View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS V SD NEGERI KOPEN I TERAS
BOYOLALI TAHUN AJARAN 2008/2009 (Penelitian Tindakan Kelas)
Skripsi
Oleh
Desriana Dwijayanti Soraya
K.1205009
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang
bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang
ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Berbicara berarti
mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambang-lambang bunyi
agar terjadi kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang setiap
orang dikodratkan untuk bisa berbicara atau berkomunikasi secara lisan, tetapi
tidak semua memiliki keterampilan untuk berbicara secara baik dan benar. Oleh
karena itu, pelajaran berbicara seharusnya mendapat perhatian dalam pengajaran
keterampilan berbahasa di sekolah dasar.
Seperti yang diungkapkan Galda (dalam Supriyadi, 2005: 178)
keterampilan berbicara di SD merupakan inti dari proses pembelajaran bahasa di
sekolah, karena dengan pembelajaran berbicara siswa dapat berkomunikasi di
dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendapat
tersebut juga didukung oleh Farris (dalam Supriyadi, 2005: 179) yang menyatakan
bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting diajarkan karena dengan
keterampilan itu seorang siswa akan mampu mengembangkan kemampuan
berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir tersebut akan
terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, dan menyederhanakan
pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan.
Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-hari siswa selalu melakukan dan
dihadapkan pada kegiatan berbicara. Namun pada kenyataannya pembelajaran
berbicara di sekolah-sekolah belum bisa dikatakan maksimal, sehingga
keterampilan siswa dalam berbicara pun masih rendah. Permasalahan dalam
kemampuan berbicara juga terjadi pada siswa kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras
Boyolali. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas
yang menyatakan bahwa rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas V SD
Negeri Kopen 1 Teras Boyolali, tampak dari dua kali tugas berbicara siswa pada
semester 1. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tes tersebut hanya
sebagian kecil siswa (11 siswa) atau sekitar 46% yang mendapat nilai 60 ke atas
(batas ketuntasan dari guru), sedangkan sisanya (54%) atau sebanyak 13 siswa
mendapat nilai di bawah 60. Selain itu, dari tugas pertama dan kedua tidak
menampakkan adanya peningkatan kemampuan berbicara siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas dan hasil observasi awal,
dapat diidentifikasi penyebab rendahnya kemampuan berbicara siswa, yakni
sebagai berikut: (1) Sikap dan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran
berbicara rendah. Pada umumnya siswa merasa takut dan malu saat ditugasi untuk
tampil berbicara di depan teman-temannya. (2) Siswa kurang terampil sebagai
akibat dari kurangnya latihan berbicara. Menurut guru, kegiatan berbicara selama
ini masih kurang mendapat perhatian. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya
waktu pembelajaran Bahasa Indonesia jika digunakan untuk melakukan praktik
berbicara siswa yang pada umumnya dipraktikkan secara individu. (3)
Pembelajaran berbicara yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana
atau konvensional karena masih bertumpu pada buku pelajaran. Ketergantungan
pada buku pelajaran tersebut menyebabkan guru enggan untuk mengubah metode
pembelajaran. Metode pembelajaran berbicara yang sering digunakan guru adalah
metode penugasan secara individu sehingga banyak menyita waktu pembelajaran
Bahasa Indonesia yang hanya 5 jam pelajaran dalam satu minggu.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar, terutama keterampilan berbicara,
diperlukan metode pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas belajar aktif
dan kreativitas para siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Nurhatim (2009) yang mengatakan bahwa penggunaan
suatu metode memiliki arti penting sebagai variasi pembelajaran dengan tujuan
siswa dapat mengikuti aktivitas pembelajaran di kelas yang menyenangkan dan
tidak membosankan. Untuk itu guru perlu mengubah metode mengajar
konvensional dengan penerapan metode bermain peran. Bermain peran
merupakan teknik bermain peran secara sederhana. Dalam bermain peran, siswa
dibagi untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sesuai dengan tema pelajaran saat
itu. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menerapkan metode bermain
peran dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Adapun alasan pemilihan metode
tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih efektif dan
lebih efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
Dikatakan efektif karena penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat
waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara
berkelompok. Selain itu siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu
karena mereka dapat tampil dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di SD lebih
banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain.
Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia sekolah dasar.
B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai arah penelitian, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras
Boyolali tahun ajaran 2008/2009?
b. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas hasil
pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras
Boyolali tahun ajaran 2008/2009?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan
kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri
Kopen 1 Teras Boyolali tahun ajaran 2008/2009.
b. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan
kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri
Kopen 1 Teras Boyolali tahun ajaran 2008/2009.
D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Mengetahui peningkatan keterampilan berbicara siswa dengan penerapan
metode bermain peran.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi siswa:
Penerapan metode bermain peran dalam pengajaran keterampilan berbicara
dapat meningkatkan minat dan keaktifan siswa sehingga kemampuan
berbicaranya dapat meningkat.
b. Bagi guru/kolaborator:
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung pada guru-guru
untuk dapat mengembangkan pembelajaran dengan metode yang lebih inovatif
dan lebih berorientasi pada proses sehingga kualitas pembelajarannya dapat
meningkat.
c. Bagi sekolah:
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi
pembelajaran bagi guru-guru lain dan juga memotivasi mereka untuk selalu
melakukan inovasi untuk menemukan metode pembelajaran yang paling tepat
dan efektif.
d. Bagi peneliti:
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti memperoleh wawasan dan
pengalaman mengenai penerapan metode pembelajaran yang inovatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Berbicara
a. Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang
bersifat produktif. Menurut Suharyanti (1996: 5), berbicara merupakan
pemanfaatan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia untuk memberi
tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang dapat dilihat (visible) agar
maksud dan tujuan dari gagasan-gagasan pembicara dapat tersampaikan. Ini
berarti bahwa berbicara merupakan sebuah kegiatan/aktivitas kebahasaan yang
berfungsi sebagai sarana komunikasi secara lisan. Burhan Nurgiyantoro (2001:
275) mendukung pendapat tersebut, dia mengatakan bahwa berbicara
merupakan kemampuan berbahasa yang bersifat aktif produktif, yaitu kegiatan
menyampaikan gagasan, pikiran, atau perasaan oleh pihak penutur/pembicara.
Henry Guntur Tarigan (1985: 8) menambahkan pengertian berbicara, yaitu
sebuah ujaran sebagai suatu cara berkomunikasi untuk mengungkapkan
pikiran, pendapat, gagasan, perasaan, dan keinginan dengan bantuan lambang-
lambang yang disebut kata-kata.
Pada dasarnya aktivitas berbicara tidak akan lepas dari keterampilan
menyimak, karena sebelum seseorang melakukan aktivitas berbicara ia telah
melakukan kegiatan menyimak terlebih dahulu. Dari proses menyimak itulah
seseorang mulai belajar berbicara. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat
Burhan Nurgiyantoro (2001: 276), yang mengatakan bahwa berbicara adalah
keterampilan berbahasa kedua setelah keterampilan menyimak. Seseorang
dapat mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi setelah mereka menyimak bunyi-
bunyi bahasa tersebut. Akan tetapi tugas berbicara
sangat berbeda dengan tugas menyimak, sebab aktivitas berbicara tidak
semata-mata berhubungan dengan kemampuan kognitif, melainkan juga
dengan kemampuan psikomotorik (keterampilan yang melibatkan aktivitas
otot). Aktivitas psikomotor dapat berupa gerakan-gerakan organ mulut
ditambah dengan anggota badan yang lain, yang sering menyertai kegiatan
berbicara (Burhan Nurgiyantoro, 2001: 291).
Lebih lanjut, Maidar G. Arsjad dan Mukti U. S. (1991: 17)
mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara merupakan kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau pengucapan kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan utama berbicara adalah untuk
berkomunikasi. Keberhasilan komunikasi bergantung pada kemampuan
penutur dalam mengolah bahasa untuk menyampaikan maksud pembicaraan.
Melengkapi pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro (2001: 277) mengatakan
bahwa motivasi seseorang melakukan kegiatan berbicara adalah ingin
mengemukakan sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan
reaksi terhadap sesuatu yang didengarnya. Kejelasan pembicaraan dalam
situasi tersebut bukan hanya ditentukan oleh ketepatan bahasa verbal,
melainkan juga didukung oleh unsur-unsur paralinguistik, seperti gerakan
tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya. Situasi pembicaraan yang
serius, santai, wajar, atau tertekan juga akan mempengaruhi kelancaran
pembicaraan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keterampilan berbicara merupakan sebuah kemampuan mengucapkan bunyi-
bunyi artikulasi atau pengucapan kata-kata dengan tujuan untuk
mengekspresikan, menyatakan maupun menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan secara lisan.
b. Faktor-faktor Penunjang Keefektivan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat
berkomunikasi secara baik, pembicara harus mempunyai kemampuan berbicara
yang baik pula. Di samping tujuan utama untuk berkomunikasi, Gorys Keraf
(2001: 320-321) menyatakan tujuan berbicara, antara lain: 1) mendorong, yaitu
pembicara berusaha memberi semangat serta menunjukkan rasa hormat dan
pengabdian, 2) meyakinkan, yaitu pembicara ingin meyakinkan sikap, mental
dan intelektual kepada para pendengarnya, 3) bertindak, berbuat,
menggerakkan, yaitu pembicara menghendaki adanya tindakan atau reaksi fisik
dari pendengar, dan 4) menyenangkan atau menghibur.
Dengan melihat berbagai macam tujuan berbicara di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya berbicara merupakan kegiatan
menyampaikan ide tau gagasan secara lisan. Untuk itu agar pesan atau gagasan
pembicara dapat diterima oleh pendengar, maka pembicara harus mampu
menyampaikan isi pembicaraan secara baik dan efektif. Sebagaimana
diungkapkan oleh Maidar G. Arsjad dan Mukti U. S. (1991: 87) bahwa untuk
keefektivan berbicara, pembicara perlu memperhatikan aspek kebahasaan dan
nonkebahasaan.
Aspek kebahasaan, antara lain: (1) ketepatan ucapan (meliputi
ketepatan pengucapan vokal dan konsonan ), (2) penempatan tekanan, (3)
penempatan persendian, (4) penggunaan nada/irama, (5) pilihan kata, (6)
pilihan ungkapan, (7) variasi kata, (8) tata bentukan, (9) struktur kalimat, (10)
ragam kalimat.
Untuk aspek nonkebahasaan, meliputi: (1) keberanian/semangat, (2)
kelancaran, (3) kenyaringan suara, (4) pandangan mata, (5) gerak-gerik dan
mimik, (6) keterbukaan, (7) penalaran, dan (8) penguasaan topik. Aspek-aspek
kebahasaan dan nonkebahasaan di atas diarahkan pada pemakaian bahasa yang
baik dan benar.
2. Hakikat Pembelajaran Keterampilan Berbicara
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses belajar yang kompleks di mana siswa
(pembelajar) dapat mengalami perkembangan mental sesuai tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 17-18).
Sementara itu, pembelajaran menurut Oemar Hamalik (2001: 57) adalah suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Unsur manusiawi terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya.
Unsur material, meliputi buku-buku, papan tulis, kapur, audio, dan lain-lain.
Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual,
dan komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi,
praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.
Melengkapi pengertian di atas, Gino, dkk. (1996: 32-39) memberikan
batasan pembelajaran atau instruction sebagai usaha sadar dan disengaja oleh
guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku
sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa. Berdasarkan pengertian tersebut
dapat dijelaskan bahwa sebagai suatu usaha, pembelajaran memiliki tiga ciri
utama, yaitu: (1) ada aktivitas yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada
diri pembelajar baik secara langsung maupun tidak langsung, (2) perubahan itu
berupa diperolehnya kemampuan baru dan berlaku untuk waktu yang lama, (3)
perubahan itu terjadi karena suatu usaha yang dilakukan secara sadar.
Belajar mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Belajar menunjuk pada apa yang dilakukan seseorang sebagai penerima
pelajaran (peserta didik), mengajar menunjuk pada apa yang dilakukan guru
sebagai seorang pengajar, sedangkan pembelajaran menunjuk pada proses atau
cara. Jadi, belajar mengajar menunjuk pada proses interaksi guru (sebagai
pengajar) dan siswa (sebagai pembelajar) pada saat proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan
beberapa komponen. Gino, dkk. (1996: 30) menjelaskan komponen-komponen
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Guru
Guru adalah seseorang yang bertindak sebagai pengelola kegiatan
belajar mengajar yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal.
Seorang guru harus mempunyai kompetensi dan profesionalisme
dalam menjalankan tugas-tugasnya agar proses belajar mengajar dapat
berjalan dengan lancar.
2) Siswa
Siswa adalah orang yang berperan sebagai pencari, penerima, dan
pelaksana pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
3) Tujuan
Tujuan adalah perubahan yang diinginkan terjadi pada siswa setelah
mengikuti kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut meliputi
perubahan kognitif, psikomotor, dan afektif.
4) Isi pelajaran
Isi pelajaran/materi pelajaran adalah segala informasi berupa fakta,
prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (2001: 34-35), materi
pelajaran/bahan ajar harus disusun berdasar tingkat kesukarannya (mudah -
sukar ). Kedudukan bahan ajar dapat digambarkan dengan alur berikut:
Tujuan bahan ajar evaluasi remedi
5) Metode
Metode adalah suatu strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru
yang meliputi seluruh kegiatan penyajian bahan pelajaran kepada siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Sementara itu Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (2001: 34-35),
memberikan batasan bahwa metode mencakup pemilihan dan penentuan
bahan ajar, penyusunan, serta kemungkinan pengadaan remedi dan
pengembangan bahan ajar. Sehingga berdasarkan beberapa pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan hakikat metode pembelajaran bahasa yaitu rencana
pembelajaran bahasa yang mencakup pemilihan, penentuan, dan
penyusunan bahan ajar secara sistematis.
6) Media
Media adalah bahan pengajaran yang digunakan untuk menyajikan
informasi kepada sisiwa. Melengkapi pengertian di atas, Arief S. Sadiman,
R. Rahardjo, Anung Haryono dan Rahardjito (2008: 7) memberikan
penjelasan tentang media, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima agar dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga proses belajar terjadi.
7) Evaluasi
Evaluasi adalah cara yang digunakan untuk menilai suatu proses dan
hasilnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan belajar
mengajar dan sekaligus memberikan balikan bagi setiap komponen tersebut.
Secara harfiah istilah evaluasi diambil dari bahasa Inggris
“evaluation” yang berarti penilaian (Sudijono, 2005: 1). Senada dengan
pendapat tersebut, Wandt dan Brown (dalam Sudijono, 2005: 1) menyatakan
bahwa istilah evaluasi adalah menunjuk pada suatu tindakan atau suatu
proses unuk menentukan nilai dari sesuatu. Apabila dihubungkan dengan
kegiatan pembelajaran di sekolah, maka dapat disimpulkan pengertian
evaluasi yaitu suatu cara yang digunakan untuk menilai proses dan hasil
belajar siswa.
Oemar Hamalik (2001: 65-66) menyatakan bahwa suatu sistem
pembelajaran memiliki tiga ciri utama, yaitu:
a) Rencana, ialah penataan ketenagaan, material dan prosedur yang merupakan
unsur-unsur sistem pembelajaran.
b) Kesalingtergantungan, adalah adanya hubungan yang yang serasi dalam
suatu keseluruhan antara unsur-unsur sistem pembelajaran. Tiap unsur
bersifat esensial, dan masing-masing memberikan sumbangannya kepada
sistem pembelajaran.
c) Tujuan, merupakan tolok ukur terhadap keberhasilan pembelajaran.
Proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuan/sasaran
pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya telah tercapai (Gino, dkk., 1996:
36-39). Menurutnya juga, keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Motivasi belajar
Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang
secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai
tujuan tertentu.
b) Bahan belajar
Bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. Bahan atau materi yang
digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan yang akan
dicapai oleh siswa dan harus sesuai dengan karakteristik siswa agar dapat
diminati olehnya.
c) Alat bantu belajar
Alat bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari
sumber belajar (guru) kepada penerima (siswa). Dengan kata lain, alat bantu
belajar atau media dalam belajar merupakan alat yang dapat membantu
siswa untuk mencapai tujuan belajar, misalnya (buku-buku, komputer, tape
recorder dan lain-lain).
d) Suasana belajar
Suasana belajar merupakan situasi dan kondisi yang ada dalam lingkungan
tempat proses pembelajaran berlangsung. Suasana yang dapat mendukung
kegiatan pembelajaran yang baik antara lain yaitu:
(1) Suasana kekeluargaan antara guru dan siswa yang mendukung
terjadinya komunikasi yang lancer antara keduanya. Dengan terjalinnya
komunikasi/hubungan yang akrab, maka akan membantu siswa untuk
lebih berani mengungkapkan pendapat dan pikirannya dalam suatu
kegiatan pembelajaran.
(2) Suasana sekolah yang nyaman, tenang serta menyenangkan untuk
melaksanakan pembelajaran.
(3) Suasana kelas yang diatur secara fleksibel (sesuai dengan kebutuhan
siswa untuk belajar).
(4) Jumlah siswa di dalam kelas tidak terlalu banyak sehingga
memungkinkan bagi guru untuk memberikan perhatian yang cukup dan
merata pada seluruh siswa.
(5) Siswa belajar secara bervariasi, misalnya dengan berdikusi,
mengadakan eksperimen atau dengan mengadakan study tour untuk
menghindari kejenuhan dalam belajar.
e) Kondisi siswa
Kondisi siswa adalah keadaan siswa pada saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Kondisi yang dimaksud bukan hanya keadaan fisik, melainkan
juga keadaan psikis siswa.
f) Kemampuan guru
Kemampuan guru yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan guru
dalam menyampaikan materi, mengelola kelas, serta mengatasi berbagai
masalah yang mungkin terjadi selama proses belajar mengajar.
Adapun beberapa kriteria yang menunjukkan kemampuan guru adalah
sebagai berikut:
(1) Guru menyampaikan materi dengan tepat dan tidak membosankan,
namun tidak terkesan menggurui.
(2) Guru harus bisa memilih metode dan cara mengajar yang tepat agar
dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti pelajaran.
(3) Guru harus mampu mengelola kelas dengan baik, misalnya dengan
memberikan perhatian yang merata kepada seluruh siswa yang ada di
kelas tersebut, baik yang ada di depan maupun belakang.
(4) Guru harus mampu memotivasi siswa agar mau aktif dalam kegiatan
belajar mengajar.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah suatu proses atau usaha untuk menjadikan siswa belajar
dengan memberikan stimulasi kepada siswa agar menimbulkan respons yang
tepat untuk mencapai tujuan belajar yang diinginkan.
b. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SD
Pembelajaran keterampilan berbicara merupakan satu dari empat aspek
keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis) yang
diajarkan disekolah-sekolah. Kurikulum berbicara untuk kelas lima (V),
dijabarkan dalam bentuk standar kompetensi yang harus dikuasai siswa, yaitu:
mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan, fakta secara lisan dengan
menanggapi suatu persoalan, menceritakan hasil pengamatan/kunjungan atau
wawancara, mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi
dan bermain drama (Depdiknas, 2006: 327-328).
Berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar mata pelajaran
Bahasa Indonesia yang harus diajarkan di kelas V sekolah dasar. Adapun
tujuan pengajaran berbicara di sekolah adalah agar siswa mampu
mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pesan secara lisan. Di samping itu,
pengajaran berbicara diarahkan pada kemampuan siswa untuk berinteraksi dan
menjalin hubungan dengan orang lain secara lisan (Depdikbud, 1994: 2).
Melihat pentingnya tujuan pembelajaran keterampilan berbicara di
sekolah, maka seharusnya pembelajaran tersebut lebih dioptimalkan dengan
mengingat bahwa keterampilan berbicara bukanlah sesuatu yang dapat
diajarkan melalui uraian atau keterangan guru saja. Melainkan siswa harus
dihadapkan pada aneka bentuk teks lisan ataupun kegiatan-kegiatan nyata yang
mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Keberhasilan pembelajaran
tersebut juga tidak lepas dari bagaimana cara atau metode yang diterapkan oleh
guru dalam menjalankan tugas pembelajaran keterampilan berbicara.
Untuk mengajar atau melatih kemampuan komunikasi lisan pada siswa,
seorang guru dapat memilih dan menerapkan beberapa aktivitas-aktivitas
komunikasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sri Utari Subyakto Nababan
(1993: 175-180) bahwa aktivitas-aktivitas komunikatif untuk mencapai
kemampuan komunikatif lisan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu aktivitas-aktivitas prakomunikatif dan aktivitas-aktivitas komunikatif.
Dikatakan prakomunikatif karena belum merupakan komunikasi yang
sesungguhnya, belum ada unsur komunikasi yang wajar dan alamiah.
Aktivitas-aktivitas prakomunikatif dapat berupa:
1) teknik dialog (yaitu menghafalkan kalimat-kalimat dalam suatu dialog dan
mendramatisasikannya secara lancar);
2) dialog dengan gambar (guru membawa gambar dan menunjukkannya satu
per satu sambil memberikan pertanyaan);
3) dialog terpimpin (guru memberikan tanya jawab);
4) dramatisasi suatu tindakan (misalnya dengan guru berjalan, berlari,
maupun tersenyum sambil memberikan pertanyaan tentang apa yang
sedang dilakukannya);
5) penggunaan gambar orang yang mencerminkan profesi;
6) dialog dengan gambar;
7) teknik tanya jawab;
8) guru memberi kalimat yang belum selesai dan siswa diminta untuk
menyelesaikannya.
