View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS
MELAKSANAKAN IBADAH DENGAN
KEMATANGAN KEPRIBADIAN SISWA DI SMKN 3
SALATIGA TAHUN PELAJARAN 2013/2014
SKRIPSI
Diajukan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
MAZIIDATUN NI’MAH
NIM 1110169
JURUSAN TARBIYAH
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2014
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
ِ�ْ�ِ� ا���ِ� ا���ْ�َ�ِ ا���ِ��ِ��ِ�َ�ً� } 27{َ��َأ��ُ�َ�� ا���ْ�ُ� اْ�ُْ�َِ���ُ� ْ�َ+�ْدُ(ِ)$ } 28{اْرِ&ِ%$ ِإ�َ" َر! ِ� َراِ�َ�ً� َ
}30{َواْدُ(ِ)$ َ&��ِ�$ } 29{+ِ$ ِ.َ-�ِدي
Artinya: “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30) (Depag, 2010:593).
Persembahan:
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ayah dan Ibu yang telah dengan rela hati mengorbankan masa lapang dan
sempitya untuk menyayangiku,
yang masih diusahakan masanya bagiku dengan izin dan kuasa-Nya
untuk menjadi penyejuk hatimu (qurratu a’yun).
Adik-adikku yang semakin beranjak besar dan dewasa, yang senantiasa inginku
rengkuh untuk menjadi penguat dalam setiap tumbuh kembang kalian.
Seluruh keluarga besar ayah dan ibu,
dan seluruh teman-teman sepanjang sejarah hidupku.
Pembaca yang budiman.
Dan sekalian insan yang telah memberikan warna, nuansa, dan sentuhan nurani
dalam sepenggal kisah perjalanan hidup seorang anak manusia, sepertiku.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan
ke hadirat Ilahi Rabbi, Allah Swt, yang telah memberikan hidayah, rahmat,
nikmat, dan taufiq-Nya sehingga penelitian berjudul “Hubungan Antara Intensitas
Melaksanakan Ibadah dengan Kematangan Kepribadian Siswa di SMKN 3
Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014” ini bisa terselesaikan. Skripsi ini penulis
susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan Islam.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada beliau Nabi Muhammad Saw,
para keluarga, sahabat, dan umat-umatnya.
Dalam penelitian ini, tentunya tidak akan terselesaikan tanpa ada dukungan,
bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak yang terkait. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Rasimin, S. PdI., M.Pd selaku ketua program studi Pendidikan Agama Islam
(PAI)
3. Muna Erawati, M.Si selaku dosen pembimbing dan sang motivator
4. Segenap dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Segenap warga sekolah SMKN 3 Salatiga, Bapak Drs. Hadi Sutjipto, MT
selaku kepala sekolah, Ibu Sri Supadmi, S. Pd. dan Bapak Dulhadi,S.Ag.
selaku pembimbing dan pengarah di lokasi penelitian.
6. Segenap sahabat tercinta, senasib, seperjuangan, para mahasiswa PAI
angkatan 2010.
viii
ix
ABSTRAK
Ni’mah, Maziidatun. 2014. Hubungan Antara Intensitas Melaksanakan Ibadah
dengan Kematangan Kepribadian Siswa di SMK Negeri 3 Salatiga Tahun
Pelajaran 2013/2014. Skripsi, Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan
Agama Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Muna
Erawati, M.Si.
Kata kunci: intensitas ibadah, kematangan kepribadian
Intensitas ibadah adalah kesungguhan dalam melaksanakan aktivitas yang disukai
oleh Allah Swt, yang dalam hal ini yaitu shalat fardlu, puasa senin-kamis,
shadaqah, dan qira’atul qur’an, yang diungkap dengan menggunakan Angket
Intensitas Melaksanakan Ibadah. Semakin banyak skor yang diperoleh subjek
pada angket ini, maka menunjukkan semakin tinggi intensitas dalam
melaksanakan ibadah. Kematangan kepribadian adalah keadaan individu yang
memiliki wawasan diri yang luas, persepsi yang objektif, dan filsafat hidup yang
menyatu, yang diungkap dengan menggunakan Angket Kematangan Kepribadian.
Semakin banyak skor yang diperoleh subjek pada angket ini, maka menunjukkan
semakin matang kepribadian subjek. Penelitian ini merupakan suatu upaya untuk
mengetahui tingkat intensitas pelaksanaan ibadah dan kematangan kepribadian
siswa. Ada tiga pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana
intensitas siswa SMKN 3 Salatiga dalam melaksanakan ibadah di Tahun Pelajaran
2013/2014? (2) Bagaimana tingkat kematangan kepribadian siswa SMKN 3
Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014? (3) Adakah hubungan antara intensitas
melaksanakan ibadah dengan kematangan kepribadian siswa SMKN 3 Salatiga
Tahun Pelajaran 2013/2014?. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik angket dan dokumentasi. Subjek penelitian yang dilibatkan
sebanyak 132 orang, populasi dalam studi ini adalah siswa kelas XI di SMKN 3
Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014. Sampel ditetapkan dengan teknik Stratified
Random Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan memperhatikan
strata/tingkatannya, dalam hal ini ialah strata/tingkatan kelasnya. Data
dikumpulkan dengan menggunakan instrumen angket intensitas melaksanakan
ibadah dan kematangan kepribadian. Analisis data dilakukan dengan bantuan
program SPSS (Statistical Packade for Social Sciences) 16 dengan teknik analisis
korelasi Pearson Product Moment. Temuan riset ini adalah: Pertama, tingkat
intensitas melaksanakan ibadah siswa SMKN 3 Salatiga termasuk dalam kategori
rendah sebanyak 52 subjek dengan prosentase 39,39%. Kedua, tingkat
kematangan kepribadian siswa SMKN 3 Salatiga termasuk dalam kategori tinggi
yaitu sebanyak 48 subjek dengan prosentase 36,36%. Ketiga, setelah dianalisis
menggunakan formula product moment. Penulis menemukan korelasi yang
signifikan sebesar 0,595 pada taraf signifikansi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa
ada hubungan yang positif antara intensitas melaksanakan ibadah dengan
kematangan kepribadian siswa di SMKN 3 Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN LOGO ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 6 C. Tujuan Penelitian 6 D. Kegunaan Penelitian 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Intensitas Melaksanakan Ibadah 8 B. Kematangan Kepribadian 32 C. Hubungan antara Melaksanakan Ibadah dengan Kematangan
Kepribadian pada Remaja 49
Bab III METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian 52 B. Tempat dan Waktu Penelitian 52 C. Variabel Penelitian 52 D. Operasionalisasi Penelitian 53 E. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 55 F. Teknik Pengambilan Data 55 G. Instrumen Penelitian 56 H. Uji Validitas, Daya Beda, dan Reliabilitas 58 I. Teknik Analisis Data 61
BAB IV PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 63 B. Gambaran Subjek 70 C. Uji-uji Asumsi 70 D. Data Deskriptif 73 E. Pengujian Hipotesis 79
xi
F. Pembahasan 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 84 B. Saran-saran 85
Daftar Pustaka 86
Lampiran-lampiran
xii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 3.1 Instrumen Angket Intensitas Melaksanakan Ibadah.................. 57
Tabel 3.2 Instrumen Angket Kematangan Kepribadian ........................... 57
Tabel 4.1 Interval Intensitas Melaksanakan Ibadah ................................. 76
Tabel 4.2 Interval Tingkat Kematangan Kepribadian .............................. 78
Tabel 4.3 Rangkuman Data Deskriptif .................................................... 79
Tabel 4.4 Nilai Product Moment ............................................................. 80
Grafik 4.1 Karakteristik Subjek ............................................................... 70
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti
Lampiran 2 Surat Nota Pembimbing
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4 Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 5 Proposal Penelitian
Lampiran 6 Lembar Konsultasi
Lampiran 7 Data Sarana dan Prasarana
Lampiran 8 Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Lampiran 9 Data Kesiswaan
Lampiran 10 Data Subjek Penelitian
Lampiran 11 Instrumen Angket
Lampiran 12 Data Jawaban Angket Intensitas Melaksanakan Ibadah
Lampiran 13 Data Penskoran Jawaban Angket Intensitas Melaksanakan Ibadah
Lampiran 14 Data Jawaban Angket Kematangan Kepribadian
Lampiran 15 Data Penskoran Angket Kematangan Kepribadian
Lampiran 16 Output SPSS Versi 16 Untuk Uji Validitas
Lampiran 17 Output SPSS Versi 16 Untuk Uji Daya Beda
Lampiran 18 Output SPSS Versi 16 Untuk Uji Reliabilitas
Lampiran 19 Nilai SKK
1
BAB I
PENDAHULUAN
E. Latar Belakang Masalah
Setiap orang dilahirkan sebagai individu yang unik dengan berbagai latar
belakang yang kemudian memunculkan beragam karakter/pribadi. Allah Swt
telah melekatkan pada setiap insan dengan kekuatan akal untuk berpikir, hati
untuk merasa, dan tubuh untuk bertindak sebagai bekal penunjang
keberlangsungan hidupnya. Setiap pribadi memiliki respon dan caranya
masing-masing dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang datang dari
dalam dirinya sendiri, pun dari luar dirinya untuk menjadi sarana
mendewasakan diri, sehingga menjadi sosok pribadi yang lebih baik dan/
matang terlebih bagi kaum remaja.
Masa remaja adalah masa perkembangan yang berlangsung sejak
berakhirnya masa kanak-kanak hingga awal masa dewasa. Masa remaja adalah
masa pencarian identitas diri. Conger dalam Makmun (2009:132) berpendapat
bahwa masa remaja itu sebagai suatu masa yang amat kritis yang mungkin
dapat merupakan the best of time and the worst of time. Kalau individu mampu
mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya secara integratif, ia akan
menemukan identitasnya yang akan dibawanya menjelang masa dewasanya.
Sebaliknya, kalau gagal, ia akan berada pada krisis identitas (identity crisis)
yang berkepanjangan. Apabila krisis identitas ini terjadi, maka dimungkinkan
akan berdampak pada terbentuknya sistem kepribadian yang buruk, yang dapat
mengganggu perkembangan pada masa berikutnya. Kepribadian tidak begitu
2
saja terbentuk tapi melalui proses dari pengalaman-pengalaman yang didapat
dari kehidupannya dan lingkungannya.
