View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Nugroho (2008:15) menjelaskan bahwa secara politik-ekonomi pendirian BUMN
di Indonesia mempunyai tiga alasan pokok antara lain:
a. Sebagai wadah bisnis aset yang dinasionalisasi, alasan ini terjadi di tahun
1950-an ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Peristiwanya dimulai pada tahun 1957, ketika kabinet Ali Satroamidjojo II
jatuh disertai krisis ekonomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan
memperkuat sinyal bahwa pemerintahan parlementer membawa Indonesia ke
dalam keterpurukan. November 1957 Presiden Soekarno mengumumkan
penyatuan Irian Barat dengan Indonesia karena PBB gagal mengeluarkan
resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk
masalah Irian Barat. Gerakan ini menjadi titik awal nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.
b. Membangun industri yang diperlukan masyarakat, namun masyarakat sendiri
(atau swasta) tidak mampu memasukinya baik karena alasan investasi yang
sangat besar maupun risiko usaha yang sangat besar. Pertengahan tahun 1960-
an pemerintah mulai mendirikan pabrik-pabrik pupuk urea, mulai di Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Aceh. Pemerintah
10
mengambil alih Indosat sebagai home-base pemilikan dan pengelolaan Satelit
Palapa. Pemerintah juga mendirikan industri-industri kelistrikan sebagai bahan
bakar energi nasional pemerintah juga mendirikan industri-industri kelistrikan
sebagai bahan bakar energi nasional. Pemerintah mendirikan industri pesawat
terbang, IPTN, dengan tujuan menjadi pelaku bisnis regional di bidang pesawat
angkut jenis menengah dan kecil.
c. Membangun industri yang sangat strategis karena berkenaan dengan keamanan
negara, oleh karena itu pemerintah membangun industri persenjataan Pindad,
bahan peledak, dahana, pencetakan uang, peruri, hingga pengelolaan stok
pangan dan bulog.
Seiring dengan konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959 pemerintah telah
mengambil alih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda.
Ketika itu pemerintah menginginkan dan berharap agar perusahaan-perusahaan
Belanda yang telah diambil-alih dapat dikelola dan dikembangkan oleh para
pengusaha swasta pribumi tetapi kenyataan menunjukkan bahwa para pengusaha
swasta pribumi saat itu belum memiliki kemampuan untuk menanganinya karena
keterbatasan modal usaha dan sumber daya manusia. Sejumlah pengusaha etnis
Tionghoa yang bersedia membeli dan mengelola bekas perusahaan-perusahaan
Belanda tersebut ditolak pemerintah dengan alasan pengusaha etnis Tionghoa
tidak boleh lagi mendominasi dunia usaha di bidang perdagangan, industri dan
pertanian seperti pada zaman pemerintahan kolonial Belanda karena itu
Pemerintah akhirnya mengambil keputusan mendirikan sejumlah perusahaan
negara untuk mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda dimaksud.
11
Menurut Sagala (2009:44) kebijakan yang diambil pemerintah pada awal tahun
1960-an hampir mengalami kebuntuan karena Indonesia pada masa itu belum
memiliki sumber daya manusia yang cukup memadai untuk menjalankan
perusahaan-perusahaan berskala besar secara efisien dan produktif. Pengusaha
pribumi sendiri belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak untuk
memimpin unit usaha yang besar. Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia
ini pemerintah mengerahkan sumber daya manusia dari kalangan militer yang
ketika itu relatif cukup baik di Indonesia kalangan militer telah berpengalaman
dalam mengelola kegiatan-kegiatan berskala besar seperti pengadaan personil
(rekruitmen, pendidikan dan pelatihan) dan logistik (pengadaan, pengangkutan
dan logistik), sehingga boleh dikatakan bahwa kebijakan pemerintah inilah yang
menumbuhkan embrio dwifungsi militer di Indonesia.
Perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan seperti
undang-undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), undang-
undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab
undang-undang hukum perdata dan hukum dagang. Pengaturan perusahaan negara
dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di
bidang administrasi dan pengawasan oleh pemerintah karena itu untuk melakukan
reorganisasi alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD
1945, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 19 Tahun 1960. Berdasarkan Perpu ini pengertian
perusahaan negara diseragamkan yaitu semua perusahaan dalam bentuk apapun
yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik
12
Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang,
(Sagala, 2009:46).
Kemudian perubahan mendasar terjadi dalam sistem perekonomian Indonesia
ketika Orde Baru (Orba) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967. Terjadinya
perubahan mendasar tersebut terutama dipengaruhi oleh dua lembaga donor
internasional yaitu International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Kedua lembaga
donor ini berhasil meyakinkan pemerintah bahwa upaya pemulihan perekonomian
Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Namun untuk dapat
memperoleh bantuan luar negeri tersebut, kedua lembaga donor dimaksud
mensyaratkan Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk
memberi jalan masuknya modal asing. Agar bantuan luar negeri tersebut dapat
diperoleh, maka Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah mendorong masuknya modal
asing ke Indonesia melalui berbagai perusahaan multinasional.