Kelemahan aktivitas-aktivitas prakomunikatif tersebut, yaitu gurulah
yang sebagian besar menguasai kelas dan materi. Berbeda dengan aktivitas
komunikatif yang lebih mengutamakan aktivitas guru dan peserta didik. Guru
tidak lagi menguasai kelas (berperan sebagai fasilisator) dan siswalah yang
dibimbing dan diberi kesempatan lebih banyak untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya. Menurut Nababan (1993:
180), aktivitas-aktivitas komunikatif yang dapat dilaksanakan guru dalam
proses pembelajaran, yaitu:
1) diskusi kelompok;
2) bermain peran;
3) melatih berbagai bentuk dialog yang terjadi dalam masyarakat;
4) wawancara;
5) permainan;
6) menceritakan kembali suatu cerita yang sudah dikenal;
7) melaporkan suatu kegiatan;
8) mengadakan debat;
9) mengambil peran dalam drama-drama modern.
Dari beberapa aktivitas tersebut, guru seharusnya mampu memilih dan
menerapkan cara/metode mengajar berbicara dengan menggunakan pendekatan
komunikatif yang menitikberatkan pada keaktifan, kekreatifan dan
keterampilan siswa untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan.
Hal tersebut didukung dengan pendapat Rusliawarni (2005), seorang
guru bahasa yang mengatakan bahwa untuk lebih mengakrabkan anak dengan
pendidikan bahasa Indonesia (terutama keterampilan berbicara) anak
diakrabkan dengan konsep belajar dramatisasi. Kegiatan ini bersifat pedagogik,
yang bisa merangsang imajinasi dan kekreatifan siswa. Dalam proses itulah
kemudian anak dapat bermain dan secara tidak langsung belajar tentang
bagaimana berbahasa yang baik.
Melengkapi pendapat di atas, Herman J. Waluyo (2002: 192)
menyatakan bahwa berbicara di kelas dalam kaitan dengan pelajaran Bahasa
Indonesia, dapat berupa pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok,
dapat juga dari beberapa kelompok. Berbicara sama halnya dengan berperan, di
mana berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama.
Dalam berperan harus diperhatikan adanya hal-hal berikut ini:
a) Kreasi yang dilakukan oleh pemain.
b) Peran yang dibawakan harus bersifat alamiah/wajar.
c) Peran yang dibawakan harus sesuai dengan tipe, gaya, jiwa dan tujuan dari
pementasan.
d) Peran yang dibawakan harus disesuaikan dengan periode tertentu dan watak
yang harus dipresentasikan (Herman J. Waluyo, 2002: 109-110).
c. Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Berbicara adalah kemampuan berbahasa yang sulit penilaiannya karena
tingkatan tes berbicara berlainan dengan tingkatan tes kemampuan berbahasa
lainnya. Aktivitas berbicara tidak hanya dinilai dari aspek kognitif melainkan
juga aspek psikomotor. Kemampuan kognitif dapat dilihat dari segi isi atau
gagasan yang terungkap melalui bahasa, sedangkan kemampuan psikomotor
dapat dilihat dari aktivitas fisik, kelancaran dan kewajaran gerakan. Di samping
kedua aspek tersebut, Burhan Nurgiyantoro (2001: 277) menambahkan bahwa
dalam melakukan kegiatan berbicara, unsur-unsur paralinguistik seperti gerak-
gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya perlu diperhatikan
juga.
Sementara itu berdasarkan penilaian Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), evaluasi di setiap aspek pembelajaran harus memuat tiga
aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif diarahkan pada
hasil pembelajaran, sedangkan afektif dan psikomotor ditujukan pada proses
selama pembelajaran berlangsung. Ketiga kawasan tersebut diuraikan secara
berkaitan menurut Benjamin S. Bloom (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 161-
167 ), yakni:
(1) Kawasan Kognitif
Kawasan kognitif meliputi enam tingkatan, yaitu:
(a) Pengetahuan, yang meliputi: pengetahuan akan hal khusus (definisi,
membedakan, mendapatkan, mengingat, mengenal kembali),
pengetahuan akan kejadian khusus, pengetahuan tentang cara dan alat,
pengetahuan akan aeah dan urutan, penggolongan dan kategori,
pengetahuan akan kriteria, pengetahuan akan metodologi, serta
pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi.
(b) Pemahaman, yang meliputi: terjemahan (arti, contoh, definisi, abstrak,
kata, kalimat), penafsiran (membedakan, membuat, menerangkan,
mempertunjukkan), dan perhitungan atau ramalan.
(c) Penerapan, yang meliputi: menerapkan prinsip, menggeneralisasikan,
menghubungkan, memilih, mengalihkan, menggolongkan,
mengorganisasikan, dan menyusun kembali.
(d) Analisis, yang meliputi: analisis unsur, analisis hubungan, dan analisis
prinsip-prinsip organisasional.
(e) Sintesis, yang meliputi: hasil komunikasi (untuk menuliskan,
menceritakan, mengubah, membuktikan kebenaran), hasil dari rencana
atau rangkaian kegiatan yang disusulkan, dan asal mula dari rangkaian
hubungan abstrak.
(f) Evaluasi, yang meliputi: pertimbangan mengenai kejadian internal dan
pertimbangan mengenai kriteria eksternal.
(2) Kawasan Afektif
Kawasan afektif meliputi lima tingkatan, yaitu:
(a) Menerima (receiving), menyangkut minat siswa terhadap sesuatu.
(b) Responding (menjawab, mereaksi), artinya siswa ikut berpartisipasi
secara aktif dalam suatu kegiatan. Bukti responding yang tertinggi
adalah tumbuhnya interest, misalnya memiliki rasa senang terhadap
aktivitas bermain drama di kelas.
(c) Menaruh penghargaan (valuing), pada tingkat ini siswa mampu
memberikan penilaian terhadap drama yang akan atau sudah
dipentaskan, siswa memiliki sikap (attitude), dan memiliki apresiasi.
(d) Mengorganisasikan sistem nilai. Nilai-nilai dalam diri seseorang
bersifat kompleks dan saling terkait menjadi sistem nilai, sehingga
untuk mengetahui kemampuan dalam mengorganisasikan sebuah nilai,
dapat dilihat dari kemampuan seseorang membandingkan berbagai
nilai, menghubungkan nilai-nilai, dan mensintesiskan sistem nilai.
(e) Mengadakan karakteristik nilai. Orang yang afektif terhadap sesuatu
tidak hanya menerima, merespons, menghargai, dan mengorganisasi
harga yang ada, tetapi sudah mampu memperjelas nilai suatu hal
menjadi nilai hidupnya yang memiliki karakterisasi jelas.
(3) Kawasan Psikomotorik
Kawasan psikomotorik meliputi lima tingkatan, yaitu:
(a) Persepsi, yaitu proses kesadaran akan adanya perubahan setelah
keaktifan alat dria. Persepsi meliputi: stimulasi, menyentuh bentuk
sesuatu, merasakan sesuatu, membau dan memegang, dan
mendiskriminasi tanda-tanda.
(b) Kesiapan, yaitu kemampuan membedakan persepsi yang masuk.
Kesiapan meliputi: kesiapan mental, fisik, dan emosional dalam
merespons.
(c) Respons terpimpin, yaitu kemampuan mencatat dan membuat laporan.
Respons terpimpin meliputi: imitasi, trial and error, mengikuti, dan
mengadakan eksperimen.
(d) Mekanisme, yaitu penggunaan skill dalam aktivitas kompleks.
Mekanisme meliputi: memilih, merencanakan, melatih, dan
merangkaikan.
(e) Respons yang kompleks, yaitu penggunaan skill berdasarkan
pengalaman persepsi, kesiapan, respons terpimpin dan mekanisme.
Respons yang kompleks meliputi: adaptasi, penggunaan skill untuk
profesi, dan melaporkan atau menjelaskan.
Secara umum, penilaian untuk mengukur kemampuan berbicara dapat
dilakukan melalui beberapa tingkatan. Burhan Nurgiyantoro (2001: 291-292)
menjelaskan tingkatan-tingkatan tersebut, sebagai berikut:
1. Tes kemampuan berbicara tingkat ingatan
Tes kemampuan berbicara tingkat ingatan umumnya bersifat teoritis,
menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tugas berbicara, misalnya
tentang pengertian, fakta, dan sebagainya.
2. Tes tingkat pemahaman
Tes kemampuan berbicara tingkat pemahaman juga masih bersifat teoritis,
menanyakan berbagai masalah yang berhubungan dengan tugas berbicara.
Namun, tes tingkat pemahaman ini dapat pula dimasukkan untuk
mengungkap kemampuan siswa secara lisan.
3. Tes tingkat penerapan
Pada tingkat ini tidak lagi bersifat teoritis, melainkan menghendaki siswa
untuk melakukan praktik berbicara. Tes tingkat ini menuntut siswa untuk
mampu menerapkan kemampuan berbahasanya untuk berbicara dalam
berbagai situasi dan masalah tertentu.
Sementara itu, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 91)
memberikan ilustrasi penilaian keterampilan berbicara yang lebih khusus,
yakni sebagai berikut:
1. pengajar memberi tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan berbicara
(baik secara individu atau kelompok);
2. pengajar menentukan faktor-faktor yang dinilai atau diamati;
3. siswa yang tidak mendapat giliran berbicara diberi tugas mengamati
berdasarkan pedoman penilaian yang telah dirancang;
4. pengajar dan siswa aktif mengamati dan mengisi tabel penilaian;
5. setelah kegiatan berbicara selesai, para pengamat dan pengajar
mengemukakan komentarnya. Saat siswa memberikan komentar kepada
siswa lain, pengajar harus memperhatikannya dan membetulkan komentar
yang kurang tepat;
6. selanjutnya kegiatan berbicara diulang kembali untuk melihat perubahan
berbicara pembicara setelah mendapat umpan balik.
Adapun faktor yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi
keterampilan berbicara seseorang adalah:
1) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal, konsonan) diucapkan dengan tepat?
2) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta tekanan suku kata, memuaskan?
3) Apakah ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang dipergunakannya?
4) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?
5) Sejauh manakah “kewajaran” atau “kelancaran” ataupun “ke-native-speaker-an” yang tercermin bila seseorang berbicara? (Brooks dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 26).
Aspek-aspek tersebut dapat dikembangkan menjadi beberapa model
penilaian. Namun, model penilaian yang digunakan harus tetap
mempertimbangkan unsur bahasa dan unsur yang di luar bahasa, dan jika
dianggap ada aspek-aspek tertentu yang dipandang penting belum terungkap,
kita dapat saja menyusun model dan aspek penilaian sendiri (Burhan
Nurgiyantoro, 2001: 291).
Dengan melihat beberapa pendapat ahli tentang cara mengevaluasi
pembelajaran berbicara, maka peneliti memberikan batasan terhadap penilaian
keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali sesuai
dengan pendapat dari Brooks. Penilaian yang digunakan untuk mengukur
kemampuan berbicara adalah tes unjuk kerja yang dilengkapi dengan lembar
penilaian pengamatan terhadap kemampuan berbicara siswa. Pengamatan
dilakukan sewaktu siswa tampil berbicara di depan kelas. Secara rinci,
penilaian berbicara siswa dapat diamati dengan lembar observasi sebagai
berikut,
Tabel 1. Pedoman Penilaian Keterampilan Berbicara
Aspek Penilaian No. Nama
Siswa I II III IV V VI
Skor
Diadopsi dari Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 26)
Keterangan:
I. Lafal
Kemampuan mengucapkan bunyi (vokal, konsonan) secara tepat dapat
dinilai dengan indikator:
5 Pengucapan sudah mendekati standar dan sudah tidak terlihat adanya
pengaruh bahasa asing atau daerah.
4 Pengucapan jelas dan mudah dipahami.
3 Pengucapan dapat dipahami.
2 Pelafalan kurang tepat sehingga sesekali timbul salah pengertian dari
pendengar.
1 Kesalahan pelafalan terlalu banyak, menghendaki untuk selalu diulang.
II. Intonasi/tekanan
Naik dan turunnya suara, serta ketepatan penekanan suku kata dapat dinilai
dengan indikator:
5 Tidak terjadi salah penekanan kosa kata yang mencolok, mendekati
ucapan standar.
4 Intonasi tepat dan tidak menyebabkan kesalahpahaman.
3 Penekanan kosa kata sering salah/kurang tepat.
2 Sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan
pemahaman, menghendaki unuk selalu diulang.
1 Intonasi/penekanan yang tidak tepat sering tidak dapat dipahami.
III. Tata Bahasa
Ketetapan bahasa dan ketepatan ucapan yang mencerminkan bahwa sang
pembicara memahami bahasa yang dipergunakannya, dapat dinilai dengan
indikator:
5 Hampir tidak terjadi kesalahan tata bahasa.
4 Terdapat sedikit kesalahan tata bahasa dan atau susunan kata, tetapi
tidak mengaburkan arti.
3 Sering terdapat kesalahan tata bahasa dan susunan kata, sehingga
sesekali mengaburkan arti.
2 Terdapat kesalahan tata bahasa dan susunan kata yang menyebabkan
pembicaraannya sukar dipahami.
1 Kesalahan tata bahasa dan susunan kata sangat banyak sehingga
mengaburkan arti dan pembicaraannya sangat sulit dipahami.
IV. Struktur
Kemampuan mengucapkan kata-kata yang tepat dan urut dapat dinilai
dengan indikator:
5 Pengucapan kata-kata dilakukan dengan tepat dan urut.
4 Pengucapan kata-kata sudah urut, tetapi masih sering diulang.
3 Sering mengucapkan kata terbalik-balik dan diulang.
2 Adanya kesalahan pengucapan kalimat sehingga makna pembicaraan
tidak urut.
1 Pengucapan kata-kata sering tidak urut, sehingga pembicaraannya
tersendat-sendat dan tidak tepat.
V. Kelancaran/kewajaran
Kelancaran atau kewajaran pembicaraan dapat dinilai dengan indikator:
5 Pembicaraan sangat lancar dan terkesan tidak dibuat-buat (wajar).
4 Pembicaraan lancar dan wajar, tetapi sesekali masih kurang ajek.
3 Pembicaraan sering terdengar ragu, sehingga kalimat tidak lengkap.
2 Pengucapan sangat lambat, kecuali untuk kalimat pendek dan sering
diucapkan.
1 Pembicaraan selalu terhenti dan putus-putus.
VI. Pemahaman
Pemahaman siswa terhadap isi dan maksud pembicaraan dapat dinilai
dengan indikator:
5 Memahami segala isi percakapan dan menguasai maksudnya.
4 Memahami isi pembicaraan dengan baik.
3 Memahami percakapan sederhana, tetapi dalam hal tertentu masih perlu
pengulangan.
2 Pemahaman terhadap isi dan maksud pembicaraan lambat.
1 Pemahaman terhadap isi dan maksud pembicaraan sangat kurang.
Selanjutnya untuk mencari nilai setiap siswa dapat menggunakan teknik
penilaian yang dikembangkan oleh FSI (Foreign Service Institute) (Oller dalam
Yuni Susilowati, 2008: 26) sebagai berikut:
1. Nilai setiap unsur yang dinilai dalam berbicara berkisar antara 1 sampai
dengan 5. Nilai 5 berarti baik sekali, nilai 4 berarti baik, nilai 3 berarti
sedang, nilai 2 berarti kurang, dan nilai 1 berarti kurang sekali.
2. Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap unsur
penilaian yang diperoleh siswa.
3. Nilai akhir siswa diolah dengan menggunakan rumus:
Total nilai
X Skor Ideal = Nilai Skor Maksimum (100)
(30)
4. Persentase ketuntasan pembelajaran berbicara dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Jumlah siswa yang mendapat nilai ≥ 60 X 100%=Persentase tingkat keberhasilan Jumlah siswa
Adapun ilustrasi penilaian keterampilan berbicara siswa kelas V SD
Negeri Kopen I Teras Boyolali didasarkan pada prinsip ilustrasi penilaian yang
dikemukakan Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991: 91) sebagai
berikut: (1) guru memberi tugas kepada siswa untuk melakukan kegiatan
berbicara secara kelompok, (2) guru menentukan faktor-faktor yang dinilai atau
diamati, (3) siswa yang tidak mendapat giliran berbicara diberi tugas
mengamati penampilan teman, (4) setelah kegiatan berbicara selesai, para
pengamat dan guru mengemukakan komentarnya. Saat siswa memberikan
komentar kepada siswa lain, guru harus memperhatikannya dan membetulkan
komentar yang kurang tepat, dan (5) kegiatan berbicara diulang kembali untuk
melihat perubahan berbicara siswa setelah mendapat umpan balik.
3. Hakikat Metode Bermain Peran
a. Pengertian Metode Bermain Peran
Istilah metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti
cara atau jalan sehingga dapat dikatakan bahwa metode adalah cara yang
digunakan untuk memahami sebuah objek sebagai bahan ilmu yang
bersangkutan, dikutip dari pendapat Moch. Zamroni (2006). Sedangkan
menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 1), metode adalah cara
yang tepat untuk malakukan sesuatu. Senada dengan pendapat di atas, Herman
J. Waluyo (2002: 171) memberikan pengertian tentang metode, yaitu prosedur
atau langkah-langkah yang dijabarkan ke dalam teknik mengajar yang benar-
benar dilakukan guru di dalam kelas.
Anang Prasetyo (2000) mengatakan bahwa salah satu komponen dalam
pembelajaran yang dapat menentukan efektivitas mengajar seorang guru adalah
penggunaan metode mengajar. Guru memiliki peran besar dalam memilih dan
menentukan metode maupun langkah-langkah pembelajaran, karena
penggunaan metode yang tepat dapat mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran.
Metode pembelajaran yang digunakan guru untuk menyampaikan
informasi kepada siswa, berbeda dengan cara yang ditempuh untuk
memantapkan siswa dalam menguasai pengetahuan, keterampilan, serta sikap.
Jadi untuk tujuan yang berbeda, guru harus menggunakan teknik
penyajian yang berbeda pula (Roestiyah N.K., 2001: 1). Misalnya dalam
pembelajaran berbicara, metode yang dipilih harus tepat dan lebih variatif. Hal
ini dimaksudkan agar siswa merasa senang mengikuti pembelajaran berbicara
yang selama ini dikatakan masih sulit untuk diajarkan, sehingga dapat
membawa hasil yang memuaskan. Salah satu metode yang dapat digunakan
dalam pembelajaran berbicara adalah dengan metode bermain peran atau role
play.
Metode bermain peran atau role play sudah muncul sejak tahun 1930-
an, hingga sekarang telah berkembang menjadi berbagai bentuk dan variasi
pendidikan dari tingkat pemula di sekolah dasar hingga ke tingkat yang lebih
tinggi (Gangel, Kenneth O., dalam Ratri, 2008). Role play atau permainan
peran menurut para ahli mempunyai definisi yang beragam. Kiranawati (2007),
menyebutkan pengertian metode role play, yaitu suatu cara penguasaan bahan-
bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.
Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan
memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada
umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang
diperankan. Sementara itu, Made Pidarta (1990: 81) memberikan pengertian
tentang role play/bermain peranan yaitu kegiatan melakukan suatu permainan
dengan peran tertentu, misalnya peran sebagai orang tua, siswa, guru dan
sebagainya yang sedang melakukan kegiatan tertentu.
Bermain peran sebagai bentuk metode pembelajaran di kelas dapat
dilakukan dengan memerankan peran suatu kasus yang sedang dibahas sebagai
materi pelajaran pada saat itu, melalui pemberian skenario yang
menggambarkan situasi-situasi tertentu. Semua siswa harus ikut berpartisipasi
di dalamnya sehingga mereka dapat bekerja secara berkelompok dalam grup.
Mereka juga harus mempelajari pemahaman dan mereka memiliki waktu yang
cukup untuk mendapatkan karakter dan menciptakan respons terhadap
situasi yang dimaksud dengan melakukan role play (Solomon, Joan, 1994:
577).
Melengkapi pendapat tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 174)
mengungkapkan bahwa role play akan lebih baik jika bersumber pada hasil
observasi terhadap suatu kejadian tertentu, misalnya percakapan di terminal
bus, rapat desa, tawar-menawar dagangan di pasar, peristiwa perampokan,
pertentangan dengan orang tua, konflik tentang sekolah, dan sebagainya.
Metode role play termasuk dalam kategori pementasan drama yang
sangat sederhana. Peran diambil dari kehidupan nyata sehari-hari. Dari role
play dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan
pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan (Herman
J. Waluyo, 2002: 188). Namun, banyak guru yang tidak bisa membedakan
antara role play dan drama. Meskipun keduanya tampak sama, tetapi mereka
sangat berbeda dalam gaya. Menurut Gangel, Kenneth O. (dalam Ratri 2008),
perbedaan yang paling menonjol antara role play dan drama adalah pada
pelaksanaannya: drama biasanya menggunakan naskah, sedangkan role play
menggunakan unsur spontan atau setidaknya reaksi yang tidak dipersiapkan
terlebih dahulu.
Dia juga menyatakan bahwa role play sebagai suatu metode mengajar
merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar dan tentang peran dalam
kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat dalam
situasi bermain peranan sehingga para siswa dapat mengenali tokohnya dan
menirukannya dalam situasi yang seolah-olah nyata. Pendapat ini didukung
oleh Olshtain & Blum-Kulka, Kasper & Dahl, dan Yamashita (dalam Sasaki
Miyuki, 1998: 459) yang menyatakan bahwa role play memandang diri seperti
situasi tiruan yang tampak lebih asli.