Secara umum, lingkungan menurut Sarwono (1997) terbagi kedalam 3
kelompok, yaitu pertama, keluarga sebagai pondasi utama. Kedua, sekolah
sebagai lingkungan pendidikan sekunder. Ketiga, masyarakat sebagai
lingkungan tertier. Ketiga lingkungan tersebut memiliki peranan penting dalam
membentuk pribadi seseorang secara langsung maupun tidak langsung dengan
porsinya masing-masing. Keluarga merupakan tempat pertama dan primer bagi
remaja untuk mendapat penanaman pondasi-pondasi luhur dalam dirinya,
sehingga remaja memiliki imunitas terhadap hal-hal negatif yang mungkin
muncul di luar lingkungan keluarganya. Namun sayangnya, tidak semua
keluarga dalam hal ini kedua orang tua berkesempatan untuk menjadi role
model (panutan atau teladan), menanamkan pondasi-pondasi luhur kepada
anaknya. Hal ini bisa dilatarbelakangi oleh beragam alasan, seperti kesibukan
kerja, latar belakang pendidikan/pengalaman orang tua, atau kualitas
pertemuan keduanya.
Selanjutnya, lingkungan masyarakat sendiri saat ini tengah dihadapkan
pada masalahnya sendiri. Era globalisasi yang memunculkan terjadinya
interaksi dan ekspansi kebudayaan yang ditandai dengan semakin
berkembangnya pengaruh budaya pengagungan materi secara berlebihan
(materialistik), pemisahan kehidupan duniawai dari supremasi agama
(sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani
(hedonistik) (Noor, 2012:51). Tentu hal ini menjadi sinyal negatif bagi tumbuh
3
kembang keribadian remaja. Lingkungan masyarakat bukan zona aman bagi
remaja dan jika pun ada maka hanya sedikit atau sulit jangkauannya. Namun,
optimisme haruslah tetap ditegakkan. Seperti yang pernah disampaikan oleh
mantan Presiden RI, (Alm.) Bapak Soeharto dalam petikan pidatonya yang
berbunyi: “pro globalisasi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa
menghindar dari arus besar globalisasi. Masalahnya, bagaimana kita
menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus
besar itu” (Soyomukti, 2010:43). Terlihat bahwa arus globalisasi memang tidak
bisa dihentikan, ia membawa dampak tersendiri bagi masyarakat di Negara
maju seperti halnya Indonesia. Semua pihak diharapkan bisa menghadapinya
dengan apik sehingga mampu menyesuaikan diri dan memetik manfaatnya,
bukan malah terbawa arus perubahan yang cenderung membawa ke sisi negatif
seperti budaya hidup materialistik, sekularistik, dan hedonistik.
Lingkungan sekolah dipandang memiliki peran dominan dibanding
lingkungan keluarga dan masyarakat. Lingkungan sekolah diharapkan mampu
membentengi para remaja dalam menghadapi kompleksitas masalah yang akan
dihadapinya sebagai akibat era globalisasi. Sekaligus menjadi tempat untuk
menanamkan pondasi-pondasi luhur yang belum sempat diberikan orang tua.
Menyadari besarnya tanggungjawab tadi, maka sejak dini para remaja
yang notabene masih melalui masa transisi ini perlu mendapat perhatian
khusus, salah satunya dengan mengembangkan kepribadiannya melalui
pendekatan spiritualitas/keagamaan yang tercermin dalam berbagai aktivitas
ibadah yang diselenggarakan dan/ terjadi dalam lingkungan sekolah/lembaga
4
pendidikan. Ibadah sendiri dengan berbagai variannya sebetulnya bukan
semata hanya rutinitas atau aktivitas fisik yang tanpa makna. Disadari atau
tidak setiap ibadah mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang baik. Islam
menegaskan bahwa kepribadian seorang muslim yang paling tinggi (muttaqien)
ditandai paling tidak tiga hal, yaitu al-birru fil ‘aqidah, al-birru fil amal, dan
al-birru fil khuluq (Islamiyah, 2012:88). Hal ini termuat dalam QS. Al-Baqarah
ayat 177:
��َ? ِ!��)َِّ< َواْ�9ْ�َِم َ�ْ�َ� اْ�ِ-�َّ َأْن ُ;9َ�9ُّا ُوُ&9َه6ْ7ُ 5َِ-4َ اْ�َ3َِْ@ ?ْ�َ َّ��ِب َوَ�7ِٰ?َّ اْ�ِ-ِCَْ�ِْق َوا�َ!"ٰ َواْ�َ�َ��َ�"ٰ َواْ�َْEُ�َْذِوي ا >ِِّ-Gُ ٰ"(َ.َ َل�7َِ� َواْ�7َِ��ِب َوا��َِّ-�ِّ�َ? َو@َ;" اْ�َIِ�(ََ�َْوا �ِ)ِJ�ِْآ�َ? ا�Lَ
َوَأ�5ََم ا�Pََّ)�َة َو@َ;" ا�Oََّآ�َة َواْ�ُ9ُ+9َن ِ!َ%Mِ�ِْه6ْ ِإَذا َ.�َهMُوا َواْ!َ? ا�Lَِّ-�4ِ َوا�Iِ�َّLِ)�َ? َوِ+$ ا���5َِِّب�َّاِء َو�Gَِ? اْ�َ-Vِْس ۗ ُأوَ�ِٰ�َ� ا�95ُMَRَ ?َ�Sَِّا ۖ َوُأوَ�ِٰ�َ� ُه6ُ اْ�ُ�ََّّX�ِء َوا�YَVْ-َ�ْا $+ِ ?َ��ِ!ِ�َّP�9َنۖ َواEُ
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang
yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa” (Depag, 2010:27)
SMKN 3 Salatiga merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
memasukkan pendekatan keagamaan dalam proses pendidikannya. Sekolah ini
menghendaki sekolahnya menjadi sekolah unggul dengan berbagai harapan
luhur untuk para peserta didiknya, diantaranya mewujudkan kualitas peserta
didik yang memiliki keseimbangan antara soft competency dan hard
competency (http://www.smkn3salatiga.sch.id/). Menggalakkan berbagai
aktivitas ibadah/keagamaan merupakan salah satu strategi untuk
mewujudkannya. Berdasarkan pengalaman PPL tahun 2013 peneliti,
5
pelaksanaan ibadah/keagamaan ini terlihat diantaranya dengan mengadakan
shalat dzuhur berjamaah secara bergilir, dan shadaqah setiap seminggu sekali.
Hal ini menarik karena melihat latar belakang SMK sendiri di mata
masyarakat luas biasanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang lebih
mengutamakan pendidikan umum dan bidang kejuruan sesuai bidang yang
diselenggarakan sekolah tersebut, yang memisah dengan aktivitas
ibadah/pendidikan keagamaan. Melihat kenyataan lain yang terjadi di SMKN
3 Salatiga tadi tentu membawa pandangan baru sekaligus membahagiakan bagi
masyarakat luas terlebih bagi orang tua peserta didik. Sebab, setiap orang tua
berkeinginan mempunyai anak yang berkepribadian baik, dan setiap orang tua
bercita-cita mempunyai anak saleh yang senantiasa membawa harum nama
orang tuanya, karena anak yang baik merupakan kebanggaan orang tua. Anak
yang saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya merupakan amal baik
bagi orang tua yang akan mengalir terus-menerus pahalanya walaupun orang
itu sudah meninggal dunia (Majid & Andayani, 2004:137).
Berdasar uraian teori, pendapat, penjelasan di atas dan didasari pula oleh
pengalaman langsung yang didapat oleh peneliti selama melaksanakan PPL di
SMKN 3 Salatiga pada bulan Juli tahun 2013 serta dengan berbagai
pertimbangan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam
mengenai aktivitas/pelaksanaan ibadah dan kaitannya dengan kematangan
kepribadian. Untuk itu dengan mengucap bismillah seraya memantapkan hati
penulis mengangkat penelitian dengan judul:
6
“HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS MELAKSANAKAN
IBADAH DENGAN KEMATANGAN KEPRIBADIAN SISWA DI SMKN
III SALATIGA TAHUN PELAJARAN 2013/2014”.
F. Rumusan Masalah
1. Bagaimana intensitas siswa SMKN III Salatiga dalam melaksanakan ibadah
di Tahun 2013/2014?
2. Bagaimana tingkat kematangan kepribadian siswa SMKN III Salatiga
Tahun 2013/2014?
3. Adakah hubungan antara intensitas melaksanakan ibadah dengan
kematangan kepribadian siswa SMKN III Salatiga Tahun 2013/2014?
G. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui intensitas siswa SMKN III Salatiga dalam melaksanakan
ibadah di Tahun 2013/2014.
2. Untuk mengetahui tingkat kematangan kepribadian siswa SMKN III
Salatiga Tahun 2013/2014.
3. Untuk mengetahui hubungan antara intensitas melaksanakan ibadah dengan
kematangan kepribadian siswa SMKN III Salatiga Tahun 2013/2014.
H. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoretis
Adanya penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
keilmuan dalam dunia pendidikan lebih khusus pada bidang pendidikan
keagamaan.
7
2. Manfaat praktis
Adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi setiap
lembaga pendidikan dalam menggunakan pendekatan keagamaan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di lembaga masing-masing.