Setahun kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mendorong terciptanya
perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pengusaha etnis Tianghoa.
Seiring itu pula, lahir perusahaan-perusahaan besar milik badan-badan usaha yang
terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer yang diduga mewakili militer
sebagai institusi. Diperkirakan bahwa sejak saat ini mulai tercipta hubungan
kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik
13
yang berkuasa dalam berbagai bentuk kerjasama yang ditenggarai bernuansa
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) (Wibisono, 2007:107).
Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1969 yang kemudian menjadi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang berhasil mengurangi jumlah BUMN
dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan. Berdasarkan undang-undang ini, BUMN
dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu perjan, perum dan persero. Selain itu,
ada lagi bentuk BUMN yang diatur secara khusus dengan undang-undang
tersendiri yaitu bank-bank milik pemerintah dan Pertamina, 71 (tujuh puluh satu)
dalam praktiknya, bidang usaha BUMN dibedakan antara public utilities
(telekomunikasi, listrik, gas, kereta api dan penerbangan), industri vital strategis
(minyak, batu bara, besi baja, perkapalan dan otomotif), dan bisnis. Korelasinya
dengan pengelolaan BUMN, pada awal orde baru pemerintah menerapkan prinsip-
prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri atas dekonsentrasi, debirokrasi, dan
desentralisasi.
Hal ini ditujukan untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta agar terlibat
dalam proses pembangunan upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui
ditetapkannya peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara. Peraturan ini BUMN dipisahkan
berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya, yakni Perusahaan Jawatan,
Perusahaan Umum, dan Perusahaan Perseroan. Perkembangan selanjutnya BUMN
di Indonesia mengalami beberapa perubahan, yang disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat dan kebijakan pemerintah. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perjan,
14
Perum dan Persero dimaksudkan untuk meningkatkan peranan perusahaan negara
dan sekaligus pengendaliannya oleh pemerintah dengan adannya peraturan
pemerintah ini pemerintah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam hal
pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan pengelolanya
(manajemen), (Sagala, 2009:50).
Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk
menciptakan landasan hukum yang kuat dan jelas bagi pemangku kepentingan
(stakeholders). Melalui peraturan perundang tersebut diharapkan dapat
dirumuskan arah, sasaran, program, dan kebijakan pemerintah terhadap BUMN
secara jelas sehingga dapat menjadi pedoman bagi semua pihak yang terkait.
Peraturan Tentang BUMN merupakan kebutuhan mutlak karena landasan hukum
tentang BUMN yang ada sebelumnya belum sempurna, termasuk beberapa
ketentuan tentang restruksturisasi dan privatisasi.
Pasca reformasi pengelolaan BUMN diatur dalam ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 mengenai (a) penataan BUMN secara efisien, transparan, dan
profesional; (b) penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum;
dan (c) mendorong BUMN yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk
melakukan privatisasi dipasar modal. Untuk melaksanakan TAP MPR tersebut,
diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, yang peraturan pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri.
15
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, bentuk BUMN terbagi atas 2 (dua), yaitu 1).Perusahaan
Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk
Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau
paling sedikit 51% (Lima Puluh Satu Persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 2).Perusahaan
Umum, yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Tahun 2005 diterbitkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan
BUMN yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Perubahan Badan Hukum dan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT). Tahun
yang sama, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun
2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perseroan (Persero) yang merupakan kebijakan
tentang privatisasi BUMN. Tanggal 23 September 2009 pemerintah menetapkan
kebijakan tentang privatisasi BUMN melalui penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 59 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perusahaan Perseroan.
Kebijakan ini merupakan kebijakan turunan untuk melaksanakan Pasal 83
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang
menyatakan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara
16
Privatisasi Perusahaan Perseroan BUMN, sedangkan salah satu perusahaan
BUMN yang akan peneliti jadikan lokasi penelitian adalah PT. Perkebunan
Nusantara VII (Persero).
B. Tinjauan Tentang Konsep Performance (Kinerja)
1. Pengertian Performance (Kinerja)
Cardy (James dan Nelson, 2009: 195) dalam Noor (2013: 270) mengatakan,
Performance management is process of defining, measuring, appraising,
providing feedback on, and improving performance. Dari pengertian ini dapat
diuraikan bahwa mengelola kinerja sebaiknya dilakukan secara kolaboratif dan
kooperatif antara pegawai, pemimpin dan organisasi, melalui pemahaman dan
penjelasan kinerja dalam suatu kerangka kerja atas tujuan-tujuan terencana,
standard dan kompetensi yang disetujui bersama.