Melengkapi pengertian di atas (Hisyam Zaini, Bermawy Munthe dan
Sekar Ayu Aryani, 2007: 101) mengemukakan bahwa role play adalah suatu
aktivitas pembelajaran terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-
tujuan pendidikan yang spesifik, yaitu untuk memperoleh suatu keterampilan,
kemampuan atau sikap melalui perilaku model yang diperankan.
Metode ini banyak melibatkan siswa dan membuat siswa senang
belajar, sebagaimana dikemukakan Adorn dan Mbirirnujo (dalam Anang
Prasetyo, 2000) yang menyatakan bahwa metode bermain peran ini mempunyai
nilai tambah, yaitu: (1) seluruh siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai
kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerja sama hingga
berhasil, dan (2) permainan merupakan pengalaman belajar yang
menyenangkan bagi anak, dengan kata lain anak-anak dapat belajar dengan
baik pada saat pelajaran tersebut dapat menyenangkan. Hal senada
dikemukakan oleh Kristiani (dalam Anang Prasetyo, 2000) bahwa dengan
menerapkan metode bermain peran akan terjadi suasana yang menggembirakan
bagi siswa selama mereka belajar dan dapat meningkatkan pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajari
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa metode bermain peran merupakan salah satu metode ajar di mana
peserta didik melakukan kegiatan bermain atau memainkan peran tokoh lain
dengan penuh penghayatan dan kreativitas berdasarkan peran suatu kasus yang
sedang dibahas sebagai materi pelajaran pada saat itu.
b. Tahapan Bermain Peran
Shaffel dan Shaffel (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 189)
mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi :
1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;
2) memilih peran;
3) menyiapkan pengamat;
4) menyusun tahap-tahap peran;
5) tahap pemeranan (pentas di depan kelas);
6) diskusi dan evaluasi tahap I;
7) pemeranan ulang, diskusi dan evaluasi tahap II, serta pemecahan masalah;
8) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
Menurut Hisyam Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani
(2007: 102), dalam melakukan role play peserta diminta untuk:
1) mengandaikan suatu peran khusus, apakah sebagai mereka sendiri atau sebagai orang lain.
2) masuk dalam suatu situasi yang bersifat simulasi atau skenario, yang dipilih berdasar relevansi dengan pengetahuan yang sedang dipelajari peserta atau materi kurikulum.
3) bertindak persis sebagaimana pendangan mereka terhadap orang yang diperankan dalam situasi-situasi tertentu ini, dengan menyepakati untuk bertindak “seolah-olah” peran-peran tersebut adalah peran-peran mereka sendiri (Jones, 1980) dan bertindak berdasar asumsi tersebut (Milroy, 1982); dan
4) menggunakan pengalaman-pengalaman peran yang sama pada masa lalu untuk “mengisi” gap yang hilang dalam suatu peran singkat yang ditentukan (Lowe & Lewis, 1994).
Sementara itu, Made Pidarta (1990: 82-83) menyebutkan langkah-
langkah kegiatan yang harus dilakukan guru dalam role play, yaitu:
a) Guru bercerita tentang suatu kejadian atau kasus tertentu yang merupakan
materi pelajaran pada saat itu.
b) Menentukan siapa yang akan memainkan peran-peran tersebut.
c) Selama permainan berlangsung, kewajiban guru adalah mengamati perilaku
setiap pemain. Hasil pengamatan akan dijadikan sumber untuk memberi
komentar di akhir permainan.
d) Guru bertanya pada peserta tentang perasaan dan sikapnya terhadap kasus
yang telah dimainkannya.
e) Guru melakukan refleksi/evaluasi.
Melalui metode role play siswa diberikan tugas praktik nyata dengan
terlebih dahulu diberi sedikit instruksi. Siswa akan mendapatkan peran
seseorang yang pekerjaannya telah mereka ketahui. Menurut Silberman,
Melvin L. (2006: 240) adapun prosedur dalam pemberian peran kepada siswa,
yaitu:
1) Pilihlah peran yang akan diperagakan siswa, berikut adalah beberapa
contohnya:
Saya adalah: walikota, ilmuwan, pelamar kerja, pemilik usaha, wartawan,
kepala desa, dokter, dsb.
2) Siapkan instruksi tertulis yang menjelaskan satu atau beberapa tugas yang
bisa diberikan pada peran itu. Misalnya, seorang walikota dapat diminta
untuk mengajukan program kerja kepada dewan kota.
3) Pasangkan siswa dan beri tugas masing-masing dengan waktu yang telah
ditentukan untuk memerankan tugas itu.
4) Perintahkan siswa untuk kembali ke posisi semula dan mendiskusikan tugas
itu.
c. Organisasi Bermain Peran
Berdasar dari pendapat Hisyam Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu
Aryani (2007: 107-119), pada umumnya role play cenderung dibagi pada tiga
fase yang berbeda, yaitu: (1) perencanaan dan persiapan, (2) interaksi, (3)
refleksi dan evaluasi.
1. Perencanaan dan Persiapan
Perencanaan yang matang adalah kunci kesuksesan dalam role play.
Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh guru sebelum memulai
permainan, antara lain:
a. Mengenal siswa
Semakin guru mengenal siswa, maka akan semakin besar
kemungkinan untuk memperkenalkan role play dengan relevan dan berhasil.
Guru pun harus mempertimbangkan beberapa hal berikut:
a) Jumlah siswa
b) Apa yang diketahui siswa tentang materi pada saat itu
c) Pengalaman terdahulu tentang role play
Siswa yang lebih berpengalaman kemungkinan besar dapat menghandel
peran yang lebih kompleks, sementara siswa yang pengalamannya
kurang membutuhkan bimbingan dalam tahap-tahap aktivitasnya.
d) Kelompok umur
Peran yang berbeda akan menuntut tingkat pengalaman hidup yang
berbeda pula.
e) Latar belakang peserta
Pengalaman masa lalu siswa dapat empengaruhi persepsi tentang peran-
peran tertentu.
f) Minat dan kemampuan siswa
g) Kemampuan peserta untuk berkolaborasi
b. Menentukan tujuan pembelajaran
Menentukan tujuan pembelajaran sangat penting dilakukan guru
sebelum memulai role play agar aktivitas-aktivitas role play dapat
terfokus/terarah.
c. Mengetahui kapan role play digunakan
d. Memahami pendekatan role play
Sebagai suatu metode pembelajaran, role play mempunyai beberapa
pendekatan. Guru dapat memilih salah satunya dengan mempertimbangkan
pada persepsi siwa, tujuan pembelajaran, dan jumlah waktu yang tersedia.
Berikut ini adalah tiga pendekatan dalam role play:
1) Role play sederhana (simple role play)
Role play tipe ini membutuhkan sedikit persiapan. Guru dapat
melakukannya dengan membagi siswa secara berpasangan, kemudian
siswa diberi peran-peran yang khusus dan seperangkat skenario.
Kemudian mereka diminta untuk memerankan secara spontan tentang
permasalahan yang telah ditentukan.
2) Role play (sebagai) latihan (role play exercises)
Role play tipe ini merupakan role play berbasis keterampilan dan
menuntut persiapan. Peserta akan membutuhkan sejumlah informasi atau
latar belakang faktual sebelum memasuki tipe ini. Misalnya, siswa
diminta untuk memerankan role play dengan skenario “bagaimana
caranya memperlakukan diri dalam sebuah interview”, “bagaimana
caranya menggunakan alat-alat medis”, dan lain-lain.
Peserta membutuhkan sejumlah waktu untuk membayangkan dirinya ke
dalam situasi tersebut. Sebagai contoh, jika mereka akan melakukan
suatu wawancara dengan narasumber dari sebuah pabrik, maka mereka
perlu mengetahui tentang beberapa hal, seperti; bergerak dalam bidang
apa pabrik tersebut, berapa jumlah karyawannya, dan lain-lain.
3) Role play yang diperpanjang (extended role play)
Role play tipe ini merupakan sebuah permainan dengan penggunaan
waktu pelaksanaan yang diperpanjang, dapat berkisar satu jam atau
bahkan sehari penuh.
e. Mengidentifikasi skenario
Skenario memberi informasi tentang apa yang harus diketahui siswa
sebagai pemegang peran. Pilihan skenario akan bergantung pada minat,
fokus materi serta pengalaman guru dan siswa.
f. Menempatkan peran
Pilihan peran akan bergantung pada problem atau materi yang akan
disoroti. Jadi kita dapat bertanya peran mana yang paling memungkinkan
untuk dapat mengungkapkan keterampilan atau sikap yang dieksplorasi.
g. Menentukan peran/kedudukan guru
Sebelum role play dimulai, guru harus membuat keputusan apakah ia
akan berperan sebagai partisipan, pengamat atau kombinasi dari keduanya.
h. Mempertimbangkan hambatan yang bersifat fisik
Sebelum role play dimulai, guru harus mempertimbangkan berbagai
keadaan yang bisa menghambat jalannya kegiatan, seperti: apakah ruangan
cukup luas, apakah kursi dan mejanya bisa dipindah, apakah tidak akan
membuat bising tetangga kelas, dsb. Semua itu harus dipertimbangkan dan
dicari jalan untuk mengatasinya.
i. Merencanakan waktu yang baik
Role play berlangsung antara 5-10 menit untuk yang sederhana.
Seharusnya dipertimbangkan juga pengalokasian waktu bagi kegiatan-
kegiatan pendukung, seperti diskusi pendahuluan, pemeranan dan refleksi
yaitu dengan perbandingan 1:2:3.
j. Mengumpulkan sumber informasi yang relevan
Setelah memutuskan tujuan, guru dan siswa perlu meneliti informasi-
informasi yang dapat membantu mereka dalam memerankan peran. Sumber
informasi tersebut dapat diperoleh dengan beberapa cara, misalnya: di awal,
guru dapat dengan singkat menggambarkan suatu situasi, atau meminta
siswa untuk mengingat suatu program televisi. Sumber lain bisa juga
berbentuk materi tertulis, seperti: berita koran, artikel majalah, dan lain-lain.
Contoh-contoh ini nantinya akan memberikan stimulus pada siswa (Hisyam
Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani, 2007: 107-113).
2. Interaksi
Dalam mengimplementasikan rencana ke dalam aksi, dapat ditempuh
melalui langkah-langkah berikut ini:
a. Membangun aturan dasar
Aturan dasar untuk pelaksanaan role play harus dibuat sejak awal,
sebelum permainan dimulai agar setiap pihak yang terkait di dalamnya dapat
mengetahui dengan jelas aturan yang berlaku.
b. Mengeksplisitkan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran perlu ditentukan sebelum role play dimulai agar
kegiatan siswa lebih terfokus/terarah dan memudahkan mereka untuk
mengevaluasi tingkat keberhasilan peran yang mereka capai.
c. Membuat langkah-langkah yang jelas
Langkah-langkah permainan perlu dibuat untuk memperjelas tujuan
yang ingin dicapai.
d. Mengurangi ketakutan tampil di depan publik
Dengan mengikutsertakan siswa dalam permainan peran ini,
diharapkan mereka akan berlatih untuk terbiasa berbicara di depan orang
lain.
e. Menggambarkan skenario atau situasi
Skenario yang diciptakan oleh guru dibuat untuk memungkinkan
siswa mencari pengetahuan untuk dirinya sendiri, yaitu sesuatu yang hanya
dapat diperoleh dengan cara berpartisipasi di dalamnya. Skenario bisa
berbentuk tertulis atau verbal/lisan.
f. Mengalokasikan peran
Peran dapat dialokasikan dalam berbagai cara, misalnya bagi guru
yang sangat mengenal/mengetahui karakteristik siswanya, maka
pengalokasian peran kunci diberikan pada siswa yang paling
berpengalaman/pintar. Sementara jika guru tidak mengenal siswa dengan
baik, maka biasanya peran dibagi secara acak.
g. Memberi informasi yang cukup
Pemberian informasi sangat dibutuhkan oleh peserta agar mereka
dapat menjalankan tugasnya dengan efektif dan sukses.
h. Menjelaskan peran guru dalam role play
Dalam role play, guru mempunyai peranan yang penting. Sebelum
role play dimulai, guru perlu menjelaskan kepada siswa tentang
keterlibatannya, memberikan penjelasan tentang peran-peran yang akan
ditampilkan dan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Selain itu pada akhir role
play, guru perlu melakukan umpan balik dan menarik kesimpulan-
kesimpulan umum. Diutamakan untuk menghindari pemberian kritik yang
bersifat merusak, dalam hal ini guru bertindak sebagai wasit (Oemar
Hamalik, 2003: 200).
i. Memulai role play secara bertahap
Role play seharusnya dilakukan secara bertahap, dari tahap yang
paling mudah/sederhana (seperti diskusi sebelum memulai permainan)
hingga tahap pemeranan.
j. Menghentikan role play dan memulai kembali jika perlu
Dalam menghentikan permainan, sebaiknya di awal permainan guru
bersama siswa membuat kesepakatan tentang sinyal apa yang akan
digunakan. Misalnya, guru mengangkat tangan atau bergerak ke tempat
tertentu.
k. Bertindak sebagai pengatur waktu
Sebelum role play dimulai guru harus mengemukakan pada siswa
tentang lamanya waktu yang disediakan. Ketika permainan telah berjalan,
maka guru dapat bertindak sebagai pengatur waktu dan memberi kode
tertentu (sesuai kesepakatan) jika waktu sudah berakhir (Hisyam Zaini,
Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani, 2007: 114-118).
3. Refleksi dan Evaluasi
Refleksi dan evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses role play.
Guru biasanya melakukan refleksi di antara interaksi atau diakhir interaksi. Di
dalam refleksi biasanya mengandung beberapa aspek kegiatan, yaitu
identifikasi, klarifikasi dan analisis (Colquhoun & Errington, dalam Hisyam
Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani, 2007: 118-119).
Refleksi atau evaluasi yang dilakukan di akhir interaksi/kegiatan dapat
dilihat dalam enam langkah berikut ini: 1) membawa siswa keluar dari peran
yang dimainkannya, 2) meminta siswa mengekspresikan pengalaman belajar
yang telah diperolehnya secara individual, 3) mengkonsolidasikan ide-ide, 4)
memfasilitasi suatu analisis kelompok, 5) memberikan kesempatan untuk
melakukan evaluasi, dan 6) menyusun agenda/rencana untuk masa depan
(Hisyam Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani, 2007: 118-119).
Refleksi dan evaluasi bukan hanya dilakukan guru, namun juga
dilakukan siswa pengamat atau penonton. Sama seperti para pemainnya,
penonton juga terlibat penuh dalam situasi belajar. Pada saat menganalisis dan
berdiskusi, penonton harus memberikan solusi-solusi yang mungkin bisa
digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang disampaikan. Guru juga
harus mampu memandu proses role play agar berjalan sesuai tujuan. Tugas
guru di sini adalah mendorong peserta yang hanya diam saja untuk ikut
berpartisipasi. Guru harus bisa menciptakan suasana agar siswa tidak perlu
takut untuk membagikan ide-ide, percaya bahwa tidak ada seorang pun yang
akan menertawakan masukannya atau mengkritik kesimpulannya. Peserta yang
terlalu memonopoli permainan juga harus ditegur agar dia tidak mendominasi
kelompok sehingga justru menghentikan semangat diskusi anggota
kelompoknya (Gangel, Kenneth O., dalam Ratri, 2008).
d. Tujuan Bermain Peranan
Bermain peranan atau teknik sosiodrama adalah suatu jenis teknik
simulasi yang umumnya digunakan untuk melibatkan manusia dan tingkah
laku mereka dalam bentuk dramatisasi. Para siswa berpartisipasi sebagai
pemain dengan peran tertentu atau sebagai pengamat, hal tersebut bergantung
pada tujuan-tujuan dari penerapan teknik tersebut (Oemar Hamalik, 2003:
199).
Dia juga merumuskan tujuan bermain peranan sesuai dengan jenis
belajar, yakni sebagai berikut:
1) Belajar dengan berbuat
Para siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-
keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif.
2) Belajar melalui peniruan (imitasi)
Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan
tingkah laku mereka.
3) Belajar melalui balikan
Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para
pemain/pemegang peran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang
mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan.
4) Belajar melalui pengkajian, penilaian,dan pengulangan
Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka
dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya (Oemar Hamalik,
2003: 199).
e. Manfaat Penerapan Metode Bermain Peran
Metode ini memiliki banyak kelebihan dalam penerapannya, antara lain
seperti yang dikutip dari pendapat Kiranawati (2007), kelebihan pemanfaatan
metode role play adalah sebagai berikut:
1) Melibatkan seluruh siswa dalam berpartisipasi dan mempunyai kesempatan
untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama.
2) Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
3) Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam
situasi dan waktu yang berbeda.
4) Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada
waktu siswa melakukan permainan.
5) Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Role play merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan
pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut
kehidupan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini
meliputi, kemampuan kerja sama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu
kejadian.
Herman J. Waluyo (2002: 34) menambahkan bahwa role play dapat
dikembangkan menjadi sosiodrama. Misalnya dengan memerankan tentang
pengungkapkan kembali sejarah perjuangan bangsa, bagaimana semangat
nasionalisme pemuda-pemudi dalam berjuang mengusir penjajah, atau
melukiskan kepahlawanan Diponegoro, Jendral Sudirman dan sebagainya.
Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-
hubungan antarmanusia dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya,
sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi
parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan
masalah.
B. Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu
penelitian yang dilaksanakan oleh Mudairin, guru Bahasa Inggris SLTP Islam
Manbaul Ulum Kabupaten Gresik Jawa Timur. Penelitian tersebut diadakan di
SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, pada siswa kelas VIII B dengan judul
“Role Play: Suatu Alternatif Pembelajaran yang Efektif dan Menyenangkan
dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa SLTP Islam Manbaul
Ulum Gresik”. Jenis penelitian ini adalah PTK dengan tujuan penelitian untuk
mengetahui peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa melalui
penerapan metode role play.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan role play dapat
meningkatkan keterampilan berbicara yang ditandai dengan meningkatnya
kemampuan siswa dalam memahami/menangkap kosa kata dan ditandai
dengan adanya peningkatan minat siswa di setiap siklusnya (siklus I = 76%,
siklus II = 82%, dan siklus III = 91 %). Persamaan penelitian Mudairin dengan
penelitian ini adalah pada objek kajian penelitian, yaitu keterampilan berbicara,
pada bentuk penelitian (PTK), dan metode yang diterapkan, yaitu sama-sama
menggunakan metode role play atau bermain peran.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang berjudul “Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas
Rendah Sekolah Dasar” yang dilakukan oleh Supriyadi. Penelitian tersebut
merupakan penelitian studi pustaka yang menjabarkan beberapa upaya untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Cara-cara tersebut adalah sebagai
berikut: 1) penciptaan suasana belajar yang kondusif, 2) penciptaan lingkungan
fisik yang kondusif, 3) penciptaan lingkungan interaktif yang kondusif, 4)
penciptaan lingkungan sosial yang kondusif, dan 5) peningkatan peran guru
dan orang tua.
Kesimpulan dari tulisan tersebut adalah keterampilan berbicara siswa
kelas rendah sekolah dasar dapat ditingkatkan melalui kelima cara di atas, di
samping tetap menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi sekolah yang
meliputi dana, sikap mental guru, dan kondisi siswa. Adapun persamaan
penelitian Supriyadi dengan penelitian ini adalah pada objek kajian penelitian,
yaitu pembelajaran berbicara dan pada tujuannya yaitu meningkatkan
keterampilan berbicara siswa di sekolah dasar.
Selain kedua penelitian di atas, ada lagi sebuah penelitian yang relevan
dengan penelitian ini, yaitu penelitian Nurhatim yang berjudul “Penggunaan
Metode Role Playing untuk Meningkatkan Kemampuan Menceritakan Isi
Cerpen Siswa Kelas X SMA Darul Quran Singosari”. Jenis penelitian ini
adalah PTK, dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
berbicara siswa dalam hal menceritakan isi cerpen melalui penerapan metode
role playing. Adapun aspek-aspek yang ditingkatkan, yaitu: (1) kemampuan
menceritakan cerpen pada aspek kebahasaan yang mencakup intonasi, jeda,
pilihan kata/diksi, struktur kalimat; (2) aspek nonkebahasaan yang meliputi
keberanian, kelancaran, ekspresi/mimik; dan (3) aspek isi meliputi kerincian,
kesesuaian, kelengkapan, dan kejelasan.
Nurhatim melakukan penelitian ini dalam dua siklus dengan hasil yang
menunjukkan bahwa penerapan metode role playing atau bermain peran dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerpen yang meliputi
peningkatan aspek kebahasaan dan nonkebahasaan di setiap siklusnya secara
signifikan. Persamaan penelitian Nurhatim dengan penelitian ini yaitu pada
bentuk penelitian (penelitian tindakan kelas) dan pada metodenya, yaitu sama-
sama menerapkan role playing atau bermain peran. Hanya saja ada sedikit
perbedaan pada objek kajian penelitiannya, penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan berbicara siswa secara umum, sedangkan
penelitian Nurhatim lebih memfokuskan objek kajian pada kemampuan siswa
dalam menceritakan isi cerpen.