Sistematika penulisan dalam skripsi ini sedikit berbeda dengan sistematika
yang biasa berlaku di STAIN Salatiga. Kelengkapan sistematika penulisan skripsi
yang mengacu pada buku pedoman skripsi STAIN Salatiga, penulis sajikan dalam
bab-bab selanjutnya dan bisa dilihat lebih jelas dalam lampiran proposal
penelitian. Adapun uraiannya yaitu:
a. Hipotesis penelitian termuat dalam bab II
b. Definisi operasional dan metode penelitian termuat dalam bab III
c. Sistematika laporan penelitian termuat dalam proposal penelitian yang
terlampir
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
D. Intensitas Melaksanakan Ibadah
1. Intensitas
Intensitas merupakan serapan dari kata “intensity” dalam bahasa
Inggris. Kata “intensity” diartikan sebagai kehebatan, sedang akar katanya
yaitu “intense” berarti hebat, kuat, yang bersemangat (Echlos & Shadily,
2005:326). Di Indonesia sendiri, menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata
intensitas terbentuk dari Intens /inténs/ adv 1 hebat atau sangat kuat
(tentang kekuatan, efek, dsb); 2 tinggi (tentang mutu); 3 bergelora,
menyala-nyala, berapiapi, berkobar-kobar (tentang perasaan); 4 sangat
emosional (tentang orang), intensitas /inténsitas/ n keadaan, tingkatan, dan
ukuran intensnya (Depdiknas, 2008:594). Dari kedua pengertian tadi maka
dapat diartikan bahwa intensitas adalah kekuatan/kesungguhan yang
tercermin pada tingkat frekuensi, kuat-lemah, tinggi-rendah, semangat
baik dari tindakan atau perasaan dalam melaksankan sebuah
aktivitas/usaha untuk mendapat efek/hasil yang maksimal/mutu yang
tinggi. Dalam hal ini kekuatan/kesungguhan dan semangat dalam
menjalankan sebuah aktivitas erat kaitannya dengan motivasi. Motivasi
diartikan juga sebagai suatu kekuatan (power) atau tenaga (forces) atau
daya (energy) (Makmun, 2009:37). Dari pengertian ini diketahui bahwa
intensitas dan motivasi menggambarkan tentang adanya kekuatan/daya
dalam beraktivitas/melakukan sebuah hal. Kesamaan ini kemudian
9
diadopsi pula dalam penelitian ini untuk menentukan indikator intensitas
dari indikator motivasi. Untuk mengidentifikasi motivasi ini Makmun
(2009:40) memberikan beberapa indikatornya dalam term-term tertentu,
antara lain:
a) Durasinya kegiatan (berapa lama kemampuan penggunaan waktunya
untuk melakukan kegiatan);
b) Frekuensinya kegiatan (berapa sering kegiatan dilakukan dalam
periode waktu tertentu)
c) Persistensinya (ketetapan dan kelekatannya) pada tujuan kegiatan
d) Ketabahan, keuletan, dan kemampuannya dalam menghadapi rintangan
dan kesulitan untuk mencapai tujuan;
e) Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan
jiwanya atau nyawanya) untuk mencapai tujuan;
f) Tingkat aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita, sasaran atau target,
dan idolanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan;
g) Tingkatan kualifikasi prestasi atau produk atau output yang dicapai
dari kegiatannya (berupa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau
tidak);
h) Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatan (like or dislike; positif atau
negatif)
Intensitas sendiri merupakan realitas dari motivasi yang digunakan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan prestasi, sebab
ketika seseorang melakukan suatu usaha dengan penuh semangat biasanya
10
karena adanya motivasi, yang berfungsi sebagai pendorong pencapaian
prestasi tadi. Dalam menetukan intensitas, menurut Guru (2011) dapat
dilihat dari beberapa indikator yaitu:
a) Motivasi
Motivasi diartikan juga sebagai suatu kekuatan (power) atau tenaga
(forces) atau daya (energy); atau suatu keadaan yang kompleks (a
complex state) dan kesiapsediaan (preparatory set) dalam diri individu
(organisme) untuk bergerak (to move, motion, motive) ke arah tujuan
tertentu, baik disadari maupun tidak disadari (Makmun, 2009:37).
Motivasi berarti kekuatan yang melatar belakangi seseorang dalam
beraktivitas/bergerak untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah alasan
mendasar seseorang dalam bertindak. Alasan ini bisa datang dari
kesadaran/dalam diri sendiri (intrinsik) atau karena adanya rangsangan
yang datang dari luar dirinya (ekstrinsik).
b) Durasi kegiatan
Dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:141)
durasi bermakna lama, periode, tempo, termin, waktu. Menurut Guru
(2010) durasi kegiatan yaitu berapa lamanya kemampuan penggunaan
untuk melakukan kegiatan. Durasi kegiatan menunjukkan pada
tingkatan keadaan/waktu lamanya seseorang dalam melaksanakan
sebuah aktivitas/kegiatan. Secara sederhana durasi mencerminkan pada
penggunaan/pemanfaatan waktu untuk memperoleh hasil yang baik
dalam beraktivitas.
11
c) Frekuensi kegiatan
Frekuensi dapat diartikan dengan kekerapan atau kejarangan
kerapnya (Poerwadarminta, 1984:283). Menurut Guru (2010) frekuensi
yang dimaksud adalah seringnya kegiatan itu dilaksanakan dalam
periode waktu tertentu. Frekuensi berarti menunjukkan pada sering
atau tidaknya, tinggi-rendah, kuat-lemah aktivitas yang dijalani
seseorang.
d) Presentasi
Menurut Guru (2010), Presentasi yang dimaksud adalah gairah,
keinginan atau harapan yang keras yaitu maksud, rencana, cita-cita
atau sasaran, target dan idolanya yang hendak dicapai dengan kegiatan
yang dilakukan. Presentasi menunjukkan pada kuatnya keinginan
seseorang yang dimunculkan dalam bentuk rencana, cita-cita, harapan,
atau capaian target dalam suatu aktivitas.
e) Sikap
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, sikap berarti (1) tokoh atau
bentuk tubuh; (2) cara berdiri (tegak, teratur, atau dipersiapkan untuk
bertindak); (3) perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada
pendirian, keyakinan; (4) perilaku; gerak-gerik, tingkah laku, gaya
(Depdiknas, 2008:1446). Sikap berarti juga sebagai sebuah respon
terhadap suatu keadaan, respon ini bisa bersifat positif yaitu dengan
12
mengapresiasi, menerima atau negatif yaitu menolak, menghindar,
acuh tak acuh.
f) Minat
Dalam Kamus Bahasa Indonesia minat berarti kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu; perhatian; kesukaan (Depdiknas,
2008:1027). Minat adalah ketertarikan yang timbul dari seseorang pada
sesuatu/aktivitas tertentu karena merasakan adanya kesukaan atau
makna yang diperoleh dari sesuatu/aktivitas tadi.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa antara intensitas dan
motivasi sama-sama mengarah pada sebuah daya/kekuatan. Kesamaan ini
kemudian mengarah pula pada indikator keduanya sekalipun ada hal-hal
lain yang esensi yang membedakan. Intensitas lebih menekankan pada
tahap real pelaksanaan suatu aktivitas yang biasanya diketahui dari tingkat
frekuensi dan/ durasinya, namun dalam penelitian ini pengukuran
intensitas juga ditambahkan/dilihat dari motivasi, presentasi, arah sikap,
dan minat sebagaimana yang telah diuraikan di awal.
2. Ibadah
a) Pengertian
Ibadah menurut bahasa adalah “taat, tunduk, merendahkan diri
dan menghambakan diri” (Basyir dalam Tono dkk, 2002:2). Menurut
Ash Shiddieqy (2000:7) ibadah dalam pengertian yang umum meliputi
segala yang disukai Allah dan yang diridlai-Nya, baik berupa
perkataan, maupun berupa perbuatan, baik terang, maupun
13
tersembunyi. Ibadah adalah wujud ketaatan, ketundukan seorang
hamba dalam menjalankan segala sesuatu baik perkataan atau
perbuatan dengan lidah atau hati untuk mendapatkan ridlo dari Allah
Swt. Manusia sepenuhnya menyadari bahwa ia hanyalah makhluk
(ciptaan) dari Sang Khaliq (Yang Maha Menciptakan), yang sudah
tentu kewajiban utamanya adalah beribadah sebagai wujud
‘abd/penghambaannya.
b) Dasar hukum ibadah
Ibadah yang dilakukan oleh setiap hamba tentu tidak datang serta
merta begitu saja tanpa ada dasarnya. Sekalipun setiap manusia itu
sebenarnya adalah homo religious, makhluk yang memiliki kebutuhan
untuk beragama, melakukan penyembahan atau pengagungan terhadap
sesuatu/dzat. Dasar ibadah dalam islam tentu tidak lepas dari perintah
Allah Swt. Hakikat dari perintah ibadah ini adalah peringatan agar
manusia menunaikan kewajibannya kepada Allah Swt. Dasar hukum
ibadah antara lain QS. Al-Baqarah ayat 21 yang berbunyi:
�ْ? 9ْEُ��;َ 6ْ7ُ�(%َ�َ 6ْ7ُ(ِ-ْ5ََن �Z�Vََ�� ا����ُس ِ ?َ�ْSِ��6ْ7ُ َواE(َ)َ ْيSِ��ْوا َر!�6ُ7ُ اMُ-ُ.ْا
Artinya: “Wahai para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu,
yang telah menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang
sebelum kamu, agar supaya bertaqwa” (Depag, 2010:4)
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa
ibadah merupakan “hak Allah” yang harus dilaksanakan makhluknya
(Tono, 2002:5). Dalam buku yang sama diceritakan bahwa Mu’adz r.a
14
dalam pembicaraannya dengan Nabi Muhammad Saw, ia ditanya oleh
Rasull tentang hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah.
“Hai Muadz, tahukah engkau mengenai hak Allah atas hamba dan apa
hak hamba atas Allah?”. Muadz menjawab: “Allah dan Rasullnya
yang lebih mengetahui”. Nabi bersabda: “hak Allah atas hamba adalah
mereka menyembah-Nya lagi mengesakan-Nya dan mereka tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Sedangkan hak hamba atas Allah
adalah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan-
Nya dengan sesuatu” (HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30).
c) Macam-macam ibadah
Ibadah mencakup banyak sekali bagian/aspek-aspek yang ada
pada diri manusia itu sendiri ataupun diluar dirinya. Keberagaman
ibadah tadi setidaknya bisa dilihat diantaranya dari:
(1) Dilihat dari bentuk dan sifatnya
Menurut Ash Shiddieqy (2002:19-20) ibadah yang
dilaksanakan berdasarkan bentuk dan sifat-sifatnya terbagi
kedalam enam macam, yaitu:
(a) Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah.
Contohnya membaca Al-qur’an, tasbih, tahmid, dan takbir
(b) Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan
dengan sesuatu sifat. Contohnya berjihad di jalan Allah,
membela diri dari gangguan.
(c) Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan
sesuatu pekerjaan. Contohnya berpuasa.
(d) Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri
dari sesuatu pekerjaan. Contohnya i’tikaf
15
(e) Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak. Contohnya
membebaskan orng yang berhutang, memaafkan kesalahan
orang, memerdekakakn budak.
(f) Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan.
Contohnya khuduk, khusyuk.
(2) Dilihat dari pembagian hak
Menurut As Shiddieqy (2000:33) ada tiga yaitu hak Allah,
hak Rasull, dan hak sesama manusia.
(a) Hak Allah, berarti ibadah yang dilakukan merupakan hak
Allah semata. Ibadah dalam hal ini juga terbagi tiga yaiatu:
pertama, ibadah yang semata-mata terdapat hak Allah seperti
iman, makrifat. Kedua, tersusun dari hak Allah dan hamba,
seperti zakat, sedekah. Ketiga, meliputi empat hak yaitu hak
Allah, hak Rasull, hak mukallaf sendiri, dan hak para hamba,
seperti adzan, iqamah, jihad.
(b) Hak Rasull, hak yang didapat Rasull dalam ibadah-ibadah tadi,
misalnya hak rasull dalam adzan adalah kesaksian bahwa beliau
adalah rasull Allah (syahadah risalah)
(c) Hak makhluk, meliputi hak diri sendiri dan orang lain.
Setiap individu yang telah memasuki usia baligh (dewasa) maka
terkena hukum taklif (beban) untuk melaksanakan ibadah. Menurut
Ibnul Qayyim (Sopiatin & Sahrani, 2011:104), ibadah terbagi dalam
beberapa tingkatan yaitu:
16
(a) Ibadah hati
Hati dalam beribadah harus hasan (ikhlas,tawakkal, mahabbah)
dan berani meninggalkan hal-hal yang dilarang (riya, ujub,
hasad).