Manajemen kinerja bersifat menyeluruh dan menjamah semua elemen, unsur atau
input yang harus didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Sistem manajemen kinerja berusaha mengukur (measuring),
mengevaluasi (appraising), mencegah kinerja buruk dan cara bekerja sama
memperbaiki kinerja (improving performance). Yang lebih penting lagi,
manajemen kinerja berarti komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus
(feedback on) antara atasan dan pegawai.
17
Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan
kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil individu
dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi, serta mengetahui
dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Gibson (Whitmore,
2004:104) dalam Noor (2013: 270) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai
“… is considered to be a multiplicative function of motivation (the force) and
ability.” Kinerja juga diartikan sebagai suatu pelaksanaan fungsi-fungsi yang
dituntut dari seseorang. Kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu
pemeran keterampilan.
Kinerja adalah catatan mengenai akibat-akibat yang dihasilkan pada fungsi
pekerjaan atau aktivitas selama periode tertentu yang berhubungan dengan tujuan
organisasi. Kinerja seseorang merupakan gabungan dari kemampuan, usaha, dan
kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkan. Oleh karena itu kinerja
bukan menyangkut karakteristik pribadi yang ditunjukan oleh seseorang melalui
hasil kerja yang telah dan akan dilakukan seseorang. Dari definisi-definisi
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil yang
dicapai pegawai menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan. Menentukan kriteria yang akan dipakai dalam penelitian ini,
peneliti tidak langsung menggunakan pendapat salah satu pakar di atas, namun
berusaha menyesuaikan dengan keadaan pada PTPN VII (Persero) sebagai salah
satu organisasi yang ada pada Lembaga Kementerian BUMN.
18
Menurut Keban (2005:90), pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur
kinerja perusahaan yaitu pendekatan manajerial dan pendekatan kebijakan, dengan
asumsi bahwa efektivitas dari tujuan perusahaan sangat tergantung dari dua
kegiatan pokok tersebut. Pendekatan manajemen mempersoalkan hingga seberapa
jauh fungsi-fungsi manajerial perusahaan BUMN telah dijalankan seefisien dan
seefektif mungkin. Sasarannya adalah semua yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan publik. Selanjutnya Keban (2005:87)
menggabungkan kedua pendekatan tersebut yang disebutnya dengan pendekatan
moral/ethika, yang mana beliau melihat hingga seberapa jauh BUMN menaruh
perhatian terhadap aspek moralitas, yakni apakah BUMN memperlakukan
pegawainya dan masyarakat umum atau golongan tertentu secara adil atau apakah
instansi terkait memperhatikan internal dan eksternal ethik. Apakah instansi cukup
responsif atau tanggap terhadap perubahan yang datang dari masyarakat adapun
sasaran dari pendekatan ini adalah gabungan dari dua pendekatan di atas.
Selanjutnya fungsi manajerial dapat ditinjau dari manajerial yang bertugas, berupa
adanya peningkatan dalam pemakaian manajerial skill (kemampuan), pemakaian
sistem, dan prosedur kerja yang lebih baik, peningkatan motivasi serta kepuasan
kerja di antara pegawai atau perusahaan. Apakah peningkatan ini telah
memberikan sumbangan terhadap tercapainya tujuan secara efisien dan efektif,
selain itu kinerja perusahaan dapat dinilai sampai sejauh mana masing-masing
instansi telah melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab tersebut yang
merupakan manifestasi dari kegiatan manajemen dan policy (kebijakan).
19
2. Pengukuran Kinerja Pegawai (SDM)
Mahmudi (2010:12-14) berpendapat bahwa, pengukuran kinerja merupakan alat
untuk menilai kesuksesan organisasi. Apabila kinerja suatu organisasi itu sudah
baik, maka organisasi tersebut dinilai sukses dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Pengukuran kinerja itu sendiri merupakan bagian penting dari proses
pengendalian manajemen organisasi, baik publik maupun swasta. Penilaian
kinerja merupakan evaluasi keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam
menjalankan tugasnya. Jika penilaian kinerja terhadap birokrasi, berarti evaluasi
keberhasilan atau kegagalan birokrasi dalam menjalankan tugasnya sebagai
pelayan masyarakat. Gary Dessler dalam Pasolong (2010:182), menyatakan
bahwa penilaian kinerja adalah merupakan upaya sistematis untuk
membandingkan apa yang dicapai seseorang dibandingkan dengan standar yang
ada. Tujuannya, yaitu untuk mendorong kinerja seseorang agar bisa berada di atas
rata-rata.
Kinerja SDM merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau
Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai
seseorang). Definisi kinerja pegawai yang dikemukakan Bambang Kusriyanto
(1991: 3) adalah: “perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga
kerja persatuan waktu (lazimnya per jam)”, (Mangkunegara, 2005: 9).
