilitas pada perekonomian makro, dan (5)kebijakan moneter baik secara langsung maupun tidak langsung efektif menentukan
stabilitas ekonomi makro, sedangkan kebijakan harga pangan kurang efektifmenentukan stabilitas ekonomi makro dan kebijakan perdagangan tidak efektifmenentukan stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan temuan dan kesimpulan
penelitian ini maka pemerintah masih relevan melakukan kebijakan harga pangan,namun masih diperlukan perbaikan dalam implementasinya.
Kata kunci: Kebijakan harga , ketahanan pangan, stabilitas ekonomi makro
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
4/342
iv
ABSTRACT
NYAK ILHAM, The Effectiveness of food pricing policy on food security and theimpact on macroeconomic stability (BONAR M. SINAGA as Chairman, WILSON
H. LIMBONG, HERMANTO SIREGAR, and D. S. PRIYARSONOas Membersof Advisory Committee).
In a country which the share of food expenditure is sufficient large, it is easyto find food deficiency problems that need more attention from the government. Theattention is in the form of food pricing policy that aimed to give incentive for farmerto produce food and ensure stable food price for the consumer. Unstable food pricewill result instability of macroeconomic. The problems are that the market tends toglobal and lack of government budget to support development therefore food price
policy is more difficult to be implemented. The objective of this research are in orderto : (1) analyze dynamics of food expenditure share as proxy of public welfare, (2)analyze effectiveness of food pricing policy on food security, (3) analyze the impactof food pricing policy on stability of macroeconomic, and (4) analyze effectiveness offood pricing policy on stability of macroeconomic. The result is suggested useful toensure the relevant parties that the food pricing policy is relevant to be implemented.
The econometrics approach was used to analyze the available data. Analysisof dinamics of food expenditure share is using Susenas Data for 1996, 1999, and 2002and regression model. The analysis of effectiveness of food pricing policy on foodsecurity is using secondary time series data for 1975-2004 and Error Correction
Model. Furthermore, the analysis of the impact of food pricing policy on equilibriumand stability of macroeconomic is using secondary time series data for 1980.1 2004.4 and Vector Error Correction Model to analyze Impulsee Response Functionand Forecast Error Variant Decomposition.
The result was indicated that: (1) food expenditure share is feasible as
indicator for food security and the development result is more enjoyed by higherincome resident than the middle and lowest one, (2) food pricing policy is havingsignificant effect on food availability, however still ineffective and bias to energyavailability and having no effect on protein availability, (3) food pricing policy showsnot significant effect on energy and protein consumption, while the food availabilty isnot ensure food acces for the resident, (4) food pricing policy caused stagflation but isnot resulting an increasing in unemployment and instability of macroeconomiccondition,and (5) monetary policy, directly and indirectly, is effective to determinemacroeconomic stability, while food pricing policy shows moderate effect onmacroeconomic stability and trade policy is ineffective to detremine macroeconomicstability. According to the result, the conclusion is that the government is relevant toimplement food pricing policy, however need improvement in the implementation.
Keywords: Price policy, food security, macroeconomic stability
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
5/342
v
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA PANGANTERHADAP KETAHANAN PANGAN
DAN DAMPAKNYA PADASTABILITAS EKONOMI MAKRO
NYAK ILHAM
DisertasiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktorpada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
6/342
vi
Judul Disertasi : Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadapKetahanan Pangan dan Dampaknya pada StabilitasEkonomi Makro
Nama : Nyak Ilham
Nomor Pokok : A 161020071
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MSKetua Anggota
Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc. Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MSAnggota Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascasarjanaIlmu Ekonomi Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 21 September 2006 Tanggal Lulus: 04 Desember 2006
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
7/342
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1958 di Delitua-Medan.
Merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari Bapak Abdullah NyaAli
(Almarhum) dan Ibu Sabirah (Almarhumah).
Pada tahun 1971 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN No.1 Timbang
Langkat Binjai, kemudian melanjutkan sekolah pada SMPN No.1 Binjai dan lulus
pada tahun 1974. Tahun 1977 lulus dari SMA Negeri Binjai.
Melalui saringan masuk Proyek Perintis I (SKALU) tahun 1978 penulis
meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Peternakan diperoleh
pada tahun 1982. Tahun 1996 melanjutkan studi Program Magister pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan
lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2002 penulis diberikan kesempatan untuk
melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Riwayat pekerjaan dimulai dari 1983-1993 penulis bekerja pada Balai
Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Indrapuri-Aceh, Direktorat Jenderal
Peternakan. Tahun 1994 hingga saat ini bekerja pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Tahun 1985 menikah dengan Nurningsih dan dikarunia empat putra: Indra
Akbar Dilana (1986), Muhammad Taufiq Patra (1988), Fajar Firmana (1993), dan
Fajri Gemara (Almarhum:1993-1997).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
8/342
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Berkat
dan Rahmat-Nya disertasi dengan judul: Efektivitas Kebijakan Harga Pangan
terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro dapat
diselesaikan. Tema itu dipilih dilatar belakangi oleh masih banyak masalah kurang
pangan dan perdebatan arah kebijakan pangan akhir-akhir ini.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir.
Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan
arahan dan bimbingan terutama mengenai permodelan, penyajian, dan konsistensi
dalam penyusunan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS selaku
Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
disertasi dan dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Kepada Dr.
Ir. Hermanto Siregar, MEc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan terutama dalam permodelan, pengolahan data, dan penyajian
hasil penelitian. Kepada Dr. Ir. D. S. Priyarsono, MS selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan bimbingan terutama dalam aspek ketahanan
pangan dan penyajian hasil penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Prof. Dr. Bustanul Arifin (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila Lampung dan
Ekonom Senior INDEF Jakarta) dan Dr. Kaman Nainggolan (Kepala Badan
Ketahanan Pangan Departemen Pertanian) atas kesediaannya selaku dosen penguji
luar komisi pada ujian terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Kepala Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) Departemen Pertanian, Dr. Ir.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
9/342
ix
Tahlim Sudaryanto, MS, yang memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti
Program Doktor di IPB Bogor. Kepada Pihak Proyek PAATP Departemen Pertanian
yang memberikan beasiswa untuk melanjutkan studi pada Program Doktor. Kepada
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
yang telah merekomendasikan penulis untuk dapat melanjutkan studi pada Program
Doktor di IPB Bogor. Kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang
S3pada IPB Bogor.
Terima kasih kepada pihak Biro Kredit dan Perpustakaan Bank Indonesia,
serta Perpustakaan PSE-KP Bogor yang memberikan kemudahan dalam pengumpulan
data yang diperlukan. Kepada Nina, staf pengolah data pada PSE-KP, yang
membantu mengolah data Susenas yang ada pada PSE-KP. Kepada teman-teman
anggota Tim Hibah Pasca di bawah bimbingan Dr. D.S. Priyarsono dan Dr. Arief
Daryanto yang memberikan masukan dan dukungan dana. Kepada Dr. M. Husein
Sawit yang memberikan bahan bacaan dan kesempatan berdiskusi. Kepada Dr. D.
Iwan Riswandi dan Ir. Yundy H, MS yang memberikan waktu berdiskusi
mengaplikasi program Microfit. Demikian juga untuk teman-teman pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian angkatan 2002 sebagai teman belajar dan diskusi
bersama dalam menghadapi ujian-ujian smester dan prelim.
Teristimewa untuk kedua orang tua (almarhum), kedua mertua, isteri, dan
keempat putraku, serta seluruh keluarga di Bogor, Jakarta, Tanjung Karang, Medan,
dan Aceh atas kesabaran, doa, dorongan semangat, korbanan, dan kasih sayangnya,.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.
Bogor, 27 November 2006
Nyak Ilham
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
10/342
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
11/342
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
12/342
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
13/342
xiii
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..
8.1. Kesimpulan ....
8.2. Implikasi Kebijakan ...
8.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan
DAFTAR PUSTAKA.
LAMPIRAN .
209
209
211
213
215
225
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
14/342
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Industri Kunci Menurut Indeks Derajat Penyebaran (DP), Tabel I-O2000 yang Diusulkan Sebagai Special Products ...
Perubahan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia Tahun 1996-1999 ..
Pemenuhan Kebutuhan Ketersediaan Pangan dalam Bentuk EnergiMenurut Sumber Pengadaan di Indonesia, Tahun 1961 1999
Perkembangan Perkiraan Dukungan Dana beberapa Negara OECDpada Sektor Pertanian, Tahun 1995-2004 ..
Kekuatan dan Kelemahan Subsidi Pangan melalui Uang Tunai danNatura.
Penerapan Target Inflasi pada Beberapa Negara, Tahun 1990 - 1995
Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan pada Beberapa Negara Industriyang Menerapkan dan Tidak Menerapkan Rejim TargetInflasi..
Biaya Stabilisasi Harga Beras yang Dikeluarkan Bulog, Tahun1996/1997 ...
Biaya Program Operasi Pasar Khusus Periode Agustus 1998-Agustus 1999
Kandungan Energi dan Protein Beras dan Pangan Non Beraslainnya.
Berbagai Jenis Kredit Program Pertanian yang Digunakan menurutSumbernya, Tahun 1975-2004 ...
Beberapa Alternatif Kelompok Bahan Pangan yang DigunakanDalam Model ..
Rataan Konsumsi Energi dan Protein serta Rataan PangsaPengeluaan Pangan menurut Kelompok Pendapatan di Indonesia,
Tahun 1996, 1999, dan 2002 .
Nilai Dugaan Model Hyperbola Pangsa Pengeluaran Pangandengan Konsumsi Energi dan Protein Tahun 1996, 1999, dan 2002..
Pola Pangan Harapan 2020, Bobot dan Skor MaksimumPerhitungan Pola Pangan Harapan .
Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB Per Kapita menurutProvinsi di Indonesia Tahun 2002 .