(b) Ibadah lisan
Ibadah wajib lisan yaitu: mengucap dua kalimat syahadat,
membaca al-fatihah dalam shalat, membaca dzikir-dzikir dalam
shalat, menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar. Ibadah
sunnah lisan yaitu: membaca Alqur’an, berdzikir, menghafal
ilmu yang bermanfaat.
(c) Ibadah anggota badan dan indera
Tangan dan kaki serta lima anggota indera (pendengaran,
penglihatan, perasa, penciuman, peraba) digunakan untuk hal-
hal yang mendektkan diri pada Allah dan menjauhi segala hal
yang dilarang oleh Allah sesuai kadar fungsinya masing-
masing.
Ibadah dalam hubungannya dengan Allah Swt juga terbagi dua
yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghoiru mahdah
(a) Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berhubungan secara
langsung antara Al-Ma’bud (Allah Swt) dengan Al-‘Abd
(hamba) yaitu manusia. Dikenal sebagai ibadah yang vertikal/
lurus langsung kepada Allah Swt. Misalnya sholat, puasa.
17
(b) Ibadah Ghoiri Mahdhah
Ibadah Ghoiri Mahdhah adalah ibadah yang tidak secara
langsung, yaitu suatu perkataan dan perbuatan secara lahir
maupun batin yang mencakup ritual, sosial serta sumbangan
pribadi untuk kesejahteraan sesama manusia. Dikenal dengan
ibadah horizontal. Misalnya zakat, shodaqoh, infaq.
Dari masing-masing sudut pandang diketahui bahwa ibadah
memiliki banyak sekali varian. Ibadah bisa diperoleh dari setiap
gerakan tubuh/badan, lisan, dan hati, yang berhubungan dengan diri
sendiri, orang lain, maupun dengan Allah Swt. Dalam skripsi ini,
penulis hanya mengungkapkan beberapa bentuk ibadah yang
sesuai/telah dipilih sebagaimana diuraikan pada bab awal, yaitu: shalat
fardlu, puasa senin-kamis, shadaqah, dan qira’atul qur’an. Adapun
penjelasannya, yaitu:
(1) Shalat fardlu
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah
syahadatain. Dari kedudukannya menggambarkan bahwa seolah
shlat menjadi pembuktian pertama setelah seseorang
bersyahadat/menyatakan diri memeluk/beragama islam. Menurut
Ash-Shiddieqy (2000:130) shalat menurut bahasa adalah doa. Ada
pula yang berkata shalat iu bermakna doa, ta’zim, rahmat, dan
18
berkat. Menurut syara’, shalat adalah hubungan antara hamba
dengan Tuhannya.
Perintah shalat ini banyak sekali dijumpai dalam Alqur’an.
Diantaranya yaitu dalam QS. Ibrahim ayat 31:
?ْ��\ا َوَ.َ)�ِ]َ�ً� ِYِ 6َْرَز5َْ��ُه ����9�ُا �Eِ�ُُ9ا ا��Pَ)�َة َو9Eُ�ِ�ْ�ُا َِ@ ?َ�Sِ��4ْ5ُ ِ�ِ%َ-�ِدَي ا 5َْ-4ِ َأْن Vْ�َِ;َ$ 9ْ�ٌَم َ�� َ!ْ�ٌ_ ِ+�ِ< َوَ�� ِ(َ)�ٌل
Artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah
beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara
sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat)
yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” (Depag,
2010:259).
Shalat adalah ibadah yang diperintahkan Allah Swt untuk
tidak sekedar mengerjakannya tetapi mendirikannya. Mendirikan
sesuatu adalah mengerjakan (menghadirkannya) dengan
sempurna yang timbul (dilakukan) karena alasannya serta
menimbulkan berbagai pengaruh/efek (Bahnasi, 2007:202).
Pengaruh/efek dari shalat ini telah Allah Swt tegaskan sendiri
dalam QS Al-‘Ankabut ayat 45:
�3َِْ̀ء اْ;4ُ �� ُأوGَِ$ ِإَ�ْ�َ� ِ�َ? اْ�7َِ��ِب َوَأ6ِ5ِ ا��Pَ)�َة ۖ ِإن� ا��Pَ)�َة َ;ْ�َ�"ٰ َ.ِ? اْ�َ�� ۗ َوا�)�ُ< َ�ْ%َ)6ُ َ�� َ;Pَْ�ُ%9َن َواْ�ُ7َ�ِْ� ۗ َوَ�Sِْآُ� ا�)�ِ< َأْآَ-ُ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Depag, 2010:401).
Hakikat shalat adalah berhubungan dengan Allah Swt
paling tidak sebanyak lima kali sehari jika termasuk di dalamnya
19
shalat dzuhur. Shalat dzuhur ini dilaksanakan siang hari ketika
matahari tergelincir hingga bayangan suatau benda menjadi sama
panjang (Ash-Shiddieqy, 2000:133). Shalat dzuhur ini juga sama
pentingnya dengan shalat fardlu yang lain. Sebab shalat sendiri
merupakan ibadah pokok yang menjadi pembeda antara yang
muslim dengan yang kafir. Dengan mendirikan shalat selain
menjaga agama, seseorang juga mendapatkan banyak manfaat
baik secara fisik maupun psikis.
Secara fisik shalat menjadikan seseorang terjaga
kesehatannya. Mengenai masalah ini, seorang profesor di fakultas
Kedokteran universitas Ali Syams, Prof. Dr. Muhammad Zaki
Suwaidan, telah menulis sebuah karya ilmiah (dalam Bahnasi,
2007:121). Dia meneliti shalat dari sisi kedokteran dan
mengambil kesimpulan bahwa, “Shalat dipercaya sebagai cara
perlindungan paling efektif dari berbagai penyakit pencernaan
dan penyakit kronis lainnya, sebagaimana ia juga merupakan
metode paling baik untuk menjaga kesehatan”.
Secara psikis tentu manfaatnya lebih banyak lagi. Menurut
Bahnasi pula (2007:49) shalat membuat manusia tidak lupa diri
yang dapat menghancurkan dirinya sendiri. Shalat juga
menumbuhkan kepercayaan diri, menghalau kekhawatiran dan
rasa takut, menjaga keseimbangan jiwa, memberikan harapan
20
yang terus ada, dan memunculkan ketenangan pada diri setiap
orang yang mendirikan shalat.
Shalat menjadi kebutuhan pokok setiap kaum muslimin
sebagai sarana menjaga tiang/kekokohan agama pada diri insan
sekaligus memberikan banyak manfaat bagi fisik maupun psikis.
Shalat bukan hanya untuk menunaikan kewajiban syari’at, tapi
sekaligus untuk memenuhi kekosongan jiwa manusia itu sendiri
pada nilai-nilai ketuhanan, kesehatan fisik, dan sifat-sifat psikis
seperti halnya ketenangan, harapan dan optimistik.
(2) Puasa Senin-Kamis
Puasa merupakan terjemahan dari kata Arab 9مR atau م��R .
Dari segi etimologi atau kebahasaan, puasa berarti “menahan diri
dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu, seperti meninggalkan
makan, minum, berbicara atau aktivitas lainnya.” Sedang secara
terminologi, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan seks sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari,
dengan mengharap ridlo Allah, mempersiapkan diri untuk
bertakwa dengan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik
kehendak (Rasyid Ridha dalam Tono dkk, 2002:67-68).
Puasa pada dasarnya adalah ibadah yang dilakukan seorang
muslim yang secara sukarela dan sadar menahan dirinya dari
segala bentuk pelampiasan hawa nafsu serta menahan diri dari rasa
lapar dan haus (Musbikin, 2005:5). Puasa adalah aktifitas yang
21
melibatkan jasmani dan rohani, berkaitan dengan waktu yaitu dari
terbit fajar hingga tenggelamnya matahari dengan satu tujuan yaitu
menggapai ridlo Allah Swt.
Dari tinjauan psikologis, menurut Roland Crahay
(Musbikin, 2002:5-6) puasa meliputi tiga aktivitas pokok yaitu:
(a) Menghindarkan diri dari segala sesuatu yang membahayakan
Makanan atau minuman bisa jadi merupakan salah satu sumber
bahaya bagi kesehatan
(b) Pengayaan spiritual
Orang yang melakukan ibadah puasa dengan sungguh-sungguh
ada yang mengalami kesadaran spiritual yang tinggi, menjadi
lebih tunduk kepada kontrol yang lebih tinggi.
(c) Puasa adalah perilaku mengabaikan keinginan-keinginan tubuh
kita fisik maupun psikis
Puasa merupakan sarana latihan untuk menghadapi cobaan-
cobaan berat yang mungkin akan dihadapi pada masa-masa
mendatang.
Aktivitas puasa memiliki andil yang cukup baik dalam
perkembangan psikis seseorang untuk menjadi lebih dewasa,
lebih peduli pada orang lain pun menyayangi dirinya sendiri.
Puasa juga mengajarkan diri untuk disiplin terutama terlihat dari
jam makan (waktu buka/sahur), lebih tawadlu’ (mengikuti
perintah/pedoman), dan lebih peka terhadap penderitaan sesama
22
manusia dan mengajarkan untuk lebih mensyukuri setiap nikmat
yang telah Allah berikan.
(3) Shadaqah
Kata shadaqah seringkali disebut atau diartikan dengan
dengan zakat. Menurut Mawardi (Qardawi, 1991:37) “sedekah itu
adalah zakat dan zakat itu adalah sedekah; berbeda nama tapi arti
sama”. Dalam Al-qur’an sendiri dinyatakan bahwa kata �5MR
berarti zakat, yaitu QS At-Taubah ayat 103:
?ٌ7َYَ �َ;َ9(Rَ 4 َ.َ)6ْ�ِ�ْ ِإن�Rَآ 6ْ�ِ�ْ ِ!�َ� َوOَ;ُُه6ْ َو�ُ ��َ;ُ �ً�َ�َ�َ 6ْ�ِ�ِ9��ْ? َاِْ Sْ)ُ6ٌ�ْ(ِ.َ _ٌ�ِْYَ a6ْ�ُ َوا�ّ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan
mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (Depag, 2010:203).