C. Kerangka Berpikir
Di dalam kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dasar, keterampilan
berbicara merupakan salah satu keterampilan yang harus diajarkan kepada
siswa dan dikuasai oleh siswa, karena keterampilan berbicara bermanfaat bagi
siswa (khususnya siswa SD) untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi
dengan baik dan mengembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa kemampuan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras Boyolali masih
tergolong rendah. Pembelajaran berbicara yang selama ini dilakukan di dalam
kelas masih mengalami beberapa hambatan yang dapat menyebabkan
rendahnya kemampuan tersebut. Adapun penyebab rendahnya kemampuan
berbicara siswa antara lain sebagai berikut: (1) sikap dan minat siswa dalam
mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara rendah, (2) siswa kurang
terampil berbicara sehingga saat disuruh tampil berbicara di depan kelas siswa
merasa takut dan malu, (3) kurangnya pengetahuan guru mengenai metode atau
strategi dalam melakukan pembelajaran keterampilan berbicara, dan (4)
pembelajaran berbicara yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana
dan konvensional karena masih bertumpu dari buku pelajaran.
Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan sikap dan minat
siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara. Salah satu metode yang dapat
diterapkan adalah metode bermain peran . Dengan metode pembelajaran ini,
minat dan kemampuan berbicara siswa diharapkan dapat meningkat karena
metode ini menyajikan cara yang lebih efektif dan efisien untuk membantu
siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara. Dikatakan efektif karena
penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat waktu, hal ini
disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok.
Dikatakan efisien, karena dengan bermain peran siswa seolah-olah dihadapkan
pada situasi belajar sambil bermain, di mana pada umumnya permainan
merupakan hal paling menarik untuk anak-anak usia sekolah dasar
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut,
Guru belum mampu
meningkatkan minat dan
keaktifan siswa
Kemampuan berbicara siswa
rendah
Kondisi Awal
Minat siswa dalam mengikuti
pembelajaran berbicara rendah
Guru belum mengetahui metode
pembelajaran berbicara yang tepat
Metode pembelajaran
bersifat konvensional
Keaktifan siswa saat pembelajaran berbicara kurang
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan
Dengan penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran
keterampilan berbicara akan membantu meningkatkan kemampuan berbicara
siswa sehingga dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil
pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas V SD Negeri Kopen 1
Teras Boyolali tahun ajaran 2008/2009.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Kopen 1 yang beralamat di Desa
Kopen RT 03/RW 01, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Kepala sekolah
dijabat oleh Rudjiman A. Ma. Pd. yang membawahi 8 orang guru, 6 orang
bertindak sebagai guru kelas, 1 orang bertindak sebagai guru mata pelajaran
Minat, keaktifan, dan kemampuan berbicara
siswa meningkat
Penerapan metode bermain peran sebagai metode ajar
agama Islam, dan 1 orang sebagai guru olah raga. Sekolah ini memiliki 6 ruang
kelas, 1 ruang guru dan kepala sekolah, 1 ruang tamu, 1 ruang perpustakaan, 1
ruang dapur, 1 ruang UKS, 1 gudang, 1 mushala, 4 kamar mandi, 1 lapangan
upacara, 1 lapangan olah raga, serta tempat parkir guru dan siswa.
Alasan pemilihan SD Negeri Kopen I Teras Boyolali sebagai lokasi
penelitian adalah karena memang di sekolah tersebut mengalami permasalahan di
dalam pembelajaran berbicara dan sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah
yang terbuka dan mau menerima segala bentuk penelitian yang berhubungan
dengan pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sekolah tersebut.
Selain itu, di sekolah tersebut belum pernah digunakan sebagai objek penelitian,
sehingga penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat besar bagi
sekolah.
Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yaitu mulai dari bulan
Oktober 2008 sampai dengan bulan Maret 2009. Tahap perancanaan dan
persiapan dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2008.
Tahap pelaksanaan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2009. Sedangkan
tahap penyusunan dan pelaporan dilaksanakan pada bulan Maret 2009.
Adapun rincian jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Rincian Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
Okt ’08 Nov ’08 Des ’08 Jan ’09 Feb ’09 Mar ’09 NO Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tahap perencanaan
dan persiapan:
1.
a. Pengajuan judul dan
penyusunan
proposal
b.Survei awal
c.Penyusunan
instrumen
Tahap pelaksanaan:
a. Siklus I
b.Siklus II
2.
c.Siklus III
Tahap pelaporan:
a.Pengumpulan data
b.Analisis data
3.
c.Penyusunan laporan
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras Boyolali
tahun ajaran 2008/2009, dengan jumlah siswa 24 anak yang terdiri dari 13 siswa
perempuan dan 11 siswa laki-laki dengan Kuswati, A. Ma. Pd. bertindak sebagai
guru kelas. Penelitian ini mengambil objek penelitian pembelajaran keterampilan
berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
C. Bentuk dan Strategi Penelitian
Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research). Hopkins (dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2007: 11) menyatakan bahwa
penelitian tindakan kelas adalah sebuah penelitian yang mengkombinasikan
prosedur penelitian dengan tindakan substantif, atau suatu usaha seseorang untuk
memahami apa yang sedang terjadi sambil terlibat dalam sebuah proses perbaikan
dan perubahan. Lebih lanjut, Kemmis (dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2007: 12)
menjelaskan bahwa penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelitian yang
bersifat reflektif yang dilakukan secara kemitraan mengenai situasi sosial tertentu
(termasuk pendidikan) untuk meningkatkan rasionalitas dan keadilan dari kegiatan
praktik sosial atau pendidikan, pemahaman mengenai kegiatan-kegiatan praktik
pendidikan dan situasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan praktik
tersebut. Berdasarkan kedua pendapat di atas, Rochiati Wiriaatmadja (2007: 13)
memberikan pengertian bahwa penelitian tindakan kelas adalah bagaimana
sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka
dan belajar dari pengalaman mereka sendiri dengan mencobakan suatu gagasan
perbaikan dalam praktik pembelajaran tersebut.
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu:
1. Peristiwa, yaitu kegiatan berbicara yang berlangsung di dalam kelas dengan
penerapan metode bermain peran.
2. Informan, dalam penelitian ini menggunakan informan guru dan siswa kelas V
SD Negeri Kopen 1 Teras Boyolali.
3. Dokumen yang berupa catatan wawancara dengan guru dan siswa mengenai
pembelajaran keterampilan berbicara, hasil tes siswa, rancangan pedoman
pembelajaran yang dibuat guru, silabus yang ditetapkan oleh pihak sekolah,
serta hasil angket yang diisi oleh siswa.
E. Teknik Pengumpulan Data
Ada empat teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai alat untuk
mengumpulkan data secar lengkap dan akurat sehubungan dengan masalah yang
diteliti, yaitu:
1. Teknik in dept interview (wawancara mendalam)
Wawancara mendalam dilakukan terhadap guru (Kuswati, A. Ma. Pd.)
serta beberapa siswa kelas V SD Negeri Kopen I. Wawancara dilakukan untuk
menggali informasi guna memeroleh data yang berkenaan dengan aspek
permasalahan pembelajaran berbicara, penentuan tindakan, dan respon yang
timbul sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan
2. Obsevasi atau pengamatan
Pengamatan dilakukan sebelum, selama, dan sesudah siklus penelitian
berlangsung. Observasi atau pengamatan dilakukan di dalam proses
pembelajaran berbicara untuk mengetahui perkembangan pembelajaran
berbicara yang dilakukan oleh guru dan siswa.
Di dalam kegiatan observasi ini peneliti bertindak sebagai partisipan
pasif, peneliti tidak melakukan tndakan yang dapat memengaruhi peristiwa
pembelajaran yang sedang berlangsung. Peneliti mengambil posisi di tempat
duduk paling belakang mengamati prses pembelajaran yang sedang
berlangsung sambil mencatat segala kejadian selama proses pembelajaran
berlangsung. Dengan berada di tempat duduk paling belakang, peneliti
memiliki kesempata untuk mengamati seluruh peristiwa yang terjadi di dalam
kelas dengan leluasa. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti kemudian
didiskusikan dengan guru yang bersangkutan untuk kemudian dianalisis
bersama untuk mengetahui berbagai kelemahan proses pembelajaran dan
untuk mencari solusi kelemahan tersebut. Hasil diskusi yang berupa solusi
berbagai kelemahan tersebut kemudian dijadikan acuan untuk pelaksanaan
siklus berikutnya.
Pengamatan terhadap guru difokuskan pada kemampuan guru dalam
melakukan pengelolaan kelas, menumbuhkan minat dan motivasi belajar
siswa, menumbuhkan keaktifan siswa, serta kemampuan guru dalam
memanfaatkan metode bermain peran yang telah disediakan oleh peneliti.
Sedangkan pengamatan terhadap siswa difokuskan pada keaktifan siswa
dalam mengikuti proses pembelajaran, minat dan kemampuan siswa dalam
melakukan prektek berbicara di depan kelas.
3. Angket
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara meminta
informan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
penelitian yang dilaksanakan. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan
data dari informan yang jumlahnya banyak dan tidak mungkin untuk
diwawancarai satu per satu. Angket dalam penelitian ini diterapkan sebanyak
dua kali, yaitu pada kondisi pratindakan dan pascatindakan.
4. Tes
Teknik pengumpulan data berupa penilaian tes praktik berbicara
digunakan untuk mengetahui perkembangan atau keberhasilan pelaksanaan
tindakan. Di dalam penelitian ini guru memberikan tes berbicara lisan di
depan kelas.
F. Teknik Uji Validitas Data
Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik trianggulasi. Trianggulasi merupakan teknik yang didasari
pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Artinya untuk menarik
simpulan yang mantap dan bisa diterima kebenarannya, peneliti perlu
mengkajinya dari berbagai sudut pandang (Sutopo, H. B., 2002: 78). Adapun
teknik-teknik uji validitas yang dilakukan peneliti adalah sebagi berikut:
1. Triangulasi sumber data, teknik ini digunakan untuk menguji kebenaran data
yang diperoleh dari satu informan dengan informan yang lain.
2. Triangulasi metode, teknik ini dilakukan dengan menggumpulkan data sejenis
tetapi dengan menggunakan metode penggumpulan yang berbeda, yaitu dari
data hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara.
3. Review informan, teknik ini digunakan untuk menanyakan informasi apakah
data yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum, dan sudah
sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dengan informan.
G. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
model interaktif yang merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: (1)
pengumpulan data, (2) reduksi, (3) penyajian data (display data) dan, (4)
penarikan kesimpulan. Secara sederhana interaksi keempat komponen tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Model Analisis interaktif
(Miles Matthew B. dan Huberman A. Michael. 1992: 20)
Teknik analisis interaktif ini digunakan untuk mengungkap kelemahan dan
kelebihan kinerja guru maupun siswa dalam proses pembelajaran di dalam kelas
selama penelitian berlangsung. Analisis interaktif dimulai dari pengumpulan data
tentang pembelajaran keterampilan berbicara pada kondisi awal survei untuk
mengetahui kemampuan awal berbicara siswa. Selanjutnya data awal tersebut
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan siklus tindakan. Di setiap akhir
siklus dianalisis kekurangan dan kelebihan tindakan tersebut sehingga dapat
diketahui peningkatan kemampuan berbicara siswa dengan penerapan metode
bermain peran ini.
Adapun langkah-langkah analisis model interaktif yang dikembangkan
oleh Miles Matthew B. dan Huberman A. Michael. (1992: 16-20) dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Selama pengumpulan data peneliti membuat catatan lapangan yang terdiri
dari bagian deskripsi, dan refleksinya adalah data yang telah digali dan dicatat.
Dalam pengumpulan data ini artinya peneliti mencatat dan merekam segala
bentuk interaksi antara guru dan siswa selama proses pembelajaran.
Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/Verivikasi
2. Reduksi data
Kegiatan reduksi data berupa penyusunan rumusan pengertian dari
deskripsi dan refleksi secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting
serta menyeleksi data yang kurang mendukung.
3. Sajian data
Data yang sudah terkumpul kemudian dikelompokkan dalam beberapa
bagian sesuai dengan jenis permasalahannya supaya makna peristiwanya
menjadi lebih jelas dipahami, dengan dilengkapi perabot sajian yang
diperlukan (seperti matriks, gambar, dan sebagainya).
4. Penarikan simpulan/verifikasi
Simpulan ditarik berdasarkan reduksi dan sajian data. Bila simpulan dirasa
kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian
datanya, maka peneliti harus melakukan kembali kegiatan pengumpulan data.
H. Indikator Ketercapaian Tujuan Pembelajaran
Untuk mengukur ketercapaian tujuan penelitian, dirumuskan indikator-
indikator sebagai berikut:
Tabel 3. Indikator Ketercapaian Pembelajaran
Aspek Pencapaian
siklus terakhir
Cara mengukur
Minat siswa dalam
mengikuti
pembelajaran
berbicara.
90 % Diamati saat pembelajaran dan diukur dari
jumlah siswa yang menampakkan ketertarikan
dan kesungguhannya dalam melakukan
kegiatan berbicara.
Keaktifan siswa
dalam mengikuti
pembelajaran
90 % Diamati saat pembelajaran berlangsung dan
dihitung dari jumlah siswa yang dapat
melakukan aktivitas berbicara di kelas secara
berbicara. aktif (siswa sering bertanya, tidak takut
mengungkapkan pendapat atau pikiran dan
mampu melaksanakan praktik berbicara
dengan baik).
Kemampuan siswa
dalam melakukan
aktivitas berbicara.
90 % Diukur dari hasil tes kemampuan berbicara
siswa secara lisan dan dihitung dari jumlah
ketuntasan belajar siswa.
I. Prosedur Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas, sehingga mekanisme
kerjanya diwujudkan dalam bentuk siklus (direncanakan 3 siklus), yang dalam
setiap siklusnya tercakup 4 kegiatan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3)
observasi dan interpretasi, dan (4) analisi dan refleksi. Hal tersebut diperkuat
dengan pendapat Suhardjono (dalam Suharsimi Arikunto dkk., 2006: 74) bahwa
penelitian tindakan kelas merupakan proses pengkajian sistem berdaur
sebagaimana kerangka berpikir yang digambarkan sebagai berikut:
Siklus I
Permasalahan Perencanaan Tindakan I
Permasalahan baru hasil refleksi
Pelaksanaan Tindakan I
Refleksi I Pengamatan/ Pengumpulan data
I
Perencanaan Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Siklus II
Gambar 3. Alur Penelitian Tindakan Kelas
(Suhardjono dalam Suharsimi Arikunto dkk., 2006: 74)
Adapun rancangan prosedur penelitian tindakan kelas ini diuraikan sebagai
berikut:
1. Siklus I
a. Peneliti bersama guru merencanakan tindakan, meliputi: penyusunan RPP,
menyiapkan materi dan skenario pembelajaran, menyiapkan instrumen tes
berupa skenario role play yang disesuaikan dengan tema pembelajaran, dan
instrumen nontes.
b. Guru melaksanakan tindakan yang telah direncanakan dalam skenario
pembelajaran pada siklus I.
c. Peneliti melakukan observasi/pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan
pembelajaran (KBM).
d. Peneliti bersama guru membuat refleksi atas tindakan pada siklus I.
2. Siklus II dan Siklus III
Tahap-tahap yang dilakukan pada siklus II sama seperti siklus I akan tetapi
sebelumnya dilakukan perencanaan ulang berdasarkan hasil refleksi pada siklus
I, sehingga kelemahan yang ada pada siklus I tidak terulang pada siklus II.
Demikian juga dengan siklus III dan seterusnya, termasuk perwujudan tahap
pelaksanaan observasi dan intepretasi serta analisis dan refleksi pada siklus
sebelumnya.
Apabila permasalahan
belum terselesaikan
Dilanjutkan ke siklus berikutnya
Refleksi II
Pengamatan/ Pengumpulan
data II
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uraian mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas rumusan
masalah dari Bab I, akan disajikan dalam Bab IV ini. Sebelum hasil penelitian
dipaparkan, pada bab ini diuraikan terlebih dahulu mengenai kondisi awal
(pratindakan) pembelajaran berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras
Boyolali. Dengan demikian, pada bab ini akan dikemukakan tentang: (1)
kondisi awal proses pembelajaran dan kemampuan berbicara siswa, (2)
pelaksanaan tindakan dan hasil penelitian, dan (3) pembahasan hasil penelitian.
Penelitian tindakan dilakukan dalam 3 siklus dengan 4 tahap dalam setiap
siklusnya. Tahapan tersebut meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi dan interpretasi, serta analisis dan refleksi.
A. Deskripsi Kondisi Awal
Survei kondisi pratindakan dilakukan untuk mengetahui keadaan nyata
yang ada di lapangan sebelum peneliti melakukan proses penelitian. Survei ini
dilakukan melalui beberapa langkah berikut: (1) wawancara dengan guru dan
siswa, (2) observasi lapangan, dan (3) angket.
Wawancara dengan guru dilakukan pada hari Senin, 1 September 2008.
Dari wawancara tersebut diketahui bahwa terjadi permasalahan dalam
pembelajaran berbicara pada siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali.
Menurut guru, pembelajaran berbicara masih sulit untuk dilakukan secara
optimal mengingat rendahnya minat siswa terhadap pelajaran berbicara dan
kurangnya pengetahuan guru mengenai metode pembelajaran berbicara itu
sendiri, sehingga berakibat pada rendahnya kemampuan berbicara siswa.
Pendapat tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa siswa
mengenai minat mereka terhadap pelajaran berbicara. Dari empat siswa yang
diwawancarai, tiga diantaranya menyatakan kurang berminat terhadap
pelajaran berbicara. Pada umumnya mereka menyatakan kurang suka
mengikuti pembelajaran berbicara di kelas karena merasa takut, malu dan
kesulitan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara lisan di depan
kelas ketika dilihat oleh guru dan siswa lain. Mereka juga menyatakan kurang
suka dengan cara guru saat memberikan tugas berbicara kepada siswa, yaitu
dengan meminta siswa tampil di depan kelas secara individu.
Langkah penelitian selanjutnya yaitu observasi pratindakan. Observasi
dilakukan untuk melihat proses pembelajaran berbicara di kelas pada hari
Senin, 27 Oktober 2008. Saat jam pembelajaran berbicara dimulai, peneliti
masuk kelas dan bertindak sebagai partisipan pasif dengan mengambil tempat
duduk paling belakang agar lebih leluasa mengamati proses pembelajaran.
Peneliti memfokuskan pengamatan pada proses pembelajaran serta aktivitas
yang dilakukan siswa dan guru. Adapun hasil observasi yang telah dilakukan
peneliti menunjukkan keadaan sebagai berikut:
1. Siswa terlihat kurang berminat mengikuti pelajaran berbicara.
Berdasarkan kegiatan pengamatan di kelas, terungkap bahwa sebagian
besar siswa kurang berminat dan antusias dalam mengikuti proses
pembelajaran berbicara. Hal tersebut terindikasi dari sikap siswa selama
mengikuti pelajaran berbicara, yaitu perhatian mereka kurang terfokus pada
pembelajaran, beberapa siswa tampak berbicara dengan temannya, bahkan ada
sebagian yang melakukan aktivitas pribadi, seperti melamun, menganggu
teman, menunduk dan menoleh-noleh. Ketika guru menugasi mereka untuk
melakukan praktik berbicara di depan (menceritakan kembali dongeng yang
mereka dengar dengan bahasa sendiri), sebagian besar siswa terlihat takut.
Hanya satu siswa yang mau melaksanakannya tanpa ditunjuk guru, sedangkan
siswa yang lain tidak ada yang berani tampil di depan secara sukarela.
Rendahnya minat siswa juga dapat dilihat dari hasil pengisian angket
pratindakan oleh siswa. Berdasarkan hasil angket tersebut diketahui bahwa dari
24 siswa, hanya 10 orang atau sekitar 42% yang menyatakan berminat terhadap
pelajaran berbicara. Sedangkan 58% sisanya atau sebanyak 14 siswa
menyatakan kurang berminat.
2. Siswa terlihat kurang aktif selama mengikuti pelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa
sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari kurangnya keaktifan mereka
untuk merespons segala bentuk stimulus yang diberikan oleh guru. Misalnya
pada saat guru bertanya, siswa tampak takut dan bahkan menundukkan
kepalanya, dan pada saat guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya, tidak ada satu pun siswa yang mau memanfaatkan kesempatan
tersebut (mereka diam dan tampak bingung).
3. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dan tampak takut untuk
mengungkapkan gagasan dan pendapat secara lisan di depan kelas.
Selama proses pembelajaran berlangsung siswa terlihat kurang aktif
berpartisipasi. Ketika guru mengajukan pertanyaan, sebagian besar siswa
diam. Mereka tampak bingung, kesulitan, dan takut untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Selain itu, saat guru menugasi mereka untuk
menceritakan kembali dongeng yang telah mereka dengar dengan
menggunakan bahasa sendiri di depan kelas, hanya ada satu siswa yang mau
melaksanakannya secara sukarela (tanpa ditunjuk guru). Sebagian besar siswa
terlihat takut dan kesulitan untuk mengungkapkan gagasan dan perasaannya
secara lisan. Hal seperti itulah antara lain yang menyebabkan rendahnya
kemampuan berbicara siswa.
Rendahnya kemampuan berbicara siswa kelas V juga dapat dibuktikan
dari dua kali hasil tes berbicara yang dilakukan pada semester 1. Dari 24
siswa, hanya 46% atau sebanyak 11 siswa yang memperoleh nilai di atas 60
(batas ketuntasan), sedangkan 64% atau 13 siswa lainnya masih belum tuntas
dan masih memerlukan bimbingan belajar agar dapat memenuhi standar
ketuntasan belajar Bahasa Indonesia (terutama aspek berbicara).