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja
mempunyai makna ganda yaitu pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja di
mana untuk melaksanakan kedua hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan
20
tujuan dari suatu program secara jelas. Pengukuran kinerja merupakan jembatan
antara perencanaan strategis dengan akuntabilitas, sehingga suatu pemerintah
daerah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti atau indikator-indikator
atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Teknik dan
metode yang digunakan dalam menganalisis kinerja kegiatan yang pertama-tama
dilakukan adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program
dan kegiatannya. Program dan kegiatan merupakan sebagaimana yang tertuang
dalam perencanaan strategis PTPN VII (Persero) yang bersangkutan.
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi pegawai yang dikemukakan Leon C.
Mengginson (1981: 310 ) dalam Mangkunegara (2000: 69) adalah sebagai berikut:
“Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang
digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seseorang karyawan melakukan
pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”. Selanjutnya Andrew
E.Sikula (1981: 2005) yang dikutip Mangkunegara (2000: 69) mengemukakan
bahwa “penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan
pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran
atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun
sesuatu (barang)”, (Mangkunegara, 2005: 9).
Mangkunegara (2005: 22-23) menjelaskan bahwa dalam rangka peningkatan
kinerja, paling tidak terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja.
Dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
21
1. Mengidentifikasikan masalah melalui data dan informasi yang
dikumpulkan terus-menerus mengenai fungsi-fungsi bisnis.
2. Mengidentifikasikan masalah melalui karyawan.
3. Memperhatikan masalah yang ada.
b. Mengenai kekurangan dan tingkat keseriusan.
Untuk memperbaiki keadaan tersebut, diperlukan beberapa informasi,
antara lain:
1. Mengidentifikasikan masalah setepat mungkin.
2. Menentukan tingkat keseriusan masalah dengan mempertimbangkan:
a) Harga yang harus dibayar bila tidak ada kegiatan.
b) Harga yang harus dibayar bila ada campur tangan dan
penghematan yang diperoleh apabila ada penutupan kekurangan
kinerja.
c. Mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan,
baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan
pegawai itu sendiri.
d. Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab
kekurangan tersebut.
e. Melakukan tindakan tersebut.
f. Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum.
g. Mulai dari awal, apabila perlu.
Banyak pendapat mengenai pengukuran kinerja, Menurut Lembaga Administrasi
Negara-RI dalam Pasolong (2010:177), adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
22
ditetapkan dengan mempertimbangkan indikator masukan (inputs), keluaran
(outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits) dan dampak (impacts).
Lebih lanjut LAN-RI mendefinisikan indikator maskan (inputs) adalah segala
sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia,
informasi, kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
Indikator keluaran (outputs) adalah suatu yang dicapai dari suatu kegiatan yang
dapat berupa fisik maupun non fisik. Indikator hasil (outcomes) adalah segala
sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka
menengah (efek langsung). Indikator manfaat (benefits) adalah sesuatu yang
terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator dampak (impacts)
adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap
tingkatan indicator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.
Penetapan indikator kinerja menurut LAN-RI, yaitu merupakan proses identifikasi
dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengelolahan
data atau informasi untuk menentukan kinerja kegiatan, program, dan/atau
kebijakan. Penetapan indikator kinerja harus didasarkan pada masukan (inputs),
keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts).
Dengan demikian indikator kinerja dapat digunakan untuk mengevaluasi tahapan
perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan indikator kinerja,
yaitu:
23
1. Spesifik dan jelas;
2. Dapat terukur secara objektif baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif;
3. Dapat menunjukan pencapaian keluaran, hasil, manfaat dan dampak;
4. Harus cukup fleksibel dan sensitive terhadap perubahan, dan
5. Efektif yaitu dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis datanya secara efisien
dan efektif.
Simamora dalam Mangkunegara (2005:14) mengatakan bahwa kinerja pegawai
diukur dari beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor individual yang terdiri dari:
a) Kemampuan dan keahlian
b) Latar belakang
c) Demografi
2. Faktor Psikologis yang terdiri dari:
a) Persepsi
b) Attitude
c) Personality
d) Pembelajaran
e) Motivasi
3. Faktor Organisasi yang terdiri dari:
a) Sumber daya
b) Kepemimpinan
c) Penghargaan
d) Struktur
e) Job design
24
Standar pekerjaan dapat ditentukan dari isi suatu pekerjaan, dapat dijadikan
sebagai dasar penilaian setiap pekerjaan. Untuk memudahkan penilaian kinerja
karyawan, standar pekerjaan harus dapat diukur dan dipahami secara jelas. Suatu
pekerjaan dapat diukur melalui jumlah, kualitas, ketepatan waktu
mengerjakannya, kehadiran, kemampuan bekerja sama yang dituntut suatu
pekerjaan tertentu, (Bangun, 2012: 233)
1. Jumlah Pekerjaan.
Dimensi ini menunjukkan jumlah pekerjaan yang dihasilkan individu atau
kelompok sebagai persyaratan yang menjadi standar pekerjaan. Setiap
pekerjaan memiliki persyaratan yang berbeda sehingga menuntut
karyawan harus memenuhi persyaratan tersebut baik pengetahuan,
keterampilan, maupun kemampuan yang sesuai. Berdasarkan persyaratan
pekerjaan tersebut dapat diketahui jumlah karyawan yang dibutuhkan
untuk dapat mengerjakannya, atau setiap karyawan dapat mengerjakan
beberapa unit pekerjaan.