Kata shadaqah sesungguhnya berasal dari kata shidq yang
berarti benar. Menurut Qadhi Abu Bakr bin Arabi (dalam
Qardawi, 1991:38) zakat dinamakan shadaqah karena asal katanya
shidq, yaitu benar, dalam arti “benar dalam hubungan dengan
sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan.” Shadaqah
merupakan tindakan yang menjadi wujud nyata bukti atas
“kebenaran” iman yang dimiliki seseorang dan wujud nyata
tentang pembenarannya akan adanya hari kiamat. Kata Shadaqah
kemudian berkembang maknanya menjadi shadaqah wajib yang
kemudian disebut dengan zakat, dan shadaqah sunnat (tathawwu’)
yang dikenal dengan shadaqah itu sendiri.
23
Islam menganjurkan umatnya agar gemar bershadaqah
melalui berbagai ayat Al-qur’an dan hadits. Sedekah tidak terbatas
pada harta semata saja. Pada prinsipnya setiap kebajikan adalah
shadaqah. Namun secara umum kata shadaqah sering diidentikkan
dengan pemberian amal berupa harta/kekayaan.
Dalam Kitab Tanbihul Ghafilin (Mubin, 2008:76-87)
disebutkan berbagai fungsi dan hikmah shadaqah di dunia yang
memiliki akibat/manfaat di akhirat kelak, yaitu:
(a) Menyucikan harta
Setiap insan yang terlahir di dunia ini telah dijamin
oleh Allah rezekinya. Sebagai manusia rezeki yang diperoleh
tidak semata muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui
usaha/upaya kerja yang kemudian membuahkan hasil. Hasil
uang/harta yang diperoleh tidak selamanya selalu dari hal-hal
yang suci atau diberkahi oleh Allah. Adakalanya harta yang
didapat bercampur dengan syubhat meskipun telah
diupayakan dengan cara yang paling baik untuk
memperolehnya. Untuk itu salah satu manfaat dari shadaqah
adalah untuk menyucikan harta yang diterima dari barang-
barang yang syubhat/yang tidak diridloi oleh Allah, sehingga
harta tadi dapat membawa keberkahan dalam hidup.
(b) Membersihkan dosa-dosa
24
Setiap harta yang dikeluarkan di jalan Allah Swt akan
membersihkan dosa-dosa/kesalahan-kesalahan manusia. Hal
ini telah ditegaskan dalam QS. At-Taubah ayat 103, yaitu:
�َ;َ9(Rَ 4 َ.َ)6ْ�ِ�ْ ِإن�Rَآ 6ْ�ِ�ْ ِ!�َ� َوOَ;ُُه6ْ َو�ُ ��َ;ُ �ً5َMَRَ 6ْ�ِ�ِ9��ْ? َاِْ Sْ)ُ6ٌ�ْ(ِ.َ _ٌ�ِْYَ a7ٌَ? ّ�6ْ�ُ َواYَ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Depag, 2010:203).
(c) Menghancurkan mentalitas kikir
Harta yang melimpah seringkali membawa seseorang
pada sifat kikir yang justru merugikan dirinya sendiri. Terlalu
cinta pada harta hingga lupa pada hak orang lain adalah
perbuatan tercela. Melalui shadaqah seseorang belajar untuk
berbagi/menyampaikan hak orang lain yang ada dalam
hartanya.
(d) Mengasah kelembutan kalbu
Melalui shadaqah seseorang belajar untuk meluluhkan
hati yang telah kaku/membeku. Kelembutan hati seseorang
akan berakibat pada sikapnya yang rendah hatiterhadap orang-
orang yang kurang beruntung, alias orang-orang miskin
(Mubin, 2008:80-81). Kelembutan hati ini akan berefek pada
sikap dan perangai atau kepribadiannya. Hatinya menjadi
lebih peka dan peduli terhadap kesusahan/penderitaan orang
lain.
25
(e) Terciptanya tertib sosial
Shadaqah merupakan salah satu jembatan dalam islam
yang fungsinya adalah untuk mengentaskan kemiskinan atau
mengatur dan menyeimbangkan ekonomi sehingga tercipta
kesetabilan sosial. Shadaqah merupakan wujud kepedulian
dan kesetiakawanan pada orang-orang miskin.
(f) Amaliah syukur atas nikmat Allah Swt
Mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan bisa
dilakukan dengan apapun sesuai dengan kemampuan.
Termasuk di dalamnya adalah shadaqah. Shadaqah
merupakan wujud ungkapan syukur atas ni’mat yang telah
dianugerahkan oleh Allah. Dengan bersyukur maka Allah Swt
akan mmenambahkan/melipatkan nikmat dan karunia-Nya.
Menyedekahkan sebagian dari harta yang dimiliki ternyata
memberikan banyak manfaat. Shadaqah bukan hanya semata soal
memberikan atau membagikan uang. Shadaqah mengajarkan
seseorang untuk lebih mensyukuri nikmat Allah, memupuk
ketajaman jiwa sehingga lebih peduli dengan orang lain.
(4) Qira’atul qur’an
Alqur’an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman
hidup ummat Nabi Muhammad Saw. Secara bahasa Al-qur’an
26
berakar dari kata qara’a yang artinya membaca. Secara
terminologi Al-qur’an adalah firman Allah ‘azza wa jalla yang
berfungsi sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang
diriwayatkan secara mutawattir, dan membacanya merupakan
ibadah (Subhi Shaleh dalam Mustamir, 2007:5).
Membaca Al-qur’an merupakan bentuk dzikir seorang
hamba kepada Allah Swt, bacaan yang paling baik dan berpahala
ketika membacanya. Rasulullah Saw bersabda:
Lََ̀ �ْ? ِآَ��ِب ا�)َِّ< َ+َ)ُ< ِ!ِ< LَGََ�ٌ�، َواْ�ِ �+ً�ْGَ َأ�َ5َ ?ْ�� َأْ�cَ ��َ�ِ�dَ َأ95ُُل ا�6 َِ3ْ%َ!ِ �ُ�َ�فْGَ 6ٌ���ٌف، َوِْGَ ٌمcٌف، َو�ْGَ fٌ�ٌِف، َوَ�7ِْ? َأ�ْGَ
Artinya: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an
maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan itu akan
dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan bahwa 6�أ (alif laam mim) itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu
huruf, dan mim satu huruf (HR. Tirmidzi No. 2835)”.
Melalui hadits tadi diketahui bahwa pahala membaca Al-
qur’an bernilai dari setiap hurufnya dan akan dilipatgandakan
pahalanya sebanyak sepuluh kali. Ini menunjukkan bahwa setiap
huruf Al-qur’an itu begitu berharga, ia memiliki makna dan
keutamaannya sendiri.
Al-qur’an mengandung kualitas nada huruf yang berbeda-
beda sehingga menimbulkan harmonisasi/keindahan ketika
membacanya/melafalkannya. Jika dibaca dengan baik dan benar
akan memberikan efek terapi seperti lagu/musik. Alqur’an juga
berkaitan erat dengan balaghah (bahasa), sedang balaghah dan
27
jiwa itu berhubungan (Amin al-Khulli & Nashr Hamid Abu Zayd
dalam Mustamir, 2007:191). Hal inilah yang memungkinkan
bahwa bacaan Al-qur’an berpengaruh pada keadaan fisik pembaca
maupun pendengarnya mengingat adanya hubungan antara
psikologi dan fisik.
Menurut Quraish Shihab (1996:12-13) Al-Qur’an
diturunkan dengan tujuan:
(a) Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan
yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan
yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi
falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
(b) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab yakni
bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya
dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan
pelaksanaan tugas kekhalifahan.
(c) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar
suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan
kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural,
kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan
kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan
determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan
28
kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yaitu Keesaan
Allah Swt.
(d) Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui
musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan.
(e) Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan
manusia atas manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik,
dan juga agama.
(f) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai
landasan pokok kehidupan masyarakat manusia
(g) Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan
ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kemunkaran.
(h) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri
manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
Keutamaan Alqur’an meliputi banyak hal, yang mengatur dan
menuntun manusia dalam menjalankan setiap lini kehidupannya,
baik yang bersifat hablum minallah, hablum minannas, hablum
29
minal ‘alam. Kitab Al-qur’an dengan segala keutamaannya tadi
merupakan salah satu warisan dari Rasulullah Saw sebagai
pedoman/petunjuk hidup bagi umatnya agar senantiasa bahagia
baik di dunia maupun di akhirat, baik secara fisik maupun psikis
dan terhindar dari kesesatan/kesengsaraan.
Ibadah yang sejatinya telah diperintahkan oleh Allah untuk
dilakukan oleh manusia baik itu memiliki tingkatan hukum wajib atau
sunnah, melibatkan diri sendiri dan harus atau tanpa orang lain,
menyangkut dunia dan/ akhirat, dalam waktu yang terikat atau secara
bebas dalam setiap detail pelaksanaanya telah tersusun berbagai manfaat
bagi kehidupan sang hamba atau individu pelaku. Manfaat yang timbul
ada yang bisa bersifat langsung ada pula yang tidak atau bisa keduanya.
Namun yang paling penting adalah bahwa setiap ibadah yang dilakukan
secara otomatis akan memiliki implikasi pada aspek kejiwaan seseorang,
baik itu dalam waktu yang singkat atau masih butuh proses, dalam arti
masih harus ada tahapan-tahapan lagi untuk menyentuh
kejiwannya/membentuk pribadi yang matang/luhur.
3. Agama pada remaja
a) Remaja
Remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh”
atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1996:206). Menurut Hurlock
(1996) pula, istilah adolescence, seperti saat ini mempunyai arti yang
30
lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.
Remaja adalah mereka yang sedang tumbuh, tumbuh menjadi dewasa
baik secara mental, emosional, sosial, maupun fisik yang diperoleh dan
terus diasah tingkat kedewasaannya melalui berbagai relitas kehidupan
yang mesti dihadapi baik berupa suka maupun duka. Pada masa ini
remaja juga mulai mengembangkan minat-minatnya, diantaranya yaitu
minat pada rekreasi, sosial, pribadi, dan agama. Remaja kini menaruh
minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting
dalam kehidupan.
b) Perkembangan agama pada remaja
Pada masa remaja banyak yang mulai meragukan konsep dan
keyakinan akan religiusnya pada masa kanak-kanak. Menurut Wagner
(dalam Hurlock, 1996:222) banyak remaja menyelidiki agama sebagai
suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda
ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak
ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama
bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena
mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna-
berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan
keputusan-keputusan mereka sendiri.
Sejatinya remaja memiliki kecenderungan yang positif terhadap
agama, dan memang perkembangan agama ini turut pula dipengaruhi
dengan adanya perkembangan rohani dan jasmaninya, maka tidaklah
31
salah bahwa seiring dengan perkembangan rohani dan jasmaninya,
seseorang juga dibekali dengan berbagai aktivitas keagamaan yang
mewujud dalam berbagia bentuk ibadah. Agama sendiri memiliki
peran penting dalam membina moral dan/ kepribadian setiap
pemeluknya, dengan agama nilai-nilai moral yang muncul darinya
akan menjadi lebih terjaga,bersifat tetap dan tidak berubah.