4. Guru melakukan kegiatan pembelajaran berbicara dengan metode yang masih
bersifat konvensional atau sederhana.
Berdasarkan hasil observasi pratindakan dan didukung oleh hasil
wawancara dengan guru kelas mengenai metode pembelajaran berbicara yang
sering digunakan, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode
pembelajaran berbicara di kelas masih sangat terbatas dan masih bersifat
sederhana. Guru biasanya lebih sering menggunakan metode penugasan.
Materi pembelajaran berbicara diambil dari buku, kemudian apa yang ada
dalam buku tersebut ditugaskan kepada siswa.
5. Posisi guru saat mengajar lebih banyak di depan, sehingga kurang berinteraksi
dengan siswa. Selain itu guru menjadi sulit untuk memantau siswa yang
berada di tempat duduk bagian belakang, sehingga siswa tersebut sering
melakukan aktivitas pribadi (seperti: berbicara dengan teman, melamun, dan
tidak memperhatikan pelajaran dengan baik).
Setelah peneliti melakukan observasi pratindakan di kelas, selanjutnya
pengumpulan data dilengkapi melalui kegiatan pengisian angket pratindakan
yang dimaksudkan untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran
berbicara. Pengisian angket dilakukan oleh siswa kelas V pada hari Jumat, 14
November 2008 yang dipandu oleh guru kelas. Angket tersebut berisi 10
pernyataan, berbentuk pilihan ganda (a,b,c) yang harus dijawab siswa
berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Dari hasil pengisian angket diperoleh
kesimpulan bahwa siswa yang berminat terhadap pelajaran berbicara sebesar
42% atau sebanyak 10 siswa, sedangkan 58% sisanya menyatakan kurang
berminat.
Berdasarkan kondisi awal selanjutnya guru dan peneliti melakukan
diskusi untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran
berbicara, sehingga dicapailah kesepakatan bahwa peneliti akan melakukan
penelitian tindakan kelas bersama guru kelas sebagai kolaborator dengan
mengambil judul ”Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Penerapan
Metode Bermain Peran Siswa Kelas V SD Negeri Kopen 1 Teras Boyolali
Tahun Ajaran 2008/2009”.
Penerapan tindakan ini difokuskan pada peningkatan proses dan hasil
pembelajaran berbicara. Melihat penyebab rendahnya kemampuan berbicara
yang bersumber dari siswa yaitu pada rendahnya sikap (meliputi minat dan
keaktifan), maka peningkatan proses pada penelitian ini lebih memfokuskan
pada aspek minat dan keaktifan siswa saja. Sedangkan hasil pembelajaran
difokuskan pada peningkatan keterampilan berbicara dan jumlah ketuntasan
belajar siswa.
B. Deskripsi Hasil Penelitian
Proses penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus yang masing-masing
terdiri atas empat tahapan, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan
tindakan, (3) observasi dan interpretasi, serta (4) analisis dan refleksi.
1. Siklus Pertama
a. Perencanaan Tindakan
Tahap perencanaan ini dilakukan pada hari Rabu, 28 Januari 2009 di
ruang guru SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Peneliti dan guru kelas
mendiskusikan rancangan tindakan yang dilakukan dalam proses penelitian
pada siklus I. Dari diskusi tersebut, disepakati bahwa pelaksanaan tindakan
siklus I akan dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada hari Jumat, 30
Januari dan Senin, 2 Februari 2009. Dilaksanakan dalam dua kali pertemuan
dikarenakan adanya keterbatasan waktu, dalam satu jam pelajaran waktu yang
disediakan hanya 35 menit, dan hal itu dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas pembelajaran dengan metode bermain peran ini.
Tahap perencanaan tindakan ini meliputi kegiatan sebagai berikut:
1) Peneliti bersama guru merancang skenario pembelajaran berbicara dengan
penerapan metode bermain peran, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(a) Guru membuka pelajaran dan memberikan apersepsi dengan menggali
pengalaman siswa yang berkaitan dengan materi berbicara (melalui
tanya jawab seputar pengetahuan siswa tetang jenis kegiatan berbicara).
(b) Guru mengawali kegiatan inti dengan memberikan penjelasan tentang
materi diskusi.
(c) Guru memperdengarkan rekaman percakapan diskusi sambil
membagikan transkrip hasil rekaman tersebut.
(d) Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok (masing-masing
beranggotakan 4-5 orang).
(e) Guru menugasi masing-masing kelompok untuk melakukan diskusi
dengan metode bermain peran.
(f) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play, menentukan peran yang akan dimainkan setiap peserta,
menjelaskan skenario, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
(g) Siswa melakukan role play secara berkelompok. Setiap kelompok
diberi waktu 8 menit, dengan rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3
menit untuk refleksi dan evaluasi.
(h) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
(i) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap
I (yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
(j) Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi tahap I, guru meminta siswa
untuk menampilkan ulang perannya.
(k) Guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap II diakhir penampilan ulang
siswa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menanyakan
hal-hal yang belum dipahami.
(l) Guru menutup pelajaran.
2) Guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
3) Guru dan peneliti mempersiapkan materi dan membuat skenario bermain
peran siklus I dengan tema “Memilih Sesuatu yang Menarik” untuk
dibagikan kepada siswa.
4) Guru membentuk kelompok siswa untuk memerankan skenario role play.
5) Peneliti dan guru mempersiapkan rekaman percakapan diskusi yang akan
diperdengarkan kepada siswa sebagai contoh.
6) Peneliti dan guru mempersiapkan transkrip rekaman diskusi untuk
dibagikan kepada siswa.
7) Peneliti dan guru menyusun instrumen penelitian yang berupa penilaian tes
dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil praktik berbicara siswa dalam
bentuk diskusi (sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai). Untuk
instrumen nontes dinilai berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti dan berdasarkan rubrik penilaian proses pembelajaran berbicara
yang meliputi: (a) kedisiplinan, (b) minat, (c) keaktifan, (d) kerja sama, dan
(e) kesungguhan siswa selama pembelajaran berlangsung.
b. Pelaksanaan Tindakan
Tindakan siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan
pertama dilaksanakan pada hari Jumat, 30 Januari 2009 dan pertemuan kedua
pada hari Senin, 2 Februari 2009. Pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan di
ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali.
Dalam pelaksanaan tindakan I ini, guru bertindak sebagai pemimpin
jalannya kegiatan pembelajaran berbicara, sedangkan peneliti melakukan
observasi atau pengamatan terhadap proses pembelajaran. Peneliti bertindak
sebagai partisipan pasif yang berada di belakang ruang kelas untuk mengamati
jalannya pembelajaran.
Pelaksanaan tindakan siklus I pertemuan pertama dilaksanakan pada hari
Jumat, 30 Januari 2009 selama dua jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-10.45
WIB (jam pelajaran ke-5&6). Adapun urutan pelaksanaan tindakan I
pertemuan pertama ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru membuka pelajaran dan memberikan apersepsi dengan menggali
pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
materi berbicara.
2) Guru dan siswa melakukan tanya jawab tetang jenis kegiatan berbicara.
3) Guru memberikan penjelasan tentang materi diskusi.
4) Guru memperdengarkan rekaman percakapan diskusi sambil membagikan
transkrip hasil rekaman tersebut sebagai contoh.
5) Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok (masing-masing beranggotakan
4-5 orang).
6) Guru menugasi masing-masing kelompok untuk melakukan diskusi dengan
metode bermain peran. Tema diskusi adalah “Memilih Sesuatu yang
Menarik”.
7) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play, menentukan peran yang akan dimainkan setiap peserta,
menjelaskan skenario, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
8) Siswa melakukan role play secara berkelompok. Setiap kelompok diberi
waktu 8 menit, dengan rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3 menit untuk
refleksi dan evaluasi.
9) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
10) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap I
(yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
11) Guru meminta siswa mempersiapkan diri untuk melakukan penampilan
ulang pada pertemuan berikutnya.
12) Guru menutup pelajaran.
Pembelajaran berbicara dilanjutkan pada pertemuan kedua. Pelaksanaan
tindakan I pertemuan kedua tersebut dilaksanakan pada hari Senin, 2 Februari
2009 selama satu jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-10.10 WIB (jam pelajaran
ke-5). Adapun urutan pelaksanaan tindakan I pertemuan kedua ini meliputi
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru membuka pelajaran dan mengulang sekilas materi pelajaran yang telah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya dengan melakukan tanya jawab
dengan siswa.
2) Guru meminta siswa menampilkan ulang kegiatan diskusi mereka dengan
metode bermain peran.
3) Di akhir penampilan semua kelompok, guru melakukan refleksi dan
evaluasi tahap II (yaitu bersama siswa pengamat memberikan kritik,
masukan, dan komentar kepada siswa pemain).
4) Guru menutup pelajaran.
c. Observasi dan interpretasi
Observasi/pengamatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 30 Januari 2009
pukul 09.35-10.45 WIB dan hari Senin, 2 Februari 2009 pukul 09.35-10.10
WIB di ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Kegiatan peneliti
selama tahap observasi yaitu mengamati proses pembelajaran berbicara siswa
kelas V dengan penerapan metode bermain peran. Pada hari itu guru
mengajarkan materi diskusi dengan tema “Memilih Sesuatu yang Menarik”.
Pengamatan difokuskan pada berlangsungnya proses pelaksanaan
pembelajaran, serta aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran berlangsung.
Dalam pengamatan ini, peneliti bertindak sebagai partisipan pasif yang berada
di belakang ruang kelas agar bisa mengamati proses pembelajaran yang
dipimpin oleh guru.
Berdasarkan pengamatan peneliti, secara garis besar diperoleh gambaran
tentang jalannya kegiatan belajar mengajar (KBM) sebagai berikut:
1) Sebelum mengajar, guru telah mempersiapkan rencana pembelajaran yang
akan dijadikan sebagai pedoman dalam mengajar. Rencana pembelajaran
tersebut sesuai dengan silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia yang
terdapat di dalam kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut, yakni
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
2) Pelaksanaan tindakan siklus I yang berlangsung dalam dua kali pertemuan,
dihadiri dan diikuti oleh semua siswa kelas V yang berjumlah 24 orang.
3) Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran berbicara dengan cukup baik,
yaitu guru mengajar dengan arah dan tujuan yang jelas dan terencana. Pada
awal pembelajaran, guru dengan jelas mengemukakan apa yang akan
diajarkan hari itu kepada siswa, yaitu tentang diskusi. Selanjutnya
memberikan apersepsi guna menggali pengalaman siswa mengenai materi
tersebut dan memberi penjelasan terlebih dahulu mengenai aturan-aturan
metode bermain peran yang akan digunakan dalam pelajaran diskusi.
4) Saat guru menyampaikan materi, sebagian besar siswa tampak antusias dan
beberapa siswa lainnya tampak kurang berminat, tampak malas, melamun,
mengganggu teman, dan beraktivitas sendiri.
5) Setelah guru memberikan cukup penjelasan, selanjutnya siswa diberi tugas
berbicara, yaitu diskusi. Berbeda dengan biasanya, kali ini tugas diskusi
siswa dilakukan dengan menggunakan metode bermain peran, di mana
siswa dibagi dalam lima kelompok untuk memerankan tokoh-tokoh yang
sedang terlibat dalam situasi diskusi. Adapun skenario untuk kelima
kelompok adalah sama, yaitu memerankan skenario mengenai tugas ketua
kelas yang sedang melakukan diskusi bersama dengan beberapa siswa lain
mengenai rencana kegiatan liburan sekolah minggu depan. Di setiap
kelompok, masing-masing anak berperan sebagai ketua kelas, wakil ketua
kelas, dan sisanya sebagai siswa biasa.
6) Kelima kelompok tampil secara berurutan, dan di saat satu kelompok
tampil, tugas siswa lain dan guru adalah menjadi pengamat yang akan
memberikan komentar di akhir penampilan tersebut. Walaupun guru
memberikan skenario yang sama, tetapi tidak semua kelompok dapat
mengembangkan skenario tersebut dengan baik. Dari kelima penampilan
kelompok, hanya kelompok satu dan lima saja yang terlihat maksimal dan
mampu mengembangkan skenario sehingga menghasilkan percakapan
diskusi yang panjang dan asyik.
7) Saat tahap evaluasi dan refleksi, jumlah siswa yang mau memberikan
komentar hanya beberapa saja (5 orang), itu pun hanya siswa yang berperan
sebagai ketua kelas di masing-masing kelompoknya. Sementara itu siswa
yang lain hanya diam mendengarkan, mereka masih tampak sungkan dan
takut untuk menyampaikan pendapatnya.
8) Kelemahan atau kekurangan selama pelaksanaan tindakan siklus I ini dapat
dilihat dari beberapa aspek berikut:
a. Kelemahan yang ditemukan dari guru, yaitu:
(1) Saat memberikan materi, guru lebih banyak duduk sehingga kurang
berinteraksi dan sulit memonitor siswa yang berada di bagian
belakang.
(2) Guru jarang menegur atau memperingatkan siswa yang tidak fokus
terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
(3) Di akhir pembelajaran guru sering lupa memberikan umpan balik
kepada siswa tentang seberapa jauh tingkat pemahaman siswa
setelah materi tersebut disampaikan.
b. Kelemahan yang ditemukan dari siswa, yaitu:
(1)Siswa terlihat belum sepenuhnya aktif dalam mengikuti pembelajaran.
Sebagian dari mereka lebih banyak melakukan aktivitas lain, seperti:
melamun, mengganggu teman, berbicara dengan teman sebangku,
menulis, berdendang, menoleh ke belakang.
(2)Siswa masih kesulitan dalam mengungkapkan pikiran dan
perasaannya secara lisan dalam kegiatan diskusi, dan pada umumnya
mereka hanya meniru percakapan teman yang telah tampil
sebelumnya tanpa berusaha mengungkapkan sendiri ide dan
gagasannya (masih bersifat monoton).
(3)Saat menampilkan peran diskusi, sebagian besar siswa hanya terpaku
pada skenario yang diberikan guru tanpa berusaha mengembangkan
skenario tersebut.
(4)Saat tahap refleksi dan evaluasi, hanya beberapa siswa yang ikut
memberikan komentar atas penampilan teman (itu pun hanya siswa
yang sama).
c. Kelemahan dari penerapan metode bermain peran berupa:
(a) Bermain peran masih terasa asing bagi siswa dan guru, sehingga
mereka kurang optimal dalam memanfaatkannya.
(b) Siswa belum begitu memahami tantang pelaksanaan metode dan
aturan permainan bermain peran.
9) Ketuntasan hasil belajar mencapai sekitar 62% . Hal ini terlihat dari hasil
praktik berbicara (bentuk diskusi) dan dihitung dari jumlah siswa yang
memperoleh nilai 60 (batas ketuntasan) ke atas, yaitu sebanyak 15 siswa.
Tabel 4. Perolehan Nilai Tes Berbicara pada Siklus I
Aspek Penilaian No
Nama Siswa
I II III IV V VI
Nilai
Ketuntasan
1. Deni Widiatmoko 3 2 2 3 2 2 46,7 Tidak
2. Nur Halimah 3 2 2 2 2 2 43,3 Tidak
3. Mentari Indah T. 4 3 4 4 3 2 66,7 Ya
4. Nur Fitri Agustina 3 3 3 3 2 2 53,3 Tidak
5. Rini Indrawati 3 3 2 4 3 2 56,7 Tidak
6. Ardelia Ayu R. 4 4 3 4 3 2 66,7 Ya
7. Agus Agung N. 4 3 3 3 2 2 56,7 Tidak
8. Andika Eka Putra 4 4 4 3 2 3 66,7 Ya
9. Arfan Rifai 3 3 4 3 2 2 56,7 Tidak
10. Berlian Iswari C. 4 3 3 4 4 2 66,7 Ya
11. Erdiana Isnaini F. 4 3 4 3 3 2 63,3 Ya
12. Muh Farkhan M. 4 3 4 4 4 2 70 Ya
13. Muh Naufi Al
Hafid
4 4 3 4 5 4 80 Ya
14. Melinda Suci R. 4 4 4 4 3 2 70 Ya
15. Miftahul Huda 2 2 3 3 2 2 46,7 Tidak
16. Nandya Ayu 4 4 4 4 2 2 66,7 Ya
17. Reza Gusnia 4 4 2 4 3 3 66,7 Ya
18. Rafli Nur Prima 2 4 3 4 3 2 60 Ya
19. Septi Endraswati 4 3 4 3 3 2 63,3 Ya
Keterangan Aspek Penilaian:
I = lafal
II = intonasi/tekanan
III = tata bahasa
IV = struktur
V = kelancaran/kewajaran
VI = pemahaman
d. Analisis dan refleksi
Berdasarkan hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas
pembelajaran berbicara siklus I ini (baik proses maupun hasil) telah
menunjukkan adanya peningkatan dari kondisi awal (pratindakan).
Keberhasilan proses pembelajaran berbicara siklus I dapat dilihat dari beberapa
indikator berikut ini:
a) kedisiplinan
Siswa yang menunjukkan kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara sebanyak 16 orang atau sekitar 67%, sedangkan 8 orang atau
20. Satria Muh Fajar 3 2 3 3 2 2 50 Tidak
21. Tonny Majid 4 4 3 3 3 2 63,3 Ya
22. Vara Dina 3 3 3 4 3 2 60 Ya
23. Wildan Amardya
P.
3 3 4 3 2 2 56,7 Tidak
24. Arsa Adni 4 4 2 4 3 3 66,7 Ya
NILAI RATA-RATA
60,9
KETUNTASAN BELAJAR = 62%
<60 = 9 siswa >60 = 15 siswa
sekitar 33% lainnya menunjukkan sikap kurang disiplin atau kurang tertib
mengikuti setiap kegiatan pembelajaran di kelas.
b) minat
Minat siswa terhadap pembelajaran berbicara dengan penerapan metode
bermain peran di siklus I, telah menunjukkan peningkatan dari kondisi awal
sebesar 42% menjadi sebesar 54%. Siswa tampak tertarik dan lebih antusias
mengikuti pembelajaran dengan metode bermain peran, sehingga perhatian
siswa pun lebih terfokus pada pelajaran. Adapun indikator pengukuran
minat siswa dapat dilihat dari hasil pengamatan peneliti dan diukur dari
jumlah siswa yang menampakkan ketertarikan dan kesungguhannya dalam
pembelajaran.
c) keaktifan
Keaktifan siswa dalam pembelajaran meningkat. Siswa terlihat lebih aktif
untuk merespons stimulus dari guru, aktif mengungkapkan gagasan dan
perasaannya secara lisan, aktif melakukan kegiatan tanya jawab, dan aktif
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Keaktifan siswa dapat
diamati selama proses pembelajaran berlangsung.
d) kerja sama
Siswa yang menunjukkan sikap kerja sama yang baik selama mengikuti
pembelajaran berbicara sebesar 71% atau sebanyak 17 orang, sedangkan
29% atau 7 orang sisanya tampak belum mampu melakukan kerja sama
yang baik dengan anggota kelompoknya.
e) kesungguhan
Siswa yang menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara sebayak 18 orang atau sebesar 75%, sedangkan 6 orang lainnya
atau sekitar 25% menunjukkan sikap kurang serius selama mengikuti
pelajaran. Terlebih pada saat melakukan praktik berbicara di depan kelas,
mereka terlihat kurang bersungguh-sungguh dan sering bercanda dengan
sesama teman kelompoknya.
Selain meningkatkan kualitas proses pembelajaran, penerapan metode
bermain peran ini juga ikut meningkatkan hasil pembelajaran berbicara. Hal ini
terbukti dari 24 siswa yang melakukan tes berbicara, 15 siswa atau sekitar 62%
telah mencapai ketuntasan belajar dengan mendapat nilai 60 ke atas.
Ketuntasan belajar ini mengalami peningkatan dari kondisi awal sekitar 46%
atau sebanyak 11 siswa saja yang memenuhi standar ketuntasan.
Adapun kelemahan atau kekurangan yang ditemukan dari pelaksanaan
tindakan siklus I ini bersumber dari guru, siswa, dan metode pembelajarannya.
Guru belum mampu menciptakan situasi belajar yang mendukung siswa untuk
lebih aktif, antusias, dan berminat. Meskipun beberapa kali guru memberi
pertanyaan dan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat, namun hal itu
kurang mendapat respon dan perhatian dari siswa. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sikap dan keaktifan siswa masih sangat kurang.
Selanjutnya berdasarkan hasil pertemuan dan diskusi dengan beberapa
siswa mengenai kekurangan pelaksanaan pembelajaran siklus I, guru dan
peneliti merumuskan perencanaan pembelajaran yang baru sebagai bahan
perbaikan, yaitu:
a) Mengganti prosedur/langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang pada
awalnya hanya berupa kegiatan ceramah dan tanya jawab, di siklus II
ditambahi dengan kegiatan penugasan. Meskipun metode pembelajaran
tetap menggunakan bermain peran, tetapi tema diskusi diganti. Pada siklus I
mengangkat tema ”Memilih Sesuatu yang Menarik”, maka di siklus II ini
mengambil tema lain, yaitu ”Peristiwa”.
b) Sebaiknya posisi guru saat pembelajaran tidak hanya berada di depan kelas.