10
18
19
20
25
32
33
45
45
81
105
106
123
125
129
134
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
15/342
xv
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Jenis Kredit dan Subsidi Pertanian yang Digunakan sebagai ProksiKebijakan Harga Pangan ...
Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadapKetahanan Pangan (LEAV4)
Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Input dan KebijakanHarga Ouput terhadap Ketahanan Pangan (LEAV4) .
Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadapKetahanan Pangan (LPAV4) ..
Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Input dan KebijakanHarga Ouput terhadap Ketahanan Pangan (LPAV4)
Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadapKetahanan Pangan (LEACK4) ..
Distribusi Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan MenurutGolongan Luas Lahan yang Dikuasai, Tahun 1983, 1993, dan 2003.
Nilai Pendugaan Paremater/Elastisitas Jangka Pendek KebijakanHarga Pangan
Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter, dan Perdaganganterhadap Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Jangka Panjang .
Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter, dan Perdaganganterhadap Stabilitas Ekonomi Makro ...
Peran berbagai Guncangan terhadap Variabilitas Ekonomi Makro ...
144
157
159
162
163
164
166
170
194
195
206
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
16/342
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Dampak Subsidi Produsen terhadap Kesejahteraan...
Dampak Subsidi Konsumen terhadap Kesejahteraan.
Dampak Perubahan Teknologi terhadap Kesejahteraan.
Dampak Tarif Impor terhadap Kesejahteraan
Dampak Kesejahteraan Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Ketikaterjadi Perubahan Penawaran ...
Proses Terbentuknya Suatu Kebijakan Melalui PasarPolitik.
Fluktuasi Harga Pangan dan Non Pangan Akibat Perubahan
Produksi..
Hubungan Pendapatan dan Permintaan terhadap Barang denganAsumsi Harga Barang tetap, Kasus Barang Normal (Q1) dan BarangMewah (Q2)
Dampak Peningkatan Pendapatan dan Penurunan Harga Panganterhadap Kesejahteraan dan Konsumsi Pangan..
Pengaruh Gagal Panen terhadap Harga Pangan dan Harga NonPangan....
Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Pasar TenagaKerja pada Perekonomian Tertutup....
Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Makro padaPerekonomian Tertutup......
Kebijakan Stok Pangan saat Produksi Melimpah...
Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Makropada Perekonomian Tertutup..
Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan PasarTenaga Kerja pada Perekonomian Tertutup ..
Hubungan Gangguan Produksi Pangan Domestik dan PasarInternasional...
Keterkaitan Stabilisasi Harga Pangan dengan Ketahanan Pangandan Stabilitas Ekonomi Makro...
Tahapan Kerangka Analisis ..
42
43
43
44
46
56
58
60
62
67
69
70
71
73
74
75
90
95
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
17/342
xvii
19.
20.
21.
22.
22
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Konsumsi Energi padaberbagai Kelas Pendapatan di Indonesia Tahun 2002 ..
Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Skor Pola Pangan
Harapan di Indonesia Tahun 1996-1999-2002
Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Skor Pola PanganHarapan pada Tiga Provinsi di Indonesia Tahun 1999 ..
a. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB-TanpaMigas Per Kapita di Provinsi Indonesia Tahun 2002 ..
b. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB Dengan MigasPer Kapita di Provinsi Indonesia Tahun 2002 ..
Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan menurut Kelompok
Pendapatan di Indonesia Tahun 1969-2002 ...
Dinamika Pangsa Pengeluaran Padi-padian Penduduk selamaSebulan menurut Kelompok Pendapatan di Indonesia Tahun 1969-2002 ..
Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Penduduk selama Sebulanmenurut Wilayah di Indonesia Tahun 1969-2002 .....
Dinamika Pangsa Pengeluaran Padi-padian Penduduk selamaSebulan menurut Wilayah di Indonesia Tahun 1969-2002 ..
Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan Januari 2001-Desember 2004di Indonesia ...
Perkembangan Ketersediaan Energi Per Kapita Per Hari diIndonesia Tahun 1975-2003 .
Perkembangan Ketersediaan Protein Per Kapita Per Hari diIndonesia Tahun 1975-2003 .
Rata-Rata Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita Per Hari diIndonesia Tahun 1975-2003 ...
Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita per HariMenurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per HariMenurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita Per HariMenurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per HariMenurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003 ....
128
130
131
133
133
137
138
139
140
149
150
151
151
152
152
154
155
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
18/342
xviii
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan KebijakanHarga Pangan .
Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga
Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan ...
Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan HargaPangan ..
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan .
Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan .
Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan...
Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan HargaPangan.
Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Moneter...
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter ...
Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Moneter ..
Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Moneter ...
Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Moneter ..
Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Moneter .
Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter ...
Respon Neraca Pedagangan terhadap Guncangan KebijakanMoneter .
Respon Kebijakan Harga Pertanian terhadap Guncangan KebijakanMoneter ..
Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan KebijakanPerdagangan ..
Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan KebijakanPerdagangan
176
176
176
177
177
177
178
178
178
185
185
186
186
186
187
187
187
188
191
191
191
192
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
19/342
xix
57.
58.
59.
60.
61.
.
Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan ..
Respon Pengangguran terhadap Guncangan KebijakanPerdagangan.
Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan
Perdagangan
Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan.
192
192
193
193
193
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
20/342
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Perkembangan Data Ketersediaan dan Konsumsi Energi Pangan di
Indonesia, Tahun 1975-2004 ...
Perkembangan Data Ketersediaan dan Konsumsi Protein Pangan diIndonesia, Tahun 1975-2004 ...
Data Analisis Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan diIndonesia, Tahun 1975-2004 ..
Data Analisis Kebijakan Harga Pangan terhadap Stabilitas EkonomiMakro di Indonesia, Tahun 1980.1 2004.4 .
Program Komputer yang Digunakan untuk Pengujian Unit-Root
menggunakanADF-testdenganMicrofit .
Ringkasan Hasil Pengujian Unit-Root Variabel-variabel KebijakanHarga Pangan dan Ketahanan Pangan dengan Intersep tanpa Trend danIntersep dengan Trend Berdasarkan Pengujian DF (Dickey-Fuller) danADF (Augmented Dickey-Fuller)MenurutSchwarz Bayesian Criterion
Ringkasan Hasil Pengujian Unit-Root Variabel-variabel KebijakanHarga Pangan dan Ekonomi Makro dengan Intersep tanpa Trend danIntersep dengan Trend Berdasarkan Pengujian DF (Dickey-Fuller) danADF (Augmented Dickey-Fuller)MenurutSchwarz Bayesian Criterion
Program Komputer yang Digunakan untuk Pengujian Ordo LagOptimal pada Sistem Persamaan denganMicrofit...
Hasil Pengujian Ordo Lag Optimum UnrestrictedVAR
Program yang Digunakan untuk Pengujian Kointegrasi dan PendugaanModel ECM (Kasus Univariat) denganMicrofit
Program yang Digunakan untuk Pengujian Kointegrasi dan PendugaanModel VECM (Kasus Multivariat) denganMicrofit...
Hasil Pengujian Rank Kointegrasi
Program yang Digunakan untuk Melakukan Restriksi Umum denganMatriks Identitas dan Restriksi Spesifik denganMicrofit ..
Program yang Digunakan untuk Pendugaan VECM, Inovasi IRF danFEVD denganMicrofit ...
Hasil Uji Kointegrasi dan Pendugaan ECM Pengaruh Kebijakan HargaPertanian (IOPP) terhadap Ketersediaan Pangan
225
227
229
235
244
245
247
248
249
250
251
252
253
254
255
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
21/342
xxi
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Hasil Uji Kointegrasi dan Pendugaan ECM Pengaruh Kebijakan HargaInput Pertanian (AGIP) dan Kebijakan Harga Output Pertanian(AGOP) terhadap Ketersediaan Pangan .
Hasil Uji Kointegrasi dan Pendugaan ECM Kebijakan Harga Pertanian
(IOPP) terhadap Ketersediaan Protein .
Hasil Uji Kointegrasi dan Pendugaan ECM Kebijakan Harga InputPertanian (AGIP) dan Harga Output Pertanian (AGOP) terhadapKetersediaan Protein ...
Hasil Uji Kointegrasi dan Pendugaan ECM Kebijakan Harga Pertanian(IOPP) terhadap Konsumsi Energi .
Hasil Restriksi Umum
Hasil Restriksi Khusus .
Hasil Pendugaan Model VECM .
Respon Dinamik Variabel Kunci Ekonomi Makro terhadap GuncanganKebijakan Harga Pangan
Respon Dinamik Variabel Kunci Ekonomi Makro terhadap GuncanganKebijakan Moneter ..
Respon Dinamik Variabel Kunci Ekonomi Makro terhadapGuncanganKebijakan Perdagangan ..
267
277
285
293
297
298
299
317
319
321
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
22/342
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Berlakang
Isu ketahanan pangan selalu menjadi topik studi penting karena pangan adalah
kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan stabilitas
sosial politik sebagai prasyarat melaksanakan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Karena itu pemerintahan suatu negara sangat
berkepentingan terhadap masalah pangan. Di satu sisi ia berkewajiban memenuhi
kebutuhan dasar tersebut. Di sisi lain, ia memerlukan kondisi stabilitas sosial dan
politik untuk kelangsungan kekuasaannya.
Dari sisi permintaan, makin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara
pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya
(Deaton dan Muellbauer, 1980). Pada negara dengan pangsa pengeluaran pangan
penduduknya masih besar selalu dijumpai permasalahan kekurangan pangan sehingga
harus memerlukan perhatian yang lebih. Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah
satu indikator ketahanan pangan, makin besar pangsa pengeluaran untuk pangan
berarti ketahanan pangan semakin berkurang (Suhardjo, 1996).