2. Kualitas Pekerjaan.
Setiap karyawan dalam perusahaan harus memenuhi persyaratan tertentu
untuk dapat menghasilkan pekerjaan sesuai kualitas yang dituntut suatu
pekerjaan tertentu. Setiap pekerjaan mempunyai standar kualitas tertentu
yang harus disesuaikan oleh karyawan untuk dapat mengerjakannya sesuai
ketentuan. Karyawan memiliki kinerja baik bila dapat menghasilkan
pekerjaan sesuai persyaratan kualitas yang dituntut pekerjaan tersebut.
3. Ketepatan Waktu.
25
Setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda, untuk jenis
pekerjaan tertentu harus diselesaikan tepat waktu, karena memiliki
ketergantungan atas pekerjaan lainnya. Jadi, bila pekerjaan pada suatu
bagian tertentu tidak selesai tepat waktu akan menghambat pekerjaan pada
bagian lain, sehingga mempengaruhi jumlah dan kualitas hasil pekerjaan.
Demikian pula, suatu pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu karena
karena batas waktu pesanan pelanggan dan penggunaan hasil produksi.
Pelanggan sudah melakukan pemesanan produk sampai batas waktu
tertentu. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pihak perusahaan harus
menghasilkannya tepat waktu. Suatu jenis produk tertentu saja, ini
menuntut agar dpat digunakan sampai batas tertentu saja, ini menuntut
agar diselesaikan tepat waktu, karena akan berpengaruh atas
penggunaannya. Pada dimensi ini, karyawan dituntut untuk dapat
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
4. Kehadiran.
Suatu jenis pekerjaan tertentu menuntut kehadiran karyawan dalam
mengerjakannya sesuai waktu yang ditentukan. Ada tipe pekerjaan yang
menuntut kehadiran karyawan selama delapan jam sehari untuk lima hari
kerja seminggu. Kinerja karyawan ditentukan oleh tingkat kehadiran
karyawan dalam mengerjakannya.
5. Kemampuan Kerja Sama.
Tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan oleh satu orang karyawan saja.
Untuk jenis pekerjaan tertentu mungkin harus diselesaikan oleh dua orang
karyawan atau lebih, sehingga membutuhkan kerja sama antarkaryawan
26
sangat dibutuhkan. Kinerja karyawan dapat dinilai dari kemampuannya
bekerjasama dengan rekan sekerja lainnya.
Hasibuan dalam Mangkunegara (2005: 17) mengemukakan bahwa aspek-aspek
yang dinilai kinerja mencakup sebagai berikut: (1). Kesetiaan; (2). Hasil kerja;
(3). Kejujuran; (4). Kedisiplinan; (5). Kreativitas; (6). Kerjasama; (7).
Kepemimpinan; (8). Kepribadian; (9). Prakarsa; (10). Kecakapan; dan (11).
Tanggung Jawab.
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas maka dalam konteks
penelitian ini konsep yang akan digunakan untuk mengukur kinerja pegawai
adalah konsep yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi PTPN VII dan
berdasarkan data empiris di lapangan (actionable causes), yaitu faktor individual,
faktor psikologis, dan faktor organisasi.
C. Tinjauan Tentang Good Corporate Governance (GCG)
Organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu
rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan miskin kreativitas, serta berbagai
kritikan lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-
organisasi sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk
melakukan reformasi manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi
sektor publik adalah dengan munculnya konsep Good Corporate Governance
(GCG).
27
Governance yang terjemahannya adalah pengaturan yang dalam konteks Good
Corporate Governance (GCG) ada yang menyebut tata pamong. Corporate
Governance dapat didefiniskan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan
oleh organ perusahaan (Pemegang Saham/Pemilik Modal, Komisaris/Dewan
Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder (pemangku kepentingan)
lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Selain itu, menurut Cadbury dalam Sutedi (2011:1) mengatakan bahwa Good
Corporate Governance adalah mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar
tercapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan. Adapun
Center for European Policy Study (CEPS), memformulasikan GCG adalah
seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses dan pengendalian baik
yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Dengan catatan bahwa
hak disini adalah hak dari seluruh stakeholders dan bukan hanya terbatas kepada
satu stakeholders (pemangku kepentingan) saja. Noensi, seorang pakar GCG dari
Indo Consult, mendefinisikan GCG adalah menjalankan dan mengembangkan
perusahaan dengan bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan peduli terhadap
lingkungan yang dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi. (Sutedi, 2011:1)
Dalam rangka economy recovery (pemulihan ekonomi), pemerintah Indonesia dan
International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksir
konsep Good Corporate Governance (GCG) sebagai tata cara kelola perusahaan
yang sehat. Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham
28
(stockholders) dan kreditor agar dapat memperoleh kembali investasinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan
penyebab krisis ekobomi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, adalah (1)
mekanisme pengawasan dewan komisaris (board of director) dan komite audit
(audit committee) suatu perusahaan tidak berfungsi dengan efektif dalam
melindungi kepentingan pemegang saham dan (2) pengelolaan perusahaan yang
belum professional. Dengan demikian, penerapan konsep GCG di Indonesia
diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang
saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders.