Guru juga harus berkeliling untuk memonitor siswa yang berada di tempat
duduk deretan belakang, pojok, dan samping agar mereka dapat ikut
berpartisispasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu guru harus
lebih tegas menegur siswa yang tidak fokus saat mengikuti pembelajaran.
c) Guru menjadikan situasi belajar lebih aktif dan tidak cenderung monoton
(membosankan) dengan memberikan selingan humor dan lebih
mengakrabkan diri dengan siswa.
d) Untuk meningkatkan minat siswa, guru bisa melakukannya dengan sekedar
memberikan tepuk tangan, reward berupa pujian seperti: bagus sekali, baik
sekali, tepat sekali, atau bisa juga memberi nilai plus/tambahan kepada
siswa, atau pun memberi hadiah bagi siswa yang telah mencapai nilai 60 ke
atas.
e) Siswa yang merasa kurang jelas diberikan bimbingan/arahan secara khusus
dalam melakukan pembelajaran berbicara dengan metode bermain peran,
seperti memberi tambahan penjelasan mengenai peraturan bermain peran
dan skenarionya.
f) Diakhir pembelajaran hendaknya guru tidak lupa memberikan refleksi,
umpan balik atau penguatan atas materi yang telah disampaikan.
Perencanaan pembelajaran baru ini diharapkan mampu mengatasi
kekurangan yang ada di siklus I.
2. Siklus Kedua
a. Perencanaan Tindakan
Tahap perencanaan ini dilakukan pada hari Sabtu, 7 Februari 2009 di
ruang guru SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Peneliti dan guru kelas
mendiskusikan rancangan tindakan yang dilakukan dalam proses penelitian
pada siklus II. Dari diskusi tersebut, disepakati bahwa pelaksanaan tindakan
siklus II akan dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada hari Jumat, 13
Februari dan Senin, 16 Februari 2009. Dilaksanakan dalam dua kali pertemuan
dikarenakan adanya keterbatasan waktu, dalam satu jam pelajaran waktu yang
disediakan hanya 35 menit, dan hal itu dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas pembelajaran dengan metode bermain peran ini.
Tahap perencanaan tindakan ini meliputi kegiatan sebagai berikut:
1) Peneliti bersama guru merancang skenario pembelajaran berbicara dengan
penerapan metode bermain peran, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(a) Guru membuka pelajaran dan memberikan apersepsi dengan menggali
pengalaman siswa yang berkaitan dengan materi pelajaran berbicara
pada saat itu.
(b) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa seputar pengetahuannya
tetang berbagai macam peristiwa faktual yang sedang terjadi di
lingkungan sekitar.
(c) Guru mengawali kegiatan inti dengan mengatur tempat duduk siswa
sesuai kelompok yang telah dibentuk pada pertemuan sebelumnya.
(d) Guru membagikan surat kabar kepada masing-masing kelompok,
kemudian memintanya untuk mendata berbagai peristiwa faktual yang
sedang terjadi didalamnya.
(e) Guru bersama siswa mengidentifikasi sebuah peristiwa faktual yang
sedang terjadi di berbagai daerah, yaitu banjir.
(f) Guru menugasi setiap kelompok untuk melakukan diskusi tentang
peristiwa “Banjir” dengan metode bermain peran.
(g) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play, menentukan peran yang akan dimainkan setiap peserta,
menjelaskan skenario, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
(h) Siswa melakukan role play secara berkelompok. Setiap kelompok diberi
waktu 8 menit, dengan rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3 menit
untuk refleksi dan evaluasi.
(i) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
(j) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap
I (yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
(k) Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi tahap I, guru meminta siswa
untuk menampilkan ulang perannya.
(l) Guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap II diakhir penampilan siswa
dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menanyakan hal-hal
yang belum dipahami.
(m) Guru menutup pelajaran.
2) Guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
3) Guru dan peneliti mempersiapkan materi dan membuat skenario role play
siklus II dengan tema “Peristiwa” untuk dibagikan kepada siswa.
4) Peneliti dan guru mempersiapkan surat kabar.
5) Peneliti dan guru menyusun instrumen penelitian yang berupa penilaian tes
dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil praktik berbicara siswa dalam
bentuk diskusi (sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai). Untuk
instrumen nontes dinilai berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti dan berdasarkan rubrik penilaian proses pembelajaran berbicara
yang meliputi: (a) kedisiplinan, (b) minat, (c) keaktifan, (d) kerja sama, dan
(e) kesungguhan siswa selama pembelajaran berlangsung.
b. Pelaksanaan Tindakan
Tindakan siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan
pertama dilaksanakan pada hari Jumat, 13 Februari 2009 dan pertemuan kedua
pada hari Senin, 16 Februari 2009. Pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan di
ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali.
Dalam pelaksanaan tindakan II ini, guru bertindak sebagai pemimpin
jalannya kegiatan pembelajaran berbicara, sedangkan peneliti melakukan
observasi atau pengamatan terhadap proses pembelajaran. Peneliti bertindak
sebagai partisipan pasif yang berada di belakang ruang kelas untuk mengamati
jalannya pembelajaran.
Pelaksanaan tindakan siklus II pertemuan pertama dilaksanakan pada
hari Jumat, 13 Februari 2009 selama dua jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-
10.45 WIB (jam pelajaran ke-5&6). Adapun urutan pelaksanaan tindakan II
pertemuan pertama ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru membuka pelajaran dan memberikan apersepsi dengan menggali
pengalaman siswa yang berkaitan dengan materi pelajaran berbicara pada
saat itu.
2) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa seputar pengetahuannya tetang
berbagai macam peristiwa faktual yang sedang terjadi di lingkungan sekitar.
3) Guru mengawali kegiatan inti dengan mengatur tempat duduk siswa sesuai
kelompok yang telah dibentuk pada pertemuan sebelumnya.
4) Guru membagikan surat kabar kepada masing-masing kelompok, kemudian
memintanya untuk mendata berbagai peristiwa faktual yang sedang terjadi
didalamnya.
5) Guru bersama siswa mengidentifikasi sebuah peristiwa faktual yang sedang
terjadi di berbagai daerah, yaitu banjir.
6) Guru menugasi setiap kelompok untuk melakukan diskusi tentang peristiwa
“Banjir” dengan metode bermain peran.
7) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play, menentukan peran yang akan dimainkan setiap peserta,
menjelaskan skenario, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
8) Siswa melakukan role play secara berkelompok. Setiap kelompok diberi
waktu 8 menit, dengan rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3 menit untuk
refleksi dan evaluasi.
9) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
10) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap I
(yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
11) Guru meminta siswa mempersiapkan diri untuk melakukan penampilan
ulang pada pertemuan berikutnya.
12) Guru melakukan refleksi (memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami), kemudian menutup
pelajaran.
Pembelajaran berbicara dilanjutkan pada pertemuan kedua. Pelaksanaan
tindakan II pertemuan kedua tersebut dilaksanakan pada hari Senin, 16
Februari 2009 selama satu jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-10.10 WIB (jam
pelajaran ke-5). Adapun urutan pelaksanaan tindakan II pertemuan kedua ini
meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru membuka pelajaran dan mengulang sekilas materi pelajaran yang telah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya dengan melakukan tanya jawab
dengan siswa.
2) Guru meminta siswa menampilkan ulang diskusi kedua mereka tentang
banjir dengan metode bermain peran.
3) Di akhir penampilan ulang semua kelompok, guru melakukan refleksi dan
evaluasi tahap II (yaitu bersama siswa pengamat memberikan kritik,
masukan, dan komentar kepada siswa pemain).
4) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang
belum jelas, selanjutnya guru menutup pelajaran.
c. Observasi dan interpretasi
Observasi/pengamatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 13 Februari
2009 pukul 09.35-10.45 WIB dan hari Senin, 16 Februari 2009 pukul 09.35-
10.10 WIB di ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Kegiatan
peneliti selama tahap observasi yaitu mengamati proses pembelajaran berbicara
siswa kelas V dengan penerapan metode bermain peran. Pada hari itu guru
mengajarkan materi diskusi dengan tema “Peristiwa”.
Pengamatan difokuskan pada berlangsungnya proses pelaksanaan
pembelajaran, serta aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran berlangsung.
Selain itu, kegiatan observasi siklus II ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah kelemahan di dalam proses pembelajaran pada siklus I sudah bisa
teratasi atau belum. Dalam pengamatan ini, peneliti bertindak sebagai
partisipan pasif yang berada di belakang ruang kelas agar bisa mengamati
proses pembelajaran yang dipimpin oleh guru.
Berdasarkan pengamatan peneliti, secara garis besar diperoleh gambaran
tentang jalannya kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:
1) Sebelum mengajar, guru telah mempersiapkan rencana pembelajaran yang
akan dijadikan sebagai pedoman dalam mengajar. Rencana pembelajaran
tersebut sesuai dengan silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia yang
terdapat di dalam kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut, yakni
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
2) Pelaksanaan tindakan siklus II berlangsung selama dua kali pertemuan. Pada
pertemuan pertama, jumlah siswa hadir 23 orang dan pada pertemuan kedua
semua siswa kelas V yang berjumlah 24 orang hadir.
3) Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran berbicara dengan baik dan
runtut, sesuai dengan rancangan pembelajaran yang dibuat.
4) Saat guru menyampaikan materi, sebagian besar siswa mengikuti dengan
baik. Namun, masih ada juga beberapa siswa yang tampak kurang serius
memperhatikan. Berdasarkan observasi pada siklus I, siswa yang kurang
serius mengikuti pelajaran disebabkan karena munculnya kebosanan pada
diri mereka, sehingga di siklus II ini untuk menyampaikan materi guru tidak
hanya terpaku pada buku melainkan membawa sumber rujukan lain, yaitu
surat kabar. Surat kabar tersebut dibagikan kepada setiap kelompok,
selanjutnya guru meminta mereka untuk mencari dan mengidentifikasi
peristiwa faktual yang ada didalamnya. Kegiatan mencari data dari surat
kabar ini terbukti mampu membuat siswa semakin tertarik mengikuti
pelajaran.
5) Setelah penyampaian materi selesai, selanjutnya siswa diberi tugas
berbicara/diskusi dengan menggunakan metode yang sama juga, yaitu
bermain peran. Tema pelajaran di siklus II adalah ”Peristiwa”. Adapun
skenario untuk kelima kelompok adalah sama, yaitu siswa disuruh untuk
memerankan skenario yang berisi tentang pembicaraan kepala desa bersama
dengan beberapa warganya mengenai musibah banjir yang sedang melanda
daerahnya. Di setiap kelompok, masing-masing anak berperan sebagai
kepala desa, ketua RT, dokter, dan sisanya warga desa/korban banjir.
6) Kelima kelompok tampil secara berurutan, dan di saat satu kelompok
tampil, tugas siswa lain dan guru adalah menjadi pengamat yang akan
memberikan komentar di akhir penampilan tersebut. Penampilan kelima
kelompok semakin menunjukkan perkembangan, hampir semua siswa telah
mampu mengembangkan idenya.
7) Saat tahap evaluasi dan refleksi, jumlah siswa yang mau memberikan
komentar semakin bertambah. Hal ini dikarenakan guru telah menjalankan
saran dari analisis tindakan di siklus I, yaitu dengan memberikan reward,
baik berwujud nilai tambahan maupun pujian bagi siswa yang dapat
mengemukakan pendapatnya dengan tepat. Usaha pemberian reward ini
ternyata terbukti mampu membangkitkan minat siswa untuk
mengungkapkan komentar mereka, serta merespons pertanyaan dari guru
secara sukarela.
8) Kelemahan atau kekurangan selama pelaksanaan tindakan siklus II ini dapat
dilihat dari beberapa aspek berikut:
a. Kelemahan yang ditemukan dari guru, yaitu:
(1) Guru jarang menegur siswa yang gaduh saat pelajaran.
(2) Guru jarang memperingatkan siswa yang tidak fokus terhadap proses
pembelajaran yang sedang berlangsung.
b. Kelemahan yang ditemukan dari siswa, yaitu:
(1) Beberapa siswa terlihat belum sepenuhnya aktif dalam mengikuti
pembelajaran. Mereka lebih banyak melakukan aktivitas lain,
seperti: melamun, mengganggu teman, berbicara dengan teman
sebangku, menoleh ke belakang.
(2) Saat kegiatan tanya jawab, hanya beberapa siswa yang terlihat aktif
(itu pun hanya siswa yang sama).
(3) Saat tahap refleksi dan evaluasi, belum semua siswa berani ikut
memberikan komentar atas penampilan teman.
c. Kelemahan dari penerapan metode bermain peran berupa:
Bermain peran memungkinkan siswa untuk menampilkan bentuk
permainan peran, di mana setiap siswa membawakan peran yang berbeda
dengan siswa lain. Hal tersebut terasa sulit untuk dilakukan siswa
pemalu, karena saat tampil dia kurang menghayati perannya (kurang
maksimal). Bahkan ada beberapa siswa yang tampil dengan suara sangat
lirih sehingga tidak terdengar dari belakang.
9) Ketuntasan hasil belajar yang berupa kemampuan siswa dalam
mengungkapan pendapat, ide, gagasan, dan perasaannya dalam kegiatan
diskusi mencapai sekitar 83% . Hal ini terlihat dari hasil praktik berbicara
(bentuk diskusi) dan dihitung dari jumlah siswa yang memperoleh nilai 60
(batas ketuntasan) ke atas, yaitu sebanyak 20 siswa.
Tabel 5. Perolehan Nilai Tes Berbicara pada Siklus II
Aspek Penilaian No
Nama Siswa
I II III IV V VI
Nilai
Ketuntasan
1. Deni Widiatmoko 3 3 3 4 3 2 60 Ya 2. Nur Halimah 3 2 4 4 3 2 60 Ya 3. Mentari Indah T. 4 3 4 4 4 3 73,3 Ya 4. Nur Fitri Agustina 3 3 3 3 2 2 53,3 Tidak 5. Rini Indrawati 4 3 4 4 3 3 70 Ya 6. Ardelia Ayu R. 4 4 4 4 3 3 73,3 Ya
7. Agus Agung N. 4 3 3 5 4 5 80 Ya 8. Andika Eka Putra 3 3 3 3 3 3 60 Ya 9. Arfan Rifai 3 3 4 4 3 3 66,7 Ya 10. Berlian Iswari C. 4 4 4 5 4 4 83,3 Ya 11. Erdiana Isnaini F. 4 4 4 4 4 3 76,7 Ya 12. Muh Farkhan M. 4 4 3 4 5 4 80 Ya 13. Muh Naufi Al
Hafid 4 5 4 5 5 5 93,3 Ya
14. Melinda Suci R. 4 4 3 3 3 3 66,7 Ya 15. Miftahul Huda 3 2 2 3 3 2 50 Tidak 16. Nandya Ayu 4 4 4 4 4 4 80 Ya 17. Reza Gusnia 5 5 4 4 5 5 93,3 Ya 18. Rafli Nur Prima 4 4 3 4 4 3 73,3 Ya 19. Septi Endraswati 4 4 3 4 3 3 70 Ya 20. Satria Muh Fajar 3 2 3 3 3 3 56,7 Tidak 21. Tonny Majid 4 4 4 5 5 5 90 Ya 22. Vara Dina 5 4 4 4 4 4 83,3 Ya 23. Wildan Amardya
P. 3 4 3 3 2 2 56,7 Tidak
24. Arsa Adni 5 5 4 5 5 4 93,3 Ya NILAI RATA-RATA
72,6
KETUNTASAN BELAJAR = 83%
<60 = 4 siswa >60 = 20 siswa
Keterangan Aspek Penilaian:
I = lafal
II = intonasi/tekanan
III = tata bahasa
IV = struktur
V = kelancaran/kewajaran
VI = pemahaman
d. Analisis dan refleksi
Berdasarkan hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas
pembelajaran berbicara siklus II ini (baik proses maupun hasil) semakin
menunjukkan adanya peningkatan dari siklus sebelumnya. Keberhasilan proses
pembelajaran berbicara siklus II dapat dilihat dari beberapa indikator berikut
ini:
a. kedisiplinan
Siswa yang menunjukkan kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara jumlahnya meningkat dari siklus I sebesar 67% menjadi sekitar
86% atau sebanyak 21 orang.
b. minat
Minat siswa terhadap pembelajaran berbicara dengan penerapan metode
bermain peran di siklus II telah mengalami peningkatan dari siklus I sebesar
54% menjadi 75%. Siswa tampak tertarik dan lebih antusias mengikuti
pembelajaran dengan metode bermain peran, sehingga perhatian siswa pun
lebih terfokus pada pelajaran. Adapun indikator pengukuran minat siswa
dapat dilihat dari hasil pengamatan peneliti dan diukur dari jumlah siswa
yang menampakkan ketertarikan dan kesungguhannya dalam pembelajaran.
c. keaktifan
Keaktifan siswa dalam pembelajaran berbicara siklus II telah mengalami
peningkatan dari siklus I sebesar 25% menjadi sebesar 58%. Siswa terlihat
lebih aktif untuk merespons stimulus dari guru, aktif mengungkapkan
gagasan dan perasaannya secara lisan, aktif melakukan kegiatan tanya
jawab, dan aktif mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Keaktifan siswa dapat diamati selama proses pembelajaran berlangsung.
d. kerja sama
Siswa yang menunjukkan sikap kerja sama yang baik selama mengikuti
pembelajaran berbicara sebesar 96% atau sebanyak 23 orang. Hal ini
meningkat dari persentase yang ada pada siklus I, yaitu hanya 71% siswa
yang menunjukkan kerja samanya.
e. kesungguhan
Siswa yang menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara mengalami peningkatan dari siklus I, yaitu dari 75% menjadi
sebesar 96% atau sebayak 23 orang.
Selain meningkatkan kualitas proses pembelajaran, penerapan metode
bermain peran ini juga ikut meningkatkan hasil pembelajaran berbicara.
Berdasarkan hasil evaluasi di akhir tindakan siklus II, diketahui bahwa
kemampuan berbicara siswa mengalami peningkatan dari siklus I sebesar 62%
atau sebanyak 15 siswa menjadi sekitar 83%. Hal ini terbukti dari 24 siswa
yang melakukan praktik berbicara, 20 siswa telah mencapai ketuntasan belajar
dengan mendapat nilai 60 ke atas.
Adapun kelemahan atau kekurangan yang ditemukan dari pelaksanaan
tindakan siklus II ini bersumber dari guru dan siswa. Walaupun guru sudah
mampu menciptakan situasi belajar yang kondusif dan dapat meningkatkan
minat siswa, tetapi guru belum mampu mengajak siswa untuk bersikap aktif
selama pembelajaran. Sementara itu siswa pun masih terlihat kurang fokus
mengikuti pembelajaran, terbukti dengan masih banyaknya siswa yang
melakukan aktivitas lain saat pelajaran, seperti: melamun, mengganggu teman,
dan berbicara dengan teman sebangku.
Selanjutnya berdasarkan hasil pertemuan dan diskusi dengan beberapa
siswa mengenai kekurangan pelaksanaan pembelajaran siklus II, guru dan
peneliti merumuskan perencanaan pembelajaran yang baru sebagai bahan
perbaikan, yaitu:
a) Mengganti tugas berbicara siswa. Pada siklus I dan II guru menghendaki
siswa melakukan praktik berbicara dalam bentuk diskusi, maka untuk siklus
selanjutnya (siklus III) guru dan peneliti mengganti tugas berbicara siswa
menjadi praktik bermain drama. Hal ini dilakukan dengan harapan agar
siswa tidak merasa bosan.
b) Guru bersikap lebih tegas kepada siswa yang tidak tertib saat mengikuti
pembelajaran, dengan memberi teguran, peringatan, atau bahkan hukuman
bagi siswa yang sudah tidak bisa diingatkan.
c) Guru menciptakan situasi belajar yang menyenangkan agar siswa semakin
berminat dalam mengikuti pelajaran sehingga akan lebih meningkatkan
keaktifannya.
d) Untuk memotivasi siswa agar tidak takut atau malu saat melakukan praktik
berbicara di depan kelas, guru bisa melakukannya dengan sekedar
memberikan tepuk tangan, reward berupa pujian seperti: bagus sekali, baik
sekali, tepat sekali, atau bisa juga memberi nilai plus/tambahan kepada
siswa, atau pun memberi hadiah bagi siswa yang telah mencapai nilai 60 ke
atas.
Perbaikan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran baru ini
diharapkan mampu mengatasi kekurangan yang ada di siklus II.
3. Siklus Ketiga
a. Perencanaan Tindakan
Tahap perencanaan ini dilakukan pada hari Sabtu, 21 Februari 2009 di
ruang guru SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Peneliti dan guru kelas
mendiskusikan rancangan tindakan yang dilakukan dalam proses penelitian
pada siklus III. Dari diskusi tersebut, disepakati bahwa pelaksanaan tindakan
siklus III akan dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada hari Senin, 23
Februari dan, Jumat 27 Februari 2009. Dilaksanakan dalam dua kali pertemuan
dikarenakan adanya keterbatasan waktu, dalam satu jam pelajaran waktu yang
disediakan hanya 35 menit, dan hal itu dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas pembelajaran dengan metode bermain peran ini.
Tahap perencanaan tindakan ini meliputi kegiatan sebagai berikut:
1) Peneliti bersama guru merancang skenario pembelajaran berbicara dengan
penerapan metode bermain peran, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(a) Guru membuka pelajaran dan memberikan apersepsi dengan menggali
pengalaman siswa yang berkaitan dengan materi pelajaran berbicara
pada saat itu (Bermain Drama Pendek).
(b) Guru mengawali kegiatan inti dengan mengatur tempat duduk siswa
sesuai kelompok yang telah dibentuk pada pertemuan sebelumnya.
(c) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa seputar pengetahuannya
tetang drama.