Banyak indikator lain yang digunakan untuk melihat ketahanan pangan,
namun beberapa di antaranya sulit diukur. Indikator yang baik mempunyai ciri:
cukup sederhana untuk pengumpulan dan penafsirannya, objektif, dapat diukur
dengan angka, dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya program
(Soehardjo et al., 1986). Indikator ketahanan pangan paling tidak dapat
merepresentasikan jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi sesuai norma gizi yang
ada. Diduga, pangsa pengeluaran pangan yang mencerminkan tingkat kesejahteraan
mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan
indikator lain.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
23/342
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
24/342
3
operasionalnya, konsep mandiri diskenariokan sebagai kondisi dimana kebutuhan
pangan nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Elastisitas permintaan dan penawaran pangan yang rendah menyebabkan
besarnya fluktuasi harga pangan (Nicholson, 2000). Impor pangan untuk mengatasi
fluktuasi harga tanpa pengendalian dapat menyebabkan terganggunya kesinambungan
usaha produsen pangan lokal karena harga produk impor kecenderungannya lebih
murah dibandingkan produk lokal. Harga yang rendah tersebut tidak mencerminkan
tingkat efisiensi, tetapi telah terdistorsi dengan berbagai bantuan dari pemerintah
mereka (Sawit, 2003).
Fenomena produksi, perdagangan dan konsumsi pangan di atas menuntut
peran pemerintah agar produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Peran
tersebut diharapkan mampu mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, diperlukan tujuan antara, dalam
konteks ini adalah stabilitas harga pangan yang dapat dilakukan melalui kebijakan
harga pangan. Menurut Ellis (1992), salah satu tujuan kebijakan harga pangan adalah
menstabilkan harga pangan agar mengurangi ketidakpastian petani dan menjamin
harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro.
Penelitian ini menjadi penting mengingat kecenderungan pasar yang dihadapi
setiap negara semakin mengglobal. Perubahan lingkungan strategis tersebut, menurut
Simatupang dan Syafaat (2002), menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar
domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar. Dengan perkataan lain, dinamika
harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara
simultan, yaitu: pasar komoditas internasional, pasar komoditas domestik, dan pasar
valuta asing. Dengan kondisi seperti itu, kebijakan harga pangan yang dilakukan
dalam rangka pengendalian inflasi dan pemantapan ketahanan pangan semakin sulit
dilaksanakan pemerintah (Simatupang et al.2002).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
25/342
4
Namun demikian, jika globalisasi dapat menyebabkan tujuan pembangunan
makin menjauh, diperlukan peran pemerintah untuk menyeimbangkan level of playing
field yang jauh tidak seimbang antara negara maju dengan negara berkembang.
Menurut Aggarwal dan Agmon (1990), peran pemerintah penting untuk mengarahkan
perubahan awal keunggulan komparatif negara dalam perdagangan internasional,
tetapi peran tersebut perlahan-lahan digantikan oleh sektor korporasi dengan semakin
berkembangnya negara. Dengan demikian adalah relevan untuk mensinkronkan
antara kebijakan di lingkup perdagangan internasional dengan kebijakan peningkatan
produksi dalam negeri. Sinkronisasi ini hendaknya tercermin dalam proses formulasi
dan implementasi kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah kebijakan harga pangan
dengan tujuan utama mensejahterakan sebagian besar masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah
Saat ini, jika pemerintah melaksanakan kebijakan harga pangan akan
menghadapi dua masalah utama. Masalah eksternal berkaitan dengan perubahan
lingkungan strategis perdagangan internasional dengan kecenderungan semakin
meningkatnya derajat liberalisasi. Masalah internal dengan semakin terbatasnya
anggaran pemerintah mendukung pembangunan. Berdasarkan hal tersebut masih
dijumpai inkonsistensi kebijakan, ada kelompok yang ingin tetap mepertahankan
produksi pangan domestik dengan dukungan pemerintah dan ada kelompok yang
ingin melepas masalah pangan menurut mekanisme pasar. Akibatnya terlihat
ketidakselarasan antara apa yang diperjuangkan di bidang pertanian dan perdagangan
di WTO dengan apa yang dilaksanakan di dalam negeri (Sawit, 2003).
Kesepakatan WTO menghendaki semua anggotanya, termasuk Indonesia,
meningkatkan derajat liberalisasi perdagangan. Alasannya, kesepakatan tersebut akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dunia. Namun perbedaan pendapat
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
26/342
5
tentang manfaat liberalisasi perdagangan hingga saat ini masih tetap berlangsung,
khususnya yang diatur dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture=AoA).
Kelompok pro liberalisasi beranggapan bahwa makin liberal kegiatan
perdagangan akan diperoleh nilai tambah bagi semua negara-negara di dunia
(Bosworth, 2003). Hasil proyeksi Anderson dan Strutt (1999) jika Indonesia
membuka pasar dengan menurunkan tingkat tarif dan melakukan deregulasi dalam
pasar pertanian domestik maka pertumbuhan GDP akan lebih meningkat. Studi lain
menunjukkan bahwa dampak liberalisasi justru akan membuat negara kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin, sehingga senjang kesejahteraan semakin
melebar (Ilham, 2003; dan Addison dan Cornia, 2001).
Putaran Uruguay di Maroko pada April 1994 menghasilkan beberapa hal
penting, di antaranya diikutsertakannya produk-produk pertanian dalam kesepakatan
liberalisasi perdagangan. Ada tiga elemen penting dalam kesepakatan tersebut
mengenai bidang pertanian: (1) peningkatan akses pasar, (2) pengurangan bantuan
domestik untuk negara berkembang dan negara maju, dan (3) pengurangan subsidi
ekspor untuk negara berkembang dan negara maju.
Ketiga elemen tersebut hingga saat ini belum dijalankan secara seimbang.
Pihak negara maju menuntut agar akses pasar semua anggota ditingkatkan dengan
menurunkan tarif bea masuk dan mengubah hambatan bukan tarif menjadi tarif.
Sementara itu, negara maju dengan sumberdaya dana yang besar masih tetap
melakukan bantuan domestik dan subsidi ekspor pada produk pertanian yang
dihasilkannya. Bahkan untuk beberapa produk pangan utama negara maju masih
menerapkan tarif yang tinggi. Ketidakkonsistenan kesepakatan tersebut menyebabkan
ketidakadilan bagi negara anggota yang tergabung dalam negara berkembang,
sehingga kini belum ada kesepakatan bulat tentangAoA.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
27/342
6
Bagi Indonesia sebagai negara yang berbasis pertanian dengan jumlah
penduduk yang besar, fenomena tersebut harus mendapat perhatian dan diantisipasi.
Jika tidak, produk-produk pertanian Indonesia akan kalah bersaing di pasar
internasional, termasuk di pasar domestik. Hal itu disebabkan harga produk-produk
di pasar internasional belum mencerminkan tingkat efisiensi, tetapi ada distorsi
berupa bantuan domestik dan subsidi ekspor. Untuk itu pemerintah berfungsi
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh mekanisme pasar yang telah
menyebabkan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan (Komarudin, 1993).
Pengalaman negara berkembang yang membuka pasar dan mengurangi
bantuan terhadap petani sejak 1995, menyebabkan tingkat kemiskinan tidak membaik,
pembangunan pedesaan merosot, impor pangan meningkat pesat, dan mengancam
ketahanan pangan, serta arus urbanisasi tidak bisa terkontrol, sehingga menimbulkan
persoalan baru di perkotaan (Sawit, 2003).
Dalam jangka pendek masuknya produk impor dengan harga murah seakan
menguntungkan konsumen. Namun dalam jangka panjang akan menghilangkan
kesempatan kerja di sektor produksi domestik. Jika tidak ada peralihan kerja ke
sektor lain akan meningkatkan pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat
sehingga turunnya harga dunia akibat adanya distorsi menjadi tidak berarti. Bahkan
dalam jangka panjang ketergantungan ini akan sangat berbahaya bagi integritas
bangsa dan negara.
Dengan demikian tidak perlu tergesa-gesa melepas masalah pangan pada
mekanisme pasar. Potensi sumberdaya lokal yang tersedia perlu dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain untuk memenuhi kebutuhan
pangan. Upaya tersebut tentunya membutuhkan dukungan pemerintah antara lain
berupa kebijakan insentif harga dan atau kebijakan insentif non harga (irigasi,
penelitian, penyuluhan, jalan di wilayah pertanian, dll).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
28/342
7
Dicabutnya beberapa kebijakan insentif harga seperti subsidi sarana produksi
dan subsidi pengadaan pangan satu dekade terakhir menyebabkan makin
meningkatnya pasokan pangan impor. Kalaupun pemerintah sangat membatasi impor
akan menyebabkan harga pangan domestik meningkat. Naiknya harga pangan yang
tidak diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat sejak krisis ekonomi
menyebabkan meningkatnya ketidaktahanan pangan di Indonesia.
Dengan kondisi seperti itu, kebijakan harga pangan yang dilakukan selama ini
dapat digunakan sebagai alasan untuk mengantisipasi ketidakkonsistenan negara maju
dalam melaksanakan kesepakatan AoA. Namun demikian, dalam jangka panjang,
dengan alasan ketahanan pangan dan kestabilan pembangunan nasional kebijakan
tersebut dapat juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian apakah kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan
dan menstabilkan harga pangan memang diperlukan dan efektif dilaksanakan.