Masa remaja merupakan salah satu tahapan yang memang harus dialami
untuk mencapai masa dewasa, dalam masa remaja pun juga berlangsung
berbagai kondisi yang memungkinkan para remaja itu sendiri mengalami masa
transisi, masa the best of time and the worst of time. Remaja adalah mereka
yang sedang tumbuh baik secara fisik maupun non fisik dalam hal ke drinya
sendiri pun kepada orang lain, lingkungan, serta didapati bahwa
kecenderungan pada agamanya yang semakin tumbuh/ada. Dari sini juga
mulai dipahami bahwa agama dengan berbagai varian ibadahnya memiliki
peran yang penting bagi remaja untuk mengawal para remaja menuju
kedewasannya. Diharapkan dengan semakin intens seseorang melakukan suatu
ibadah semakin besar pula manfaat yang diperoleh, terlebih pada aspek
kejiwaannya sehingga semakin nyata terlihat dalam kehidupan sehari-harinya.
Dari hal ini, yang dimaksud dengan intensitas melaksanakan ibadah
adalah tingkat keseringan/frekuensi yang juga mencakup kualitas dan
dorongan seseorang untuk melaksankan ibadah, lebih khusus ibadah yang
dimaksud adalah shalat fardlu, puasa senin-kamis, shadaqah, dan qira’atul
qur’an.
32
E. Kematangan kepribadian
1. Pengertian kepribadian
Kepribadian merupakan salah satu kajian di bidang psikologis yang
mengupas tentang human behavior (perilaku manusia). Kepribadian
sendiri dalam bahasa Inggris disebut personality. Dalam bahasa Latin
dikenal kata pesona yang berarti topeng, dan personare (to sound through)
yang berarti suara tembus (Hartati, dkk, 2005:117). Pada zaman Yunani
kuno istilah-istilah tadi erat kaitannya dengan sebuah drama dengan tujuan
awal untuk menyembunyikan identitas pribadinya agar lebih leluasa dalam
memerankan sosok lain. Keadaan ini terus berlangsung hingga datang
akhir masa keemasan Roma, yang menetapkan istilah personality menjadi
“sesuatu yang dianggap sebagai konstitusi manusia yang dijadikan”.
Dalam perkembangannya, istilah kepribadian memiliki beragam sebutan.
Sebagian psikolog ada yang menyebutnya a) personality (kepribadian)
sendiri, b) character (watak atau perangai), c) type (tipe). Istilah-istilah
lain yang dikenal dalam kepribadian adalah a) mentality (mental), b)
individuality (sifat khas seseorang), c) identy (sifat kedirian).
Definisi kepribadian menurut Gordon W. Allport (dalam Yusuf &
Juntika, 2008:4) adalah the dynamic organization within the individual of
those psychophysical system that deternime his unique adjustment to his
enveronment (kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari
33
sistem psikofisis dalam individu yang menentukan caranya yang
khas/keunikan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan).
Kalau definisi tersebut dianalisis, maka kepribadian menurut
Ahmadi dan Sholeh (2005: 156-157). adalah:
a) Merupakan suatu organisasi dinamis yaitu suatu kebulatan kebutuhan,
organisasi atau sistem yang mengikat dan mengaitkan berbagai macam
aspek atau komponen kepribadian.
b) Organisasi itu terdiri atas sistem-sistem psychophysical atau jiwa raga.
Term ini menunjukkan bahwa kepribadian itu tidak hanya terdiri atas
mental, rohani, jiwa atau hanya jasmani saja tetapi organisasi itu
mencakup semua kegiatan badan dan mental yang menyatu kedalam
kesatuan pribadi yang berbeda dalam individu.
c) Organisasi itu menentukan penyesuaian dirinya, artinya menunjukkan
bahwa kepribadian dibentuk oleh kecenderungan yang berperan secara
aktif dalam menentukan tingkah laku individu yang berhubungan
dengan dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat. Kepribadian adalah
suatu yang terletak dibelakang perbuatan khas yang berbeda dalam
individu.
d) Penyesuaian diri dalam hubungan dengan lingkungan itu bersifat unik,
khas atau khusus yakni mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak ada
yang menyamainya. Tiap penyesuaian kepribadian tidak ada dua yang
sama dan karena itu berbeda dengan penyesuaian kepribadian yang
lain walaupun seandainya dua kepribadian anak kembar berasal dari
34
satu telur. Tiap-tiap kepribadian terarah pada diri sendiri, lingkungan
masyarakat ataupun keduanya.
Menurut Witherington (dalam Jalaluddin, 2000:151)
menyimpulkan bahwa kepribadian mempunyai ciri sebagai berikut:
a) Manusia karena keturunannya mula sekali hanya merupakan individu
dan kemudian barulah merupakan suatu pribadi karena pengaruh
belajar dan lingkungan sosialnya.
b) Kepribadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang
secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja dari
keseluruhan itu.
c) Kata kepribadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pada
pikiran orang lain dan isi pikiran itu ditentukan oleh nilai perangsang
sosial seseorang.
d) Kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti
bentuk badan atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan
dari tingkah laku seseorang.
e) Kepribadian tidak berkembang secara pasif saja, setiap orang
mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri
kepada lingkungan sosial.
Dari uraian diatas dapat diperoleh pengertian kepribadian sebagai
berikut:
35
a) Bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, artinya suatu
organisasi yang terdiri dari sejumlah aspek/unsur yang terus tumbuh
dan berkembang sepanjang hidup manusia.
b) Aspek-aspek tersebut adalah mengenai psikofisik (jasmani dan rohani)
antara lain sifat-sifat, kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentuk-bentuk
tubuh, ukuran, warna kulit, dan sebagainya.
c) Semua aspek kepribadian, baik sifat-sifat maupun kebiasaan, sikap,
tingkah laku, bentuk tubuh, dan sebagainya merupakan suatu sistem
(totalitas) dalam menentukan cara yang khas dalam mengadakan
penyesuaian diri terhadap lingkungan (Ahmadi dan Sholeh, 2005: 157-
158).
Kepribadian adalah ciri khas individu yang membedakan dirinya
dengan yang lain, meliputi aspek jasmani dan rohani (psikofisik), terus
tumbuh dan berkembang seiring dengan berbagai hal yang terjadi dalam
kehidupannya menyangkut diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Tuhan.
2. Faktor-faktor yang membentuk kepribadian
Kepribadian tidak begitu saja terbentuk, tapi juga melalui proses
tahapan yang yang akhirnya membentuk suatu tingkah laku. Faktor-faktor
yang membentuk kepribadian dibahas didalam tiga aliran, yaitu
empirisme, nativisme dan konvergensi. Setiap aliran memiliki pendapat
yang berbeda tentang hakikat manusia.
a) Aliran Empirisme
36
Aliran empirisme disebut juga aliran environmetalisme yaitu suatu
aliran yang menitik beratkan pandangannya pada peranan lingkungn
sebagai penyebab timbulnya suatu tingkah laku (J.P. Chaplin dalam
Hartati dkk, 2005:171-172). Setiap manusia lahir dalam keadaan
bersih/netral dari pengaruh/bawaan apaun, seperti kertas putih (tabula
rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki.
Menurut Mahmud (dalam Hartati dkk, 2005:172) lingkungan yang
mempengaruhi kepribadian terdiri atas lima aspek yaitu geografis,
historis, sosiologis, kultural, dan psikologis. masing-masing
lingkungan memiliki porsi yang berbeda-beda dalam pengaruhnya
pada kepribadian. Bisa jadi seseorang ditentukan oleh faktor
lingkungan tertentu dan mengabaikan/memperkecil faktor lingkungan
yang lain. Jika faktor lingkungan tadi bisa berfungsi dengan baik, maka
kepribadiannya akan menjadi lebih baik dan lebih dewasa.
b) Aliran Nativisme
Menurut J.P. Chaplin (dalam Hartati dkk, 2005:174) aliran
nativisme adalah aliran yang menitik beratkan pandangannya pada
peranan sifat bawaan, keturunan dan kebakaan sebagai penentu tingkah
laku seseorang. Persepsi tentang ruang dan waktu tergantung pada
faktor-faktor alamiah atau pembawaan dari lahir. Kapasitas intelektual
itu diwarisi sejak lahir.
Menurut aliran ini, hereditas menjadi penentu kepribadian, setiap
individu baru yang lahir amat dipengaruhi oleh keadaan orang tuanya,
37
karena baik fisik maupun psikis pada diri anak terdapat kesamaan
denga orang tuanya. Manshur Ali Rajab menyebutkan bahwa ada 5 hal
yang dapat diwariskan orang tua kepada anaknya yaitu pewarisan yang
bersifat jasmaniah (seperti bentuk tubuh,warna kulit), pewarisan yang
berbentuk intelektual (kecerdasan/kebodohan), pewarisan yang
berbentuk tingkah laku (seperti terpuji/tercela), pewarisan yang
berbentuk alamiah (bersifat internal), pewarisan yang berbentuk
sosiologis (bersifat eksternal).
c) Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi adalah aliran yang menggabungkan kedua
aliran diatas yaitu aliran empirisme dan nativisme. Konvergensi adalah
interaksi antara faktor hereditas dan faktor lingkungan dalam proses
pemunculan tingkah laku. Menurut aliran ini hereditas tidak akan
berkembang dengan wajar apabila tidak diberi rangsangan dari faktor
lingkungan. Sebaliknya rangsangan lingkungan tidak akan membina
kepribadian yang ideal tanpa didasari oleh faktor hereditas (Hartati
dkk, 2004:178). Jadi kepribadian seseorang itu akan dikatakan baik
apabila kedua faktor tersebut saling berkesinambungan.
Dilihat dari ketiga aliran tadi maka kepribadian dibentuk oleh banyak
faktor yang saling berpengaruh yang kemudian tumbuh salah satu
diantaranya menjadi faktor yang paling dominan/memiliki porsi yang
paling banyak diantara yang lainnya. Maka mengusahakan adanya
pendidikan/pembentukan kepribadian menjadi baik menjadi tanggung
38
jawab bersama dari berbagai pihak yang bersentuhan dengan kehidupan
remaja itu sendiri. Mulai dari orang tua sebagai pengendali utama, tempat
diwariskannya gen/faktor hereditas, lingkungan luar baik teman, sekolah
dan masyarakat. Semua memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang
remaja menjadi pribadi yang baik dan matang.