Good Corporate Governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value
added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini,
pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan
benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk
melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan
terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG
ini, yaitu fairness (keadilan), transparency (transparansi), accountability
(akuntabilitas), dan responsibility (pertanggungjawaban). Keempat komponen
tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat
meningkatkan kualitas laporan keuangan.
Untuk mewujudkan Good Corporate Governance (GCG) agar lebih efektif dan
efisien maka perlu berlandaskan pada prinsip-prinsip penerapan Good Corporate
29
Governance (GCG). Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha di Indonesia
merupakan tuntutan zaman agar perusahaan-perusahaan yang ada jangan sampai
terlindas oleh persaingan global yang semakin keras. Prinsip-prinsip GCG juga
merupakan komponen tata perilaku (code of conduct) yang diyakini oleh banyak
pakar yang merupakan katalisator pemulihan sektor perusahaan di Indonesia,
termasuk juga di sektor badan-badan hukum negara (BUMN), perbankan, maupun
di bidang pasar modal.
Indonesia mulai menerapkan prinsip GCG sejak menandatangani letter of intent
(LOI) dengan IMF, yang salah satu bagian pentingnya adalah pencantuman
jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indomesia (YPPMI &
SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia
mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah
diterapkan di tingkat Internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG,
banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan
prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena
dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang
menganggap prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan. Selain itu,
kewajiban penerapan prinsip GCG seharusnya mempunyai pengaruh yang positif
terhadap kualitas laporan keuangan yang dipublikasikan.
Unsur-unsur GCG secara umum adalah sebagai berikut: (1). Fairness (keadilan),
menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan menjamin terlaksananya
komitmen dengan para investor; (2). Transparancy (transparansi), mewajibkan
30
adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat
diperbandingkan, yang menyangkut keadaan keuangan, pengeloalaan perusahaan,
dan kepemilikan perusahaan; (3). Accountability (akuntabilitas), menjelaskan
peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin
penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang
diawasi oleh Dewan Komisaris; dan (4). Reponsibility (pertanggungjawaban),
memastikan dipatuhinya peraturan-peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai
cermin dipatuhinya nilai-nilai sosial.
Sistem corporate governance yang baik memberikan perlindungan efektif kepada
para pemegang saham dan pihak kreditor, sehingga mereka bisa meyakinkan
dirinya akan perolehan kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi.
Oleh karena itu, sistem tersebut harus juga membantu menciptakan lingkungan
yang kondusif terhadap pertumbuhan sektor usaha yang efisien dan
berkesinambungan. Dengan demikian, corporate governance dapat didefinisikan
sebagai:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan”.
Dengan tujuan “untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders)”, prinsip-prinsip internasional mengenai corporate
governance mulai muncul dan berkembang baru-baru ini. Prinsip-prinsip tersebut
mencakup:
a. Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar
dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta
31
dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang
mendasar atas perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan
perusahaan.
b. Perlakuan sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang
saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan informasi
yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan
saham oleh orang dalam (insider trading).
c. Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum
dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta para pemegang
kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan
yang sehat dari aspek keuangan.
d. Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi semua
hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang
kepentingan (stakeholders).
e. Tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta
pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham.
Karena pentingnya penerapan prinsip GCG pada perusahaan, maka Setiap
perusahaan harus memastikan bahwa prinsip GCG diterapkan pada setiap aspek
bisnis di semua jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip utama dari GCG yang
menjadi indikator yaitu: (1) transparansi; (2) akuntabilitas; (3) responsibilitas; (4)
independensi; (5) kesetaraan dan kewajaran (Zarkasyi, 2008). Hal ini diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan
pemangku kepentingan.
32
Prinsip transparansi sendiri diperlukan untuk menjaga dalam menjalankan bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Pedoman pokok
pelaksanaan transparansi yaitu: (a) Perusahaan harus menyediakan informasi
secara tepat waktu, memadai jelas, akurat, dan dapat diperbandingkan serta mudah
diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya; (b) Informasi yang
harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada visi, misi, sasaran usaha
dan startegi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus,
pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan
perusahaan lainya yang memiliki benturan kepentingan, sistem manajemen resiko,
sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan Corporate
Governance (GCG) serta tingkat kepatuhannya dan kejadian penting yang dapat
mempengaruhi kondisi perusahaan; (c) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh
perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan
hak-hak pribadi; (d) Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional
dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.