Perlunya kebijakan tersebut diindikasikan oleh besarnya pangsa pengeluaran
pangan di masyarakat. Jika pangsa pengeluaran pangan masih relatif tinggi, maka
kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan di
tingkat nasional, daerah, rumah tangga, dan penduduk masih diperlukan. Kebijakan
harga pangan, baik dalam bentuk kebijakan harga input maupun kebijakan harga
output sudah sejak lama dilakukan untuk mendukung produksi pangan nasional,
sehingga seharusnya sudah mampu meningkatkan pendapatan petani dan
kesejahteraan masyarakat. Pangsa pengeluaran pangan yang relatif tinggi juga akan
mempengaruhi kestabilan ekonomi makro. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan
tersebut diperlukan untuk menjaga kestabilan ekonomi makro atau jika kebijakan
tersebut dilakukan tanpa pengendalian justru keberadaannya dapat menyebabkan
instabilitas ekonomi makro.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
29/342
8
Secara konsep teoritis kebijakan-kebijakan tersebut mampu meningkatkan
ketahanan pangan dan mengendalikan kestabilan ekonomi makro. Namun keefektifan
kebijakan tersebut terutama sangat dipengaruhi oleh penyelenggara negara sebagai
elemen pengambil kebijakan. Karena kelompok ini yang melakukan value judgement
dari hasil formulasi yang dianalisis oleh para ahli. Artinya ketidakefektifan suatu
kebijakan dapat disebabkan oleh formulasi kebijakan yang tidak tepat atau
penyelenggara negara yang tidak amanah. Dengan demikian ketidakefektifan suatu
kebijakan, solusinya tidak harus dengan cara mencabut kebijakan tersebut, tetapi perlu
terlebih dahulu melakukan evaluasi sebab ketidakefektifannya.
Suatu kebijakan dikatakan efektif, jika penyelenggara negara berperilaku
sebagai abdi negara dan memiliki derajat ketidaksabaran (marginal rate of time
preference) yang rendah, artinya kebijakan yang diambil semata hanya untuk
kesejahteraan masyarakat dan tidak hanya melihat dalam jangka pendek, tetapi juga
melihat ke masa depan. Sebaliknya, jika penyelenggara negara cenderung hanya
mementingkan sekelompok masyarakat dan MRTP-nya tinggi maka keefektifan suatu
kebijakan akan berkurang.
Dari uraian di atas permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Berapa besar pangsa pengeluaran penduduk yang dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan? Bagaimana keeratan hubungan pangsa pengeluaran pangan
dan ketahanan pangan?
2. Bagaimana dinamika pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total
penduduk sebagai indikator ketahanan pangan selama 33 tahun terakhir pada
lingkup agregat nasional, kelompok pendapatan dan wilayah desa-kota?
3. Apakah kebijakan harga pangan yang dirinci menjadi kebijakan harga input,
kebijakan harga output dan kebijakan harga input-output efektif meningkatkan
ketahanan pangan.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
30/342
9
4. Bagaimana dampak kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro?
5. Apakah kebijakan harga pangan berpengaruh efektif terhadap stabilitas ekonomi
makro?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas kebijakan harga
pangan yang dilakukan pemerintah terhadap ketahanan pangan dan bagaimana
dampak kebijakan tersebut terhadap stabilitas ekonomi makro. Secara khusus
penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisis hubungan pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan.
2. Menganalisis dinamika pangsa pengeluaran pangan sebagai proksi dari
kesejahteraan penduduk.
3. Menganalisis efektivitas kebijakan harga pangan yang terdiri dari kebijakan
harga input, kebijakan harga output, dan kebijakan harga input-output terhadap
ketahanan pangan.
4. Menganalisis dampak kebijakan harga pangan, kebijakan moneter dan
kebijakan perdagangan terhadap keseimbangan dan stabilitas ekonomi makro.
5. Menganalisis efektivitas kebijakan harga pangan, kebijakan moneter, dan
kebijakan perdagangan terhadap stabilitas ekonomi makro.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk mengevaluasi efektivitas
kebijakan harga pangan yang telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja kebijakan
sesuai dengan tujuan pembangunan pertanian khususnya dan pembangunan nasional
umumnya, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini juga
dapat digunakan untuk melengkapi justifikasi ilmiah bagi Indonesia dalam
mengusulkan Konsep Special Products kepada WTO yang telah dilakukan
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
31/342
10
Simatupang (2004) dan Sawit et al. (2004) (Tabel 1). Konsep tersebut mengajukan
agar komoditas strategis yang amat penting untuk hajat hidup orang banyak, baik dari
segi lapangan kerja maupun jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan dan
dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan, serta preservasi dan stabilitas sosial-
politik yang sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian,
dikecualikan dari agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi
perdagangan produk pertanian.
Tabel 1. Industri Kunci Menurut Indeks Derajat Penyebaran (DP) Tabel I-O 2000yang Diusulkan Sebagai Special Products
NoSektorAsli
Nama SektorIndeks
DPF vs NF
NI vs NE
A. Sektor Kunci Pendorong Pembangunan
1 50 Daging olahan dan awetan 1.45961 F dan NI
2 51 Makanan & minuman terbuat dari susu 1.33981 F dan NI
3 68 Makanan lainnya 1.32968 F dan NI
4 57 Beras 1.32792 F dan NI
5 62 Gula 1.28448 F dan NI
6 49 Daging, jeroan dan sejenisnya 1.24609 F dan NI
7 27 Unggas dan hasil-hasilnya 1.21732 F dan NI
8 59 Tepung lainnya 1.16931 F dan NI
9 52 Buah-buan & sayuran olahan dan awetan 1.11091 F dan NI
10 67 Hasil pengolahan kedele 1.08014 F dan NI
11 26 Susu segar 1.05838 F dan NI
B. Sektor kunci penghela industri/sektor
12 1 Padi 1.47744 F
13 13 Tebu 1.28386 F14 2 Jagung 1.13572 F dan NI
15 25 Ternak & hasilnya, kecuali susu segar 1.04825 F dan NI
16 27 Unggas dan hasil-hasilnya 1.03158 F dan NI
Keterangan: F= food; NF= non-food; NI= net- importerSumber: Sawit et al.(2005).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
32/342
11
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mencakup dua aspek penting. Pertama, menganalisis efektivitas
kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan kedua, menganalisis dampak
kebijakan harga pangan terhadap kestabilan ekonomi makro. Sebelum melangkah
pada dua aspek tersebut, untuk menjustifikasi pentingnya penelitian ini juga dianalisis
pangsa pengeluaran yang dibelanjakan untuk pangan terhadap pengeluaran total.
Di Indonesia pengelolaan kebijakan pertanian dilakukan tersentralisasi.
Alokasi dana yang digunakan untuk mendukung kebijakan pertanian, termasuk
kebijakan harga pangan bersumber dari kredit bersubsidi yang dikucurkan oleh Bank
Indonesia yang dikenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indoneisia (KLBI) dan subsidi
yang bersumber dari dana APBN. Variabel kebijakan harga pangan tersebut dianalsis
secara sistem dengan menggunakan pendekatan ekonometrika model VECM bersama
dengan variabel makro terkait lainnya. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bersifat
makro, sedangkan lingkupnya bersifat nasional.
Walaupun demikian, penelitian ini juga menganalisis dampak kebijakan harga
pangan terhadap ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan yang digunakan
meliputi ketersediaan pangan di tingkat nasional, regional dan konsumsi ditingkat
rumah tangga dan penduduk. Oleh karena itu penelitian ini juga menganalisis
konsumsi di tingkat mikro dengan menggunakan data Susenas. Data Susenas yang
tersedia dalam deret waktu tiga tahunan diinterpolasi menjadi data tahunan.
Selanjutnya, data yang bersifat mikro tersebut diregresikan dengan data-data dalam
lingkup makro, seperti kebijakan harga pangan, tingkat inflasi dan produk domestik
bruto. Untuk mendukung hasil analisis, studi ini didukung juga oleh hasil-hasil
penelitian terdahulu mengenai ketahanan pangan di tingkat mikro dengan
menggunakan data Susenas atau data primer.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
33/342
12
Dari sisi teoritis, penelitian ini mengaitkan antara konsep-konsep ekonomi
mikro dengan konsep-konsep ekonomi makro. Jelasnya, penelitian ini berupaya
menganalisis dampak kebijakan mikro terhadap kondisi perekonomian makro
Indonesia. Selama ini, lebih banyak studi yang menganalisis dampak kebijakan
ekonomi makro terhadap kondisi mikro. Hal ini merupakan salah satu perbedaan
penelitian ini dibandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Kalaupun ada penelitian yang sejenis ini, seperti yang dilakukan Dawe (2002) dan
Timmer (1996), tetapi digunakan dengan metode analisis yang berbeda dan dibatasi
pada komoditi beras, sedangkan penelitian ini mencoba meneliti komoditas pangan
tidak hanya beras, tetapi mencakup komoditas pangan lainnya.
Selain kelebihan yang ada, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan.
Paling tidak ada lima keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian ini. Pertama,
penelitian tidak menggabungkan aspek ketahanan pangan dan ekonomi makro ke
dalam satu sistem persamaan. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan data. Data
ketahanan pangan tersedia dalam deret tahunan dan tiga tahunan, sedangkan data lain
tersedia dalam deret triwulanan. Jika dilakukan penggabungan dalam satu sistem,
rentang waktu data tahunan yang terbatas, dinilai kurang mendukung analisis impulse
response function(IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition(FEVD).
Keterbatasan kedua, data konsumsi energi dan protein yang bersumber dari
hasil Susenas tersedia dalam deret waktu tiga tahunan. Untuk mendapatkan data
tahunan dilakukan interpolasi data dengan mengikuti trend data ketersediaan untuk
dikonsumsi yang bersumber dari Neraca Bahan Makanan Indonesia yang juga
diterbitkan BPS. Dalam melakukan interpolasi ditemui bahwa tidak semua trend data
tiga tahunan pada dua sumber data memiliki arah yang sama.
Ketiga, kebijakan harga pangan diproksi dari dana yang dikeluarkan untuk
mendukung kebijakan harga pangan. Kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
34/342
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
35/342
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Kebijakan Harga Pangan dan Arahnya ke Depan
2.1.1. Sejarah Kebijakan Harga Pangan
2.1.1.1.Komoditas Beras
Campur tangan pemerintah dalam harga dan distribusi pangan (beras) sudah
ada sejak tahun 1651 saat Pemerintahan Sultan Amangkurat I pada Kerajaan Mataram
dengan tujuan melumpuhkan perdagangan VOC Belanda. Pada masa pendudukan
Belanda di Indonesia, kebijakan harga beras murah masih berlanjut dengan tujuan
untuk mendukung produk ekspor perkebunan. Pada masa pendudukan Jepang, campur
tangan terhadap beras juga masih berlangsung dengan tujuan untuk mendukung
logistik tentara Jepang (Sapuan, 2002).