3. Perkembangan kepribadian
Perkembangan kepribadian pada setiap individu memiliki banyak
ragam yang dipengaruhu/dibentuk oleh pengalaman masa lalu, seperti
masa kanak-kanak dan/ masa-masa penting lainnya yang kenudian
berpengaruh pada masa dewasanya. Menurut para tokoh, perkembangan
kepribadian memiliki banyak versi, diantaranya:
a) Menurut Erikson,
Menurut Erikson (Makmun, 2009:118-119) perkembangan kepribadian
seseorang meliputi:
(1) masa bayi (infancy), pada masa ini penjaminan kualitas kehidupan
seperti cinta kasih, sentuhan, makanan, bahkan penanaman dasar
dan rasa kepercayaan (trust) menjadi hal fundamental untuk taraf
perkembangan selanjutnya.
(2) masa kanak-kanak awal (early childhood), pemberian kesempatan
untuk mengembangkan self-control, self esteem, kemandirian
yang masih diwarnai oleh sikap malu-malu dan ragu-ragu oleh
anak.
39
(3) masa kanak-kanak (childhood), masa untuk memberikan
kesempatan bagi si anak berprakarsa, menumbuhkan inisiatif
menghindarkannya dari perasaan serba salah dan berdosa (guilty).
(4) masa anak sekolah (school age), penanaman rasa percaya diri dan
kecakapan dalam menyelesaikan sesuatu dengan baik dan
sempurna. Jika tidak maka akan tumbuh perasaan rendah diri
(inferiority).
(5) masa remaja (adolescence), masa strum and drang (angin dan
topan) untuk menemukan kesejatian/identitas diri. Melindunginya
dari kebingungan dan kekacauan (confusion).
(6) masa dewasa muda (young adulthood), telah terbentuknya identias
diri membawanya untuk turut ambil bagian dalam membina
kehidupan bersama sehingga ia tidak merasa terasing (isolaton).
(7) masa dewasa (adulthood), kesempatan hidup secara kreatif,
produktif, bersemangat, aktif merasakan kegairahan hidup
(generativity), tidak lantas merasa cukup puas saja dengan
keadaan.
(8) masa hari tua (old age), masa mendapat tempat dan penghargaan
yang layak di tengah masyarakat sebagai bagian dari masyarakat
(integrity) itu sendiri, bukan dianggap sepi dan kurang berharga
dalam masyarakat
b) Menurut Jung
40
Jung berpendapat bahwa kepribadian itu mempunyai
kecenderungan untuk berkembang ke arah suatu kebulatan yang stabil.
Perkembangan kepribadian ini adalah pembeberan kebulatan asli
(realisasi atau penemuan diri) yang seula tidak punya diferensiasi dan
tujuan (Yusuf LN & Nurihsan, 2008:92).
Agar perkembangan kepribadian ini dapat tercapai denga baik
maka dibutuhkan keterlibatan berbagai aspek kepribadian itu sendiri,
dalam arti sistem atau aspek kepribadian itu telah mengalami
diferensiasi dan perkembangan sepenuhnya (proses
pembentukan/penemuan diri).
Jung membagi perkembangan kepribadian ini dalam beberapa
tahapan (Yusuf LN & Nurihsan, 2008:92) yaitu:
(1) Tahap pertama
Pada tahap ini terjadi penyadaran fungsi pokok dan sikap jiwa yang
berada dalam ketidak sadaran untuk mengurangi ketegangan batin
dan peningkatan penyesuaian diri.
(2) Tahap kedua
Membuat sadar imago untuk melihat kelemahan-kelemahan diri
sendiri kemudian diproyeksikan/dicarikan solusi.
(3) Tahap ketiga
Menyadari bahwa dalam hidup ada tegangan/perlawanan baik
secara rohani maupun jasmani yang mendidik ketabahan dan
kebijaksanaan untuk mengatasinya.
41
(4) Tahap keempat
Gambaran manusia yang mampu mengkoordinasikan seluruh aspek
kepribadian menjadi manusia yang integral atau manusia
“sempurna”.
c) Menurut Allport
Allport menegaskan bahwa “apabila bayi menerima keamanan dan
kasih sayang yang cukup, pertumbuhan psikologis yang positif akan
terjadi sepanjang tingkat munculnya diri” (Schultz, 1991:29). Berkat
kasih sayang orang tua anak akan lebih mudah dalam membentuk
identitas diri dan hampir dipastikan darinya akan muncul seorang
dewasa yang sehat dan matang.
Allport menyadari bahwa setiap individu yang lahir mengalami
perubahan-perubahan yang penting (Suryabrata, 1990:257-258), yaitu
(1) Kanak-kanak
Pada waktu lahir anak belum memiliki/terbentuk kepribadiannya,
namun telah dikaruniai potensi-potensi baik fisik maupun
temperament, yang aktualisasinya tergantung perkembangan dan
kematangan. Dalam pertumbuhannya anak akan menunjukkan
diferensiasi melalui perbedaan-perbedaan kualitas seperti ekspresi
yang mengarah pada penunjukkan sifat-sifat yang khas.
42
(2) Transformasi kanak-kanak
Manusia adalah organisme yang egonya selalu berkembang,
struktur sifat-sifatnya meluas menuju masa depan sehingga
otonomi fungsionalnya sangat berperan dalam mendorong dan
memberi arah tingkah laku.
(3) Orang dewasa
Faktor yang menentukan tingkah laku adalah sifat-sifat (traits)
yang terorganisasi dan selaras sampai batas-batas tertentu
berfungsiya sifat-sifat itu disadari dan rasional. Orang dewasa biasa
melakukan sesuatu yang ia mengerti tujuan-tujuannya yang
mengarah ke masa depan.
4. Kematangan kepribadian
a) Pengertian
(1) Gordon W. Allport
Gordon W. Allport sebagaimana dikutip Ahmadi dan
Sholeh (2005:156) mengemukakan bahwa kepribadian adalah the
dynamic organization within the individual of those psychophysical
system that deternime his unique adjustment to his enveronment
(kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem
psikofisis dalam individu yang menentukan keunikan penyesuaian
diri terhadap lingkungan).
Kematangan kepribadian adalah keadaan individu dalam
perkembangan sepenuhnya yang ditandai oleh kemampuan aktual
43
dalam membuat pertimbangan secara dewasa yang dinamis dari
sistem psikofisik indvidu yang menentukan tingkah laku dan
pemikiran indvidu secara khas melalui proses pembelajaran atau
melalui pengalaman-pengalaman, penghargaan (reward),hukuman
( punishment), pendidikan dan sebagainya.
(2) Dalam Pandangan Islam
Dalam studi islam kepribadian lebih dikenal dengan nama
syakhshiyah. Kata ini berakar dari syakhsun yang berarti pribadi
(Yusuf LN & Nurihsan, 2008:212). Muhammad Iqbal (1873-1938)
berpendapat bahwa setiap manusia merupakan suatu pribadi atau
suatu ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah dia menjadi pribadi
yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhanlah yang utama (Hartati
dkk, 2005:108). Tujuan dari seluruh kehidupan adalah untuk
membentuk manusia yang mulia (insan kamil), karena itu setiap
pribadi hendaknya berusaha untuk mencapainya.
Menurut Al Ghazali (Sopiatin & Sahrani, 2011:132),
kepribadian terbagi kedalam empat struktur, yaitu: kalbu, ruh, nafs,
dan akal. Ada juga yang menambahkan basyiroh, jasad, hawa nafs.
Secara umum menurut Sopiatin & Sahrani (2011:132), kepribadian
terbagi kedalam tiga struktur, yaitu pertama, qalb (struktur
terdalam pada diri manusia yang dikendalikan oleh ruh, wahyu,
dan ilham). Kedua, jism (struktur terluar pada manusia yang
dikendalikan oleh fisik/badan, hawa nafsu dan nafsu syahwat).
44
Ketiga, nafs (unsur yang menjadi perpaduan qalb dan jism yang
dikendalikan oleh rasio qalbani dan rasio nafsani, qalb, panca
indera dan seluruh anggota tubuh).
Kepribadian dalam islam mencakup materi jasmani dan
ruhani dalam proses menuju dewasanya. Setiap insane diarahkan
untuk menjadi manusia yang mulia/berkepribadian baik dengan
mendayagunakan/memfungsikan badan, hati, dan jiwa secara
maksimal yaitu dengan jalan mentaati perintah Allah dan ajaran
Rasulullah Saw. Mengingat dalam islam manusia dipandang
sebagai abdun, makhluk yang dikenai kewajiban untuk
beribadah/malakukan penghambaan. Dengan melakukan
penghambaan itulah manusia sebenarnya semakin menuju
kesejatian akan hakikat diri dan tujuan hidupnya.
b) Ciri Kematangan Kepribadian
(1) Menurut Allport
Menurut Allport kematangan kepribadian mempunyai ciri
(Sundari HS, 2005:25):
(a) Memiliki perluasan wawasan diri (extention of self)) yang
meliputi proyeksi kedepan yang berupa perencanaan serta cita-
cita (harapan) untuk kehidupan yang lebih baik masa depan serta
mengambil bagian dalam setiap aktivitas/pekerjaan yang
ditekuninya
45
(b) Memiliki persepsi yang ojektif (self objectification) iyang
meliputi dua komponen yakni insight dan humor. Insight adalah
kecakapan individu untuk memahami dirinya sendiri. Humor
ialah kecakapan untuk memperoleh kenyamanan diri dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
(c) Menyatunya filsafat hidup dalam kehidupan sehari-hari
(unifiying philosophy of life). Individu yang matang mendasarkan
setiap aktivitasnya pada filsafat hidup yang memberikan arti dan
tujuan pada kehidupannya.
Mengenai karakteristik kepribadian yang sehat (matang),
Hurlock (dalam Yusuf dan Nurihsan, 2007:12-14) mengemukakan
beberapa kriteria yaitu:
(a) Mampu menilai diri secara realistis, apa adanya, baik
menyangkut kelebihan maupun kelemahan dirinya.
(b) Mampu menilai situasi secara realistik. Mau menerima
kondisi/situasi kehidupan secara wajar dan tidak memandang
kenyataan yang ada harus sempurna.
(c) Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Prestasi
yang diperoleh tidak membuatnya mengalami “superiority
complex” atau keangkuhan tapi diekspresikan secara rasional.
Dan ketika mendapat kegagalan tidak lantas frustasi tetapi tetap
bersikap optimis.
46
(d) Menerima tanggung jawab. Memiliki keyakinan bahwa ia
mampu mengatasi masalah-masalah yang dialaminya.
(e) Kemandirian (autonomy). Memiliki sifat mandiri dalam berpikir
dan bertindak, berani mengambil keputusan, mengarahkan dan
mengembangkan diri sesuai norma yang berlaku.
(f) Dapat mengontrrol emosi. Menghadapi segala situasi dengan
positif/konstruktif bukan negatif/destruktif.