Akuntabilitas, artinya perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan
kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan. Pedoman pokok pelaksanaannya yaitu: (a) Perusahaan harus
33
menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan
dan semua karyawan secara jelas; (b) Perusahaan harus meyakini bahwa semua
organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kompetensi sesuai dengan
tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG; (c) Perusahaan
harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam
pengelolaan perusahaan; (d) Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk
semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran
utama dan strategi perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi
(reward and punishment system); (e) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada
etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
Responsibilitas (Responsibility), yang artinya perusahaan harus memenuhi
peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate
citizen. Good Corporate Citizen yaitu perusahaan, direksi, jajaran manajemen,
dan seluruh karyawan dan komisaris dalam bersikap, menjalankan bisnis serta
kewajibannya, memberikan manfaat dan dirasakan kontribusinya oleh
masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian yang menjadi pedoman pokok sebagai
tolak ukur responsibilitas yaitu: (a) Organ perusahaan harus berpegang pada
prinsip kehati-hatian dan meastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, anggaran dasar, dan peraturan perusahaan; (b) Perusahaan harus
melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap
34
masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan dengan
membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
Prinsip independensi digunakan untuk melancarkan pelaksanaan asas Good
Corporate Governance (GCG), perusahaan harus dikelola secara independen
sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pelaksanaan prinsip independensi
yaitu: (a) Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya
dominasi oleh pihak manapun; (b) Masing-masing organ perusahaan harus
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan.
Prinsip Kesetaraan dan Kewajaran, dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan
harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan kesetaraan dan kewajaran. Pedoman pokok
pelaksanaan prinsip ini yaitu: (a) Perusahaan harus memberikan kesempatan
kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan
pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi
sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing; (b)
Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku
kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada
perusahaan; (c) Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam
penerimaan karyawan, berkarir, dan melaksanakan tugasnya secara profesional
tanpa membedakan suku, agama, ras, jender, dan kondisi fisik.
35
Secara umum, penerapan prinsip GCG secara konkrit memiliki tujuan terhadap
perusahaan yaitu:
a) Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing;
b) Mendapatkan cost of capital (cost of capital adalah biaya riil yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana baik hutang, saham
preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi
perusahaan) yang lebih murah;
c) Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan;
d) Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholder terhadap
perusahaan;
e) Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum (Surya, 2006).
Untuk mendukung terwujudnya Good Corporate Governance (GCG), maka perlu
dilakukan tahapan-tahapan agar pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG)
dapat berjalan efektif.
Agar pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dapat berjalan efektif,
diperlukan proses keikutsertaan semua pihak dalam perusahaan. Untuk itu
diperlukan tahapan sebagai berikut:
1. Membangun pemahaman, kepedulian dan komitmen semua organ perusahaan
dan semua karyawan dengan dipelopori oleh Pemegang Saham Pengendali,
Dewan Komisaris dan Direksi untuk melaksanakan GCG.
2. Melakukan kajian terhadap kondisi perusahaan yang berkaitan dengan
pelaksanaan GCG dan tindakan penyempurnaan yang diperlukan.
36
3. Menyusun program dan pedoman pelaksanaan GCG (manual building).
4. Melakukan internalisasi pelaksanaan GCG sehingga terbangun rasa memiliki
dari semua pihak dalam perusahaan.
5. Melakukan penilaian baik secara sendiri (self assesment) maupun dengan
menggunakan jasa pihak eksternal yang independen untuk memastikan
implemetasi GCG secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG diseluruh BUMN bukanlah hal yang
mudah dan bisa dilakukan dalam waktu singkat. Belum semua BUMN di tanah air
sanggup memulai bahkan mengimplementasikan GCG dengan optimal.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh BUMN antara lain meliputi masalah
organisasi, hukum dan Good Corporate Governance, biaya dan pendanaan,
kemampuan penguasaan cross functional area, enterpreneurship, kepemimpinan,
change management. Oleh karena itu, penerapan GCG dapat menjadi solusi untuk
mengatasi problematika BUMN, karena BUMN adalah aset ekonomi bangsa
terpenting.
Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, BUMN menjadi satu-satunya pelaku
ekonomi nasional yang berpotensi untuk berperan. Dengan demikian, untuk
mendukung terlaksananya penerapan GCG dalam meningkatkan kinerja pegawai
maka pelaksanaannya harus mengacu pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik
atau Good Corporate Governance (GCG). Dengan dilaksanakannya penilaian
kinerja pegawai dengan didukung oleh penerapan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance (GCG) maka sistem tata kelola perusahaan dalam BUMN akan
menjadi lebih efektif dan efisien.