Setelah Kemerdekaan, Pemerintah Indonesia juga campur tangan pada
perberasan dengan orientasi lebih kepada konsumen. Di awal kemerdekaan (1945-
1950) terjadi dualisme pengurusan kebijakan penyediaan pangan. Pada daerah sentra
produksi dikuasai oleh Pemerintah Indonesia dan di perkotaan oleh Pemerintah
Pendudukan Belanda.
Pada periode 1951-1957, pertama kali campur tangan pemerintah dalam
masalah perberasan, yaitu stabilisasi harga melalui injeksi beras di pasaran. Saat itu
tugas membeli dan menetapkan harga dilakukan oleh Bupati yang berpedoman pada
harga yang dikeluarkan oleh Menteri Perekonomian. Untuk pelaksanaan di tingkat
daerah sentra produksi dibentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) yang
bertugas mengumpulkan padi, mengolah dan mendistribusikan pada konsumen. Di
tingkat pusat dibentuk Yayasan Urusan Bahan Makanan yang bertugas menampung
kelebihan beras hasil pembelian YBPP dan menyalurkan ke daerah defisit serta
bertugas mengimpor beras (Sapuan, 2002).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
36/342
15
Melalui Keppres No.272/1967, tanggal 30 Desember 1967 dibentuk Badan
Urusan Logistik (Bulog) sebagai badan pembeli tunggal, sedangkan Pemerintah
Daerah hanya bersifat membantu. Operasional Bulog tersebut dibiayai oleh Bank
Indonesia sesuai dengan Inpres No.1 tahun 1968 (Sapuan, 2002). Saat kebijakan itu
dibangun dukungan yang diberikan di tingkat usahatani berupa kebijakan subsidi
harga output (jaminan harga dasar); subsidi harga input (benih, pupuk dan pestisida),
dan subsidi bunga kredit usahatani; dan instrumen di tingkat pasar/konsumen, berupa
kebijakan manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog (PSE, 2003).
Operasionalisasi kebijakan harga beras yang berorientasi pada produsen dan
konsumen melalui kebijakan harga dasar dan harga atap mulai dilakukan oleh Bulog
tahun 1970 hingga saat ini. Namun konsep penentuan harga dasar dan kebijakan
pendukungnya berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang terjadi.
Laporan PSE (2003) menjelaskan bahwa kredit program pertanian dimulai
sejak pendirian padi sentra tahun 1959 untuk pembelian sarana produksi dan biaya
hidup. Skim kredit tersebut kemudian berubah menjadi Kredit Bimas. Kredit
diberikan dalam bentuk sarana produksi dengan agunan usahatani padi. Pada tahun
1985 Kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Pada tahun 1999
sampai sekarang KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
Selain kredit, sarana produksi yang disubsidi adalah pupuk. Subsidi ini
dimaksudkan agar petani dapat akses dan menggunakan pupuk dalam kegiatan
usahatani, sehingga stabilitas poduksi pangan nasional dapat tercapai. Di samping itu,
dengan adanya pengendalian harga gabah, subsidi pupuk dimaksudkan juga untuk
menjaga agar petani padi dapat memperoleh pendapatan yang layak.
Sejak reformasi dan adanya kesepakatan WTO, terjadi perubahan dimana
pemerintah lebih membuka ekonomi terhadap pasar global dan diterapkannya
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada masa ini kebijakan pangan
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
37/342
16
nasional telah kehilangan arah dan tidak adanya institusi yang mampu
mengintegrasikan keseluruhan aspek kebijakan pangan (Widodo, 2003). Khusus
untuk beras, paket kebijakan ekonomi beras yang telah dioperasionalkan pada Era
Orde Baru secara bertahap dihilangkan, sehingga tidak efektif lagi (PSE, 2003).
Sejak akhir tahun 1998, unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras yang
dihilangkan adalah (Sapuan, 2002 dan PSE, 2003):
1. Tahun 1998 mencabut monopoli impor beras yang dimiliki Bulog. Pihak swasta
dilibatkan dalam impor beras yang diikuti dengan kebijakan tarif impor beras.
Namun kebijakan ini tidak efektif, karena adanya moral hazard.
2. Akhir 1998 menghapus berbagai subsidi input sehingga meningkatkan biaya
usahatani, sehingga petani mengharapkan menerima harga gabah yang tinggi.
3. Akhir tahun 1999 menghapus dana KLBI bagi Bulog dan koperasi. Selanjutnya
menggunakan kredit komersil, sehingga membatasi kemampuan lembaga tersebut
melakukan pengadaan pangan dari produksi domestik.
4. Tahun 2000 menghapus captive market Bulog berupa jatah beras bagi PNS,
sehingga outletdan kemampuan Bulog menyerap surplus produksi beras terbatas.
Terakhir, sejak Mei 2003 status Bulog diubah dari Lembaga Pemerintah Non
Departemen menjadi Perusahaan Umum.
Operasi pasar beras juga mengalami perubahan. Sejak tahun 1969-1998
subsidi yang diberikan untuk semua lapisan masyarakat. Awal sampai pertengahan
1998 diberikan untuk daerah tertentu dalam bentuk Operasi Pasar Murni (OPM).
Kemudian sejak Juni 1998 sampai sekarang hanya diberikan untuk target grup
masyarakat miskin dalam kegiatan Operasi Pasar Khusus (OPK).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
38/342
17
2.1.1.2. Komoditas Palawija dan Pangan Lain
Kebijakan harga dasar untuk pangan lain pertama diterapkan hanya untuk
jagung yang mulai berlaku pada Pebruari 1978. Awalnya jumlah pengadaan dalam
negeri untuk komoditas jagung, kedele, dan kacang hijau cukup besar. Tetapi
beberapa tahun terakhir ini, pengadaan jagung tidak lebih dari satu persen. Bahkan
pemerintah tidak melakukan lagi pembelian komoditas jagung, kedele, dan kacang
hijau karena harga di pasar umum sangat baik. Karena itu pengadaan untuk menjaga
harga dasar tidak diperlukan lagi (PSE, 2003).
Untuk kebijakan skim kredit, sejak Kredit Bimas diganti dengan KUT pada
tahun 1985, cakupan komoditasnya tidak hanya padi, tetapi palawija dan hortikultura.
Kemudian tahun 2001 KUT diganti dengan Kredit KKP. Jenis usahatani yang
dibiayai KKP mencakup usaha tanaman padi, jagung, kedele, ubi kayu, ubi jalar,
usaha sapi potong, ayam buras, itik dan ikan.
Pengendalian harga pangan asal ternak tidak dilakukan dengan kebijakan
harga. Pengendalian lebih mengarah pada pengendalian penawaran dalam bentuk
pengendalian ekspor-impor dan perdagangan dalam negeri. Seperti pada daging sapi,
sebelum adanya deregulasi perdagangan, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan mengatur pengadaan ternak sapi untuk kebutuhan lebaran di daerah sentra
konsumsi dari beberapa daerah sentra produksi. Saat ini beberapa daerah sentra
produksi ternak sapi membatasi perdagangan ternak antar pulau dengan batasan berat
badan minimal.
2.1.2. Arah Kebijakan Harga Pangan
Dari sejarah kebijakan harga pangan di atas, pemerintah lebih banyak
terkonsentrasi pada kebijakan harga beras. Hal tersebut wajar karena dengan jumlah
penduduk yang besar dan beras merupakan makanan pokok. Dengan pangsa
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
39/342
18
pengeluaran untuk pangan yang relatif masih besar, maka ketersediaan pangan sangat
menentukan kesetabilan ekonomi dan ketahanan nasional.
Saat peran pemerintah makin sedikit dalam pengadaan pangan, bukti empiris
menunjukkan bahwa krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan penurunan upah dan
pendapatan riil. Keadaan ini menyebabkan bertambahnya penduduk miskin dan
mengancam ketahanan pangan (Stringer, 1999). Indikasi keterancamaan ketahanan
pangan tersebut dapat dilihat dari menurunnya tingkat konsumsi energi dan protein
hampir di seluruh provinsi, dengan nilai rata-rata nasional masing-masing delapan
persen untuk energi dan 5 - 12 persen untuk protein seperti dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Konsumsi Energi dan Protein di Indonesia, Tahun 1996-1999
Energi (kkalori/kap/hari) Protein (gram/kap/hari)PengelompokanRumah Tangga 1996 1999
Perubahan(%)
1996 1999Perubahan
(%)
1. Wilayah:
a. Kotab. Desa
2.Pendapatana. Rendah
b. Sedangc. Tinggi
3. Pencahariana. Pertanian
b. Industri/Perdagangan
c. Jasa/lainnya
2 1472 187
2 0742 1732 356
2 169
2 1322 212
1 9591 998
1 9001 9822 156
1 999
1 9502 017
-8.7-8.6
-8.4-8.9-8.5
-7.9
-8.6-8.8
61.055.0
51.459.168.4
56.1
59.062.4
54.049.0
48.752.560.3
50.3
52.955.9
-10.8-9.7
-5.3-11.2-11.9
-10.3
-10.4-10.4
Sumber: Ariani et al.(2000) (diolah dari data Susenas, BPS)
Bukti empiris juga menunjukkan bahwa sejak liberalisasi atas tekanan IMF
pada Indonesia, ketergantungan impor pangan meningkat dua kali dibanding
sebelumnya menjadi 10 persen untuk beras, 20 persen untuk jagung, 55 persen untuk
kedele, dan 50 persen untuk gula yang masing-masing melibatkan 23.0 juta, 9.0 juta,
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
40/342
19
2.5 juta, dan 1.0 juta rumah tangga yang merupakan 68 persen dari total rumah tangga
di Indonesia (Sawit, 2003). Menurut Saliem et al.(2003), ketergantungan terhadap
pangan impor meningkat dari waktu ke waktu sejak 1961 1999, dan tertinggi pada
tahun 1999 mencapai 15,46 persen (Tabel 3).