(d) Guru menjelaskan materi drama, selanjutnya memberikan contoh naskah
drama pendek kepada siswa.
(e) Guru meminta siswa membaca naskah drama tersebut.
(f) Guru menugasi setiap kelompok untuk melakukan kegiatan bermain
drama berdasarkan tema pelajaran pada saat itu, yaitu “Kesehatan”
dengan metode bermain peran.
(g) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play yang akan dikembangkan siswa menjadi kerangka naskah
drama, menentukan peran yang akan dimainkan setiap peserta,
menjelaskan skenario, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan
tujuan pembelajaran.
(h) Siswa melakukan kegiatan bermain drama dengan metode role play
secara berkelompok. Setiap kelompok diberi waktu 8 menit, dengan
rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3 menit untuk refleksi dan
evaluasi.
(i) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
(j) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap I
(yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
(k) Berdasarkan hasil refleksi dan evaluasi tahap I, guru meminta siswa
untuk menampilkan ulang perannya.
(l) Siswa menampilkan ulang dramanya.
(m) Guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap II diakhir penampilan siswa
dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menanyakan hal-hal
yang belum dipahami.
(n) Guru menutup pelajaran.
2) Guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
3) Guru dan peneliti mempersiapkan materi dan membuat skenario role play
siklus III dengan tema “Kesehatan” untuk dibagikan kepada siswa.
4) Peneliti dan guru menyusun instrumen penelitian yang berupa penilaian tes
dan nontes. Instrumen tes dinilai dari hasil praktik berbicara siswa dalam
bentuk diskusi (sesuai kompetensi dasar yang ingin dicapai). Untuk
instrumen nontes dinilai berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti dan berdasarkan rubrik penilaian proses pembelajaran berbicara
yang meliputi: (a) kedisiplinan, (b) minat, (c) keaktifan, (d) kerja sama, dan
(e) kesungguhan siswa selama pembelajaran berlangsung.
b. Pelaksanaan Tindakan
Tindakan siklus III dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan
pertama dilaksanakan pada hari Senin, 23 Februari 2009 dan pertemuan kedua
pada hari Jumat, 27 Februari 2009. Pelaksanaan tindakan tersebut dilakukan di
ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali.
Dalam pelaksanaan tindakan III ini, guru bertindak sebagai pemimpin
jalannya kegiatan pembelajaran berbicara, sedangkan peneliti melakukan
observasi atau pengamatan terhadap proses pembelajaran. Peneliti bertindak
sebagai partisipan pasif yang berada di belakang ruang kelas untuk mengamati
jalannya pembelajaran.
Pelaksanaan tindakan siklus III pertemuan pertama dilaksanakan pada
hari Senin, 23 Februari 2009 selama dua jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-
10.45 WIB (jam pelajaran ke-5&6). Adapun urutan pelaksanaan tindakan III
pertemuan pertama ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa seputar pengetahuannya tetang
materi drama.
2) Guru memberi penjelasan tentang materi drama dan menunjukkan contoh
dialog drama dari buku pelajaran.
3) Guru meminta siswa membaca dialog drama tersebut.
4) Guru menugasi siswa untuk bermain drama dengan tema kesehatan, secara
berkelompok.
5) Guru dan siswa melakukan tahap persiapan, yaitu: membagikan skenario
role play yang akan dikembangkan menjadi kerangka naskah drama pendek
oleh masing-masing kelompok, menentukan peran yang akan dimainkan
setiap peserta, menentukan aturan permainan, dan menjelaskan tujuan
pembelajaran.
6) Setelah tahap persiapan selesai, guru meminta siswa untuk memulai kegiatan
bermain drama berdasarkan skenario yang telah ditentukan dengan metode
bermain peran secara berkelompok. Setiap kelompok mendapatkan waktu 8
menit dengan rincian 5 menit untuk pemeranan dan 3 menit untuk refleksi
dan evaluasi.
7) Guru bersama siswa lain mengamati penampilan kelompok pemain.
8) Di setiap akhir penampilan, guru melakukan refleksi dan evaluasi tahap I
(yaitu guru bersama siswa pengamat memberikan kritik, masukan, dan
komentar).
9) Guru meminta siswa mempersiapkan diri untuk melakukan penampilan
ulang pada pertemuan berikutnya.
10) Guru melakukan refleksi (memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami), kemudian menutup
pelajaran.
Pembelajaran berbicara dilanjutkan pada pertemuan kedua. Pelaksanaan
tindakan III pertemuan kedua tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 27
Februari 2009 selama dua jam pelajaran, yaitu pukul 09.35-10.45 WIB (jam
pelajaran ke-5&6). Adapun urutan pelaksanaan tindakan III pertemuan kedua
ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1) Guru membuka pelajaran dan mengulang sekilas materi pelajaran yang telah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya dengan melakukan tanya jawab
dengan siswa.
2) Guru meminta siswa menampilkan ulang drama pendek mereka setelah
mendapat evaluasi dari guru dan teman kelompok yang lain pada pertemuan
sebelumnya (secara bergantian).
3) Di akhir penampilan ulang semua kelompok, guru melakukan refleksi dan
evaluasi tahap II (yaitu bersama siswa pengamat memberikan kritik,
masukan, dan komentar kepada siswa pemain).
4) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang
belum jelas, selanjutnya guru menutup pelajaran.
c. Observasi dan interpretasi
Observasi/pengamatan ini dilaksanakan pada hari Senin, 23 Februari
pukul 09.35-10.45 WIB dan Jumat, 27 Februari 2009 pukul 09.35-10.45 WIB
di ruang kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali. Kegiatan peneliti selama
tahap observasi yaitu mengamati proses pembelajaran berbicara siswa kelas V
dengan penerapan metode bermain peran.
Pada siklus III ini guru juga menerapkan bermain peran sebagai metode
pembelajaran berbicara, namun kompetensi dasar yang dijadikan pedoman
berbeda dengan kompetensi dasar pembelajaran berbicara di kedua siklus
sebelumnya, yaitu” Memerankan Tokoh Drama dengan Lafal, Intonasi, dan
Ekspresi yang Tepat”. Alasan guru mengganti kompetensi dasar tersebut
adalah agar siswa tidak merasa bosan melakukan praktik berbicara dalam
bentuk diskusi yang telah dilakukan dalam siklus I dan II. Meskipun ada
perubahan kompetensi dasar yang digunakan, namun dasar pembelajaran
tetap bertumpu pada standar kompetensi yang sama, yaitu ”Mengungkapkan
Pikiran dan Perasaan Secara Lisan dalam Diskusi dan Bermain Drama”.
Pengamatan difokuskan pada berlangsungnya proses pelaksanaan
pembelajaran, serta aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran
berlangsung. Selain itu, kegiatan observasi siklus III ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah kelemahan di dalam proses pembelajaran pada siklus II
sudah bisa teratasi atau belum. Dalam pengamatan ini, peneliti bertindak
sebagai partisipan pasif yang berada di belakang ruang kelas agar bisa
mengamati proses pembelajaran yang dipimpin oleh guru.
Berdasarkan pengamatan peneliti, secara garis besar diperoleh gambaran
tentang jalannya kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:
1) Sebelum mengajar, guru telah mempersiapkan rencana pembelajaran yang
akan dijadikan sebagai pedoman dalam mengajar. Rencana pembelajaran
tersebut sesuai dengan silabus mata pelajaran Bahasa Indonesia yang
terdapat di dalam kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut, yakni
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
2) Pelaksanaan tindakan siklus III berlangsung dalam dua kali pertemuan. Pada
pertemuan pertama, jumlah siswa hadir 22 orang dan pada pertemuan kedua
semua siswa kelas V yang berjumlah 24 orang hadir.
3) Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran berbicara dengan baik dan
semakin menunjukkan adanya peningkatan (dalam hal pengelolaan kelas).
Seperti pada kedua siklus sebelumnya, guru mengawali kegiatan
pembelajaran dengan memberikan apersepsi melalui kegiatan tanya jawab
dengan siswa seputar materi drama. Kegiatan inti diawali dengan pemberian
penjelasan materi oleh guru, kemudian guru menunjukkan contoh naskah
drama dan menugasi siswa untuk membacanya.
4) Setelah penyampaian materi selesai dan siswa merasa paham, selanjutnya
siswa diberi tugas berbicara. Berbeda dengan pelaksanaan kedua siklus
sebelumnya, dalam siklus III ini tugas yang harus dikerjakan siswa, yaitu
melakukan kegiatan bermain drama (sesuai dengan kompetensi dasar) yang
juga dipraktikkan dengan menggunakan metode bermain peran. Tema
pelajaran di siklus III yaitu ”Kesehatan”. Adapun skenario yang akan
diperankan oleh kelima kelompok adalah sama, yaitu memerankan suatu
kejadian tentang akibat yang diterima seorang anak karena suka jajan
sembarangan.
5) Kelima kelompok tampil secara berurutan, dan di saat satu kelompok
tampil, tugas siswa lain dan guru adalah menjadi pengamat yang akan
memberikan komentar di akhir penampilan tersebut. Penampilan kelima
kelompok semakin menunjukkan peningkatan. Semua siswa sudah mampu
berbicara dengan lancar, terampil mengungkapkan pikiran dan perasaannya
dengan bahasa yang baik, dan mampu mengmbangkan skenario yang
diberikan menjadi sebuah cerita yang berbeda-beda antarkelompok.
6) Saat tahap evaluasi dan refleksi, hampir semua siswa telah memberikan
komentar dan komentar tersebut semakin beragam. Siswa terlihat semakin
berani dan terampil menggunakan bahasa lisan. Hal ini dikarenakan guru
selalu berusaha memberikan motivasi demi meningkatkan minat dan
keaktifan siswa.
7) Selama proses pembelajaran berlangsung, hampir semua siswa
mengikutinya dengan baik, tertib dan penuh kesungguhan.
8) Kelemahan atau kekurangan selama pelaksanaan tindakan siklus III hampir
tidak terlihat lagi. Dengan kata lain, guru telah mampu mengatasi segala
kelemahan yang terjadi pada kedua siklus sebelumnya dengan baik. Siswa
telah menunjukkan perbaikan sikap dalam mengikuti pembelajaran, hanya
ada sedikit saja kelemahan yang masih terlihat di dalam pelaksanaan
tindakan siklus III ini yang ditemukan dari metode bermain peran, yaitu
lebih mengarah pada sifat dan karakteristik bermain peran itu sendiri. Di
mana pada dasarnya bermain peran berwujud sebuah permainan,
peraturannya pun bersifat fleksibel (mudah diubah dan disesuaikan dengan
keadaan), sehingga pelaksanaannya cenderung didasarkan pada sifat
bermain/permainan. Hal seperti inilah yang membuat beberapa siswa kurang
serius, karena dia merasa sedang berada dalam situasi bermain bukan
belajar.
9) Ketuntasan hasil belajar yang berupa kemampuan siswa dalam
mengungkapan pendapat, ide, gagasan, dan perasaannya dalam kegiatan
bermain drama mencapai 100% . Hal ini terlihat dari hasil praktik berbicara
dan dihitung dari jumlah siswa yang memperoleh nilai 60 (batas ketuntasan)
ke atas, yaitu sebanyak 24 siswa.
Tabel 6. Perolehan Nilai Tes Berbicara pada Siklus III
Aspek Penilaian No
Nama Siswa I II III IV V VI
Nilai
Ketuntasan
1. Deni Widiatmoko 4 3 4 4 3 3 70 Ya
2. Nur Halimah 3 3 3 4 3 4 66,7 Ya
3. Mentari Indah T. 4 4 4 4 3 3 73,3 Ya
4. Nur Fitri Agustina 3 3 3 4 3 2 60 Ya
5. Rini Indrawati 4 3 4 4 3 3 70 Ya
6. Ardelia Ayu R. 4 4 4 4 3 3 73,3 Ya
7. Agus Agung N. 4 4 3 4 3 3 70 Ya
8. Andika Eka Putra 3 3 3 4 3 3 63,3 Ya
9. Arfan Rifai 4 3 3 4 3 3 66,7 Ya
10. Berlian Iswari C. 4 5 4 5 3 4 83,3 Ya
11. Erdiana Isnaini F. 4 4 4 5 4 4 83,3 Ya
12. Muh Farkhan M. 4 4 4 4 3 4 76,7 Ya
13. Muh Naufi Al
Hafid
5 5 4 5 5 5 96,7 Ya
14. Melinda Suci R. 4 3 3 4 3 4 70 Ya
15. Miftahul Huda 3 3 3 4 3 2 60 Ya
16. Nandya Ayu 4 4 4 5 4 4 83,3 Ya
17. Reza Gusnia 5 5 3 5 5 5 93,3 Ya
18. Rafli Nur Prima 4 4 4 4 3 3 73,3 Ya
19. Septi Endraswati 4 5 4 5 5 4 90 Ya
20. Satria Muh Fajar 3 4 3 4 4 4 73,3 Ya
21. Tonny Majid 4 4 4 4 4 4 80 Ya
22. Vara Dina 4 4 4 5 4 4 83,3 Ya
23. Wildan Amardya
P.
4 4 3 4 3 3 70 Ya
24. Arsa Adni 5 5 5 5 5 4 96,7 Ya
NILAI RATA-RATA
76,1
KETUNTASAN BELAJAR = 100%
<60 = tidak ada >60 = 24 siswa
Keterangan Aspek Penilaian:
I = lafal
II = intonasi/tekanan
III = tata bahasa
IV = struktur
V = kelancaran/kewajaran
VI = pemahaman
d. Analisis dan refleksi
Berdasarkan hasil observasi, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas
pembelajaran berbicara siklus III ini (baik proses maupun hasil) telah
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari kedua siklus
sebelumnya. Keberhasilan proses pembelajaran berbicara siklus III dapat
dilihat dari beberapa indikator berikut ini:
a. kedisiplinan
Siswa yang menunjukkan kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara di siklus III ini, jumlahnya tidak berubah dari siklus II, yaitu
sebanyak 21 orang atau sekitar 86%.
b. minat
Minat siswa terhadap pembelajaran berbicara dengan penerapan metode
bermain peran di siklus III telah menunjukkan adanya peningkatan dari
siklus II sebesar 75% menjadi sebesar 96%. Penerapan metode bermain
peran ini berhasil membuat siswa lebih berminat dan termotivasi
mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara. Minat dan motivasi ini
sangat menentukan keberhasilan belajar siswa, sehingga siswa merasa
lebih tertarik dan tertantang untuk semakin mengasah kemampuannya
dalam kegiatan berbicara. Selain itu siswa juga terlihat lebih rileks di
dalam mengikuti proses pembelajaran, hal ini disebabkan karena situasi
pembelajaran yang tercipta melalui penerapan metode bermain peran
hampir sama dengan situasi bermain. Jadi siswa merasa lebih nyaman dan
mudah dalam menginterpretasikan tugas berbicara mereka.
c. keaktifan
Keaktifan siswa dalam pembelajaran berbicara siklus III telah mengalami
peningkatan dari siklus II sebesar 58% menjadi sebesar 92%. Berdasarkan
pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung, terbukti siswa
terlihat lebih aktif untuk merespons stimulus dari guru, aktif
mengungkapkan gagasan dan perasaannya secara lisan, aktif melakukan
kegiatan tanya jawab, dan aktif mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
oleh guru.
d. kerja sama
Kerja sama siswa di siklus III ini mengalami penurunan dari siklus II,
yaitu dari 96% menjadi 71%. Berdasarkan observasi, penurunan kerja
sama siswa tersebut terindikasi dari sikap masing-masing siswa yang lebih
menonjolkan kemampuan pribadinya, walaupun tugas berbicara di siklus
III ini adalah bermain drama tetapi mereka seakan-akan ingin
menunjukkan diri sebagai yang terbaik. Hal seperti itulah yang membuat
penampilan setiap kelompok terlihat tidak kompak lagi seperti pada tugas
diskusi sebelumnya.
e. kesungguhan
Siswa yang menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti pembelajaran
berbicara di siklus III ini juga mengalami penurunan dari siklus
sebelumnya, yaitu dari 96% menjadi 79%. Berdasarkan pengamatan
peneliti dan evaluasi dari guru, penurunan kesungguhan belajar siswa ini
tampak dari tingkah laku sebagian besar siswa yang menunjukkan sikap
kurang serius selama mengikuti pelajaran. Terlebih pada saat melakukan
tugas berbicara di depan kelas (bermain drama), mereka terlihat kurang
bersungguh-sungguh dan sering bercanda dengan sesama teman
kelompoknya.
Penerapan metode bermain peran ini selain meningkatkan kualitas
proses pembelajaran, juga ikut meningkatkan hasil pembelajaran berbicara
siswa. Berdasarkan hasil evaluasi di akhir tindakan siklus III, diketahui
bahwa kemampuan berbicara siswa mengalami peningkatan dari siklus II
sebesar 83% menjadi 100%. Hal ini terbukti dari 24 siswa yang melakukan
praktik berbicara, semuanya telah mencapai ketuntasan belajar dengan
mendapat nilai 60 ke atas.
Dengan adanya refleksi dan perbaikan langkah-langkah pembelajaran
di setiap akhir kedua siklus sebelumnya, maka kelemahan atau kekurangan
dari pelaksanaan tindakan siklus III ini hampir tidak terlihat lagi. Guru sudah
mampu menciptakan situasi belajar yang mendukung siswa untuk lebih aktif.
Meskipun pada siklus III terjadi penurunan persentase kerja sama dan
kesungguhan siswa, namun hal tersebut tidak menjadi masalah yang berarti
karena sejak awal proses pembelajaran yang diamati hanya terfokus pada
minat dan keaktifan siswa saja dan dapat dikatakan secara keseluruhan proses
dan hasil pembelajaran mengalami peningkatan yang sangat memuaskan.
Perhatian siswa telah terfokus terhadap proses pembelajaran berbicara dan
hampir semua siswa dengan sukarela mau mengemukakan pendapatnya dan
menjawab pertanyaan tanpa ditunjuk oleh guru. Berdasarkan hasil tugas
diskusi yang telah dikerjakan siswa, dapat disimpulkan bahwa metode
bermain peran terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbicara mereka.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan tindakan dapat dinyatakan bahwa terjadi
peningkatan kualitas pembelajaran, baik proses maupun hasil kemampuan
berbicara dengan menggunakan metode bermain peran dari siklus I sampai
dengan siklus III. Secara garis besar penelitian ini telah berhasil menjawab
rumusan masalah yang telah dikemukakan peneliti, yaitu apakah penerapan
metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil
pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras
Boyolali tahun ajaran 2008/2009?
Adapun jawaban untuk perumusan masalah di atas adalah: Penelitian
tindakan kelas (classroom action research) terhadap peningkatan kemampuan
berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali melalui penerapan
metode bermain peran ini dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus, dengan uraian kegiatan
sebagai berikut: Sebelum melaksanakan siklus I, peneliti melakukan survei
awal untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dan kondisi yang ada di
lapangan. Berdasarkan hasil kegiatan survei awal ini peneliti menemukan
bahwa kualitas proses dan hasil kemampuan berbicara siswa dalam
pembelajaran Bahasa
Indonesia di kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali masih tergolong
rendah. Oleh karena itu, peneliti membuat kesepakatan untuk berkolaborasi
dengan guru kelas untuk mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan
metode bermain peran dalam pembelajaran berbicara.
Guru kelas selanjutnya menyusun rencana pembelajaran guna
melaksanakan siklus I. Siklus I merupakan tindakan awal untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan di dalam pembelajaran berbicara. Pada siklus I
guru menerapkan bermain peran sebagai metode pembelajaran berbicara
dengan berdasar pada kompetensi dasar yang disesuaikan dengan silabus, yaitu
“Mengomentari Persoalan Faktual disertai Alasan yang Mendukung dengan
Memperhatikan Pilihan Kata dan Santun Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi”.
Berdasarkan kesepakatan, guru dan peneliti menentukan tema pembelajaran
“Memilih Sesuatu yang Menarik”.
Adapun tugas yang harus dikerjakan siswa pada siklus I ini adalah
melakukan kegiatan diskusi secara berkelompok. Tugas tersebut dipraktikkan
dengan menggunakan metode bermain peran. Dalam bermain peran kali ini,
siswa disuruh untuk memerankan skenario mengenai tugas ketua kelas yang
sedang melakukan diskusi bersama dengan beberapa siswa lain mengenai
rencana kegiatan liburan sekolah minggu depan. Di setiap kelompok, masing-
masing anak berperan sebagai ketua kelas, wakil ketua kelas, dan sisanya
sebagai siswa biasa.
Dari pelaksanaan siklus I tersebut diperoleh deskripsi hasil
pembelajaran berbicara yang menyatakan bahwa masih terdapat beberapa
kekurangan atau kelemahan di dalam pelaksanaan tindakan. Kekurangan
tersebut berasal dari guru, siswa maupun metode yang digunakan. Kelemahan
atau kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan tindakan siklus I ini dapat
dikatakan sebagai faktor penyebab rendahnya hasil tes berbicara siswa. Hal
tersebut dapat dilihat dari jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas 60
(tuntas) hanya 15 siswa atau sekitar 62% dari jumlah keseluruhan siswa.
Selanjutnya kekurangan-kekurangan tersebut dievaluasi oleh peneliti dan guru
hingga menghasilkan perencanaan pembelajaran baru, yang diharap mampu
mengatasi kekurangan dalam pelaksanaan tindakan siklus I.