37
Berkaitan dengan peningkatan kinerja PTPN VII (Persero) maka model GCG
yang akan digunakan sangat tergantung pada perkembangan kondisi obyektif dan
lingkungan yang ada di PTPN VII (Persero) dan bila memungkinkan (dilihat dari
kondisi obyektif dan lingkungan), maka model GCG yang akan digunakan dan
dianggap cocok untuk diimplementasikan dalam suatu perusahaan negara, namun
bila tidak maka dengan mengolaborasi hasil temuan dalam penelitian akan
disusun kebijakan model GCG yang dapat diterapkan untuk membangun kinerja
PTPN VII (Persero) dengan memperhatikan kendala dan peluang yang ada.
D. Kerangka Pemikiran
Konsep Good Corporate Governance (GCG) merupakan isu penting dalam
reformasi sektor publik, konsep GCG juga memiliki keterkaitan dengan
permasalahan manajemen kinerja sektor publik karena pengukuran kinerja
menjadi salah satu prinsip GCG yang utama. Perdebatan tentang kinerja
administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai dengan ketidakpuasan
kecenderungan institusi dan birokratisasi pada masyarakat modern benar-benar
dipandang memprihatinkan, sehingga digambarkan adanya ramalan mengenai
makin menggejalanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling
rasionalpun tidak bisa dianggap sebagai berita yang menggembirakan, melainkan
merupakan malapetaka dan bencana baru yang menakutkan maka dari pada itu
diperlukan reformasi di semua sektor dengan menggunakan penerapan GCG.
38
Berkaitan dengan peningkatan kinerja PTPN VII (Persero) maka model GCG
yang akan digunakan sangat tergantung pada perkembangan kondisi obyektif dan
lingkungan yang ada di PTPN VII (Persero) dan bila memungkinkan (dilihat dari
kondisi obyektif dan lingkungan), maka model GCG akan digunakan dan
dianggap cocok untuk diimplementasikan dalam suatu perusahaan, namun bila
tidak maka dengan mengolaborasi hasil temuan dalam penelitian akan disusun
kebijakan model GCG yang dapat diterapkan untuk membangun kinerja PTPN
VII (Persero) dengan memperhatikan kendala dan peluang yang ada.
Berdasarkan problematika yang dialami oleh BUMN yang relatif cukup kompleks
maka tentunya ini berdampak secara signifikan terhadap perusahaan-perusahaan
BUMN tidak terkecuali dengan perusahaan PTPN VII (Persero) dengan adanya
permasalahan yang timbul tentunya ini berdampak secara langsung terhadap
kinerja baik perusahaan maupun profesionalisme pegawai permasalahan yang
paling terasa dialami oleh PTPN VII (Persero) dimulai dari pola rekruitmen
BUMN dipenuhi dengan tindakan KKN kultur kinerja pegawai lemah dari segi
kualitas intelektual dan mentalitas banyaknya jual beli kursi dalam proses
pembangunan sumber daya manusia mulai dari rekruitmen sampai sistem karir
dan kepemimpinan yang dianggap kurang objektif dan demokratisasi sehingga ini
berdampak kepada sistem manajerial dan kinerja perusahaan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul baik di BUMN maupun
yang ada di PTPN VII (Persero) maka pemerintah sebagai regulator harus secara
cepat mengatasi permasalahan dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengurangi
kerugian, untuk mengatasi permasalahan yang timbul tersebut maka langkah yang
39
paling tepat adalah mengimplementasikan model GCG dengan adanya konsep
tersebut maka sistem manajerial akan lebih tertata dan lebih baik, kebijakan akan
mudah dijalankan, profesionalisme pegawai akan semakin baik serta pendekatan
manajerial dari sisi lain dalam mengelola kinerja perusahaan adalah mengubah
sistem perusahaan BUMN menjadi entrepreneur government. Berdasarkan
kerangka teoritis tersebut maka dapat digambarkan dalam bentuk kerangka pikir
seperti di bawah ini:
Gambar 1. Model Kerangka Pikir
Sumber: Diolah oleh peneliti
Penerapan Good
Corporate Governance
Problem PTPN VII (Persero) 1. Pola rekrutmen BUMN dipenuhi dengan
tindakan KKN
2. Kultur kinerja pegawai lemah
3. Banyaknya jual beli kursi dalam proses
pembangunan sumber daya manusia
4. Kepemimpinan yang dianggap kurang
objektif dan demokratisasi
Meningkatnya Kinerja
Pegawai
Prinsip penerapan GCG:
1. Transparansi
2. Akuntabilitas
3. Responsibilitas
4. Independensi
5. Kesetaraan dan
kewajaran
Indikator Kinerja Pegawai:
1. Jumlah Pekerjaan
2. Kualitas Pekerjaan
3. Ketepatan Waktu
4. Kehadiran
5. Kemampuan Kerjasama
Sumber: Bangun.2012
Recommended