Tabel 3. Pemenuhan Kebutuhan Ketersediaan Pangan dalam Bentuk Energi Menurut
Sumber Pengadaan di Indonesia Tahun 1961 1999
1961-1969 1970-1979 1980-1989 1990-1999SumberPengadaan
kkal/kap/hari
ProduksiDalam Negeri
1755.38(99.38)
1945.00(96.49)
2395.14(99.26)
2819.95(99.90)
Impor78.56(4.45)
155.91(7.73)
146.91(6.09)
273.59(9.69)
Ekspor67.59(3.83)
85.11(4.22)
128.97(5.34)
270.71(9.59)
Net Impor10.98(0.62)
70.81(3.51)
17.94(0.34)
2,88(0.10)
KetersediaanPangan
1 766.35 2 015.81 2 413.09 2 822.83
Sumber: Saliem et al. (2003) (diolah dari Food Balance SheetFAO)Keterangan: Angka ( ) pangsa terhadap ketersediaan pangan yang juga merupakan angka
tingkat ketergantungan pangan dari masing-masing sumber.
Berdasarkan bukti empiris tersebut, sebaiknya Indonesia membangun industri
pangan yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari produksi domestik. Karena
hampir tidak mungkin kemiskinan dan ketahanan pangan dapat di atasi dengan
bergantung sebagian besar dari pangan impor (Sawit, 2003a). Jika angka kemandirian
pangan minimal 90 persen pengadaan berasal dari produksi domestik (Suryana,
2004a), maka kondisi tahun 1999 menunjukkan ketidakmandirian pangan. Angka 90
persen merupakan acuan dalam arti pangan secara umum. Untuk pangan pokok,
seperti beras, jagung, gula, dan minyak goreng, angka tersebut seyogianya mendekati
atau bahkan 100 persen. Namun untuk pangan yang tidak mempunyai keunggulan
kompetitif seperti gandum, apel, atau jeruk sunkist, tidak perlu ditetapkan seperti itu.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
41/342
20
Fenomena tersebut menyebabkan kebijakan pangan Indonesia cenderung
mengarah pada kemandirian didukung kebijakan perdagangan yang protektif
(Suryana, 2004; Simatupang, 2004; dan Sawit et al. 2004). Hal tersebut merupakan
hal yang wajar, sebab negara maju yang paling liberalpun hingga saat ini masih tetap
campur tangan pada pasar pertanian. Jepang sampai sekarang melindungi petani padi
dengan tarif 1000 %; Amerika Serikat mensubsidi petani padi untuk ekspor; Eropa
memproteksi produksi gula dengan tarif 100 200 %; dan Malaysia dan Filipina
melindungi produsen beras (Widodo, 2003). Jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Dengan demikian kebijakan yang medukung pengadaan pangan dan peningkatan
ketahanan pangan, termasuk kebijakan harga pangan, masih relevan untuk dilakukan
dengan tetap melakukan berbagai perbaikan di tingkat implementasinya.
Tabel 4. Perkembangan Perkiraan Dukungan Dana beberapa Negara OECD padaSektor Pertanian, Tahun 1995 2004
Tahun Australia(AUD mn)
Canada(C$ mn)
European
Union
(EUR mn)
Japan(Yen bn)
NewZealand(NZ$ mn)
UnitedStates
(USD mn)
1995 2,416.84 7,561.94 107,681.91 9,231.11 390,11 67,792.49
1996 2,494.02 6,886.47 105,519.27 8,333.46 354.20 76,358.32
1997 2,570.99 6,228.04 111,100.26 7,520.02 386.50 76,177.88
1998 2,607.32 7,060.33 113,841.20 8,202.18 327.30 89,823.95
1999 3,685.94 7,466.56 120,742.81 7,461.39 341.63 100,328.16
2000 1,894.79 8,591.02 105,805.93 7,256.64 325.25 97,512.83
2001 2,221.77 7,860.02 105,899.13 6,869.98 257.70 98,610.39
2002 2,600.17 9,829.24 109,971.98 6,950.27 420.20 90,019.812003 2,321.93 10,840.63 117,223.00 6,994.44 550.94 92,199.04
2004 2,174.12 9,736.22 113,006.87 6,595.65 603.39 108,695.73
Rataan 2,498.79 8,206.05 111,079.24 7,541.51 396.35 89,751.86
Growth(%/year)
1.97 3.59 0.71 -3.49 7.46 5.77
Sumber: OECD, 2005 (diolah)
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
42/342
21
2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Efektivitas Kebijakan Harga Pangan
Peran pemerintah direpresentasikan oleh besarnya biaya yang digunakan untuk
implementasi kebijakan harga pangan. Semakin besar dana yang digunakan maka
seharusnya ketahanan pangan semakin membaik. Namun, karena implementasi
kebijakan ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, maka selain konsep dan
dana banyak aspek teknis yang juga menentukan efektivitas kebijakan harga pangan.
Menurut Mooy (2005)1 sejak dulu Bank Indonesia sudah memperhatikan
masalah pertanian dan pengusaha kecil dalam bentuk program BIMAS, Kredit
Candak Kulak, KUT, dll. Namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kegagalan tersebut selalu dikatakan disebabkan oleh konsep yang salah. Kemudian
muncul konsep baru yang ternyata juga mengalami kegagalan. Jadi masalah
sebenarnya adalah kegagalan di tingkat implementasi. Bisa saja konsepnya baik, tapi
implementasinya mengalami banyak hambatan, moral hazard, salah penggunaan,
tidak tepat waktu, dll. Dengan demikian efektivitas kebijakan perlu perhatian sampai
pada tataran implementasi.
2.2.1. Komoditas Gabah
Secara umum sasaran kebijakan pangan adalah: (1) meningkatkan produksi
pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, (2) meningkatkan pendapatan
petani, (3) mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah,
dalam waktu dan jumlah, serta dalam batas harga yang terjangkau masyarakat, dan (4)
memperbaiki mutu produksi pangan. Efektivitas suatu kebijakan yang diukur dari
keberhasilan pencapaian sasaran tersebut ditentukan oleh bagaimana proses
pembuatan dan implementasi kebijakan dilaksanakan (PSE, 2003). .
Dalam kasus kebijakan harga beras, implementasi pengadaan melibatkan
KUD, pedagang grosir, pengecer dan importir. Sementara itu implementasi
1Komunikasi langsung dengan Adrianus Mooy, mantan Gubernur Bank Indonesia
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
43/342
22
penyalurannya melibatkan koperasi pasar, pedagang grosir dan pengecer. Kegiatan
pengadaan dan penyaluran tersebut sebagian besar menggunakan angkutan laut yang
membutuhkan waktu cukup panjang sejak dari muat, perjalanan dan bongkar.
Rangkaian tersebut melibatkan banyak lembaga sehingga berpeluang besar terjadi
gangguan jadwal kegiatan. Menurut Moelyono (2002), kapasitas penyimpanan dan
jaringan perhubungan laut merupakan faktor kendala yang berat untuk melakukan
operasi pergerakan dan dislokasi stok yang efisien.
Menurut Kasryno et al. (2001) kebijakan harga pangan dan perdagangan
internasional beras sejak pra swasembada beras sampai tahun 1996 kelihatan efektif
karena disertai dengan kebijakan nilai tukar rupiah yang over value. Namun menjadi
tidak efektif sejak diberlakukan deregulasi perdagangan beras. Kebijakan tarif impor
yang tinggi juga menjadi tidak efektif karena memberi insentif bagi importir ilegal
(Amang dan Sawit, 2001), sehingga efisiensi sistem usaha tani perlu ditingkatkan.
Menurut Suryana (2004b), pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2001 tentang
Penetapan Kebijakan Perberasan oleh berbagai instansi terkait cukup efektif. Namun
dalam pelaksanaannya berupa penerapan tarif impor sebesar Rp 430 per kg dikatakan
belum sepenuhnya efektif, tetapi telah mampu menjadi penghambat membanjirnya
beras impor dan sekaligus menjadi katup pengaman penyediaan pangan saat pasokan
dalam negeri berkurang, sehingga mengurangi tekanan munculnya lonjakan harga.
Pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa proses pembuatan
kebijakan berjalan sesuai yang diharapkan. Namun implementasinya mengalami
masalah. Pada periode itu, bukti empiris menunjukkan pengendalian impor tidak
efektif karena adanya beras selundupan yang harganya lebih murah dari harga beras
domestik. Sementara itu, perangkat dan kelembagaan pengawas dengan kondisi
geografis yang ada belum berjalan baik.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
44/342
23
Keefektifan kebijakan harga pangan selain ditentukan oleh kegiatan
pengadaan komoditas, juga ditentukan oleh kegiatan distribusinya. Menurut Suntoro
(2004), adanya jembatan yang rusak, bencana alam, kerusuhan, pungutan liar dan
lainnya, dampaknya sangat besar terhadap stok dan harga pangan di suatu wilayah,
sehingga bisa mengakibatkan terjadi rawan pangan. Karena selain ditentukan daya
beli, tingkat pendapatan, harga pangan, dan kelembagaan di tingkat lokal, proses
distribusi pangan merupakan faktor penentu akses individu terhadap pangan
(Rachman dan Ariani, 2002). Dengan demikian efektivitas kebijakan harga pangan
tersebut tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi banyak sektor.
Untuk mengefektifkan kebijakan insentif ekonomi bagi petani pangan, pada
tahun 2003 pemerintah menyiapkan subsidi pupuk sebesar 1.35 triliyun rupiah,
subsidi benih 24 milyar rupiah dan subsidi bunga kredit ketahanan pangan sebesar 10
persen, kenaikan harga dasar pembelian pemerintah dari Rp 1500 per kg menjadi Rp
1700 per kg GKG di tingkat petani. Kebijakan tersebut didukung dengan kenaikan
dan pengefektifan penerapan tarif impor beras dan pembelian gabah atau beras petani
oleh pemerintah saat panen raya (Suryana, 2004b).