(g) Berorientasi tujuan. Merumuskan tujuan secara rasional (matang)
bukan paksaan dari luar. Dan mencapainya dengan cara
mengembangkan wawasan/pengetahuan dan ketrampilan.
(h) Berorientasi keluar. Memiliki respek, empati kepada orang lain
dan fleksibel dalam berpikir. Menjadi pribadi yang ekstrovet
bukan introvert.
(i) Penerimaan sosial. Memiliki nilai positif dimata orang lain, aktif
dalam kegiatan social dan bersahabat dengan siapapun.
(j) Memiliki filsafat hidup. Mengarahkan hidup berdasarkan
keyakinan agama yang dianut.
(k) Berbahagia. Kebahagiaan ini didukung oleh factor-faktor
achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari
orang lain), affection (perasaan dicintai atau disayangi orang
lain).
Adapun kepribadian yang tidak sehat (matang) ditandai
dengan beberapa hal berikut:
47
(a) Mudah marah (tersinggung).
(b) Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan.
(c) Sering merasa tertekan (stress atau depresi).
(d) Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang
usianya lebih muda atau terhadap binatang (hewan).
(e) Ketidakmampuan untuk menghidar dari perilaku menyimpang
meskipun sudah diperingati atau dihukum.
(f) Mempunyai kebiasaan berbohong.
(g) Hiperaktif.
(h) Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas.
(i) Senang mengkritik/mencemooh orang lain.
(j) Sulit tidur.
(k) Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
(l) Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan
bersifat organis).
(m) Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama.
(n) Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan.
(o) Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalankan
kehidupan.
(2) Dalam Islam
Dalam islam kepribadan merupakan kumpulan interaksi
antara hati, akal, dan nafsu. Ketiganya berdiri sendiri-sendiri.
Prinsip kerja ketiganya adalah kecenderungan pada fitrah asal
48
manusia, yaitu kerinduan akan kehadiran Tuhan (hanifiyah) dan
kesucian jiwa. Islam mengenal tiga jenis kepribadian, yaitu:
kepribadin ammarah (nafs al-ammarah), kepribadian lawwamah
(nafs al-lawwamah), kepribadian muthmainnah (nafs al-
muthmainnah). Adapun kepribadian yang dikategorikan sebagai
kepribadian dewasa adalah kepribadian muthmainnah.
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah
diberi kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meninggalkan
sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Menurut Abd
Al-razzaq Al-kalasyaniy, kepribadian ini selalu berorientasi ke
komponen qalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan
segala kekotoran, sehingga dirinya menjadi tenang (Hartati,
2005:169). Apa yang dapat memperkuat pribadi maka hal itu
adalah baik sifatnya, sedang apa yang dapat melemahkan pribadi
adalah buruk sifatnya. Menurut Iqbal (Hartati, 2005:109-110) hal-
hal yang dapat memperkuat pribadi adalah
(g) Cinta kasih, cinta dalam arti ini mengaitkan manusia sebagai
makhluk kepada penciptanya, dan manusia dengan segala
dayanya mewujudkan maksud penciptaan manusia di bumi ini.
Ia menjadi bersemangat, berani, kreatif, orisinil, dan mandiri.
(h) Toleransi, rasa tenggang-menenggang
49
Faqr, yang artinya sikap tidak mngharapkan imbalan dan
ganjaran-ganjaran yang akan diberikan dunia, sebab bercita-
citakan yang lebih agung.
F. Hubungan antara melaksanakan ibadah dengan kematangan
kepribadian pada remaja
Dalam kepribadian manusia sebenarnya telah diatur semacam sistem kerja
untuk menyelaraskan tingkah laku manusia agar tercapai ketentraman dalam
hatinya (Jalaluddin, 2000:166). Sistem kerja tersebut dalam Islam meliputi
tiga subtansi yaitu jasmani, ruhani, dan nafsani. Nafs sendiri memiliki potensi
yang meliputi potensi hati, akal, dan nafsu. Keseluruhannya mengajak
manusia itu sendiri untuk selalu kembali kepada Allah, Tuhan yang
menciptakan atau kembali pada fitrahnya.
Di usia remaja, masa kegoncangan adalah masa yang tak dapat dielakkan
untuk dihadapi. Dari masa goncang inilah sebenarnya remaja belajar untuk
menjadi pribadi yang dewasa (matang). Sedang imbas dari kematangan itu
yang paling mudah adalah munculnya keluasan individu dalam berpikir
tentang dirinya, lingkungannya, kehidupannya, dan orang lain yang ada di
sekitarnya. Kebijaksanaan akan semakin terlihat, toleransi, penerimaan
pribadi, kepedulian sosial, dan pandangan yang jauh kedepan.
Untuk mendapati seluruh ketenangan dan kematangan pribadi tadi
sebenarnya tidaklah jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri, melaui ibadah-
ibadah yang dilaksanakan akan diperoleh berbagai manfaat yang berguna
untuk mendidik kejiwaanyya, mengasah ketajaman berpikir dan perasaannya.
50
Manusia dapat dikatakan matang kepribadiannya apabila sudah bisa
menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, bisa mendekatkan diri kepada
sesama dan kepada sang penciptanya. Jadi setiap orang yang sudah bisa
melakukan keduanya tadi, bisa dikatakan matang dalam kepribadiannya.
Mereka yang hidup dalam lingkungan yang biasa dan/dibiasakan dengan
ketaatan beragama/beribadah dan selalu berhubungan dengan benda-benda
keagamaan serta berhubungan dengan orang-orang yang taat dalam beragama,
maka bagaimanapun akan memberikan pengaruh dalam membentuk
kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang asing dengan lingkungan yang
kurang dalam hal ketaatan beragama/beribadah akan cenderung mengalami
kesulitan dalam menemukan kepribadinnya.
Ibadah memang turut mengambil yang tidak sedikit dalam tumbuh
kembang pribadi seseorang. Mengenai manfaat/efek dari pelaksanaan ibadah
dan kaitannya terhadap kondisi jiwa atau kepribadian seseorang dapat pula
disimak dalam beberapa penelitian yang penulis sajikan, yaitu pertama,
penelitian Setyono (2013:124) yang menemukan bahwa Ada pengaruh yang
signifikan antara keaktifan berorganisasi dan kerajinan beribadah terhadap
kematangan kepribadian mahasiswa PAI semester VI Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga Tahun 2012. Hasil hitung yang ditunjukkan
yaitu r hitung lebih besar dari r tabel atau 0,857 > 0,408.
Kedua, penelitian Aufi T (2012:117) yang menemukan bahwa ada
hubungan positif antara intensitas melaksanakan ibadah dengan tingkat
perilaku menyimpang berjudul siswa SMK PGRI 2 Salatiga Tahun Pelajaran
51
2011/2012. Hasil hitung menunjukkan r hitung lebih besar dari r tabel atau
0,462 > 0,194. Hal ini menegaskan semakin intens seseorang melaksanakan
shalat fardlu, maka semakin ia terhindar dari perilaku menyimpang.
Hipotesis secara etimologis berasal dari kata hypo yang berarti kurang dari
dan thesa yang berarti pendapat atau teori. Dengan demikian hipotesis dapat
diartikan sebagai teori yang kurang sempurna, kesimpulan yang belum final
karena belum diuji atau belum dibuktikan kebenarannya, dugaan sementara
pemecahan masalah, yang setelah diuji mungkin benar atau mungkin salah.
Penentu dari teori sementara ke teori sebenarnya berdasar hasil penelitian
(Sukandarrumidi, 2004:122).
Adapun hipotesis dari penelitian ini ialah ada hubungan positif antara
intensitas melaksanakan ibadah dengan kematangan kepribadian pada siswa
SMKN 3 Salatiga tahun pelajaran 2013/2014.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang positif dan konstruktif dalam dunia pendidikan terlebih dalam hal
peningkatan kegiatan ibadah/keagamannya. Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui intensitas siswa SMKN 3 Salatiga dalam melaksanakan
ibadah di Tahun 2013/2014.
2. Untuk mengetahui tingkat kematangan kepribadian siswa SMKN 3 Salatiga
Tahun 2013/2014.
3. Untuk mengetahui hubungan antara intensitas melaksanakan ibadah dengan
kematangan kepribadian siswa SMKN 3 Salatiga Tahun 2013/2014.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian berada di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3
Salatiga di kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Alasan
pemilihan tempat penelitian ini adalah untuk menindak lanjuti pengalaman
yang pernah didapat peneliti ketika PPL dan lokasinya yang mudah dijangkau.
Waktu penelitian adalah mulai tanggal 17 Mei 2014 hingga selesai.
C. Variabel Penelitian
Variabel merupakan pusat perhatian dalam penelitian kuantitatif, variabel
merupakan konsep yang memiliki variasi atau memiliki lebih dari satu nilai.
Adapun variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi:
53
1. Variabel bebas (independent variable), yaitu variabel yang mempengaruhi
variabel lain atau menhasilkan akibat pada variabel lain. Variabel ini
disimbolkan dengan “x”. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas
yaitu intensitas melaksanakan ibadah.
2. Variabel terikat (dependent variable), yaitu variabel yang diakibatkan atau
dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel ini disimbolkan dengan “y”.
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu kematangan
kepribadian.
D. Operasionalisasi Variabel
1. Intensitas melaksanakan ibadah yang dimaksud disini adalah ibadah
sendiri merupakan segala sesuatu baik itu ucapan atau tindakan yang
diorientasikan pada Allah Swt. Sedang intensitas adalah keadaan,
tingkatan, dan ukuran intensnya. Maka, Intensitas melaksankan ibadah
yang dimaksud adalah tingkatan frekuensi dan segala sesuatunya
sebagaimana disebutkan (kuat-lemah/tinggi-rendah) siswa SMKN 3
Salatiga dalam melaksanakan ibadah shalat fardlu, puasa sunnah senin-
kamis, shadaqah, dan qira’atul qur’an. Adapun indikator intensitas
melaksanakan ibadah yaitu:
a) Motivasi dalam melaksanakan ibadah
b) Kemampuan penggunaan waktu untuk melaksanakan ibadah
c) Frekuensi dalam melaksanakan ibadah
d) Kuatnya keinginan/cita-cita/target yang ingin dicapai dengan
aktivitas ibadah yang dilakukan
54
e) Terbentuknya tindakan positif atas kegiatan ibadah yang
dilaksanakan
f) Merasakan ketertarikan dengan kegiatan ibadah yang dilaksanakan
2. Kematangan kepribadian yang dimaksud disini adalah individu yang
memiliki sistem psikofisik yang apik, dinamis dalam mengembangkan
wawasan mengenai dirinya sendiri, orang lain, lingkungan dan
hubungannya dengan Tuhan. Adapun indikator kepribadian yang
sehat/matang menurut E.B. Hurlock (dalam
Recommended