Siklus II selanjutnya dilaksanakan untuk mengatasi
kekurangan/kelemahan yang terjadi selama proses pembelajaran siklus I. Pada
siklus II ini guru juga menerapkan bermain peran sebagai metode pembelajaran
berbicara dengan berdasar pada kompetensi dasar yang masih sama, yaitu
“Mengomentari Persoalan Faktual disertai Alasan yang Mendukung dengan
Memperhatikan Pilihan Kata dan Santun Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi”.
Hanya tema pelajarannya saja yang diubah dengan tujuan agar siswa tidak
bosan, adapun tema pelajaran di siklus II adalah “Peristiwa”. Tugas yang harus
dikerjakan siswa pada siklus II masih sama seperti tugas siklus I, yaitu
melakukan kegiatan diskusi secara berkelompok (hanya tema yang berubah).
Tugas tersebut juga dipraktikkan dengan menggunakan metode bermain peran.
Dalam bermain peran kali ini, siswa disuruh untuk memerankan skenario yang
berisi tentang pembicaraan kepala desa bersama dengan beberapa warganya
mengenai musibah banjir yang sedang melanda daerahnya. Di setiap
kelompok, masing-masing anak berperan sebagai kepala desa, ketua RT,
dokter, dan sisanya warga desa/korban banjir.
Berdasarkan pelaksanaan siklus II terbukti bahwa telah terjadi
peningkatan proses dan hasil pembelajaran berbicara dari siklus I. Peningkatan
proses dapat dilihat dari meningkatnya minat dan keaktifan siswa dalam
mengikuti pembelajaran, sedangkan peningkatan hasil terbukti dari
meningkatnya jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar (mengikuti tes
berbicara dalam bentuk diskusi). Pada siklus I siswa yang dinyatakan tuntas
dan memiliki kemampuan berbicara dengan baik sejumlah 15 orang, dan pada
siklus II terjadi peningkatan menjadi 20 orang. Meskipun terjadi peningkatan
kemampuan berbicara yang cukup signifikan pada siklus II, namun masih
ditemukan juga beberapa kekurangan/kelemahan didalamnya. Kekurangan dan
kelemahan tersebut diantaranya, yaitu guru masih jarang menegur siswa yang
gaduh, siswa belum sepenuhnya aktif dalam mengikuti setiap kegiatan
pembelajaran, dan masih ada beberapa siswa yang terlihat sulit mengikuti
permainan karena malu meskipun mereka tampil secara berkelompok.
Selanjutnya berdasarkan diskusi antara guru dan peneliti, dirancanglah
rencana pembelajaran baru untuk siklus selanjutnya, yaitu siklus III yang akan
dilaksanakan untuk mengatasi kelemahan/kekurangan yang terjadi pada
pelaksanaan tindakan siklus II. Siklus III merupakan perencanaan siklus terakhir
dalam tindakan penelitian ini, sehingga pada siklus ini guru dan peneliti berusaha
memperkecil segala kelemahan yang terjadi selama pembelajaran berbicara
berlangsung.
Pada siklus III ini guru juga menerapkan bermain peran sebagai metode
pembelajaran berbicara, namun kompetensi dasar yang dijadikan pedoman
berbeda dengan kompetensi dasar pembelajaran berbicara di kedua siklus
sebelumnya, yaitu” Memerankan Tokoh Drama dengan Lafal, Intonasi, dan
Ekspresi yang Tepat”. Alasan guru dan peneliti mengganti kompetensi dasar
tersebut adalah agar siswa tidak merasa bosan melakukan praktik berbicara dalam
bentuk diskusi yang telah dilakukan dalam siklus I dan II. Meskipun ada
perubahan kompetensi dasar yang digunakan, namun dasar pembelajaran tetap
bertumpu pada standar kompetensi yang sama, yaitu ”Mengungkapkan Pikiran
dan Perasaan Secara Lisan dalam Diskusi dan Bermain Drama”.
Tema pelajaran di siklus III yaitu ”Kesehatan”. Berbeda dengan pelaksanaan
kedua siklus sebelumnya, dalam siklus III ini tugas yang harus dikerjakan siswa,
yaitu melakukan kegiatan bermain drama (sesuai dengan kompetensi dasar) yang
juga dipraktikkan dengan menggunakan metode bermain peran. Adapun skenario
yang akan diperankan oleh kelima kelompok adalah sama, yaitu memerankan
suatu kejadian tentang akibat yang diterima seorang anak karena suka jajan
sembarangan.
Dari pelaksanaan siklus III terbukti bahwa telah terjadi peningkatan proses
dan hasil pembelajaran berbicara dari siklus II. Peningkatan proses dapat dilihat
dari meningkatnya minat dan keaktifan keseluruhan siswa, sedangkan peningkatan
hasil terbukti dari meningkatnya jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar
dari 20 menjadi 24 orang.
Berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan, guru dikatakan telah
berhasil melaksanakan pembelajaran berbicara dengan penerapan metode bermain
peran sehingga mampu menarik minat siswa yang berakibat pada meningkatnya
kemampuan berbicara siswa. Keberhasilan penerapan metode bermain peran
dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran berbicara dapat
dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut:
1. Meningkatnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran berbicara.
Sebelum tindakan penelitian dilaksanakan, siswa terlihat kurang berminat
mengikuti proses pembelajaran berbicara di kelas. Berdasarkan data awal
penelitian, diketahui bahwa jumlah siswa yang menunjukkan minatnya
terhadap pembelajaran berbicara sebanyak 10 orang atau sebesar 42% dari
jumlah keseluruhan 24 orang. Rendahnya minat siswa antara lain disebabkan
oleh cara mengajar guru yang masih bersifat sederhana dan monoton karena
hanya bertumpu pada materi buku pelajaran. Setelah pelaksanaan tindakan,
maka diperoleh kesimpulan bahwa jumlah siswa yang berminat terhadap
pembelajaran berbicara semakin meningkat, yaitu menjadi 54% atau sebanyak
13 orang (di siklus I), 75% atau sebanyak 18 orang (di siklus II), dan 96% atau
sebanyak 23 orang (di siklus III).
2. Meningkatnya keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara.
Keaktifan siswa di setiap siklus semakin menunjukkan adanya
peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan persentase keaktifan
siswa antarsiklus, yaitu dari 25% atau sebanyak 6 orang (di siklus I) menjadi
58% atau sebanyak 14 orang (di siklus II), dan 92% atau sebanyak 22 orang (di
siklus III).
Sebelum tindakan penelitian dilakukan, sebagian besar siswa memang
terlihat kurang aktif di kelas, bahkan saat guru memancing mereka agar berani
mengungkapkan pikirannya secara lisan melalui kegiatan tanya jawab dan
penugasan (praktik berbicara) hanya beberapa siswa saja yang meresponnya
dengan aktif, sementara sisanya tidak berani berpendapat sebelum guru
menunjuknya. Setelah guru menerapkan bermain peran sebagai metode
pembelajaran di kelas, keaktifan siswanya semakin meningkat. Siswa yang
awalnya kurang aktif menjadi aktif, dan siswa yang sudah aktif terlihat
semakin menunjukkan keaktifan.
3. Meningkatnya kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas berbicara.
Sebelum diadakan tindakan, sebagian besar siswa mengalami kesulitan
dalam melakukan praktik berbicara di kelas, mereka merasa sulit
mengungkapkan pikiran maupun perasaannya dalam semua kegiatan yang
berhubungan dengan pembelajaran berbicara, seperti kegiatan tanya jawab,
diskusi, bercerita, maupun berpendapat. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil
observasi kondisi awal siswa saat mengikuti pembelajaran berbicara di kelas.
Sebagian besar siswa masih belum mampu tampil di depan kelas untuk
melakukan praktik berbicara dengan baik, bahkan ada beberapa siswa yang
sama sekali tidak mampu berbicara meskipun dengan bahasa yang sederhana.
Pada dasarnya siswa tampak takut, ragu, dan malu ketika ingin mengeluarkan
pendapat dan menyampaikan perasaanya secara individu.
Rendahnya kemampuan berbicara siswa juga dapat dilihat dari hasil tes
berbicara siswa pada semester I, yaitu hanya 46% atau sebanyak 11 siswa yang
dinyatakan lulus. Setelah diadakan tindakan melalui penerapan metode
bermain peran, kemampuan berbicara siswa mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil wawancara, siswa menyatakan merasa lebih mudah
melakukan praktik berbicara secara berkelompok, sehingga menjadikan mereka
lebih berani dan tidak malu untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya
secara lisan di depan kelas. Siswa yang awalnya tidak mampu berbicara dengan
lancar, setelah tampil secara berkelompok menjadi lebih termotivasi oleh
teman anggota kelompoknya yang telah mampu melakukan praktik berbicara,
siswa juga merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan penampilan
kelompoknya sehingga mereka berusaha untuk bisa melaksanakan tugas guru
dengan sebaik-baiknya. Hal itulah yang membuat kemampuan berbicara siswa
meningkat.
4. Meningkatan nilai yang diperoleh siswa pada setiap siklus.
Penilaian dalam pembelajaran berbicara selama pelaksanaan tindakan
dijabarkan dalam dua kategori, yaitu (a) penilaian proses dan (b) penilaian
hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung
yang bertujuan untuk menilai sikap siswa dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran. Penilaian hasil dilakukan berdasarkan unjuk kerja yang
dilakukan siswa ketika melakukan tugas atau praktik berbicara.
Dalam penilaian proses digunakan lembar penilaian sikap (afektif) yang terdiri
dari aspek: (1) kedisiplinan; (2) minat; (3) keaktifan; (4) kerja sama; dan (5)
kesungguhan siswa. Dalam penilaian hasil praktik berbicara, beberapa aspek
yang dinilai, yaitu: (1) ketepatan pengucapan; (2) ketepatan intonasi; (3)
ketepatan bahasa; (4) keurutan; (5) kelancaran/kewajaran; dan (6) pemahaman.
Guru menetapkan batas minimal ketuntasan belajar siswa sebesar 60,
dari batasan tersebut diperoleh hasil ketuntasan belajar siswa pada siklus I
sebesar 62% atau sebanyak 15 siswa. Pada siklus II diperoleh hasil ketuntasan
belajar siswa sebesar 83% atau sebanyak 20 siswa, dan pada siklus III
diperoleh hasil ketuntasan belajar siswa sebesar 100% atau sebanyak 24 siswa.
Adapun hasil pelaksanaan tindakan siklus I hingga siklus III dapat
digambarkan pada rekapitulasi data di bawah ini.
Tabel 7. Deskripsi Antarsiklus Persentase
No.
Indikator Siklus I Siklus II Siklus III
1. Minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara
54% 75% 96%
2. Keaktifan siswa selama mengikuti pembelajaran berbicara
25% 58% 92%
3. Kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas berbicara
62% 83% 100%
Berdasarkan data rekapitulasi di atas, dapat dinyatakan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan pada indikator yang ditetapkan peneliti dari hasil
pelaksanaan tindakan siklus I, siklus II, dan siklus III. Hal ini membuktikan
bahwa penerapan metode bermain peran cukup efektif untuk meningkatkan
minat, keaktifan, serta kualitas hasil pembelajaran yang berupa keterampilan
berbicara siswa kelas V SD Negeri Kopen I Teras Boyolali.
Selain melihat ketercapaian indikator-indikator di atas, keberhasilan
penerapan metode bermain peran juga dapat dilihat dari hasil wawancara dan
pengisian angket pascatindakan oleh siswa. Dari 11 informan yang
diwawancarai, semuanya menyatakan senang melakukan praktik berbicara
dengan menggunakan metode bermain peran, karena melalui bermain peran
mereka merasa lebih mudah untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Selain itu mereka menyatakan senang melaksanakan tugas berbicara secara
berkelompok. Adapun hasil yang diperoleh dari pengisian angket
pascatindakan menunjukkan keadaan sebagai berikut:
Tabel 8. Hasil Angket Pascatindakan
NO. JUMLAH URAIAN
1. 100% siswa Menyatakan merasa senang melakukan praktik berbicara di depan kelas secara berkelompok.
2. 96% siswa Menyatakan senang mengikuti pelajaran berbicara dengan metode bermain peran.
3. 92% siswa Menyatakan sudah paham dengan metode bermain peran yang dijelaskan guru.
4. 54% siswa Menyatakan tidak mengalami kesulitan saat bermain bermain peran.
5. 83% siswa Menyatakan merasa lebih mudah mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan melalui bermain peran.
6. 100% siswa Menyatakan bahwa kemampuan berbicara mereka semakin meningkat dengan penerapan bermain peran.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Simpulan
Simpulan dari penelitian ini, yaitu:
1. Penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini ditandai dengan persentase minat,
keaktifan, serta nilai rata-rata proses pembelajaran siswa mengalami
peningkatan dalam tiap siklusnya. Pada siklus I, rata-rata nilai proses
pembelajaran berbicara siswa sebesar 41,7; Pada siklus II sebesar 57,3; dan
pada siklus III sebesar 66,7. Di samping itu, siswa juga terlihat lebih rileks di
dalam mengikuti proses pembelajaran, hal ini disebabkan karena situasi
pembelajaran yang diciptakan melalui penerapan metode bermain peran hampir
sama dengan situasi bermain. Jadi siswa merasa lebih nyaman dan mudah
dalam menginterpretasikan tugas mereka.
2. Penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara
siswa. Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata keterampilan berbicara siswa yang
mengalami peningkatan pada tiap siklusnya, yaitu siklus I sebesar 60,9; siklus
II sebesar 72,6; dan siklus III sebesar 76,1. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kualitas hasil pembelajaran berbicara siswa kelas V SD Negeri kopen I
Teras Boyolali telah meningkat. Terbukti dari 24 jumlah siswa, semuanya telah
mengalami ketuntasan belajar dengan mendapatkan nilai di atas 60 (standar
ketuntasan).
Implikasi Implikasi yang diperoleh dari penelitian ini meliputi: a) implikasi teoretis, b) implikasi pedagogis, dan c)
implikasi praktis.
a) Implikasi Teoretis
Penerapan metode bermain peran terbukti dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil dalam pembelajaran keterampilan berbicara, karena bermain peran merupakan metode belajar sambil bermain yang sesuai dengan karakteristik siswa dekolah dasar. Dalam bermain peran, siswa berperan secara aktif menjadi tokoh atau orang lain sesuai pembahasan tema pelajaran pada saat itu. Kegiatan dan keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh kemampuan siswa sendiri dalam menguasai materi dan mengungkapkan ide serta gagasannya dalam bentuk praktik berbicara sambil berperan di kelas. Oleh karena itu guru tidak lagi menjadi satu-satunya penentu keberhasilan dalam pembelajaran, namun siswalah yang menjadi pusat kegiatan pembelajaran. Peran guru di sini hanya sebagai mediator, motivator, dan fasilitator belajar siswa.
Selain guru dan siswa, faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran berbicara seperti metode, media, dan sumber belajar yang tepat perlu diperhatikan agar materi dapat tersampaikan dengan baik. Hal penting yang harus dimiliki siswa adalah minat, motivasi, keaktifan, dan kesungguhan dalam belajar. Pemenuhan akan faktor-faktor di atas, tercermin pada keterampilan guru dalam mengelola kelas.
b) Implikasi Pedagogis
Metode pembelajaran berbicara yang dilakukan guru selama ini membuat para siswa merasa bosan, karena siswa hanya ditugasi tampil ke depan kelas secara individu untuk menceritakan pengalaman berkesan atau pun menceritakan kembali dongeng yang telah mereka simak sebelumnya. Namun setelah guru menerapkan metode bermain peran yang dapat dilakukan siswa secara berkelompok, siswa menjadi lebih antusias dan aktif merespons kegiatan tersebut. Dalam bermain peran siswa tidak hanya dilatih keterampilan berbicaranya, tetapi siswa juga dibiasakan untuk menggali pengetahuan dan keberanian, serta menangkap respons yang ada di dalam pikiran masing-masing secara spontan. Respons-respons tersebut kemudian ditanggapi secara aktif melalui kegiatan berbicara.
Penelitian ini membuktikan bahwa dengan penerapan metode bermain peran dapat membuat siswa lebih aktif dan berminat dalam mengikuti pembelajaran berbicara, serta meningkatkan kualitas hasil pembelajaran yang ditandai dengan tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
c) Implikasi Praktis
Metode bermain peran ini lebih efektif dan efisien dibanding dengan metode konvensional yang pada umumnya masih sering digunakan guru dalam pembelajaran berbicara. Dikatakan efektif karena penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa kualitas proses dan hasil pembelajaran dapat meningkat setelah diterapkannya metode bermain peran di kelas. Oleh karena itu penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan pengajaran bahasa yang lebih kreatif dan inovatif, serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi guru yang ingin menerapkan metode bermain peran dikelasnya.
Saran Berkaitan dengan simpulan di atas, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:
Siswa seharusnya memahami bahwa keterampilan berbicara merupakan hal
penting yang harus dikuasai, untuk itu siswa perlu mengikuti pembelajaran
berbicara dengan penuh kesungguhan agar siswa memiliki keterampilan
berbicara yang baik.
Siswa diharapkan dapat bekerja sama dengan baik jika guru menghendaki
mereka untuk melaksanakan tugas secara berkelompok.
Guru bidang studi Bahasa Indonesia hendaknya menerapkan metode bermain
peran dalam kegiatan belajar mengajar khususnya pada pengajaran
berbicara, karena metode bermain peran lebih efektif dibandingkan
dengan metode konvensional yang pada umumnya masih sering digunakan
dalam pembelajaran berbicara.
Pihak sekolah hendaknya menyediakan fasilitas yang memadai bagi para guru
untuk dapat menerapkan metode bermain peran dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas.
Mengingat metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses dan
hasil pembelajaran berbicara, maka untuk kelas dengan karakteristik yang
relatif sama dapat menerapkan metode serupa untuk meningkatkan kualitas
pembelajarannya.
DAFTAR PUSTAKA Anang Prasetyo. 2000. Metode Role Playing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Biologi Siswa Kelas II SMPN 1 Driyorejo Gresik. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam http://pelangi.dit.plp.go.id. Diakses pada 4 Mei 2009.
Arief S. Sadiman, R. Rahardjo, Anung Haryono dan Rahardjito. 2008. Media
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Burhan Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra,
edisi ketiga. Yogyakarta: BPFE. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara. Darmiyati Zuchdi dan Budiasih. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar:
Garis-garis Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Standar Isi: Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia Untuk SD/MI. Jakarta: Diknas. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Duveen, Jonathan and Solomom, Joan. 1994. The Great Evolution Trial: Use of
Role Play in the Classroom Dalam Journal of Research in Science Teaching. Volume 51. No. 5. 575- 582. New York.
Gino, dkk. 1996. Belajar dan Pembelajaran I. Surakarta: UNS Press. Gorys Keraf. 2001. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa,
cetakan XII. Ende: Nusa Indah. Herman J. Waluyo. 2002. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya. Hisyam Zaini, Bermawy Munthe dan Sekar Ayu Aryani. 2007. Strategi
Pembelajaran Aktif, cetakan keenam. Yogyakarta: CTSD Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kiranawati. 2007. Metode Role Playing. Dalam http://gurupkn.wordpress.com. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2008.
Made Pidarta. 1990. Cara Belajar Mengajar Di Universitas Negara Maju.
Jakarta: Bumi Aksara. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. 1991. Kemampuan Berbicara Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga. Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif
(Diterjemahkan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press. Moch. Zamroni. 2006. Skripsi: Konflik dalam Naskah Drama Dag Dig Dug
Karya Putu Wijaya. Dalam http://skripsi.dagdigdug.com. Diakses pada 10 Desember 2008.
Mudairin. 2003. Role play: Suatu Alternatif Pembelajaran yang Efektif dan
Menyenangkan dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik Dalam Buletin Pelangi Pendidikan (Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP) Volume 6 No. 2.
Nana Sudjana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Nurhatim. 2009. Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan
Kemampuan Menceritakan Isi Cerpen Siswa Kelas X SMA Darul Quran Singosari. Skripsi. Fakultas Sastra UM. Dalam http://karya-ilmiah.um.ac.id. Diakese pada 28 Mei 2009.
Oemar Hamalik. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. . 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakarta: Bumi Aksara. Ratri. 2008. Mengajar Dengan Bermain Peran (Role Play). Dalam
http://lead.sabda.org/03/sep/2008. Diakses pada tanggal 4 Mei 2009. Roestiyah N.K. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Rochiati Wiriaatmadja. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Rusliawarni. 2005. Berbicara Melalui Dramatisasi. Dalam
http://www.balipost.com/balipostcetak/htm. Diakses pada tanggal 16 September 2008.
Sasaki, Miyuki. 1998. Investigating EFL Students’ Production of Speech Acts: A Comparison of Production Questionnaires and Role Play Dalam Journal of Pragmatics. Volume 30. 457- 484. Amsterdam: Elsevier.
Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif
(Diterjemahkan Raisul Muttaqien). Bandung: Nusamedia. Sri Utari Subyakto Nababan. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Sudijono. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara. Suharyanti. 1996. Berbicara. Surakarta: UNS Press. Supriyadi. 2005. Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas
Rendah Sekolah Dasar Dalam Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 6 No. 2. 178-195. Palembang: PSPB-Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Henry Guntur Tarigan. 1985. Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa. Yuni Susilowati. 2008. Peningkatan Keterampilan Bercerita Dengan Metode
Paired Storytelling Pada Siswa Kelas V SD Negeri pringanom I Masaran Sragen. Skripsi. Surakarta: (Tidak Dipublikasikan) FKIP UNS.
Recommended