Keberhasilan kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah, perlu
memperhatikan hal-hal berikut: (1) pembelian dilakukan pada saat yang tepat, yaitu
puncak panen raya, (2) volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari
produksi periode puncak panen raya, dan (3) menetapkan harga dasar gabah yang
layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran.
Harga yang tinggi menyebabkan biaya semakin mahal dan menuntut penerapan tarif
impor yang tinggi. Dalam kondisi penegakan hukum yang lemah, penerapan tarif
impor terlalu tinggi akan mendorong penyelundupan beras (Departemen Pertanian,
2002). Efektivitas penerapan harga dasar juga dipengaruhi oleh ketepatan jadwal
pencairan dan fleksibilitas penggunaan dana (Amang dan Sawit, 2001).
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
45/342
24
Menurut PSE (2003), tingginya insiden harga jual gabah di bawah harga dasar
gabah pembelian pemerintah (HDPP) selama periode Januari Agustus 2003
disebabkan oleh beberapa alasan berikut: (1) volume panen dalam negeri sangat besar
karena periode puncak panen raya, (2) harga beras internasional cenderung turun atau
setidaknya tidak akan naik, (3) nilai rupiah stabil di bawah Rp 9 000 per US $, bahkan
saat ini cenderung menguat pada tingkat di bawah Rp 8 500 per US $, sehingga harga
paritas impor beras menjadi lebih murah lagi, (4) paket kebijakan HDPP mengalami
diskontruksi, terutama berkaitan dengan penetapan tarif dan tataniaga impor beras,
dan (5) pengadaan gabah dalam negeri oleh Bulog belum sepenuhnya efektif dalam
menjaga stabilisasi harga gabah petani, karena pembelian gabah melalui kontraktor
pengadaan tidak menjamin sepenuhnya kontraktor tersebut membeli gabah di sentra
produksi padi dan sesuai degan HDPP.
Efektivitas kebijakan bantuan pangan dapat juga dipengaruhi oleh pendekatan
yang digunakan. PSE (2003), melaporkan setidaknya ada tiga pendekatan yang
dipakai untuk membantu pangan bagi masyarakat, yaitu bantuan pangan secara umum
(broad food targeting), secara sempit (narrow food targeting), dan langsung kepada
sasaran (self-food targeting). Pendekatan bantuan pangan secara umum dilakukan
dengan memberi subsidi pangan untuk komoditas yang banyak dikonsumsi
masyarakat seperti beras. Pemerintah melepas stok saat harga melewati harga
tertinggi untuk menghambat kenaikan harga beras di pasar dan mengontrol volume
impor guna menstabilkan harga beras dalam negeri dari pengaruh gejolak harga beras
di luar negeri. Kebijakan ini dinikmati semua kelompok baik miskin maupun kaya.
Pendekatan bantuan secara sempit adalah subsidi pangan secara langsung
diberikan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan
daerah dimana umumnya mereka berada, seperti daerah kekeringan. Setiap kelompok
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
46/342
25
sasaran diikutkan dalam kelompok kerja misalnya memperbaiki saluran irigasi yang
diberikan upah berupa beras. Dengan cara ini dua manfaat yang diterima, yaitu
peningkatan pendapatan riil pekerja dan perbaikan infrastruktur yang berdampak
positif pada kegiatan produksi dan pemasaran pertanian. Kelemahannya sering tidak
tepat dalam menentukan kelompok sasaran.
Pendekatan bantuan pangan langsung dengan cara memberikan subsidi pada
komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh kelompok miskin kekurangan
pangan, seperti program raskin menggunakan beras kualitas medium. Cara ini tidak
dinikmati kelompok menengah dan kaya, karena mereka tidak biasa mengkonsumsi
pangan yang dikonsumsi kelompok miskin. Cara ini lebih efektif karena mencapai
sasaran, murah dan kebocorannya relatif kecil. Selain pendekatannya, bentuk
bantuannya juga menentukan efektivitas kebijakan. Kelemahan dan kelebihan
bantuan dalam bentuk tunai dan natura (Tabel 5).
Tabel 5. Kekuatan dan Kelemahan Subsidi Pangan Melalui Uang Tunai dan Natura
Keterangan Uang Tunai Natura
1. Distorsi dalam produksi Melalui mekanisme pasar Terdistorsi
2. Distorsi dalamkonsumsi
Melalui mekanisme pasar Terdistorsi
3. Mendorong konsumsikomoditas pangantertentu
Tidak akan terjadi Akan terjadi
4. Mendorng konsumsianggota RT: wanitadan anak-anak
Belum tentu, bisadiselewengkan
Lebih mengena sasaran
5. Pembayar pajak Kurang menerimanya Lebih menerima
6. Dampak kenaikan harga Merosot nilainya Stabil nilainya
7. Menentukan kelompoksasaran
Lebih sulit dan seringbocor ke luar sasaran
Lebih mudah, bisadikontrol masyarakat
8. Keinginan secara politis Kurang disenangi Lebih disenangiSumber: PSE (2003)
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
47/342
26
2.2.2. Komoditas Palawija dan Pangan Lain
Penetapan harga dasar selain gabah, pertama kali diterapkan pada palawija
mulai berlaku pada Pebruari 1978. Jumlah pengadaan dalam negeri untuk komoditas
jagung, kedele, dan kacang hijau pada awal-awal tahun penetapan harga dasar cukup
besar. Tetapi untuk beberapa tahun terakhir ini, pengadaan jagung tidak lebih dari satu
persen. Bahkan pemerintah tidak lagi membeli komoditas jagung, kedele, dan kacang
hijau karena harga di pasar umum sangat baik, jauh di atas harga dasar. Oleh karena
itu pengadaan untuk menjaga harga dasar tidak diperlukan lagi (PSE, 2003).
2.2.3. Sarana Produksi Pertanian
Laporan PSE (2003) tentang perkembangan kelembagaan kredit pertanian
dijelaskan sebagai berikut. Kredit diberikan dalam bentuk sarana produksi sering
menghadapi permasalahan berupa keterlambatan kredit, paket kredit yang tidak sesuai
dengan kebutuhan petani. Keadaan ini mengurangi efektivitas manfaat kredit yang
berakibat tidak tercapainya sasaran dan menyebabkan besarnya tunggakan kredit.
Oleh karena itu, seperti halnya bantuan pangan, kredit KUT Pola Khusus
dimana bantuan pinjaman yang diberikan berupa uang tunai dengan prosedur yang
lebih mudah lebih disukai petani dan efektifmeningkatkan jumlah pemakaian sarana
produksi, produksi gabah dan meningkatkan pendapatan petani dibandingkan KUT
Pola Umum (Sanim, 1998).
Pada tahun 1999 KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
Berbeda dengan KUT, pada KKP menggunakan sistem executingyang berarti bank
pelaksana harus menanggung dana dan risiko kredit. Pemerintah hanya memberi
subsidi bunga sebesar 10 persen untuk usahatani tanaman pangan dan enam persen
untuk usaha lainnya. Hambatan skim kredit KKP adalah pihak bank masih belum
siap dan banyak KUD/koperasi atau petani yang menunggak KUT.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
48/342
27
Kenaikan produksi padi telah meningkatkan kemampuan petani untuk
membeli sarana produksi, sehingga realisasi program KUT sangat rendahberkisar
antara 5 15 persen bahkan pada musim tanam tahun 2001 realisasi KKP hanya
mencapai 0.5 persen (Kasryno et al., 2001). Adnyana, et al. (2000) menunjukkan
bahwa sebagian besar petani menggunakan kredit informal dan warung sarana
produksi pertanian. Dengan kondisi yang demikian ditambah dengan banyaknya
penyimpangan kredit, dapat menyebabkan penyaluran kredit program pada saat ini
sudah tidak efektif. Bagi petani yang penting adalah insentif berproduksi, ketersediaan
sarana produksi, teknologi, kualitas prasarana irigasi, dan sumberdaya lahan.
Pupuk subsidi hanya diperuntukkan pada usahatani tanaman pangan. Keadaan
ini menyebabkan adanya perembesan penggunaan pupuk dari tanaman pangan ke
penggunaan lain, sehingga sering petani pangan mengalami kekurangan pupuk
(Ilham, 2001). Perbedaan harga pupuk di dalam negeri dengan di luar negeri juga
menyebabkan adanya perembesan pupuk ke luar negeri. Dengan dua masalah tersebut
dan makin besarnya beban subsidi maka pemerintah menetapkan kebijakan
penghapusan subsidi pupuk dan melepaskan tataniaga pupuk sesuai mekanisme pasar.
Pada kondisi tanpa subsidi dan pasar bebas awalnya berdampak positif
terhadap ketersediaan pupuk dengan harga yang relatif murah. Akibatnya distribusi
pupuk mengikuti sinyal pasar dengan harga dan permintaan yang tinggi termasuk
untuk ekspor, karena harga jualfoblebih mahal dari harga di dalam negeri, sehingga
terjadi lagi masalah kelangkaan pupuk (Ilham, 2002). Berdasarkan kenyataan ini
pemerintah mengatur kembali tataniaga pupuk urea.
Kegiatan ekspor pupuk urea dikhawatirkan akan mengganggu produksi beras
nasional. Sementara produsen pupuk tetap memperhatikan keberlangsungan usahanya
untuk mencapai keuntungan. Untuk itu pemerintah memberikan subsidi pada
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
49/342
28
produsen. Kebijakan pemerintah ini dikritik sebagian pakar, karena subsidi tersebut
dikhawatirkan tidak akan dirasakan oleh petani.
Berdasarkan tinjauan empiris dari beberapa studi terdahulu efektifitas
kebijakan harga pangan tidak hanya dipengaruhi oleh dana yang diberikan secara
langsung untuk kebijakan tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor sejak
dari proses pembuatan hingga implementasi kebijakan, beberapa di antaranya adalah:
1. Ketepatan dalam melakukan kebijakan, seperti: (1) pembelian dilakukan pada
saat dan wilayah yang tepat, yaitu puncak panen raya dan di wilayah surplus
produksi, (2) volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi
periode puncak panen raya, dan (3) menetapkan harga dasar gabah yang layak
menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran.
2. Dukungan kebijakan lain yang harmonis, seperti kebijakan tarif impor harus
diharmoniskan dengan perbedaan harga domestik dan pasar internasional,
kebijakan nilai tukar rupiah (over value atau under value), dan penegakan hukum.
3. Kinerja kelembagaan yang terlibat dalam sistem distribusi, yaitu KUD, lembaga
kredit, koperasi pasar, pedagang grosir, pengecer, Dolog, Bulog, dan importir.
4. Fasilitas dan lembaga yang mendukung dalam sistem distribusi, yaitu jaringan
angkutan laut, jaringan angkutan darat, dan kapasitas pergudangan
5. Pendapatan dan daya beli petani terhadap harga input dan outrput.
6. Pendekatan yang digunakan, yaitu bantuan pangan secara umum (broad food
targeting), secara sempit (narrow food targeting), dan langsung kepada sasaran
(self-food targeting).
7. Bentuk bantuan dan prosedurnya, yaitu dalam bentuk tunai dan natura dengan
prosedur yang mudah.
8. Bencana alam, kerusuhan dan pungutan liar selama kegiatan distribusi.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
50/342
29
2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi
Inflasi merupakan indikator utama ekonomi makro. Dengan demikian
stabilitas ekonomi makro sangat ditentukan oleh stabilitas inflasi. Untuk
mengefektifkan pengendalian inflasi, maka perlu diketahui faktor-faktor apa yang
mempengaruhi inflasi.
Hasil penelitian menggunakan data 1969-1982 yang dilakukan Gunawan
(1991) menyimpulkan bahwa faktor-faktor utama penentu inflasi di Indonesia adalah:
defisit domestik, inflasi yang diimpor, harga minyak dan gas bumi. Sementara itu
penawaran bahan makanan yang secara teoritis seharusnya mempengaruhi harga
umum, tetapi karena ketatnya pengaturan harga oleh pemerintah menyebabkan
perannya tidak dapat terlihat. Faktor tingkat upah yang hampir semua negara maju
dan beberapa negara berkembang merupakan salah satu sumber utama inflasi, di
Indonesia tingkat upah tak begitu berperan.
Amang (1984), melakukan studi menggunakan data periode 1967-1981
tentang inflasi di Indonesia dengan menggunakan empat model, yaitu: inflasi
moneteris, permintaan dan penawaran agregat, persamaan simultan, dan efek
langsung harga beras terhadap inflasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebab
utama inflasi di Indonesia adalah demand pull inflation, tetapi faktor-faktor struktural
(cost push inflation) juga berpengaruh signifikan.
Selanjutnya dikatakan bahwa faktor moneter yang menyebabkan inflasi adalah
peningkatan penawaran uang melebihi peningkatan permintaan uang. Meningkatnya
penawaran uang disebabkan oleh: defisit pemerintah, pengembangan kredit oleh
sistem perbankan, dan surplus neraca pembayaran yang disebabkan oil boomingdan
bantuan asing. Faktor yang disebabkan oleh cost push inflation adalah meningkatnya
harga-harga komoditas utama di pasar domestik seperti bahan bakar minyak, beras,
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
51/342
30
dll. Hasil simulasi kebijakan dari model persamaan simultan dan model efek langsung
harga beras terhadap inflasi menunjukkan bahwa naiknya harga beras menyebabkan
meningkatnya laju inflasi.
Studi Gunawan (1991) dan Amang (1984) tentang pengaruh harga pangan
terhadap inflasi menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat
disebabkan oleh spesifikasi model yang digunakan. Studi Amang (1984) lebih
mengembangkan spesifikasi model dengan menggunakan empat model sehingga
dapat menunjukkan keterkaitan antara harga beras dan inflasi.
Perwira (2001) menggunakan data bulanan dari Januari 1996 Desember
1999, hasil pendugaannya menunjukkan bahwa permintaan uang, suku bunga riil, dan
pembayaran utang berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi. Sementara itu nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS, capital inflow, dan inflasi periode sebelumnya
berpengaruh positif dengan nilai R20.7325. Parameter dugaan permintaan uang dan
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh sangat nyata (=1%), sedangkan
yang lainnya tidak berbeda nyata dengan nol.
Pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi sangat kuat terjadi sejak berlakunya
sistem nilai tukar mengambang (Bank Indonesia, 2002). Sebaliknya, sebelum periode
krisis, pengaruh nilai tukar ke inflasi hampir tidak terjadi. Tinjauan perkembangan
ekonomi periode triwulanan yang dilakukan CSIS (2001a; 2001b; 2001c; 2001d;
2002a; 2002b; 2002c; 2002d) selama tahun 2001-2002, menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang menentukan inflasi adalah: (a) peningkatan permintaan uang, (b)
pertumbuhan uang beredar, (c) naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik akibat
penurunan subsidi, (d) melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, (e)
meningkatnya permintaan terhadap barang menjelang bulan Puasa dan Natal, (f)
kenaikan upah minimum, (g) kenaikan pajak rokok, (h) kemarau panjang yang
menggangu produksi pangan, dan (i) tidak efektifnya kebijakan moneter.
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
52/342
31
Khusus untuk Bulan Maret - April 2002, terjadi deflasi masing-masing sebesar
0.02 dan 0.24 persen. Penyebab utama deflasi adalah turunnya harga makanan selama
masa panen. Hasil analisis Sadewa (2003)1, inflasi yang terjadi sangat rendah, yaitu
sebesar 0.77 persen pada tiga bulan pertama 2003 disebabkan kebijakan moneter yang
dijalankan bank sentral sudah cukup baik. Selain itu disebabkan juga oleh penurunan
harga bahan makanan akibat meningkatnya pasokan dari dalam dan luar negeri.
Penemuan hasil studi terdahulu bahwa variabel yang mempengaruhi inflasi
tidak hanya dari sektor riil dan moneter, tetapi ada juga pengaruh faktor kebijakan.
Romer (1996) menyatakan bahwa, salah satu variabel yang cukup banyak menjadi
perhatian adalah kebebasan bank sentral. Disamping itu, harga bahan pangan
termasuk beras masih menentukan tingkat inflasi di Indoneisa. Dengan demikian
kebijakan pangan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
pengendalian inflasi masih relevan untuk dilakukan di Indonesia.
2.4. Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Dengan mengetahui penyebab inflasi, dapat dijadikan dasar untuk
mengendalikan inflasi dalam bentuk target inflasi untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Dimulai dari negara-negara maju, dimana pangsa pengeluaran pangan terhadap
pengeluaran rumah tangga sudah tidak signifikan maka sejak tahun 1989,
pengendalian inflasi dilakukan oleh otoritas moneter dengan menetapkan target
inflasi. Negara pertama memperkenalkan target inflasi adalah Selandia Baru (Agenor,
2000). Upaya ini kemudian diikuti oleh beberapa negara (Tabel 6).
Brooks (1998) dalam Debelle (2000), menunjukkan bahwa rejim target inflasi
terkait dengan perbaikan performa inflasi, rata-rata tingkat inflasi dan keragamannya
telah menurun secara substansial (Tabel 7). Dapat dilihat bahwa negara yang
1Harian KOMPAS, 14 April 2003. Apakah Inflasi yang Rendah Buruk Bagi Perekonomian?
7/24/2019 Efektifitas Kebijakan Harga Pangan
53/342
32
menerapkan target inflasi, inflasinya lebih rendah dan pertumbuhan outputnya
menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi
perekonomian seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya.
Tabel 6. Penerapan Target Inflasi pada Beberapa Negara Tahun 1990 - 1995
Negara MulaiMenerapkan
Definisi Inflasi Target Inflasi(%/thn)
Australia
Kanada
Finlandia
Israel
Selandia Br
Spanyol
Swedia
Inggris
Tahun 1993
Februari 1991
Februari 1993
Desember 1991
Maret 1990
Januari 1995
Januari 1993
Oktober 1992
Underlying CPIa)
Core CPIb)
Underlying CPIc)
CPI
Underlying CPId)
CPI
CPI
Retail Price Indexe)
2 3
1 - 3
2
8 - 11
0 - 3
> 3
1 - 2
1 4
Sumber: Bernanke dan Mishkin, 1997.Ket. a) = mengeluarkan : buah dan sayuran, bahan bakar, biaya bunga, biaya sektor publik dan harga-
harga yang mudah berubah.b) = mengeluarkan: bahan makanan, energy, efek putaran pertama pajak tidak langsung.c) = mengeluarkan: subsidi pemerintah, pajak tak langsung, harga rumah dan bunga hipotek.d) =mengeluarkan : perubahan pajak tidak langsung, perubahan signifikan pada harga impor dan
harga ekspor, biaya bunga, dan bencana alam.e) =mengeluarkan bunga hipotek.
Di Indonesia kebijakan target inflasi diawali tahun 1999, mulai terasa hasilnya
3-4 tahun kemudian. Analisis CSIS, target inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000,
2001 dan 2002 masing-masing 5 7 persen dan 4 6 persen dan kurang dari 9 persen
tidak dapat tercapai. Inflasi aktual masing-masing mencapai 9.35 persen, 12.55
persen dan 10.03 persen. Kegagalan tersebut disebabkan oleh meningkatnya
permintaan uang pada akhir tahun 2000; kondisi politik yang tidak pasti, sehingga
independensi bank sentral menjadi berkurang pada tahun 2001.
Khusus tahun 2002 diperkirakan target inflasi akan tercapai karena pada
Maret-April 2002 terjadi deflasi yang disebabkan ol
Recommended